MEDIA & BINGKAI BERITA: ANALISIS FRAMING KOMPAS ONLINE & REPUBLIKA ONLINE DALAM MELIPUT BERITA KEDATANGAN LADY GAGA
Didik Haryadi Santoso, MA
Abstract All of mass media, with their news and based on their perspective always reconstruct of reality. This paper will examine the framing of Lady Gaga’s event in Indonesia. First, it will explore the concept of cross cultural communication theories and theoretical concept of framing. Second, it will explore the media framing on Lady Gaga’s event. Third, it will explore the interpretation skill toward media framing on Lady Gaga’s event.The last, it will explore the characteristic of media kompas online and republika online. Keyword: Cross Cultural Communication, Framing, Media Event. Abstrak Kedatangan Lady Gaga ke Indonesia mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak tanpa terkecuali media. Media, melalui kemampuannya dalam mengkonstruksi realitas, berupaya mengekplorasi data & fakta menjadi bingkai berita yang beragam. Tulisan ini mengulas tentang bagaimana kompas online dan republika online dalam membingkai berita tentang kedatangan Lady Gaga di Indonesia. Pada bagian awal, tulisan ini mencoba memamparkan kerangka teoritik komunikasi lintas budaya serta konsep framing perspektif Urs Dahinden. Pada bagian berikutnya, tulisan ini berupaya mengurai framing media kompas online dan republika online tentang kedatangan Lady Gaga serta karakteristik dan Standpoint media kompas online dan republika online. Terakhir, kesimpulan dan penutup. Kata-kata kunci: Komunikasi Antar Budaya, Framing, Media event.
A. Pendahuluan Beberapa waktu yang lalu atmosfer pemberitaan media massa di Indonesia diwarnai oleh pro-kontra kedatangan Lady Gaga. Penampilannya yang sensasional dan kontroversial memicu perdebatan panjang antara kelompok yang pro Lady Gaga
1
dengan kelompok yang kontra. Kedua-duanya saling menekan dan saling “serang” kritikan. Dalam dinamika pro-kontra isu tersebut media massa hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Kehadirannya dapat berperan menjadi watch dog (anjing pengawas), guard dog (anjing penjaga) atau bahkan bisa juga hanya menjadi lap dog (anjing pangkuan atau peliharaan). Tulisan singkat ini mencoba mengkaji serta mendiskusikan tentang bagaimana media massa mengulas dan membingkai pemberitaan pro-kontra kedatangan Lady Gaga. Obyek kajian dari tulisan ini yaitu pemberitaan tentang Lady Gaga yang dimuat di internet khususnya di kompas.com dan republika online. Sedangkan pisau analisis yang digunakan dalam kajian singkat ini yaitu menggunakan analisis framing. Pada bagian pertama akan dipaparkan kerangka teoritik tentang komunikasi lintas budaya serta konsep framing Urs Dahinden. Pada bagian kedua, tulisan ini mencoba mengekplorasi dan menganalisis kecenderungan framing pemberitaan Kompas online dan Republika online. Pada bagian ketiga, akan dijabarkan analisis karakteristik serta standpoint media Kompas online dan Republika online dalam membingkai berita kedatangan Lady Gaga dan terakhir kesimpulan serta penutup. B. Industri Pers: Antara Individualisme dan Kolektivisme Dalam kajian tentang sistem media telah diketahui bersama bahwa sistem politik turut mempengaruhi sistem media dengan berbagai karakteristiknya. Di Negara yang individualis, karakteristik media cenderung individualis. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa di Negara yang individualis juga terdapat karakter media yang kolektivistik, demikian pula sebaliknya. Dalam hal karakteristik media, pers yang cenderung individualis cenderung hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri daripada kelompok atau golongan lain. Demikian pula sebaliknya, pers yang berkarakter kolektivis cenderung mendahulukan
2
kepentingan kelompok-kelompok daripada kepentingan individu-individu. Mengenai hal ini Gudykunst & Nishida telah memamparkannya dengan jelas.1 Pada tahapan cara atau metode penyampaian berita, setiap media memiliki metode atau cara pengungkapan beritanya sendiri-sendiri. Setidaknya terdapat dua cara pengungkapan berita diantaranya yaitu: Pertama, komunikasi konteks tinggi dan Kedua, komunikasi konteks rendah. Menurut Gundykunst dan Ting Toomey komunikasi konteks rendah lebih menonjol di budaya individualistik dan komunikasi tingkat tinggi menonjol pada budaya kolektivistik. Baik komunikasi konteks tinggi maupun komunikasi konteks rendah keduanya sama-sama digunakan pada semua budaya. Penganut individualistik akan cenderung menggunakan komunikasi konteks rendah secara langsung. Sebaliknya, tipikal kolektivistik cenderung menggunakan komunikasi konteks tinggi dan lebih menjaga atau memelihara dimensi harmoni kelompok. C. Framing Urs Dahinden: Teori dan Konsep Framing merupakan sebuah cara tentang bagaimana peristiwa disajikan oleh media, selain itu framing merupakan pendekatan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.2 Pendekatan framing membantu membuka dan melihat tentang bagaimana realitas dibentuk dan dikostruksi. Terdapat terdapat beberapa model framing untuk melihat upaya media dalam mengemas berita. Diantaranya yaitu model Pan & Kosicki, model Gamson & Modigdaliani serta model Urs Dahinden. Kajian singkat ini mencoba menggunakan model Dahinden. Dahinden memawarkan konsep dan kategorisasi framing yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengkaji pemberitaan di media massa. Diantaranya yaitu: 1. Kemajuan/Informasi
Pengetahuan.
Artinya,
penguraian tema
yang
mengacu pada konteks kemajuan yang berdimensi ilmu pengetahuan.
1
Lihat Wiliam B. Gudykunst & Bella Mody, “Handbook of International and Intercultural Communication”, (London: Sage Publication,2002), Hlm. 27 2 Alex Sobur, “Analisis Teks Media: “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing”, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2002), Hlm. 162.
3
2. Aspek Ekonomi. Yaitu penjabaran tema yang didasarkan pada dimensi ekonomi dengan logika untung-rugi. 3. Konfik. Artinya pemilihan tema berita yang didasarkan pada konflik kepentingan yang terjadi didalam kelompok-kelompok sosial masyarakat. 4. Etika dan Hukum. Artinya, tema dipaparkan berangkat dari dimensi moralitas, etika dan hukum yang berlaku. 5. Pengaruh Individual/Personalisasi. Artinya, tema diangkat berdasarkan pada sosok individu.3 Dari lima aspek diatas, penulis menambahkan satu aspek yaitu aspek politik. Aspek politik cenderung memaparkan tema yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu semisal kepentingan politik, kepentingan ideologi dan lain sebagainya. D. Bingkai Berita Kompas Online tentang Kedatangan Lady Gaga Atmosfer pemberitaan media massa Indonesia beberapa waktu yang lalu diwarnai dengan pro-kontra kedatangan konser Lady Gaga. Kelompok yang setuju dengan Lady Gaga berargumen bahwa konser Lady Gaga merupakan kebebasan berekspresi dan atas nama seni. Sedangkan kelompok yang kontra mengemukakan bahwa Lady Gaga berpenampilan tidak sopan, mengandung unsur pemujaan terhadap setan dan syair yang menyinggung umat kristiani. Terkait dengan hal tersebut, media membingkai berita tersebut dengan beberapa frame dominan seperti frame konflik, ekonomi, personalisasi, etika dan hukum, seperti pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Framing Pemberitaan Harian Kompas Online tentang Kedatangan Lady Gaga No
1
Tema Gelombang Protes (Pro-Kontra) Lady Gaga
Frame 1. Etika, Hukum 2. Personalisasi
3
Teks-Teks Kunci 1. IPW minta Polda tak ragu larang Lady Gaga. 2. Menkopolhukan: Lady Gaga boleh datang asal. 3. Menteri Agama: Lady
Dahinden, 2002, Framing as a Theory for the Communication of Science and Technology, Vol.27, pp 1-2. Diakses tanggal 22 Mei 2012 dari PCST International Conference.
4
4.
5.
6.
Trivialisasi media tentang konser Lady Gaga
1. Konflik 2. Ekonomi 3. Personalisasi
1.
2.
3.
4.
2
5.
6.
7.
Gaga seperti pemuja setan. Benny: Polisi larang Lady Gaga tetapi biarkan prostitusi. Polisi diminta transparan soal Lady Gaga. Mendagri: Langkah baik, konser Lady Gaga dilarang. Habib Salim Assegaf: FPI siap cegat Lady Gaga di Bandara. Olga Lydia: Lady Gaga Enggak Seksi, Cuma aneh saja. Said Aqil: Lady Gaga takkan goyahkan iman orang NU. Promotor yakin tiket Lady Gaga terjual dalam sehari. Polda: Uang Tiket Lady Gaga akan dikembalikan. 14 Busana “Gaga Goes Batik” siap dipilih Lady Gaga. EO Lady Gaga sudah paham.
Pada tabel diatas, setidaknya terdapat dua tema besar yang dibingkai oleh media, yaitu, Pertama, tema tentang gelombang protes (Pro-Kontra) Lady Gaga. Kedua, tema tentang trivialisasi media tentang konser Lady Gaga. Pada tema pertama, frame etika dan hukum terlihat ketika IPW meminta Polda untuk tidak raguragu dalam melarang konser Lady Gaga sebab didasarkan atas undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi. Frame etika dan hukum terlihat pada berita yang mengangkat tentang komentar Menkopolhukam yang mengatakan bahwa, Lady Gaga
5
diperbolehkan tampil asalkan menggunakan busana yang sopan sesuai budaya Indonesia. Demikian pula berita yang memuat komentar Menteri Agama dan Mendagri. Selain frame etika dan hukum, frame personalisasi juga tampak dominan dalam pemberitaan Kompas Online. Jika ditelaah lebih jauh, frame personalisasi yang digunakan oleh kompas online cenderung lebih banyak mengambil individu-individu yang merupakan bagian dari institusi pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Personalisasi
dari
eksekutif
misalnya
ditunjukkan
pada
komentar
dari
Menkopolhukam, Menteri Agama dan Mendagri. Sedangkan personalisasi dari legislatif yaitu Benny K Harman yang merupakan Ketua Komisi III DPR RI. Selanjutnya pada tema kedua yaitu trivialisasi media atau pengangkatan halhal yang bersifat sampingan (remeh temeh) sangat dominan dengan frame konflik, ekonomi dan personalisasi. Frame konflik ditandai dengan munculnya pemberitaan Habib Salim Assegaf dari kelompok FPI yang siap menghadang kedatangan Lady Gaga di Bandara Soekarno-Hatta. Dimensi konflik terkait konser Lady Gaga juga terlihat dari komentar ketua PBNU Said Aqil. Namun, konflik tersebut tidak teralu fokus terkait kedatangan Lady Gaga, melainkan tentang unsur anarkis atau kekerasan yang mengatasnamakan agama dalam merespon kedatangan Lady Gaga. Kemudian, tema trivialisasi media lainnya yaitu menggunakan frame ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada bingkai berita tentang keyakinan promotor terkait tiket Lady Gaga yang dapat terjual dalam sehari. Selain itu, tema trivialisasi media dalam bingkai ekonomi juga ditandai pada bingkai pemberitaan tentang uang tiket Lady Gaga yang akan dikembalikan,14 Busana “Gaga Goes Batik” yang siap dipilih oleh Lady Gaga serta tentang EO (Event Organizer) Lady Gaga. Kemudian, frame personalisasi
tampak jelas ketika Kompas Online
menggunakan individu-individu sebagai bingkai beritanya. Namun personalisasi pada tema trivialisasi berbeda dengan tema pertama yang cenderung berasal dari individuindividu bagian dari institusi pemerintah. Personalisasi pada tema trivialisasi lebih cenderung pada individu-individu di luar institusi pemerintahan seperti Habib Salim 6
Assegaf, Olga Lydia, Said Aqil, pengusaha dan perancang batik serta promotor konser Lady Gaga. E. Framing Republika Online tentang Kedatangan Lady Gaga Pro kontra kedatangan Lady Gaga juga direspon oleh Republika online dengan kecenderungan bingkai pemberitaan yang berbeda. Republika online cenderung membingkai berita tentang Lady Gaga dari sisi moralitas. Strategi penguatan dimensi moralitas tersebut dengan mengangkat gerakan-gerakan moral kolektif dan penolakan-penolakan individu dari tokoh agama Kristen dan Islam serta dari Negarawan. Pengangkatan berita tentang gerakan-gerakan protes di berbagai Negara merupakan pembingkaian berita dari aspek moral. Sedangkan pemberitaan tentang penolakan-penolakan dari individu masuk dalam frame pemberitaan berdimensi personalisasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Framing Pemberitaan Republika Online tentang Kedatangan Lady Gaga No
Tema Gerakan Moral Kolektif
1. 2.
Frame Etika, Hukum Politik
1.
2.
3. 1
4.
5.
7
Teks-Teks Kunci Persekutuan gereja kristen dan sejumalah organisasi sipil di Korsel lakukan protes. 70 pemuda Kristen di Filipina meneriakkan “Hentikan konser Lady Gaga” Kelompok Biblemood Pemuda Filipina merasa tersinggung dengan musik dan video Lady Gaga. Kelompok-kelompok konservatif Kristen menggelar unjuk rasa menuntut pembatalan konser Lady Gaga. IPW berharap polisi konsisten larang Lady
Gaga. 6. IPW mendukung langkah Polri dalam menegakkan undangundang antipornografi. Penolakan Individu
1.
Personalisasi
2
1. Mantan Walikota Manila Jose Atienza mengatakan penyanyi & penyelenggara dapat dihukum. 2. Benny Abente, seorang pendeta Kristen: Dia tidak boleh menyanyikan lagu yang menyinggung indra rohani kami. 3. Mantan Anggota Kongres Filipina Ben. A mengatakan kelompoknya berencana membawa kasus ini ke pengadilan. 4. Mantan Ketua PB NU Hasyim Muzadi menganggap konser Lady Gaga lebih banyak kemudharatan bagi umat dibanding manfaat.
Setidaknya dalam pemberitaannya Republika online mengangkat dua tema besar, Pertama, tema tentang gerakan-gerakan moral kolektif yang dilakukan di berbagai Negara diantaranya yaitu Korea Selatan, Filipina dan Indonesia. Kedua, tema penolakan individu tentang kedatangan Lady Gaga. Penolakan indivdu ini masuk dalam kategori pembingkaian berita berdimensi personalisasi. Tema tentang gerakan-gerakan moral kolektif diangkat oleh Republika online dalam berita yang berjudul “Lady Gaga, si Monster yang Terlahir Kontroversial”. Gerakan-gerakan protes tersebut berasal dari persatuan gereja umat Kristiani dan
8
organisasi sipil yang ada di Korea Selatan. Mereka menilai, Lady Gaga membawa dampak buruk dengan pernyataan terbukanya yang mendukung homoseksualitas dan pornografi dengan istilah “kebebasan berekspresi”. Demikian pula pemberitaan Republika online yang berjudul “Di Filipina, Penyelenggara Konser Lady Gaga Bisa Dihukum”. Pada alenia pertama berita tersebut langsung dipaparkan bahwa Filipina tidak mengizinkan Konser Lady Gaga dengan alasan membawa pesan amoral. Selain itu, juga diberitakan tentang gerakan moral dari anggota kelompok yang disebut Biblemode Pemuda Filipina yang tersinggung dengan musik-musik dan video-video Lady Gaga khususnya lagu Judas yang dianggap mengolok-olok Yesus Kristus. Di Indonesia, Repbulika online mengangkat gerakan protes yang dilakukan oleh Indonesia Police Watch (IPW). Penolakan IPW oleh sebab demi mencegah potensi pornoaksi. Gerakan tersebut mendorong aparat kepolisian khususnya Polda Metrojaya dengan basis legitimasi dari undang-undang antipornografi Pasal 19 ayat B. Dalam aksinya IPW mendukung penuh langkah Polri dalam menegakkan undang-undang antipornografi. Tema kedua yaitu penolakan individu yang masuk dalam kategori pembingkaian berita berdimensi personalisasi. Republika online menggunakan Frame personalisasi dari berbagai tokoh agama dan Negara dari berbagai Negara guna mendapat legitimasi moral terkait kedatangan Lady Gaga. Tokoh agama dan Negarawan diantaranya yaitu seorang pendeta Kristen Benny Abente, Mantan Anggota Kongres Filipina Ben. A, Mantan Ketua PB NU Hasyim Muzadi, serta Mantan Walikota Manila Jose Atienza. F. Republika Online dan Kompas Online: Karakteristik dan Standpoint Media Setidaknya terdapat dua terminologi yang penulis gunakan dalam kajian tentang pers pada tulisan ini yaitu Pertama, pers partisan. Pada Maret 1965 keluar suatu rancangan Keputusan Menteri No 29/SK/M/65 tentang norma-norma dasar bagi perusahaan pers Indonesia. Di dalam Keputusan Menteri tersebut beriskan perintah agar semua surat kabar berafiliasi secara resmi dengan partai politik, instansi fungsional atau organisasi massa. Namun memasuki oktober 1965 era Orde Baru, 9
terjadi pergeseran esensi isi Keputusan Menteri sebelumnya. Pers kemudian dituntut untuk memelihara keamanan nasional melawan ancaman internal dan eksternal serta harus menjaga Pancasila sebagai ideologi negara.4 Di tengah pusaran ancaman, intimidasi dan pelarangan terbit melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menyebabkan pers-pers tidak lagi terlalu memperhatikan dimensi isi atau pesan jurnalisme yang profesional melainkan cenderung melihat dimensi atau relasi politik dan kekuasaan dengan spektrum serta garis politik yang jelas. Pada posisi inilah perlahan muncul pers-pers partisan. Diawal era Orde Baru, pers-pers partisan berdimensi politik bentukan pemerintah dan Golkar salah satu diantaranya ialah Harian Suara Karya. Sedangkan era Orde Baru tingkat akhir, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) merintis pers partisan berdimensi agama khususnya Islam yaitu Republika. Republika dianggap mewakili “kepentingan” umat Islam di Indonesia. Oleh karenanya
Republika
bisa
dikatakan
cenderung
individualis
yang
lebih
mengutamakan kepentingan ideologis Islam-ICMI dari pada merangkul kepentingan kelompok lain atau golongan lain. Dalam proses penyampaian berita Republika online cenderung menggunakan komunikasi konteks rendah, dimana ketidaksetujuan atas suatu isu seperti tentang kedatangan Lady Gaga dinyatakan secara langsung dan terbuka. Standpoint Republika terkait isu-isu nasional juga cenderung berdimensi moralitas. Hal ini dapat dilihat dari cara pembingkaian setiap beritanya yang sangat dominan aspek etika, moral dan hukum. Kedua, pers komersil. Pada Juli 1968 melalui UU penanaman modal, pers perlahan direkonstruksi dari alat atau kendaraan politik ke arah industri dengan mekanisme pasar. Cikal bakal pers komersil pun tumbuh dan berkembang. Beberapa perusahaan surat kabar mendapatkan pinjaman dari Bank-Bank pemerintah. Semisal Kompas yang mendapatkan pinjaman 75% dari modal yang diperlukan untuk
4
Krisna Sen & David T. Hill, “Media, Budaya dan Politik di Indonesia”, (Jakarta: PT Sembrani Aksara Nusantara,2001), hlm. 63
10
mendirikan kantor percetakan baru.5 Pendirian tersebut tentu dapat memangkas biaya produksi dan distribusi dan bermuara pada keuntungan yang meningkat. Kompas dapat dikatakan pers yang berkarakter kolektivis yang cenderung mendahulukan
dan
merangkul
kepentingan
kelompok-kelompok
daripada
kepentingan individu-individu dan lebih menjaga atau memelihara dimensi harmoni kelompok. Dalam hal penyampaian beritanya, Kompas cenderung menggunakan komunikasi konteks tinggi. Sikap pro ataupun kontra terhadap suatu isu tidak disampaikan secara langsung dan blak-blakan. Dalam konteks isu kedatangan Lady Gaga misalnya, dalam membingkai beritanya Kompas berbagai aspek frame serta memberi ruang bagi kelompok yang pro maupun kelompok yang kontra dengan standpoint bahwa Indonesia adalah negara multikulturalisme. Sikap merangkulmemberi ruang, sikap kehati-hatian dalam isu-isu sensitif serta selfcencorship inilah yang menyelamatkan media itu dari pelarangan besar-besaran di tahun 1970-an. G. Kesimpulan dan Penutup 1. Bingkai Berita Kompas Online dan Republika Online Berita tentang kedatangan Lady Gaga di kompas online diulas menggunakan frame etika dan hokum. Selain itu, frame personalisasi tampak dominan pada berita-berita yang ditonjolkan. Tema yang dibingkai oleh Kompas online, yaitu pertama, tema tentang gelombang protes pro dan kontra Lady Gaga. Kedua, tema tentang trivialisasi media tentang konser Lady Gaga. Tema tentang pro dan kontra dibingkai dalam frame etika dan hukum. Frame etika dan hukum ini terlihat ketika IPW meminta Polda untuk tidak raguragu dalam melarang konser Lady Gaga
atas dasar undang-undang tentang
pornografi dan pornoaksi serta berita yang memuat komentar-komentar Menkopolhukam, Menteri Agama dan Mendagri. Sedangkan frame personalisasi yang digunakan oleh Kompas online cenderung lebih banyak mengambil individuindividu yang merupakan bagian dari institusi pemerintah baik eksekutif maupun 5
Ibid., hlm. 67
11
legislatif seperti Menkopolhukam, Menteri Agama, Mendagri dan Ketua Komisi III DPR RI. Selanjutnya, pada tema trivialisasi media, pemberitaan Kompas Online sangat dominan dengan frame konflik, ekonomi dan personalisasi. Frame konflik ditandai dengan munculnya pemberitaan Habib Salim Assegaf dari kelompok FPI yang siap menghadang kedatangan Lady Gaga di Bandara Soekarno-Hatta. Pada frame ekonomi merujuk pada pembingkaian berita tentang keyakinan promotor terkait tiket Lady Gaga yang dapat terjual dalam sehari. Terakhir, frame personalisasi Kompas online cenderung menggunakan individu-individu yang berada di luar institusi pemerintahan seperti Habib Salim Assegaf, Olga Lydia, Said Aqil, pengusaha dan perancang batik serta promotor konser Lady Gaga. Berbeda dengan Kompas online, Republika online cenderung dominan menggunakan frame moral, etika dan hukum dalam pemberitaannya tentang kedatangan Lady Gaga. Setidaknya Republika online mengangkat dua tema antara lain yaitu. Pertama tema tentang gerakan-gerakan moral kolektif yang dilakukan di berbagai Negara diantaranya yaitu Korea Selatan, Filipina dan Indonesia. Kedua, tema penolakan individu tentang kedatangan Lady Gaga. Tema yang diangkat oleh Republika online tentang gerakan-gerakan moral kolektif mengambil contoh gerakan-gerakan protes yang berasal dari persatuan gereja umat Kristiani dan organisasi sipil yang ada di Korea Selatan. Kemudian gerakan moral dari anggota kelompok yang disebut Biblemode Pemuda Filipina serta di Indonesia gerakan protes yang dilakukan oleh Indonesia Police Watch (IPW). Tema selanjutnya yaitu tema penolakan individu. Mengenai tema penolakan individu, Republika online menggunakan frame personalisasi dari berbagai tokoh agama dan Negara dari berbagai Negara guna mendapat legitimasi moral terkait kedatangan Lady Gaga. Tokoh agama dan Negarawan diantaranya yaitu seorang pendeta Kristen Benny Abente, Mantan Anggota Kongres Filipina Ben. A, Mantan Ketua PB NU Hasyim Muzadi, serta Mantan Walikota Manila Jose Atienza. 12
2. Kompas Online dan Republika Online: Karakteristik dan Standpoint Media Dalam
proses
penyampaian
berita
Republika
online
cenderung
menggunakan komunikasi kontek rendah, dimana ketidaksetujuan atas suatu isu seperti tentang kedatangan Lady Gaga dinyatakan secara langsung dan terbuka. Standpoint Republika online terkait isu tersebut cenderung berdimensi moralitas. Hal ini dapat dilihat dari cara pembingkaian setiap beritanya yang sangat dominan aspek etika, moral dan hukum. Lain halnya dengan Kompas termasuk pers berkarakter kolektivis yang berupaya mengakomodir berbagai macam kepentingan baik yang pro maupun yang kontra terhadap kedatangan Lady Gaga. Dalam hal penyampaian beritanya, Kompas cenderung menggunakan komunikasi konteks tinggi. Sikap pro dan kontra tidak disampaikan secara langsung dan blak-blakan. Dalam konteks kedatangan Lady Gaga, Kompas online membingkai beritanya dari berbagai aspek frame serta memberi ruang bagi kelompok yang pro maupun kontra dengan standpoint bahwa Indonesia adalah negara multikulturalisme. Melalui pembingkaian berita, media mampu memberikan ruang-ruang pro dan kontra terkait peristiwa-peristiwa nasional. Disanalah media lahir dan hadir sebagai mediator yang menjalankan peran dan fungsi strategisnya. Titik-titik respon media terhadap peristiwa perlahan menjadi satu garis bingkai yang utuh tentang bagaimana sepak terjangnya dalam dunia pers Indonesia. Kelak, ia akan dinilai oleh perjalanan waktu, apakah kehadirannya berperan menjadi watch dog (anjing pengawas), guard dog (anjing penjaga) atau hanya menjadi lap dog (anjing pangkuan atau peliharaan).*****
13
DAFTAR PUSTAKA Dahinden Urs. (2002). Framing as a Theory for the Communication of Science and Technology. Diakses tanggal 22 Mei 2012 dari PCST International Conference. Gudykunst B.Wiliam & Mody Bella (2002). Handbook of International and Intercultural Communication. London: Sage Publication. Rangkuti Sofia.(2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: PT.Dian Rakyat Sen Krisna & T. Hill David.( 2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT Sembrani Aksara Nusantara. Soekanto Soerjono.(1992). Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sobur Alex.(2002). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Surat Kabar Online
www.kompas.com diakses pada tanggal 21 Mei 2012 www.republika.com diakses pada tanggal 21 Mei 2012
14