Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
AKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH Desvian Bandarsyah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Profesor Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta
Abstrak Problema kemanusiaan yang tengah kita dihadapi saat ini, memerlukan pemecahan sebagai jalan keluar dari dunia yang semakin sempit, brutal, dan kejam. Perlu terobosan filosopis-teoritis sebagai dasar pijakan di dalam menjalankan solusi yang tepat, terukur, sistematis, dan sistemik. Dengan demikian dunia keilmuan dan corak pendekatan pendidikan kita dalam tataran teoretis dan praktisnya harus mampu melepaskan diri dari pengaruh kelimuan warisan Cartesian yang mekanistik positivistik. Ilmu-ilmu sosial dan sejarah merupakan solusi dalam mengatasi krisis kemanusiaan dewasa ini. Terutama sejarah melalui implementasi pembelajaran yang tepat, sejarah dapat menjadi solusi efektif terhadap berbagai persoalan kemanusiaan kita, karena sejarah memuat pesan moral kemanusiaan dan pembelajaran sejarah dapat menderegulasikan nilai-nilai moral kemanusiaan yang terdapat di dalamnya. Suatu upaya di dalam menjalankan pendidikan karakter bagi generasi masa depan. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pembelajaran, Sejarah.
1
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
juga pada level lokal, dan bahkan
PENDAHULUAN Beberapa waktu terakhir
sampai tingkat generasi mudanya.
dunia intelektual kita dan masyarakat
Hal
itu
mendorong
perlu
kita pada umumnya, di warnai dengan
diadakannya pendidikan yang dapat
pemberitaan hangat mengenai persoalan
menjawab berbagai perubahan sosial di
kemunduran moralitas, sistem nilai,
tengah-tengah
kejujuran, tanggungjawab, dan nilai-
masyarakat yang menglobal. Persoalan
nilai
mendasar berkaitan dengan peranan
lainnya
yang
berlaku
dan
perkembangan
dilakukan dalam masyarakat kita. Kita
pendidikan
terkesan kaget, gugup dan tidak siap
mengadakan pendidikan yang dapat
dengan situasi yang berkembang itu. Ini
memuat
tercermin
yang
membentuk karakter dan perilaku yang
berlangsung mengenai hal itu. Padahal
sesuai dengan perkembangan dalam
kondisi yang diperdebatkan itu sudah
dunia yang terus berubah dari waktu ke
berjalan cukup lama, bahkan mungkin
waktu.
dari
perdebatan
sejak tahun 1980-an, sebagai dampak
adalah
bagaimana
nilai-nilai
Berkaitan
kita
humanis
dengan
serta
hal
itu
dari pembangunan nasional kita di masa
diperlukan gambaran yang jelas tentang
lalu yang lebih diorientasikan kepada
masyarakat yang dikehendaki juga jenis
persoalan
pendidikan yang diinginkan. Perspektif
pragmatis-ekonomis,
ketimbang persoalan ideologis-politis
yang
sebagai bagian dari upaya pembangunan
mengembangkan
karakter bangsa (nation and character
generasi
muda
building).
bangsa.
Sebagai
Maka tidak mengherankan jika
demikian
pendidikan
diperlukan
dalam
pendidikan dan
bagi
pembangunan
sebuah
dirancang
proses, untuk
pada hari ini, bangsa ini menuai
mewariskan nilai dan budaya dalam
persoalan yang cukup serius, akut,
masyarakat
sistematis,
generasi
dan
sistemik
mengenai
kebangkrutan
moral,
ahklak,
tanggungjawab,
rasa
kemerosotan
dari
lainnya,
mampu
satu
generasi
ke
yang
diharapkan
menghasilkan
manusia
dan
Indonesia yang demokratis, kreatif, dan
disorientasi kebangsaan yang bersifat
mandiri, yang mampu berperan sebagai
multidimensional, tidak hanya pada
pembangun
level kepemimpinan nasional, tetapi 2
bangsa.
Singkatnya
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
manusia yang baik dan berguna bagi
pencapaian
arah
tujuan
pendidikan
bangsanya.
nasional kita untuk menjadi baik.
Dengan demikian kita harus mampu menyelenggarakan pendidikan yang
bersifat
antisipatoris
A. Pendidikan dalam Kerangkeng
dan
Hegemoni
prepatoris (Buchori, 2001), yaitu jenis
Newtonian
pendidikan yang mengacu ke masa
Cartesian
Perkembangan
dan
peradaban
depan dan mempersiapkan generasi
manusia di era modern yang serba
muda untuk menatap masa depan yang
canggih dan menakjubkan yang ditandai
lebih baik, dengan pemaknaan terhadap
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
kehidupan yang dinamis secara positif
teknologi,
yang juga dikaitkan dengan upaya
merupakan dampak yang ditimbulkan
pengembangan
dan
dari bekerjanya sistem pengetahuan
kemandirian manusia Indonesia yang
yang dibangun sejak abad pencerahan,
memungkinkan mampu dan proaktif
dengan salah satu tokoh sentralnya
menjawab
Rene Descartes, seorang filsuf Prancis
kualitas
tantangan
masyarakat,
tidak
dapat
dipungkiri
yang mengedepankan konsep “Cogito,
bangsa, dalam dunia yang kompleks. itu
ergo sum”, aku berpikir, maka aku ada.
merupakan persoalan dan tuntutan yang
Sebuah konsep berpikir yang diawali
tengah
dengan meragukan semua yang ada
Pendidikan
dihadapi
semacam
bangsa
Indonesia,
sejalan dengan semakin merosotnya
disekitar
kualitas kehidupan manusia dari sisi
sendiri, yang akhirnya mengarah pada
sosial
Tentunya
hakikat objektifitas yang nyata dari
persoalan di atas perlu dicarikan solusi
yang berpikir, maka bersifat positif,
melalui refleksi dan perenungan yang
sehingga segala sesuatu yang benar
mendalam mengenai akar persoalan dan
harus nyata dan bersifat positif. Inilah
solusi apa yang dapat ditawarkan.
dasar dari gagasan positivisme yang
Makalah
untuk
mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan
memberikan jawaban atas persoalan
dengan segala turunannya selama kurun
tersebut, sehingga pendidikan dapat
dua abad terakhir.
berkiprah
humanitasnya.
ini
berupaya
dalam
menjernihkan
dirinya,
termasuk
dirinya
Konsepsi filosopinya berangkat dari pola berpikir matematis, karena ia 3
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
seorang ahli matematika, ia mengatakan
Modernitas
dengan
segala
peradabannya,
telah
dalam konteks itu: “saya mengakui,
pencapaian
tidak
sebagai
meninggalkan “lubang hitam” berupa
kebenaran jika tidak dapat direduksi,
problema kemanusiaan abad ini bagi
dengan kejelasan gambaran matematika,
kehidupan manusia modern. Cara hidup
dari pengertian-pengertian umum yang
yang dimunculkan oleh modernitas
kebenarannya tidak dapat kita ragukan
menurut
lagi” (Capra, 1998: 62). Maka tidak
mencabut manusia dari jenis tatanan
mengherankan kalau dalam konsep
sosial yang tradisional dengan cara yang
filsafat ilmu, bahwa sarana berpikir
tidak pernah ada sebelumnya. Dalam
ilmiah yang mencakup tiga bagian, dua
arti
diantaranya merujuk pada pandangan
intensionalitasnya, transformasi yang
ini, yaitu matematika dan statistika, di
berlangsung dalam modernitas lebih
samping
menerima
bahasa,
mendominasi
pola
apapun
Giddens
(1990:
eksistensionalitas
telah
dan
sangat
kental
menonjol
berpikir
ilmiah
perubahan yang terjadi pada periode
secara efistemologi keilmuan.
dibandingkan
4)
dengan
sebelumnya. Kemajuan teknologi dan
Dalam konteks itu, baik ilmu
informasi membuat dunia mengalami
alam maupun ilmu sosial berkembang
“culture shock”, diakibatkan karakter
ke arah mekanisasi ilmu yang bersifat
kehidupan sosial modern yang cepat
rigid
berubah
mekanistik-positivistik,
yang
menempatkan ilmu tidak lagi ditujukan untuk
kemanusiaan
telah
menimbulkan
keguncangan hebat bagi penghuninya.
yang
Proses modernitas semacam
mensejahterakan, tetapi ilmu ditujukan
itu, menuntut adanya keseimbangan
bagi perkembangan ilmu dan teknologi
baru yang menuju pada harmoni, yang
semata. Dengan kata lain, di abad
hingga sampai saat ini belum dapat
modern ini, ilmu mengabdi untuk
terpenuhi oleh perkembangan global.
industri. Maka tidak mengherankan, kita
Modernitas yang ditopang oleh proses
menyaksikan betapa kehidupan semakin
perkembangan sains telah menimbulkan
keras dirasakan oleh manusia yang
mitos, bahwa hanya sains dan metode
hidup di dunia ini. Ruang kehidupan
ilmiah saja yang dapat menjelaskan
menjadi semakin kompetitif, brutal,
dengan memuaskan segala fenomena
kejam dan tanpa kemanusiaan.
alam dan sosial yang berlangsung di 4
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
hadapan kita (Wiriaatmadja, 2002: 292-
akibat
293). Alih-alih berupaya menjelaskan
birokrasi berskala besar dan pengaruh
berbagai fenomena alam dan sosial,
umum “masyarakat massa”. Ruang bagi
ternyata dunia sains dan metode ilmiah
kehidupan publik, pada sisi lain, telah
dengan pendekatan Cartesian gagal
mengalami
dalam menterjemahkan fenomena alam
Sebagai
dan sosial yang dihadapi manusia di
pribadi menjadi sirna dan tanpa titik
abad modern ini.
acuan yang tegas (Giddens, 1990: 115).
Dalam
perspektif
ini,
dari
dominasi
“over
organisasi
institusionalisasi”.
konsekwensinya,
kehidupan
Konteks ini mendorong manusia untuk
humanisme mengalami krisis karena
memasuki
teknologi telah menjalankan kontrol
didominasi kesadaran massa dengan
terhadap pemindahan gagasan-gagasan
mengesampingkan kesadaran personal
budaya
peragaan
sebagai individu, yang sesungguhnya
subjek manusia berdasarkan pada ilmu-
merupakan kesadaran orisinal yang
ilmu
dimilikinya. Maka manusia modern
humanistis
demi
pengetahuan dan kemampuan
produktif
yang
dikontrol
secara
kehidupan
kehilangan kesadaran
publik
yang
personal
dan
rasionalistik dan sekularistik. Penjelasan
hanyut dalam kehidupan dunia materi,
Vattimo (2003: 98) yang dilandasi oleh
sementara itu sebagai konsekwensinya,
corak pemikiran nihilisme Nietzsche
ia
berikut ini menguatkan argumentasi
sebagai manusia. Itulah kebanyakan
rasionalistik sekularistik dimaksud:
manusia di era modernitas.
“…Kita juga bisa mengakui hipotesis bahwa humanisme berada dalam krisis karena Tuhan telah mati: artinya substansi krisis humanisme yang sesungguhnya adalah (tambahan penulis: karena) kematian Tuhan. …Karena alasan ini maka kematian Tuhan, yang sekaligus merupakan puncak dan kesimpulan metafisika, juga adalah krisis humanisme…”
kehilangan
Namun
nilai-nilai
humanis
demikian,
selama
proses kemunduran yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat dalam upaya menanggulangi
tantangan
itu
tidak
hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan mengikuti pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas yang kreatif akan muncul dalam menghadapi tantangan dimaksud.
Dalam kaitan itu, ruang privat
Proses evolusi budaya ini akan terus
telah“terdeinstitusionalisasikan” sebagai 5
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
berlanjut (Capra, 1997: 15). Sebuah
ilmu-ilmu kealaman, tetapi juga perlu
optimisme yang diusung dalam melihat
mendorong proses humanisasi terhadap
keberadaan
Pendidikan
ilmu-ilmu sosial dan sejarah, dengan
harus dapat membangkitkan kembali
berlandaskan pada kesadaran sikap
sesuatu yang hilang dalam arus deras
bahwa pendidikan untuk menjadikan
peradaban kehidupan dalam kontrol
manusia
Cartesian, melalui gagasan pendidikan
terampil, berakhlak mulia dan berbudi
yang berkarakter, humanis dan kritis
pekerti, singkatnya menjadi manusia
yang
yang “sempurna”.
pendidikan.
merefleksikan
nilai-nilai
humanistik sebagai dasar pembentukan
Indonesia
yang
cerdas,
Dalam konteks ke-Indonesiaan,
karakter dari kodrat manusia.
kita melihat bagaimana kehidupan kita
Keprihatinan
terhadap
semakin sempit, landasan kehidupan
kerusakan lingkungan yang semakin
berbangsa berupa hukum, ekonomi,
meluas juga menjadi bagian yang tak
politik, budaya sumber daya alam kita,
terpisahkan dari persoalan modernitas,
dan bahkan pendidikan, tidak ditujukan
dan telah menjadi fokus perhatian
untuk
pemerintahan di seluruh dunia. Bukan
ditujukan untuk industri dan konsumsi
hanya dampak eksternal, tetapi juga
yang semakin menggalakkan syahwat
logika
kemanusiaan kita.
kebebasan
perkembangan
kemanusiaan
lagi.
Tetapi
teknologi dan perkembangan ilmiah
Pendidikan kita pada hari ini
akan saling bertentangan jika bahaya
secara kasat mata telah dirasuki oleh
serius dan tak tertahankan tak dapat
mekanisme pasar, mengabdi pada dunia
dihindari.
teknologi
industri. Tujuan pendidikan yang ideal,
tampaknya telah menyebabkan semakin
sebagaimana yang tertuang dalam cita-
meningkatnya isu moral dalam relasi
cita dan konstitusi kita “mencerdaskan
yang kini “sangat instrumental” antara
kehidupan
manusia dengan lingkungan (Giddens,
manusia
1990:
mulia, cerdas, berbudi pekerti untuk
Humanisasi
170).
Dengan
demikian,
bangsa, Indonesia
yang
menjadi
mendorong pendidikan kita untuk lebih
menjauh
memperhatikan, bukan saja persoalan
Hegemoni keilmuan warisan Cartesian
humanisasi
dalam dunia pendidikan nampak dari
semacam
terhadap
ini
teknologi
dan 6
untuk
paripurna”
berakhlak
perlu
kesadaran
insan
mewujudkan
dicapai
semakin rasanya.
Vol.1/Maret 2014
impelementasi
ISSN 1858-2621
kebijakan
Ujian
Asumsi
keilmuan
yang
Nasional yang mereduksi pendidikan
berkembang sebagaimana uraian di atas
sekedar berorientasi pada hasil berupa
bukan tanpa tandingan. Dalam konteks
angka minimal 5,5. Inilah langgam
sejarah,
mekanistik-postivistik
melakukan koreksi terhadap persoalan
yang
diadopsi
ala
oleh
Cartesian
kita
dalam
Wilhem
efistemologi
Dilthey
berupaya
keilmuan
mengelola pendidikan. Jika tidak ada
dikembangkan
terobosan
dalam
Cartesian. Ia berupaya meletakkan dasar
mengelola pendidikan dengan konsep
epistemologis bagi ilmu kemanusiaan,
filosopis dan paradigma baru yang
terutama
manusiawi, maka cita-cita pendidikan
menempatkan kajian sejarah menjadi
nasional
sejajar dengan penelitian ilmiah dalam
yang
mendasar
semakin
sulit
untuk
diwujudkan.
melalui
yang
ilmu
pendekatan
sejarah,
dengan
bidang ilmu alam. Perbedaan objek
Itulah
misi
dan
tantangan
kedua ilmu ini cukup mencolok. Bila
utama dari pendidikan kita. Namun
ilmu
demikian, untk mencapai misi itu,
dimensi eksterior dan interior bagi
pendidikan kita perlu ditarik keluar dari
objeknya artinya ia menengok realitas
kerangkeng hegemoni Cartesian. Desain
yang ada di luar dirinya dan di dalam
ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan,
dirinya,
terutama pendidikan sejarah agar lebih
mengenal dimensi eksterior yang berada
menawarkan
melalui
di luar dirinya.
pengembangan karakter, kesadaran dan
Dilthey
kemandirian,
kemanusiaan
maka
mengenal
ilmu
alam
menginginkan
dua
hanya
kritik
nalar kritisnya dengan memfungsikan
sejarah terhadap akal menjadi kritik
kesadaran
yang
akal terhadap sejarah. Yang pertama
dimilikinya. Nalar kritis kita dalam
berkaitan dengan kritiknya terhadap
menganalisis sejarah akan memberikan
perkembangan
perspektif
pengetahuan
etis
dan
keilmuan
estetika
sekaligus
juga
sejarah yang
ilmu cenderung
pemahaman etis terhadap kehidupan
melakukan proses generalisasi terhadap
sosial kita.
ilmu-ilmu
kealaman
(Naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu kemanusiaan
B. Pembelajaran Sejarah sebagai
(Geisteswissenschaften).
Sedangkan yang kedua, ini berkaitan
Pendidikan Karakter 7
Vol.1/Maret 2014
dengan
ISSN 1858-2621
persoalan
bagaimana
hermeneutika, untuk
kekayaan pengalaman yang bergelora
menemukan makna di dalam sejarah
dan dinamis dalam kehidupan. Ini
sebagai jalan untuk memahami secara
merupakan sumbangan terbesar Dilthey
lebih mendalam realitas diri di tengah
di
realitas kehidupan, daripada sekedar
keilmuan di antara keduanya, tetapi juga
meneliti sejarah (Sumaryono, 1998: 46).
sekaligus
Baginya, konsep ilmu kealaman dan
keilmuan memasuki perdebatan panjang
ilmu kemanusiaan memiliki perbedaan
pada tataran efistemologi keilmuan.
yang
sejarah
mendasar,
dikritik
dengan metode ilmu kealaman yaitu
terutama
persoalan efistemologi
dalam
dalam
menjernihkan
menjadikan
Dilthey
keilmuannya.
perdebatan
penggunaan
persoalan
menganjurkan hermeneutika,
Jika ilmu-ilmu kealaman objek dan
merupakan
gejala-gejala
ditimbulkannya
kemanusiaan, yang berkenaan dengan
kongkret
serta
keterlibatan individu dalam kehidupan
mengikuti hukum-hukum alam yang
masyarakat yang hendak dipahaminya,
universal, maka ilmu-ilmu kemanusiaan
maka diperlukan bentuk pemahaman
objeknya bersifat abstrak dan hukum-
yang khusus (Sumaryono, 1998: 49;
hukumnya
bersifat
yang
jelas
dan
partikular.
menyebabkan
cara
dasar
dari
karena ilmu-ilmu
Inilah
yang
Ankersmit,1987: 160; Poespoprodjo,
analisis
kerja
1987:
54).
Di
sini
relevansi
keilmuan dari keduanya juga berbeda.
hermeneutika dalam konsep Dilthey
Cara kerja Ilmu-ilmu kealaman bersifat
menjadi penting untuk mengungkapkan
menjelaskan,
makna dari peristiwa sejarah. model
karena
fenomenanya
bersifat kongkret, maka diperlukan
pembelajaran
penjelasan
mengedepankan
berbagai
(eksplanasi) fenomena
terhadap
yang
ada.
hermeneutika
Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan cara
konsep-konsep
kerjanya
dasar
bersifat
memahami
(interpretasi) karena objek yang menjadi
pijakan
sejarah
yang pendekatan
dengan
mengajukan
kesejarahan
sebagai
berpikir
dalam
menganalisis informasi kesejarahan.
kajian ilmunya bersifat abstrak. Dilthey
Sejarah
termasuk
kelompok
merasakan ancaman saintisme yang
ilmu yang lamban di dalam merespon
begitu meluas. Ia menyadari bahwa ada
perubahan. Padahal sikap optimisme
bidang-bidang yang tidak bisa disentuh
terhadap sejarah sebagai sebuah disiplin 8
Vol.1/Maret 2014
yang
ISSN 1858-2621
menjanjikan
karakter
individu
pembentukan akan
perspektif
nilai-nilai
kesejarahan
pembelajaran
sejarah
dalam
memerlukan
spiritual, dan kultural karena kajiannya
pendekatan
yang bersifat memberikan pedoman
dosen dan mahasiswa dapat memahami
terhadap keseimbangan hidup, harmoni,
dengan baik antara teks kesejarahan
nilai-nilai,
dalam
dengan konteks (realitas sosial) di mana
dan
mereka berada di dalamnya, di sini
dan
keberhasilan
keteladanan
dan
kegagalan,
hermeneutika
cerminan bagi pengalaman kolektif
sesungguhnya
yang dapat menjadi petunjuk bagi
karakter berlangsung dengan sendirinya.
kehidupan masa depan (Wiriaatmadja,
Dengan
proses
sehingga
pendidikan
demikian
bagian
2002: 294). Kesadaran sejarah dapat
terpentingnya adalah bukan semata
mengendalikan
bagaimana
kecenderungan
mahasiswa
belajar
dari
keserakahan yang “menggurita” dari
sejarah yang sarat makna, tetapi juga
kemajuan teknologi dan industri yang
bagaimana
mengeksploitasi hutan, sungai, udara,
sejarah dengan cara bermakna. Bagian
lautan, daratan tempat di mana manusia
pertama
tinggal.
Kesadaran
konteks
ini,
ketidakarifan
mahasiswa
akan
mengisi
mempelajari
jiwa
dan
sejarah
dalam
membangun mentalitas kemanusiaan
menunjukkan
bahwa
dan karakter mahasiswa dengan sikap
pemanfatan
arif dan bijaksana, sebagai bagian utama
dalam
kekayaan alam dan budi akal manusia
dari
pada gilirannya akan menghancurkan
bagian
eksistensi
mahasiswa
kemanusiaan
dan
peradabannya sendiri.
kesadaran kedua pada
sejarah,
sedangkan
akan
membawa
pengetahuan
dan
kesadaran bagaimana mengisi jiwa dan
Dalam perspektif pembelajaran
membangun mentalitas kemanusiaan
sejarah, hermeneutika menjadi bagian
dengan sikap arif dan bijaksana melalui
yang
pembelajaran sejarah.
penting
untuk
diterapkan.
Dalam kaitan itu “Community of
Mengingat bahwa pembelajaran sejarah sarat
dengan
kemasyarakatan,
sosial
peers” sebagai wadah yang setara dan
memerlukan
dialogis bagi dialog antara dosen dan
nilai-nilai
penafsiran
dalam
mempelajarinya.
mahasiswa disatu pihak (Abdullah,
Perspektif
sejarah
terikat
dengan
1991: 56; Freire, 1999: 187-199),
konteksnya, maka penafsiran terhadap
dengan informasi sejarah dan realitas 9
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
sosial di pihak lain dapat “bekerja
dengan dialog kita akan mencapai
sama” dalam proses pengembaraan
pemahaman.
keilmuan bersama, sehingga mencapai
Dialog
kebebasan
dalam
suatu kebenaran ilmu pengetahuan.
kesetaraan menuntun mahasiswa untuk
Penekanan
menemukan hidup dan kehidupan yang
mengenai
yang
diberikan
pendidikan
Freire
bermakna.
Pergaulan
haruslah menempatkannya pada ruang
kalangan
mahasiswa
kebebasan
dinamis
antara
kemanusiaan
dosen
dengan
dan
mahasiswa. Hal ini sejalan dengan
kebudayaan
konsep
wawasan
pengajaran
sejarah
yang
intelektual
di
hanya
akan
membuahkan
hasil
yang
memperkaya
intelektualnya
apabila
diuraikan oleh Taufik Abdullah yang
berlangsung secara dialogis. Pengertian
pada intinya perlu adanya “kebebasan”
dialogis di sini bukan sekedar adanya
dalam kesetaraan dalam pembelajaran
dua pihak yang terlibat dalam diskusi,
sejarah.
ini,
melainkan merupakan pertemuan lebih
pemberlakukan terhadap pengetahuan
dari satu wawasan dari pihak-pihak
menjadi berubah, dari tingkatan doktrin
yang bisa bersepakat pada beberapa hal
ke arah tingkatan ilmu.
sebagai
Dalam
konteks
Dialog semacam itu menjadi
pijakan
melangsungkan
bersama diskusi,
untuk
meskipun
relevan dalam memperluas horizon
dalam beberapa hal lainnya mereka
cakrawala
pemikiran
dapat saling bertentangan, dan terdapat
Mahasiswa
berdialog
mahasiswa. bukan
tanpa
minat untuk saling mendengar dan
pemahaman sama sekali. Dalam situasi
memahami
seperti itu kita menyadari bahwa sudut
menyetujui (Heryanto, 1999: 5). Dalam
pandang kita bukanlah satu-satunya
iklim akademik seperti itu, di mana
cara. Dengan melihat adanya sudut
setiap individu, baik dosen maupun
pandang lain, maka kita akan melihat
mahasiswa memiliki kebebasan, maka
dengan
proses
jelas
cara
pandang
atau
tanpa
harus
pembelajaran
sejarah
saling
dapat
pemahaman kita sendiri. Dialog yang
berjalan dengan baik, sehingga pada
perlukan adalah dialog untuk mengerti
gilirannya mencapai hasil yang baik
sesama kita dan saling belajar dari
pula sesuai dengan harapan.
pandangan
masing-masing.
Karena
Sejalan pembelajaran 10
dengan sejarah
tidak
itu, semata
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
terletak pada pewarisan nilai dalam
sebagai
formulasi struktural, melainkan juga
individu yang bereaksi berdasarkan
dengan meletakkannya pada tujuan
intelegensi jasmaniah dan insting vital
membangun
mengembangkan
yang melalui penguasaan diri, mereka
kesadaran mahasiswa sebagai anak
sanggup menghindar dari kekuatan
bangsa
konteks
hegemoni masyarakat, serta mampu
zamannya. Nilai-nilai kemanusiaan dan
melawan berbagai kekacauan sosial,
kesadaran atas nilai itu, merupakan
chaovinisme, kekerasan (Ritzer, 2008:
penghubung
nilai
42-43). Dengan demikian mahasiswa
batasan
memerlukan mentalitas merdeka yang
sejarah. Formulasi tekstualnya bisa
tidak terhegemoni oleh berbagai kondisi
tetap tidak berubah, tetapi makna
sosial
fungsionalnya
Meskipun juga ia perlu memahami
dan
sesuai
universal
sesuai
dengan
sejarah
yang
sebagai
melampaui
harus
dengan
dikembangkan
yang
yang
berdaulat,
melingkupi
dirinya.
dan
kondisi sosial dimaksud sebagai realitas
mahasiswa
yang dapat menopang corak berpikir
(Mulkhan, 1996: 23-24). Sebab hal itu
kritis dalam memaknai tradisi dalam
akan
sejarah dan masyarakatnya.
tuntutan
yang
perkembangan
individu
dihadapi
membawa
mahasiswa
lebih
mengenali serta memahami pluralitas dan
dinamika
yang
dalam
masa lalu, mahasiswa akan memahami
masyarakat Indonesia, sehingga upaya
dengan wawasan kekinian. Di sini jarak
pengenalan dan pemahaman mahasiswa
dengan masa lalu tidak diatasi dengan
terhadap
hanya mengkonstruksi kembali makna
bangsanya
ada
Dalam upaya memaknai tradisi
menjadi
lebih
terefleksikan dengan baik.
masa lalu tetapi memahaminya dengan
Pembelajaran sejarah membantu mahasiswa berpikir
untuk
memiliki
kesejarahan,
yaitu
horizon kekinian. Dalam dialog tersebut
corak
terjadi
benturan
corak
pemikiran mahasiswa dengan prasangka orang
kritis dengan pemahaman mendalam
cakrawala pemikiran mahasiswa harus
terhadap sejarah yang selalu memiliki
disimpan
dimensi
pandangan orang lain, agar mahasiswa
dan
kedepanan.
untuk
namun
cakrawala
berpikir yang menuntut nalar berpikir
kekinian
lain,
antara
kadangkala
mencoba
Bagian terpenting dari gagasan di atas
dapat
adalah
mahasiswa juga bersikap kritis terhadap
menempatkan
mahasiswa 11
memahaminya.
melihat
Sambil
Vol.1/Maret 2014
prasangka
dan
ISSN 1858-2621
tradisinya,
apakah
Dengan demikian hal penting
prasangka mahasiswa mengarahkannya
bagi
untuk dapat mengerti atau prasangka itu
sejarah tidak berhenti pada persoalan
justru telah menyembunyikannya dari
tekstual
pengertian (Mandalika, 2007). Itulah
pengetahuan yang dipelajari, tetapi juga
sikap kritis dimaksud, yang mendorong
bagaimana
kapasitas
mahasiswa
muncul
berkembang
di
memahami
dan
berkembangnya
mahasiswa,
bahwa
masa
kesadaran
lampau
dalam
kemampuan berpikir kesejarahan dalam
konteks
pendekatan hermeneutika.
mengembangkan nalar analisis terhadap
Berpikir
masa
lalu
sebagai
itu
dengan
kesejarahan
konteks persoalan kekinian, sebagai
menekankan aspek makna yang muncul
pertanggungjawaban bagi kehidupan.
dari
Kehidupan
Inilah konsepsi dari “kesadaran tentang
membuka dan membentuk dirinya di
kenisbian” suatu sense of relativity, dan
dalam kesatuan-kesatuan yang masuk
mengembangkan telaah historis dengan
akal, dan di dalam pengertian individual
memahami dan menghayati hubungan
kesatuan-kesatuan ini dipahami. Dalam
yang
kaitan itu, maka pengetahuan sejarah
sejarah
yang
perkembangan
realitas
dimiliki
historis.
oleh
individu
yang
terjadi
antara
sebagai
perkembangan ilmu
masyarakat
memahami akan membentuk karakter
(Soejatmoko,
2010:
dirinya
Kemampuan
semacam
kediriannya.
Hal
ini
dengan
16-17). ini
akan
mengandung makna bahwa seseorang
menempatkan mahasiswa membebaskan
dapat mengatasi fakta bahwa pengkaji
diri dari belenggu substansi ilmu yang
sejarah
terikat
dan
mengikat corak berpikirnya. Bahwa apa
tempat,
yang
klaim
yang benar, berkemajuan, dan modern
sejarah
(historical
pada hari ini, ternyata menjadi usang di
yaitu
menggunakan
masa depan. Hidup bukanlah semata
sudut pandang sejarah pada setiap
sesuatu sebagaimana yang dipikirkan
realitas yang dihadapinya. Hal ini
mahasiswa,
melainkan
merupakan
sebagaimana
yang
kesadaran consciousness),
dalam
dengan
waktu
merupakan
pencapaian
mengembangkan
tertinggi
di
juga
dihayatinya.
“kepekaan
Semakin dalam penghayatan mahasiswa
sejarah” untuk melampaui kesadaran
terhadap dunia kehidupannya, maka
sejarah (Gadamer, 2004: 275).
semakin bermakna kehidupannya. 12
Vol.1/Maret 2014
Dengan manusia
ISSN 1858-2621
kesadaran
berupaya
Jika seorang manusia kehilangan jiwanya, dia akan berhenti menjadi manusia; karena esensi manusia adalah kesadaran atas kehadiran spiritual di balik fenomena, dan jiwanyalah, bukan organisme psikosomatiknya, yang bias menghubungkan manusia dengan kehadiran spiritual ….
sejarah,
menghargai
kerumitan dalam mengungkap berbagai peristiwa
yang
menghargai
berbagai
otonom.
melingkupinya,
Kesadaran
realitas
yang
yang
sama
mendorong manusia untuk bersikap waspada
terhadap
pemikiran
yang
sederhana,
dangkal,
serta
Dalam kaitan itu, kesadaran
kecenderungan
diri sebagai karakter ”individualisme
menghadapi berbagai fenomena yang
moral” merupakan produk sosial yang
buta, yang banyak berkembang dalam
dilakukan atas prinsip dan refresentasi
kesemuan yang dangkal (Soejatmoko,
kolektif
1976: 14).
individualisme
besifat
menghindari
Pembelajaran membutuhkan
“kesadaran dengan
tinggi”,
dari
yang yang
sakral.
Etika
melandaskan
sejarah
kebebasan manusia pada solidaritas
tingkat
komunal, suatu etika yang mengakui
melibatkan
hak
individu
dalam
hubungannya
swakesadaran (self awareness), suatu
dengan keberadaan seluruh warga. Ini
konsep diri yang dimiliki subjek yang
merupakan
berpikir
sesungguhnya
dan
merenung
manusia,
yang
reflektif
Capra
Kesadaran tingkat mencakup
disebut
reflektif abstraksi
pada
diri
refresentasi
pengalaman
dari
cita-cita
kesadaran
individualisme, dan merupakan satu-
51-52).
satunya jalan ke luar bagi persoalan
melibat
suatu
bagaimana individu bisa tetap ”punya
kognitif
yang
solidaritas
(2009:
kemampuan
sementara
ia
semakin
menjadi otonom” (Ritzer dan Godman,
untuk
menyimpan citra-citra mental, yang
2008: 110-111).
memungkinkan manusia merumuskan
Kehidupan mahasiswa dalam
nilai, kepercayaan, tujuan, dan strategi.
masyarakatnya
Subjek yang merenung itu berdasarkan
komunitas budayanya yang memiliki
jiwanya. Hal ini sejalan dengan yang
dua dimensi: budaya dan komunal. Ide
dikatakan Toynbee (2007: 26) sebagai
loyalitas
berikut:
kebudayaan seseorang mengisyaratkan 13
dan
tidak
terlepas
kewajiban
dari
terhadap
Vol.1/Maret 2014
adanya
kesetiaan
hidupnya,
ISSN 1858-2621
terhadap
termasuk
nilai,
jalan
Melalui manifestasi kesadaran diri yang
cita-cita,
muncul
secara
silih
berganti
dan
sistem arti dan makna, serta kepekaan
sistematis membentuk sejarah manusia,
moral dan spritual. Kebudayaan yang
kesadaran sampai pada kedudukannya
dianut setiap mahasiswa memberikan
yang
pertalian
memberikan
refleksi dengan mensinergikan nalar
sumber daya bagi dunia yang masuk
praktis dan nalar teoretis ke dalam
akal,
bentuk kesadaran.
kehidupan,
menginspirasikan,
menjadi
sekarang
panduan moral, dan membantu mereka
melalui
Kesadaran
tahap-tahap
personal
mengatasi berbagai tragedi yang tidak
individualitas
terelakan (Parekh, 2008: 216). Semua
penghayatan
itu
mahasiswa tidak larut dan terhanyut
menunjukkan
apa
yang
telah
menjalankan
subjektif,
dalam
sistem arti dan estetika, spiritual dan
membuat
pencapaian
lainnya
dirinya, mengalami alienasi diri, dan
mewakili keseluruhan visi yang sangat
tidak menjalani eksistensi sejatinya. Hal
berharga mengenai kehidupan manusia
ini pada akhirnya akan menghilangkan
dan memberikan sumbangan unik bagi
kesadarannya dan menjadi berkurang
modal kebudayaan moral manusia.
tanggungjawabnya.
Dalam perspektif itu, gagasan
massa
sehingga
dilakukan, dapat dilihat bahwa cita-cita,
kebudayaan
budaya
yang
sebagai
mahasiswa
yang terasing
dapat dari
Pandangan
eksistensialis semacam itu menjadi
sejarah yang didorong oleh kesadaran
penting
kritis melalui proses perenungan tingkat
pembentukan
tinggi, melahirkan corak kemampuan
karena melahirkan dampak yang tidak
berpikir kesejarahan yang lahir dari
hanya positif tetapi juga produktif bagi
pemahaman terhadap sinergi masa lalu
kehidupan mahasiswa sebagai individu
dan masa kini. Bagi McCarthy (2008:
dengan penghayatan eksistensi yang
101) kesadaran kritis mahasiswa yang
bermakna dan memiliki mawas diri.
berlangsung melalui negasi terbatas,
Inilah proses pendidikan karakter dan
bertujuan untuk memahami konteks asal
pembentukan karakter diri yang utuh
mulanya
melalui belajar dari sejarah secara
sendiri,
yaitu
proses
pembentukan diri di mana dirinya
benar.
sendiri adalah hasil dari proses tersebut. 14
dalam
mendorong karakter
proses
mahasiswa,
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
C. Kesimpulan
Ilmu-ilmu sosial dan sejarah
Problema kemanusiaan yang tengah
kita
dihadapi
saat
merupakan solusi dalam mengatasi
ini,
krisis
kemanusiaan
dewasa
ini.
memerlukan pemecahan sebagai jalan
Terutama sejarah melalui implementasi
keluar dari dunia yang semakin sempit,
pembelajaran yang tepat, sejarah dapat
brutal, dan kejam. Perlu terobosan
menjadi solusi efektif terhadap berbagai
filosopis-teoritis sebagai dasar pijakan
persoalan kemanusiaan kita, karena
di dalam menjalankan solusi yang tepat,
sejarah
terukur,
kemanusiaan dan pembelajaran sejarah
sistematis,
dan
sistemik.
memuat
pesan
Dengan demikian dunia keilmuan dan
dapat
corak pendekatan pendidikan kita dalam
moral kemanusiaan yang terdapat di
tataran teoretis dan praktisnya harus
dalamnya.
mampu melepaskan diri dari pengaruh
menjalankan pendidikan karakter bagi
kelimuan
generasi
warisan
Cartesian
yang
mekanistik positivistik.
menderegulasikan
moral
Suatu
masa
merupakan
upaya
depan.
paparan
nilai-nilai
di
dalam
Tentu yang
ini tidak
berlebihan… Wallahu’alam bisshawab.
Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. (1991). “Pengajaran dan Penelitian Sejarah: Relevance, Kebenaran – Faktual, Keterangan – Peristiwa”, dalam: Media Komunikasi Profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia: Sejarah: Pemikiran, Rekontruksi, Persepsi, Jakarta: Gramedia.
Capra, Fritjof. (1997). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Alih Bahasa: M.Thoyibi. Yogyakarta: Bentang Budaya. Capra, Fritjof. (2009). The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Alih Bahasa: Andya Primanda. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ankersmit, F.R. (1987). Refleksi Tentang Sejarah, Pendapatpendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Alih Bahasa: Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Freire,
Buchori, Mochtar. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius 15
Paulo. (1999). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terjemahan: Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiartanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Vol.1/Maret 2014
dan Research, and Dialogue.
ISSN 1858-2621
Education,
Ritzer,
Gadamer, Hans-Georg. (2004). Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Anthony. (1990). The Consequences of Modernity. USA:The United Kingdom by Polity Press.
Ritzer, George. (2008). Teori Sosial Postmodern. Ali Bahasa: Muhammad Taufik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Heryanto, Ariel. (1999). “Kajian Budaya Menjelang Abad 21”, dalam: Akademika: Kajian Masalah Sosial Keagamaan, Rekontruksi Sosial Budaya, Muhammadiyah University Press, SurakartaNo. 02, Th. XVIII.
Soejatmoko. (2010). Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soejatmoko. Jakarta: KOMPAS.
Giddens,
Sumaryono, E. (1998). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Toynbee, Arnold. (2007). Sejarah Umat Manusia: Uraian Analisis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Alih Bahasa: Agung Prihartoro, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
McCarthy, Thomas. (2008). Teori Kritis Jurgen Habermas. Alih Bahasa: Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mulkhan, Abdul Munir. (1996). “Dialog Reflektif Nasionalisme, Agama dan Modernisasi”, dalam Ariel Heryanto (pengantar), Nasionalisme Refleksi Kritis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vattimo, Gianni. (2003). The End of Modernity: Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern. Alih Bahasa: Sunarwoto Dema. Yogyakarta: Sadasiva. Wiriaatmadja, Rochiati. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.
Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius. Poespoprodjo, W. (1987). Interpretasi. Bandung: Remadja Karya.
16
Vol.1/Maret 2014
ISSN 1858-2621
17