Buku Saku untuk Kebebasan Beragama
MEMAHAMI PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion) PUTUSAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA
Tim Penulis : Siti Aminah Uli Parulian Sihombing
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Freedom House © 2010 Buku Saku untuk Kebebasan Beragama Seri 5, dengan judul Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama, dikembangkan oleh ILRC dengan dukungan Freedom House berdasarkan perjanjian kerjasama No. S-LMAQM-09-GR-550 tanggal 27 Oktober 2010. Isi yang terkandung dalam buku merupakan tanggungjawab ILRC dan tidak mencerminkan pendapat Freedom House.
Buku Saku untuk Kebebasan Beragama Seri-5 MEMAHAMI PENDAPAT BERBEDA (Dissenting opinion) PUTUSAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA Tim Penulis Siti Aminah Uli Parulian Sihombing Penerbit The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641 Email :
[email protected] Website : www.mitrahukum.org Cetakan pertama © 2011 ISBN : Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Isi diluar tanggung jawab Percetakan Delapan Cahaya Indonesia Printing - Canting Press
Daftar Isi Kata Pengantar
v
Bagian Pertama Sekilas UU Penodaan Agama
1
Bagian Kedua Permohonan Uji Materiil UU Penodaan Agama
11
Bagian Ketiga Perbedaan Pendapat (Dissenting opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama
29
Daftar Alamat
51
Tentang ILRC
54
Tentang Freedom House
58
Kata Pengantar
T
he Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bekerja sama dengan Freedom House menyusun buku saku penjelasan dissenting opinion/pendapat berbeda dari Hakim Maria Farida dalam kasus hak uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1/ PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuan penyusunan buku saku ini adalah untuk memudahkan mahasiswa/mahasiswi yang menjadi tenaga paralegal memahami pendapat berbeda dari Hakim Maria Farida dalam kasus tersebut. Selama ini, dissenting opinion putusan MK atas UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut mendapatkan tempat yang sangat minim di dalam pemberitaan di media massa. Sehingga pemahaman terhadap putusan UU Nomor 1/PNPS/1965 tidak
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
utuh. Padahal dissenting opinion pun merupakan satu kesatuan dengan putusan itu sendiri. Sebenarnya dissenting opinion Hakim Maria Farida tidak sekedar menolak eksistensi UU Nomor 1/ PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama, tetapi lebih jauh dari itu. Menurut Hakim Maria Farida, UU Penodaan Agama telah menciptakan diskriminasi, terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). Kemudian, UU Penodaan Agama tersebut telah “memaksa” kelompok penghayat untuk “menundukkan diri” terhadap agama-agama yang diakui oleh negara. Untuk itu, memang perlu “membongkar” pemikiran Hakim Maria Farida. Dissenting opinion Hakim Maria Farida diharapkan jadi tonggak sejarah dan menjadi dokumen penting untuk kebebasan beragama, toleransi dan pluralisme di tanah air. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 10 Januari 2011 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif vi
Bagian Pertama
Sekilas UU Penodaan Agama
Apa yang dimaksud dengan UU No.1/Pnps /1965 ? UU Penodaan Agama awalnya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Setelah Soekarno jatuh, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memerintahkan untuk dilakukan peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut dibentuk UU No 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presi-
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
den Sebagai Undang-Undang. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1969 maka Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditetapkan sebagai suatu UU dan disebut UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai suatu UU. Apa latar belakang lahirnya UU Pencegahan/ Penodaan Agama ? Penpres ini lahir dari situasi saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan antar ideologiidologi besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat itu timbul aliran-aliran atau organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Situasi ini dinilai menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan/ atau mempergunakan agama, dan menodai agama. Perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada. Hal ini tercermin dari laporan Departemen Agama (Depag) yang melaporkan pada tahun 1953 terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran menentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayori2
Bag ian Per tama Sekilas UU Pen ceg ah an /p en o d aan Ag am a
tas. Penpres ini merupakan bagian dari gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno telah menyebabkan produk-produk hukum yang diciptakan pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak terkecuali UU Penodaan Agama. Apa isi UU Pencegahan/Penodaan Agama ? UU Penodaan Agama sendiri terdiri dari empat pasal. Yaitu : 1. Pasal 1 berbunyi : “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Pasal 1 merupakan inti dari UU, yang melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum untuk: 3
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
•
•
menceritakan,menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama yang dianut di Indonesia; menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia;
2. Pasal 2 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.” Dan Pasal 2 ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.” 3. Pasal 3 berbunyi: “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 4
Bag ian Per tama Sekilas UU Pen ceg ah an /p en o d aan Ag am a
terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
4. Pasal 4 berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” Pasal ini merupakan kriminalisasi bagi setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 4 ini selanjutnya ditambahkan dalam KUHP menjadi Pasal 156a dibawah Bab V yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Permasalahan apa sajakah yang timbul dari UU ini ? Terdapat tiga permasalahan utama dari UU Penod5
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
aan Agama, yaitu : 1. Negara melakukan intervensi terhadap hak kebebasan beragama/keyakinan. UU ini memberi kewenangan penuh kepada negara melalui Departemen Agama untuk : 1) menentukan “pokok-pokok ajaran agama” ; 2) menentukan mana penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran” agama dan mana yang tidak; 3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan, dan menindak mereka. Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh Bakor Pakem. Padahal dalam konteks hak kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan wilayah internum dari setiap individu, yang tidak seorangpun dan siapapun-termasuk negara- yang dapat mengintervensinya. 2. Bersifat diskriminatif. Dalam penjelasan Pasal 1, memberikan pengertian mengenai “agama yang dianut di Indonesia” yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan. Sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism tidak dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama-agama tersebut “dibiarkan adanya”, asal tidak mengganggu ke6
Bag ian Per tama Sekilas UU Pen ceg ah an /p en o d aan Ag am a
tentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Penjelasan ini selanjutnya ditafsirkan bahwa 6 (enam) agama tersebut sebagai agama yang diakui dan mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dan penodaan agama, mendapat fasilitas-fasilitas dari negara dan menjadi kerangka berpikir dalam penyelenggaraan negara. Ketentuan ini merupakan bentuk pengutamaan terhadap 6 agama dan mengakibatkan diskriminasi terhadap agama-agama selainnya. 3. Pemaksaan Agama/Keyakinan. Dalam penjelasan UU dinyatakan “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”. Pengkategorian ini tidak terlepas dari definisi “agama” yang diajukan Depag yaitu harus memuat unsur-unsur (1) Kepercayaan terhadap Tuhan YME, (2) Memiliki Nabi, (3) Kitab Suci, (4) Umat, dan (5) Suatu sistem hukum bagi penganutnya. Akibat pendefinisian ini, maka kelompok kepercayaan, kebatinan atau agama adat tidak tercakup didalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai “belum beragama”. Selanjutnya keberadaan aliran kebatinan/kepercayaan/agama adat diakui semenjak dicantumkan dalam GBHN 1978 yang diwadahi dalam ”Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Ke7
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
beradaannya tidak merupakan agama, dan untuk pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. 4. Digunakan untuk mengkriminalkan pendapat/ekpresi yang berbeda. Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Penodaan Agama, khususnya pasal 4, dalam prakteknya digunakan secara sewenang-wenang untuk mengkriminalkan seseorang yang memberikan kritik, otokritik, penafsiran maupun kebebasan berekpresi seseorang. Apa dampak pemberlakuan UU Pencegahan/ Penodaan Agama ? 1. Pelanggaran Hak Sipil dan Politik dan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Penganut kepercayaan, kebatinan atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran ”agama-agama diakui” atau ”dikembalikan ke agama induknya”. Hal ini misalkan menimpa Agama Tolotang yang dipaksa menjadi Hindu, seperti halnya Hindu di Bali. Agama Kaharingan digabungkan atau diintegrasikan ke dalam Agama Hindu. Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya harus menundukkan diri ke dalam salah satu dari enam 8
Bag ian Per tama Sekilas UU Pen ceg ah an /p en o d aan Ag am a
agama. Bagi yang tidak menundukkan diri, maka mereka kehilangan haknya untuk mendapatkan identitas seperti KTP, dan dilarang untuk menyatakan agamanya dalam surat-surat resmi. Demikian halnya perkawinan yang dilangsungkan menurut keyakinan atau adat tidak dianggap sah. Sehingga selanjutnya kelahiran anak-anak dianggap sebagai anak luar kawin, dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Hal ini membawa akibat tidak dipenuhinya hak-hak yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja yang sama, kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik, maupun pemakaman sesuai agamanya. 2. Kriminalisasi Perbedaan Keyakinan dan atau Penafsiran UU Penodaan Agama digunakan pula untuk menghukum orang-orang yang menganut agama turunan dari agama-agama yang diakui. Seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena dinilai melakukan “kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran islam” mengalami persekusi, dan dilegitimasi dengan SKB Tiga Menteri. UU Penodaan Agama mengriminalkan para penganut agama yang secara damai meyakini dan melaksanakan agama atau keyakinannya. Sepanjang tahun 2003 – 2008, lebih dari 150 orang ditangkap, ditahan, dan diadili berdasarkan Pasal 4 9
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
UU Penodaan Agama (Pasal 156a KUHP). Pasal 156a digunakan oleh kelompok mayoritas untuk mengadili pemahaman/penafsiran yang berbeda dari penafsiran mayoritas. Pasal ini dijadikan alat oleh pihak yang memiliki kekuasaan untuk membungkam setiap kritik, pemikiran, maupun perbedaan pendapat yang dinilai bertentangan dengan kepentingan penguasa.
10
Bagian Kedua
Permohonan Uji Materiil UU Penodaan Agama
Siapa yang mengajukan uji materiil UU Penodaan Agama ? Permohonan uji materiil UU Penodaan Agama diajukan oleh empat individu yaitu KH Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indo-
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
nesia (YLBHI), Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Apa latar belakang dilakukannya uji materiil UU Penodaan Agama ? UU ini dinilai menjadi salah satu hambatan bagi terpenuhinya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Di sisi lain UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, termasuk jaminan hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Hal ini terdapat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28 – 28 J). Untuk bidang HAM, Indonesia telah mengesahkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 dan telah meratifikasi dua kovenan pokok internasional yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol). Secara prosedural telah terjadi perubahan kekuasaan dalam membentuk UU, yaitu UU No.10 tahun 2004 yang memberikan panduan penyusunan UU yang demokratis. UU Penodaan Agama merupakan UU yang lahir sebelum perubahan Konstitusi, yaitu pada era demokrasi terpimpin yang tidak demokratis. Oleh karena itu, substansi UU Penodaan Agama sudah tidak sesuai dengan konstitusi 12
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
dan peraturan perundang-undangan pasca amandemen konstitusi. Apa yang diuji dalam permohonan uji materiil ? Uji Materiil diajukan terhadap lima norma yang terdapat dalam Pasal 1-4 UU Penodaan Agama untuk diuji dengan sembilan norma dalam UUD 1945 yaitu : 1. Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah Negara Hukum 2. Pasal 27 ayat (1) : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 3. Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 4. Pasal 28E ayat (1) : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 5. Pasal 28E ayat (2) : Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 6. Pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebe13
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
basan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 7. Pasal 28I ayat (1) : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 8. Pasal 28I ayat (2) : Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 9. Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Alasan-alasan apa yang diajukan dalam uji materil tersebut ? Alasan-alasan yang diajukan para pemohon adalah sebagai berikut: 1. UU Pernodaan Agama bertentangan dengan prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), Hak atas kebebasan beragama, meyakini 14
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. 2. UU Penodaan Agama khususnya Pasal 1 menunjukkan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama antara lain: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Hal mana merupakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dilarang. 3. Substansi Pasal 1 yang bertentangan dengan UUD 1945, dengan sendirinya hukum proseduralnya yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), menjadi bertentangan pula. Pasal 2 ayat (2) bertentangan dengan prinsip negara hukum karena prosedur pembubaran organisasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka. Proses pembubaran organisasi dan pelarangan organisasi, seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen, dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas kebebasan beragama, keragaman dan toleransi; 4. Pasal 3 yang menjatuhkan sanksi pidana selamalamanya lima tahun kepada orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, yang melanggar ketentuan dalam pasal 1, dinilai membatasi kebebasan mereka yang beragama atau berkeyakinan selain keenam 15
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
agama yang dilindungi, penghayat kepercayaan, dan kelompok atau aliran minoritas dalam keenam agama tersebut. 5. Pasal 4 huruf a yang kemudian ditambahkan menjadi Pasal 156 a KUHP dinilai bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Perumusan Pasal 4 huruf a membuat pelaksanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/ pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Apa yang dituntut dari uji materiil UU Penodaan Agama ? Tuntutan yang diajukan adalah agar MK menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Penodaan Agama yaitu menyatakan Pasal 1 s/d 4 UU Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) dan menyatakan ketentuan Pasal 1- 4 UU Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
16
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
Bagaimana proses persidangan uji materiil UU Penodaan Agama ? Uji materiil UU Penodaan Agama mengacu kepada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/ PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Maka berdasarkan peraturan tersebut, proses persidangan JR UU Penodaan Agama, mendengarkan keterangan dari Presiden/ Pemerintah, DPR RI, Saksi, Ahli dan Pihak Terkait. Proses persidangan ini berlangsung selama 3 bulan dengan menghadirkan 3 orang saksi, 33 orang ahli dan 24 pihak terkait. Apa pendapat ahli terhadap UU Penodaan Agama ? Ahli dari pemohon menyampaikan bahwa UU Penodaan Agama bermasalah karena diskriminatif. Akibatnya, kaum minoritas dirampas hak kebebasan berfikir dan berkeyakinannya, bahkan menjalar kepada perampasan hak atas identitas, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain itu keterangan Ahli dari pemohon juga menegaskan permohonan pemohon bahwa kebebasan berfikir dan berkeyakinan tidak dapat dibatasi, namun ekspresi dari pemikiran dan berkeyakinan harus dibatasi agar tidak mengganggu ketertiban umum dan moral umum. 17
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Umumnya Ahli-Ahli yang diajukan oleh pemerintah dan pihak terkait memilliki argumen yang sebangun untuk menyatakan bahwa UU Penodaan Agama tidak diskriminatif, melindungi minoritas, sehingga masih bermanfaat dan harus dipertahankan. Namun, mereka tidak memiliki pendapat yang sama mengenai agama resmi atau agama yang diakui. Ada yang menyatakan UU penodaan agama melindungi semua agama dan bahkan kepercayaan, ada yang menyatakan bahwa hanya enam agama yang diakui dan dilindungi di Indonesia. MK sendiri mengundang empat belas ahli dengan berbagai keahlian. Seluruh ahli berpendapat bahwa UU Penodaan Agama memiliki masalah. Lima orang dengan tegas meminta dicabut, dan enam orang mengusulkan untuk direvisi. Meskipun tidak ada Ahli dari Mahkamah Konstitusi yang dengan jelas mengatakan bahwa UU tidak bermasalah, ada dua Ahli yang berpendapat UU Penodaan Agama layak untuk dipertahankan. Apa masalah UU Penodaan Agama menurut para ahli ? Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam UU Penodaan Agama menurut ahli-ahli yang dihadirkan oleh MK.
18
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
Nama Ahli MK
Masalah UU No.1/PNPS/1965
Prof. Dr. Andi Hamzah
1. Pasal 1 dan 2 UU a quo sifatnya administrasi, tapi pasal 3 ada sanksi pidana 5 tahun. Kalau administrasi harusnya 1 tahun kurungan atau denda. 2. Pasal 1, 2, 3 UU a quo multitafsir, tidak memenuhi syarat nullum crimen sine lega scripta.
Dr. Eddy OS Hiariej
1. Dalam prakteknya, UU a quo selalu digunakan untuk mengadili pemikiran. Praktek itu bertentang dengan postulat hukum: cogitationis poenam nemo partitur, 2. Penghayat keyakinan tidak bisa dijerat atau dihukum
Prof.Dr.Azyumardi 1. Negara tidak boleh ikut campur soal Azra tafsir 2. UU a quo tidak sesuai dengan zaman. 3. Pasal yang inkonstitusional misalnya pasal 4b UU a quo. 4. UU a quo ambigu sehingga harus disempurnakan.
19
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Dr. Fx Mudji Sutrisno
1. Sebenarnya masyarakat kultural saling menghormati satu sama lain terhadap adanya perbedaan, namun adanya hukum akan meniadakan hak-hak lain atau kebebasan yang ada di dalam masyarakat tersebut. 2. Istilah menyimpang adalah istilah orang dalam (intern agama), sementara bagi orang di luar intern agama, disebut berbeda. 3. Tugas negara paling pokok adalah pada wilayah publik,menjaga ketertiban dan melindungi tiap warga Negara untuk melaksanakan hak kebebasan beragamanya.
Ulil Abshar Abdalla
1. Posisi negara harus netral, tidak bisa masuk soal tafsir. 2. Perbedaan tafsir bukan penodaan agama. 3. Pokok-pokok ajaran berbeda-beda. 4. Istilah “pokok-pokok ajaran agama” di UU a quo ambigu. 5. Negara harus mencegah dan menangkap orang yang melakukan kekerasan. 6. UU a quo tidak melindungi minoritas.
20
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
Emha Ainun Nadjib
1. UU a quo tidak soleh, banyak mundharatnya. 2. Tafsir tidak bisa dipaksakan. 3. Pluralisme adalah sifat Tuhan, tidak bisa dipaksakan untuk seragam. 4. Pokok-pokok ajaran beda. 5. Toleransi dan saling menyayangi.
Dr. Siti Zuhro
UU a quo memberi peluang untuk diskriminasi & pembatasan hak memeluk agama. Juga bukti tidak dijaminnya masyarakat yang plural dan pengakuan status kelompok minoritas.
Prof.Dr.Jalaludin Rakhmat
1. UU a quo seringkali dipergunakan oleh yang berkuasa 2. UU a quo cenderung merugikan kaum minoritas
Prof. Dr. Ahmad Fedyani S.
1. Masyarakat hidup dalam masa yang berbeda dengan masa pembentukan UU a quo 2. Mengekpresikan pikiran termasuk dalam konteks agama bagian dari HAM, dan posisi manusia sebagai subyek semakin penting.
21
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
1. UU a quo tidak sempurna karena tidak sesuai dengan UU 10/2004. 2. Norma hukum ada di penjelasan, harusnya ada di pasal. 3. Kepentingan Negara bukan menilai benar tidaknya agama, tapi menjaga ketertiban umum dan harmoni dalam masyarakat
Dr. Moeslim Abdurrahman
1. Pokok-pokok ajaran berbeda-beda. 2. Perbedaan tafsir harus dihormati. 3. Seseorang di hadapan Negara harus setara, meskipun di hadapan Tuhan berbeda-beda. 4. Beriman atau tidak bukan urusan Negara.
Taufik Ismail
UU a quo sebagai pagar sudah usang, ayo kita perbaiki bersama-sama.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
1. Penafsiran tidak bisa dibatasi 2. Pembatasan hanya untuk manifestasi atau ekspresi guna kepentingan warga negara bukan kepentingan agama.
22
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
Djohan Effendi
1. UU a quo menjadi pengakuan 6 agama resmi dan acapkali memakan korban (Kurdi, Baha’i). 2. Tafsir adalah bagian dari kebebasanberagama/berkeyakinan dan boleh disampaikan ke publik. 3. Masalah keyakinan adalah otoritas Tuhan YME. 4. Negara dan aparatnya tidak boleh bertindak melebihi Tuhan sendiri.
S. A. E. Nababan
1. Perbedaan dan perkembangan tafsir adalah lumrah. 2. Negara tidak perlu mengatur masalah penafsiran. 3. Depag tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menilai pokokpokok ajaran agama. 4. Ada ketidak jelasan Istilah (seolaholah perbedaan tafsir itu sama dengan penodaan agama). 5. Akibat UU a quo, negara berpeluang untuk intervensi wilayah keagamaan.
23
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Garin Nugroho
1. UU ini tidak mendorong masyarakat berubah positif. 2. Kata-kata dalam pasal-pasal UU a quo tidak memberi kepastian hukum sehingga mengakibatkan korban. 3. Secara yuridis munculnya UU a quo hanya berlaku tepat untuk saat itu, tidak tepat untuk saat ini.
Siapa yang hadir sebagai pihak terkait ? Selama proses persidangan, terdapat 24 (dua puluh empat) Pihak Terkait yang menyampaikan keterangannya. Dari 24 pihak, hanya Himpunan Penghayat Dan Kepercayaan (HPK), Badan Kerjasama Organisasi-Organiasi Kepercayaan (BKOK) yang hak dan/ atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan, karena penghayat telah menjadi korban. Sedangkan pihak terkait tidak langsung pada persidangan, dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi WaliGereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), WALU24
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
BI, Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) b. Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Persatuan Islam (Persis), DPP Partai Persatuan Pembangunan, Yayasan Irena Center, DPP Ittihadul Muballighin, Badan Silaturrahmi Ulama Madura (BASHRA), Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Al-Irsyad Islamiyah Bagaimana dengan pendapat dari pihak-pihak terkait dalam uji materiil UU Penodaan Agama? Secara substansi, pihak terkait terbagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok yang menolak permohonan dan kelompok yang sependapat dengan pemohon, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
25
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Menolak Permohonan
26
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP), Yayasan Irena Centre, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ittihadul Mubalighin, Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren se-Madura (BASSRA), Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Forum Umat Islam (FUI).
Bag ian Ked u a Perm o h o n an Uji Materiil UU Pen o d aan Ag ama
Sependapat Dengan Pemohon
Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan (BKOK), Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan)
Revisi
Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI
27
Bagian Ketiga
Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Putusan MK tentang Uji Materiil UU Penodaan Agama
http://jurnalhukum.blogspot.com/2009_02_01_archive.htm
Setelah melalui proses persidangan marathon selama 3 bulan, MK memutuskan menolak keseluruhan permohonan uji materiil UU Penodaan Agama. MK
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
menarik kesimpulan bahwa dalil-dalil yang diajukan pemohon, baik dalam pengujian formil maupun materiil, tidak beralasan hukum. Namun, keputusan tersebut tidaklah bulat, Hakim Harjono memberikan alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Maria Farida Indarti menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Apa yang dimaksud dengan alasan berbeda (concurring opinion) ? Concurring opinion adalah pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang suatu perkara, namun memiliki alasan yang berbeda. Apa alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Harjono ? Hakim Harjono memberikan alasan yang berbeda terhadap putusan MK. Harjono menyatakan bahwa rumusan Pasal 1 UU Penodaan Agama mengandung kelemahan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara melakukan revisi Pasal 1 UU Penodaan Agama. Sedangkan apabila Pasal 1 UU Penodaan 30
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
Agama dicabut maka akan terdapat ke-vakum-an hukum yaitu ketiadaan aturan yang dapat menimbulkan akibat sosial yang luas. Meskipun akibat itu sendiri dapat diatasi dengan aturan hukum yang ada, namun untuk melakukan hal yang demikian akan memerlukan social cost yang tinggi. Harjono berpendapat bahwa untuk sementara waktu UU perlu dipertahankan, sambil menunggu revisi UU Penodaan Agama selesai dilakukan. Apa yang dimaksud dengan memberikan pendapat berbeda berpendapat (dissenting opinion) ? Dissenting opinion adalah pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang suatu perkara. Umumnya ditemukan dinegara-negara yang bertradisi common law dimana lebih dari satu hakim mengadili perkara. Tetapi sejumlah negara yang menganut tradisi hukum konstinental telah memperbolehkan dissenting opinion oleh hakim, terutama di pengadilan yang lebih tinggi. Di Indonesia, awalnya dissenting opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam uji materiil undang-undang di MK. 31
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Apa pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ? Hakim Maria Farida Indrati memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam uji materiil UU Penodaan Agama, sebagai berikut : Dalam suatu negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Konsiderans Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726) dinyatakan bahwa pembentukan Penpres a quo dilakukan dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, citacita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama, serta untuk pengamanan revolusi. Penetapan Presiden adalah salah satu jenis (bentuk) peraturan perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi oleh Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk PeraturanPeraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, 32
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam UndangUndang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut: “Disamping itu Pemerintah memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni: Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada UndangUndang Dasar 1945”; Dengan diterimanya surat Presiden tersebut dibentuklah sejumlah 129 (seratus dua puluh sembilan) Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang berlangsung dari tahun 1959 sampai tahun 1966. Oleh karena Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang dibentuk selama kurun waktu tersebut secara substansi banyak yang tidak tepat maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara kemudian memerintahkan untuk dilakukan peninjauan dengan landasan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Di Luar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan 33
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966. Berdasarkan kedua Ketetapan MPRS tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tersebut dirumuskan sebagai berikut: “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan UndangUndang yang baru”. Penjelasan Pasal 2 a quo menyatakan sebagai berikut: “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturanperaturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lam34
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
piran IIA dinyatakan sebagai Undang-Undang dengan ketentuan bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-Undang baru sebagai penyempurnaan, perubahan atau penambahan dari materi yang diatur dalam Undang-Undang terdahulu”. Selain iu, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, dirumuskan sebagai berikut: “... 2. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB juga dinyatakan sebagai Undang-Undang, dengan ketentuan bahwa harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti, bahwa materi dari pada Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru” Berdasarkan Pasal 2 dan Lampiran IIA UndangUndang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan 35
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Agama sebagai suatu Undang-Undang, sehingga sejak saat itu Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama disebut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai suatu Undang-Undang (yang biasa disebut dengan Undang-Undang Kondisional). Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini Presiden maka Penetapan Presiden yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor: 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah peraturan yang sah dan mempunyai daya laku (validity) mengikat umum. Namun demikian, karena Undang-Undang a quo pada saat ini dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi, maka saya mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Apabila ditinjau dari asas keberlakuannya, sejak saat pembentukannya hingga saat ini, yaitu saat dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi, secara formal Undang-Undang a quo masih mempunyai daya laku mengikat umum. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal I Aturan Pera36
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
lihan Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan) yang menyatakan bahwa, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Namun demikian, oleh karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sangat mendasar, terutama dalam pengaturan tentang hak-hak asasi manusia, khususnya yang tertuang dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, secara material isi atau substansi Undang-Undang a quo perlu diajukan beberapa pendapat. Sehubungan dengan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang a quo perlu dikemukakan pasal-pasal yang langsung berkaitan, yaitu Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang masing-masing dirumuskan sebagai berikut: Pasal 28E: “(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 37
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28I: “(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2) ....dst.” Pasal 29: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Berdasarkan pasal-pasal tersebut sebenarnya Undang-Undang Dasar 1945 saat ini sangat memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bahkan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hak dan 38
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Secara yuridis jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rezim hukum di Indonesia dinyatakan dengan landasan yang sangat kuat, sehingga dengan demikian negara Republik Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut, khususnya hak setiap orang terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam kaitannya dengan hak atas kebebasan agama terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek kebebasan internal (forum internum) dan aspek kebebasan eksternal (forum externum). Kebebasan internal (forum internum) yang menyangkut eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu adalah kebebasan yang dimiliki setiap orang untuk meyakini, berfikir, dan memilih agama atau keyakinannya, juga kebebasan untuk mempraktekkan agama atau keyakinannya secara privat, sehingga 39
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
kebebasan internal ini tidak dapat diintervensi oleh negara. Kebebasan eksternal (forum externum) adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan, mengomunikasikan, atau memanifestasikan eksistensi spiritual yang diyakininya itu kepada publik dan membela keyakinannya Sehubungan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah, yaitu, Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, saya mengajukan pendapat sebagaimana tertuang dalam uraian di bawah ini, berdasarkan rumusan pasal-pasal beserta penjelasannya sebagai berikut: A. Pendapat terhadap Pasal 1: Pasal 1 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Apabila Pasal 1 Undang-Undang a quo dihubung40
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
kan dengan penjelasannya maka sebenarnya yang dijamin dan dilindungi, serta mendapat bantuanbantuan adalah hanya terbatas kepada agama yang dipeluk (dianut) oleh penduduk di Indonesia, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius) karena dalam Pasal 1 secara jelas dirumuskan “agama yang dianut”; sedangkan terhadap agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tidak dilarang di Indonesia dengan syarat “asalkan agama-agama tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”. Selain itu dengan adanya Penjelasan Pasal 1 yang menyatakan bahwa, “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa ...” terdapat perlakuan yang tidak sama (diskriminatif) antara agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta Khong Hu Cu (Confusius), dan agama-agama lainnya, terutama terhadap badan/aliran kebatinan; bahkan negara/Pemerintah telah masuk ke dalam ranah yang menyangkut eksistensi spiritual, yang melekat pada setiap individu (dalam hal ini badan/aliran kebatinan) karena Pemerintah diberikan wewenang untuk berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 41
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
B. Pendapat terhadap Pasal 2: Pasal 2 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa: “(1) Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.” Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa, “Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam Pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat sebelumnya”. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyata42
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
kan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibatakibatnya (jo Pasal 169 KUHP).” Dari rumusan Pasal 2 Undang-Undang a quo dan Penjelasannya terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam Pasal 2 ayat (1) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “Barangsiapa ...” yang di dalam ragam bahasa perundang-undangan biasanya dimaknai dengan setiap orang atau badan hukum (korporasi), sedangkan pada ayat (2) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan”. Apabila rumusan Pasal 2 tersebut dihubungkan dengan Penjelasan pasalnya maka yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi atau aliran terlarang”. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo sebenarnya hanya ditujukan terhadap “orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi, atau aliran terlarang”. Permasalahannya adalah, siapa yang dimaksudkan dengan orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota 43
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
Pengurus Organisasi, atau aliran terlarang tersebut? Sehubungan dengan permasalahan ini, apakah negara dapat ikut campur di dalamnya dengan memberikan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, atau pembubarannya oleh Presiden? C. Pendapat terhadap Pasal 3: Pasal 3 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa, “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”. Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa, “Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam Pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, 44
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar”. Dari rumusan Pasal 3 Undang-Undang a quo dan Penjelasannya juga terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam Pasal 3 yang menjadi adressat norma, yang dapat dijatuhi pidana penjara lima tahun adalah ”orang, penganut, organisasi atau aliran kepercayaan” sedangkan dalam Penjelasannya yang dapat dikenakan pidana adalah “penganut aliran kepercayaan saja”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 Undang-Undang a quo dan Penjelasannya, memang beralasan apabila beberapa orang perorangan dan beberapa lembaga yang bergerak dalam bidang advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan mempermasalahkan eksistensi Undang-Undang a quo. Saya sependapat dengan Pemohon bahwa eksistensi Undang-Undang a quo perlu ditinjau kembali, oleh karena dalam pelaksanaannya Undang-Undang a quo seringkali men45
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
imbulkan berbagai permasalahan. Walupun dalam Undang-Undang a quo tidak menyebutkan adanya enam agama yang “diakui” oleh negara, namun di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan telah terbukti bahwa yang diberikan jaminan dan perlindungan serta bantuan-bantuan hanya keenam agama tersebut, hal ini terjadi misalnya dalam penerbitan Kartu Tanda Penduduk, penerbitan Kartu Kematian, atau dalam pelaksanaan dan pencatatan perkawinan. Dengan berdasarkan Undang-Undang a quo juga telah dilakukan pelarangan terhadap penganut agama Kong Hu Cu (termasuk larangan terhadap simbolsimbol, adat kebiasaan, budaya, bahasa China) yang berlangsung sejak jaman Orde Baru hingga saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Secara kelembagaan, hal ini juga terlihat bahwa sampai saat ini hanya terdapat Dirjen Bimas Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha di Kementerian Agama Republik Indonesia. Selain itu, dampak yang lebih kuat adalah yang dirasakan oleh para penganut agama tradisional ataupun penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak sedikit di negara Indonesia, yang terhadap mereka tidak mudah bagi setiap orang ataupun negara untuk dapat 46
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
langsung memahami eksistensi spiritual mereka, oleh karena biasanya eksistensi spiritual mereka dikemas dan dilaksanakan dalam bahasa-bahasa daerah setempat. D. Pendapat terhadap Pasal 4: Pasal 4 Undang-Undang a quo menetapkan bahwa, “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Terhadap rumusan dalam Pasal 4 Undang-Undang a quo saya berpendapat bahwa pengaturan yang memerintahkan penambahan suatu pasal ke dalam Undang-Undang lain adalah sesuatu yang tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Pendapat tersebut dapat 47
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
dikesampingkan, oleh karena pada saat terbentuknya Undang-Undang a quo memang belum terdapat pedoman yang mengatur tentang hal tersebut. Walaupun rumusan dalam Pasal 156a tersebut bukanlah merupakan delik materiil, namun karena pasal tersebut ditempatkan di antara Pasal 156 dan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang termasuk dalam “haatzaai artikelen”) maka ketentuan dalam pasal a quo dalam pelaksanaannya lebih sering diterapkan secara sewenang-wenang. Kesimpulan: Berdasarkan uraian di atas, maka saya berpendapat bahwa terhadap Undang- Undang Nomor 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terdapat beberapa permasalahan yang mendasar antara lain: 1. Bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau, yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I UndangUndang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hakhak asasi manusia. 48
Bag ian Ketig a Pe rbe daan Pe ndapat Put usan MK Ten tan g Uji Materiil UU Pen o d aan Ag am a
2. Bahwa dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, yang merupakan perintah dari Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Di Luar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan MPRS Nomor XIX/ MPRS/1966, maka pelaksanaan dari perintah kedua Ketetapan MPRS dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, khususnya dalam Pasal 2 dan Penjelasannya sudah berlangsung selama 40 (empat puluh) tahun. 3. Bahwa dengan terjadinya berbagai permasalahan yang seringkali menimbulkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan Undang-Undang a quo dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasalnya terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, saya berkesimpulan bahwa permoho49
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
nan para Pemohon seharusnya dikabulkan. Apakah dissenting opinion mengikat secara hukum ? Tidak, walau merupakan satu kesatuan dalam putusan hakim, dissenting opinion tidak mengikat. Namun, perbedaan pendapat ini akan dapat digunakan sebagai dasar untuk memacu perubahan terhadap sebuah undang-undang.
50
DAFTAR ALAMAT 1. KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM) Jl. Latuharhary No. 4B Menteng Jakarta Pusat Telp/Fax: 021 - 3925 230021 - 3925 227 Emaik:
[email protected] 2. OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA (ORI) Jl. Ir. H. Djuanda No. 36 Jakarta Pusat Telp : +62 21 351 0071 3.
GERAKAN ANTI DISKRIMINASI (GANDI) Jl. Mandala Raya 24 Tomang Jakarta 11440 T : 021-68700570 F : 021 – 5673869 Email :gandi_ancyahoo.com,
[email protected],
[email protected]
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
4. LBH JAKARTA Jl.Diponegoro No. 74 Jakarta Telp/Fax: 021-3145518/ 021-3912377 5. INDONESIAN CONFERENCE ON RELIGION AND PEACE (ICRP). Jl. Cempaka Putih Barat XXI No. 34 Jakarta 10520 Telepon: 021-42802349 / 42802350 Fax: 021-4227243 Email:
[email protected] Website: www.icrp-online.org 6. ALIANSI NASIONAL BHINEKA TUNGGAL IKA (ANBTI) Jl.Tebet Barat Dalam Vii No.19, Jakarta Telp/Fax :021-8312771 7. BADAN KOORDINASI ORGANISASI KEPERCAYAAN (BKOK) Jl.Wastukancana No. 33 Bandung T :022-4265318 8. HIMPUNAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN THD TUHAN YANG MAHA ESA (HPK) Jl.Ir.H.Juanda No. 4 A Jakarta 52
Daftar Alam a t
9. THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) Jl.Tebet Timur I No.4, Tebet Jakarta Selatan Telp : 021-93821173, Fax : 021-8356641 Email :
[email protected] Website : www.mitrahukum.org 10. HUMAN RIGHTS WORKING GROUP Jiwasraya Building Lobby Floor Jl. R.P Soeroso No 41 Gondangdia, Menteng Jakarta 10350 Email :
[email protected], Telp: 021-3143015 – 021-7073350562 Fax: 021-3143058
53
Tentang ILRC !
THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) MITRA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN HUKUM INDONESIA Pada masa transisi menuju demokrasi, Indonesia menghadapi masalah tingginya tingkat korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM), dan lemahnya penegakan hukum. Dalam penegakan hukum, selain produk legislasi dan struktur aparat penegak hukum di butuhkan pula budaya hukum yang kuat di masyarakat. Namun, faktanya kesadaran hak di tingkat masyarakat sipil masih lemah, begitu juga dengan kapasitas untuk mengakses hak tersebut. Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakat sipil menjadi pent-
Pro fil I LR C
ing untuk menyediakan lulusan fakultas hukum hukum yang berkualitas yang akan mengambil bagian di berbagai profesi, seperti birokrasi, institusi-institusi negara, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Perguruan Tinggi mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuan hukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai peranan penting untk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil. Pendirian The Indonesia Legal Resource Center (ILRC) merupakan bagian keprihatinan atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahan keadilan sosial. Pendidikan hukum cenderung membuat lulusan fakultas hukum menjadi profit lawyer dan mengabaikan pemasalahan keadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrumen/institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Terdapat sejumlah masalah yaitu 1) Lemahnya paradigma yang berpihak kepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; 2) Komersialisasi Perguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusia di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak Azasi Manusia (HAM) dan 55
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
3) Ketika pendidikan hukum di masyarakat sedang berkonflik oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara. Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksud untuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum. Visi Memajukan HAM dan keadilan sosial di dalam pendidikan hukum Misi 1. Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dinamika sosial; 2. Mereformasi pendidikan hukum untuk memperkuat perspektif keadilan sosial; 3. Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial.
56
Pro fil I LR C
STRUKTUR DAN PERSONAL Para Pendiri/Anggota Pengurus Ketua : Dadang Trisasongko Sekretaris : Renata Arianingtyas Bendahara : Soni Setyana Anggota : 1. Profesor Mohammad Zaidun, SH, MSi 2. Prof. Emiritus Drs. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA 3. Uli Parulian Sihombing EKSEKUTIF Direktur : Uli Parulian Sihombing Peneliti : Fultoni, Siti Aminah, Budi Widjardjo Keuangan : Evi Yuliawati Administrasi : Herman Susilo
57
Tentang Freedom House
! Freedom House is an independent watchdog organization that supports the expansion of freedom around the world. Freedom House supports democratic change, monitors freedom, and advocates for democracy and human rights. We support nonviolent civic initiatives in societies where freedom is denied or under threat and we stand in opposition to ideas and forces that challenge the right of all people to be free. Freedom House functions as a catalyst for freedom, democracy and the rule of law through its analysis, advocacy and action. • Analysis The foundation of Freedom House’s work is its analysis. We evaluate the components of freedom and leverage our analytical work to strengthen our advocacy and action efforts. Freedom House’s rigor-
Pro fil F reed o m Ho u s e
•
•
ous research methodology has earned the organization a reputation as the leading source of information on the state of freedom worldwide. Learn more about Freedom House publications . Advocacy Freedom House amplifies the voices of those fighting for freedom in repressive societies. We press the United States, other governments, international institutions and regional bodies to adopt consistent policies that advance human rights and democracy around the world. Action We work directly with democracy and human rights advocates in their own countries and regions. These reformers include human rights defenders, civil society leaders and members of the media. Freedom House’s programs provide these advocates with resources that include training, expert advice, grants and exchange opportunities.
Freedom House was created in 1941 by prominent Americans concerned about the U.S. policy of isolationism as Nazism threatened to engulf Europe. The organization’s name was intended to counter the Brown House, the Nazi party headquarters in Germany where Adolf Hitler maintained an office. Af59
M em a h a m i Pe ndapat Be rbe da ( D is sen tin g Op in i o n ) Pu tu s a n Uj i M at e ri i l U U Pe nodaan Ag am a
ter World War II, Freedom House turned its focus to the struggle against Communism and other threats to freedom irrespective of ideology and embraced the organization’s mission to expand freedom worldwide and strengthen human rights and civil liberties in the United States. Freedom House is led by David Kramer, the organization’s executive director. The daily work of the organization is conducted by its approximately 150 staff members in Washington, New York, its European office in Budapest and other offices around the world. The organization’s Board of Trustees, which includes Democrats, Republicans and Independents, is composed of a mix of business and labor leaders, former senior government officials, scholars and journalists who agree that the promotion of democracy and human rights abroad is vital to America’s interests abroad and to international peace. Contact 1301 Connecticut Ave. NW, Floor 6 Washington D.C. 20036. T el. (202) 296 5101 Fax: (202) 293 2840 Email :
[email protected] 60