62
Berdasarkan konsep ekonomi ekologi, maka penting dalam kebijakan pengelolaan TNDS untuk memperhatikan NET. Hal ini berkaitan dengan karakteristik dari sumberdaya alam TNDS yang menghasilkan barang dan jasa lingkungan yang umumnya merupakan barang publik atau dikenal sebagai common-pool resources (Ostrom 2008). Dari hasil penilaian ekonomi yang telah dilakukan maka telah diketahui pula fungsi, manfaat dan nilai dari kawasan TNDS. Berdasarkan hasil tersebut maka pengelola dan penjaga kawasan konservasi mempunyai hak untuk memperoleh imbalan jasa yang wajar. Dalam penentuan besar imbal jasa, diperlukan paling tidak dua prinsip yaitu Poluter Pay Principle (PPP) dan User Pay Principle (UPP). PPP adalah siapa yang membuat polusi harus membayar, dan UPP adalah siapa yang menggunakan jasa lingkungan harus membayar. PPP membuat seluruh pelaku ekonomi sadar mengenai seluruh biaya termasuk biaya lingkungan, sehingga mereka sadar dan dapat menghindarkan, mengurangi atau mengembalikan fungsi hutan kearah kondisi awalnya. Sedangkan untuk pengguna hutan, UPP berupaya untuk mengenakan ongkos yang dapat merefleksikan nilai dari sumberdaya alam yang mereka gunakan sehingga dapat menjamin tidak terjadinya penggunaan yang berlebihan atau kerusakan sumberdaya alam. Tidak diterapkannya kedua prinsip ini dapat menimbulkan insentif ekonomi untuk memanfaatkan kawasan penghasil jasa lingkungan secara berlebihan, dan menimbulkan eksternalitas ekonomi. Instrumen yang sudah berjalan seperti DR dan PSDH umumnya berlaku untuk setiap m3 barang tangible seperti kayu dan non kayu, dan bukan untuk jasa lingkungan yang dihasilkan. Karena itu, pajak terhadap jasa lingkungan kawasan konservasi sudah waktunya untuk diberlakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam bentuk finansial maupun non finansial seperti fasilitas pendidikan dan pelatihan masyarakat hulu, kesehatan masyarakat hulu, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan. Payment Environmental Services (PES) juga dapat menjadi pilihan dalam upaya penerapan imbal jasa lingkungan yang dihasilkan. Dalam penerapannya diperlukan kelembagaan yang mantap sehingga PES yang diterapkan dapat mencapai sasaran yg diharapkan.
6 PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TNDS Banyaknya manfaat serta tingginya nilai ekonomi tentunya menarik perhatian berbagai pihak dalam kegiatan pengelolaan TNDS. Banyaknya pihak yang berkepentingan tentunya dapat menimbulkan konflik bila terdapat perbedaan tujuan dan kesamaan kepentingan terhadap kawasan. Oleh karena itu kajian pemangku kepentingan dilakukan untuk melihat siapa saja, bagaimana kedudukan dan bagaimana hubungan yang terjadi diantara pemangku kepentingan yang ada di TNDS.
63
Identifikasi Pemangku Kepentingan Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS Pemangku kepentingan Balai Taman Nasional Danau Sentarum BAPPEDA Kab Kapuas Hulu Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab Kapuas Hulu Dinas Perikanan Kab Kapuas Hulu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab Kapuas Hulu Nelayan/Melayu Dayak Iban Dayak Kantuk Dayak Embaloh Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) Riak Bumi WWF & HOB Indonesia Flora Fauna Indonesia Yayasan Titian PRCF Indonesia CANOPY Indonesia Universitas Tanjungpura (UNTAN) Centre for International Forestry Research (CIFOR) Sumber: Hasil Analisis Data, 2012.
Keterangan Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat LSM LSM LSM LSM LSM LSM Lembaga Penelitian Lembaga Penelitian
BTNDS merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertanggung jawab dalam pengelolaan TNDS. Ditinjau dari struktur organisasi Kementerian Kehutanan, keberadaan BTNDS (dari sisi geografis/lokasi) tidak berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi, tetapi merupakan perpanjangan tangan dari Direktur Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan. Balai adalah institusi yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola TNDS sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, BTNDS tidak sendirian. BTNDS telah membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga lain yang mempunyai misi kelestarian TNDS. Kerjasama kemitraan dalam pengelolaan kawasan Danau Sentarum telah dilakukan sejak kawasan ini berstatus Suaka Margasatwa. Pemangku kepentingan lainnya yaitu pihak pemerintah daerah dalam hal ini SKPD yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan di TNDS seperti BAPPEDA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perikanan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Semua pemangku kepentingan tersebut merupakan perpanjangan tangan Bupati Kabupaten Kapuas Hulu untuk melaksanakan misi daerah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2003 – 2012 : ―Menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi di Beranda Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan melalui pengembangan ekowisata yang harmonis dengan agropolitan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan daerah tertinggal‖.
64
Ada 4 kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar TNDS yaitu masyarakat Melayu, masyarakat Iban, masyarakat Kantuk, dan masyarakat Embaloh. Dan satu Asosiasi yaitu APDS beranggotakan masyarakat yang mengusahakan madu hutan di TNDS yang biasa disebut dengan periau. Periau adalah penduduk danau sejak turun temurun mengelola madu hutan dalam organisasi tradisional yang mempunyai aturan-aturan dan wilayah pengelolaan Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah lama berperan serta dalam kegiatan pengelolaan di TNDS, seperti Riak Bumi dan WWF Kalbar. Riak Bumi merupakan LSM lokal (Kalimantan Barat) yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam komunitas, dan bekerja bersama masyarakat di dalam dan sekitar TNDS. Riak Bumi berfokus pada kegiatan peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat di TNDS. Sementara WWF merupakan salah satu lembaga internasional non profit yang ikut serta dalam kegiatan pengelolaan di TNDS. Fokus utama WWF di TNDS adalah kegiatan pengelolaan koridor TNDS dengan TNBK (Taman Nasional Betung Kerihun) serta program HOB (Heart of Borneo). Lembaga lainnya yang juga teridentifikasi adalah FFI dan Yayasan Titian dimana bekerjasama dalam pengawasan illegal trade fauna dan flora lintas negara. PRCF Indonesia pada kegiatan konservasi Buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat. CANOPY Indonesia yang mendukung pengolahan bahan promosi TNDS. Kesemuanya merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang rendah. Lembaga penelitian yang aktif terlibat dalam penelitian di TNDS adalah Universitas Tanjungpura (UNTAN) dan CIFOR. (UNTAN) merupakan Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak. UNTAN melakukan berbagai penelitian mengenai sumberdaya alam di kawasan TNDS, juga menjadi tempat bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan praktek lapang dan penelitian atau ekspedisi ilmiah. Sementara itu CIFOR berfokus pada penelitian pengembangan sumber perekonomian masyarakat dan lainnya. Berkenaan dengan tujuan pengelolaan, pada prinsipnya masing-masing pemangku kepentingan memiliki motif tertentu yang menjadi konsentrasi utama kegiatannya dan pada umumnya berkaitan dengan beberapa hal yaitu pelaksanaan program kerja (BTNDS, Dinas terkait dan LSM), motif ekonomi (masyarakat dan APDS), motif sosial dan penelitian (CIFOR dan UNTAN). Dalam pelaksanaan kegiatan, seriap pemangku kepentingan juga menunjukkan motif sesuai dengan tujuan yang dikonsentrasikan. Untuk melihat besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan, maka digali informasi dan penilaian terhadap beberapa aspek berkenaan dengan kegiatan pengelolaan selama ini. Hasil penilaian tingkat kepentingan pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan tabel tingkat kepentingan diketahui bahwa BTNDS mempunyai kepentingan sangat tinggi terkait pengelolaan TNDS dibanding pemangku kepentingan lainnya. Ini terjadi karena BTNDS merupakan institusi/lembaga yang diberi wewenang penuh dan legal dalam mengelola TNDS, baik untuk kepentingan pelestarian, pengawetan dan pemanfaatan. Kepentingan yang tinggi dimiliki oleh pihak masyarakat, ini berkaitan dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang dihasilkan oleh ekosistem TNDS. Sementara pemangku kepentingan lainnya berada dalam kepentingan yang rendah, karena pengelolaan TNDS terbatas untuk
65
memenuhi program-program kerja masing-masing pihak kepentingan dan pihakpihak tersebut tidak memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan TNDS. Tabel 15 Tingkat kepentingan pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS No
Pemangku Kepentingan Nilai kepentingan K1 K2 K3 K4 K5 1 BTNDS 5 4 5 5 5 24 2 BAPPEDA 2 3 2 2 3 12 3 Dinas Bun Hut 2 2 3 2 2 11 4 Dinas Perikanan 2 2 2 2 4 12 5 Dinas Buda Par 2 2 2 3 2 11 6 Masy Melayu 2 2 3 5 5 17 7 Masy Dayak Iban 2 2 2 5 5 16 8 Masy Dayak Kantuk 2 2 2 4 5 15 9 MasyDayak Embaloh 2 2 3 5 5 17 10 APDS 2 2 2 3 4 13 11 Riak Bumi 2 3 2 2 3 12 12 WWF 2 3 2 1 2 10 13 FFI 1 2 3 2 2 10 14 Yayasan Titian 1 2 3 2 2 10 15 PRCF Indonesia 1 2 3 1 1 8 16 CANOPY 2 2 3 2 2 11 17 UNTAN 1 2 2 1 4 10 18 CIFOR 1 2 3 1 2 9 Keterangan: 5: Sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1:rendah K1: Keterlibatan pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS K2: Kewenangan pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS K3: Program pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS K4: Manfaat TNDS bagi pemangku kepentingan K5:Tingkat ketergantungan pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS Hasil penilaian tingkat pengaruh pemangku kepentingan dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan nilai pengaruh pemangku kepentingan diperoleh bahwa BTNDS sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan TNDS. Hal ini terjadi karena kewenangan dan tanggungjawab BTNDS sesuai dengan Permenhut No. 03/menhut-II/2007 untuk melakukan pengelolaan kawasan. BTNDS selaku UPT Kementerian Kehutanan cq. Ditjen PHKA berpengaruh dalam penentuan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan. Selain itu BTNDS mempunyai kewajiban untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam di kawasan TNDS. Selanjutnya pemangku kepentingan yang turut mempengaruhi kegiatan pengelolaan TNDS adalah dinas terkait di Kabupaten dan dua LSM yang sudah lama memiliki program kegiatan di TNDS yaitu Riak Bumi dan WWF. Pemangku kepentingan yang cukup mempengaruhi adalah masyarakat yang tinggal bermukim dalam kawasan TNDS, karena pengalaman hidup bertahun-tahun di
66
dalam kawasan sehingga sudah mengetahui dan memiliki pengetahuan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Pengaruh pemangku kepentingan berkaitan dengan kekuasaan (power) terhadap kegiatan, termasuk pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan sekaligus menangani dampak negatif yang ditimbulkannya. Pengaruh pemangku kepentingan dapat dinilai dengan mengukur besar kecilnya kemampuan pemangku kepentingan tersebut mempengaruhi atau memaksa pihak lain untuk mengikuti kemauannya. Sumber pengaruh dapat berupa peraturan, uang, opini, informasi, massa, kepemimpinan dan sebagainya (Asikin 2001). Tabel 16 Tingkat pengaruh pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS No
Pemangku kepentingan 1 BTNDS 2 BAPPEDA 3 Dinas Bun Hut 4 Dinas Perikanan 5 Dinas Buda Par 6 Masy Melayu 7 Masy Dayak Iban 8 Masy Dayak Kantuk 9 MasyDayak Embaloh 10 APDS 11 Riak Bumi 12 WWF 13 FFI 14 Yayasan Titian 15 PRCF Indonesia 16 CANOPY 17 UNTAN 18 CIFOR Keterangan:
P1 4 4 3 3 3 4 3 3 3 2 3 3 2 2 3 2 3 3
P2 5 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1
Pengaruh P3 P4 5 4 4 4 4 2 4 2 4 2 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 3 2 3 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1
Nilai P5 4 3 2 2 3 1 1 1 1 1 4 4 3 2 3 3 3 3
22 17 13 13 15 12 11 11 11 10 14 13 9 8 10 9 10 10
5: Sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi;1:rendah P1: Kemampuan pemangku kepentingan memperjuangkan aspirasinya terkait pengelolaan P2: Kontribusi fasilitas yang diberikan oleh pemangku kepentingan terkait pengelolaan P3: Kapasitas kelembagaan/SDM yang ditugaskan oleh pemangku kepentingan terkait pengelolaan P4: Dukungan anggaran pemangku kepentingan yang digunakan untuk pengelolaan P5: Kemampuan pemangku kepentingan melaksanakan pengelolaan di TNDS
Pengelompokkan dan Pengkategorian Pemangku Kepentingan Reed et al. 2009 mengelompokkan pemangku kepentingan berdasar pengaruh dan kepentingannya sebagai 1) Subjects (kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah); 2) Key Players (kepentingan dan pengaruh tinggi); 3) Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah); 4) Context setters (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi). Subject memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap
67
dampak mungkin tidak ada, namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Key players merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diiinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tapi sedikit kepentingan, oleh karenanya mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Pada Gambar 15 disajikan matriks kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan.
25
kepentingan/interest
Kuadran I Subject
Kuadran II Key Player
6 Masy Melayu 7 Masy Iban 8 Masy Kantuk 9 Masy Emabaloh 10 APDS
9
12.5
13 FFI 14 Titiian 15 CIFOR 16 PRCF 17 CANOPY 18 UNTAN
7 8 10
6 4
17 14 13 18 15 16
Kuadran IV Crowd
0 0
1
1 BTNDS
11 5
2
2 BAPPEDA 3 DisBunHut 4 Dis Perikanan 5 DisBudPar 11 Riak Bumi 12 WWF Kuadran III Context setter
3 12
12.5
25
pengaruh/influence Gambar 15 Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan pengelolaan TNDS Berdasarkan analisis pemangku kepentingan diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kuadran I; merupakan pemangku kepentingan yang sangat berkepentingan dengan pengelolaan kawasan tapi memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Pihak ini terdiri dari masyarakat dan APDS. Tampaknya pengaruh yang kurang ini disebabkan karena kekurang mampuan atau tidak dilibatkannya masyarakat dalam fungsi intermediasi dan penyebaran informasi dimana masyarakat setempat seringkali diposisikan sebagai obyek dan bukan subyek. Hal ini senada dengan hasil penelitian Herawati et al. 2010 pada kegiatan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR); penelitian Kusumedi et al. 2010 pada pembangunan Kesatuan Pemangkuan Hutan di Maros dan penelitian Rastogi et al. 2010 pada pengelolaan Corbett National Park di India. Kepentingan yang tinggi dari masyarakat terhadap sumberdaya alam terutama berkenaan dengan kepentingan ekonomi dan sosial budaya mereka. Mereka harus terus diberi
68
informasi yang cukup mengenai kebijakan pengelolaan karena seringkali mereka sangat berguna bagi proses pengelolaan secara detail dan terperinci. Masyarakat bergantung pada sumberdaya alam di kawasan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat memanfaatkan air sungai yang melintasi Danau Sentarum sebagai sumber air minum, keperluan mandi, cuci, kakus, sumber pendapatan dari perikanan, untuk pertanian, sarana transportasi, serta pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu, kayu bakar, madu, dan hasil hutan non kayu lainnya. Kepentingan masyarakat dalam pengelolaan TNDS yang lestari lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Keempat pemangku kepentingan ini merupakan pemangku kepentingan yang penting namun memerlukan pengakuan kapasitas mereka dalam pengelolaan TNDS. Masyarakat Melayu, Iban, Kantuk dan Embaloh masing-masing memiliki aturan-aturan dalam mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dalam rangka menjaga keberlanjutan hasil alam yang mereka jadikan sumber penghidupan. Bila kapasitas mereka lebih ditingkatkan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan masyarakat menjadi subyek kegiatan, maka masyarakat bisa berperan secara maksimal dalam pengelolaan yang lestari, minimal di daerah kelola masing-masing. Isu yang mengikat terbentuknya APDS adalah kearifan lokal tentang periau yang mengelola tikung dan lingkungannya. Masyarakat danau sejak turun temurun telah mengelola madu hutan dalam organisasi tradisional yang disebut periau yang mempunyai aturan-aturan dan wilayah pengelolaan. Maka APDS juga dapat berperan serta dalam mengelola TNDS agar lestari. Karena madu hutan di TNDS merupakan sumberdaya potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di musim penghujan, saat pendapatan dari ikan rendah. Selain itu madu hutan juga merupakan insentif yang baik untuk pemeliharaan hutan, karena lebah madu hutan hanya dapat menghasilkan madu hutan bila habitat lebah hutan terpelihara. Kepentingan yang tinggi terhadap TNDS sangat nyata bagi masyarakat dalam pengelolaan TNDS, sementara pengaruh yang rendah dikarenakan tidak diakuinya kelembagaan lokal oleh pemerintah. Padahal masyarakat mengaku lebih mengakui peran tokoh masyarakat dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam yang ada, seperti kasus berikut3. .........kegiatan jala zakat ini merupakan aturan yang tidak tertulis di kampung kami (Leboyan), tapi karena sudah dilakukan sejak kakek nenek kami yang tinggal dan mencari ikan di danau, maka kami ikuti dan jalan kan terus. Kegiatan ini dilakukan melalui musyawarah bersama yang keputusannya ditetapkan oleh ketua nelayan, kami patuh pada semua keputusan yang ditetapkan ketua nelayan, karena itulah aturan yang kami anggap benar. Kami percaya dengan pembagian wilayah yang ditetapkan, walaupun menurut pemerintah (Balai TNDS) itu merupakan kawasan TN yang tidak boleh untuk menangkap ikan. Biarkan saja pemerintah melarang, tapi kami patuh dengan ketua nelayan kami.....
3
Wawancara dilakukan saat acara jala zakat kampung Leboyan Kecamatan Selimbau tanggal 8/10/2011
69
Kasus tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh pemimpin masyarakat cukup kuat, namun karena tidak diakuinya lembaga adat yang ada sehingga pengaruh ini tidak diakui pula dalam kegiatan pengelolaan yang dilakukan saat ini. b. Kuadran II; merupakan pemangku kepentingan yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi. Hanya BTNDS yang menempati posisi Key players ini. BTNDS memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan dengan otoritas dan tanggung jawab terbesar pengelolaan yang mencakup perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi, diemban oleh BTNDS terhadap realisasi program kerja di kawasan TNDS. Hal ini ditemui di setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, dimana pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai pemangku kepentingan utama (Li et al. 2012; Maguire et al. 2012; Sembiring et al. 2010). c. Posisi Kuadran III; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh yang tinggi, karena suaranya diperhitungkan dalam kegiatan pengelolaan, tetapi mereka memiliki kepentingan yang relatif rendah terhadap kegiatan pengelolaan kawasan. Para pemangku kepentingan pada kuadran ini adalah SKPD Kabupaten Kapuas Hulu dan LSM. SKPD yang terlibat yaitu BAPPEDA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perikanan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sementara dari LSM adalah Riak Bumi dan WWF. Pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi pengelolaan TNDS, karena memiliki pengaruh yang tinggi. SKPD merupakan wakil pemerintah daerah yang memiliki otoritas pengembangan wilayah. Era otonomi daerah memberikan wewenang lebih besar agar setiap daerah memanfaatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kepentingan daerahnya masing-masing. Ketika penelitian berlangsung, informasi yang diperoleh di seputar taman nasional dalam perspektif pemerintah daerah tidak mencerminkan sebuah klaim sepihak untuk dikeluarkan sebuah kebijakan untuk mengambil alih atau meminta keikutsertaan Pemda dalam mengelola TNDS. Ini dikarenakan minimnya sumber dana, sumber manusia, dan juga informasi dan data tentang TNDS sangat terbatas. Selain itu, terjadi sedikit ketidakharmonisan hubungan koordinasi antara Pemda dan BTNDS dikarenakan kedudukan BTNDS. BTNDS berkedudukan di Kabupaten Sintang, sementara kawasan TNDS berada di kabupaten Kapuas Hulu. Akibatnya antara pihak BTNDS dan Pemda seringkali berselisih paham dalam kegiatan pengelolaan, seperti kasus berikut4. ...... ―Pemda sebenarnya tidak memiliki kepentingan dengan pengelolaan TNDS, biarkan saja TNDS dikelola oleh pemerintah pusat, tapi karena wilayah TNDS ada di kabupaten kami (Kapuas Hulu), ada penduduk yang menjadi tanggung jawab kami, maka kami turut memperhatikan kawasan tersebut. Tapi sampai saat ini tampaknya pihak Balai TNDS masih senang berada di Sintang, dan lebih memperhatikan TNDS hanya untuk kepentingan konservasi semata. Sementara penduduk dilarang untuk melakukan kegiatan ekonomi mereka yang sudah dilakukan turun temurun. Masalah penduduk ini yang menjadi perhatian kami........ 4
Wawancara dilakukan dengan pihak BAPPEDA Kapuas Hulu pada tanggal 8 November 2011
70
Kasus ini menunjukkan bahwa Pemda tidak merasa berkepentingan dengan kegiatan konservasi yang menjadi konsen pihak Balai TNDS. Pemda lebih memberikan perhatian kepada masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Garis batas wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah terindikasi dengan pemberian konsesi perkebunan yang berdekatan dengan kawasan TNDS. Meskipun wilayah atau lokasi perkebunan berada di luar kawasan yaitu di Areal Penggunaan Lain (APL), akan tetapi resistensi dan pemboikotan terhadap bentuk eksploitasi lingkungan yang juga akan mengancam kondisi TNDS tidak dimunculkan. Posisi dan perilaku politik daerah serupa ini merefleksikan ―benturan‖ antara dua konsepsi besar terhadap sumberdaya alam (TNDS). Pertama, bersentuhan dengan ekspektasi finansial kas daerah melalui sektor perkebunan (sisi ekonomi). Sedangkan yang kedua, lebih menekankan kepada lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan (sisi ekologi). Riak Bumi serta WWF memiliki pengaruh tinggi karena mereka mampu memainkan posisi intermediasi dan penyebaran informasi antar pemangku kepentingan dengan baik. Khusus untuk Riak Bumi, mereka sudah bekerja di kawasan semenjak tahun 1997. Kerjasama yang dijalin adalah dalam hal peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam yang ada pada wilayah kelolanya (wilayah adat) serta peningkatan sumber pendapatan masyarakat dari hasil anyaman (rotan), madu, damar dan kerajinan lainnya. Sementara WWF sebagai lembaga internasional sudah biasa terlibat dalam kegiatan advokasi dan mediasi yang dilakukan secara berkelanjutan, sehingga cukup mempunyai pengaruh terhadap kegiatan pengelolaan. Kondisi serupa ditemui juga Mecuburi Forest Reserve di Mozambique, dimana LSM yang selalu mendampingi masyarakat memiliki pengaruh yang tinggi dalam proyek tersebut (Mushove et al. 2005). Sebagai contoh adalah kasus pengelolaan pariwisata di TNDS5 ........pemerintah selama ini menyatakan kawasan TNDS dapat menjadi kawasan wisata yang tujuannya untuk dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Tapi pemerintah baik pihak Balai TNDS maupun pihak Kabupaten Kapuas Hulu tidak pernah mengadakan pelatihan bagi kami masyarakat agar dapat berperan serta dalam kegiatan pariwisata. Kami (sebagian warga Meliau khususnya masyarakat Desa Melemba) mendapat pelatihan untuk menjadi guide pariwisata dilatih dan difasilitasi oleh WWF. Masyarakat Desa Melemba telah memiliki Kelompok Pengelola Ekowisata (KPP) Kaban Mayas, yang didirikan pada tanggal 10 April 2010............. d. Kuadran IV; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan TNDS. Ada 6 pemangku kepentingan yang berada pada kuadran ini, yaitu FFI, Yayasan Titian, CIFOR, PRCF Indonesia, CANOPY dan UNTAN. Keenam pemangku kepentingan ini memberikan perhatian juga dalam pengelolaan TNDS, namun karena kegiatan yang dilakukan hanya bersifat proyek dan waktu-waktu tertentu sehingga belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan pengelolaan. Lembaga-lembaga ini umumnya lebih menekankan pada satu kegiatan tertentu.
5
Wawancara dan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat Meliau pada tanggal 24/11/2011
71
FFI dan Yayasan Titian menekankan kegiatannya pada pengawasan perdagangan illegal fauna dan flora lintas negara, sehingga masalah pengelolaan TNDS lebih terbatasi hanya apabila terjadi kegiatan perdagangan illegal terjadi, selain itu kedua lembaga ini baru bekerja di kawasan TNDS dalam waktu 5 tahun terakhir. CIFOR dan UNTAN berfokus pada kegiatankegiatan penelitian, sehingga keterlibatan dalam kegiatan pengelolaan belum begitu terasa kepentingan dan pengaruhnya. Hasil-hasil penelitian berupa rekomendasi terhadap pengelolaan TNDS seringkali tidak terpakai karena setelah seminar hasil penelitian dilakukan, seringkali rekomendasi tersebut terlupakan dan menjadi tumpukan laporan. Begitu juga dengan PRCF Indonesia yang bergerak pada kegiatan konservasi buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat, sementara CANOPY Indonesia yang baru bergabung dengan TNDS 2 tahun terakhir yang mendukung pengolahan bahan promosi TNDS. Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan dapat berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan (Reed et al. 2009). Hasil pemetaan pemangku kepentingan tersebut, dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dalam rangka penyusunan kebijakan di masa yang akan datang. Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang ada, tampaknya pengelolaan suatu kawasan konservasi tidak lagi mutlak ditangani oleh satu pihak yaitu BTNDS. Perlu pengembangan kemitraan dalam menjaga suatu kawasan konservasi dengan melibatkan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Llosa dalam de Soto 1992 menyatakan bahwa keterlibatan para pihak dipandang perlu agar mereka yang memperoleh manfaat atau yang dirugikan dapat mempengaruhi bentuk akhir suatu kebijakan. Dengan demikian kebelanjutan sumberdaya TNDS dan keberlanjutan manfaat yang dapat diberikan kepada seluruh pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal dapat terlaksana dengan baik.
Hubungan antara Pemangku Kepentingan Hubungan yang terjadi antara pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS teridentifikasi tiga hubungan yaitu, potensi konflik, saling mengisi dan bekerjasama. Potensi konflik kepentingan terjadi antara BTNDS dengan pihak pemerintah daerah dalam hal pengelolaan TNDS. TN mempunyai peran yang penting dan strategis bagi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. TNDS mempunyai fungsi strategis sebagai areal tangkapan air, daerah aliran sungai (DAS), hidrologi (sumber air), mengatur iklim mikro, penghasil karbon sink, tempat pendidikan, dan sebagai tempat wisata alam. Ada tiga tujuan pengelolaan taman nasional secara garis besarnya: (1) perlindungan proses ekologis untuk menjamin fungsi dan perannnya sebagai sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (3) pemanfaatan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat sekitar TN. Ketiga tujuan ini sesuai dengan UU No.5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sehingga dalam pengelolaan TNDS selalu memperhatikan
72
dimensi ekologis, ekonomis, dan sosial. Sementara dari pihak kabupaten Kapuas Hulu kawasan TNDS merupakan salah satu kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi. Potensi konflik terjadi karena walaupun kedua belah pihak sama-sama memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi, namun pengelolaan oleh pihak BTNDS lebih berat ke arah lingkungan, sementara pihak pemda lebih ke arah ekonomi. Pemda bergerak berdasarkan UU No.32 tahun 2004 mengenai Pemerintah daerah tentang pengelolaan sumberdaya alam. Sehingga timbul paradigma terhadap TN yang berada di daerah yaitu TN merupakan sumberdaya yang potensial, dapat dieksploitasi sehingga dapat memberikan pemasukan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kewenangan tersebut dianggap sebagai bagian dari kebebasan daerah otonom untuk memperoleh dana yang sebenarnya dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkannya. Fakta bahwa pemberian ijin untuk membuka perkebunan di sekitar kawasan TNDS tetap dilakukan menunjukkan ketidakperdulian terhadap lingkungan tapi lebih mementingkan aspek ekonomi. Pihak pemda mengemukakan bahwa ijin perkebunan yang diberikan bukan di kawasan TNDS tetapi di APL, padahal sebagai suatu ekosistem tentulah kawasan sekitar tersebut juga akan mempengaruhi ekosistem yang ada di TNDS. Terdapat pula konflik antara BTNDS dengan masyarakat, yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi dalam memanfaatkan kawasan TNDS. Selama ini dianggap dua kepentingan tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat berjalan selaras, padahal seharusnya antara konservasi lingkungan dan kepentingan ekonomi dapat berjalan selaras untuk dapat melestarikan sumberdaya alam. Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi. Pada prinsip kedua dinyatakan, ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat TNDS yang telah memiliki aturanaturan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang semuanya mengarah pada pelestarian sumberdaya alam. Sebagai contoh: pada masyarakat nelayan telah memiliki aturan tertulis mengenai menangkap ikan di kawasan danau. Contoh lain yaitu diantara periau, memiliki aturan-aturan dalam cara pemanenan madu. Pengetahuan-pengetahuan lokal masyarakat sebenarnya merupakan suatu modal yang bila dapat diadopsi dan diberdayakan merupakan suatu peluang untuk melakukan pengelolaan bersama dengan pihak yang berbeda kepentingan dalam menjaga kelestarian kawasan. Antara masyarakat juga terdapat potensi konflik. Antara masyarakat nelayan/melayu yang tinggal di dalam kawasan dengan masyarakat dayak/ peladang yang tinggal di sekitar kawasan. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat dayak yang menangkap ikan di pinggir sungai menggunakan tuba/racun. Menurut masyarakat melayu hal ini menyebabkan kematian ikan karena racun dapat merusak habitat ikan di dalam kawasan. Sementara masyarakat dayak mengklaim bahwa tuba yang digunakan adalah berasal dari bahan alam sehingga tidak akan merusak habitat ikan, dan cara ini sudah dlakukan sejak dahulu. Memang kondisi yang terjadi saat penelitian, terungkap juga bahwa
73
bahan alami untuk membuat racun sudah semakin habis dan sulit ditemukan, sehingga kemungkinan penggunaan racun kimia memang terjadi. Selain itu pula racun kimia semakin mudah diperoleh di pasaran dengan harga relatif terjangkau. Di sisi lain masyarakat dayak juga menyatakan bahwa masyarakat melayu sudah mulai menangkap ikan di wilayah kerja mereka, khususnya suku melayu yang tinggal di dekat aliran sungai perkampungan masyarakat dayak. Ini menyebabkan masyarakat dayak merasa masyarakat melayu tidak menghormati wilayah mereka, karena menangkap ikan tanpa izin terlebih dahulu dengan pemimpin adat, dan ini dianggap dapat mengancam persediaan ikan bagi masyarakat dayak. Hal ini menegaskan hasil penelitian Yasmi dan Colfer (2010) bahwa konflik antara kehutanan dan perikanan sudah terjadi sejak lama di TNDS. Konflik ini tampaknya sudah dicarikan jalan keluarnya melalui pertemuan tahunan masyarakat TNDS, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Diduga hal ini terjadi, karena semakin melemahnya institusi adat yang ada dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Konflik kepentingan antar BTNDS dengan LSM dan lembaga penelitian bisa dikatakan hampir tidak ada. Karena umumnya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut mendukung pengelolaan yang dilakukan oleh BTNDS sehingga hubungan yang terjadi adalah saling mengisi dan bekerja sama. Hal ini juga disebabkan LSM dan BTNDS memiliki cara pandang yang sama dalam pengelolaan TNDS yaitu memprioritaskan kepentingan kelestarian lingkungan. Hubungan saling mengisi dapat dilihat antara LSM/Yayasan/Lembaga yang telah menjadi mitra TNDS, yaitu: LSM Riak Bumi (khusus peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat di TNDS), WWF & HOB Indonesia ( dalam pengelolaan koridor TNDS dengan TNBK serta program HOB), FFI dan Yayasan Titian (kerjasama dalam pengawasan illegal trade fauna dan flora lintas negara), CIFOR (penelitian pengembangan sumber perekonomian masyarakat), PRCF Indonesia (konservasi Buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat), dan CANOPY Indonesia (mendukung pengolahan bahan promosi TNDS). Sebenarnya kerja sama dengan sebagian masyarakat, Tokoh Masyarakat, LSM Lokal dan LSM yang ada di Pontianak serta Pemda Kapuas Hulu juga sudah dilakukan oleh BTNDS, yaitu berupa: 1. Melakukan diskusi dan seminar guna mendapatkan solusi pemecahan masalah dan usaha yang dapat dilaksanakan atau ditindak lanjuti untuk hal tersebut. 2. Membentuk forum-forum kajian dan membangun sebuah deklarasi bersama untuk pelestarian kawasan TNDS 3. Melakukan pendampingan dalam Capacity Building masyarakat. Tapi sampai saat ini hasilnya belum menampakkan hasil yang memuaskan karena pengelolaan masih dipegang penuh oleh BTNDS. Bila digambarkan dalam matrik, hubungan antara pemangku kepentingan dapat diringkas dalam matriks pada Gambar 16.
74
Pemerintah Pemerintah Masyarakat pusat daerah Pemerintah pusat Pemerintah daerah Masyarakat LSM Lembaga Penelitian
LSM
Lembaga Penelitian
3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
2,3
1,2,3
3
1,2,3
1,2,3
2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
2,3
2
1,2,3
1,2,3
2,3
2,3
2,3
2,3
2,3
2
2,3
3
Gambar 16 Matriks hubungan antara pemangku kepentingan Keterangan: 1 = potensi konflik, 2 = potensi untuk saling mengisi, 3 = potensi untuk bekerjasama Semua pemangku kepentingan yang terlibat dengan pengelolaan TNDS umumnya merupakan pihak yang berkepentingan dengan kelestarian kawasan, karena semua pihak tersebut mempunyai kepentingan terhadap keberadaan kawasan. Berdasarkan hal tersebut, berarti terdapat potensi untuk bekerjasama di antara pemangku kepentingan tersebut. Manajamen kolaboratif sendiri sudah menjadi salah satu kebijakan yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang menjadi salah satu acuan pengelolaan di TNDS. Sampai saat penelitian berlangsung, dalam TNDS pengelolaan kolaboratif terus digagas, namun belum dapat berjalan seperti yang diharapkan. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, Pemda, dunia usaha dan masyarakat. Bisa dikatakan, manajemen kolaboratif bukanlah pendekatan yang mudah diterapkan dan efektif untuk semua kondisi dan keadaan. Perlu keseriusan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat untuk dapat mencapai pengelolaan kolaboratif untuk mencapai pengelolaan kawasan TNDS yang lebih baik, dan dapat mencapai tujuan pengelolaan yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Pengelolaan TNDS perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pemangku kepentingan yang mempunyai kepentingan dan pengaruh dengan kawasan TNDS. Sebagai sumberdaya alam publik, keberadaan TNDS memang menyangkut kepentingan banyak pihak. Pengelolaan tunggal dan masih sentralistik yang dilakukan pihak BTNDS terbukti tidak dapat mencapai tujuan pembentukan TNDS. Untuk itu sudah saatnya dilakukan pengelolaan secara bersama dengan pemangku kepentingan yang terlibat untuk membangun suatu kolaborasi pengelolaan. Dimana dalam membangun kolaborasi tersebut perlu untuk memperhatikan hubungan-hubungan antara pemangku kepentingan yang meliputi: (1) hubungan yang saling menguntungkan dan dibuat untuk mencapai tujuan bersama; (2) hubungan ini meliputi: komitmen, tanggung jawab, memiliki otoritas dan akuntabilitas, dan berbagi sumber daya dan manfaat; dan (3) hubungan berupa komitmen organisasi dan para pemimpin masing-masing pemangku kepentingan.