EMBRYO VOL. 8 NO. 2
DESEMBER 2011
ISSN 0216-0188
MELENGKAPI GAMBAR PERTANIAN INDONESIA STUDI KASUS DESA PAJANGAN, KECAMATAN MUNGKID, KABUPATEN MAGELANG Sukmo Pinuji Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI Abstract Farming and agricultural sectors has specially been government’s intention since President Soeharto period. Nowadays, the developments in farming and agriculture is directed mainly to fulfill food security and sufficiency trough the methods applied wether to intensify, extensify or diversify the production. While most of all intention was alluring the achievements to strengthen and increase the production and economic in this sector, the farming and agriculure itself suffered still by the burdens of sufferance, social and ecological issues, till the problems in the rural small-scale farming. This paper put the effort in figuring the subsidiary problems out of farming and agriculture discourses: the reproduction of labor as working part in the process of farming production and the agrarian structure transition escorting the changes in the farmworking hence implications in rural farming and livelihood. This paper concludes that those obscured matter might take potential-but-critical part in the process of farming and agriculture therefore should be protected and developed by directing the agrarian policies to enhance the system that ensuring improvement of the farming and agriculture works to be more promising workfield; also enhance the system of land tenancy to be more protected and developed to become effective and prosperous alternatives in farming and agriculture. Key Words : agrarian, rural, farming development
perhatian dunia internasional karena memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan maupun ketimpangan struktur ekonomi pedesaan, peningkatan produksi pertanian mulai diarahkan kepada pertanian organik, yang disinyalir lebih ramah lingkungan dan tidak memberikan efek kesehatan. Kebijakan pemerintah di sektor pertanian mulai diarahkan kepada pertanian pangan yang berkelanjutan. Seperti halnya pelaksanaan pembangunan di sektor lain, pembangunan pertanian tidak bisa dipandang secara parsial, akan tetapi menuntut arahan kebijakan yang bersifat komprehensif , sehingga secara ideal, pertanian tidak hanya dipandang sebagai usaha meningkatkan efisiensi untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian (guna mencapai swasembada pangan), tetapi juga mengarah kepada pengurangan kemiskinan (dengan lebih banyak lagi menyerap tenaga kerja di sektor pertanian), meningkatkan ketahanan negara serta mencapai stabilitas politik melalui
Latar Belakang Pembangunan pertanian sudah menjadi agenda Pemerintah sejak lama, dan sejak masa orde baru selalu menempati urutan atas agenda kebijakan negara. Isu-isu ketahanan pangan dan swasembada pangan selalu menjadi proritas dalam setiap agenda strategis pertanian, sehingga kegiatan banyak difokuskan kepada usaha-usaha peningkatan produksi pangan melalui berbagai upaya yang ditempuh melalui pengembangan teknologi pertanian yang mampu mengintensifkan produksi pertanian. Sejak green revolution1 mulai banyak menuai 1
Dimulai dari tahun 50-an, dunia (terutama negaranegara berkembang di Asia) mulai mengkampanyekan penerapan revolusi hijau untuk peningkatan produksi pertanian, tidak terkecuali Indonesia yang menerapkannya dalam bentuk gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) yang berintikan pada gerakan panca usaha tani, untuk mencapai swasembada pangan, terutama komoditas beras. Pada mulanya revolusi hijau ini memang berhasil meningkatkan produk pertanian (Indonesia berhasil meraih swasembada beras dalam kurun waktu lima tahun berturut-turut), sebelum akhirnya menuai berbagai macam protes setelah lebih dari satu dekade berjalan, mulai dari isu lingkungan
sampai kepada ketimpangan struktur agraria yang ditimbulkannya). 142
Melengkapi Gambar Pertanian...
142 – 147
stabilitas pangan2 (de janvry & sadouleth, 2001). Ada banyak kritik mengenai arah kebijakan pertanian yang ditempuh oleh Indonesia, yang hampir semuanya berfokus kepada sektor ekonomi dan produksi pertanian. Meskipun sudah ada arahan menuju ketahanan pangan sampai kepadal level mikro (berbasis lokal), pertanian skala kecil saat ini menjadi semakin tidak memiliki nilai tawar. Sistem yang ada tetap menempatkan mereka pada hulu rangkaian kegiatan pertanian, sementara posisi hilir masih ditempati oleh perusahaanperusahaan skala besar yang mendominasi rantai produksi pertanian. Arah perjuangan pertanian (menuju swasembada pangan maupun dalam rangka perbaikan kualitas hidup petani) juga diarahkan pada sektor-sektor tersebut.
(Sukmo Pinuji)
Magelang, dengan melakukan diskusi intensif dengan Kelompok Tani, pelaku bisnis pertanian baik skala kecil maupun menengah, serta aparat Desa yang bersangkutan. Pembahasan Dengan mengambil sebuah contoh kecil praktek pertanian yang ada di lokasi sampel, makalah ini mencoba membedah praktek rural based farming yang ada saat ini, yang dimaksudkan untuk mewakili gambaran pertanian skala kecil dan menengah yang ada di Indonesia, serta apa yang dihadapi oleh mereka. Dipilihnya Kabupaten Magelang sebagai contoh sampel karena Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang basis perekonomiannya berada di sektor pertanian, dan merupakan sumber utama produksi komoditas tanaman pangan dan holtikultura3 Jawa Tengah. Dengan hampir 35% wilayahnya digunakan untuk persawahan dan jumlah rumah tangga tani sebesar 42% dari jumlah total penduduk , serta sektor pertanian yang menempati urutan teratas Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, pertanian menjadi salah satu sektor penting bagi kota ini, disamping pula keberadaan sektor industri dan pariwisata yang juga menempati persentase besar dalam pendapatan daerah. Dari gambaran tersebut, maka akan relevan jika Kabupaten Magelang diambil sebagai contoh untuk membedah praktek pertanian di pedesaan, serta apa yang sedang dihadapi saat ini. Ada dua hal yang akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini, yaitu sektor pertanian dipandang dari sisi labour reproduction (ketersediaan tenaga kerja pertanian) serta pergeseran struktur agraria yang terjadi dengan berkembangnya pola-pola penggarapan lahan pertanian yang ada saat ini, yang akan disajikan dalam dua sub bahasan yang berbeda.
Rumusan Masalah Berangkat dari pemikiran tersebut, terlepas dari desakan pemenuhan kebutuhan pangan melalui penerapan intensifikasi berbasis teknologi, sektor pertanian menghadapi beberapa tantangan besar, yang tidak akan bisa lepas seiring dengan arus globalisasi yang menyentuh hampir setiap lini kehidupan, yang sering dilupakan dalam proses pembangunan pertanian. Melalui makalah ini, penulis berusaha menelaah dan menguraikan “sedikit” gambaran mengenai tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia, sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran menuju program pembangunan pertanahan yang komprehensif dan berkelanjutan. Metode Penulisan Makalah ini ditulis secara deskriptif, dengan data-data primer maupun sekunder yang diperoleh dari hasil diskusi intensif dengan nara sumber ataupun melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap literaturliteratur dan hasil-hasil penelitian yang terkait. Pengumpulan data dilakukan di Desa Panjangan Kecamatan Mungkid Kabupaten
Urbanisasi, Globalisasi dan Modernisasi : Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Tenaga Kerja di Bidang Pertanian Ekonomi dunia dan arus pembangunan Indonesia, telah mengarahkan bentuk sebaran
2
Adaptasi dari makalah yang ditulis oleh Alain de Janvry dan Elisabeth Sadoulet yang berjudul “Access to Land and Land Policy Reform”, yang menyoroti masalah reformasi kebijakan politik di bidang pertanahan.
3
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang tahun 2009 143
EMBRYO VOL. 8 NO. 2
DESEMBER 2011
daripada harus bertahan di desa dan menggarap sawah mereka. Sungguh ironis ketika mendengar alasan bergelutnya angkatan kerja muda di bidang pertanian adalah karena daya saing mereka yang rendah di sektor lain dalam mencari penghasilan, keterbatasan lapangan kerja formal yang disediakan, maupun karena keterbatasan pendidikan formal yang bisa dijadikan nilai tawar. Hal ini menjadikan sektor pertanian (terutama pertanian skala kecil) berada pada posisi akhir dari daftar lapangan pekerjaan yang dapat dipilih oleh para pencari kerja, yang berarti juga rendahnya “pamor” menjadi petani di mata masyarakat, dan dianggap sebagai bentuk pekerjaan yang kurang bergengsi. Dari hasil wawancara di daerah sampel, rata-rata angkatan muda di sektor pertanian yang masih tetap bertahan untuk terus bergelut di sektor ini didominasi oleh lulusan SMP, yang karena tidak memiliki bekal status akademis yang memadai mereka “terpaksa” tidak diterima untuk bekerja di sektor formal. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa pada suatu titik, sektor pertanian, terutama pertanian lokal, akan semakin ditinggalkan dan tidak lagi mendapat peran dalam konfigurasi kehidupan negara, bukan hanya karena “tersisih” secara ekonomi, tetapi juga karena kegagalan mereproduksi angkatan kerja. Lebih jauh lagi, dengan posisi small scale farming yang berada pada prioritas akhir dalam sistem penghidupan masyarakat kita, kebijakan-kebijakan pertanian yang ditempuh oleh Pemerintah tidak akan bisa mencapai hasil yang optimal, karena masyarakat kita sendiri (termasuk pula kaum tani) belum bisa mengatasi hambatan sosial yang “menggantung” pada label – menjadi seorang petani. Jika sistem yang ada saat ini masih meletakkan smallholder farming pada posisi subordinat, bagaimana kita akan memenuhi angkatan kerja pertanian beberapa tahun mendatang? Beberapa hal yang menyebabkan gagalnya reproduksi angkatan kerja dalam sektor pertanian diantaranya adalah transfer pengetahuan dan ketrampilan pertanian kepada generasi muda terutama yang bersifat teknik implementatif, menurunnya tingkat kehidupan di pedesaan sehingga pilihan untuk tetap tinggal di desa dan bergelut dalam sektor pertanian tidak dapat meningkatkan kualitas hidup, perhatian pemerintah terhadap sektor
pembangunan yang memusat ke arah perkotaan. Industrialisasi dan modernisasi telah mengubah wajah banyak negara-negara berkembang (termasuk juga Indonesia), baik di pedesaan maupun perkotaan. Konsentrasi pertumbuhan ekonomi yang memusat kepada daerah perkotaan, telah mendorong arus urbanisasi yang begitu besar yang dimulai sejak era pembangunan Indonesia. Perlahan dan tanpa disadari, sektor pertanian mulai menjadi “pilihan terakhir” bagi penduduk Indonesia, terutama bagi generasi muda angkatan kerja. Arah kebijakan nasional, sistem pendidikan bahkan arus kebudayaan, secara “tidak sengaja” telah menjauhkan generasi muda dari dunia pertanian, yang jika dipandang dari sisi agrarian question of labour akan menyisakan pertanyaan, siapa yang akan bertahan dalam household farming, atau sektor pertanian skala kecil? Statistik Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa dalam setiap usia angkatan kerja, sektor pertanian menempati persentase terbesar sebagai sumber mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut. Akan tetapi, angka tersebut mulai menurun sejak kurun waktu enam tahun terakhir ini, mulai dari persentase 52,85% dari seluruh angkatan tenaga kerja yang ada di tahun 2003, menjadi 41, 71% di tahun 2009. Ironisnya, menurunnya angka tersebut juga dibarengi dengan menurunnya jumlah pengangguran yang ada di wilayah Kabupaten Magelang, yang merupakan salah satu indikasi terjadinya pergeseran mata pencaharian penduduk dari pertanian menuju kepada non pertanian. Mengapa pertanian ditinggalkan, dan seringkali menjadi alternatif terakhir lapangan pekerjaan masyarakat kita? Sejarah pertanian tidak pernah lepas dari cerita-cerita kelam mengenai betapa sulitnya kehidupan petani skala kecil (small scale farming, household farming), dengan kelangkaan pupuk, melambungnya harga bibit, serta sistem ekonomi yang tidak berpihak pada pertanian lokal, menyebabkan para petani lokal “seolaholah” selalu berada pada posisi stagnan, yang tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sesuatu yang “kurang bergengsi” dibandingkan sektor industri atau jasa, sehingga bagi generasi muda angkatan kerja saat ini, mereka lebih memilih bekerja di kota, di sektor non pertanian,
ISSN 0216-0188
144
Melengkapi Gambar Pertanian...
142 – 147
pertanian skala kecil yang masih rendah fasilitas infrastruktur di pedesaan yang minim, serta terbatasnya kesempatan akses terhadap tanah pertanian bagi generasi muda saat ini4. Slogan dunia bahwa smallholders can feed the world and keep the globe cool - bahwa pertanian skala kecil dapat menciptakan ketahanan pangan (dengan mencukupi kebutuhan pangan lokal mereka) dan ikut berkontribusi terhadap penanggulanan pemanasan global melalui teknologi yang ramah lingkungan, sepertinya harus mulai dipikirkan dan dikaji secara lebih kritis. Bagaimana jika wajah pedesaan mulai berubah karena arus urbanisasi yang semakin tak terelakkan? Apakah kita akan menyerahkan pengelolaan pertanian kepada sektor swasta? Lalu, dimanakah kita nantinya akan menempatkan penduduk lokal,para petani kecil dan para buruh tani dalam “bisnis” pertanian tersebut?
(Sukmo Pinuji)
sebagai langkah alternatif penyediaan lahan pertanian, seperti halnya yang ditemui di desa sampel penelitian. Praktek sewa tanah ini terutama ditemui antara pihak pemilik tanah yang merupakan penduduk setempat (yang berdomisili di wilayah tersebut), dengan para pemilik modal yang biasanya berasal dari luar daerah. Perjanjian sewa tanah ini biasanya didasarkan pada ukuran waktu daur musim tanam (untuk satu atau dua kali panen) atau berdasarkan hitungan tahun (tergantung jenis tanaman yang ditanam diatasnya), dengan besar uang sewa yang bervariasi tergantung luas tanah dan musim (penghujan/kemarau). Penggunaan sewa tanah ini biasanya dilakukan untuk penanaman komoditas non padi, karena komoditas padi dianggap kurang menguntungkan untuk dijadikan komoditas produksi jangka pendek. Perjanjian sewa tanah ini biasanya dilakukan antara pemilik tanah dan calon penyewa, tanpa melalui proses formal melalui pemerintah ataupun lembaga hukum yang berwenang (aparat Desa/ Kelurahan maupun notaris). Komoditas yang biasanya ditanam adalah komoditas musiman seperti tembakau, sayur mayur, buah-buahan seperti melon, semangka dan lain-lain, serta tanaman produktif jangka panjang seperti sengon, albasia dan lain sebagainya. Proses produksi dilakukan dengan tidak melibatkan pemilik tanah serta menggunakan tenaga kerja musiman yang didatangkan dari luar wilayah dimana tanah tersebut berada, dengan alasan bahwa tenaga kerja musiman tersebut lebih mengetahui teknik pertanian komoditas tersebut dibandingkan dengan penduduk lokal yang rata-rata menggarap padi sebagai komoditas pertanian mereka. Untuk komoditas pertanian jangka pendek, pembayaran uang sewa biasanya dilakukan di awal saat terjadi persetujuan sewa, sementara untuk sewa jangka panjang (biasanya untuk komoditas tanaman keras) sewa tanah biasanya dibayar sebagian di muka dan dicicil sampai batas waktu yang telah disepakati bersama. Dari sisi pemilik tanah, rata-rata petani yang menyewakan tanahnya didasarkan pada beberapa alasan, diantaranya adalah adanya kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi (dalam hal ini menyewakan tanah merupakan salah satu alternatif “memberdayakan” tanah tanpa harus kehilangan hak kepemilikannya), karena tanah
“Kapitalisasi” Pertanian – dimana posisi “petani” saat ini? Meningkatnya “pamor” agrobisnis (baik untuk komoditas pangan maupun non pangan) sebagai salah satu alternatif bisnis yang menarik menyebabkan sektor pertanian mulai “dilirik” oleh para investor untuk menanamkan modal. Di sisi lain, sektor agrobisnis juga harus menghadapi permasalahan keterbatasan lahan sebagai sumberdaya agraris dalam pengembangannya. Dalam penyediaan lahan pertanian yang memadai, para pelaku agrobisnis menghadapi beberapa tantangan yang sulit terpecahkan, diantaranya keterbatasan lahan, peraturan yang berhubungan dengan penataan pertanahan melalui larangan pemilikan tanah pertanian yang melebihi batas maksimal, larangan pemilikan tanah secara absentee, sampai kepada kesesuaian peruntukan dan penggunaan lahan dengan Tata Ruang Daerah setempat. Dalam hal ini, para pelaku agrobisnis menerapkan langkah-langkah praktis untuk mengatasinya, yaitu dengan melakukan sistem sewa tanah (yang mulai marak ditemui di beberapa wilayah pedesaan di Pulau Jawa) 4
Diadaptasi dari tulisan Ben White, Who Will Own the Countryside, Dispossesion, Rural Youth and the Future of Farming, yang disampaikan dalam Valedictory Lecture tanggal 13 Oktober 2011, Institute of Social Study, The Hague 145
EMBRYO VOL. 8 NO. 2
DESEMBER 2011
yang terjadi. Yang pertama, praktek sewa tanah ini sangat potensial “melegalkan” adanya kepemilikan (penguasaan) tanah secara absentee, yang sementara ini sedang diupayakan oleh pemerintah sebagai salah satu agenda reforma agraria. “Gejala” ini terutama akan sangat terlihat pada pelaksanaan sewa tanah yang dilakukan dalam jangka waktu lama atau yang dilakukan secara terus menerus. Yang kedua, adanya indikasi monopoli teknologi , pengetahuan dan pasar bagi komoditas pertanian tertentu untuk masyarakat petani lokal. Para pemilik modal rata-rata menginvestasikan modal mereka untuk tanaman pertanian yang bernilai ekonomis tinggi, dan dengan mekanisme pengelolaan yang tidak melibatkan pemilik tanah maupun penduduk setempat, pengetahuan mengenai teknik dan teknologi bertani untuk komoditas tersebut, serta bagaimana memasarkan produk pertanian mereka, tetap menjadi monopoli pemilik modal, sehingga tidak ada kesempatan bagi petani lokal untuk menerapkan teknologi tersebut guna meningkatkan taraf hidup mereka (yang berarti juga tidak memberikan pilihan lain bagi para petani lokal selain menyewakan tanah mereka). Ketiga, praktek sewa tanah tersebut berpotensi terhadap adanya gejala labour dispossesion bagi para petani penggarap dengan didatangkannya pekerja-pekerja dari luar daerah oleh para pemilik modal, yang berarti pula semakin menyempitnya lapangan kerja untuk para buruh tani lokal. Keempat, sewa tanah pertanian mengandung “ancaman” dispossesion of access to the land, yang dapat terjadi karena masyarakat yang menyewakan tanahnya karena keterpaksaan akibat kebutuhan ekonomi, sementara tanah yang dia sewakan merupakan aset produksi bagi penghidupannya. Dalam kasus ini, sewa tanah pertanian potensial untuk berubah menjadi eksploitasi agraria.
tersebut dianggap tidak memiliki nilai produksi yang efektif untuk diolah sendiri, atau keterbatasan sumberdaya modal, tenaga, teknologi serta pengetahuan untuk pengusahaannya. Praktek sewa tanah yang terjadi di lokasi sampel ini hampir semuanya tidak diketahui oleh lembaga Desa/Kelurahan, dan tidak ada peran Desa/Kelurahan dalam pelaksanaannya, dan biasanya kesepakatan sewa tersebut hanya dilakukan antara pemilik tanah dan penyewa. Hal ini terjadi salah satunya karena tidak ada peraturan hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan sewa tanah, sehingga Desa/Kelurahan sendiri mengalami kesulitan dalam memposisikan diri mereka pada perjanjian sewa tersebut. Secara yuridis, praktek sewa tanah sudah diatur oleh pasal 53 UU No. 5 tahun 1960 mengenai pokok-pokok hukum agraria, yang menyebutkan adanya bentuk-bentuk hak atas tanah yang sifatnya sementara, dimana salah satunya adalah hak sewa atas tanah pertanian. Namun, ketidak adaannya peraturan lain yang mengatur mengenai praktek pelaksanaan sewa tanah tersebut membuat pelaksanaannya tidak terkontrol secara hukum, sementara pemerintah sendiri juga mengalami hambatan yuridis dalam pengaturan dan penertibannya. Ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai pengaturan sewa tanah pertanian ini membuat praktek sewa tanah terkesan “tidak terkontrol”, karena bahkan banyak terjadi proses perjanjian sewa tanah yang dilakukan di bawah tangan dan tidak tercatat ataupun terekam oleh Desa/Kelurahan. Padahal, praktek sewa tanah yang ada saat ini sangat potensial merubah wajah agraria pedesaan yang tentu saja akan berpengaruh terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat, yang harus dapat dikenali baik sebagai potensi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal maupun sebagai ancaman terhadap kehidupan pedesaan. Di samping itu,masuknya modal dari luar juga sangat potensial diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sebagai bagian dari pemberdayaan sumberdaya lokal yang optimal, apabila dapat dikelola dengan baik. Dalam kasus sewa tanah yang terjadi di Desa Panjangan Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang ini, setidaknya ada empat gejala pergeseran struktur agraria pedesaan
ISSN 0216-0188
Kesimpulan Pembangunan pertanian merupakan suatu langkah awal bagi bangsa kita dalam menuju ketahanan pangan dan swasembada pangan, yang mengarah kepada keutuhan kedaulatan bangsa. Dari beberapa tulisan diatas, ada dua hal yang harus dicermati dalam melakukan pembangunan pertanian yang terintegrasi, diantaranya adalah : 1. Selain masalah peningkatan teknologi pertanian melalui intensifikasi, diversifikasi 146
Melengkapi Gambar Pertanian...
142 – 147
(Sukmo Pinuji)
wilayah pedesaan serta bisa menjadi alat penetrasi teknologi pertanian yang efektif untuk diterapkan di wilayah yang bersangkutan, dengan tetap memperhatikan keberlangsungan small scale farming maupun labour farming.
dan revitalisasi pertanian, hal lain yang harus diperhatikan adalah masalah labor reproduction atau ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian, terutama untuk pertanian skala kecil (skala rumah tangga). Pertanian harus dapat “dilirik” oleh generasi muda saat ini, dan tidak lagi menjadi bagian dari lapangan pekerjaan yang tersisa karena “tidak ada pilihan”, dengan suatu mekanisme pembangunan pertanian yang dapat meningkatkan daya saing sektor pertanian terhadap sektor formal lainnya, sehingga kaum tani pedesaan tidak hanya menganggap bahwa apa yang mereka geluti saat ini bukanlah suatu “keterpaksaan” ataupun karena “tidak ada pilihan”, tetapi karena suatu “kebanggaan”. 2. Pergeseran struktur agraria yang terjadi karena pergeseran dan perkembangan praktek pengelolaan pertanahan harus dicermati, dikenali dan ditindak lanjuti dengan pengaturan lebih lanjut oleh Pemerintah. Unsur kepentingan ekonomi dan perlindungan terhadap petani kecil harus dapat diafiliasi dengan baik dan diterjemahkan dalam bentuk peraturan yang komprehensif, yang setidaknya dapat mencakup tiga hal, yaitu bagaimana mengarahkan peraturan sewa tanah pertanian ini sebagai salah satu bentuk pemberdayaan sumberdaya lokal yang dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, serta bagaimana sistem ini dapat digunakan sebagai mekanisme penyediaan lapangan kerja di
Daftar Pustaka Alain de Janvry and Elisabeth Sadouleth, 2001. Access To Land And Land Policy Reform, Oxford University Press, Ben Cousins. 2007. Land and Agrarian Reform in the 21th Century : Changing Realities, Changing Argument?, dipresentasikan pada Global Assembly of Members, International Land Coalition, Entebbe, Uganda, 24-27 April 2007 Ben White . 2011. Who Will Own the Countryside? Dispossesion, Rural Youth and the Future of Farming, Valedictory Lecture, presented in 13 Oktober 2011 di International Institute of Social Studies, The Hague BPS Kabupaten Magelang. 2009. Daerah Dalam Angka Kabupaten Magelang 2009. BPS Kabupaten Magelang Henry Bernstein. 2002. Land Reform, Taking a Long(er) View , Journal of Agrarian Change Vol. 2 No. 4, October 2002, pp. 433-463
147