Yuyus Rustandi, S.Sn., M.Pd.
MASYARAKAT dan KESENIAN INDONESIA
PUSAT STUDI HUKUM DAN DEMOKRASI (The Centre For Study of Law and Democracy) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAKUAN
YUYUS RUSTANDI MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA C2011 yuyus rustandi Edisi Pertama, Cetakan ke-1
Hak Penerbitan Pusat Studi Hukum dan Demokrasi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh buku ini dengan cara apapun termasuk dengan penggunaan mesin foto copy tanpa izin dari penerbit
Design Cover Lay Out
: Fdesign : Fdesign
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD) YUYUS RUSTANDI MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA Ed. 1 Cet. 1. 44 hlm, 21 cm
ISBN: 978-602-18266-1-4
Cetakan ke-1, Maret 2011
Divisi Penerbitan PUSAT STUDI HUKUM DAN DEMOKRASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAKUAN Jln. Pakuan PO. BOX 452 Telp. 0251-8373588 – Fax. 0251-8310179 Bogor
KATA PENGANTAR
Untuk mengantisipasi perkembangan substansi keilmuan di Program Studi Sastra Inggris, salah satu mata kuliah yang diselenggarakan adalah Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Berdasarkan Rancang Bangun, Silabus dan Garis-garis Besar Program Pembelajaran yang telah disusun, kemudian dituangkan menjadi buku Masyarakat dan Kesenian Indonesia sebagai bahan ajar untuk Program Studi Sastra Inggris. Materi pembahasan dalam buku ini adalah pemaparan mengenai wawasan berkesenian, filsafat estetika, serta perkembangan kesenian barat dan timur. Buku ini diakui masih perlu penyempurnaan lebih lanjut dan akan dilaksanakan seiring waktu yang berjalan. Semoga buku ini dapat memenuhi kebutuhan minimal untuk mata kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia pada Program Studi Sastra Inggris.
Bogor, Maret 2011 - Penulis -
BAB I PENDAHULUAN
Mata kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia akan memberi arah pada pembahasan mengenai perkembangan kesenian sebagai cermin perubahan masyarakat Indonesia dalam rangka memahami kebudayaan Nasional. Di samping itu, secara perlingkup lebih memfokus diarahkan pula pada pemahaman mengenai landasan ilmu dan seni, beberapa pengertian tentang seni, dan perkembangan kesenian masyarakat Indonesia.
A.
Deskripsi Singkat Mata kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia dimaksudkan untuk
membantu mahasiswa Program Studi Sastra Inggris dalam memahami pengetahuan tentang kesenian dan aspek-aspek terkait dalam hubungannya dengan masyarakat Indonesia. Adapun indikator keberhasilan yang diharapkan dapat ditunjukan adalah mampu menjelaskan teori-teori keindahan, pemahaman mengenai kesenian barat dan kesenian timur. Dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, curah pendapat, diskusi, dan studi kasus, diharapkan mahasiswa dapat terlibat secara partisipatif di dalam memahami konsep, teori, dan praktek yang bersangkutan dengan kesenian dan masyarakat Indonesia.
B.
Tujuan Pembelajaran Agar mahasiswa memiliki gambaran yang jelas tentang hal-hal yang
menyangkut teori kesenian perlu dirumuskan kompetensi dasar yang merupakan tujuan pembelajaran, dan indikator-indikator keberhasilan yang merupakan tujuan pembelajaran khusus. 1. Kompetensi dasar Pada akhir kegiatan pembelajaran, mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dan teori kesenian dengan berbagai aspeknya. 2. Indikator Keberhasilan Setelah selesai mengikuti pembelajaran, mahasiswa diharapkan dapat: a. Menjelaskan konsep-konsep keindahan. b. Menjelaskan teori-teori kesenian. c. Menjelaskan perbedaan pendekatan antara kesenian barat dan timur.
BAB II MASYARAKAT dan KESENIAN INDONESIA
A.
Penghayatan dan Eksplorasi Seni Seseorang tertegun di sebuah galeri, ketika dengan seksama memandang
dua buah lukisan hasil karya Popo Iskandar dan lukisan bergaya tradisional Bali. Setelah lama dengan ketertegunannya, kemudian sejuta pertanyaan bersemayam dibenaknya, apakah lukisan “moderen” itu lukisan Indonesia? Di samping pertanyaan seperti itu yang menyangkut lukisan, dalam variasi yang agak lain tetapi dalam esensi yang sama bukankah sering kita dihadapkan pada pertanyaan seperti apakah sajak dan teater Rendra adalah sajak dan teater Indonesia, apakah novel Iwan Simatupang novel Indonesia, apakah musik Pop Kreatif dewasa ini merupakan bagian musik Indonesia, dsb. Seseorang yang sering menanyakan apakah suatu ekspresi seni masih bisa dikatakan sebagai seni Indonesia, adalah orang yang tidak menduga akan munculnya simbol-simbol yang berlainan dengan harapannya. Maka seseorang yang tertegun lama dan kaget ketika melihat lukisan-lukisan Popo Iskandar tidak menemui simbol-simbol yang mereka kenal. Pemilihan objek, penggarapan tema, penguasaan teknik dari pelukis-pelukis tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hal yang sama pula dikatakan tentang mereka yang merasa berkonfrontasi dengan pertunjukan tarian di belantara Papua. Mereka berkonfrontasi dengan sesuatu yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang asing.
Dalam berkonfrontasi tersebut mereka tidak pernah berhasil atau gagal mengenal dan menemui sesuatu yang sudah merasa akrab sebelumnya. Mereka umumnya merasa gelisah dan tidak comfortable pada waktu membaca sebuah gejala Mahabarata, Ramayana, atau seni Indonesia yang lainnya. Asosiasi yang mereka dapat dalam percobaannya untuk menangkap dan merangkai simbolsimbol yang terdapat dalam seni pertunjukan Indonesia, merupakan asosiasi yang jauh dari melegakan perasaannya. Pertalian erat yang menghubungkan rasa yang disebut keakraban tersebut akan segera dirasakan beda dalam getarannya, begitu terdapat wajah dan bentuk yang lain, yang tidak familiar segera timbul kecenderungan pada kita untuk mencocokan, untuk “men-cek” apakah ada kemiripan tertentu pada wajah baru ini dengan wajah kita, wajah-wajah di sekitar kita. Kalau ternyata tidak terlalu banyak kita temui kemiripan itu, eratnya pertalian keakraban tersebut akan terganggu. Tingkat kesenangan, perasaan betah, dan perasaan comfortable kita akan menjadi terganggu pula. Hanya bila salah seorang dari sesepuh kita menyatakan kepada kita bahwa wajah baru tersebut ternyata “masih sanak sendiri”, maka perasaan betah dan nyaman akan kembali timbul. Maka segeralah kita usahakan penyesuaian dengan “sanak sendiri” karena kebingungan dan kegelisahan kita untuk mengerti sudah ditunjukan jalan pemecahannya, sudah diberikan green light oleh para sesepuh kita. Keakraban dengan segala lingkungan tersebut antara lain disebut sebagai kultur. Demikian Umar Kayam (1981). Sementara yang harus diketahui seni adalah suatu karsa, cipta, dan karya manusia yang menghasilkan keindahan disertai dorongan interpretasi. Seni
memang tidak mutlak harus menjadi satu kesatuan pandangan antara satu orang dengan orang lain. Menurut seseorang seni itu merupakan suatu karya yang indah dan mudah dimengerti, tetapi dilain pihak belum tentu indah dan dapat dimengerti oleh orang lain. Namun demikian agaknya akan terdapat suatu titik kesamaan apabila dalam menggali potensi apresiasi, para penikmat seni melibatkan interpretasi. Menumbuhkan interpretasi dalam diri memang tidak semudah membalikan telapak tangan, oleh karena memiliki tingkat kerumitan, interpretasi harus ditumbuhkan melalui dua hal, yaitu: 1. Faktor lingkungan Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan santri yang kental, akan menghasilkan pemahaman keislaman yang memadai, dsb. 2. Faktor pendidikan Pemahaman mengenai khasanah kesenian diperoleh melalui pendidikan formal kesenian.
B. Konsep Keindahan Apa itu keindahan? Sebelum kita mulai mencoba menelaah apakah yang dimaksud dengan keindahan, ada baiknya kita meninjau kenyataan mana yang kita sebut indah dan rasakan sebagai indah. Ada bermacam hal yang bisa menimbulkan rasa indah pada saat kita mengalaminya dalam bentuk suatu kesenangan, kepuasan yang dihasilkan melalui media penglihatan, pendengaran, rasa gerak (kinestetik sence), dan rasa ruang (space sence). Secara ringkas kita dapat menggolongkan hal-hal yang indah dalam dua golongan, yaitu:
1. Keindahan alami Keindahan alami, merupakan ungkapan kekuasaan dan kemurahan tuhan. Dalam hal ini keindahan yang telah ada sebagai ciptaan tuhan dalam wujud pemandangan. Misalnya: gunung, laut, burung, bunga, dsb. (eksperiental kalangan awam). 2. Keindahan seni Keindahan seni, merupakan keindahan sebagai perwujudan rohani dan keterampilan. Dalam hal ini keindahan yang tampak berkat hasil cipta manusia berdasar pada sesuatu yang telah tuhan ciptakan.
BAB III BEBERAPA TEORI MODEREN
A. Seni Sebagai Intuisi Teori intuisi dicetuskan pertama kali oleh Benedetto Croce seorang filsuf berkebangsaan Italia. Menurut pendapatnya, seni adalah intuisi. Dalam memahami, menggambarkan, mengolah, menginterpretasikan suatu karya seni, tidak hanya dengan keterlibatan rasio (otak) semata, tetapi harus merupakan penggabungan ketiga unsur yang tedapat dalam ruh manusia yaitu rasio, perasaan, dan imajinasi. Penggabungan ke tiga elemen tersebut harus dalam kadar kekentalan yang sangat tinggi, pekat, menggumpal. Sehingga tidak menjadi bagian yang terpisahpisah, bukan rasio lagi, bukan perasaan lagi, dan bukan imajinasi lagi. Tapi sudah menjadi kesatuan yang disebut intuisi. Contoh 1: Sajak Dalam Kereta Dalam kereta Hujan menebal jendela Semarang, Solo… makin dekat saja Menangkap senja Menguak purnama Caya menyayat mulut dan mata Menjengking kereta menjengking jiwa Sayatan terus ke dada
Contoh 2: Ungkapan Rasa Cinta Cintaku padamu bagai mawar merah Cintaku padamu bagai melati Melihat contoh kalimat di atas, akan tergambar bahwa ke dua kalimat di atas tampak sama yaitu pengungkapan rasa cinta. Tetapi jika dikaji secara mendalam, pengertian kalimat yang pertama merupakan ungkapan kata cinta yang menggelora, menyala, amarah, penuh nafsu, dsb. Sedangkan kalimat yang ke dua pernyataan cinta yang diungkapkan dengan penuh kelembutan, halus, dan menekan. Intuisi akan berhasil dan berdaya guna jika dalam karya seni tersebut terkandung unsur simbol. Hal ini memungkinkan pula bahwa karya seni yang bermutu (rumit) hanya akan dihasilkan oleh intuisi dan diterima atau pengkajiannya melalui intuisi pula. Bahkan di Amerika berkembang sebuah ilmu psycoorientology yang spesifikasinya mengkaji tentang intuisi, yaitu ilmu untuk menggerakan otak kanan manusia guna menunjang jalannya imajinasi. Ilmu ini dirasakan sangat cocok dimiliki oleh seorang seniman bahkan oleh seorang filsuf sekalipun. Intuisi tidak sama dengan rasio, sehingga dalam hal ini dapat dibedakan antara ilmu pengetahuan (sain) dan seni. Ilmu terdiri dari elemen rasio, objektif, dalam hal pemahaman menjadi tidak mempribadi. Sedangkan seni terdiri dari elemen intuisi, subjektif, dalam pemahaman menjadi mempribadi.
B. Seni Sebagai Penggambaran Suatu Ekspresi Pencetus teori penggambaran suatu ekspresi adalah Colling Wood seorang filsuf berkebangsaan Amerika. Menurutnya seni adalah penggambaran suatu ekspresi. Bahwa suatu karya dikatakan ada, tampak, dan lahir, jika manusia sebagai subjek pembuat (homocreator) telah mencurahkan pengalaman batinnya ke dalam suatu media. Tujuan pencurahan ini adalah untuk mengekalkan, mengabadikan, melestarikan pengalaman batin,
ide-ide,
gagasan-gagasan
seseorang agar menjadi monumental. Media karya seni dimaksud dapat berupa musik (nada), sastra (kata), lukis (garis dan warna), dsb. Pada prinsipnya suatu karya seni tercipta melalui tahapan sebagai berikut: 1. Pengalaman batin: kehadirannya sangat potensial karena dijadikan pondasi awal proses penciptaan. Karena apa yang tersirat dalam benak seniman baik yang telah dijalaninya, maupun yang masih tersirat dalam pikiran akan menjadi modal awal proses penciptaan. 2. Media: sebagai sarana untuk mencurahkan pengalaman batin, baik berupa tari, musik, lukis, patung, dsb. 3. Karya seni: sebagai aplikasi proses pengalaman batin yang telah dicurahkan atau dituangkan ke dalam media. 4. Penikmat: seseorang yang berhak menilai baik atau buruknya sebuah karya seni.
C. Seni Sebagai Simbolis Seorang
filsuf
berkebangsaan
Amerika
bernama
Susanne
Langer
berpendapat bahwa menurutnya seni adalah bahasa (seni sebagai simbolis). Bahasa seni dimaksud bukanlah bahasa verbal yang diucapkan dengan kata-kata, akan tetapi bahasa seni yang universal melalui bahasa musik, bahasa sastra, bahasa gerak, dsb. Misalnya bahasa gerak yang terdapat pada seorang anak yang melompat-lompat ketika mendapatkan ibunya pulang dari pasar. Yang dimaksud oleh Susanne tentu saja adalah bagaimana seorang seniman dapat menggambarkan situasi tersebut ke dalam bentuk karya seni. Dalam sebuah pementasan opera, bagaimana seorang aktor dapat mengambarkan rasa cinta dengan gerak-gerik, mimik muka, cahaya mata, dsb padahal yang bersangkutan sesungguhnya tidak saling mencintai. Dalam kapasitas uraian di atas, bahasa seni non verbal tersebut adalah: -
Musik: nada, harmoni, dinamik, volume, dsb.
-
Teater: gerak, dinamik, irama, air muka, cahaya mata, dsb.
-
Seni rupa: garis, warna, irama, dsb.
-
Arsitek: garis, ruang, dinamik, dsb.
-
Patung: garis, bentuk, tekstur, kontur, dsb. Suatu karya seni dikatakan berhasil, jika terjadi kesesuaian antara respon
penikmat dengan makna karya seni. Sedangkan yang tidak berhasil adalah sebaliknya. Dengan demikian bahwa karya seni diciptakan dengan sadar di bawah pengendalian akal budi.
Quis: PILIH JAWABAN YANG PALING BENAR, DAN BERI ALASAN 1. Seni merupakan produk dari…manusia yang menghasilkan keindahan. a. cipta, rasa, karya c. karsa, cipta, karya b. cipta, rasa, karsa d. rasa, karsa, karya Alasan..... 2. Dalam poin intuisi, memahami karya seni tidak cukup dengan elemen…saja. a. rasio b. perasaan c. imajinasi d. semua benar Alasan..... 3. Keberhasilan intuisi harus disertai hadirnya… a. perasaan b. kehendak c. simbol Alasan.....
d. imajinasi
4. Suatu karya seni dikatan lahir jika…manusia telah dituangkan ke dalam… a. imajinasi, karya c. pengalaman batin, medium b. pengalaman batin, gagasan d. gagasan, karya seni Alasan..... 5. Dalam konteks bahasa seni, suatu karya seni dikatakan berhasil jika terjadi kesesuaian antara…penikmat dengan… a. respon, karya b. respon, pencipta c. respon, makna d. x dan y Alasan..... JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI DENGAN CERMAT 1. Interpretasi seni dapat ditumbuhkan dengan dua hal. Uraikan dan berikan masing-masing contohnya. 2. Uraikan dengan lengkap dan jelas mengenai: a. intuisi, b. penggambaran suatu ekspresi, c. bahasa seni.
Jawab:
BAB 1V PERKEMBANGAN KESENIAN BARAT dan KESENIAN TIMUR
Mempersoalkan kesenian barat dan kesenian timur akan sama halnya dengan kita membicarakan perkembangan historis (kesejarahan) dan komunitas (masyarakat) dari suatu perkembangan kebudayaan. Dua kunci dasar inilah yang bakal mengawali atau akan saya jadikan bingkai pembicaraan dalam bab ini. Seperti dimaklumi bersama bahwa kebudayaan berkembang melalui konsep-konsep yang dihasilkan oleh homocreator yakni manusia. Kehadiran manusia kian menjadi penting artinya jika kita hendak melihat suatu perkembangan tertentu dari salah satu hasil kebudayaan yang selanjutnya kita namakan sebagai kesenian sampai akhirnya bidang tersebut menjadi salah satu bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang universal. Manusialah yang kemudian melanjutkan
kesinambungan
kebudayaannya;
manusia
yang
kemudian
menciptakan kreasi-kreasi baru kebudayaan dan sekaligus manusia pula yang menghancurkannya. Terdapat kesadaran yang dapat diupayakan manusia sebagai homocreator dalam rangka melanjutkan kesinambungan kebudayaan, yaitu dengan melalui pendidikan, pewarisan nilai-nilai terserap, dan pada saat manusia tersebut melakukan aktivitas proses kreatifnya yang diharapkan mampu menghasilkan karya-karya virtual (nyata) yang berkualitas. Titik awalnya adalah manusia. Selanjutnya akan saya bedakan dua kutub antara manusia barat dan manusia timur, kesengajaan ini diharapkan untuk lebih memperjelas kosmologinya, bukan untuk mempertentangkan, tetapi justru untuk
kita sama-sama lihat apa yang tengah berlangsung di barat dan apa pula yang sedang berlangsung di timur. Manusia
barat
adalah
manusia
yang
telah
mampu
membangun
kebudayaannya secara meyakinkan, rentang perjalanan sejarah telah mampu menunjukan jati diri manusia barat yang lebih rasional dan individual. Akan tetapi dewasa ini dalam dunia kesenian barat justru telah ada titik pandang lain yakni gerakan renewed (pembaharu) seperti apa yang dilakukan oleh Peter Brooks dan Dwiki Darmawan yang mencoba melihat timur sebagai bagian dari karya-karya mereka. Studi interkultural mereka telah menjadi semacam aliran dalam karya-karya mereka. Dalam konteks ini Brooks telah mampu menghasilkan kreasi teaternya dengan mengambil idiom Ramayana dan Mahabarata, kemudian Dwiki mencoba memasukan unsur-unsur timur dalam karya-karya musiknya. Dalam kreativitas bermusik Dwiki memasukan dominasi karawitan dan berbagai musik etnik Indonesia lainnya. Hal ini tidak mengherankan, karena studi multikulturalisme dewasa ini tengah mendapat tempat, mereka tengah menempatkan karya kreatifnya dalam dunia seni internasional tanpa pembatas budaya dan etnis untuk menjadi warga dunia. Sekarang manusia timur. Jauh sebelum orang barat datang berdagang ke Indonesia, mereka ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi, mereka telah memiliki local colour (warna lokal) dan local genius (warna kepribadian budaya bangsa) tersendiri, sehingga telah mampu menghasilkan karya-karya kebudayaan yang adiluhung. Konsepsi tentang negara dan kedudukan raja sangat berpengaruh dalam kebudayaan manusia timur, sehingga menghasilkan konsep theatre states (negara panggung). Perwujudan karya seni yang mereka ciptakan kerap kali
dipersembahkan kepada raja demi kebesaran sang raja. Raja-raja dianggap sebagai titisan dewa, makrokosmos dan mikrokosmos mereka tidak lepas dari raja dan ibukota sebagai pusat magis kerajaan. Masuk akal apabila terdapat tradisi panajerik atau tradisi untuk mengagung-agungkan patron (pelindung), dalam hal ini raja atau pemimpin negara (Arthur S. Nalan: 1994). Upacara-upacara keagamaan dan kenegaraan dianggap penting karena memiliki konteks yang dipercaya sebagai suatu eksistensi bangsa. Kita telah mengenal sejumlah teater tutur Indonesia, upacara kesuburan, upacara daur hidup, dsb. Secara keseluruhan kita memandang hal tersebut sebagai heritage (warisan) yang pantas untuk dibicarakan. Kesadaran pada local colour dan local genius akan membawa kita kepada perlakuan terhadap milik kita sendiri. Suatu pertanyaan, perlakuan apakah yang akan kita perbuat pada kesenian? Apakah perlakuan studi interkultural seperti yang dilakukan oleh Brooks dan Dwiki? Atau bagaimana? Perlakuan manusia pada kebudayaan sangat dipengaruhi oleh proses dialogis keduanya, artinya antara manusia barat dan manusia timur sangat berbeda dalam memperlakukan kebudayaan, hal ini penting untuk dipahami untuk dapat mengantar kita pada pemahaman tentang suatu perkembangan dan historis kesenian dari waktu ke waktu. Historis kebudayaan barat berpola kausalitas, hal ini terbukti dengan lahirnya berbagai aliran-aliran dalam berkesenian mereka. Misalnya dalam seni rupa. Sejak realisme, naturalisme, ekspresionisme, kubisme, dadaisme, dsb. Proses dialogis dengan zamannya tersebut akibat adanya aksi dan reaksi manusia
barat sejalan dengan perkembangan filsafat, rasionalitas, revolusi industri, bahkan sampai mega trend 2000 sekarang ini. Penekanan pemenuhan hidup bagi manusia barat sangatlah penting terutama pemenuhan hidup secara individual, maka tak heran lahirnya aliran filsafat eksistensialisme melahirkan pula sejumlah orientasi berkesenian. Misalnya lahir kesenian eksperimental yang berorientasi bukan hanya pada proses pencarian genre baru kesenian, tapi juga pada eksploitasi lingkungan tertentu yang berkonotasi ke arah gerakan seni pernyataan (happening). Demikian pula dalam hal agama. Pasang surut dan berkembangnya kebebasan beragama berpengaruh terhadap orientasi berkesenian, dari mulai yang puritan sampai pada sekte-sekte dari berbagai aliran beragama. Anti kemapanan dibuktikan dengan sekte-sekte radikal yang hanya dihasilkan dari sikap ekstrim individu pencetusnya. Kepercayaan dan agama terkesan seperti main-main dan seolah-olah hanya pelengkap penderita saja, bahkan ada yang beranggapan bahwa tuhan pun main-main. Sekarang bagaimana dengan manusia timur. Proses dialogis manusia timur dengan kebudayaannya sangatlah berbeda dengan manusia barat. Pengikat mereka justru adalah kepercayaan dan agama secara menyeluruh. Berbagai upacara, perayaan, dan pertunjukan selalu memiliki konteks dengan keyakinan mereka. Hubungan sebab akibat tidak selalu muncul dalam manusia timur, tetapi hubungan vertikal dan horizontal sangatlah berlaku. Pandangan kepercayaan arkais (memiliki hubungan dengan masa lalu) sangatlah besar, misalnya mereka percaya bahwa dunia terdiri dari tingkatan dunia (tri bhuwana) yang terdiri dari dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Buktinya mereka percaya adanya
Dewa, Hyang, Mahatala, dan segala penghuni langit lainnya. Mereka percaya adanya titisan dewa, sekti, dan pulung. Mereka percaya pula akan adanya kehidupan setelah kematian dan sejumlah makhluk bawah yang menghuninya. Sekalipun agama-agama tertentu telah hidup dan berkembang lama, tetapi warisan arkais sebagai parentage (asal-usul) kepercayaan mereka tidak mudah terhapus dan tetap hidup dalam alam bawah sadar setiap manusia timur. Karena itu mudah dimengerti mengapa di dalam kehidupan manusia timur tidak berlangsung hukum sebagaimana di dalam kehidupan manusia barat, karena kegiatan upacara dan kepercayaan beragama melahirkan imitatif-imitatif dari mitologi mereka yang dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Imitatio Dei (peniruan tindakan dewa) banyak kita temukan dalam berbagai kegiatan upacara mereka yang apabila dipandang dari sisi seni pertunjukan dianggap sebagai teater total, maka lahirlah konsep yang dapat dirumuskan dari kenyataan manusia timur total dan intim. Total, karena berbagai realitas panca indera tersaji secara lengkap, dan memiliki musikalitas yang tinggi. Intim, karena realitas nilai akrab dengan masyarakat penyangganya. Masuknya ekspansi barat ke timur jelas memberi pengaruh cara pandang rasional yang di beberapa tempat tertentu di Asia tampak dan merubah pola pikir serta perlakuan budaya masyarakatnya. Demikian pula dalam perlakuan manusia timur terhadap keseniannya, banyak kesenian yang tergadai untuk kepentingan bisnis turis semata, sehingga ritual menjadi pseudo ritual, kemas mengkemas menjadi habitual (kebiasaan), tanpa terasa kehancuran dan kepunahan akan muncul. Kondisi ini memiliki istilah sebagai disaster of culture (bencana budaya)
sehingga local genius tertentu dapat saja hilang, berganti dengan local genius barat. Kita patut bercermin pada Jepang. Perlakuan bangsa Jepang terhadap budayanya sangatlah proporsional. Bangsa Jepang mampu menyetarakan hitech dengan local genius bangsanya, bagi mereka hidup di zaman hitech tidak berarti harus lari dari local genius yang mereka miliki. Sekalipun dalam keadaan terpaksa local genius mereka ditawarkan untuk turis, tapi harganya sangat mahal. Selanjutnya untuk apa kita mencari tahu perkembangan kesenian barat dan kesenian timur yang pada kenyataannya sampai saat ini keduanya terus bergulir melakukan proses dialogis sejalan dengan zamannya. Lalu apa manfaatnya untuk kita? Melihat historis suatu perkembangan dari suatu kegiatan budaya yang berbeda merupakan suatu hal yang menarik karena akan dapat memahami sumber daya kultural dari masing-masing kutub tersebut. Pemahaman terhadap sumber daya kultural sangat penting, apalagi kita sebagai bangsa yang sedikit banyak bersentuhan dengan hal tersebut. Indonesia sebagai Unity of Diversity (satu dalam kebhinekaan) memiliki sumber daya kultural yang memperlihatkan local colour dan local genius yang berada dalam serat-serat budaya dalam masing-masing etnis dari mulai Aceh sampai Papua. Hanya yang menjadi masalah adalah perlakuan apakah yang akan kita ambil terhadap sumber daya kultural ini, dan bagaimana komitmen kita untuk selanjutnya? Perlakuan kita dengan upaya pelestarian belumlah cukup, karena pelestarian harus dijabarkan menjadi beberapa kegiatan yang mengarah pada konservasi,
revitalisasi, dan modifikasi yang tentu saja harus memperhatikan nilai-nilai setempat.
Quis: PILIH JAWABAN YANG PALING BENAR. 1. Kesenian barat dan timur dapat dipahami dari..… a. sejarah, pendidikan
c. masyarakat, pewarisan
b. sejarah, masyarakat
d. arah
Alasan:… 2. Salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan (kesenian) adalah..… a. pewarisan, ritual
c. ritual, penebangan
b. pewarisan, kreasi
d. diskusi
Alasan:… 3. Manusia barat mengabadikan karya, sebagai bukti..… a. kausalitas
b. individual
c. rasional
d.salah semua
Alasan:… 4. Manusia barat menciptakan aliran berkesenian, membuktikan..… a. kausalitas
b. individual
c. rasional
d. salah semua
Alasan:… 5. Theatre states merupakan perwujudan kesenian..… a. untuk bangsawan Alasan:…
b. untuk dewa
c. untuk raja
d. untuk rakyat
Jawab:
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986 Dick Hartoko. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius, 1993 Diah Latifah. Penuntun Belajar Pendidikan Seni. Bandung: Ganeca Exact, 1994 Geldern, Robert Heine. Terjemahan Feliar Noer. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Pers, 1982 Ismaun, Banis, dan Martono. Peranan Koleksi Wayang Dalam Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta: Dirjen Kebudayaan, 1989 Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana, 1993 Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana, 1994 Kempers, AJ Bernet. Balai Purbakala. Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1960 Kaimen, Roger. Music and Appreciation. New York: Mc. Graw-Hill Book Co., 1988 Saini K.M. Pola-Pola Teater Dramatis Jawa Barat. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta, 1980 The Liang Gie. Garis Besar Estetik Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Karya, 1976 Umar Kayam. Seni, Tradisi, masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan, 1981
Bio Data
Yuyus Rustandi, lahir di Bandung pada tanggal 13 Pebruari 1967. Perjalanan pendidikan, menamatkan SD pada tahun 1980 di Sekolah Dasar Negeri (SDN Pelesiran II) Bandung. Pada tahun 1983 lulus SMP di Sekolah Menengah Pertama Swasta PGII Bandung. Tingkat SMA diselesaikan pada tahun 1986 di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN 14) Bandung. Pada tahun 1987 melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung mengambil Jurusan Karawitan, selesai Program Diploma (D3) pada tahun 1990. Pada tahun 1996 menyelesaikan Program Sarjana (S1) di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pada tahun 2009 menyelesaikan Pascasarjana (S2) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan. Di samping sebagai tenaga pengajar tetap di Fakultas Sastra Universitas Pakuan, penulis mengisi aktivitas dalam berbagai kegiatan di antaranya: Tahun 1994–1996 sebagai Sekretaris Jurusan Karawitan di Akademi Kesenian Bogor. Tahun 1997-2001 sebagai pelatih tetap Unit Kegiatan Kolintang Dharma Wanita Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PKHA) Bogor. Pada tahun 2007 sebagai editor Buku Pelajaran Bahasa Sunda untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama di C.V. Regina Bogor. Mulai tahun 2008 sebagai tenaga pengajar tidak tetap di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan. Pengalaman di bidang penelitian pada tahun 2001 melaksanakan penelitian yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Pakuan dengan judul ”Pembenaran Iringan Tembang Sunda Cianjuran Oleh Peralatan Musik Moderen”. Pada tahun 1997 menikah dengan Setiawati Angling, S.E. dikaruniai satu orang putra Aradea Gumilang.
BUATLAH KEBAIKAN MENJADI SUATU KEBIASAAN