MENGADILI KEYAKINAN UNDANG-UNDANG PENODAAN AGAMA INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF
Publikasi Amnesty International Dipublikasi pertama kali pada tahun 2014 oleh Amnesty International Publications Sekretariat Internasional Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW Britania Raya www.amnesty.org Hak cipta pada Amnesty International Publications 2014 Indeks: ASA 21/030/2014 Bahasa Asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Britania Raya Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Tidak ada bagian dalam publikasi ini yang boleh diproduksi ulang, disimpan dalam sistem pengambilan ulang, atau ditransmisikan, dalam segala bentuk atau segala sarana, baik itu elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman atau cara lainnya tanpa izin terlebih dahulu dari pihak penerbit. Foto sampul depan: Pada 20 Juni 2013, ribuan orang berunjuk rasa di Sampang, Jawa Timur, menyerukan agar komunitas Syiah yang tergusar paksa dan hidup di penampungan sementara di gedung olahraga diusir dari Sampang karena “keyakinan sesat” mereka. © KontraS Surabaya
Amnesty International adalah gerakan global dengan lebih dari tiga juta pendukung, anggota, dan aktivis di lebih dari 150 negara dan wilayah, yang mengkampanyekan penghapusan pelanggaran berat hak asasi manusia. Visi kami adalah agar setiap orang bias menikmati hak-hak yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan standar hak asasi manusia internasional lainnya. Kami independen dari pengaruh pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi atau agama dan didanai terutama oleh anggota kami dan sumbangan publik.
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif ini berasal dari laporan Amnesty International berjudul “Prosecuting Beliefs: Indonesia’s Blasphemy Laws” (Mengadili keyakinan: Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia)” (AI Index: ASA 21/018/2014), November 2014, yang mana harus digunakan sebagai referensi bagi diskusi lebih rinci. RINGKASAN EKSEKUTIF ..............................................................................................4 Latar Belakang ..........................................................................................................4 Undang-Undang Penodaan Agama ...............................................................................4 Dipenjara Karena Keyakinan Mereka ............................................................................5 Analisa Hak Asasi Manusia .........................................................................................6 Dampak Bagi Komunitas Keagamaan Minoritas .............................................................7 Rekomendasi ............................................................................................................8
4 4
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN EKSEKUTIF LATAR BELAKANG Walaupun ada beberapa perkembangan positif di bidang hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sejak periode reformasi 1998, kebebasan beragama tetap dibatasi secara ketat. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang secara umum dikenal di Indonesia sebagai Undang-Undang Penodaan Agama, bisa digunakan untuk memenjarakan orang selama maksimal lima tahun karena mereka menjalankan secara damai hak mereka tentang kebebasan untuk berekspresi dan kebebasan berpikir, berkeyakinan atau beragama, yang dilindungi berdasarkan hukum HAM internasional. Kriminalisasi individu karena penodaan agama berjalan dalam konteks meningkatnya pembatasan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama pada masa mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat (2004-2014). Sejak 2005, Amnesty International mencatat setidaknya 106 individu yang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan UndangUndang penodaan agama. Mereka kebanyakan berasal dari minoritas keagamaan atau mengekspresikan keyakinan agama yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang diakui secara resmi. Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), hanya sekitar 10 individu yang diadili dan dijatuhi hukuman karena penodaan agama. Kekhawatiran terkait kebebasan beragama telah diangkat secara luas baik di Indonesia dan secara internasional. Undang-Undang penodaan agama secara fundamental tidak selaras dengan kewajiban Indonesia berdasarkan hukum HAM internasional dan khususnya melanggar ketentuan yang mengikat secara hukum tentang kebebasan berekspresi, berpikir, berkeyakinan dan beragama, kesetaraan di hadapan hukum dan kebebasan dari diskriminasi.
UNDANG-UNDANG PENODAAN AGAMA Pada tahun 1965, Indonesia mengesahkan Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan ini disahkan oleh Presiden Sukarno, presiden pertama Indonesia, untuk mengakomodasi permintaan organisasi-organisasi Islam untuk melarang aliran kepercayaan lokal yang mereka percaya bisa menodai agama-agama di Indonesia. Presiden Sukarno menandatangani penetapan presiden itu pada 27 Januari 1965, yang kemudian dijadikan Undang-Undang (UU No. 5/1969) pada tahun 1969 di masa pemerintahan Presiden Suharto. Kebanyakan dari pengadilan dan penghukuman pidana di Indonesia atas tindakan yang dianggap sebagai penodaan agama merujuk pada Penetapan Presiden ini. Pada tahun 2009, sekelompok koalisi organisasi non-pemerintah (Ornop) dan beberapa individu yang terkenal mengajukan peninjauan yudisial (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan argumen perundangan penodaan agama bertentangan dengan hak kebebasan beragama yang disebut dalam pasal 28E dan 29 dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Mahkamah Konstitusi mempertahankan berlakunya Undang-Undang penodaan agama dengan alasan “ketertiban umum” dan “nilai keagamaan” berdasarkan pasal 28J(2)
Amnesty International November 2014
Indeks: ASA 21/030/2014
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
5
UUD 1945. Pembatasan terkait “ketertiban umum” didefiniskan secara luas sehingga memasukkan stabilitas nasional, merefleksikan kekhawatiran bahwa “kekacauan” akan terjadi bila Undang-Undang penodaan agama dicabut. Undang-Undang penodaan agama juga menginspirasi ketentuan yang serupa dalam undangundang lain yang baru disahkan, termasuk UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); sementara itu ada juga rencana untuk memperluas ketentuan terkait penodaan agama dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Agama.
DIPENJARA KARENA KEYAKINAN MEREKA Di bawah ini adalah dua contoh kasus yang menunjukkan bagaimana individu di berbagai provinsi di negeri ini diadili semata karena ekspresi damai kepercayaan mereka dan ini merupakan pelanggaran terhadap kewajiban HAM Indonesia untuk menghargai kebebasan berekspresi dan berpikir, berkeyakinan dan beragama: Tajul Muluk, berusia 41 tahun, adalah seorang pemimpin keagamaan muslim Syiah dari Jawa Timur, yang kini menjalani masa hukuman empat tahun karena penodaan agama berdasarkan pasal 156(a) KUHP. Ia mendirikan sekolah pesantren keagamaan di Desa Nangkrenang, Sampang, Madura, Jawa Timur pada tahun 2004 dan menjadi kepala sekolah. Ia dipaksa meninggalkan desanya setelah ia dan para pengikut Syiah-nya diserang oleh ratusan orang pada Desember 2011. Pada 1 Januari 2012 sebuah fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulema Indonesia cabang Sampang tentang apa yang dideskripsikan sebagai “ajaran menyimpang” Tajul Muluk. Ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk penodaan agama oleh Pengadilan Negeri Sampang pada 12 Juli 2012. Pengadilan menyatakan ia bersalah karena mengatakan Qur’an yang digunakan Muslim kini tidak menggunakan teks asli. Tajul Muluk menolak tuduhan ini. Hukumannya diperberat dalam pengadilan banding menjadi empat tahun pada 10 September 2012 oleh Pengadilan Tinggi Surabaya agar memiliki “efek jera” dan karena Tajul Muluk telah mengakibatkan “ketidakharmonisan diantara umat Muslim”. Pada 17 Januari 2013 bandingnya ditolak oleh Mahkamah Agung. Sementara para pengikut Syiah-nya masih tinggal di fasilitas perumahan yang jauh dari rumah mereka, di mana mereka kini masih tinggal. Mereka tidak tahu hingga kapan mereka akan tetap di sana atau bantuan dan perlindungan macam apa, termasuk makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan untuk anak mereka, yang akan tetap mereka terima dari pemerintah;
Alexander An, seorang pegawai negeri sipil berusia 30 tahun dari Kecamatan Pulau Punjung di Provinsi Sumatera Barat dipenjara karena penodaan agama pada Juni 2012. Aan dituduh menjalankan ateism dan menulis pernyataan dan menaruh gambar di situs Facebook pribadinya dan di grup Facebook “Minang Atheist”, yang dianggap oleh sebagian orang menghina Islam dan Nabi Muhammad. Pada 14 Juni pengadilan menyatakan ia bersalah dan menjatuhi hukuman dua setengah tahun penjara dan denda 100 juta rupiah karena melanggar UU ITE. Dalam amar putusannya, hakim secara terbuka menyatakan kepercayaan ateisnya tidak diperbolehkan berdasarkan ideologi Negara Pancasila dan konstitusi Indonesia, yang mewajibkan setiap warganegara untuk percaya pada Tuhan, dan bahwa kepercayaannya “mengganggu ketertiban umum”. Ia dibebaskan pada Januari 2014 setelah menjalani masa tahanannya, namun harus tinggal di provinsi lain untuk menghindari gangguan dari kelompok keagamaan karena dituduh telah “menghina agama”.
Indeks: ASA 21/030/2014
Amnesty International November 2014
6 6
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
Amnesty International menganggap semua yang ditahan atau dipenjara semata-mata karena pandangan agama atau keyakinan mereka, atau karena secara damai menjalankan hak kebebasan berekspresi, -sebagaimana kedua individu diatas lakukan- sebagai tahanan nurani (prisoner of conscience).
ANALISA HAK ASASI MANUSIA Undang-Undang penodaan agama dan implementasinya, berdasarkan laporan ini, melanggar serangkaian hak asasi manusia yang, sebagai negara pihak dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), Indonesia memiliki kewajiban internasional untuk menghargai dan melindungi. Terutama, harus menahan diri dari melanggar hak-hak yang diakui dalam ICCPR, dan pembatasan apapun terhadap hak tersebut harus diizinkan berdasarkan ketentuan yang relevan dari Kovenan itu sendiri. Khususnya, ketika pembatasan itu dibuat, pihak berwenang harus menunjukkan langkah itu diperlukan dan hanya melakukan langkah yang proporsional dengan tujuan sah yang ingin dicapai, yang diperbolehkan berdasarkan ICCPR; tidak boleh pembatasan dilakukan atau diterapkan dalam keadaan yang mencederai esensi hak tersebut. Lebih lanjut, negara harus melindungi individu tidak hanya dari pelanggaran terhadap hak tersebut oleh agennya sendiri, namun juga dari tindakan yang dilakukan oleh individu nonnegara atau entitas yang ingin mencederai penikmatan hak-hak tersebut. Undang-Undang penodaan agama dan implementasinya melanggar kewajiban internasional Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi. ICCPR tidak mengizinkan pembatasan diterapkan pada pelaksanaan hak kebebasan berekspresi dengan tujuan menjamin penghormatan atas agama atau melindunginya dari “pencemaran nama baik”. ICCPR melindungi hak individu, dan dalam beberapa hal, sekelompok orang, namun tidak melindungi entitas abstrak seperti agama, kepercayaan, ide, atau simbol. Hukum HAM internasional mensyaratkan negara untuk melarang advokasi kebencian berlandaskan agama yang masuk kategori hasutan untuk mendiskriminasi, memusuhi, atau melakukan kekerasan (sering disebut syiar kebencian atau hate speech), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20(2) ICCPR. Namun, pelarangan semacam itu harus diformulasikan secara tepat untuk mencakup hanya ekspresi yang mengandung kedua elemen advokasi kebencian berbasis kebangsaan, rasial dan keagamaan dan elemen hasutan atas orang terkait; pelarangan tersebut tidak mencakup pencemaran nama baik, penghinaan atau kritik terhadap agama, kepercayaan, simbol atau institusi semata;
Undang-Undang penodaan agama juga melanggar hukum HAM internasional tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan. ICCPR menyatakan secara jelas tidak ada pembatasan yang diizinkan atas dasar mengimani (atau tidak mengimani) keyakinan agama atau tidak, atau opini yang dikenal sebagai forum internum atau dimensi internal privat dari agama atau kepercayaan. Pasal 18(3) dari ICCPR, mengizinkan pembatasan tertentu diterapkan kepada kebebasan untuk mengungkapkan suatu agama atau kepercayaan, namun hanya jika pembatasan tersebut diatur oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keamanan, kesehatan atau moral publik atau hak orang lain. Komite HAM PBB yaitu sebuah badan independen berisi para ahli yang memantau implementasi negara-negara atas kewajiban mereka berdasarkan ICCPR, telah menekankan ketentuan ini harus diinterpretasikan secara ketat, dan harus diterapkan dengan cara yang tidak merugikan hak itu sendiri. Pembatasan hanya bisa diterapkan untuk alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 18(3) ICCPR dan harus terkait secara langung dan proporsional terhadap kebutuhan
Amnesty International November 2014
Indeks: ASA 21/030/2014
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
7
yang spesifik yang dilekatkan; hal ini tidak boleh diterapkan untuk tujuan diskriminatif atau diterapkan secara diskriminatif; Undang-Undang penodaan agama mendiskriminasi terhadap individu yang mengekspresikan atau ingin mengekspresikan pandangan keagamaan “yang menyimpang dengan ajaran dasar” dari “agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia”, sebagaimana individu agama atau kepercayaan atau non-kepercayaan lainnya. Individu tersebut hidup dalam ancaman bahaya berkelanjutan untuk dijerat dengan Undang-Undang penodaan agama. Dengan cara ini, mereka yang didiskriminasi dalam menjalankan kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka;
Orang yang ditahan atau dipenjara karena menjalankan secara damai hak mereka tentang kebebasan berekspresi atau berpikir, berkeyakinan atau beragama atau menganut kepercayaan, dianggap sebagai korban penahanan sewenang-wenang yang dilarang berdasarkan hukum internasional, termasuk Pasal 9 dari ICCPR;
Sementara Amnesty International memandang mereka yang dipenjara karena penodaan agama sebagai tahanan hati nurani, yang seharusnya tidak ditangkap atau dipenjara sama sekali, Amnesty International juga mengkhawatirkan proses peradilan dalam kasus penodaan agama, sering tidak memenuhi standar peradilan adil internasional.
DAMPAK BAGI KOMUNITAS KEAGAMAAN MINORITAS Selain kekhawatiran yang tertulis di atas, Undang-Undang penodaan agama hadir dalam konteks, atau tampak berkontribusi pada sebuah atmosfir intoleransi yang memiliki konsekuensi sosial yang buruk bagi komunitas keagamaan minoritas. Setidaknya 168 anggota komunitas Syiah Tajul Muluk di Sampang, Jawa Timur, termasuk 51 anak-anak, telah tinggal di sebuah fasilitas tempat tinggal sejak Agustus 2012, setelah desa mereka diserang oleh gerombolan massa anti Syiah. Pada awalnya mereka ditempatkan di penampungan sementara dengan fasilitas minim di sebuah gedung olahraga di Sampang, di mana mereka tinggal selama sepuluh bulan. Pada masa ini mereka tidak menerima makanan dan bantuan kesehatan yang cukup dari pemerintah Kabupaten Sampang. Beberapa anak menderita diare, infeksi sistem pernapasan, radang perut dan anemia ketika mereka tinggal di penampungan itu. Semasa mereka tinggal, mereka dilaporkan menghadapi intimidasi dan gangguan dari pemerintah lokal yang mendorong mereka untuk mengganti keimanan menjadi Islam Sunni sebagai syarat jika mereka ingin pulang ke rumah mereka. Tekanan semacam itu bisa masuk kategori pemaksaan yang akan merusak kebebasan memiliki atau menjalankan suatu agama pilihan seseorang, bertentangan dengan Pasal 18(2) dari ICCPR. Sejauh ini, anggota komunitas tersebut menolak mengganti agama mereka. Pada Juni 2013, pemerintah Kabupaten Sampang memaksa pindah komunitas tersebut ke sebuah fasilitas tempat tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah lokal terus mencegah mereka pulang ke desa mereka. Di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekitar 130 orang, termasuk perempuan dan anak yang merupakan bagian dari komunitas Ahmadiyya telah tinggal dalam akomodasi sementara selama lebih dari delapan tahun. Pada bulan Februari 2006, mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka di Ketapang, Kecamatan Lombok Barat setelah rumah-rumah mereka dihancurkan oleh gerombolan massa yang menyerang komunitas tersebut karena keyakinan agama mereka. Setelah serangan tersebut, polisi melakukan investigasi untuk
Indeks: ASA 21/030/2014
Amnesty International November 2014
8 8
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
mengidentifikasi para pelaku, tapi Amnesty International tidak tahu bila ada pelaku yang dibawa kehadapan pengadilan. Keluarga yang diusir paksa tidak bisa pulang dan membangun ulang kehidupan mereka karena pemerintah lokal tidak menjamin keamanan dan perlindungan mereka. Komunitas tersebut harus tinggal dalam tiga asrama berukuran 20 kali 8 meter, dengan seluruh keluarga tinggal di ruangan seluas tiga meter persegi, dipisahkan oleh spanduk dan sarung yang diikat dengan tali plastik. Fasilitas tersebut tidak memiliki fasilitas dasar. Air keran sering dimatikan oleh pihak berwenang dan tidak ada pasokan aliran listrik. Puluhan orang dewasa di penampungan tidak memiliki kartu identitas, karena menghadapi banyak rintangan untuk mendapatkannya; mereka yang meminta kartu identitas baru diminta menghapus kata Islam dari kolom “agama” ketika mengisi permohonan kepada pemerintah lokal. Karena mereka tidak memiliki kartu identitas, mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan dasar, termasuk pelayanan kesehatan gratis bagi orang miskin. Situasi ini tidak berkembang sejak itu (2006).
REKOMENDASI Amnesty International membuat rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut kepada pihak berwenang: Membebaskan secepatnya dan tanpa syarat semua tahanan nurani (prisoners of conscience) yang dikurangi kebebasannya semata-mata karena menjalankan secara damai hak kebebasan berekspresi dan berpikir, berkeyakinan dan beragama, atau menganut kepercayaan;
Mencabut semua ketentuan yang ada dalam Undang-Undang atau peraturan yang menerapkan pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dan berpikir, berkeyakinan dan beragama yang melampaui batas yang diizinkan berdasarkan hukum HAM internasional, atau memperbaiki ketentuan tersebut agar selaras dengan kewajiban HAM internasional Indonesia;
Mencabut ketentuan terkait penodaan agama dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang lainnya;
Mengambil langkah yang diperlukan agar kewajiban HAM internasional Indonesia memiliki efek di dalam penerapan hukum domestik, termasuk memastikan hakim dan jaksa di semua tingkatan mengetahui kewajiban tersebut dan perlunya melakukan interpretasi dan penerapan hukum nasional yang konsisten dengannya;
Mengambil langkah-langkah efektif, termasuk memastikan perlindungan polisi yang memadai, agar anggota minoritas keagamaan dilindungi dan bisa mempraktikan keyakinan mereka bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan;
Menjamin pemulangan secara aman, sukarela dan bermartabat dari komunitas keagamaan minoritas yang terusir, ke rumah mereka atau menyediakan pemindahan permanen tempat tingal beserta perumahan pengganti yang memadai di tempat lain di negeri itu, setelah menjalin konsultasi yang sungguh-sungguh dengan mereka; serta
Menunjukkan komitmen perlindungan kebebasan berekspresi dan beragama dengan
Amnesty International November 2014
Indeks: ASA 21/030/2014
Mengadili keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama Indonesia Ringkasan Eksekutif
9
melayangkan undangan kepada Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Beragama dan Kepercayaan untuk melakukan kunjungan, dan menjamin para pelapor khusus tersebut diberikan akses tak terbatas atas semua lokasi yang relevan dan agar bisa bertemu secara bebas serangkaian luas pemangku kepentingan, termasuk korban, organisasi masyarakat sipil, dan pejabat pemerintah.
Indeks: ASA 21/030/2014
Amnesty International November 2014
Amnesty International International Secretariat Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom www.amnesty.org