Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sesi Topik Khusus
Melestarikan Burung Bersama Para Pemangku Kepentingan MAS NOERDJITO Bagian Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Abstrak Perubahan tata guna lahan telah menyebabkan berbagai jenis burung di Indonesia menjadi rawan punah. Beberapa jenis diantaranya bahkan benar-benar telah punah, seperti Trulek jawa Vanellus macropterus dan Jalak bali Leucopsar rothschildi. Beberapa kejadian juga menunjukan bahwa perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat ternyata memberikan hasil sebaliknya. Sebagai contoh pembuatan ribuan hektar monokultur tanaman industri justru menimbulkan ledakan populasi serangga hama yang menghancurkan hutan tanaman itu sendiri. Karena itu banyak pemangku kepentingan dan pengambil keputusan menyimpulkan perlunya menata ulang “arsitektur” lahan dan melakukan penghijauan dalam arti luas. Permasalahanya adalah menentukan jenis serta kerapatan tumbuhan yang diperlukan sehingga terbentuk suatu ekosistem yang seimbang, termasuk berfungsinya satwa penyerbuk, pengendali hama, pemencar biji, serta pemangsa puncak. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh Ornitolog untuk melakukan usaha pelestarian burung. Langkah yang harus dilakukan antara lain: membuat daftar jenis burung di Indonesia dan daerah sebarannya, pemantauan untuk mengetahui jenis burung yang telah menjadi langka pada wilayah administratif tertentu, inventarisasi tumbuhan yang berfungsi sebagai penyedia pakab dan persarangan bagi jenis burung sepanjang tahun, menemukan jenis yang berstatus keystone, sehingga bisa dimanfaatkansebagai bagian dari bahan “penghijauan”. Pengetahuan mengenai pakan serta mikroklimat persarangan sangat bermanfaat sebagai landasan penangkaran di dalam kandang. Hasil penangkaran tentunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan re-introduksi.
- 100 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Pendidikan dan Penelitian Ornitologi di Institut Pertanian Bogor1 ANI MARDIASTUTI Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Abstrak Di Institut Pertanian Bogor (IPB), mata kuliah yang terkait dengan ornitologi dan konservasi burung diajarkan untuk mahasiswa S1 dan pascasarjana (S2, S3) pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE, Fakultas Kehutanan), Departemen Biologi (FMIPA) dan Departemen Ilmu Produksi Ternak (Fakultas Peternakan). Di Departemen KSHE, mata kuliah pilihan untuk mahasiswa S1 semester 7, “Biologi dan Konservasi Burung” telah diajarkan sejak tahun 1984, dengan kisaran jumlah mahasiswa 4-12 orang per semester. Mata kuliah untuk pascasarjana (pilihan) dimulai tahun 1984 dengan mahasiswa 1-4 orang per semester. Topik yang dipelajari adalah fungsi burung untuk manusia dan ekosistem, evolusi, keanekaragaman, klasifikasi, pengenalan spesies, anatomi dan fisiologi, aspek perkembangbiakan, migrasi, konservasi spesies dan habitat, upaya konservasi burung pada tingkat global dan nasional, serta metoda riset di lapangan. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar IPB hingga kini berjumlah 181 judul, terdiri dari skripsi (135 judul), thesis (24 judul), disertasi (3 judul) dan riset non-gelar (29 judul). Beberapa riset tematik multi-years adalah mengenai biologi dan ekologi walet Collocalia, ekologi burung air di Pulau Rambut (khususnya Bangau bluwok Mycteria cinerea), dan biologi serta ekologi Beo nias Gracula religiosa (termasuk aspek penangkarannya). Topik lain yang sering diteliti adalah mengenai Merak hijau Pavo muticus dan keanekaragaman burung pada berbagai tipe habitat, aspek ekologi dan habitat, reproduksi, burung sebagai indikator pencemaran lingkungan, perdagangan, serta perilaku burung di penangkaran. Di Departemen KSHE staf pengajar dengan spesialisasi biologi dan konservasi burung berjumlah 3 orang (1 bergelar Doktor, 1 orang kandidat doktor dan 1 orang bergelar MSc). Mahasiswa pengamat burung tergabung dalam Kelompok Pengamat Burung “Prenjak” yang memiliki anggota 20-30 orang.
Pendahuluan Di negara lain, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa, mata kuliah ornitologi sudah merupakan mata kuliah yang diajarkan sejak lama, bersama-sama dengan ilmu-ilmu lain seperti Ichtyology (biologi ikan), Herpetology (biologi reptila dan amfibia), Mammalogy (biologi mamalia) dan Primatology (biologi primata). Di Indonesia ternyata tidak semua universitas menawarkan ornitologi kepada mahasiswanya. Pakar perburungan Indonesia memperoleh banyak pengetahuan pada saat melanjutkan kuliah di luar negeri dan atau secara otodidak. Ornitologi sebagai suatu mata kuliah telah diajarkan di Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1984. Saat ini terdapat 2 mata kuliah yang terkait dengan perburungan, yaitu “Biologi dan Ekologi Burung” dan “Ornitologi”, keduanya tersedia untuk mahasiswa S1, S2 dan S3. Biologi dan Ekologi Burung diasuh oleh Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE, dulu bernama Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan) yang berada di bawah Fakultas Kehutanan, sementara “Ornitologi” diasuh oleh Departemen Biologi, FMIPA, walaupun staf pengajarnya berasal dari Departemen KSHE. Catatan Editor: Seiring dengan perubahan kurikulum yang terjadi di Institut Pertanian Bogor, mulai angkatan tahun 2005/2006 mata kuliah Ornitologi tidak lagi diajarkan sebagai mata kuliah reguler. 1
- 101 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkuliahan dan penelitian di Departemen KSHE yang memiliki staf pengajar dengan spesialisasi perburungan, sehingga merupakan ujung tombak perkuliahan dan penelitian ornitologi. Di Departemen Biologi kebetulan tidak ada staf pengajar/peneliti yang mengkhususkan diri pada burung. Perkuliahan Kuliah Perkuliahan di IPB dilaksanakan selama 14 minggu (atau 16 minggu jika dihitung dengan ujian tengah semester dan ujuan akhir semester). Mata kuliah yang terkait dengan ornitologi, baik untuk S1 maupun untuk pascasarjana (S2 dan S3) merupakan mata kuliah pilihan (semester 6 untuk S1 dan semester bebas untuk pascasarjana). Mahasiswa umumnya memilih mata kuliah ini karena memang menyukai seluk beluk burung dan atau akan mengambil topik burung untuk penelitian dalam rangka mengambil gelar Sarjana (S1), Magister (S2) atau Doktor (S3). Sebetulnya mata kuliah yang diajarkan di Departemen KSDHE lebih tepat disebut dengan Ekologi dan Konservasi Burung karena 2 alasan: (a) Departemen ini menangani bidang konservasi, sehingga mata kuliah yang bertemakan konservasi akan lebih cocok, (b) sesuai dengan definisi, ‘ornitologi’ adalah ilmu mengenai biologi burung, sementara mata kuliah yang diajarkan lebih menekankan bagaimana cara mengkonservasi burung berdasarkan pengetahuan biologi dan ekologi burung. Topik yang dipelajari adalah fungsi burung untuk manusia dan ekosistem, evolusi, keanekaragaman, klasifikasi, pengenalan spesies, anatomi dan fisiologi, aspek perkembangbiakan, migrasi, konservasi spesies dan habitat, upaya konservasi burung pada tingkat global dan nasional, serta metoda riset di lapangan. Topik mingguan selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Praktikum Praktikum mata kuliah Ornitologi di Departemen KSHE pada prinsipnya diarahkan agar mahasiswa dapat mengenali berbagai jenis burung pada beberapa tipe habitat yang berbeda. Praktikum ini dibimbing oleh staf pengajar dengan dibantu oleh beberapa orang asisten. Mengingat bahwa topik praktikum adalah pengenalan burung pada habitatnya, maka praktikum ini dilakukan pada pagi hari (6.00-8.00WIB) sebelum perkuliahan secara normal dilakukan, bahkan kadang-kadang menggunakan hari libur bila lokasi praktikum relatif jauh dari Kampus IPB. Setelah diperkenalkan dengan peralatan dan tata cara melakukan pengamatan dan pengenalan burung, mahasiswa melakukan pengamatan dan pengenalan burung pada tipe habitat tepian kota/rural area (kampus IPB Darmaga), tipe habitat hutan kota (Kebun Raya Bogor), mangrove dan lahan basah (Muara Angke, Pulau Rambut), hutan dataran rendah (Cangkurawok/hutan CIFOR) dan hutan pegunungan (Cibodas/Taman Nasional Gede Pangrango atau Taman Nasional Gunung Halimun). Disamping dilaksanakan praktikum pada berbagai tipe habitat, mahasiswa juga mengunjungi pasar burung untuk melakukan pengenalan terhadap spesies burung komersial (di pasar burung Bogor), serta pengenalan burung wilayah Wallacea dan Indonesia Timur (Taman Mini Indonesia Indah). Dahulu mahasiswa melakukan praktikum di Pasar Burung Pramuka (Jakarta) untuk mengenali jenis burung komersial, namun karena alasan keamanan kini mahasiswa tidak lagi melakukan praktikum di sana. Buku Teks Buku teks utama yang dipakai untuk perkuliahan adalah Avian Ecology: An Evolutionary Approach (J. Faaborg), Manual of Ornithology: Avian Structure & Function (Noble S. Proctor & Patrick J. Lynch). Buku lain yang dipakai sebagai bahan acuan adalah The Life of Birds (Joel C. Welty), Teknik –Teknik Lapangan Survei Burung (C. Bibby dkk.), buku-buku terbitan BirdLife - 102 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
International – Indonesia Programme dan Wetland International – Indonesia Programme yang terkait dengan konservasi burung, termasuk Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik (Sujatnika dkk.), Burung-Burung Terancam Punah di Indonesia (J. Shannaz dkk.), Saving Asia’s Threatened Birds: A Guide Government and Civil Society (Birdlife International), Burung Bangau, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok di Indonesia (T. Sibuea dkk.). Sedangkan buku teks yang sering dipakai di universitas lain (luar negeri) namun tidak dimiliki oleh perpustakaan atau dosen pengajar adalah Ornithology (Frank B. Gill). Untuk mahasiswa pascasarjana, buku teks yang dipakai adalah The Ecology of Bird Communitis (John A. Wiens) dan ditambah dengan beberapa buku teks lain seperti Avian Ecology (C.M. Perrins dan T.R. Birkhead). Beberapa buku bacaan S1 juga dipakai untuk mahasiswa pascasarjana, tentu saja dengan analisa yang lebih mendalam. Tabel 1. Silabus mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung yang diajarkan pada mahasiswa S1 pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Minggu ke 1 2 3 4, 5 6, 7 8 9, 10 11 12 13 14
Topik Pendahuluan Ruang lingkup, outline kuliah, penilaian, tugas-tugas, pengertian mengenai ornitologi, pengenalan pakar dan lembaga yang bergerak di bidang perburungan, fungsi burung untuk manusia Evolusi Burung Nenek moyang burung, Archaeopteryx lithographica dan ciri-cirinya, perbedaan Archaeopteryx dan burung atau reptil, beberapa fosil burung yang penting Adaptasi Burung untuk Spesialisasi Terbang Evolusi terbang (teori arboreal dan cursorial), struktur tulang, bentuk tubuh secara umum, adaptasi terbang (adaptasi utama, adaptasi tambahan, aerodinamika) Anatomi Burung Bagian-bagian tubuh burung, tipe dan fungsi bulu, pewarnaan bulu dan fungsinya, molting, macam-macam bentuk paruh dan bentuk cakar, fungsi bagian tubuh lain, pola terbang Keanekaragaman Burung Klasifikasi taksonomi, Klasifikasi ekologi, Sistem klasifikasi burung yang dipakai, pembagian ordo burung di dunia, pengenalan terhadap ordo dan famili yang penting Keanekaragaman Burung Indonesia Ciri-ciri dan pengenalan terhadap burung Indonesia barat, timur dan wilayah Wallacea Perilaku Burung Perilaku secara umum, perilaku sosial, perilaku bersuara, perilaku berpasangan, migrasi Perilaku Berbiak Telur dan peneluran, inkubasi, sarang dan tipe-tipe sarang, parasit anakan (brood parasitisme), perilaku pembesaran anakan Teknik Inventarisasi Burung Metode IPA, metode transek, metode pemetaan teritori, metode daftar spesies, metode look-see, metode lain Birdwatching dan Penelitian Burung Teknik pengamatan burung, pengatamatan terhadap habitat burung Konservasi Burung Mengapa perlu diadakan konservasi burung, status burung Indonesia, burung terancam punah, IBA dan EBA, upaya konservasi yang telah dilakukan
Jumlah Mahasiswa Mengingat bahwa mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung merupakan mata kuliah pilihan, maka jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini terbatas. Mahasiswa S1 pada Departemen KSHE rata-rata berjumlah 60 orang per tahun dan mereka dapat mengambil mata kuliah pilihan Biologi dan Ekologi Burung ini pada semester 7 (dari 8 semester yang dijadwalkan untuk mengambil gelar Sarjana). Jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini setiap tahun bervariasi antara 4-12 orang. Dengan demikian, hingga tahun 2005 ini diperkirakan sejumlah 100 orang lulusan Sarjana pernah mengambil mata kuliah ini. Beberapa mahasiswa (baik yang mengambil mata kuliah Biologi dan Ekologi Burung maupun yang tidak mengambil mata kuliah tersebut) dapat menggabungkan diri dalam Kelompok Pengamat Burung “Prenjak”. Keanggotaan dan keaktifan “Prenjak” sangat bervariasi setiap tahun. Jumlah anggota “Prenjak” kira-kira 20-30 orang. Untuk mahasiswa pascasarjana, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini tentu lebih sedikit, yaitu antara 1-4 orang per semester dan dapat diambil pada semester kapan saja (dari 4 semester yang dijadwalkan untuk mengambil gelar Magister dan 8 semester untuk - 103 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
mengambil gelar Doktor). Sampai saat ini, hingga tahun 2005 diperkirakan sejumlah 25 orang lulusan pascasarjana pernah mengambil mata kuliah ini. Staf pengajar Staf pengajar (dosen) yang memiliki spesialisasi biologi/konservasi burung di Departemen KSHE berjumlah 3 orang (1 orang memperoleh gelar PhD pada tahun 1992 dari Michigan State University, Amerika Serikat; 1 orang akan segera memperoleh gelar PhD dari Charles Darwin University, Darwin, Australia; 1 orang memperoleh gelar MScF pada tahun 1995 dari Gottingen University, Jerman). Ketiga staf pengajar tersebut sebetulnya memiliki latar belakang S1 dalam bidang kehutanan dan selanjutnya memilih ornitologi sebagai bidang spesialisasi untuk gelar yang lebih tinggi. Jumlah staf pengajar dan kepakarannya telah dianggap cukup untuk menyelenggararan perkuliahan dan pembimbingan dalam bidang ornitologi. Sering pula staf pengajar tersebut ‘dipinjam’ oleh universitas lain (misalnya Universitas Indonesia) untuk membimbing mahasiswa S1 dan pascasarjana, atau bertindak selaku penguji luar bagi mahasiswa pascasarjana. Staf pengajar bersama-sama mengelola mata kuliah, atau dengan kata lain mata kuliah ornitologi diajarkan oleh ketiga dosen tersebut secara bergiliran. Sistem ini sangat membantu kelancaran perkuliahan. Jika salah satu staf pengajar tiba-tiba tidak dapat memberikan kuliah, staf pengajar lain dapat menggantikan mengajar. Untuk melakukan penelitian S1, mahasiswa dibimbing oleh 2 orang dosen pembimbing, sementara untuk penelitian S2 biasanya jumlah pembimbing (bergelar Magister atau Doktor) adalah 2-3 orang. Sedangkan untuk S3 jumlah pembimbing bergelar doktor minimal 3 orang (biasanya 4 orang), salah satunya harus sudah memiliki gelar profesor. Pembimbing utama harus berasal dari departemen yang bersangkutan dan pembimbing lain dapat berasal dari departemen, fakultas atau universitas lain. Penelitian Jumlah Penelitian Dari skipsi, thesis, disertasi dan laporan yang terdapat di berbagai perpustakaan di IPB diketahui bahwa jumlah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar IPB (1984-2005) berjumlah 181 judul, terdiri dari skripsi (135 judul), thesis (24 judul), disertasi (3 judul) dan riset non-gelar (29 judul) atau sebanyak rata-rata 8,5 judul per tahun. Tahun dengan jumlah penelitian burung terbanyak terjadi pada 1997 yang mencapai 22 judul. Selain dilakukan oleh staf pengajar dan mahasiswa di Departemen KSHE dan Departemen Biologi, beberapa penelitian juga dilakukan oleh departemen lain di IPB, yaitu Departemen Budidaya Pertanian dan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian (Fakultas Pertanian), Departemen Anatomi (Fakultas Kedokteran Hewan), Departemen Ilmu Produksi Ternak dan Departemen Sosial, Ekonomi dan Industri Peternakan (Fakultas Peternakan), Departemen Teknologi Pangan dan Gizi (Fakultas Teknologi Pertanian), Departemen Biologi (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam). Topik Penelitian Penelitian yang selama ini (1984-2005) dilakukan oleh para mahasiswa dan staf pengajar di IPB sangat bervariasi, baik dalam hal wilayah geografis, pemilihan spesies, pemilihan topik, maupun rentang waktu pelaksanaan penelitian. Dalam hal wilayah geografis, penelitian pernah di dilakukan pada 7 wilayah biogeografi Indonesia, walaupun lokasi terbanyak yang dipilih adalah Bogor-Jakarta. Jika dipilah berdasarkan tipe habitat, tampak bahwa penelitian yang belum pernah dilaksanakan adalah mengenai burung laut. Penelitian dapat berlangsung secara singkat (1 bulan) hingga jangka panjang (3 tahun). Penelitian untuk S1 umumnya berlangsung antara 1-3 bulan, untuk S2 selama 3 bulan -1 tahun - 104 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
dan untuk S3 dapat berlangsung selama 6 bulan – 3 tahun. Topik kajian yang dipilih oleh para peneliti cukup bervariasi (Gambar 1). Ekologi dan konservasi, analisa habitat dan kajian keanekaragaman burung mendominasi topik untuk skripsi S1. Jika dilihat berdasarkan spesies, maka walet Collocalia spp., Bangau bluwok Mycteria cinerea, Beo nias Gracula religiosa dan Merak hijau Pavo muticus merupakan spesies yang paling sering diteliti. Beberapa topik penelitian telah memadukan ornitologi dengan bidang lain, misalnya dengan bidang kualitas lingkungan (misal kandungan DDT pada burung air), bidang sosial-ekonomi (misal menghitung biaya dan keuntungan dari budidaya walet), serta dengan teknologi Geographical Information System (misal mengidentifikasi habitat dalam skala geografis luas yang sesuai dengan jenis/kelompok burung tertentu). erjasama dengan pihak lain untuk melakukan penelitian telah pula dilaksanakan, misalnya dengan Balitbang Biologi LIPI, Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional (Departemen Kehutanan) pada berbagai lokasi, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, maupun dengan perorangan. Sumber Dana Penelitian Penelitian jangka pendek yang dilaksanakan untuk mengambil gelar S1 kebanyakan didanai oleh mahasiswa yang bersangkutan. Itu sebabnya penelitian banyak yang dilakukan di sekitar Bogor (termasuk Jakarta dan sekitarnya) atau di dekat tempat tinggal (orangtua) mahasiswa. Beberapa tahun yang lalu Fakultas Kehutanan pernah memberikan bantuan dana untuk penelitian. Sayangnya program ini tidak dapat berlangsung lama karena adanya kesulitan dana yang dihadapi universitas. P erilaku di pena ngkara n, 9 Bio lo gi dan Mo rfo lo gi, 9
Re pro duks i, 13
Repro duks i, 5
P erdagangan dan pro duk burung, 7 Wis a ta dan eko turis me, 2
Wis ata dan eko turis me, 1
Genetika, 1
Keanekaragaman jenis burung, 6
Lain-lain, 6 Eko lo gi dan ko ns ervas i, 29
Lain-lain, 1
Bio lo gi dan Mo rfo lo gi, 4 Keanekaragaman jenis burung, 16
Kelimpahan dan po pulas i, 8
Upaya penangkaran, 5
Burung dan pencemaran, 5
Habitat, 25
A
B urung dan pencemaran, 1
P erdagangan dan pro duk burung, 1
Upaya penangkaran, 1 Eko lo gi dan ko ns ervas i, 7
B
Gambar 1. Jumlah judul penelitian S1 (A, n=135) dan pascasarjana (B, n=27) yang dilakukan di Institut Pertanian Bogor berdasarkan topik kajian, 1984-2005.
Sumber pendanaan yang lain adalah dari lembaga/perusahaan di mana penelitian tersebut dilaksanakan, misalnya dari European Union, LIPI, RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) dan Unocal Geothermal (Gunung Salak/Halimun). Selain itu, beberapa mahasiswa telah berhasil mendapatkan hibah kompetisi dari sponsor internasional, misalnya BP (British Petroleum) Award. Alternatif lain untuk mendanai penelitian adalah dengan turut serta melakukan penelitian bersama staf pengajar yang memiliki sumber dana. Keberadaan dan kelanggengan penelitian burung dalam jangka pajang (multi-years) yang tidak untuk mengambil gelar tertentu ternyata juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Penelitian mengenai walet Collocalia spp. selama 3 tahun (1999-2002), misalnya, dapat terlaksana karena adanya dana kompetitif dari Riset - 105 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Unggulan Terpadu IX, demikian pula dengan penelitian mengenai Beo nias Gracula religiosa dengan sumber pendanaan yang sama. Penelitian lain yang juga berjangka panjang adalah mengenai ekologi Bangau Bluwok Mycteria cinerea di Pulau Rambut (2001 hingga kini) yang memperoleh sumbangan dana dari Wildlife Trust, Amerika Serikat. Kendala Dalam kegiatan perkuliahan, buku teks standar yang tersedia ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga sebagian besar mahasiswa merasa kesulitan untuk memahaminya. Buku teks ini tersedia di perpustakaan. Mahasiswa dapat pula meminjam dari dosen pengajar untuk dibaca dan/atau difotokopi. Untuk praktikum, kendala yang dihadapi adalah terbatasnya alat (binokuler atau monokuler) dan buku panduan lapang untuk pengenalan burung. Biasanya mahasiswa meminjam peralatan dan buku panduan lapang dari Laboratorium Ekologi Satwaliar dan sesekali meminjam dari BirdLife Indonesia. Peralatan untuk pengamatan burung dapat dikatakan mahal untuk mahasiswa sehingga tidak semua mahasiswa dapat memiliki binokuler sendiri. Sementara itu, harga buku “Panduan Pengenalan Burung Sumatera, Kalimantan dan dan Jawa”2 sebetulnya dapat terjangkau oleh mahasiswa, namun sayangnya buku panduan ini sudah tidak tersedia lagi karena pasokan habis. Riset dan praktikum dengan menggunakan jaring kabut (mist net) juga jarang dilakukan karena sulitnya memperoleh jaring kabut. Departemen KSHE memiliki beberapa jaring kabut yang merupakan hadiah dari rekan peneliti dari Jepang. Kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh cincin dan perlengkapannya (biasanya merupakan hadiah dari peneliti asing). Selain itu, sesungguhnya Indonesia masih belum punya sistem standardisasi dan sertifikasi untuk pencincinan burung ini. Kendala lain yang dirasakan dalam mengembangkan keilmuan ornitologi ini adalah terbatasnya jurnal ilmiah mengenai burung. Indonesia memiliki satu jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang dikhususkan untuk burung, yakni “Kukila”. Jurnal internasional lain mengenai burung sangat sulit diperoleh, khususnya jurnal terbaru. Hal ini menjadi kendala utama bagi para peneliti/dosen yang berkeinginan untuk memasukkan naskah ke salah satu jurnal internasional sehingga jumlah naskah peneliti burung dari IPB yang dipublikasikan pada jurnal internasional untuk burung (misal Condor, Emu, Wilson Bulletin, Forktail, Waterbirds) berjumlah sangat sedikit. Penutup Selama ini perkembangan ornitologi di Indonesia lebih banyak didominasi oleh orang-orang asing. Salah satu misi yang diemban oleh Departemen yang mengasuh ornitologi di IPB adalah ‘mencetak’ lebih banyak ilmuwan perburungan Indonesia agar ilmu perburungan Indonesia dapat dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia sendiri. Melalui informasi yang disampaikan dalam makalah ini diharapkan para ornitolog Indonesia dapat lebih memahami situasi, kondisi dan kendala yang dihadapi oleh IPB dan staf pengajarnya dalam memajukan keilmuan ornitologi. Saran, kritik dan bantuan berupa saran dan materi perkuliahan akan sangat dinantikan untuk kemajuan ilmu ini di IPB dan di Indonesia. Ucapan terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Insan Kurnia yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi yang disajikan dalam makalah ini.
MacKinnon, J; K. Phillipps & B. van Balen. 1998. Seri Panduan Lapangan; Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. BirdLife International-Indonesia Programme/Puslitbang Biologi LIPI. Cibinong. 2
- 106 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Burung Secara Lestari: Kasus Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) MADE S. PRANA (Pelestari Burung Indonesia, Puslit Bioteknologi LIPI)
Abstrak Idealnya pelestarian sumberdaya hayati apapun, termasuk burung ocehan, yang terbaik adalah melakukannya secara in situ karena selain praktis, cara ini juga memberi peluang seluas-luasnya bagi jenis yang bersangkutan untuk melanjutkan proses evolusinya secara alami. Hal ini tentu juga menuntut dilakukannya pelestarian ekosistem sebagai suatu kesatuan di mana jenis yang bersngkutan merupakan salah satu komponennya. Sayang sekali kenyataan yang terlihat di lapangan, khususnya di Indonesia, kondisinya sudah sangat jauh dari ideal. Hampir keseluruhan kawasan hutan dan ekosistem mengalami rusak berat, tidak terkecuali kawasan yang secara formal telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. Proses ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan terus berlanjut bahkan dengan intensitas dan ekstensitas yang semakin memprihatinkan. Kondisi ini semakin diperparah lagi oleh praktek eksploitasi sumberdaya burung (penangkapan/perburuan) yang dilakukan tanpa kendali dan secara berlebihan untuk berbagai keperluan, guna memenuhi pasar domestik maupun untuk ekspor. Situasi seperti itulah yang dialami oleh jenis-jenis burung ocehan, yang populasinya semakin menipis sementara habitatnya di alam terus menerus mengalami gangguan, terutama oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Dalam situasi seperti itu, mengandalkan ketangguhan teknik konservasi in situ semata-mata untuk mempertahankan populasi burung ocehan di alam sangatlah tidak realistis karena berbagai faktor pendukung nyatanya sudah tidak lagi ideal. Konservasi secara ex situ didukung dengan program penangkaran yang handal harus dikembangkan untuk mewujudkan konsep pemanfaatan sumberdaya, khususnya burung ocehan, secara lestari. Hal inilah yang sedang dirintis oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI).
Pendahuluan Dengan jumlah kekayaan yang mencapai 1534 jenis burung (Andrew, 1992), Indonesia sebenarnya memiliki sekitar 17 % kekayaan sumberdaya burung dunia. Hal ini tentu tidak terlepas dari keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia, letaknya yang strategis diantara dua benua, yaitu Asia dan Australia, serta kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Sungguh sangat disayangkan sebab selama lebih dari 30 tahun terakhir hutan sebagai habitat burung utama di Indonesia nyaris telah dibabat habis, baik secara legal maupun liar, tanpa kecuali kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung. Sementara itu, habitat burung lainnya juga tidak luput dari gangguan perusakan atau pencemaran yang berdampak sangat negatif terhadap kehidupan burung. Di pihak lain perburuan terhadap burung untuk berbagai keperluan, sebagai bahan pangan atau kelangenan, guna memenuhi kebutuhan lokal ataupun untuk tujuan ekspor terus berlanjut, bahkan dengan kecepatan yang semakin memprihatinkan. Belum lagi dampak dari penggunaan berbagai bahan kimia di sektor pertanian, - 107 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
khususnya pestisida, yang terpaksa diterapkan demi menunjang keberhasilan revolusi hijau. Praktek yang sama juga terjadi di sektor lain, misalnya perkebunan. Akibatnya daftar jenis burung yang populasinya tererosi berat atau terancam punah, dan karena itu harus dilindungi, dari waktu ke waktu semakin panjang. Daftar panjang jenis burung yang dilindungi ini di satu sisi memperlihatkan kepada dunia betapa sadarnya bangsa ini terhadap pentingnya pelestarian burung sehingga memandang perlu untuk meningkatkan status burung tertentu menjadi jenis yang dilindungi, walaupun hanya sebatas formal. Namun di sisi lain, daftar yang terus bertumbuh itu sekaligus juga mencerminkan betapa tidak berdayanya Indonesia untuk menekan proses erosi populasi sumberdaya burung yang menjadi kebanggannya itu. Barangkali tidaklah terlalu berlebih seandainya dikatakan bahwa program konservasi di Indonesia pada umumnya dilaksanakan masih dengan setengah hati. Secara garis besar konservasi sumberdaya hayati, termasuk burung, dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara in situ yang berarti melestarikan di habitat aslinya dan ex situ yang berarti melestarikan jenis di luar habitat aslinya. Tidak ada yang bisa membantah bahwa konservasi secara in situ adalah yang paling ideal untuk dilakukan mengingat dengan cara itu proses evolusi, yaitu mutasi dan seleksi, masih tetap berjalan secara alami mengikuti perubahan lingkungan mikro mapun makro. Dalam bahasa ilmiah “alamlah” atau bahasa Agama “Tuhanlah” dan “bukan manusia” yang memilih dan menentukan genotip mana yang pantas untuk terus bertahan dan melanjutkan generasinya di dunia ini. Dalam situasi ideal seperti itu peran konservasi secara ex situ hampir tidak berarti untuk tidak dikatakan tidak diperlukan. Namun seperti diuraikan di atas, kondisi lingkungan sudah tidak lagi ideal. Hal ini terjadi terutama karena manusia sudah merubah posisi dan perannya. Dia tidak lagi memposisikan dirinya sebagai komponen ekosistem yang tunduk pada hukum menerima dan memberi (take and give), melainkan sudah keluar dari ekosistem dan berperan sebagi “pengendali”, dalam konotasi negatip, dari ekosistem itu sendiri. Sifat egois manusia telah mendorongnya menjadi raja diraja, mengeksploitasi alam sepuas-puasnya untuk kepentingan jenisnya, kepentingan segelintir orang atau bahkan sesosok individu, dengan resiko mengorbankan generasi berikutnya. Akibatnya peluang hidup berbagai jenis biota, termasuk burung ocehan, di alam benar-benar di ambang jurang kepunahan. Mempertimbangkan situasi memprihatinkan seperti itu, kelompok konservasionis idealis sekalipun seyogyanya perlu memikirkan dukungan konservasi ex situ, meskipun bukan sebagai alternatif melainkan sebagai pelengkap (complement) dari pelestarian in situ. Hal itulah yang sejak beberapa tahun yang lalu (1998) dirintis oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI) dengan fokus perhatian pada jenis-jenis burung lokal yang disertakan atau pernah disertakan dalam lomba/kontes. Sekilas tentang PBI Tahun 1973 sekelompok penggemar burung kelangenan mendirikan suatu wadah organisasi bagi para penggemar burung yang mereka namakan Perhimpunan Burung Indonesia, atau disingkat PBI, the Indonesian Ornithological Society (IOS). Organisasi ini terus berkembang ke daerahdaerah terutama di Jawa dan Bali. Tanpa jelas siapa yang memulai dan kapan dimulai, arena kumpul iseng-iseng bersama sambil memamerkan burung piaraan masing-masing, berubah menjadi arena lomba burung berhadiah. Tradisi baru ini diyakini bisa menjadi peluang bisnis baru, yaitu usaha penyelenggaraan lomba burung (event/contest organizer), yang akhirnya ditiru oleh kelompok-kelompok lain di luar PBI. Kontes ini menjadi semakin marak dan menarik, bahkan meluas sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Hadiah yang diberikan juga tidak sebatas trofi atau piala, melainkan sudah sampai ke mobil atau rumah atau bahkan uang tunai.
- 108 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Jenis burung yang dilombakan sangat beraneka ragam, nyaris asal bisa bunyi, terkadang sulit untuk diklasifikasikan sebagai burung ocehan atau berkicau, yang mencakup jenis asli (lihat lampiran 1) Indonesia maupun jenis-jenis pendatang/impor seperti love bird, poksay, canary, jalak hongkong, black throat dan sebagainya. Jumlah burung yang disertakan juga meningkat, bahkan bisa mencapai 2.000 ekor atau lebih dalam suatu kontes besar. Akibatnya berbagai jenis burung lokal mulai terindikasi mengalami proses pelangkaan yang serius karena kegiatan penangkapan semakin intensif dan meluas ke berbagai daerah/pulau. Upaya evaluasi yang dilakukan PBI terhadap situasi tahun 1998 menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan sebagai berikut : 1. Lomba/kontes burung ocehan sudah berkembang menjadi suatu budaya yang sulit dihentikan. 2. PBI , terutama di daerah, sudah terlalu jauh terlibat dalam penyelenggaraan lomba burung 3. PBI secara kelembagaan belum tertata dengan baik, karena hanya memiliki Pengurus inti, Anggaran Dasar yang sederhana, tanpa memiliki Anggaran Rumah Tangga apalagi perangkat peraturan lainnya sebagaimana layaknya sebuah organisasi yang sehat. 4. Organisasi PBI secara realita sebenarnya lebih banyak menghimpun penggemar lomba burung daripada pencinta burung yang sesungguhnya. 5. Yang menggembirakan adalah bahwa cukup banyak anggota pengurus pusat dan daerah yang masih bisa diajak berbicara soal konservasi walaupun tindakannya sehari-hari sering bersebrangan. 6. Usaha sebagai “organizer” lomba burung mulai berkembang sebagai peluang baru usaha ekonomi yang menjanjikan. Menanggapi kenyataan seperti itu, PBI segera melakukan berbagai upaya pembenahan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Menyempurnakan Anggaran Dasar dan menyusun serta menetapkan Anggaran Rumah Tangga PBI. 2. Menyusun berbagai peraturan organisasi lainnya, termasuk peraturam lomba burung, untuk meningkatkan kualitas PBI sebagai suatu organisasi 3. Menetapkan pengurus baru yang dilengkapi dengan beberapa bidang penting seperti Bidang Pengendalian Lomba, dan Bidang Konservasi. 4. Mengukuhkan legalitas PBI melalui Akte Notaris 5. Melakukan pembinaan pengurus dan konsolidasi organisasi. 6. Menetapkan lomba burung yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya burung secara lestari sebagai tekad PBI Upaya ini tentu harus dimulai dari dan oleh PBI sendiri. Untuk itu PBI menetapkan pengendalian lomba dan penangkaran sebagai pilar-pilar utama programnya. Peran penangkaran Penangkaran dapat memberikan kontribusi nyata pada pelestarian minimal melalui dua cara. Pertama menyediakan pasokan (supply) burung untuk memenuhi kebutuhan para penggemar/peminat burung, baik local (domestik) maupun manca negara, sehingga mengurangi tekanan terhadap populasi burung di alam. Kedua, menyediakan burung-burung yang sehat dan memiliki dasar genetik (genetic base) yang luas (beragam) serta berkualitas (terpilih) untuk dikembalikan lagi ke alam/habitat aslinya melalui program reintroduksi. Hal yang terakhir ini sudah pernah diwujudkan di Indonesia melalui program penyelamatan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat, meskipun hasilnya sangat mengecewakan.
- 109 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
Sementara itu berbagai jenis burung Indonesia, termasuk burung paruh bengkok, kini sudah ditangkarkan secara berhasil di beberapa negara tetangga, seperti Thailand, Filipina dan Singapura dan hasilnya sudah diperdagangkan secara legal kemanca negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Jalak Bali adalah salah satu contoh sukses negara luar, terutama Amerika Serikat dan Eropa, dalam menangkarkan jenis endemic Indonesia yang kini sudah nyaris punah di habitat aslinya. Contoh lain adalah jenis-jenis burung paruh bengkok (kasturi raja, kakatua Maluku, dan kakatua raja dll.) yang juga telah berhasil ditangkarkan secara komersial oleh penangkar profesional di Singapura. Sayangnya, karena berbagai kendala, keberhasilan serupa belum terlihat secara signifikan di Indonesia. Namun demikian, berbagai kisah keberhasilan di atas, telah mampu memberikan inspirasi dan optimisme bahwa asalkan ada kemauan kuat maka keberhasilan serupa juga bisa diraih oleh Indonesia. Berbekal keyakinan itu PBI mulai melakukan upaya serius untuk menggalakkan kegiatan penangkaran di kalangan para anggotanya. Langkah-langkah yang ditempuh untuk itu antara lain: 1. Melakukan pendekatan dengan beberapa penangkar burung perintis untuk memotivasi mereka agar berkarya lebih baik lagi 2. Mendorong para penangkar sukses tersebut untuk mau menularkan ilmunya kepada caloncalon penangkar lain yang berminat. 3. Menyelenggarakan pelatihan dan loka karya bagi para penangkar dan calon penangkar dengan memposisikan penangkar sukses sebagai instruktur. 4. Memberikan penghargaan berupa sertifikat kepada para penangkar yang berhasil. 5. Menyediakan kredit bergulir (tanpa bunga) bagi penangkar yang memerlukan bantuan modal 6. Mewajibkan setiap pengurus cabang PBI untuk membina penangkar di daerah kerja masing-masing. Berkat kegigihan para pengurusnya, secara bertahap PBI mampu mendorong kegiatan penangkaran di berbagai daerah sehingga kini penangkaran sudah menjadi usaha ekonomi yang sangat menguntungkan. Jumlah penangkar yang semula bisa dihitung dengan jari terus berkembang secara pesat. Pada bulan Juli tahun 2004 yang lalu sejumlah 93 penangkar yang berhimpun di Yogyakarta atas undangan PBI telah mendeklarasikan terbentuknya Asosiasi Penangkar Burung Indonesia (APBI). Mereka sekaligus juga enyatakan berdiri di bawah panjipanji PBI. Pada saat penyelenggaraan loka karaya APBI kedua, tanggal 15 Januari 2005, jumlah anggota APBI telah mencapai lebih dari 250 orang. Mereka terdiri dari penangkar besar, menengah, dan kecil. Yang sangat menggembirakan adalah mereka semua hadir dengan antusiasme yang tinggi. Sejalan dengan itu jumlah jenis burung yang berhasil ditangkarkan juga bertambah, tidak terbatas pada burung ocehan tetapi juga jenis burung lainnya seperti jalak, merak dsb. Mengikuti perkembangan penangkaran burung ocehan, ada beberapa fakta menarik yang perlu diungkapkan : 1. Hanya sebagian kecil saja di antara para pemain lomba burung yang berminat pada usaha penangkaran 2. Hampir seluruh penangkar yang berhasil, lebih mengandalkan pada semangat dan keuletan menangkar daripada karena latar belakang pendidikan. Di antara mereka memang ada yang bergelar sarjana namun dengan latar belakang pendidikan ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu tanah, pos, atau ilmu sosial lainnya yang jauh dari cakupan biologi.
- 110 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
3. Pelatihan oleh penangkar yang sukses, meskipun bukan sarjana, ternyata sangat efektif. Suasana akrab dan bahasa sederhana yang mereka pakai terbukti sangat komunikatif dan efektif untuk model pelatihan bagi para praktisi atau calon praktisi penangkar. 4. Cukup banyak teknologi terobosan yang telah mereka hasilkan, meskipun penjelasan teoritisnya mungkin masih harus dicari. Beberapa diantara teknologi terobosan dimaksud antara lain kemampuan untuk memaksa pasangan dadakan burung (murai batu) bisa kawin kilat sesuai keinginan pemilik, menitipkan telur cucak rawa pada burung lain (kenari, kutilang) untuk melanjutkan proses pengeraman), menetapkan jenis kelamin anak burung pada umur dini (pada anis kembang dll.), perawatan piyik dll. Hal yang terakhir ini (butir 4) jelas membutuhkan penjelasan ilmiah melalui berbagai penelitian ilmiah. Artinya, terbuka peluang bagi para ilmuwan, termasuk peneliti muda, untuk terlibat guna mencari jawaban atas fenomena tersebut sekaligus mengembangkan bakat dan kemampuannya. Menciptakan lingkungan yang kondusif Mendorong usaha penangkaran hanya dengan beragam upaya yang telah diuraikan di atas belumlah cukup. Hasil penangkaran yang berlimpah tidak dengan sendirinya mengakibatkan lomba burung berubah dari lomba hasil tangkapan menjadi lomba hasil penangkaran. Banyak upaya yang masih harus dilakukan oleh PBI untuk memuluskan jalan kea rah itu, antara lain: 1. Mewajibkan setiap daerah (propinsi) untuk menyelenggarakan lomba khusus hasil penangkaran (mega lomba) di samping jensi-jenis lomba lain 2. Mewajibkan setiap lomba bergengsi (lomba nasional dan lomba koalisi) untuk menyertakan burung hasil penangkaran. 3. Memberi keringanan biaya pendaftaran untuk burung hasil penangkaran 4. Memberikan hadiah khusus bagi burung pemenang hasil penangkaran (subsidi dari PBI pusat). 5. Memberikan pembinaan kepada para penangkar secara terus menerus (prioritas program kerja PBI sekarang) 6. Mengurangi jumlah jenis burung lokal yang boleh dilombakan, kecuali kalau itu hasil penangkaran. 7. Melakukan pengawasan lomba secara ketat oleh tim khusus (Dewan Pengawas Lomba Burung Berkicau) dan menerapkan sanksi terhadap para pelanggar secara konsisten. 8. Menetapkan tahun 2010 sebagai tahun total lomba hasil penangkaran (belum diumumkan). Untuk mewujudkan keinginan lomba total hasil penangkaran tidaklah mudah mengingat masih banyak organizer lomba yang lain, diluar kendali PBI, yang memberikan berbagai insentif berlebih kepada para peserta lomba, misalnya hadiah yang tidak terbatas (termasuk berupa uang tunai), jenis burung yang dilombakan bebas, tidak ada kewajiban menyertakan hasil penangkaran, lomba burung tidak harus hari Minggu dsb. Namun demikian, dengan perpaduan antara upaya mendorong kegiatan penangkaran di satu pihak dan meningkatkan kepesertaan burung hasil penangkaran di pihak lain, lomba burung hasil penangkaran di lingkungan PBI yang pada tahun 1999 hanya diikuti tiga peserta, kini sudah berhasil menghadirkan puluhan burung hasil penangkaran sebagai peserta. Tantangan ke depan Jalan perjuangan yang harus ditempuh PBI masih sangat panjang, termasuk meyakinkan organizer lainnya bahwa lomba burung hasil tangkapan yang selama ini masih bisa mereka nikmati, harus segera diakhiri. Hal lain yang diperlukan adalah membantu para penangkar untuk mendapatkan ijin usaha yang sah dari Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PHKA. Hal ini penting agar mereka dapat menjalankan usahanya dengan perasaan tentram. Selain itu belum semua jenis - 111 -
Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU)-2007
burung ocehan yang dilombakan teknik penangkarannya sudah bisa dikuasai dengan baik. Anis merah adalah salah satu diantaranya yang masih sangat sulit untuk ditangkarkan. Laporan keberhasilan penangkaran jenis burung ini memang ada, namun sejauh ini keberhasilan itu belumdapat dikonfirmasikan. Kembali, hal ini membuka peluang bagi peneliti muda untuk tampil ke depan dan menjadikan masalah ini justru sebagai suatu tantangan. Terakhir, apabila kondisi sudah memungkinkan, lingkungan dan habitat burung sudah tertata baik, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati sudah tinggi, maka tibalah saatnya untuk melakukan program reintroduksi burung ocehan ke alam. Ucapan terima kasih Bantuan yang diberikan oleh Sdr. Ir. Endang Budi Utami, khususnya dalam pengecekan daftar jenis burung yang dilombakan sangat dihargai.
Daftar pustaka Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia: A Checklist (Peter’s sequence). Indonesian Ornithological Society, Jakarta, 83 hal. McKinnon, J., K.Phillips,a nd Bas van Balen. 1992. Bururng-burung Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor, 509 hal Sastrapradja, D.S., S.Adisoemarto, K. kartawinata, S. Sastrapradja, and M.A. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup bangsa, Puslitbang Bioteknologi LIPI, Bogor, 98 hal.
Lampiran 1. Daftar jenis burung lokal yang tercatat pernah disertakan dalam lomba.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Nama ilmiah/Scientific names Pycnonotus zeylanicus Copsychus malabaricus Zoothera citrina Zoothera interpres Chloropsis sonnerati Copsyhus saularis Mirafra javanica Sturnus contra Prinia inornata Zosterops palpebrosus Padda oryzivora Saxicola caprata Pycnonotus aurigaster Lanius schach Rhipidura spp. Pycnonotus goiavier Passer montanus Taeniopygia spp. Lonchura spp. Prinia familiaris Psittacula alexandri Alophoixus bres Yornis rufigastra
Nama daerah/ Lokal names Cucak rawa Murai batu Anis/punglor merah Anis/punglor kembang Cucak hijau Kacer Branjangan Jalak suren Perenjak Kaca mata Gelatik Decu Kutilang Bentet/cendet Kipasan Cerucukan Gereja Emprit/Pipit Bondol Ciblek/prenjak Jawa Betet Cucak jenggot Sikatan/tledekan
Nama umum/ Common names Straw –headed bulbul White-rumpede shama Orange-headed thrush Chesnut-capped thrush Greater green leafbird Magpie robin Australian lark Asian Pied starling Plain prinia Oriental white-eye Java sparrow Pied buschat Sooty-headed bulbul Long-tailed shrike Flycatcher Yellow-vented bulbul Eurasian-tree sparrow Finch Munia Bar-winged prinia Read-breasted parakeet Grey-checked bulbul Mangrove blue-fly catcher
- 112 -