UNIVERSITAS INDONESIA
MERUMUSKAN LEARNING ORGANIZATION MELALUI ANALISIS BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DAN BUDAYA ORGANISASI DI RS.MASMITRA
TESIS
MIRA PUSPITASARI 1306352420
PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya tesis dengan judul “MERUMUSKAN LEARNING ORGANIZATION MELALUI ANALISIS BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DAN BUDAYA ORGANISASI DI RS.MASMITRA” dapat terselesaikan. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr.Adik Wibowo, MPH selaku Pembimbing Akademik yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya dalam membimbing dan memberikan arahan untuk penyelesaian tesis ini serta dukungan semangat yang tiada henti. Selain itu penulis mengucapkan beribu terima kasih kepada: 1. dr. Agustin Kusumayanti, MSc, PhD selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2. Dr. Dra. Dumilah Ayunigtyas, MARS selaku Ketua Program Studi KARS yang telah memberikan bimbingan dan arahan. 3. Dr.Suprijanto Rijadi, MPA, PhD, Prof. dr. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH dan dr.Irwan Heriyanto, MARS selaku tim penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang bermanfaat bagi tesis ini. 4. dr. Gardjito Sipan, SpU selaku Direktur Utama RS.Masmitra yang telah mengijinkan dan mendukung penulis dalam melaksanakan penelitian. 5. Seluruh jajaran manajemen RS.Masmitra yang telah bersedia terlibat aktif dalam proses penelitian ini serta seluruh staf yang telah turut berpartisipasi. i
Universitas Indonesia
6. Kedua orangtua dan mertua tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan dalam segala hal dan mendorong penulis untuk berhasil dalam pendidikan. 7. Suami dan anak tercinta atas seluruh perhatian, dukungan, do’a dan pengertian serta pengorbanan yang tak ternilai dikarenakan kesibukan selama menyelesaikan program S-2 ini. 8. Seluruh staf akademik dan administrasi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia atas segala bantuannya selama masa pendidikan. 9. Rekan-rekan seperjuangan program studi Kajian Administrasi Rumah Sakit 2013 yang telah memberikan dukungan, semangat dan kerjasamanya sepanjang masa perkuliahan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, Januari 2015 Penulis
Mira Puspitasari
ii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Mira Puspitasari Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit - Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Merumuskan Learning Organization Melalui Analisis Budaya Keselamatan Pasien Dan Budaya Organisasi Di RS.Masmitra Langkah awal membangun keselamatan pasien adalah melakukan penilaian terhadap budaya keselamatan pasien yang mana diperlukan pengkajian budaya organisasi sebagai panduan dalam menerapkan keselamatan pasien. Penelitian deskriptif dengan metode kuantitatif potong lintang dilanjutkan metode kualitatif ini bertujuan mengukur budaya keselamatan pasien, mengidentifikasi profil budaya organisasi dan merumuskan learning organization untuk membangun keselamatan pasien di RS.Masmitra. Budaya Hierarchy didapati sebagai budaya organisasi yang dominan saat ini di RS.Masmitra yang membutuhkan manajemen pengetahuan dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian budaya keselamatan pasien yang menyatakan dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan merupakan budaya terlemah di RS.Masmitra. Oleh karena itu, perumusan learning organization sangatlah tepat untuk membangun keselamatan pasien di RS.Masmitra. Kata kunci : budaya keselamatan pasien, budaya Hierarchy
iii
Universitas Indonesia
ABSTRACT Mira Puspitasari Hospital Administration Study Program, Faculty of Public Health, University of Indonesia Formulating Learning Organization Through Analysis of Patient Safety Culture and Organizational Culture In Masmitra Hospital The initial step to build patient safety is by conducting assessment to the existing patient safety culture where assessment of organizational culture shall become guidance in patient safety implementation. Descriptive study with cross-sectional quantitative method followed by qualitative method aims to measure patient safety culture, identify organizational culture profile and formulates learning organization to develop patient safety in Masmitra hospital. Hierarchy culture has been found as the dominant organizational culture exists in Masmitra hospital which requires knowledge management in an effort to transform the culture of patient safety. This is in line with the research result which explains dimensions of organizational learning and continuous improvement is the weakest culture in Masmitra hospital. Therefore, formulation of a learning organization is appropriate to develop patient safety in Masmitra hospital.
Keywords: patient safety culture, Hierarchy culture
iv
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………… ABSTRAK…………………………………………………………. DAFTAR ISI………………………………………………………... DAFTAR TABEL…………………………………………………... DAFTAR GAMBAR……………………………………………….. DAFTAR GRAFIK…………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………... 1
2
3
i iii v viii xi xii xiii
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang………………………………………………... 1.2 Rumusan masalah……………………………………………. 1.3 Pertanyaan penelitian………………………………………… 1.4 Tujuan penelitian…………………………………………….. 1.4.1 Tujuan umum………………………………………….. 1.4.2 Tujuan khusus…………………………………………. 1.5 Manfaat penelitian…………………………………………… 1.6 Ruang lingkup penelitian……………………………………..
1 10 10 11 11 11 11 12
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan pasien (Patient Safety)…………………………. 2.2 Konsep budaya……………………………………………….. 2.3 Budaya keselamatan………………………………………….. 2.4 Budaya keselamatan pasien………………………………….. 2.4.1 Pengertian budaya keselamatan pasien………………... 2.4.2 Dimensi budaya keselamatan pasien………………….. 2.4.3 Pengukuran budaya keselamatan pasien………………. 2.5 Budaya organisasi……………………………………………. 2.5.1 Pengertian organisasi………………………………….. 2.5.2 Pengertian budaya organisasi…………………………. 2.5.3 Analisis budaya organisasi……………………………. 2.6 Budaya keselamatan pasien bagian dari budaya organisasi….. 2.7 Konsep learning organization (organisasi pembelajar)……… 2.8 Kesimpulan tinjauan pustaka…………………………………
13 18 19 21 21 23 28 30 30 31 32 36 38 41
GAMBARAN UMUM RS.MASMITRA 3.1 Sejarah RS.Masmitra………………………………………… 3.2 Visi, misi, motto dan nilai yang dimiliki RS.Masmitra…….... 3.2.1 Visi…………………………………………………….. 3.2.2 Misi……………………………………………………. 3.2.3 Motto…………………………………………………... 3.2.4 Nilai yang dimiliki…………………………………….. 3.3 Profil rumah sakit……………………………………………..
42 43 43 43 43 43 43
v
Universitas Indonesia
3.4 Jenis pelayanan………………………………………………. 3.4.1 Fasilitas pelayanan…………………………………….. 3.4.2 Sarana dan prasarana…………………………………... 3.5 Struktur organisasi RS.Masmitra…………………………….. 3.6 Gambaran ketenagaan RS.Masmitra…………………………. 3.7 Indikator pelayanan RS.Masmitra……………………………
44 44 45 47 48 49
4
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 4.1 Kerangka teori budaya keselamatan pasien………………….. 51 4.2 Kerangka teori budaya organisasi……………………………. 52 4.3 Kerangka teori learning organization (organisasi pembelajar) 53 4.4 Kerangka konsep penelitian………………………………….. 54 4.5 Definisi operasional dimensi budaya keselamatan pasien…… 55 4.6 Definisi operasional komponen budaya organisasi………….. 57 4.7 Definisi operasional langkah-langkah merumuskan Learning 58 Organization model Marquardt………………………………
5
METODOLOGI PENELITIAN 5.1 Desain penelitian……………………………………………... 5.2 Waktu dan lokasi penelitian………………………………….. 5.3 Metode kuantitatif……………………………………………. 5.3.1 Populasi, sampel, kriteria inklusi dan kriteria eksklusi... 5.3.2 Teknik pengumpulan data metode kuantitatif…………. 5.3.3 Instrumen metode kuantitatif………………………….. 5.3.4 Pengolahan data metode kuantitatif…………………… 5.3.5 Uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner…………….. 5.3.6 Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner…………... 5.3.7 Analisis data metode kuantitatif……………………….. 5.4 Metode kualitatif……………………………………………... 5.4.1 Informan metode kualitatif……………………………. 5.4.2 Teknik pengumpulan data pada metode kualitatif…….. 5.4.3 Instrumen metode kualitatif…………………………… 5.4.4 Validitas data metode kualitatif……………………….. 5.4.5 Analisis data metode kualitatif………………………… 5.5 Etika penelitian……………………………………………….
60 60 60 60 62 63 64 65 66 69 69 70 71 71 71 71 72
HASIL PENELITIAN 6.1 Hasil penelitian budaya keselamatan pasien…………………. 6.1.1 Karakteristik responden……………………………….. 6.1.2 Dimensi budaya keselamatan pasien………………….. 6.1.2.1 Budaya keterbukaan…………………………………. 6.1.2.2 Budaya keadilan……………………………………... 6.1.2.3 Budaya pelaporan……………………………………. 6.1.2.4 Budaya belajar……………………………………….
73 73 74 74 78 79 81
6
vi
Universitas Indonesia
6.1.2.5 Budaya informasi……………………………………. 6.1.3 Dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan kategori profesi………………………………………………. 6.1.3.1 Budaya keterbukaan…………………………………. 6.1.3.2 Budaya keadilan……………………………………... 6.1.3.3 Budaya pelaporan……………………………………. 6.1.3.4 Budaya belajar………………………………………. 6.1.3.5 Budaya informasi……………………………………. 6.2 Hasil penelitian budaya organisasi…………………………… 6.2.1 Komponen budaya organisasi RS.Masmitra…………... 6.2.1.1 Karakteristik dominan……………………………….. 6.2.1.2 Kepemimpinan organisasi…………………………… 6.2.1.3 Manajemen karyawan……………………………….. 6.2.1.4 Perekat organisasi…………………………………… 6.2.1.5 Penekanan strategis………………………………….. 6.2.1.6 Kriteria keberhasilan………………………………… 6.2.2 Tipe budaya organisasi RS.Masmitra…………………. 6.3 Langkah-langkah transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy melalui Focus Group Discussion (FGD)………………………………………………………… 7
8
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 7.1 Interpretasi hasil penelitian…………………………………... 7.1.1 Dimensi budaya keselamatan pasien………………….. 7.1.1.1 Budaya keterbukaan…………………………………. 7.1.1.2 Budaya keadilan……………………………………... 7.1.1.3 Budaya pelaporan……………………………………. 7.1.1.4 Budaya belajar………………………………………. 7.1.1.5 Budaya informasi……………………………………. 7.1.2 Tipe budaya organisasi Hierarchy……………………….. 7.2 Perumusan learning organization dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy untuk membangun sistem keselamatan pasien di RS.Masmitra………………………………………………….
83 85 85 89 90 92 94 98 99 99 100 101 102 103 104 105 107
115 115 119 128 133 137 143 147 152
KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan…………………………………………………... 8.2 Saran………………………………………………………….
161 163
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….
166
vii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 6.6 Tabel 6.7 Tabel 6.8 Tabel 6.9 Tabel 6.10 Tabel 6.11 Tabel 6.12 Tabel 6.13 Tabel 6.14 Tabel 6.15
Data insiden keselamatan pasien yang tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012, 2013………………. Tipe budaya organisasi………………………………. Profil budaya organisasi……………………………... Gambaran ketenagaan RS.Masmitra………………… Definisi operasional dimensi budaya keselamatan pasien………………………………………………… Definisi operasional komponen budaya organisasi….. Definisi operasional langkah-langkah merumuskan Learning Organization model Marquardt…………… Jumlah sampel tenaga klinis…………………………. Penilaian butir pernyataan kuesioner budaya keselamatan pasien…………………………………... Variabel dan pernyataan valid dan reliabel………….. Daftar informan penelitian kualitatif………………… Karakteristik responden……………………………… Dimensi keterbukaan komunikasi…………………… Dimensi kerjasama dalam unit ……………………… Dimensi kerjasama antar unit ……………………….. Dimensi persepsi keseluruhan tentang KP…………... Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya KP…. Dimensi staffing………………………………………….. Dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan…… Dimensi frekuensi pelaporan kejadian………………. Dimensi jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir………………………………………… Dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan………………………………………… Dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi KP……………… Dimensi patient safety grade…………………………… Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien…………………………………... Dimensi serah terima dan transisi…………………… viii
Universitas Indonesia
halaman 9 33 35 48 55 57 58 61 64 68 70 73 75 75 76 77 77 78 79 80 80 81 82 83 83 84
Tabel 6.16 Tabel 6.17 Tabel 6.18 Tabel 6.19 Tabel 6.20 Tabel 6.21 Tabel 6.22 Tabel 6.23 Tabel 6.24 Tabel 6.25 Tabel 6.26
Tabel 6.27 Tabel 6.28 Tabel 6.29 Tabel 6.30 Tabel 6.31 Tabel 6.32 Tabel 6.33 Tabel 6.34 Tabel 6.35 Tabel 6.36 Tabel 6.37
Dimensi keterbukaan komunikasi berdasarkan profesi Dimensi kerjasama dalam unit berdasarkan profesi…. Dimensi kerjasama antar unit berdasarkan profesi….. Dimensi persepsi keseluruhan tentang KP berdasarkan profesi………………………………….. Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya KP berdasarkan profesi………………………………….. Dimensi staffing berdasarkan profesi………………... Dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan berdasarkan profesi………………………………….. Dimensi frekuensi pelaporan kejadian berdasarkan profesi………………………………………………… Dimensi jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir berdasarkan profesi …………………... Dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan berdasarkan profesi…………………… Dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi KP berdasarkan profesi………………………………………………… Dimensi patient safety grade berdasarkan profesi…… Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang insiden KP berdasarkan profesi………………………………. Dimensi serah terima dan transisi berdasarkan profesi Rangkuman persepsi budaya keselamatan pasien berdasarkan profesi………………………………….. Rangkuman persepsi budaya kurang berdasarkan persepsi………………………………………………. Skor rata-rata OCAI pada komponen karakteristik dominan……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen kepemimpinan organisasi…………………………………………….. Skor rata-rata OCAI pada komponen manajemen karyawan……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen perekat organisasi……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen penekanan strategis………………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen kriteris keberhasilan……………………………………………. ix
Universitas Indonesia
86 86 87 88 88 89 90 90 91 92 93
93 94 95 95 97 99 100 101 102 103 104
Tabel 6.38 Tabel 6.39 Tabel 6.40
Skor rata-rata OCAI RS.Masmitra…………………….. Karakteristik informan Focus Group Discussion............ Langkah-langkah untuk mencapai kesuksesan learning organization menurut model System Learning Organization dari Marquardt…………………………..
x
Universitas Indonesia
105 108 158
DAFTAR GAMBAR halaman
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 7.1
Tingkatan budaya Schein……………………………. Komponen dan tingkatan intervensi organisasi……... Karakter tipe budaya organisasi…………………….. Konsep budaya keselamatan (Safety culture) dalam budaya organisasi……………………………………. Subsystem learning organization………………………. Struktur organisasi RS.Masmitra……………………. BOR (Bed Occupancy Rate) RS.Masmitra tahun 2011, 2012, 2013 ……………………………………. ALOS (Average Length of Stay) RS.Masmitra tahun 2011, 2012, 2013…………………………………….. TOI (Turn Over Interval) RS.Masmitra tahun 2011, 2012, 2013…………………………………………… Kerangka teori budaya keselamatan pasien…………. Kerangka teori budaya organisasi…………………… Kerangka teori learning organization…………………. Kerangka konsep penelitian…………………………. Skor rata-rata OCAI pada komponen karakteristik dominan……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen kepemimpinan organisasi……………………………………………. Skor rata-rata OCAI pada komponen manajemen karyawan……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen perekat organisasi……………………………………………… Skor rata-rata OCAI pada komponen penekanan strategis……………………………………………….. Skor rata-rata OCAI pada komponen kriteria keberhasilan…………………………………………… Tipe budaya organisasi RS.Masmitra………………… Tipe budaya organisasi ……………………………….
xi
Universitas Indonesia
19 31 33 36 40 47 49 49 50 51 52 53 54 100 101 102 103 104 105 106 149
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1
Insiden keselamatan pasien yang tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013………………………………..
Garfik 6.1
Rangkuman dimensi budaya keselamatan pasien…………
xii
Universitas Indonesia
halaman 9 85
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Lembar Informed Consent Persetujuan sebagai responden Kuesioner budaya keselamatan pasien rumah sakit Kuesioner budaya organisasi Pedoman Pelaksanaan Focus Group Discussion
xiii
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tidak ada satupun
dokter atau
petugas
kesehatan
yang
ingin
mencelakakan pasiennya. Oleh karena itu, keselamatan pasien (Patient Safety) menjadi isu penting dan terus menerus disosialisasikan dalam lingkungan pelayanan kesehatan. Isu global ini didukung oleh makin maraknya tuntutan terhadap pelayanan rumah sakit yang berbasis keamanan/keselamatan
pasien
yang
tinggi,
yang
pada
akhirnya
mempertaruhkan citra rumah sakit sendiri. Pada tahun 2000, Institute of Medicine (IOM) mempublikasikan laporan yang sangat mengejutkan dunia kesehatan : ”TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System”. Laporan tersebut menjelaskan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event) sebesar 2,9% dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York, KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun (Depkes RI, 2006). Angka ini lebih besar dibandingkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas per tahun di Amerika dan tiga kali lebih besar dibandingkan angka kematian akibat hancurnya menara WTC (Weingart et al, 2000). Publikasi WHO pada tahun 2004 juga menyatakan adverse event dengan rentang 3,2-16,6% pada rumah sakit di berbagai negara, yaitu : Amerika, 1
Universitas Indonesia
2
Inggris, Denmark dan Australia. Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004 WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit (Depkes RI, 2006). Laporan tersebut menyadarkan banyak pihak, mulai dari masyarakat umum, penyedia jasa kesehatan maupun stakeholders dalam pelayanan kesehatan untuk segera mengambil tindakan dalam meminimalkan terjadinya kesalahan serta dengan segera menyusun rencana perubahan dalam sistem pelayanan agar mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Berdasarkan laporan tersebut, banyak usaha menurunkan angka kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien dengan fokus pada individu bukan pada sistem atau proses (Woodhouse et al, 2004). Di Indonesia, laporan insiden keselamatan pasien berdasarkan provinsi pada tahun 2007 dilaporkan provinsi DKI Jakarta menempati urutan tertinggi yaitu 37,9% diantara delapan provinsi lainnya (Jawa Tengah 15,9%, D.I.Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur 11,7%, Sumatra Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Aceh 1,07% dan Sulawesi Selatan 0,7%) (KKP-RS, 2008). Data tentang KTD diatas menurut Depkes RI (2006) belum terlalu mewakili KTD yang sebenarnya di Indonesia. Data statistik nasional mengenai KTD di Indonesia belum ada namun berdasarkan penelitian-penelitian yang ada dan kasus-kasus yang terjadi, jumlah KTD dapat diperkirakan relatif tinggi (Budiharjo, 2008). Rumah sakit (RS) merupakan tempat yang sangat kompleks, terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus, dimana keberagaman dan
Universitas Indonesia
3
kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD (Depkes RI, 2006). Yang mana KTD dapat mengakibatkan terjadinya injury atau kematian pada pasien. Mempertimbangkan misi RS untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien, mengharuskan RS untuk berusaha mengurangi medical error. Maka dikembangkan sistem keselamatan pasien yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan di RS berhubungan erat dengan mutu dan citra rumah sakit. Keselamatan pasien adalah salah satu komponen kritis dari mutu pelayanan kesehatan. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman (Depkes RI, 2006). Peningkatan mutu dan keselamatan pasien memerlukan kerja tim yang solid yang merupakan praktik kolaboratif antara komunikasi yang efektif, penyelesaian tugas dan hasil yang akurat serta perumusan tanggungjawab yang jelas. Pemahaman yang realistis terhadap risiko yang melekat pada dunia kedokteran modern memerlukan kemampuan professional untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam mengadopsi pendekatan sistem yang proaktif untuk keselamatan dan dijalankan dengan tanggung jawab professional (WHO Patient Safety Curiculum, 2011). Meskipun manusia adalah penyebab utama terjadinya kesalahan namun unsur menyalahkan bukanlah cara yang efektif untuk meningkatkan keselamatan pasien (IOM, 2000). Dalam upaya meminimalisir terjadinya medical error atau KTD yang terkait dengan aspek keselamatan pasien, manajemen RS perlu menciptakan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut dikarenakan banyak rumah sakit yang mengaplikasikan sistem
Universitas Indonesia
4
keselamatan yang baik, tetapi pada kenyataannya KTD tetap terjadi. Meskipun pada umumnya jika sistem dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya maka KTD dapat ditekan sekecil-kecilnya, namun fakta menunjukkan bahwa sistem tidak dapat berjalan secara optimal jika kompetensi dan nilai-nilai atau budaya yang ada tidak mendukung (Budihardjo, 2008). Terkait dengan upaya-upaya keselamatan pasien untuk menekan angka KTD di RS, diyakini bahwa upaya menciptakan/membangun budaya keselamatan (safety culture) merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya mencapai keselamatan pasien. Sebagaimana tercantum dalam langkah pertama dari konsep “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” di Indonesia yaitu “Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil”. Menurut Cahyono (2008) hambatan yang paling berat dalam penerapan keselamatan pasien adalah bagaimana menciptakan safety culture sebagai fondasi program keselamatan pasien. Institute of Medicine (IOM) melaporkan bahwa safety culture yang kuat berpotensi untuk meminimalkan kesalahan medis. Agency for Health Research
and
Quality/AHRQ
(2011)
mengatakan
bahwa
untuk
membangun keselamatan pasien, harus ada lingkungan atau budaya yang memungkinkan para profesi di RS untuk berbagi informasi mengenai masalah-masalah keselamatan pasien kemudian melakukan tindakan untuk perbaikan. Permulaan dari proses pengembangan program keselamatan pasien adalah melakukan penilaian terhadap budaya keselamatan pasien. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang
akan
dikembangkan,
evaluasi
program,
untuk
membuat
Universitas Indonesia
5
perbandingan secara internal maupun eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan (Nieva, 2003). Dengan demikian, budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai bagian dari aspek budaya organisasi, dalam hal ini organisasi manajemen RS. Budaya tersebut dianggap sebagai sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien juga membentuk persepsi dokter dan staf mengenai perilaku yang normal terkait keselamatan pasien di wilayah kerja mereka (Weaver et al, 2013). Dari literatur diketahui perlunya mengidentifikasi budaya organisasi dalam mengelola manajemen rumah sakit terutama dalam meningkatkan kinerja karyawan untuk menjawab tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien. Speroff et al (2010) menemukan hubungan antara budaya organisasi dengan keselamatan pasien di rumah sakit, bahwa rumah sakit dengan tipe budaya Clan mempunyai iklim keselamatan yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan rumah sakit dengan budaya Hierarchy. Menurut Singer et al (2009), orientasi pada fleksibilitas yang merupakan ciri dari budaya Clan dan budaya Adhocracy berdampak langsung terhadap keselamatan pasien, sebaliknya untuk budaya Hierarchy dan budaya Market dengan orientasi kontrolnya, berdampak tidak langsung terhadap keselamatan pasien dimana dibutuhkan manajemen pengetahuan (proses belajar) terhadap budaya keselamatan pasien dalam mewujudkannya. Menurut Ramanujam et al (2005), dalam merespon kebutuhan terhadap peningkatan keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus membangun strategi untuk menciptakan learning organization dimana
Universitas Indonesia
6
setiap partisipan yang ada dalam proses pelayanan, terlibat dalam pembelajaran yang kontinu. Penerapan strategi ini mensyaratkan beberapa perubahan : melakukan desain ulang proses kerja agar kesalahankesalahan lebih bisa terlihat, memberikan insentif bagi praktisi yang memberikan informasi tentang kesalahan, menciptakan situasi informal di mana orang merasa aman secara psikologis dalam membicarakan kesalahan-kesalahan mereka dan mendapatkan bantuan satu sama lain serta membangun sistem informasi yang memfasilitasi penyimpanan informasi, penelusuran dan pengkajiannya. Dalam pengertian ini, tantangan dalam keselamatan pasien lebih banyak bersifat organisasi sebagaimana tantangannya dari sisi klinis. Di lingkup organisasi layanan kesehatan, penelitian tentang budaya keselamatan pasien adalah suatu area penelitian yang sedang tumbuh pesat. Di Indonesia sendiri belum banyak institusi pelayanan kesehatan yang melakukan pengkajian budaya keselamatan pasien apalagi yang dikaitkan dengan budaya organisasi. Adalah penelitian yang dilakukan oleh Iriviranty, A (2014) pada sebuah RS ibu dan anak yang mengkaitkan budaya keselamatan pasien dengan budaya organisasi. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa budaya organisasi tipe clan menekankan kolaborasi dengan strategi mutu yang digunakan sebagai acuan untuk perencanaan langkah-langkah pengembangan keselamatan pasien. Sementara sedikit peneliti lainnya melakukan analisa dari dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hamdani, S (2007) pada salah satu RS menjelaskan bahwa dimensi kerjasama dalam unit, dimensi komunikasi tentang kesalahan dan dimensi kerjasama antar unit adalah membudaya kuat. Sementara dimensi staffing, frekuensi pelaporan kejadian dan dimensi respon non punitive untuk kesalahan
Universitas Indonesia
7
adalah membudaya rendah. Sedangkan dimensi budaya keselamatan pasien lainnya adalah membudaya sedang (Hamdani S, 2007). Dalam kaitannya dengan isu keselamatan pasien yang kini menjadi isu aktual di institusi pelayanan kesehatan, peneliti melakukan studi eksplorasi dan wawancara informal di RS.Masmitra. Berdasarkan wawancara informal dengan perwakilan manajemen, dirasakan inisiatif manajemen RS.Masmitra cukup baik dalam merespon hal keselamatan pasien. Ini dapat terlihat dari beberapa kali pengiriman perawat untuk mengikuti pelatihan bertema keselamatan pasien. Adapun hasil wawancara informal dengan perawat rawat inap dan beberapa dokter didapat bahwa di RS.Masmitra telah beberapa kali terjadi insiden keselamatan pasien di ruang rawat inap. Sebagian besar faktor yang berperan adalah lemahnya beberapa bagian dari dimensi budaya keselamatan pasien, seperti masalah komunikasi antar staf, masalah proses serah terima pasien, kurangnya supervisi ataupun masalah dalam hal pengaturan staf. Bahkan beberapa kali terjadi kasus sentinel yang menguras perhatian manajemen karena harus menghadapi ancaman tuntutan hukum dan pemberitaan di media massa. Tentu saja hal ini dapat berdampak pada citra dan reputasi rumah sakit di mata masyarakat. Terjadinya insiden tersebut mengindikasikan upaya keselamatan pasien di RS.Masmitra belum berjalan baik. Pengkajian budaya keselamatan pasien dapat merupakan langkah awal yang sangat penting dalam upaya menerapkan keselamatan pasien, dimana diharapkan hasil dari pengkajian ini dapat menjadi dasar penerapan perbaikan mutu dan keselamatan pasien di RS.Masmitra. Konsep learning organization merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan program keselamatan pasien. Dengan adanya konsep learning organization yang baik maka diharapkan akan
Universitas Indonesia
8
terjadi
perbaikan
yang
berkelanjutan
sehingga
tercipta
budaya
keselamatan pasien yang baik. Yang mana sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan keselamatan pasien dalam rangka rencana akreditasi tahun 2015 di RS.Masmitra. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang no.44 tahun 2009 tentang RS, yang mewajibkan akreditasi yang berfokus pada keselamatan pasien. RS.Masmitra adalah rumah sakit swasta tipe D yang memiliki kapasitas 63 tempat tidur, yang terdiri dari SVIP, VIP, kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Tenaga klinis yang berkolaborasi memberikan asuhan pada pasien terdiri dari tenaga medis (dokter umum dan dokter spesialis), tenaga keperawatan (perawat dan bidan) serta tenaga penunjang medis (staf farmasi, staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi dan ahli gizi) yang beberapa diantaranya telah mengikuti pelatihan bertema keselamatan pasien. Sesuai program kerja RS.Masmitra, yang direncanakan akan mengikuti akreditasi pada tahun 2015, dengan demikian sangat perlu untuk segera menata standard pelayanan berbasis keselamatan pasien sesuai persyaratan akreditasi. Dengan semakin luasnya cakupan pelayanan dan melihat terus meningkatnya angka perawatan di RS.Masmitra, maka tuntutan dalam menjamin keselamatan pasien dan memberikan pelayanan yang bebas dari kesalahan pun makin besar. Dari notulen morning report 3 tahun terakhir (tahun 2011, tahun 2012 dan tahun 2013) didapat data KTD yang menunjukkan tren yang makin meningkat ditambah lagi beberapa insiden yang tidak tercatat ataupun terabaikan sehingga hal ini merupakan masalah yang harus segera diatasi.
Universitas Indonesia
9
Tabel 1.1. Data Insiden Keselamatan Pasien yang tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013 KESALAHAN
KESALAHAN
TAHUN
PASIEN JATUH PENGAMBILAN DARAH PEMBERIAN OBAT
2011
1
2
1
2012
2
4
1
2013
6
7
1
Sumber : buku laporan morning report
Grafik 1.1. Insiden Keselamatan Pasien yang tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013 Sumber : buku laporan morning report
Dari uraian di atas, maka alternatif langkah pertama yang mendasar dalam upaya menerapkan standar pelayanan berbasis keselamatan pasien di RS.Masmitra adalah mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien yang ada dan mengidentifikasi profil budaya organisasi yang dianut kemudian menyusun strategi organisasi untuk menerapkan keselamatan pasien melalui perumusan learning organization. Langkah ini dirasakan perlu dilakukan karena tantangan utama untuk memperbaiki keselamatan pasien adalah mencapai adanya suatu perubahan budaya (Sandars&Cook, 2007) dan untuk dapat mendukung upaya transformasi tersebut diperlukan sebuah konsep learning organization (Thomsen&Hoest, 2001).
Universitas Indonesia
10
1.2
Rumusan Masalah
Semakin luasnya cakupan pelayanan dan terus meningkatnya angka perawatan di RS.Masmitra maka tuntutan dalam menjamin keselamatan pasien dan memberikan pelayanan yang bebas dari kesalahan pun semakin besar. Hal tersebut didukung dengan makin meningkatnya data insiden keselamatan pasien di RS.Masmitra baik yang tercatat maupun yang terabaikan sehingga segera menerapkan standard keselamatan pasien yang juga merupakan salah satu persyaratan akreditasi merupakan masalah yang harus segera diatasi. Membangun budaya keselamatan pasien merupakan langkah pertama dan sebagai fondasi dalam penerapan keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai bagian dari aspek budaya organisasi yaitu sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait dengan keselamatan pasien. Untuk dapat mendukung upaya transformasi tersebut perlu diciptakan sebuah konsep learning organization. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah belum diketahuinya gambaran budaya keselamatan pasien dan gambaran budaya organisasi sebagai dasar penerapan keselamatan pasien melalui perumusan learning organization di RS.Masmitra. 1.3
Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran budaya keselamatan pasien RS.Masmitra?
Bagaimana gambaran budaya organisasi RS.Masmitra?
Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk mentransformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut?
Universitas Indonesia
11
Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk merumuskan learning organization?
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum
Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dan gambaran budaya organisasi serta menentukan langkah-langkah transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut RS.Masmitra melalui perumusan learning organization. 1.4.2
Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi budaya keselamatan pasien RS.Masmitra b. Mengidentifikasi budaya organisasi RS.Masmitra c. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien antar profesi tenaga
klinis
yang
memberikan
asuhan
pada
pasien
di
RS.Masmitra d. Menentukan langkah-langkah transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut RS.Masmitra e. Menentukan
langkah-langkah
untuk
merumuskan
learning
organization dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut untuk membangun sistem keselamatan pasien di RS.Masmitra 1.5
Manfaat Penelitian
Bagi rumah sakit : analisis budaya keselamatan pasien menjadi budaya organisasi sebagai dasar penerapan keselamatan pasien dengan merumuskan learning organization dapat menjadi langkah awal dalam proses identifikasi, evaluasi maupun sebagai dasar pembuatan kebijakan program keselamatan pasien di RS.Masmitra.
Universitas Indonesia
12
Bagi peneliti : hasil penelitian ini bermanfaat sebagai acuan dan juga dapat menambah dan memperkaya wawasan peneliti dalam menerapkan program keselamatan pasien di RS tempat peneliti bekerja.
Bagi peneliti lain : hasil penelitian dapat bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan ataupun sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di RS.Masmitra sejak bulan Agustus sampai dengan September 2014 dengan melakukan survei pada tenaga klinis yang memberikan asuhan pada pasien di RS.Masmitra yang telah bekerja ≥ 1 tahun sebagai karyawan ataupun sebagai mitra kerja (untuk mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien). Dan untuk mengetahui gambaran budaya organisasi, peneliti melakukan survei pada responden yang sama ditambah dengan pimpinan di tingkat direksi, owner, manajer dan kepala unit yang telah bekerja > 1 tahun. Dilanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD) untuk menyusun langkah-langkah dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut. Kemudian perumusan learning organization dalam upaya transformasi tersebut untuk membangun sistem keselamatan pasien di RS.Masmitra. Penelitian didahului dengan wawancara informal dan studi eksplorasi dengan perawat dan beberapa dokter sebagai pengumpulan data dasar dan melakukan uji kuesioner.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur serta jumlah pasien dan staf RS yang cukup besar merupakan hal potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical error). Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2006). Safety adalah bebas dari kejadian cedera. Menurut WHO (2009) menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk melindungi pasien dari kerugian karena efek pelayanan kesehatan. The National Patient Safety Foundation
mendefinisikan
bahwa
patient
safety
adalah
upaya
menghindarkan, mencegah dan perbaikan dari kasus adverse outcome atau perlukaan yang disebabkan oleh proses layanan kesehatan.
13
Universitas Indonesia
14
Menurut IOM keselamatan pasien adalah mengutamakan sistem pemberian perawatan yang mencegah kesalahan (pencegahan kerugian pada pasien), belajar dari kesalahan yang terjadi, membangun budaya keselamatan yang melibatkan para profesional tenaga kesehatan, manajemen dan pasien. Sedangkan menurut AHRQ keselamatan pasien didefinisikan sebagai pencegahan bahaya yaitu bebas dari kecelakaan atau hasil dari perawatan medis. Definisi keselamatan pasien menurut KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) adalah bebasnya pasien dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial/psikologis, cacat, kematian, dan lain-lain) terkait dengan pelayanan kesehatan. KKP-RS PERSI mendefinisikan KTD (adverse event) adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommission). Sedangkan Kejadian Nyaris
Cedera
(nearmiss)
merupakan
suatu
kesalahan
akibat
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommission) yang dapat mencederai pasien tetapi cedera serius tidak terjadi, yang disebabkan karena keberuntungan, pencegahan atau peringanan. Menurut IOM, ada lima prinsip untuk merancang safety system di organisasi kesehatan, yaitu : (Kohn et al, 2000) Prinsip 1 : provide leadership yang meliputi :
Menjadikan patient safety sebagai tujuan utama/prioritas
Menjadikan patient safety sebagai tanggungjawab bersama
Universitas Indonesia
15
Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggungjawab untuk safety program
Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisa error dan redesign system
Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi ‘unsafe’ dokter
Prinsip 2 : memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan proses
Design job for safety
Menyederhanakan proses
Membuat standard proses
Prinsip 3 : mengembangkan tim yang efektif Prinsip 4 : antisipasi untuk kejadian tak terduga dengan pendekatan proaktif, menyediakan antidotum dan training simulasi Prinsip 5 : menciptakan atmosfer ‘learning’
Menggunakan simulasi
Mendorong pelaporan kejadian
Memastikan tidak ada tekanan saat melaporkan kejadian
Mengimplementasikan mekanisme umpan balik dan belajar dari kesalahan
Adapun tujuan keselamatan pasien dalam Panduan Keselamatan Pasien Rumah Sakit, adalah : (Depkes RI, 2006) 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit 2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
Universitas Indonesia
16
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang disusun mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” meliputi : (Depkes RI, 2006) 1. Hak pasien 2. Mendidik pasien dan keluarga 3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan 4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien 5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 7. Komunikasi merupakan kunci staf untuk mencapai keselamatan pasien
Di Indonesia, kegiatan keselamatan pasien sudah dilaksanakan oleh RS sejak lama namun dalam bentuk elemen-elemennya saja dan bukan merupakan
suatu
program
yang
komprehensif.
Misalnya
telah
dilaksanakannya sistem pengendalian infeksi nosokomial, sistem K3 (kesehatan dan keselamatan kerja), manajemen risiko, informed consent, audit medis, review kasus dan evaluasi berbagai program mutu pelayanan lainnya. Jadi, kegiatan keselamatan pasien dalam bentuk sistem yang komprehensif memang baru dimulai sejak tahun 2000-an (Lumenta dalam Hamdani, 2007). Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
Universitas Indonesia
17
melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yaitu : (Depkes RI, 2006) 1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. 2. Pimpin dan dukung staf anda. Bangunlah komitmen dan fokus kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit anda. 3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan assessmen hal yang potensial. 4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) 5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan caracara komunikasi yang terbuka dengan pasien 6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul 7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
Universitas Indonesia
18
2.2
Konsep Budaya
Konsep budaya awalnya berkembang dari antropologi sosial pada abad ke19. Budaya merupakan sebuah konsep yang kompleks yang diartikan sebagai kumpulan keyakinan dan nilai tentang bagaimana suatu komunitas seharusnya dalam melakukan tindakan (Kreitner, 2007). Menurut Hofstede (2005) budaya adalah pemikiran kolektif yang membuat perbedaan antara anggota satu kelompok dari kelompok lainnya. Sedangkan menurut Schein (2004) budaya dibentuk dari nilai yang berbeda
dan
perilaku
yang
mungkin
dianggap
panduan
untuk
keberhasilan. Menurut Edgar H.Schein dalam Stoner, et al (1996) budaya memiliki 3 tingkatan, yaitu artifact, nilai-nilai yang didukung (espoused value) dan asumsi yang mendasari (underlying assumptions).
Tingkat l : Artifact. Tingkat ini merupakan dimensi yang paling
terlihat dari budaya organisasi, merupakan lingkungan fisik dan sosial organisasi. Anggota organisasi sering tidak menyadari mengenai artifact budaya
organisasi
mereka,
tetapi
orang
luar
organisasi
dapat
mengamatinya dengan jelas.
Tingkat 2 : Espoused value (nilai-nilai yang didukung). Semua
pembelajaran organisasi merefleksikan nilai-nilai anggota organisasi, perasaan mereka mengenai apa yang seharusnya berbeda dengan apa yang ada. Jika anggota organisasi menghadapi persoalan atau tugas baru, solusinya adalah nilai-nilai.
Tingkat 3 : Basic underlying assumptions (asumsi dasar). Jika
solusi yang dikemukakan pemimpin perusahaan dapat berhasil berulangulang, maka solusi dianggap sudah sebagaimana seharusnya. Asumsi dasar merupakan solusi yang paling dipercaya sama halnya dengan teori ilmu
Universitas Indonesia
19
pengetahuan yang sedang diterapkan untuk suatu problem yang dihadapi organisasi.
Gambar 2.1. Tingkatan Budaya Schein Sumber: Schein (1992) dalam Smart, J. C. (2010). Higher Education: Handbook of Theory and Research: Volume 25. London: Springer.
2.3
Budaya Keselamatan
Industri kesehatan merupakan industri yang penuh risiko, ditambah dengan makin tingginya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan dengan jaminan keamanan yang tinggi, menuntut para ahli mengelaborasi konsep budaya keselamatan dari dunia industri yang dijadikan sebagai dasar pengembangan konsep safety culture di organisasi kesehatan. Menurut Singer (2009) salah satu perbedaannya adalah upaya membangun keselamatan di industri RS lebih difokuskan untuk melindungi pasien dibandingkan personilnya sendiri. Persepsi yang kemudian dibagi diantara anggota kelompok ditujukan untuk melindungi pasien dari kesalahan pengobatan ataupun dari perlukaan akibat tindakan intervensi. Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standard profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan pasien. Budaya ini kemudian akan mempengaruhi ’beliefs’ dan tindakan individu dalam memberikan pelayanan (Blegen, 2006).
Universitas Indonesia
20
Menurut O’Toole dalam Jianhong (2004) budaya keselamatan (safety culture) di pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang dikaitkan dengan keselamatan pasien yang secara tidak sadar dianut bersama oleh anggota organisasi. Budaya keselamatan merupakan istilah yang merujuk pada komitmen keselamatan yang dimiliki oleh semua level dalam suatu organisasi dari level terbawah sampai level eksekutif. Safety culture merupakan bagian terpenting dari budaya organisasi. Menurut ACSNI (Advisory Comittee on The Safety of Nuclear Installations), 1993 dalam The UK Health and Safety Executive (2005), budaya keselamatan adalah hasil dari nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan kehandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan kepercayaan dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah pencegahan. Terdapat 5 indikator yang mempengaruhi budaya keselamatan (HMRI, 2004 dalam The UK Health and Safety Executive, 2005) :
Leadership
Two-way communication
Employee involvement
Learning culture
Attitude towards blame
Universitas Indonesia
21
2.4
Budaya Keselamatan Pasien
2.4.1
Pengertian Budaya Keselamatan Pasien
Menurut Institut Of Medicine (2000) yang dikutip oleh Nieva (2003) tentang perlunya perubahan budaya untuk menuju sistem kesehatan yang lebih aman : ”The biggest challenge to moving toward a safer health system is changing the culture from one of blaming individuals for errors to one in which errors are treated not as personal failures, but as opportunities to improve the system and prevent harm”
Dijelaskan bahwa tantangan terbesar kearah sistem kesehatan yang lebih aman adalah mengubah budaya dari menyalahkan seseorang karena kesalahan/error yang dianggap sebagai kegagalan individu kearah menjadikannya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem dan mencegah cedera. Dapat disimpulkan bahwa mengembangkan budaya keselamatan menjadi salah satu pilar bagi pergerakan keselamatan pasien (Healings et al., 2007). Dari beberapa sumber, pengertian budaya keselamatan pasien hampir sama dengan budaya organisasi secara umum, yaitu : nilai-nilai/values yang dianut bersama antar anggota organisasi tentang apa yang penting, keyakinan/beliefs tentang bagaimana melakukan sesuatu di dalam organisasi dan interaksi nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan struktur serta sistem organisasi, yang secara bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam organisasi (Schein, 2004). Hanya saja budaya keselamatan
pasien
lebih
spesifik
terhadap
keselamatan
(untuk
mempromosikan keselamatan) serta menekankan peran interpersonal, unit kerja dan kontribusi organisasi dalam membentuk asumsi-asumsi dasar
Universitas Indonesia
22
bahwa kerja individu dalam organisasi berkembang sepanjang waktu (Singer et al., 2009). Berdasarkan nilai dan keyakinan yang dianut bersama tersebut, terbentuk suatu pola perilaku yang terintegrasi dari individu dan organisasi yang secara kontinu mencari upaya meminimalkan hal yang membahayakan pada pasien yang mungkin berasal dari proses penerimaan pelayanan kesehatan. Suatu budaya keselamatan pasien harus dikenali oleh seluruh anggota layanan kesehatan, diperkuat dan dilatih secara teratur oleh para profesional dan pimpinan organisasi karena pelayanan kesehatan memang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dan mudah sekali terjadi kesalahan sehingga penanganannya pun berisiko tinggi. Suatu budaya keselamatan pasien yang positif mempunyai aspek-aspek sebagai berikut : (Kirk et al., 2007) a. Komunikasi berdasarkan kepercayaan dan keterbukaan yang sifatnya mutual b. Persepsi yang sama tentang pentingnya keselamatan c. Keyakinan dalam ketepatan dari ukuran-ukuran pencegahan keselamatan d. Pembelajaran organisasi e. Komitmen pimpinan dan tanggungjawab eksekutif f. Pendekatan tanpa menyalahkan (no blame) dan tanpa hukuman (non punitive) terhadap pelaporan dan analisis insiden
Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini diperlukan upaya
Universitas Indonesia
23
transformasional yang menyangkut intervensi multi tingkat dan multi dimensional yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership style, serta budaya organisasi. Menurut Kotter keberhasilan transformasi 70%-90 % ditentukan oleh peran leadership dan sisanya (0 % - 30 %) oleh peran managership (Adib, 2012). 2.4.2
Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Menurut Carthey&Clarke (2010) dalam buku “Implementing Human Factors in Healthcare ‘how to’ guide” bahwa organisasi kesehatan akan memiliki budaya keselamatan pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya sebagai berikut : 1.
Budaya keterbukaan (open culture)
Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden yang terjadi ataupun topik tentang keselamatan pasien dengan teman satu tim ataupun dengan manajernya. Staf merasa yakin bahwa fokus utama adalah keterbukaan sebagai media pembelajaran dan bukan untuk mencari kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka dapat juga diwujudkan pada saat serah terima pasien, briefing staff maupun morning report. 2.
Budaya keadilan (just culture)
Merupakan budaya membawa atmosfer “trust” sehingga anggota bersedia dan memilki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya secara adil dalam setiap pengambilan keputusan terapi. Perawat dan pasien diperlakukan secara adil saat terjadi insiden dan tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu staf membuat pelaporan
Universitas Indonesia
24
secara jujur mengenai kejadian yang terjadi dan menjadikan insiden sebagai pelajaran dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien. 3.
Budaya pelaporan (reporting culture)
Budaya dimana staf siap untuk melaporkan insiden atau near miss, sehingga dapat dinilai jenis error dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta dapat diambil tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi. 4.
Budaya belajar (learning culture)
Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan langsung dengan pelayanan) maupun blunt end (manajemen) menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Organisasi berkomitmen untuk mempelajari insiden yang telah terjadi, mengkomunikasikan kepada staf dan senantiasa mengingatkan staf. 5.
Budaya informasi (informed culture)
Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu sehingga memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghindari insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi, misalnya dari pelaporan kejadian dan investigasi.
Sedangkan dimensi budaya keselamatan pasien menurut AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) dalam buku Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC) adalah : A. Dimensi Budaya Keselamatan tingkat Unit : 1. Keterbukaan komunikasi
Universitas Indonesia
25
2. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan 3. Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan 4. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan 5. Staffing 6. Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan 7. Kerjasama dalam unit B. Dimensi Budaya Keselamatan Tingkat RS : 1. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien 2. Serah terima dan transisi 3. Kerjasama antar unit C. Dimensi Outcome : 1. Frekuensi pelaporan kejadian 2. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien 3. Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir 4. Tingkat keselamatan pasien
Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien dari AHRQ : 1)
Keterbukaan komunikasi
Dengan adanya keterbukaan komunikasi diharapkan staf medis dapat berkomunikasi dengan baik dan benar pada saat serah terima/pengoperan pasien yang meliputi keluhan pasien, terapi yang sudah maupun akan diberikan serta insiden terkait keselamatan pasien jika ada dan juga merasa bebas untuk bertanya kepada yang lebih berwenang. Keterbukaan komunikasi juga harus dilakukan antara manajer dengan staf selain diantara sesama staf untuk peningkatan keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
26
2)
Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
Diartikan sebagai sejauh mana staf diberitahu tentang kesalahan yang dilakukan, menerima umpan balik masukan dari staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah kesalahan tidak terulang kembali. 3)
Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan
Organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang nonpunitive yang tujuannya adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan (Hamdani, 2007). 4)
Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi (Kreitner, 2007). Diartikan sejauh mana kesalahan akan membawa perubahan positif yang selalu dievaluasi efektifitasnya sehingga menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan. 5)
Staffing
Salah satu prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya ”To Err is Human” (2000) untuk implementasi patient safety di RS adalah mendesain pekerjaan dengan memperhatikan faktor manusia. Ini berarti dalam penataannya harus memperhitungkan jam kerja, beban kerja, rasio staffing dan juga sistem shift dengan memperhatikan faktor kelelahan, siklus tidur, dan lain-lain. Mendesain pekerjaan untuk safety juga termasuk melakukan training, memberi tugas pada orang yang tepat dan memposisikan seseorang pada posisi yang tepat.
Universitas Indonesia
27
6)
Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan
Diartikan sejauh mana supervisor/manajer mempertimbangkan saran staf untuk peningkatan keselamatan pasien, tidak mengabaikan masalah keselamatan dan memberi penghargaan pada staf yang menerapkan pelaksanaan keselamatan pasien. 7)
Kerjasama dalam unit
Diartikan sejauh mana staf saling mendukung satu sama lain dan bekerjasama sebagai sebuah tim untuk pelaksanaan keselamatan pasien. 8)
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya kerja yang mempromosikan keselamatan pasien dan berpedoman bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama. 9)
Serah terima dan transisi
Diartikan sejauh mana proses serah terima berjalan baik yang memuat penyampaian informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan pasien kepada staf lain. 10)
Kerjasama antar unit
Diartikan sejauh mana setiap unit dalam RS saling bekerjasama dan berkoordinasi antar unit dengan tujuan yang sama yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien. 11)
Frekuensi pelaporan kejadian
Diartikan sejauh mana kesalahan berikut dilaporkan :
Kesalahan yang diketahui dan dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien
Kesalahan yang tidak berpotensi membahayakan pasien
Kesalahan yang dapat merugikan pasien tetapi tidak terjadi
Universitas Indonesia
28
12)
Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien
Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan KP termasuk pemahaman tentang prosedur dan sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.
2.4.3
Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien
Pengukuran budaya keselamatan pasien dapat dilakukan berdasarkan dimensi yang mendasari ataupun berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien. Dikarenakan belum adanya konsensus mengenai standard pengukuran budaya keselamatan pasien, menyebabkan bervariasinya definisi, konsep maupun dimensi budaya keselamatan pasien. Beberapa organisasi mengembangkan standard pengukuran dengan masing-masing instrumennya, antara lain AHRQ, Stanford dan MaPSaF (Manchester Patient Safety Assesment Framework). Namun, sejauh ini kuesioner HSOPSC dari AHRQ yang paling banyak direkomendasikan untuk mengukur budaya keselamatan pasien karena telah terjamin validitas dan reliabilitasnya secara internasional (AHRQ, 2011). Pengukuran budaya keselamatan pasien yang dikembangkan oleh AHRQ melalui 12 instrumen seperti yang tercantum dalam 12 dimensi AHRQ yang disampaikan sebelumnya. Stanford mengembangkan instrumen Safety Attitudes Questionnaire (SAQ) dengan mengidentifikasi 6 elemen budaya
keselamatan
pasien,
yang
terdiri
dari
kerjasama,
iklim
keselamatan, kepuasan kerja, kondisi stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja. Stanford Instrument (SI) menilai budaya keselamatan pasien dari 5 elemen, antara lain organisasi, departemen, produksi, pelaporan dan kesadaran diri. Sedangkan Modified Stanford Instrument (MSI) hanya
Universitas Indonesia
29
mengidentifikasi 3 elemen yang berpengaruh pada budaya keselamatan pasien yaitu nilai keselamatan, takut/reaksi negatif, persepsi keselamatan. Adapun MaPSaF mengembangkan tingkat kematangan (maturity) organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien yang terdiri dari 5 elemen, yaitu : patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan generatif dimana tingkat maturitas generatif adalah yang paling tinggi dimana budaya keselamatan pasien sudah terintegrasi dengan tujuan RS. Menurut
pengamatan
penulis,
meski
terdapat
berbagai
macam
dimensi/elemen untuk mengukur budaya keselamatan pasien, pada dasarnya bermuara pada 5 dimensi budaya keselamatan, yaitu budaya keterbukaan (open culture), budaya keadilan (just culture), budaya pelaporan (report culture), budaya belajar (learning culture) dan budaya informasi
(informed
culture)
seperti
yang
disampaikan
oleh
Carthey&Clarke (2010). Pengukuran budaya KP dapat digunakan oleh organisasi kesehatan sebagai alat untuk : (AHRQ, 2012)
Meningkatkan kesadaran karyawan tentang keselamatan pasien
Mendiagnosis dan menilai tingkat budaya keselamatan pasien saat ini
Mengidentifikasi kekuatan dan area-area yang memerlukan penguatan budaya keselamatan pasien
Menilai trend budaya keselamatan pasien dari waktu ke waktu
Mengevaluasi dampak budaya dari upaya keselamatan pasien dan intervensi yang dilakukan
Melakukan perbandingan internal dan eksternal
Universitas Indonesia
30
2.5
Budaya Organisasi
2.5.1
Pengertian Organisasi
Schein (2004) mengemukakan bahwa organisasi merupakan koordinasi yang rasional dari beberapa aktivitas sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan, melalui pembagian kerja dan fungsi serta melalui jenjang wewenang maupun tanggung jawab. Robbins (1996) mengartikan organisasi sebagai satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, tersusun dari dua orang atau lebih, berfungsi atas dasar kesamaan persepsi yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama. Organisasi dibentuk oleh empat komponen utama : (Russel, 2001)
fisik (aspek yang dapat terlihat/visible) dari organisasi
infrastruktur (sistem dan proses untuk mengarahkan dan mengelola pekerjaan)
perilaku (aksi dan reaksi karyawan sehari-hari)
budaya (asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang membentuk perilaku sehari-hari)
Untuk dapat melakukan perubahan pada organisasi, melakukan perubahan pada tingkat fisik (proses, alat, struktur), tingkat infrastuktur (sistem manajemen, penilaian dan reward) dan tingkat perilaku (apa yang dilakukan oleh kelompok dan individu) tidak akan dapat bertahan lama (mempunyai daya tahan yang berumur pendek) apabila tanpa disertai dengan perubahan pada tingkat budaya (nilai, keyakinan dan norma) yang mendasarinya. Hal tersebut dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini :
Universitas Indonesia
31
Gambar 2.2. Komponen dan tingkatan intervensi organisasi (Russel, 2001)
2.5.2
Pengertian Budaya Organisasi
Sebagai komponen paling dasar dari organisasi, budaya mempunyai kemampuan paling besar dalam mempengaruhi perubahan organisasi, meski disisi lain merupakan komponen yang paling sulit untuk dirubah. Robbins (1996) mengartikan budaya organisasi sebagai sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota dalam organisasi yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain. Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya. Budaya organisasi adalah pola dasar, asumsi, nilai dan keyakinan bersama yang dianggap sebagai cara berpikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi masalah dan peluang organisasi (McShane, 2003). Budaya organisasi merupakan nilai tak tertulis yang memberikan pedoman, aturan, standar dalam berperilaku baik yang diterima atau tidak oleh setiap pegawai dalam organisasi. Budaya organisasi dapat diukur hanya dengan menanyakannya kepada pegawai. Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008).
Universitas Indonesia
32
Menurut Mc Shane (2003) budaya organisasi memiliki 3 fungsi : 1. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan kontrol sosial yang mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan berperilaku. 2. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orangorang dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. 3. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu pegawai mengerti situasi organisasi sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas mereka ketimbang menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pegawai dapat berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerjasama dengan baik karena mempunyai model mental yang sama (Flemming, 2008).
2.5.3
Analisis Budaya Organisasi
Salah satu alat ukur yang digunakan untuk menganalisis budaya organisasi dan sudah digunakan sebagai survey internasional oleh banyak peneliti dunia adalah OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument). OCAI merupakan sebuah instrumen pengukuran budaya organisasi berdasarkan Competing Values Framework yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh Kim S.Cameron dan Robert E.Quinn. Instrumen ini merupakan pengembangan teori untuk memahami budaya dan fenomena organisasi (Nummelin, 2006). Adapun enam komponen budaya organisasi yang diukur dengan OCAI : 1.
karakteristik yang dominan
2.
kepemimpinan organisasi
3.
manajemen karyawan
Universitas Indonesia
33
4.
perekat organisasi
5.
penekanan strategis
6.
kriteria sukses
Menurut Cameron dan Quin (2011) terdapat 4 tipe budaya organisasi : 1.
Tipe Clan
2.
Tipe Adhocracy
3.
Tipe Market
4.
Tipe Hierarchy Tabel 2.1. Tipe budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011) Clan
Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada perbaikan internal (internal maintenance) dengan fleksibilitas, perhatian pada orang dan sensitivitas pada pelanggan.
Adhocracy
Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada penempatan eksternal dengan derajat fleksibilitas dan individualitas yang tinggi.
Market
Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pelayanan eksternal dengan kebutuhan akan stabilitas dan control
Hierarchy
Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada perbaikan internal dengan kebutuhan akan stabilitas dan kontrol serta berpedoman prosedur formal
Gambar 2.3. Karakteristik tipe budaya organisasi (Cameron&Quin, 1999)
Universitas Indonesia
34
Manfaat analisis budaya organisasi : (OCAI, 2010) a. Anggota organisasi menjadi sadar akan budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi yang diinginkan. Ini akan menyediakan momentum untuk melakukan perubahan b. Lebih mudah untuk pihak manajemen dalam menentukan langkahlangkah perubahan yang paling efektif c. Resistensi terhadap perubahan dapat diantisipasi d. Menyediakan titik awal untuk membuat pekerja mau berubah dan penggunaan kekuatan dan kreativitas mereka untuk lebih mendukung perubahan e. Menjadi dasar untuk rencana perubahan yang sistematis dan bertahap f. Perubahan budaya organisasi yang sukses akan merevitalisasi seluruh
anggota
organisasi.
Organisasi
akan
mendapatkan
momentum baru menuju semua perubahan yang positif di dalam organisasi g. Penilaian OCAI akan menjadi langkah intervensi awal untuk memungkinkan perubahan
Universitas Indonesia
35
Tabel 2.2. Profil budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011) Komponen Budaya
Clan
Adhocracy
Market
Hierarchy
Karakteristik Dominan
Tempat yang sangat personal, seperti sebuah keluarga besar, orang-orang berbagi banyak hal dari diri mereka Mentoring, fasilitatif dan mengayomi
Tempat wirausaha yang sangat dinamis, orang bersedia untuk bertahan dan mengambil risiko
Berorientasi pada hasil, fokus pada penyelesaian tugas, orang-orang sangat kompetitif dan berorientasi pada prestasi
Terstruktur dan terkendali, prosedur formal lah yang mengatur apa yang harus dilakukan
Kewirausahaan, inovasi dan berani mengambil risiko
Manajemen Karyawan
Teamwork, kesepakatan dan partisipasi
Perekat Organisasi
Loyalitas dan rasa saling percaya, komitmen terhadap organisasi tinggi
Koordinasi, pengorganisasian dan efisiensi yang berjalan lancar Keamanan kerja, kesesuaian, prediktabilitas dan kemapanan dalam hubungan Peraturan dan kebijakan formal, penting mempertahankan sebuah organisasi berjalan dengan lancar
Penekanan Strategis
Pengembangan manusia, kepercayaan yang tinggi, keterbukaan dan partisipasi dipertahankan
Keberanian mengambil risiko, inovasi, kebebasan dan keunikan Komitmen terhadap inovasi dan pengembangan, ada penekanan pada posisi menjadi pemimpin Memperoleh sumber daya baru dan menciptakan tantangan baru, mencoba hal-hal baru dan prospek untuk peluang sangat dihargai
Kesungguhan, agresif dan berorientasi pada hasil Dorongan kuat untuk bersaing, tuntutan yang tinggi dan prestasi
Kriteria Sukses
Mendefinisikan kesuksesan berdasarkan pengembangan sumber daya manusia, kerja sama tim, komitmen karyawan dan kepedulian
Kepemimpinan Organisasi
Memiliki produk yang paling unik atau produk terbaru, organisasi ini bertujuan menjadi product leader dan inovator
Penekanan pada prestasi dan pencapaian tujuan, agresivitas dan menang adalah tema bersama
Menekankan tindakan kompetitif dan prestasi, mempunyai target yang ketat dan memenangkan pasar merupakan tujuan yang dominan Memenangkan pasar dan memenangkan kompetisi, kepemimpinan market yang kompetitif adalah kunci
kemapanan dan stabilitas, efisiensi, kontrol dan operasional yang lancar adalah penting
Mendefinisikan kesuksesan pada efisiensi, pelayanan yang diandalkan, penjadwalan yang lancar dan produksi berbiaya rendah dianggap sangat penting
Universitas Indonesia
36
Tiap tipe budaya organisasi memiliki strategi mutu sebagai berikut : 1. Clan culture : pemberdayaan, team building, partisipasi karyawan, pengembangan sumber daya manusia dan komunikasi yang terbuka. 2. Adhocracy culture : menciptakan standard-standard baru, antisipasi kebutuhan, perbaikan terus-menerus dan menemukan solusi kreatif. 3. Market culture : mengukur harapan pelanggan, meningkatkan produktivitas, membina kemitraan, meningkatkan kemampuan bersaing dan melibatkan pelanggan dan pemasok. 4. Hierarchy culture : deteksi kesalahan, pengukuran, proses kontrol, pemecahan masalah yang sistematis dan penerapan strategi kualitas. 2.6
Budaya Keselamatan Pasien Bagian Dari Budaya Organisasi
Secara konseptual, dapat kita gambarkan kaitan antara konsep budaya keselamatan dengan budaya organisasi sebagai konsep yang paling luas di dalam suatu organisasi, sebagai berikut : Budaya Organisasi Iklim organisasi Safety climate
Budaya Keselamatan
Gambar 2.4 Konsep Budaya Keselamatan (Safety Culture) dalam Budaya Organisasi. Sumber: Currie, 2007
Universitas Indonesia
37
Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008). Selanjutnya bagaimana dapat diketahui bahwa budaya keselamatan pasien telah melebur dalam budaya organisasi? Kita dapat mengetahuinya melalui hal-hal berikut : (Sandars, 2007) 1. orang-orang akan melihat bahwa manajemen/pimpinan tim mempunyai komitmen terhadap KP dengan pencegahan bukan dengan hukuman 2. staf yang sehat dan bahagia dipandang sebagai hal yang mendasar untuk pelayanan kesehatan yang lebih aman 3. staf
secara
serius
memperhatikan
kondisi
kesehatan
dan
kesejahteraan dirinya dan rekan-rekannya dan mampu mengetahui jika ada sesuatu yang salah 4. kesalahan dan masalah diantisipasi secara proaktif oleh sistem 5. staf secara konsisten mampu dikonfrontasi dengan yang lain tentang tindakan yang tidak aman, akan melaporkan kondisikondisi
yang
tidak
aman
dan
akan
mempertimbangkan
keselamatan dibandingkan efisiensi 6. staf dan manajemen secara konsisten melakukan tindakan-tindakan remedial 7. keselamatan dilihat sebagai suatu hal yang mendasar dan menarik
Dengan kata lain, suatu budaya keselamatan pasien harus dibangun dimana setiap orang dapat melaporkan KTD/KNC tanpa takut akan dihukum (IOM, 2000). Apabila budaya tersebut menjadi nilai dan persepsi bersama anggota organisasi, maka budaya keselamatan pasien diyakini telah menjadi budaya organisasi. Budaya keselamatan harus ada di setiap bagian di RS, dari tingkat individu hingga tingkat organisasi. Dimensi budaya keselamatan di tiap tingkatan tentunya berbeda satu dengan yang
Universitas Indonesia
38
lainnya. Namun keberhasilan budaya keselamatan menjadi budaya organisasi memerlukan keterpaduan dari setiap dimensi tersebut. Dimana setiap RS memiliki karakteristik masing-masing untuk keberhasilan membangun dimensi budaya keselamatan pasien di organisasinya. Oleh karena itu, RS perlu mengetahui dimensi budayanya yang dapat berkontribusi pada keberhasilan program keselamatan pasien di tempatnya (Lestari, 2008). Berkaitan dengan tipe budaya organisasi, Speroff et al (2010) menemukan hubungan antara budaya organisasi dengan keselamatan pasien di rumah sakit, bahwa rumah sakit dengan tipe budaya Clan mempunyai iklim keselamatan yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan rumah sakit dengan budaya Hierarchy. Sedangkan menurut Singer et al (2009), orientasi pada fleksibilitas yang merupakan ciri dari budaya Clan dan budaya Adhocracy berdampak langsung terhadap keselamatan pasien, sebaliknya untuk budaya Hierarchy dan budaya Market dengan orientasi kontrolnya, berdampak tidak langsung terhadap keselamatan pasien dimana dibutuhkan manajemen pengetahuan (proses belajar) terhadap budaya keselamatan pasien dalam mewujudkannya. Disamping itu, budaya Hierarchy menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan. 2.7
Konsep Learning Organization (organisasi pembelajar)
Untuk menghadapi tuntutan pasien akan pelayanan kesehatan berbasis keselamatan
yang
tinggi,
organisasi
dituntut
untuk
melakukan
transformasi yang signifikan agar mampu bertahan. Dalam melakukan transformasi, suatu organisasi haruslah memiliki kemampuan untuk dapat menjadi organisasi pembelajar (learning organization). Keselamatan
Universitas Indonesia
39
pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar (Adib, 2012). Dengan demikian untuk dapat melakukan transformasi budaya keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus memiliki kemampuan menjadi organisasi pembelajar. Thomsen&Hoest (2001) berpendapat bahwa transformasi dari banyak organisasi menjadi learning organization merupakan jawaban bagi organisasi yang ingin meningkatkan peluang untuk bertahan dan memperkuat posisi mereka di pasar, terutama dalam menghadapi tuntutan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan yang tinggi. Marquardt (1996) mendefinisikan learning organization atau organisasi pembelajar sebagai suatu organisasi yang terus-menerus meningkatkan kapasitasnya
dan
belajar
secara
bersama-sama
serta
melakukan
transformasi dirinya untuk menjadi lebih baik, mengumpulkan, mengatur dan menggunakan pengetahuan untuk kesuksesan organisasi. Sementara itu, Senge (1994) mendefinisikan learning organization sebagai organisasi dimana individu secara terus-menerus memperluas kapasitasnya untuk menghasilkan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola berfikir yang baru dan lebih luas dapat tumbuh subur, dimana aspirasi kolektif bisa dikemukakan secara bebas dan dimana individu secara terusmenerus belajar untuk melihat kesemuanya itu secara keseluruhan. Marquardt mengemukakan 5 subsistem dari model System Learning Organization yang merupakan dimensi dan indikator yang saling mendukung dalam membentuk learning organization agar suatu
Universitas Indonesia
40
organisasi dapat melakukan transformasi. Kelima subsistem yang dimaksud, antara lain: 1.
Dinamika pembelajaran
2.
Transformasi organisasi
3.
Pemberdayaan manusia
4.
Pengelolaan pengetahuan
5.
Aplikasi teknologi
Seluruh subsistem ini sangat erat dan saling mendukung antara satu subsistem dengan subsistem yang lainnya. Kelima subsistem dalam suatu sistem organisasi pembelajar disatukan untuk mencapai dan memelihara daya saing organisasi. Adalah subsistem dinamika pembelajaran yang menjadi pusat dari kelima subsistem learning organization. Subsistem dinamika pembelajaran ini merupakan titik temu antara empat subsistem lainnya. Proses pembelajaran tidak hanya dapat dilaksanakan pada tingkat individual maupun kelompok/tim saja melainkan juga dilaksanakan pada tingkat organisasional. Lima subsistem learning organization menurut Marquardt dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.5. Subsystem learning organization (Marquardt, 1996)
Konsep learning organization merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program keselamatan
Universitas Indonesia
41
pasien. Dengan adanya konsep learning organization yang baik maka diharapkan akan terjadi perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik yang mana sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan keselamatan pasien. 2.8
Kesimpulan Tinjauan Pustaka
Keselamatan
pasien
menjadi
isu
penting
yang
terus-menerus
disosialisasikan di organisasi pelayanan kesehatan karena makin maraknya tuntutan terhadap pelayanan RS yang berbasis keamanan/keselamatan pasien yang tinggi. Sehingga keselamatan pasien merupakan prioritas utama mutu dan citra RS dan juga merupakan komponen kritis dari mutu pelayanan kesehatan. Upaya membangun budaya keselamatan merupakan langkah awal yang harus dilakukan pada permulaan proses pengembangan keselamatan pasien dengan melakukan penilaian terhadap budaya keselamatan pasien. Dengan adanya sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait keselamatan pasien akan terbentuk persepsi dokter dan staf mengenai perilaku keselamatan pasien di wilayah kerja mereka. Konsep learning organization merupakan konsep penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program keselamatan pasien. Dengan konsep learning organization yang baik diharapkan akan terjadi kemampuan untuk belajar dari pengalaman yang terjadi sehingga terjadi perbaikan
yang berkelanjutan dan
akan tercipta budaya
keselamatan pasien yang baik yang sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
BAB 3 GAMBARAN UMUM RS.MASMITRA
3.1
Sejarah RS.Masmitra
RS.Masmitra adalah rumah sakit umum swasta tipe D yang mulai beroperasi pada tanggal 4 Oktober 2007. Berawal dari rumah sakit ibu dan anak bernama RSIA Graha Kasih Ibu dan Balita, rumah sakit ini berganti nama menjadi RSIA.Masmitra pada tanggal 5 Maret 2008 dan memberanikan diri mendeklarasikan menjadi rumah sakit umum RS.Masmitra pada tanggal 25 November 2013. Pembangunan fisik dan renovasi di berbagai lini terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Rencana awal pembangunan fisik gedung direncanakan untuk 4 lantai tetapi hingga saat ini lantai 3 masih belum beroperasi dan pelayanan dilebarkan menjadi rumah sakit umum dikarenakan kepercayaan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih lengkap lagi.
42
Universitas Indonesia
43
RSIA Masmitra tumbuh dan berkembang menjadi RS.Masmitra dan akan mengemban ijin tetap operasional sebagai rumah sakit umum pada November 2014 ini. Rumah Sakit ini adalah rumah sakit swasta yang status kepemilikannya adalah perseorangan yaitu H.Ir.Kamidi dengan pengelolaan oleh keluarga. 3.2
Visi, Misi, Motto dan Nilai yang dimiliki RS.Masmitra
3.2.1
Visi
Menjadi rumah sakit pilihan yang memberikan pelayanan terbaik, aman, bermutu tinggi dan inovatif 3.2.2
Misi Menyediakan layanan secara paripurna yang konsisten dan berfokus pada pasien
Meningkatkan mutu kompetensi individu, tim dan pihak terkait dengan
mengedepankan
komitmen
dan
kerjasama
secara
berkesinambungan 3.2.3
Motto
"Ikhlas dalam Melayani" 3.2.4
3.3
Nilai yang dimiliki
Integritas
Etika
Konsisten
Komitmen
Kerjasama Tim
Pembelajaran Profil Rumah Sakit
Nama Rumah Sakit
: Rumah Sakit Masmitra
Universitas Indonesia
44
Nama Pemilik
: PT. Dharmakarya Indoperkasa
Alamat
:Jl.Kelurahan
Jatimakmur
no.40,
kelurahan
Jatimakmur, kecamatan Pondok Gede, kota Bekasi No. telp/ fax
: (021) 84971766 / (021) 8483047
No Ijin Operasional
: 445.1/Kep.423-BPPT/VIII/2013
Masa berlaku
: 25 November 2014
Jumlah TT
: 100 TT (sekarang ada 63 TT)
Sifat Ijin
: Operasional Sementara
Luas bangunan
: 3.736 m2 terdiri dari 4 lantai yaitu :
Lantai I dengan luas 1.475 m2 Lantai II dengan luas 1.285,75 m2 Lantai III dengan luas 749,25 m2 Lantai IV dengan luas 226 m2 Luas lahan
: 3.400 m2
Kapasitas lahan parkir : 50 mobil, 100 motor 3.4
Jenis Pelayanan
3.4.1
Fasilitas Pelayanan
1. UGD : 24 Jam ( dokter 24 jam, bidan 24 jam) 2. Rawat Jalan a. Poli Dokter Spesialis : - Spesialis Anak - Spesialis Kebidanan dan Kandungan - Spesialis Penyakit Dalam - Spesialis Bedah - Spesialis THT - Spesialis Syaraf
Universitas Indonesia
45
- Spesialis Anestesi b. Poli Dokter Gigi 3. Rawat Inap a. kelas SVIP dengan jumlah tempat tidur = 1 TT b. kelas VIP dengan jumlah tempat tidur = 5 TT c. Kelas I dengan jumlah tempat tidur = 6 TT d. Kelas II dengan jumlah tempat tidur = 12 TT e. Kelas III dengan jumlah tempat tidur = 24 TT f. Ruang Isolasi dengan jumlah tempat tidur = 4 TT g. Ruang Bayi dengan jumlah tempat tidur = 7 TT h. Ruang Perina dengan jumlah tempat tidur = 2 TT i. Ruang HCU dengan jumlah tempat tidur = 2 TT 4. Laboratorium 5. Instalasi Farmasi 6. Klinik Fisioterapi 7. Kamar Operasi 8. Kamar Bersalin 9. Ambulans 24 Jam 3.4.2
Sarana dan Prasarana
RS.Masmitra memiliki 63 tempat tidur (TT) dan sedang dalam penyelesaian lantai 3 untuk menambah ruangan perawatan agar dapat memenuhi syarat menjadi rumah sakit tipe C dengan jumlah 100 tempat tidur. Area RS.Masmitra dimulai dari gerbang masuk, melewati gerai ATM, lobby depan RS, pos satpam lalu melalui pos petugas parkir untuk menuju ke area parkir dan taman. Setelah itu memasuki gedung rumah sakit yang terbagi dalam 4 lantai yaitu:
Universitas Indonesia
46
Lantai I, terdiri dari : ruang UGD, ruang bersalin (VK), ruang operasi, ruangan konsultasi/pemeriksaan dokter spesialis (10 ruangan), ruangan pendaftaran dan customer service, ruangan rekam medik, ruangan instalasi farmasi,
ruangan
laboratorium,
ruangan
radiologi,
ruangan
administrasi/kasir, ruang ganti perawat, ruang tunggu pasien (lobby), ruang fisioterapi, ruang gizi dan dapur, kamar jenazah, toilet, ruang ganti popok dan menyusui, ruang akupuntur dan senam hamil, parkir (mobil dan motor), serta ruang laundry. Lantai II, terdiri dari ruang perawatan anak, laki-laki dan wanita dewasa yang terbagi menjadi ruang perawatan Dahlia dan ruang perawatan Teratai. Terdapat juga nurse station perawatan, ruang server dan IT, ruang isolasi dan kamar ganti perawat. Lantai III (dalam tahap pembangunan) antara lain terdapat ruang HCU dan ruang tunggu pasien beserta keluarganya. Lantai IV terdiri dari ruang direksi, ruang sekretariat, meeting room, musholla, gudang logistik dan gudang arsip keuangan.
Universitas Indonesia
47
3.5
Struktur Organisasi RS.Masmitra Gambar 3.1. Struktur Organisasi RS.Masmitra
Sumber : Bagian sekretariat RS.Masmitra
Universitas Indonesia
48
3.6
Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra Tabel 3.1. Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra
NO
JENIS TENAGA
KARYAWAN TETAP
1.
Dokter Umum
1
0
1
2.
Dokter Obsgyn
1
4
5
3.
Dokter Anak
1
4
5
4.
Dokter Interna
1
0
1
5.
Dokter Gigi
1
6
7
6.
Dokter Bedah
1
0
1
7.
Dokter Anestesi
1
0
1
8.
Dokter THT
1
0
1
9.
Dokter Syaraf
0
1
1
10.
Apoteker
1
1
2
11.
Perawat
25
3
28
12.
Bidan
20
0
20
13.
Analis laboratorium
3
3
6
14.
Ahli gizi
1
0
1
15.
Asisten Apoteker
9
0
9
16.
Rekam Medis
5
0
5
17.
Fisioterapis
1
0
1
18.
Office dan security
33
1
34
19.
Radiographer
3
0
3
109
23
132
Total
PARUH WAKTU
TOTAL
Sumber : Bag.SDM RS.Masmitra
Universitas Indonesia
49
3.7
Indikator Pelayanan RS.Masmitra
Gambar 3.2. BOR (Bed Occupancy Rate) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013
Rata-rata Pemakaian Tempat Tidur RS.Masmitra pada 3 tahun terakhir sebesar 33,4 % dan mengalami kenaikan cukup signifikan dari BOR 26,8% tahun 2011 menjadi 32,4% di tahun 2012 dan 40,9% di tahun 2013. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata pemakain tempat tidur di RS.Masmitra semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya mutu pelayanan di RS.Masmitra.
Gambar 3.3. ALOS (Average Length of Stay) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013
Dari gambar 3.3. di atas terlihat bahwa lama rawat inap pasien selama tahun 2011 hingga tahun 2012 rata-rata adalah 2 hingga 3 hari. Hal ini dipengaruhi oleh jenis operasi yang dilakukan kebanyakan adalah operasi
Universitas Indonesia
50
Caesar dimana anjuran menginap untuk observasi kondisi kesehatan selama 3 hari.
Gambar 3.4. TOI (Turn Over Interval) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013
Dari gambar 3.4. terlihat bahwa jeda waktu tempat tidur terisi kembali RS.Masmitra mendekati standard yang diharapkan yaitu 1-3 hari dan mengalami perbaikan yang signifikan dari 6,48 hari di tahun 2011 menjadi 3,18
hari
di
tahun
2012.
Dari
data BOR,
ALOS
dan
TOI
RS.Masmitratahun 2011 hingga tahun 2013 masih dibawah standard ratarata namun mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, hal ini berarti RS.Masmitra masih perlu mengadakan perbaikan dan peningkatan fasilitas layanan untuk dapat menyerap pasien lebih banyak lagi.
Universitas Indonesia
BAB 4 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 4.1
Kerangka Teori Budaya Keselamatan Pasien
Kerangka teori budaya keselamatan pasien disusun penulis berdasarkan literatur dari dimensi budaya keselamatan pasien menurut Carthey&Clarke (2010) yang terdiri dari budaya keterbukaan (open culture), budaya keadilan (just culture), budaya pelaporan (reporting culture), budaya belajar (learning culture) dan budaya informasi (informed culture) serta dimensi keselamatan pasien dari AHRQ yang terdiri dari 12 dimensi yang paling banyak direkomendasikan karena telah terjamin validitas dan reliabilitasnya secara internasional (AHRQ, 2012).
BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
Budaya Keterbukaan Keterbukaan komunikasi Kerjasama dalam unit Kerjasama antar unit Persepsi keseluruhan tentang KP Dukungan manajemen terhadap upaya KP
Budaya Keadilan Staffing Respon nonpunitive terhadap kesalahan
Budaya Pelaporan Frekuensi pelaporan kejadian Jumlah kejadian yang dilaporkan dlm 12 bulan terakhir
Budaya Belajar Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/man ajer dalam promosi KP Patient safety grade
Gambar 4.1. Kerangka teori Budaya Keselamatan Pasien
51
Universitas Indonesia
Budaya Informasi Umpan balik dan komunikasi tentang insiden KP Serah terima dan transisi
52
4.2
Kerangka teori Budaya Organisasi
Perlunya mengidentifikasi budaya organisasi dalam mengelola manajemen rumah sakit adalah untuk meningkatkan kinerja karyawan demi menghadapi tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien. Menurut McShane (2003) budaya organisasi adalah pola dasar, asumsi, nilai dan keyakinan bersama yang dianggap sebagai cara berpikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi masalah dan peluang organisasi. Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008). Competing Values Framework yang dikembangkan oleh Cameron&Quinn menganalisis budaya organisasi berdasarkan 4 tipe dengan berpedoman pada 6 dimensi budaya organisasi. Setelah mengertahui gambaran budaya organisasi, dapat dianalisis kekuatan budaya dan kesenjangan antara budaya saat ini dan budaya yang diharapkan. Berdasarkan Competing Values Framework inilah kerangka teori penelitian disusun seperti yang terlihat pada gambar 4.2. DIMENSI BUDAYA ORGANISASI
ANALISIS BUDAYA ORGANISASI
TIPE BUDAYA
Karakteristik yang dominan
Kepemimpinan organisasi
Manajemen karyawan
Perekat organisasi
Penekanan strategis
Kriteria keberhasilan
ORGANISASI 1. Tipe Clan 2. Tipe Adhocracy 3. Tipe Market 4. Tipe Hierarki
Kekuatan budaya
Kesenjangan antara budaya saat ini dan yang diharapkan
Gambar 4.2. Kerangka teori Budaya Organisasi
Universitas Indonesia
53
4.3
Kerangka teori Learning Organization (organisasi pembelajar)
Menurut Ramanujam (2005) dalam merespon kebutuhan terhadap peningkatan keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus membangun strategi untuk menciptakan learning organization (LO) dimana setiap partisipan yang ada dalam proses pelayanan, terlibat dalam pembelajaran yang kontinu. Speroff et al (2010) menemukan hubungan antara budaya organisasi dengan keselamatan pasien di rumah sakit, bahwa rumah sakit dengan tipe budaya Clan mempunyai iklim keselamatan yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan rumah sakit dengan budaya Hierarchy. Sementara Singer et al (2009) mengatakan bahwa budaya Hierarchy dan budaya Market dengan orientasi kontrolnya, berdampak tidak langsung terhadap keselamatan pasien dimana dibutuhkan manajemen pengetahuan (proses
belajar)
terhadap
budaya
keselamatan
pasien
dalam
mewujudkannya. Kerangka teori learning organization disusun berdasarkan teori Marquardt (1996) yang mengemukakan 5 subsistem dari model system learning organization yang merupakan dimensi dan indikator LO yang saling mendukung dalam membentuk LO agar suatu organisasi dapat melakukan transformasi. MODEL SYSTEM LEARNING ORGANIZATION 1. Dinamika pembelajaran
Transformasi menciptakan Learning Organization dalam upaya membangun keselamatan pasien
2. Transformasi organisasi 3. Pemberdayaan manusia 4. Pengelolaan pengetahuan 5. Aplikasi teknologi
Gambar 4.3 Kerangka teori Learning Organization
Universitas Indonesia
54
4.4
Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka teori budaya keselamatan pasien, budaya organisasi dan learning organization, penulis menyusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
VARIABEL INDEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
BUDAYA ORGANISASI 1. Tipe Clan 2. Tipe Adhocracy 3. Tipe Market Learning Organization
4. Tipe Hierarki
dalam upaya
(Cameron&Quinn, 2011)
membangun keselamatan pasien di BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
Budaya Belajar
Budaya Informasi
RS.Masmitra
(Marquardt, 1996)
(Carthey&Clarke, 2010)
Gambar 4.4. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
55
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Manajemen RS menyediakan iklim kerja yang mempromosikan keselamatan pasien dan menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama
Staf merasa bahwa kesalahan dan laporan kejadian tidak dipakai untuk menyalahkan mereka dan tidak dicatat dalam penilaian kinerja mereka
Terdapat budaya belajar di mana kesalahan membawa perubahan positif dan dilakukan evaluasi terhadap efektivitas perubahan
Terdapat staf dalam jumlah yang cukup untuk menangani beban kerja dan jumlah jam kerja yang sesuai untuk menyediakan pelayanan terbaik bagi pasien
Dukungan manajemen terhadap upaya KP
Respons non punitive terhadap kesalahan
Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Staffing
3.
4.
5.
6.
- Baik : jika respons positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
Hasil Ukur *
55
Universitas Indonesia
Tabel 4.1. Definisi operasional dimensi Budaya Keselamatan Pasien (diadaptasi dari AHRQ Publication, 2007)
Kuesioner AHRQ
Staf diinformasikan tentang kesalahan yang terjadi, diberikan umpan balik tentang implementasi perubahan dan mendiskusikan cara untuk mencegah insiden terulang
Umpan balik dan komunikasi tentang insidens KP
2.
Kuesioner AHRQ
Staf bebas berbicara bila melihat sesuatu yang dapat berdampak negatif pada pasien dan merasa bebas bertanya kepada mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi
Keterbukaan Komunikasi
1.
Alat Ukur
Definisi
Variabel Independen
No
4.5. Definisi Operasional Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Skala
Frekuensi pelaporan kejadian
Persepsi keseluruhan tentang KP
Serah terima dan transisi
Kerjasama antar unit
9.
10.
11.
12.
56
Unit-unit di RS bekerjasama dan berkoordinasi satu sama lain untuk menghasilkan pelayanan yang terbaik bagi pasien
Informasi penting tentang asuhan pasien disampaikan pada saat transfer pasien antar satu unit ke unit lain dan atau selama pergantian shift
Tipe kesalahan yang dilaporkan : 1)kesalahan ditemukan dan dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien 2)kesalahan tanpa potensi mencederai pasien 3)kesalahan yang dapat mencederai pasien namun tidak terjadi cedera Persepsi staf terhadap prosedur dan sistem dalam mencegah terjadinya kesalahan dan mengurangi masalah KP
Staf saling mendukung, saling menghargai dan bekerja sebagai sebuah tim
Sikap positif atau negatif dari supervisor/manajer terhadap upaya KP
Definisi
*hasil ukur mengikuti ketentuan AHRQ
Kerjasama dalam unit
Variabel Independen Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam mendorong KP
8.
7.
No
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Kuesioner AHRQ
Alat Ukur
Universitas Indonesia
- Baik : jika respons positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
- Baik : jika persepsi positif ≥75% - Sedang : jika persepsi positif antara >50% dan <75% - Kurang :jika persepsi positif ≤50 %
Hasil Ukur *
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Skala
Manajemen karyawan
Perekat organisasi
Penekanan strategis
Kriteria keberhasilan
3.
4.
5.
6.
Kuesioner OCAI
Kuesioner OCAI
Kuesioner OCAI
Kuesioner OCAI
Kuesioner OCAI
Kuesioner OCAI
Penilaian responden terhadap karakter budaya yang paling dominan mewarnai organisasi Penilaian responden terhadap budaya yang mempengaruhi gaya kepemimpinan organisasi Penilaian responden terhadap budaya yang menetukan cara organisasi mengelola SDM Penilaian responden terhadap budaya yang menyatukan organisasi Penilaian responden terhadap budaya yang menentukan pilihan strategi di dalam organisasi Penilaian responden terhadap budaya yang menetapkan batasan kesuksesan organisasi
Alat Ukur
Skor saat ini dan yang diharapkan
Skor saat ini dan yang diharapkan
Skor saat ini dan yang diharapkan
Skor saat ini dan yang diharapkan
Skor saat ini dan yang diharapkan
Skor saat ini dan yang diharapkan
Hasil Ukur
57
Skala
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Universitas Indonesia
Tabel 4.2. Definisi operasional komponen Budaya Organisasi (diadaptasi dari Tesis Sammy Fatah, 2012)
Kepemimpinan organisasi
2.
1.
Definisi
4.6. Definisi Operasional Komponen Budaya Organisasi
Dimensi Budaya Organisasi (Variabel Independen) Karakteristik yang dominan
No
Komponen Learning Organization (Variabel Dependen)
Dinamika Pembelajaran
Transformasi Organisasi
Pemberdayaan Manusia
No
1.
2.
3.
58
Membuat kegiatan yang mendukung keterbukaan informasi diantara manajemen dengan karyawan maupun diantara tenaga klinis sehingga tercapai proses komunikasi dan koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien
Menciptakan iklim kerja yang mendukung Total Safety Culture dengan berpedoman pada Sembilan Solusi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit yang diikuti dengan penerapan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit dimana setiap staf tidak hanya sekedar melaporkan tetapi juga turun tangan untuk memperbaikinya.
Focus Group Discussion
Focus Group Discussion
Focus Group Discussion
Pembelajaran yang berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi staf meliputi pengetahuan maupun keterampilan sehingga memahami benar metode dalam praktek keselamatan pasien sehingga staf dapat memperkuat perannya sebagai pemberi pelayanan, mentor maupun tenaga klinis yang memberi asuhan pada pasien dengan mengacu pada kurikulum patient safety dari WHO maupun PERSI.
Dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien
Alat Ukur
Definisi
Informasi mengenai langkahlangkah merumuskan learning organization berdasarkan komponen pemberdayaan manusia
Informasi mengenai langkahlangkah merumuskan learning organization berdasarkan komponen transformasi organisasi
Informasi mengenai langkahlangkah merumuskan learning organization berdasarkan komponen dinamika pembelajaran
Skala
Universitas Indonesia
Pedoman pelaksanaan Focus Group Discussion (lihat lampiran)
Pedoman pelaksanaan Focus Group Discussion (lihat lampiran)
Pedoman pelaksanaan Focus Group Discussion (lihat lampiran)
Hasil Ukur
4.7. Definisi Operasional Langkah-langkah Merumuskan Learning Organization Model Marquardt
Aplikasi Teknologi
5.
Dimensi keterbukaan komunikasi Dimensi kerjasama antar unit Dimensi serah terima dan transisi
Memastikan semua informasi tentang keselamatan pasien mudah diakses oleh staf RS dalam berbagai lapisan dengan menerapkan teknologi yang ada. Sosialisasi tidak hanya terbatas pada pengenalan tim manajemen risiko dan KKPRS serta tatacara pembuatan laporan namun secara khusus diberikan pelatihan mengenai kesalahan medis serta dibuat panduan yang riil mengenai kasus apa saja yang perlu dilaporkan.
Dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien Dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan
Menyusun standard pelaksanaan pelayanan berbasis keselamatan pasien dengan berpedoman pada Sembilan Solusi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit yang diikuti dengan penerapan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Focus Group Discussion
Focus Group Discussion
Pedoman pelaksanaan Focus Group Discussion (lihat lampiran)
Pedoman pelaksanaan Focus Group Discussion (lihat lampiran)
Informasi mengenai langkahlangkah merumuskan learning organization berdasarkan komponen aplikasi teknologi
Informasi mengenai langkahlangkah merumuskan learning organization berdasarkan komponen pengelolaan pengetahuan
59
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Definisi operasional langkah-langkah merumuskan Learning Organization model Marquardt (diadaptasi dari Marquardt, 1996)
Pengelolaan Pengetahuan
4.
Dimensi frekuensi pelaporan kejadian Dimensi staffing
BAB 5 METODOLOGI PENELITIAN 5.1
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan metode kuantitatif potong lintang yang dilanjutkan dengan metode kualitatif. Semuanya bertujuan untuk mengukur budaya keselamatan pasien, mengidentifikasi profil budaya organisasi dan merumuskan learning organization dalam upaya transformasi untuk membangun keselamatan pasien di RS.Masmitra.
5.2
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2014 di RS.Masmitra, yang beralamat di Jl.Kelurahan Jatimakmur no.40, Pondok Gede, Bekasi.
5.3
Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif dilakukan untuk mengukur budaya keselamatan pasien dan mengidentifikasi budaya organisasi. 5.3.1
Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
Mengukur budaya keselamatan pasien Populasi pada penelitian ini adalah tenaga klinis yang melakukan asuhan pada pasien di RS.Masmitra, terdiri dari tenaga medis (dokter umum dan dokter spesialis), tenaga keperawatan (perawat dan bidan) dan tenaga penunjang medis (staf farmasi, staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi dan ahli gizi) yang memenuhi kriteria inklusi, seluruhnya berjumlah 55 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah total
60
Universitas Indonesia
61
sampling agar semua responden dapat memberikan pendapatnya. Jumlah total sampel masing-masing kategori adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1. Jumlah sampel tenaga klinis NO
KATEGORI STAF KLINIS
JUMLAH
1.
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
15
2.
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
28
3.
Tenaga
12
penunjang
medis
(laboratorium,
radiologi, fisiterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
55
Sumber : bagian SDM RS.Masmitra
Kriteria inklusi :
Karyawan atau mitra kerja (dokter) yang telah bekerja ≥ 1 tahun
Minimal berstatus karyawan kontrak
Merupakan tenaga klinis yang memberikan asuhan pada pasien, meliputi : dokter umum, dokter spesialis, bidan, perawat, staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker dan ahli gizi
Kriteria eksklusi:
Karyawan yang sedang menjalani cuti panjang (cuti melahirkan)
Karyawan yang sedang menjalani pendidikan di luar RS
Mengidentifikasi budaya organisasi Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu responden yang sama dengan responden kuesioner budaya keselamatan pasien yang memenuhi kriteria inklusi ditambah pimpinan di tingkat direksi, owner
Universitas Indonesia
62
dan manajer serta kepala ruangan yang telah bekerja ≥ 1 tahun, responden terdiri dari 5 orang. Pertimbangan peneliti memilih responden tersebut adalah agar terdapat representasi mulai dari unsur pelaksana klinis di lapangan sebagai implementer kebijakan hingga pihak direksi, owner dan manajer serta kepala ruangan sebagai penentu kebijakan, dimana salah satu direksi disini juga merupakan owner yang turut menentukan kebijakan RS. Adapun waktu 1 tahun dianggap waktu yang cukup terjadinya internalisasi budaya organisasi bagi karyawan RS.Masmitra sehingga hasil yang didapatkan benar-benar valid sebagai gambaran budaya organisasi yang dianut. Kelompok responden yang sama antara penelitian budaya keselamatan pasien dengan penelitian budaya organisasi juga berguna untuk mendapatkan hubungan langsung antara budaya keselamatan pasien dan budaya organisasi sehingga menjawab keterbatasan penelitian yang dilakukan Iriviranty (2014) yaitu tidak dapat melihat hubungan secara langsung antara budaya keselamatan pasien dengan budaya organisasi karena menggunakan kelompok responden yang berbeda. 5.3.2
Teknik Pengumpulan Data Metode Kuantitatif
Teknik pengumpulan data untuk mengukur budaya keselamatan pasien dan mengidentifikasi budaya organisasi adalah melalui teknik survei dengan mendatangi tenaga klinis yang memenuhi kriteria inklusi. Peneliti membacakan terlebih dahulu lembar informed consent, selanjutnya responden menandatangani persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. Untuk memudahkan bertanya pada saat mengisi kuesioner maka peneliti mendampingi langsung setiap pengisian kuesioner dan menunggu hingga responden selesai mengisinya.
Universitas Indonesia
63
5.3.3
Instrumen Metode Kuantitatif
1. Formulir kuesioner budaya keselamatan pasien diterjemahkan dari kuesioner standard Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), yang terdiri atas 50 pertanyaan, mencakup 29 pertanyaan untuk dimensi tingkat unit, 11 pertanyaan untuk dimensi tingkat rumah sakit, 4 pertanyaan untuk dimensi output dan 6 pertanyaan untuk
variabel
latar
belakang
responden.
Kuesioner
ini
menggunakan skala Likert untuk 5 pilihan jawaban mulai dari “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju” atau mulai dari “tidak pernah” sampai “selalu” (skala 1 sampai dengan 5). Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu untuk kuesioner yang akan digunakan. 2. Formulir
assessmen
budaya
organisasi
diterjemahkan
dari
kuesioner standard Organization Culture Assessment Instrument (OCAI) yang diadaptasi dari Competing Value Framework (Cameron & Quinn, 2011). Kuesioner ini terdiri dari 6 kelompok pertanyaan yang masing-masing terdiri dari 4 alternatif. Responden membagi 100 poin dalam keempat alternatif tersebut. Responden juga diminta untuk mengisi kolom now dan preferred untuk kondisi budaya yang dirasakan sekarang dan yang diharapkan. Dilakukan uji redaksional kalimat terlebih dahulu agar mudah dimengerti untuk kuesioner ini. Pada saat uji coba, didapat fakta bahwa responden mengalami kesulitan mencerna kalimat sehingga peneliti melakukan perbaikan pada redaksional kalimat tanpa mengubah makna kalimat pada penelitian ini.
Universitas Indonesia
64
5.3.4
Pengolahan data Metode Kuantitatif
Bersamaan
dengan
penyusunan
kuesioner,
disusun
pula
koding
kemungkinan setiap pertanyaan. Pengolahan data diawali dengan memeriksa kelengkapan isi kuesioner (editing), apabila dijumpai adanya ketidaklengkapan maka akan dikembalikan kepada responden untuk dilengkapi, kemudian dilanjutkan dengan pengkodean (coding) dari setiap nilai jawaban responden pada setiap variabel. Kuesioner budaya keselamatan pasien Hasil skala likert dalam kuesioner dibagi atas pernyataan positif (“setuju” dan “sangat setuju” atau “selalu” dan “sering”) serta pernyataan negatif (“sangat tidak setuju” dan “tidak setuju” atau “tidak pernah” dan “jarang”). Adapun penilaian untuk butir pernyataan adalah sebagai berikut: Tabel 5.2.Penilaian butir pernyataan kuesioner budaya keselamatan pasien Alternatif jawaban
Skala
sangat tidak setuju tidak setuju netral setuju sangat setuju tidak pernah jarang kadang-kadang sering selalu
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Universitas Indonesia
65
Kuesioner budaya organisasi Skor yang didapat dari masing-masing alternatif (4 alternatif) pada tiap komponen (6 komponen) pernyataan dirata-rata. Total skor terpisah menjadi total skor now masing-masing alternatif untuk kondisi budaya yang dirasakan sekarang dan total skor preferred masing-masing alternatif untuk kondisi budaya yang diharapkan. Tipe budaya yang dominan dalam organisasi ditentukan oleh kuadran dengan skor rata-rata tertinggi. Kekuatan dari budaya dominan tersebut ditentukan dari skor rata-rata tiap kuadran yang dianggap bermakna jika selisih nilai tiap kuadran lebih dari 10 poin yang artinya diperlukan intervensi manajerial pada komponen tersebut. Data yang didapat dari kedua kuesioner dimasukan ke dalam komputer menggunakan program analisis SPSS dan dilakukan pengecekan kembali kebenaran data yang sudah dientry, kemudian dilakukan cleaning data, yaitu proses pengecekan data untuk konsistensi dan treatment yang hilang. Pengecekan konsistensi meliputi pemerikasaan data yang out of range, tidak konsisten secara logika, ada nilai-nilai ekstrim dan data dengan nilainilai yang tidak terdefinisi. 5.3.5
Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Kuesioner
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada instrumen pengukuran budaya keselamatan pasien yaitu kuesioner dari AHRQ kepada 30 orang responden terhadap tiap butir pertanyaan dari 12 dimensi yang diukur. Uji Validitas Validitas
berarti
seberapa
jauh
informasi
yang
dikumpulkan
mencerminkan “apa” yang ingin diketahui dan bahwa data yang diperoleh betul-betul data yang dapat diuji kebenarannya (Wibowo A, 2014). Suatu
Universitas Indonesia
66
pernyataan dianggap valid bila nilai dari pernyataan tersebut berkorelasi secara
bermakna
dengan
nilai
total
untuk
variabelnya
0,2-0,4
(Sorra&Nieva, 2004). Pengujian ini dilakukan dengan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Uji Reliabilitas Menurut Wibowo, A (2014) reliabilitas adalah sejauh mana sebuah eksperimen, tes atau prosedur pengukuran apapun akan menghasilkan hasil yang sama walau digunakan berulang kali. Bila sebuah instrumen menghasilkan nilai yang berbeda setiap kali suatu subjek diuji, maka skala yang dihasilkan tidak dapat memberikan nilai yang objektif atau nilai sebenarnya dari suatu objek yang diuji. Uji reliabilitas bertujuan mengukur konsisten tidaknya jawaban seseorang terhadap item pernyataan di dalam sebuah kuesioner. Pengujian reliabilitas memerlukan pengujian validitas terlebih dahulu. Penyataan yang tidak valid dibuang, baru kemudian penyataan-pernyataan yang valid diukur reliabilitasnya secara bersamasama (Hastono, 2006). Pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara one shot atau diukur sekali saja. Untuk mengetahui reliabilitas dilakukan dengan cara melakukan uji Cronbach’s Alpha dan dinyatakan reliable apabila nilainya >0,6 (Sorra&Nieva, 2004). 5.3.6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Sebelum kuesioner digunakan untuk pengambilan data penelitian, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu terhadap butir-butir pernyataan dalam kuesioner kepada tenaga klinis yang melakukan asuhan pada pasien di RS.Masmitra yang tidak dipakai sebagai responden penelitian. Keseluruhan butir pernyataan menunjukkan hasil reliabilitas yang baik (Chronbach’s Alpha >0,6) dengan uraian sebagai berikut : Universitas Indonesia
67
a. Budaya Keterbukaan 1. Keterbukaan komunikasi (3 pernyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,608). 2. Kerjasama Dalam Unit (4 pernyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,723). 3. Kerjasama Antar Unit (4 pernyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,640). 4. Persepsi keseluruhan tentang KP (4 pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,629). 5. Dukungan Manajemen terhadap Upaya KP (3 pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,775)
b. Budaya Keadilan 1. Staffing (4 pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,698). 2. Respon Non-punitive terhadap kesalahan (3 penyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,838).
c. Budaya Pelaporan 1. Frekuensi Pelaporan Kejadian (3 pernyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,929).
2. Jumlah Kejadian yang dilaporkan d. Budaya Belajar 1. Pembelajaran
Organisasi
dan
Perbaikan
Berkelanjutan
(3
pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,737). 2. Harapan staf terhadap Sikap dan Tindakan Supervisor/Manajer
dalam Promosi KP (4 pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,849).
3. Patient Safety Grade
Universitas Indonesia
68
e. Budaya Informasi 1. Umpan balik dan komunikasi tentang insiden KP (3 penyataan valid dan Cronbach’s Alpha 0,765). 2. Serah Terima dan Transisi (4 pernyataan valid dan nilai Cronbach’s Alpha 0,724).
Setelah melalui uji validitas dan reliabilitas, maka pernyataan yang valid dan reliabel yang digunakan dalam kuesioner adalah sebagai berikut: Tabel 5.3 Variabel dan Pernyataan yang Valid dan Reliabel NO
VARIABEL
NO PERNYATAAN
Budaya Keterbukaan 1
Keterbukaan komunikasi
2
Kerjasama dalam unit
3
Kerjasama antar unit
4
Persepsi keseluruhan tentang KP
5
Dukungan manajemen terhadap upaya KP
C2, C4, C6 A1, A3, A4, A11 F2, F4, F6, F10 A10, A15, A17, A18 F1, F8, F9
Budaya Keadilan 1 2 NO
A2, A5, A7, A14
Staffing Respon non-punitive terhadap kesalahan VARIABEL
A8, A12, A16 NO PERNYATAAN
Budaya Pelaporan 1
Frekuensi pelaporan kejadian
2
Jumlah kejadian yang dilaporkan
1
Budaya Belajar Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
2
Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi KP
3
Patient Safety Grade
1 2
Budaya Informasi Umpan balik dan komunikasi tentang insiden KP Serah terima dan transisi
D1, D2, D3 bagian G
A6, A9, A13 B1, B2, B3, B4 bagian E
C1, C3, C5 F3, F5, F7, F11
Universitas Indonesia
69
Pada uji pertama terhadap 30 responden, tidak didapatkan nilai reliabilitas yang baik untuk variabel persepsi keseluruhan tentang KP, staffing, respon non-punitive terhadap kesalahan dan dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi KP. Peneliti kemudian melakukan perbaikan kalimat pada butir-butirnya dan diujicobakan kembali. Dari hasil uji coba ke-2 ini didapatkan nilai reliabilitas yang baik untuk keseluruhan dimensi budaya keselamatan pasien seperti tertera pada tabel diatas. 5.3.7
Analisis Data Metode Kuantitatif
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hasil pengumpulan data dari kuesioner budaya keselamatan pasien dan kuesioner budaya organisasi, dengan menghitung frekuensi dan persentase dari tiap dimensi budaya keselamatan pasien serta skor dari masing-masing tipe budaya organisasi.
5.4
Metode Kualitatif
Metode kualitatif dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) untuk memperoleh langkah-langkah transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi yang dianut dalam upaya membangun keselamatan pasien di RS.Masmitra dan juga hal-hal yang belum terjawab dalam penelitian kuantitatif ataupun memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dikarenakan adanya keterbatasan waktu penelitian, FGD tidak berjalan sesuai harapan yang seharusnya melibatkan peran serta aktif seluruh peserta dalam grup diskusi. Namun pada penelitian ini peneliti menyusun terlebih dahulu langkah-langkah transformasi tersebut untuk selanjutnya disampaikan dalam FGD untuk meminta pendapat, masukan maupun Universitas Indonesia
70
persetujuan dari peserta diskusi yang selanjutnya disepakati bersama sebagai hasil FGD. 5.4.1
Informan Metode Kualitatif
Informan pada metode ini berjumlah 9 orang dimana cara pengambilan sampel adalah dengan purposive sampling yaitu pimpinan di tingkat direksi, owner, manajer dan kepala unit yang telah bekerja > 1 tahun. Pertimbangan peneliti memilih sampel tersebut adalah agar terdapat representasi dari unsur pelaksana klinis di lapangan sebagai implementer kebijakan dan juga pihak direksi, owner serta manajer sebagai penentu kebijakan. Daftar informan tertera pada tabel 5.4. Tabel 5.4. Daftar Informan Penelitian Kualitatif No.
Informan
Kode
Jabatan
Informan 1.
Informan 1
I-1
Direktur Utama
2.
Informan 2
I-2
Ka.Div Keuangan, Akuntansi&SDM sekaligus owner
3.
Informan 3
I-3
Ka.Div
Umum,
Marketing,
Development&Humas 4.
Informan 4
I-4
Kepala Bagian Umum
5.
Informan 5
I-5
Kepala Bagian Akuntansi&Keuangan
6.
Informan 6
I-6
Kepala Bagian Penunjang Medis
7.
Informan 7
I-7
Kepala Unit Kamar Operasi
8.
Informan 8
I-8
Kepala Unit IGD
9.
Informan 9
I-9
Kepala Unit Rawat Inap
Universitas Indonesia
71
5.4.2
Teknik Pengumpulan Data Pada Metode Kualitatif
Teknik pengumpulan data pada metode ini melalui Focus Group Discussion (FGD) dimana peneliti memaparkan deskripsi hasil penelitian dari budaya keselamatan pasien dan budaya organisasi beserta hasil analisisnya.
Pendapat-pendapat
dalam
diskusi
dicatat
kemudian
diklasifikasikan dengan mengacu pada literatur strategi mutu dari Competing Values Framework (Cameron & Quinn, 2011). Peneliti dibantu oleh seorang asisten pada saat melakukan FGD. 5.4.3
Instrumen Metode Kualitatif
Pedoman Focus Group Discussion (lampiran 5)
5.4.4
Validitas Data Metode Kualitatif
Validitas data metode kualitatif dilakukan dengan tehnik triangulasi sumber data dan teori. Triangulasi sumber data dilakukan dengan mencari data selain dari informan dalam FGD juga dengan mempertimbangkan lembar komentar responden pada kuesioner. Triangulasi teori dilakukan dengan melihat peraturan dan teori yang ada. 5.4.5
Analisis Data Metode Kualitatif
Analisis data metode kualitatif dilakukan dengan tehnik konten analisis. Setelah informasi dari hasil penelitian deskriptif budaya keselamatan dan budaya organisasi dianalisis, peneliti kemudian melakukan Focus Group Discussion (FGD). Pendapat-pendapat dalam FGD tersebut dicatat dan diklasifikasikan dengan mengacu pada literatur strategi mutu dari Competing Values Framework (Cameron & Quinn, 2011).
Universitas Indonesia
72
5.5
Etika Penelitian
Untuk memenuhi etika penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan pengambilan data kepada Direktur Utama RS.Masmitra dan sebelum pengisian kuesioner responden diberikan informed consent. Seluruh data disimpan secara rahasia dan hanya bisa diakses oleh peneliti.
Universitas Indonesia
BAB 6 HASIL PENELITIAN
6.1
Hasil Penelitian Budaya Keselamatan Pasien
6.1.1. Karakteristik Responden Karakteristik responden pada penelitian ini terdiri dari jenis profesi, unit kerja, lama kerja serta jumlah jam kerja dalam seminggu, seperti tergambar pada tabel berikut : Tabel 6.1.Karakteristik Responden VARIABEL
JUMLAH
PERSENTASE (%)
Profesi - dokter umum - dokter spesialis - perawat - bidan - staf laboratorium - staf radiologi - staf fisioterapi - apoteker/ass.apoteker - ahli gizi TOTAL
4 11 21 9 1 1 1 6 1 55
7,27 20,00 38,18 16,36 1,82 1,82 1,82 10,91 1,82 100,00
Unit kerja - Rawat inap - IGD - Kamar bersalin - Kamar operasi - Poliklinik - Laboratorium - Radiologi - Fisioterapi - Farmasi - Gizi
15 8 4 6 10 1 1 1 8 1
27,27 14,55 7,27 10,90 18,18 1,82 1,82 1,82 14,55 1,82
Lama kerja - 1-5 tahun - 6-10 tahun
33 22
60 40
Jumlah jam kerja/minggu - 1-19 jam - 20-39 jam - 40-59 jam
0 10 45
0 18,18 81,82
73
Universitas Indonesia
74
6.1.2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan panduan Hospital Survey On Patient Safety Culture (Sorra & Nieva, 2004) disebutkan bahwa dimensi budaya dengan persepsi positif merupakan kekuatan bagi rumah sakit untuk menerapkan keselamatan pasien. Dalam penelitian ini dimensi dengan persepsi positif mencapai ≥75% disebut sebagai Budaya Baik. Dimensi dengan persepsi positif ≤50 % merupakan area yang memerlukan perbaikan dan disebut sebagai Budaya Kurang. Sedangkan Budaya Sedang dalam penelitian ini adalah persepsi positif antara 50-75%. Untuk memudahkan pemahaman responden, peneliti berusaha merubah redaksional kalimat sehingga hampir seluruh pernyataan bermakna positif. Persepsi positif adalah persentase gabungan dari responden yang menjawab “Setuju” dan “Sangat setuju” atau “Selalu” dan “Sering”. Hasil perhitungan skor tiap dimensi budaya keselamatan pasien adalah sebagai berikut :
6.1.2.1.Budaya Keterbukaan 1.Keterbukaan komunikasi
Universitas Indonesia
75
Tabel 6.2.Dimensi Keterbukaan Komunikasi %Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
C2
Karyawan di unit kami bebas berbicara jika melihat sesuatu yang dapat berdampak negatif pada perawatan pasien
49,10%
5,45%
45,45%
C4
Karyawan merasa bebas menanyakan keputusan/tindakan yang diambil oleh kepala unit dalam hubungannya dengan keselamatan pasien
70,91%
9,09%
20%
C6
Karyawan di unit kami tidak takut bertanya jika terjadi sesuatu yang tidak benar
74,54%
3,64%
21,82%
kode
Pernyataan
Rata-rata total persepsi positif
64,85%
Persepsi budaya sedang dalam hal keterbukaan komunikasi ditemukan pada 65% responden. Keterbukaan komunikasi sangat diwarnai oleh pernyataan bahwa karyawan tidak takut bertanya jika terjadi sesuatu yang tidak benar (75%). 2.Kerjasama dalam unit Tabel 6.3.Dimensi Kerjasama Dalam Unit kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
A1
Setiap orang saling membantu satu sama lain di unit kami
76,36%
0%
23,64%
A3
Jika di unit kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, maka staf di unit kami bekerja bersamasama sebagai tim untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
94,54%
1,82%
3,64%
A4
Di unit kami orang-orang saling menghargai satu sama lain
87,27%
10,91%
1,82%
A11
Jika unit kami sedang sibuk, maka unit lain akan membantu
61,82%
12,73%
25,45%
Rata-rata total persepsi positif
79,99%
Universitas Indonesia
76
80% responden memberikan persepsi budaya baik pada kerjasama dalam unit yang didominasi oleh pernyataan bahwa jika di unit ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, maka staf di unit bekerja bersama-sama sebagai tim untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut (95%). 3.Kerjasama antar unit Tabel 6.4.Dimensi Kerjasama Antar Unit kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
F2
Unit satu dengan unit lainnya berkoordinasi dengan baik di RS kami
63,64%
10,91%
25,45%
F4
Terdapat kerjasama yang baik antar unit di RS untuk menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama
54,54%
21,82%
23,64%
F6
Saya merasa senang bekerja dengan staf yang berasal dari unit lain dalam RS ini
65,46%
14,54%
20%
F10
Terdapat kerjasama yang baik antar unit dalam RS untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien
69,09%
9,09%
21,82%
Rata-rata total persepsi positif
63,18%
Persepsi budaya sedang dalam hal kerjasama antar unit ditemukan pada 63% responden. Pernyataan “Terdapat kerjasama yang baik antar unit dalam rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien” mendominasi persepsi pada dimensi ini (69%).
Universitas Indonesia
77
4.Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien Tabel 6.5.Dimensi Persepsi Keseluruhan tentang KP kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
A10
Kesalahan serius yang terjadi di unit ini merupakan suatu ketidaksengajaan
54,55%
7,27%
38,18%
A15
Kami tidak pernah mengorbankan keselamatan pasien untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih banyak
65,46%
9,09%
25,45%
A17
Di unit kami jarang terjadi masalah yang berhubungan dengan keselamatan pasien
56,36%
20%
23,64%
A18
Prosedur dan sistem di unit kami sudah baik dalam mencegah insiden/error
41,82%
23,64%
34,54%
Rata-rata total persepsi positif
54,54%
55% responden memberikan persepsi budaya sedang pada dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien. Pernyataan bahwa staf tidak pernah mengorbankan keselamatan pasien untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih banyak mewarnai dimensi ini (65%). 5.Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Tabel 6.6.Dimensi Dukungan Manajemen terhadap Upaya KP kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
F1
Manajemen RS membuat suasana kerja yang mendukung upaya keselamatan pasien
78,19%
14,54%
7,27%
F8
Tindakan manajemen RS menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama
85,46%
9,09%
5,45%
F9
Manajemen RS tertarik pada keselamatan pasien tidak hanya setelah peristiwa buruk (Kejadian Tidak Diinginkan) terjadi
74,55%
16,36%
9,09%
Rata-rata total persepsi positif
79,39%
Universitas Indonesia
78
Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dipersepsikan sebagai budaya baik (79%) dengan nilai tertinggi (85%) jatuh pada persepsi tentang tindakan manajemen RS yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama. 6.1.2.2.Budaya Keadilan 1.Staffing Tabel 6.7.Dimensi Staffing kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
A2
Kami merasa kekurangan staf untuk menangani beban kerja
83,64%
14,54%
1,82%
A5
Staf di unit kami tidak pernah bekerja lembur untuk melayani pasien
23,64%
20%
56,36%
A7
Di unit kami tidak ada tenaga honorer untuk kegiatan keselamatan pasien
63,64%
21,82%
14,54%
A14
Kami bekerja dalam keadaan waspada dan berusaha berbuat banyak dengan cepat
90,90%
5,45%
3,64%
Rata-rata total persepsi positif
65,46%
Dimensi staffing dipersepsikan sebagai budaya sedang (65%), dengan pernyataan tertinggi (91%) ada pada pernyataan “Kami bekerja dalam keadaan waspada dan berusaha berbuat banyak dengan cepat”.
Universitas Indonesia
79
2.Respon non-punitive terhadap kesalahan Tabel 6.8.Dimensi Respon non-punitive terhadap Kesalahan kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
A8
Karyawan di unit kami merasa bahwa kesalahan yang mereka lakukan tidak digunakan untuk menyalahkan mereka
45,45%
25,45%
29,10%
A12
Ketika insiden keselamatan pasien dilaporkan, yang dicatat/dibicarakan adalah masalahnya, bukan pelakunya
52,73%
14,54%
32,73%
A16
Karyawan tidak merasa khawatir bahwa kesalahan yang dibuatnya akan dicatat/mempengaruhi penilaian kinerja mereka
30,91%
23,64%
45,45%
Rata-rata total persepsi positif
43,03%
43% responden memberikan persepsi budaya kurang pada dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan. Pernyataan bahwa ketika insiden keselamatan
pasien
dilaporkan,
yang
dicatat/dibicarakan
adalah
masalahnya, bukan pelakunya mewarnai 53% dimensi ini. 6.1.2.3.Budaya Pelaporan 1.Frekuensi pelaporan kejadian
Universitas Indonesia
80
Tabel 6.9.Dimensi Frekuensi Pelaporan Kejadian kode
Pernyataan
Sering/ Selalu
Kadangkadang
Tidak pernah/Jarang
D1
Jika suatu kesalahan terjadi, tetapi sempat ditemukan dan diperbaiki sehingga pasien tidak terpapar (Kejadian Nyaris Cedera) seberapa seringkah hal tersebut dilaporkan?
41,82%
5,45%
52,73%
D2
Jika ditemukan suatu situasi/kondisi, yang berpotensi mencederai pasien, tetapi belum terjadi insiden (Kejadian Potensial Cedera), seberapa seringkah hal tersebut dilaporkan?
29,09%
10,91%
60%
D3
Jika suatu kesalahan dilakukan, pasien terpapar namun tidak terjadi cedera (Kejadian Tidak Cedera), seberapa seringkah hal tersebut dilaporkan ?
23,64%
14,54%
61,82%
Rata-rata total persepsi positif
31,52%
32% responden memberikan persepsi budaya kurang pada dimensi frekuensi pelaporan kejadian, dimana lebih dari 50% responden tidak pernah/jarang melaporkan kejadian nyaris cedera, kejadian potensial cedera maupun kejadian tidak cedera. 2.Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Tabel 6.10.Dimensi Jumlah Kejadian Yang Dilaporkan 12 Bulan Terakhir Jumlah laporan dalam 12 bulan terakhir
Frekuensi
Persentase
21 laporan atau lebih
0
0
11-20 laporan
3
5,45
6-10 laporan
7
12,73
3-5 laporan
6
10,90
1-2 laporan
29
18,18
tidak ada laporan kejadian
10
52,73
Persepsi positif (pernah melaporkan)
47,26 %
Universitas Indonesia
81
47% responden memberikan persepsi budaya kurang pada dimensi jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir. 53% responden tidak pernah melaporkan kejadian dalam 12 bulan terakhir. 6.1.2.4.Budaya Belajar 1.Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Tabel 6.11.Dimensi Pembelajaran Organisasi dan Perbaikan Berkelanjutan kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
A6
Kami aktif melakukan kegiatan untuk meningkatkan keselamatan pasien
16,37%
38,18%
45,45%
A9
Di unit kami, kesalahan yang terjadi digunakan untuk membuat perubahan yang positif
38,18%
12,73%
49,09%
A13
Setelah kami melakukan perubahan untuk meningkatkan keselamatan pasien, kami melakukan evaluasi terhadap keefektivitasannya
29,09%
5,45%
65,46%
Rata-rata total persepsi positif
27,88%
Persepsi terhadap dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan ditemukan dipersepsikan sebagai budaya kurang sebab hanya 28% responden yang memberikan persepsi positif. Hal ini diwarnai dengan 65% responden menyatakan bahwa kurangnya evaluasi setelah staf melakukan perubahan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan hampir 50% responden menyatakan bahwa :
Kesalahan yang terjadi belum digunakan untuk membuat perubahan yang positif
Belum semua staf aktif melakukan kegiatan untuk meningkatkan keselamatan pasien
Universitas Indonesia
82
2.Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien Tabel 6.12.Dimensi Harapan Staf terhadap Sikap dan Tindakan Supervisor/Manajer dalam promosi KP %Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
B1
Kepala unit saya memberi pujian ketika dia melihat pekerjaaan diselesaikan sesuai dengan prosedur keselamatan pasien
56,36%
18,19%
25,45%
B2
Kepala unit saya dengan serius mempertimbangkan masukan staf untuk meningkatkan keselamatan pasien
72,73%
5,45%
21,82%
B3
Ketika beban kerja kami tinggi, kepala unit kami meminta kami bekerja hatihati dan tidak diperbolehkan mengambil jalan pintas
85,45%
10,91%
3,64%
B4
Kepala unit saya tidak pernah membesar-besarkan masalah keselamatan pasien yang terjadi di unit kami
50,91%
25,45%
23,64%
kode
Pernyataan
Rata-rata total persepsi positif
66,36%
Dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien dipersepsikan sebagai budaya sedang (66%). Dimensi ini diwarnai oleh pernyataan “Ketika beban kerja kami tinggi, kepala unit kami meminta kami bekerja hati-hati dan tidak diperbolehkan mengambil jalan pintas” (85%).
Universitas Indonesia
83
3.Patient safety grade Tabel 6.13.Dimensi Patient Safety Grade Nilai Sempurna
Frekuensi
Persentase
0
0
Sangat baik
21
38,18
Dapat diterima
24
43,64
Buruk
10
18,18
Gagal
0
0 38,18 %
Persepsi positif (sempurna+sangat baik)
Patient safety grade dipersepsikan sebagai budaya kurang (38%). Tidak ada responden yang memberikan penilaian sempurna terhadap patient safety grade. 44% memberikan penilaian dapat diterima dan sebanyak 18% responden memberikan penilaian buruk. 6.1.2.5.Budaya Informasi 1.Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien Tabel 6.14.Dimensi Umpan Balik dan Komunikasi tentang Insiden KP %Setuju/ kode
Pernyataan
Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
60%
12,73%
27,27%
C1
Kami selalu mendapat umpan balik/evaluasi terhadap perubahan di tempat kerja berdasarkan laporan kejadian
C3
Karyawan di unit kami mendapat informasi (diberitahu) mengenai insiden yang terjadi di unit kami
89,10%
5,45%
5,45%
C5
Unit kami mendiskusikan cara-cara mencegah agar insiden tidak terulang kembali
70,91%
5,45%
23,64%
Rata-rata total persepsi positif
73,33%
Universitas Indonesia
84
Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien dipersepsikan sebagai budaya sedang (73%). Pernyataan “Karyawan di unit kami mendapat informasi (diberitahu) mengenai insiden yang terjadi di unit kami” mewarnai 89% dimensi ini. 2.Serah terima dan transisi Tabel 6.15.Dimensi Serah Terima dan Transisi
kode
Pernyataan
%Setuju /Sangat Setuju
%Netral
%Tidak Setuju /Sangat Tidak Setuju
F3
Bila terjadi pemindahan pasien dari unit satu ke unit yang lain, tidak pernah timbul masalah
34,54%
32,73%
32,73%
F5
Informasi yang penting mengenai perawatan pasien jarang hilang saat pergantian shift
56,36%
23,64%
20%
F7
Masalah jarang timbul dalam pertukaran informasi antar unit di RS ini
47,27%
20%
32,73%
F11
Pergantian shift tidak menimbulkan masalah bagi pasien di RS ini
80%
9,09%
10,91%
Rata-rata total persepsi positif
54,54%
Persepsi budaya sedang dalam hal serah terima dan transisi ditemukan pada 55% responden. Serah terima dan transisi sangat diwarnai oleh pernyataan bahwa pergantian shift tidak menimbulkan masalah bagi pasien di RS ini (80%). Dengan demikian dapat dirangkum bahwa Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dengan kategori budaya baik (persepsi positif ≥ 75%), budaya sedang (persepsi positif 50-75%) dan budaya kurang (persepsi positif ≤ 50%) adalah sebagai berikut :
Universitas Indonesia
85
Grafik 6.1.Rangkuman Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
6.1.3. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien berdasarkan Kategori Profesi Dimensi budaya keselamatan pasien dikelompokkan menurut kategori profesi tenaga klinis dengan hasil sebagai berikut :
6.1.3.1.Budaya Keterbukaan 1.Keterbukaan komunikasi
Universitas Indonesia
86
Tabel 6.16.Dimensi Keterbukaan Komunikasi berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
7% (4)
2% (1)
18% (10)
27% (15)
20% (11)
29% (16)
2% (1)
51% (28)
4% (2)
16% (9)
2% (1)
22% (12)
31% (17)
47% (26)
22% (12)
100% (55)
besar
responden
mempersepsi
Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
a. Hampir
sebagian
dimensi
keterbukaan komunikasi sebagai budaya sedang (47%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 29%
Tenaga penunjang medis 16%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis 2.Kerjasama dalam unit Tabel 6.17.Dimensi Kerjasama Dalam Unit berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
7% (4)
20% (11)
0% (0)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
49% (27)
0% (0)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
18% (10)
4% (2)
0% (0)
22% (12)
Total
75% (41)
24% (13)
2% (1)
100% (55)
a. Sebagian besar responden mempersepsi dimensi kerjasama dalam unit sebagai budaya baik (75%) b. Budaya baik dipersepsi oleh :
Universitas Indonesia
87
Tenaga keperawatan 49%
Tenaga penunjang medis 18%
c. Hampir tidak ada kategori profesi yang mempersepsi kerjasama dalam unit sebagai budaya kurang 3.Kerjasama antar unit Tabel 6.18.Dimensi Kerjasama Antar Unit berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
4% (2)
4% (2)
20% (11)
27% (15)
7% (4)
42% (23)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
4% (2)
18% (10)
0% (0)
22% (12)
Total
14% (8)
64% (35)
22% (12)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
a. Sebagian besar responden mempersepsi dimensi kerjasama antar unit sebagai budaya sedang (64%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 42%
Tenaga penunjang medis 18%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis
Universitas Indonesia
88
4.Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien Tabel 6.19.Dimensi Persepsi Keseluruhan tentang KP berdasarkan Profesi Kategori staf klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
2% (1)
5% (3)
20% (11)
27% (15)
24% (13)
24% (13)
4% (2)
51% (28)
7% (4)
14% (8)
0% (0)
22% (12)
33% (18)
44% (24)
24% (13)
100% (55)
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien sebagai budaya sedang (44%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 24%
Tenaga penunjang medis 14%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis 5.Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Tabel 6.20.Dimensi Dukungan Manajemen terhadap Upaya KP berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
16%(9)
5% (3)
5% (3)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
34% (19)
13% (7)
4% (2)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
18% (10)
4% (2)
0% (0)
22% (12)
Total
69% (38)
22% (12)
9% (5)
100% (55)
Universitas Indonesia
89
a. Sebagian besar responden mempersepsi dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien sebagai budaya baik (69%) b. Budaya baik dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 34%
Tenaga penunjang medis 18%
c. Hampir tidak ada kategori profesi yang mempersepsi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien sebagai budaya kurang 6.1.3.2.Budaya Keadilan 1.Staffing Tabel 6.21.Dimensi Staffing berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
0% (0)
100% (15)
0% (0)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
24% (13)
27% (15)
0% (0)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
11% (6)
9% (5)
2% (1)
22% (12)
Total
34% (19)
64% (35)
2% (1)
100% (55)
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi staffing sebagai budaya sedang (64%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Seluruh tenaga medis
27% tenaga keperawatan
c. Hampir tidak ada kategori profesi yang mempersepsi dimensi staffing sebagai budaya kurang Universitas Indonesia
90
2.Respon non-punitive terhadap kesalahan Tabel 6.22.Dimensi Respon non-punitive terhadap Kesalahan berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
2% (1)
4% (2)
22% (12)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
11% (6)
7% (4)
33% (18)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
11% (6)
11% (6)
0% (0)
22% (12)
Total
24% (13)
22% (12)
54% (30)
100% (55)
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan sebagai budaya kurang (54%) b. Budaya kurang dipersepsi oleh :
Tenaga medis 22%
Tenaga keperawatan 33%
c. Tidak ada tenaga medis yang mempersepsi dimensi respon nonpunitive terhadap kesalahan sebagai budaya baik 6.1.3.3.Budaya Pelaporan 1.Frekuensi pelaporan kejadian Tabel 6.23.Dimensi Frekuensi Pelaporan Kejadian berdasarkan Profesi Kategori staf klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
5% (3)
4% (2)
18% (10)
27% (15)
13% (7)
16% (9)
22% (12)
51% (28)
4% (2)
7% (4)
11% (6)
22% (12)
22% (12)
27% (15)
51% (28)
100% (55)
Universitas Indonesia
91
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi frekuensi pelaporan kejadian sebagai budaya kurang (51%) b. Budaya kurang dipersepsi oleh :
Tenaga medis 18%
Tenaga keperawatan 22%
c. Hampir tidak ada tenaga medis dan tenaga penunjang medis yang mempersepsi dimensi frekuensi pelaporan kejadian sebagai budaya baik 2.Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Tabel 6.24.Dimensi Jumlah Kejadian Yang Dilaporkan dalam 12 Bulan Terakhir berdasarkan Profesi Jumlah Kejadian yang Dilaporkan dalam 12 Bulan Terakhir Kategori staf klinis
Total 0
1-2
3-5
6-10
11-20
21/lebih
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
5% (3)
20% (11)
0% (0)
2% (1)
0% (0)
0% (0)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
7% (4)
27% (15)
4% (2)
11% (6)
2% (1)
0% (0)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
5% (3)
5% (3)
7% (4)
0% (0)
4% (2)
0% (0)
22% (12)
18% (10)
53% (29)
11% (6)
13% (7)
5% (3)
0% (0)
100% (55)
Total
a. Lebih dari separuh responden melaporkan 1-2 laporan kejadian saja dalam 12 bulan terakhir (53%) b. Beberapa tenaga medis, tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis tidak pernah melaporkan kejadian dalam 12 bulan terakhir (18%) c. 6-10 laporan kejadian dilaporkan oleh 11% tenaga keperawatan
Universitas Indonesia
92
6.1.3.4.Budaya Belajar 1.Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Tabel 6.25.Dimensi Pembelajaran Organisasi dan Perbaikan Berkelanjutan berdasarkan Profesi Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
4% (2)
4% (2)
20% (11)
27% (15)
2% (1)
5% (3)
44% (24)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
0% (0)
4% (2)
18% (10)
22% (12)
Total
5% (3)
13% (7)
82% (45)
100% (55)
Kategori staf klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
a. Hampir seluruh responden mempersepsi dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan sebagai budaya kurang (82%) b. Budaya kurang dipersepsi oleh :
Tenaga medis 20%
Tenaga keperawatan 44%
c. Hampir tidak ada tenaga penunjang medis dan tenaga keperawatan yang mempersepsi dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan sebagai budaya baik
Universitas Indonesia
93
2.Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien Tabel 6.26.Dimensi Harapan Staf terhadap Sikap&Tindakan Spv/Manajer dlm promosi KP berdasarkan Profesi Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
5% (3)
2% (1)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
9% (5)
40% (22)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
7% (4)
14% (8)
0% (0)
22% (12)
22% (12)
56% (31)
22% (12)
100% (55)
Kategori staf klinis
Total
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien sebagai budaya sedang (56%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 40%
Tenaga penunjang medis 14%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis 3.Patient safety grade Tabel 6.27.Dimensi Patient Safety Grade berdasarkan Profesi Kategori staf klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
Total
Sempurna
Patient Safety Grade Sangat Dapat Baik Diterima
Buruk
Gagal
Total
0% (0)
0% (0)
9% (5)
18% (10)
0% (0)
27% (15)
0% (0)
24% (13)
27% (15)
0% (0)
0% (0)
51% (28)
0% (0)
14% (8)
7% (4)
0% (0)
0% (0)
22% (12)
0% (0)
38% (21)
44% (24)
18% (10)
0% (0)
100% (55)
Universitas Indonesia
94
a. Hampir sebagian besar responden memberikan penilaian dapat diterima pada dimensi Patient safety grade (44%). b. Penilaian ini diberikan oleh :
Tenaga keperawatan 27%
Tenaga medis 9%
c. Hanya tenaga medis yang memberikan penilaian buruk pada dimensi ini (18%)
6.1.3.5.Budaya Informasi 1.Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien Tabel 6.28.Dimensi Umpan Balik dan Komunikasi tentang Insiden KP berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
5% (3)
2% (1)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
13% (7)
36% (20)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
5% (3)
16% (9)
0% (0)
22% (12)
24% (13)
54% (30)
22% (12)
100% (55)
Total
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien sebagai budaya sedang (54%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 36%
Tenaga penunjang medis 16%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis
Universitas Indonesia
95
2.Serah terima dan transisi Tabel 6.29.Dimensi Serah Terima dan Transisi berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
2% (1)
2% (1)
24% (13)
27% (15)
18% (10)
33% (18)
0% (0)
51% (28)
9% (5)
11% (6)
2% (1)
22% (12)
29% (16)
45% (25)
25% (14)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
a. Hampir sebagian besar responden mempersepsi dimensi serah terima dan transisi sebagai budaya sedang (45%) b. Budaya sedang dipersepsi oleh :
Tenaga keperawatan 33%
Tenaga penunjang medis 11%
c. Persepsi budaya kurang terbanyak dipersepsi oleh tenaga medis
Adapun rangkuman persepsi budaya keselamatan pasien pada masingmasing jenis profesi tenaga klinis dapat dilihat pada tabel 6.30 berikut : Tabel 6.30.Rangkuman Persepsi Budaya Keselamatan Pasien berdasarkan Profesi Kategori staf klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
e
b,f
a,c,d,g,h,i,j,k,l,m,n
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
b,e
a,c,d,f,k,l,m,n
g,h,i,j
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
b,e,f,l
a,c,d,g,k,m,n
h,i,j
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Universitas Indonesia
96
Keterangan : Budaya Keterbukaan a. Keterbukaan komunikasi b. Kerjasama dalam unit c. Kerjasama antar unit d. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien e. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Budaya Keadilan f. Staffing g. Respon non-punitive terhadap kesalahan Budaya Pelaporan h. Frekuensi pelaporan kejadian i. Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Budaya Belajar j. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan k.Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien l. Patient Safety Grade Budaya Informasi m. Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien n. Serah terima dan transisi
Tabel 6.30 menunjukkan bahwa tiap profesi tenaga klinis mempunyai persepsi
yang
berbeda terhadap
masing-masing
dimensi
budaya
keselamatan pasien. Secara umum, hampir semua dimensi budaya keselamatan pasien dipersepsi sebagai budaya kurang oleh tenaga medis dan sebagian besar dipersepsi sebagai budaya sedang oleh tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Hanya dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien yang dipersepsi sebagai budaya baik oleh semua jenis profesi dan dimensi frekuensi pelaporan kejadian, dimensi jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir
serta
dimensi
pembelajaran
organisasi
dan
perbaikan
berkelanjutan yang dipersepsi sebagai budaya kurang oleh semua jenis profesi.
Universitas Indonesia
97
Adapun rangkuman persepsi budaya kurang yang memerlukan perbaikan pada masing-masing jenis profesi tenaga klinis dapat dilihat pada tabel 6.31 berikut : Tabel 6.31.Rangkuman Persepsi Budaya Kurang berdasarkan Profesi Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
- - - ++
-+
--
---
--
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
+++++
-+
--
-++
++
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
+++++
++
--
-++
++
Kategori staf klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Budaya Belajar
Budaya Informasi
Keterangan budaya kurang yang memerlukan perbaikan berdasarkan profesi tenaga klinis : Tenaga Medis (dokter umum, dokter spesialis) : Keterbukaan komunikasi Kerjasama antar unit Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien Respon non-punitive terhadap kesalahan Frekuensi pelaporan kejadian Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien Patient Safety Grade Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien Serah terima dan transisi Tenaga Keperawatan (perawat, bidan) : Respon non-punitive terhadap kesalahan Frekuensi pelaporan kejadian Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Tenaga Penunjang Medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) : Frekuensi pelaporan kejadian Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Universitas Indonesia
98
Dari tabel 6.30 dapat terlihat bahwa dimensi budaya keselamatan pasien paling banyak dipersepsi sebagai budaya kurang oleh tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) yang diikuti oleh tenaga keperawatan (perawat, bidan) dan yang paling sedikit adalah tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi). Pada tabel 6.31 terlihat bahwa budaya keselamatan pasien dipersepsi sebagai budaya kurang oleh tenaga medis meliputi 3 dari 5 elemen budaya keterbukaan, 1 dari 2 elemen budaya keadilan, semua elemen budaya pelaporan, semua elemen budaya belajar dan semua elemen budaya informasi. Tenaga keperawatan mempersepsi budaya kurang pada 1 dari 2 elemen budaya keadilan, semua elemen budaya pelaporan serta 1 dari 3 elemen budaya belajar. Untuk tenaga penunjang medis mempersepsi budaya kurang pada semua elemen budaya pelaporan dan 1 dari 3 elemen budaya belajar. Dapat disimpulkan dimensi yang dipersepsi sebagai budaya kurang oleh semua kategori profesi tenaga klinis RS.Masmitra dan memerlukan perbaikan adalah : Budaya keadilan Respon non-punitive terhadap kesalahan Budaya pelaporan Frekuensi pelaporan kejadian Budaya Belajar Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan 6.2
Hasil Penelitian Budaya Organisasi
Pengukuran budaya organisasi dilakukan dengan mengumpulkan data menggunakan instumen Organization Culture Assessment Instrument (OCAI) yang diadaptasi dari Competing Value Framework dari 60
Universitas Indonesia
99
responden yaitu responden kuesioner budaya keselamatan pasien yang berjumlah 55 orang ditambah pimpinan di tingkat direksi, owner dan manajer serta kepala unit yang telah bekerja > 1 tahun yang terdiri dari 5 orang. Pada Competing Values Framework, interpretasi dari tipe budaya organisasi di dasarkan pada 3 hal berikut (Cameron & Quinn, 2006) :
Tipe budaya yang dominan dalam organisasi : ditentukan oleh kuadran dengan skor rata-rata tertinggi.
Kekuatan dari budaya dominan tersebut : ditentukan dari nilai absolut tipe budaya, dan dianggap bermakna bila selisih nilai antara tiap kuadran lebih dari 10 poin.
Dimensi umum dari budaya organisasi : digunakan untuk menggambarkan garis arah budaya pada dua dimensi utamanya (fleksibiltas dan kebebasan versus stabilitas dan kontrol dan fokus eksternal dan diferensiasi versus fokus internal dan integrasi).
6.2.1
Komponen Budaya Organisasi RS.Masmitra
6.2.1.1 Karakteristik Dominan Tabel 6.32 Skor rata-rata OCAI pada komponen Karakteristik Dominan Karakteristik Dominan Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 10 17 21 52
Yang diharapkan 10 17 23 50
Selisih 0 0 2 -2
Universitas Indonesia
100
Gambar 6.1.Skor rata-rata OCAI pada komponen karakteristik dominan
Pada komponen karakteristik dominan terlihat gambaran dominasi budaya Hierarchy yang menandakan kuatnya pengawasan dan prosedur formal yang dianut oleh seluruh karyawan RS.Masmitra untuk mengendalikan rutinitas kerja mereka. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan kuatnya dominasi komponen ini pada budaya Hierarchy. 6.2.1.2 Kepemimpinan Organisasi Tabel 6.33 Skor rata-rata OCAI pada komponen Kepemimpinan Organisasi
Kepemimpinan Organisasi Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 12 18 20 50
Yang diharapkan 20 19 23 38
Selisih 8 1 3 12
Universitas Indonesia
101
Gambar 6.2. Skor rata-rata OCAI pada komponen kepemimpinan organisasi
Pada komponen kepemimpinan organisasi didapatkan budaya saat ini menunjukkan dominasi budaya Hierarchy dengan skor rata-rata 50. Adanya selisih skor yang lebih dari 10 antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan perlunya intervensi manajerial pada komponen ini. 6.2.1.3 Manajemen Karyawan Tabel 6.34 Skor rata-rata OCAI pada komponen Manajemen Karyawan Manajemen Karyawan Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 10 13 23 54
Yang diharapkan 10 14 25 51
Selisih 0 1 2 -3
Universitas Indonesia
102
Gambar 6.3. Skor rata-rata OCAI pada komponen manajemen karyawan
Pada komponen manajemen karyawan terlihat gambaran dominasi budaya Hierarchy (dengan skor rata-rata 54) yang mewarnai budaya RS.Masmitra dengan penekanan pada rasa aman, rutinitas dan hubungan yang stabil diantara para karyawan. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan kuatnya dominasi komponen ini pada budaya Hierarchy. 6.2.1.4 Perekat Organisasi Tabel 6.35 Skor rata-rata OCAI pada komponen Perekat Organisasi Perekat Organisasi Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 10 20 18 52
Yang diharapkan 12 16 22 50
Selisih 2 -4 4 -2
Universitas Indonesia
103
Gambar 6.4. Skor rata-rata OCAI pada komponen perekat organisasi
Dapat terlihat bahwa budaya saat ini pada komponen perekat organisasi didominasi oleh budaya Hierarchy (dengan skor rata-rata 52) dimana yang berperan sebagai perekat utama keutuhan RS.Masmitra adalah peraturan dan prosedur formal yang berlaku. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan kuatnya dominasi komponen ini pada budaya Hierarchy. 6.2.1.5 Penekanan Strategis Tabel 6.36 Skor rata-rata OCAI pada komponen Penekanan Strategis Penekanan Strategis Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 12 15 18 55
Yang diharapkan 12 15 22 51
Selisih 0 0 4 -4
Universitas Indonesia
104
Gambar 6.5. Skor rata-rata OCAI pada komponen penekanan strategis
Pada komponen penekanan strategis terlihat bahwa budaya Hierarchy mendominasi dengan skor rata-rata 55. Hal ini berarti RS.Masmitra berfokus pada pengembangan SDM dan partisipasi pegawai sebagai pilihan utama strateginya. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan kuatnya dominasi komponen ini pada budaya Hierarchy. 6.2.1.6 Kriteria Keberhasilan Tabel 6.37 Skor rata-rata OCAI pada komponen Kriteria Keberhasilan Kriteria Keberhasilan Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 17 12 20 51
Yang diharapkan 17 8 22 53
Selisih 0 -4 2 2
Universitas Indonesia
105
Gambar 6.6. Skor rata-rata OCAI pada komponen kriteria keberhasilan
Pada komponen kriteria keberhasilan terlihat gambaran dominasi budaya Hierarchy dengan skor rata-rata 51 yang mewarnai budaya RS.Masmitra dengan berfokus pada efisiensi dan operasional pelayanan rumah sakit dengan biaya rendah. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan yang diharapkan menandakan kuatnya dominasi komponen ini pada budaya Hierarchy.
6.2.2
Tipe Budaya Organisasi RS.Masmitra
Dari data yang terkumpul didapatkan hasil perhitungan skor rata-rata yang menggambarkan tipe budaya organisasi RS.Masmitra sebagai berikut : Tabel 6.38.Skor Rata-rata OCAI RS.Masmitra Tipe Budaya Organisasi Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 11,8 15,8 20 52,3
Yang diharapkan 13,5 14,8 22,8 48,8
Selisih 1,7 1 2,8 3,5
Universitas Indonesia
106
Gambar 6.7.Tipe Budaya Organisasi RS.Masmitra
Gambar di atas menunjukkan bahwa tipe budaya yang terkuat saat ini di RS.Masmitra pada kelompok tenaga klinis yang memberi asuhan pada pasien yang meliputi unit rawat inap, IGD, kamar bersalin, kamar operasi, poliklinik, laboratorium, radiologi, fisioterapi, farmasi dan instalasi gizi serta kelompok manajemen yang terdiri dari direksi, owner dan manajer serta kepala unit adalah tipe Hierarchy Culture dengan skor rata-rata 52 dan yang terkuat kedua adalah Market culture dengan skor rata-rata 20 sedangkan yang terlemah saat ini adalah Clan culture dengan skor ratarata 12. Dikarenakan selisih skor rata-rata tipe budaya Hierarchy dengan tipe budaya lainnya lebih dari 10 poin, maka hasil pengukuran tipe budaya Hierarchy di RS.Masmitra berdasarkan Competing Value Framework merupakan budaya dominan dan dapat dianggap bermakna dengan penekanan budaya yang bercirikan kontrol dan prosedur formal. Selanjutnya
interpretasi
hasil
penelitian
ini
diperkuat
dengan
membandingkan respons dari tiap kuadran dan efeknya terhadap dua dimensi : fleksibilitas dan kebebasan versus stabilitas dan kontrol serta fokus eksternal dan diferensiasi versus fokus internal dan integrasi.
Universitas Indonesia
107
Terlihat bahwa Clan culture (12) + Hierarchy culture (52) versus Adhocracy culture (16) + Market culture (20) = 64 vs 36. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi ini berfokus pada lingkungan internal dan integrasi serta kurang dalam hal orientasi eksternal dan diferensiasi. Sementara perbandingan antara Clan culture (12) + Adhocracy culture (16) versus Hierarchy culture (52) + Market culture (20) = 28 vs 72, menunjukkan bahwa organisasi ini memiliki stabilitas dan kontrol yang tinggi namun rendah dalam hal fleksibiltas dan kebebasan. Perubahan yang diharapkan dari tipe budaya Hierarchy saat ini dengan tipe budaya yang diharapkan mempunyai selisih kurang dari 10 poin (selisih 3 poin), sehingga secara umum tidak ada perubahan bermakna yang diharapkan ataupun memerlukan intervensi dari tipe budaya organisasi yang dianut saat ini.
6.3
Langkah-langkah transformasi Budaya Keselamatan Pasien ke
dalam Budaya Hierarchy melalui Focus Group Discussion (FGD) FGD diadakan peneliti dengan dihadiri oleh 9 informan yang terdiri dari kepala unit, manajer, direksi dan owner, dimana mereka merupakan representasi dari unsur pelaksana klinis di lapangan sebagai implementer kebijakan dan juga pihak penentu kebijakan. Acara dilaksanakan pada tanggal 8 September 2014 dengan durasi 90 menit dan dalam FGD ini peneliti dibantu oleh seorang asisten sebagai notulen.
Universitas Indonesia
108
Tabel 6.39. Karakteristik Informan Focus Group Discussion Informan
Jabatan
Informan 1
Direktur Utama
Informan 2
Ka.Div
Keuangan&SDM
sekaligus
Jenis
Pendidikan
Lama
kelamin
Terakhir
bekerja
Laki-laki
Spesialis
2 tahun
Perempuan
S2 - MBA
7 tahun
owner Informan 3
Ka.Div Ren-bang, marketing&umum
Perempuan
S2 - MARS
1 tahun
Informan 4
Kepala Bagian Umum
Laki-laki
D3
7 tahun
Informan 5
Kepala Bagian Keuangan
Perempuan
S1
7 tahun
Informan 6
Manajer Penunjang Medis
Perempuan
S1
3 tahun
Informan 7
Kepala Unit Kamar Operasi
Perempuan
D3
4 tahun
Informan 8
Kepala Unit IGD
Perempuan
D3
4 tahun
Informan 9
Kepala Unit Rawat Inap
Perempuan
D3
3 tahun
Awalnya peneliti memaparkan hasil survei budaya keselamatan pasien dan budaya organisasi yang telah dilakukan. Para informan diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai hasil survei sampai pada pemahaman dan kesepakatan bahwa hasil survei tersebut adalah kondisi yang terjadi di RS.Masmitra dan memerlukan perhatian serta solusi langkah-langkah untuk dapat menerapkan pelayanan berbasis keselamatan pasien. Selanjutnya peneliti menjelaskan strategi mutu Hierarchy Culture dari Competing Value Framework yang didapat dari literature. Akhirnya FGD berjalan dengan kesepakatan membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk dapat melakukan transformasi budaya keselamatan pasien berdasarkan dimensi yang dipersepsi sebagai budaya sedang dan budaya kurang ke dalam budaya Hierarchy yang dianut RS.Masmitra saat ini dengan mengelompokkan berdasarkan strategi mutu Hierarchy Culture dari Competing Value Framework.
Universitas Indonesia
109
Dimensi budaya keselamatan pasien yang mendapat persepsi Budaya Sedang dan Budaya Kurang sehingga memerlukan perhatian dan perbaikan adalah: 1. Dimensi keterbukaan komunikasi 2. Dimensi kerjasama antar unit 3. Dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien 4. Staffing 5. Dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan 6. Dimensi frekuensi pelaporan kejadian 7. Dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan 8. Dimensi
harapan
staf
terhadap
sikap
dan
tindakan
supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien 9. Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien 10. Dimensi serah terima dan transisi
Adapun strategi mutu hierarchy culture dari Competing Value Framework
Deteksi kesalahan
Pengukuran
Proses kontrol
Pemecahan masalah yang sistematis
Penerapan strategi kualitas
Pembahasan langkah-langkah untuk dimensi budaya keselamatan pasien yang memerlukan perbaikan dan solusi yang dikelompokkan berdasarkan strategi mutu hierarchy culture dari Competing Value Framework adalah sebagai berikut :
Universitas Indonesia
110
1. Deteksi kesalahan, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. keterbukaan komunikasi b. kerjasama antar unit c. serah terima dan transisi Langkah-langkah yang disepakati :
Mengadakan pertemuan rutin bulanan agar membuat komunikasi lebih terbuka, seperti : Pertemuan antara tenaga klinis (medis, keperawatan dan penunjang medis) dengan manajemen yang membahas kendala pelayanan medis Pertemuan antara karyawan dengan manajemen yang membahas hambatan pelayanan dan kinerja
Mengoptimalkan forum komunikasi yang sudah berjalan (morning report) yang merupakan forum laporan jaga dokter dan petugas medis terkait dengan manajemen
Mengaktifkan audit kasus maupun rapat SMF (Staf Medik Fungsional) yang melibatkan komite medik, SMF dan tenaga klinis terkait
Mengadakan superfisi SPO (Standard Prosedur Operasional) dalam rangka memastikan semua pelayanan berjalan sesuai SPO yang telah ditetapkan
Mengaktifkan
kembali
kegiatan
team
building
untuk
menghilangkan kendala komunikasi dan kendala koordinasi diantara staf
Universitas Indonesia
111
Menerapkan sistem SBAR (Situation-Background-AssessmentRecommendation) dalam memberikan informasi yang efektif pada saat serah terima dan transisi pasien
“Sepertinya perlu diadakan pertemuan bulanan secara rutin yang membahas masalah-masalah pelayanan maupun masalah karyawan bisa jadi solusi utama untuk karyawan kita untuk komunikasi lebih terbuka”. (I-1)
“Outbound atau ada team building seperti dulu itu lho..bagus banget untuk diadakan lagi. Membuat karyawan jadi dekat satu sama lain”. (I-2)
2.Pengukuran, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien b.
respon non-punitive terhadap kesalahan
Langkah-langkah yang disepakati :
Melibatkan keselamatan
staf
dalam
pasien
setiap
seperti
langkah
audit
penerapan
klinis
dan
upaya
membahas
permasalahannya bukan pelakunya
Mendukung partisipasi karyawan pada program keselamatan pasien dengan sistem reward and punishment pada karyawan yang menerapkan keselamatan pasien dalam kinerjanya sehari-hari dan diintegrasikan dalam penilaian kinerja
Memastikan semua karyawan tersosialisasi dan paham akan alur sistem pelaporan insiden keselamatan pasien
“Betul sekali..karyawan kita sangat takut lapor soalnya merasa selalu disalahkan..ini masalah yang dari dulu belum hilang.
Universitas Indonesia
112
Mungkin dibuat alur yang jelas jadi mereka tidak akan takut lapor apalagi kalau ada reward dan punishment”. (I-4) 3.Proses kontrol, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. frekuensi pelaporan kejadian b. Staffing Langkah-langkah yang disepakati :
Membuat format laporan insiden keselamatan pasien sesuai standard yang direkomendasikan WHO dan PERSI beserta ketentuan apa saja yang harus dilaporkan
Menyusun sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap insiden keselamatan pasien beserta alurnya yang jelas dengan menerapkan no blame culture
Memilih champion – champion dari tiap unit yang akan menjadi koordinator dan penasehat tentang keselamatan pasien di unitnya
Menyusun standard profesi (medis, keperawatan dan penunjang medis)
Menyusun standard mutu pelayanan instalasi
Menyusun Key Performance Indicator (KPI)
Mereview beban kerja karyawan dan menganalisisnya
“Karyawan kita itu tidak tau sama sekali apa itu keselamatan pasien jadi ya mereka bekerja seadanya. Apalagi belum ada kebijakan dan SOP nya jadi sering ada salah kasih obat, salah penamaan...betul sekali harus ada format yang baku jadi tidak bingung melaporkan”. (I-6)
Universitas Indonesia
113
4.Pemecahan masalah yang sistematis, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien
Langkah-langkah yang disepakati :
Membuat kebijakan untuk melaksanakan Keselamatan Pasien Rumah sakit (KPRS) dengan melibatkan staf terkait
Membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
Membentuk Tim Manajemen Risiko
Mengadakan kegiatan Ronde Keselamatan Pasien yang merupakan kegiatan rutin antara pimpinan dengan staf yang bertujuan memberitahukan, meneladankan dan mengharuskan keselamatan pasien menjadi prioritas utama dalam peningkatan mutu pelayanan
Memasukkan unsur keselamatan pasien dalam visi dan misi RS.Masmitra
sebagai
langkah
yang
menunjukkan
bahwa
keselamatan pasien adalah prioritas organisasi
Mengintegrasikan visi dan misi organisasi ke dalam visi dan misi tiap instalasi sehingga keselamatan pasien menjadi fokus utama dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh tiap-tiap instalasi “Ya betul itu..tim keselamatan pasien harus dibentuk dan ada orang yang menangani dan selalu memantau. Jadi tidak hanya dibicarakan saat di morning report tapi ada follow up nya”. (I-4)
Universitas Indonesia
114
5.Penerapan strategi kualitas, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan b. umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien
Langkah-langkah yang disepakati :
Mengadakan pelatihan internal secara rutin terkait sistem keselamatan pasien dengan mengacu pada kurikulum patient safety dari WHO dan PERSI
Menggunakan forum audit kasus untuk mendapatkan umpan balik dari staf untuk perbaikan sistem keselamatan pasien
Menerapkan sistem lean untuk meminimalisir waste dalam setiap alur sistem keselamatan pasien agar tercapai efisiensi dan efektifitas kerja
“Pelatihan rutin antar dokter dengan perawat aja rutin diadakan jadi karyawan akan ingat terus. Kalau hanya sekali trus gak di follow up ya sama aja nanti lupa”. (I-5)
Universitas Indonesia
BAB 7 PEMBAHASAN
Pembahasan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah pembahasan tentang hasil penelitian dimensi budaya keselamatan pasien dengan responden tenaga klinis yang memberi asuhan pada pasien dan hasil penelitian budaya organisasi dengan responden yang sama ditambah dengan kelompok pimpinan di tingkat direksi, owner, manajer dan kepala unit.
Kemudian
dilanjutkan
dengan
pembahasan
langkah-langkah
transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy yang dianut RS.Masmitra melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan informan para pimpinan di tingkat direksi, owner dan manajer serta kepala unit. Pembahasan yang kedua adalah perumusan learning organization dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy untuk membangun sistem keselamatan pasien di RS.Masmitra. 7.1
Interpretasi Hasil Penelitian
7.1.1. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Pada penelitian ini ditemukan dimensi yang menjadi kekuatan dan dimensi yang memerlukan perbaikan pada budaya keselamatan pasien serta kategori profesi tenaga klinis dari mana dimensi tersebut didapat di RS.Masmitra.
115
Universitas Indonesia
116
Grafik 6.1.Rangkuman Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Dari grafik 6.1 terlihat bahwa dimensi kerjasama dalam unit mendapat persepsi budaya baik paling tinggi dari total keseluruhan responden. Hal ini senada ketika dilihat menurut kategori profesi tenaga klinis pada tabel 6.30 : Tabel 6.30.Rangkuman Persepsi Budaya Keselamatan Pasien berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
e
b,f
a,c,d,g,h,i,j,k,l,m,n
b,e
a,c,d,f,k,l,m,n
g,h,i,j
b,e,f,l
a,c,d,g,k,m,n
h,i,j
Keterangan : Budaya Keterbukaan a. Keterbukaan komunikasi
Universitas Indonesia
117
b. Kerjasama dalam unit c. Kerjasama antar unit d. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien e. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Budaya Keadilan f. Staffing g. Respon non-punitive terhadap kesalahan Budaya Pelaporan h. Frekuensi pelaporan kejadian i. Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir Budaya Belajar j. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan k.Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien l. Patient Safety Grade Budaya Informasi m. Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien n. Serah terima dan transisi
Dalam tabel 6.30 halaman 92 dapat dilihat bahwa dimensi kerjasama dalam unit mendapat persepsi budaya sedang pada tenaga medis dan mendapat persepsi budaya baik pada profesi tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Adapun untuk dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, mendapat persepsi budaya baik di semua kategori profesi dan mendapat persepsi budaya baik tertinggi kedua dari total keseluruhan responden (grafik 6.1). Sedangkan dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi budaya baik yang paling rendah dari total keseluruhan responden. Dan ketika diteliti menurut kategori profesi, dimensi ini mendapat persepsi budaya kurang pada semua kategori profesi. Hal serupa juga terlihat pada dimensi frekuensi pelaporan kejadian dan dimensi jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir juga mendapat persepsi budaya kurang di semua kategori profesi.
Universitas Indonesia
118
Pada tabel 6.30, dapat dilihat juga bahwa tenaga medis mempersepsi dimensi keselamatan pasien dengan budaya kurang jauh lebih banyak dibandingkan kategori tenaga klinis yang lain dan hanya dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien yang dipersepsi sebagai budaya baik. Hal ini dimungkinkan karena turn over tenaga medis di RS.Masmitra relatif tinggi sehingga sebagian besar mereka masih relatif baru (1-3 tahun) pada saat penelitian ini berlangsung. Selain itu, beberapa staf dokter umum resign untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan spesialis sedangkan beberapa dokter spesialis ditugaskan keluar daerah karena mengikuti jenjang kedinasan dan banyak yang tidak praktek lagi. Dengan demikian kategori tenaga medis belum menghayati benar budaya keselamatan
pasien
maupun
budaya
organisasi
yang
dianut
di
RS.Masmitra. Ditambah lagi sebagian besar tenaga medis RS.Masmitra merupakan tenaga paruh waktu sehingga kurang terjadi internalisasi budaya diantara mereka, baik budaya keselamatan pasien maupun budaya organisasi. Kesemuanya itu menyebabkan dimensi budaya keselamatan pasien banyak yang dipersepsi sebagai budaya kurang oleh tenaga medis RS.Masmitra. Kesimpulan lain yang didapat peneliti bahwa tenaga medis memegang tanggung jawab terbesar terhadap pemberian asuhan pada pasien, dimana penatalaksanaan pasien mulai dari penetapan diagnosis, pemberian terapi hingga rencana tindak lanjut terhadap pengobatan pasien, tanggung jawab terbesar berada pada tenaga medis yang keseluruhannya memerlukan peran individual mereka sesuai sumpah dan kode etik yang melekat. Konsekuensi dari peran itulah yang mempengaruhi persepsi tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) terhadap profesinya yang pada akhirnya mempengaruhi persepsinya terhadap dimensi budaya keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
119
Sebaliknya, seperti yang disampaikan Iriviranty (2014) bahwa untuk profesi perawat dan bidan, juga staf kesehatan lainnya, pengambilan keputusan klinik memerlukan kolaborasi yang intens dengan berbagai pihak. Pada profesi perawat/bidan, informasi dari berbagai unsur dalam pelayanan pasien dikumpulkan dan diolah untuk dapat menjalankan peran kolaborasinya dengan profesi lain dalam memberikan asuhan pada pasien. Kesadaran akan kebutuhan yang besar untuk melakukan kolaborasi membuat profesi ini mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi baik antar teman sejawat maupun dengan profesi lain, khususnya profesi dokter sehingga turut mempengaruhi persepsi terhadap budaya keselamatan pasien yang dalam beberapa dimensinya cederung lebih baik. 7.1.1.1.Budaya Keterbukaan Terdapat 5 dimensi pada budaya keterbukaan, yaitu : a. Keterbukaan komunikasi b. Kerjasama dalam unit c. Kerjasama antar unit d. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien e. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Tabel 6.31.Rangkuman Persepsi Budaya Kurang berdasarkan Profesi Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
- - - ++
-+
--
---
--
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
+++++
-+
--
-++
++
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
+++++
++
--
-++
++
Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Budaya Belajar
Budaya Informasi
Universitas Indonesia
120
Dari tabel 6.31 dapat dilihat bahwa 3 dari 5 dimensi pada budaya keterbukaan dipersepsi sebagai budaya kurang oleh tenaga medis namun tidak demikian oleh tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Keterbukaan komunikasi Tabel 6.16.Dimensi Keterbukaan Komunikasi berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis Budaya Baik Budaya Sedang Budaya Kurang Tenaga medis (dokter 7% (4) 2% (1) 18% (10) umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Total 27% (15)
20% (11)
29% (16)
2% (1)
51% (28)
4% (2)
16% (9)
2% (1)
22% (12)
31% (17)
47% (26)
22% (12)
100% (55)
Dimensi keterbukaan komunikasi dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata responden. Persepsi budaya kurang berasal dari tenaga medis sedangkan persepsi budaya sedang berasal dari tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Kemampuan dan perilaku berkomunikasi yang baik sangatlah penting dalam budaya organisasi. Disamping itu, komunikasi juga penting untuk menilai pemahaman pegawai akan sistem keselamatan dan mengevaluasi strategi keselamatan yang diterapkan oleh pimpinan. Masalah maupun kesalahpahaman seringkali muncul akibat komunikasi yang tidak efektif baik diantara staf, antara staf dengan dokter maupun antara staf dengan pasien. Berdasarkan data yang diperoleh, sebesar 7080% kesalahan RS disebabkan oleh faktor manusia yang berhubungan dengan kurangnya pengertian dan komunikasi antar tim (Schaefer et al,
Universitas Indonesia
121
1994). Keterbukaan komunikasi juga harus didapatkan oleh pasien sebab pasien berhak mendapat penjelasan tindakan medis yang direncanakan terhadap dirinya hingga kejadian yang terjadi pada dirinya. Komunikasi tentang keselamatan pasien telah menjadi standard dalam Joint Commission Acreditation of Health Organization sejak tahun 2010. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan pada serah terima pasien, morning
report
juga
ronde
keselamatan.
Perawat
menggunakan
komunikasi terbuka pada saat serah terima dengan mengkomunikasikan kepada perawat unit lain tentang risiko terjadinya insiden dan melibatkan pasien pada saat serah terima. Morning report digunakan untuk berbagi informasi seputar isu keselamatan pasien dan perawat dapat secara bebas bertanya seputar keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam kegiatan sehari-hari (JCAHO, 2010 dalam Nurmalia, 2012). Keterbukaan komunikasi sangat berperan dalam menurunkan insiden keselamatan
pasien
dan
sikap
keterbukaan
komunikasi
dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk berani melaporkan setiap insiden keselamatan pasien sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi dalam proses belajar untuk memperbaiki mutu pelayanan rumah sakit. Bodur (2009) menyatakan dengan keterbukaan komunikasi akan mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan untuk dapat dirumuskan solusi perbaikan dan berperan penting untuk membawa perubahan yang positif dalam meningkatkan keselamatan pasien. SBAR (Situation-Backgroung-Assessment-Recommendation) merupakan suatu sistem untuk memberikan informasi tentang pasien secara jelas dan
Universitas Indonesia
122
terstruktur dalam rangka meningkatkan komunikasi yang efisien dan akurat. Dalam Focus Group Discussion (FGD) didapat bahwa pertemuan rutin bulanan baik antara tenaga klinis (medis, keperawatan dan penunjang medis) maupun antara karyawan dengan manajemen sudah tidak pernah dilaksanakan lagi. Seperti yang disampaikan oleh Informan-1 sebagai berikut : “Sepertinya perlu diadakan pertemuan bulanan secara rutin yang membahas masalah-masalah pelayanan maupun masalah karyawan bisa jadi solusi utama untuk karyawan kita untuk komunikasi lebih terbuka”. (I-1)
Oleh karena itu beberapa langkah yang disepakati dalam FGD terkait dimensi keterbukaan komunikasi antara lain mengadakan pertemuan rutin bulanan, mengoptimalkan morning report yang sudah berjalan maupun rapat SMF yang melibatkan komite medik, SMF dan tenaga klinis terkait agar membuat komunikasi lebih terbuka. Kerjasama dalam unit Tabel 6.17.Dimensi Kerjasama Dalam Unit berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
7% (4)
20% (11)
0% (0)
27% (15)
49% (27)
0% (0)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
18% (10)
4% (2)
0% (0)
22% (12)
Total
75% (41)
24% (13)
2% (1)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
Universitas Indonesia
123
Dari ketiga kategori tenaga klinis, sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa kerjasama dalam unit terjadi dengan baik. Pada tenaga medis, kerjasama dalam unit dikategorikan sebagai budaya sedang namun pada kedua kategori tenaga klinis yang lain mengkategorikannya sebagai budaya baik. Salah satu pernyataan yang paling mendukung kerjasama dalam unit terjadi dengan baik adalah “Jika di unit kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, maka staf di unit kami bekerja bersama-sama sebagai tim untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut” yang mendapat persepsi positif tertinggi sebesar 94% yang merupakan kekuatan terbesar pada dimensi budaya keselamatan pasien di RS.Masmitra. Kerjasama tim memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan budaya keselamatan pasien (Hamdani, 2007). Penelitian Bea, dkk di RS Universitas Hasanuddin tahun 2013 mendapatkan hasil yang serupa, dimana dimensi kerjasama dalam unit merupakan dimensi terkuat dengan persepsi positif 95,10%. Selain itu, menurut AHRQ (2007) sebuah studi komparatif terhadap budaya keselamatan pasien pada 382 rumah sakit di Amerika Serikat menemukan bahwa sebagian besar area yang cukup kuat pada dimensi keselamatan pasien adalah kerjasama dalam unit yang mendapat persepsi positif sebesar 78%. Dengan bekerja sebagai sebuah tim, diharapkan konflik sebesar apapun dapat terpecahkan seiring dengan berkembangnya semangat kebersamaan dan lunturnya sifat egois pada diri individu. Kerjasama dalam unit sangat diperlukan dalam penerapan budaya keselamatan pasien. Berawal dari tingginya kerjasama dalam unit sebagai satu tim yang kompak maka rumah sakit dapat terhindar dari risiko kejadian insiden keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
124
Kerjasama antar unit Tabel 6.18.Dimensi Kerjasama Antar Unit berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
4% (2)
4% (2)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
7% (4)
42% (23)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
4% (2)
18% (10)
0% (0)
22% (12)
Total
14% (8)
64% (35)
22% (12)
100% (55)
Dimensi kerjasama antar unit dipersepsi sebagai budaya sedang oleh ratarata responden. Dimensi ini mendapat persepsi budaya kurang dari tenaga medis serta dipersepsi sebagai budaya sedang oleh tenaga keperawatan dan oleh tenaga penunjang medis. Suatu unit dalam memberikan pelayanan kepada pasien tidak mungkin bekerja sendiri sehingga dibutuhkan adanya kerja tim dengan unit yang lain. Terkait hal tersebut tim dan kerja tim merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan dimana kesuksesan organisasi tergantung pada adanya kerja tim antar unit dalam keseluruhan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien. Terkait kerjasama antar unit, dalam FGD disepakati bahwa manajemen akan mengaktifkan kembali kegiatan team building untuk menghilangkan kendala koordinasi diantara staf, seperti yang disampaikan oleh informan2 sebagai berikut : “Outbound atau ada team building seperti dulu itu lho..bagus banget untuk diadakan lagi. Membuat karyawan jadi dekat satu sama lain”. (I-2)
Universitas Indonesia
125
Kerjasama yang baik antar unit merupakan tantangan yang harus terus dijaga dan ditingkatkan di sebuah rumah sakit karena semua unit harus saling berkoordinasi untuk dapat menghasilkan sebuah pelayanan prima yang diberikan pada pasien. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien Tabel 6.19.Dimensi Persepsi Keseluruhan tentang KP berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
2% (1)
5% (3)
20% (11)
27% (15)
24% (13)
24% (13)
4% (2)
51% (28)
7% (4)
14% (8)
0% (0)
22% (12)
33% (18)
44% (24)
24% (13)
100% (55)
Dimensi ini dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata keseluruhan responden, mendapat persepsi budaya kurang dari tenaga medis serta dipersepsi sebagai budaya sedang oleh tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Salah satu pernyataan yang paling mendukung persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien RS.Masmitra adalah “Kami tidak pernah mengorbankan keselamatan pasien untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih banyak”yang mendapat persepsi positif tertinggi sebesar 65%. Dari data ini terlihat bahwa saat ini keselamatan pasien selalu diutamakan oleh lebih dari separuh responden dan tidak pernah diabaikan. Dengan adanya persepsi yang baik ini merupakan langkah awal untuk dapat menerapkan keselamatan pasien di RS.Masmitra.
Universitas Indonesia
126
Persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Persepsi merupakan variabel psikologis yang akan mempengaruhi perilaku individu (Gibson et al, 2006). Persepsi dianggap penting karena perilaku seseorang didasarkan pada persepsi orang tersebut terhadap realitas. Membentuk suatu persepsi mengenai pentingnya keselamatan pasien merupakan suatu tindakan yang tidak mudah. Bila keseluruhan perawat memiliki persepsi yang sama tentang keselamatan pasien maka mereka akan sangat peduli dengan keselamatan pasien di lingkungan tempat kerjanya, seperti menjalankan prosedur atau sistem yang ada sehingga kejadian yang tidak diharapkan dapat dicegah sebelum hal tersebut membahayakan pasien. Dari FGD didapat bahwa persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien masih belum baik dimana persepsi ini diwarnai oleh kondisi takut melapor karena merasa takut dipersalahkan seperti yang disampaikan oleh informan-4 sebagai berikut : “Betul sekali..karyawan kita sangat takut lapor soalnya merasa selalu disalahkan..ini masalah yang dari dulu belum hilang. Mungkin dibuat alur yang jelas jadi mereka tidak akan takut lapor apalagi kalau ada reward dan punishment”. (I-4)
Oleh karena itu beberapa langkah yang disepakati dalam FGD terkait dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien antara lain : melibatkan staf dalam setiap langkah penerapan upaya keselamatan pasien dengan membahas permasalahannya bukan pelakunya, menerapkan sistem reward and punishment, memastikan semua karyawan tersosialisasi dan paham akan alur sistem pelaporan insiden keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
127
Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien ini perlu ditingkatkan oleh karyawan beserta manajemen RS.Masmitra sehingga dapat mempengaruhi staf untuk menerapkan keselamatan pasien dengan baik. Dengan adanya persepsi keselamatan pasien yang baik maka akan mempengaruhi tindakan staf untuk mengintegrasikan keselamatan pasien yang baik pula di setiap asuhan pada pasien. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Seluruh kategori tenaga klinis memberikan persepsi budaya baik pada dimensi ini. Sebanyak 16% tenaga medis, 34% tenaga keperawatan dan 18% tenaga penunjang medis semuanya mempersepsi budaya baik dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dan mendapat persepsi budaya baik tertinggi kedua dari total keseluruhan responden. Tabel 6.20.Dimensi Dukungan Manajemen terhadap Upaya KP berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
16%(9)
5% (3)
5% (3)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
34% (19)
13% (7)
4% (2)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
18% (10)
4% (2)
0% (0)
22% (12)
Total
69% (38)
22% (12)
9% (5)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Sejauh
mana
manajemen
RS
menyediakan
iklim
kerja
yang
mempromosikan keselamatan pasien dan memposisikan keselamatan pasien sebagai prioritas utama adalah kontribusi yang mendasar terhadap transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya organisasi.
Universitas Indonesia
128
Komitmen manajer senior merupakan inti dari pembentukan budaya keselamatan. Manajer sebagai pimpinan RS merupakan pemegang kunci perubahan karena ia bertanggung jawab untuk memimpin perubahan (Carthey&Clarke,
2010).
Pimpinan
bersama
jajaran
manajerial
bertanggungjawab dalam perubahan menciptakan iklim keselamatan. Dengan terciptanya iklim keselamatan, akan mempengaruhi perilaku dan sikap karyawan terhadap penerapan keselamatan pasien dalam memberikan asuhan pada pasien. Menurut Amaliyah (2009) dalam Musdalifah
(2013)
mengatakan
bahwa
iklim
keselamatan
dapat
digambarkan sebagai “persepsi” karyawan tentang komitmen organisasi terhadap program keselamatan yang dijalankan, baik terhadap kebijakan, prosedur serta praktiknya dalam organisasi. Dengan demikian, penting kiranya supervisor/manajer merancang lingkungan kerja yang nyaman agar staf tidak mengalami kelelahan fisik dan mental sehingga tidak berdampak terhadap pasien. 7.1.1.2.Budaya Keadilan Tabel 6.31.Rangkuman Persepsi Budaya Kurang berdasarkan Profesi Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
- - - ++
-+
--
---
--
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
+++++
-+
--
-++
++
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
+++++
++
--
-++
++
Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Budaya Belajar
Budaya Informasi
1 dari 2 dimensi pada budaya keadilan mendapat persepsi budaya kurang terutama dari tenaga medis yaitu dimensi respon non-punitive terhadap
Universitas Indonesia
129
kesalahan. Sedangkan dimensi staffing mendapat persepsi budaya sedang dari rata-rata keseluruhan responden. Staffing Dimensi ini mengartikan bahwa terdapat staf dalam jumlah yang cukup untuk menangani beban kerja dan jumlah jam kerja yang sesuai untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi pasien. Dimensi staffing dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata keseluruhan responden. Dimensi ini mendapat persepsi budaya sedang dari keseluruhan tenaga medis, beberapa tenaga keperawatan serta dipersepsi sebagai budaya baik oleh tenaga penunjang medis. Salah satu pernyataan yang paling mendukung dimensi ini adalah “Kami bekerja dalam keadaan waspada dan berusaha berbuat banyak dengan cepat” yang mendapat persepsi positif tertinggi yaitu sebesar 91%. Hal ini dapat diartikan bahwa di RS.Masmitra staf bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya dan juga karyawan melakukan pekerjaan yang kompleks dengan ketersediaan waktu yang cukup singkat namun tetap waspada mengutamakan keselamatan pasien. Tabel 6.21.Dimensi Staffing berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
0% (0)
100% (15)
0% (0)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
24% (13)
27% (15)
0% (0)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
11% (6)
9% (5)
2% (1)
22% (12)
Total
34% (19)
64% (35)
2% (1)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Universitas Indonesia
130
Menurut Silviyah, dkk (2014), sumber daya manusia merupakan salah satu pilar dalam suatu organisasi. Ketersediaan jumlah maupun kualitas tenaga klinis akan berdampak pada tingginya beban kerja staf yang merupakan faktor kontribusi terbesar sebagai penyebab human error dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Terkait hal tersebut, Rachmawati (2012) menyatakan bahwa faktor individu atau petugas sangat berpengaruh terhadap budaya keselamatan pasien, dimana faktor yang berkaitan dengan individu berupa beban kerja, tingkat stress, tingkat kelelahan dan perasaan takut disalahkan. Understaffing merupakan suatu kondisi penyebab utama insiden keselamatan pasien. Dengan demikian, ketersediaan jumlah dan kualitas tenaga klinis di RS sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diterima oleh pasien yang pada akhirnya berpengaruh terhadap mutu keselamatan pasien. Adapun penelitian di RS Universitas Hasanudin (Bea dkk, 2013) menyatakan bahwa dimensi staffing tergolong rendah dan juga penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2014) di sebuah RS X yang menghapus dimensi staffing dari variabel dimensi budaya keselamatan pasien karena tidak reliabel ketika diujicoba hingga 2 kali, namun pada penelitian ini dimensi staffing dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata responden bahkan oleh 100% tenaga medis. Berdasarkan data diperoleh bahwa 82% karyawan bekerja selama 40-59 jam/minggu yang berarti karyawan RS.Masmitra bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya dan melakukan pekerjaan yang kompleks dalam waktu yang cukup singkat namun tetap mengutamakan keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
131
Dari FGD didapat langkah-langkah yang disepakati untuk dimensi staffing adalah memilih champion-champion dari tiap unit yang akan menjadi koordinator dan penasehat tentang keselamatan pasien di unitnya, juga menyusun standard mutu pelayanan, Key Performance Indicator serta mereview beban kerja karyawan. Respon non-punitive terhadap kesalahan Tabel 6.22.Dimensi Respon non-punitive terhadap Kesalahan berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
2% (1)
4% (2)
22% (12)
27% (15)
11% (6)
7% (4)
33% (18)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
11% (6)
11% (6)
0% (0)
22% (12)
Total
24% (13)
22% (12)
54% (30)
100% (55)
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
Pada dimensi ini, staf merasa bahwa kesalahan dan laporan kejadian tidak dipakai untuk menyalahkan mereka dan tidak dicatat dalam penilaian kinerja mereka. Dimensi Respon non-punitive terhadap kesalahan dipersepsi sebagai budaya kurang oleh rata-rata responden. Sebanyak 22% tenaga medis dan 33% tenaga keperawatan mempersepsi dimensi ini sebagai budaya kurang sedangkan 11% tenaga penunjang medis mempersepsi dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan sebagai budaya sedang. Berdasarkan hasil studi eksplorasi terdahulu didapat data bahwa staf merasa jika ada kejadian yang dilaporkan, maka yang dibahas adalah siapa yang melakukan bukan permasalahannya. Selain itu adanya persepsi
Universitas Indonesia
132
bahwa manajemen terlalu mudah mengeluarkan surat peringatan (SP) semakin memperburuk persepsi terhadap dimensi ini. Adanya rasa khawatir akan dipersalahkan merupakan penyebab utama keengganan dan cenderung menutup-nutupi insiden keselamatan pasien yang terjadi. Budaya yang menghambat keselamatan pasien adalah menutup-nutupi KTD dan adanya respon hukuman terhadap KTD sehingga petugas cenderung menyembunyikan setiap kesalahan yang terjadi (Cahyono, 2008). Hal ini juga tergambar pada pernyataan “Karyawan tidak merasa khawatir bahwa kesalahan yang dibuatnya akan dicatat/mempengaruhi penilaian kinerja mereka” yang mendapat persepsi positif yang rendah yaitu 31%. Yang artinya masih berkembang blamming culture diantara karyawan RS.Masmitra dimana mereka selalu khawatir bahwa kesalahan yang diperbuatnya akan memperburuk penilaian kinerja mereka. Berdasarkan data studi eksplorasi sekitar 70% karyawan mempunyai persepsi demikian. Yahya (2006) dalam Iqbal A.M (2013) berpendapat bahwa tenaga professional adalah perfeksionist sehingga apabila terjadi kesalahan, maka akan mempengaruhi psikologis yang akan berdampak pada penurunan kinerja. Karenanya pertanyaan individual perlu dihindari, fokus pada apa yang terjadi, bukan siapa yang melakukan, hambatan apa yang menghalangi serta kejadian apalagi yang mungkin bisa timbul. Dimensi
respon
non-punitive
terhadap
kesalahan
haruslah
menunjukkan sikap tidak menghukum atau memojokkan staf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat yang dapat membahayakan pasien. Respon seperti ini harus diterapkan dalam suatu RS untuk
Universitas Indonesia
133
meningkatkan keselamatan pasien. Apabila staf yang melakukan kesalahan diberi hukuman ataupun dipojokkan akibat kesalahannya tersebut maka para staf akan enggan melaporkan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan yang terjadi di RS. Hal ini akan mengakibatkan organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli karena merasa pelayanan yang diberikannya “aman” disebabkan oleh kejadian yang tidak dilaporkan (Hamdani, 2007). Langkah-langkah yang disepakati dari FGD untuk dimensi respon nonpunitive terhadap kesalahan adalah menyusun sistem pencatatan dan pelaporan dari setiap insiden keselamatan pasien beserta alurnya yang jelas dengan menerapkan no blame culture. 7.1.1.3.Budaya Pelaporan Frekuensi pelaporan kejadian Dimensi frekuensi pelaporan kejadian menunjukkan seberapa sering kejadian dilaporkan. Salah satu budaya yang menghambat keselamatan pasien adalah adanya faktor menutup-nutupi KTD dan cenderung menyembunyikan setiap kesalahan yang terjadi (Cahyono, 2008). Dimensi ini dipersepsi sebagai budaya kurang oleh rata-rata keseluruhan responden dan lebih dari separoh responden (53%) belum pernah melaporkan kejadian dalam 12 bulan terakhir. Semua kategori tenaga klinis memberikan persepsi budaya kurang terhadap dimensi ini.
Universitas Indonesia
134
Tabel 6.23.Dimensi Frekuensi Pelaporan Kejadian berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
5% (3)
4% (2)
18% (10)
27% (15)
13% (7)
16% (9)
22% (12)
51% (28)
4% (2)
7% (4)
11% (6)
22% (12)
22% (12)
27% (15)
51% (28)
100% (55)
Frekuensi pelaporan kejadian yang kurang merupakan hambatan staf untuk melakukan pembelajaran dari insiden yang terjadi. Mengapa pelaporan penting dilakukan? (Albert R, 2014)
Karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Agar segala kejadian/insiden dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga dapat dilakukan analisa serta tindakan korektif/preventif selanjutnya
Untuk perbaikan mutu pelayanan RS secara keseluruhan
Apa saja yang harus dilaporkan ? 1. setiap masalah atau kejadian yang menyimpang dari yang direncanakan atau secara normal seharusnya tidak terjadi dan berdampak pada keselamatan pasien (patient care and safety) 2. masalah/kejadian yang menghadapkan pasien pada keadaan beresiko
Universitas Indonesia
135
3. masalah/kejadian yang berpotensi menghadapkan RS pada tuntutan hukum 4. masalah/kejadian
yang
dapat
dijadikan
pelajaran
untuk
mengeliminasi atau menurunkan risiko 5. masalah/kejadian yang mempunyai dampak terhadap anggaran dan risiko keuangan serta peralatan 6. masalah/kejadian tidak harus selalu telah menyebabkan cedera, tetapi termasuk juga suatu keadaan yang potensial menyebabkan terjadinya cedera Dengan demikian jenis insiden keselamatan pasien yang harus dilaporkan antara lain :
KNC / Kejadian Nyaris Cedera / Near miss
KPC / Kejadian Potensi Cedera / No harm incident
KTC / Kejadian Tidak Cedera / Reportable circumstance
KTD / Kejadian Tidak Diharapkan / Harmful incident
Kejadian sentinel
Siapa yang membuat laporan ?
Siapa saja atau semua staf RS yang pertama menemukan kejadian
Siapa saja atau semua staf RS yang terlibat dalam kejadian
Pelaporan kejadian seyogyanya digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam memperbaiki sistem pelayanan. Dengan adanya pelaporan yang baik, dapat dinilai jenis error yang dilaporkan oleh staf sehingga dapat diketahui jenis kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf dan dapat segera diambil tindakan rehabilitatif. Budaya ini hanya dapat berkembang
dalam
suasana
tidak
saling
memojokkan
atau
mempersalahkan individu sehingga tercipta keterbukaan dan sikap jujur.
Universitas Indonesia
136
Rendahnya frekuensi pelaporan kejadian merupakan hambatan bagi staf RS.Masmitra untuk belajar dari kejadian yang terjadi. Hal ini diperburuk oleh persepsi sebagian staf bahwa manajemen dengan mudah memberikan surat peringatan (SP) pada karyawan yang dilaporkan melakukan kesalahan. Ditambah lagi belum disusunnya alur yang jelas untuk pelaporan insiden keselamatan pasien di RS.Masmitra yang juga akan menjadi salah satu output dari penelitian ini. Pelaporan kejadian dan feedback yang baik harus terus ditingkatkan dengan rasa saling percaya dan no blame culture, artinya bila staf melakukan kesalahan, staf lainnya tidak menilai sebelah mata atas kesalahan yang telah dilakukan oleh staf tersebut dan memberikan umpan balik kepada staf yang telah melapor. Apabila staf melaporkan setiap error maka tidak berarti staf tersebut harus dipersalahkan (di blame) ataupun dihukum atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Setiap anggota organisasi memiliki peran dalam melindungi staf atau rekan yang telah melaporkan error dengan tidak mengecilkan hati rekan yang telah melakukan
kesalahan.
Bila
keadaan
ini
mampu
dibangun
dan
dipertahankan maka akan dapat meningkatkan frekuensi pelaporan kejadian (Musdalifah, 2013). Pada FGD juga didapat bahwa frekuensi pelaporan kejadian di RS.Masmitra masih rendah, seperti yang disampaikan oleh informan-6 sebagai berikut : “Karyawan kita itu tidak tau sama sekali apa itu keselamatan pasien jadi ya mereka bekerja seadanya. Apalagi belum ada kebijakan dan SOP nya jadi sering ada salah kasih obat, salah penamaan...betul sekali harus ada format yang baku jadi tidak bingung melaporkan”. (I-6)
Universitas Indonesia
137
Oleh karena itu beberapa langkah yang disepakati dalam FGD terkait dimensi frekuensi pelaporan kejadian antara lain membuat format laporan insiden keselamatan pasien sesuai standard yang direkomendasikan WHO dan PERSI serta menyusun sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap insiden keselamatan pasien beserta alurnya yang jelas dengan menerapkan no blame culture. Dengan ditemukannya data ini diharapkan dapat menjadi masukan dan perbaikan manajemen untuk merubah sistem dan komitmen dari pimpinan untuk belajar dari kesalahan, membuat sistem pelaporan, analisa dan feedback dari kesalahan dengan mengidentifikasi masalah yang terjadi bukan memojokkan pelakunya serta menemukan solusi untuk perbaikan selanjutnya juga memberikan penghargaan pada staf yang menjalankan program keselamatan pasien. 7.1.1.4.Budaya Belajar Tabel 6.31.Rangkuman Persepsi Budaya Kurang berdasarkan Profesi Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
- - - ++
-+
--
---
--
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
+++++
-+
--
-++
++
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
+++++
++
--
-++
++
Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Budaya Belajar
Budaya Informasi
Pada budaya belajar terdapat 3 dimensi dimana dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi budaya kurang dari keseluruhan kategori tenaga klinis sedangkan dimensi harapan staf terhadap
sikap
dan
tindakan
supervisor/manajer
dalam
promosi
Universitas Indonesia
138
keselamatan pasien dipersepsi sebagai budaya sedang oleh total keseluruhan responden. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan Pada dimensi ini, terdapat budaya belajar dimana kesalahan dapat membawa perubahan positif dan dilakukan evaluasi terus-menerus terhadap efektivitas perubahan tersebut. Sehingga dengan belajar yang terus-menerus dari kejadian yang terjadi, diharapkan akan terjadi perbaikan yang berkelanjutan. Dari grafik 6.1 terlihat bahwa dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi positif yang paling rendah dari total keseluruhan responden. Semua kategori tenaga klinis mempersepsi dimensi ini sebagai budaya kurang, terutama oleh hampir separuh tenaga keperawatan.
Grafik 6.1.Rangkuman Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Universitas Indonesia
139
Tabel 6.25.Dimensi Pembelajaran Organisasi dan Perbaikan Berkelanjutan berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
4% (2)
4% (2)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
2% (1)
5% (3)
44% (24)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
0% (0)
4% (2)
18% (10)
22% (12)
Total
5% (3)
13% (7)
82% (45)
100% (55)
Sangat jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Hamdani (2007) di RS.Islam Jakarta dimana dimensi ini dipersepsi sebagai budaya sedang (72,8%) juga penelitian yang dilakukan oleh Iriviranty (2014) di RS.Budi Kemuliaan yang mempersepsi dimensi ini pada budaya kuat (89,11%), serta penelitian yang dilakukan oleh Chen (2010) di sebuah RS di Taiwan dengan penilaian sebesar 83%, pada penelitian ini dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi paling rendah (28%). Pernyataan yang mendukung dimensi ini adalah “Setelah kami melakukan perubahan untuk meningkatkan keselamatan pasien, kami melakukan evaluasi terhadap keefektivitasannya” yang mendapat persepsi positif hanya sebesar 29% dan juga pernyataan “Kami aktif melakukan kegiatan untuk meningkatkan keselamatan pasien” yang mendapat persepsi positif hanya sebesar 16%. Dari kedua pernyataan ini jelas tergambar bahwa di RS.Masmitra jarang dilakukan kegiatan untuk meningkatkan keselamatan pasien apalagi dilakukan evaluasi terhadap keefektivitasannya sehingga proses belajar dari kesalahan yang terjadi pun sangat jarang dilakukan.
Universitas Indonesia
140
Inti dari sistem keselamatan pasien adalah belajar. Proses belajar dan perbaikan yang berkelanjutan mengacu pada pembelajaran dari kesalahan (error). Bagaimana terjadi dan bagaimana tindakan pencegahan yang harus dilakukan supaya kesalahan tidak terulang kembali. Organisasi kesehatan harus membuat dan memelihara lingkungan dan sistem untuk menganalisa kesalahan yang terjadi (Kohn et al, 2000). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi hingga mungkin meniadakan insiden adalah dengan memberikan pelatihan/pembelajaran. Karyawan yang tidak mendapat pelatihan/pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden (Lubis, 2007). KPPRS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) menyatakan bahwa terdapat standard untuk mendidik staf tentang keselamatan pasien yaitu: 1. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas. 2. RS
menyelenggarakan
pendidikan
dan
pelatihan
yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien
Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden
Universitas Indonesia
141
3. Menyelenggarakan
pelatihan
tentang
kerjasama
kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien. Dari hasil telaah dokumen di RS.Masmitra belum mempunyai jadwal rutin mengenai pelatihan mengenai keselamatan pasien, baik pelatihan didalam RS maupun keluar RS. Adapun diklat (orientasi) hanya ada untuk pegawai yang baru masuk dan tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap efektifitasnya. Hal ini sangat mungkin melatarbelakangi hasil survei yang menyatakan dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi positif paling rendah dari total keseluruhan responden. Dari FGD didapat bahwa pelatihan terkait keselamatan pasien jarang dilakukan di RS.Masmitra, sebagaimana disampaikan oleh informan-5 sebagai berikut : “Pelatihan rutin antar dokter dengan perawat aja rutin diadakan jadi karyawan akan ingat terus. Kalau hanya sekali trus gak di follow up ya sama aja nanti lupa”. (I-5) Adapun langkah-langkah yang disepakati pada dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan antara lain mengadakan pelatihan internal secara rutin terkait sistem keselamatan pasien dengan mengacu pada kurikulum patient safety dari WHO dan PERSI serta menerapkan sistem lean untuk meminimalisir waste dalam setiap alur sistem keselamatan pasien agar tercapai efisiensi dan efektifitas kerja.
Universitas Indonesia
142
Harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien Arti
dari
dimensi
ini
adalah
sikap
positif
atau
negatif
dari
supervisor/manajer terhadap upaya keselamatan pasien. Dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien dipersepsi sebagai budaya sedang oleh lebih dari separoh responden (56%). Dimensi ini mendapat persepsi budaya kurang dari tenaga medis serta dipersepsi sebagai budaya sedang oleh tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Tabel 6.26.Dimensi Harapan Staf terhadap Sikap&Tindakan Spv/Manajer dlm promosi KP berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
5% (3)
2% (1)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
9% (5)
40% (22)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
7% (4)
14% (8)
0% (0)
22% (12)
22% (12)
56% (31)
22% (12)
100% (55)
Total
Tindakan dan keputusan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien merupakan panduan dan contoh yang nyata bagi staf dalam mengimplementasikan keselamatan pasien. Secara umum seorang supervisor bertanggungjawab terhadap penyelesaian tugas tim serta keselamatan dan kesejahteraan anggota timnya. Praktik keselamatan dari seorang supervisor berpengaruh terhadap penurunan jumlah insiden dan secara positif mempengaruhi persepsi iklim keselamatan bagi karyawan (Zohar, 2003 dalam WHO Patient Safety, 2009). Peran supervisor dalam
Universitas Indonesia
143
keselamatan ditekankan pada pentingnya komunikasi yang baik, kebutuhan untuk membangun kepercayaan dan kepedulian terhadap anggota tim serta kebutuhan untuk menetapkan dan menguatkan standar keselamatan (Hoffman & Morgenson, 2004 dalam WHO Patient Safety, 2009). Belum adanya panduan nyata bagi staf dalam mengimplementasikan sistem keselamatan pasien tersirat dalam FGD yang disampaikan oleh informan-4 sebagai berikut : “Ya betul itu..tim keselamatan pasien harus dibentuk dan ada orang yang menangani dan selalu memantau. Jadi tidak hanya dibicarakan saat di morning report tapi ada follow up nya”. (I-4)
Adapun langkah-langkah yang disepakati untuk dimensi harapan staf terhadap sikap&tindakan supervisor/manajer dlm promosi keselamatan pasien antara lain manajemen akan mengadakan kegiatan rutin dengan staf (Ronde
Keselamatan
Pasien)
yang
bertujuan
memberitahukan,
meneladankan dan mengharuskan keselamatan pasien menjadi prioritas utama
dalam
peningkatan
mutu
pelayanan,
memasukkan
unsur
keselamatan pasien dalam visi dan misi RS.Masmitra, membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) serta membentuk tim manajemen resiko. 7.1.1.5.Budaya Informasi Terdapat 2 dimensi pada budaya informasi yaitu dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien serta dimensi serah terima dan transisi yang mana keduanya dipersepsi sebagai budaya sedang oleh ratarata keseluruhan responden.
Universitas Indonesia
144
Tabel 6.31.Rangkuman Persepsi Budaya Kurang berdasarkan Profesi Budaya Keterbukaan
Budaya Keadilan
Budaya Pelaporan
- - - ++
-+
--
---
--
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
+++++
-+
--
-++
++
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
+++++
++
--
-++
++
Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
Budaya Belajar
Budaya Informasi
Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien Pada dimensi ini, staf diinformasikan tentang kesalahan yang terjadi, diberikan
umpan
balik
tentang
implementasi
perubahan
dan
mendiskusikan cara untuk mencegah insiden terulang kembali. Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata keseluruhan responden. Dimensi ini mendapat persepsi budaya kurang dari tenaga medis serta dipersepsi sebagai budaya sedang tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Tabel 6.28.Dimensi Umpan Balik dan Komunikasi tentang Insiden KP berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis)
5% (3)
2% (1)
20% (11)
27% (15)
Tenaga keperawatan (perawat, bidan)
13% (7)
36% (20)
2% (1)
51% (28)
Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi)
5% (3)
16% (9)
0% (0)
22% (12)
24% (13)
54% (30)
22% (12)
100% (55)
Total
Universitas Indonesia
145
Feedback dan komunikasi terhadap kesalahan serta kerjasama dalam unit saling mempengaruhi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien. Hal ini harus didukung oleh frekuensi pelaporan kejadian yang baik. Bila kerjasama dalam unit terus ditingkatkan kearah perbaikan akan mempengaruhi juga feedback dan komunikasi terhadap kesalahan. Hal ini akan berpengaruhi positif terhadap frekuensi pelaporan kejadian. Dari FGD didapat langkah yang disepakati pada dimensi umpan balik dan komunikasi tentang insiden keselamatan pasien yaitu akan menggunakan forum audit kasus untuk mendapatkan umpan balik dari staf untuk perbaikan sistem keselamatan pasien. Serah terima dan transisi Tabel 6.29.Dimensi Serah Terima dan Transisi berdasarkan Profesi Kategori tenaga klinis Tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis) Tenaga keperawatan (perawat, bidan) Tenaga penunjang medis (staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi, apoteker/asisten apoteker, ahli gizi) Total
Budaya Baik
Budaya Sedang
Budaya Kurang
Total
2% (1)
2% (1)
24% (13)
27% (15)
18% (10)
33% (18)
0% (0)
51% (28)
9% (5)
11% (6)
2% (1)
22% (12)
29% (16)
45% (25)
25% (14)
100% (55)
Arti dari dimensi ini bahwa informasi penting tentang asuhan pasien disampaikan pada saat transfer pasien antar satu unit ke unit lain dan atau selama pergantian shift. Dimensi serah terima dan transisi dipersepsi sebagai budaya sedang oleh rata-rata keseluruhan responden. Dimensi ini mendapat persepsi budaya kurang dari tenaga medis serta dipersepsi
Universitas Indonesia
146
sebagai budaya sedang oleh tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis. Dari FGD dapat pula disimpulkan bahwa di RS.Masmitra informasi penting tentang asuhan dan keselamatan pasien belum disampaikan secara optimal pada saat transfer pasien dari satu unit ke unit lain ataupun pada saat pergantian shift. Langkah yang disepakati untuk dimensi ini adalah akan diterapkan sistem SBAR (Situation-BackgroundAssessment-Recommendation) dalam memberikan informasi yang efektif pada saat serah terima dan transisi pasien. Serah terima dan transisi dapat terjadi antara dokter dengan dokter ataupun perawat dengan perawat. Persepsi budaya kurang oleh tenaga medis pada umumnya terjadi pada dokter umum dimana mereka merasa informasi penting tentang asuhan pasien belum diinformasikan secara optimal pada saat transfer pasien ataupun pergantian shift. Hal ini disebabkan sistem serah terima antar dokter jaga IGD yang belum terdapat standard dimana sebagian dari mereka pada saat operan jaga hanya melaporkan secara lisan tentang jumlah pasien dan pasien yang diobservasi selama periode jaga. Selain itu apabila pasien masuk dari IGD dan berakhir dengan rawat di ruang perawatan juga belum ada sistem serah terima antar dokter IGD dengan dokter jaga di ruangan. Dengan hanya ada satu orang dokter jaga ruangan di office hours juga menjadi kendala dalam serah terima informasi tentang asuhan pasien terutama saat dokter jaga ruangan tersebut sedang off. Dalam standar III buku panduan keselamatan pasien rumah sakit mengenai keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan, disebutkan bahwa rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Koordinasi pelayanan dilakukan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan,
Universitas Indonesia
147
diagnosis, perencanaan pelayanan, tindak pengobatan, rujukan dan sampai pada saat pasien keluar rumah sakit. selain itu harus selalu ada komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapai proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. 7.1.2. Tipe Budaya Organisasi Hierarchy Dari literatur diketahui perlunya mengidentifikasi budaya organisasi dalam mengelola manajemen rumah sakit terutama dalam meningkatkan kinerja karyawan untuk menjawab tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien. Penelitian ini menggunakaan Competing Values Framework (CVF) untuk mengidentifikasi
profil
budaya
organisasi
RS.Masmitra.
Melalui
Organization Culture Assessment Instrument (OCAI), profil organisasi dapat digambarkan dengan mengetahui karakteristik dan tipe budaya organisasi yang diukur berdasarkan 6 komponen yaitu karakteristik dominan, kepemimpinan organisasi, manajemen karyawan, perekat organisasi, penekanan strategis dan kriteria sukses. Hasil survey terhadap 60 orang responden yaitu tenaga klinis yang memberi asuhan pada pasien ditambah kelompok pimpinan di tingkat direksi, owner dan manajer serta kepala unit didapatkan gambaran budaya organisasi terkuat di RS.Masmitra saat ini adalah budaya Hierarchy dengan skor 52,3 dan yang terkuat kedua adalah budaya Market dengan skor 20. Dapat dilihat pada tabel 6.38 berikut :
Universitas Indonesia
148
Tabel 6.38.Skor Rata-rata OCAI RS.Masmitra Tipe Budaya Organisasi Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 11,8 15,8 20 52,3
Yang diharapkan 13,5 14,8 22,8 48,8
Selisih 1,7 1 2,8 3,5
Sementara tipe budaya lainnya seperti Adhocracy dan Clan merupakan budaya yang juga ada namun dalam tingkatan yang jauh lebih rendah, masing-masing dengan skor 15,8 dan 11,8. Sebagai budaya yang dominan di RS.Masmitra, budaya Hierarchy juga mempunyai kekuatan budaya organisasi yang kuat dengan penekanan pada kontrol dan prosedur formal. Ini terlihat dari selisih skor antara budaya Hierarchy dengan tipe budaya lainnya yang mempunyai selisih lebih dari 10 (selisih tertinggi adalah antara budaya Hierarchy (skor 52,3) dan budaya Clan (skor 11,8) dengan selisih skor 40,5). Hal ini dianggap menguntungkan dalam kinerja rumah sakit dimana diperlukan kekuatan budaya organisasi yang kuat untuk meningkatkan efektivitas kerja rumah sakit. Asumsi ini dapat dipahami karena RS.Masmitra sudah beroperasi selama 7 tahun dimana sudah terjadi internalisasi budaya organisasi diantara karyawannya meski dengan turn over pimpinan yang cukup tinggi. Di sisi lain, kecenderungan dominannya salah satu budaya organisasi memberikan indikasi kesulitan untuk merubah karena telah menjadi ciri yang kuat.
Universitas Indonesia
149
Gambar 7.1 Tipe Budaya Organisasi
Selisih skor yang kurang dari 10 menurut Cameron & Quinn berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor budaya organisasi saat ini dengan yang diharapkan, yang artinya belum diperlukan intervensi segera oleh pihak manajerial. Sebagai budaya yang diinginkan untuk masa mendatang, budaya Hierarchy memiliki kecenderungan berfokus pada lingkungan internal dan integrasi serta kurang fokus dalam hal orientasi eksternal dan diferensiasi. Budaya Hierarchy juga memiliki stabilitas dan kontrol yang tinggi namun rendah dalam hal fleksibilitas dan kebebasan. Cameron dan Quinn (2006) menyebutkan bahwa tipe budaya organisasi ini bercirikan pentingnya organisasi berjalan secara ”smooth”, adanya pengendalian, aturan dan policy formal dalam organisasi serta adanya prosedur tetap yang dijadikan acuan dalam bekerja dengan tempat bekerja yang terstruktur. Walaupun sudah 7 tahun berjalan, RS.Masmitra tampaknya masih berfokus untuk menjalankan koordinasi internal sebelum berfokus pada ekspansi dan pengembangan serta diferensiasi pelayanan rumah sakit. Penekanan pada budaya Hierarchy menandakan
Universitas Indonesia
150
adanya kecenderungan untuk berfokus dalam mengefisienkan jalannya tertib organisasi dan pentingnya pengawasan. Pada hasil penelitian, budaya Hierarchy mendapat skor tertinggi pada keseluruhan komponen budaya organisasi dengan selisih skor saat ini dengan yang diharapkan semuanya kurang dari 10, kecuali pada komponen kepemimpinan organisasi. Pada komponen ini, skor saat ini berselisih 12 poin dengan skor yang diharapkan. Hal ini dimungkinkan karena turn over pemimpin di RS.Masmitra yang cenderung tinggi hingga saat ini. Tabel 6.33 Skor rata-rata OCAI pada komponen Kepemimpinan Organisasi
Kepemimpinan Organisasi Clan Culture Adhocracy Culture Market Culture Hierarchy Culture
Saat ini 12 18 20 50
Yang diharapkan 20 19 23 38
Selisih 8 1 3 12
IOM merekomendasikan bahwa prinsip utama dalam mendesain sistem keselamatan pasien adalah dengan kepemimpinan untuk analisa kejadian dan merancang ulang sistem (Kohn, 2000). Untuk membangun budaya keselamatan, diperlukan 6 perilaku yang harus dimiliki pemimpin, yaitu: membuat
dan
mengkomunikasikan
visi
keselamatan
yang
jelas,
mendorong staf untuk mencapai visi, secara aktif melakukan upaya pengembangan keselamatan, memberikan teladan, fokus pada isu dibandingkan pada kesalahan individu, secara kontinu melakukan penelitian sebagai upaya melakukan perbaikan (Singer et al, 2009). Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada mutu pimpinan yang terdapat dalam organisasi tersebut.
Universitas Indonesia
151
Mutu kepemimpinan dalam organisasi juga tergambar pada kemampuan pemimpin dalam: memahami faktor yang menjadi kekuatan organisasi, mengenali kelemahan organisasi, memanfaatkan peluang yang ada, menghilangkan berbagai ancaman, bersifat proaktif dan antisipatif terhadap perubahan, mendorong bawahan bekerja dengan efisiensi, efektivitas, dan produktifitas yang optimum, serta menciptakan iklim kerja yang kondusif. Dalam budaya Hierarchy, pemimpin adalah seorang koordinator, pemantau dan ahli organisasi yang mengutamakan efektivitas. Dengan tingginya turn over pemimpin di RS.Masmitra merupakan hambatan dalam mengkomunikasikan visi keselamatan pasien dengan jelas hingga dapat mendorong staf untuk dapat mencapai visi tersebut. Tingginya turn over pemimpin juga merupakan hambatan dalam melakukan upaya pengembangan keselamatan secara aktif, upaya perbaikan secara kontinu, serta belum sempat memahami faktor yang menjadi kekuatan organisasi dan mengenali kelemahan organisasi untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja rumah sakit. Kecenderungan budaya Hierarchy sebagai budaya organisasi yang dominan mengindikasikan sulitnya berubah karena telah menjadi ciri budaya yang kuat, sementara itu budaya Clan merupakan tipe budaya organisasi dengan skor terendah. Speroff et al (2010) menemukan hubungan antara budaya organisasi dengan keselamatan pasien di rumah sakit, bahwa rumah sakit dengan tipe budaya Clan mempunyai iklim keselamatan yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan rumah sakit dengan budaya Hierarchy. Menurut Singer et al (2009), orientasi pada fleksibilitas yang merupakan ciri dari budaya Clan dan budaya Adhocracy berdampak langsung terhadap keselamatan pasien, sebaliknya
Universitas Indonesia
152
untuk budaya Hierarchy dan budaya Market dengan orientasi kontrolnya, berdampak
tidak
langsung
terhadap
keselamatan
pasien
dimana
dibutuhkan manajemen pengetahuan (proses belajar) terhadap budaya keselamatan pasien dalam mewujudkannya. Disamping itu, budaya Hierarchy menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan. Dengan demikian untuk dapat bertahan dan unggul dalam industri perumahsakitan dan memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien, diperlukan strategi yang adaptif untuk dapat mentransformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy yang dianut dan telah menjadi budaya yang kuat di RS.Masmitra yaitu dengan menjadikan RS.Masmitra sebagai learning organization dalam upaya menerapkan sistem keselamatan pasien.
7.2.
Perumusan Learning Organization dalam upaya transformasi
Budaya Keselamatan Pasien ke dalam Budaya Hierarchy untuk membangun sistem Keselamatan Pasien di RS.Masmitra Menjawab isu global yang mempertaruhkan citra rumah sakit yaitu makin maraknya
tuntutan
terhadap
pelayanan
kesehatan
yang
berbasis
keselamatan pasien, RS.Masmitra merasa perlu berbenah diri untuk menerapkan strategi adaptif terkait hal tersebut. Dari berbagai literatur dan sebagaimana tercantum dalam langkah pertama dari konsep “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” di Indonesia, diyakini bahwa membangun budaya keselamatan merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya mencapai keselamatan pasien. Meski
Universitas Indonesia
153
merupakan hambatan paling berat, menciptakan safety culture merupakan fondasi bagi program keselamatan pasien (Cahyono, 2008). Permulaan dari proses pengembangan program keselamatan pasien adalah melakukan penilaian terhadap budaya keselamatan pasien. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang akan dikembangkan, evaluasi program, untuk membuat perbandingan secara internal maupun eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan (Nieva, 2004). Budaya keselamatan harus ada di setiap bagian di RS, dari tingkat individu hingga tingkat organisasi. Dimensi budaya keselamatan di tiap tingkatan tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Namun keberhasilan budaya keselamatan menjadi budaya organisasi memerlukan keterpaduan dari setiap dimensi tersebut. Dimana setiap RS memiliki karakteristik masingmasing untuk keberhasilan membangun dimensi budaya keselamatan pasien di organisasinya. Oleh karena itu, RS perlu mengetahui dimensi budayanya yang dapat berkontribusi pada keberhasilan program keselamatan pasien di tempatnya (Lestari, 2008). Dari hasil penelitian didapat dimensi budaya keselamatan pasien yang mendapat persepsi Budaya Sedang dan Budaya Kurang sehingga memerlukan perhatian dan perbaikan ada 10 dari 12 dimensi AHRQ, yaitu: 1. Dimensi keterbukaan komunikasi 2. Dimensi kerjasama antar unit 3. Dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien 4. Staffing 5. Dimensi respon non-punitive terhadap kesalahan 6. Dimensi frekuensi pelaporan kejadian
Universitas Indonesia
154
7. Dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan 8. Dimensi
harapan
staf
terhadap
sikap
dan
tindakan
supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien 9. Dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien 10. Dimensi serah terima dan transisi
Dari 10 dimensi tersebut, dimensi frekuensi pelaporan kejadian serta dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi positif paling rendah. Padahal sebenarnya, inti dari sistem keselamatan pasien adalah belajar. Proses belajar dan perbaikan yang berkelanjutan mengacu pada pembelajaran dari kesalahan (error). Bagaimana terjadi dan bagaimana tindakan pencegahan yang harus dilakukan supaya kesalahan tidak terulang kembali. Organisasi kesehatan harus membuat dan memelihara lingkungan dan sistem untuk menganalisa kesalahan yang terjadi (Kohn et al, 2000). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi hingga mungkin meniadakan insiden adalah dengan memberikan pelatihan/pembelajaran yang nantinya terkait dengan frekuensi pelaporan kejadian. Karyawan yang tidak mendapat pelatihan/pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden (Lubis, 2007). Selain itu, feedback dan komunikasi terhadap kesalahan serta kerjasama dalam unit saling mempengaruhi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien. Hal ini harus didukung oleh frekuensi pelaporan kejadian yang baik. Bila kerjasama dalam unit terus ditingkatkan kearah perbaikan akan
Universitas Indonesia
155
mempengaruhi juga feedback dan komunikasi terhadap kesalahan. Hal ini akan berpengaruhi positif terhadap frekuensi pelaporan kejadian. Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar (Adib, 2012). Menurut Weaver at al (2013) budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai bagian dari aspek budaya organisasi, dalam hal ini organisasi manajemen RS. Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008). Budaya tersebut dianggap sebagai sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait keselamatan pasien yang mampu membentuk persepsi dokter dan staf mengenai perilaku keselamatan pasien di wilayah kerja mereka. Dari literatur diketahui perlunya mengidentifikasi budaya organisasi dalam mengelola manajemen rumah sakit terutama dalam meningkatkan kinerja karyawan untuk menjawab tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien. Ramanujam et al (2005) juga menyatakan bahwa dalam merespon kebutuhan terhadap peningkatan keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus membangun strategi untuk menciptakan learning organization dimana setiap partisipan yang ada dalam proses pelayanan, terlibat dalam pembelajaran yang kontinu. Selain itu, Thomsen&Hoest (2001) berpendapat bahwa transformasi dari banyak organisasi menjadi learning organization merupakan jawaban bagi organisasi yang ingin meningkatkan peluang untuk bertahan dan memperkuat posisi mereka di pasar, terutama dalam menghadapi tuntutan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan yang tinggi.
Universitas Indonesia
156
Dari penelitian Budaya Organisasi didapat budaya organisasi yang dianut RS.Masmitra saat ini adalah budaya Hierarchy yang menekankan pada adanya kontrol dan prosedur formal, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya organisasi saat ini dengan budaya organisasi yang diharapkan di masa datang. Selain itu budaya Hierarchy merupakan budaya yang dominan dengan kekuatan budaya yang kuat yang telah mengakar di seluruh lapisan karyawan RS.Masmitra. Singer et al (2009) mengatakan bahwa budaya Hierarchy menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan, disamping itu, budaya Hierarchy dengan orientasi kontrolnya berdampak tidak langsung terhadap
keselamatan
pasien
dimana
dibutuhkan
manajemen
pengetahuan (proses belajar) terhadap budaya keselamatan pasien dalam mewujudkannya, sehingga diperlukan strategi untuk menciptakan learning organization untuk dapat mentransformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dimensi budaya keselamatan pasien yang menyebutkan dimensi frekuensi pelaporan kejadian serta dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan mendapat persepsi positif paling rendah, yang artinya pelaporan insiden yang terjadi di RS.Masmitra masih kurang akibat belum adanya kesadaran belajar dari insiden yang terjadi. Serta hasil penelitian budaya organisasi yang menyebutkan tipe budaya organisasi yang dianut RS.Masmitra adalah budaya Hierarchy dimana diperlukan strategi untuk menciptakan learning organization untuk dapat melakukan transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam organisasinya.
Universitas Indonesia
157
Setelah mendapatkan hasil penelitian dimensi budaya keselamatan pasien dan profil budaya organisasi, peneliti melakukan Focus Group Discussion (FGD)
untuk
membahas
langkah-langkah
transformasi
budaya
keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy yang dianut RS.Masmitra dengan berpedoman pada lima strategi mutu hierarchy culture dari Competing Value Framework. Setelah itu, peneliti berusaha menyusun langkah-langkah adaptif yang dapat dilakukan untuk transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy dengan berpedoman pada model System Learning Organization dari Marquardt. Menurut kesimpulan peneliti, konsep Learning Organization merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program
keselamatan
pasien.
Dengan
adanya
konsep
Learning
Organization yang baik maka diharapkan akan terjadi perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik yang mana sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkahlangkah upaya penerapan keselamatan pasien terutama pada tipe budaya organisasi Hierarchy. Adapun strategi adaptif tersebut tersusun dalam tabel 6.40 sebagai berikut:
Universitas Indonesia
2.
1.
No
Organisasi
Transformasi
Pembelajaran
Dinamika
Organization
Learning
Komponen
kompetensi
staf
Tujuh
Langkah
memperbaikinya
juga
turun
tangan
untuk
158
h.
Menciptakan atmosfer learning simulasi, mendorong pelaporan kejadian, g.
memenuhi standard keselamatan pasien
Universitas Indonesia
Mengalokasikan dana untuk sarana dan prasarana rumah sakit yang
balik dan belajar dari kesalahan
memastikan tidak ada tekanan saat melaporkan kejadian, mekanisme umpan
Membentuk Tim Manajemen Risiko
f.
Membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
Ronde Keselamatan Pasien (fokus pimpinan pada program keselamatan
Mengintegrasikan visi dan misi organisasi ke dalam visi dan misi tiap unit
memasukkan unsur keselamatan pasien
Mengusulkan revisi pernyataan visi, misi dan nilai-nilai organisasi dengan
tetapi
e.
d.
c.
Executive Walkrounds mengharuskan keselamatan pasien menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
pasien)
Menuju
b.
a.
keselamatan pasien (mencapai efisiensi dan efektifitas kerja)
Setiap staf tidak hanya sekedar melaporkan
Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Menerapkan
Rumah Sakit
di
pada
Pasien
(berpedoman
Keselamatan
Culture
Solusi
Safety
Sembilan
Total
Menciptakan iklim kerja yang mendukung
maupun PERSI
pada kurikulum patient safety dari WHO
memberi asuhan pada pasien dengan mengacu
pelayanan, mentor maupun tenaga klinis yang
Memperkuat peran staf sebagai pemberi
Menerapkan sistem lean untuk meminimalisir waste dalam setiap alur sistem
Audit kasus untuk perbaikan sistem keselamatan pasien (analisa akar masalah
Pelatihan internal rutin bertema keselamatan pasien
keselamatan pasien
c.
b.
a.
bukan membahas pelakunya)
meliputi
Langkah - langkah
Memahami benar metode dalam praktek
pengetahuan maupun keterampilan
Meningkatkan
Tujuan
Tabel 6.40. Langkah-langkah merumuskan Learning Organization model Marquardt
3.
Manusia
Pemberdayaan
transisi pasien.
Pertemuan rutin antara tenaga klinis (medis, keperawatan, penunjang medis)
standard prosedur operasional yang telah ditetapkan)
Superfisi SPO (memastikan semua standard pelayanan dilaksanakan sesuai
tanpa hambatan, aman dan efektif
Tercapai proses komunikasi dan koordinasi
Menyusun standard mutu pelayanan instalasi Menyusun Key Performance Indicator (KPI) Melibatkan staf dalam setiap langkah penerapan upaya keselamatan pasien
h. i. j.
Universitas Indonesia
Menyusun standard profesi (medis, keperawatan dan penunjang medis)
penasihat keselamatan pasien di unitnya
Pemilihan champion – champion dari tiap unit yang akan menjadi mentor dan
hambatan, aman dan efektif
antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapai proses koordinasi tanpa
rumah sakit dengan didukung oleh adanya komunikasi dan transfer informasi
perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan hingga pasien keluar
secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis,
Menekankan pada staf akan pentingnya koordinasi pelayanan yang dilakukan
tindakan medis yang akan dilakukan
Menekankan pada staf akan pentingnya informed consent dalam setiap
audit kasus)
Mengoptimalkan forum komunikasi yang sudah berjalan (morning report,
g.
f.
e.
d.
c.
Pertemuan rutin karyawan dengan manajemen
159
(Situation-Background-Assessment-
dengan manajemen yang membahas permasalahan pelayanan medis b.
SBAR
tenaga klinis
a.
sistem
Recommendation) dalam memberikan informasi pada serah terima dan
Menerapkan
manajemen dengan karyawan maupun diantara
Mendukung keterbukaan informasi diantara
j.
i.
5.
4.
Teknologi
Aplikasi
Pengetahuan
Pengelolaan
Solusi
Sembilan
pasien
160
Membuat format laporan insiden keselamatan pasien sesuai standard yang
ada pelaporan insiden keselamatan pasien
Universitas Indonesia
Memastikan semua karyawan tersosialisasi dan paham akan alur sistem
b.
lapisan dengan menerapkan teknologi yang
Sistem reward and punishment pada karyawan yang menerapkan sistem keselamatan pasien
a.
(KPRS) dengan melibatkan staf terkait
mudah diakses oleh staf RS dalam berbagai
Semua informasi tentang keselamatan pasien
Rumah Sakit)
Membuat kebijakan untuk melaksanakan Keselamatan Pasien Rumah sakit
c.
b.
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
di
pasien beserta alurnya yang jelas (no blame culture)
Membuat sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap insiden keselamatan
direkomendasikan
Pasien
(pedoman
a.
Rumah Sakit yang diikuti dengan penerapan
Keselamatan
keselamatan
berbasis
Menyusun standard pelaksanaan pelayanan
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Permulaan dari proses penerapan program keselamatan pasien adalah melakukan penilaian terhadap budaya keselamatan pasien. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang akan dikembangkan, evaluasi program, untuk membuat perbandingan secara internal maupun eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan 2. Budaya Keselamatan Pasien di RS.Masmitra rata-rata berada dalam kategori budaya sedang dimana merupakan area yang memerlukan perhatian, antara lain dimensi : a. Umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien b. Harapan
staf
terhadap
sikap
dan
tindakan
supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien c. Staffing d. Keterbukaan komunikasi e. Kerjasama antar unit f. Serah terima dan transisi g. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien 3. Sedangkan yang berada dalam kategori budaya kurang dimana merupakan area yang memerlukan perbaikan adalah dimensi : a. Respon non-punitive terhadap kesalahan 161
Universitas Indonesia
162
b. Frekuensi pelaporan kejadian c. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan 4. Adapun yang berada dalam kategori budaya baik yang dapat merupakan kekuatan budaya keselamatan pasien di RS.Masmitra adalah dimensi : a. Kerjasama dalam unit b. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien 5. Dari
literatur
diketahui
perlunya
mengidentifikasi
budaya
organisasi dalam mengelola manajemen rumah sakit terutama dalam meningkatkan kinerja karyawan untuk menjawab tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan pasien. 6. Tipe budaya organisasi yang dominan di RS.Masmitra adalah budaya Hierarchy. Budaya Hierarchy adalah budaya organisasi yang terstruktur dan terkendali dimana adanya pengendalian, aturan dan policy formal dalam organisasi serta adanya prosedur tetap yang dijadikan acuan dalam bekerja dengan tempat bekerja yang terstruktur.kebijakan dan peraturan formal yang mengatur jalannya organisasi dengan lancar. Budaya ini memfokuskan diri pada perbaikan internal dengan penekanan pada kontrol dan prosedur formal. Pemimpin dalam organisasi dianggap sebagai coordinator, pemantau dan ahli organisasi yang mengutamakan efektifitas. Pendekatan manajemen karyawannya ditandai dengan keamanan kerja, stabilitas dan kemapanan dalam hubungan. Suksesnya organisasi menurut budaya Hierarchy ditandai dengan
Universitas Indonesia
163
adanya efisiensi, pelayanan yang handal, penjadwalan yang lancar serta produksi yang berbiaya rendah. 7. Selain dominan, budaya Hierarchy juga merupakan budaya yang kuat di RS.Masmitra. Budaya Hierarchy juga merupakan budaya yang diharapkan dan yang diinginkan di masa mendatang. Faktor kepemimpinan organisasi dirasa masih memerlukan intervensi oleh pihak manajerial dikarenakan turn over pemimpin di RS.Masmitra yang cenderung tinggi hingga saat ini. 8. Budaya Hierarchy dengan orientasi kontrol dan prosedur formalnya membutuhkan manajemen pengetahuan (proses belajar) dalam transformasi budaya keselamatan pasien melalui konsep learning organization. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian budaya keselamatan pasien yang menyatakan dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan merupakan budaya kurang yang paling rendah di RS.Masmitra. Oleh karena itu, perumusan konsep learning organization dalam upaya transformasi budaya keselamatan pasien ke dalam budaya Hierarchy sangat tepat diterapkan untuk membangun sistem keselamatan pasien di RS.Mamitra. 8.2
Saran
Setelah melakukan analisis hasil penelitian ini, penulis menyarankan beberapa hal, antara lain :
Untuk manajemen RS.Masmitra :
1. Komitmen terhadap keselamatan pasien harus diintegrasikan dalam setiap kebijakan manajemen yang diawali dengan memasukkan unsur keselamatan pasien dalam visi dan misi RS.Masmitra yang selanjutnya ditanamkan ke dalam visi dan misi tiap unit.
Universitas Indonesia
164
2. Menunjukkan komitmen manajemen akan fokus pada program keselamatan pasien di semua level antara lain membentuk KKPRS, kegiatan Ronde Keselamatan Pasien dan juga membekali diri dengan selalu up date ilmu keselamatan pasien dengan mengikuti pelatihan KPRS yang diadakan PERSI. 3. Menciptakan
iklim
keselamatan
pasien
keselamatan di
yang
RS.Masmitra
mendukung antara
lain
upaya dengan
mengevaluasi beban kerja staf agar staf tidak mengalami kelelahan fisik dan mental sehingga human error dalam pelayanan dapat dihindari. 4. Mengoptimalkan dan menghidupkan kembali media komunikasi dan pembelajaran yang sudah ada, seperti morning report, pertemuan rutin bulanan dengan medis maupun para karyawan untuk menjaga agar keterbukaan komunikasi tetap berjalan yang pada akhirnya berdampak positif dalam meningkatkan keselamatan pasien. 5. Menyusun alur pelaporan insiden keselamatan pasien agar semua insiden dapat terdokumentasi dengan baik dengan penekanan pada pembelajaran organisasi, analisa dan feedback dari kesalahan dengan mengidentifikasi masalah yang terjadi bukan memojokkan pelakunya (no blame culture) serta menemukan solusi untuk perbaikan selanjutnya juga memberikan penghargaan pada staf yang menjalankan program keselamatan pasien. Dengan demikian akan meningkatkan frekuensi pelaporan kejadian dan memupus anggapan karyawan akan persepsi manajemen terlalu mudah mengeluarkan surat peringatan (SP) yang merupakan budaya yang menghambat keselamatan pasien.
Universitas Indonesia
165
6. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien sehingga meminimalisir kecenderungan untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden.
Untuk tenaga klinis :
1. Meningkatkan budaya belajar yang merupakan budaya kurang dengan aktif mengikuti pelatihan internal maupun eksternal. 2. Meningkatkan pelaporan insiden keselamatan pasien tanpa rasa takut sehingga akan timbul pembelajaran dan umpan balik dari insiden yang terjadi.
Untuk penelitian berikutnya :
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian berikutnya tentang keselamatan pasien yaitu perlu dilakukan pengukuran budaya keselamatan pasien antar unit di RS.Masmitra. 2. Perlu juga dilakukan penelitian untuk melihat profil budaya organisasi antar unit dalam organisasi. 3. Perlunya
dilakukan
penelitian
lanjutan
untuk
melihat
perkembangan tingkat budaya keselamatan pasien setelah strategi adaptif diterapkan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Adib AYahya, d. 2012. Memimpin dan Mendukung staf untuk komitmen dan Fokus pada Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Workshop keselamatan pasien dan manajemen risiko klinis di rumah sakit. Jakarta. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) Rockville, MD. 2011. Organizational Culture Distinguishes Top-Performing Hospitals in Patient Outcomes from Heart Attack : Research Activities, June 2011, No. 370. http://www.ahrq.gov/news/newsletters/researchctivities/jun11. Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville MD. 2012. Surveys on Patient Safety Culture. Sitasi dari www.ahrq.gov/professionals /qualitypatientsafety/patientsafetyculture/index.html. Albert, R. 2014. Workshop Keselamatan Pasien. RS.Hermina Bekasi. Ayudyawardani SD, 2012. Tesis : Pengembangan Model Budaya Keselamatan Pasien yang sesuai di Rumah Sakit Ibu Anak Tumbuh Kembang Cimanggis, Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bea I, Pasinringi, Syahrir A; Noor, Noer Bahry. 2013 : Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Tahun 2013. Beginta, R. 2012. Tesis : Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya Kepemimpinan, Tim Kerja terhadap Pelaporan Kesalahan Pelayanan oleh Perawat di Unit Rawat Inap RSUD Bekasi Tahun 2012, Universitas Indonesia. Blegen, M.A., et al. 2006, Safety Climate in Hospital Units: A New Measure, Advance in Patient Safety. Vol 4, sitasi dari www.ahrq.gov/downloads /pub/advances/vol4/pdf. Budihardjo A, 2008. Pentingnya Safety Culture di Rumah Sakit - Upaya Meminimalkan Adverse Events - Integritas - Jurnal Manajemen Bisnis ,Vol. 1 No. 1 |, Mei 2008 (53 - 70). 166
Universitas Indonesia
167
Cahyono, S.B. 2008. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik kedokteran. Yogyakarta: Kanissius. Cameron, K S., & Quinn, R.E. 2006. Diagnosing and changing organizational culture: Based on the competing values framework (Revised ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass. Cameron KS, Quinn RE, 2011. Diagnosing and Changing Organizational Culture Based on the Competing Values Framework. Third Edition. Canadian Patient Safety Institute , 2009. Enhancing Patient Safety Across the Health Professions,The Safety Competencies. First Edition. Carthey J, Clarke J, 2010. Implementing Human Factors in Healthcare, “How to Guide‟. Sitasi : http://www.patientsafetyfirst.nhs.uk. Chen, I Chi & Hung Hui Li. 2010. Measuring patient safety culture in Taiwan using the Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC). http://www.biomedcentral.com/1472-6963/10/152. Currie, & Lynne. 2007. Assessing safety climate supports targeted quality improvement interventions. Paper presented at NICE conference. Cooper, M.D., 2000. Towards a Model of Safety Culture. Safety Science. 36th edition. p 111-136. Sitasi dari http://www.behavioral-safety.com De Poy E, Gitlin L. 1998. Introduction to Research, Understanding and Applying Multiple Strategies. Mosby. 2nd Edition. Depkes RI –PERSI. 2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Flemming M, Wentzell N, 2008. Patient Safety Culture Improvement Too: Development and Guidelines for Use. Healthcare Quarterly Vol 11 Special Issue 2008. Gibson et al. 2006. Organizations : Behavior Structure Proceseses, Twelfth ed. New York : McGraw-Hill. Hamdani, S. 2007. Tesis : Analisis Budaya Keselamatan Pasien (Patient Safety Culture) di Rumah Sakit Islam Jakarta tahun 2007. Universitas Indonesia. 2007. Hastono, S.P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Depok.
Universitas Indonesia
168
Health and Safety Executive (HSE) , United Kingdom. 2005. A Review of Safety Culture and Safety Climate Literature for The Development of The Safety Culture Inspection Toolkit. Hellings J., Schrooten W., Klazinga N., & Vleugels A. 2007. Challenging Patient Safety Culture: survey results. International Journal of Health Care Quality Assurance. 7th edition. p620-632. Hidayat S F, 2012. Tesis : Budaya Organisasi Menurut Kerangka Persaingan Nilai (Competing Values Framework) Di RS Islam Sari Asih Ar Rahmah Tangerang November 2011. Universitas Indonesia. Hofstede, Geert & Hofstede, Gert Jan. 2005. Cultures and Organizations. Software of mind. USA. McGraw-Hill. Iriviranty, A. 2014. Tesis : Analisis Budaya Organisasi dan Budaya Keselamatan Pasien Sebagai Langkah Pengembangan Keselamatan Pasien di RSIA Budi Kemuliaan tahun 2014. Universitas Indonesia. 2014. Institute of Medicine. 2000. To err is human: building a safer health system. USA. Iqbal, A.M. 2013. Tesis : Analisis Kesiapan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Ibu dan Anak Assalam Cibinong Bogor Jawa Barat tahun 2013. Universitas Indonesia. Jianhong, A. 2004. Safety culture in surgical residency program across Virginia. http:// www.sysy.virgin.edu. Kirk, S., Parker, D., Claridge, T., Esmail, A., & Marshall, M. 2007. Patient Safety Culture in Primary Care : Developing a Theoritical Framework for Practical Use. Journal of Quality Safety Health Care. 16 th edition. p 313-320. Kohn L.T, et al. 2000. To Err is Human. Building a Safer Health System. Washington, Copyright 2014 National Academy of Science. Sitasi dari www.nap.edu/html/to_err_is_human. Kaufman G, McCaughan D, 2013. The Effect of Organisational Culture On Patient Safety. Nurs Stand 2013 Jun 26-Jul 2;27(43):50-6. Sitasi dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Universitas Indonesia
169
KKP-RS. 2008. Pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP). Jakarta : KKP-RS. Kreitner, Robert, Kinicki, Angelo. 2007. Organizational Behavior, seventh edition. New York : McGraw-Hill Int’ Lubis, M. 2007. Pengaruh Beban Kerja terhadap Efektifitas Kerja Perwat di Instalasi Rawat Inap RSU. Dr. Pringadi Medan, Tesis-USU. Medan. Lestari, AD. 2008. Penilaian Budaya Patient Safety Departemen Bedah dan Non Bedah RS Angkatan Laut Mintohardjo Jakarta. Tesis Program Manajemen Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada. Mardon RE, Khanna K, Sorra J, Dyer N, Famolaro T. 2010. Exploring Relationships Between Hospital Patient Safety Culture And Adverse Events. Journal of Patient Safety. Marquardt, Michael J. 1996. Building The Learning Organization : A System Approach to Quantum Improvement and Global Success : McGraw-Hill New York. McShane, SL and Glinov, Marry. 2003. Organizational Behavior. Sitasi dari http://www.mcgraww-hill.com. Musdalifah. 2013. Tesis : Analisis Hubungan Frekuensi Pelaporan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) Dengan Budaya Keselamatan Pasien Oleh Perawat Di RSUD Selebe Solu Kota Sorong Tahun 2013. Universitas Indonesia. Natanael, S.D. 2013. Mahir Menggunakan SPSS secara Ortodidak. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Nieva V , Sorra J. 2003. Safety Culture Assessment: A Tool For Improving Patient Safety In Healthcare Organizations ,Qual Saf Health Care. Ni Wayan Nurasih. 2008. Tesis : Analisis Penerapan Learning Organization Menurut Persepsi Pegawai Tingkat Pimpinan Pada Divisi Operasional PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Universitas Indonesia. Nummelin, J. 2006. Measuring Organization Culture in Construction Sector-Finnish Sample. International Conference on Construction Culture, Innovation and Management. Dubai.
Universitas Indonesia
170
Nurmalia D, 2012. Tesis: Pengaruh Program Mentoring Keperawatan terhadap Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan Agung Semarang, Universitas Indonesia, 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691, Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2011. Rachmawati E, 2012. Disertasi : Model Pengukuran Iklim Keselamatan Pasien (Patient Safety Climate) di Rumah Sakit MuhammadiyahAisyiyah (RSMA), Universitas Indonesia. Ramanujam et al. 2005. Making a Case for Organizational Change in Patient Safety Initiatives. Advance in Patient Safety, Vol 2 p. 455465. Reason J, 2006. Human Factors : A Personal Perspective. Human Factors Seminar. Helsinski. February 2006. Russell, J. 2001. Understanding Organizational Culture. Russell Consulting Inc© Sitasi http://russellconsultinginc.com/wp/uploads/RCI_Whitepaper_-_Culture.pdf Russell J,Russell L. 2014. Understanding Organizational Culture. Russell Consulting Inc© 2014. Sitasi dari http://russellconsultinginc.com/ wp-content/uploads/RCI_Whitepaper_-Culture.pdf Robbins, S.P. 1996. Perilaku organisasi edisi kedelapan : Konsep, kontroversi, aplikasi. Hadyana Pujaatmaka, penerjemah. Jakarta : Prenhalindo. Sandars, J. Cook, G. 2007. ABC of Patient Safety. Blackwell Publishing, Ltd. Schein, E. 2004. Organizational Culture and Leadership. 3rd Edition. Jossey-Bass. Senge, Peter M. 1994. The Fifth Discipline : The Art and Practise of The Learning Organization. Doublebay 1540 Broadway. New York. Singer SJ, et al, 2009. Identifying organizational cultures that promote patient safety. Health Care Manage Rev. 2009 Oct-Dec ; 34(4):30011. Sorra J, Nieva V. 2007. Hospital Survey on Patient Safety Culture, AHRQ Publication No. 04-0041 ,September 2007. Universitas Indonesia
171
Sorra J, Nieva, 2004. Hospital Survey on Patient Safety Culture . Sitasi : http://www.ahrq.gov/qual/patientsafetyculture/hospsurvindex.htm Smart, J. C. 2010. Higher Education: Handbook of Theory and Research: Volume 25. London: Springer. Speroff et al, 2010. Organisational Culture: Variation Across Hospitals and Connection to Patient Safety Climate, Qual Saf Health Care 2010. Stoner, J, et al. 1996. Management. 6th edition. Prentice-Hall Inc. Thoha M. 2009. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi 1, Jakarta. Rajawali pers. Thomsen, Home & Viggo Hoest. 2001. Employee’s Perception of The Learning Organizationl Learning. Vol 32 p 469-491. Wahyu, T. 2014. Tesis : Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien oleh Petugas Sharp End pada Instalasi MPE/Rehabilitasi, Farmasi dan Laboratorium di Rumah Sakit X. Universitas Indonesia. Wagner C, Smits M, Sorra J, and Huang CC, 2013. Assessing Patient Safety Culture In Hospitals Across Countries. International Journal for Quality in Health Care; Volume 25, Number 3: pp. 213–221 10.1093/intqhc/mzt024, 2013. Wibowo, A. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. Cetakan1. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Weingart, Saul.,et al. 2000. Epidemiology of Medical Error Education and Debate. BMJ. Sitasi dari www.findarticles.com/p/articles. Weaver SJ, Lubomksi LH,. Wilson RF, Pfoh ER, MPH, Martinez Kathryn A, Sydney M. 2013. Promoting a Culture of Safety as a Patient Safety Strategy: A Systematic Review. WHO Patient Safety, 2009. Human Factors in Patient Safety: Review of Topics and Tools. Report for Methods and Measures Working Group. April 2009. WHO. 2011.Patient Safety Curriculum Guide, Multi-professional Edition.
Universitas Indonesia
Lampiran 1 LEMBAR INFORMED CONSENT Kepada Yth. Bapak/Ibu/Sdr.................................. Di_tempat
Dengan hormat, Dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai mahasiswa Program Magister Kajian Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, saya bermaksud melakukan penelitian ilmiah untuk penyusunan tesis dengan judul “Merumuskan Learning Organization Melalui Analisis Budaya Keselamatan Pasien dan Budaya Organisasi di RS.Masmitra”. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan rumah sakit dalam akreditasi tahun 2015. Kuesioner ini didesain sedemikian rupa sehingga memudahkan pengisian dan untuk mengisinya dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit. Kuesioner ini BUKAN merupakan bagian dari penilaian kinerja sehingga diharapkan diisi dengan apa adanya. Peneliti menjamin penelitian ini tidak akan menimbulkan sesuatu yang berdampak negatif kepada Bapak/Ibu/Saudara. Peneliti akan sangat menghargai hak Bapak/Ibu/Saudara dengan menjaga kerahasiaan identitas dan informasi yang diberikan. Apabila Bapak/Ibu/Saudara memiliki pertanyaan dapat ditanyakan langsung kepada saya. Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara mengisi kuisioner ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya.
Bekasi, 20 Agustus 2014 Hormat saya,
Mira Puspitasari
UNIVERSITAS INDONESIA
Lampiran 2
PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN
Setelah membaca dan mendengar penjelasan tentang penelitian ini, saya memahami bahwa keikutsertaan saya sebagai responden penelitian bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit ini. Saya memahami bahwa peneliti menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai responden dan saya menyadari bahwa penelitian ini tidak berdampak negatif bagi saya. Dengan menandatangani surat persetujuan ini, saya secara sukarela bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Nama responden
:…………………………………………
Jenis kelamin
: Pria / Wanita
Umur (pada saat ulang tahun terakhir)
:…………………………tahun
Bekasi, ………..Agustus 2014 Responden
( ……..…………………….. )
UNIVERSITAS INDONESIA
Lampiran 3 KUESIONER BUDAYA KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
Mohon kesediaan Saudara untuk mengikuti survei ini. Kuesioner ini dilakukan untuk mengetahui persepsi Saudara tentang isu keselamatan pasien, kesalahan medis dan pelaporan kejadian di rumah sakit Saudara.
Jawaban Saudara diperlukan hanya untuk kepentingan ilmiah dan tidak akan mempengaruhi kondite Saudara. Oleh karena itu kami mengharapkan Saudara dapat mengisi kuesioner ini dengan jujur sesuai dengan keadaan/suasana di unit tempat Saudara bertugas/di RS.Masmitra.
Daftar Istilah “Keselamatan Pasien” didefinisikan sebagai penghindaran dan pencegahan cedera pada pasien dan pencegahan kejadian yang tidak diharapkan yang merupakan hasil dari suatu proses dalam pelayanan kesehatan. “Keselamatan Pasien Rumah Sakit” adalah suatu sistem dimana RS membuat asuhan pasien lebih aman. Yang meliputi *asesmen risiko, *identifikasi & pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,*pelaporan & analisis insiden, *kemampuan belajar dari insiden & tindak lanjutnya serta *implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Insiden Keselamatan Pasien (IKP) : setiap kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan/berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cedera, cacat, kematian dll) yang tidak seharusnya terjadi. 1. “Kondisi Potensial Cidera – KPC“ (situasi atau kondisi yang perlu dilaporkan) : suatu situasi / kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden contoh :- IGD yang sangat sibuk tetapi jumlah personil selalu kurang/understaffed - penempatan defibrillator di IGD ternyata diketahui bahwa alat tersebut rusak, walaupun belum diperlukan. 2. “Kejadian Nyaris Cidera – KNC” : terjadinya insiden yang belum sampai terpapar / terkena pasien. contoh :- unit transfusi darah sudah terpasang pada pasien yang salah, tetapi kesalahan tersebut segera diketahui sebelum transfusi dimulai. 3. “Kejadian Tidak Cidera – KTC”: suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak timbul cedera. contoh : - darah transfusi yang salah sudah dialirkan tetapi tidak timbul gejala inkompatibilitas. 4. “Kejadian Tidak Diharapkan – KTD” : adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. contoh : transfusi yang salah mengakibatkan pasien meninggal karena reaksi hemolysis.
Bagian A : Area/ Unit Kerja Anda Dalam kuesioner ini, yang dimaksud dengan “ unit “ adalah tempat kerja di mana anda mengunakan sebagian terbesar waktu kerja anda atau melakukan sebagian besar pelayanan klinis di tempat tersebut. Di mana unit kerja utama Anda di rumah sakit ini ? o UGD o Kamar bersalin o Kamar operasi o Ruang perawatan lantai 2 o Poliklinik o Lainnya………………………….
UNIVERSITAS INDONESIA
Mohon berikan jawaban Anda yang menunjukkan setuju atan tidaknya Anda terhadap pernyataan berikut : Keterangan :
NO
SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju
S = Setuju N = Netral STS = Sangat Tidak Setuju
BUDAYA KETERBUKAAN
STS
C2
Karyawan di unit kami bebas berbicara jika melihat sesuatu yang dapat berdampak negatif pada perawatan pasien
C4
Karyawan merasa bebas menanyakan keputusan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh kepala unit dalam hubunganya dengan keselamatan pasien
C6
Karyawan di unit kami tidak takut bertanya jika terjadi sesuatu yang tidak benar
A1
Setiap orang saling membantu satu sama lain di unit kami
A3
Jika di unit kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, maka staf di unit kami bekerja bersama-sama sebagai tim untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
A4
Di unit kami orang-orang saling menghargai satu sama lain
A11
Jika unit kami sedang sibuk, maka unit lain akan membantu
F2
Unit satu dengan unit lainnya berkoordinasi dengan baik di RS kami
F4
Terdapat kerjasama yang baik antar unit di RS untuk menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama
F6
Saya merasa senang bekerja dengan staf yang berasal dari unit lain dalam RS ini
F10
Terdapat kerjasama yang baik antar unit dalam RS untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien
A10
Kesalahan serius yang KETIDAKSENGAJAAAN
A15
Kami TIDAK PERNAH mengorbankan menyelesaikan pekerjaan yang lebih banyak.
A17
Di unit kami JARANG terjadi masalah yang berhubungan dengan keselamatan pasien
A18
Prosedur dan sistem di unit kami sudah baik dalam mencegah insiden/error
F1
Manajemen RS membuat suasana kerja yang mendukung upaya keselamatan pasien
F8
Tindakan manajemen RS menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama
F9
Manajemen RS tertarik pada keselamatan pasien TIDAK HANYA setelah peristiwa buruk (Kejadian Tidak Diinginkan) terjadi
terjadi
di
unit
ini
merupakan
keselamatan
pasien
TS
N
S
suatu untuk
UNIVERSITAS INDONESIA
SS
NO
BUDAYA KEADILAN
STS
A2
Kami merasa kekurangan staf untuk menangani beban kerja
A5
Staf di unit kami tidak pernah bekerja lembur untuk melayani pasien
A7
Di unit kami tidak ada tenaga honorer untuk kegiatan keselamatan pasien
A14
Kami bekerja dalam keadaan waspada dan berusaha berbuat banyak dengan cepat
A8
Karyawan di unit kami merasa bahwa kesalahan yang mereka lakukan TIDAK digunakan untuk menyalahkan mereka
A12
Ketika insiden keselamatan pasien dilaporkan, yang dicatat/dibicarakan adalah masalahnya, bukan pelakunya
A16
Karyawan tidak merasa khawatir bahwa kesalahan yang dibuatnya akan dicatat/mempengaruhi penilaian kinerja mereka
NO
BUDAYA PELAPORAN
D1
Di unit saya, PERNAH TERJADI, suatu kesalahan ditemukan dan diperbaiki sehingga pasien tidak terpapar (Kejadian Nyaris Cedera)
D2
Di unit saya, PERNAH TERJADI suatu kondisi yang berpotensi mencederai pasien, tetapi belum terjadi insiden (Kejadian Potensial Cedera)
D3
Di unit saya, PERNAH TERJADI suatu kesalahan dimana pasien terpapar insiden namun tidak terjadi cedera (Kejadian Tidak Cedera)
NO
TIDAK PERNAH
JARANG
KADANG2
BUDAYA BELAJAR
STS
A6
Kami aktif melakukan kegiatan untuk meningkatkan keselamatan pasien
A9
Di unit kami, kesalahan yang terjadi digunakan untuk membuat perubahan yang positif
A13
Setelah kami melakukan perubahan untuk meningkatkan keselamatan pasien, kami melakukan evaluasi terhadap keefektivitasannya
B1
Kepala unit saya memberi pujian ketika dia melihat pekerjaaan diselesaikan sesuai dengan prosedur keselamatan pasien
B2
Kepala unit saya dengan serius mempertimbangkan masukan staf untuk meningkatkan keselamatan pasien
TS
N
SELALU
TS
N
S
SS
SERING
S
UNIVERSITAS INDONESIA
SS
B3
Ketika beban kerja kami tinggi, kepala unit kami meminta kami bekerja hati-hati dan tidak diperbolehkan mengambil jalan pintas
B4
Kepala unit saya tidak pernah membesar-besarkan masalah keselamatan pasien yang terjadi di unit kami
NO
BUDAYA INFORMASI
C1
Kami SELALU mendapat umpan balik/evaluasi terhadap perubahan di tempat kerja berdasarkan laporan kejadian
C3
Karyawan di unit kami mendapat informasi (diberitahu) mengenai insiden yang terjadi di unit kami
C5
Unit kami mendiskusikan cara-cara mencegah agar insiden tidak terulang kembali
F3
Bila terjadi pemindahan pasien dari unit satu ke unit yang lain, tidak pernah timbul masalah
F5
Informasi yang penting mengenai perawatan pasien jarang hilang saat pergantian shift
F7
Masalah jarang timbul dalam pertukaran informasi antar unit di RS ini
F11
Pergantian shift tidak menimbulkan masalah bagi pasien di RS ini
STS
TS
N
S
Bagian E : Tingkat Keselamatan Pasien Mohon berikan penilaian Anda tentang keselamatan pasien di unit kerja Anda : □ A Sempurna □ B Sangat baik □ C Dapat diterima □ D Buruk □ E Gagal
Bagian G : Jumlah kejadian yang Dilaporkan Dalam 12 bulan terakhir, berapa banyak laporan kejadian yang Anda/unit Anda tuliskan dan laporkan a. Tidak ada laporan kejadian
d. 6-10 laporan kejadian
b. 1-2 laporan kejadian
e. 11-20 laporan kejadian
c. 3-5 laporan kejadian
f. 21 atau lebih laporan kejadian
Bagian H : Informasi latar belakang Laporan ini akan membantu dalam analisis hasil survey 1. Berapa lama Anda bekerja di RS ini ?
UNIVERSITAS INDONESIA
SS
a. Kurang dari 1 tahun
d. 11-15 tahun
b. 1-5 tahun
e. 16-20 tahun
c. 6-10 tahun
f. 21 tahun atau lebih
2. Sudah berapa lama Anda bekerja di unit yang sekarang ini ? a. Kurang dari 1 tahun
d. 11-15 tahun
b. 1-5 tahun
e. 16-20 tahun
c. 6-10 tahun
f. 21 tahun atau lebih
3. Berapa jam dalam seminggu anda bekerja di RS ini? a. Kurang dari 20 jam per minggu
d. 60 – 79 jam per minggu
b. 20- 39 jam per minggu
e. 80 – 99 jam per minggu
c. 40 – 59 jam per minggu
f. 100 jam per minggu atau lebih
4. Apa jabatan /posisi anda di RS ini ? a. Perawat pelaksana
e. Staf Dokter Spesialis
b. Bidan pelaksana
f. Staf farmasi
c. Bidan/Perawat kepala ruangan
g. Staf laboratorium
d. Staf dokter umum
h.Lainnya, sebutkan....................
5. Dalam posisi Anda sebagai staf sekarang, apakah anda berinteraksi atau kontak secara langsung dengan pasien? a. Ya, saya berinteraksi/kontak langsung dengan pasien b. Tidak, saya tidak berinteraksi/tidak kontak langsung dengan pasien
6. Berapa lama anda telah bekerja dalam profesi atau spesialisasi yang sekarang ini ? a. Kurang dari 1 tahun
d. 11-15 tahun
b. 1-5 tahun
e. 16-20 tahun
c. 6 -10 tahun
f. 21 tahun atau lebih
Bagian I : komentar anda Tulis komentar anda mengenai budaya keselamatan pasien, dukungan pimpinan, dan pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah sakit Anda: …………………………………………………………………………. ………………..…………………………………………………………………………………………………………..… ….………….………………………………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………………………………………… TERIMAKASIH ANDA TELAH MENYELESAIKAN SURVEY INI !
UNIVERSITAS INDONESIA
Lampiran 4 KUESIONER BUDAYA ORGANISASI
Tujuan Survey ini adalah untuk mengidentifikasi enam dimensi budaya organisasi di RS.Masmitra.
Kuesioner ini terdiri dari 6 pertanyaan, setiap pertanyaan mempunyai 4 alternatif. Anda diminta membagi 100 poin dalam keempat alternatif tersebut. Berikan poin yang lebih tinggi pada alternatif yang paling mirip dengan organisasi Anda. Sebagai contoh, pada pertanyaan pertama, Jika Anda pikir alternatif A sangat mirip dengan organisasi Anda, alternatif B dan C agak mirip, dan alternatif D tidak mirip sama sekali, Anda dapat memberi poin 55 untuk A, 20 untuk B dan C dan 5 untuk poin D.
Perhatikan bahwa saat anda pertama kali menyelesaikan 6 pertanyaan tersebut, itu adalah untuk kondisi budaya yang anda rasakan sekarang ini (Now) . Setelah itu Anda diminta untuk mengulangi pertanyaan tersebut dan menjawabnya dengan kondisi yang anda harapkan (Preferred).
Tidak ada jawaban yang benar atau salah,sebagaimana budaya, tidak ada yang benar atau salah.
1.
KARAKTERISTIK DOMINAN
A
Organisasi ini seperti sebuah keluarga besar. Orang-orang didalamnya berbagi banyak informasi pribadi. Mengutamakan kekeluargaan.
B
Organisasi ini adalah tempat kerja yang sangat dinamis, kewirausahaan dan kreatif. Orang-orang bersedia bertanggungjawab dan mengambil risiko.
C
Organisasi ini sangat berorientasi pada hasil. Perhatian utamanya adalah menyelesaikan pekerjaan. Sangat kompetitif dan berorientasi pada target/tujuan.
D
Organisasi ini sangat terstruktur, ada standard prosedur tetap (aturan formal) yang mengatur apa yang harus dilakukan serta terkendali. Total
2.
KEPEMIMPINAN ORGANISASI
A
Kepemimpinan dalam organisasi dianggap mencontohkan, mentoring, memfasilitasi atau mengayomi karyawan. Pemimpin dianggap figur orangtua.
B
Kepemimpinan dalam organisasi dianggap innovator dan berani mengambil resiko.
C
Kepemimpinan dalam organisasi dianggap pendorong prestasi yang keras, mencontohkan kesungguh-sungguhan, agresif, produktif dan competitor. Penuh tuntutan prestasi serta berorientasi pada hasil.
D
Kepemimpinan dalam organisasi dianggap koordinator, pengorganisasian dan mengutamakan efisiensi. Total
3.
MANAJEMEN KARYAWAN
A
Gaya manajemen ditandai kerja tim, kesepakatan/konsensus, partisipasi dan komunikasi.
B
Gaya manajemen dalam organisasi ditandai pengambilan risiko dari individu, inovasi, kebebasan dan keunikan.
NOW
PREFERRED
100
100
NOW
PREFERRED
100
100
NOW
PREFERRED
UNIVERSITAS INDONESIA
C
Gaya manajemen dalam organisasi ditandai dorongan yang kuat untuk bersaing kompetitif, tuntutan yang tinggi dalam berprestasi.
D
Gaya manajemen dalam organisasi ditandai keamanan kerja, kesesuaian, kemapanan dan stabilitas dalam hubungan kerja. Total
4.
PEREKAT ORGANISASI
A
Perekat yang menyatukan organisasi adalah kesetiaan, rasa saling percaya dan tradisi.
B
Perekat yang menyatukan organisasi adalah komitmen bersama untuk selalu mencoba hal baru/inovasi dan pengembangan.
C
Perekat yang menyatukan organisasi adalah keinginan bersama untuk memenangkan kompetisi dan agresif. Kesuksesan dan reputasi menjadi perhatian utama.
D
Perekat yang menyatukan tertulis/standard prosedur).
organisasi
adalah
kebijakan
formal
100
NOW
PREFERRED
100
100
NOW
PREFERRED
100
100
NOW
PREFERRED
100
100
(peraturan
Total 5.
PENEKANAN STRATEGIS
A
Organisasi menekankan pada pengembangan sumber daya manusia, kepercayaan yang tinggi, keterbukaan dan partisipasi.
B
Organisasi menekankan pada memperoleh sumber daya baru dan menciptakan tantangan baru serta mencoba hal-hal baru.
C
Organisasi menekankan tindakan kompetitif dan prestasi. Mempunyai target yang ketat dan memenangkan pasar merupakan tujuan utama.
D
Organisasi menekankan kemapanan dan stabilitas, efisiensi, kontrol dan operasional yang berjalan lancar serta keseragaman. Total
6.
KRITERIA KEBERHASILAN
A
Organisasi mendefinisikan kesuksesan atas dasar pengembangan sumber daya manusia, kerja sama tim, komitmen karyawan dan kepedulian terhadap anggota.
B
Organisasi mendefinisikan kesuksesan atas dasar memiliki produk yang paling unik atau produk terbaru. Organisasi ini merupakan product leader dan innovator.
C
Organisasi mendefinisikan kesuksesan dengan memenangkan memenangkan kompetisi. Menjadi pemimpin pasar yang kompetitif.
D
Organisasi mendefinisikan kesuksesan atas dasar efisiensi. Pelayanan yang diandalkan, penjadwalan yang lancar dan produksi berbiaya rendah dianggap sangat penting. Total
100
pasar
dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Lampiran 5
PEDOMAN PELAKSANAAN FOCUS GROUP DISCUSSION
Langkah 1
Pemaparan deskripsi hasil penelitian budaya keselamatan pasien dan budaya organisasi
Pemaparan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi yang terjadi di RS.Masmitra dan memerlukan solusi berupa kesepakatan langkah yang akan diambil
Mencatat pendapat-pendapat, isu yang disampaikan ataupun sanggahan
Langkah 2 Pembahasan langkah-langkah yang disepakati untuk dimensi budaya keselamatan pasien yang memerlukan perbaikan dan solusi dengan mengelompokkan berdasarkan strategi mutu Hierarchy culture dari Competing Values Framework : 1.Deteksi kesalahan, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. keterbukaan komunikasi b. kerjasama antar unit c. serah terima dan transisi 2.Pengukuran, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien b. respon non-punitive terhadap kesalahan 3.Proses kontrol, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. frekuensi pelaporan kejadian b. Staffing 4.Pemecahan masalah yang sistematis, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a.harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien 5.Penerapan strategi kualitas, merupakan strategi yang digunakan pada dimensi : a. pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan b. umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien
UNIVERSITAS INDONESIA
Langkah 3 Pertanyaan yang diajukan : a. Langkah-langkah apa saja yang disepakati untuk strategi deteksi kesalahan yang digunakan pada dimensi keterbukaan komunikasi, kerjasama antar unit serta serah terima dan transisi ? b. Langkah-langkah apa saja yang disepakati untuk strategi pengukuran yang digunakan pada dimensi persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien dan dimensi respon non punitive terhadap kesalahan ? c. Langkah-langkah apa saja yang disepakati untuk strategi proses kontrol yang digunakan pada dimensi frekuensi pelaporan kejadian dan dimensi staffing ? d. Langkah-langkah apa saja yang disepakati untuk strategi pemecahan masalah yang sistematis yang digunakan pada dimensi harapan staf terhadap sikap dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan pasien ? e. Langkah-langkah apa saja yang disepakati untuk penerapan strategi kualitas yang digunakan pada dimensi pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan serta dimensi umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan pasien ? Langkah 4
Menampung semua pendapat yang disampaikan dalam forum tentang langkah-langkah yang disepakati
Membuat daftar langkah-langkah yang disepakati dan mengeliminasi pendapat yang terlalu banyak penolakan dari forum
UNIVERSITAS INDONESIA