MENGENAL BIROKRASI Oleh: Abdul Hakim Dosen FIA Universitas Brawijaya 1.1 Persepsi tentang Birokrasi Pada awalnya, birokrasi dibangun dengan maksud sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah suatu tipe organisasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas
admisnitratif
yang
sangat
banyak
dengan
cara
mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari banyak orang. Melalui birokrasi diharapkan berbagai keputusan pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien melalui aparatur pemerintah. Karena keputusan politik hanya akan bermanfaat bagi warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang responsif, bekerja sistematis dan efisien. Sebagai suatu sistem manajemen dan supervisi, birokrasi dirancang untuk melakukan koordinasi terhadap tugas dan tanggung jawab secara rasional bagi para pejabat dan pegawai dalam organisasi. Birokrasi merepresentasikan diri sebagai instrumen dimana tindakan dan kepentingan individu yang bersifat pribadi, unik dan istimewa; disusun dan dibatasi secara formal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien. Penyusunan tindakan individu ini dicapai dengan menggunakan peraturan dan programprogram tindakan yang formal, yang ditujukan untuk memberikan garis pembatas yang jelas antara hal-hal yang bersifat pribadi dengan tugas dan tanggung jawab yang dimandatkan oleh organisasi. Melalui cara yang demikian ini, sistem administrasi birokratis berkehendak untuk memastikan bahwa tindakan dan kegiatan individu memberikan 1 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
kontribusi pada kepentingan organisasi tempat mereka bekerja, dan bukan pada kepentingan pribadi individu yang bersangkutan. Pembatasan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi dalam organisasi birokratis di samping dimaksudkan untuk menghilangkan sumber dari kegiatan irasional, juga dimaksudkan untuk menghindari organisasi dari kekacauan
(tidak terkoordinir dan tidak efisien)
sebagai akibat tindakan individu yang mengambil keputusan sendirisendiri. Oleh karena itu diperlukan serangkaian undang-undang, peraturan dan hierarki untuk melakukan pengawasan dan pembinaan. Birokrasi juga bermanfaat sebagai agen pembaharu. Hal ini dapat terlaksana jika tujuan organisasi diarahkan pada strategi pembaharuan dan pembangunan. Untuk dapat mengimplementasikan cita-cita pembangunan sosial dan ekonomi, pemerintah harus memiliki pranata
yang mudah menerima inovasi baru yang
bermanfaat bagi pembangunan, dan pranata tersebut adalah birokrasi. Mengutip tulisan Bert Hoselitz, yang berjudul “Level of Economic Performance and Bureaucratic Structures”, yang dimuat dalam buku Joseph La Palombara (ed.) yang berjudul Bureaucracy and Political Development (New Jersey: Princeton University Press, 1963, hal. 171), Kumorotomo menulis sebagai berikut: “The bureaucratic apparatus is one of the institutions through which goalgratification activity is performed; it is a central focus arround which clusters a whole series of social actions designed to meet systemic goals”. Dari uraian tersebut, jelas bahwa organisasi birokratis dirancang untuk memberikan banyak manfaat bagi warga negara secara keseluruhan. Birokrasi menjadi alat penunjang utama dalam sistem administrasi modern, melalui penerapan manajemen yang 2 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Birokrasi, minimal sampai dengan saat ini, tidaklah mungkin digantikan oleh organisasi apa pun dalam bentuk lain, karena akan menjadi langkah mundur dan pasti merugikan bangsa dan negara. Uraian di atas menunjukkan betapa besar manfaat yang dapat diperoleh dengan kehadiran birokrasi. Namun demikian, setiap mendengar kata birokrasi, persepsi yang muncul bukanlah tentang manfaatnya yang positif bagi kemajuan bangsa dan untuk memenuhi kebutuhan warga negara, tetapi persepsi negatif yang menyesatkan. Orang lebih banyak mengartikan birokrasi sebagai penyakit birokrasi (”biro-patologi”) daripada organisasi rasional yang bermanfaat (”rasionalitas biro”). Hampir semua lapisan sosial mengenal sebutan birokrasi,
karena
sejak
lahir sampai meninggal
orang
pasti
berhubungan dengan birokrasi. Dalam konteks hubungan antara negara dengan warga negara, organisasi birokrasi dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang baik sehubungan dengan adanya berbagai pengaturan dalam kehidupan bermasyarakat dimana individu itu hidup. Misalnya, untuk mengetahui keabsahan bahwa seseorang adalah penduduk suatu kota, maka dia diharuskan mencatatkan diri sebagai penduduk. Untuk maksud ini birokrasi memberikan pelayanan pencatatan melalui mekanisme pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Dalam proses ini lah muncul berbagai persepsi negatif tentang birokrasi. Hal yang muncul dalam benak orang ketika mendengar kata birokrasi adalah urusan-urusan yang menjengkelkan dan membuatnya stres, yang berhubungan dengan pengisian formulir-formulir, pengurusan izin untuk bekerja atau berusaha yang berbelit-belit karena harus melalui banyak meja atau kantor secara berantai, aturan-aturan yang 3 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
ketat yang tidak boleh dilanggar, waktu yang lama, dan sebagainya. Pendek kata, pelayanan birokrasi sangat buruk. Mengutip Turner dan Hulme, Said (2007) menggambarkan organisasi birokratis itu sebagai organisasi yang lamban, membosankan, rutin, rumit prosedurnya, dan buruk adaptasinya terhadap kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustrasi yang terus menerus dirasakan oleh para anggotanya. Bureaucracy evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the complication of procedures, and the maladapted responses of ’bureaucratic’ organizations to the needs which the should satisfy, and the frustations which their members, clients, or subjects consequently endure.
Bagi mereka yang tidak tahan dengan situasi ini, kemudian mencari jalan pintas. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari membangun hubungan personal yang akrab, sampai pada pemberian suap 1 . Melalui cara seperti ini pelayanan dapat berlangsung relatif cepat, karena aparatur menjadi ”lebih responsif” dalam melayani, dan pengguna jasa memperoleh perlakuan khusus, misalnya tidak perlu antri, tidak perlu mengurus sendiri ke meja berikutnya, dan sebagainya. Hubungan antara aparatur birokrasi dan masyarakat pengguna jasa layanan berubah bentuk dari impersonal menjadi personal, saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain (simbiosis). Aparatur membutuhkan uang balas jasa dari masyarakat pengguna jasa, sedangkan pengguna jasa membutuhkan pelayanan yang cepat dari aparatur. Dalam konteks birokrasi Indonesia, hubungan seperti ini berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh 1
Dikenal dengan banyak sebutan lain, antara lain: sogokan, uang pelicin, biaya administrasi, uang pelayanan, uang jasa, salam tempel, komisi.
4 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
tahun, sehingga menjadi internalized (mendarah daging) dan menjadi kebiasaan
dalam
pelayanan
birokrasi
di
Indonesia.
Untuk
memperoleh pelayanan apapun seseorang harus memberikan uang suap. Jika seseorang ingin menghadap pejabat tertentu dia harus memberi ”salam tempel” pada SATPAM yang menjaga di pintu masuk; jika ingin menang tender seseorang harus memberikan komisi pada panitia tender; jika ingin izin usaha cepat keluar maka harus
memberikan
uang
administrasi
kepada
pejabat
yang
membantu mengurus; dan sebagainya. Pendek kata, ”ada uang ada pelayanan”, dan semua
ini merupakan hal yang biasa, dianggap
wajar dalam mekanisme organisasi birokrasi. Hubungan yang kolutif dan koruptif ini, karena telah menjadi kebiasaan dalam pelayanan birokrasi,
maka
orang
kemudian
menyebutnya
dengan
istilah ”membudaya”, suatu istilah yang menunjuk pada sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan, dilakukan berulang-ulang sehingga sifatnya sebagai perilaku koruptif dan kolutif tidak lagi nampak. Menurut Kwik Kian Gie, pelayanan apapun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Jika pengguna jasa layanan tidak mau membayar maka dia akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-dibuat. Korupsi dianggap sebagai praktek yang sudah mendarah daging, sehingga kalau tidak ada korupsi kita malah merasa heran.Kwik Kian Gie menyebutnya sebagai corrupted mind, artinya seorang koruptor tidak lagi mengetahui apakah tindakannya tergolong korupsi atau tidak 2 Inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat penting, bagi
2
Kwik Kian Gie, “Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”, Jawa Pos, 10 Maret 2008. Hal.1.
5 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia setelah UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan. Persepsi tentang birokrasi pemerintah, oleh Thoha (2007:2) dilukiskan sebagai kerajaan pejabat (officialdom). Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat. Negaranya adalah organisasi birokrasi yang berdaulat atas semua jenis pelayanan apa pun. Rakyatnya adalah para pengguna jasa layanan. Di dalam kerajaan birokrasi ini terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdikasi yang jelas dan pasti dalam batas wilayah ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang menjelaskan batasbatas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Selain itu, di dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasi didasarkan pada dokumen tertulis (the files). Selanjutnya Thoha, menyatakan bahwa pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala urusan yang berhubungan dengan jabatan tersebut maka orang yang menduduki jabatan itulah yang menentukan segalanya. Jabatan-jabatan tersebut disusun dalam tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan yang berada pada hierarki paling atas mempunyai kekuasaan paling besar daripada jabatan yang berada di bawahnya. Semua jabatan tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang digunakan, mulai dari mobil yang dipakai, rumah dinas, para pengawal atau ajudan, sekretaris, sampai pada hal-hal yang kecil seperti pakaian, 6 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
sepatu, dan bahkan cara berbicara. Di luar hierarki kerajaan pejabat tersebut terdapat rakyat yang lemah atau powerless di hadapan mereka. Karena itu birokrasi disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat. Dalam
kerajaan
pejabat
di
negara
birokratis,
terjadi
pensakralan terhadap jabatan birokrasi. Segala jenis urusan, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit (kompleks), selalu membutuhkan legitimasi birokrasi pemerintah. Rakyat membutuhkan dan memperoleh rizki maupun pelayanan dari aparatur birokrasi. Mulai dari pedagang kaki lima sampai pengusaha kelas kakap, semuanya tidak ada yang luput dari kaki-tangan pejabat birokrasi. Dari yang pribumi, pendatang maupun orang asing pasti berhubungan dengan pejabat birokrasi pemerintah atau para pelaksananya. Birokrasi kemudian menjadi sosok yang adidaya, adikuasa di hadapan rakyat, dan rakyat mensakralkannya. Para orang tua selalu bercita-cita agar anaknya dapat menjadi pegawai birokrasi, apa pun tingkat dan jenis pekerjaannya, bila perlu dengan menyuap pun dilakukan. Birokrasi menjadi mirip dengan keris atau batu akik yang memiliki kekuatan magis dan dikramatkan. Karena itu, rakyat memiliki posisi lemah di hadapan birokrasi. Oleh karena itu, agar tujuannya tercapai, sedangkan mereka tidak mempunyai kekuatan, maka cara yang terbaik adalah pasrah (surrender). Penyerahan diri seperti ini sekaligus menunjuk-kan adanya pengakuan bahwa birokrasi itu tidak tertembus olehnya. Birokrasi adalah superordinasi dan masyarakat pengguna jasa hanyalah sub-ordinasi saja. Dengan demikian, munculnya penyakit birokrasi atau biro patologi, sebagaimana dalam uraian di atas, lebih banyak disebabkan oleh perilaku para birokrat, walaupun masyarakat pengguna jasa juga 7 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
memiliki andil dalam menciptakan situasi tersebut. Beberapa tindakan birokrat yang dipandang telah memunculkan persepsi negatif dilukiskan secara baik oleh Siagian (1996), sebagai berikut: (1) memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; (2) mencari-cari alasan, misalnya dengan mengatakan: ”dokumen pendukung
kurang
lengkap”,
”keterlambatan
pengajuan
permohonan”, dan sebagainya; (3) alasan kesibukan karena ada pekerjaan lain; (4) sulit dihubungi; (5) senantiasa memperlambat, misalnya dengan menggunakan katakata ”sedang diproses”. Dalam bahasa yang lain, Syafiie (2004), menjelaskan perilaku dari birokrat yang melahirkan penyakit birokrasi, sebagai berikut: (1) budaya feodalistik yang masih terasa; (2) kebiasaan menunggu petunjuk atau pengarahan; (3) loyalitas kepada atasan dan bukan pada tugas organisasi; (4) belum berorientasi pada prestasi; (5) keinginan untuk melayani masih rendah; (6) belum ditopang teknologi secara menyeluruh; (7) budaya ekonomi biaya tinggi; dan (8) jumlah pegawai negeri relatif banyak tetapi kurang berkualitas. Pengembangan sistem birokrasi administrasi, di satu sisi diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik, namun di sisi lain telah menimbulkan beberapa akibat negatif, antara lain: (1) monopoli informasi dan penciptaan ”rahasia jabatan” (official secrets); (2) ketidakmampuan mengantisipasi perubahan; (3) kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara otoratik, self-appointed (menunjuk
8 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
diri sendiri), serta mengabaikan hal-hal yang penting hanya karena alasan hal tersebut tidak diatur dalam peraturan. Kondisi tersebut tercipta, antara lain karena: (1) ketidakmampuan
sumberdaya
birokrasi;
(2)
keterlambatan
penyesuaian
peraturan (regulasi) dengan perubahan yang terjadi di dalam dan di luar organisasi birokrasi; (3) penerapan peraturan yang tidak konsisten; (4) pengawasan atasan yang lemah; dan (5) sikap dan perilaku pegawai yang kurang peduli dan bahkan sombong. Makmur (2007:87), melihat kemunculan persepsi negatif tentang birokrasi sebagai akibat dari adanya perebutan kekuasaan dan kewenangan yang tidak didasarkan pada profesionalisme, rasionalisme, dan moralitas. Kondisi ini, menurut Makmur, berakibat pada: (a) perubahan yang terjadi dalam birokrasi bukan didasarkan pada tindakan profesionalitas, rasionalitas dan moralitas, sehingga kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu; (b) tidak efektif dan efsiien dalam mengembangkan tuntutan para anggota
birikrasi
terhadap
performa
produknya
dengan
kebutuhan pengembangan birokrasi itu sendiri; (c) tidak termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya; (d) tindakan anggota birokrasi tidak lagi didasarkan atas pemikiran rasional tetapi cenderung tidak rasional; (e) interaksi antar anggota birokrasi dan antara anggota birokrasi dengan masyarakat cenderung mengabaikan norma-norma moral. Dari berbagai pendapat tersebut, munculnya persepsi negatif terhadap birokrasi terutama disebabkan oleh sikap dan perilaku para birokrat atau aparatur negara dalam memberikan pelayanan kepada 9 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
masyarakat. Selain itu beberapa sebab lain yang dapat disebut, antara lain: (1) kelemahan aparatur itu sendiri (rendahnya pendidikan, minimnya
pengalaman,
dan
rendahnya
kemampuan
dalam
penguasaan teknologi); (2) berbagai peraturan yang membatasi
”gerak
langkah”
dalam
melakukan
pelayanan,
sehingga
mengurangi daya kreativitas dan inovasi dalam beradaptasi dengan perubahan yang terjadi; (3) lingkungan kerja yang kurang kondusif, sebagai
akibat
ketiadaan
teladan
dari
pimpinan,
lemahnya
pengawasan, dan kurangnya dukungan rekan sekerja; dan (4) tingkat upah (gaji) yang rendah sehingga mendorong birokrat melakukan tindakan tercela (korupsi). Dalam sejarah studi tentang birokrasi, persepsi positif maupun negatif tentang birokrasi, lahir dan berkembang pada saat yang hampir bersamaan. Para penulis tentang birokrasi di awal maupun akhir abad ke-19, memiliki kerancuan dan terjadi inkonsistensi dalam pandangannya tentang birokrasi. Kadang mereka menyebut birokrasi sebagai suatu organisasi yang fungsional dalam pemerintahan, namun di sisi lain mereka juga melukiskan birokrasi sebagai organisasi yang memiliki ”cacat” dan merugikan rakyat. Hal ini antara lain dapat dijumpai dalam tulisan Karl Heinzen (1845), seorang penulis Jerman, yang pada awalnya menyebut birokrasi sebagai struktur organisasi untuk mengontrol administrasi (konotasi positif), namun kemudian dia mengartikan birokrasi sebagai pemerintahan oleh para pejabat (konotasi negatif). Demikian pula dengan Robert von Mohl (1862) yang mendefinisikan birokrasi sebagai konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara yang dijalankan para pejabat. Pemberian rti yang demikian ini telah ”mengilhami” banyak penulis
10 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
lain memasuki abad ke-20 untuk memberi makna yang negatif terhadap birokrasi.3 Upaya untuk mengubah persepsi negatif tentang birokrasi sebenarnya terus dilakukan oleh banyak negara di dunia. Upaya yang
paling
populer
kita
kenal
dengan
istilah
Reinventing
4
Government (Pembaruan Pemerintah) . Namun demikian, terhadap penggunaan istilah ini, Osborne dan Plastrik (2000:12) mengingatkan bahwa istilah ini digunakan oleh banyak orang dalam intensitas yang tinggi untuk menguraikan begitu banyak agenda sehingga istilah atau konsep tersebut menjadi tidak jelas maknanya. Oleh karena itu mereka mengelompokkan beberapa konsep yang tidak sama atau tidak tergolong dalam makna reinventing government. Konsep dimaksud adalah sebagai berikut: (1) reinventing government bukanlah perubahan dalam sistem politik, misalnya kampanye reformasi keuangan, reformasi badan legislatif atau parlemen, dan sebagainya; (2) reinventing government juga bukan berarti reorganisasi, tetapi restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintahan dengan mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan, dan budaya kerja para pegawai;
3
4
Pemikiran mereka tentang birokrasi disajikan secara ringkas dalam bagian “Studi tentang Birokrasi” dalam bab ini. Sebenarnya banyak konsep lain yang memiliki tujuan sama dalam implementasinya, yaitu mengubah persepsi negatif tentang birokrasi, misalnya: reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi pelayanan publik, dan sebagainya. Namun demikian, penulis tidak membahas secara rinci konsep tersebut dalam bagian ini, tetapi akan dijabarkan dalam bab-bab berikutnya.
11 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(3) reinventing
government
bukan
sekedar
menghilangkan
pemborosan, kecurangan, dan penyelewengan, tetapi upaya yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan efisiensi; (4) reinventing government tidak sinonim dengan perampingan pemerintah, karena perampingan pemerintah belum tentu dapat memaksimumkan kinerja; (5) reinventing government juga tidak sinonim dengan privatisasi, tetapi lebih mengarah pada persaingan dan program pilihan pelanggan, suatu program yang memungkinkan pelanggan bisa memilih penyedia produk atau jasa yang diinginkan; (6) reinventing government bukanlah sekedar membuat pemerintahan jadi lebih efisien, tetapi pemerintahan yang lebih baik; karena adalah percuma kita memiliki institusi pendidikan yang murah tetapi tidak bermutu, atau institusi kepolisian yang murah tetapi tingkat kejahatan tinggi; (7) reinventing government tidak sama dengan manajemen mutu terpadu atau rekayasa ulang proses bisnis, karena kedua hal ini hanyalah alat yang dapat membantu keberhasilan seorang pembaru jika digunakan secara strategis; jika tujuannya adalah transformasi maka perangkat manajemen bisnis tidaklah cukup. Setelah mengungkapkan semua konsep yang tidak tergolong ke dalam reinventing government, Osborne dan Plastrik (2000), akhirnya sampai pada definisi reinventing government sebagai transformasi sistem dan organisasi pemerintahan secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung-
12 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
jawaban, struktur kekuasaan, budaya, sistem dan organisasi pemerintahan. Reinventing government adalah penggantian sistem birokratis menjadi
sistem
yang
bersifat
wirausaha.
Pembaruan
adalah
menciptakan organisasi dan sistem pemerintahan yang terus menerus berinovasi, yang secara kontinyu memperbaiki kualitasnya, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaruan adalah penciptaan sektor pemerintahan yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan, atau yang disebut dengan ”sistem pembaruan diri”. Dengan kata lain, reinventing government membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan yang belum bisa diantisipasi. Tidak hanya memperbaiki efektivitas saat sekarang, pembaruan menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa mendatang pada saat lingkungan mereka berubah.
Pembaruan
menciptakan
organisasi
yang
mampu
menduduki peringkat tertinggi, dengan pelayanan terbaik dalam pelaksanaan
tugasnya,
karena
kemampuannya
pelayanan pata tempat yang paling
meletakkan
mudah dijangkau dan
dimanfaatkan oleh pelanggannya. 1.2 Studi tentang Birokrasi Minat terhadap studi tentang birokrasi, baik sebagai proses maupun outcome, sudah relatif lama dibicarakan, baik dari para budayawan,
ekonom
maupun
sosiolog.
Dalam
masa
awal
perkembangannya, istilah birokrasi dipopulerkan lewat tulisan justru oleh para novelis, dan dalam tulisan-tulisan yang bersifat polemik. Seorang novelis Perancis yang bernama Honore de Balzac, memasyarakatkan kata birokrasi lewat novelnya yang berjudul Les 13 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Employes (1836), yang mengisahkan tentang cara kerja birokrasi dalam kehidupan bernegara di Perancis saat itu. Balzac, menulis dalam nada yang mengejek tentang birokrasi, sebagai berikut: ..... birokrasi telah terorganisir secara mantap, di bawah pemerintahan konstitusional dengan kebaikan alamiah yang biasabiasa saja, yang senang dengan pernyataan-pernyataan dan laporan yang pasti, suatu pemerintahan yang digambarkan sebagai 5 cerewet, seperti isteri pemilik toko kecil.
Balzac dipandang sebagai penulis yang berpengaruh dan sangat berhasil mendeskripsikan citra birokrasi Perancis, sehingga de Gournay
menyebutnya sebagai Bureaumania, suatu penyakit
dalam birokrasi, yang pemerintah sendiri tidak sanggup menyembuhkannya, dan bahkan luput dari perhatiannya. Di Inggris, seorang penulis kenamaan, John Stuart Mill, menulis tentang birokrasi dalam karyanya yang terkenal: Principles of Political Economy (1848), yang menentang dominansi birokrasi sebagai organisasi yang memonopoli segala jenis keterampilan dan pengalaman, dalam menangani kepentingan negara. Sedangkan di Jerman, Johan Gorres, merupakan orang yang paling berjasa memasyarakatkan konsep birokrasi pada awal abad ke-19. Melalui tulisannya yang berjudul Europe and the Revolution (1821), Gorres melihat birokrasi sebagai institusi sipil yang mirip dengan kedudukan tentara, dalam hal: disiplin, promosi, penghargaan kelompok, dan sentralisasi.
5
Dikutip dari Martin Albrow, Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hal 5.
14 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Dalam bidang sosiologi,6 perhatian awal dapat dijumpai dalam karya Karl Marx (1852) ”The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte”, dan dalam tulisan Alexis de Tocqueville (1877) ”L’ancien Regime and the French Revolution”. Mereka ini merupakan orang pertama dari beberapa orang yang mengenali kecenderungan historis yang relatif baru terhadap perkembangan birokratisasi pada tingkat organisasi yang
berbeda,
terutama organisasi militer,
dan
juga dalam
masyarakat Eropa Barat pada umumnya. Pengertian lebih lanjut tentang proses birokrasi dapat dijumpai dalam tulisan Robert Michels (1949) ”Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchial Tendencies of Modern Democracy”, yang menganalisis tentang dinamika distribusi kekuasa-an di dalam organisasi birokrasi dan perkembangan kecenderungan pemerintahan oligarkis yang merusak tatanan demokrasi. Walaupun demikian, studi tentang birokrasi sebagai tema permasalahan utama, terutama dalam sosiologi, didasarkan atas karya Max Weber. Pada awalnya, karya Max Weber tidak dikenal secara luas oleh para teoretisi yang berbahasa Inggris, sampai akhirnya karya-karya tersebut diterjemahkan pada akhir tahun 1940-an, dua puluh tahun setelah dia wafat tahun 1920. Karyakarya tersebut, antara lain: (1) From Max Weber: Essays in Sociology (1946), diedit oleh H.H. Gerth and C.W. Mills; dan (2) The Theory of Social
and Economic Organization
(1947), diedit
oleh A.M.
Henderson dan Talcott Parsons. Dalam uraian di bawah ini, disajikan gagasan mereka yang dapat dikatakan sebagai perintis dalam studi tentang birokrasi dan 6
Tentang hal ini dapat dilihat dalam Edgar F. Borgatta dan Marie L. Borgatta (eds), Encyclopedia of Sociology (“Bureaucracy”). New York: MacMillan Publishing Co., 1992.
15 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
menjadi bahan referensi bagi penulis berikutnya dan terkini yang tertarik dengan studi birokrasi. Namun, sajian ini hanya terbatas pada tokoh-tokoh tertentu yang dipandang memiliki pemikiran monumental pada zamannya. Sumber untuk penulisan ini sebagian besar diambil dari Martin Albrow yang berjudul Birokrasi (2007), yang dalam bahasa aslinya sudah ditulis sejak tahun 1970. Vincent de Gournay: Birokrasi Sebagai Salah Satu Tipe Pemerintahan. Dalam studinya tentang pemerintahan Perancis abad ke-18, de Gournay menemukan tipe pemerintahan lain, di luar bentuk yang sudah ada, yaitu: monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Karena itu dia tidak memandang pemerintah Perancis saat itu sebagai tirani atau bentuk buruk dari monarki. Ia mengidentifikasikan adanya suatu kelompok penguasa dan suatu metode memerintah yang baru. Keluhan terhadap kelompok penguasa tersebut bukan disebabkan oleh tindakan mereka yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum, atau oleh tindakan yang melebihi batas kewenanagan sebenarnya, tetapi dikarenakan bahwa memerintah nampaknya telah menjadi tujuan itu sendiri. Menurut Albrow (2007), walaupun identifikasi ini dilakukan sepintas lalu, namun dapat dipandang sebagai suatu inovasi konseptual yang penting dalam studi tentang birokrasi. Kelompok penguasa dan metode memerintah yang baru yang disebut oleh de Gournay, tidak lain adalah birokrasi. Tipe ini dikategorikannya sebagai tipe pemerintah yang keempat dalam klasifikasi pemerintahan Yunani Klasik, selain monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tambahan akhiran kata ”cracy” pada kata ”bureau” telah memposisikan kata ”birokrasi” sejajar dengan kata-kata monarki, aristokrasi, dan demokrasi, dalam terminologi tipe pemerintahan. 16 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Johan Gorres: Birokrasi Sebagai Institusi Sipil.
Dalam
studi birokrasi, Gorres dipandang sebagai orang yang laing berjasa dalam memasyarakatkan konsep birokrasi di Jerman pada awal abad ke-19. Ia adalah seorang wartawan, penulis roman, dan pendiri surat kabar Rheinische Merkur di Jerman, yang dikenal sebagai penentang monarki
Prussia.
Gorres
mengembangkan
suatu
teori
yang
mendasari kesatuan nasional, dimana ia menggabungkan antara unsur-unsur monarkis dan demokratik untuk mewujudkan kerjasama dan saling pengertian antara yang memerintah dan yang diperintah. Menurutnya,
jika
unsur-unsur
tersebut
tidak
terpenuhi
maka
birokrasilah yang akan menjadi hasilnya. Di dalam tulisannya yang berjudul Europe and the Revolution (1821), Gorres melihat birokrasi sebagai institusi sipil yang dalam perakteknya menggunakan prinsipprinsip yang mirip dengan apa yang dipakai dalam institusi ketentaraan, dalam hal:
disiplin, promosi, penghargaan kelompok
dan sentralisasi. Teknik-teknik administrasi untuk menghilangkan kesenjangan --- karena kurangnya kepercayaan antara yang diperintah dengan yang memerintah --- menjadi prinsip-prinsip negara. Menurut Gorres, birokrasi telah berhasil memperluas prinsip subordinasi yang menjadi dasar perkembangan birokrasi itu sendiri, dari manusia yang tunduk dan patuh, untuk secara bertahap berhimpun ke dalam suatu massa yang di dalamnya rakyat hanya dihitung sebagai suatu angka, yang memperoleh nilai bukan dari hakikat mereka sendiri tetapi dari kedudukan mereka. Konsep birokrasi yang mulai berkembang di awal abad ke-19, sebagaimana dalam pemikiran de Gournay dan Gorres, menurut Albrow, memiliki penekanan ganda, karena di samping dipandang 17 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
sebagai bentuk pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan ada di tangan pejabat, birokrasi juga dilihat sebagai indikator bagi keberadaan pejabat tersebut. Penekanan ini dianggap wajar, jika memperhatikan
perkembangan
konsep
sebelumnya
tentang
aristokrasi dan demokrasi. Istilah ”aristokrasi” secara eksklusif mengacu pada suatu strata sosial tertentu --- kekuasaan adadi tangan kaum bangsawan --- dan bukan pada suatu bentuk pemerintahan. Di pihak lain, istilah ”demokrasi” mengacu pada bentuk kelembagaan untuk mewujudkan keinginan rakyat. Para penulis
awal
tentang
birokrasi
memandang
bahwa
birokrasi
merupakan bentuk pemerintahan baru dengan suatu unsur baru dalam sistem stratifikasi sosial, dan istilah ”aristokrasi” dianggap tidak cocok untuk menjelaskan bentuk pemerintahan baru dan unsur baru dalam staratifikasi sosial tersebut. John Stuart Mill: Birokrasi Sebagai Tempat Pemusatan Segala Keterampilan dan Pengalaman. Di dalam karyanya Principles of Political Economy (1848), John Stuart Mill, penulis terkenal asal Inggris, menyusun teori yang menentang pemusatan segala keterampilan dan pengalaman di tangan birokrasi dalam menangani kepentingan publik dan dalam penggunaan kekuasaan untuk mengorganisir tindakan yang ada dalam masyarakat. Mill memandang hal tersebut sebagai penyebab utama rendahnya kemampuan kehidupan politik yang sampai kini menjadi ciri dari negara-negara Eropa Kontinental yang diperintah secara berlebihan. Dalam essainya yang berjudul On Liberty (1859), Mill menyerang campur tangan pemerintah, sekalipun campur tangan itu tidak melanggar kebebasan, karena menurutnya semakin besar 18 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
fungsi pemerintah maka akan semakin banyak pejabat karir yang direkrut, dan semakin efisien mesin brokrasi, sehingga akhirnya pemerintah semakin memonopoli sumberdaya manusia berkualitas yang ada dalam negara. Menurut Mill, birokrasi adalah puncak ambisi, sedangkan yang berada di luarnya akan semakin tidak berdaya untuk mengecamnya. Baik yang memerintah maupun yang diperintah menjadi budak birokrasi, dan darinya tidak dimungkinkan adanya perbaikan. Ketika segala sesuatu dikerjakan melalui birokrasi, maka tidak ada satu pun yang dapat dikerjakan jika hal itu bertentangan dengan birokrasi. Selanjutnya dalam tulisan lain yang berjudul Consideration on Representative Government (1861), Mill menegaskan bahwa di luar bentuk perwakilan, hanya bentuk birokrasi yang memiliki ketrampilan dan kemampuan politik yang tinggi, bahkan jika birokrasi tersebut dijalankan dengan nama monarki atau aristokrasi. Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional adalah inti dan arti dari birokrasi. Pemerintahan seperti itu memerlukan akumulasi pengalaman, latihan yang baik, dan tata krama tradisional yang dipandang baik, serta mensyaratkan pengetahuan teknis yang tepat, yang dengannya seseorang memiliki tingkah laku bekerja yang sesungguhnya. Namun demikian, menurut Mill, birokrasi akan mati, karena kekalan tata kramanya. Hanya unsur rakyat dalam pemerintahan yang membolehkan tampilnya manusia jenius secara alamiah, yang mengungguli mediokritas (orang biasa) yang terlatih. Pemerintah Cina dan Rusia adalah contoh tentang apa yang terjadi saat birokrasi memegang kekuasaan. Perangkat administrasi memang diperlukan, tetapi hal itu harus berada di bawah pengawasan badan publik yang mewakili seluruh rakyat. 19 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Karl Heinzen: Birokrasi Sebagai Pemerintahan Para Pejabat. Heinzen adalah seorang sosialis dan radikalis Jerman yang melarikan diri dari Prussia karena penentangannya terhadap birokrasi Prussia melalui bukunya yang berjudul Die Preussische Bureaukratie (1845). Di Jerman, gagasan tentang birokrasi sangat terkait dengan perubahan radikal dalam teori dan praktek administrasi, yang mengiringi kekalahan Prussia oleh Napoleon pada tahun 1806. Gagasan tentang birokrasi didominasi oleh konsep collegium, suatu badan
jabatan
yang
bertugas
menasehati
penguasa,
dan
bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tertentu dalam pemerintahan, antara
lain:
keuangan,
dan
tatanan
atau
undang-undang.
Pertanggung jawaban ini bersifat kolektif, dan di dalam collegium dimungkinkan terjadinya pertentangan antara gagasan dengan kepentingan. Setelah tahun 1806, sistem kolegial di bawah badan collegium diganti dengan sistem biro atau Einheitssystem, yang mengatur bahwa pertanggung jawaban terletak pada masing-masing individu menurut tingkat kewenangan masing-masing, sampai pada tingkat menteri. Bentuk kolegial memiliki beberapa keuntungan, misalnya pengambilan keputusan didasarkan pada diskusi yang di dalamnya mencakup berbagai sudut pandang. Bentuk ini juga mengembangkan sistem norma yang membatasi kewenangan, dan menjamin bahwa birokrasi diawasi secara ketat. Namun kelemahannya, pengambilan keputusan cenderung bertele-tele, menyita banyak waktu, dan tidak jelas tentang siapa yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam sistem biro, lebih menjamin adanya tanggung jawab individu, dan karena itu bersifat lebih pasti, menyatu, dan dinamis. Dalam sistem 20 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
biro, dokumen dapat disusun dengan cepat dan menghemat biaya. Namun demikian, kelemahan sistem biro terletak pada kemungkinan penyalahgunaan sistem administrasi oleh individu yang memegang kewenangan. Para penentang negara Jerman, memanfaatkan polemik sistem biro dan birokrasi sebagai alat untuk ”menyerang” sistem pemerintahan Jerman. Karena itu, Karl Heinzen, menawarkan suatu definisi birokrasi yang nampaknya lebih netral, yaitu sebagai struktur organisasi yang di dalamnya seorang pejabat tunggal mengontrol administrasi, sebagai lawan terhadap struktur kolegial, yang di dalamnya beberapa pejabat berkerja di bawah pimpinan seorang kepala, tetapi memiliki hak untuk turut serta dalam administrasi kolektif. Namun kemudian, Heinzen, mengartikan birokrasi dalam makna negatif, sebagai pemerintahan oleh para pejabat. Menurut Heinzen, di dalam jiwanya, birokrasi terjalin dengan watak budak yang angkuh, cenderung menjadi suatu instrumen yang menuntut bagi dirinya sendiri, dan memiliki ciri-ciri kekuasaan yang tidak terbatas. Robert von Mohl: Birokrasi sama dengan Birokratisme. Robert von Mohl adalah profesor ilmu politik pada Universitas Heidelberg,
Jerman.
Ia
berpendapat
bahwa
secara
historis
pengertian birokrasi sebagai ”sistem biro” lebih utama, dan hanya pada
masa
sesudahnya
pengertian
tersebut
diganti
dengan
pengertian yang terkesan kasar, dan justru inilah yang lebih populer. Tetapi, sekalipun dalam pengertian kasar, menurut von Mohl, birokrasi tetap memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok sosial yang menyampaikan keluhan terhadap birokrasi. Kelas sosial yang 21 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
memiliki hak istimewa mengeluhkan hilangnya keistimewaan, kelas komersial mengeluhkan camour tangan birokrasi dalam perdagangan, para
seniman
memperoleh
mengeluhkan
apresiasi
pekerjaan
memadai,
para
mereka ilmuwan
yang
tidak
mengeluhkan
kebodohan, dan sebagainya. Pelampiasan keluhan tersebut memberi kesan bahwa gagasan umum tentang birokrasi dipahami sebagai konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara yang dijalankan oleh sejumlah besar pejabat profesional. Pengertian seperti ini disebut birokratisme, yaitu tingkah laku dan sikap pejabat profesional yang menyakitkan warga negara. Setelah tulisan von Mohl ini, penggunaan istilah birokrasi dalam fase berikutnya (abad ke-20) muncul dalam makna yang negatif. Gaetano Mosca: Birokrasi Sebagai Suatu Badan yang Pejabatnya Digaji. Pada tahun 1895 Mosca menulis sebuah buku yang
berjudul Elementi di Scienza Politica,
yang
kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Ruling Class (terbit 1896). Buku ini menjadi populer karena berisi kritikan terhadap klasifikasi tradisional tentang tipe pemerintahan yang telah bertahan selama lebih dari dua ribu tahun. Mosca menyatakan bahwa klasifikasi tradisional tentang pemerintahan yang ada selama ini (demokrasi, aristokrasi, dan monarki), mengandung cacat dalam dua hal, yaitu: pertama, didasarkan pada observasi terhadap suatu momen tunggal dalam organisme politik; dan kedua, klasifikasi tersebut hanya mempertimbangkan perbedaan formal daripada perbedaan substansial yang sesungguhnya.
22 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Mosca mengajukan suatu proposisi umum tentang realitas kekuasaan dalam proses politik, sebagaimana yang dikutip Albrow (2007:28), sebagai berikut: Dalam semua masyarakat yang berdiri secara kokoh, yang di dalamnya terdapat sesuatu yang disebut pemerintah, ... kelas yang berkuasa (the ruling class), atau lebih tepatnya, orang-orang yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, akan selalu merupakan minoritas, dan di bawah mereka kita temukan banyak kelas orangorang yang tidak pernah diberi peranan dalam arti yang sesungguhnya, turut serta dalam pemerintahan, tetapi hanya tunduk padanya. Inilah yang disebut kelas yang diperintah (the ruled class).
Atas dasar proposisi tersebut, Mosca membagi pemerintahan menjadi dua tipe, yaitu tipe feodal dan tipe birokratis. Di negara feodal, kelas yang memerintah memiliki struktur yang sederhana. Setiap
anggota
dapat
menjalankan
fungs-fungsi
ekonomi,
perundangan, administrasi atau militer. Setiap anggota dapat menjalankan wewenang secara langsung dan memiliki wewenang personal terhadap anggota kelas yang dikuasainya. Sedangkan di negara birokratis, fungsi-fungsi tersebut dipisahkan satu sama lain, dan menjadi kegiatan eksklusif dari bagian-bagian khusus dari kelas yang berkuasa. Di antara bagian-bagian tersebut, terdapat suatu kelompok, yang karena kehadirannya, di suatu negara dinamakan birokratis. Porsi tertentu dari sumberdaya nasional dialokasikan pada suatu badan yang pejabat-pejabatnya digaji, dan itulah yang menurut Mosca disebut birokrasi. Di dalam analisis Mosca, sebagaimana disajikan di atas, terdapat dua hal yang dipandang berbeda dengan opini umum tentang birokrasi yang telah berkembang dalam abad ke-19. Pertama, penekanannya pada keharusan pemerintah minoritas, yang jelas membuat semua teori tentang birokrasi menjadi tidak relevan. Kedua,
23 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
para pejabat pemerintah, walaupun hanya dianggap sebagai tambahan yang bermanfaat bagi otoritas tertinggi yang memiliki kekuasaan, namun tidak hanya dilihat sebagai bagian dari kelas yang berkuasa di negara modern, tetapi juga sebagai suatu ciri yang pasti dari birokrasi. Karena alasan inilah, Mosca sering dianggap sebagai pencetus awal fasisme Italia. Mosca sangat tidak percaya pada pendapat yang menyatakan bahwa kelas yang berkuasa harus monolitik. Ia menolak pandangan kaum Marxis bahwa identitas kepentingan di kalangan orang yang menempati suatu kelas yang sama. Bahkan ia sangat memberikan kemungkinan bagi adanya kebebasan, dan ini tergantung pada diferensiasi dari kelas yang berkuasa. Apabila suatu birokrasi memonopoli kekayaan nasional dan kekuatan militer, Mosca menyebutnya sebagai absolotisme birokratis. Bentuk pemerintahan tersebut adalah ”despotisme dalam bentuknya yang paling buruk”. Menurut Mosca, adalah penting untuk membatasi kekuasaan birokrasi melalui badan-badan perwakilan. Melalui mekanisme ini, suatu kelas yang berkuasa tidak lain adalah refleksi dari kepentingan dan bakat yang berbeda dalam suatu masyarakat. Karl Marx: Birokrasi Sebagai Instrumen Kelas Dominan. Marx adalah sosiolog berkebangsaan Jerman yang hidup antara tahun 1818-1883. Konsep birokrasi tidak menduduki posisi utama dalam keseluruhan pemikiran Marx, karena Marx lebih fokus pada teori tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan kemunculan komunisme.7 Walaupun demikian, pandangan Marx tentang birokrasi 7
Tentang hal ini dapat dibaca dalam Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal.22.
24 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat amatlah penting untuk dipahami. Dalam konteks ini, pemikiran Marx tentang birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum teorinya
tentang
perjuangan
kelas,
krisis
kapitalisme,
dan
kemunculan komunisme. Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. 8 Hegel berpendapat bahwa birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok profesional, usahawan, dan berbagai macam kelompok lainnya yang mewakili bermacam kepentingan partikular (khusus).
Birokrasi
pemerintah
dapat
menjadi
media
yang
menghubungkan antara kepentingan partikular dengan kepentingan umum (general). Marx dapat menerima konsep Hegel tentang ketiga aktor tersebut, yaitu birokrasi, kepentingan partikular (masyarakat), dan kepentingan umum (pemerintah). Namun Marx berpendapat bahwa negara tidak mewakili kepentingan umum, karena sebenarnya kepentingan umum itu tidak ada. Hal yang ada, menurut Marx adalah kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya. Kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi kelas yang dominan, itulah yang berkuasa. Birokrasi menurut Marx merupakan kelompok partikular yang sangat 8
Sesudah satu tahun mempelajari hukum di Universitas Bonn, pada usia 18 tahun, Marx pindah ke Universitas Berlin, dan di universitas inilah Marx mulai mendapat pengaruh dari Hegelian muda --- sebutan untuk para mahasiswa pengikut Hegel, seorang ahli filsafat historis yang sangat terkenal di kalangan ilmuwan Jerman saat itu --- yang kemudian mempengaruhi teori sosial yang dibangun Marx. Walaupun Hegel telah meninggal saat Marx masuk Universitas Berlin, namun semangat dan filsafatnya masih menguasai pemikiran filosofis dan sosial di universitas tersebut.
25 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
spesifik. Birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang digunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelaskelas lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kelas partikular yang mendominasi tersebut. Berdasarkan konsep pemikiran ini, birokrasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas dominan dan pemerintah. Eksistensi birokrasi sangat tergantung pada kelas
dominan dan
pemerintah.
Konsep ini sekaligus
menjelaskan tentang perbedaan antara Hegel dan Marx dalam melihat fungsi birokrasi. Bagi Hegel, birokrasi merupakan perantara antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Birokrasi menempati posisi netral terhadap berbagai macam kekuatan atau kelas yang ada di dalam masyarakat. Sebaliknya, Marx melihat birokrasi itu tidak netral, karena memihak pada kelas dominan atau kelas (kekuatan politik) yang sedang berkuasa. Pada
mulanya
rakyat
membutuhkan
birokrasi
untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan pelayanan, bahkan rakyat menjadi bagian dari birokrasi --- bukan hanya memperoleh pelayanan tetapi juga pekerjaan ---. Namun dalam perkembangannya, menurut Marx, birokrasi berkembang menjadi kekuatan yang otonom dan menindas (opresif) yang dirasakan oleh mayoritas rakyat sebagai kekuatan yang misterius. Rakyat teralienasi dari birokrasi, dan mereka tidak dapat menjangkaunya apalagi mengontrolnya. Di satu sisi birokrasi berbuat baik dengan mengatur kehidupan rakyat, namun di sisi yang lain rakyat merasa terasing dengan birokrasi. Birokrasi menjadi kekuatan yang tertutup, sama halnya dengan penjaga istana yang memiliki hak prerogatif, angker, judas, dan keras. Proses alienasi birokrasi tidak hanya berhenti pada pemisahan antara 26 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
birokrasi dengan rakyat, tetapi juga pemisahan antara kekuatan internal yang terdapat dalam birokrasi itu sendiri. Birokrasi tidak menyadarai bahwa di dalam tubuhnya terdapat parasit yang senantiasa menggerogoti kekuatannya dari dalam. Kekuatan parasit ini mengkonsolidasikan diri melalui jenjang hierarkis dan disiplin yang kaku dan dengan memanfaatkan kewenangan yang melekat pada sistem birokrasi itu. Selain proses alienasi dari kekuatan luar (rakyat) dan dari dalam birokrasi itu sendiri, konsep birokrasi Marxis juga menyebutkan tentang ketidakmampuan (incompetence) dari birokrasi dalam hal mengemukakan inisiatif, dan tidak adanya kemampuan mengambil risiko. Birokrasi selalu berupaya untuk mempertahankan fungsi dominasinya agar dapat mengkonsolidasikan posisi dan hak-hak prerogatifnya. Marx menyebut fenomena ini sebagai imperialisme birokratik (bureaucratic impelialism), suatu upaya birokrasi untuk terus memperluas kekuatannya (self aggrandizement) melalui internal struggle untuk memperoleh promosi, pengembangan karir, status, dan priviligis. Di samping konsepsi tersebut, birokrasi menurut Karl Marx, merupakan instrumen kelas kapitalis, yang oleh karenanya harus dihancurkan melalui revolusi proletariat. Revolusi ini nanti akan menghasilkan masyarakat komunis, yang di dalamnya tidak ada eksploitasi dan pembagian kelas, sehingga birokrasi tidak diperlukan lagi
dan
keberadaannya
dianggap
berlebihan
(redudant).
Penghancuran birokrasi harus dipahami sebagai proses penyerapan secara bertahap ke dalam struktur masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian penghancuran tersebut akan meniadakan struktur opresif dari birokrasi dan antagonistik dari masyarakat, karena dalam 27 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
masyarakat komunis birokrasi itu dilakukan oleh semua anggota masyarakat. Tugas-tugas administratif kehilangan sifatnya yang eksploitatif dan hanya mengadministrasikan benda-benda dan bukan orang-orang, sebagaimana yang ada dalam sistem birokrasi dalam sistem kapitalis. Max Weber: Birokrasi Legal-Rasional. Weber adalah seorang sosiolog berkebangsaan Jerman yang hidup antara tahun 1864-1920. Sumbangsih Weber terhadap studi tentang birokrasi ditemui dalam pembahasannya tentang tipe otoritas dan bentuk organisasi sosial. Pemikirannya dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai perwira cadangan yang diserahi tugas untuk memimpin sembilan
rumah sakit militer. Weber mengembangkan suatu
perbedaan tipologis yang dimulai dari tingkatan hubungan sosial sampai pada tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi keteraturan sosial tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja, artinya keseragaman atau uniformitas perilaku tidak hanya diperkuat oleh sanksi eksternal atau kepentingan diri individu yang terlibat, tetapi juga oleh penerimaan individu akan norma dan aturan yang mendasari keteraturan tersebut. Weber mengidentifikasikan beberapa tipe hubungan sosial yang berbeda, khususnya hubungan sosial dalam organisasi yang memiliki struktur otoritas yang sudah mapan, artinya individu yang diterima bekerja dalam organisasi tersebut mendukung keteraturan sosial itu. Hubungan sosial demikian dapat dilihat sebagai ”kelompok yang berbadan hukum (corporate group), jika hubungan tersebut
28 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
bersifat asosiatif atau rasional dan bukan komunal atau emosional.9 Pertanyaan pokoknya adalah mengapa keteraturan sosial tercipta dalam organisasi rasional? Hal ini dikarenakan anggota organisasi menerima pola-pola dominasi sebagai sesuatu yang benar, baik oleh mereka yang berkuasa (dominan) maupun oleh mereka yang dikuasai (tunduk pada dominasi). Pola-pola dominasi tersebut mencerminkan strukur otoritas dan bukan kekuasaan. Kekuasaan adalah
kemampuan
untuk
melaksanakan
kemauan
walaupun
mendapat perlawanan dari orang lain, sedangkan otoritas adalah hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang berlaku di dalam organisasi yang mendasari keteraturan sosial. Penggunaan otoritas tergantung pada kerelaan pihak bawahan untuk patuh pada perintah dari orang yang memiliki otoritas. Dalam kaitan ini, Weber mengidentifikasikan tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas, sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini. (1) Otoritas
Tradisional.
Tipe
otoritas
ini
didasarkan
pada
kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi zaman dahulu dan legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas tersebut. Alasan orang taat pada pemegang otoritas adalah bahwa mereka sudah seharusnya demikian karena sejak dahulu juga seperti itu, atau karena mereka yang memegang otoritas tersebut telah dipilih berdasarkan peraturan yang harus dihormati sepanjang waktu. Hubungan antara pemimpin yang memegang otoritas dengan bawahannya merupakan hubungan pribadi. Ada kesetiaan pribadi untuk patuh dan taat pada pemimpin tersebut 9
Hubungan asosiatif adalah hubungan yang didasarkan atas persetujuan rasional, sedangkan hubungan komunal meliputi perasaan subyektif (Lihat: Johnson, 1986:227).
29 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
dan sebaliknya pemimpin berkewajiban secara moral untuk memperhatikan kebutuhan dari mereka yang dipimpin. Weber
membedakan
gerontokrasi,
tiga
tipe
patriarkalisme,
otoritas
dan
tradisional,
patrimonialisme.
yaitu: Dalam
gerontokrasi, pengawasan dilakukan oleh para orang tua dalam suatu kelompok; dalam patriarkalisme pengawasan berada dalam suatu kekerabatan (keluarga) dan otoritas dipegang oleh individu, yang memiliki otoritas tersebut melalui warisan. Sedangkan dalam patrimonialisme, terdapat suatu staf administratif --- yang tidak ada dalam gerontokrasi dan patriarkalisme --- yang memiliki hubungan pribadi dengan pemimpin. Jika wilayah kekuasaan penguasa patrimonial semakin luas, dan dengan demikian semakin sulit dikendalikan, maka otoritas patrimonial akan semakin berkurang pula. Feodalisme adalah suatu sistem dominasi
tradisional
dimana
otoritas
tradisional
sudah
berkembang hingga pada suatu titik dimana hubungan-hubungan antara staf administratif dengan pemimpin dikendalikan oleh kontrak dan bukan oleh penundukan dari pihak penguasa. Walaupun demikian staf administratif tetap memperlihatkan suatu kesetiaan secara sukarela kepada pemimpinnya. Keleluasaan pemimpin dalam sistem feodalisme biasanya dibatasi oleh kelompok bangsawan yang dipandang memiliki hak-hak pribadi yang suci dan turun temurun. Hal ini berbeda dengan sultanisme (pemerintahan kesultanan), yang merupakan suatu sistem patrimonialisme dimana penguasa memiliki keleluasaan yang sangat maksimal dalam menjalankan otoritasnya. (2) Otoritas Karismatik. Istilah ”karisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang dimiliki 30 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
seorang pemimpin. Menurut Weber, daya tarik tersebut meliputi karakteristik pribadi yang menjadi inspirasi bagi mereka yang menjadi
pengikutnya.
Dalam
deskripsi
Weber,
pemimpin
karismatik tersebut memperoleh rahmat dari Tuhan, sehingga dasar kepemimpinan mereka adalah kepercayaan bahwa si pemimpin memiliki hubungan khusus dengan yang ilahi dan bahkan mewujudkan karakteristik ilahiah tersebut. Kepatuhan para pengikut kepada pemimpin karismatik lebih dikarenakan identifikasi diri secara emosional dan komitmen terhadap nilainilai yang diajarkannya. Karena itu para pengikut bersedia berkorban apa saja demi pemimpin mereka. Pengorbanan tersebut
mereka
wujudkan
dalam
bentuk,
antara
lain:
meninggalkan pekerjaan atau bahkan meninggalkan keluarganya, dan menjual barang-barang milik pribadinya untuk mendukung kegiatan pemimpin karismatik dengan penuh loyalitas. Para pengikut ”mengikat diri” secara pribadi melalui penciptaan hubungan sebagaimana layaknya keluarga dengan pemimpin dan juga dengan para pengikut yang lain. Mereka meminta nasehat dan bimbingan secara terus menerus baik dalam menghadapi kesulitan hidup sehari-hari maupun dalam menyelamatkan sumber penghasilan yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Berbeda dengan tipe otoritas yang lain yang berorientasi untuk malanggengkan atau mempertahankan status quo, otoritas karismatik justru diorientasikan untuk melawan status quo melalui upaya pendobrakan terhadap kemapanan menuju ke suatu keteraturan sosial dan moral yang baru. Namun kadang-kadang seruan menuju suatu keteraturan sosial yang baru dilakukan 31 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
dengan mengajak para pengikut untuk kembali pada tradisi lama yang sudah dilupakan. Ayatullah Khomeini misalnya, menyerukan kepada rakyat Iran agar melenyapkan pengaruh Barat dan kembali pada nilai-nilai kebudayaan Islam kuno. Pengaruh kepemimpinan karismatik biasanya memudar atau bahkan hilang sama sekali jika pemimpin yang bersangkutan meninggal, atau dapat juga karena kehilangan karismanya, yaitu kehilangan kemampuan untuk secara terus menerus meyakinkan para pengikutnya akan mutu pribadinya yang luar biasa. (3) Otoritas Legal-Rasional. Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut Weber dengan istilah Otoritas Legal-Rasional. Seseorang dikatakan melaksanakan otoritas legal-rasional karena dia memiliki posisi sosial yang menurut peraturan sah --kedudukan tersebut dilegitimasi oleh peraturan yang ada --- dan karena itu dia memiliki otoritas atau kewenangan untuk memerintah orang lain yang menjadi bawahannya. Seorang yang menjadi bawahan tunduk kepada orang yang memiliki posisi sosial itu karena peraturan mengharuskan dia berbuat seperti itu. Dengan demikian, dalam otoritas legal-rasional, seseorang dapat memerintah orang lain atau seseorang tunduk pada orang lain, bukan karena pribadi orang yang menduduki suatu posisi, tetapi karena
peraturan
mengharuskannya
berperilaku
demikian.
Seleksi terhadap orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu, baik sebagai atasan maupun bawahan, juga diatur melalui peraturan tertentu. Misalnya, untuk menduduki suatu posisi tertentu dipersyaratkan dari segi pendidikan, keahlian, dan 32 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
pengalaman kerja. Dengan kata lain, semua peraturan yang mengatur hubungan orang dalam organisasi diterima sebagai sesuatu yang sah dan mengikat, dan orang yang menjadi anggotanya
harus
punya
komitmen
untuk
bersikap
dan
berperilaku berdasarkan prosedur dan mekanisme yang ada dalam peraturan tersebut. Otoritas
legal-rasional
diimplementasikan
dalam
bentuk
organisasi birokratis. Organisasi birokratis yang digambarkan oleh Weber
bukanlah
organisasi
birokratis
seperi
yang
banyak
dipersepsikan orang saat ini, sebagai organisasi yang tidak efisien, boros, prosedur kerja yang berbelit-belit, sehingga nampak tidak rasional lagi. Birokrasi rasional atas dasar otoritas legal, menurut Weber, adalah lembaga birokrasi yang didasarkan atas norma-norma hukum yang dirumuskan secara sadar dan rasional serta berfungsi sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Sesuai dengan teorinya bahwa keyakinan dalam legitimasi adalah dasar bagi hampir semua sistem otoritas, maka Weber mengemukakan lima keyakinan yang saling berkaitan, atau lima konsepsi legitimasi, yang menentukan keabsahan suatu otoritas. Artinya, keabsahan suatu otoritas bergantung pada apakah kelima konsepsi legitimasi tersebut dipenuhi atau tidak. Lima konsepsi legitimasi tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: 1. bahwa penegakan peraturan (code) yang sah dapat menuntut kepatuhan dari para anggota organisasi; 2. bahwa hukum adalah suatu sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang ada dalam batas hukum; 3. bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut;
33 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
4. bahwa hanya qua member (anggota yang taat) yang benarbenar mematuhi hukum; 5. bahwa kepatuhan seharusnya tidak ditujukan kepada individu (person) yang memegang otoritas, melainkan kepada tatanan impersonal yang menjaminnya untuk menduduki jabatan itu (Albrow, 2007:42-43).
Berdasarkan konsepsi legitimasi tersebut, Weber kemudian merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan otoritas legal yang ditujukan kepada staf administrasi birokratis. Delapan prinsip otoritas tersebut adalah sebagai berikut: 1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 2. tugas tersebut dibagi ke dalam bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi; 3. jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); 4. aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal, dan dalam kedua kasus ini manusia terlatih sangat diperlukan; 5. anggota sebagai sumberdaya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi; 6. pemegang jabatan tidak sama dengan jabatannya; 7. administrasi didasarkan atas dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; 8. sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat dari bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf adminsitrasi birokratis (Albrow, 2007:43-44).
Walaupun pemikiran Weber tentang birokrasi dipengaruhi oleh para penulis abad ke-19, namun terdapat beberapa hal yang membedakan, antara lain sebagai berikut: (1) Weber tidak menganggap birokratisme dan inefisiensi dalam administrasi, dua hal yang sering ditunjuk sisi negatif birokrasi, sebagai isu pokok yang perlu diperdebatkan dalam analisisnya;
34 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(2) Weber tidak sependapat dengan pemikiran bahwa birokrasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh para pejabat (beamtenherrschaft), karena menurutnya pejabat yang dipilih bukanlah birokrasi itu sendiri; (3) Weber meyakini bahwa birokrasi dapat dianalisis tanpa harus berprasangka pada isu tentang demokrasi; jika de Gournay, Mill dan Michels, menyajikan aliran pemikiran yang menyebut birokrasi dan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berlawanan tetapi secara eksklusif saling membutuhkan, maka analisis Weber dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa, secara konseptual, sifat khusus administrasi modern dan pengawasan aparat negara modern adalah dua hal yang berbeda. Weber terdapat
menyadari
bahwa
kecenderungan
kewenangan.
Karena
dalam
organisasi
penyalahgunaan
itulah
Weber
birokratis,
kekuasaan
dan
mempertimbangkan
suatu
mekanisme untuk membatasi ruang lingkup sistem otoritas melalui lima kategori pokok, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. (1) Kolegialitas. Dalam tiap tahapan hierarki dalam birokrasi harus ada satu orang yang memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Jika orang lain terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut maka itu berarti prinsip kolegial telah terlaksana. Melalui kolegialitas kemungkinan terjadinya aktivitas yang
melampaui
kewenangan
dapat
dicegah.
Namun
kelemahannya adalah pengambilan keputusan menjadi lama dan tanggung jawab kurang kuat. (2) Pemisahan kekuasaan. Birokrasi mencakup pembagian tugas dalam lingkup fungsi yang secara relatif berbeda. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi 35 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
yang sama antara dua badan atau lebih. Diperlukan kompromi dalam proses pengambilan keputusan di antara badan-badan tersebut. Kelemahan sistem ini adalah secara inheren bersifat tidak stabil, karena kedudukan badan-badan setara. Karena itu salah satu di antara otoritas harus dibatasi agar diperoleh keunggulan, dan dengan demikian proses kompromi tidak berlarut-larut. (3) Administrasi profesional. Apabila suatu pemerintahan tidak menggaji para pegawai administratif, maka pemerintahan seperti itu akan tergantung pada orang-orang yang memiliki sumberdaya yang
memungkinkan
mereka
menghabiskan
waktu
dalam
kegiatan tidak bergaji. Sistem seperti ini tidak dapat diukur berdasarkan tuntutan keahlian yang diperlukan masyarakat modern. Kegiatan administrasi harus dikerjakan oleh para profesional yang digaji, dan lingkup pekerjaan dan otoritasnya harus jelas sehingga kenerjanya dapat diukur. (4) Demokrasi langsung. Ada beberapa kiat untuk memastikan bahwa para pejabat dibimbing langsung oleh, dan dapat bertanggung jawab kepada suatu majelis. Masa jabatan yang singkat, pemilihan oleh sedikit orang, kemungkinan adanya recall. Semuanya dimaksudkan untuk melayani tujuan tersebut. Dengan memilih secara langsung, maka tuntutan untuk melayani dan bertanggung jawab terhadap para pemilih menjadi absah. (5) Representasi (Perwakilan). Klaim seorang pemimpin untuk mewakili pengikutnya bukanlah sesuatu yang baru. Para pemimpin, baik pemimpin karismatik maupun tradisional, memiliki klaim semacam itu. Hal yang baru di negara modern adalah kehadiran badan perwakilan kolegial, yang anggotanya dipilih 36 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
melalui pemungutan suara dan bebas membuat keputusan, serta memegang otoritas bersama orang-orang yang telah memilih mereka. Sistem seperti ini tidak dapat dijelaskan kecuali dalam konteks beroperasinya partai-partai politik. Mereka yang menjadi birokrat melalui sistem seperti inilah yang oleh Weber dilihat memiliki kemungkinan terbesar untuk mengawasi birokrasi. Pencapaian efisiensi melalui organisasi birokratis tidaklah berjalan tanpa cela. Disiplin kerja, adanya pengawasan yang ketat, dan sebagainya yang memperlihatkan suatu rasionalitas yang tinggi memang di satu sisi telah membawa organisasi ke arah kemajuan, namun di sisi lain telah mengorbankan aspek humanitas dari pegawai. Ikatan kesetiaan pribadi yang memiliki makna bagi tujuan hidup manusia dirusak oleh impersonalitas birokratis. Kepuasan dan kesenangan mencetuskan perasaan secara spontan ditekan oleh tuntutan untuk taat pada spesialisasi yang sempit, rasional, dan sistemik dari kantor birokratis itu. Dengan kata lain, logika efisiensi telah
menghancurkan
perasaan
dan
emosi
manusia
secara
sistematis, dan memosisikan manusia sebagai subordinasi dari mesin birokrasi yang besar. Manusia laksana sebuah sekrup dari mesin yang besar. Bangunan mesin birokratis itu, oleh Johnson (1986: 235) diibaratkan sebagai sebuah kandang besi (iron cage) yang membuat manusia sulit keluar dari dalamnya. Esai yang paling terkenal mempersoalkan birokrasi rasional Weber
adalah
artikel
pendek
Robert
K.Merton
yang
berjudul ”Bureaucratic Structure and Personality” (1940), yang ditulis dalam
Reader in Bureaucracy. Merton menandaskan bahwa
penekanan pada ketepatan dan keajegan (reliabilitas) dalam administrasi, dapat mengakibatkan kegagalan administrasi itu sendiri. 37 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Para pejabat dapat mengembangkan solidaritas yang sama yang digunakan untuk menolak ide-ide tentang perubahan. Jika para pejabat dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan masyarakat pengguna jasa. Talcott Parsons juga mengkritik persyaratan staf administrasi yang dipersyaratkan Weber dalam birokrasi rasional. Menurut Parsons, staf administrasi yang memiliki keahlian profesional dan hak untuk memerintah, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hierarki otoritas akan dibarengi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya timbul persoalan bagi anggota organisasi tentang siapa yang harus dipatuhi, apakah orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian. Kritik Parsons digunakan sebagai dasar pijakan oleh Alvin Gouldner dalam karyanya: Pattern of Industrial Bureaucracy (1955), salah satu studi penting dan berpengaruh tentang birokrasi pasca Weber. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner memusatkan perhatiannya pada konflik antara otoritas birokratis dengan otoritas profesional. Ia membedakan dua tipe birokrasi yang utama, yaitu: pemusatan hukuman (punishment centered) dan perwakilan (representative). Pada tipe yang pertama, para anggota organisasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok asing. Sedangkan pada tipe yang kedua, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. 38 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien. Peter Blau, melalui karyanya The Dynamics of Birokrasi (1955), menyatakan bahwa di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian tujuan organisasi tergantung pada perubahan secara terus menerus dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat dengan seperangkat peraturan yang kaku. Hanya dengan membolehkan para pejabat mengidentifikasikan tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentang keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien. Dari berbagai pendapat tersebut, kritik tentang birokrasi legalrasional Weber dapat diringkas sebagai berikut: (1) disiplin kerja dan pengawasan yang ketat sebagaimana dituntut dalam
organisasi
birokratis
Weber,
dipandang
telah
menghilangkan aspek manusiawi dari manusia, sehingga mereka kehilangan perasaan dan emosi dalam berhubungan dengan orang lain, karena mereka terbelenggu oleh aturan yang mengikat; (2) tekanan Weber pada ketepatan dan keajegan (reliabilitas) dalam kegiatan administratif dapat mengakibatkan kegagalan dari kegiatan administratif itu sendiri; peraturan yang semula berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, berubah menjadi tujuan itu sendiri; (3) norma-norma impersonal yang mengatur pola hubungan pejabat dengan pengguna jasa, dipandang dapat merusak hubungan pribadi antara pejabat dengan masyarakat yang dilayani;
39 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(4) Weber mempersyaratkan pentingnya tenaga ahli profesional untuk menduduki jabatan yang sesuai, dengan kata lain posisi jabatan harus memenuhi prinsip ”the right man on the right place”, namun jika hal yang demikian ini tidak terjadi maka dapat menimbulkan konflik dalam hal ketaatan dalam birokrasi tentang siapa yang harus ditaati: apakah pemegang otoritas (pejabat) yang tidak memiliki keahlian, ataukah para profesional yang ahli dalam bidangnya; (5) walaupun aturan ”menghendaki” agar semua anggota organisasi harus taat dan tunduk pada aturan yang berlaku, namun demikian dapat memunculkan dua kelompok kepentingan dalam organisasi: yaitu mereka yang pura-pura taat pada hukum, dan mereka yang sungguh-sungguh taat karena membutuhkan hukum; kondisi ini dapat mempengaruhi kenerja pegawai; (6) ketaatan terhadap peraturan, sebagaimana dipersyaratkan dalam birokrasi legal-rasional Weber, dipandang dapat menyulitkan pegawai untuk beradaptasi dengan prubahan yang terjadi; menjadikan pejabat tidak kreatif dan inovatif. Selain kritik di atas, terdapat banyak kritik lain yang dialamatkan pada ”Birokrasi Rasional Weber”. Ada yang berpendapat bahwa penerapan tipe ideal birokrasi ala Weber belum tentu cocok diterapkan
pada
negara-negara
non-Barat,
atau
ada
yang
menyatakan bahwa keberhasilan penerapan tipe ideal tergantung pada lingkungan budaya setempat. Kemudian ada juga yang mempersoalkan metodologi yang dipakai oleh Weber untuk sampai pada konsep tipe ideal tersebut. Albrow (2007) menyimpulkan adanya dua tema yang membedakan antara Weber dengan para pengkritiknya. Pertama, mempersoalkan validitas empirik (baik 40 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
historis maupun prediksi), yang berkenaan dengan sifat dan perkembangan administrasi modern. Kedua, penolakan terhadap pengaitan tipe ideal birokrasi dengan konsep rasionalitas dan efisiensi. Albrow (2007) menyajikan suatu jawaban ringkas terhadap para pengkritik Weber, yang diambil dari berbagai sumber. Dalam bagian ini, disajikan jawaban tersebut, tetapi hanya yang berkenaan dengan konsep rasionalitas dan efisiensi dalam konteks birokrasi, dengan
alasan
karena
kedua
hal
tersebut
paling
banyak
diperdebatkan oleh para kritikus Weber. Ketika Weber menyebut rasionalitas otoritas legal, hal ini bukan dikarenakan perlunya otoritas legal diasosiasikan dengan birokrasi rasional, tetapi karena birokrasi rasional merupakan suatu bentuk otoritas legal. Weber menyebut jenis-jenis konsepsi legitimasi yang menopang otoritas legal sebagai rasional. Ada tiga alasan untuk hal ini, pertama, konsepsi tersebut mencakup gagasan bahwa tujuan dan nilai dapat dirumuskan dalam suatu aturan hukum. Kedua, peraturan hukum yang abstrak diterapkan dalam kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mencakup pengerjaan kepentingan yang ada dalam kerangka hukum tersebut. Ketiga, kewajiban individu di dalam sistem tersebut terbatas pada tugas khusus. Weber menyebut masing-masing ciri tersebut sebagai rasional. Jadi, di sini terdapat dua unsur, yaitu tujuan yang melekat dalam rancangan peraturan, dan prosedur yang digunakan dalam penerapan aturan tersebut. Weber menyebut suatu peraturan sebagai ”rasional” sejauh peraturan itu dimaksudkan untuk membantu pencapaian tujuan (peraturan-peraturan teknis) atau untuk merealisasikan nilai (norma41 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
norma). Istilah ”rasional” tidak hanya cocok untuk peraturan demi maksud yang terkandung di balik aturan itu, tetapi juga dapat digunakan untuk menunjukkan prosedur penerapan peraturan pada kasus tertentu. Bagi Weber, prosedur semacam itu pada hakekatnya adalah rasional. Memang di dunia modern segala sesuatunya menjadi semakin rasional, dan memang begitulah seharusnya, baik dengan peraturan teknis maupun dengan norma-norma untuk mempekerjakan orang-orang berkualitas yang memiliki keahlian yang diperlukan untuk menerapkan peraturan dan norma tersebut. Inilah jenis rasionalitas yang ada dalam benak Weber ketika ia membahas birokrasi. Administrasi birokratis berarti otoritas yang berdasarkan pengetahuan. Ini adalah ciri rasionalitas Weber yang khas, dan otoritas birokratis adalah rasional, terutama dalam arti terbatas pada peraturan yang dapat dianalisis secara terpisah. Hanya dengan menyadari bahwa Weber memandang implementasi peraturan dalam organisasi modern sebagai pandangan seorang pakar, maka orang dapat memahami kesesuaian pertimbangan yang nampaknya berbeda tersebut. Prosedur penerapan peraturan atas dasar keahlian ini dipusatkan pada apa yang oleh Weber disebut rasionalitas formal birokrasi. Ringkasnya, administrasi birokratis harus dikerjakan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya (profesional), sedangkan otoritas yang dimiliki oleh para pejabat profesional itu haruslah didasarkan atas suatu peraturan. Konsep rasionalitas formal Weber tidaklah sama dengan gagasan tentang efisiensi. Sudah barang tentu konsep rasionalitas terdiri dari hal-hal teknis, seperti perhitungan atau pencatatan, di samping melibatkan keahlian yang berdasarkan peraturan, misalnya 42 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
interpretasi hukum oleh ahli hukum. Tindakan administrasi tidak cukup dituntun oleh hal teknis semata, tetapi juga oleh norma-norma. Lebih dari itu, Weber sering mengacu pada kenyataan bahwa rasionalitas formal tidak menjamin, apa yang disebutnya, rasionalitas materiil. Lagi pula, sistem formal yang dilaksanakan dengan sempurna sekalipun dapat menggagalkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang menggerakkannya. Karena itulah tersirat adanya mengakuan bahwa birokrat dapat mencengkeram posisi tertinggi dalam negara untuk kepentingan diri mereka sendiri. Demikian pula, terdapat kemungkinan orang yang menduduki suatu jabatan belum tentu memiliki keahlian sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut. Rasionalitas formal dapat dicapai melalui norma-norma dan melalui hal-hal teknis. Tetapi rasionalitas formal yang bersifat teknis tersebut tidak sama dengan efisiensi, walaupun di dalamnya mencakup perhitungan, perkiraan dan stabilitas. Akan tetapi, hal teknis saja belumlah cukup untuk mencapai tujuan organisasi. Jika efisiensi didefinisikan menurut cara konvensional yang lazim, yakni sebagai ”suatu pencapaian tujuan khusus dengan pengorbanan yang sesedikit mungkin dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang lain”, maka dapat dilihat bahwa hal itu tidak berhubungan dengan kategori rasionalitas Weber. Gagasan Weber tentang rasionalitas yang
bertujuan
(Zweck
rationalitat)
dapat
dianggap
sebagai
mencakup efisiensi, dan melibatkan pula rangkaian tujuan dan cara. Hubungan antara rasionalitas formal dan efisiensi, dapat dipahami secara lebih baik dengan mempertimbangkan cara, yang dengannya efisiensi umumnya diukur melalui kalkulasi biaya, atau pengorbanan dalam arti uang, waktu dan tenaga yang dihabiskan. Kalkulasi 43 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
semacam itu merupakan prosedur formal yang tidak dengan sendirinya menjamin efisiensi, tetapi merupakan syarat untuk menentukan tingkat efisiensi yang dapat dicapai. Inti gagasan rasionalitas formal Weber adalah gagasan tentang kalkulasi yang benar, baik menurut istilah numerik, seperti pada akuntan, maupun menurut logika, sebagaimana dilakukan ahli hukum. Dengan kata lain, Weber tidak menawarkan suatu teori efisiensi, tetapi suatu pernyataan tentang prosedur formal yang biasa terjadi dalam suatu organisasi modern. Interpretasi seperti ini, dapat mengarah pada penolakan tuduhan yang ditujukan kepada Weber bahwa ia berdasarkan padangan intuitifnya, berusaha menetapkan kondisikondisi yang serba cocok bagi pencapaian tujuan dalam organisasi apa pun. 1.3 Arti dan Pemahaman Terhadap Konsep Birokrasi Apa yang diartikan orang terhadap suatu konsep sering berbeda dengan apa yang dipahaminya. Arti adalah makna sesungguhnya yang melekat pada konsep tersebut, seperti apa yang didefinisikan dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan pemahaman lebih merupakan persepsi yang diberikan atas konsep itu. Tetapi dalam banyak hal, kedua hal ini kadang tidak dibedakan. Dengan kata lain, arti disamakan dengan pemahaman. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ”arti” adalah makna yang diberikan pada suatu kata atau kalimat. Sedangkan kata ”paham” dapat diartikan sebagai pikiran atau pendapat. Suatu hal yang pasti adalah bahwa arti yang berbeda-beda dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda, sebagaimana yang terjadi pada konsep birokrasi, dan juga pada konsep-konsep lainnya dalam ilmu sosial. Sebagai contoh: kalau kita menyebut 44 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
bahwa ”birokrasi adalah suatu organisasi pemerintahan yang tidak efisien” atau ”birokrasi sama dengan korupsi”, maka kalimat tersebut lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pemahaman yang muncul karena persepsi (negatif) daripada sebuah definisi tentang birokrasi. Secara etimologis birokrasi berasal dari kata bureau10, yang berarti meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat, dan tambahan kata krateoo (bahasa Yunani) yang berarti mengatur (to rule). Banyak kosa kata yang dihubungkan dengan kata ”cracy” yang berasal dari kata
”krateoo”
tersebut,
sebagaimana
ditulis
Raadschelders
(2003:316), sebagai berikut: ”... democracy is the rule of the people (demos), meritocracy is the rule of the deserving (merites), gerontocracy is the rule of the elders (gerontes), aristocracy is the rule of the best (aristoi), timocracy is the rule by the “propertied” class, ochlocracy is the rule by the mob, kleptocracy is the rule by thieves, and bureaucracy is then the rule of bureaus”.
Kata
birokrasi
juga
dihubungkan
dengan
tiga
tipe
pemerintahan dari Plato dan Aristotles, yaitu: rule by one person (monarchy or tyranny), rule by a few (aristocracy or oligarchy), and the rule by many (polis or democracy). Dalam hal ini, birokrasi merupakan tipe pemerintahan yang keempat. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang filsof berkebangsaan Perancis, Baron de Grimm. 11 Istilah bureaucracy kemudian dipakai
10
11
Martin Albrow, op cit., hanya mengatakan bahwa kata ”bureau” adalah kata yang telah diakui umum, yang berarti meja tulis. Baron de Grimm mengutip istilah itu dari Vincent de Gournay (1712-1759), seorang penerjemah karya-karya penulis terkenal tentang ekonomi ke dalam Bahasa Perancis. Dikenal pula sebagai ”a French civil servant and physiocrat”. Asal usul istilah laissez-faire, laissez-passer, juga dihubungkan dengan nama Vincent de Gournay.
45 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
secara luas dalam berbagai bahasa: bureaucatie (Perancis), bureaukratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucracy (Inggris). Artinya, suatu organisasi pelaksana kegiatan pemerintahan. Istilah ini segera
menjadi
internasional.
bagian
perbendaharaan
Sebagaimana
halnya
dalam yang
istilah terjadi
politik pada
kata ”democracy”, istilah ”bureaucracy” pun melahirkan varian kata: ”bureaucrat”, ”bureacratic”, ”bureaucratism”, ”bureaucratist”, dan ”bureaucratization”. Konsep birokrasi ini kemudian dicantumkan dalam kamus-kamus paling awal yang terbit di Eropa, sebagaimana yang dicatat Albrow (2007), sebagai berikut: (1) kamus Akademi Perancis
(1798),
mengartikan
birokrasi
sebagai
”kekuasaan,
pengaruh dari pada kepala dan staf biro pemerintahan”; (2) kamus Bahasa Jerman (1813), birokrasi: ”wewenang atau kekuasaan yang oleh
berbagai
departemen
pemerinta
dan
cabang-cabangnya
diperebutkan untuk diri mereka sendiri, atas sesama warga negara”; dan (3) Kamus Teknik Bahasa Italia (1828), mengartikan kata birokrasi
sebagai
”kekuasaan
pejabat
di
dalam
administrasi
pemerintahan”. Menurut H.G. Creel, dalam The Beginnings of Bureaucracy in China: the Origin of the Hsien (1964), gagasan tentang efisiensi administrasi bukanlah hal yang khas bagi pemikiran Barat modern. Menurut Creel, dari tahun 165 SM, para pejabat Cina telah dipilih melalui ujian. Administrasi Cina sangat akrab dengan gagasan senioritas, penilaian menurut keahlian, statistik dan laporan tertulis pejabat, serta tulisan-tulisan Shen Puhai (meninggal 337 SM) yang memberikan seperangkat prinsip yang mirip dengan teori administrasi abad ke-20.
46 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Secara historis, kajian terhadap birokrasi sebagai suatu konsep dalam pemerintahan negara, telah dimulai pada abad ke-18 (1760-an), menjelang terjadinya Revolusi Perancis (1789). Ketika itu, kinerja pejabat pada pemerintahan Perancis dan juga pemerintahan Eropa lainnya buruk sekali. Untuk menyindir mereka digunakan istilah “bureaumania”, yang memiliki makna negatif tentang birokrasi sebagai organisasi yang inefisien, lamban, berbelit-belit, dan sebagainya. Jadi, sejak awal, birokrasi sudah memiliki makna yang buruk dalam dirinya. Banyak diskusi tentang birokrasi menimbulkan kerancuan yang terus menerus karena ketiadaan kesepakatan tentang arti dari kata birokrasi itu sendiri. Kerancuan pemahaman itu tidak hanya melanda orang awam tetapi juga para akademisi. Sebagaimana ditulis oleh Kumorotomo (1999), persepsi yang muncul tentang birokrasi tidak hanya berbeda tetapi juga bertolak belakang. Para ahli melihat birokrasi dari sudut pandang spesialisasinya masing-masing. Seorang sosiolog melihat birokrasi sebagai proses interaksi di antara individu atau pejabat; seorang ekonom mungkin melihatnya sebagai struktur yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang efsiensi dan memperoleh laba bagi negara; seorang politisi memandang birokrasi sebagai sarana untuk membentuk opini publik; sementara itu seorang pengguna (applicant) atau klien justru melihat birokrasi hanya sebagai alat penguasa untuk menonjolkan kekuasaannya. Riggs (1996), membuat klasifikasi arti birokrasi dari dua kategori. Pertama kelompok yang memberi arti tentang birokrasi dari sudut fungsi; dan kedua, mereka yang mengartikan birokrasi dari sudut pandang sebagai struktur. Dilihat dari fungsinya, terdapat beberapa pengertian tentang birokrasi: 47 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(1) birokrasi digunakan dalam pengertian sebagai “biro-patologi”, yaitu tidak berfungsinya (atau berfungsi tetapi buruk) para pejabat dalam memberikan pelayanan publik, yang ditunjukkan oleh kinerja yang lamban, tidak efisien, boros, dan sebagainya; (2) birokrasi
digunakan
dalam
pengertian
sebagaimana
yang
diberikan oleh Weber, yaitu dalam kerangka “otoritas legalrasional”, yang memunculkan konsep “rasionalitas biro” atau “birokrasi rasional”, dengan karakteristik: adanya pembagian kerja yang
jelas,
aturan
yang
mengatur
jenjang
kepangkatan,
hubungan yang impersonal, dan sebagainya; (3) Carl J.Friedrich, dalam bukunya Man and His Government (1963), dengan
mengacu
pada
karakteristik
rasionalitas
biro,
mendefinisikan birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ditandai oleh hirarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi yang ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran tersebut. Konsepsi tentang birokrasi tersebut menarik para ahli dalam bidang administrasi negara, karena membuka peluang untuk menyamakannya dengan struktur organisasi pemerintah dengan proses atau fungsi administratifnya. Istilah seperti “administrator negara” dan “birokrat” menjadi sinonim. Dari sinilah kemudian muncul persamaan lain, bahwa studi tentang birokrasi sama dengan studi tentang administrasi, atau sebaliknya. Namun demikian, muncul kerancuan, sebagai akibat arti kata birokrasi itu sendiri yang lebih dipahami sebagai “biro-patologi” daripada sebagai “rasionalitas biro”. Akibatnya, banyak penulis yang tidak mau menggunakan kata “birokrasi” sebagai pengganti istilah “administrasi negara”. Bahkan kecenderungan ini masih berlangsung hingga saat ini. 48 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Menurut Riggs (1996), penyamaan tersebut tidak sepenuhnya mengikuti konsep Weber, karena Weber mengkhawatirkan terlalu tingginya kedudukan dan kekuasaan para pejabat, karena peranan para pejabat tidak hanya bersifat administratif tetapi juga politik. Terlebih lagi, para penulis dalam bidang administrasi negara seringkali memfokuskan perhatiannya pada pengaruh politik dari para pejabat negara. Mereka berpandangan bahwa hal yang sangat berpengaruh pada proses perumusan kebijakan negara adalah birokrat yang mengubah peranan mereka menjadi administrator negara yang tidak hanya terlibat dalam proses administratif tetapi juga dalam proses politik. Selanjutnya Riggs, menyebut fenomena ini sebagai birokratisme, yaitu suatu sistem politik yang didominasi oleh para birokrat. Walaupun birokrasi tidak digunakan untuk maksud birokratisme, namun konsep birokratisme semakin relevan untuk studi tentang peran pejabat negara dalam proses politik, termasuk di Indonesia. Arti yang kedua terhadap kata birokrasi dikaitkan dengan struktur dan bukan fungsi. Dalam makna struktur, birokrasi diartikan sebagai suatu tipe organisasi bagi sejumlah perkantoran yang secara hirarkis berhubungan satu sama lain. Namun demikian perlu ada pembedaan antara birokrasi negara dengan swasta. Karena ada karakteristik yang berbeda dalam birokrasi pabrik, firma, rumah sakit, dan sebagainya dengan biro-biro pemerintahan. Di dalam negara sendiri terdapat berbagai macam birokrasi negara karena adanya bagian-bagian yang berbeda dari pemerintah, misalnya birokrasi eksekutif, birokrasi yudisial, dan birokrasi legislatif. Riggs menyebut hal ini sebagai perbedaan dari segi konteks.
49 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Selain dari segi konteks, sebagaimana di atas, perbedaan juga terlihat dalam hal kontens atau isi. Bagi beberapa penulis, istilah birokrasi hanya berkenaan dengan pegawai negeri karir, sedangkan mereka yang non-karir tidak termasuk di dalamnya. Begitu pula dengan para pegawai di instansi militer juga tidak termasuk di dalamnya. Namun dalam perkembangannya, konsep birokrasi mencakup semua kontens tersebut, baik pegawai karir maupun nonkarir, baik pada institusi sipil maupun militer. Riggs (1996) membuat suatu matrik sederhana yang menunjuk cakupan dari kata “birokrasi” itu sebagaimana di bawah ini. Tabel 1.1 Tipe-tipe Posisi Birokratik Karir Non-Karir Sumber: Riggs (1996:66).
Sipil A B
Militer C D
Birokrasi tidak hanya mencakup pegawai karir dan non-karir dalam organisasi sipil tetapi juga organisasi militer. Atas dasar pemikiran ini, Riggs (1996) mendefinisikan birokrasi sebagai suatu hirarki kantor di bawah otoritas seorang pimpinan. Atas defenisinya ini, Riggs memberikan penjelasan bahwa faktor pimpinan (unsur kepala
eksekutif
negara)
dikeluarkan
dari
konsep
birokrasi,
sedangkan dalam kata “hirarki” memasukkan faktor pimpinan. Perhatian saya, kata Riggs, bukan pada hirarki tetapi pada birokrasi. Di kalangan penulis Indonesia, pengertian yang serba mencakup ini, antara lain nampak dalam defenisi birokrasi dari Muhaimin (1980), yang menyebut birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer, yg melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
50 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Beberapa definisi lain tentang birokrasi, baik dalam pengertian struktur maupun fungsi, disajikan di bawah ini.12 John Stuart Mill (1861): Birokrasi adalah pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orangorang yang memerintah secara profesional.
Robert von Mohl (1862): Birokrasi adalah konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara, yang dijalankan oleh sejumlah besar pejabat profesional.
Gaetano Mosca (1896): Birokrasi adalah suatu badan yang para pejabatnya digaji.
Ramsay Muir (1910): Birokrsi adalah penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang profesional.
Max Weber (dikutip dari Albrow, 2007:41) Birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat. Birokrasi merupakan hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat pasa semua jenis organisasi.
Peter M.Blau dan Mashal W.Meyer (1956): Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan car amengkoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Pfiffner dan Presthus (1960): Birokrasi adalah suatu sistem kewenangan, kepegawaian, jabatan, dan metode yang digunakan pemerintah untuk melaksanakan program-programnya.
Carl J. Friedrich (1963): Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi yang 12
Beberapa definisi disarikan dari karya Albrow (2007), dan sebagian yang lain dikutip dari M.Mas’ud Said, Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang, 2007.
51 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran tersebut.
Francis E. Rourke (1978): Birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis (written procedures), dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orangorang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian dalam bidangnya.
Rod Hague, et al. (1992): The Bureaucracy is the institution that carries out the functions and responsibilities of the state. It is the egine-room of the state.
M.Mas’ud Said (2007): Tata kerja pemerintahan agar tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Sebagai suatu cara atau metode, maka sikap kita terhadap birokrasi haruslah obyektif, terbuka terhadap inovasi sesuai dengan kebutuhan konteks ruang dan waktunya. Sebagai sebuah cara atau metode pengorganisasian kerja, birokrasi tidak boleh menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Birokrasi ada untuk mencapai tujuan bersama.
Dari berbagai definisi tentang birokrasi dan dari hasil penghayatan terhadap praktek birokrasi, dapatlah dikatakan bahwa birokrasi adalah sekelompok orang yang direkrut melalui mekanisme tertentu, kemudian diorganisir secara sistematis dalam suatu hierarki, diberi wewenang dan tugas tertentu untuk melaksanakan kebijakan negara, termasuk pelayanan publik. Namun demikian, disadari bahwa definisi apa pun yang diberikan tentang birokrasi, tidak pernah akan mencakup keseluruhan karakteristik birokrasi yang demikian luas, tidak hanya ciri-ciri fungsionalnya tetapi juga ciri-ciri patologisnya. Berbagai definisi atau arti yang diberikan pada konsep birokrasi telah menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda pula
52 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
terhadap konsep tersebut. Beberapa pemahaman dimaksud disajikan dalam uraian di bawah ini.13 (1) Birokrasi sebagai organisasi rasional. Pemahaman ini bersumber dari konsepsi Weber tentang birokrasi. Sebagai suatu organisasi rasional, Weber menyebutkan sejumlah prinsip yang harus ada dalam birokrasi, yaitu: pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Gagasan ini kemudian dianggap sebagai tipe ideal birokrasi. Dari banyak ahli yang
membahas
konsep
Weber
tentang
birokrasi,
dapat
dikatakan bahwa sebutan birokrasi sebagai organisasi rasional, memiliki makna, antara lain: pengorganisasian untuk mencapai efisiensi dalam organisasi besar dan kompleks; organisasi yang memaksimumkan efisiensi; organisasi yang melaksanakan tugastugas melalui penerapan manajemen ilmiah, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta. (2) Birokrasi sebagai organisasi yang tidak efisien. Persepsi negatif terhadap
birokrasi
sebagaimana
disajikan
dalam
uraian
sebelumnya, membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa birokrasi itu tidak efisien. Banyak waktu dan biaya terbuang saat seseorang berurusan dengan pejabat birokrasi. Kondisi ini tercipta sebagai akibat membudayanya kepercayaan berlebihan terhadap persyaratan adminsitratif, dan ketidakmampuan untuk bekerja secara kreatif dan inovatif. Aparatur birokrasi meyakini bahwa tahapan administratif tertentu harus dijalani oleh seorang
13
Konsep pertama sampai dengan ketujuh, oleh Albrow (2007:105) disebut sebagai Tujuh Konsep Modern Tentang Birokrasi.
53 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
pengguna jasa layanan publik, tanpa peduli pada pengguna jasa yang dirugikan sebagai akibat prosedur yang rumit dan berbelitbelit tersebut. Dorongan untuk bekerja kreatif dan inovatif sebenarnya ada, namun semua itu dikalahkan oleh “ketakutan” mereka akan terjadinya pelanggaran prosedur. Kondisi seperti ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada upaya perbaikan, dan birokrasi tidak pernah mau belajar atas kesalahan yang dibuatnya sendiri. (3) Birokrasi sebagai kekuasaan atau pemerintahan yang dijalankan oleh pejabat. Pemahaman ini muncul sebagai akibat logis dari birokrasi sebagai suatu susunan hierarki dari atas ke bawah, yang pada setiap puncak dari hierarki yang ada di tempati oleh “pejabat”. Pada setiap jenjang hierarki ada pejabatnya. Kita mengenal, misalnya: kepala bagian, kepala sub-bagian, kepala dinas, kepala kantor, kepala seksi, dan sebagainya. Begitu banyaknya pejabat tersebut, sehingga birokrasi disebut pula sebagai negara para pejabat. Setiap pejabat memiliki kekuasaan dan kewenangan sesuai tingkatan ke-pejabat-annya. Kepala bagian berbeda luas dan cakupan kewenangannya dibandingkan kepala sub-bagian atau kepala seksi. Penyelesaian suatu urusan harus diselesaikan secara berjenjang dari atas ke bawah, mengikuti rangkaian susunan hierarki yang ada. Misalnya, untuk urusan pembuatan KTP, seseorang harus memulai dari Ketua Rukun Tetangga (RT), kemudian Ketua Rukun Warga (RW), lalu ke kantor desa atau kelurahan untuk menemui Kepala Desa atau Lurah (atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu); dan pejabat terakhir yang harus ditemui adalah Camat di kantor kecamatan. 54 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Birokrasi pada satu sisi dipandang sebagai bentuk administrasi yang sangat superior dan sangat efisien, serta diperlukan dalam masyarakat modern, namun di sisi lain berbagai permasalahan muncul dalam struktur birokrasi tersebut, sehingga berbanding terbalik dengan superioritas teknis dan efisiensi yang dimilikinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai paradoks efisiensi birokrasi (the Paradox of Bureaucratic Efficiency). (4) Birokrasi adalah administrasi negara (publik). Dalam pengertian ini, birokrasi mengacu pada suatu kelompok manusia yang menjalankan fungsi
tertentu
yang
dianggap
penting
oleh
masyarakat. Dengan mengutip Bert Hoselitz (1963), Kumorotomo (1999) menyatakan bahwa kegiatan untuk mencapai tujuan atau administrasi dilaksanakan melalui aparat birokrasi dalam sebuah organisasi raksasa yang disebut negara. Ciri-ciri kegiatan administrasi tersebut, antara lain: spesialisasi tugas, hierarki otoritas, dan peran-peran khusus. Dengan demikian konsepsi birokrasi sebagai administrasi dalam negara, mengacu pada suatu pengertian bahwa terdapat sejumlah orang yang diangkat melalui sistem rekruitmen tertentu, kemudian orang-orang ini menempati suatu jenjang hierarki berdasarkan kapasitasnya masing-masing, dan bertugas untuk melayani publik atas nama negara. (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat. Konsep umum birokrasi yang disusun Weber, secara sederhana disamakan dengan administrasi yang dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk. Konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka
55 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
analisis organisasi, yang melihat organisasi sebagai struktur yang terdiri dari tiga komponen. Di dalam struktur tersebut, para staf administrasi yang menjalan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf tersebut terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang dapat disebut sebagai birokrasi. Sedangkan fungsi yang dikhususkan bagi mereka merupakan inti dari birokrasi Weber, yang di dalam organisasi dikenal sebagai administrasi. (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi. Administrasi, menurut Weber, adalah penyelenggarakan wewenang (otoritas). Banyak orang yang hanya menerima tatanan, tanpa pernah menentukan tatanan tersebut. Akan tetapi, mode pengorganisasian staf administrasi yang disebut Weber sebagai tipe ideal birokrasi, tidak melibatkan prinsip-prinsip yang tidak dapat diterapkan dalam penyusunan seluruh anggota organisasi. Syarat-syarat kualifikasi profesional, keterikatan pada sumber-sumber yang berasal dari pekerjaannya, pekerjaan kontraktual, dan sebagainya; dapat terjadi dalam posisi apa pun dalam organisasi. Jika prinsip ini benar-benar dilaksanakan secara umum, dan pada saat yang sama distribusi otoritas menyebar ke seluruh organisasi, maka keseluruhan struktur tersebut merupakan birokrasi. Atas dasar pemikiran ini maka semua organisasi besar disebut birokrasi. Para penulis yang menyamakan birokrasi dengan organisasi, menyebut sejumlah ciri yang harus dipenuhi, antara lain: ukuran spesialisasi,
hierarki,
otoritas,
status,
oligarki,
kooptasi,
rasionalitas, efisiensi, rantai komando, aturan-aturan, pembagian kerja, pemilihan berdasarkan kompetesni, dan impersonalitas. 56 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(7) Birokrasi sebagai masyarakat modern. Sebutan ini muncul dari persepsi bahwa untuk membangun suatu masyarakat modern harus dilakukan melalui upaya birokratisasi atau membangun organisasi birokrasi secara besar-besaran. Masyarakat yang maju haruslah memiliki organisasi birokrasi yang tangguh dan otonom. Birokrasi dalam pandangan ini disejajarkan dengan ide-ide tentang demokrasi, kapitalisme,
atau sosialisme.
Birokrasi
diibaratkan sebagai sebuah perusahaan besar dalam suatu negara yang bertugas melayani masyarakat dalam negara itu. Namun, fakta menunjukkan bahwa di banyak negara, birokratisasi yang berlebihan telah menimbulkan banyak ekses negatif dalam pemeberian pelayanan ketimbang sebaliknya. (8) Birokrasi sama dengan korupsi. Persepsi umum tentang birokrasi adalah organisasi yang “menjual” jasa layanannya kepada masyarakat melalui mekanisme uang sogok, suap, komisi, uang jasa, dan sebagainya. Dimana ada birokrasi maka di situ dapat ditemui praktek korupsi. Dari persepsi inilah muncul pemahaman tentang birokrasi sebagai organisasi yang korup. Praktek korupsi dalam organisasi birokrasi dilakukan secara sitemik, tersamar, dan kompak di antara para birokrat. Masyarakat menyebutnya dengan istilah “korupsi berjamaah”, suatu istilah yang mengacu pada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Karena itulah korupsi dalam birokrasi menjadi sulit diberantas, walaupun mekanisme pengawasan ketat sudah diterapkan. Di negaranegara
berkembang,
salah
satu
faktor
penyebab
utama
munculnya kegiatan kolutif dan koruptif dalam aktivitas pelayanan
57 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
di kantor-kantor pemerintah adalah karena rendahnya gaji atau upah. Masyarakat penerima jasa layanan pun menyadari kondisi ini, dan kemudian menganggap bahwa pemberian uang sogok atau suap sebagai hal yang biasa dan wajar. Lama-kelamaan korupsi tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan negatif, tetapi lebih sebagai pertukaran jasa antara aparatur yang memberi pelayanan dengan masyarakat pengguna jasa. Perbedaan pemahaman tentang birokrasi, sebagaimana dalam uraian di atas, nampaknya sampai saat ini masih terus berlanjut,
baik
di
kalangan
akademisi
maupun
praktisi
di
pemerintahan. Kalangan akademisi, berbeda karena perspektifnya berbeda; sedangkan di kalangan praktisi, perbedaan disebabkan terutama karena pengalamannya berbeda. Akibatnya, pembahasan atau diskusi tentang birokrasi tidak hanya menimbulkan perbedaan tetapi juga hasil pemikiran yang bertolak belakang satu sama lain. Kumorotomo
(1999)
mengusulkan
agar
terhadap
kelompok
pemahaman negatif tentang birokrasi digunakan istilah pita merah (red-tape), suatu istilah yang mengacu pada penyakit birokrasi atau penyakit organisasi secara umum (disebut pula: biro-patologi atau patologi organisasi). Untuk kekuasaan yang dijalankan oleh para pejabat diusulkan istilah “pemerintahan” (government), dan untuk kegiatan
administrasi
dalam
pemerintahan
digunakan
istilah
“administrasi” saja. 14 Sedangkan terhadap sebutan birokrasi sama
14
Terhadap istilah administrasi, Kumorotomo (1999) menekankan pada penggunaan istilah administrasi yang berasal dari bahasa Inggris “administration” yang berarti urusan negara atau kebijakan publik, dan bukan istilah administratie dari bahasa Belanda yang bermakna kegiatan ketatausahaan atau klerikal.
58 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
dengan masyarakat modern sebaiknya dihilangkan saja karena sudah ada istilah lain yang lebih tepat, misalnya modernisasi atau teknokrasi.
Dalam
hal konsep birokrasi, Kumorotomo (1999)
menyatakan, bahwa sebaiknya dimaknai sebagai organisasi rasional yang menerapkan manajemen ilmiah. 1.4 Karakteristik Birokrasi Ciri dari birokrasi rasional modern adalah kenyataan bahwa tindakan individu secara formal dikontrol, ditentukan, dan diatur melalui pelaksanaan peraturan. Maksud dari pelaksanaan peraturan tersebut adalah pencapaian tujuan organisasi secara efisien. Penyusunan tindakan individu dilakukan melalui spesifikasi tugas dan tanggung jawab yang tidak membingungkan, dengan maksud untuk mengurangi --- jika tidak menghilangkan --- pengaruh kepentingan dan ambisi pribadi terhadap pelaksanaan pekerjaan kantor. Dengan demikian, para pegawai dapat berkonsentrasi pada aspek teknis pekerjaannya masing-masing sebagaimana yang diatur dalam tugas pokok dan fungsi jabatannya. Menurut
Weber
(Albrow,
2007:45),
staf
administrasi
birokrastis, sebagai birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional, mempersyaratkan proposisi tentang legitimasi dan otoritas; serta memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; (2) terdapat hierarki jabatan yang jelas; (3) fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; (4) para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 59 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(5) para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu ijasah yang diperoleh melalui ujian; (6) para pejabat diberi gaji dan hak pensiun, dan bersifat berjenjang menurut kedudukannya dalam hierarki; (7) pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; (8) suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit), serta menurut pertimbangan keunggulan (superior); (9) pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut; (10) pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam. Organisasi birokratis mencerminkan suatu usaha untuk mengkoordinasikan tindakan individu berdasarkan pada peraturan rasional, yaitu suatu peraturan yang ditujukan untuk mengisolasi dan menahan tindakan individu sehingga dapat meningkatkan efisiensi organisasi. Namun demikian, karakteristik birokrasi tidak hanya berkenaan dengan penggunaan peraturan saja, tetapi juga pada tipe peraturan yang digunakan dan pembenaran (justification) terhadap penggunaan peraturan tersebut. Dalam birokrasi modern, peraturan yang eksplisit dirancang untuk menjamin keseragaman kinerja sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. Dengan demikian, birokrasi menunjukkan suatu sistem pengawasan yang berusaha meyakinkan bahwa kemampuan teknis individu digunakan secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga dapat mengurangi kinerja pegawai harus dieliminir sedemikian rupa, sehingga pegawai dapat lebih fokus pada orientasi kinerja yang tinggi.
60 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Karakteristik birokrasi yang disebutkan oleh banyak penulis, merupakan penjabaran dari tipe-ideal
birokrasi Weber,
yang
walaupun menghasilkan deskripsi yang berbeda-beda, namun pada intinya sama. Beberapa penulis menjabarkan tipe-ideal tersebut menjadi enam dimensi, sedangkan penulis lainnya menjabarkannya menjadi delapan atau sembilan. Menurut Raadschelders (2003:313), tipe-ideal birokrasi Weber terdiri dari tujuh belas dimensi, dan kemudian diperluas menjadi menjadi dua puluh dimensi oleh Aris Van Braam (1986) dalam bukunya Leerboek Bestuurskunde (The Study of Public Administration). Delapan dimensi pertama disebut sebagai Organisasi Birokratis (the Bureaucratic Organization), sedangkan dua belas dimensi sisanya disebut Karakteristik Pegawai/Pejabat atau mencirikan sifat-sifat kepegawaian (characterize the functionaries). Karakteristik birokrasi sebagai organisasi birokratis, yang terdiri dari delapan dimensi, dapat dijumpai dalam tulisan Albraw (2005), sebagai berikut: (1) tugas-tugas
pejabat
diorganisir
atas
dasar
aturan
yang
berkesinambungan; (2) tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat tertentu; (3) jabatan tersusun secara hierarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); (4) aturan disesuaikan dengan pekerjaan, diarahkan baik secara teknis maupun legal, sehingga pegawai terlatih sangat diperlukan; (5) pegawai sebagai sumberdaya organisasi berbeda kedudukannya dengan sebagai individu pribadi; (6) pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 61 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(7) administrasi didasarkan pada dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor sebagai pusat organisasi modern; (8) sistem otoritas legal memiliki berbagai bentuk, tetapi sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratis. Adapun dua belas dimensi lainnya, yang disebut oleh Raadschelders
adalah sebagai Dimensions of Bureaucracy as a
Group of People, terdiri dari: (9) para pegawai memegang jabatan secara individual (office held by individual functionaries), (10) sebagai bawahan, (who are subordinate, and) (11) diangkat, (appointed, and) (12) memiliki banyak pengetahuan, keahlian, (knowledgeable, who have expertise, and are) (13) ditugaskan melalui persetujuan kontrak (assigned by contractual agreement) (14) dalam suatu masa jabatan, (in a tenured (secure) position, and) (15) sesuai dengan pekerjaannya, dan (who fulfill their office as their main or only job, and) (16) bekerja dalam suatu sistem karir (work in a career system) (17) memperoleh gaji secara tetap dan pensiun (rewarded with a reguler salary and pension in money) (18) reward diberikan berdasarkan jenjang jabatannya (rewarded according to rank, and) (19) dipromosikan berdasarkan senioritas, (promoted according to seniority, and) (20) bekerja di bawah perlindungan formal dari kantor mereka (work under formal protection of their office).
62 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
1.5 Birokrasi dan Administrasi Negara (Publik)15 Kebanyakan
penulis
menggunakan
kata
birokrasi
dan
administrasi negara (publik) dalam makna yang sama atau dipertukarkan dalam arti yang sama. Tetapi ada juga penulis yang menggunakan kata tersebut dalam arti yang berbeda atau kata yang satu menjadi bagian dari yang lain. Administrasi negara (publik) menjadi bagian dari birokrasi --- dengan demikian birokrasi memiliki pengertian lebih luas dari administrasi negara (publik) atau birokrasi adalah bagian dari administrasi negara (publik), dan dengan demikian administrasi negara (publik) lebih luas pengertiannya daripada birokrasi. Kekacauan semantik seperti ini telah berlangsung lama, yaitu sejak studi tentang birokrasi mulai marak pada pertengahan abad ke-19. Sebagai suatu praktek, administrasi dan birokrasi hampir seumur dan setua umur pemerintahan. Birokrasi dan administrasi ada bersamaan dengan adanya pemerintahan. Dalam sintaksis bahasa Inggris, ada perbedaan makna atas istilah birokrasi, apakah istilah itu ditulis dengan menggunakan kata sandang (artikel) atau tidak di depannya. Jika kata birokrasi ditulis sebagai “the bureaucracy” atau “a bureaucracy” maka artinya adalah badan atau organisasi tempat para birokrat bekerja. Sedangkan apabila ditulis tanpa artikel: “bureaucracy”, maka kata tersebut berarti prosedur-prosedur administrasi. Ada kesan bahwa birokrasi lebih luas 15
Dalam perkembangan konsep ilmu administrasi negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari administration of public yang menempatkan negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara, dan administration for publik, yang menempatkan negara dalam tugas melalayani publik (public service), menjadi administration by publik yang memposisikan negara sebagai fasilitator, katalisator bagi kepentingan publik yang berbeda, dengan titik tekan pada putting the customers ini the driver seat. Kata ”public” tidak lagi dimaknai sebagai negara, tetapi sebagai masyarakat (Utomo, 2006:7).
63 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
dari administrasi, karena birokrasi bukan hanya mencakup badan atau organisasi dalam arti struktur (asosiasional), tetapi juga berkenaan dengan prosedur administratif atau pranata administrasi (institusional). Istilah birokrasi lebih banyak digunakan di Eropa Kontinental, terutama Jerman, yang dianggap sebagai negara asal istilah tersebut. Sedangkan istilah administrasi, berkembang di Inggris. Karena itu, ada pertentangan antara birokrasi Eropa Kontinental dengan administrasi Inggris. Bagehot (1963), misalnya, mempertentangkan antara birokrasi dengan administrasi negara dalam praktek sistem pemerintahan parlementer, dalam tulisannya tentang Konstitusi Inggris (The English Constitution).
16
Bagehot membandingkan
praktek birokrasi negara Prussia, dengan administrasi Inggris, dan kemudian
menyimpulkan
bahwa
di
dalam
demokrasi
yang
sebenarnya (di Inggris), administrasi negara bersifat efisien, karena para menterinya sering berganti sehingga tidak terjerumus dalam rutinitas.
Sedangkan dalam
sistem
negara Prussia,
birokrasi
bergantung pada rutinitas, sehingga birokrasi kurang fleksibel dalam melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi perubahan. Dalam bahasa yang sama, F.C. Montague (1884) dalam karyanya The Limits of Individual Liberty, menyatakan pelaksanaan birokrasi biasanya menjadi birokrasi yang memerintah, tidak lentur, gila kekuasaan dan terbelenggu oleh rutinitas. Di Inggris, kebebasan parlemen, peradilan dan kotapraja memberi keyakinan bahwa administrasi bisa dikenali, sementara birokrasi ditolak.
16
Lihat Albrow, op cit., hal.12-13.
64 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Pendapat bahwa birokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya hanya tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental, dan tidak berkembang di Inggris dibantah sejarawan Ramsay Muir, dalam tulisannya Bureacracy in England (1910). Muir menyatakan bahwa lebih dari tujuh puluh tahun birokrasi telah tumbuh dengan kokoh di Inggris. Menurutnya, terdapat persekongkolan diam-diam untuk mempertahankan ilusi bahwa sistem Inggris tidak birokratis. Terlepas dari semua polemik ini, yang pasti ada pertentangan antara birokrasi Eropa Kontinental dengan sistem administrasi Inggris. Walaupun
demikian,
dilihat
dari
perspektif
yang
lebih
luas,
sebenarnya, seluruh negara Eropa bertipe sama, yaitu diperintah oleh para pejabat. Pengertian birokrasi dalam arti negatif sebagai “biro-patologi” menjadi salah satu sebab mengapa para penulis lebih menyukai menggunakan istilah “administrasi negara” atau “sistem administrasi”. Menurut Riggs (1996:63), konsepsi tentang birokrasi sebenarnya telah menarik minat mereka yang mempelajari administrasi negara, karena memungkinkan mereka untuk menyamakan dengan struktur organisasi
pemerintah,
dan
dengan
proses
atau
fungsi
administratifnya. Istilah “administrator negara” dan “birokrat” menjadi sinonim, studi tentang birokrasi sama dengan studi tentang administrasi, dan sebaliknya. Kerancuan muncul tatkala banyak orang yang mengartikan birokrasi sebagai “biro-patologi” daripada “rasionalitas biro”, dan hal ini telah menghambat banyak penulis untuk menggunakan istilah birokrasi sebagai padanan administrasi negara. Mereka lebih suka mengekspresikan gagasannya tentang birokrasi dengan menggunakan istilah “administrasi negara” atau “sistem administrasi”. 65 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Menurut Riggs, penggunaan istilah “birokrasi” dalam makna yang
sama
dengan “administrasi
negara”, tidak
sepenuhnya
mengikuti gagasan Weber tentang birokrasi. Weber menulis bahwa ia mengkhawatirkan “terlalu tingginya” kedudukan kekuasaan para pejabat, dengan menekankan bahwa peranan mereka tidak sematamata bersifat administratif, tetapi juga menyangkut politik. Di samping itu,
para
penulis
bidang
administrasi
dewasa
ini
seringkali
menekankan perhatiannya pada pengaruh politik dari para pejabat negara. Mereka menyatakan bahwa hal yang sangat berpengaruh dalam pembuatan keputusan kebijakan negara adalah para birokrat yang mengubah peranan mereka menjadi administrator negara. Para pejabat tersebut terlibat dalam politik sebagaimana mereka terlibat dalam proses administrasi. Jika birokrasi itu diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh pejabat, maka dari penjelasan Riggs tersebut jelas bahwa pengertian birokrasi lebih sempit dibandingkan dengan administrasi
negara.
administratif
saja,
Birokrasi
sedangkan
hanya
menjalankan
fungsi-fungsi
politik,
kegiatan misalnya
pengambilan keputusan, adalah fungsi administrasi negara. Para birokrat
atau pejabat yang tidak
hanya
menjalankan fungsi
administratif tetapi juga fungsi politik, lebih tepat disebut administrator negara daripada seorang birokrat. Thoha (2007), adalah salah seorang penulis tentang birokrasi yang secara tegas menyamakan antara administrasi negara (publik) dengan birokrasi. Menurutnya, kedua istilah tersebut merupakan bagian yang signifikan dan acapkali dikaitkan dengan aparatur pemerintah di hampir seluruh negara di dunia ini. Jadi, jika kita menulis kalimat, misalnya: “Responsivitas adalah kemampuan 66 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, ….”, maka kata “birokrasi”
dapat
diganti
dengan
kata
“administrasi
publik”,
“administrator”, “birokrat”, “aparatur pemerintah”, “public servants”, dengan makna yang sama, yaitu sebagai “aktor yang bertindak”. Penyamaan istilah ini juga nampak jelas dalam pernyataan Thoha (2007:45) sebagai berikut: Administrasi publik, kadang-kadang dipakai pula istilah administrasi pemerintahan, dan kadang-kadang juga diterjemahkan dengan birokrasi pemerintah yang dikenal sekarang ini merupakan produk dari masyarakat feodal yang tumbuh di negara-negara Eropa (cetak miring dari penulis).
Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, gagasan dan praktek tentang administrasi pemerintahan sebagaimana dikenal dewasa ini telah ada di Mesir Kuno dan Cina. Sebagaimana ditulis oleh H.G. Creel dalam The Beginnings of Bureacracy in China: the Origin of the Hsien (1964)
17
bahwa gagasan tentang efisiensi administrasi
bukanlah hal yang khas bagi pemikiran modern atau pemikiran Barat, karena sejak tahun 165 SM para pejabat Cina telah dipilih melalui ujian. Administrasi Cina sangat akrab dengan gagasan-gagasan senioritas, penilai menurut keahlian, statistik-statistik, dan laporan tertulis pejabat. Demikian pula tulisan Shen Puhai (meninggal 337 SM) telah memberikan seperangkat prinsip yang mirip dengan teoriteori administrasi abad ke-20. Jauh sebelum abad ke-18, pemikiran bahwa penguasa tertinggi harus dilayani oleh pejabat yang cerdas dan dapat dipercaya telah menjadi hal yang biasa dalam pemikiran
17
Dikutip dari Albrow, op cit., hal.2.
67 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
politik. Niccolo Machiavelli, melalui bukunya The Prince 18 meminta Raja
agar memilih
para
menteri
yang
kompeten,
membagi
kehormatan dan tanggung jawab dengan para menteri, dan memberikan imbalan atas kesetiaan mereka, agar mereka tidak perlu lagi mencari imbalan dari sumber-sumber lainnya. Machiavelli (1991:96-97) menulis sebagai berikut: ... orang yang mendapat kepercayaan menjalankan tugas negara tidak pernah boleh memikirkan dirinya sendiri kecuali kepentingan raja, dan tidak boleh memikirkan diri sendiri kecuali urusan raja. Dari pihak raja, agar menteri tetap setia, raja harus selalu memikirkan menterinya, memberikan kehormatan dan kekayaan kepadanya, membuat menteri merasa berhutang kepada raja, membagikan kehormatan dan tanggung jawab. Dengan demikian menteri memahami seberapa jauh ia tergantung kepada raja.
Menurut Thoha (2007), administrasi publik merupakan produk dari masyarakat feodal yang tumbuh di negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan Eropa semuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan yang selalu berusaha untuk
mengokohkan
sistem
pemerintahannya.
Perkembangan
masyarakat yang semakin pesat, berdampak pada munculnya suatu kebutuhan dan pemerintahan monarki saat itu untuk memperoleh para administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil, dan memiliki integritas. Para administrator inipada gilirannya akan menjadi tenaga birokrasi pemerintahan.
Kebutuhan akan
suatu
sistem
mulai
dirasakan, yaitu suatu sistem untuk menata kekuasaan dan pertang18
Niccolo Machiavelli menulis sebuah buku filsafat politik klasik yang amat terkenal dengan judul Il Principe (terjemahan Inggris: The Prince). Buku ini selesai ditulis mulai tahun 1512 dan selesai tujuh tahun kemudian 1519. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.
68 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
gungjawaban pemerintahan. Salah satu perwujudan kebutuhan suatu sistem penataan kekuasaan pemerintahan yang sentralistis dan sistematis di Prussia dan Austria dikenal dengan nama sistem kameralisme (cameralism). Sistem ini dapat disebut sebagai cikal bakal administrasi negara. Kameralisme dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentralisasikan dan paternalistik, yang ditandai oleh corak perekonomian yang merkantilistik. Fenomena tentang perlunya penataan sistem administrasi pemerintahan ini kemudian berkembang di seluruh daratan Eropa, termasuk Eropa Timur. Di Inggris, tanggung jawab administrasi pemerintahan telah lama dipercayakan kepada para bangsawan dan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, sebagian besar kaum bangsawan berasal dari tuan tanah perdesaan (rural-estate). Kemudian pada awal abad ke-19, terjadi perubahan pada komposisi pegawai pemerintah, dimana sebagian besar administrator pemerintahan Inggris berasal dari kaum pedagang (mercantile) dan klas-klas usahawan di kota. Selanjutnya pada akhir abad ke-19, pemerintah Inggris mulai menerapkan sistem seleksi dalam rekruitmen pegawai pemerintah, melalui ujian yang kompetitif dari para alumni universitas, terutama dari Universitas Oxford dan Cambridge. Kedudukan
administrasi
publik,
dalam
perkembangan
selanjutnya tidak hanya terpaku pada aturan legalistik, tetapi juga pada bagaimana mengimplementasikan aturan legal tersebut dengan melakukan penyesuaian terhadap dinamika masyarakat. Masyarakat yang terus berkembang akan memunculkan beragam tuntutan, dan pemerintah harus responsif terhadap berbagai tuntutan tersebut. 69 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Ketidakmampuan administrasi publik dalam merespon tuntutan masyarakat
akan
menimbulkan
persepsi
negatif
terhadap
administrasi publik. Menurut Thoha (2007), administrasi publik selama ini selalu diasumsikan sebagai upaya melukis suatu benda bukan menaruh perhatian terhadap realitas benda tersebut. Karena itu, administrasi publik dianggap kurang memberikan kontribusi terhadap reformasi pemerintahan. Reformasi yang ditawarkan oleh administrasi publik seringkali berhenti pada lukisan kotak-kotak saja berupa serangkaian konsep restrukturisasi, reorganisasi, atau reengineering. Upaya seperti ini hanya menekankan pada perbaikan struktur fisik dan tidak menyentuh perbaikan sistem secara menyeluruh. Di Indonesia, menurut Thoha (2007) Ilmu Administrasi Publik merupakan kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan kebijakan penguasa, dan jauh dari pemenuhan harapan rakyat. Kumpulan sketsa tersebut tidak berkehendak untuk dilaksanakan dalam
realitas.
Penyimpangan
yang
terjadi
dalam
masa
pemerintahan yang lalu disebabkan oleh dukungan yang diberikan oleh sistem administrasi publik yang berupa sketsa tersebut. Administrasi pemerintahan sengaja dibuat tidak baik dan kacau, agar penyimpangan menjadi sulit dikontrol. Seharusnya, ilmu administrasi publik tidak hanya sebatas gambar saja, tetapi suatu disiplin ilmu yang dapat dipraktekkan, putting the ideas into practice. Administrasi publik, dengan demikian, seharusnya lebih fokus pada proses implementasi suatu aturan ketimbang proses membuatnya. Berbagai persoalan dalam administrasi negara (publik), terutama kurang baiknya pelayanan oleh administrasi publik telah membawa
perubahan
dalam
paradigma
administrasi
negara 70
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
(publik). 19 Sekarang ini telah terjadi perubahan dalam paradigma administrasi publik, dari sebelumnya menempatkan pemerintah pada posisi penting dan sentral dalam proses pembangunan, menuju ke arah
paradigma
baru
yang
disebut
good
governance
20
(kepemerintahan yang baik atau pengelolaan yang baik), yang menempatkan pemerintah, swasta dan masyarakat secara seimbang dalam proses pembangunan bangsa. Peran pemerintah yang semula sebagai regulator dan pelaku pasar, berubah menjadi pencipta iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana (infrastruktur) yang mendukung dunia usaha. Menurut Tjokroamidjojo (2000), hal ini akan dapat dilakukan jika masyarakat dan sektor swasta sudah memiliki kapasitas
dan
berdaya,
sehingga
dapat
mengelola
program
pembangunan lebih baik daripada dikelola pemerintah. Pemerintah berfungsi sebagai enzym of growth, sedangkan swasta dan masyarakat berfungsi sebagai egine of growth. Dalam konteks perubahan paradigma ini, Thoha (2007) mendefinisikan administarsi publik sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Jadi, dalam paradigma baru administrasi publik ini, peran negara semakin mengecil, namun tetap penting sebagai penggerak ke arah good governance. Sedangkan definisi Ilmu Administrasi Publik dalam konteks ini,
19
20
Tentang hal ini, disebutkan dalam Bintoro Tjokroamidjojo, Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia, 2000, hal.25. Suatu istilah yang pada mulanya diusulkan oleh badan-badan pembiayaan internasional (World Bank, IMF, UNDP, dan ADB), dengan tujuan untuk memperbaiki manajemen pembangunan di negara-negara penerima bantuan (try to use this concept to improve the management of development in recipient countries). Lihat: Bintoro Tjokroamidjojo, ibid, hal.36.
71 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
menurut Thoha (2007:54), adalah suatu kajian yang sistematis dan tidak
hanya
sekedar
lukisan
abstrak
akan
tetapi
memuat
perencanaan realistis dari segala upaya dalam menata pemerintahan menjadi kepemerintahan yang baik (good governance). DAFTAR PUSTAKA Albraw, Martin, 2007. Birokrasi. Diterjemahkan oleh M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. nYogyakarta: Tiara Wacana. Almond, Gabriel, dan Bingham Powel, 1996. Comparative Politics Development Approach. Bombai, India: Little Company. Budiman, Arief; dan Ph. Quarles van Ufford (eds); 1988. Krisis Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi-birokrasi Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Duto, Sosialismanto, 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Dwiyanto, Agus (ed), 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. --------------, 2006. “Strategi Melakukan Reformasi Birokrasi Pemeirntah di Indonesia”, dalam Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Machiavelli, Niccolo, 1991. Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Makmur, H., 2007. Patologi Serta Terapinya dalam Ilmu Administrasi dan Organisasi. Bandung: PT Refika Aditama.
72 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Osborne, David; dan Ted Gaebler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Osborne, David; dan Peter Plastrik, 2000. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: Penerbit PPM. Raadschelders, Jos C.N., 2003. Government: A Public Administration Perspective. New York: M.E. Sharpe. Riggs, Fred W. (ed), 1996. Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi dan Birokrasi. Diterjemahkan oleh Luqman Hakim. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Said, M.Ma’ud, 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang. Siagian, S.P., 1996. Patologi Birokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sinambela, Lijan Poltak, et al., 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Syafiie, Inu Kencana, 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung: Mandar Madju. Tangkilisan, Hessel Nogi S., n.d. Penataan Birokrasi Publik Memasuki Era Millenium. Yogyakarta: Penerbit YPAPI. Thoha, Miftah, 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. ---------------, 2002. Perspektif RajaGrafindo Persada.
Perilaku
Birokrasi.
Jakarta:
PT
Thomson, Dennis F., 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
73 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
Tjiptoherijanto, Prijono, 2004. Kependudukan Birokrasi Reformasi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
dan
Tjokrowinoto, Moeljarto, et al., 2001. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utomo, Warsito, 2006. Administrasi Publik Baru di Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widodo, Joko, 2001. Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia. Wilson, James Q., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. USA: Basic Book, Inc.
74 Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi