90
Mengenal Karakter Masyarakat Jepang lewat Idiom Parwati Hadi Noorsanti, Universitas Airlangga
要約 慣 用 句 は 文 化 的 要 素 に 影 響 を 与 え る 一 つ の 言 語 形 式 で あ る 。 本 研 究 は 、 『 101 Japanese Idioms』を使用した記述的研究である。本研究では、慣用句に含まれる日本 人の性格、日本人の考え方、及び日本文化を分析した。研究結果として、慣用句に含 まれる日本人の性格、日本人の考え方、及び日本文化は、以下のようであった。腹 芸」、「以心伝心」、「言わぬが花」といった慣用句は、「沈黙」という伝達ストラ テジーを表す。「石の上にも三年」、「ちりも積もれば山となる」は「継続してがん ばること」を表し、「穴があったら入りたい」、「合わせる顔がない」といった慣用 句は「恥」を表している。また、「根回し」は「集団意識」を表し、「転がる石に苔 むさず」は仕事に忠実な様子を表し、「有終の美を飾る」、「立つ鳥あとをにごさず」 等の慣用句は、「良い印象を残したまま仕事から退く」ということを表している。 キーワード:文化、慣用句、性格
1. Pendahuluan Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat karena dalam bahasa tercermin budaya dari masyarakat pemakai bahasa tersebut. Menurut Koentjaraningrat (dalam Chaer, 2004: 171) yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya dalam arti luas termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Selain itu menurut pendapat Silzer (dalam Chaer, 2004: 168) tentang bahasa dan budaya yaitu: “Bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa atau juga sebaliknya”. Sikap mental dan perilaku para penutur bahasa juga tercermin dalam bahasa atau ungkapan yang digunakan. Misalnya pada saat dipuji, orang Indonesia pada umumnya akan merespon pujian dengan nada menolak atau merendah. Sebaliknya pada situasi yang sama bagi orang Inggris (negara barat) mereka akan merespon dengan ucapan “Terima kasih” .Hal ini menunjukkan bahwa orang Inggris mempunyai karakter yang lebih terbuka daripada orang Indonesia pada umumnya. Contoh lain dalam pepatah bahasa Indonesia “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya” menunjukkan bahwa sejak dahulu orang Indonesia sangat memahami keberagaman, bahwa setiap daerah mempunyai adat dan budaya yang berbeda-beda. Salah satu bentuk bahasa yang mencerminkan budaya pemakai bahasa adalah idiom. Idiom atau kanyouku dalam bahasa Jepang menurut kamus Kyouiku Jiten (1995: 310)“慣用 句とは連語や文の形で常に一定の形式で用いられ、それ全体で特定の意味を表す ” (idiom merupakan rangkaian kata atau kalimat yang mempunyai bentuk tertentu dan secara keseluruhan menunjukkan arti tertentu). Menurut Keraf (2010:110) karena idiom bersifat tradisional dan bukan bersifat logis, maka bentuk-bentuk itu hanya bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman, bukan melalui peraturan-peraturan umum bahasa. Untuk itu idiom akan lebih mudah dipahami apabila kita juga mengetahui latar belakang unsur budaya yang melatarbelakanginya. Dalam tulisan ini penulis membahas tentang bagaimana karakteristik dan budaya masyarakat Jepang yang tercermin dalam idiom bahasa Jepang.
91
2. Metode dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan sumber data adalah buku yang berjudul 101 Japanese Idiom karya Michael L Maynard dan Senko K Maynard. Idiom-idiom yang terdapat dalam buku tersebut mempunyai arti dan fungsi yang beragam, ada yang menunjukkan perumpamaan dari keadaan sesuatu atau seseorang dalam situasi tertentu, cara pandang, sifat dan budaya orang Jepang. Dari 101 jumlah idiom secara keseluruhan yang diambil sebagai data hanya idiom yang artinya mengacu pada karakteristik dan pola pikir atau cara pandang masyarakat Jepang secara umum. Idiom-idiom yang menjadi data yaitu; Haragei (腹芸) dan Ishin denshin (以心伝心), Iwanu ga hana (言わぬが花), Ana ga attara hairitai (穴 があったら入りたい), Awaseru kao ga nai (合わせる顔がない), Ishi no ue ni mo sannen (石 の上に三も年), Chirimo tsumoreba yama to naru (ちりも積もれば山となる), Korogaru ishi ni koke musazu (転がる石にこけむさず), Nemawashi (根回し), Yuushuu no bi wo kazaru ( 有 終の美を飾る), Tatsu tori ato wo nigosazu (立つ鳥あとをにごさず). 3. Pembahasan 3.1 Idiom yang Mencerminkan Karakteristik Masyarakat Jepang dalam Berkomunikasi Idiom yang menunjukkan karakter masyarakat Jepang dalam berkomunikasi yaitu Haragei (腹芸) dan Ishin denshin (以心伝心). Menurut Ishida Echiro (dalam Dahidi, 2000:94) bangsa Jepang pada hakekatnya adalah bangsa yang sifatnya tidak menginginkan perbedaan, tidak mengharapkan pemilahan atas fenomena kehidupan, dan tidak mengharapkan adanya pertentangan. Hal tersebut sejalan dengan konsep Wa(harmoni, kerukunan) yang dipegang kuat oleh masyarakat Jepang dalam aspek kehidupan termasuk dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi pun mereka tidak menginginkan adanya pertentangan pendapat dengan lawan bicara. Haragei berasal dari kata hara (腹)yang artinya perut, dan gei (芸) yang artinya seni. Asal kata Haragei berasal dari drama pertunjukan perut orang yang berbaring atau sketsa wajah yang dilukis di perut. Dari situlah muncul strategi komunikasi pada lawan bicara tanpa kata atau melalui ucapan sama-samar dan tidak langsung. Menurut Dahidi (2000:81) Haragei merupakan cara untuk bertukar perasaan dan pemikiran dengan cara yang implisit di antara orang Jepang. Masyarakat Jepang menganggap haragei sebagai suatu bentuk komunikasi antar manusia yang terpenting. Dalam kaitannya dengan haragei ada pula idiom ishin denshin, yaitu memahami (hati) lawan bicara. Dengan penyampaian secara haragei, pembicara juga menghendaki adanya pengertian dari lawan bicara tanpa pengutaraan secara eksplisit. Misalnya pada saat menolak ajakan, maka pembicara tidak akan mengatakan secara langsung (haragei) dan harapannya lawan bicara akan langsung memahami maksudnya (ishin denshin). Untuk menghindari sikap pertentangan atau konfrontatif dengan lawan bicara, biasanya masyarakat Jepang tidak akan mengatakan secara tegas sikap menerima (ya) atau menolak (tidak) misalnya pada saat diajak. Sebagai cara untuk mengatakan penolakan dari suatu ajakan, strategi yang digunakan antra lain, dengan cara minta maaf, bersikap diam, atau bersikap samar-samar. Davies (2002: 11) mengatakan bahwa, ”In Japan, when people decline offers, they use many roundabout expressions, such as chotto, demo, kangaete oku ne and so on”. Lebih lanjut lagi Davies (2002: 52) menyatakan tentang haragei dan ishin denshin sebagai berikut: “The words haragei and ishin denshin symbolize Japanese attitudes toward human interaction. The former means implicit mutual understanding; the latter suggests that people can communicate with each other through telepathy. In short, what is important and what is true in Japan will often exist in silence, not in verbal expression”. Prinsip ‘diam’ dalam beromunikasi komunikasi masyarakat Jepang dikenal dengan istilah chinmoku (silence/ diam).Secara umum masyarakat Jepang beranggapan lebih baik tidak bicara terlalu banyak dalam suatu situasi. Seperti yang dikemukakan oleh Tannen dalam Davies (2002: 51), bahwa “silence can be a matter or saying nothing and meaning something.”
92
Chinmoku tercermin dalam idiom Iwanu ga hana (言わぬが花) yang berarti diam adalah bunga (dalam bahasa Indonesia ‘Diam adalah emas’). Dalam pengertian yang lebih luas bahwa sebelum berkata sesuatu hendaklah dipikirkan baik-baik, atau bahkan mungkin daripada mengatakan sesuatu yang akan menyakitkan lebih baik diam. Karena orang Jepang sangat menghargai keharmonisan dalam berbagai hal termasuk dalam komunikasi. 3.2. Budaya Malu (Haji) Masyarakat Jepang dikenal memiliki budaya malu (dikenal dengan istilah haji) yang kuat.Budaya malu ini yang menyebabkan masyarakat Jepang menjalankan segala aturan dalam kehidupanya dengan baik. Menurut Benedict (1982: 234) “keaiban atau rasa malu adalah akar kebajikan. Orang yang peka terhadapnya akan melaksanakan semua peraturan tingkah laku baik. “orang yang tahu malu” kadangkadang diterjemahkan dengan ”orang bijak” kadang-kadang dengan “orang terhormat”. Keaiban dalam etika bangsa Jepang mempunyai tempat otoritas yang sama dengan yang memiliki “nurani yang bersih”, “petanda dalam hubungan yang baik dengan Tuhan, dan penghindaran dari dosa” dalam etika barat.” Budaya malu tersebut diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat, mereka menyakini bahwa setiap segala perbuatannya akan mendapat perhatian dan penilaian dari masyarakat sekitarnya. Seperti contoh kecil yang diberikan oleh Nobuyuki (1986:72) misalnya seorang suami yang keluar rumah dengan baju yang kotor, tentu saja saja istrinya akan merasa malu. Ia merasa orang-orang di sekitarnya akan menyalahkannya karena lalai mengurus rumah tangga. Idiom yang merefleksikan budaya malu adalah Ana ga attara hairitai (穴があったら入 りたい) yang artinya apabila ada lubang saya ingin masuk’. Hal ini menunjukkan betapa rasa malu dapat membuat seseorang seolah merasa ingin masuk ke lubang untuk menyembunyikan malu sehingga dirinya tidak terlihat oleh orang lain. Idiom lain yang maknanya kurang lebih sama adalah Awaseru kao ga nai (合わせる顔がない) yang artinya harfiahnya tidak bisa memandang wajah orang lain. Idiom ini berarti tidak punya keberanian untuk menatap wajah seseorang karena sedemikian malu. Demikian pekatnya budaya malu dalam masyarakat Jepang, sehingga menjadi faktor yang dapat mengendalikan mereka dalam menjalani kehidupan. Mereka akan merasa malu apabila tidak melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan, atau apabila perbuatan mereka merugikan orang lain. Seorang karyawan akan merasa malu apabila ia hanya bersantai-santai sedangkan karyawan yang lain bekerja keras. Sehingga perasaan malu ini yang membuat orang Jepang dikenal sebagai pekerja keras. Karena perasaan malu pula, tidak sedikit kasus pejabat negara yang mengundurkan diri karena telah terlibat dalam sebuah skandal, dan bahkan sampai bunuh diri. Banyak pula kasus bunuh diri di masyarakat Jepang yang disebabkan oleh malu. 3.3. Semangat Gambaru Orang Jepang dikenal sebagai bangsa yang ulet dan tekun. Idiom yang menunjukkan semangat dan ketekunan tersebut adalah Ishi no ue ni mo sannen 石の上に三も年(duduk di atas batu selama tiga tahun), Chirimo tsumoreba yama to naruちりも積もれば山となる (sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit) Kedua idiom tersebut mencerminkan bahwa dalam masyarakat Jepang apabila ingin menjadi sukses pada akhirnya harus dilakukan dengan usaha keras, tekun, dan mungkin waktu lama. Selaras dengan ketekunan dan usaha keras tersebut bangsa Jepang mempunyai semangat gambaru yang dibutuhkan agar dapat terus bertahan untuk menggapai tujuan yang dicita-citakan. Pengertian gambaru bermacam-macam. Menurut Kenbo dalam Davies (2001: 84) gambaru is define in following ways: (1) to work hard and patiently, (2) to insist on having one’s way and (3) to occupy one place and nevel leave. Gambaru adalah kata yang sering digunakan di Jepang, artinya adalah ‘berusaha sekuat tenaga dalam melakukan sesuatu’.
93
Misalnya pelajar yang gambaru (belajar keras) supaya lulus ujian, atlet juga gambaru (latihan keras) agar menang dalam pertandingan. 3.4 Budaya Kerja Orang Jepang adalah orang yang mempunyai semangat tinggi dalam bekerja. Dalam masyarakat Jepang laki-laki yang bekerja keras untuk keluarganya adalah kebanggaan keluarga. Mereka biasa bekerja dari pagi sampai malam. Untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkan bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak seperti di Indonesia bahwa seseorang cenderung berpindah-pindah kerja sebelum menemukan pekerjaan yang benar-benar diinginkan. Orang Jepang cenderung tidak berpindah-pindah pekerjaan. Mereka cenderung hanya bekerja di satu perusahaan dan akan bekerja di situ sampai dia pensiun. Hal ini disebabkan karena perasaan memiliki pada perusahaan tempat bekerja sangat kuat. Hal tersebut direfleksikan dalam idiom Korogaru ishi ni koke musazu (転がる石にこけ む さ ず ) lumut tidak melekat pada batu yang berguling. Bagi masyarakat Jepang lumut merupakan sesuatu yang diasosiasikan dengan keindahan. Lumut banyak tumbuh di batu kuil dan juga jalan-jalan kuil tua seperti di Kyoto. Dalam kaitannya dengan idiom ini diharapkan para pekerja untuk tidak berpindah-pindah tempat kerja, karena apabila dia terus berpindahpindah tempat kerja, maka loyalitas terhadap perusahaan akan rendah dan disamping itu juga tidak akan mendapatkan pengalaman dan ketrampilan secara mendalam. Selain itu dalam kaitannya dengan cara kerja dikenal juga idiom nemawashi (根回し) yang arti secara harfiah seperti yang dikemukakan dalam buku Nihon Bunka wo Eigo de Setsumei Suru Jiten (1986:188), adalah: “the act of digging around the root of big tree one or two years before its scheduled transplantation, and clipping off all but the main root and the large branch-roots , and allowing new hair to grow, thus facilitating the transplantation, and also enabling the tree to bear better fruit”. Dalam dunia bisnis hal ini dapat diartikan sebagai mempersiapkan segala sesuatu sehingga tugas pokok bisa lebih mudah dan lancar, dapat juga berupa proses pengambilan keputusan secara perlahan-lahan dengan konsensus, seksama dalam mempertimbangkan semua pilihan; mengimplementasikan keputusan dengan cepat. Misalnya suatu perusahaan akan mengambil suatu keputusan/kebijaksanaan besar yang melibatkan semua karyawannya. Sebelum keputusan besar diambil, para ketua divisi/ sub bagian akan membicarakan hal tersebut secara berkelompok dengan para pegawainya. Sehingga pada saat keputusan diambil, masalahmasalah kecil sudah terpecahkan dan dapat berjalan dengan lancar. Dalam idiom nemawashi ini juga tercermin budaya berkelompok (shuudan ishiki/ 集団 意識).Dalam masyarakat Jepang, orang cenderung berorientasi pada kelompok dan memberikan prioritas lebih pada kelompok. Pada organisasi di Jepang, kedudukan individu tidak penting. Sejauh mana ia dapat bekerja sama dalam kelompok, itulah yang terpenting. Cara kerja secara berkelompok seperti itu, sebenarnya sudah diterapkan sejak masa kanak-kanak. Seperti yang dikemukakan oleh Seng (2007:194) “Sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan pendidikan yang berbentuk permainan organisasi.Caranya dengan membagi anak-anak dan para pelajar dalam kelompokkelompok tertentu. Setiap kelompok diberi tugas agar mereka dapat bekerja sebagai satu tim. Penekanan kerja secara berkelompok ini merupakan wujud organisasi dan perusahaan di Jepang”. Idiom lain yang ada kaitannya dengan dunia kerja yaitu Yuushuu no bi wo kazaru ( 有終 の 美 を 飾 る ) ‘berhenti/ pensiun dari pekerjaan dengan meninggalkan kesan yang baik /mengakhiri sesuatu dengan indah’ dan idiom Tatsu tori ato wo nigosazu (立つ鳥あとをにご さ ず ), artinya pada saat akan berakhir masa kerja seseorang, ia telah memperoleh suatu pencapaian yang luar biasa, sehingga ia akan mengakhiri masa kerjanya dengan kesan yang baik.
94
4. Kesimpulan Karakteristik dan cara berfikir masyarakat Jepang yang tercermin dalam idiom-idiom yaitu, chinmoku (idiom Haragei dan Ishin denshin, Iwanu ga hana), semangat gambaru (idiom Ishi no ue ni mo sannen, Chirimo tsumoreba yama to naru), budaya malu/haji (idiom Ana ga attara hairitai, Awaseru kao ga nai), cara kerja berkelompok/shuudan ishiki (nemawashi), loyal pada pekerjaan (idiom Korogaru ishi ni koke musazu), berhenti/ pensiun dari pekerjaan dengan meninggalkan kesan yang baik (idiom Yuushuu no bi wo kazaru, Tatsu tori ato wo nigosazu)
Daftar Pustaka Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Rineka Cipta Dahidi, Ahmad. 2000. Aimaigo Jiten. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang.FPBS UPI No. I/2000, 94-96 Davies, Roger J dan Osamu Ikeno. 2002. The Japanese Mind, Understanding Contemporary Japanese Culture. Tokyo: Tuttle Publishing Honna, Nobuyuki dan Bates Hoffer. 1986. Nihon Bunka wo Eigo de Setsumei Suru Jiten. Tokyo: Yuhikaku Publishing Co Ltd Keraf,Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Maynard, Michael L dan Senko K Maynard.101 Japanese Idiom. Ilinois: Passport Books Nihongo Kyouiku Jiten. 1987. Tokyo: Taishuukan Shoten Seng, Ann Wan. 2007. Rahasia Bisnis Orang Jepang. Bandung: PT Mizan Publika
95
Wisdom Values behind Japanese Expressions Tatang Hariri, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstract Japanese has several expressions that can be studied both in terms of grammar theory and cultural background. For example, greeting expression: ohayou gozaimasu, expressions before and after dining: itadakimasu and gochisou sama (deshita), expressions when inviting to eat: okuchi ni aukadouka wakarimasen ga, douzo meshiagatte kudasai. or nanimo arimasen ga, douzo…, expression when giving a gift: kore, tsumaranai mono desu ga,…., expression of apology: gomeiwaku wo kakete shimaimashite…, response to expression of someone who shows sympathy: goshimpai wo kakete shimaimashite..., and so on. Let’s take for example, ohayou gozaimasu which is used for greeting in the morning until 11:00 a.m.; Why it can also be used at other times by those who meet each other on that day for the first time, and why it is different with good afternoon or good evening by using the word "this day" (konnichiwa) and "this evening" (konbanwa). From such expressions, cultural background of the Japanese will be analyzed in order to identify wisdom values held by the Japanese. Keywords: Culture, wisdom, linguistic expression
1. Introduction This introductory section presents background, formulation of the problem, research objectives, methods of data collection and data analysis, and literature review. 1.1. Background A natural language, such as Japanese, has many expressions which if observed closely, in terms of forms, they do not only consist of words, phrases, clauses, or sentences, but in terms of the meaning they provide a profile of culture which attaches to the native speakers. Therefore, it can be said that culture embedded in Japanese society is reflected in the Japanese expressions, or otherwise any expressions in Japanese is grounded in culture embedded in the Japanese society as the owner. There are short expressions in the form of a word or phrase, such as ‘good morning’ greeting: "ohayou gozaimasu", expressions before and after enjoying meals: "itadakimasu" and "gochisou sama (deshita)", and a series of long sentence like an introductory expression when offering or inviting someone else have their meals: "okuchi ni aukadouka wakarimasen ga, douzo meshiagatte kudasai." or "nanimo arimasen ga, douzo…", handing a gift or souvenir to someone: "kore wa makotoni tsumaranai mono desu ga", an apology: "gomeiwaku wo kakete shimaimashite…", response to expression of someone who shows sympathy: goshimpai wo kakete shimaimashite..., and so on. The number of such expressions is not small. Sei Rumi (2007) provides more than 70 examples of expressions that cannot be translated into English. Kindaichi Haruhiko (1997:1029) gives approximately seven examples of expressions which show the heart of Japanese, some examples of word-phrases preferred by the Japanese (1988a:269-279), and words that show attention to others (1988b:276-284). Morimoto Tetsurou (1988) describes the front and rear of Japanese by using 24 words as the object of his study. Markers, meanings and purposes of the use of expressions in Japanese are clear grammatically, so it can be said that it is relatively easy to use after understanding the grammar theory. However, understanding and using expressions that have Japanese cultural background as exemplified earlier should regard habit how the Japanese practice them. For example, the expression "ohayou gozaimasu" is commonly used as a greeting in the morning until 11:00 a.m. in the morning, why it can also be used at other times by those who first meet each other on that day, and why it has different forms with ‘good afternoon’ or ‘good
96
evening’ using the word "this day" (konnichi wa) and "this evening" (konban wa), why ‘good morning’ does not have the same form, like "this morning" (kyou no asa wa) or (kesa wa). Surely, cultural background influences them. So does other examples of expression. It is found out that several expression in Japanese are difficult to understand just as they are, either difficulties in translating into a target language, and using them in practices. Therefore, this encourages to better know and understand the culture of the Japanese people as the owner of Japanese reflected in such expressions. 1.2. Statement of Problem This paper will discuss some common expressions used every day, which is expected to show one of the Japanese cultures, namely the wisdom values held by the Japanese contained in such expressions. Wisdom values are the values contained in the expressions that show a sense of responsibility of a speaker subjectively and show a sense of concern or objective feelings towards interlocutors. 1.3. Research Objective It is expected that through the study of some of the Japanese expressions, both in the grammatical and lexical forms, wisdom values contained therein can be extracted as part of the Japanese culture. 1.4. Methods of Data collection and Data Analysis Methods of data collection and analysis were employed in order to achieve the aforementioned objective. Data were collected by identifying some of the expressions used in everyday life of the Japanese, especially expressions containing cultural background in the form of the Japanese’s wisdom values. Subsequently, data were analyzing by reviewing the form of expressions and the cultural aspects of the Japanese, especially regarding wisdom values. It is expected that this can address the wisdom values held by the Japanese, which serve as the background or are contained in the Japanese expressions. By understanding the role of culture, in this case the wisdom values of the Japanese in a linguistic expression, anyone will not mistakenly use such expressions. 1.5. Literature Review Sei Rumi (2007), Kindaichi Haruhiko (1988, 1988b, 1997) and MorimotoTetsurou (1988) have been previously mentioned. Sei Rumi provides more than 70 examples of expressions that cannot be translated into English by classifying them into several groups: Japanese expressing sympathy, Japanese expressing gratitude and humbleness, Japanese making foreigners cry. Kindaichi Haruhiko (1997:10-29) gives approximately seven examples of expressions that indicate the heart of Japanese, some examples of word-phrases preferred by the Japanese (1988a:269-279), and words that show attention to others (1988b: 276 -284). Tetsurou Morimoto (1988) describes the front and rear of Japanese by giving the 24 words as the object of his study. These literatures serve as the main reference in describing expressions which contain moral values displayed as the examples of discussion. 1. Wisdom Values in the form of subjective responsibility of speakers The following expressions can be considered to have wisdom values in the form of subjective responsibility of the speaker. (a) ”Kore wa makotoni tsumaranai mono desu ga” According to Kindaichi (1997:14) and Sei (2007:81-83), this expression is used by the Japanese when handing a gift item or gift while visiting an acquaintance. This expression can be literally translated into 'this stuff is not really valuable'. When viewed at a glance, it would seem a contradiction, giving something to others certainly is a valuable item, but why it has to be said that the item is not really valuable?. The Japanese believes that when receiving something from someone makes him pleased, he will continuously remember it, and one day he should repay it.
97
Therefore, he will not feel burdened when it comes the time to repay the gift, then such expression is said that. Because this item is not really valuable, there is no need to worry about repaying such a gift. In regard to the wisdom value, it can be learned from this expression that it is the responsibility of the one who gives to the one who is given, so as not to make him difficult and concerned because of obligation to repay such gift. Therefore, an expression that has opposite meaning is used. (b) ”Sumimasen” This word is usually used to express an apology, and the Japanese often say such expression of apology. Referring to Kindaichi (1997:18-20), the Japanese also often use this expression of apology to express gratitude to replace the expression "arigatou gozaimasu". Let’s take a look at the following situation. There is a grandmother in a bus. Being sitting, a passenger then stands and invites her to have a seat. To express gratitude, some will say " arigatou gozaimasu". However, most people prefer to use an expression of apology "sumimasen ". When saying an apology "sumimasen", the feeling of the grandmother explains that "If I do not take the bus, you will likely be still sitting there. You stand when you see me getting on the bus, I have made you in difficulty. I have to apologize.". Therefore, the Japanese replace an expression of gratitude with an expression apology. People who hear it will feel more comfortable. A wisdom value that can be drawn from this expression is the sense of responsibility of a person who has received kindness from others, preferring an apology than gratitude. Because the kindness he received makes people who give him not happier, but difficult. Therefore, he should apologize. (c) Active Transitive Sentence Another expression that indicates the wisdom value in the form of responsibility is the use of active sentences with transitive verbs. It is usually used when a Japanese is unlucky, for example losing a wallet containing money (Saifu wo nakushimashita). Kindaichi (1997:20-22) describes an experience of a Japanese housewife who lived abroad. She was surprised to hear a confession of her maid after breaking a set of cutlery by saying something that did not show a sense of responsibility. Her maid said "The glass broke." (koppu ga waremashita), using the intransitive verb, which was common in that country, but it was uncommon in Japan. The Japanese would say using a transitive verb becoming "breaking the glass." (koppu wo kowashimashita). By saying this way, it contains a meaning that an event of glass breaking is caused by my carelessness as a perpetrator, or in other words that the glass broke due to a power added to it flows out of me as a perpetrator. Glass is not broken by itself. Therefore, I am responsible for the breaking of the glass. A wisdom value that can be taken from such expression that uses transitive verb is a sense of responsibility in a speaker towards an event. 2. Wisdom values in the form of sympathy or objective feelings toward others The expressions considered to have wisdom values in the form of sympathy or objective feelings toward others can be described as follows. (a) ”Ohayou gozaimasu” According to Sei (2007:161-162), this expression of greeting which is literally equal to 'good morning', along with other three expressions "konnichi wa" equal to 'good afternoon', " konban wa" equal to 'good evening' and "oyasuminasai" equal to 'have good rest', is an expression of greeting within one day. The differences among the four are "ohayou gozaimasu" and "oyasuminasai" can be expressed to everyone, but "konnichi wa" and "konban wa" cannot be expressed to the members of the family. The problem here is that the greeting expression "ohayou gozaimasu" is not used only in the span of the morning, but also at other times. Sei (2007:162-163) gives an example in the
98
workplace, a person who happens to get a night shift coming to work place at night does give greetings to colleagues there "konban wa" but "ohayou gozaimasu". This is because he feels that the greeting is addressed to colleagues in the workplace where he is a part of members in it (uchi). The expression "ohayou gozaimasu" means 'you have come earlier' (ohayakute irasshaimasu ne) and implies that the interlocutor perform the work or arrive in the workplace earlier. Therefore, this expression is not limited to an expression of greeting in the morning. A wisdom value that ca be learned here is that someone who is already a member of one bond of inner-relationship (uchi), be it family, school, or company etc., should use the expression of appreciation in the form of greeting "ohayou gozaimasu " without taking the time span of morning into consideration. (b) ”Itadakimasu” and ”Gochisou sama (deshita)” Expressions before and after enjoying meals are commonly practiced by the Japanese, when eating alone or with others, or especially when eating foods served by others. According to Sei (2007:63-66), the expression "itadakimasu" contains two meanings: first, it indicates that one has received (morau) a gift from others, and because the verb "itadaku" is a humble form of the verb "morau", it means "low status person receives something from high status person", and second, it is a sign of someone expressing gratitude (arigatou gozaimasu) to the person who has given him. The expression of gratitude is not only addressed to one person only. Because food involves many people until it is consumed, the gratitude is addressed to all those concerned, namely growers, food buyers, cook, carrier, waiter, as well as those who clean up and wash the dishes. Like "itadakimasu", the expression "gochisousama (deshita)" means an expression of gratitude to everyone involved with feeding activity. In addition, both expressions have religious values, which describe the gratitude to ”the existence of the mighty” that is not visible like god or Buddha or the Sun that has provided food. Wisdom values contained in both expressions uttered in the time before and after meals are clearly not only as a sign of reception, but also an expression of gratitude to those involved with the presence of food, as well as a sign of gratitude to the Creator. (c) ”Chotto sokomade” This expression is quite simple and equal to 'Go there for a while'. According to Kindaichi (1997:10-12), this expression is usually used by the Japanese answering a greeting by others whom he had known when he wants to go and happens to meet others on the road traveling asking "Where are you going?" (dochira e irasshaimasuka.). The question is deliberately answered with a short expression, not saying frankly about where to go and what to do. Because if he honestly say, perhaps the others will feel sympathy and even pity, and come to think about it, but on that day they met accidentally and in a place that is not planned in advance. In principle, he does not want to bother others by saying frankly, and with such simple answer they can part without burdening each other. This suggests that the Japanese in living their life with a fellow colleague or acquaintance have a mutual feeling of worrying about others. The wisdom value contained in this expression is that sometimes it is necessary not to say something frankly, but not lying, in order that people we know will feel inconvenient or pity for the problems we are facing. 4. Conclusion Observing some expressions in one language, we can also find out the culture of native speakers. Looking at some expressions in Japanese, we can recognize the culture of the Japanese people as the owner of Japanese. On this occasion, some expressions considered containing one of the culture parts, namely wisdom values held by the Japanese. There are still many cultural values that can be extracted from the Japanese expression, and this will be the topic of further research.
99
References Ikegami, Yoshihiko. 1981. ”Suru” to ”Naru” no Gengogaku. Tokyo: TaishuukanShoten. Kindaichi, Haruhiko. 1988a. Nihongo shinpan (jou). Tokyo: Iwanami Shinsho. Kindaichi, Haruhiko. 1988b. Nihongo shinpan (ge). Tokyo: Iwanami Shinsho. Kindaichi, Haruhiko. 1997. Nihongo no kokoro. Dalam NHK Kokusaikyoku Bunka Purojekuto (ed.). Eigo de Hanasu ”Nihon Bunka”. Tokyo: Koudansha. Morimoto, Tetsurou. 1988. Nihongo – Omote to Ura – . Tokyo: Shinchou Shaban. Ooe, Kenzaburou, Hayao Kawai, dan Shuntarou Tanikawa. 2002. Nihongo to Nihonjin no Kokoro. Tokyo: Iwanami Shoten. Sei, Rumi. 2008. Yasashii Nihongo – Eigo ni dekinai ”okagesama” no kokoro –. Tokyo: Taiyou shuppan. Suzuki, Takao. 1973. Kotoba to Bunka. Tokyo: Iwanami Shoten. Yamashita, Hideo. 1986. Nihon no Kotoba to Kokoro. Tokyo: Koudansha Gakujutsu Bunko.
100
Translating an Ethnic Ritual Text of Mandailing in North Sumatera Lili Suryani Batubara, Universitas Sumatera Utara
Abstract The aim of the study is to show how to translate a cultural spoken wedding ceremony text of Mandailing: a ritual text recited at a wedding ceremony of the society, into English and how to solve the problems by applying a number of translation strategies. Meaning-based translation method had been applied to translate the spoken text called Markobar. Due to the vast linguistic differences between the source language (SL) (Mandailingnese) and the target language (TL) (English) a number of linguistically-related translation problems were encountered. And due to the great differences between SL cultures and TL cultures a number of culturally-related translation problems are found ranging from untranslatable items to items which could be translated literally into the TL but need explanation. Various translation strategies must be used to translate Markobar in order to achieve not only meaning equivalents but also to create the rhymes of the translated verses. It is found that the structure of phrases, compound words and sentences in the SL and the TL were so different and thus caused translation problems. Subjects of sentences, numbers and conjunctions which were sometimes implicit in the SL must be made explicit in the translation. A certain word category in the SL may correspond to a different word category in the TL and thus they caused shift. Since the Markobar text is a classic text, there were many archaic words whose meanings were untranslatable. Since tenses do not exist in the SL they caused special translation problems to translate the text into the TL which has tenses. In order to achieve the rhymes of the translated verses, the following translation strategies must be used: transposition, addition, generalization, alteration, explication, modulation, concretization and transcreation. Keywords: Cultures, untranslatable.
equivalents,
shift,
source
language/text,
target
language/text,
1. Introduction The relationship between language and culture is very close since language is part of the culture itself. Language and culture are even inseparable. Furthermore language is culture and culture is language. One cannot be understood unless the other is understood. When people communicate verbally and nonverbally their culture is embodied in their language (Kramsch, 1998: 3). The closeness of the relationship between language and culture is sometimes likened to the two sides of a single coin. Translating is process of transferring not only the meanings of Source Language (SL) into Target Language (TL) but also the cultural meanings contained in the text being translated. If only the linguistic meanings of the Source Text (ST) which are transferred into the Target Text (TT) while the cultural meanings are ignored, the translation will only be acceptable linguistically but will be unacceptable culturally. In Europe, the taste of wine is a part of European’s culture. The reader in Europe do not think that wine is bad, for example a short English text: “John used to wine and dine his girlfriend”. If we translate it into Bahasa Indonesia “John biasanya memberi arak dan makan-makan dengan kekasihnya” is linguistically acceptable, but culturally unacceptable since in Indonesian culture which is Muslim is the majority religion so it is better to be translated into “John makan dan minum bersama kekasihnya.” English and Mandailingnese are two distinct languages genealogically, typologically as well as geographically. English belongs to Indo-European family, of Verb-Subject-Object (VSO) word order, spoken mainly in western countries like USA, Canada, Britain, Ireland
101
(Crystal, 2001) by hundreds of millions of speakers who adopt individualistic culture. In contrast, Mandailingnese is an ethnic language of Indonesia that belongs to Austronesian family (Hartmann & Stork, 1972) of VOS (Verb-Object-Subject) word order spoken only by a hundred thousand speakers in a small area of an eastern country who adopt collectivistic culture. Thus it is assumed that anyone who is translating English into Mandailingnese or from Mandailingnese into English must be faced with not only linguistic problems but also cultural problems. Every ethnic group has unique wedding ceremony. One of the ethnic groups in North Sumatera is Mandailing. The big ceremony in Mandailing consists of: Siluluton (sorrow), Siriaon (happiness). The wedding ceremony is called by Horja (party) as a happy event. The wedding ceremony of Mandailing is started with Markobar/Makkatai; talking in good manner, politely which is very special and unique among Dalihan Na Tolu (three pillars). There are many Mandaillingnese willing to be good at “markobar (cultural speech). However, the source which is used as learning source is very difficult to get. If it exists, it will be written in Mandailing Language. In the case of “markobar”, the writer found a awkwardness, which is during this era, Mandailing figures, who have often crisscrossing the international world as "sources" and "speaker" on television, veteran politician, former head of the region, descendants of kings, clergy on a daily basis cannot be separated from giving speech, but they generally refuse or couldn’t do a thing in "markobar". That is why the writer makes it as her background in this research. For that, firstly the writer must repeat and read available sources "paradaton", including hearing back its recordings. In addition, the writer also asked many questions and interviewed a number of traditional leaders and community leaders in Mandailing. Indeed, in recent decades, tradition "markobar" has been implicated linguistic phenomenon, which is not only happening in big cities but also in Mandailing ancestral lands because the skill of "markobar" increasingly suffered abrasion. Some events that really need "markobar" in traditional ceremonies, such as "Manyapai Boru" ( asking the bride from her parents), and others. Even for a simple custom activity such as express gratitude, "manyurdu burangir", and offer to eat now requires the services of a "parkobar". As a result, "parkobar" are becoming increasingly scarce, where most of the Mandailingnese, especially those living in big cities is not acceptable or not be able to carry out all customs duties ("inda tarjuguki ia jugukan ni ibana"). Such situation causes many "chartered parkobar" in the implementation of Mandailing custom in big cities. The emergence of "paid parkobar" is very violated the Mandailing custom. In this case, there is a proverb that says Mandailing: "Ulang isuan bulu na so marruas". It means for every Mandailingnese know themselves, know the position of each in customs, as well as the idea of the ethics in public life. Despite this situation, Mandailingnese generally still look this event "markobar" is very important because they are still considered sacred, tradition, attractive, and artistic. This event "markobar" regarded as sacred because it mostly conveyed in "markobar" are the things that uphold the goodness and avoid the bad deeds (amar ma'ruf nahimunkar). On the other hand, the "markobar" also aims to give advice ("marsipaingot"). Tradition of "marsipaingot" is always presented to the newlyweds ("namorapule") in a traditional wedding ceremony ("marbagas"). "Markobar" is regarded as attractive activity because in practice the "parkobar" (also called "parhata-hata") is also acting as a "negotiator" who can influence decisions that will be taken. The ability of "parkobar" in utilizing dazzling words in "markobar" can expedite and smooth affair, as Mandailing’s proverb says: "hata-hata do dupang-dupang, hata-hata do panggarar utang". It is considered as the artistic activity in the procession it uses artistic language function, which is deliberately using a distinctive style, word choice, and appropriate intonation. By writing the examples of text "markobar" in a script make us easier to learn and understand "markobar" as a custom activity which is very important in Mandailingnese’s life and it is the way to maintain our culture. The aim of the study was to translate a text spoken by a skilled speaker (parkobar) to accompany part of Mandailingnese wedding ceremony called Text of Markobar (TM) into
102
English and to find out translation problems that may arise as linguistically and culturally affected by both distinctness of the SL and the TL and to find appropriate translation techniques to solve the problems so that the translation could be expected readable and acceptable for English readers. 2. Research Method 2.1 Data The data (the text translated) was a written text of markobar comprising 15 paragraphs which was from suhut, mora, kahanggi. The markobar ceremony was held in the bride’s house attended by members of dalihan na tolu, the host and the people having the same clan as his kahanggi, the side who gave the host wife, mora, and the side to whom the host gave wife, anak boru. Markobar is a unique, and specific speech in Dalihan Na Tolu in the process of Mandailing wedding ceremony which is started by having custom discussion of markobar. Markobar is actually expressed orally but in this study, the writer transcribed in written text. In the writer’s opinion, the suprasegmental elements contained in the oral form are not so relevant to the aim of the translation. 2.2 Translation Method The written text of markobar in Mandailingnese was translated into English. Both are very distinct languages. Thus, the type of the translation used belongs to inter-lingual translation. The ideal aim of translation of such types is to achieve a translation which is accurate (without intentionally losing some important information), readable (easy to read and understand) and acceptable (can be accepted by the readers because the translation has conformed to their cultural values). However the ideal translation is not easy to be achieved. A translation whose purpose is to render the meaning of the text being translated although the form of the translation is not similar to the form of the ST is as Larson said that as idiomatic translation (Larson, 1984:16) or communicative translation by Newmark (1988 : 46). The idiomatic or communicative translation method has been done to translate the Text of Markobar. 2.3 Translation Procedures The first thing must be done was to compare the linguistic characteristics of English and Mandailingnese to see whether the two languages are different in all aspects or only different in some important aspects. It is because of commonly translation related to two aspects, i.e. the linguistic aspect and the cultural aspect. By knowing the differences of the SL and the TL translation problems could be anticipated. Second, the two cultures were also compared to see whether a translation of a sentence or an expression is acceptable linguistically but is unacceptable culturally. After the two aspects had been compared, then the ST was analyzed to see the genre of the text because a different text needs a different translation approach to translate it. Then the translation process followed seven steps: 1. transfer of meaning of the ST to the TT, 2.writing the first draft, 3. revising the first draft and then writing the second draft, 4. evaluating the second draft, 5. writing the third draft, 6. reevaluating the second draft and 7. writing the final draft. The procedures can be seen in the Figure 1: The translation evaluation was done by two people. The ST evaluation was done by an expert and a native speaker of Mandailingnese and the TT evaluation was done by an expert and a native speaker of English. 2.4 The Process of Translating TM and the Problems Encountered The TM which consists of 15 paragraphs has been translated by the writer herself and the following is the description how the translation was done and what techniques had been used to solve the problems in order to achieve an accurate, readable and acceptable translation. Unfortunately due the limited space, the complete translation cannot be included in this paper.
103
Figure 1 Translation Procedure ST Comparing the structure of SL & TL
Comparing the culture of SL & TL
1.Analysis of ST
2.Transfer
Translation Steps
3.Writing the first draft
4.Revising the first draft and Writing the second draft
Translation Procedure
5.Evaluating the second draft
6.Writing the third draft 7. Reevaluation
Evaluation Steps
8.Writing the final draft 3. Problems Caused by Cultural Differences The translation problems caused by the differences of SL and TL cultures have been distinguished into two, i.e. 1) untranslatable cultural terms and 2) literally translatable but culturally untranslatable. The terms of dalihan na tolu, suhut, kahanggi, anak boru, mora, mora ni mora,pasurdu burangir, naposo bulung, and are some of the terms used in the text which do not have equivalents in English and thus they are untranslatable. Let us see how they were left untranslated and their meanings must be explained. This is an opening saying in wedding ceremony discussion of Mandailingnese which uttered by suhut. Bahat`(Many) hormat (respects) name (our), marsantabi (apologize) sapulu (ten). Manghadopkon (put together) sudena(all) suhut marangka maranggi di son (di sini). Songoni (like) anak boruna songoni(like) mora, mora ni mora, songoni (like) hatobangon dot (with) nadi(that) patobang. Sumurung lobi (more) tu (to) jejeran (group) ni (the) amanta guru-guru.
104
Songoni (like) buse (that) dohot (with) hita (we) na (which) dua (two) tolu (three) na (that) hadir (present) marpungu (join) di (at) pantar (place) siriaon (happy) on (this). Translation: Excellencies, ladies and gentlemen, First of all I would like to apologize to all of suhut marangka maranggi here. Like: anak boruna, mora, mora ni mora, hatobangon with patobang. And more to group of amanta guru-guru, bride and groom, the host, and all ladies and gentlemen who present in this happy place. These cultural terms are untranslatable since equivalents of those words are not found in English. The term of suhut refers to an owner of wedding ceremony. Literally suhut means ‘the host’. Marangka maranggi refers to brothers and sisters. Anak boru refers to one or a group of people who has got a wife from the kahanggi. Kahanggi refers to a group of people originating from the same ancestor or literally kahanggi means ‘brothers’ and mora refers to one or a group of people from whom kahanggi has got a wife (wives). ) Amanta guru-guru refers to male Muslim religious teacher, and hatobangon refers to parents (people who are pointed by society and legalized by a king in that region). Dalian Na Tolu (Markoum-Sisolkot) is a metaphor which literally means ‘fireplace made of three stones that supports a cooking pot’. In metaphorical terms, it symbolizes a triangle relationship. As proverb says in Mandailingnese: Tubu unte, tubu dohot durina. Tubu jolma, tubu dohot adatna. It means when we plant orange tree, it will automatically have prickle, and when human were born, automatically the human follow the customs. This proverb explains that every human being has a custom (core values) in life and the environment. In the cultural values of ethnic Mandailing known Dalian Na Tolu (The three sides form a social relation or three basis) as the shared values, kahanggi, mora, and anak boru. Kahanggi consists of people who were descended from the same ancestor (marga); mora is one group of people from whom one got his wife, and anak boru is one group of people to whom a wife is given. This triangle relationship becomes the foundation of social interaction or system in Mandailing society. In practice, it is still practicing and implementing customs of Dalian Na Tolu as long as the legacy of the ancestors. In every wedding ceremony ( called markaroan Boru or marbagas ) for example , either on - stage stage traditional wedding ceremony and its implementation , the Mandailing still functioning social system Dalian Na Tolu . It seems very clear when they ( kinship group mora , kahanggi , and children Boru ) markobar customary activities ( speaking indigenous ) and marpokat ( customary deliberation ) to reach " an agreement " in the execution of the wedding ceremony . Similarly, the role and function of each kinship group in each phase of the implementation of the traditional wedding ceremony , ranging from traditional activities mangaririt Boru , manyapai Boru , patibal sere , pokat menek , pokat godang , paboru - boruon or marburangir , mata ni orja , patuaek boru , to cultural activities or mebat Marulak ari . In any traditional activities such marpokat, markobar and always opened with the words " Bismillahirrohmanirrohim " and " Assalamu warohmatullahi wabarokatuh " , and terminated or closed with a prayer to Allah SWT, led by religious leaders to plead His blessings and guidance with expectations and hope the marriage ceremony would be carried out together and held all stages as well as possible in accordance with their customs are no longer contrary to the teachings of Islam . Salleh, Muhammad (2006) when translating Hikayat Hang Tuah, a Malay classic text left some cultural terms untranslated like keris, raja, makan sirih. According to him they can be translated literally into dagger, king, and eating betel respectively but the cultural meanings contained in the words can not be translated. Teylanyo (2007: 30) also suggests that such terms should not be translated. Some terms could be easily translated because the equivalents of the words are available in the TL but only the literal meaning that could be transferred while the cultural meanings could not be transferred. The word hatobangon correspond to parents in English but in Mandailingnese refers to people who are pointed by society and legalized by a king in that region. (Parinduri, 2013). The word marsantabi sapuluh equal to express apology but it is placed in the beginning of the
105
speech before mistakes or errors in the speech are made. Again this is very culture–bound. In a Mandailingnese formal speech it is customary to apologize before saying something. This is contrary to English speakers’ habit who apologize for having done something wrong. 4. Problems Caused by Linguistic Differences As a translator, the writer expected that there must be many linguistic differences between the two languages because Mandailingnese and English belong to two unrelated languages, and evidently five translation problems were found while translating the ST into the TT. 1) Since the SL and the TL differ in the structure of noun phrase, compound noun and sentence, it causes translation problems. In the SL, the modifier occurs after the head in both noun phrase and compound noun as in pantar siriaon as a noun phrase and dalihan na tolu as a compound noun which literally means ‘a happy place’and ‘the three stones’ respectively. In pantar siriaon on, ‘pantar’ is tempat while ‘siriaon‘ is ‘happy’ is the modifier (in the SL an adjective is usually preceded by the particle on ‘which’). In dalihan na tolu; dalihan‘fire place’ is the head while na tolu‘three’ is the modifier. In the SL, typically, the subject occurs after the verb when the verb is intransitive as in martarimo do tondi tu badanna literally ‘soul and body’. Tondi tu bandanna is subject while martarimmo is verb. When the verb is transitive, the sentence pattern is verb–object –subject as in manekteki pintu ni koum where manekteki‘knock’ is a transitive verb, pintu‘door’ is the object of the verb and ni koum ‘relatives’ is the subject. In English the typical pattern of sentence is S–V–O as in I knock the door. 2) The subject of sentences, number and conjunctions are sometimes not expressed explicitly in the ST while in the TL they are always shown explicitly. In Di dia adong sada rura, di si adong mali mali. Di dia adong sada huta, di si adong kahanggi which literally means ‘where there is a forest there is wood, where there is a village there is relatives ‘ there is no conjunction between the two phrases. In suada alanganna rap lugut do hita di haratak on because we are intimate,’ we are in agreement’ the subject of the first sentence does not appear. When the subject (hita) appears it will become suada alanganna hita rap lugut do hita di haratak on. So in the translation the subject has been added as in since we are intimate we are always in harmony. In muda marjagal bahat mandapot untung which literally means ‘when selling get much profit’ there is no explicit subject but it is understood from the context that the subject must be the addressees, that is ho‘you’ or hamu‘you–all’ because the addressees are both the bride and the groom. In the translation the subject had been added as in when selling things you may make much gain. 3). A phrase in the ST may correspond to a clause in the TL and one word category in the ST may shift to a different word category in the ST. Pasurdu burangir is a phrase but it needs to be translated into a clause in order to make it longer so that it has clear meaning. It means offering the betel, but in this case it is not only a betel as a leaf but it has extended meaning. The betel consist of kapur sirih, gambier and wrap by the leaf of banana. 4). English has tense while Mandailingnese does not. This may cause translation problems especially when the translator does not pay much attention to non-linguistic context in which an utterance of the ST is used. Let us see the example below. Ari (day) on (this) ari (day) na (particle) denggan (good) ari (day) na (particle) uli (beautiful), ari (day) na (particle) tupa (right) ari (day) na (particle) niligi (see) ni (of) bayo datu (headman) di (at) hanaek (rise) ni (of) mata ni ari (sun), diupa (advised) tondi (spirit) badan (body) muyu (your) anso (so that) manaek (climb) tua (luch) hamamora (nobility) In this sentence there is no a word that is referring so the time explicitly in which the action is done except the adverbial phrase ari on‘this day’. But since the markobar ceremony is habitually performed while the sun is rising ( at about 9 to 11 am) so in the translation the progressive tense, simple present tense and future tense were used as seen below. It is a good day, a lovely day, the right day, the day which has been examined by the bayo datu (headman), When the sun is rising, your spirit and body (being advised) so that your luck and nobility will rise.
106
5). Markobar text is a classic text so that many old words or even archaic words are still used. Younger people normally do not understand most of the archaic words while older people are no longer available and there is no a dictionary of archaic words. Since their meanings are unknown many archaic words were left untranslated. However, when translating verses the translator is allowed to replace the archaic words with new words as long as the basic meaning of the verse can be conveyed. (Newmark, 1988, Salleh, 2006. Chan, 2003). So some archaic words had been replaced and some had been left untranslated. Some of the archaic words used in the MT are sumurung, doli doli, ipataya taya, marjamita, patantan simanjojak, pangayung alang simangido, omas si gumorsing, si maradang tua, juhut gana-ganaan. 5. Conclusion In translating a culture text, a translator is not only faced with linguistic problems but also cultural problems as what the writer experienced when translating the cultural text from Mandailing. The problems are from simple linguistic and cultural problems to complicated ones such as adding a new element to the TT and replacing the whole form with a new form to make the translation sound better and more readable. Five linguistic problems were encountered when translating the prose text, that is 1) the problem of translating noun phrases, compound nouns and sentences,2) the problems of translating subjects of sentences, number and conjunctions, 3) the problem of translating phrases and words (shifts may occur), 4) the problem of translating a linguistic form without tense to a linguistic form with tense, and 5) the problem of understanding the meaning of archaic words in a situation where there were no dictionaries and also no informants who know the meanings of the words. In translating the TM a number of translation techniques have been applied. The techniques applied were addition, generalization, alteration, explication, transposition, modulation, concretization, and transcreation. References Chan, Sheung Wai. 2003. Some crucial issues on the translation of poetic discourse from Chinese to English. In Gema Online Journal of Languge Studies, 3(2), 1-23. Harahap, Parsadaan Marga. 1993. Horja: Adat istiadat Dalihan Natolu. Jakarta: Sihamaliangna, PT. Bandung Grafitti. Hartmann, R.R.K and F.C. Stork. 1972. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publishers. Hasibuan, TK Batara Doli P. 1998. Buhu Buhu ni Hata Bohi Bohi ni Adat Tapsel. Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross Language Equivalence. London: University Press of America. Lubis, AR. 2005. Mandailing Islam Across Borders. Taiwan Journal of South East Asia Studies, 2 (2), 2005. Lubis, Mangaraja Lelo. 1998. Beberapa Catatan Tentang Adat Perkawinan Mandailing. Bulletin Parata Na Malos, V-VI, Medan: HIKMA. Lubis, Syahron. 2009. Disertasi: Penerjemahan Teks Mangupa Dari Bahasa Mandailing Ke Dalam Bahasa Inggris. Medan: USU Press. Nasution, Pandapotan. 1984. Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing setiap Tata Cara Perkawinan. Jakarta: Widya Pers. Parinduri, M. Bakhsan. 2013. Panduan Markobar Dalam Budaya Mandailing. Medan: CV. Deli Grafika. Salleh, Muhammad. 2006. A Malay knight speaks the whiteman’s tongue: notes on translating the Hikayat Hangtuah. In Indonesia and the Malay World, 34(100) , 395 – 405. Steven, Alan M and Schmidgall, A. 2004. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. USA: Ohio University Press.
107
Penggunaan Kiasan Dalam Fiksimini Sebagai Media Kritik Sosial Rina Saraswati, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga
Abstrak Fiksimini dikenal sebagai bentuk karya sastra alternatif di twitter yang membatasi narasinya tidak lebih dari 140 karakter. Keterbatasan ruang menuntut penulis menyampaikan ekspresinya secara singkat, padat, tanpa mengurangi makna pesannya. Penggunaan serta pilihan semua unsur bahasa menjadi penting, termasuk majas seperti idiom, metafor, simile, hiperbola, paradoks, dan personifikasi yang mengambil peran utama. Penelitian ini menganalisa peran fiksimini di Indonesia sebagai media kritik sosial, khususnya melalui penggunaan kiasan untuk penekanan makna, daya tarik tulisan serta penghalusan kandungan kritik. Melalui metode analisis isi ditemukan bahwa hampir sebagian besar tweet fiksimini disampaikan melalui bahasa kiasan untuk menyampaikan keberatan atas masalah sosial yang ada dengan cara yang lebih santun dan menarik. Kata kunci: Fiksimini; kiasan; kritik sosial; media sosial; tweet; twitter.
1. Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan teknologi, komunikasi tidak lagi dibatasi oleh media cetak, bahkan elektronik. Munculnya internet sebagai medium baru, telah membuka celah atas lahirnya media komunikasi alternatif. Media sosial sebagai salah satu bentuk dari media internet, memiliki aneka komunitas, yang salah satunya dikenal sebagai Twitter. Twitter merupakan salah satu media sosial yang membatasi cara interaksi sesama penggunanya tidak lebih dari 140 karakter di setiap pesannya. Sebuah cara komunikasi yang singkat dibandingkan media sosial lainnya. Namun dalam perkembangan dan keterbatasannya, Twitter melahirkan sesuatu karya sastra yang dikenal sebagai Fiksimini. Lewat bentuknya yang mini, Fiksimini merangsang para penulisnya untuk bercerita banyak dalam karakter yang terbatas. Mereka berusaha untuk berbagi pemikiran kompleks dalam baris kata dan kalimat yang ringkas. Akhirnya Fiksimini menemukan bentuknya sebagai karya sastra dengan gaya penulisan yang unik. Pembatasan karakter dalam penulisan fiksimini membuat penulis harus kreatif dalam memilih kata, kalimat, serta arti yang dibawanya. Di sinilah penggunaan kiasan menjadi berarti, sebuah cara penulisan sastra dengan perumpamaan yang memungkinkan satu kata memiliki banyak makna. Selain digunakan untuk untuk efisiensi kata dalam tulisan, kiasan seringkali digunakan dengan tujuan menyampaikan pesan secara tersirat. Makna tersirat yang seringkali disisipkan salah satunya adalah kritik sosial. Hal itu merupakan sebuah reaksi para sastrawan terhadap kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa banyak tulisan dalam komunitas fiksimini yang menggunakan kiasan sebagai alat dalam membungkus serta menyampaikan kritik sosial. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Internet dan Sastra Masuknya internet di era 1960an telah membawa sebuah perubahan besar dalam peradaban manusia. Hampir semua aspek kebudayaan terkena dampaknya, termasuk sastra. Seperti yang disampaikan oleh Landa (2007: 147) sebagai berikut: "Our mode of accessing and studying existing literature is transformed, but the substance "literature" itself will be transformed, in three main dimension: 1) Mimetic; The world changed by the web, and literature will reflect those changes. 2) Mediatic; Moreover, the material basis of literature, text, is significantly altered by digitization and the web. 3)
108
Poetic; If literature is a mode of discourse in which the form of what it said is especially relevant to the content of what is said, so much so that form and the content are one, then a transformation of the medium will entail a radical transformation of the meaning of literature." Substansi sastra ditransformasi ke dalam tiga dimensi utama: mimetis, mediatis, dan puitis. Perubahan mimetis adalah sebuah gambaran bagaimana sastra merefleksikan perubahan dunia dengan adanya teknologi internet. Perubahan mediatis menceritakan bagaimana dunia sastra berubah karena sastra menemukan sebuah medium baru. Saat sastra menjadi sesuatu yang diproduksi, munculnya medium baru akan mempengaruhi produsen sekaligus konsumennya, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Sedangkan perubahan puitis lebih pada perubahan sastra itu sendiri saat karena dipengaruhi mediumnya. Ditambahkan pula oleh Landa (2007: 149) bahwa munculnya sastra-sastra bentuk baru ini dimungkinkan karena bentuk komunikasi melalui internet pun sangat bervariasi. 2.2. Media Sosial dan Twitter Media sosial menurut Landa (2007:151) memiliki potensi dalam memunculkan sastra dalam bentuk baru, "Here, conversation, real and actual interaction, leaves a written trace, it doesn't vanish like telephone conversations, it does note become another genre like TV or film conversation. Conversation becomes collaborative writing, sometimes a new species of literary dialogue.." Sedangkan pengertian media sosial menurut Kaplan dan Haenlein (2010:53), "Social Media is a group of Internet-based applications that build on the ideological and technological foundations of Web 2.0, and that allow the creation and exchange of User Generated Content." Sedangkan apabila melihat sejarah perkembangannya, media sosial mulai dikenal di tahun 1997 dengan lahirnya Sixdegrees.com yang memulai awal perkembangan media sosial oleh vendor lainnya: Meetup pada tahun 2001, Myspace, LinkedIn, Second Live pada tahun 2003, Facebook dan Flickr di tahun 2004, Xanga, Reddit, dan Youtube di tahun 2005. Di tahun 2006, jaringan sosial dan situs mikrobloging bernama Twitter mulai beroperasi. Dua tahun berikutnya, postingan pengguna Twitter mencapai 100 juta setiap bulannya. (Jost:91) Dalam penelitian ini, bentuk media sosial yang menjadi pokok bahasan adalah Twitter, dengan pertimbangan keunikan strukturnya, serta popularitasnya di kalangan pengguna internet, khususnya di Indonesia. Menurut Semiocast.com (online), Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan akun twitter terbesar sedunia, setelah Inggris, Jepang, Brazil, dan Amerika Serikat di urutan pertama. Twitter menjadi semakin populer karena kemampuannya meyentuh pembacanya dalam waktu singkat serta memiliki jangkauan pesan yang luas. Selain popularitas serta jangkauan, sebagai salah satu layanan mikrobloging, Twitter menawarkan sebuah aturan yang unik, yaitu pengguna Twitter bisa mengirim dan membaca sebuah pesan singkat yang dibatasi hanya 140 karakter, yang dikenal sebagai Tweet. Untuk bisa aktif dalam menerima dan mengirim pesan, seseorang harus terdaftar agar bisa mengakses jaringan Twitter baik dari website interface, pesan singkat ataupun aplikasi telepon genggam. 2.3. Cerita Pendek dan Fiksimini Fiksimini, apabila dilihat dari jenisnya, sebenarnya bukanlah bentuk sastra baru, Fiksimini bisa dikenali sebagai cerita pendek, yang sudah ditemukan ribuan tahun lalu. "fiksi mini sesungguhnya punya jejak sejarah yang panjang. Artinya, tidak dimulai di tahun 1920, ketika Hemingway menuliskan fiksi mininya itu. Kita ingat fabel-fabel pendek yang ditulis Aesop (620-560 SM), adalah sebuah “kisah mini” yang penuh suspens dalam kependekannya. Kita bisa melihat pula kisah-kisah sufi dari Timur tengah, yang turunannya populer sampai sekarang dalam bentuk anekdot-anekdot semacam Narsuddin Hoja atau Abunawas. Kiasan-kiasan kebajikan zen di Tiongkok. Di perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama “cerita setelapak tangan”, karena cerita itu akan cukup bila dituliskan di telepak tangan kita. Ada juga yang mneyebutnya sebagai “cerita kartu pos” (postcard
109
fiction), karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. Di Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita bisa menyebutnya sebagai nanofiction." . (Noor, 2009:1) Namun apabila dilihat dari medium yang mengusungnya, Fiksimini adalah sastra dalam bentuk baru. Apabila ditelusuri, Fiksimini sebenarnya merupakan salah satu hashtag dalam Twitter, dan Twitter sendiri adalah satu dari sekian banyak media sosial di internet. Menempati medium internet, cerita pendek dalam Twitter mengalami perubahan struktur penulisan seperti yang disyaratkan mediumnya, yakni bentuk cerita pendek yang terdiri dari 140 karakter, sebuah ciri khas yang tidak dimiliki oleh cerita pendek lainnya. Batasan 140 karakter yang diberikan oleh Twitter membawa pengaruh pada bentuk pesan komunikasi dalam media sosial tersebut. Setiap pengguna terpola untu mengirimkan pesannya dalam bentuk penulisan yang ringkas dengan kandungan makna seluas-luasnya. Tema pesan dalam Twitter pun sangat bervariasi, dari sosial, eonomi, politik, profesi, hobi, hiburan, gaya hidup, kuliner atau bahkan sekedar pesan-pesan ringan antar teman. Namun lambat laun, dalam sebuah jaringan besar Twitter, kelompok pengguna mulai terpola dan terbagi secara tematik. Mereka mulai berkelompok membuat komunitas-komunitas yang lebih kecil mengenai kepedulian sosial, aliran politik, fotografi, otomotif, kuliner fans page, dan banyak hal. Dari sekian banyak komunitas yang terbentuk ini, muncullah beberapa komunitas sastra, yang salah satunya adalah Fiksimini, yang berisi kumpulan cerita pendek dalam bentuk hashtag #fiksimini. Semenjak April 2010 lalu, jumlah followers Fiksimini sampai dengan bulan Juli 2014 sudah mencapai 150 ribuan. Komunitas yang digagas oleh Agus Noor, Eka Kurniawan dan Clara Ng ini merupakan komunitas untuk mewadahi para penulis dan pemerhati literasi dan budaya, yang mencoba berbagi cerita pendek yang dibatasi hanya 140 karakter. Fiksimini menurut Noor adalah "Fiksi, yang hanya terdiri dari secuil kalimat. Mungkin empat sampai sepuluh kata, atau satu paragrap." Lebih lanjut Noor menandaskan bahwa fiksimini "menceritakan sebuah kisah dengan seminim mungkin kata." (Noor, 2009:1) 2.4. Penulisan Fiksimini dan Penggunaan Kiasan Ciri utama fiksimini adalah penulisannya yang singkat, dan tidak melebihi 140 karakter. Hal ini ini menimbulkan sebuah konsekuensi bagi penulis untuk bisa kreatif dalam menyampaikan ceritanya dalam kalimat sependek-pendeknya tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Noor (2009:1) menyampaikan bahwa, "Ketika dunia makin pendek, pengarang pun ditantang untuk menyuling cerita. Menyuling cerita, begitulah pada dasarnya proses penulisan fiksi mini." Lebih lanjut Noor menambahkan "Semakin sedikit kata, tetapi semakin luas membentang kisah di dalamnya, dalam koridor itulah seorang pengarang ditantang untuk menghasilkan fiksi mini yang kuat." Seorang penulis fiksimini seringkali akan berhadapan dengan penggunaan kiasan atau majas dalam penyampaian ceritinya agar bisa menggunakan kata sesedikit mungkin dalam bertutur. Nurgiyantoro (1998:297) menyatakan bahwa, "Permajasan adalah merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias." Menambahkan pendapat di atas, Ashadi Siregar (1998:104) menyatakan, "Majas digunakan untuk mengkonkretkan dan menghidupkan tulisan. Majas mampu menggambarkan suatu realitas agar asosiasi pembaca terhadap realitas yang terbentuk kemudian lebih mendekati gambaran yang sebenarnya." Sedangkan menurut Waluyo (1995:83) majas dengan figuran bahasa yaitu penyusunan bahasa yang bertingkat-tingkat atau berfiguran sehingga memperoleh makna yang kaya. Dengan demikian fungsi majas adalah untuk menciptakan efek yang lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam karya sastra. Pradopo (2002:62) menjelaskan bahwa majas
110
meyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Sedikit berbeda, Perrine dalam Waluyo (1995:83) menambahkan bahwa majas digunakan untuk: "(1) menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) menghasilkan imaji tambahan sehingga halhal yang abstrak menjadi kongrit dan menjadi dapat dinikmat pembaca, (3) menambah intensitas perasaan pengarang dalam menyampaiakan makna dan sikapnya, (4) mengkonsentrasikan makna yang hendak di sampaikan dan cara-cara menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang singkat." Gill (1995: 23) juga menyampaikan beberapa jenis kiasan atau majas, diantaranya yaitu simile, metafora, personifikasi, simbol, image, paradoks, dan ambiguitas. 2.5. Sastra sebagai Media Kritik Sosial Menurut Wellek & Warren (1990:111), sastra mempunyai fungsi sosial sebagai suatu reaksi, tanggapan, kritik, atau gambaran mengenai situasi tertentu. Berkaitan dengan pernyataan mengenai kritik sosial di atas, Damono (1983:22) mengatakan "Kritik Sosial dalam karya sastra adalah kritik yang mengangkat segala macam problem sosial yang ada misalnya menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, kelompok sosial, pengusaha, dan intuisi-intuisi terhadap ketidakadilan dan kewenang-wenangan." Sedangkan yang dimaksud dengan kritik sosial menurut Astrid Susanto (Mahfud, 1997:47) adalah "Suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (judging), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Kritik sosial juga dapat diartikan dengan penilaian atau pengkajian keadaaan masyarakat pada suatu periode waktu." Soerjono Soekanto (1982: 12) menyampaikan sembilan masalah sosial penting yang layak menjadi perhatian, antara lain sebagai berikut, "kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, peperangan, pelanggaran terhadap norma sosial, masalah kependudukan, dan masalah lingkungan hidup." 3. Metode Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Analisa Isi atau Content Analysis. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui kandungan makna yang tersurat serta tersirat dalam Fiksimini. Sehubungan dengan penelitian sastra, Ratna (2008: 34-53) mengatakan bahwa Analisa Isi merupakan salah satu metode yang bisa dipergunakan dalam penelitian dokumen Sastra, selain metode intuitif, hermeneutika, kualitatif, formal, dialektika,serta deskripsi analisis. Menambahkan pendapat di atas, Walizer dan Wiener (1987:48) mengatakan bahwa analisa isi adalah “Setiap prosedur penelitian sistematis yang dirancang untuk mengkaji isi informasi terekam. Datanya dapat berupa dokumen-dokumen tertulis, film-film, rekaman audio, sajian video, dan jenis komunikasi lainnya”. Menambahkan pendapat di atas, Rakhmat (1985: 110) menyatakan, “Kita bisa mengacu pada: isi tersurat (Manifest Content) dengan menghitung kata . . . atau padanannya, menghitung mendaftar kata-kata . . . Kita bisa juga merujuk pada isi tersirat (Latent Content) dengan mendiskripsikan kalimat . . . “. Dengan menggunakan metode ini diharapkan jumlah muatan bahasa kiasan serta muatan kritik sosial dalam fiksimini bisa diketahui. Adapun data yang diambil adalah berasal dari akun tweeter @fiksimini selama bulan Mei 2014. dengan total sampel sejumlah 133 tweet fiksimini. Sedangkan satuan analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah keseluruhan kata dalam masing-masing retweet fiksimini dipilih sebagai satuan analisis atau ukuran. Seperti yang disampaikan Bernard Berelson yang dikutip oleh Abdul Razak dalam Flournoy (1989: 163) menyatakan bahwa ada lima satuan analisis yang bisa dipakai untuk mengukur isi dokumen, “. . . dengan kata-kata, tema-tema, tanda-tanda, ayat-ayat, atau satuan-satuan ruang. Pilihan yang tepat tergantung dari masalah-masalah dan isi yang sedang diteliti”.
111
4. Hasil dan Pembahasan Mengacu dari hasil penghitungan koding, Tabel 1 menunjukkan bahwa 84 tweet fiksimini mengandung kiasan, sekitar 64 % dari total 133 tweet fiksimini pada bulan Mei 2014. Sedangkan sisanya, sebanyak 49 tweet atau sekitar 38 % merupakan fiksimini yang disampaikan dengan bahasa biasa. Tabel 1. Muatan Kiasan Kategori Frekuensi Persen Mengandung Kiasan 84 62 Tidak Mengandung Kiasan 49 38 Jumlah 133 100 Selanjutnya pada Tabel 2 menunjukkan bahwa 43 tweet dari total 133 tweet fiksimini pada bulan Mei 2014, mengandung kritik sosial, sedangkan sisanya sekitar 92 tweet (68 %) merupakan tweet yang bertema umum. Tabel 2. Muatan Kritik Sosial Kategori Frekuensi Mengandung Kritik Sosial 43 Tidak Mengandung Kritik Sosial 92 Jumlah 133
Persen 32 68 100
Selanjutnya pada Tabel 3 menunjukkan bahwa 43 tweet dari total 84 tweet fiksimini yang mengandung kritik sosial, juga mengandung kiasan (51 %). Sedangkan yang mengandung kritik sosial namun tidak mengandung kiasan berjumlah 0 tweet (0 %). Sebaliknya, yang tidak mengandung kritik sosial namun mengandung kiasan berjumlah 41 tweet (49 %). Untuk 49 tweet atau sekitar 100 % merupakan fiksimini yang disampaikan tanpa kiasan serta tidak mengandung kritik sosial. Tabel 3. Muatan Kritik Sosial dari Muatan Kiasan Kategori Mengandung Kiasan Tidak Mengandung Kiasan Frekuensi Persen Frekuensi Persen Mengandung Kritik Sosial 43 51 0 0 Tidak Mengandung Kritik Sosial 41 49 49 100 Jumlah 84 100 49 100 Penyajian data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar tweet fiksimini disampaikan dengan bahasa kiasan. Pembatasan 140 karakter membuat para penulis memaksimalkan permainan kata melalui bahasa kiasan yang lebih kaya makna walaupun hanya menggunakan kata dan kalimat yang terbatas. Bahasa kiasan juga bisa membuat sebuah fiksimini menjadi lebih hidup dalam imajinasi para pembacanya. Selain itu, pemilihan bahasa kiasan yang tepat bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca fiksimini. Dari data koding menunjukkan bahwa hanya 32 % dari 133 tweet fiksimini yang memiliki kandungan kritik sosial. Walaupun tidak dominan, beberapa penulis sudah mulai peduli untuk menyisihkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial yang terjadi disekitar kita Sedangkan dari hasil tabulasi silang antara muatan bahasa kiasan dan kritik sosial menunjukkan hasil yang menarik. Seluruh tweet fiksimini yang mengandung muatan kritik sosial selalu dibawakan dengan bahasa kiasan. Hal ini menunjukkan bahwa para penulis kita kebanyakan telah memiliki kemampuan dalam membungkus sebuah kritik. Menyampaikan keberatan atas masalah sosial yang ada dengan cara yang lebih santun dan menarik agar kritiknya bisa memiliki keterbacaan tinggi.
112
5. Simpulan Hampir sebagian besar tweet fiksimini disampaikan melalui bahasa kiasan. Pilihan kata serta penggunaan majas merupakan solusi bagi pembatasan 140 karakter untuk tetap bisa menciptakan sebuah cerita yang berbobot. Bahasa kiasan juga dipakai untuk menciptakan daya tarik, yang pada akhirnya bisa meningkatkan keterbacaan tweet fiksimini itu sendiri. Saat fiksimini bisa diapresiasi oleh pembacanya dengan baik, diharapkan pesan yang dibawanya, baik itu merupakan kritik sosial ataupun sekedar tema umum, bisa membawa perubahan yang berarti.
Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Flournoy, D.M. 1989. Analisa Isi Suratkabar-suratkabar Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gill, Richard. 1995. Mastering English Literature. Edisi Kedua. New York: Pallgrave. Jost, Kenneth. 2011. The Future of Books. CQ Researcher 10.24 (23 Jun. 2000): 1-24. CQ Researcher. Web. 30 Mar. 2011. Page 91 Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein. 2010. Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media. Business Horizons, 53, 59—68. Landa, Jose Angel Garcia. 2007. Literature in Internet, in The Texture of Internet; Netlinguistic in Progress. New Castle: Cambridge Scholars Publishing. M.D., Mahfud, 1997, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan.Yogyakarta: UII Press Noor, Agus. 2009. Fiksi Mini : Menyuling Cerita: Menyuling Dunia. dalam Fiksi Mungil 35 Comment. Diakses dari http://agusnoorfiles.wordpress.com/2009/11/21/fiksi-mini menyuling-cerita-menyuling-dunia/. (Tanggal akses 1 Mei 2014) Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachma Djoko. 2002. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press. Rakhmat, J. 1985. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remadja Karya. Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Saksono, Herman, Aulia Halimatussadiah, Ong Hock Chuan. 2011. Blogging and Socmed Trend in Indonesia. pdf. Semiocast. July, 30th 2012. Twitter reaches half a billion accounts More than 140 millions in the U.S. Diakses dari http://semiocast.com/en/publications/2012_07_30_Twitter _reaches_half_a_billion_accounts_140m_in_the_US. (Tanggal akses: 1 Mei 2014) Siregar, Ashadi dkk. 1998. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media Massa. Yogyakarta : Kanisius. Soekanto, Soerjono. 1982. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali. Walizer, M.H. dan Wiener, P.L. 1987. Metode dan Analisa Penelitian; Mencari Hubungan. Jakarta: Erlangga. Waluyo, Herman J. 1995. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret Universty Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
113
インドネシア語の受身におけるポライトネス文化の反映 ―日本語との対照― Rizki Andini, Universitas Airlangga
要旨 本稿では、インドネシア語の受身にかかわる問題を中心に、翻訳に焦点を当てて、「ポ ライトネス」の観点から考察する。そのためにまず、本稿でいう「ポライトネス」の定 義を確認した上で、「ポライトネスの普遍理論」と「ポライトネス・ストラテジー」を さらに指摘する。また、 「待遇表現」という日本で進んできた研究を考察するとともに、 インドネシア語の受身におけるポライトネスを触れる。 「ポライトネス・ストラテジー」 を通じて、受身の型を言語上で表すことが、記号上いかなる「配慮」を表す。 また、どのような効果としての「配慮」を生み出すために機能しているのかについて、 その「配慮」の体系を明らかにすることを目的とする。 キワード:インドネシア語の受身、ポライトネス、ポライトネスのストラテジー、待遇 表現
1.はじめに Brown & Levinson(1987)ではポライトネス とは「円滑な人間関係の確 立・維持のための言語行動」である(宇佐美 2003:119 から引用)。さらに、Brown & Levinson はポライトネスを「コミュニケーションにおける対人配慮意識」と定義してい る。 しかしながら、違う文化背景において、言語の背景にある社会文化、言語によって適切 性の基準は一様ではないため、ポライトネスに対する認識が異なるし、言語表現も異な ってくる可能性がある。外国語学習者の場合、母語の影響を受けやすく、翻訳するとき に、起点言語(原文)および目標言語(訳文)における適切性の判断は容易ではない。 両方の文法、語彙に対する知識が要求され、両言語の語用論的知識も欠かせない。本稿 では、ポライトネスはどのように普遍性を持つかを検証し、翻訳するときに異言語・異 文化間においてそのポライトネスに対しどう対応させたのかを考察しておきたい。 2.「ポライトネス」の定義 2a. Leech のポライトネス原理 Leech は Grice がいう協調の原理(Cooperative Principles)の有効性を保つこ とを説明するために、ポライトネスの原理として 6 つの原理を設けている。
114
1.気配りの原則(tact maxim) (a)他者の負担を小限にせよ (b)他者の利益を大限にせよ 2.寛大性の原則(generosity maxim) (a)自己の利益を小限にせよ (b)自己の負担を大限にせよ 3.是認の原則 (approbation maxim) (a)他者への非難を小限にせよ (b)他者への賞賛を大限にせよ 4.謙遜の原則(modesty maxim) (a)自己への賞賛を小限にせよ (b)自己への非難を大限にせよ 5.一致の原則 (agreement maxim) (a)自己と他者との意見相違を小限にせよ (b)自己と他者との意見一致を大限にせよ 6.共感の原則 (sympathy maxim) (a)自己と他者との反感を小限にせよ (b)自己と他者との共感を大限にせよ 2b.Brown & Levinson のポライトネス理論 ポライトネスに関して大きな影響力を持っているのが Brown & Levinson (1987) (以下:B&L)である。B&L では、ポライトネスとは良好な人間関係や円滑な コミュニケーションを図るための社会的な言語行動を説明する概念である。人間は、対 人コミュニケーション に関する2っの「基本的欲求」があると考え、B&L(1987)で は Goffman(1967)が提唱するフェイスがあり、多くのコミュニケーションの場で相手 のフェイスを脅かすことがあるという概念を「ポジティブ・フェイス」(Positive Face) と「ネガティ ブ ・フェイス」(Negative Face)という人間の2つの基本的欲求を満た すような言語行動であると 2 種類に区分し、次のように定義している:
「ポジティブ・フェイス」:他者に理解されたい、好かれたい、仲間に入れてほし いという「プラス方向への欲求 」
「ネガティブ・フェイス」:他者に自分の領域を邪魔されたくないという「マイナ ス方向への欲求」 フェイスを脅かす行為をフェイス脅かし行為 (Face Threatening Acts:以下
FTA)と呼ぶ。B&L は FTA を脅かさないように配慮することを、「ポライトネス」と 呼んだ。また、B&L (1987:58)によれば、相手とやり取りをする時に、FTA を解消す
115
るために、相手に配慮した言語行動を伴い、適切な「ポライトネス・ストラテジー」を 選択すると主張している。 3.「ポライトネスの普遍理論」と「ポライトネス・ストラテジー」 ポライトネスの普遍的原則を指すことが多いが、特に、各文化に固有のポ ライトな言語行動を指す場合は、「ポライトネス・ストラテジー」と呼び、両者を区別 するほうが正確である。これまで「ポライトネス」と「ポライトネス・ストラテジー」 の区別はしないまま、 例えば,日本語のポライトネスと他言語のポライトネスには普 遍性が保たれている。正確に考えれば、各言語のポライトネス・ストラテジーは異なる ため、言語行動として表面に表れる具体的な「ポライトネス・ストラテジー」は当然、 各言語・文化によって異なる。しかし、円滑な人間関係を保つためのストラテジーとし ての「ポライトネス」 への欲求・動機には普遍性があるはずであると考えうる。 「異文化接触とポライトネス」について論じる際に、文化による違いが問題となるの は主に「ポライトネス・ストラテジー」のほうである。それに対して、「ポライトネス の普遍理論」のほうは、ポライトネス・ストラテジーの文化による違いが引き起こす異 文化ミス・コミュニケーションなどの様々な問題の解決の糸口を導くヒントになるもの なのである。 4.「待遇表現」 日本国内で進んできた「待遇表現」の研究は「敬語論」と異なり、丁寧では ない言語表現や罵り表現なども含むという意味で、B&L の「ポライトネス理論」よ りも扱う研究対象も広く、ある意味でより視野の広いものであったと言える。この「待 遇表現」では日本語を前提として、相手や場面 、状況に応じて、「いらっしゃる」か、 「行く」を選ぶのかという待遇をマークする「言語表現の選択」を研究対象とするもの であることが分かる。敬語体系を持たない場合、英語のような言語においても「話題の 人物/聞手/場面などを顧慮し、それに応じて複数の表現を使い分ける」という現象は ある。 つまり、これまでの待遇表現研究では、相手や場面、状況に応じて選択され るべき聞き手への待遇を言語表現に反映させる。すなわち、「社会的慣習に即した言語 使用」の観点が重要だと言える。しかし、人間の「上下、親疎、内外」などに関する価 値観に基づく「人間関係の認知の仕方」を基準としているため、そこには 、個人の価 値観を反映させる余地がほとんどない。つまり、日本語では、「社会的に決められた」 基準で、相手を上か下と見るか、内か外と見るかなどを強制的に判断させられ、それを 発話ごとに「言語形式」に反映させられる。
116
5.ポライトネスと異質化・同質化翻訳 ポライトネスといった対人関係がそれぞれの文化において、言語使用や表現に 反映されている。特に、ある行為の持つフェイスの侵害の度合が各文化による話し手と 聞き手との社会的距離・相対的力によってずいぶん違う。フェイス侵害の度合はポジテ ィブ・フェイスのポライトネス文化では低く、ネガティブ・フェイスのポライトネス文 化では高い。「前者はアメリカ西部などを典型し、後者の例としてイギリス、日本(中 略)が挙げられる。 」 (滝浦 2008:119) 日本とインドネシアにおける対人関係の扱い方は独特であり、それゆえ、対人 関係という項目での翻訳者の対応が大事なのである。翻訳は自国の文芸作品の基準や慣 習に従うのである。 翻訳ストラテジーを異質化(Foreignization)と同質化(Domestication)2つに 分けている(Venuti 1995、Leung から引用) 。 前者は外国文学を外国のものとして訳す ことであり、つまり起点文化の異文化的特質を翻訳の中にも保持するためのストラテジ ーである。後者はその逆で、原文の異文化的特質を目標文化に即した形に馴化させよう とするストラテジーのことである。すなわち、翻訳を目標言語に近づけて行くことが同 質化で、翻訳を起点言語に近づけて行くことが異質化であると述べている。 異質化だと、各言語、またその裏にある文化の独特さが翻訳において失われてしまう恐 れがある。一方、同質化の翻訳は目標言語をしっかり理解することできず、目標言語の 文化や事物を抜き取られてしまう恐れがあると考えられる。 6.インドネシア語の受身におけるポライトネス文化 インドネシア語の典型的な受身マーか di-動詞で表現する文はポライトネスの ニュアンスがある。指示・命令するときに、話し手の意志を相手にしてもらいたいこと、 直接的に言わず、間接的に伝える命令・依頼である。 例: 1. Silahkan kuenya dimakan. どうぞ お菓子 di-食べる どうぞお菓子を召上げってください。 2. Tolong (kursi itu) dimasukkan ke dalam ruangan itu. お願い 椅子 その di-入れる へ
中 部屋 その
(その椅子を)その部屋に入れてください。) 依頼は自分の利益のために、他者の領域を侵害して、他者に行為をさせようとする行為 である。依頼における FTA を和らげようとして、さまざまな配慮が必要である。イン ドネシア語母語話者は多く、直接的な依頼表現ではなく、間接的な依頼表現を用いる。 それによって、自分と相手のフェイスを調節をしようとする。この間接的な依頼表現は ほのめかし(off record)という、ポライトネス・ストラテジーの一つのストラテジーで
117
ある。すなわち、事柄を明示的に伝達することよりも、相手の自分のフェイス侵害を避 けることを優先し、直接的な言及を避けて、婉曲的に意図を伝えようとするストラテジ ーである。 参考文献 宇佐美・まゆみ(1998) 「ポライトネス理論の展開:ディスコース・ポライネスという 捉え方」 『日本研 究 ・教育年報 1997 度版 』 蒲谷宏 ・川口義一・坂本恵(1998)『敬語表現 』 、大修館書店 梁・偉鴻(2011)翻訳におけるポライトネスと異質化翻訳ストラテジー ―日英・日中 の翻訳をめぐって― 創価大学大学院
Politeness of Translation and Foreignizing strategy of Translation、
118
Cultural phrases and terms in lexicography and day-to-day translation work Mats-Peter Sundström, translator, European Parliament Swedish translation unit
Abstract: This paper intends to shed light on some of the problems posed by lexicographic anisomorphism, occasioned by culture-specific lexical items to translators and editors of bilingual dictionaries. The term culture-specific items is twofold, referring as it does to 1) lexemes describing objects, phenomena etc. particular to a given culture and the language spoken there and 2) lexemes describing phenomena universal to the human experience but having linguistic expressions only in a given language. Illustrations are provided from the following languages: Finnish, German, Polish and Swedish. Mention is made of the dangers inherent in the process of translating such lexemes, namely overinterpretation, loss in translation and connotational shift. Finally the respective challenges these lexemes pose to translators and lexicographers are discussed. Keywords Culture-specific words; language-specific words; lexicographic anisomorphism
1. Introductory words In a certain way the very title is something of a misnomer. Rather more adequate would have been a heading such as ”Seeming untranslatabilities and ways of dealing with them”. The culture-related aspect enters the picture in two ways. First, there are lexemes that are both culture and language bound. In other words, they relate to matters particular to a particular culture and occur only in the language used in that particular cultural sphere. In fact, we could call them culture-specific items. Secondly, there are lexemes that are particular to a culture, in the sense of occurring only in a given language, although they refer to universal matters. These we could refer to as language-specific items. Taken together, these two types of lexemes amply vindicate the truth of Zgusta's famous concept of lexicographic anisomorphism. 2. Culture-specific items As was pointed out above, here we are dealing with words and phrases designating things specific to the (often material) culture of a given nation, region, people etc. By the very nature of things they cannot be expected to occur in the vocabularies of languages others than those used in their native areas, if so we may call them. They may well tickle the curiosity of the linguistic layperson, but actually they are of little theoretical interest either to a translator or a lexicographer. Moving from abstract perusals to concrete examples, we may look at a word such as the Finnish saunavihta, referring to an implement consisting of birch branches with leaves and used by sauna-goers to beat themselves so as to stimulate blood circulation. Most probably, in a translation this word could be taken over as a loanword, supplied with an explanation the first time it occurs (but not using the explanation as a translation equivalent throughout the text). As Tseng points out: ”[Such] description is useless in [...] translation. An accurate, idiomatic and text-insertable equivalent has to be found or even coined to be truly useful” (Tseng 2005: 331). Fellman-Paul also raises an interesting point on this subject, in highlighting that in legal documents ”[d]ecoding culture-specific items [...] is acceptable but not compulsory; discretion can be used” (Fellman-Paul 2005: 87). In a bilingual dictionary the situation is somewhat different. Here, the main issue consists of where to draw the line between providing the dictionary user with explanatory metalanguage and adopting a properly encyclopaedic approach. To illustrate, reference may be made to the treatment of the Polish noun bigos in two bilingual dictionaries with Polish for their source language.
119
In the Oxford Polish–English Dictionary, no English equivalents are offered, but rather an italicised metalinguistic explanation: stewed dish made of sauerkraut and/or fresh cabbage, meat and mushrooms. The largest Polish–Swedish dictionary, the Polsk-svensk ordbok, follows a somewhat different approach. The word bigos is taken over as a calque, placed within quotation marks, and supplied with the explanation surkål kokt med kött, korv och svamp, (”sauerkraut cooked with meat, sausage and mushrooms”) printed with the same font as the calque equivalent and then supplied with yet a metalinguistic comment in a lower-size font polsk nationalrätt i.e. Polish national dish. 3. Language-specific items In a paper presented at Macau university in 2010, I chose to call these lexical items focalising words. These words sum up within the confines of a single lexeme (comprising either one or several individual words) ”an often rather complex development, procedure, chain of events” (Sundström 2011: 72) or also a state of affairs or a manner of acting referring to something universal in human experience and yet, they have no exact equivalents in languages others than the particular one to which they belong. – In respect of focalising words, it is consequently of crucial importance that the translator ”have a keen awareness of the differences in thinking patterns created by cultural differences [...] and make due efforts to translate these differences [whether] visible or invisible” (Yang 2010: 147). – Interestingly enough, this point was further substantiated by the French mathematician Cedric Villani (indeed, a mathematician, not linguist!) in his comment to the effect that ”la façon de penser est une chose culturelle et n'est donc pas universelle”, i.e. the manner of thinking is something cultural and thus not universal (Villani 2014: 7). One of the simplest and most down-to-earth illustrations is provided by the following Finnish noun itkupotkuraivari. Literally it means ”weeping-kicking-temper tantrum”, and refers to a situation where a toddler ”freaks out” throwing himself/herself to the ground, starting wildly kicking around and crying and weeping uncontrollably. Alas, there is no exact one-word equivalent whether in English or in any other language familiar the present author. With a seeming (but only seeming!) effect of ”lost in translation” the noun tantrum may be used in English essentially conveying the same message. To this I shall return below. To further illustrate this phenomenon, I have chosen two nouns from the German language, since German, according to my nineteen years of experience as a European Parliament translator is particularly rich in such words. They are, not in alphabetical order but in the order they will be dealt with below: Erklärungsnot [literally: = 'explanatory distress'], Zweckentfremdung [literally: = 'purpose alienation'], along with the Swedish collocatised phrase gå på i ullstrumporna [literally: = 'keep walking in one's woollen stockings'] Together, they serve to describe, respectively, the tendencies of 1) denotational extension (overinterpretation), 2) denotational contraction (loss in translation) and 3) connotational shift. 3.1 Denotational extension or overinterpretation The German sentence quoted below, along with its proposed translations into English may serve to elucidate the concept of denotational extension or overinterpretation: Als er gegen vier Uhr morgens sternhagelvoll auf allen Vieren nach Hause gekrochen kam gerat er in Erklärungsnot or in English: When he, around four o'clock in the morning, came crawling home on all fours, drunk like anything, he was at a loss (desperate) for an explanation. In translating this German sentence into English, constraints of language may induce us to read into the original text more than is actually there, for instance in using expressions like: When he, around four o'clock in the morning came crawling home on all fours, drunk like anything, he jogged his mind (racked his brain) for an explanation.
120
Actually the original text does not tell us whether, being at a loss for an explanation, he went actively seeking for one or not. Here the choice of words in translation is a matter of interpretation, which may or may not correspond to the meaning of the source language text. 3.2 Denotational contraction To shed light on the notion of denotational contraction or loss in translation, reference may be made for instance to the German noun Zweckentfremdung. In translating a word like this into English we sometimes leave out elements that are explicitly present in the original and make them only implicit in translation. True enough, in the European Union terminology database IATE ( = InterActive Terminology for Europe), this German noun is rendered into English as misuse of the purpose (IATE, term post nr 1260340). Here, the addition of the prepositional phrase of the purpose is important, as the mere verb misuse may mean using something in the wrong way or for the wrong purpose, while strictly speaking only the latter aspect is present in the German noun. However, in actual translations of Zweckentfremdung we would not necessarily convey explicitly all the information contained in this lexeme. An example will follow: Zu den Eigentümlichkeiten seines Benimms gehörte die Zweckentfremdung einer Geige als Schneeschaufel. His odd behaviour was reflected by the fact of his using a violin for a snow shovel. The idea of ”misuse of the purpose” is left out in the translated version: it need not be spelled out, at least not in English, that someone who shovels snow with a violin uses the instrument for purposes others than originally intended for. So here, the notion of lost in translation seems at first to be corroborated, although on closer inspection it turns out that such an objection is in fact specious. Somewhat similar is the case with translating the Finnish itkupotkuraivari into English as tantrum. Of course, if we say in Finnish lapsi sai itkupotkuraivarin and turn it into English as the child threw a (temper) tantrum we do not explicitly tell our English-speaking audience what precisely the child did (crying, kicking etc.). Arguably, however, this is hardly necessary: anyone, or so it seems, knows what a child does when going through a tantrum and so, there is no need to explicitly describe it. Going back to point number 1, that of overinterpretation, an interesting case of possible semantic ”overinvestment” involving the noun Zweckentfremdung may be seen in the German version of European Union directive 2014/36/EU where, in recital 25, the English original establishes: Member States should be able to require the employer to cooperate with the competent authorities and to provide all relevant information needed in order to prevent possible abuse and misuse of the procedure set out in this Directive. In the German translation the following turns of phrase are used: Die Mitgliedstaaten sollten vom Arbeitgeber verlangen können, dass er mit den zuständigen Behörden zusammenarbeitet und alle einschlägigen Angaben beibringt, die erforderlich sind, damit einem möglichen Missbrauch und einer möglichen Zweckentfremdung des in dieser Richtlinie niedergelegten Verfahrens vorgebeugt wird. Here, the bold-faced key words mean abuse and misuse of the purpose. Interestingly enough, the Polish translations goes as follows: Państwa członkowskie powinny móc wymagać od pracodawcy, by współpracował z właściwymi organami i przedstawiał wszelkie stosowne informacje niezbędne do zapobiegania ewentualnym przypadkom nadużycia lub nieprawidłowego stosowania procedury określonej w niniejszej dyrektywie. where the words highlighted in boldface mean abuse or improper application. The Swedish version, incidentally, also follows similar lines of reasoning: Medlemsstaterna bör kunna kräva att arbetsgivaren samarbetar med de behöriga myndigheterna och tillhandahåller all relevant information som behövs i syfte att
121
förhindra eventuellt missbruk och eventuell felaktig användning av det förfarande som fastställs i detta direktiv. Here, the boldfaced words mean misuse and incorrect use. Thus, there are indications to the effect that the German version has indeed overinterpreted the English original. To sum up the issue of ”loss” or ”gain” in translation, the following statement from Qvale may turn out helpful: ”Lost and gained – quite often both things happen in the same text [...] But let there be no mistake – there has always been more loss than gain in translation!” (Qvale 2005: 189). 3.3 Connotational shift As an example may serve the English expression take blind action being translated into Swedish by the phrase quoted above gå på i ullstrumporna. Although the origins of this Swedish phrase are unknown to most native Swedish speakers, they reflect a very typically northern setting, as far as climate is concerned. What is referred to is a situation where someone is walking on smooth, glass-like ice and puts his woollen stockings outside his shoes to prevent himself from slipping – and in doing so, disregards the risk of venturing too far out on thin ice and falling through. Figuratively, the Swedish saying refers to the act of continuing an activity in an accustomed manner, without being deterred by outside influences, usually also implying an element of inconsideration or lack of prudence. Although the expression certainly, like the English take blind action conveys the idea of acting recklessly, not heeding possible warnings or disregarding the circumstances, its catchy, folksy style is something that is lacking in the target language version. Here, in other words, the approach proposed by Trim has been put into practice, namely that of ”abandon[ing] the idiom and express[ing] the idea in plain language, losing the stylistic value of the idiom” (Trim 2003: 18). However, the possibilities of connotational shifts are less deleterious when translating non-fiction prose than when translating fiction. At this juncture, mention may be made of a statement by Perek: ”w przypadku tekstów nieliterackich trudno mówić o stylu indywidualnym; zazwyczaj badamy wyłącznie styl funkcjonalny” (Perek 1997: 170), or in English translation from the Polish original: in non-literary texts it is difficult to talk about an individual style; we usually look only at the functional style. 4. Conclusions The problems posed by the lexemes called cultural phrases and terms in the title differ owing to two sets of circumstances. For one thing, dealing with culture-specific items is not the same as dealing with language-specific ones. Also, the challenges are different, depending on whether the context is one of translation or one of lexicography. For the translator, a culture-specific item gives rise to questions mostly in terms of consistency throughout the translated text as regards the choice of target language equivalents. Consistent use of target language, obviously enough, means sticking to the way once chosen for representing a given source language item. If, for instance, in a translation from Finnish into English I have chosen to translate saunavihta as sauna whisk, I must stick to this term and not, for instance, use sauna flagellation device alternatively. For the editor of a bilingual dictionary, it is mostly a matter of resisting the temptation of going too far into the field of encyclopaedic knowledge, keeping explanatory metalanguage as concise as reasonably possible. Language-specific lexemes in a translation situation require above all painstaking familiarising on the part of the translator with the respective contexts in which they occur, so as to avoid as far as possible the dangers of denotational extension, denotational contraction and connotational shift, as described above. Sometimes, however, the translator must ”settle for less”, acknowledging the fact that [s]he cannot convey all the denotational and/or connotational aspects contained in the source language item. – Perhaps, it may be argued, the sometimes vexatious problems caused by these lexemes in translations relating to international organisations will diminish over time, since in forums such as the European Union or the United
122
Nations one language (obviously English) may conceivably supersede national languages. This statement should, however, be weighed against a comment in the journal The Economist to the effect that ”[p]olitics is surely best conducted in the vernacular” (Economist: 2014). For lexicographers working with bilingual dictionaries the problem posed by languagespecific lexemes is somewhat different. Since by definition, the equivalents in a dictionary are far more context-free than the words in a given text and culture-specific items lack equivalents, properly speaking, it remains for the lexicographer to choose illustrative phrases that cover as large an area as possible of target language representations of these source-language items. In doing so, however, [s]he must not succumb to the temptation of inducing the dictionary user in the misguided belief that the translations offered are exhaustive and the only ones possible. Maybe a conventional symbol could be introduced in dictionary articles featuring such lexemes, to the effect that users be warned that the explanatory phrases with accompanying targetlanguage translations represent only a very limited selection of potential translations.
References Des choses qui vont au-delà de nos sens. Article in Die Warte, weekly annex to the daily journal Luxemburger Wort, n: 16/2438. Luxemburger Wort, May 22 2014. Directive 2014/36/EU of the European Parliament and of the Council of 26 February 2014 on the conditions of entry and stay of third-country nationals for the purpose of employment as seasonal workers. Official Journal of the European Union no L 94, March 28 2014, pp. 375–390. Fellman-Paul, L 2005. Telling the whole truth? A little knowledge is dangerous – too much of it can be fatal. In Proceedings of the XVII World Congress. International Federation of Translators. Tampere: International Federation of Translators, 86–87. IATE (InterActive Terminology for Europe). Available at: https://iate.cdt.europa.eu/iatenew. (Accessed 19 May 2014). Perek, M. 1997. Przepis na tlumaczenie ksiazki kucharskiej. In On the Practice of Legal and Specialised Translation. Papers from the Third International Forum of Legal and Specialised Translation held in Cracow on 7th and 8th September, 1996. Warsaw: The Polish Society of Economic, Legal and Court Translators TEPIS, 169–176. Qvale, P. 2005. Gained in translation. In Proceedings of the XVII World Congress. International Federation of Translators. Tampere: International Federation of Translators, 189–191. Slownik polsko-szwedzki Polsk–svensk ordbok, 2nd ed., 2000. Stockholm: Natur och kultur. Sundström, M-P. 2011. Translations in international organisations: non-native character of target language texts an inevitable result? In Translation Quarterly No. 61 2011. Special Issue I: Papers from the FIT Sixth Asian Translators Forum. Hong Kong: The Hong Kong Translation Society, 68–92. The globish-speaking union. Article signed by Charlemagne in The Economist, May 24, 2014. Trim, J. 2003. Multilingualism and the Interpretation of Languages in Contact. In Tosi, A. (ed.). Crossing Barriers and Bridging Cultures. The Challenges of Multilingual Translation for the European Union. Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 8–20. Tseng, H. 2005. Reverse indexing and customization – future trends in bilingualized dictionaries. In Words in Asian Cultural Contexts. Proceedings of the 4th Asialex Conference, Singapore, 327–332. Wielki Slownik Polsko–Angielski Polish–English Dictionary, 1st ed., 2012, Warszawa/Osford: Wydawnictwo Naukowe PWN SA/Oxford University Press. Yang, C. 2010. Strategies of Transmitting English Cultural Elements into Chinese: Reflection on E–C Literary Translation in China. In FIT Sixth Asian Translators' Forum: Translation and Intercultural Communication: Past, Present and Future. Macao, 147– 148.
123
Sepitori: A Pretoria mixed language that could be used to revive interest in two BSALs in South Africa Thabo Ditsele, Department of Applied Languages, Tshwane University of Technology, South Africa
Abstract In the 10-year period (2001–2011), 6 out of South Africa’s 11 official languages experienced negative growth, and all were Black South African languages (BSALs). The decline may be attributed to negative attitudes held by Black township dwellers toward standard varieties of BSALs. Webb (2010) outlines some of them as beliefs that they are symbols of traditionalism, and are inferior. These attitudes may be changed if the vocabularies of non-standard varieties were to be adopted into standard varieties of BSALs. This suggested is backed up by using the example of South African English, a language which continues to adopt other languages’ vocabularies. In the case of Setswana and Sepedi, which also experienced negative growth, their vocabularies could be beefed up using vocabulary from Sepitori, a high-status lingua franca of Pretoria; this makes linguistic sense because Sepitori is a mixed language born out of the contact between speakers of Setswana and Sepedi. The beefing up of the vocabularies of Setswana and Sepedi will not only make them contemporary, it has the potential to change attitudes toward them, leading to a revival of interest in them. A revived interest in them may see them being used as languages of high-function formal contexts. Keywords: Black South African languages, koiné language, language attitudes, language contact, mixed language, non-standard varieties, lingua franca
1. Background South Africa is a multilingual country with 11 official languages (Constitution of South Africa 1996). According to Census 2011 (the last conducted), they are ranked as follows in descending order of demographic numbers nationally: IsiZulu (22.7%); IsiXhosa (16.0%); Afrikaans (13.5%); English (9.6%); Sepedi1 or Northern Sotho (9.1%); Setswana (8.0%); Sesotho or Southern Sotho (7.6%); Xitsonga (4.5%); SiSwati (2.5%); Tshivenda (2.4%); and IsiNdebele (2.1%). Speakers of other languages account for 2%, including those who communicate through South African Sign language (0.5%). Except for Afrikaans and English, which are West Germanic languages, the other 9 official languages2 are Black South African languages3 (BSALs). During the apartheid4 years (before 1994), Black5 people lived in urban areas known as townships, which were located just outside towns and cities resided by White people. Township dwellers came from different rural areas across the country and spoke different languages. Over time, Black Urban Vernaculars (or BUVs), as coined by Calteaux (1996: 51), emerged from such multilingual urban environments. Calteaux (1996: 53) established that BUVs are no longer limited to informal domains, but are used in formal ones such as schools, the workplace and the media. Inevitably, they have and will continue to influence standard varieties of BSALs. 2. Current state of languages in South Africa The population of South Africa increased from 44.8 million in 2001 (Census 2001) to 51.7 million in 2011 (Census 2011). However, in that 10-year period, the L1 speaker population of the country’s 6 official languages (and all BSALs) experienced negative growth (ranked in descending order of higher margin losses): isiXhosa (–1.6%); isiZulu (–1.1%); Sepedi (–0.3%); Sesotho (–0.3%); Setswana (–0.2%); and siSwati (–0.2%). The other 5 languages experienced positive growth in the same period (ranked in descending order of higher margin gains): English (+1.4%); isiNdebele (+0.5%); Afrikaans (+0.2%); Tshivenda (+0.1%); and Xitsonga (+0.1%).
124
An increase in population size and a decline in a majority of languages (6 out of 11) suggest that some children born of L1 speakers of BSALs do not speak their parents’ languages. Put differently, parents who speak BSALs as L1s do not communicate with their children in BSALs. The growth of English (highest margin gain) suggests that such parents communicate with their children in English. This begs the questions: 1. Why is language shift taking place in South Africa? 2. What could be done to address this shift? Webb (2010: 161-162) submits that to Blacks – who mainly speak BSALs as L1s – standard varieties of BSALs among others: (a) have generally become symbols of traditionalism and, as such, do not have the required legitimacy, are not regarded as socially representative and are rejected (particularly by the urban youth); (b) are communicatively and symbolically regarded as non-adequate and inferior; (c) are not used as languages of high-function formal contexts (e.g. education, higher level employment); (d) have no role in the construction of communities or their expression of solidarity, unity or distinctive ‘national’ identities; and (e) have no economic or socio-political value or power. Although Bantu6 languages, in language planning terms, have undergone some corpus development, there has not been effective status, prestige, acquisition and usage planning, and they have not become fully-fledged standard languages. The picture painted by Webb (2010) may be an explanation for why BSALs have declined or there has been a shift away from them, relative to population growth. This paper proposes that non-standard varieties, which are actively and mainly used by Black township dwellers, could and should be used to revive interest in BSALs; such interest may reverse the trend of rejecting standard varieties of BSALs and start to see all of them grow. The proposed revival of interest in BSALs will be done using the example of Sepitori 7, a non-standard variety spoken by Black township dwellers in the City of Tshwane Metropolitan Municipality (CTMM) and its neighboring regions; CTMM includes Pretoria – the capital city of South Africa. CTMM is a multilingual city and does not have a single dominant language; it has adopted a language policy in which Setswana and Sepedi are among its official languages; the other six are: Afrikaans; English; isiZulu; Xitsonga; Tshivenda; and isiNdebele (Language Policy of the City of Tshwane, 2012: 5-6). 3. Previous research work on Sepitori Schuring (1985) was the first researcher to conduct extensive research on Sepitori. Since then, Malimabe (1990), Nkosi (2008), Webb (2010) and Ditsele & Mann (2014) have conducted research on this variety, albeit not comprehensively. These researchers, however, have made a significant contribution in understanding Sepitori better. This non-standard variety is under-researched, relative to others such as Tsotsitaal8, thus it is reasonable to submit that there is a need conduct a comprehensive study on it, particularly as the last comprehensive research on it was done in 1985 – nearly 30 years ago. According to Schuring (1985), Sepitori is a ‘koiné’ and also a lingua franca for the Black township dwellers of CTMM, while Ditsele & Mann (2014) argue that given the definition by Matras & Bakker (2003: 1) that a ‘mixed language’ is a variety that emerged in situations of community bilingualism, Sepitori is a ‘mixed language’ whose ancestral languages are Setswana and Sepedi. “Sotho languages have S-V-O basic word order” (Pretorius et al. 2012: 203), a basic word order (or syntax) that Ditsele & Mann (2014) show that it applies to Sepitori. Furthermore, they conclude that Setswana is this mixed language’s substrate and Sepedi is its main and initial superstrate. In other words, Sepitori is lexified by Setswana. With regard to the vocabulary of Sepitori, Malimabe (1990: 10) notes that a large number of grammatical and lexical subsystems from Sepedi, and a few from Sesotho have been added to a dialect of Setswana called Sekgatla9, as well as adoptives from Afrikaans and English. According to Webb et al. (2010: 281), elements of Nguni languages are present in Sepitori. Like other daughter languages and/or varieties of languages, Sepitori drew most of its
125
vocabulary from Setswana and Sepedi, in the same way that Afrikaans drew its vocabulary mainly from its ancestral language, Dutch. 4. Gaps in Setswana and Sepedi Ditsele (2013) uses the sentence below to illustrate that Sepitori speakers have coined nouns that either do not exist in Setswana and Sepedi and/or have long descriptive equivalents. (1) English: Lorato went to buy milk, polony and bunny chow at a spaza shop. Sepitori: Lorato o ile ho reka meleke, mafali le spatlo ko spaza. Setswana: Lorato o ile go reka mašwi, palone le ? kwa ? Sepedi: Lorato o ile go reka maswi, palone le ? kwa ? Traditionally in instances where Setswana and Sepedi lack terminology and have to offer equivalents, long descriptive equivalents are provided, instead of single- or less-worded ones. As the Sepitori sentence above shows, its speakers have adopted a different route – they coined single-worded equivalents as follow: ‘bunny chow’ (‘spatlo’) and ‘spaza shop’ (‘spaza’). 5. Possible solution to the gaps in Setswana and Sepedi South African English is perhaps a good example to illustrate the point about adopting vocabulary from other languages (see Table 1) (South African Concise Oxford Dictionary 2007). Table 1: South African English vocabulary Vocabulary (nouns) Equivalent/Meaning apartheid the system of segregating or discrimination on grounds of race (1948-1991) gatvol extremely fed up or disguised ubuntu spirit of fellowship, humanity and compassion imbizo gathering lekgotla strategic planning meeting lapa walled, often roofed enclosure used as an outdoor entertainment area dagga cannabis askari law enforcer
Original language(s) Afrikaans Afrikaans Nguni languages Nguni languages Sotho languages Sotho languages Khoi and San languages Arabic
Some nouns have been given new meanings, for example, an ‘askari’ is a liberation movement ‘law enforcer’ (e.g. soldier) who changed loyalties and joined the apartheid-era police forces. All the nouns from the different languages are now standard South African English, and others are even standard in other varieties of English (e.g. ‘apartheid’). This way, the vocabulary of South African English is enriched; it is also contemporary as it is adopted from popular words that South Africans use in their daily lives. If this strategy and attitude can work for South African English, it is difficult to comprehend how it would not work for Setswana and Sepedi, particularly when the vocabularies they would have to adopt have been coined by speakers of their daughter variety – Sepitori. This paper proposed that Setswana and Sepedi should follow the example of South Africa English; they should adopt Sepitori-coined terminology which is readily available to them and used daily by Black township dwellers of CTMM and neighboring regions (e.g. Madibeng Local Municipality in the North West province). In other words, Sepitori-coined nouns such as ‘spatlo’ (bunny chow) and ‘spaza’ (spaza shop) should be adopted into the standard varieties of Setswana and Sepedi. Also, the spelling of the new nouns would be altered so as to confirm to the orthographies of the two languages – ‘spatlo’ would be spelt ‘sephatlo’ and ‘spaza’ would be spelt ‘sephasa’. Black township dwellers are more likely to change their attitudes toward standard varieties of BSALs when everyday vocabularies have been incorporated into standard varieties.
126
They are likely to cease associating BSALs with being symbols of traditionalism or as languages spoken by people who reside at rural areas, and by default, backward or unsophisticated. Were Black township dwellers to change their attitudes to standard varieties of BSALs, interest in them would be revived, and more parents who speak BSALs as L1s may begin to have the confidence and courage to communicate with their children in them, effectively growing them and reversing the current trends where 6 of them declined in a 10-year period (2001–2011). The growth and use of BSALs may then facilitate a demand for their use as languages of high-function formal contexts (e.g. education, higher level employment). 6. Conclusion South African English continuously demonstrates that having the courage to adopt other languages’ vocabularies not only grows the language, it also keeps it contemporary. The argument presented in this paper is that BSALs should follow the example of South African English. More specifically, the paper advocates for Setswana and Sepedi to take advantage of the existence of Sepitori – a high-status lingua franca of CTMM and neighboring regions – and beef up their vocabularies. Such a courageous approach has the potential to revive interest in Setswana and Sepedi as Black township dwellers would change their current beliefs that standard varieties of Setswana and Sepedi are inferior and symbols of traditionalism. The current shift away from Setswana and Sepedi may be reversed in the next 10-year period (2011– 2021) and the many decades post it. Notes: 1. The Constitution of South Africa (Act No. 108 of 1996) refers to ‘Sepedi’, which is a dialect, as one of the official languages of South Africa, as opposed to the more accurate reference ‘Northern Sotho’. The latter reference is more appropriate because it includes several dialects, including the former. However, the City of Tshwane Metropolitan Municipality prefers ‘Sepedi’ and it was used in this paper. 2. There are two groups of mutually-intelligible languages: Sotho languages (viz. Sepedi, Setswana, and Sesotho), and Nguni languages (viz. isiZulu, isiXhosa, siSwati, and isiNdebele). 3. In most literature in South Africa, the term ‘African languages’ (e.g. Coetzee-Van Rooy 2014) is used to refer to the ‘Southern Bantu languages’ spoken in the country; some researchers (e.g. Mutasa 1999) prefer to use the term ‘Bantu languages’ while others (e.g. Dyers 1999) prefer to use ‘Black South African languages’, which is also the preferred term used in this paper. 4. It is an Afrikaans word which means ‘keeping apart or separate’ (Beukes 2004: 25). 5. In South Africa, ‘Blacks’ or ‘Black people’ generically refer to ‘Black Africans’, ‘Asians’ and ‘Coloreds or people of mixed races’. For the purposes of this paper, ‘Black’ only refers to ‘Black Africans’. 6. A linguistic reference to Black Africans who live mainly in East, Central, and Southern Africa, and speak languages that are classified as ‘Bantu languages’. However, in apartheid South Africa, ‘Bantu’ was a derogatory reference to a Black African. 7. It is a colloquial reference. Sociolinguists call it ‘Pretoria Sotho’, and Schuring (translated in Calteaux 1996: 51) describes it as ‘the colloquial Sotho of the Black residential areas of Pretoria’. Also, see Malimabe (1990: 10). 8. It is a non-standard variety widely spoken mainly by Black South Africans particularly in townships. Makhudu (in Bembe and Beukes 2007: 465) states that it originated because of language contact within a multilingual setting in 19th century South Africa. For further reading, see Calteaux (1996: 56). 9. Bakgatla (speakers of the Sekgatla dialect) are one of the tribes of Setswana L1-speaking people of South Africa and Botswana. For further reading, see Schuring (1985: 57-62).
127
References Bembe, M. P. and Beukes, A-M. 2007. The use of slang by black youth in Gauteng. Southern African Linguistics and Applied Language Studies, 25(4): 463-472. Calteaux, K. 1996. Standard and Non-standard African Language Varieties in the Urban Areas of South Africa: Main Report for the Stanon Research Programme. Pretoria: Human Sciences Research Council. Census 2001. Available at: http://www.statssa.gov.za/census01/html/ [accessed 26 May 2014]. Census 2011. Available at: http://www.statssa.gov.za/Publications/P03014/P030142011.pdf [accessed 26 May 2014]. Coetzee-Van Rooy, S. 2014. Explaining the ordinary magic of stable African multilingualism in the Vaal Triangle region in South Africa. Journal of Multilingual and Multicultural Development, 35(2): 121-138. Ditsele, T. 2012. Language contact in urban settings in Africa: The case of Sepitori in Tshwane. (Paper read at the 42nd Colloquium on African Languages and Linguistics Conference (CALL 2012), 27-29 August, Leiden University, the Netherlands). Unpublished. Ditsele, T. 2013. Sepitori: A non-standard variety that could do more than enrich the vocabularies of Setswana and Sepedi. (Paper read at the 1st International Conference on African Urban and Youth Language, 5-6 July, University of Cape Town, South Africa). Unpublished. Ditsele, T. and Mann, C. C. (forthcoming, 2014). Language contact in African urban settings: The case of Sepitori in Tshwane. South African Journal of African Languages, 34. Dyers, C. 1999. Xhosa students’ attitudes towards Black South African languages at the University of the Western Cape. South African Journal of African languages, 19(2): 7382. Language Policy of the City of Tshwane. 2012 (as amended). Available at: http://www.tshwane.gov.za/Services/Language%20Services/Pages/default.aspx [accessed 26 May 2014]. Malimabe, R. M. 1990. The influence of non-standard varieties on the standard Setswana of high school pupils. Master’s dissertation, Johannesburg, Rand Afrikaans University. Matras, Y. and Bakker, P. 2003. The study of mixed languages. In Matras, Y. and Bakker, P. (eds.). The Mixed Language Debate: Theoretical and Empirical Advances, 1-20. Berlin: Walter de Gruyter, 1-20. Mutasa, D. 1999. Language Policy and Language Practice in South Africa: An Uneasy Marriage. Language Matters: Studies in the Languages of Africa, 30(1): 83-98. Nkosi, D. M. 2008. Language variation and change in a Soshanguve high school. Master’s dissertation, Pretoria, University of South Africa. Pretorius, R., Berg, A. and Pretorius, L. 2012. Multiple object agreement morphemes in Setswana: A computational approach. Southern African Linguistics and Applied Language Studies, 30(2): 203-218. Schuring, G. K. 1985. Die omgangs-Sotho van die swart woongebiede van Pretoria. Doctoral thesis, Pretoria, University of South Africa. South Africa. 1996. The Constitution of the Republic of South Africa as adopted by the Constitutional Assembly on 8 May 1996 and as amended on 11 October 1996. Pretoria: Government Printer. Available at: http://www.gov.za/documents/constitution/1996/ a108-96.pdf [accessed 26 May 2014]. South African Concise Oxford Dictionary. 2007. Cape Town: Oxford University Press. Webb, V. 2010. The politics of standardising Bantu languages in South Africa. Language Matters: Studies in the Languages of Africa, 41(2), 157-174. Webb, V., Lafon, M. and Pare, P. 2010. Bantu languages in education in South Africa: An overview. Ongekho akekho! – the absentee owner. The Language Learning Journal, 38(3): 273-292.
128
Kajian Stilistika dalam Puisi Balada Karya Turiyo Ragilputra Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek-aspek stilistika yang terdapat dalam puisi-puisi balada karya Turiyo Ragilputro. Aspek stilistika yang dikaji dalam makalah ini antara lain aspek diksi, aspek gaya bahasa, dan aspek citraan/imaji. Ada 3 judul puisi balada yang dikaji dalam makalah ini antara lain "Baladha Van de Mitz Gandrung-gandrung Kapirangu marang Si Dhenok Tulkiyem"(BVdMGKmDT) "Baladha Poniran Beru Thekle" (BPBT) dan "Baladha Anak Lanang " (BAL). Puisi-puisi balada karya Turiyo Ragilputro menunjukkan variasi dalam penggunaan diksi, gaya bahasa, dan citraan. Puisi balada karya Turiyo Ragilputra mengandung diksi konotatif yang sangat menonjol dibandingkan diksi denotatifnya. Diksi konotatif terdapat pada puisi BVdMGKmDT dan BAL (28 data). Diksi denotatif terdapat pada puisi BPBT (18 data). Gaya bahasa terbanyak pada puisi ini adalah gaya bahasa metafora (18 data), disusul gaya bahasa hiperbola (12 data). Imaji yang menonjol puisi ini adalah imaji pendengaran (16 data) dan imaji penglihatan (10 data) . Kata kunci : Balada karya Turiyo Ragilputra, diksi, gaya bahasa, imaji, stilistika
1. Pendahuluan Turiyo Ragilputra merupakan salahsatu dari sedikit jumlah penyair sastra Jawa modern. Ia banyak menulis karya sastra berbentuk geguritan. Geguritan memiliki pengertian puisi baru yang tidak lagi terikat aturan guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra (Herman Waluyo, 2011:10). Artinya, bahwa geguritan merupakan puisi baru yang tidak terikat rima pada akhir baris (guru lagu), tidak terikat jumlah suku kata tiap baris (guru wilangan), dan tidak terikat jumlah baris dalam setiap bait (guru gatra). Karya Turiyo Ragilputra tersebar di berbagai media massa, seperti Bahari, Krida Wiyata, Krida, Panjebar Semangat, Jaya baya, Djaka Lodang, Mekar Sari, Jawa Anyar, Pustaka Candra, dan sebagainya. Puisi-puisinya yang tersebar luas di berbagai media massa itu kemudian dibukukan dalam sebuah buku kumpulan puisi karya Turiyo berjudul Bledheg: Segara Kidul (Antologi Geguritan 1987-2007). Selain itu, karya Turiyo juga diterbitkan dalam bentuk antologi puisi bersama penyair-penyair sastra Jawa lainnya. Karya Turiyo Ragilputra yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah 3 karya puisinya berjudul "Baladha van de Mitz Gandrung-Gandrung Kapirangu marang Dhenok Tulkiyem" (BVdMGKmDT), puisi berjudul " Baladha Poniran Beru Thekle" (BPBT), puisi "Baladha Anak Lanang (BAL)". Puisi yang dipilih adalah puisi berbentuk balada. Puisi balada adalah puisi yang berisi cerita dengan pelaku, perwatakan, setting, dan rangkaian peristiwa sehingga menjalin cerita (Waluyo, 2000:15). Sering dalam balada terdapat kisah tragis, yaitu meninggalnya sang tokoh. Puisi-puisi karya Turiyo Ragilputra ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan stilistika, yaitu pendekatan yang menekankan pada hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan makna karya sastra (Nurgiyantoro, 2005:279). Yeibo (2012:180) menyatakan bahwa stilistika adalah cabang lingustik umum yang berfokus pada gaya yaitu cara tertentu seorang penulis menyampaikan ekspresinya, khususnya dalam karya sastra. Nyoman Kutha Ratna (2013: 3) mengemukakan bahwa stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) adalah cara-cara khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan tersebut dapat tercapai secara maksimal. Stilistika adalah
129
ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra (Abrams, 1981: 192). Bahasa menjadi unsur penting terciptanya karya sastra. Stilistika merupakan perpaduan antara kajian bahasa dan kajian sastra di mana bahasa menjadi sarana terwujudnya karya sastra. Ciri khas bahasa yang digunakan secara pribadi oleh pengarang menunjukkan adanya gaya kepenulisan seorang pengarang tertentu yang berbeda dengan pengarang lain. Ada keunikan tersendiri dalam penggunaan bahasa yang merupakan khas pribadi seorang pengarang. Analisis stilistika yang digunakan dalam makalah ini meliputi analisis puisi balada karya Turiyo yang menekankan pada kajian tentang diksi, pencitraan, dan gaya bahasa. Puisi BVdMGKmDT terdiri dari 7 bait dengan jumlah baris yang bervariasi. Ada bait yang terdiri dari 3 baris, 4 baris, 6 baris, 7 baris, dan 12 baris. Rima pada setiap baris perbaitnya tidak sama, jumlah suku kata perbarisnya juga bervariasi. Tokoh utama dalam puisi ini adalah seorang laki-laki Belanda bernama Van de Mitz dan seorang perempuan pribumi yang cantik bernama Tulkiyem. Jalinan tragis terbunuhnya Van de Mitz oleh Tulkiyem dijalin dalam puisi ini. Puisi BPBT terdiri dari 14 bait dengan jumlah baris perbaitnya yang bervariasi. Rima pada setiap baris perbaitnya tidak sama, jumlah suku kata berbarisnya juga bervariasi. Tokoh utama balada ini adalah laki-laki bernama Poniran, seorang pembantu, yang mencoba mencintai putri Prabu Wongwong Ngangsa., majikannya, yang disebutnya sebagai Den Rara. Puisi BAL terdiri dari 10 bait dengan jumlah baris perbaitnya bervariasi antara 3-10 baris, jumlah suku kata perbarisnya bervariasi pula antara 7-15 suku kata, rima perbarisnya juga tidak sama seperti halnya ciri puisi balada pada umumnya. Balada ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan stilistika guna mendapatkan ciri khas kepenulisan pribadi seorang pengarang dalam hal ini ciri khas kepenulisan Turiyo Ragilputra. Bahasa merupakan media efektif dan sarana dalam penciptaan karya sastra. Melalui penelitian stilistika, maka unsur kebahasaan yang digunakan pengarang dalam menciptakan karya sastra akan dapat diketahui sebagai sarana menemukan energi proses kreatif pengarang secara individual.Dalam kajian stilistika penting kiranya prinsip licentia poetica, yaitu kebebasan pengarang untuk tidak mentaati aturan-aturan tatabahasa. Oleh karena itu, meski stilistika mengkaji mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra, tetapi dalam hal ini karya sastra tersebut bebas untuk menyimpang dari kaidah tatabahasa karena hakikatnya karya sastra itu bersifat denotatif, ekspresif, dan poliinterpretable. 2. Pembahasan 1) Kata Konotatif Pilihan kata yang digunakan Turiyo Ragilputro dalam BVdMGKmDT menggunakan banyak kosa kata yang bermakna konotatif. Hampir setiap baris dalam puisinya menggunakan kata bermakna konotatif. Berikut contohnya: (1) Biyuh-biyuh, wong edan pancen ora empan papan Kosa kata wong edan di sini tidak bermakna orang gila seperti halnya makna harafiahnya, tetapi orang yang menjadi seperti orang gila akibat cinta. Rasa cinta ini mengalahkan segalanya dan terkadang tidak mempedulikan di mana dan bagaimana cinta itu dilabuhkan (ora empan papan). (2) kangenku banget cekot-cekot lho Yem (3) Mula ayo kita enggal mapan anggrem (Ragilputra, 2007:1) Kosa kata cekot-cekot bermakna bahwa rasa rindu karena cinta itu menyebabkan seseorang kepalanya menjadi berdenyut-denyut. Berdenyut-denyut bukan karena sakit kepala dalam arti harafiah, tetapi karena dimabuk cinta. Akibat rasa rindu dan cinta yang tidak tertahankan, maka Van de Mitz meminta Tulkiyem untuk menjadi istrinya (mapan anggrem, seperti halnya ayam betina yang setelah dibuahi pejantan akan bertelur dan mengerami telur sebagai buah cinta). Selain pilihan kata tersebut, Turiyo menggunakan pilihan kata bermakna konotatif yang kocak untuk menunjukkan sosok tokoh dalam balada. Meskipun balada sebetulnya berkisah mengenai kesedihan, namun pilihan kata yang digunakan penyair menyebabkan puisi tidak menampakkan kesedihan justru terasa lucu. Berikut pilihan kata tersebut. Van de Mitz, van de Mitz, jabang bayi amit-amit
130
Elusen wetengmu dumuken bathukmu Weteng njembluk senenganmu mesti ngglembuk Bathuk meling nuduhake yen sampeyan maling (Ragilputra, 2007:1) (terjemahan: Van de Mitz, Van de Mitz, jabang bayi amit-amit// eluslah perutmu peganglah dahimu//perut besar kesukaanmu pasti merayu//dahi berkilau menandakan kalau kamu pencuri). Pilihan kata jabang bayi amit-amit sering digunakan masyarakat Jawa untuk menunjukkan sesuatu yang tabu. Sementara pilihan kata jembluk dan ngglembuk, meling dan maling menunjukkan pilihan kata yang beraliterasi, memiliki efek keindahan bagi puisi, dan menimbulkan asosiasi tertentu. Meskipun antara kata weteng njembluk dan mesthi ngglembuk atau bathuk meling dan sampeyan maling tidak memiliki arti yang sepadan. Diksi yang menunjukkan bagaimana berahi seorang Van de Mitz kepada Tulkiyem ditunjukkan melalui pilihan kata berikut Tangane Van de Mitz kumlawe. Ngranggeh woh-wohan Sing gumandhul ing njero blongsongan Kabeh rasa disuntak aneng mbun-mbunan (Ragilputra, 2007:3) (terjemahan: tangan Van de Mitz bergerak. Ia meraih buah-buahan yang tergantung di dalam tempat memeram buah (agar matang). Semua rasa disalurkan sampai ke ubun-ubun). Pilihan kata yang halus, indah, dan terkesan tidak porno (vulgar) ditampilkan Turiyo melalui gaya bahasa eufemisme untuk melukiskan payudara Tulkiyem. Woh-wohan sing gumandhul ing njero blongsongan (Ragilputra, 2007:3). Kata konotatif pada puisi kedua, ditunjukkan melalui pilihan kata berikut. (4) dhangkahe amba bawera bandhane tinumpuk ngebaki ambane donya (5) Pangwasaku saka gisiking segara tumekeng pucuk gunung (6) Ngidak-ngidak sirahe kawula papa (7) :iga dianggep gambang (8) Gulu dianggep juwadah (9) Dumeh mulya keladuk gumampang Kata-kata dhangkahe amba bawera bandhane tinumpuk ngebaki ambane donya merupakan pilihan kata yang dibuat penyair untuk menunjukkan bahwa Prabu Wongwong Ngangsa bukanlah penguasa sembarangan. Selain memiliki kekuasaan yang besar, ia juga merupakan raja yang kaya raya. Kata-kata gisiking segara tumekeng pucuk gunung memiliki makna bahwa kekuasaan Prabu Wongwong Ngangsa mulai dari samudera sampai puncak gunung. Kekuasaannya yang besar disertai dengan sikap semena-mena kepada rakyat. Itu ditunjukkan melalui pilihan kata ngidak-idak sirahe kawula. Seakan-akan kekuasaannya semena-mena menginjak kepala kaum miskin atau rakyat jelata di negerinya . Ia menganggap kemanusiaan rakyat tidak penting lagi. Ini ditunjukkan melalui pilihan kata (7), (8), (9). Kata konotatif pada puisi ketiga ditunjukkan melalui pilihan kata berikut (10) Iki critane si anak lanang Sing duwe gegayuhan ngregem kerlipe konang (11) Bapa! Bapa! Aja tegakna anakmu mlaku Jer nyatane lagi ajar nyekel garu lan luku Durung pana endi kerlipe lintang (Ragilputra, 2007: 54) Pilihan kata untuk menunjukkan adanya perjuangan seorang anak dalam meraih cita-cita ditunjukkan melalui kata-kata ngregem kerlipe konang (menggenggam cahaya kunang-kunang), ajar nyekel garu lan luku (belajar menggunakan alat pertanian berupa garu dan luku untuk membajak sawah/bekerja), durung pana endi kerlipe lintang (belum tahu dengan jelas yang mana kerdip bintang). Pilihan kata bermakna konotatif tersebut dipilih secara cermat oleh penyair dengan tetap menggunakan kaidah aliterasi asonansi sehingga puisi tersebut memiliki efek asosiasi dan keindahan bagi pembaca. 2) Kata Denotatif Kata denotatif adalah kata yang memiliki makna harafiah atau sesuai maknanya di dalam kamus. Kata denotatif pada puisi BVdMGKmDT tidak terlalu banyak dibandingkan pada
131
puisi BPBT. Puisi BVdMGKmDT lebih banyak menggunakan kata bermakna konotatif. Berikut kata denotatif yang terdapat dalam puisi BVdMGKmDT: (10) wis telung dina iki Van de Mitz klabakan (11) Kedanan marang prawan ayu lor dalan (12) Si Tulkiyem anake bakul janganan (Ragilputra, 2007:1) Ketiga baris puisi tersebut menunjukkan pemanfaatan kata-kata bermakna denotatif untuk menunjukkan sosok Van de Mitz, seorang Belanda, yang jatuh cinta kepada Tulkiyem, seorang gadis anak penjual sayuran. Pilihan kata tersebut diungkap dengan makna harafiah yang jelas. Pilihan kata yang digunakan Turiyo dalam BPBT terkait tokoh Poniran Beru Thekle dan rajanya yang bernama Prabu Wongwong Ngangsa. Puisi ini lebih banyak menggunakan kata-kata bermakna denotatif untuk mengungkapkan makna pilunya hidup seorang abdi bernama Poniran. Pilihan kata yang menunjukkan siapa Poniran dan siapa Prabu Wongwong ditunjukkan melalui pilihan kata berikut. Iki crita dumadi saka jumlegure alun segara Duk Prabu Wongwong Ngangsa dadi raja ing Negara Ngayawara Sumbare,"Jung,Jung iki raja adiluhung Sapa wani karo aku Ora wurung bakal kesiku!" (Ragilputra, 2007:6-7) (terjemahan: ini cerita mengenai Prabu Wongwong Ngangsa raja di Negara Ngayawara..Ia sesumbar, Inilah raja adiluhung. Siapa berani kepadaku pasti akan kuwalat). Poniran Beru Thekle iku batur ina praja Ngayawara Sajeg jumbleg dadi gedibale Prabu Wongwong Ngangsa Nanging sapa ngira yen dheweke iku potret pilihan Jago wiring kuning sabetane luwih pethingan Poniran Beru Thekle iki Jiwane sumarah atine tansah suci Nadyan dheweke mung drajat gedibal Dheweke ngerti yen ngrokoti bandha nagri Tumindak angkara apadene amoral (Ragilputra, 2007:7) (terjemahan: Poniran Beru Thekle adalah seorang abdi hina Kerajaan Ngayawara//ia menjadi pembantu Prabu Wongwong Ngangsa//Tetapi siapa menyangka kalau dia menjadi potret pilihan//Jagoan yang sangat sakti//Poniran Beru Thekle hatinya selalu suci//Meskipun derajadnya hanya abdi// Dia tahu bahwa merampas harta negeri adalah perbuatan jahat dan amoral). Berdasar pilihan kata tersebut, Turiyo menggambarkan kepada pembaca dua sosok yang bertolak belakang, yaitu seorang raja yang sombong dan semena-mena dan seorang abdi raja yang memiliki sifat mulia. Melalui 2 sifat yang bertolak belakang ini, Turiyo menjalin baladanya menjadi sebuah kisah yang tragis. Kisah tragis itu adalah kematian Poniran di tangan Prabu Wongwong akibat ia mencintai putri Prabu Wongwong Ngangsa. Berikut pilihan kata tersebut yang diwujudkan dalam bentuk percakapan antara Prabu Wongwong dan Poniran. +Punten dalem sewu, Sinuwun -Ngapa? +Putra Sinuwun -Geneya? +Ngandhet -Haaa???! +kulo mboten lepat -Keparat!!! +Putra Sinuwun tresna dhumateng kula -Kowe iku dapur ala +Nanging Den Rara sampun prajanji -Ora ngadani
132
+Kawula nedya saurip-sapati -Pancen kowe kudu MA...TI!!! (ing pasewakan getih blabar pindha samudra Suprandene Prabu Wongwong Ngangsa datan kuciwa) O, Poniran Beru Thekle Nadyan awakmu bagus lir kembang rinonce Nanging drajatmu ora luwih dhuwur tinimbang kere :sapa sing gelem nggape? (Ragilputra, 2007:8-9). (terjemahan: +Maaf, Tuan//-Apa?//+Putra Tuan//-Kenapa?//+Hamil//-Haaa???!// +Saya tidak bersalah//-Keparat!!!//+Putra Tuan cinta kepada saya//-Kamu itu orang rendah//+Tetapi putri raja sudah berjanji kepada saya//-Tidak percaya//+Saya berjanji sehidup semati//-Memang kamu harus mati. Lalu Poniran pun dibunuh oleh Raja, darahnya mengalir bak samudra. Namun Prabu Wongwong tidak pernah merasa kecewa atas keputusannya. Meskipun Poniran berwajah tampan, tetapi derajatnya tidak lebih tinggi daripada orang miskin. Siapa yang mau memperhatikan?). Puisi balada pertama dan kedua sama-sama berakhir kesedihan, tetapi balada yang pertama pilihan kata yang digunakan pengarang menggunakan banyak kosa kata yang bernada humor, sedangkan puisi kedua kata-katanya lebih melankolik. Hal ini kemungkinan besar karena balada pertama mengandung keberpihakan pengarang kepada orang-orang terjajah (kaum pribumi) dalam menghadapi penjajah Belanda, sehingga pilihan kata yang digunakan untuk melukiskan ketragisan hidup Van de Mitz digunakan kata-kata yang kocak. Balada kedua, puisi menunjukkan keberpihakan pengarang pada Poniran sebagai abdi raja yang disepelekan dan tidak dianggap kemanusiaannya oleh penguasa (Raja). 3) Kata Konkret Kata konkret adalah kata yang merujuk pada objek yang bisa diindra (Al-Ma'ruf, 2009:17). Puisi pertama banyak mengandung kosa kata konkret. Misalnya nama Van de Mitz, Tulkiyem, bocah angon (anak gembala), biyung (ibu), Juwana, Dhiajeng (adinda), prawan ayu (perawan cantik), bakul janganan (penjual sayur). Kata konkret pada puisi kedua misalnya Poniran Beru Thekle, Prabu Wongwong Ngangsa, prajurit, Den Rara. Kata konkret pada puisi ketiga misaslnya anak lanang, bapa, konang, lintang, samudra, dan sebagainya. Penggunaan kata konkret ini memperjelas imaji pembaca mengenai isi puisi 4) Gaya Bahasa Puisi-puisi karya Turiyo Ragilputra banyak memanfaatkan majas metafora. Hal ini tampak dalam kutipan berikut (13) kangenku banget cekot-cekot lho Yem (14) mula ayo kita enggal mapan angrem (15) tenan Yem, cintaku gedhene saendhas mriyem (16) awak weweg eseme apait madu (17) Lan sliramu bisa nyapu leletheking jagad (18)pangwasaku saka gisiking segara tumekeng pucuk gunung Penggunaan gaya bahasa metafora yang menonjol dalam puisi ini menimbulkan asosiasi tertentu terhadap hal-hal yang dilukiskan pengarangnya. Cekot-cekot, mapan angrem, gedhene saendhas mriyem, awake weweg eseme apait madu, nyapu leletheking jagad, gisiking segara tumekeng pucuk gunung menunjukkan asosiasi tertentu pada tokoh-tokoh dalam balada. Selain gaya bahasa metafora, pilihan kata tersebut di atas juga memiliki unsur gaya bahasa hiperbola di mana rindu Van de Mitz, keinginannya menikah dengan Tulkiyem, postur tubuh Tulkiyem yang seksi dan wajahnya yang cantik, sosok Poniran yang dianggap bisa memberantas kejahatan dunia, kekuasaan Raja Wongwong Ngangsa yang tersebar mulai dari samudera sampai puncak gunung menggunakan kata-kata yang hiperbolik/ berlebih-lebihan. Turiyo juga memanfaatkan 2 bentuk gaya bahasa simile untuk menambah efek keindahan baris-baris puisinya. Hal itu tampak melalui kutipan berikut
133
(19) tingkah laku kaya iblis keranjingan (20) Lhadalah, kementhuse rek. Kaya arep urip salawase. Dadiya raja Puisi-puisi Turiyo juga memanfaatkan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte untuk mempertegas maksud yang disampaikan. Hal ini tampak jelas pada kutipan berikut. (21) Van de Mitz iku manungsa manca Dhangkahe adoh papane sabrang segara Dheweke teka minangka gedibal wong sanegara Walanda durjana! Ing nuswantara pethentengan (Ragilputra, 2007:1) Melalui gaya bahasa tersebut Turiyo menggunakan pilihan kata nama Van de Mitz untuk melukiskan penjajah Belanda secara keseluruhan. Gaya bahasa ironi banyak dimanfaatkan pengarang untuk melukiskan bagaimana kebudayaan Jawa itu perlahan-lahan hilang akibat gempuran modernisasi. Pengarang melukiskan melalui tokoh anak lanang mengenai keinginan mengembangkan kebudayaan Jawa, sehingga digemari masyarakatnya, bukan hanya digemari masyarakat mancanegara. Perjuangan menggapai cita-cita tersebut memang tidak mudah dan tokoh anak lanang berusaha mewujudkannya. (22) Jejering panggurit tama iku Santosa lir kridhane turangga Pindha arga umpamane Jroning ngrungkepi wahyu Winahya mring dhiri pribadi Tetapa lara lapa Sumpah trus winengku Datan melik bandha donya Ngugemi jejering gunawan utami Labuh mring kabudayan (Ragilputra, 2007: 55). 5) Imaji Penyair banyak menggunakan imaji penglihatan dalam ketiga balada yang ditulisnya. Penggunaan imaji penglihatan ini lebih mempertegas makna yang ingin disampaikan, sehingga pembaca mampu membuat citraan dalam pemahaman puisinya tersebut (23) Bapa! Bapa! Anakmu lumaku Lagi bisa kudhungan tumbu Lagi bisa sruwalan kacu Aja tegakna aja jorogna Anakmu sing klebu kedhunge samodra (Ragilputra, 2007:54-55) (24) Tulkiyem pancen ayu Sapa mandeng mesthi bakal kapirangu Awak weweg eseme apait madu Ora gumun yen Van de Mitz kaya wong mbilu Awit prawan Holland gembrot-gembrot kakean keju (Ragilputra, 2007:2) Terdapat pula imaji pendengaran karena puisi balada selalu disertai dengan dialog antaratokoh dalam puisi tersebut. Penggunaan imaji pendengaran lebih memperkuat pelukisan tokoh dan penokohan dalam puisi tersebut. (25) "Yem, you ayu!" " Ah, sampeyan nakal" "tumprap kowe aku dudu kolonial" (Ragilputra, 2007:3) (26) +Putra Sinuwun tresna dhumateng kula -Kowe iku dapur ala +Nanging Den Rara sampun prajanji -Ora ngadani +Kawula nedya saurip-sapati -Pancen kowe kudu MA...TI!!! (Ragilputra, 2007:55)
134
3. Simpulan Baladha karya Turiyo Ragilputra menunjukkan adanya ciri khas kepenulisan secara pribadi oleh pengarangnya. Dalam penulisan puisinya, Turiyo sangat memperhatikan penggunaan diksi di diksi yang dia ciptakan selalu memperhatikan kaidah aliterasi dan asonansi, sehingga puisi selain bisa menyampaikan makna juga mengandung unsur keindahan dan asosiasi tertentu. Puisi-puisi baladanya juga bersifat ironik mengisahkan tentang kepedihan hidup manusia akibat penjajahan, dikriminasi status sosial, dan cita-cita mempertahankan budaya Jawa di antara gempuran modernisasi. Puisi balada karya Turiyo Ragilputra mengandung diksi konotatif yang sangat menonjol dibandingkan denotatifnya. Diksi konotatif terdapat pada puisi BVdMGKmDT dan BAL (28 data). Diksi denotatif lebih banyak terdapat pada puisi BPBT (18 data). Gaya bahasa yang menonjol pada puisi Ini adalah gaya bahasa metafora (18 data) dan hiperbola (12 data). Imaji yang menonjol puisi ini adalah imaji pendengaran (16 data) dan imaji penglihatan (10 data) .
Daftar Pustaka Abrams. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart, and Winston Al-Ma'ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika. Surakarta: cakrabooks. Nurgiyantoro. Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada Univ Press Ragilputra, Turiyo. 2007. Bledheg Segara Kidul. Jogjakarta: Gema Grafika. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Stilistika. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Waluyo, Herman J. 2000. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga _______________. 2011. Sastra Jawa. Surakarta: Sebelas Maret Univ Press Yeibo. 2012. "Figurative Language nad Stylistic Function in J.P Clark-Bekederemo's Poetry". Journal of Language Teaching and Research, Vol 3 (1), pp: 180-187.
135
Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha: Perspektif Filsafat Jawa Syarifah Wardah el Firdausy, Universiti Kebangsaan Malaysia
Abstrak Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra klasik Jawa yang ditulis pada abad XI Masehi karya Mpu Kanwa. Kajian ini menggunakan teks Arjuna Wiwaha yang telah ditulis ulang berupa buku cetakan dengan judul Ardjuna Wiwahaoleh Sanusi Pane (1960) dan Arjuna Wiwahaoleh Sunardi D.M (1993). Secara keseluruhan Arjuna Wiwaha berisi mengenai ajaran mencapai kesempurnaan hidup atau ajaran mencapai derajat Insan Kamil. Bahasa simbol dalam Arjuna Wiwaha ini dianalisis menggunakan konsep Filsafat Jawa yang berorientasi pada cara mencapai kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnaan). Ajaran dalam Filsafat Jawa tidaklah dipaparkan secara langsung melalui penuturan sistematis melainkan dijelaskan melalui perlambangan atau simbol-simbol bahasa.Kajian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan studi pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan terdapat lima macam bahasa simbol dalam Arjuna Wiwaha yaitu (1) Prabu Niwatakawaca sebagai simbol sifat kesombongan dalam diri manusia, (2) Konsep kebaikan melawan keburukan dengan simbol Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca, (3) Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai simbol ajaran mati sajroning urip, (4) Wanita Muda sebagai simbol dunia, (5) Tujuh bidadari yang mengganggu tapa brata Arjuna sebagai simbol tujuh nafsu dalam diri manusia, (6) Raksasa Momongmurka sebagai simbol sifat kehewanan dalam diri manusia, (7) Simbol ajaran manunggaling kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha, dan (8) Panah Pasopati milik Arjuna sebagai simbol nafsu hewani yang telah binasa dalam diri manusia. Kata Kunci: Arjuna Wiwaha, Filsafat Jawa, simbol, perlambangan, ajaran mencapai kesempurnaan hidup.
1. Pendahuluan Cerita Arjuna Wiwaha sangat diminati oleh masyarakat Jawa pada masa itu dengan tokoh utama bernama Arjuna.Masyarakat Jawa pada umumnyasangat menyukai cerita-cerita epos atau kepahlawanan yang mengedepankan sifat kesatria, keprajuritan, pantang menyerah, perjuangan, serta liku-liku romantisme. Dalam bahasa Sansekerta, secara harfiah kata Arjuna berarti bersinar terang, putih, bersih. Sedangkan jika dilihat dari maknanya, kata Arjuna berarti jujur di dalam wajah dan pikiran. Cerita Arjuna Wiwaha pada mulanya merupakan karya Mpu Kanwa yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) antara tahun 1028-1035 yang dikenal dengan nama Kakawin Arjuna Wiwaha (Zoetmulder, 1983: 309). Cerita Arjuna Wiwaha bagi orang Jawa dianggap sebagai cerita kepahlawanan, selain itu Arjuna Wiwaha juga dianggap sebagai karya sastra bermutu tinggi yang mengandung nilai etis filosofis serta ajaran mencapai kesempurnaan hidup. Secara keseluruhan, Arjuna Wiwaha bercerita mengenai seorang tokoh bernama Arjuna. Ia adalah seorang manusia sakti yang pada waktu itu sedang menjalankan tapa brata di Gunung Indrakila dengan tujuan mendapatkan Panah Pasopati yang kelak akan dipergunakannya untuk menjaga perdamaian dunia, serta sebagai senjata yang akan dipergunakannya dalam peperangan Barata Yudha. Pada saat itu, di Kayangan Suralaya sedang terjadi kekacauan karena Raja Raksasa Prabu Niwatakawaca mengancam akan menghancurkan Suralaya apabila permintaannya untuk meminang bidadari tercantik di Suralaya yang bernama Dewi Supraba ditolak. Maka Batara Guru mengatakan bahwa manusia yang dapat mengalahkan Prabu Niwatakawaca tersebut hanyalah seorang manusia sakti bernama Arjuna. Maka untuk menguji kesungguhan tapanya, Batara Indra mengutus tujuh bidadari cantik dari Suralaya untuk menguji kesungguhan tapa Arjuna di Gunung Indrakila. Akan tetapi usaha bidadari tersebut sia-sia,
136
Arjuna tidak tergoda sedikit pun daritapanya. Ia tidak terpengaruh dengan rayuan para bidadari. Maka atas kesungguhan tapanya tersebut, Arjuna dinyatakan lolos ujian dan ia dihadiahi Panah Pasopati dari Batara Guru yang kelak ia gunakan dalam peperangan melawan Prabu Niwatakawaca. Pada akhir cerita dikisahkan bahwa Prabu Niwatakawaca mati terbunuh ditangan Arjuna karena terkena Panah Pasopati milik Arjuna yang tepat menancap di ujung lidahnya, sebagaimana kelemahan Prabu Niwatakawaca terdapat pada bagian ujung lidahnya. Atas kemenangannya tersebut, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Suralaya selama tujuh hari (hitungan di dunia) yaitu sama dengan tujuh bulan di Suralaya. Kemudian Batara Indra memberinya gelar Prabu Kariti yang berarti orang yang mendapatkan kemuliaan. Selain itu Arjuna juga dinikahkan dengan ketujuh bidadari tercantik di Suralaya yang sebelumnya pernah menggoda tapanya di Gunung Indrakila. Bidadari tersebut yaitu Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lelengmulat. 2. Batasan Kajian Kajian ini menggunakan objek karya sastra klasik Jawa Arjuna Wiwaha yang telah ditulis ulang berupa buku cetakan berbahasa Indonesia ejaan lama dan bahasa Indonesia ejaan baru oleh penulis (1) Sanusi Pane (1960) dengan judul Ardjuna Wiwaha, dan (2) Sunardi D.M (1993) dengan judul Arjuna Wiwaha. Makna dan pesan melalui simbol pada Arjuna Wiwahatersebut dianalisis menggunakan konsep Filsafat Jawa. 3. Pendekatan Kajian 3.1 Filsafat Jawa Indonesia memiliki filsafat asli, iaitu Filsafat Jawa yang tentunya menjadi bagian dari Filsafat Indonesia karena keberadaan Jawa dalam wilayah Indonesia.Zoetmoelderdalam majalah Jawa GeenEignWijsbergeerte ?(1941: 49) merumuskan bahwaFilsafat Jawa sebagai filsafat asli Indonesia, merupakan sebuah saranauntuk mencapai kesempurnaan hidup.Filsafat Jawa berarti cinta kesempurnaan (the love of perfection) atau berusaha mencari kesempurnaan (ngudi kasampurnaan). Maka jika dirumuskan menggunakan bahasa Jawa, antara Filsafat Yunani dengan FilsafatJawa terdapat perbedaan. Apabila Filsafat Yunani dimaknai dengan mencari kebijaksanaan, bahasa Jawa akan menyebut Filsafat Yunani sebagai ngudi kawicaksanaan. Sedangkan Filsafat Jawa sebagai ngudi kasampurnaan atau mencari kesempurnaan. Ngudi kasampurnaan atau mencari kesempurnaan berarti, manusia mencurahkan seluruh eksistensinya baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu (Ciptoprawiro, 2000: 21). Ciptoprawiro (2000: 21) juga merumuskan bahwa Filsafat Jawa merupakan sebuah sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup. Selanjutnya, manusia Jawa mengenal konsep tri hita wacanayaitu tiga penyebab kebahagiaan atau tiga hubungan harmonis yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan. Tri hita wacana terdiri atas (1) hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, (2) hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan (3) hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta atau lingkungannya(Pasha, 2011: 74-75). 3.2 Bahasa Simbol Perbedaan paling sentral antara manusia dengan hewan adalah manusia dapat berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol.Kebudayaan pada dasarnya terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia.Dengan demikian, simbol mempunyai kaitan erat dengan kebudayaan manusia (Haryanto, 2013: 1). Simbol ada yang bersifat universal , namun ada juga yang bersifat khusus yaitu hanya dapat dimengerti oleh masyarakat di mana simbol tersebut lahir (Haryanto, 2013: 4). Menurut Sanstrom (2001) dalam Haryanto (2013: 1), manusia merupakan makhluk yang unik karena kemampuannya mennggunakan simbol. Oleh karena manusia menggunakan simbol, maka manusia tidak hanya meresponstimulasi atau rangsangan secara langsung dan
137
otomatis. Melainkan juga memberikan makna berdasarkan pengalamannya dan bertindak sesuai dengan makna yang dimilikinya.Hal itulah yang membedakannya dengan perilaku binatang. Cliffort Geertz (1973:17) mengaitkan simbol dengan budaya.Menurutnya budaya merupakan sistem simbol.Senada dengan Geertz, Elliot (2006: 618) menyatakan bahwa simbol merupakan jantung dari sistem budaya dan terkait dengan semua produksi dan reproduksi makna. Makna suatu simbol merupakan persoalan penting dalam kajian mengenai simbol. Makna simbol merupakan pesan atau maksud yang ingin disampaikan atau diungkapkan oleh creator (pencipta) simbol. Sebagai komunikasi ide, simbol merupakan media atau alat bagi sangcreator untuk menyampaikan idea-ide batin agar dapat dipahami atau bahkan menjadi pedoman perilaku bagi orang lain (Haryanto, 2013: 7). Masyarakat Jawa sangat gemar akan kehidupan yang penuh dengan perlambangan atau simbol. Simbol itu mencakup bahasa, agama, dan tradisi.Dalam hal ini Arjuna Wiwahamenyuguhkan simbol-simbol tersebutyang dikemas melalui cerita yang bersifat mendidik dan menghibur.Mendidik karenamengajarkan bagaimana mencapai kesempurnaan hidup, dan menghibur karena disajikan melalui cerita yang menarik di mana didukung dengan alur atau jalan cerita, tokoh serta ketokohan, setting atau tempat dan keseluruhan unsur cerita yang menarik. MenurutSoesilo (2000: 11-12) dalam bukunya yang berjudul Sekilas Tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, Filsafat Jawa dijelaskan berbentuk ungkapan-ungkapan, renungan-renungan falsafi(biasanya terdapat dalam bentuk suluk).Bersifat pendek, berbentuk kiasan, dan perlambangan.Bahwa sebuah konsep dan ide (gagasan) bagi manusia Jawa dapat diekspresikan dalam berbagai macam simbol (Haryanto, 2013: 47).Manusia Jawa menyukai pemahaman melalui simbol-simbol pada hampir semua bidang (Wahyudi, 2014: 162). 4. Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha 4.1 PrabuNiwatakawaca sebagai Simbol Sifat Kesombongan dalam Diri Manusia Secara khusus, Niwatakawaca berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata yaituNiweca dan kawaca.Niwecaberarti rumah kediaman dan kawacabermakna baju zirah atau baju berantai.Jika digabungkan maka Niwatakawacaberarti rumah kediaman yang telah tertutup rapat atau dapat juga diartikan sebagai orang yang tidak berdaya (Sastroamidjojo, 1962: 6-7). Sedangkan secara umum, Niwatakawacaberarti (1) seseorang yang memakai baju zirah yang tidak dapat ditembusapa pun. Pada zaman sekaranghal tersebut dapat juga dimaknai sebagai sosok yang kuat dan tidak mudah dikalahkan; (2) Niwatakawaca juga berarti cermin yang telah buta sehingga telah kehilangan kemampuannya yang sejati.Sebuah cermin yang demikian itu tidak lagi dapat digunakan untuk bercermin atau dapat juga diartikan tidak dapat digunakan lagi sebagai patokan untuk mawas diri; (3) Niwatakawaca juga dapat diartikan sebagai cermin yang tidak berguna dan tidak bermanfaat untuk menunaikan tugasnya utamanya (Sastroamidjojo, 1962: 6-7). PrabuNiwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha merupakan sosok raja raksasa yang sangat sakti.Ia gemar bertapa sewaktu muda dulu dan bergelar RadenNirbita. Batara Guru sangat memperhatikan kesungguhan tapa Raden Nirbita, sehingga beliau berkenan memberikan kesaktian kepadanya yaitu berupa aji gineng soka weda. Kesaktian tersebut membuatnya tidak dapat mati dan kebal terhadap berbagai-bagai macam senjata (oratedhas tapak paluninggurinda). Dengan kesaktiannya tersebut, ia juga berhasil menduduki kerajaan Imantaka. Akan tetapi setelah berhasil mendapatkan kekuatan dan kekuasaan, ia menjadi lupa diri, sombong, dan serakah. Batara Guru telah mengingatkannya agar tidak sombong dan tetap berhati-hati, sebab ia tetap dapat mati di tangan manusia sakti bernama Arjuna. PrabuNiwatakawaca yang sombong tidak menghiraukan peringatan yang telah diberikan oleh Batara Guru. Bahkan ia semakin lupa diri dan ingin meminang bidadari tercantik di Kayangan Suralaya tempat tinggal dewa-dewi. Apabila keinginannya ditolak, maka ia mengancam akan menghancur leburkan Kayangan Suralaya berikut seluruh isinya. Kesombongan PrabuNiwatakawaca dalam Arjuna Wiwaha dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
138
Setelah menjadi raja raksasa, PrabuNiwatakawaca memiliki kerajaan di Manikmantaka atau Imantaka yang terletak di kaki Gunung Semeru. Sang Hyang Pramesti Guru berpesan kepada Niwatakawaca agar berhati-hati dan berwaspada terhadap manusia sakti yang dapat mematikan Aji Gineng Soka Weda miliknya. Manusia sakti yang dimaksudkan yaitu Arjuna. Akan tetapi Niwatakawaca mengabaikan pesan Sang Hyang Pramesti Guru. Ia justru lupa diri dan menjadi tamak, serakah, sombong, dan berani tidak pada tempatnya. Ia bahkan ingin menaklukan Kahendaran atau Suralaya atau Kahyangan, tempat tinggal para Dewa Dewi dan para bidadari. Ia bercita-cita untuk menaklukan Suralaya dan ingin memainkannya sewenang-wenang (Sastroamidjojo, 1962: 6-7).
Sosok PrabuNiwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha ini seolah mewakili sifat kesombongan yang ada pada diri manusia.Sebagaiman kesombongan yang ada pada diri PrabuNiwatakawaca, maka kesombongan diibaratkan sebagai sebuah cermin yang sudah kehilangan fungsinya. Cermin tersebut dapat juga dikatakan sebagai cermin yang telah buta.Cermin yang demikian tersebut tentu saja tidak dapat lagi memantulkan dan mengungkapkan kebenaran yang sejati pula. Filsafat Jawa juga senantiasa mengingatkan manusia agar selalu berpedoman pada ungkapan aja dumeh.Aja dumeh bermakna jangan sok atau jangan semena-mena (Santosa, 2008: 2),yaitu ketika hendak melakukan sebuah tindakan hendaknya tidak gegabah atau ceroboh hanya karena merasa bahwa dirinya bisa melakukan hal tersebut. Sebab pada hakikatnya kesombongan dapat menjerumuskan seseorang kepada kenistaan maupun kedalam jurang penderitaan.Ketercelaan perbuatan sombong juga sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi : 11. Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu, kemudian membentuk (tubuh) mu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlahkamu kepada Adam,” maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia (Iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud. 12. Allah berfirman: “Apakah yang mengahalangimmu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” 13. (Allah) berfirman: “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah !Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.” (QS.
Al-A’raf, [7]: 11-13) 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(QS. Luqman, [31]: 18)
4.2 Konsep Kebaikan Melawan Keburukan dengan Simbol Arjuna Melawan PrabuNiwatakawaca Peperangan antara Arjuna dengan Prabu Niwatakawaca dapat diartikan sebagai lambang perjuangan antara kebaikan melawan keburukan. Sebagaimana hukum alam, maka kebenaran pada akhirnya selalu menang melawan kejahatan. Akhir dari cerita Arjuna Wiwaha diceritakan bahwa sosok Arjuna menang melawan raja raksasa Prabu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Arjuna memang terlihat seperti lemas pingsan. Padahal sebenarnya ia tidak pingsan. Ia sadar sepenuhnya. Ia menunggu waktu yang tepat, yaitu kapan raksasa itu tertawa lebar. Senjata Pasopati yang dikempitnya itu telah disiapkannya. Tiba-tiba raksasa takabur itu tertawa, karena tantangannya tidak mendapat sambutan dari siapapun, “Hahahaa. Kalian semua pengecut, hahahaa.” Kesempatan itu tidak disia-siapkan oleh Arjuna, ujung lidah sang prabu yang selama ini disembunyikannya dengan wasapada kali ini terlihat. Arjuna segera melepaskan panah Pasopati cepat sekali dan tepat mengenai ujung lidah sang prabu dan langsung tembus ke tenggorokan. Prabu Niwatakawaca roboh tewas. Arjuna cepat melepaskan panah api yang membakar habis tubuh sang prabu berikut semua pengikutnya. Tiada lagi yang tertinggal. Semua raksasa terbakar habis(Sunardi, 1993: 121-122).
Arjuna digambarkan seorang ksatria berwatak baik hati. Ia senang mendekatkan diri menghadap sang pencipta dengan jalan tapa brata juga sebagai ksatria yang gemar menolong
139
sesama. Prabu Niwatakawaca digambarkan seorang raja raksasa yang berwatak sombong dan rakus. Kelak kesombongan itulah yang akan mengantarkannya kedalam kebinasaan untuk selama-lamanya. Arjuna merupakan simbol dari kebaikan, sedangkan Prabu Niwatakawaca merupakan simbol dari keburukan. Filsafat Jawa telah mengajarkan perjuangan kebaikan melawan keburukan dengan konsep : 1. Ngunduh wohing pakerti yang berarti memetik buah dari hasil perbuatannya sendiri. Manusia akan memetik apa yang ia tanam (Santosa, 2008: 91). Kebaikan akan memperoleh kebaikan, sebaliknya keburukan akan memperoleh keburukan pula. 2. Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh yang berarti siapa yang bersungguhsungguh akan bertemu, siapa salah akan menyerah (Santosa, 2008: 110). Bahwa setiap kerja keras dan kebaikan akan memperoleh hasil yang sepadan. Sedangkan apabila berbuat salah bagaimanapun juga akan memperoleh hukuman setimpal. 3. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang berarti sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan (Santosa, 2008: 122). Sebaliknya sifat terpuji sangat dianjurkan agar dimiliki oleh setiap manusia Jawa. 4.3 Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai Simbol Ajaran Mati Sajroning Urip
Mati sajroning urip berarti mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Mati disini bukan bermakna kematian yang sebenarnya, melainkan menekan hawa nafsu atau mengendalikan hawa nafsu (keinginan) dalam diri manusia.Mati sajroning uripdicapai dengan cara mengendalikan hawa nafsu, sejatinya akan menyadarkan manusia bahwa dunia dan seisinya ini bukanlah tujuan hidup manusia yang sebenarnya, melainkan hanyalah sebagai sarana manusia dalam mencari tujuan yang sebenarnya yaitu kebahagiaan, keridhoan dan kedekatan bersama dengan Tuhan. Sama halnya ketika seseorang akan pergi ke Jakarta menggunakan kereta api. Maka tujuan orang tersebut adalah kota Jakarta, bukanlah kereta api. Kereta api hanyalah sebuah sarana agar dapat sampai ke tujuannya (Jakarta). Orang tersebut nantinyaakan meninggalkan kereta api saat sudah sampai di kota Jakarta. Adalah sebuah hal yang tidak masuk akal apabila seseorang menjadikan tujuan terhadap apa yang akan ditinggalkannya. Contoh tersebut samaartinya dengan hendaknya seseorang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Sebab, kelak manusia akan meninggalkan dunia dan menuju kepada tujuan yang sebenarnya yaitukeridhoan Ilahi dan kebahagiaan sejati bersama Ilahi. Sama halnya dengan contoh kereta api di atas, maka kedudukan, jabatan, kekayaan, kecerdasan, kesehatan, keelokan rupa hanyalah sebuah sarana di dunia bagi manusia untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya. Kelak semua sarana tersebut akan ditinggalkan saat manusia mengalami kematian. Oleh karena dunia bukanlah tujuan hidup manusia yang sebenarnya, maka saat masih hidup di dunia hendaknya manusia belajar mengendalikan hawa nafsunya terhadap segala kesenangan dunia yang bersifat semu dan sementara. Semakin banyak manusia memiliki keinginan dan bersandar kepada dunia, maka akan semakin sengsara dan tidak bahagia. Oleh karena itu ajaran mati sajroning urip di sini hendak mengingatkan manusia kembali agar dapat mengendalikan hawa nafsunya. Ajaran mati sajroning urip juga sejalan dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abu Bakar, “matikan dirimu sebelum mati.” (Hadist Nabi Muhammadd SAW) Sabda Nabi Muhammad SAW diatas jelas mengajak umat manusia untuk mematikan keinginan sebelum dipaksa untuk mematikannya melalui perantara kematian. Sakit yang dialami seseorang saat sakaratul maut disebabkan karena masih banyaknya keinginan-keinginan mereka terhadap alam duniawi yang belum terpenuhi. Ruh akan mengalami kesulitan saat keluar dari tubuh manusia, manakala jiwa yang penuh keinginan itu masih menahannya. Maka satu-satunya cara bagi malaikat maut adalah menarik paksa ruh tersebut dari badan sehingga jiwa akan mengalami rasa sakit yang luar biasa. Saat sakaratul maut tiba, manusia akan dipaksa berpisah dengan apa yang dicintainya yaitu dunia seisinya bila ia mencintainya dengan berlebihan dan tidak mencoba meninggalkan keinginan-keinginan duniawi tersebut. Maka seyogyanya, saat manusia masih diberi kenikmatan sehat dalam hidup, sebaiknya berlatih untuk meninggalkan
140
keinginan-keinginan duniawi. Sehingga saat mengalami sakaratul maut nanti, ia bisa menghadapi peristiwa tersebut dengan tenang. Filsafat Jawa juga mengajarkan bahwa ajaran mati sajroning urip dapat dilatih dengan memperbanyak latihan tapa brata puja mantra.Tapa brata, puja mantra digunakansebagai sarana untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan. Manusia hendaknya memahami dan mengamalkan apa yang disebut dengan tapa brata, puja mantra yang terdiri dari lima hal yaitu (1) mengurangi makan dan tidur, (2) mengurangi nafsu syahwat, (3) mengurangi perkatan yang tidak berguna dan (4) pandai menyembunyikan dan menghilangkan duka. Dalam Arjuna Wiwaha juga digambarkan bahwa Arjuna merupakan ksatria yang gemar melakukan tapa brata. Bahkan diceritakan pula Arjuna saat itu sedang bertapa di Gunung Indrakila. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Walaupun demikian, Arjuna tetap saja tekun bertapa. Ia selalu hidup berprihatin, selalu mendekatkan diri pada penciptanya (Sunardi, 1993: 16). Arjuna bertapa sangat khusyuk di Gunung Indrakila. Ia bahkan melupakan segala sesuatu yang ada di dunia yang bersifat semu atau fana ini untuk mencapai tujuan dari tapa bratanya tersebut. Ia melakukan tapa brata dengan khusyuk dan menghilangkan nafsunya dari makan, minum, tidur, bahkan nafsu kelaki-lakiannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Sang Bagawan ternyata sedang menutup panca indra. Begitu khusyuk semadi BagawanMintaraga itu sehingga dapat dikatakan ia sedang angraga sukmayaitu tubuhnya saja yang ada, jiwanya seperti sedang tiada. Dalam keadaan demikian itu biasanya seorang pertapa lantas menjadi luput ingbancana atau terhindar dari bahaya apapun (Sunardi, 1993: 31).
4.4 Wanita Muda sebagai Simbol Dunia Pada saat Arjuna sedang melakukan tapa brata di Gunung Indrakila, ia diuji kesungguhan tapanya dengan kehadiran tujuh bidadari berparas cantik. Ketika seseorang sudah berniat untuk mengalahkan hawa nafsunya, maka ia akan diuji dengan dua hal. Ujian pertama yaitu wanita muda yang elok menawan dan kedua adalah emas atau harta kekayaan. Wanita muda adalah simbol dari dunia. Dunia ini bagaikan seorang wanita tua yang menampakkan diri dengan paras muda menawan. (Ali bin Abi Thalib)
Pemilihan tujuh bidadari untuk mengganggu tapa Arjuna bukanlah kebetulan semata. Tujuh bidadari yang sejatinya adalah sosok wanita muda dan berparas cantik menjadi simbol dari dunia yang hendak menggoyahkan tapa Arjuna pada saat ia ingin menghilangkan hawa nafsunya dengan jalan melakukan tapa brata. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Akhirnya dipilihlah tujuh bidadari yang akan pergi mengganggu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakila. Mereka adalah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tunjung biru, dan Dewi Lelengmulat. Semuanya sangat cantik dan menggiurkan. Semuanya mencoba menari menunjukkan keluwesan, tarikan muka dan lirikan mata yang menarik hati pria (Sunardi, 1993: 16).
Menurut Sastroamidjojo (1962: 22), ketujuh bidadari yang dikirim oleh Dewa Indra untuk mengganggu tapa Arjuna di Gunung Indrakila memiliki arti masing-masing yaitu (1) Supraba berarti malaikat yang berkuasa atas segala pancaran yang baik yaitu yang bersifat luhur; (2) Wilutama / Tilottomo berarti seseorang yang serba sempurna sifatnya; (3) Warsiki berarti seseorang yang sangat unggul kecantikannya; (4) Surendra berarti seseorang yang nafsu birahinya sangat besar; (5) Gagarmayang berarti perhiasan yang terbuat dari bunga pohon kelapa pada acara perkawinan / seseorang yang sangat kurus; (6) Tanjung biru berarti seseorang yang luar biasa kecantikannya; dan (7) Lelengmulat berarti seseorang yang memiliki paras muka sangat indah, sehingga akan menarik dan membelenggu setiap perhatian kepadanya. 4.5 Tujuh Bidadari yang Mengganggu Tapa Brata Arjuna sebagai Simbol Tujuh Nafsu yang Ada dalam Diri Manusia Untuk mendapatkan senjata sakti panah Pasopati, maka Arjuna melakukan tapa brata di Gunung Indrakila. Saat ia bertapa, Dewa Indra menguji kesungguhan tapanya dengan
141
mengirimkan ketujuh bidadari yang cantik jelita untuk menggaggu tapanya. Apabila Arjuna tidak terpengaruh oleh godaan ketujuh bidadari tersebut, maka ia dinyatakan lulus tapanya dan mendapatkan hadiah panah Pasopati dari Sang Hyang Pramesti Guru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Akhirnya dipilihlah tujuh bidadari yang akan pergi mengganggu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakila. Mereka adalah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung biru, dan Dewi Lelengmulat. Semuanya sangat cantik menggiurkan. Semuanya mencoba menari atau terbang menunjukkan keluwesan, tarikan muka dan lirikan mata yang menarik hati pria(Sunardi, 1993: 16).
Bidadari berjumlah tujuh tersebut, sejatinya merupakan sebuah simbol yaitu empat sifat hewani yang berada dalam jiwa manusia yaitu (1) memiliki sifat rendah seperti anjing yang berjalan dengan kepala menunduk dan selalu menciumi mangsa sebelum dimakannya; (2) memiliki sifat ragu-ragu; (3) memiliki sifat takut pada segala sesuatu yang baru; dan (4) memiliki sifat yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga (Achmad, 2012 : 107-108). Selain empat sifat hewani yang berada dalam diri manusia, maka manusia sejatinya harus bisa menaklukan tiga nafsu lainnya yang juga ada dalam diri manusia. Tiga nafsu lainnya tersebut yaitu (5) Nafsu lawwamah berarti angangsa. Menimbulkan dahaga, kantuk, lapar, dan sebagainya. Tempatnya ada di dalam perut, lahirnya dari mulut. Diibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam; (6) Nafsu amarah berarti garang. Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu, timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah; (7) Nafsu sufiyah berarti birahi. Menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dan sebagainya. Bersumber dari limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning (Simuh, 1988: 340). Selain itu, tujuh bidadari juga dapat diartikan sebagai tujuh anggota badan yang membuat kesalahan lahir yang disebut maksiat, yaitu (1) Lidah-berdusta / berbohong / ghibah, (2) pendengaran-mendengar cerita kosong atau tidak bermanfaat, (3) penglihatan-melihat yang haram, (4) penciuman (hidung)-menimbulkan rasa benci, (5) tangan-merusak dan lainnya, (6) kaki-berjalan membuat maksiat, dan (7) kemaluan (termasuk perut)-bersyahwat / berzina (termasuk makan makanan yang haram) (Zulkifli dan Santoso, 2008: 35). 4.6 Raksasa Momongmurka sebagai Simbol Sifat Kehewanan dalam Diri Manusia Momongmurka berasal dari kata mamang dan kata murka atau murko. Mamang berarti tidak dapat dipercaya atau tidak dapat berbuat sesuatu. Sedangkan murka berarti tamak atau sifat yang tidak terpenuhi untuk menguasai segala sesuatu untuk kepentingan diri semata-mata. Sedangkan bila digabungkan, momongmurka berarti suatu sifat yang tidak dapat dipercaya atau sebuah perwujudan hawa nafsu yang terendah. Raksasa Momongmurka kemudian menyamar menjadi seekor Babi hutan. Pemilihan hewan Babi hutan sebagai jelmaan dari Momongmurka bukanlah sebuah kebetulan, melainkan memiliki makna. Babi hutan sejatinya merupakan binatang yang najis. Babi hutan juga dapat diartikan sebagai simbol sifat kehewanan pada diri manusia karena ia memiliki sifat rakus, yaitu tidak pernah merasa puas dan selalu merasa kurang. Hawa nafsu dan sifat kehewanan yang digambarkan sebagi seekor Babi hutan itulah yang seharusnya diperangi oleh manusia. Oleh karena itu, dalam cerita Arjuna Wiwaha digambarkan Arjuna memanah Babi Hutan tersebut karena ia telah mengganggu tapanya dan telah mengacaukan keadaan warga disekitar Gunung Indrakila. Panah Arjuna yang ditujukan kepada Babi Hutan tersebut juga memiliki arti memanah atau membunuh sifat kehewanan dalam dirinya iaitu sifat rakus, selalu merasa kurang, dan segala bentuk hawa nafsu lainnya. Gunung Indrakila seperti bergetar terkena amukan Momongmurka. Di daerah itu ladang seperti sedang dilanda gempa bumi. Gua tempat Arjuna bertapa menjadi retak. Arjuna yang sedang bertapa terkejut. Dari dalam gua ia seperti melihat raksasa besar yang sedang mengamuk. Arjuna segera menarik senjata panah. Ia sudah mengambil keputusan menghentikan amukan raksasa itu. Ia merasa kasihan dengan rakyat kecil yang tidak bersalah. Ternyata raksasa sakti utusan Prabu Niwatakawaca tersebut telah mengubah diri menjadi seekor Babi Hutan. Babi hutan itulah yang terlihat jelas oleh Arjuna. Arjuna tidak ragu-ragu lagi, bahwa Babi hutan itu adalah jelmaan dari
142
raksasa tersebut. Arjuna telah siap dengan senjata panah ditangannya dan segera melepaskan anak panah tepat mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu (Sunardi, 1993: 59-61).
4.7 Simbol ajaran Manunggaling Kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha Tujuan akhir atau orientasi utama manusia dalamFilsafat Jawa adalah apa yang disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia sebagai makhluk dengan Tuhannnya). Konsep manunggaling kawula Gusti berkaitan dengan filsafat yang lainyaitukawruh sangkan paraningdumadi (ilmu mengenai asal-usul dan tujuan akhir manusia). Jika manusia telah mengetahui dan memahami hakikat kediriannya dari mana ia berasal dan ke mana tujuan akhir hidupnya, maka pada titik itu manusia telah memasuki pintu gerbang untuk mencapai tahap manunggaling kawula Gusti. Bersatunya manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai penciptanya dalam hal ini dipahami dengan pengertian bersatu dalam kehendak, bukan dalam pengertian bersatunya dzat. Manusia Jawa memahami bahwadzat manusia mempunyai perbedaan asasi dengan Tuhannya sehingga tidak mungkin dapat dipersatukan (Haryanto, 2013: 47). Konsep manunggalingkawuloGusti merupakan konsep yang rumit dan dalam sejarahnya merupakan buah dari pikiran Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.Para wali dalam menyebarkan Islam menggunakan pendekatan kultural dan hal itu tercermin dalam konsep manunggaling kawula Gusti yang merupakan adopsi dari tradisi tasawuf dalam Islam. Pandangan manusia Jawa mengenai manunggaling kawula Gusti merupakan penjawaan terhadap apa yang terdapat dalam hadistQudsi. Salah satu hadistQudsi tersebut menyatakan bahwa ketika seorang hamba Allah mendekat dengan menjalani berbagai macam ibadah sunah, maka dia akan sampai pada tingkat di mana semua tindak-tanduknya bukan lagi berasal dari dirinya, melainkan berasal dari Allah SWT. Dalam bahasa manusia Jawa, seseorang yang mencapai tingkatan semacam ini telah mencapai tingkat manunggaling kawula Gusti.Kemauan si kawula adalah kemauanGustinya dan kemauanGusti adalah kemauan si kawula juga (Ahimsa-Putera, 2005: 57). Dalam Arjuna Wiwaha dikisahkan bahwa pada saat itu Batara Guru menyamar menjadi seorang raja yang sedang berburu bernama Prabu Kitarupa. Arjuna yang merasa terganggu tapanya oleh kehadiran Raksasa Momongmurka yang menjelma menjadi seekor babi hutan, dengan sigap mengarahkan panahnya kearah babi hutan tersebut. Panah Arjuna tepat mengenai babi hutan tersebut dan bersamaan dengan panah Prabu Kitarupa yang juga memanah babi hutan tersebut. Arjuna dan Kitarupa pada akhirnya terlibat perselisihan dan saling bertengkar. Hingga pada akhirnya Batara Guru yang menyamar menjadi Kitarupa segera mengubah kembali wujudnya sebagai Batara Guru. Anak panah milik Prabu Kitarupa dan Arjuna yang bersamaan mengenai babi hutan, secara simbolik merupakan simbol dari Manunggaling Kawula Gusti. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Arjuna yang telah siap dengan senjata panah di tangan itu segera melepaskan anak panah, tepat mengenai tubuh binatang jadi-jadian tersebut. Tetapi pada waktu yang sama anak panah Hyang Syiwa juga mengenai tubuh babi hhutan dan tepat di tempat yang sama. Dapat dikatakan “nunggal tatu” atau melukai bagian yang sama. Sehingga hanya anak panah Arjuna saja yang terlihat menancap di tubuh celeng tersebut, karena anak panah Kitarupa tertindih masuk. Baik Arjuna maupun Kitarupa cepat-cepat mendekati binatang yang telah mati terpanah itu. Arjuna cepat melangkah untuk mencabut anak panahnya (Sunardi, 1993 : 61).
4.8 Panah Pasopati Milik Arjuna sebagai Simbol Nafsu Hewani yang Telah Binasa dalam Diri Manusia Arjuna diceritakan memiliki tujuan ingin mendapatkan panah Pasopati dengan jalan bertapa di Gunung Indrakila. Keinginan Arjuna untuk mendapatkan panah Pasopati tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini : Memang tujuan dari tapaku antara lain juga mencari senjata sakti untuk digunakan dalam perang Bharata Yudha yang akan datang (Sunardi, 1993: 57).
Pasopati sendiri berasal dari kata paso dan pati. Paso atau phasu memiliki makna hewan. Selanjutnya pati memiliki makna mati. Dengan demikian Pasopati bermakna nafsu
143
hewani yang telah mati atau binasa dalam jiwa manusia (Achmad, 2012: 107-108). Tapa brata Arjuna di Gunung Indarkila juga dapat diibaratkan seperti orang Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Dimana saat melaksanakan puasa tidak diberbolehkkan makan dan minum dimulai dari setelah subuh hingga tenggelamnya matahari. Berpuasa atau tapa brata adalah bagian dari sifat nafsu muthmainah. Nafsu muthmainah digambarkan senang berpuasa atau senang melakukan tapa brata tanpa mengenal batas kemampuan. Ia memiliki watak senang akan kebaikan, keutamaan, dan keluhuran. Nafsu muthmainah tersebut sumbernya dari tulang, timbulnya dari hidung, ibarat hati bersinar putih (Simuh, 1988: 340). Nafsu Muthmainah merupakan lawan dari ketujuh nafsu yaitu (1) memiliki sifat rendah seperti anjing yang berjalan dengan kepala menunduk dan selalu menciumi mangsa sebelum dimakannya; (2) memiliki sifat ragu-ragu; (3) memiliki sifat takut pada segala sesuatu yang baru; dan (4) memiliki sifat yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga; (5) Nafsu lawwamah berarti angangsa. Menimbulkan dahaga, kantuk, lapar, dan sebagainya. Tempatnya ada di dalam perut, lahirnya dari mulut. Diibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam; (6) Nafsu amarah berarti garang. Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu, timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah; dan (7) Nafsu sufiyah berarti birahi. Menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dan sebagainya. Bersumber dari limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning. Ketujuh nafsu tersebut diibaratkan dalam cerita Arjuna Wiwaha sebagai ketujuh bidadari yang menggoda Arjuna saat ia bertapa di Gunung Indrakila. Dalam konsep Jawa, Nafsu lawwamah, nafsu amarah, nafsu sufiyah dan nafsu muthmainah biasa disebut dengan supiyah, mutmainah, amarah, dan aluamah. Saat bertapa di Gunung Indrakila, Arjuna diganggu oleh ketujuh bidadari agar membuyarkan tapanya, setelah itu ujian langsung dari Batara Indra yang menyamar menjadi pendeta yang bernama Resi Padya, kemudian yang terakhir Arjuna mendapat ujian langsung dari Batara Guru yang menyamar menjadi Prabu Kitarupa untuk menguji kemampuan berperang Arjuna. Setelah lulus dari ketiga ujian tersebut, maka oleh Sang Hyang Guru Arjuna dianugerahkan panah Pasopati sebagai hadiah dari kelulusan tapanya di Gunung Indrakila. Kelak dengan panah Pasopati itulah ia dapat mengalahkan Raja Raksasa Prabu Niwatakawaca yang menjadi musuh dari para dewa. Pemberian panah Pasopati oleh Sang Hyang Guru dapat dilihat dari kutipan dibawah ini : Batara Guru, “He Arjuna putraku. Aku merasa puas mencoba keterampilan dan kesaktianmu dengan bertempur melawanmu. Aku merasa puasa bahwa engkau mampu melawanku. Engkau telah melawanku bertempur dengan cara apa pun, dengan mengadu kesaktian, kecekatan, kekebalan, dan lain-lain. Sekarang dengarkanlah olehmu putraku, ada anugerah dariku untukmu, yaitu sebuah senjata panah sakti bernama Pasopati. Senjata itu ku berikan padamu, terimalah.” Setelah berkata demikian itu tangan Hyang Guru keluar api besar berbentuk raksasa yang sangat besar. Raksasa itu menjinjing senjata Pasopati. Ia mendekati arjuna dan memberikan senjata Pasopati itu padanya. Setelah senjata sakti itu diterima oleh Arjuna, api besar itu menghilang. Arjuna melakukan sembah sungkem dengan khidmat sekali kepada Hyang Guru dengan mengucapkan terima kasih. Batara Guru kemudian memberi nasihat-nasihat seperlunya kepada Arjuna (Sunardi, 1993: 64-65).
5. Kesimpulan Berdasarkan teks (1) Ardjuna Wiwaha karya Sanusi Pane (1960), dan (2) Arjuna Wiwaha karya Sunardi (1993) maka dapat ditemui adanya simbol-simbol bahasa dalam kedua teks tersebut. Simbol-simbol bahasa tersebut terlihat padabeberapa hal yaitu (1) PrabuNiwatakawaca sebagai simbol sifat kesombongan dalam diri manusia, (2) Konsep kebaikan melawan keburukan dengan simbol Arjuna melawan PrabuNiwatakawaca, (3) Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai simbol ajaran mati sajroning urip, (4) Wanita Muda sebagai simbol dunia, (5) Tujuh bidadari yang mengganggu tapa brata Arjuna sebagai simbol tujuh nafsu yang ada dalam diri manusia,(6) Raksasa Momongmurka sebagai simbol sifat kehewanan dalam diri manusia, (7) Simbol ajaran manunggaling kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha, dan (8) Panah Pasopati milik Arjuna sebagai simbol nafsu hewani yang telah binasa dalam diri manusia. Banyaknya simbol-simbol bahasa dalam Arjuna Wiwahasebagai produk
144
karya sastera klasik Jawa disebabkan karena manusia Jawa mengekspresikan berbagai macam konsep dan ide (gagasan) melalui penggunaan simbol. Manusia Jawa juga menyukai pemahaman melalui simbol-simbol pada hampir semua bidang, termasuk pemakaian simbol untuk menjelaskan ilmu ketuhanan. Pustaka Acuan Ahimsa-Putera, HeddyShri.2005. Budaya Lokal dan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Adicitra Karya Nusa. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Khairul Bayaan. Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Elliot, Anthony. 2007. Symbols. The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Book Inc. Publisher. Haryanto, Sindung. 2013. Dunia Simbol Orang Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Pane, Sanusi. 1960. Ardjuna Wiwaha. Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. Pasha, Lukman. 2011. Butir-Butir Kearifan Jawa.Yogyakarta: IN AzNa Books. Santosa, Imam Budhi. 2012. Spiritualisme Jawa (Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran). Yogyakarta: Memayu Publishing. Sastroamidjojo, Seno. 1962. Ardjuna Wiwaha. Djakarta: Kinta. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita (Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. ______.1995.Sufisme Jawa (Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Soesilo. 2000. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup. Surabaya: CV Medayu Agung. Sunardi. 1993. Arjuna Wiwaha. Jakarta: Balai Pustaka. Wahyudi, Agus. 2014. Pesona Kearifan Jawa (Hakikat Manusia dalam Jagad Jawa). Yogjakarta: DIPTA. Zoetmulder.1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Seri ILDEP. Jakarta: Penerbit Djembatan. Zulkifli dan Santoso, Sentot Budi. 2008. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran) Solo: CV Mutiara Kertas.
145
Tradisi Andhok Sebagai Salah Satu Cara Arek Mempertahankan Bahasa Surabaya Intan Novita Ferdiyanti, Universitas Airlangga
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan salah satu cara pemertahanan bahasa Surabaya yang dilakukan oleh Arek melalui Tradisi Andhok. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Arek melakukan Tradisi Andhok dalam upaya pemertahanan bahasa Surabaya. Penelitian ini didasari atas teori sosiolinguistik dan topik yang diteliti berdasarkan teori dari Fishman (1972) dan teori Habitus Pierre Bourdieu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang memperoleh data dari penyebaran data melalui survei pembagian kuesioner. Pemertahanan bahasa dibahas dalam bentuk kecenderungan bahasa yang digunakan oleh Arek pada saat mengobrol baik sebelum makanan datang maupun setelah makanan datang. Data yang telah terkumpul dikaji melalui teori yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa pemertahanan bahasa Surabaya salah satunya diperoleh melalui Tradisi Andhok yang faktor-faktornya terdiri dari gaya hidup Arek Surabaya yang gemar njajan dan senang berkumpul bersama teman atau keluarga. Kata Kunci: Tradisi andhok, pemertahanan bahasa, arek surabaya.
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masyarakat merupakan tempat untuk berinteraksi antar individu, komunitas, maupun lembaga-lembaga yang memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut selalu dikaitkan dengan mencapai tingkat pendapatan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan. Dewasa ini industrialisasi dianggap mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat dalam mencapai kemakmuran. Industri mampu menawarkan materi, modernisasi, dan kemapanan sehingga harapan masyarakat dapat terpenuhi. Industri tentu tidak dapat dipisahkan dari urbanisasi. Menurut Yeates dan Garner urbanisasi merupakan suatu proses transformasi suatu masyarakat dari yang semula memiliki dasar pedesaan menjadi dominan bersifat kekotaan. Urbanisasi mendorong masyarakat pedesaan untuk berpindah ke kota, agar taraf kehidupan meningkat. Perubahan pikiran dan perilaku yang sebelumnya berkarakter masyarakat agraris menjadi karakter masyarakat perkotaan. Perubahan tersebut ditandai dengan gaya hidup, pembatasan interaksi dalam masyarakat, bersifat konsumtif dan cenderung egosentris. Kota Surabaya memiliki luas 374.8 km2 (144.7 mil²), merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta. Penduduk Surabaya sebagian besar bekerja dibidang industri, pelayanan jasa, dan perdagangan. Berbagai sarana prasarana seperti gedung, mall (pusat perbelanjaan modern), bangunan pendidikan, kawasan perumahan, dan hotel menjadikan kota Surabaya sebagai tujuan masyarakat daerah lain untuk berurbanisasi. Dewasa ini penduduk Surabaya merupakan tempat pembelajaran masyarakat dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda. Proses akulturasi tersebut menghasilkan perilaku sosial, pembangunan struktur kelembagaan, norma bersama, dan komunikasi multikultural. Kota Surabaya erat kaitannya dengan kata Arek. Menurut Cak Kadaruslan (2010:143) pengertian Arek adalah : …bahwa istilah arek Surabaya berkaitan dengan kampung. Sementara arek sendiri adalah sebutan bagi warga kota yang tinggal di kampong-kampung. Di dalam perkembangannya kata “Arek” kini sudah tidak untuk warga kota yang tinggal diperkampungan tapi untuk seluruh warga kota.
146
Sifat dasar Arek tidak terlepas dari bandha nekad, solidaritas tinggi, blak-blakan dan merakyat. Dari sifat dasar itulah dapat terlihat beberapa kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan secara turun-temurun. Kebiasaan-kebiasaan tersebut salah satunya adalah tradisi Andhok. Tradisi Andhok merupakan tradisi makan diluar rumah seperti warung, stand pedagang kaki lima, dan kedai yang dilakukan secara bersama-sama (tidak dibungkus). Arek Surabaya melakukan Tradisi Andhok karena masyarakatnya dikenal memiliki kegemaran njajan. Dalam perkembangannya Arek melakukan Tradisi Andhok karena ingin meluangkan waktu untuk sekadar mengobrol dengan keluarga dan teman. Umumnya Arek menggunakan bahasa Surabaya pada kegiatan sehari-hari dalam ruang lingkup non-formal. Begitu juga pada saat Arek melakukan Tradisi Andhok. Tradisi Andhok menjadi salah satu cara arek dalam mempertahankan bahasa Surabaya. Pada saat melakukan Tradisi Andhok, Arek berkomunikasi dengan lawan tutur menggunakan bahasa Surabaya. Komunikasi yang dilakukan Arek bertujuan untuk mengisi kekosongan waktu pada saat menunggu makanan dan setelah selesai makan. Dengan menggunakan bahasa Surabaya pada saat mengobrol, Arek merasa menjadi diri sendiri dan tidak canggung dengan lawan bicaranya. Rutinitas pekerjaan atau pendidikan terkadang membuat Arek merasa jenuh, oleh karena itu Tradisi Andhok dapat dijadikan sarana untuk melepas penat. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah Arek Surabaya masih melakukan Tradisi Andhok? 2. Bagaimanakah bentuk pemertahanan bahasa pada Arek yang melakukan Tradisi Andhok? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Ingin mendeskripsikan Arek Surabaya yang masih melakukan Tradisi Andhok. 2. Ingin mendeskripsikan bentuk pemertahanan bahasa pada Arek yang melakukan Tradisi Andhok. 1.4 Landasan Teori Sesuai dengan batasan masalah, teori-teori yang melandasi penelitian ini berhubungan dengan pemertahanan bahasa dan teori Habitus. 1.4.1 Teori Pemertahanan Bahasa Fishman Fishman merupakan seorang ahli di bidang sosiolinguistik, dalam ringkasannya yang berjudul Fishmanian Sociolinguistics (1949 to the present) menjelaskan bahwa “who speaks what language to whom and when”. Yaitu sosiolinguistik sebagai ilmu yang mengkaji fenomena-fenomena kebahasaan dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kulturalnya. Fishman (1971:603, note 3) mengungkapkan bahwa pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa (language shift and language maintenance) merupakan: “The study of language maintenance and language shift is concerned with the relationship between change or stability in habitual language use, on the one hand, and ongoing psychological, social or cultural processes of change and stability, on the other hand.” Berdasarkan definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa terjadi karena hubungan antara perubahan dan stabilitas dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Di sisi lain pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa terjadi karena faktor-faktor sosial, situasional, dan kulturalnya. Fishman (1972) menyatakan bahwa salah satu faktor terpenting pada pemertahanan bahasa adalah loyalitas masyarakat pendukungnya. Loyalitas tersebut, menyebabkan pendukung suatu bahasa akan tetap menstransmisikan bahasanya dari generasi ke generasi. 1.4.2
Teori Habitus dalam Praktek Kebudayaan Pierre Bourdie dalam teori Habitus dan lingkungan (ranah) menjelaskan bahwa kebiasaan individu individu merupakan faktor adanya pemertahanan produk dari sejarah masa
147
lalu yang dipengaruhi oleh struktur yang ada. Menurut Bourdie (1990:54) Habitus merupakan produk dari sejarah, sebagai warisan masa lalu yang dipengaruhi oleh struktur yang ada. Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Tradisi Andhok sebagai warisan masa lalu yang terus-menerus diproduksi oleh arek sebagai kebiasaan yang melekat pada struktur sosial mereka. Melalui kebiasaan-kebiasaan tersebut, Arek memproduksi Tradisi Andhok sebagai sebuah tindakan dan juga memberikan penilaian. 1.5 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian sosiolinguistik, faktor sosial kemasyarakatan digunakan untuk menjelaskan fenomena bahasa. Penelitian sosiolinguistik ini menggunakan metode kuantitatif. Data bahasa dalam suatu fenomena sosial merupakan salah satu data dalam bentuk kualitatif. Data tersebut bisa juga diolah menjadi data kuantitatif. Dari penentuan metode yang dipilih tahapan strategi yang digunakan menurut Sudaryanto (1988:57) terdiri dari (1) metode pengumpulan data; (2) metode analisis data (3) metode pemaparan hasil analisis data. 1.5.1 Metode Survey Metode pengumpulan data ini menggunakan survey. Metode survey merupakan metode penyediaan data melalui penyebaran kuesioner atau daftar tanyaan yang terstruktur dan rinci untuk memperoleh informasi dari sejumlah informan yang dipandang representative mewakili populasi penelitian (Wiseman dan Aron, 1970). Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan tertutup, yaitu pertanyaan seputar Arek Surabaya yang masih menyukai tradisi andhok karena kegemarannya njajan. Selain itu, bahasa apa yang digunakan Arek Surabaya pada saat berkomunikasi dengan lawan tutur ketika melakukan tradisi andhok. Pertanyaan dalam survey ini terbatas pada usia arek berumur 18-23 tahun dan responden berjumlah 35 orang. Responden yang dipilih merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, yang merupakan masyarakat asli Surabaya. 1.5.2
Metode Analisis Kuantitatif Data bahasa merupakan salah satu data dalam bentuk kualitatif. Data kualitatif bukan berarti tidak dapat dianalisis secara kuantitatif. Kualitatif dapat dianalisis secara kuantitaif dengan mengubah menjadi data dalam bentuk angka hitungan. Kuesioner yang terdiri dari 4 pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda diolah sedemikian rupa untuk melihat hasil secara statistik. Terhadap keempat pertanyaan kuesioner, maka informan yang berjumlah 35 orang terdiri dari 17 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Tujuan survey ini ingin mengetahui berapa persen dari jumlah 35 responden Arek Surabaya yang masih melakukan tradisi andhok. selain itu ingin mengetahui berapa persen dari jumlah Arek Surabaya yang masih menggunakan bahasa Surabaya pada saat berkomunikasi dalam melakukan tradisi andhok. 1.5.3
Metode Pemaparan Hasil Analisis Data Metode pemaparan hasil analisis data berupa temuan penelitian sebagai jawaban persentase Arek Surabaya yang masih menggemari Tradisi Andhok. Selain itu persentase dari jumlah informan yang menggunakan bahasa Surabaya pada saat melakukan Tradisi Andhok. Analisis yang digunakan disajikan dalam bentuk tabel. 2. Gambaran Umum Objek Penelitian 2.1 Arek Surabaya Menurut Cak Kadaruslan (Ketua Umum Putera Surabaya) secara leksikal kata Arek merupakan penyebutan bagi warga kota yang tinggal di kampung-kampung. Contohnya Arek Peneleh (Kampung Peneleh), Arek Jagalan (Kampung Jagalan), Arek Jambangan (Kampung Jambangan), dan Arek Nggubeng (Kampung Gubeng). Sedangkan bagi warga kota Surabaya yang tinggal di pinggir jalan raya, di rumah gedongan atau bukan di kampung-kampung, seperti mereka yang tinggal di Jalan Raya Darmo, maka warga tersebut tidak mendapat sebutan kata
148
Arek. Hal ini dikarenakan pada jaman dahulu kata Arek berkonotasi “kampong” yang kedudukan kelas sosialnya rendah. Dalam perkembangannya kata Arek Surabaya mengalami perluasan makna. Kata Arek tidak lagi dipandang sebagai kata dengan konotasi yang rendah, karena digunakan untuk penyebutan seluruh warga kota Surabaya. Arek Surabaya merupakan kelompok masyarakat asli Kota Surabaya. Arek Surabaya dikenal memiliki sifat dasar bandha nekat, solidaritas tinggi, blak-blakan, dan merakyat. Selain itu Arek Surabaya dikenal memiliki kegemaran njajan. Kegemaran njajan yang menjadi kebiasaan sehari-hari inilah yang menyebabkan arek Surabaya dikenal memiliki Tradisi Andhok. Tradisi Andhok merupakan kebiasaan Arek Surabaya dalam makan diluar rumah seperti warung, stand pedagang kaki lima, dan kedai yang dilakukan secara bersama-sama (tidak dibungkus). Tradisi Andhok dilakukan Arek Surabaya untuk sekadar melepas penat dari rutinitas kegiatan sehari-hari. Dalam melakukan Tradisi Andhok, komunikasi yang digunakan pada saat mengobrol menggunakan bahasa Surabaya. Bahasa Surabaya dianggap dapat mewakili karakter Arek Surabaya yang dikenal dengan blakblakan. Terkadang umpatan khas Surabaya, terselip dalam obrolan Arek. Umpatan seperti jangkrik, cuk, jancik, dan lainnya dianggap dapat menambah kedekatan antar Arek. Dengan menggunakan Bahasa Surabaya, Arek merasa menjadi diri sendiri. Arek Surabaya yang mewakili objek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu budaya Universitas Airlangga yang merupakan masyarakat asli Surabaya. Dari segi usia yang dipilih adalah umur 18-23 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. 3. Analisis Data Dari hasil survey terhadap 35 mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Airlangga Unair yang merupakan masyarakat asli Surabaya, melalui empat pertanyaan yang mencakup poin untuk menganalisis masalah. Dengan metode pengumpulan data berupa kuesioner, diperoleh data-data tentang banyaknya responden yang menyatakan masih melakukan Tradisi Andhok sebagai salah satu kebiasaan Arek Surabaya, bentuk pemertahanan bahasa Surabaya yang dilakukan Arek Surabaya, serta alasan masih melakukan Tradisi Andhok. 3.1 Jumlah Responden yang Melakukan Tradisi Andhok Data responden yang masih melakukan Tradisi Andhok berjumlah 35 mahasiswa yang terdiri dari 17 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah
Frekuensi 17 18 35
Tabel 1 Persentase 48,5 % 51,5 % 100%
Pertanyaan I 16 18 34
Persentase Pertanyaan I 48,5 % 51,5 % 96,9 %
Pada tabel pertama sebanyak 16 orang atau 48,5% responden laki-laki memilih jawaban mengenal Tradisi Andhok, dan 1 orang tidak mengenal istilah Tradisi Andhok. Sedangkan berbeda dengan responden laki-laki, sebanyak 18 orang atau 51,5 % responden perempuan memilih jawaban mengenal Tradisi Andhok. Jadi sebesar 34 atau 96.9 % responden masih menggemari Tradisi Andhok. 3.2 Bentuk Pemertahanan Bahasa Surabaya Frekuensi responden yang menggunakan bahasa Surabaya atau bahasa Indonesia pada saat mengobrol sebagi bentuk pemertahanan dapat dianalisis melalui pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Tabel antara responden laki-laki dan tabel perempuan dipisah untuk melihat rincian frekuensi penggunaan bahasa pada saat melakukan Tradisi Andhok. Berikut analisis penggunaan bahasa pada saat melakukan Tradisi Andhok:
149
Tabel 2. Frekuensi Penggunaan Bahasa Pada Responden Laki-Laki Bahasa Frekuensi Penggunaan Bahasa Persentase pada Saat Andhok Bahasa Surabaya 14 81,2 % Bahasa Indonesia 2 11,6 % Jumlah 16 92,8 % Pada tabel kedua frekuensi responden laki-laki dalam penggunaan bahasa Surabaya lebih banyak daripada penggunaan bahasa Indonesia. Sebanyak 14 orang atau 81,2% responden laki-laki lebih memilih penggunaan bahasa Surabaya pada saat Andhok, sedangkan sebanyak 2 orang atau 11,6% responden laki-laki lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada saat Andhok, serta 1 orang atau 5,9 5% responden tidak memilih kedua pilihan jawaban karena dari pertanyaan pertama tentang Tradisi Andhok sudah tidak mengenal istilah tersebut. Tabel 3. Frekuensi Penggunaan Bahasa Pada Responden Perempuan Bahasa Frekuensi Penggunaan Bahasa pada Persentase Saat Andhok Bahasa Surabaya 16 89,6% Bahasa Indonesia 2 11,2% Jumlah 18 100% Pada tabel ketiga frekuensi responden perempuan dalam penggunaan bahasa Surabaya lebih banyak daripada penggunaan bahasa Indonesia. Sebanyak 16 orang atau 89,6% responden perempuan lebih memilih penggunaan bahasa Surabaya pada saat Andhok, sedangkan sebanyak 2 orang atau 11,2% responden perempuan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada saat Andhok. 3.3 Alasan Melakukan Tradisi Andhok Dalam Tradisi Andhok seringkali para mahasiswa melakukan karena gemar njajan atau sekadar berkumpul bersama teman atau keluarga. Berikut alasan responden laki-laki dan perempuan dalam melakukan Tradisi Andhok. Data yang disajikan dalam tabel berikut berjenis kelamin laki-laki :
Alasan Melakukan Tradisi Andhok Gemar njajan Senang kumpul teman atau keluarga Jumlah
Tabel 4 Frekuensi 3 13 16
Persentase 17,7% 76,7% 94,4%
Sebanyak 13 orang atau 76,7% responden laki-laki menyatakan masih melakukan Tradisi Andhok karena senang kumpul bersama keluarga atau teman, sedangkan 3 orang responden atau 17,7% responden lainya menyatakan masih melakukan Tradisi Andhok karena gemar njajan, serta 1 responden atau 5,6% tidak memilih kedua pilihan jawaban karena dari pertanyaan pertama tentang Tradisi Andhok sudah tidak mengenal istilah tersebut.
Alasan Melakukan Tradisi Andhok Gemar njajan Senang kumpul teman atau keluarga Jumlah
Tabel 5 Frekuensi 1 17 18
Persentase 5,6% 95,2% 100%
150
Sebanyak 17 orang atau 95,2% responden perempuan menyatakan masih melakukan Tradisi Andhok karena senang kumpul bersama keluarga atau teman, sedangkan 1 orang responden atau 5,6% responden lainya menyatakan masih melakukan Tradisi Andhok karena gemar njajan. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden baik laki-laki maupun perempuan masih mengenal Tradisi Andhok. Tradisi Andhok masih digemari Arek Surabaya karena kebiasaan njajan yang dilakukan secara terus-menerus. Tradisi Andhok dalam perkembangannya dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pemertahanan bahasa Surabaya oleh Arek Surabaya. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah persentase keseluruhan jumlah informan yang sebagian besar memilih bahasa Surabaya sebagai alat komunikasi pada saat mengobrol dalam melakukan Tradisi Andhok. Loyalitas Arek dalam menggunakan bahasa Surabaya pada saat Tradisi Andhok merupakan faktor penting dalam sebuah pemertahanan bahasa. Selain itu, kegemaran untuk berkumpul bersama teman atau keluarga menjadi alasan Arek Surabaya dalam melakukan Tradisi Andhok. Daftar Pustaka Fishmanian Sociolinguistik (To The Present). Diakses dari http://pocketknowledge.tc.columbia.edu/home.php/viewfile/download/23491/Fishmaner ian.pdf. Kajian Fenomena Urbanisme Pada Masyarakat Kota Ungaran Kabupaten Semarang. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/4158/2010/01/. (Tanggal akses: 25 mei 2014). Purwono, Nanang. 2010. Melacak Jejak Tembok Kota Soerabaia. Surabaya: Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kbbi.web.id. (2 Juni 2014). Lakoro, Nur Linda. 2012. Pemertahanan Bahasa Daerah Nusa Tenggara Timur Pada Komunitas Mahasiswa Nusa Tenggara Timur Di Pare-Kediri: Kajian Sosiolinguistik. Skripsi Mahasiswa Ilmu Budaya. Santoso, Fitri Rachmawati.2007.Opini Guru Bahasa Jawa Terhadap Penggunaan Bahasa Suroboyoan dalam Program Pojok Kampung di JTV: Studi Deskriptif Tentang Opini Guru Bahasa Jawa SMP Negeri di Surabaya. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Saraswati, Made Dwinita. 2011. Pemertahanan Bahasa Bali Pada Komunitas Mahasiswa Bali Pada Universitas Airlangga Surabaya Kajian Sosiolinguistik. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Teori Strukturalisme Genetik “Pierre Bourdie”.Diakses dari http://pmiiub.files.wordpress.com/2013/03/bourdie.doc.(Tanggal akses: 17 Juni 2014) Widodo, Dukut Imam. 2002. Soerabaia Tempo Doeloe. Surabaya: Dinas Pariwisata Kota Surabaya.
151
Alih Kode dan Campur Kode dalam Segmen “Blusukan Pecinan” pada Tayangan Berita Pojok Kampung JTV Nancy Perdanasari, Politeknik Negeri Malang Diah Ayu Wulan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Abstrak Segmen “Blusukan Pecinan” pada berita “Pojok Kampung” di JTV Jawa Timur merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena bahasa yang digunakan pada segmen ini kaya dengan campur kode dan alih kode. Oleh sebab itu episode “wayang potehi” pada segmen ini dipilih sebagai data penelitian. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) Jenis campur kode dan alih kode apa saja yang terdapat pada data penelitian? (2) Mengapa campur kode dan alih kode itu terjadi? Berdasarkan analisis data, campur kode secara struktural terjadi pada tingkat kata, frasa, dan kalimat, sedangkan secara lingual berupa inner code-swithing (bahasa Jawa-Indonesia) dan outer code-swithing (bahasa Jawa-Mandarin/Ho Kian). Alih kode tidak terjadi, karena sebagian besar data berupa narasi. Ada dua penyebab utama bagi terjadinya campur kode: upaya menciptakan solidaritas kelompok, dan kebutuhan kosakata asing karena tidak ada padanannya dalam bahasa asli. Kata Kunci: Alih kode, “Blusukan Pecinan” JTV, campur kode
1. Pendahuluan Media massa elektronik di Indonesia saat ini sangat pesat perkembangannya. Salah satu yang menjadi pilihan masyarakat adalah televisi, karena televisi tidak hanya menyampaikan pesan secara audio tetapi juga visual. Hampir seluruh lapisan masyarakat mempunyai televisi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan informasi dan hiburan tersebut, saat ini banyak bermunculan stasiun televisi baik lokal maupun nasional. Setiap stasiun televisi saling berlomba untuk menyajikan acara informasi dan hiburan terbaiknya untuk merebut hati pemirsa. Salah satu stasiun televisi lokal di Jawa Timur adalah JTV. Stasiun televisi lokal ini menawarkan beragam mata acara informasi dan hiburan. Menjadi suatu hal menarik ketika salah satu mata acara berita dikemas dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Surabaya. Nama mata acara tersebut adalah “Pojok Kampung”, di mana dalam mata acara berita Pojok Kampung tersebut terdapat segmen acara yang berjudul “Blusukan Pecinan”. Berita “Pojok Kampung” sendiri ditayangkan setiap hari pada siang dan malam. Segmen “Blusukan Pecinan” ditayangkan dalam durasi kurang lebih 10 menit di akhir berita “Pojok Kampung”, yang ditayangkan pada pukul 21.00. Alih kode dan campur kode sering dijumpai dalam tayangan ini. Alih kode dan campur kode merupakan salah satu wujud kreativitas penulis naskah “Blusukan Pecinan” dalam penggunaan bahasa. Terdapat bermacam-macam bentuk alih kode dan campur kode dalam tayangan televisi sesuai dengan fungsi, tujuan atau kepentingannya masing-masing. Alih kode dan campur kode dalam tayangan “Blusukan Pecinan” ini menarik untuk diteliti, karena dua hal. Pertama, bahasa utama yang berfungsi sebagai basis komunikasi adalah bahasa-campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dialek Surabaya, atau lebih tepatnya dialek “Blusukan Pecinan”. Kedua, bahasa-campuran ini masih dicampur lagi dengan sejumlah kosakata atau ungkapan dalam bahasa Mandarin dan Hokkian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa campur kode dalam data penelitian berupa campur kode berlapis: bahasa-campuran Indonesia-Jawa plus bahasa Mandarin dan Hokkian. Penelitian ini berupaya untuk menjawab dua pertanyaan mendasar: (1) Berdasarkan struktur bahasa, jenis campur kode dan alih kode apa saja yang terdapat dalam data penelitian? (2) Mengapa campur kode dan alih kode itu terjadi? Untuk menjawab dua pertanyaan penelitian
152
ini, makalah ini menempuh langkah yang meliputi tahap-tahap berikut ini, yaitu: (a) sumber data, (b) kerangka teori, (c) analisis data, temuan, dan pembahasan, dan (d) kesimpulan. 2. Sumber data Data untuk penelitian ini adalah satu tayangan segmen “Blusukan Pecinan” pada berita “Pojok Kampung” di JTV Jawa Timur, yang berjudul “Wayang Potehi”. Data tersebut diunduh dari You Tube. Hasil transkripsi data berupa dua narasi dan satu dialog. Narasi pertama terdiri dari 24 ujaran, dialog terdiri dari 35 ujaran, dan narasi kedua terdiri dari 19 ujaran. Ujaran pada narasi pertama dan kedua meliputi 5 vokatif, yaitu sapaan terhadap pemirsa TV yang tidak dilihat oleh narator (lihat Lampiran 1). 3. Kerangka teori Secara singkat, bagian ini akan membahas pengertian alih kode dan campur kode, dan sejumlah alasan mengapa penutur bahasa menggunakan alih kode dan campur kode dalam komunikasi verbal mereka. Bahasan singkat ini dimaksudkan sebagai kerangka teori, yang akan digunakan sebagai dasar bagi analisis data dan pembahasan temuan penelitian. 3.1. Pengertian Alih Kode dan Campur Kode Chaer (1994:84) mengatakan penggunaan dua bahasa oleh seorang masyarakat tutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian disebut bilingualisme. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat tutur menjadi masyarakat yang bilingual. Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, atau waktu dan tempat berbincang. Hal tersebut dapat dicermati pada contoh sebagai berikut. (1) A : Kapan datang dari Jakarta, Pak? B : Kala wau dalu. Dumugi griya sampun jam 11. (Tadi malam. Sampai rumah sudah jam 11,) A : Kok ngantos dalu sanget? (Kok sampai malam sekali.) B : Inggih, pesawatipun telat. (Iya, pesawatnya terlambat.) Dari percakapan (1), dapat diketahui bahwa kedua penutur yaitu si A dan si B adalah penutur bahasa Jawa, yang sekaligus adalah penutur bahasa Indonesia. Jadi, mereka adalah dwi-bahasawan atau bilingual. Ketika A bertanya kepada B menggunakan bahasa Indonesia, B menjawabnya menggunakan bahasa Jawa krama. Kemudian A merespon jawaban tersebut menggunakan bahasa Jawa krama juga. Hal tersebut merupakan contoh alih kode. Mengapa B menjawab dengan bahasa krama? Karena dengan menggunakan bahasa krama dia merasa lebih akrab dengan A jika keduanya bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. Dengan kata lain A ingin mengajak B menciptakan “in-group solidarity” atau solidaritas kelompok (Hoffman 1991: 116), dan B ternyata menyambut ajakan tersebut. Maka percakapan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Secara struktural, alih kode adalah perubahan penggunaan bahasa yang terjadi antar kalimat. Sedangkan campur kode, sebagaimana disarankan oleh istilah ini, adalah terjadinya percampuran kata dalam frasa atau kalimat, atau bahkan percampuran dua morfem dalam sebuah kata (dalam Chaer 1994:115, dan Nababan 1980: 32)—seperti pada contoh (2.a) dan (2.b) berikut. (2) a. Kemarin saya kan sudah matur kepada Bapak. Lha sekarang kersanipun Bapak bagaimana? b. Mas, handout-nya sudah difotokopi? Pada contoh (2.a) kata matur (bilang) dan kersanipun (maunya) adalah kosakata bahasa
153
Jawa krama yang disisipkan ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Seperti pada percakapan (1), hal ini juga menunjukkan bahwa kedua penutur adalah penutur bahasa Jawa dan Indonesia. Penyisipan kedua kata bahasa Jawa krama tersebut berimplikasi bahwa penutur ingin lebih menghormati mitra tutur, karena penggunaan kedua kata krama inggil tersebut mempunyai arti penutur merendahkan dirinya, dan meninggikan derajat atau status sosial mitra tuturnya. Sedangkan pada contoh (2.b), kata handout dalam bahasa Inggris diikuti oleh pronomina –nya dalam bahasa Indonesia. Jadi, dua morfem dari dua bahasa yang berbeda digabungkan menjadi satu kata. Mengapa demikian? Karena kata handout dalam bahasa Inggris belum ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia (lihat Savile-Troike 1986: 69). Jadi, penutur “terpaksa” menggunakan kata handout ketika merujuk pada “objek” yang dibicarakan. 3.2. Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode Menurut Chaer (1994: 108) terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode, yaitu: (a) penutur, (b) mitra tutur, (c) hadirnya penutur ketiga, (d) perubahan situasi percakapan, dan (e) topik pembicaraan. Kasus yang menyangkut penutur dan mitra tutur telah dibahas di depan yaitu pada percakapan (1). Seperti telah disebutkan di depan, dalam percakapan ini, terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama karena adanya motivasi solidaritas kelompok. Untuk faktor ketiga dan kelima, (c) dan (e), dapat dibayangkan pada situasi dimana A dan B adalah mahasiswa yang tengah mempelajari bahasa Mandarin. Ketika mereka sedang bercakap-cakap, datanglah C, seorang mahasiswa yang mempelajari bahasa Inggris. Topik yang sedang mereka bicarakan berkaitan dengan hal yang sensitif, yaitu uang. A bermaksud meminjam uang dari B, sedangkan dia tidak menginginkan C mengetahui tentang hal tersebut. Oleh karena itu A menggunakan kalimat berikut sebagai berikut. (3) A: Aku jie ni de qian ya minggu depan. B: Ya, duo shao? Pada percakapan (3), terjadi campur kode. Pada tuturan bahasa Indonesia yang diucapkan oleh A, terdapat kata dalam bahasa Mandarin yaitu jie (pinjam) dan ni de qian (uangmu) dan pada tuturan yang diucapkan oleh B terdapat kata duo shao (berapa). Dengan demikian, percakapan tetap bisa berlangsung dan dapat dimengerti oleh A dan B tetapi tidak dipahami oleh C. Kasus seperti ini menurut Chaer (1994: 108) disebabkan oleh dua hal yaitu hadirnya penutur ketiga dan adanya hal yang sensitif dalam topik pembicaraan. Savile-Troike (1986: 69) menyebut hal ini dengan “excluding other people” atau secara psikologis menyingkarkan orang lain yang tidak diinginkan. 3.3. Jenis-jenis Campur Kode Menurut www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pdf, campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode ke luar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam bersumber dari “bahasa asli” dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak–bahasa Minang, dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh berikut ini. (4) Karena di depan banyak rintangan, maka semboyan kita adalah rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Pada contoh (4), penutur secara bersemangat menggunakan bahasa Indonesia tetapi ketika mengemukakan semboyan menggunakan bahasa Jawa, yang mempunyai arti bahwa semua yang menjuntai akan kita pangkas, dan semua yang melintang akan kita patahkan. Campur kode ke luar (outer code-mixing) merujuk pada “bahasa asli” (bahasa Indonesia) yang bercampur dengan bahasa asing, misalnya pada bahasa Inggris dan Arab seperti pada contoh berikut. (5) Kini saatnya kita bersatu-padu, jangan sampai bercerai-berai. Al-ittihaadu assaasu al-najaah, kata orang Arab. United we stand, divided we fall, kata orang Inggris. Tuturan kelima, seperti tuturan keempat, nampaknya merupakan bagian dari sebuah pidato dari pembicara yang agitatif. Pada tuturan keempat, yang dikutip adalah kata-bijak dalam
154
bahasa Jawa; pada tuturan kelima, yang dikutip adalah kata-bijak dalam bahasa Arab (yang berarti, “Persatuan adalah dasar keberhasilan”) dan bahasa Inggris (yang sepadan dengan kata-bijak dalam bahasa Indonesia, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”). Menurut Hoffman (1991: 116) contoh (5) ini disebut “Quoting somebody else”, atau mengutip orang lain, termasuk mengutip kata-kata bijak dari bahasa lain. 4. Analisis data, temuan penelitian, dan pembahasan Analisis data merupakan langkah awal untuk menjawab dua pertanyaan penelitian, yang telah diajukan pada akhir Bagian 1/Pendahuluan. Pertanyaan pertama adalah: berdasarkan struktur bahasa, jenis campur kode dan alih kode apa saja yang terdapat dalam data penelitian? Menurut acuan lingual, ada dua macam campur kode: campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode ke luar (outer code-mixing). Namun, di depan (yaitu Bagian 3.1/Pengertian Alih Kode dan Campur Kode telah disebutkan bahwa secara struktural, campur kode bisa terjadi pada tingkat kata, frasa, dan kalimat. Acuan struktural ini akan dipergunakan lebih dulu sebelum acuan lingual. 4.1. Campur Kode dengan Acuan Struktural dan Lingual Hasil analisis data berupa campur kode pada tingkat kata dan frasa ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Pada Tabel 1, ditampilkan sejumlah contoh dari campur kode pada tingkat kata. Contoh-contoh tersebut dicantumkan pada kolom kedua: arti-e, misal-e, ngeluar-na, di-kering-na, selain-e, selanjut-e. Sebagai penjelasan, pada kolom 1 ditampilkan padanannya dalam bahasa Jawa (ditulis dengan “Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan”), dan pada kolom 3 ditampilkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dari padanan pada kolom 1 dan 3, jelaslah bahwa setiap kata dasar (base) dalam “bahasa campur” itu adalah kosakata bahasa Indonesia: arti, misal, keluar, kering, selain, selanjut. Kata pertama dan kedua adalah nomina; kata ketiga dan keempat adalah verba; dan kata kelima dan keenam adalah adverbial, sedangkan afiks (awalan maupun akhiran) yang menyertainya adalah afiks bahasa Jawa. Jadi, di sini telah terjadi campur kode pada tingkat morfologis, dengan basis bahasa Indonesia dengan “bumbu” bahasa Jawa. Tabel 1 Campur Kode pada Tingkat Kata Bahasa Jawa Kata Campuran Bahasa Indonesia teges-e arti-e arti-nya upama-ne misal-e misal-nya ngetok-na ngeluar-na mengeluar-kan di-garing-na di-kering-na di-kering-kan sak-liyane selain-e selain-nya / itu sak-banjure selanjut-e selanjut-nya Seperti pada Tabel 1, pada Tabel 2 “frasa campuran” ditampilkan pada kolom 2, dengan padanannya dalam bahasa Jawa pada kolom 1 dan dalam bahasa Indonesia pada kolom 3. Seperti pada “kata campuran” pada Tabel 1, “frasa campuran” pada Tabel 2 juga menggunakan inti frasa (phrasal heads) dalam bahasa Indonesia: (a) … kepala … wajah, (b) orang Tionghoa, (c) liak (dari kata lihat, diucapkan liak dalam dialek “Blusukan Pecinan”), (d) bergejolak, (e) gitu (bentuk informal dari begitu), dan (f) gini (bentuk informal dari begini). Contoh (a) dan (b) adalah nomina; contoh (c) dan (d) adalah verba; dan contoh (e) dan (f) adalah adverbia. Jadi, ada persamaan antara “kata campuran” dan “frasa campuran”, yaitu bentuk dasarnya adalah bahasa Indonesia, sedangkan “bumbu”-nya adalah bahasa Jawa. Dalam “frasa campuran”, bumbu itu berupa kata yang berfungsi sebagai penjelas, atau modifiers.
155
Tabel 2 Campur Kode pada Tingkat Frasa Bahasa Jawa Frasa Campuran Bahasa Indonesia bagian sirah terus raine bagian kepala terus wajahe bagian kepala terus wajahnya wong Cina iku orang Tionghoa iku orang Tionghoa itu tak jak ndelok tak jak liak saya ajak melihat sing brontak sing bergejolak yang bergejolak mari ngono mari gitu setelah itu ngene dhisik gini dhisik begini dulu Untuk membahas campur kode dan alih kode pada tingkat kalimat, perlu didahului dengan paparan data, yang dibatasi pada narasi 1, karena keterbatasan panjangnya makalah Narasi 1 adalah monolog yang digunakan oleh Silvie Wang sebagai pembawa acara sewaktu dia memaparkan wayang potehi kepada pemirsa TV. Narasi 1 terdiri dari 24 tuturan, termasuk 4 vokatif atau sapaan. Selebihnya, deskripsi kosakata pada narasi 1 ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Kosakata pada Narasi 1 = 335 Kosakata Jumlah Persentase Bahasa Jawa 270 80,6 Bahasa Indonesia 28 8,4 Hokkian 13 3.9 Mandarin 12 3,6 Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa kosakata bahasa Jawa paling banyak, yaitu 270 kata atau 80,6% dari seluruh narasi 1. Maka sangat wajar bila dialek ini disebut “bahasa Jawa dialek Surabaya” yang merupakan varian “Blusukan Pecinan”, karena kosakata bahasa Jawa paling dominan. Kemudian kosakata bahasa Indonesia berada pada urutan kedua sebanyak 28 kata (8.4%), diikuti oleh kosakata bahasa Hokkian sebanyak 13 kata (3.9%), dan terakhir kosakata bahasa Mandarin sebanyak 12 kata (3,6%). Terdapat catatan untuk kosakata Hokkian, kata pou tehi (muncul 1X dalam data) yang dieja dan diucapkan menurut bahasa aslinya yang dihitung sebagai kosakata Hokkian. Tetapi ketika kata ini ditulis potehi (muncul 11X) dan diucapkan dengan aksen Jawa, ia tidak lagi dihitung sebagai kosakata Hokkian, karena ia telah diserap oleh bahasa Jawa sebagai “kata pinjaman”, sehinggadihitung sebagai kosakata bahasa Jawa. Dialek narasi 1 lebih tepat disebut varian “Blusukan Pecinan” daripada “bahasa Jawa dialek Surabaya”. Varian ini menggunakan bahasa Jawa khas Pecinan sebagai basis atau dasar dan lazim dicampur dengan bahasa Indonesia yang khas Pecinan pula, seperti nampak pada contoh berikut. (6) Nah saiki lu kabeh tak jak liyak yok opo se wayang potehi iku. (Nah, sekarang kalian semua aku ajak melihat, seperti apa sih wayang potehi itu.) Pada kalimat (6) frasa lu kabeh merupakan ungkapan Jawa khas Pecinan, dan kata liyak—bentuk informal dari lihat—juga merupakan kata bahasa Indonesia khas Pecinan. Seperti telah disinggung pada bagian Pendahuluan, data penelitian ini sangat menarik sebab campur kode bukan hanya terjadi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia khas Pecinan, melainkan juga antara varian Pecinan tersebut dan bahasa Hokkian serta Mandarin. Campur kode dan alih kode pada tingkat kalimat dapat dicermati dalam penjelasan berikut ini. Campur kode terdiri dari 3 macam: (a) Jawa-Indonesia, (b) Jawa-Mandarin/Hokkian, dan (c) Jawa-Indonesia-Mandarin/Hokkian. Contoh dari masing-masing kategori ini adalah sebagai berikut. (7) Kesenian iki, wes onok sejak jaman dinasti Jin, berkembang pas dinasti Song. (8) a. Ko ko mbek ce ce … b. Nek wong Jawa nduwe wayang kulit, awak ndewe nduwe wayang potehi tinggalane leluhur tekok Zhongguo.
156
(9) Iyo Ko, salah siji critae wayang potehi judule Si Ping Wai Kwan sing nyritakno tujuh kerajaan ndek Zhongguo sing bergejolak. Seluruh tuturan pada contoh (7), (8), (9) berbasis bahasa Jawa hal ini sesuai dengan nama dialek yang telah disebutkan di depan. Pada kalimat (7), terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan munculnya kata sejak dan berkembang. Pada vokatif atau tuturan (8.a) terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan Hokkian, dengan munculnya kata ko ko dan ce ce. Pada tuturan (8.b), terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan Mandarin, dengan munculnya kata Zhongguo yang berarti negara Cina. Pada tuturan (9) terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan Indonesia serta Mandarin, dengan munculnya frasa tujuh kerajaan, kata bergejolak, dan kata Zhongguo. Menurut acuan lingual, tuturan (7) merupakan contoh dari campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena tuturan ini berisi campur kode antara bahasa Jawa dan Indonesia. Sedangkan tuturan (8.a), (8.b), dan (9) merupakan contoh dari campur kode ke luar (outer code-mixing), karena tuturan tesebutr berisi campur kode antara bahasa Jawa dan Hokkian/Mandarin. Akhirnya, perlu ditambahkan bahwa alih kode dalam narasi 1 hanya terjadi 2X (2 dari 24 tuturan), atau hanya 8.3% dari seluruh data. Dengan kata lain, data didominasi oleh campur kode dan alih kode hanya merupakan kasus marginal. 4.2. Mengapa Terjadi Campur Kode dan Alih Kode? Bagian ini berupaya menjawab pertanyaan penelitian kedua: mengapa campur kode dan alih kode itu terjadi? Karena tidak ada kasus alih kode, bagian ini hanya membahas penyebab campur kode. Merujuk kembali pada bagian Kerangka Teori, ada 5 faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode: (a) penutur, (b) mitra tutur, (c) hadirnya penutur ketiga, (d) perubahan situasi percakapan, dan (e) topik pembicaraan (Chaer (1994: 108). Pada seluruh data penelitian ini (yaitu narasi 1, dialog, dan narasi 2—lihat Lampiran 1), faktor (c) dan (d) tidak muncul. Jadi hanya faktor (a), (b), dan (e) yang relevan untuk dibahas. Karena kedua peneliti tidak melakukan validasi data dengan sumber data (Silvie Wang dan Liem Tiong Yang), “penyebab” terjadinya campur kode dan alih kode hanya dapat diduga. Jadi, yang dikemukan dalam bagian ini adalah probable reasons, bukan real reasons—atau “kemungkinan besar penyebabnya”, bukan “penyebab yang pasti”. Pada narasi 1, penutur (Silvie Wang) selalu menyapa “mitra tutur” (pemirsa TV yang tidak dia lihat) dengan ungkapan ko ko mbek ce ce, atau ‘Mas-mas dan Mbak-mbak’. Mengapa ia menggunakan “sapaan campuran” ini? Ia bermaksud memasukkan para mitra tuturnya ke dalam komunitas Pecinan, di mana dia merasa nyaman. Kenyamanan sosial ini juga ia tunjukkan dengan merujuk dirinya dan komunitas tuturnya dengan kata Mandarin Zhongguo ‘negara Cina’ atau frasa Zhongguo ren ‘orang Cina’. Dalam narasi 1, kata/frasa ini muncul 10X—frekuensi yang sangat tinggi (42%) untuk 24 tuturan. Baik dalam narasi 1, dialog, maupun narasi 2, Silvie Wang tidak pernah sama sekali menggunakan kata Cina atau Tionghoa. Hal tersebut berbeda dengan Liem Tiong Yang, “takmir” klenteng yang dia wawancarai. Rohaniwan ini, seperti nampak pada data berupa dialog, merujuk komunitas tuturnya dengan frasa orang/wong Tionghoa (muncul 4X), bahkan dengan frasa wong Cino (muncul 1X). Dia sama sekali tidak pernah menggunakan kata Mandarin Zhongguo ‘Cina’ atau frasa Zhongguo ren ‘orang Cina’. Jadi, meskipun Silvie Wang dan Liem Tiong Yang berada dalam komunitas tutur yang sama, secara pribadi mereka berbeda dalam mengungkapkan diri dan merujuk komunitas tuturnya. Berdasarkan topik pembicaraan, yaitu “wayang potehi”, muncul kosakata Hokkian sebanyak 8X (2.4%). Kosakata ini muncul karena real lexical need (Savile-Troike 1986: 69) yang disebabkan tidak ada padanan kata dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia untuk nama-nama alat musik dan perlatan lain yang diperlukan untuk pentas wayang potehi. Dalam dialog, ketika terjadi pembahasan aspek budaya dari wayang potehi, tidak muncul kosakata Mandarin atau Hokkian. Campur kode hanya terjadi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia khas varian Pecinan.
157
5. Kesimpulan Seluruh pembahasan dalam makalah ini pada hakekatnya diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan penelitian; dan secara ringkas jawabannya dapat dibuhul-simpulkan menjadi tiga butir. Pertama, campur kode terjadi pada tingkat kata, frasa, dan kalimat. Pada tingkat kalimat, campur kode terjadi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia khas varian Pecinan. Kedua, pada tingkat kalimat juga terjadi campur kode dengan kosakata Hokkian dan Mandarin, atau outer code-mixing, yang memiliki dua fungsi: (a) demi solidaritas kelompok, dan (b) karena kebutuhan kosakata yang tidak memiliki padanan pada “bahasa asli”. Ketiga, campur kode jauh lebih dominan daripada alih kode, karena dua hal: (a) data lebih banyak berupa narasi atau monolog; dan (b) pada data berupa dialog, kedua penutur adalah anggota komunitas tutur dialek bahasa Jawa varian Pecinan.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Hoffman, Charlotte, 1991. An Introduction to Bilingualism. New York: Longman Publisher, Ltd. http:// www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pdf . Nababan, P.J.w. 1980. A Study in Bilingualism and Bilinguality in Indonesia. In Boey, Lim K. (Ed). Bilingual Education: Antology Series 7, Singapore: SEAMEO Regional Language Centre. Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc. Savile-Troike, Muriel. 1986. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pdf. Diakses pada tanggal 30 Juni 2014.
Lampiran 1. Data Berupa Narasi dan Dialog NARASI 1 Selvie Wang : 1. “Ko ko mbek ce ce… 2. Gawe Zhongguo ren, wayang potehi ndak cuma sarana hiburan, tapi yo duwe fungsi sosial ambek ritual keagamaan. 3. Kesenian iki, wes onok sejak jaman dinasti Jin, berkembang pas dinasti Song. 4. Pou tehi asale teko kata puo sing artie kain, te artie kantong, lha ambek hi sing artine wayang.” 5. Musik sing dipake musik khas Zhongguo, kayak gembreng atau lo, suling atau phin-a, gitar atau gueh khim, terompet, ai-a ambe piak kou yaiku alat sing ngeluarno bunyi trok trok trok. 6. Sampe saiki wayang potehi tetep disenengi, ndak cuma Zhongguo ren, tapi yo masyarakat Jawa. 7. Yah… Ko ko mbek ce ce… 8. Nek wong Jawa nduwe wayang kulit, awak ndewe nduwe wayang potehi tinggalane leluhur tekok Zhongguo . 9. Nah ciamike sing maen gak cuma’ Zhongguo ren, tapi yo wong Jawa. 10. Biasae nyritakne tentang sejarahe perjuangane pahlawan nang Zhongguo. 11. Nah saiki Lu kabeh ta’ jak liyak yok op se wayang potehi iku. 12. Ko ko mbek ce ce 13. Wayang Potehi ndak beda ambek wayang liya-liyane. 14. Mbiyene sing dimaeno mek lakon-lakon klasik Zhongguo. 15. Biasae pake dialeg Hokkian. 16. Majune jaman wayang potehi yo dimaenno pake bahasa Indonesia.
158
17. Unike lakon sing dimaenno ndik wayang ini, akeh diadaptasi jadi lakon kethoprak. 18. Contoe tokoh Si Jin Kui Jadi Joko Sudiro, Li Si Bin jadi tokoh prabu Lisan Puro, ambek sek banyak lagi. 19. Iyo Ko, salah siji critae wayang Potehi judule Si Ping Wai Kwan sing nyritakno tujuh kerajaan ndek Zhongguo sing bergejolak. 20. Yok opo critane, kulo deloken dewe! 21. Ndek Yin ni wayang potehi dibawak ambek Zhongguo ren, sing merantau pas abad nem belas sampe songolas. 22. Kesenian iki yaiku asli kesenian khas Zhongguo ren sing asale teko selatan. 23. Saklaine tontonan, wayang potehi yo wujud persembahan gawe para dewo. 24. Ahh haha iyak, Ko ko mbek ce ce, saiki aku iki mau nanya-nanya nang Suk Liem sing iso njelasno maknae ambek sejarahe wayang potehi, yok opo se sakjane kok sampe onok wayang Potehi iku yah. DIALOG 1. “Suk, yak apa se Suk sejarae mbiyenne, kok iso onok wayang poutehi?” 2. Liem Tiong Yang: “Ngene lho Jie, wayang Potehi iku sakjane suguhane para dewa. 3. (Selvie Wang : “Gawe dewa he em”). 4. Dadi meskipun nggak onok sing ndelok, meskipun nggak onok sing ndelok wayang tetep main 5. (Selvie Wang : “Tetep maen”) karna iku memang istilahne menghibur para dewa-dewa para suci sing onok nggone njero klentheng iku maeng. Critane iku kan bercerita tentang kerajaan. 6. (Selvie Wang : “Kerajaan”). 7. Lha di situ akeh makna-makna, pesan-pesan moral yang bisa disampaikan bagi orang yang melihat tadi. (Selvie Wang : “Gawe sing ndelok yo suk yo”) 8. Oh ho’o terus... Intine…ya iku mau. 9. Apa sing biasane iku sing dijupuk tentang kisah apa suk biasane?” 10. Rohanian Konghucu : “E kisah-kisah kerajaan misale misale kepahlawanan. 11. (Selvie Wang : “He em”). 12. Yak… Trus kemudian mungkin bisa juga cerita cinta, pengkhianatan 13. (Selvie Wang : “Hemm”) 14. Ya … sehingga bisa diambil opo suri tauladan ya diambil suri tauladan. 15. (Selvie Wang : “Oh he em”) 16. Bahkan terjadi kolaborasi budaya antara kalo orang jawa punya kethoprak, 17. (Selvie Wang : “He em”) 18. Wong Cino iki duwe wayang. Ya kan? 19. Atau kethoprak wayang apa… wayang apa wayang wong, 20. (Selvie Wang : “Berarti dipadukno ngono yo suk yo”) 21. A… orang Tionghoa punya wayang poutehi. 22. (Selvie Wang : “Ohh. Eh Suk, tapi lha saiki iku sing maen iku ake-akene gak Zhongguo ren tok yo Suk yo. 23. Yak apa ngono iku Suk? 24. Kan wong lokal-lokal wong Jowo akeh sing maen wayang poutehi. 25. Lha ngono iku yak apa Suk?” 26. “Yo ngono, itu mencerminkan bahwa orang Tionghoa iku sebetulnya tidak eksklusive. 27. Mau berbagi ilmu. 28. Artinya e siapa saja. 29. Seni itu kan luas. 30. Tidak “oh iki isine wong Tiong hoa, wong Tionghoa thok sing nggawe, yo ora. 31. Jadi wong di luar Tionghoa mau mau ikut berpartisipasi mau belajar monggo. 32. Yo monggo.”
159
33. SW: “Berarti sejatine makna wayang Potehi iku mau yo Suk yo… gawe persembahan gawe dewa.” 34. “Betul, persembahan gawe para dewo.” 35. SW: “Oh yo yo ngerti aku saiki.” NARASI 2 1. “Iyo Ko ternyata maknae wayang Potehi iku masio gak onok sing nonton tetep dimaenno lha wong wayang iku tujuane gawe para dewa.” 2. Ko ko ambek ce ce. 3. Bikin wayang Potehi prosese gampang-gampang angel. 4. Bahan sing digawe kuduk kayu waru sing kualitase apik. 5. Mari gitu dipotong dawae 20 cm, terus dikeringno. 6. Selanjute dibentuk bagian kepala terus wajahe. 7. Sing dadi pedoman iku telinga, mergane dadi kunci supaya wayang sing digawe ukurane ndak terlalu pendek atau kepanjangen. 8. Lha paling angel, pas bikin wayang sing nduwe karakter alus ambek berwibawa… kayak raja, ratu, putri ambek dewa. 9. Waktu sing diperlukno limang dina gawe sejenis wayang. Saklaine iku yo dibutuhno ketelatenan ambek ketekunan. 10. Ko ko ambe ce ce… 11. Masio sempet dilarang, wayang Potehi ndak iso dipisahno ambek jagad negeri iki. 12. Kulturasi budaya sing terjadi ndak iso dibendung ambek undang-undang. 13. Apa maneh aturane manungso. Berkesenian itu lak hak setiap orang to? 14. Lak yo gitu to Ko? 15. Yah… Ko ko mbek ce ce, 16. Sakmarie Lu kabeh liyak pertunjukkan wayang poutehi, apa kesane Lu kabeh? 17. Nggak eman tah nek itu tadi bakal ilang dimakan enteke jaman. 18. Nah… moga-moga ini tadi ngasih manfaat buat Lu kabeh. 19. Gini disek blusukan pecinan, kamsiah yo… kamsiah kamsiah kamsiah. Reporter/Presenter : Selvy Wang Narator/Kameramen : Gigik Sugiyono Editor : Dwi Kemala Produser Pelaksana : Gigik Sugiyono Produser : Endri-Bayu Teks Narasi ditulis ulang : Vico
160
Achieving Sociolinguistic Competence in EFL Classroom: Predicaments and Remedies for ELL Ema Faiza, English Department, Faculty of Humanities, Universitas Airlangga
Abstract English has been playing an important role as a lingua franca in today’s globalized society to the extent that the ability to express oneself in this language has become a vital skill. However, achieving competence as a result of English language learning, not to mention in urban society, is not always as easy as it seems. Following Communicative Approach, learners of English will be considered reaching a level of success if they are able to develop their competence in the four aspects namely linguistic competence, discourse competence, strategic competence, and sociolinguistic competence. Though the four competences should be obtained in balance, the sociolinguistic competence, the learner’s ability to use language appropriately in various social contexts, will be the focus of this study. It is due to the fact that learners of English still encounter some failures in adjusting cultural and sociolinguistic aspects of the language they learn. Thus, their productive skills often result some serious breaches. For learners living in the target language, it is assumed that they will acquire sociolinguistic competence simply by immersion. Yet, those who are not will come across some difficulties in adjusting ‘approriateness’ of their language use. Motivated by some flouts found in some practices, this study attempts to observe predicaments in acquiring sociolinguistic competence and at the same time locate some possible remedies. It is then believed that embedding culture lessons in the language skill practices develop the level of sociolinguistic competence as the learners are able to judge appropriateness of language usage in various social contexts. Key words: appropriateness; culture; sociolinguistic competence
1. Background It is of no question that as today’s world becomes more and more globalized, the ability to communicate in a foreign language particularly a lingua franca is correspondingly a vital skill. The fact that English has been generally accepted the global lingua franca for both social and occupational communication consolidates the number of speakers of this language outnumbering the number of its native speakers. The British Council (http://www.britishcouncil.org/learning-faq-the-english-language.htm) resumes that because a working knowledge of English is required in so many fields and occupations, speakers of English as a foreign language (henceforth EFL) has reached the figures that exceed the quantity of those who use it in 75 countries where it is the first language. It is believed that approximately 750 million people speak EFL in the world. Due to this fact, the speaker of EFL must assure themselves that communicating in this language require the ability to talk about any subjects in any situations from dinner table to a speech at the inaugural ball. American Council on the Teaching English as a Foreign Language scale for language proficiency labels stipulates superior level of speaking means that learner is approaching such a capacity. To reach the superior level of speaking ability, one must be able to talk about abstract topics and express appropriately in a wide variety of settings with very few errors. However, even after studying English for many years, learners often far from achieving this level of proficiency in the sense that great difficulties are still on their ways to express themselves in English suitably. Reasons for this continued difficulty in communicating in English may include problems with pronunciation, lack of knowledge on actual speech use of idiomatic expressions and slang, and learners differences in the ability to acquire language and motivation to produce native-like speech. Another important contributing factor that will be the
161
focus of discussion in this paper is the ability of a speaker to know which utterances are appropriate in the social situations in which he or she is speaking. This ability to adjust one speech to fit the situation in which it is said is termed sociolinguistic competence. It is undoubtedly testified that even the most perfect grammatical utterances can convey a meaning entirely different from that which the speaker intended. Observations in the EFL classroom reveals that one of the factors that makes sociolinguistic competence strenuous to develop is the large variance in cultural rules of speaking. In other words, what is appropriate to say in one culture may be completely inappropriate in another culture though the situation in which it is said is the same. Learners are often unaware of these differences and accordingly uses the rules of speaking of his or her native culture while communicating in English. This process, titled pragmatic transfer, results in misunderstandings between the speech participants, and can potentially cause serious breakdown in communication. The rules of speaking can be gradually acquired by language learner as he or she is immersed in the target language culture. However, learning these rules through immersion is a time-consuming process, with many rules going unnoticed for years or even worse, never being obtained at all. Thus, teaching sociolinguistic competence as a supplement in the EFL classroom may effectively assist learners during the immersion process. Though attempts have been presented to achieve effective teaching of sociolinguistic competence and accordingly successful acquisition of this competence, issues are still pointed out. The dilemma raises as the number of difficulties of associated with the teaching of sociolinguistic competence to EFL learners is various leading to the circumstances that need to be addressed. The following discussion is an endeavor to locate some problematic issues in the teaching of sociolinguistic competence in an EFL classroom. 2. Achieving sociolinguistic competence in EFL classroom: some predicaments and remedies The ability to speak a language that is not one’s own has become vital skill. Furthermore, the world’s politics and economy ride on the ability of individuals to effectively communicate across cultural boundaries. The key to communication lies in successful expression of one’s intended meaning, which is not always as easy as one would hope. All too often that students who have studied in a foreign language for years will go to the country where that language is spoken only to find that despite years of study, they are still unable to express their meaning to native speakers. To make things worse, the language learners may say a perfectly grammatical utterances that native speaker can understand, but the speaker of that foreign language might not know the normal social meaning communicated by such an utterance in the circumstance at hand in the target language culture. Let us take an example of an Indonesian student learning English intended to express his concern for the teacher’s well-being. Taking his own cultural value as a parameter, he sincerely advised the teacher to eat less fattening foods so that he will look more fit. Being an American, the teacher undoubtedly understood the utterances spoken by the student. Yet, American culture that interprets such advice as an assault on one’s privacy and at the same time a rude comment have created a barrier in communication between the two. Cultural differences causes problems for language learners, in this case, one can see how the speaker has unknowingly violated American rules on what type of advice one can give, when it is appropriate to give this advice , to whom it is appropriate to give such advice, and for what reasons one would choose to give someone advice in the first place. These rules of speaking change as one moves from culture to culture, thus, the cultural context plays a vital role in accurate expression of meaning. Other contextual factors such as when the utterance is said, the setting of the speech event i.e. speech in a courtroom is different from the speech made while eating at Mc Donald’s, and the participants involved (looking at such factors as social status, gender and age of the participants) all affect the language being
162
expressed. An utterance may be grammatical, but as in the advice giving example, one must know whether or not the utterance is appropriate to the given context. The examples above show what happens when one has a high linguistic competence but a low sociolinguistic competence. Basically, the situation does not really allow the learners to take the meaning he or she wishes to convey by only applying the appropriate grammar rules for speaking that utterance in the target language amidst the fact that his or her lack of sociolinguistic rules for speaking result in a violation to the target language culture. The Indonesian speaker who tried to compensate his lack of sociolinguistic competence by using the sociolinguistic rules of his native language instead. The speaker, in ignorance of the norms, does not even realize that any sociolinguistic rules of speaking were broken, and feels confused when the listener responds strangely or seems putt off by what was said. To make matters worse, since the language learner has a high level of linguistic competence, the native listener assumes the speaker also possesses an equally high level of sociolinguistic competence, and the language learner’s sociolinguistic errors are not perceived as language errors but as flaws in the speaker’s character. As a result, the language learner comes across as a rude and ill-mannered person (Marsh, 1990, p.182). Early in the twentieth century, language teaching focused primarily on grammar and translation of written text. The shift of focus to speaking competence in more recent years fostered the idea of communicative competence, that is, the ability to speak a language proficiently. Canale and Swain in 1980 and 1983 respectively break down communicative competence into four parts: (1) linguistic competence, ability to use the linguistic code, grammar, pronunciation, and vocabulary correctly, (2) discourse competence, which is the ability to maintain cohesion between segments of discourse, (3) strategic competence, which is the learner’s ability to repair communication breakdown and work around gaps in his or her knowledge of the target language, and finally (4) sociolinguistic competence, the learner’s ability to use language appropriately in various social contexts. Canale and Swain’s model for communicative competence serves to ensure that non-linguistic aspects of language such as sociolinguistic competence would not be ignored in the light of communicative competence. Sociolinguistic competence requires adjusting one’s grammatical forms to be appropriate to the setting in which the communication take place. Attention is paid to such factors such as age, status, and sex of the participants and the formality of the setting. When one travels to a different culture, these situational factors may call for different speech reactions than they would in the native culture. A direct quotation from Wolfson (1989) describes the effects of this different cultural context on language learning or sociolinguistic relativity as following: …each community has its own unique set of conventions, rules, and patterns for the conduct of communication and (that) these must be understood in the context of a general system which reflects the values and the structure of society (Wolfson, 1989, p.2) The above claim conforms that culture can be used as an undelying framework for making sense of all the regularities in a community’s use of language. Language learners may better understand the conventions of language use in a society if they also study that society’s culture, emphasizing again the importance of teaching both cultural and sociolinguistic aspects of language. So how can the foreign language teacher increase the sociolinguistic competence of learners? An obvious possibility might be to teach culture and sociolinguistic issues explicitly in the classroom. However, this approach is still quite problematic. Culture is hard to define, much less teach to learners not yet fully competent in the language of instruction, which is why culture is often taught only the advanced levels classes. In the case of English as a Foreign Language, teaching such a sensitive topic as culture to learners retaining different culture can be particularly challenging. Another problem is that both culture and sociolinguistic features are so deeply ingrained within a person that he or she is not even aware of many of these elements on a conscious level, making it hard for teachers to teach the learners. In response to these difficulties, culture is
163
commonly taught only as an add-on topic, or it is taught indirectly through literature and facts about the target language country, while sociolinguistic issues are often left for the learners to learn by experience. The development of cultural and sociolinguistic awareness may not always be effective through these methods alone, and it is beneficial to supplement these methods with approaches that incorporate these topics directly to the teaching syllabus. However, with cultural and sociolinguistic factors not being treated as major issues in language teaching, there is little interest in the development of teaching materials on these topics, and those materials available are often of poor quality. The fact that language is so deeply embedded within a person’s subconscious, he or she is unable to notice where the target language rules of speaking differ from their native language rules which seem so natural. From the time of birth, children are raised within a cultural context, and since culture is an integral part of language, the process of socialization in the conventions of this culture occur simultaneously as a part of language acquisition (Ochs & Schieffelin, 1984). Since one is socialized in one’s native language culture from birth, much of one’s understanding of reality is founded in these early cultural lessons. Culture so thoroughly affects perception of the world and persons may be so thoroughly bound to their own culture that they may be unaware that other ways of viewing life are even possible. For example, Americans measure a person’s worth largerly by their achievements and accomplishments in life. This outlook may be different from many non-Western societies that measure an individual’s worth principally by who they are, looking not at what they have done in life but rather what role or social status they were born into. When people confront a culture whose basic values differ from their own, the may see this culture as wrong. When people are so embedded in their native culture that they are unable to understand or accept the fact that other cultures may view the world differently, they are said to suffer from cultural myopia. Cultural myopia affects everyone o some extent, since people are socialized in their culture their entire lives unless they leave it to live somewhere else (Ochs & Schieffelin, 1984). Cultural myopia becomes a serious problems when one realizes just how frequently a society’s cultural values are mirrored in the use of language. For example, in the American use of compliments, the things that Americans are a direct reflection of the values upheld in American society. (Manes, 1983). Americans commonly compliment the newness of things because newness is highly valued in American culture. When responding to a compliments, Americans frequently show modesty by choosing to downplay a compliment on a dress by saying, “Oh, this old thing?” instead of simply saying thank you, the downplay response indicates another American value, that is equality among human beings, by making an effort not to appear to better than others. Such usage may show how similar American response to Indonesian speakers’ , yet bearing a fact that the value upheld might still be different since Indonesians are always urged to not respond to compliment abruptly by avoiding a confirm to a compliment. The value of being humble and show off guard Indonesians from frequent responses to compliments and give just a smile in return. 3. Conclusion Achieving sociolinguistic competence for learners of English is neither easy nor hard to actualize. While the ability of using the language appropriately becomes focus of this competence, learners still undergo some predicaments in accomplishing it. Some possible antidotes are when one considers the vast cultural differences in ways of viewing the world and how the rules of speaking vary as a reflection of these differences, when one understands how culture is deeply embedded in a person through socialization resulting in cultural myopia, when one sees how pragmatic transfer occurs as language learners are unaware of cultural differences in language use and apply their native language rules of speaking to target language. It is then brought to fruition that sociolinguistic competence is probably the most difficult achievement
164
that may never occur through immersion in the target language alone, and perhaps is a skill that must at least in part be addressed in the foreign language classroom.
References Canale, M. & Swain, M. 1980. Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing. Applied Linguistics, 1, 1-47. Manes, J. 1983. Compliments: a mirror of cultural values. In N. Wolfson & E. Judd(Eds.), Sociolinguistics and language acquisition (pp.96-102). Rowley, MA: Newbury House Marsh, D. 1990. Towards teaching a grammar of culture. In A Sarinee (Ed.), Language teaching methodology for the nineties (pp. 178-191). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre. Ochs, E. & Schieffelin, B. 1984. Language acquisition and socialization: three developmental stories and their implications. In R. Shweder & R. Le Vine, Culture Theory (pp.276320) Wolfson, N. 1989. An empirically based analysis of complimenting in American English. In N. Wolfson & E. Judd (Eds.). Sociolinguistic and language acquisition (pp.82-95). Cambridge: Newbury House Publishers.
165
Revisiting Strategic Competence: A View towards EFL Learners in Urban Society Lilla Musyahda, University of Airlangga
Abstract The cultural differences in one’s interpretations could lead to misunderstanding and ill feelings. The fact that learners of English would experience two atmospheres, which be the different poles to go back and forth, is a problematic cross-cultural issue. It becomes the main concern of interlanguage pragmatic which deals with the acquisition and performance of pragmatic skills in a foreign language. As the process will form the interplay between two languages, it leads to interesting phenomena in which many aspects are involved. Hence the writer is interested in examining the strategic competence, i.e, the ability to solve communication problems despite an inadequate command of the linguistic and sociocultural code, can contribute to the development of an overall communicative competence. The concept of strategic competence is within the general framework of interlanguage development. The paper will describe those two basic types of communication strategies (reduction and achievement), concentrating particularly on the use of achievement strategies at the discourse level for English learners to manage a communication across culture appropriately in urban society. Key words: strategic competence, interlanguage pragmatics, achievement strategies.
1. Introduction The learners of English would experience ' two atmospheres' - the different poles to go back and forth. Coined by Larry Selinker in Ellis (1985:180), the term is called ' communication strategy' which is the account of the processes responsible for interlanguage and it has been a steady increase of interest in the learner's communication strategies since then. The definition of communication strategies is also mentioned by Stern (1983:411), i.e., techniques of coping with difficulties in communicating in an imperfectly known second language. Terrel in Jack C. Richard (1983:11) states that communication strategies are also crucial at the beginning stages of second language learners. For example, when one does not know the English term 'train station', s/he might try to paraphrase such as 'the place where trains go' or 'the place for train'. Canale and Swain in Rod Ellis (1985:184) proposes that communication strategies are to be seen as a part of communicative competence and identifies it as "strategic competence" which means as how to cope in an authentic communicative situation and how to keep the communicative channel open. Therefore, communication strategies can be defined as follows: Communication strategies are psycholinguistic plans, which exist as part of the language user's communicative competence. They are potentially conscious and serve as substitutes for production plans, which the learner is unable to implement.(Ellis, 1985:180) Hence it has two main points, that is, conscious and productive. Bachman (1996:70) reinforces the concept of strategic competence as a set of metacognitive components, or strategies, which can be thought of as higher order executive processes that provide a cognitive management function in language use, as well as in other cognitive activities. The processes will form the interplay between two languages. They lead to interesting phenomena in which many aspects are involved. As language is the chief means by which people communicate, yet simply knowing the words and grammar of languages do not ensure successful communication. Their interpretation depends on a multiplicity of factors, including familiarity with the context, intonational clues and cultural assumption. Phenomena like these are the concern of pragmatics, Blum-Kulka in Van Dijk proposes the formal definition of pragmatics (Van Dijk, 1997:37):
166
Pragmatics is the science of language seen in relation to its users (Mey, 1983:5); in other words, the focus of pragmatics is on both the processes and the product of communication, including its cultural embeddedness and social consequences. As both of the processes and the product of communication are the main concern of this study, Chomsky's view on pragmatics that cited from Mey (1993:36) also reinforces that: .......The proper domain of pragmatics would be what chomsky has called performance, that is to say, the way the individual user went about using his or her language in everyday life. The practice of performance would be then defined in contrast to the user's abstract competence, understood as his or her knowledge of the language and its rules. Blum-Kulka in Van Dijk.(1997:43) defines interlanguage pragmatics as a study which concerns with the acquisition and performance of pragmatic skills in a second language. Acquisition is the representatives of competence, hence the writer is interested to examine how strategic competence- the ability to solve communication problems despite an inadequate command of the linguistic and sociocultural code- can contribute to the development of an overall communicative competence. The development of communicative competence consists of (a) organisation competence and (b) pragmatic competence. Organisation competence refers to ability to form a formal structure of a language and produce correct grammatical sentences or it comprises knowledge of linguistic units and the rules of joining them together at the levels of sentence (grammatical competence) and discourse (textual competence). Respectively, the competence is divided into two, that is, grammatical and textual. Grammatical competence covers vocabulary, morphology, syntax and phonology; Textual competence refers to the coherent and rhetoric. Pragmatic competence defines the rational side of mind. Individuals lacking this competence would be unable to utter relevant arguments or even to form relevant thoughts. It has never been reported the existence of a culture on earth in which normal individuals would be lacking the ability to be relevant. Pragmatic ability in a second or foreign language is part of a nonnative speakers (NNS) communicative competence and therefore has to be located in a model of communicative ability. Pragmatic competence subdivides into 'illocutionary competence' and 'sociolinguistic competence'. 'Illocutionary competence' can be glossed as 'knowledge of communicative action and how to carry it out'. The term 'communicative action' is often more accurate than the more familiar term 'speech act' because communicative action is neutral between the spoken and written mode, and the term acknowledges the fact that communicative action can also be implemented by silence or non-verbally. 'Sociolinguistic competence' comprises the ability to use language appropriately according to context. It thus includes the ability to select communicative acts and appropriate strategies to implement them depending on the current status of the 'conversational contract' (Richard, 1983: 1) Oller in Bachman (Bachman,1996:70) points out that strategic competence refers to the mastery of verbal strategy and non- verbal strategy to overcome the failure in communication due to inaccurate competence. Thus, strategic competence consists of three components, that is, (a) assessment, (b) planning, and (c) execution. Assessment component covers the area of information recognition, including language variety or dialect, determining language competence to achieve the goal of effective communication, and evaluating the purpose of inprogress communication. Planning component consists of relevance point of language competence, that is, grammatical, textual, illocutionary and a formula to achieve the goal of communication. 'Execution' component is relevance with the mechanism of psychophisilogic to carry out the planning relates to the context and purpose of communication. Basically, psychophisiologic mechanism is a neurologic and physilogic process involved in phase of language use. As language activity is able to operate the model of productive and /or receptive, different skills are needed for each activity. At the receptive process, the skills of auditory and visual have important roles, while productive aspect involves the skills of neuromuscular.
167
Stern (1983:229) proposes that the third element of communicative competence besides grammatical and sociolinguistic competence i.e., Strategic Competence, is to know how to conduct himself as someone whose sociocultural and grammatical competence is limited, i.e., to know how to be a 'foreigner'. 2. Strategic competence in interlanguage development The notion 'interlanguage' alludes to a language "between" two languages, i.e. a target language (TL) norm that a student is trying to achieve, and his first language (L1). The interlanguage has characteristics of both of these languages. However, the nature of the blending, or how "between" is to be interpreted, and it has always been vague in second language acquisition (SLA). The main features of interlanguage, which will be used in the diagnosing system, are overgeneralisation of TL rule statements and transfer from L1. In the diagnostic system, overgeneralisation will be implemented as constraint relaxation and transfer will be implemented by means of an alternative L1 based grammar. Transfer is understood in the sense, which is used in SLA research. The second language learner, at the beginning of his study, has his attention focuses on one norm of the language whose sentences he is attempting to produce. The sketch of process can be described as follow; (1) accepting the notion of target language (TL), i.e., the second language learner is attempting to learn which means that there is only one norm of the dialect within the interlingual focus of attention of the learner. Moreover, (2) focusing on analytical attention on interlanguage data (IL), i.e. the utterances that are produced when the learner attempts to say sentences of a TL. The set of utterances for most of learners of a second language is not identical to the hypothesized corresponding set of utterances which are produced by native speaker of the TL had he attempted to express the same meaning as the learner. As the two sets of utterances are not identical, it could be relevant to the theory of second language learning, that is, one would be completely justified in hypothesizing perhaps even compelled to hypothesize, the existence of a separate linguistic system based on the observable output which results from learner's attempted production of a TL norm. It is assumed that this linguistic system is called interlanguage. Strategic competence in the frame of interlanguage respectively can be assumed as the ability to cope with unexpected problems, when the speaker of foreign language has no readymade solution available. It entails to certain phenomenon in coping with the obstacles, which can be measured using general parameter of oral production. Mariani (Tesol, 1994:June) proposes that it is called reduction strategies and achievement strategies. The initial strategies can affect the following circumstances: a. Content : -topic avoidance -message abandonment -meaning replacement b. Modality (politeness makers) c. Speech act (communicative action) The achievement strategies will influence two areas respectively, that is: 1. Words/sentence level: a. Borrowing (code-switching) b. Foreignizing c. Literal translation d. Interlanguage-based: -Generalization -Paraphrase -Restructuring 2. Discourse level: a. Opening and closing conversation b. Keeping a conversation going c. Expressing feeling and attitude
168
d. Managing interaction (handling a topic/discussion) e. Negotiating meaning and intention The typology of Interlanguage Stages (Luciano Mariani, TESOL Journal Italy, June 1994)
IDEAL ZERO COMPETENCE
IDEAL NATIVE SPEAKER
INTERLANGUAGE STAGES
3. Theory of cross cultural pragmatics To understand human interaction we have to comprehend 'interact ional' meanings expressed in speech. Unfortunately, there are many aspects involved in this interaction, as consequently a failure will come up in describing the messages. The goal of a communication is to transfer message from the speaker to the hearer. As describing meanings part of the process of understanding utterances, the hearers perceive it in their own value. Meanwhile, there is still a gap between describing a meaning in L1 and L2 respectively. At one time, a versatile instrument to describe a meaning is standard lexicographic descriptions of words such as question and interrogative. However, it is a general description of precision and a vague boundary for both of the words. For example, Webster thesaurus and dictionary explanation for such words; Question - a command or interrogative expression used to elicit Interrogative - an interrogative utterance, a question All such explanations of interactional meanings are clearly, totally circular (Wierzbicka, 1991:6). Furthermore, they are defined in terms which is language specific (usually, English specific) and which provide no language- independent, universal perspective on the meanings expressed in linguistic interaction. In the meantime, the process of interaction between the speakers and hearers take place in the local circumstances in which universal values of such activities are not equal. The phenomenon has emerged in the last decade that shows a growing reaction against this of misguided universalism. It leads to the transpiring of a new direction in language study associated with the term 'cross-cultural pragmatics'. The main ideas, which have informed this new direction in the study of language, are these: (Wierzbicka, 1991:69) (1) In different societies, and different communities, people speak differently. (2) These differences in ways of speaking are profound and systematic. (3) These differences reflect different cultural values, or at least different hierarchies of value. (4) Different ways of speaking, different communicative styles can be explained and made sense off, in terms of independently established different cultural values and cultural priorities. 4.Conclusion As it has been stated earlier that there are 12 kinds of strategic competence. The strategies basically relates to reduction strategies and achievement strategies. Reduction strategies can affect the following (a) content which can be seen as topic avoidance, massage abandonment, meaning replacement; (b) modality or politeness makers;(c) speech act (communicative action). Meanwhile achievement strategies influence two areas respectively, that is, words/sentence level and discourse level. At words/sentence level, the strategies are in the function of borrowing/code-switching, foreignizing, literal translation, and interlanguage
169
based in the form of generalization, paraphrase, and restructuring. Whereas, discourse level can be analyzed at the form of opening and closing conversation, keeping conversation going, expressing feeling and attitude, managing attitude and negotiating meaning and attention. What is found in this context are reduction strategies which consist of content and modality. Whereas, speech act or communicative action is not found since the context is of a non-formal situation. Furthermore, the writer finds achievement strategies in the form of borrowing(code-switching)and interlanguage based which can be seen as paraphrase and restructuring. The communication across culture may become less frustrating if we know that different communicative styles, and different norms of social interaction are not only universal but also simple and easy to understand to the second language learners. It can be hoped that the kind of competence can be used as a tool for investigating linguistic interaction in different cultural settings. Particularly, it can be as a basis for teaching successful cross-cultural communication.
References Bachman, Lyle F. 1997. Language testing in Practice: designing and Developing Useful Language Test. Hongkong. Oxford. Ellis, Rod. 2010. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Ellis, Rod. 2000. Second Language Acquisition. Oxford Introductions to Language Study. Editor H.G. Widdowson. Oxford. OUP. Gass, Susan M. 2003. Linguistic Perspective on Second Language Acquisition. New York. Cambridge University Press. Richards, Jack C. Language and Communication. 1983. England. Longman. Mariani,Luciano.1994.http://web.tiscali.it/learningpaths/htm Mey, Jacob L.1993. Pragmatics An Introduction. UK. Blackwell. Stren, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press. Van Dijk, Teun A.1997. Discourse as Social Interaction. London: Sage Publication. Wierzbicka, Anna.1991. Cross-Cultural Pragmatics The Semantics of Human Interaction.Berlin: Mouton De Gruyter.
170
Mengungkap Fenomena Budaya Pantangan dalam Etnik Kaili: Jendela Pemahaman Budaya Melalui Bahasa Deni Karsana, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah, Palu
Abstrak Pantangan merupakan suatu perilaku yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam kehidupannya. Pantangan selalu menjadi hal yang ditekankan dalam kehidupan bermasyarakat. Umumnya, pantangan selalu berakar pada masyarakat yang berpola tradisional. Pengungkapan pantangan pada suatu etnik dapat memperlihatkan wawasan pola pikir mereka dalam berbahasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ternyata banyak pantangan dalam kehidupan etnik Kaili yang perlu diketahui. Pantangan tersebut menjadi ciri khas etnik Kaili yang berbeda dengan etnik lainnya. Kata Kunci: etnik Kaili, fenomena budaya, pantangan.
1.
Pendahuluan Suatu etnik dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai macam hal melingkupinya. Salah satunya adalah pantangan. Pantangan merupakan suatu tindakan pencegahan dari leluhur atas akibat yang ditimbulkan dari suatu kegiatan yang dilarang. Pantangan umumnya berupa pelarangan kegiatan, baik pelarangan secara verbal maupun pelarangan secara nonverbal. Etnik Kaili umumnya menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Kaili. Selain bahasa Kaili, bahasa Indonesia juga digunakan oleh etnik Kaili sebagai bahasa nasional. Menurut Pusat Bahasa (2008: 79) Bahasa Kaili merupakan bahasa yang tanah asalnya (homeland) berada di Kabupaten donggala, Parigi, Sigi, dan Kota Palu, Provinsi Sulawesi tengah. Menurut pengakuan penduduk, di sebelah utara wilayah pakai bahasa Kaili berbatasan dengan bahasa Bugis dan bahasa Bada; di sebelah timur berbatasan dengan bahasa Bada dan hahasa Jawa; di sebelah selatan berbatasan dengan bahasa Bugis; dan sebelah barat berbatasan dengan bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa Sangihe Talaud (satal). Etnik Kaili terutama yang masih berada di luar kota Palu, masih berpegang teguh pada tradisi yang dianutnya. Tidak semua etnik Kaili berpikir modern, terutama mereka yang tinggal di luar kota Palu, yaitu yang tinggal di pinggiran, di desa-desa atau di lereng gunung masih berpola tradisional. Menurut Hasyim (2003: 5) dalam sistem kultur masyarakat, terutama masyarakat tradisional, keberadaan pemali ini sangat kuat dan sangat diyakini kebenarannya oleh masyarakatnya sehingga sesuatu yang dipemalikan itu dipegang teguh. Mereka enggan dan takut melanggarnya sehingga mereka berhati-hati agar tidak melanggar pemali. Namun, kadangkadang pemali itu sebagian sudah ditinggalkan oleh masyarakat walaupun sebagian masyarakat masih berpegang teguh pada beberapa pemali. Pantangan dalam bahasa Kaili disebut kapali atau popali. Ada dua hal apabila kapali ini dilanggar, yaitu 1) akan mendapat sangsi, dan 2) mendapat tulah. Apabila diketahui masyarakat dan dilaporkan pada ketua adat dan pantangan tersebut diakui sebagai larangan keras, orang yang melanggar pantangan tersebut akan mendapat sangsi dapat berupa denda (givu). Apabila tidak diketahui oleh masyarakat dan ketua adat, orang yang melanggar pantangan tersebut akan mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan, seperti sakit dan sengsara. Penelitian mengenai pantangan pada etnik Kaili dari segi bahasa sepengetahuan penulis belum pernah ada dan lengkap. Kalaupun ada yang sekaitan, belumlah lengkap, yaitu Karsana (2012) yang membahas tabu dalam bahasa Kaili. Untuk itulah penulis berusaha menguraikan berbagai pantangan yang ada pada etnik kaili, baik pantangan yang verbal maupun nonverbal.
171
2. Kerangka Teori Edward Sapir menyatakan bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi dari koin mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa dan budaya merupakan hal yang saling mempengaruhi. Pandangan Sapir ini yang diteruskan oleh Whorf yang kemudian lebih dikenal dengan teori relativitas linguistik. Teori relativitas linguistik yang menjadi dasar perumusan hipotesis Sapir-Whorf mengungkapkan ada keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Meskipun sebagian ahli keberatan dengan teori dan hipotesis itu, tetapi keberadaannya dalam khasanah teori linguistik, terutama dalam sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan, cukup berpengaruh. Teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Teori ini diperkuat oleh Sapir dan Whorf dengan menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berperilaku (Kramsch, 2001:11). Selanjutnya, Duranti (1997: 33) menyatakan bahwa In its most basic version, this viewholds that culture is a representation of the world, a way of making sense of reality by objectifying it in stories, myths, descriptions, theories, proverbs, artistic products and performances. In this perspective, people’s cultural products, e.g. myths, rituals, classifications of the natural and social world, can also be seen as examples of the appropriation of nature by humans through their ability to establish symbolic relationships among individuals, groups, or species. To believe that culture is communication also means that a people’s theory of the world must be communicated in order to be lived. Pantangan merupakan hal (perbuatan dsb) yang terlarang menurut adat atau kepercayaan (KBBI, 2005: 826). Pantangan atau larangan (berdasarkan adat dan kebiasan) ini dapat disebut pemali. Pantangan sebagai sebuah tradisi lisan dalam masyarakat Kaili menyebar melalui tutur tular di masyarakat. Menurut Endraswara (2009:26), tradisi lisan bercirikan: (a) verbal, berupa kata-kata, (b) tanpa tulisan, (c) milik kolektif rakyat, (d) memiliki makna fundamental, ditransmisikan dari generasi ke generasi. Tradisi lisan akan bertahan dalam ingatan setiap orang selama memori otaknya mengingat tentang tradisi tersebut. Tradisi lisan ini juga akan bertahan lebih lama apabila orang yang bersangkutan memang menggunakan tradisi lisan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Rubin berikut ini. Oral traditions depend on human memory for their preservation. If a tradition is to survive, it must be stored in one person's memory and be passed to another person who is also capable of storing and retelling it. All this must occur over many generations. That is, the transmission of oral traditions must yield results very different from those obtained by the standard rumor procedure in psychology, or the traditions would have changed radically or died out. Oral traditions must, therefore, have developed forms of organization (i.e., rules, redundancies, constraints) and strategies to decrease the changes that human memory imposes on the more casual transmission of verbal material. (Rubin, 1995:9-10). 3. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturpenuturnya sehingga dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan seperti potret, paparan seperti adanya. Perian deskriptif tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya, hal itu merupakan cirinya yang utama (Sudaryanto, 1986:62).
172
4. Pembahasan Etnik Kaili menggunakan bahasa lisan sebagai alat komunikasi. Etnik Kaili tidak mempunyai aksara. Dalam menerapkan aturan pada kehidupan sehari-hari maka etnik Kaili mengenal banyak pantangan ataupun larangan. Pantangan pada etnik Kaili baik berupa perilaku verbal maupun nonverbal dapat dibagi pada 1) saat daur kehidupan dan 2) dalam kehidupan seharihari. Berikut uraiannya masing-masing. 4.1 Saat Daur Kehidupan Daur kehidupan pada etnik Kaili dapat terbagi menjadi lima fase. Kelima fase tersebut adalah1) masa perkawinan, 2) saat kehamilan, 3) saat bayi dan kanak-anak, 4) saat masa akil baliq, dan 5)masa dewasa. Berikut uraiannya masing-masing. 4.1.1 Masa Perkawinan Dalam upacara pesta perkawinan sama sekali tidak dibenarkan memecahkan sesuatu seperti piring dan barang pecah lainnya, oleh keluarganya yang tengah melangsungkan pernikahan. Nitagi napasa suraya, boda atau nuapa mbara eva heitu. Pantangan ini tidak menimbulkan sangsi bila melanggarnya, tetap kena tulah. Adapun katulahnya adalah usia perkawinan tidak akan lama, artinya bisa memungkinkan adanya perpecahan atau perceraian bagi keluarga yang baru kawin tersebut. Untuk menghindarinya, biasanya orangtua memperingatkan pada para pekerja atau pada saat sebelum pelaksaan pesta perkawinan. Peringatan tersebut adalah agar berhati-hati dengan barang pecah belah, seperti piring dan gelas. 4.1.2 Di masa kehamilan Seorang wanita Kaili yang sedang hamil banyak memiliki pantangan. Orangtua atau mertua yang sangat perhatian pada anak dan menantu perempuannya yang sedang hamil selalu menasehati untuk tidak melakukan beberapa kegiatan. Memberitahukan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan oleh si wanita hamil dan suaminya. Bila orangtua melihat anaknya melanggar pantangan, biasanya melakukan teguran secara keras. Pantangan ini tidak menimbulkan denda atau givu bila melanggarnya, tetapi biasanya mendapatkan ketulah. a. Kapali nonturo ri ngayo vamba atau ri ngana tangga ’pantang duduk di muka pintu atau pada anak tangga’. Duduk di muka pintu akan menghalangi orang yang masuk rumah. Demikian pula duduk di anak tangga, akan menganggu orang yang melewatinya. Hal ini tidak dibolehkan oleh wanita hamil etni Kaili. Selain menggangu orang lewat, akan ketulahan. Ketulahnya adalah pada saat melahirkan akan terasa sangat sulit. b. Kapali nanginu uve anu nadea ’pantang minum air terlalu banyak’. Maksudnya bila minum air terlalu banyak , membuat perut gemuk berair, berakibat bila melahirkan terlalu banyak air atau beranak kembar. c. Kapali mangande gola lei ’pantang makan gula merah’. Banyak makan gula merah akan mengakibatkan perut sakit. Kebanyakan makan gula juga dapat mengakibatkan penyakit gula atau diabetes. d. Kapali nangande tovu ’pantang makan tebu’. Banyak makan tebu akan mengakibatkan perut sakit. Terlebih kebanyakan makan tebu juga dapat mengakibatkan penyakit gula atau diabetes. e. Kapali nangande taraa ’pantang makan nenas’. Banyak makan nenas muda akan mengakibatkan perut sakit. Kebanyakan makan nenas juga dapat mengakibatkan menggugurkan kandungan. f. Kapali neova tau anu kedo nagapa sipa ’pantang mencela, mengejek orang-orang cacat jasmani’. Mengejek orang cacat adalah perbuatan yang dilarang terutama bagi perempuan yang hamil. Apabila dilakukan, akan katula. Anak yang lahir nantinya akan memiliki ciri seperti orang yang diejek atau dicelanya.
173
g. Kapali uguraka bulua ri nggovia ’pantang mengurai rambut pada sore hari’. Wanita hamil dilarang mengurai rambutnya pada sore hari karena akan diganggu makhluk halus yang mengganggap sebagai temannya. Di Sore hari, makhluk halus keluar dari persembunyiannya. Makhluk halus yang perempuan biasanya rambutnya terurai (kuntilanak) dan bila bertemu dengan gadis yang mirip dirinya, akan mendatangi dan mengganggunya. h. Kapali mangande bau cumi ’pantang makan ikan cumi-cumi’. Wanita hamil dilarang makan cumi-cumi. Kalau makan ikan cumi-cumi, dikhawatirkan anaknya akan seperti cumi-cumi. i. Kapali nonturo ri sambara tampa ’pantang duduk di sembarang tempat’. Wanita yang sedang hamil, haruslah berhati-hati kalau duduk. Jangan duduk di semberang tempat, misalnya duduk di batu besar atau di bawah pohon besar. Hal ini akan menyebabkan diganggu makhluk halus penunggu batu atau pohon besar tersebut. j. Ledo namala/nemo masina ’tidak boleh kikir’. Seorang wanita hamil tidak boleh kikir harus mau berbagi. Apabila kikir akan ketula nantinya. Adapun ketulahnya adalah anaknya yang nanti lahir akan memiliki sifat kikir. k. Ledo namala/Nemo moveve handu ri tambolo ’tidak boleh menggulung handuk di leher’. Kebiasaan sebelum dan sesudah mand adalah menggulung handuk di leher sebelum menjemunya. Hal ini sangat dilarang bagi wanita hamil pada etnik Kaili. Kebiasaan ini memang tidak menimbulkan sangsi berupa denda. Apabila melanggarnya akan katula. Katulanya adalah akan mengalami kesulitan sewaktu melahirkan, karena bayi-bayinya nanti akan terlilit tali pusat. Tercekiknya leher bayi oleh tali pusat dapat menyebabkan kematian sang bayi. l. Ledo namala mogau bobo/banga ’tidak boleh melicinkan tempurung’. Sewaktu memasak, ketika hendak mendapatkan santan dari kelapa yang masih utuh atau bersabut. Biasanya untuk memudahkan nmenmrmbuang sabutnya terlebih dahulu hingg a kelapa licin. Tidak boleh melicinkan tempurung kelapa. Kalau dilakukan akan katula, yaitu anak yang lahir akan botak atau tidak berambut. m. Kapali nandiu ri nggovia ’pantang mandi pada sore hari’. Mandi di sore hari (menjelang atau sesudah magrib) dapat diganggu makhluk halus yang kelur di waktu sore hari.. n. Kapali nandiu ri bobayana ’pantang mandi di pagi buta’. Mandi di pagi buta dapat menyebabkan bayi kedinginan dan lahir dalam keadan lemah. Pada etnik Kaili ternyata pantangan berlaku juga bagi suami dari istrinya yang hamil. Adapun pantangan untuk suaminya, yaitu: a. Kapali sambale atau nopatesi binata ’pantang menyembelih atau membunuh binatang’. b. Kapali nompake puruka ri tempo berei mombine notiana ’pantang memakai celana bila istri dalam keadaan melahirkan’. c. Kapali mojeje dindi ngari ’pantang menginjak papan penutup liang lahat’. Pantangan untuk suami yang sedang hamil ini tidak menimbulkan denda atau givu bila melanggarnya, tapi mendapatkan tulah. Adapun tulah, dapat berupa kesialan, kemalangan pada diri dan istrinya, serta kecacatan pada si anak yang dilahirkan oleh istrinya. 4.1.3 Di Masa Bayi dan Kanak-kanak. Di masa bayi, etnik Kaili memiliki pantangan. Waktu pantangan itu dari waktu lahir sampai belum melakukan upacara gunting rambut. Adapun pantangan saat masih bayi dari etnik Kaili, yaitu dilarang keluar rumah sebelum melakukan upacara pengguntingan rambut (kapalia ngana kodi nesuvu ri banua). Upacara penguntingan rambut dalam bahasa Kaili adalah Nosombe Bulua Nungana. Pantangan ini bila dilanggar akan menimbulkan tulah. Dengan alasan mudah diganggu oleh mahluk-makhluk halus yang membuat anak panas (demam, mata tinggi, dsb.), topoule (orang-orang yang dipercaya memakan manusia), dan pelbagai roh jahat lainnya. Di masa kanak-kanak, seorang anak laki-laki dari etnik Kaili harus dikhitan. Saat pelaksanaan upacara nosuna (khitan) terutama saat selesai pelaksanaan toniasa. Pantangan ini juga tidak menimbulkan denda, tetapi dapat menimbulkan tulah. Ada beberapa pantangan saat dikhitan bagi etnik Kaili, yaitu:
174
a. Kapali ngana mombine anu nokaraja ri upacara ledo namala nikita kelamin. Bagi kaum wanita atau gadis yang bekerja dalam pelaksanaan upacara tidak diperkenankan melihat alat kelamin toniasa yang disunat dengan alasan agar pendarahan dapat berkurang. b. Kapali ka ngana anu toniasa mompake puruka ’pantang memakai celana bagi yang disunat’. Anak yang disunat belum diperkenankan memakai celana, alasannya menjaga pendarahan yang timbul . c. Kapali nangande loka/punti engga ’pantang makan pisang yang dipakai acara engga’ . Anak yang disunat atau toniasa tidak diperkenankan memakan pisang yang disediakan pada acara engga yang dilompati oleh toniasa tadi karena apabila anak tersebut memakan pisang yang dimaksud dapat mengakibatkan infeksi, pendarahan cukup banyak, dan sebagainya. Engga ialah seperangkat perlengkapan upacara yang terdiri atas 7 macam pisang dan 7 busung sagu. Engga ini dimaksudkan sebagai syarat dalam adat dan merupakan bahan perlengkapan upacara yang dibuat pada harui pelaksanaan upacara. Engga ini akan dilompati satu per satu di saat toniasa turun dari rumah yang lengkap berpakaian adat. Rumah orang Kaili biasanya berbentuk rumah panggung. 4.1.4 Di Masa Menjelang Akil Baliq Anak gadis dari etnik Kaili harus melakukan nokeso (gosok gigi). Salah satu upacara pada usia menjelang dewasa ialah upacara nokeso, yaitu upacara menggosok gigi bagian depan sampai rata, baik bagian atas maupun bagian bawah bagi seorang anak perempuan menjelang baligh (nabalego). Gadis yang akan menjalani nokeso harus dipingit dan berpantang. Adapun acara berpantang dilakukan selama 3 bulan. Kapali ngana mombine nangande konisa ri bongi (pantang makan malam buat anak perempuan yang nokeso). Selama 3 bulan tersebut, toniasa tidak diperkenankan makan dan minum pada malam hari. Jam makan ditentukan pada sore hari menjelang sebelum matahari terbenam. Pada setiap kali makan selalu diiringi dengan bunyi gendang. Dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah, toniasa wajib memakai toru (topi berdaun lebar) dan memakai baju masaripi (baju hitam yang berbintik-bintik kecil putih) maksudnya agar kelak toniasa terlindung dari terik matahari. Gadis tersebut diwajibkan memakai bedak hitam yang dibuat dari tepung beras yang digoreng, untuk bagian dahi dan bagian pipi diberi bedak berwarna putih. Selama masa berpantang ini sang gadis tersebut dilarang makan loka dano (pisang raja) dan makan ikan bakar. Maksudnya agar kesehatan kulit terpelihara dan berisi padat tidak lembek seperti pisang dan sebagainya. Pada menjelang upacara, 3 hari 3 malam, toniasa dipinggit di dalam rumah yang disebut songgi. Selama 3 hari 3 malam itu mereka berpantang keluar songgi. Kapali nesuvu ri songgi. Pantangan ini bila dilanggar tidak dikenakan sangsi atau denda, hanya teguran keras, atau mengulang kembali dari awal. Sebenarnya, tujuan pantangan ini adalah untuk tidak menjadi perhatian orang atau mendapat bahasa atau kecelakaan serta mendidik kepatuhan dan rasa hormat kepada orangtua. Selain pantang keluar dari songgi, mereka juga berpantang makan nasi (konisa), kecuali gurenta (nasi bubur dengan telur rebus). Kapali mangande konis, Pantangan ini bila dilanggar tidak dikenakan sangsi atau denda, hanya teguran keras, atau mengulang kembali dari awal. Pantangan ini bertujuan supaya tidak buang air, dan berpuasa, menahan nafsu makan yang berlebih-lebihan, mendidik sifat sabar, mampu menahan diri, partuh dan disiplin. 4.1.5 Di Masa Dewasa Di masa dewasa, etnik Kaili melakukan nobau (penebusan) apabila mengalami permasalahan. Nobau adalah upacara yang dilaksanakan oleh orang dewasa, khususnya orangtua manakala anak-anak dari suatu keluarga ada yang mengalami gangguan penyakit atau kurang sehat seperti nabaka-baka (banyak tumbuh luka pada bagian anggota badan), nage’e/nakeru-keru (hidup kerdil dan kurus sebagai akibat pertumbuhan tubuh kurang normal, seperti berkudis, termasuk penyakit tuli, bisu, dan sebagainya. Menurut kepercayaane etnik Kaili bahwa keadaan kurang sehat yang dialami oleh anakanak dalam keluarga itu adalah akibat nakaratea (gangguan roh nenek moyang) sebagai akibat
175
kelalain orangtuanya mengadakan adat atau telah melupakannya. Bila segala upaya pengobatan telah dilakukan, ternyata anak belum sembuh, berarti ada negoimo (upacara adat sudah harus dilaksanakan). Akan tetapi, upacara ini tetap dilaksanakan oleh semua anggota keluarga walaupun belum ada yang mengalami pelbagai macam penyakit, sebagai upaca pencegahan. Pada pelaksanaan upacara nobau (penebusan) ini ada pantangan yang sebagai berikut. a. Kapali nesua ri bantaya ’pantangan masuk ke bantaya’. Seluruh undangan dilarang masuk ke dalam bantaya (pusat kegiatan ketua dan anggota dewan adat) yang memimpin teknis penyelenggraan upacara te rsebut sejak upacara adat dimulai (pemukulan gendang pertama). Bagi mereka yang melanggar pantangan, akan diberi sanksi (nigivu) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alasan dasar pelarangan tersebut karena dalam bantaya tersimpan sejumlah benda-benda magis religius yang perlu dihormati dan hanya dapat disentuh oleh para ketua adat. b. Nitagi nojarita ri tempo polapora ka madika ’pantangan berbicara saat laporan’ Peserta upacara setelah melapor pada madika atau magau, dilarang bersuara karena suatu pertanda penghormatan para peserta upacara terhadap rajanya. c. Kapali nangande kandea ’pantang makan makanan’. Peserta upacara dilarang makan sebelum gendang dipukul oleh anggota dewan adat sebagai isyarat waktu makan. Alasannya selain merupakan disiplin juga suatu tanda penghormatan kepada pimpinan penyelenggara teknis upacara adat tersebut yang dipandang memegang kunci keberhasilan tercapai tujuan penyelenggara upacara adat tersebut. 4.2 Pantangan dalam Kehidupan Sehari-hari Etnik Kaili dalam kehidupan sehari-hari ternyata banyak memiliki pantangan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: a. Kapali nesuvu mbara-bara ante pakasa anu riala banua ri tempo neosa banua baru. Dilarang mengeluarkan barang dan alat perabot rumah selama tiga hari sewaktu pindah rumah baru. Apabila dilanggar, nantinya akan ada anggota keluarga yang keluar (meninggal). b. Nitagi nesavari totua ’larangan mendesak orangtua’. Tidak boleh mendesak orangtua untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Nanti anaknya mendapat kecelakaan (nabunto) karena kurang adat. c. Nitagi sanga madika ledo namala niulika ’larangan menyebut-nyebut nama raja’. Kalau menyebutnya harus memegang ubun-ubun kepala sebagai tanda hormat. Semua nama barang yang identik dengan nama raja harus diganti dan disebut dengan nama lain. d. Nitagi niuli sanga totuana ri tempo mangande ’larangan menyebut nama orangtua saat makan bagi anak-anak’. Dilarang menyebut nama orangtua di saat makan bagi anak-anak. Tidak akan kenyang walaupun banyak makanan yang dimakannya. Apalagi kalau memerintah orangtua itu akan mendapat celaka, bila terpaksa harus didahului dengan kata kinaa saogu kumo, artinya biar makan segenggam nasi sudah merasa kenyang. e. Nitagi tuduaka tirauve ’larangan menujuk pelangi’. Larangan menunjuk pelangi sebab nanti jari yang menunjuk akan bengkok (nakou) f. Nitagi perapi gara ka tatangga ’larangan meminta garam pada tetangga’. Meminta garam pada tetangga dapat menyebabkan tetangga jadi melarat nanti. g. Kapali nosepa kaluku boa ri jala ’pantangang menendang kelapa kosong (boa)’ di jalan. Pantangan menedang kelapa kosong di dalam perjalanan kalau hendak menangkap ikan. Akibatnya akan sial atau tidak mendapat ikan. h. Kapali mongoli lana ri bongi ’pantangan beli minyak tanah di malam hari’. Dilarang melakukan pembelian minyak tanah di warung saat di malam hari. Meski minyak tanah tersebut tersedia (ada) di warung tersebut. Pemilik warung atau pedagang tetap tidak mau melayani penjualan minyak tanah di malam hari. Mereka (pemilik warung) akan mengatakan besok saja beli minyak tanahnya, atau dengan mengatakan habis atau tidak ada. Minyak tanah adalah benda cair yang dapat menimbulkan pembakaran bila terkena api.
176
Kapali mongoli jaru ante sile ri bongi ’pantangan beli benda jarum dan silet di malam hari’. Dilarang melakukan pembelian jarum atau silet di warung saat di malam hari. Meski jarum atau silet tersebut tersedia (ada) di warung tersebut. Pemilik warung atau pedagang tetap tidak mau melayani penjualan jarum atau silet di malam hari. Mereka (pemilik warung) akan mengatakan besok saja beli jarum atau siletnya, atau dengan mengatakan habis atau tidak ada. Jarum adalah benda kecil yang tajam. Apa bila jatuh, jarum tersebut sulit dicari dan ketusuk. Demikian pula dengan silet merupakan benda kecil yang tajam. Apabila jatuh dan diambil dapat menimbulkan bahaya, kepotong. j. Kapali metunu lamale ri bivi binangga atau karona ’pantangan membakar udang di pinggir kali atau sungai’. Membakar udang di pinggir kali atau sungai dipercaya dapat mengusik makhluk gaib atau halus penghuni sungai yang berakibat menjadi marah dan mengganggu orang yang melanggar pantangan (menjadi kesurupan). k. Kapali metunu palola ri bongi ’pantangan membakar terung di malam hari’. Membakar terung di malam hari adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena dapat memanggil roh atau mahluk gaib. Makhluk halus tersebut akan mengganggu orang yang melanggar pantangan tersebut. l. Kapali mekase puna anu novua ka mombine atau randa anu nasimbunga ’pantangan naik pohon yang sedang berbuah bagi gadis atau wanita yang sedang haid’. Bagi wanita yang haid tidak diperkenankan naik memanjat pohon yang sedang berbuah, baik pohon mangga, jambu, dan sebagainya. Apabila melanggar, maka pohon tersebut buahnya jadi jelek (banyak ulat). Pemilik pohon selalu mewanti-wanti dan bertanya apabila gadis tersebut sedang haid, maka dilarangnya. m. Kapali moketi tava sup ka mombine tau randa anu nasimbunga ’larangan memetik daun sup (seledri) bagi gadis atau wanita yang sedang haid’. Bagi wanita yang haid tidak diperkenankan memetik daun sup. Apabila melanggar, daun dari pohon seledri yang lainnya akan menguning dan mati. i.
Pantangan pada etnik Kaili lebih banyak yang berupa larangan atas perilaku nonverbal dibanding perilaku verbal. Pantangan perilaku verbal adalah (1) Kapali neova tau anu kedo nagapa sipa ’pantangang mencela, mengejek orang-orang cacat jasmani’ bagi wanita hamil, (2) Nitagi nojarita ri tempo polapora ka madika ’pantangan berbicara saat laporan’, (3) Nitagi nesavari totua ’larangan mendesak orangtua’, (4) Nitagi sanga madika niulika ’dilarang menyebut nama raja’, dan (5) Nitagi niuli sanga totuana ri tempo mangande ’dilarang menyebut nama orangtua saat makan bagi anak-anak’. Dari uraian di atas, selain pantangan-pantangan tersebut adalah perilaku nonverbal. 5. Simpulan Pantangan dalam bahasa Kaili berupa verbal dan nonverbal. Pantangan yang berupa verbal adalah pengungkapan pantangan melalui tindakan yang berupa ujaran atau tuturan. Ada beberapa pantangan verbal pada etnik Kaili, yaitu (1) Kapali neova tau anu kedo nagapa sipa ’pantangang mencela, mengejek orang-orang cacat jasmani’ bagi wanita hamil, (2) Nitagi nojarita ri tempo polapora ka madika ’pantangan berbicara saat laporan’, (4)Nitagi sanga madika niulika ’dilarang menyebut nama raja’, dan (5) Nitagi niuli sanga totuana ri tempo mangande ’dilarang menyebut nama orangtua saat makan bagi anak-anak’.
Daftar Pustaka Allan, Keith. 2006. Forbidden Words Taboo and the Censoring of Language. Cambridge: Cambridge Universirty Press. Douglas, M. 1966. Purity and Danger: An Analysis of the Concepts of Pollution and Taboo. London and New york: Routledge. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
177
Hasyim, Sahid. 2003. ”Masihkan Masyarakat yang Berpemali: Kajian Antropologis.” www.pusba. Diakses pada tanggal 10 Juni 2014 Karsana, Deni. 2012. ”Menguak Tabu Suku Kaili, Jendela Memahami Suku Kaili: Tinjauan Antropologi Linguistik” dalam Keragaman Bahasa Ibu sebagai Penanda Kebhinekaan Budaya (Prosiding Seminar Internasional Bahasa Ibu). Bandung: Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat. Kramsch, Claire. 2001. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka ---------------. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Departemen pendidikan Nasional. Rubin, David C. 1995. Memory in Oral Traditions: the Cognitive Psychology of Epic, Ballads, and Counting-out rhymes. New York: Oxford University Press, Inc. Sudaryanto. 1986. Metode linguistik. Yogayakarta: Gadjah Mada Univresity Press. Yunus, Ahmad dan Siti Maria. 1984. Upacara Tradsional daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. Yunus, Ahmad. 1986. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud.