Vol. 4 No. 2, Juli 2014
DIALOG INTER-RELIGIUS: KONSEP PENGEMBANGAN DAKWAH PLURALIS Umatin Fadilah Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto Abstract This writing discusses about the inter-religious dialogue as propaganda pluralist concept development. Inter-religious dialogue is a dialogue between two or more religions, which has a different view and its main purpose is to learn each other so that they could have changed his view or add increased their religious experience. Inter-religious dialogue and develop the concept of religious experience that is no longer oriented propaganda that connotes coronation but mutually enrich and deepen their own experience of religious traditions. Keywords: Inter-religious dialogue, Propaganda Pluralist. A. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan zaman, dakwah Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan tentang cara penyampaian pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat global yang majemuk, tidak lagi terdapat celah antar kultur maupun sekat etno-religius. Menghadapi persoalan ini, perlu diadakannya pengembangan dalam dakwah Islam. Aktivitas dakwah di berbagai wilayah harus pula memperhatikan dan mempertimbangkan pluralisme. Hal ini sebagai refleksi sikap ajaran Islam yang memegang toleransi dalam pengembangan agama, serta tanpa paksaan. Salah satu bentuk dari pengembangan dakwah Islam secara pluralis ini adalah dialog inter-religius atau biasa disebut dengan dialog antar agama. B. Pemahaman Teologis yang Mempengaruhi Konsep Pengembangan Dakwah Nurcholish Madjid dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, menyatakan bahwa sikap dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain dipengaruhi oleh pemahaman dan pandangan keberagamaannya. Hal ini yang kemudian akan berpengaruh pada aktivitas dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i dan strategi yang disusun dalam proses pengembangan dakwahnya. Paling tidak terdapat tiga pandangan Umatin Fadilah
1
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
keberagamaan yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya teori-teori pluralisme, yakni eksklusivisme, inklusifisme, dan pluralisme-paralelisme. Pertama, pandangan eksklusivisme menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya yang paling benar dan menawarkan keselamatan. Dengan kata lain, eksklusivisme merupakan sebuah pandangan yang berprinsip keselamatan tunggal sedemikian rupa, sehingga agamaagama selainnya dipandang sesat dan salah. Beragama secara eksklusif merupakan sikap beragama yang lebih didominasi oleh pembacaan tekstual terhadap literatur Islam. Eksklusivisme biasanya dipahami sebagai respon tradisional sebuah agama terhadap hubungannya dengan agama-agama lain yang memandang agama lain dengan kacamata agama sendiri yang didukung oleh penafsiran yang sempit atas doktrin-doktrin keagamaan yang tertulis dalam teks suci. Sikap ini pada umumnya dipegang oleh kaum fundamentalis yakni kelompok yang meyakini pandangan yang ditegakkan atas keyakinan agama sesuai dengan makna harfiyah dari teks suci agama. Sikap kaum fundamentalis biasanya mengkonotasikan sikap absolutisme, fanatisme,dan agresifisme. Setidaknya ada tiga unsur yang terdapat dalam sikap kaum fundamentalis yang biasanya adalah kelompok eksklusif. Pertama, adanya statisme yang menentang penyesuaian dan kejumudan yang menentang setiap perkembangan atau perubahan. Kedua, adalah konsep-konsep kembali ke masa lampau, ketertarikan kepada warisan dan tradisi secara eksesif dan ketiga adalah sikap tidak memiliki toleransi, tertutup, menganut kekerasan dalam bermadzhab dan oposisionalisme.1 Ciri umum dari kelompok fundamentalis ini adalah penggunaan simbol-simbol agama sebagai reaksi atas modernisasi yang telah mengakibatkan krisis kemanusiaan global dan lingkungan yang akut. Dalam respon terhadap modernitas ini gerakan fundamentalis mencoba kembali pada agamanya dimasa lampau dengan mengangkat teks-teks suci melalui pemahaman yang literalistik. Kedua, pandangan inklusifisme yang bertolak belakang dengan pandangan eksklusivisme. Menjadi inklusif berarti percaya bahwa kebenaran tidak menjadi monopoli agama tertentu , tetapi juga ditemukan dalam agama-agama lain. Inklusifisme sebagai sebuah perspektif beragama adalah respon terhadap dilema yang sangat sederhana yang belum diakomodasi dalam eksklusivisme. Apabila kaum eksklusif mengajarkan bahwa keselamatan hanya ditemukan dalam satu agama tertentu dan diperoleh melalui sikap untuk total mentaati aturan-aturan yang ada dalam
2
Dialog Inter-Religius
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
kitab suci, maka kaum inklusifisme melihat adanya keluasan dari kasih Tuhan. Secara garis besar, teologi inklusif ini dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu inklusifisme monistik dan inklusifisme pluralistik. 2 Inklusifisme monistik secara mendasar berargumen bahwa keselamatan dan kebenaran bukanlah milik agama tertentu. Tetapi, agama-agama lainpun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang dipunyai agama-agama lain itu diposisikan sebagai “agama anonim.” Inklusifisme pluralistik didasarkan pada ketidaksetujuan pada gagasan kelompok inklusifisme monistik. Secara garis besar, kelompok inklusifisme pluralistik beranggapan bahwa kebenaran suatu agama bernilai sama dengan kebenaran agama lain dan tidak berposisi sebagai agama anonim. Teologi ini tidak setuju dengan eksklusivisme dan inklusifisme monistik yang menganggap hanya ada dan hanya mungkin satu agama yang benar. Kelompok ini juga tidak sepakat dengan pluralisme yang mengatakan bahwa bukan hanya mungkin ada melainkan memang ada agama lain yang benar. Menurut kelompok ini yang terpenting adalah sikap tidak perlu mengatakan “memang betul—betul ada banyak agama yang benar” (seperti pluralisme) tetapi cukup mengetahui bisa ada banyak agama yang benar. Ketiga, pandangan paralelisme yang kemudian dielaborasi menjadi pendukung teologi pluralisme, berpandangan bahwa setiap agama secara paralel adalah sama. Pluralisme secara bahasa berasal dari plural yang berarti jama’ dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain diluar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme juga dapat dipahami sebagai keadaan keragaman etnik dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap. Untuk merealisasikan konsep pluralisme ini diperlukan sikap toleransi secara total3 Dalam konteks ilmu sosial, pluralisme memiliki pengertian sebagai sikap pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan sebagai pra syarat bagi pilihan dan kebebasan individual. Sedangkan pada wilayah agama dapat dianalisis dalam tiga tingkat.4 Pada tingkat makro pluralisme agama mengisyaratkan bahwa otoritas-otoritas sosial mengakui dan menerima pluralitas dalam bidang keagamaan. Pada tingkat meso, pluralisme mengisyaratkan penerimaan akan keragaman organisasiorganisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit-unit kompetitif. Dan pada tingkat makro, pluralisme mengisyaratkan kebebasan individual Umatin Fadilah
3
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
untuk memilih dan mengembangkan kepercayaan pribadi masing-masing. Beragama secara pluralis dalam dimensi tertentu terkait erat pada sebuah pemahaman yang didasari oleh sebuah pemikiran filosofis yang lebih umum dikenal sebagai filsafat perennial. Paul Knitter sebagaimana dikutip oleh Sukidi memberi ilustrasi menarik tentang filsafat perennial ini dalam kaitannya dengan agama-agama. Menurutnya, setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan, berwatak plural. Ia bukan sebagai tujuan tetapi hanya sekedar jalan menuju Tuhan. Meskipun konstruksi lahir jalan hidup sangat plural bahkan bertentangan tetapi secara esoteric semua itu akan mencapai kesatuan transcendental agama-agama. Sesungguhnya semua agama relatif tetapi juga sekaligus juga sama-sama mejunju Tuhan meski lewat jalan yang berbeda (Sukidi: 1999, 24).5 Menurut Suhadi, filsafat perennial dapat diderifasikan kedalam bidang konsep kajian. Pertama, perennial secara bahasa bermakna kekal, abadi dan selama-lamanya. Dalam hal ini keabadian hanyalah milik Tuhan dan Tuhan hanyalah satu sehingga semua agama yang secara formal itu berbeda-beda secara hakikat adalah satu dan sama. Kedua, filsafat perennial akan membahas pluralisme agama secara kritis. Meskipun agama yang benar hanyalah satu karena dia diturunkan kepada manusia dalam spektrum historis dan sosiologis maka agama dalam konteks historis selalu hadir dalam formatnya yang pluralistik. Dalam konteks ini setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain tetapi sekaligus juga memiliki kekhasan sehingga berbeda. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religius melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keagamaan.6 Sikap keberagamaan dalam perspektif inilah yang akhir-akhir ini sedang mendapat respon positif dengan maraknya semangat dialog antar agama dan kepercayaan serta teologi yang merobohkan sikap keangkuhan beragama dan monopoli kebenaran. Sikap keberagamaan seperti di atas juga melahirkan sikap keberagamaan yang kritis dan responsif terhadap ide-ide baru seperti wacana Islam liberal, Islam pos tradisionalis, agama pos tauhid, serta pemikiran lain yang bernada pembongkaran dan pemahaman baru yang lebih cerah. C. Dialog Inter-Religius sebagai Konsep Pengembangan Dakwah Pluralis Sebagai tindak lanjut dari proses rekonstruksi konsep dakwah yang telah memunculkan sikap inklusif dan pengakuan-pengakuan terhadap
4
Dialog Inter-Religius
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
pluralitas ini terasa kurang lengkap tanpa adanya dialog antar agama untuk saling mengerti dan mengenal serta memahami ajaran agama lain. Bahkan al-Qur’an secara tegas menganjurkan dialog antar agama ini supaya mencapai titik temu teologis dan nilai-nilai fundamental dalam agama, salah satunya dalam Q.S. Ali-Imran ayat 64, Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Upaya mencari titik temu antar agama-agama ini sudah mulai intens digagas dan dilakukan pada akhir-akhir ini dengan berdirinya lembagalembaga pluralis semacam Dian-Interfide di Yogyakarta dengan Th. Sumartana sebagai motor penggeraknya, dan di Jakarta kita menjumpai Paramadina yang dipimpin oleh Nurcholish Madjid, di tingkat internasional salah satu yang bisa kita sebut adalah The Academy for Judaic, Cristian and Islamic Studies, Cristian and Islamic Studies yang bertempat di Amerika. Dengan menggunakan kerangka berpikir filsafat perennial, tidaklah terlalu sulit bagi setiap umat beragama untuk melakukan dan mengembangkan dialog mengenai konsep dan pengalaman keagamaan. Tentu saja dialog yang perlu dikembangkan tidak lagi berorientasi pada dakwah yang berkonotasi sebagai upaya penobatan orang lain dari keyakinannya, melainkan lebih pada berbagi pengalaman dan karenanya saling memperkaya dan mendalami pengalaman dan tradisi keagamaan masing-masing. Dengan meminjam definisi Swidler7, dialog dimaksud merupakan perbincangan antara dua orang atau lebih yang masingmasing memiliki pandangan yang berbeda yang tujuan utamanya adalah saling belajar antar peserta dialog sehingga masing-masing peserta tersebut bisa saja merubah pandangannnya atau tambah meningkat (pengalamannya). Dalam dialog, setiap peserta harus mendengarkan (pengalaman) peserta yang lain secara terbuka dan penuh simpatik, dengan suatu upaya memahami posisi peserta yang lain secara tepat dilihat dari posisinya masing-masing. Kata dialog disini tidak berarti harus formal, diselenggarakan dalam ruangan, tetapi yang fundamental adalah dialog melalui pergaulan sehari-hari, dialog melalui media televisi, surat kabar dan buku-buku yang semakin meningkat frekuensi dan muatannya.
Umatin Fadilah
5
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
Karena pilihan iman sesungguhnya menuntut pertanggungjawaban rasional, maka sikap kritis dan terbuka amat penting selain kesiapan mental dan moral untuk menghargai hak-hak orang lain untuk berbeda. Jika kebebasan berpendapat secara etis dan kritis ini bisa terwujud, maka dialog yang sehat dan konstruktif baru bisa dilaksanakan. Dialog kritis ini tentunya tidak hanya berlaku ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain, melainkan juga terlebih ketika berdialog dengan diri dan agama kita sendiri. Dialog kritis terhadap diri sendiri ini penting supaya mampu menerobos lebih jauh ke transenden, yang pada gilirannya, kita harus mampu juga masuk ke dalam pengalaman realitas transenden yang dialami orang lain. Tambahan lagi, melalui dialog kritis semacam ini seseorang diharapkan memperoleh pengkayaan ruhani dan intelektual sehingga lebih dewasa dan mantap dalam memeluk agamnya. Kecuali itu, sikap empati terhadap keberagamaan orang lain juga perlu dikembangkan— walaupun sikap tersebut menuntut penguasaan bahasa religiusitas orang lain—agar seseorang tidak mudah mengambil kesimpulan yang salah mengenai (pengalaman) agama orang lain yang kemudian kesimpulan salah itu dipaksakan untuk diakui dan dijadikan dasar penilaian. Dengan demikian apa yang disebut dialog inter-religius adalah dialog yang dilakukan secara terbuka dan penuh simpati, sehingga setiap peserta dialog masing-masing berupaya untuk saling memahami posisi peserta dialog yang lain secara tepat, dan berupaya memandangnya dari dalam posisi mereka yang dipahami. Tujuan utama dialog adalah untuk (saling) belajar dan (saling) mendengarkan pengalaman keagamaan dari masingmasing peserta dialog, bukan membanding-bandingkan dan mencari agama yang paling benar. Sudah pasti penalaran bekerja dengan membuat komparasi, klarifikasi, distingsi, dan juga kesimpulan. Namun hal itu sebaiknya tidak perlu dijadikan target utama. Biarkanlah setiap orang merenungkan dan menyelsaikan problem yang muncul untuk dirinya sendiri sesuai dengan kapasitas dan kecenderungan yang ada padanya. Disamping berfungsi meningkatkan rasa toleransi, sebuah dialog bisa jadi akan melahirkan pengalaman transformatif yang menjadi pandangan hidup dan wawasan teologi dari pihak-pihak yang terlibat. Dengan meminjam istilah yang digunakan Hans Kung, maka dialog tidak hanya berhenti pada sikap ko-eksistensi, melainkan juga pro-eksistensi. Artinya dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi secara bersama-sama, malainkan juga mengakui dan mendukung—bukan menyamakan—eksistensi semua agama. Barangkali
6
Dialog Inter-Religius
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar8 bahwa apa yang disebut dialog inter-religius—ia mengistilahkan dengan dialog intrareligius9—adalah dialog yang tidak hanya menuntut suatu sikap inklusif, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu suatu sikap yang mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang sejajar. Maka secara etis dialog tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dan ajaran agama lain dari keyakinannya yang dianut, melainkan untuk memperdalam tradisi agama sendiri-sendiri secara lebih kritis. D. Simpulan Dialog inter-religius dirasa penting keberadaannya dalam konsep pengembangan dakwah pluralis mengingat dakwah sekarang ini dihadapkan pada persoalan maupun realitas yang berkaitan dengan masyarakat global. Dengan sikap mau saling mengenal dan memahami ajaran agama lain melalui dialog inter-religius, maka apa yang disebut sebagai kerukunan antar umat beragama pun akan lebih mudah terwujud. Endnotes 1
Abd A’la,”Fundamentalisme, Kekerasan dan Signifikansi Dialog: Catatan untuk Adian Husaini,” Kompas 5 April 2002.
2
Munawiruszaman, “Inklusifisme Munistik: Sebuah Sikap Keberagamaan,” Kompas, 12 Desember 1997.
3
Kholil Lur Rochman, “Dekonstruksi Konsep Dakwah Islam di Indonesia”, (Yogyakarta: Mahameru, 2011), hlm. 106.
4
Ruslani, “ Menuju Humanisme Agama-Agama”, Kompas,27 Maret 2002.
5
Sukidi, ” Filsafat Perennial: Pintu Masuk ke Jantung Agama-Agama,” Ekspresi edisi X/ th.VIII, Maret, 1999, hlm.24.
6
Komarudin Hidayat, “Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial”, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.7.
7
Leonard Swidler, After the Absolute, the Dialogical Fiture of Religious Reflection, (Minepolis: Fortress Press, 1990), hal.3.
8
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hal. 2223.
9
Karena dilaog yang terjadi baginya adalah bersifat ke dalam diri masing-masing penganut dan yang mengalami pengalaman keagamaan.
Umatin Fadilah
7
Vol. 4 No. 2, Juli 2014
DAFTAR PUSTAKA A’la, Abd. (2002). Fundamentalisme, Kekerasan dan Signifikansi Dialog: Catatan untuk Adian Husaini. Jakarta: Kompas. Hidayat, Komarudin. (1995). Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina. Madjid, Nurcholish. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang,” Naskah Ceramah Budaya, Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992. Munawiruszaman. (1997). Inklusifisme Monistik: Sebuah Sikap Keberagamaan. Jakarta: Kompas. Panikkar, Raimundo. (1994). Dialog Intra-Religius. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Rochman, Kholillur. (2011). Dekonstrusksi Konsep Dakwah Islam di Indonesia. Yogyakarta: Mahameru. Ruslani. (2002 ). Menuju Humanisme Agama-Agama. Jakarta: Kompas. Sukidi. (1999). Filsafat Perennial: Pintu Masuk Ke Jantung Agama-Agama. Jakarta: Ekspresi. Swidler, Leonard. (1999). After the Absolute, the Dialogical Fiture of Religious Reflection. Minepolis: Fortress Press.
8
Dialog Inter-Religius