METODE DETEKSI KEBUNTINGAN PADA TERNAK SAPI
Oleh : Tita Damayanti Lestari
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006
1
PENDAHULUAN Deteksi Kebuntingan Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Metoda secara klinik dan imunologi tertera pada gambar 1. Pemilihan metoda tergantung pada spesies, umur kebuningan, biaya, ketepatan
dan kecepatan diagnosa. Secara umum, diagnosa
kebuntingan dini diperlukan dalam hal :
Mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat.
Sebagai pertimbangan apabila ternak harus dijual atau di culling
Untuk menekan biaya pada breeding program yang menggunakan teknik hormonal yang mahal
Membantu manajemen ternak yang ekonomis (Jainudeen and Hafez, 2000)
Non Return to Estrus (NR) Selama kebuningan, konseptus menekan regresi corpus luteum C ( L) dan mencegah hewan kembali estrus. Oleh sebab itu, apabila hewan tidak kembali estrus setelah perkawinan maka diasumsikan bunting. Pada sapi dan kerbau, ketidakhadiran estrus setelah perkawinan digunakan secara luas oleh peternak dan sentra-sentra IB sebagai indikator terjadinya kebuntingan, tetapi ketepatan metoda ini tergantung dari ketepatan deteksi estrusnya. Pada kerbau, penggunaan metoda NR ini tidak dapat dipercaya karena sulitnya mendeteksi estrus.
2
Metode Klinis pada Diagnosa Kebuntingan Metoda klinis tergantung deteksi pada konseptus-fetus, membran fetus dan cairan fetus. Metoda ini meliputi eksplorasi rektal dan teknik ultrasonografi. Radiografi sebagai metoda diagnosa kebuntingan pada domba, kambing dan babi saat ini sudah harus ditinggalkan karena adanya bahaya radiasi bagi operatornya.
Hal 396
Gambar 1. Teknik-teknik Diagnosa Kebuntingan pada Ternak
Eksplarasi Rektal Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui
3
dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus (Tabel 1). Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996). Palpasi transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relative murah. Namun demikian dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia kebuntingan di atas 30 hari (Broaddus dan de Vries, 2005). Ultrasonografi Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Harga alat ini masih sangat mahal, diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari ( Youngquist, 2003). Gelombang ultrasonografi tidak terdengar oleh telinga manusia dan dioperasikan pada frekuensi 1 – 10 megahertz (MHz). Ada dua tipe ultrasonografi yang digunakan pada manusia dan kedokteran hewan yaitu : fenomena Doppler dan prinsip pulse-echo.
4
Pada fenomena Doppler transducer atau probe ketika diaplikasikan pada dinding abdominal atau dimasukkan ke dalam rektum, akan memancarkan cahaya gelombang frekuensi tinggi (ultrasonic). Pergerakan jantung fetus dan aliran darah dalam fetus (pembuluh umbilical) serta sirkulasi maternal (arteri uterina) merubah frekuensi gelombang dan memantul kembali ke probe dan dikonversi ke suara yang dapat terdengar. Sedang pada pulse-echo ultrasound getaran ultrasound yang digerakkan oleh kristal piezoelectric dalam transducer ketika kontak dengan jaringan akan memantul kembali ke transducer kemudian dikonversi ke dalam energi elektrik dan diidsplay pada osciloscope.
Hal 397
Gambar 2. A. Komponen utama scanner ultrasound. B. Gambar gerak dari fetus sapi umur 48 hari melalui transrectal Ultrasonografi ( Pierson, et al., 1988).
5
Prinsip dasar diagnostik secara fisik dari ultrasonografi telah banyak diketahui. Komponen utama dari alat ultrasound seperti pada gambar 2 adalah : a. Generator elektrik pulse, b. Trasducer, c. scan konverter dan d. video display. Kriteria diagnostik dan ketepatan teknik ultrasonografi dapat dilihat pada Tabel 2. Sedang beberapa keuntungan dari penggunaan alat ini pada ternak tertera pada Tabel 3. Tabel 1. Diagnosa kebuntingan pada sapi, kerbau dan kuda dengan palpasi rektal. Spesies
Sapi dan kerbau
Umur Kebuntingan (bulan) pertama
kedua ketiga Keempat - ketujuh
Ketujuh menjelang lahir Kuda
pertama kedua
ketiga keempat Kelima - ketujuh
Perubahan yang terjadi
Uterus statis dengan CL yang tumbuh pada satu ovarium Pembesaran tanduk uterus karena adanya cairan fetus Uterus mulai turun, fetus teraba Uterus berada pada lantai abdominal, fetus sulit diraba, cotyledon : diameter 2-5 cm teraba pada dinding uterus, arteri uterina media hypertrofi dan terjadi fremitus - Cotyledon, fremitus dan bagian dari fetus dapat diraba Cervix kontraksi dan statis, at nduk uterus membengkak Kantong chorioallantois pada bagian sepertiga bawah ventral tanduk uterus, tanduk uterus membengkak Kantong chorioallantois berkembang cepat dan turun ke badan uterus. Uterus mulai turun Permukaan dorsal uetrus teraba seperti kubah menggembung. Fetus dan bagian fetus teraba Uterus terletak jauh di dasar rongga abdominal
Ketujuh - Fetus lebih mudah teraba. Uterus mulai naik menjelang lahir (Sumber : Jainudeen and Hafez, 2000)
6
Hal 398
Tabel 2. Kriteria diagnostik dan ketepatan teknik ultrasonografi ( Sumber : Jainuden dan Hafez, 2000 ).
Hal 400
Tabel 3. Beberapa keuntungan menggunakan alat ultrasongrafi pada ternak. ( Sumber : Jainuden dan Hafez, 2000 ).
7
Diagnosa Imunologik Teknik Imunologik untuk diagnosa kebuntingan berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik sebagaimana pada Tabel 4, mengukur dua macam cairan yaitu: 1. Pregnancy Specific yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF 2. Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi dalam darah maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate. Beberapa protein-like substance telah diidentifikasi dari dalam peredaran darah maternal selama terjadi kebuntingan. Substansi ini merupakan produk yang berasal dari konseptus yang dapat digunakan sebagai indikator adanya kebuntingan.(Jainudeen dan Hafez, 2000). Interaksi konseptus dengan sistem imun melibatkan baik anti-sperma maupun respon imun anti-konseptus yang membatasi keberhasilan kebuntingan dan juga membatasi efek yang menguntungakan dari pengeluaran cytokine dari sel-sel lymphoid pada perkembangan embrio dan ekspresi gennya (Hansen, 1995). Sistem imun ini bekerja di uterus maka terdapat respon imun anti-konseptus yang potensial.Juga ada beberapa sistem kontrol yang membatasi respon imun anti-konseptus. Hal ini terutama karena tidak adanya atau sedikit ekspresi major histocompatibility antigen pada trophoblast. Aktivasi respon imun anti-konseptus yang mengarah pada respon cytolytic selanjutnya dibatasi oleh kehadiran molekul-molekul yang dapat menghambat transformasi lymphosit. Peristiwa ini terutama karena adanya prostaglandin E2 (PGE2) dari plasenta dan jaringan
8
endometrial, interferon-tau (IFN-λ) dari sel-sel trophoblast selama awal kebuntingan dan protein endometrial yang disebut uterin milk protein (UTMP) (Hansen, 1995). Early pregnancy factor (EPF) pertama kali dilaporkan berada dalam sirkulasi darah wanita hamil (pre-implantasi stage), kemudian dilaporkan ditemukan pula ditemukan pada babi, domba dan sapi. EPF bersifat immunosuppressive, dapat dideteksi dari serum dalam beberapa hari setelah konsepsi pada babi, domba dan sapi. EPF juga merupakan bioassay, berdasarkan formasi inhibitornya. Pregnancy-Associated Antigen (PSA) yaitu antigen spesifik pada kebuntingan yang dilaporkan terdapat dalam jaringan maternal pada spesies ternak termasuk domba, sapi dan kuda. Sebagian besar antigen ini dapat dideteksi dalam darah maternal selama kebuntingan. Bovine conceptus memproduksi beberapa signal selama awal kebuntingan (Jainudeen dan Hafez, 2000). Protein dari jaringan plasenta ini sebagian sudah berhasil dipurifikasi yaitu pregnancy specific protein B (bPSPB). bPSPB ini dapat didete ksi dengan menggunakan teknik radio immuno assay (RIA) mulai hari ke 24 kebuntingan sampai kelahiran (Sasser, et al, 1986). RIA berdasarkan bPSPB ini lebih akurat dari pada RIA berdasarkan progesteron, karena bPSPB ini adalah protein pregnancy secific. bPSPB ini tidak terdeteksi pada air susu atau urine.Dan bPSPB ini hadir terus dlm darah sampai beberapa bulan setelah kelahiran sehingga dapat mempengaruhi diagnosa dini kebuntingan apabila digunakan sebagai bahan marker kit diagnostik. Selain bPSPB, protein pregnancy specific yang lain adalah pregnancy serum protein (PSP60) yang dapat dideteksi dengan RIA pada hari ke 28 kebuntingan pada sapi (Mialon, eta al., 1994).
9
Progesteron berperan utama dalam menghambat respon imun yang difasilitasi oleh sekresi dari endometrium yaitu uterin milk protein (UTMP).
Tab 28-4 hal 400
Tabel 4. Diagnosa kebuntingan dengan metode imunologi pada ternak ( Sumber : Jainuden dan Hafez, 2000 ). Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Progesteron Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu , kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting (gambar 3). Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sample susu
10
mudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan preservasi seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari. ”Kit” progesteron susu sudah banyak digunakan secara komersial di peternakanpeternakan dan dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh penggunaan RIA yaitu antara lain karena keamanan penanganan dan disposal radioaktivnya.. Test dapat dilakukan baik dengan enzyme-linked immuno assay (ELISA) maupun latex aggluination assay. Evaluasi hasilnya berdasarkan warna atau reaksi aglutinasi yang terjadi, dibandingkan dengan standard yang sudah diketahui (Kaul and Prakash, 1994).
Fig. 28 – 4 hal 401
Gambar 3. Prinsip dari progesteon (P4) assay untuk diagnosa kebuntingan pada ternak. Test dilakukan pada susu atau darah selama satu siklus dari perkawinan atau inseminasi.
11
Test progesteron susu lebih sesuai untuk mendiagnosa ketidakbuntingan dari pada kebuntingan dan dapat mengidentifikasi hewan yang tidak bunting jauh lebih dini dari pada dengan metoda palpasi rektal. Test progesteron susu aplikasinya terbatas pada spesies-spesies ternak lain. ELISA assay P4 pada
hari ke 24 post inseminasi, adalah
100 % akurat untuk yang tidak bunting dan 77 % untuk yang bunting (Kaul and Prakash, 1994). Karena domba tidak laktasi pada saat kawin, maka test dilakukan dengan sampel darah. Pada kambing, test ELISA dapat digunakan untuk diagnosa dini dengan sample susu yang diambil pada hari ke 20 setelah perkawinan (Engeland, et al. 1997), tetapi gagal untuk membedakan kebntingan dengan hydrometra. Sedang pada babi dan kuda, keakuratan test ini adalah rendah karena corpus luteum persisten (CLP) menyebabkan pseudopregnancy pada hewan yang tidak bunting. Estrone Sulphate Estrone sulphate adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh konseptus dan dapat diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua species ternak. Estrone sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada babi ( hari ke 20) dan kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing (hari ke 40 sampai 50) atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone sulphate maupun eCG dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda setelah hari ke 40 kebuntingan. Karena fetus yang berkembang mengeluarkan sejumlah besar estrone sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara hari ke 75 – 100 kebuntingan, maka estrone sulphate lebih dapat dimanfaatkan dari pada eCG untuk mengetahui adanya kehadiran fetus.
12
Gonadotropin Equine chorionic gonadotropin (eCG atau PMSG) muncul dalam darah kuda 40 hari setelah konsepsi dan deteksi kehadirannya merupakan bukti terjadinya kebuntingan. Diagnosa kebuntingan secara imunologi pada kuda berdasarkan pada eCG tersebut, dimana kehadirannya dalam sampel darah diperiksa dengan hemagglutination – inhibition ( HI ) test. Bila terjadi aglutinasi dari sel darah merah berarti negative (yaitu tidak bunting) dan apabila terjadi inhibisi dari aglutinasi, artinya hasilnya positive, terlihat pada skema gambar 4. Test ini akan lebih akurat apabila dilakukan antara hari ke 50 dan 100 kebuntingan. Pada kejadian fetus yang mati dalam periode ini, plasma eCG akan tetap tinggi. Oleh sebab itu apabila pengukuran eCG dilakukan setelah fetus mati, maka akan menghasilkan false positive.
Skema hal 403
Gambar 4.Prinip Hemaglutination Test untuk deteksi eCG atau PMSG. Inhibisi terhadap hemaglutinasi hasilnya positive berarti terjadi kebuntingan. Apabila terjadi hemaglutinasi artinya negative yaitu tidak bunting.
13
MATERNAL RECOGNITION OF PREGNANCY Keberhasilan perkawinan dan proses fertilisasi , diikuti oleh konseptus yang memberikan sinyal kehadirannya kepada sistem maternal serta memblok regresi corpus luteum (CL) guna memelihara produksi progesterone oleh sel-sel lutealnya. Pemeliharaan atau maintenance CL adalah penting untuk berlangsungnya kebuntingan pada semua spesies ternak. Konseptus mensintesa atau mensekresi steroid dan atau protein sebagai tanda atau sinyal kehadirannya pada sistem maternal. Molekul-molekul ini mengatur sintesa dan atau merilis luteolitik prostaglandin F2ά (PGF2α) dari uterus yang dapat mencegah terjadinya regresi CL (Geisert and Malayer, 2000). Selama periode kritis sekresi PGF2α dari uterus, konseptus harus dapat mengatasi sebagian besar endometrium maternal yang mengatur produksi PGF2α. Pada babi, proses ini dilakukan oleh multiple konseptus, sedang pada kuda proses ini terjadi oleh adanya migrasi dari konseptus. Periode kritis pemberian sinyal oleh konseptus untuk memblok luteolisis dan memungkinkan berlangsungnya suatu kebuntingan inilah yang disebut sebagai maternal recognition of pregnancy. Pada domba, protein yang disekresi oleh konseptus antara hari ke 12 dan 21 kebuntingan,
menghambat
produksi
PGF2α
oleh
endometrium
uterus.
Produ k
antiluteolitik yang memiliki berat molekul rendah ini merupakan protein asam yang diproduksi oleh konseptus antara hari ke 12 dan 21 kebuntingan pada domba, dikenal dengan nama protein tropoblast 1 atau ovine tropoblast-1 (oTP-1). Protein ini mempunyai sekuen asam amino yang tinggi dan homolog dengan sebuah kelas protein yang disebut interferon yang saat ini dikenal dengan ovine interveron-tau (oIFN-λ) (Bazer et al, 1977). Sel-sel trophoblast memproduksi sejumlah besar interferon tau (IFN-λ)
14
Pada sapi, maternal recognition terjadi antara hari ke 16 dan 19 kebuntingan (Thatcher, et al. 1995). Konseptus sapi memproduksi sejumlah protein asam dengan berat molekul rendah meliputi bovine trophoblast protein-1 (bTP-1). Sebagaimana oTP-1, bTP1 ini juga diklasifikasikan dalam interferon-tau dan disebut sebagai bovine IFN-λ (bIFNλ). Endometrium sapi bunting memproduksi endometrium prostaglandin synthesis inhibitor (EPSI) yang secara spesifik menekan sintesa PGF2α ( Gross, et al, 1988 dan Helmer et al, 1989 ). Inhibitor ini muncul sebagai asam linoleat. Rasio asam linoleat dengan asam arachidonat ( precusor PGF2α ) lebih tinggi pada sapi bunting dari pada sapi yang tidak bunting, hal ini mengarah pada pentingnya peran merubah komposisi lipid pada jaringan endometrium pada maternal recognition of pregnancy pada sapi (Staples, et al, 1998). Maternal recognition of pregnancy dapat diartikan sebagai interaksi antara unit maternal dengan produk dari konseptus yang merupakan sinyal pada induknya akan kebutuhan untuk memelihara kebuntingan yang terjadi (Thatcher,et al,1995). Komunikasi ini
dapat terjadi pada beberapa tahap kritis selama kebuntingan, namun satu tahap
penting proses ini pada ruminansia, melibatkan pengaturan paracrine oleh konseptus dari dasar endometrium yang dapat melemahkan sekresi PGF2α yang bersifat luteolitik. Efek antiluteolitik dari konseptus ini menurut Thatcher 1986, adalah penyebab utama keberadaan CL pada domba dan sapi. Maternal recognition dan pemeliharaan kebuntingan dipengaruhi oleh embrio melalui sekresi interferon-tau (IFN-λ). IFN-λ adalah senyawa antiluteolitik
yang
menghalangi lisisnya CL dengan cara menghambat rilis PGF2α dari uterus, dan penghambatan ini dibarengi dengan penurunan reseptor oxytocin endometrium (Flint,
15
1995). Ketidakmampuan embrio memproduksi jumlah IFN-λ yang cukup merupakan salah satu penyebab kematian embrio (Kerbler, et al., 1997). Mauer dan Echterkamp (1982) telah menunjukkan bahwa konsentrasi progesteron pada individu betina yang menurun, dapat menyebabkan kematian embrio. Sedang Garret et al. (1988) membuktikan bahwa perkembangan dan pertumbuhan embrio meningkat dengan diberikannya progesteron secara eksogenus. Kerbler, et al., 1997 melaporkan adanya sebuah korelasi positif antara konsentrasi progesteron dalam plasma maternal dengan sintesa meningkat
IFN-λ. Oleh sebab itu, kelangsungan hidup embrio pada sapi dapat
melalui
penggunaan
progesteron
eksogenus
guna
meni ngkatkan
perkembangan embrio tersebut serta meningkatkan sekresi IFN-λ. Pada sapi, IFN-λ disekresi antara hari ke 15 sampai 24 kebuntingan (Helmer et al. 1987), tetapi CL harus tetap hadir melebihi pengaruh IFN-λ. Presevasi CL ini disempurnakan dengan pregnancy-specific protein B (PSPB) dan kemampuannya nyata dalam meningkatkan sintesa endomerial dari prostaglandin E2 (PGE2) (Del Vecchio et al. 1990). PSPB juga cenderung untuk meningkatkan PGF2α, tetapi peningkatannya tidak signifikan sehingga menghasilkan peningkatan rasio PGE2 : PGF2α yang favourable bagi pemeliharaan corpus luteum (Del Vecchio et al. 1995). PGE2 adalah substansi yang luteotropik dan atau luteoprotektiv pada sapi. Sasser et al. 1986 berhasil mendeteksi PSPB pada sirkulasi darah induk domba pada 15 hari kebuningan dan Kiracofe et al. 1993 menunjukan bahwa PSPB dapat diukur sampai periode post partum. Sebagaimana IFN- λ, PSPB juga berasal dari tropoblast (Martal et al. 1997) dan sekresinya dipengaruhi oleh progesteron dengan cara yang sama seperti pengaruhnya pada IFN- λ. Oleh karena
16
itu, progesteron eksogen dapat membantu pemeliharaan CL pada tahap kebuntingan diatas hari ke 24. Ekspresi reseptor oxytocin (OTR) dalam endometrium uterus berperan penting dalam inisiasi luteolisis. Selama awal kebuningan, konseptus mensekresi IFN-λ yang menghambat regulasi OTR dan proses luteolisis (Robinson et al. 1999). Oxytocin disekresi dari CL dan juga dari neurohypofisa, mengikat pada reseptor oxytocin endometrial, menginisiasi sekresi PGF2α yang dengan konsekuensi terjadinya regresi luteal. Pada sapi, awal timbulnya reseptor oxytocin yang mengawali luteolisis terjadi pada hari ke 15 – 17. Pada
awal
kebuntingan, pengaturan
reseptor
oxytocin
dan
konsekuensi
luteolisisnya dihambat oleh sekresi IFN-λ dari tropodectoderm mulai hari ke 12 – 25 pada sapi dan hari ke 10 – 21 pada domba. Pada domba, IFN-λ menekan ekspresi reseptor oxytocin pada level transkripsi. Pada kebuntingan unilateral pada domba, penekanan reseptor oxytocin terjadi pada tanduk/cornua uteri yang berisi kebuntingan saja, hal ini menunjukan bahwa IFN-λ bekerja secara lokal bukan sistematik (Lamming et al. 1995). Peran Hormon Progesteron mempunyai peran dominan selama kebuntingan terutama
pada
tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 – 17 pada domba, maka PGF2α akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka kebuntingan tersebut akan berakhir. Oleh sebab itu, embrio
17
harus dapat berkomunikasi tentang kehadirannya kepada sistem maternal sehingga dapat mencegah PGF2α yang dapat menginduce luteolisis. Proses biokimia dimana embrio memberi sinyal kehadirannya inilah yang disebut sebagai ” maternal recognition of pregnancy”. Pada sapi dan domba, unit embrionik memproduksi suatu protein, yang disebut bovine interferon- λ dan ovine interferon- λ. Pada kedua spesies tersebut, protein ini mempunyai perangkat antiluteolitik melalui pengubahan biosintesa prostaglandin dan pengaturan reseptor uterin-oxytocin (Gambar 1). Baik bovine interferon- λ pada sapi maupun ovine interferon- λ pada domba, telah dilaporkan dapat menghambat sintesa PGF2α dari endometrium. Pada domba, ovine interferon- λ telah terbukti dapat meningkatkan konsentrasi PGE2 (sebuah hormon antiluteolitik) dalam plasma darah pada kebuntingan hari ke 13. Sehubungan dengan hal itu, apakah melalui peningkatan sintesa PGE2 atau penghambatan sintesis PGF2α, rasio perbandingan yang tinggi antara PGE2 dan PGF2α adalah kondisi yang mendukung pemeliharaan corpus luteum. Konsentrasi tinggi progesteron, menurunkan tonus myometrium dan menghambat kontraksi uterus. progesteron
Efeknya pada myometrium tersebut, membuat konsentrasi tinggi
akan menghentikan siklus estrus dengan mencegah dikeluarkannya
gonadotropin. Progesteron diproduksi oleh corpus luteum dan placenta. Pada sapi, lutectomy ( pengambilan corpus luteum atau injeksi PGF2α) pada kebuntingan tahap akhir, setelah 6 – 8 bulan kebuntingan, tidak akan menyebabkan aborsi karena cukupnya steroid yang diproduksi placenta. Pada domba, pengambilalihan fungsi placenta ini terjadi pada 50 hari usia kebuntingan, sedang pada kuda sekitar 70 hari usia kebuntingan. Pada beberapa spesies, ketika placenta mulai mengambil alih fungsi sebagai
18
sumber progesteron pada tahap dini kebuntingan, corpus luteum terus mensekresi progesteron dan memelihara kebuntingan tersebut. Pregnancy-spesific protein, protein B mungkin saja membantu corpus luteum kebuntingan pada sapi dan domba (Bearden and Fuquay, 2000). Polipeptida relaxin dan relaxin-like factors yang diproduksi oleh corpus luteum (pada babi dan sapi) dan plasenta (pada kuda) adalah penting selama terjadinya kebuntingan. Peran utamanya melunakkan jaringan, yang menyebabkan otot-otot uterus dapat mengakomodir perkembangan fetus. Relaxin menyebabkan saluran pelvis melebar, terutama pada tahap akhir kebuntingan. Konsentrasi estrogen rendah selama awal kebuntingan dan meningkat pada pertengahan dan akhir kebuntingan. Pada kuda, level estrogen cukup tinggi selama pertengahan kebuntingan. Sumber utama estrogen ini adalah plasenta. Estrogen mengalami kenaikan yang progresif dalam aliran darah uterus selagi proses kebuntingan terjadi. Estrogen bekerja sama secara sinergis dengan progesteron pada perkembangan dan persiapan kelenjar mammae untuk sintesa susu setelah kelahiran. Laktogen plasenta juga sepertinya mempunyai peran dalam perkembangan kelenjar mammae sebagaimana perannya dalam mengatur pertumbuhan fetus. Hormon reproduksi primer lainnya tidak terlihat mempunyai peran yang dominan selama kebuntingan. Konsentrasinya yang rendah dengan sedikit variasi biasanya ditemukan dalam darah. Fungsi normal dari tyroid, paratyroid, adrenal cortex dan kelenjar endokrin lain yang memproduksi hormon-hormon sekunder juga penting untuk memelihara metabolisme pada induk yang memungkinkan perkembangan embrionik dan fetus dengan baik.
19
Hal. 122 chap 9 gestation
Gambar 5.Mekanisme kerja interferon-tau (IFN-λ) pada endometrium uterus sapi, kambing dan domba. Ekspanded blastosis (konseptus) mengeluarkan IFN-λ yang mencegah proses luteolisis dan menyebabkan maternal recognition of pregnancy. Mekanisme utama hal ini terlihat karena IFN-λ menghambat reseptor oxytocin pada sel-sel endometrium uterus. Hal ini dapat secara langsung atau tidak langsung terjadi melalui penghambatan sintesa reseptor estrogen (ER). Dengan menghambat sintesa ER, maka mekanisme kerja estrogen di blok secara efektif. Penurunan atau ketidakhadiran ER mengakibatkan ketidakmampuan estrogen diterima oleh sel-sel endometrium, maka terjadi penurunan produksi oxytocin-induce PGF2α. Penghambatan yang dilakukan oleh IFN-λ pada mekanisme enzimatik (cyclooxygenase) penting untuk konversi PGF2α dari asam arasidonat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G. F.; Noakes, D.E.and Pearson, H. 1989. Veterinary Reproduction and
21
Obstetrics. 6ed . Bailliere Tindall. London. p : 60 – 86. Arthur, G. F.; Noakes, D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary Rproduction and Obstetrics. London : W.B.Sounders. Bazer, F.W.; Spencer, T.E. and Ott, T.L. 1977. Interferon-tau : a novel pregnancy recognition signal. Am.J.Reprod.Immunol. 1977; 37 : 412 -420. Del Vecchio,R.P.; Sasser, R.G. and Randel, R.D. 1990. Effect of pregnancy specific protein B on prostaglandin F2α and prostaglandin E2 release by day 16 perifused bovine endometrial tissue. Prostaglandin. 40 : 271. Del Vecchio,R.P; Sutherland,W.D. and Sasser, R.G. 1995. Effect of pregnancy specific protein B on luteal cell progesterone, prostaglandin and oxytocin production during two stages of the bovine estrous cycle. J.Anim.Sci. 73 : 2662. Engeland, I.V.;Ropstad,E.;Andresen, O. And Eik,L.O. 1997. Pregnancy diagnosis in dairy goats using progesteron assay. Anim. Reprod.Sci.47 : 237 – 243. Flint, A.P.F. 1995. Interferon, the oxytocin receptor and the maternal recognition of pregnancy in ruminants and nonruminants : a comparative approach. Reprod. Fert.Dev. 7 : 313. Garret, J.E.; Geisert, R.D.; Zavy, M.T. and Morgan, G.L. 1988. Evidence for maternal regulation of early conceptus growth and development in beef cattle. J. Reprod. Fert. 84 : 437. Geisert,R.D. and Malayer, J.R. 2000. Implantation, dalam Hafez, E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Gross, T.S.; Thatcher, W.W.; Hansen, P.J.; Johnson, J.W. and Helmer, S.D. 1988. Presence of an intracellular endometrial inhibitr of prostaglandin synthesis during early pregnancy in the cow. Prostaglandins 1988;35: 359 – 378. Hafez, E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Helmer, S.D; Hansen, P.J;Anthony, R.V.; Thatcher, W.W.; Bazer,F.W. and Roberts,R.M. 1987. Identification of bovine trophoblast protein-1, a secretory protein immunologically relatd to ovine trophoblast protein-1. Endocrinology.132:1869. Helmer, S.D.; Gross, T.S.; Newton, G.R.; Hansen, P.J. and Thatcher, W.W. 1989. Bovine trophoblast protein-1 complex alters endometrial protein and prostaglandin secretion and induces an intracellular inhibitor of prostaglandin synthesis in vitro. J.Reprod.Fertil 1989; 87 : 421 – 430.
22
Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Kaul V. and Prakash, B.S. 1994. Accuracy of pregnancy/no pregnancy diagnosis in zebu and crossbred cattle and Murrah buffaloes by milk progesterone determination post insemination. Trop. Anim. Health Prod. 26 : 187 – 192. Kerbler, T.L.;Buhr, M.M; Jordan, L.T.; Leslie,K.E. and alton, J.S. 1997. Relationship between maternal plasma progesterone concentration and interferon-tau synthesis by the conceptus in cattle. Theriogenology 47 : 703. Martal, J.; Chene,N.; Camous, S.; Huynh, L.;Lantier,F.;Hermier,P.;Hairdon,R.L.;Charpigny,G.;Charlier,M.and Chaouat,G. 1997.Recent development and potentialities for reducing embryo mortality in ruminants : the role of IFN- λ and other cytokines in early pregnancy. Reprod.Fertil.Dev.9:355. Mauer, R.R and Echternkamp,S.E. 1982. Hormonal asynchrony and embryonic development. Theriogenolgy 17 : 11. Mialon, M.M.; Renand, G.; Camous, S.; Martal, J. and Menissier, F. 1994. Detection of pregnancy by radioimmunoassay of a pregnancy srum protein (PSP60) in cattle.eprod. Nutr. Dev. 1994;34: 65 – 72. Robinson,R.S.; Mann,G.E.; Lamming, G.E. andWathes, D.C. 1999. The effect of pregnancy on expression of uterin oxytocin, estrogen and progesterone receptors during early pregnancy in the cow. Journal of Endocrinology. 160 : 21 – 33. Saser,R.G.;Ruder,C.A.;Ivani,K.A.;Butler,J.E. and Hamilton,W.C. 1986. Detection of pregnancy by radioimmunoassay of a novel pregnancy-specific protein serum of cows and a profile of serum concentrations during gestation. Biol.Reprod. 1986;35: 936 – 942. Staples, C.R.;Burke, J.M. and Thatcher, W.W. 1998. Influence of supplemental fats on reproductive tissue and performance of lactating cows. J.Dairy Sci. 1998; 81 : 856 – 871. Thatcher, W.W.; Bazer, F.W.; Sharp, D.C. and Robert, R.M. 1986. Interrelationships between uterus and conceptus to maintain corpus luteum function in early pregnancy : sheep, cattle, pigs and horses. Journal of An. Sci. 62 ( Suppl 2):25 – 46. Thatcher, W.W.; Meyer, M.D. and Danet-Desnoyers,G. 1995. Maternal recognition of pregnancy. J.Reprod.Fertil. 1995 ; 49 (Suppl): 15 – 28.
23