MAKASSAR: POROS NIAGA NUSANTARA ABAD XVII 0$.$66$57+(3,92775$'($5&+,3(/$*2,17+(;9,,&(1785< Muhammad NurIchsan A. Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado Jalan Katamso Bumi Beringin Link. V Manado Pos-el: LFFKDQNBLFKVDQ#\DKRRFRP Handphone: 085201641900 Diterima: 14 Juli 2015; Direvisi: 7 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVZULWLQJDLPHGWRNQRZWKHHFRQRPLFDQGSROLWLFDOLQÀXHQFHVLQ0DNDVVDU6XOWDQDWHLQWKHVL[WHHQWKDQG VHYHQWHHQWKFHQWXU\ZLWKWKHDUULYDORIWKHWUDGHUVIURPPDQ\DUHDVLQWKHDUFKLSHODJRDVZHOODVLQWKHZRUOGWR JHWVSLFHV,QSROLWLFDO¿HOG6XOWDQ0DNDVVDUDVWKHUXOHUJDYHIUHHGRPWRWKHWUDGHUVIRUWUDGLQJLQ0DNDVVDU KDUERXUZKLOHHFRQRPLF¿HOGUHODWHGWRWKHDYDLODELOLW\RIJRRGVDQGVSLFHVLQ0DNDVVDU%\XVLQJKLVWRU\ PHWKRGWKLVZULWLQJDOVRXVHGSROLWLFDOHFRQRPLFDSSURDFKWRNQRZWKHUXOHULQÀXHQFHRIHFRQRPLFV\VWHPLQ 0DNDVVDU6XOWDQDWH7KHUHVXOWRI6XOWDQ0DNDVVDUSROLF\PDGHWKHWUDGHUVHDVLHUWRJHWVSLFHVIURP0DOXNX 7KHWUDGHV\VWHPVOLNHIUHHWUDGHFRPPHQGDDQGPDUNHWZHUHFRQGXFWHGIRUWKHÀXHQF\RIVSLFHVGLVWULEXWLRQ WR0DNDVVDUDQGRWKHUDUHDV,WFRXOGEHGRQHZHOOE\6XOWDQ0DNDVVDULQ6XODZHVL,VODQG%\RSHQLQJWUDQVLW harbour and international trade port, Makassar could reach the peak of maritime trade in the seventeeth century. Keywords: 0DNDVVDU6XOWDQDWHPDULWLPHWUDGHVSLFHV ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekonomi dan politik di Kesultanan Makassar pada abad XVI dan XVII dengan kedatangan para pedagang dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia untuk mendapatkan rempah-rempah. Di bidang politik, Sultan Makassar selaku penguasa memberikan kebebasan kepada pedagang untuk berdagang di pelabuhan Makassar, sedangkan di bidang ekonomi menyangkut ketersediaan semua jenis barang dan rempah di Makassar. Dengan menggunakan metode sejarah, tulisan ini menggunakan pula pendekatan politik-ekonomi untuk mengetahui pengaruh penguasa terhadap sistem ekonomi di Kesulatanan Makassar. Hasil kebijakan Sultan Makassar memudahkan para pedagang mendapatkan rempah-rempah dari Maluku. Sistem perdagangan, seperti perdagangan bebas, commenda, dan pasar, dilakukan demi kelancaran distribusi rempahrempah ke Makassar dan daerah lainnya. Sistem tersebut dapat digunakan dengan baik oleh Sultan Makassar di Pulau Sulawesi. Dengan membuka pelabuhan transito dan bandar perdagangan internasional, Makassar dapat mencapai puncak kejayaannya di bidang perdagangan maritim pada abad XVII . Kata kunci: Kesultanan Makassar, perdagangan maritim, rempah-rempah
PENDAHULUAN Perdagangan maritim1 (Hotmosuprobo, 1986:1-3; Poelinggomang, 2012:1-3) aktivitas 1
Perdagangan maritim adalah kegiatan pertukaran barang dengan uang maupun tanpa uang yang dilakukan di daerah pesisir pantai atau pelabuhan sebagai tempat untuk pertukaran barang sehingga pelabuhan dijadikan sebagai sarana untuk bertukar barang. Kata Maritim merujuk dari bahasa asing yang berarti sesuatu yang berkaitan dengan laut, sedangkan Suhardjo Hotmosuprobo dalam tulisannya lebih memilih perdagangan-laut yang menunjukkan bahwa pertukaran ataupun pembelian barang yang
pertukaran barang melalui sarana laut dan perairan untuk memperoleh keuntungan. Perdagangan maritim di Asia berkembang secara bertahap
dilakukan menggunakan perahu dan laut sebagai sarana untuk mencapai daerah penghasil barang. Edward L. Peolinggoman menyebutkan perdagangan maritim sebagai suatu aktivitas manusia yang berdasarkan pada perdagangan yang berkaitan dengan hal-hal dengan laut dan juga memiliki ciri untuk memperoleh surplus -dalam bidang perekonomian—dan KLJKZD\RIOHDUQLQJ—dalam bidang pendidikan dan budaya.
327
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 327—337 melalui rute Timur Tengah menuju India (Hall, 1985:26) oleh orang-orang Arab. Mereka menggunakan jalur darat dan laut untuk menjual barang dagangan. Mereka menyusuri rute laut dari Teluk Aden menuju Muskat, Malabar, dan Kalikut di India (Karim, 2009:323). Jalur perdagangan maritim telah dikuasai oleh para pedagang dari Arab dan Cina. Para pedagang dari India melanjutkannya dan menemukan Nusantara (Hall, 1985:36), wilayah pesisir yang mirip dengan Coromandel di India. Mereka memasuki Nusantara dengan membawa barang dagangan yang memiliki harga jual tinggi dan tidak terdapat di Nusantara (Effendy, 2005:670). Tan Ta Sen (2010: 216-217) berpendapat bahwa terdapat tiga rute perdagangan kuno paling utama yang menghubungkan antara DuniaTimur dan Barat. Pertama, Jalur sutra yang menghubungkan dari Cina menuju Konstantinopel. .HGXD, Jalur keramik di Cina. .HWLJD, Jalur rempah-rempah yang merupakan jalur arteri yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Timur Jauh hingga Nusantara. Jalur ketiga inilah yang menghantarkan Nusantara sebagai sebuah wilayah yang terkenal akan rempah-rempah. Jalur ini menghubungkan Laut Mediterania menuju India dan berakhir di Selat Malaka. Para pedagang yang datang ke Nusantara melalui India berusaha mendapatkan sumber rempah-rempah utama yang terdapat di Maluku melalui Malaka. Beberapa pedagang dari Arab, India, dan Persia, sudah lama mendiami Malaka, sebagai jalaur strategis perdagangan internasional (Reid, 2011:9). Jatuhnya Malaka (1511) ke tangan Portugis membuka jalur perdagangan ke Nusantara (Ricklefs, 2005:66). Malaka menjadi sasaran utama bagi para pedagang yang kemudian wilayah ini menjadi pintu masuk perdagangan di Nusantara.Portugis kembali menemukan jalur perdagangan baru yang mencapai Banda (1516) dan Maluku (1519) (Love, 2006:72), bahkan mereka dengan mudah mencapai rute perdagangan Jawa dengan akses yang mudah melalui rute perairan Makassar (Vlekke, 1961:96). Makassar membuka pelabuhan baru di muara Sungai Tallo. Sebuah pelabuhan terbuka dengan sistem perdagangan bebas, sehingga 328
dapat menarik pedagang dari Eropa, Cina, Arab dan India yang bermukim di Nusantara. Ia juga mengangkat seorang syahbandar1 (Poesponogoro & Notosusanto, 1993:162; Rasjid & Gunawan, 2000:16-17) untuk mengurusi dan mengatur perdagangan di wilayah Makassar (Maula, 2001:4-6). Perkembangan Kesultanan Makassar sebagai kota bandar niaga dan pangkalan pertahanan pada pertengahan abad XVI didukung oleh dua faktor yang paling menentukan. Pertama; faktor dari dalam yaitu tumbuhnya Kerajaan Gowa-Tallo sebagai kerajaan yang menghimpun dan memelihara negeri-negeri orang Makassar. .HGXD, faktor dari luar yaitu kedatangan orangorang Eropa ke Nusantara untuk berniaga. Hasil-hasil bumi merupakan salah satu pemasukan ekonomi bagi Kesultanan Makassar. Tanah-tanah pertanian disewakan dengan sistem bagi hasil. Hasil-hasil tersebut diperdagangkan melalui jalur laut dengan menggunakan kapal laut. Hasil ternak, emas, dan beras, bahkan juga budak sebagai salah satu sumber ekonomi di Kesultanan Makassar (Ricklefs, 2005:59). Selain itu, Makassar juga memperdagangkan bahan tekstil berupa kain dan pakaian, serta rempahrempah (Mangemba, 1994:10). Perdagangan laut atau maritim menjadi salah satu aspek yang mendukung bagi Kesultanan Makassar, sehingga dapat menarik perhatian para pedagang dan pencari rempah-rempah. Dalam tulisan Stopford (1997:xx) menuliskan bahwa ekonomi merupakan sebuah sistem organisasi yang terbentuk dalam pasar. Ia juga lebih jauh menjelaskan bahwa ekonomi maritim adalah sistem yang terbentuk dari adanya permintaan pasar dengan mencakup sistem transpostasi laut, permintaan di perdagangan laut, armada 1 Syahbandar adalah seorang pejabat kerajaan yang bertugas mengatur dan mengawasi perdagangan. syahbandar bisa menjad orang yang memiliki kekuasaan penuh di pelabuhan, walaupun dapat dikatakan tidak diberi gaji oleh penguasa. Di samping mendapatkan penghasilan dari bea-cukai, ia juga mendapatkan sisa dari pajak yang harus dibayarkan kepada raja sebesar sepertiga. Syahbandar dianggap sebagai golongan “ERUMXLV”. Syahbandar di Makassar diangkat dari golongan Melayu. Di Abad XVII, campuran Makassar-Melayu yang bergelar Encik diangkat menjadi Syahbandar Makassar.
Makassar: Poros Niaga ... Muhammad Nurichsan A.
pedagang, dan organisasi perdagangan berbasis laut. Ramainya pelabuhan dan banyaknya pedagang yang berusaha manjalin hubungan perdagangan dengan Makassar memberikan kesulitan tersendiri bagi penguasa pada saat itu. Namun keramaian tersebut dapat diatasi dan memberikan pelayanan bagi para pedagang yang datang secara adil. Dengan ramainya perdagangan maritim tersebut, maka penulis merasa kajian ini menarik. Berdasarkan pada pertanyaan: bagaimana Makassar dapat bertahan sebagai poros niaga Nusantara pada abad XVI dan XVII? Bagaimana penguasa mengatur perdagangan sehingga terjadi pelayanan dan pemerataan? Oleh karena itu, penulis berusaha mendeskripsikan Makassar sebagai poros niaga Nusantara pada abad XVII. Sehingga Makassar dapat menjadi primadona bagi para pedagang dari Nusantara dan wilayah lainnya. METODE Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research) yang sumber datanya berupa arsip, buku-buku, dan karya-karya ilmiah. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, maka diperlukan metode yang berkaitan dengannya. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dan pendekatan ekonomi-politik. Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Metode sejarah bertumpu pada empat langkah, yaitu heuristik atau pengumpulan sumber, kritik sumber atau YHUL¿NDVLLQWHUSUHWDVLDWDXDQDOLVLVGDQVLQWHVLV GDQ KLVWRULRJUD¿DWDX SHQXOLVDQ $EGXUUDKPDQ 2007:63 dan Kuntowijoyo, 2005:90). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan ekonomi politik. Dalam upaya untuk membahas penelitian ini, penulis menggunakan konsep ekonomipolitik. Ekonomi Politik adalah suatu studi yang membahas mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi yang dengan atau tanpa menggunakan uang, mencakup atau melibatkan transaksi pertukaran antar manusia, namun mengikuti kebijakan dari
penguasa lokal (Rosyidi, 2006:8). Menurut Gilpin (1987:25-64) ekonomi politik dapat menghasilkan hubungan dua negara atau lebih yang kemudian EHUDNLEDWSDGDWLQGDNDQSHUDQJGDPDLNRQÀLN maupun kerjasama yang terjadi. Sultan atau penguasa Makassar menggunakan jalur laut sebagai salah satu pendorong untuk meningkatkan ekonomi di kesultanan. Melalui jalur perdagangan maritim yang telah dibuka di abad ke-XV, sultan mengatur perekonomian dengan menggunakan jasa rakyat dan para pedagang lokal untuk memproduksi barang yang diperdagangkan secara internasional. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang dari berbagai wilayah di Asia dan Eropa untuk menjalankan distribusi ekonomi yang dibutuhkan. Di samping itu juga, Kesultanan Makassar mendapatkan sumber-sumber perdagangan dari wilayah-wilayah yang telah ditaklukkannya. Tulisan di atas memberikan gambaran umum mengenai bagaimana Kesultanan Makassar mengeksploitasi sumber daya alam yang dimilikinya dan mengetahui posisinya sebagai pos penting (entrepot) dalam perdagangan internasional.Dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik tulisan ini berusaha meggambarkan kegiatan ekonomi maritim Kesultanan Makassar. tampaknya, banyaknya persediaan barang dagangan yang dimiliki dan ramainya bandar dan pelabuhan Kesultanan Makassar yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah sesuai dengan konsep merkantilisme. Dengan meminjam istilah Antonio 6HUUD yang menyatakan bahwa; perdagangan membawa keuntungan bagi suatu bangsa, mereka mengelola barang-barang yang dapat di ekspor ke negara-negara lain atau di simpan untuk kepentingan diri sendiri (Soule, 1952:36). Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatun egara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan besarnya volume perdagangan global sangat penting. Teori tersebut didukung dengan teori murni perdagangan yang membahas mengenai dasar terjadinya perdagangan dan keuntungan dari perdagangan (Apridar, 2009:67).
329
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 327—337 PEMBAHASAN Kesultanan Makassar Dalam Catatan Sejarah Kehidupan di Kesultanan Makassar berawal dari adanya pemersatu di antara sembilan bendera dari distrik-distrik kecil yang berada di sekitar wilayah Gowa 2 (Poesponogoro & Notosusanto, 1993:217218), mereka disebut sebagai bate salapang atau NDVXZL\DQJVDODSDQJ. Kerajaan-kerajaan kecil ini memiliki sistem politik yang berbeda. Mereka bebas mengatur pemerintahan dan hukum dalam wilayahnya masingmasing (Patunru, 1971:1). Mereka mendirikan kerajaan dengan raja pertama bernama Tumanurung (orang yang diturunkan dari langit)3. Mereka dipersatukan oleh Paccallayya (ketua dewan adat) yang memiliki wewenang untuk memberikan nasihat dan keputusan hukum untuk kesembilan distrik kecil tersebut (Patunru, 1971:9). Selama satu abad, Gowa menjadi kerajaan tunggal bagi orang-orang Makassar, namun di awal abad XV terjadinya pembagian kekuasaan di Makassar. Raja Gowa Ke-VI, Tunatangka Lopi, membagi dua wilayah kerajaan Gowa yang terdiri dari sembilan distrik, kemudian dipecah menjadi dua wilayah kerajaan yakni Gowa dan Tallo. Pembagian tersebut diberikan kepada kedua anaknya yang bernama Batara Guru dan .DUDHQJ Lowe ri Sero. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kelak di masa akhir jabatannya tidak terjadi perang saudara yang mengakibatkan adanya perpecahan internal di Kesultanan 2
Gowa dikenal sebagai wilayah yang kecil sejak awal abad ke 14 . Penyebutan wilayah ini diperkirakan dari kata “gua” yang berarti liang atau lubang. Kata tersebut dinisbatkan melalui proses turunnya tomanurunga ke wilayah Sulawesi Selatan. 3 Tumanurung adalah “yang turun dari (dunia) atas”. Ia dikenal dalam legenda orang Bugis Makassar, sebagai orang yang turun dari kahyangan dan melakukan pemerintahan di atas dunia. Dipercaya sebagai anugerah dari dewa tertinggi guna mempersatukan dan mencari kemakmuran bersama sehingga dapat terhindar dari permusuhan. Ia menikah dengan Karaeng Bajo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal muasalnya dan asal negerinya. Ia dikatakan datang dari arah selatan bersama seorang yang bernama Lakipadada.
330
Makassar (Hamid, 1994:7-8). Kesatuan Kerajaan Gowa dan Tallo ini kemudian disebut Kerajaan Makassar (Sewang, 2005:22). Sagimun (1992:18) menuliskan bahwa hal tersebut suatu bentuk kerajaan yang oleh penulis-penulis Belanda disebut VXVWHUV ULMNHQ (kerajaan bersaudara/ kembar) atau yang lazim diterjemahkan dengan kata “Kerajaan Kembar”. ikrar bersama untuk membentuk satu kesatuan, dengan bunyi sumpah: “barang siapa yang mengadu domba antara Gowa dan Tallo, maka dia akan dikutuk oleh Dewata” (,DLDQQDPR WDXDPSDVLHZDL JRZDWDOOR¶ LDPR QDFDOODUHZDWD 4. Kesatuan Kerajaan Gowa dan Tallo ini kemudian disebut Kerajaan Makassar (Sewang, 2005:22). Supremasi Makassar dan Bone sebagai kerajaan berpengaruh di Pulau Sulawesi mulai terjadi di awal abad ke XVI. Pada masa raja Gowa XI, Tunibatta’ (1565), kembali melancarkan serangan ke wilayah Bone, namun serangannya mengalami kekalahan dan ia pun terbunuh dalam keadaan tertetak. Keduanya, Gowa dan Bone, menunjukkan suatu polarisasi dalam hegemoni politik di Makassar (Kartodirjo, 1987:59). Dendam di antara kedua kerajaan tersebut terus berlanjut, seolah-olah diwarisi oleh raja-raja Makassar dan Bone di masa yang cukup panjang (Mattulada, 2011:30). Kerajaan-kerajaan kecil yang lain seperti Soppeng, Wajo, Sawitto, dan Balanipa sebagai kelompok yang mendukung Makassar (Parman, dkk, 2010:48). Di masa raja XIV, I Manngarangi Daeng Manrabbia (1593-1639), Gowa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ia didampingi oleh seorang mangkubumi bernama .DUDHQJ Matowaya yang bertindak sebagai penasehat kerajaan. Di masa ini, Makassar memulai menyebarkan pengaruhnya di wilayah Sulawesi dan agama Islam telah menjadi agama resmi di pemerintahan sejak 1605. Pada masa inilah Makassar berhasi menjadi salah satu kesultanan berpengaruh di Nusantara. Pada abad XV, Somba Opu menjadi sebagai bandar niaga Kerajaan Makassar yang terletak di muara Sungai Jeneberang dan 4
Ucapan tersebut merupakan sumpah setia yang terjadi antara Gowa-Tallo yang menyatukan diri menjadi kerajaan Makassar atau Kesultanan Makassar.
Makassar: Poros Niaga ... Muhammad Nurichsan A.
berhadapan langsung dengan laut. Pulau-pulau kecil mengelilingi Somba Opu dapat berfungsi sebagai tanggul untuk menahan ombak, sehingga memenuhi persyaratan untuk berlabuh bagi perahu layar dan kapal-kapal besar (Sewang, 2005:73). Dengan pindahnya pusat kerajaan ke pinggir pantai, maka Tumapa’risi Kallonna mudah mengembangkan dan mengontrol jalannya perdagangan di Makassar (Darmawijaya, 2010:95). Sumber Pendapatan Kesultanan Makassar Perpindahan ibu kota ke Somba Opu berakibat pada struktur pemerintahan di Istana Makassar. Secara politik, sultan mengangkat seorang syahbandar sebagai pengontrol perdagangan maritim di Makassar (Patunru,1971:11). Ia mengatur semua pedagang yang datang dan pergi di Bandar Makassar. Pedagang yang datang dan berdagang di Makassar dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia. Pada masa selanjutnya, Sultan Alaluddin (1593-1639), Malik as-Said (1639- 1653), para pelaut dari Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dengan harga yang murah, kemudian dijual kembali di Bandar Makassar dengan harga yang bervariatif. Penjualan tersebut ternyata menarik perhatian dari pedagang lainnya, sehingga para pedagang lain membeli barang dan rempahrempah dalam jumlah banyak. Cara berdagang seperti inilah yang memudahkan pelaut Makassar terkenal dan Bandar Makassar ramai dikunjungi oleh pedagang dari wilayah lainnya. Merosotnya pelabuhan-pelabuhan yang ada di daerah Jawa Timur menyokong perkembangan Makassar sebagai salah satu pusat perdagangan. Makassar muncul sebagai salah satu rute perdagangan dan membantu jaringan perdagangan, sehingga memunculkan rute baru dalam perdagangan maritim (Kartodirdjo, 1987:69). Berbeda dengan masa Sultan Hasanuddin (1653-1669), sistem tersebut tidak lagi digunakan, dimana Belanda sudah berkuasa di Makassar, dan menerapkan peraturan yang dibuat oleh Belanda, terutama setelah terjadinya Perjanjian Bungaya pada 1667. Belanda melakukan pembatasan pedagang. Mereka mengusir para
pedagang Portugis dan Spanyol yang sudah lama menjalin hubungan dengan Makassar, dan juga membangun 6WDG9ODDUGLQJHQ (perkampungan/ Kota Vlaardingen)5 yang memisahkan kegiatan perdagangan secara langsung. Dengan demikian beberapa kegiatan perdagangan maritim yang dilakukan oleh Kesultanan Makassar sebagai berikut: a. Perdagangan Bebas Hubungan diplomasi Sultan Makassar dan Alfonso d’Alberqueque membuka jalan bagi Makassar untuk jalur perdagangan ke Maluku. Tujuan d’Alberqueque ialah untuk mencari dan mengetahui jalur penjualan rempah-rempah yang sampai ke Eropa. Ia juga menginginkan sumber rempah-rempah langsung dari daerah penghasilnya. Dengan berhasil menemukan dan membawa pulang rempah-rempah, Portugis berhasil mengantongi pendapatan yang besar (Lapian, 2008:43). Letak yang strategis membuat Makassar semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang. Wilayah dan penguasa yang terbuka membuat para pedagang merasa aman untuk berdagang di perairan Makassar. Ketika terjadi sengketa dengan Belanda, penguasa menyiapkan kapalkapal khusus bagi para pedagang. Kapal-kapal ini bertujuan untuk mengawal para pedagang yang berlayar menuju Maluku dan sekitarnya. Sehingga para pedagang yang berlayar dari Makassar ke tempat tujuannya merasa aman (Hamid, 2007:3-5). Awal abad XVII, Belanda mulai menaruh perhatian kepada Makassar. Pada 1602 , setelah Belanda berhasil membuat organisasi dagang dengan nama VOC, dan membangun loji dagang di Makassar, lambat laun mereka melakukan diplomasi terbuka untuk mengusir pedagang dari Portugis. Pada 1607, Belanda mengirim saudagar Belanda untuk menjalin hubungan dagang. Abraham Matyz dikirim ke Somba Opu dengan tujuan menaklukkan Banda dan memonopoli 6WDG 9ODDUGLQJHQ adalah tempat tinggal yang dikhususkan untuk orang-orang Belanda dan keturunannya. Wilayah ini berada di pusat benteng Jumpandang —sekarang Rotterdam— setelah terjadinya Perjanjian Bungaya pada 1667. Daerah ini menandakan menjadi daerah kekuasaan Belanda. 5
331
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 327—337 perdagangan rempah-rempah. Ternyata Sultan menolak ajakan Belanda tersebut (Patunru, 1971:21). Usaha Belanda untuk memonopoli perdagangan tidak pernah hilang. Ia terus mengirimkan utusan kepada Sultan Makassar agar niatnya diterima, hingga akhirnya permusuhan antara Makassar dan Belanda yang menyebabkan terjadinya perang terbuka. Gubernur Belanda di Batavia, Antony Coen, terus melakukan intimidasi dan pemaksaan kepada rakyat Ambon agar mendapatkan hasil rempahrempah yang lebih memuaskan. Tindakan Belanda ini kemudian dikenal dengan Hongitochten (Perjanjian Hongi). Untuk memuluskan tindakannya tersebut, Belanda melakukan perjanjian perdamaian kepada Makassar yang di mana pada saat itu, Ambon menjadi wilayah kekuasaan Makassar. Pada 1637, dibuatlah perjanjian perdagangan bebas antara Makassar dan Belanda, namun Belanda tidak boleh mendirikan perkampungan dan tempat tinggal di Makassar (Patunru, 1971:21). Perjanjian perdagangan bebas tersebut merupakan akhir dari kekuasaan Sultan Alauddin dan digantikan oleh anaknya Sultan Malik as-Said. Sultan wafat pada 1639 (Kamaruddin, 1985:18; Tika, 2007:33). Pada masa Sultan Malik as-Said (16391653) perdagangan laut terus dilanjutkan, dan mengembangkan usaha-usaha perdagangan laut di Makassar. Penguasa membangun hubungan diplomatik dengan dunia internasional. Orangorang Makassar tidak hanya berlayar di sekitar laut Nusantara dan India, melainkan mereka juga berhasil menempuh jalur maritim ke selatan. Pelayaran-pelayaran ini dimaksudkan untuk mencari teripang yang kemudian dijual untuk orang-orang Tionghoa. Dalam hukum pelayaran yang ditulis oleh Amanagappa juga menyebutkan bahwa kapalkapal dari selatan juga mengunjungi Makassar melalui Selat Makassar menuju Manila. Pelayaran ini menunjukkan bahwa telah banyak pedagang yang mengunjungi Makassar sebelum kedatangan orang-orang Eropa (Tobing, 1977:22-24). Pelras (2005:210) menuliskan di dalam bukunya dan kemudian dikutip kembali dalam artikelnya yang berjudul Petualangan orang-orang Makassar
332
di Ayuthia, Muangthai, Thailand pada Abad ke NH bahwa orang-orang Makassar berhasil menyebarkan pengaruhnya di Muangthai. Ia disambut baik oleh seorang raja di Muangthai, Raja Narai, dan diberi tempat tinggal di sebelah perkampungan Melayu. Mereka diberikan sawah dan kerbau untuk membajak sawah dan setiap tahunnya mereka mendapatkan upah dan pakaian dari Raja Narai. Keramaian Bandar Makassar mencapai puncak kejayaan pada pertengahan abad XVII ketika Bandar Makassar menjadi bandar internasional dan entrepot (pos perdagangan) (Kohn, 2003:3). Barang dagangan yang berasal dari timur dan barat Nusantara merupakan barang dagangan yang harus melalui Bandar Makassar. Saat itu, Makassar memiliki jalur hubungan pelayaran dengan beberapa daerah di Nusantara dan Eropa. Mereka yang memasuki daerah Makassar diterima dengan perjanjian yang menawarkan keamanan dan persahabatan antara sultan dan pedagang. Bentuk perjanjian itu diwujudkan dengan pertukaran barang dagangan dengan sistem barter dan pertalian perkawinan (Rasjid, 2000:58). Wilayah ini berhasil dieksplorasi dengan baik sebagai pelabuhan perdagangan. b. Commenda Perdagangan dengan bentuk commenda menjadi salah satu cara bagi Sultan melakukan kegiatan ekonomi. Commenda adalah salah satu sistem perdagangan dalam bentuk pinjaman, dan titipan uang dengan adanya perjanjian. Yang menjalankan perdagangan semacam ini, commenda, ialah orang yang dapat dipercaya untuk menjalankan perdagangan. Jadi sang raja, bendahara, dan para orang kaya lainnya bukanlah sebagai saudagar yang berhubungan langsung dengan perdagangan, melainkan mereka memberikan modal kepada para pedagang dan memberinya upah dengan cara membagi laba menurut kesepakatan yang telah ditentukan (Lapian, 2008:63-65). Orang-orang Makassar dan Bugis yang memiliki semangat usaha dagang yang tinggi ini, membuat mereka sering meminjam sejumlah
Makassar: Poros Niaga ... Muhammad Nurichsan A.
modal dalam bentuk uang dan barang dagangan, dengan jaminan kebebasan yang mereka miliki. Dari usaha dan modal yang mereka peroleh, orangorang ini berharap mendapatkan keuntungan GDUL SHUGDJDQJDQ \DQJ GLODNXNDQQ\D 5DÀHVV 2008:823). Mereka berdagang secara fair dan adil. Mereka berusaha mendapatkan hasil sesuai dengan modal yang telah dikeluarkan, dan tidak jarang mereka memabawa hasil yang lebih dari modal perdagangan yang mereka bawa, bahkan dengan modal yang cukup kecil. Mereka yang dulunya bekerja sebagai petani, dan penggarap sawah secara berangsur berubah menjadi pelaut. Mereka yang bekerja untuk istana dengan mudah mendapatkan modal dari raja. Raja memberikan fasilitas, kapal dan perahu, kepada para pelaut untuk membawa barang dagangan dan untuk mata pencaharian mereka sendiri. Mereka merantau, untuk berdagang, yang mencapai wilayah Johor. Selain syahbandar, Makassar juga memiliki orang yang bekerja sebagai nakhoda di kapalkapal lokal dan asing. Mereka mengepalai semua urusan yang berhubungan dengan kapal dan muatan. Mengikuti cara berdagang commenda, maka terdapat beberapa orang yang berperan di lautan sebagai pengendali kapal. Sultan Malik as-Said terus menawarkan bantuan armada militer kepada Maluku, jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Ternate, Hitu, dan beberapa pulau-pulau kecil yang ada di daerah timur pulau Sulawesi juga mendapatkan bantuan armada militer dari Makassar (Poelinggomang, 2012:33). Hubungan diplomasi yang terjalin antara Ternate dan Makassar berdampak pada hak dan kewajiban para pedagang Makassar di Ternate, dan seluruh umat Islam (Mattulada, 2011:73). Pada paruh pertengahan abad XVII, Sultan Hasanuddin berusaha menjaga kedaulatan negeri Makassar. Ia mengirim para pedagang ke wilayah timur tanpa sepengetahuan dan di luar pengawasan Belanda. Hal ini membuat orang Belanda membenci Kesultanan Makassar (Darmawijaya, 2010:104). Orang-orang Belanda memaksakan monopoli perdagangan mendapatkan tantangan dari Hasanuddin. Tindakan monopoli tersebut
didukung dengan adanya perjanjian-perjanjian yang merugikan pihak Makassar yang menyebabkan kehancuran perdagangan Makassar. Belanda berhasil melakukan monopoli rempah-rempah di Ambon, dan Uliase (Sagimun, 1992:87-89). c. Pasar Pasar dalam catatan Valentijn terletak di luar benteng Somba Opu. Di depannya terdapat jalan umum yang menghubungkan dengan komplek istana benteng Somba Opu dikelilingi Sungai Je’neberang. Meskipun pasar tersebut tidak terdapat peninggalan artefaktual, namun dapat direkonstruksi lebih lanjut. Pasar tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan semua bangsa yang berdagang di Makassar (Effendy, 2005:157). Pasar yang sesuai dengan fungsinya dijadikan sebagai tolak ukur harga yang menunjukkan sikap komersial yang cerdas dan hemat (Reid, 2011:188). Para penggiat ekonomi di Makassar merupakan orang yang diberi modal dan kepercayaan oleh penguasa. Pasar dipersiapkan oleh pemerintah hampir di sudut-sudut Kota Makassar. Pasar merupakan kegiatan yang banyak dilakukan oleh perempuan. Pasar tidak hanya berlangusung di darat, tetapi juga di laut. Daerah Makassar yang dikelilingi oleh Sungai Je’neberang membangun pasar terapung (Effendy, 2005:157). Pasar terapung berlangsung di sungai dengan menggunakan kapal untuk menjajakan barang dagangan. Dari situlah pedagang dan pembeli bertemu. Pembeli-pembeli tersebut adalah distributor, perantara atau agen dengan harga yang reatif murah. Di Makassar, orang-orang Cina memiliki peran yang penting. Mereka dapat memenuhi kebutuhan komuditas yang dibutuhkan oleh para pedagang. Selain itu, barang-barang yang mereka bawa menjadi komuditas yang dibutuhkan di Makassar. Para pedagang Makassar membeli keramik Cina, kemudian dijual kembali di daerah pedalaman yang menjadi penghasil beras seperti; Takalar, Maros, Bantaeng, Bulukumba, dan Pangkaje’ne. Daya produksi beras yang tinggi membuat beberapa gudang dan pendistribusiannya terganggu. Surplus beras yang terjadi di daerah
333
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 327—337 Maros menjadi bukti nyata akan beras yang melimpah. Daerah yang dikuasai oleh Makassar sejak 1590 ini mampu menghasilkan beras kurang lebih 450 ton per bulannya. Beras ini dijual kepada pedagang Eropa yang berlayar ke Maluku. Jadi selama setahun, produksi beras di wilayah Makassar dapat mencapai 6000 ton (Reid, 2009:29-30). Dengan adanya perdagangan bebas, sistem commenda, dan infrastruktur pasar perdagangan di Makassar menjadi kota dagang yang ramai di pertengahan abad XVII. Secara keseluruhan produksi perdagangan dari Makassar diperoleh dari penaklukan wilayah dan hubugan dari beberapa pedagang yang mengunjungi Makassar. Dengan bentuk perdagangan bebas dan sistem commenda serta adanya pasar yang dibangun oleh pemerintah, para pedagang Makassar dapat menjual barang dagangan mereka. Bagi hasil yang diperoleh dari perdagangan ternyata dapat membantu bagi pengembangan Makassar sebagai kota maritim. Perdagangan maritim yang bergantung pada alam lebih menguntungkan di abad XVII, dibandingkan dengan menggunakan barang secara pribadi untuk kepentingan sendiri. Keterikatan dengan para pedagang lainnya menjadi faktor pendukung utama, sehingga dapat memperoleh barang dagangan yang dibutuhkan atau dengan cara barter yang saling membutuhkan barang dagangan untuk kebutuhan primer. Fasilitas yang diberikan memberi kemudahan dan keuntungan untuk menjual barang dagangan sesuai dengan kesepakatan. Para Pedagang di Kesultanan Makassar Makassar yang menjadi bandar transito bagi para pedangang dari berbagai daerah di Asia dan Eropa, mengambil kesempatan dengan menjalin hubungan dagang dengan mereka. Makassar menetapkan mare liberium (perdagangan bebas) bagi para pedagang yang mengunjungi Makassar. Dengan kata lain, Makassar melakukan hubungan perdagangan multilateral yang berbasis maritim. Hubungan ini terus berlanjut hingga Makassar mengalami kehancuran di abad XVII. Para pedagang yang menyandarkan kapal 334
di Makassar mendapatkan kebebasan dan keamanan untuk berdagang. Tindakan monopoli perdagangan dilarang sehingga para pedagang dapat memperoleh kebutuhan yang mereka cari di Makassar. Mereka membeli rempah-rempah dan barang dagangan yang dapat ditukarkan dan kemudian dijual kembali. Dengan perkembangan pelabuhan seperti itu datanglah mengalir barangbarang ke Makassar (Kartodirdjo,1987:88). Pendudukan Malaka mengakibatkan terjadinya migrasi besar-besaran oleh para pedagang dari Melayu (Kartodirdjo, 1987:88). Mereka memilih Makassar sebagai tempat untuk berimigrasi dan menjauhkan diri dari Portugis sehingga memunculkan Makassar sebagai salah satu bandar yang berpengaruh di Nusantara (Asba, 2008:166). Mereka melakukan perpindahan karena lahan dikuasai dan penaklukan wilayah oleh Portugis. Sultan Alauddin menerima mereka dengan tangan terbuka dan memberikan tempat untuk para pedagang yang berdagang melalui maritim. Di Makassar sendiri, musim menjadi hal yang menguntungkan bagi pelabuhan di sekitar Selat Makassar. Pada April hingga Agustus angin bertiup ke wilayah utara sehingga para pedagang dari Jawa yang berlayar menuju Maluku dapat transit di Makassar pada medio tersebut. Pada Desember hingga Maret angin bertiup ke selatan (Asba, 2008:85) yang mengindikasikan bahwa para pedagang dari Maluku kembali ke wilayah asalnya melalui perairan yang sama. Di Maluku dan sekitarnya terdapat pemukiman orang-orang Makassar yang diidentifikasi sebagai bukti hubungan dan kerjasama di kedua Kesultanan Islam tersebut. Adanya keturunan Makassar di Maluku serta kehidupan masyarakat Makassar yang berkelompok di Maluku menandakan bahwa Makassar dan Maluku merupakan daerah yang menjalin hubungan bilateral untuk masyarakat, terutama dalam bidang perdagangan (Leirizza, 2009:337). Hal ini memberikan dampak positif bagi Makassar. Para pedagang menjadikan Makassar sebagai bandar transit sebelum dan setelah angin musim berlalu. Oleh karena itu, bangsa dan pedagang asing dari luar terus berdatangan untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan Makassar. Hak-hak dan
Makassar: Poros Niaga ... Muhammad Nurichsan A.
kewajiban kontraktual antara negara-negara tetap menjadi ciri khas di wilayah Makassar, yang menyebabkan adanya keseimbangan perdagangan bagi negara-negara yang bersaing (Reid, 2011:247). Para pedagang Nusantara dan asing dari beberapa daerah tertarik melakukan hubungan dengan Makassar, sehingga di antara banyak yang menetap dan membuat kelompok tersendiri yang menjadi perantara para pedagang yang datang dari daerah masing-masing. Tidak hanya itu, hubungan politik juga terjadi yang saling bergantian mengirim diplomasi ke daerah-daerah yang menjalin hubungan dengan Makassar. Mereka memiliki modal sendiri dan menggerakkan etos kerja perdagangan yang berbeda (Reid, 2011:247). Oleh karena itu, para pedagang Nusantara dan asing di abad XVII tidak terlepas dari hubungan dengan Makassar. Melayu, Jawa, Cina, Portugis, dan Belanda merupakan pedagang yang menjalin interaksi dengan Makassar di abad XVII. Makassar yang menerapkan sistem ekonomi perdagangan bebas dan commenda dapat menarik banyak perhatian para pedagang, baik dalam segi ekonomi maupun politik. Melayu, Melaka, dan Jawa merupakan para pedagang Nusantara yang berinteraksi dengan pedagang Makassar, sedangkan para pedagang dari Cina, Portugis, dan Belanda merupakan pedagang asing yang mewakili interaksi dengan pedagang Makassar. Interaksi perdagangan yang terjadi secara intens memberikan gambaran bahwa Kesultanan Makassar memberikan keamanan dan kebebasan untuk berdagang. Dengan pertemuan para pedagang di Makassar, ramainya aktivitas tukar-menukar barang, dan hasil barang yang diperjualbelikan menandakan bahwa pemasukan untuk Kesultanan Makassar cukup besar. Dengan adanya pajak barang dagangan sebelum terjadinya bongkar-muat barang terlebih dahulu syahbandar melaporkan kepada sultan bahwa para pedagang telah datang dan siap untuk melakukan transaksi. Mereka memenuhi pasar yang telah disediakan, bahkan ada juga yang sengaja menetap di sekitar Kesultanan Makassar dengan tujuan mendapatkan barang secara langsung tanpa perantara. Kebiasaan para
pedagang seperti ini bertahan hingga jatuhnya pengaruh Kesultanan Makassar akibat kebijakan politik Belanda di tahun 1669. PENUTUP Makassar, Kesultanan yang berdiri sejak abad XIV dapat bertahan hingga abad XVII, ternyata memiliki banyak pengaruh dan kekuatan yang layak di Nusantara. Berawal dari kebijakan penguasa yang memindahkan sistem ekonomi agararia ke sistem ekonomi maritim ternyata berdampak positif bagi perkembangan Kesultanan Makassar. Terbukanya berbagai bandar niaga dan pelabuhan serta pemanfaaatan sungai-sungai yang ada di wilayah sekitar Kesultanan Makassar memberikan arti penting untuk kemajuan di bidang pemerintahan dan sosial. Etnis Sulawesi Selatan, Makassar dan Bugis berperan dalam pengembangan Kesultanan Makassar. Mereka merupakan penggiat ekonomi yang memiliki visi dan misi yang kuat. Mereka dapat menjalin kerjasama dengan pedagang dari Nusantara dan Eropa dan Cina, sehingga Makassar dapat dikenal secara luas. Di samping itu pula, kegigihan mereka untuk mengarungi lautan dan membaca keadaan alam dapat dijadikan sebagai bekal dalam menjalin kerjasama dengan pedagang lainnya. Pembukaan pasar yang dilakukan oleh penguasa sebagai pusat interaksi sosial masyarakat, baik pedagang lokal dan non-lokal, mendapatkan tempat tersendiri bagi pelakunya. Dari sistem perdagangan bebas (mare liberium), Pengusaha Makassar melihat keuntungan untuk penduduk lokal, sehingga membuat kebijakan kepada pendatang dengan jaminan keamanan bagi yang ingin berdagang di Makassar. Tidak hanya sampai di situ, penguasa memberikan modal kepada masyarakat Makassar untuk melakukan aktivitas ekonomi. Sistem commenda atau memanfaatkan modal dari penguasa dengan perjanjian berimplikasi terhadap sudut pandang perekonomian. Dari sistem ini banyak pemodal dari penduduk lokal bermunculan, bahkan ada pula yang memiliki pekerja dari luar wilayah Makassar. Hasil-hasil bumi dan barang dagangan yang 335
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 327—337 ditawarkan oleh penguasa Makassar tergolong harga murah, jika dibandingkan dengan harga yang ada di Malaka, Batavia, dan Cirebon, sehingga menarik perhatian kepada para pencari hasil bumi, terutama rempah-rempah, mengalihkan perhatian ke Makassar. Dengan menjamin keamanan para pedagang, Makassar telah mendapatkan tempat bagi para pedagang. Tidak ada perbedaan antara pedagang Nusantara, Cina, dan Eropa dalam membeli barang dagangan yang dimiliki oleh Makassar. Bagi penguasa Makassar, pemerataan dan pelayanan yang efektif serta keadilan harus berlangsung selama berdagang sesuai dengan perjanjian perdagangan yang telah disepakati sebelumnya. Oleh karena itu, Makassar dapat dikatakan sebagai poros niaga Nusantara yang menghubungkan wilayah barat dan timur, terutama ke daerah penghasil rempah-rempah, Maluku. Makassar sebagai entrepot perdagangan maritim dapat bertahan hingga pengaruh Belanda yang berusaha memonopoli perdagangan rempahrempah pada abad XVII dan XVIII. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi 3HQHOLWLDQ 6HMDUDK Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Apridar, 2009. (NRQRPL,QWHUQDVLRQDO6HMDUDK 7HRUL .RQVHS GDQ 3HUPDVDODKDQ GDODP Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Asba, Rasyid, 2008. “Citra Makassar yang Hilang dari Kota Niaga ke Kota Industri”, dalam Djoko Marihandono (eds.), Titik %DOLN +LVWRULRJD¿ GL ,QGRQHVLD Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Darmawijaya. 2010. .HVXOWDQDQ,VODP1XVDQWDUD Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Effendy, Muslimin A.R. 2005. Jaringan 3HUGDJDQJDQ .HUDPLN 0DNDVVDU $EDG XVI-XVII Wonogiri: Bina Citra Pustaka. Gilpin, Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princetin University Press. Hall, Kennet R. 1985. 0DULWLPH7UDGHDQG6WDWH 'HYHORSPHQW LQ (DUO\ 6RXWKHDVW $VLD
336
Honolulu, Hawaii: University of Hawaii Press. Hamid, Abu. 1994. 6\HNK<XVXI6HRUDQJ8ODPD 6X¿GDQ3HMXDQJJakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hamid, Abu. 2007. Pesan-pesan Moral Pelaut Bugis.6XODZHVL6HODWDQ3XVWDND5HÀHNVL Hotmosuprobo, Suhardjo. 1986.Perdagangan/DXW %DQJVD -DZD 6DPSDL $EDG NH. Yogyakarta: Lembaga Javanologi. Kamaruddin (eds.). 1985. /RQWDUDN%LODQJ5DMD *RZDGDQ7DOOR Sulawesi Selatan: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Karim, M. Abdul. 2009. 6HMDUDK3HPLNLUDQGDQ Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Kartodirjo, Sartono. 1987. 3HQJDQWDU 6HMDUDK ,QGRQHVLD%DUXGDUL(PSRULXP hingga Imperium. Cet. I Jakarta: PT. Gramedia Kohn, Meir. 2003. $VDO 8VXO 6XNVHV (NRQRPL %DUDW 3HUGDJDQJDQ .HXDQJDQ GDQ Pemerintah pra-Industri Eropa. Hanover: Departemen Ekonomi Dartmouth College. Kuntowijoyo. 2005. 3HQJDQWDU ,OPX 6HMDUDK Yogyakarta: Bentang Pustaka. Lapian. Adrian B, 2008. Pelayaran dan 3HUQLDJDDQ 1XVDQWDUD $EDG .H GDQ Jakarta: Komunitas Bambu. Leirissa, R.Z., 2009. “Orang Bugis dan Makassar di Ambon dan Ternate”, dalam Roger Tol (eds.), .XDVD GDQ 8VDKD GL 0DV\DUDNDW 6XODZHVL 6HODWDQ. terj. Innaniwa. Jakarta: KITLV-Jakarta. Love, Ronald S.. 2006. Maritime Exploartion in WKH$JHRI'LVFRYHU\ London: Greenword Press. Mangemba, H.D., 1994. “Semangat Kebaharian Orang Sulawesi Selatan: Duludan Sekarang”, dalam /RQWDUD0DMDODK,OPLDK Unhas. Sulawesi Selatan: Hasanuddin University Press. Mattualada. 2011. 0HQ\XVXUL -HMDN .HKDGLUDQ Manusia Makassar. Jakarta: Ombak. Maula, H.B Amiruddin. 2001. 'HPL0DNDVVDU Renungan dan Pemikiran. Sulawesi Selatan: Global Publishing.
Makassar: Poros Niaga ... Muhammad Nurichsan A.
Parman, Ali dkk. (eds.). 2010. 6HMDUDK,VODPGL Mandar.Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang. Patunru, A. Razak Dg. 1971. 6HGMDUDK *RZD, Sulawesi Selatan: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Pelras, Christian. (terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi, dan Nurhady Sirimorok. 2005. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar dan EFEO. Poelinggomang, Edward L., 2012. Bahan $MDU 6HMDUDK 0DULWLP. Makassar: LKKP Universitas Hasanuddin. Poesponogoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho.. 1993. 6HMDUDK1DVLRQDO,QGRQHVLD III. Jakarta: Balai Pustaka. 5DÀHVV 7KRPDV 6WDPIRUG The History of Java. (terj. Eko Prasetayaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: NARASI. Rasjid, Abdul, dan Gunawan, Restu. 2000. 0DNDVVDU6HEDJDL.RWD0DULWLP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Reid, Anthony. 2011. $VLD7HQJJDUDGDODP.XUXQ 1LDJD7DQDKGL%DZDK$QJLQ, jilid I, Cet. II. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Reid, Anthony. 2009. $VLD7HQJJDUDGDODP.XUXQ 1LDJD7DQDKGL%DZDK$QJLQ. terj. Mochtar Pabotinggi, jilid I, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ricklefs, M. C. 2005. 6HMDUDK,QGRQHVLD0RGHUQ Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Rosyidi, Suherman. 2006. Pendekatan Teori (NRQRPL 3HQGHNDWDQ .HSDGD 7HRUL Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT. 5DMD*UD¿QGR3HUVDGD Sagimun M.D. 1992. %HQWHQJ8MXQJ3DQGDQJ Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soule, George. 1952. 3LNLUDQ 6DUMDQD6DUMDQD Besar Ahli Ekonomi. (terj. L.M. Sitorus). Jakarta: P.T. Pustaka Rakyat. Sewang, Ahmad M. 2005. ,VODPLVDVL.HUDMDDQ *RZD $EDG ;9, VDPSDL $EDG ;9,,, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Stopford, Martin, 1997. Maritim Economic. London: Routledge. Tan Ta Sen, 2010. Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara. (terj. Abdul Kadir). Jakarta: Kompas. Tika, Zainuddin, dkk. 2007. 3UR¿O 5DMDUDMD *RZD6XODZHVL6HODWDQ3XVWDND5HÀHNVL Tobing, O. L. 1977. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanagappa .Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Vlekke, Bernard M. 1961. Nusantara: A History of Indonesia. Jakarta: P.T. Seorengan.
337