Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
MAFAHIM AQIDAH
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." [QS. Al-Ikhlash: 1-4]
1
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB AQIDAH Definisi Aqidah Perlu dipahami di awal bahwa istilah aqidah tidak pernah digunakan dalam teks Al Qur‘an maupun sunnah Rasul Saw. Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Dirasat fi al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa ditinjau dari bahasa arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan). Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya „aqdu al-habl (mengikatkan tali), „aqdu al-bai‟ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), „aqd al‟ahdi (mengadakan ikatan atau akad perjanjian) dan sebagainya. Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in‟aqada „alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian in‟aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkan secara yakin atau pasti). Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia. Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia tersebut Hafidz Abdurrahman dalam Diskursus Islam, Politik dan Spiritual memberikan definisi aqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia, kehidupan serta hubungan diantara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan (syariat dan hisab), yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil. Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya sematamata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi‟ „an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti). Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Imam al-Ghazali menyatakan: "Iman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya.‖ Aqidah dibangun atas dasar pemikiran rasional (aqliyah) Aqidah Islam bukanlah suatu keyakinan yang dibangun atas dasar doktrin atau taklid semata. Namun, aqidah Islam haruslah muncul dari proses berfikir secara rasional. Imam Syafi'i dalam kitab Fiqhul Akbar berkata: "Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari 2
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin." Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah juga pernah ditunjukkan oleh seorang arab baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?" Dia menjawab : "Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa." Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tandatanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190] Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Mengatur. Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang mantap karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional. Islam memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya. Allah SWT berfirman :
3
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, „Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,‟ mereka menjawab, „(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami‟. „(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. Al-Baqarah: 170]
“Apabila dikatakan kepada mereka, „Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.‟ mereka menjawab, „Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.‟ dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104] Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Keyakinan atau aqidah yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh berbagai cobaan dan tantangan. Abdul Majid Az-Zindani menyatakan : ―Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)... sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.‖ Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada keyakinan tentang eksistensi Allah SWT. Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi‟ al-mahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Mengenai keterbatasan akal ini, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menetapkan sebuah kaidah dalam kitabnya Ma‟lumat li Asy Syabab : Ma la yudriku al-hissu la yudrikuhu al-„aqlu (Segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau indera, pasti tidak dapat dijangkau akal.) Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar jangkauan indera dan pastinya juga tidak terjangkau oleh akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda : "Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'aim dalam "Al Hilyah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
4
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'ArsyNya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya. Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata: "Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Qur'an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya." Ketika Imam Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata : "Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/ salah." Al Muzani – salah seorang murid Imam Syafii – pernah mengalami keragu-raguan dalam masalah tauhid. Maka Imam Syafii mengatakan kepadanya, ―Sekarang kembalilah saja kepada firman Allah SWT :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari 5
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS. Al Baqarah : 163-164] Setelah membacakan ayat tersebut, Imam Syafii berkata kepada Al Muzani : ―Maka jadikanlah makhluk ciptaan Allah sebagai dalil atas adanya Al Khalik jangan menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh akalmu.‖ Jadi, jelaslah bahwa kendati akal menjadi dalil atas adanya Allah SWT (karena keberadaan-Nya masih dalam jangkauan akal dengan jalan mengindera makhluk-Nya) tetapi tetap saja akal manusia tidak mungkin membahas sesuatu yang berada di luar jangkauannya, seperti bagaimana Dzat Allah, „asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat) Allah.
Dalil aqli dan Dalil naqli Karena tidak semua perkara aqidah dapat dijangkau dengan akal, maka dalam pembahasan aqidah dikenal apa yang disebut dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil aqli adalah bukti (burhan) yang digunakan oleh akal untuk mencapai pembenaran yang pasti (tasdiiq jazim) terhadap satu perkara di antara perkara-perkara aqidah Islam. Dalil naqli (disebut juga dalil sam‟i) adalah berita (khabar) yang bersifat pasti (qath‟i) dalam hal ini al-Qur‘an dan al-Hadits yang memberitakan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun-rukun aqidah Islam. Yang menentukan apakah dalil yang digunakan dalam satu perkara aqidah adalah dalil aqli atau dalil naqli, adalah perkara aqidah atau keimanan itu sendiri. Jika perkara keimanan berupa fakta terindera atau terdapat fakta indera yang menunjukkan adanya suatu perkara keimanan misalnya mengenai keberadaan (eksistensi) Allah SWT, al-Quran sebagai kalamullah, Muhammad sebagai Rasulullah, maka dapat dipastikan dalilnya adalah dalil aqli, bukan dalil naqli. Jika perkara keimanannya bukan merupakan fakta terindera, misalnya „asma wa sifat Allah, malaikat, hari kiamat dan sebagainya, maka dalilnya adalah dalil naqli. Sementara karena dalil naqli itu sendiri adalah suatu fakta terindera, maka penilaian terhadapt suatu dalil naqli – apakah dia layak atau tidak untuk menjadi dasar keimanan – tergantung pada dalil aqli. Dari segi inilah, dapat dikatakan bahwa aqidah Islam adalah sebuah aqidah aqliyah, yaitu aqidah yang pembenarannya dibangun atas dasar akal (mabdiyatun „ala al-aql). Berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa masalah keimanan dalam aqidah Islam yang dalilnya aqli ada 3 yaitu iman kepada Allah, iman bahwa Al-Qur‘an adalah kalamullah, dan iman bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah. Berdasarkan ketiga perkara keimanan inilah diperoleh keimanan kepada Al-Qur‘an dan alHadits yang kemudian menjadi dalil naqli bagi perkara-perkara keimanan lainnya yang tidak dapat dijangkau akal seperti iman kepada kitab-kitab Allah, Rasul-rasulNya, malaikatNya, hari akhir, surga, neraka, hisab, dan sebagainya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa karena aqidah Islam termasuk masalah ushul (dasar) dalam Islam, maka dalilnya harus bersifat pasti (qath‟i), baik qath‟i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw) maupun qath‟i dhalalah (pasti pengertiannya). Karena itu, dalil naqli yang menjadi dasar aqidah haruslah berupa al-Qur‘an dan hadits mutawatir yang mempunyai pengertian yang qath‟i. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, haram bagi seorang muslim membenarkannya secara pasti (tasdiiq jazim). Tetapi tidak boleh dia mengingkarinya (takdzib), meskipun tetap dibolehkan baginya membenarkan secara dugaan kuat (tasdiiq zhanni). Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil naqli untuk perkara aqidah.
6
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Prinsip di atas didasarkan pada larangan dalam al-Qur‘an untuk mengikuti sesuatu yang bersifat dugaan/persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah atau sesuatu yang bukan merupakan pengetahuan yang pasti (al-„ilm).
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya....” [QS. AlIsra‟: 36]
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [QS. Yunus: 36] Aqidah Ruhiyyah dan Aqidah Siyasiyah Yang dimaksud aqidah siyasiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusan-urusan keduniaan. Sedang aqidah ruhiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusan-urusan keakhiratan. Urusan keduniaan (syu‟un al-dunya) adalah segala urusan manusia sepanjang kehidupan di dunia sampai mati, misalnya urusan keluarga, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan urusan akhirat (syu‟un al-akhirah) adalah segala urusan manusia yang ada pada fase sebelum dan sesudah hidupnya di dunia. Yakni, apa yang ada sebelum lahirnya manusia dan sesudah matinya manusia, misalnya urusan penciptaan alam semesta dan kebangkitan pada hari kiamat. Termasuk juga urusan akhirat, adalah urusan yang sebenarnya ada pada fase kehidupan di dunia saat ini, tapi tidak berkaitan dengan interaksi sesama manusia, melainkan hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya dalam ibadah ritual. Jadi, aqidah ruhiyah adalah aqidah yang melahirkan beberapa pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat, semisal hari kiamat, pahala siksa, dan juga masalah-masalah ibadah ritual (seperti doa), termasuk pemikiran-pemikiran dan hukumhukum lain yang berkaitan dengan pemeliharaan masalah-masalah tersebut, seperti pemberian nasihat dan petunjuk, atau penyampaian ancaman dengan adanya adzab Allah serta pemberian dorongan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Sedangkan aqidah siyasiah adalah aqidah yang melahirkan berbagai pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keduniaan seperti aspek pemerintahan, perdagangan, sewa menyewa (ijarah), perkawinan, perseroan (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan persoalan tersebut, seperti kewajiban mengangkat pemimpin jamaah atau kelompok, ketaatan pada pemimpin serta kewajiban mengontrolnya, juga sanksi-sanksi pidana dan hukum-hukum perang. Dilihat dari pengertian di atas, maka aqidah Islam adalah aqidah ruhiyah dan sekaligus siyasiyah. Aqidah agama nasrani hanyalah aqidah ruhiyah, karena pemikiran dan hukum yang terakhir hanya berkaitan dengan persoalan keakhiratan. Sementara aqidah kapitalisme adalah aqidah siasiyah semata karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari aqidah ini, berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (liberalisme/fredoom) dan asas manfaat (utilitarianisme). Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari aqidah kapitalisme tersebut berkitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan peperangan. Demikian juga dengan aqidah sosialisme, juga merupakan aqidah siyasiyah karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum 7
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
yang lahir dari aqidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan kehidupan dunia seperti pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga dengan pemikiran dan hukumhukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupan dunia seperti membatasi demokratisasi di kelas buruh dan diktaktor proletariat. Dalam kedudukan sebagai aqidah ruhiyah aqidah Islam menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan akhirat dan urusan ibadah. Mengenai urusan akhirat, firman Allah SWT:
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [QS. Al- Baqarah: 28]
Mengenai urusan ibadah; seperti shalat, Allah SWT berfirman:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” [QS. Al-Isra‟: 78-79] Sebagai aqidah siyasiyah, aqidah Islam menjelaskan berbagai pemikiran dan hukum yang menyangkut bagaimana kita mengatur kehidupan dunia. Di bidang ekonomi, misalnya, Islam mengatur bolehnya jual beli dan larangan riba.
8
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS. AlBaqarah: 275] Dalam masalah sosial kemasayarakatan, misalnya aqidah Islam menjelaskan perlunya keluarga sebagai jalan untuk melahirkan generasi penerus demi kelangsungan jenis manusia.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak …” [QS. An-Nisa: 1] Pemahaman tentang suatu aqidah sebagai aqidah ruhiyah dan atau aqidah siyasiyah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Aqidah ruhiyah tidak bisa membentuk pandangan hidup (wijhatun nazhar) atau gambaran hidup (taswiru al-hayah), karena aqidah ruhiyah tidak memiliki pemikiran dan hukum yang menjadi standar untuk menilai mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Aqidah ruhiyah hanya berbicara tentang kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dengan kata lain, aqidah ruhiyah tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia. Maka, terhadapa masyarakat yang memeluk suatu aqidah ruhiyah terntentu, misalnya Jepang yang memeluk aqidah Hindu atau Kong Hucu, bisa diterapkan aqidah siyasiyah apa saja (dalam hal ini kapitalisme) tanpa ada kekhawatiran akan menghilangkan agama-agama yang dipeluk masyarakat yang dipeluk di sana. Berbeda dengan aqidah ruhiyah, aqidah siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup karena darinya terlahir pemikiran dan hukum-hukum tentang pengaturan kehidupan dunia. Maka, suatu masyarakat yang telah menganut aqidah siyasiyah tertentu, misalnya kapitalisme atau Islam, sangat sulit menerima kehadiran aqidah siyasiayh lain. Aqidah siyasiyah asing itu dinilai akan membahayakan eksistensi masyarakat itu. Langkah pemaksaan akan mengundang perlawanan dari masyarakat. Dari sini bisa dimengerti mengapa Indonesia, misalnya yang kendati mayoritas penduduknya muslim tapi terlanjur sudah memeluk aqidah siyasiyah kapitalisme sangat sulit menerima gagasan penerapan syariat Islam. Penerapan aqidah siyasiyah baru hanya mungkin dilakukan dengan tangan besi atau setelah masyarakat mengetahui kebobrokan aqidah siyasiyah yang dipeluknya selama ini dan keunggulan aqidah siyasiyah baru yang ditawarkan. Maka, mereka akan meninggalkan aqidah yang lama untuk mengambil aqidah yang baru. Aqidah siyasiyah akan membentuk pandangan hidup. Dan pandangan hidup akan mempengaruhi perilaku manusia. Maka, perbedaan aqidah akan melahirkan perbedaan 9
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
pandangan hidup, dan akhirnya melahirkan perbedaan perilaku. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah kapitalisme adalah kemanfaatan (utilitaliarisme). Metode operasional untuk merealisasikan pandangan hidup ini adalah dengan menerapkan prinsip kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan individu, dan kebebasan berpendapat. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah sosialisme adalah evolusi materi yaitu perubahan dari suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lahir karena adanya kontradiksikontradiksi di tengah masyarakat. Aqidah operasional untuk merealisasikan pandangan ini adalah dengan membuat kontradiksi-kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. Aqidah sosialisme menggambarkan kehidupan yang terus bergerak yaitu berubah menuju suatu kondisi lain yang lebih baik. Untuk perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik tersebut, atau disebut juga dengan evolusi, maka harus ada upaya menggalakkan kontradiksi. Jika sudah ada, harus ditingkatkan. Jika belum, harus diadakan. Adapun pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam bahwa hidup adalah untuk beribah kepada Allah. Intinya terikat pada ketentuan halal dan haram. Dan metode operasional untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara‘. Apa saja yang halal, diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh akan diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali. Melalui perang kebudayaan (al-ghazwu al-tsaqafy), Barat ingin mengubah pandangan hidup kaum muslimin. Di antaranya adalah dengan menciptakan keragu-raguan dalam beberapa masalah aqidah Islam, seperti keotentikan al-Qur‘an. Senjata Barat yang lain adalah menghilangkan kepercayan kaum muslimin terhadap syari‘at Islam. Diantaranya, Barat menyerang hukum tentang poligami. Termasuk gagasan adanya perubahan hukum dengan perubahan waktu dan tempat. Tujuannya adalah bagaimana agar kaum muslimin tidak lagi berpegang pada pandangan hidup Islam dan tidak menjadikan syari‘ah Islam sebagai tolok ukur perbuatan. Hasilnya, kini banyak diantara kaum muslimin yang tidak lagi memperhatikan syariah. Bahkan yang tragis, tidak sedikit diantaranya justru menjadi penentang-penentang gagasan penerapan syariah islam. Disadari ataupun tidak, mereka ini telah menjadi bagian dari masyarakat sekuler yang menjauhkan agama (Islam) dari kancah kehidupan nyata di dunia. Padahal jika Islam sudah dipahami sebagai aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyah, maka insya Allah umat Islam akan mampu bangkit untuk kembali memimpin dunia sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia. Seperti firman Allah :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS. Ali Imran: 110]
Jalan Menuju Keimanan Ketika manusia sudah mencapai baligh (dewasa) yang salah ditandai salah satunya dengan kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu dia berfikir tentang eksistensi dirinya di dunia ini. Manusia pada saat itu – disadarinya ataupun tidak – dihadapkan pada beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu sering disebut juga dengan uqdatul kubra (masalah/simpul yang besar) adalah: 1) Dari mana manusia berasal? 2) Untuk apa manusia ada? 3) Akan kemana manusia setelah kehidupan ini?
10
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Bila pertanyaan ini terjawab maka manusia akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, – terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan ‗landasan‘ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‗landasan‘ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‗landasan‘ tersebut. Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul kubra dengan jawaban ‖kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup‖, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka. Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab ―dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia‖, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta. Demikian gambaran ringkas tentang ‗landasan kehidupan‘ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‗uqdatul kubro‘ manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang benar terhadap masalah ini? Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud. Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Berkaitan dengan proses berpikir, ada empat komponen yang menjadi syarat terjadinya proses berpikir tersebut. Empat komponen itu adalah: otak (dimag) yang sehat, realita yang terindra (al-Waqi‟ al-Mahsusah), alat indra (al-hawas) dan informasi-informasi sebelumnya (al-Maklumat as-Saabiqah). Berikut ini dijelaskan komponen-komponen yang berkaitan dengan proses berpikir tersebut. a. Otak yang sehat Otak adalah materi yang ada dalam tempurung kepala. Materi ini diliputi oleh tiga lapisan dimana dari celah-celanya sel-sel menembus keluar bertemu dengan segenap indra dan seluruh wilayah tubuh. Serabut sel saraf dalam penyebaran dan penjangnya mencapai batas-batas yang nyaris tidak terhitung. Pada kenyataannya selsel pembawa darah yang trebagi-bagi pada seluruh wilayah tubuh panjangnya bisa mencapai kurang lebih 100.000 mil. Dan otak ini bisa mengontrol tubuh dengan 76 sel utama. Berat otak manusia dewasa bia mencapai 1200 gram. Otak ini mampu menghabiskan 25% oksigen yang tersedia melalui paru-paru dengan pengukuran arus listrik pada otak, para ilmuwan telah menetapkan bahwa otak ini organ berpikir (tafkir) pada manusia. Maka hasil penelitian sebagian sel-sel otak dengan pengukuran arus listrik, telah ditemukan arus listrik yang tredeteksi diatas kertas ketika manusia 11
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
memusatkan pikirannya, atau ketika emosi bergejolak, atau ketika mendengar kegaduhan, atau ketika mengahadapi perhitungan yang komplek dan rumit. Akan tetapi para ilmuwan tidak mengerti daerah mana pada otak yang mampu menghapal informasi yang masuk. Kenyataannya bahwa memusnahkan setengah otak sebagian para pasien tidak mampu menghilangkan daya ingat mereka. Memang ada sebagian ilmuwan yang memprediksikan bahwa infromasi-informasi sebelumnya pada ingatan semuanya menyamai tempat yang memuat 90 juta jilid yang penuh dengan informasiinformasi. b. Realita yang terindra Adapun realita yang terdeteksi oleh indra, terkadang merupakan realita materi seperti bulan, buku dan kuda, terkadang merupakan pengaruh dari realita materi seperti suara angin, suara pesawat, dan bau bunga mawar. Atau terkadang berupa non-materi yang dapat dimengerti dari pengaruhnya seperti keberanian, kesatriaan, ketakutan dan kelemahlembutan. Segala sesuatu yang eksistensinya bisa dimengerti ini terkadang bisa dirasa dan disentuh seperti gunung, pohon, dan keledai. Terkadang bisa dirasa, tetapi tida bisa disentuh seperti rasa sakit dan senang. Atau terkadang tidak bisa dirasa tidak pula bisa disentuh, maka eksistensinya bisa ditenukan dari penampakan-penampakannya seperti naluri seksual, naluri mempertahankan diri dan naluri beragama. c. Indera Penginderaan terhadap realita ini kemudian berpindah ke otak melalui panca indera atau sebagian indera, misalnya indera penglihatan beserta perangkatnya yaitu mata, indera pendengaran beserta perangkatnya adalah telinga, indera peraba dengan perangkatnya adalah kulit, indera perasa dengan perangkatnya adalah lidah, dan indera penciuman dengan perangkatnya adalah hidung. Cara mengindera dengan mata ini bisa sempurna (optimal) dengan cara berikut: cahaya yang terefleksi dari materi diterima oleh kornea mata ini sampai ke retina, lalu retina ini menyampaikannya ke sel penglihatan yang berbentuk arus listrik sehingga cahaya tersebut sampai ke pusat penglihatan yaitu di otak belakang. Pada saat itulah manusia bisa melihat gambar yang ada di depannya, tetapi tidak dapat memikirkannya, maksudnya tidak dapat menghukuminya kecuali dengan merujuk pada informasi-informasi yang tersimpan sebelumnya pada otak tentang apa yang dilihatnya. Penglihatan ini terbatas, ia mempunyai jarak pandang yang tidak dapat dilampauinya. Maka manusia tidak akan mampu melihat dengan mata telanjang banyak tubuh-tubuh seperti bakteri, virus, atom, dan bintang-bintang yang sangat jauh. Padahal sesuatu yang tidak bisa kita lihat lebih banyak dari yang kita lihat. Allah Swt. berfirman :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” [QS. Al Haaqqah: 38-40] Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu. Allah telah menyebutkan dalam ayat-ayat-Nya tentang indera pendengaran ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
12
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan" [QS. Yunus: 31].
“Dan Dia telah menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan... “ [QS. An-Nahl: 78].
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” [QS. Al-Isra: 36]. Indera pendengaran adalah telinga. Telinga ini menerima gelombang suara lalu disampaikan oleh sel pendengaran ke otak. Telinga manusia mampu menangkap suara-suara yang frekuensinya antara 16.000-20.000 getaran perdetik (Hertz, Hz). Sedangkan suara-suara yang getarannya lebih dari itu telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak. Sedangkan telinga kucing itu bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 50.000 getaran perdetik, dan telinga kelelawar bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 120.000 getaran perdetik dan telinga kelelawar ini bisa mengganti penglihatan dalam mengontrol dalam segala sesuatu. Sedangkan manusia hanya bisa mendengar sebagian kecil suara-suara yang ada di sekitarnya. Indera peraba menggunakan sel-sel perasa yang banyak dan tersebar pada seluruh tubuh terutama pada kulit. Allah swt menyinggung mengenai kulit ini dalam firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. An Nisaa‟: 56] Setiap kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain supaya saraf-saraf indera yang ada pada kulit bisa memindahkan kepada mereka dengan merasakan sakitnya terbakar. Sedangkan hidung dan mulut atau lidah keduanya memindahkan perasa bau dan pengecap dengan jalan reaksi kimia melalui sel-sel penciuman dan sel-sel perasa kepada otak. d. Informasi-informasi terdahulu Unsur keempat dari unsur-unsur akal, yaitu informasi-informasi terdahulu. Informasi-informasi terdahulu adalah pemikiran-pemikiran masa lampau tentang 13
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
realita yang tersimpan dan terjaga di otak. Otak menyimpan informasi-informasi masa lalu itu untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam akitivitas pemikiran. Informasiinformasi ini terdiri dari dua bagian: Bagian Pertama adalah pemikiran, pemikiran masa lalu tentang realita-realita terindera. Bagian ini dibutuhkan untuk menghukumi realita yang bertalian dengan informasi-informasi ini. Bagian kedua dari informasiinformasi terdahulu adalah informasi-informasi sebagai hasil dari respon otak karena penginderaan terdahulu yang bertalian dengan realita terindera. Respon ini diperoleh karena berulang-uangnya penginderaan terhadap realita yang mempunyai pertalian dengan pemenuhan naluri-naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung. Pada umumnya yang membentuk informasi-informasi terhadap realita ini, dilihat apakah bisa memenuhi atau tidak. Dan informasi-informasi semacam ini tidak layak dipergunakan untk memberikan status hukum terhadap realita. Informasiinformasi realita terdahulu adalah bagian yang sangat penting untuk aktivitas berfikir. Tanpa informasi-infromasi ini pemahaman terhadap realita tidak dapat terjadi. Manusia ketika ia mendengar, melihat, mencium, membau, atau meraba realita, maka penginderaan terhjadapa realita tersebut berpindah ke otak dengan perangkat sel-sel perasa, dan penginderaan tentang realita itu datang darinya. Kalau pada otak telah terdapat informasiinformasi terdahulu tentang suatu realita, maka otak mengkaitkan informasi-informasi itu dengan realita yang terindera untuk menafsirinya kemudian menghukuminya. Maka seandainya kita menyodorkan kata-kata yang ditulis dalam bahasa inggris kepada seseorang yang telah memiliki informasi terdahulu tentang bahasa tersebut, kemudian ia melihat tulisan itu, lalu penginderaan berpindah ke otak dan ketika itu informasi-informasi terdahulu tentang bahasa inggris bekerjasama untuk mengetahui realita tersebut. Lalu orang itu segera berusaha membaca dan memahahaminya. Akan tetapi kalau saja realita ini, yaitu kata-kata berbahasa inggris disodorkan kepada orang lain yang tidak memiliki informasiinformasi terdahulu tentang bahasa inggris dan kemudian ia mengindera kata-kata itu dengan penglihatannya, maka ia tidak akan bisa membacanya apalagi memahaminya, karena ia tidak mempunyai informasi-informasi yang diperlukan untuk menafsiri realita ini sekaligus menghukuminya. Dan ketika ia mengulang-ulang penginderaannya terhadap suatu realita, maka hanya menjadi penginderaan saja, dan tidak menghasilkan pemikiran. Pemikiran itu terkadang dengan adanya realita yang terindera dan terkadang dengan menggambarkan realita di dalam pikiran walaupun realita itu tidak ada. Terkadang manusia berpikir tentang laki-laki yang pernah dilihat beberapa tahun yang lalu, ketika ia membaca berita kematiannya pada surat kabar, lalu ia menghadikan gambarnya di dalam otaknya dan informasi-infromasi terdahulu tentangnya, kemudian manusia itu berkata kepada orang lain, ―Sungguh laki-laki itu orang mulia‖, dengan mengeluarkan hukum atas laki-laki itu walaupun ketika itu tidak ada penginderaan terhadapnya atau kemuliaannya. Mengindera suatu realita terkadang bisa dengan terjadinya penginderaan terhadap realita itu sendiri dengan indera penglihatan atau indera yang lain. Terkadang dengan terjadinya penginderaan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan realita itu seperti suara atau gambar, dan terkadang dengan respon penginderaan tentang realita ke dalam otak tanpa adanya realitas itu atau bekasnya di dalam jangkauan panca indera. Hal ini adalah sesuatu yang seringkali terjadi dalam pemikiran politik (tafkir siyasi). Pakar politik itu dengan perantara kumpulan berita ia mampu menggambarkan realita dan mengeluarkan analisis politik untuk menghubungi situasi yang tidak terjadi pada daerah atau jangkauan inderanya secara langsung. Kembali pada pembahasan tentang jalan menuju keimanan. Melalui proses berpikir yang didahului dengan penginderaan terhadap realita tentang alam semesta (al kaun), manusia (al insan) dan kehidupan (al hayaah), yang kemudian dikaitkan dengan informasi terdahulu 14
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
yang dimilikinnya, manusia akan sampai pada jawaban tentang uqdatul kubro yang ada di dalam benaknya. Ada 3 (tiga) alternatif jawaban dari uqdatul kubro tersebut. Dan dari salah satu jawaban uqdatul kubro inilah, manusia akan menjalani kehidupannya di dunia. Alternatif jawaban yang pertama, ‖kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup‖. Dari jawaban ini kemudian muncul ide tentang komunisme atau atheisme. Sementara itu, alternatif jawaban yang kedua, yaitu ―dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, dan semuanya akan kembali kepada Sang Pencipta tersebut, namun Sang Pencipta tidak campur tangan terhadap kehidupan di dunia ini sehingga manusia berhak mengatur kehidupannya sendiri.‖ Jawaban ini menjadi dasar dari ide sekulerisme atau pemisahan agama dengan kehidupan di dunia. Alternatif jawaban yang terakhir yaitu ―dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia‖. Jawaban inilah yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam memecahkan uqdatul kubro.
15
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB RUKUN IMAN Di dalam sebuah hadits yang panjang, Jibril as. Pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: "Beritahukahlah kepadaku tentang iman.‖ Lalu Rasul saw. menjawab: ‗Iman itu adalah percaya kepada adanya Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada al qadar (takdir), baik dan buruknya berasal dari Allah.‘ Jibril berkata: ‗Kamu benar.‘ (HR. Muslim, Tirmidziy, Abu Dawud, dan an Nasaa-iy). Berikut ini penjelasan dari tiap-tiap poin rukun iman seperti yang disebutkan pada hadits di atas. Iman Kepada Allah SWT Dengan Al Quran, Allah telah membimbing manusia kepada jalan yang dapat membuat manusia memahami atau menyadari keberadaan Allah. Allah telah menyeru manusia dengan firman-Nya:
"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang dia ciptakan‖ [QS. Ath-Thaariq: 5]
―Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit dia ditinggikan, dan gunung bagaimana dia ditegakkan‖ [QS. Al-Ghaasyiah: 17-19] Dan Allah memerintahkan Rasulullah Saw. agar Beliau mengajak manusia memperhatikan hal itu dengan Firman-Nya:
"Maka berikanlah peringatan karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan‖ [QS. Al- Ghaasiyah: 21] Beliau diminta untuk mendorong manusia agar melakukan perjalanan keliling dan memperhatikan apa yang ada di sekitarnya dengan firman Allah:
"Katakanlah: „Berjalan di (muka) bumi dan perhatikan bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya” [QS. Al-Ankabuut: 20] Dengan jalan melihat dan memperhatikan seperti itu dengan menggunakan akalnya, maka manusia akan sampai kepada kesimpulan akan adanya bahwa terdapat pencipta bagi segala sesuatu. Hal ini disebabkan oleh karena sesungguhnya manusia tatkala melihat alam semesta, maka ia dapat melihat betapa alam semesta itu penuh keterbatasan (al mahduud) dan penuh keteraturan (al munazhzham) dalam bentuk yang apik. Sedangkan sesuatu yang mahduud dan munazhzham membutuhkan pihak yang membatasi dan mengatumya. Hal itu berarti bahwa ia merupakan makhluuq (ciptaan) dari Al Kholiq (Pencipta). 16
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Demikian pula manusia dan kehidupan, maka ia akan mendapati bahwa keduanya memiliki keterbatasan pula. Manusia—sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya menurut jangkauan panca indra—kenyataannya bersifat terbatas, lemah dan butuh kepada yang lain. Umur dan ukuran tubuh manusia saja misalnya. ltupun terbukti terbatas. Manusia, di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka ia membutuhkan kepada sesuatu yang lain (seperti makanan, air, dan udara). Dengan demikian, maka manusia juga merupakan mahluk dari Al Kholiq (Pencipta). Dalam menentukan sifat Al Kholiq (Pencipta) ini hanya ada tiga kemungkinan. a. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab apabila Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya. b. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun bathil juga. Karena dengan demikian ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. c. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketiga-lah yang shohih, yakni Al Kholiq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.‖ [QS. Thaahaa: 14] Iman kepada Allah akan tercapai melalui jalan akal. Sedangkan keimanan kepada sifatsifat Allah dan asmaa-ul husna dapat dicapai melalui jalan naqli, yaitu wahyu Allah. Sifat-sifat Allah dan asmaa-ul. husna itu telah dijelaskan dalam Al Quran. Firman Allah:
―Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Penguasa, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Pemberi Keamanan, Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik (asmaa ul husna). Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‖ (TQS. Al-Hasyr: 23-24)
17
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Iman Kepada Malaikat Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli; sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan malaikat. Dalil syara‘ tentang adanya malaikat berasal dari Al Qur‘an dan sunah Rasul, diantaranya adalah firman Allah SWT :
”Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sungguh-sungguh) kepada Allah dan Rasul-Nya dan (kepada) kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (ketahuilah bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” [QS. AnNisa‟: 136] Malaikat dan Asal Usul Kejadiannya Malaikat diciptakan Allah sebelum jin, manusia dan alam semesta. Adapun asal kejadian mereka, sesungguhnya Al Qur‘an tidak merincikannya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa malaikat itu dijadikan dari cahaya (nur), tanpa menerangkan bagaimana karakteristik (bentuk) cahaya (nur) tersebut. Oleh karena itu, dzat malaikat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dijangkau akal, karena ia berada di luar jangkauan panca indera dan akal manusia. Tetapi wujudnya pasti, yang menurut penjelasan Al Qur‘an, mereka berada di langit dan di bumi dan saling berpindah tempat di antara keduanya. Tugas-Tugas Malaikat Al Qur‘an dan sunnah Rasul telah menunjukan berbagai tugas malaikat yang bekerja menurut perintah dan seizin Allah untuk mengatur apa yang ada di langit dan bumi serta apa yang ada dan terjadi di antara keduanya. Misalnya, ada yang ditugaskan untuk mengatur peredaran matahari, bulan dan bintang, mengatur peredaran awan dan turunnya hujan, mengatur terjadinya proses pembentukan janin di dalam rahim. Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi setiap manusia, menghitung dan menulis amal usaha manusia. Selain itu, ada pula yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, bertugas di jahannam dan jannah, dan tugas-tugas lainnya. Jadi, para malaikat adalah tentara Allah yang paling banyak dari segi kuantitas dan paling banyak dari segi tugas-tugasnya. Inilah tentara yang paling agung. Sebab merekalah yang mengatur alam semesta dengan izin Allah. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Tentang tugas-tugas malaikat, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan: ―Allah telah mewakilkan para malaikat untuk mengatur langit dan bumi. Mereka (para malaikat itu) bekerja dengan seizin dan atas perintah Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT di dalam Al Qur‘an kadang menyebutkan bahwa pengaturan tersebut diserahkan kepada malaikat, seperti firman-Nya :
―Demi para malaikat yang mengatur urusan alam” [QS. An Nazi‟aat: 5] 18
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Atau terkadang tugas-tugas pengaturan seperti itu dikaitkan (bersangkut langsung) terhadap Allah, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? [QS. Yunus: 3] Juga perhatikan firman-Nya yang lain:
―Katakanlah: „Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab „Allah‟. Maka katakanlah: „Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)?‖ [QS Yunus: 31] Jadi Allah-lah pengatur alam ini dengan perintah (izin) dan kehendak-Nya, sedangkan malaikat mengatur alam ini hanya menjalankan atau melaksanakan perintah saja. Perhatikan firman Allah SWT:
“Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga Sehingga bila datang kematian pada salah seorang diantaramu, lalu utusanutusan Kami mewafatkannya, sedangkan para utusan (malaikat Kami) itu tidak (pernah) lengah.” [QS. Al An‟aam: 61] Ibnu Qayyim lebih lanjut menjelaskan: ―Sesungguhnya para malaikat yang bertugas dengan izin Allah untuk mengatur urusan manusia sejak terjadinya proses pembuahan di dalam kandungan, sampai matinya manusia. Merekalah yang ditugaskan untuk memproses dan mengembangkannya tahap demi tahap sampai kepada bentuk manusia yang sempurna. Mereka jugalah yang menjaga ketika janin itu 19
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
masih berada dalam tiga lapisan (chorion, alantion, dan amnion) di dalam kandungan. Mereka yang mencatat rezekinya, amal, ajal, sengsara, bahagia dan mengikuti manusia dalam setiap keadaan, serta mencatat perkataan dan pebuatannya. Mereka melindunginya sewaktu manusia hidup dan mencabut nyawanya serta menghantarkan nyawa itu kembali kepada Allah yang menciptakannya. Kitabullah dan sunnah menyebutkan jenis malaikat yang ditugaskan mengatur urusan makhluk-makhluk yang diciptakan. Allah telah menugaskan sebagian malaikat-Nya untuk membawa awan dan menurunkan hujan. Jadi malaikat adalah tentara Allah yang paling agung. Beliau menyebutkan ayat-ayat Al Qur‘an mengenai hal ini (baca QS Al-Mursalat: 1-5; An-Nazi‘at: 1-5; Ash-Shaffat: 1-3). Tingkatan, Tugas dan Wewenang diantara Malaikat Mengenai tingkatan tugas dan wewenangnya, Al Qur‘an menyebutkannya sebagai berikut: Malaikat Jibril adalah pimpinan umum dan sangat terkemuka diantara para malaikat. Dialah utusan Allah bagi seluruh nabi dan rasul untuk menyampaikan wahyu dan petunjuk lainnya. Ia sangat perkasa, punya kekuatan yang luar biasa seperti mengarungi angkasa yang maha luas hingga ―Sidratul Muntaha‖ (berada di langit ke tujuh) sampai kembali ke bumi ketika memimpin dan menuntun perjalanan Isra‘ Mi‘raj Nabi Muhammad SAW. Ia dipatuhi oleh bawahannya, pemimpin yang bijaksana dan sangat dipercaya Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya Al Qur‟an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, pemilik „Arsy, yang ditaati di sana (alam malaikat) lagi dipercaya‖ [QS At-Takwir: 19-21] Malaikat yang diserahi tugas mengatur pembagian rezeki semua makhluk di seluruh alam adalah Malaikat Mikail; seperti diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad yang hasan: ―Ketika Rasulullah bertanya kepada Jibril, apa tugas malaikat Mikail? Jibril menjawab: (Ia ditugaskan untuk mengatur) tumbuh-tumbuhan dan hujan.” Malaikat Israfil ditugaskan meniup sangkakala (ashshur). Ia senantiasa meletakkan mulutnya pada tempat peniupan sangkakala, sebagai tindakan berjaga-jaga jika mendadak ada perintah dari Allah. Beginilah contoh kepatuhan para malaikat kepada Allah. Entah berapa juta tahun keadaan seperti demikian, namun Ia tetap setia kepada tugasnya. Peniupan sangkakala itu dilakukan dua kali, seperti yang diceritakan dalam ayat Al Qur‘an:
―(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang berada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).‖ [QS Az-Zumar: 68] Malaikat yang bertugas mencabut nyawa (roh) makhluk hidup (bila telah tiba ajalnya) adalah Izrail; seperti ditegaskan Al Qur‘an: 20
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu. Maka hanya kepada Rabbmu kamu pasti dikembalikan.” [QS As- Sajadah: 11]
Keterangan-keterangan lain didapat dari Al Qur‘an dan sunah, antara lain:
―(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya (Raqib-Atid), seorang duduk di kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.‖ [QS Qaaf: 17-18]
―Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (berhala); penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.‖ [QS At-Tahrim: 6] Iman kepada malaikat, meskipun berdasarkan kepada dalil naqli, namun pada hakekatnya, keberadaannya wajib diyakini karena penukilannya bersumber dari sesuatu yang secara akal sudah dipastikan kebenarannya, yakni Al Qur‘an dan As Sunnah. Dengan keimanan yang utuh terhadap malaikat, seorang Muslim akan berhati-hati dalam berbuat, karena ia yakin sang malaikat akan senantiasa mencatat amal baik dan buruknya. Selain itu, iapun akan lebih berani dan optimis dalam mengarungi kehidupan, khususnya dalam mengemban dakwah, karena ia yakin selalu ―dikawal‖ oleh tentara Allah yang perkasa, yakni para malaikat.
Iman Kepada Kitab-kitabNya Al Quran Berasal Dan Sisi Allah SWT Al Quran merupakan sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Muhammad saw. Dalam menentukan darimana asal Al Quran, akan kita dapatkan 3 kemungkinan, yaitu: 1) kitab itu merupakan karangan orang Arab, 2) kitab itu merupakan karangan Nabi Muhammad saw., atau 3) kitab itu berasal dari Allah Kiranya, tidak ada lagi kemungkinan selain ketiga ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Quran menggunakan bahasa Arab dan usluub (gaya bahasa) Arab. 21
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Pembahasan dari Ketiga kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab. Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :
“Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".” [QS Hud: 13]
“Katakanlah: „Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya.” [QS Yunus: 38] Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.
b. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW. Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan karangannya. Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu di sadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:
22
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, „Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa „ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” [QS An-Nahl: 103] Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalamullah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab.
c. Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya. Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur‘an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al Qur‘an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW. Al Qur‘an merupakan kitab suci yang dipelihara/dijaga keasliannya langsung oleh Allah dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syari‘at-syari‘at nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9]
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu.” (QS AlMaidah: 48) Al Qur‘an telah mampu mengadakan revolusi mental dan sosial serta mengubah dan menuntun pemikiran manusia selama empat belas abad. Ia juga telah mengubah wajah sejarah manusia dan membangun suatu umat yang lemah menjadi perkasa, menerangi mereka dari jalan sesat ke jalan lurus dan menyatupadukan barisan yang tadinya cerai berai. Dengan karunia Allah dan petunjuk Al Qur'an, terwujudlah kesatuan umat di bawah undang-undang yang menegakkan hukum dan keadilan di muka bumi ini. Ia juga menjadi penuntun bagi umat 23
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
dan menjadi misi universal sebagai puncak mahkota keagungan peradaban manusia. Dengan Al Qur'an, Nabi SAW telah membangkitkan taraf pemikiran orang Arab yang tadinya tenggelam dan terpecah belah dalam fanatisme jahiliyah, buta huruf dan hidup dalam budaya berhala yang nista, kearah kehidupan yang gilang gemilang. Beliau menyembuhkan lalu menyatukan mereka dengan Al Qur'an dan perkataan yang penuh hikmah. Ajaran-ajaran yang tercantum di dalam Al Qur'an dan umat yang telah menerimanya sebagai ajaran kehidupan, ternyata telah mampu mengangkat umat lain, baik yang masih terbelakang maupun yang telah maju peradabannya. Padahal kalau ditilik dari sejarahnya, dahulunya masih banyak yang buta huruf, tidak berilmu dan juga tidak pernah belajar dari bangsa lain. Cukuplah bukti bahwa mukjizat Al Qur'an telah mampu menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang buta huruf telah menjadi bangsa yang berilmu dan mampu memimpin dunia. Bangsa Arab maupun ‗Ajam (non Arab) yang tadinya hidup dalam kegelapan jahiliyah, menjadi bangsa beradab dan berbudaya tinggi. Tidaklah mengherankan bahwa kemajuan umat masa lampau di segala bidang ilmu dan budaya, disebabkan karena Al Qur'an telah menunjukan bermacam ilmu, seperti astronomi, sejarah, syari‘at, strategi perang, politik dan lain-lain. Semua itu secara jelas membuktikan bahwa Al Qur'an mutlak kebenarannya sebagai wahyu Allah. Pengakuan akan kebenaran Al Qur'an juga dicetuskan para cendekiawan barat dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian besar dari mreka telah tunduk dan mengakui bahwa Al Qur'an adalah kitab suci (Al Wahyu) yang bersumber dari Allah, apalagi setelah terbukti berbagai penemuan baru pada abad mutakhir kini dan sebelumnya Imanan Kepada Kitab Samawi Yang Lain Mengenai keimanan kepada kitab samawi yang lainnya, maka dalilnya adalah secara naqli. Allah telah memberitahukah kepada kita dalam Al Quran bahwa Dia telah menurunkan Kitab Zabur kepada Nabi Daud as., Kitab Taurat kepada Nabi Musa as., Kitab Injil kepada Nabi Isa as. dan Shuhuf kepada Nabi lbrahim as. Allah berfirman:
―Dan kami berikan Zabur kepada Daud" [QS. Al-lsraa: 55]
―Dan (Allah) menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Quran), sebagai petunjuk bagi manusia‖ [QS. Ali Imran: 3-4]
―Sesungguhnya ini (Al Quran) benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab lbrahim dan Musa‖ [QS. Al-A'laa: 18-19] Iman Kepada Rasul-rasulNya dan Termasuk Muhammad Saw. Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagungan 24
dari dan fitri dan
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
pensucian-peny) manusia. Dalam fitrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia. Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul. Dalil yang menunjukkan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah adalah dalil aqli. Karena telah terbukti secara aqli bahwa Al Quran berasal dari Allah Sedangkan Muhammad adalah orang yang membawa Al Quran. Al Quran sendiri adalah kalam Allah dan Syari'atNya. Dan tidak ada yang membawa kalam Allah dan syariat-Nya, kecuali para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, maka Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasul berdasarkan dalil aqli. Adapun keimanan kepada para Rasul dan Nabi Allah yang lainnya, maka dalilnya adalah naqli bukan aqli. Al Quran telah menjelaskan tentang hal ini, misalnya keimanan bahwa sesunguhnya Nuh adalah Rasul, demikian juga halnya dengan ldris, lbrahim, Ismail, Musa dan lain-lain. Mereka semua adalah para Rasul. Firman Allah:
“Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, (seraya mereka mengatakan) „Kami tidak membeda-bedakan antara seorang (dengan yang lain) daripada rasul-rasul-Nya‟” [QS. Al-Baqarah: 285] Maksudnya adalah bahwa mereka semua adalah Rasul yang diutus Allah dengan membawa perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Iman Kepada Hari Kiamat Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir, kemudian berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Bukti-bukti keimanan adanya hari kiamat adalah dalil naqli (Al Qur'an dan Al Hadits) bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha penginderaan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta bagaimana bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli tersebut antara lain : 25
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, “Tidak demikian. Demi Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Hal demikian adalah mudah bagi Allah.‖ [QS. At -Taghaabun: 7] Juga hadits shohih Muslim, ketika Jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW: ―Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah tentang iman, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari kiamat. Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari Allah) .‖ Waktu dan Tanda-tanda Hari Kiamat Manusia selalu bertanya kapankah terjadinya hari kiamat. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu dengan pasti dan tepat, kapan terjadinya. Allah SWT berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya? Katakanlah: „Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada di sisi Rabbku. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba‟. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: „Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Al-A‟Raaf: 187] Meskipun Al Qur'an dan Al Hadits tidak secara pasti menjelaskan waktu hari kiamat, namun dalam banyak hadits, --meski tidak kepada derajat muttawatir dan meski masih diperselisihkan dalam beberapa hal di kalangan kaum muslimin--digambarkan beberapa tanda-tanda kedekatannya, a.l.: Banyaknya mode pakaian telanjang. Jumlah orang beriman sedikit. Zina dan minuman memabukkan serta kejahatan-kejahatan lain merajalela. Perhiasan masjid yang berlebihan dan suara hiruk pikuk lebih sering terdengar di masjid. Penyalahgunaan jabatan. Perpecahan umat Islam/negeri-negeri Islam akibat fitnah oleh musuh-musuh Islam. Kehancuran peradaban Islam dan akan kembali jaya dan berkuasanya kaum muslimin dikemudian hari sehingga kaum muslimin menguasai pusat kekuasaan Khatolik Nashrani di Roma dan tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Perperangan antar umat Islam dengan Yahudi yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. 26
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Juga munculnya Dajjal di tengah ummat Islam untuk menyesatkan manusia. Muncul Muhammad Al Mahdi di bumi untuk menegakkan keadilan dan kekuasaan umat Islam. Turunnya Nabi Isa untuk meluruskan ajaran Nashrani (ajaran trinitas, yakni menuhankan Nabi Isa), mengislamkan orang Nashrani, menghancurkan salib-salib, menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan syari‗at Islam, membunuh Dajjal kemudian beliau kawin lalu meninggal dan dikuburkan dekat makam Rasulullah SAW. Munculnya Daabbah (binatang ajaib) yang dapat berbicara kepada manusia untuk menunjukkan kepalsuan dan ketidakbenaran ajaran semua agama selain Islam, serta memperingatkan orang-orang yang tidak percaya dengan ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah). Matahari akan terbit dari arah barat dan itu terjadi setelah Nabi Isa wafat. Pada saat itulah pintu taubat ditutup. Munculnya Ya‟juj dan Ma‟juj (dua bangsa dari sebelah Timur) menyerang kaum muslimin bagaikan air bah, tetapi peperangan itu akan berakhir dengan kehancuran tentara Ya‟juj dan Ma‟juj oleh Allah dengan kemenangan di fihak kaum Muslimin (ini terjadi pada masa Nabi Isa masih hidup). Kemudian Allah akan mengirimkan kabut tipis yang menyebabkan kematian seluruh kaum muslimin dan tinggallah orang-orang kafir (jahat). Terjadi gempa bumi di Timur/Barat dan seluruh Jazirah Arab, disertai munculnya api di daerah Yaman, sehingga orang-orang berlari ke arah Syam dan di sini mereka mati setelah ditiup sangkakala. Pada saat itulah Kiamat yang sesungguhnya terjadi. Inilah gambaran ringkas kondisi yang menunjukan sudah sangat dekatnya hari kiamat. Hanya saja, selain gambaran-gambaran tersebut masih diperselisihkan kepastiannya – karena dasarnya hanya berupa hadits-hadits yang tidak mencapai derajat muttawatir – seorang Muslim yakin bahwa Allah mampu mewujudkan kiamat kapan saja yang Ia kehendaki. Selain itu, yang penting bagi kita tentu bukanlah dapat menyaksikan kiamat itu atau tidak, tetapi sejauh mana kesiapan menghadapi kejadian-kejadian setelah hari berbangkit tersebut. Harus juga dipahami bahwa kematian seseorang, sudah termasuk ―kiamat‖ (kecil) bagi dirinya. Nasib Manusia pada Hari Kiamat Al Qur'an menerangkan bahwa hari kiamat terjadi setelah ditiupnya sangkakala pertama oleh Malaikat Isrofil. Pada saat itu, semua makhluk binasa kecuali mereka yang dikehendaki Allah, kemudian ditiupkan sangkakala untuk kedua kalinya agar semua makhluk berdiri dan menuju Padang Mahsyar untuk perhitungan amalnya. Firman Allah SWT :
―(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah apa yang ada di langit dan bumi kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) .‖ [QS. Az- Zumar: 68] Pada hari perhitungan/hisab, segala sesuatu akan disaksikan oleh manusia, binatang dan semua makhluk, sejak Nabi Adam hingga makhluk terakhir. Ia juga akan disaksikan oleh ayah-ibunya, neneknya dan kawan-kawannya. Allah SWT berfirman:
―Bacalah kitabmu sendiri yg di hari itu cukuplah sebagai penghisab terhadapmu.‖ [QS. Al-Israa‟: 14]
27
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Pada hari itu semua berita akan bercerita sendiri.‖ [QS. Az-Zalzalah: 4] Orang-orang yang beriman kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, maka ia pasti diampuni dosa-dosanya. Sebab Allah akan mengampuni semua dosa manusia semasa hidupnya, kecuali dosa syirik. Allah SWT berfirman:
―Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (menyekutukan Dia). Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauh-jauhnya.‖ [QS. An-Nisaa‟: 116] Kedzaliman antar manusia di dunia merupakan dosa yang tidak terhindarkan. Namun, ia akan diadili dengan seadil-adilnya. Mereka yang merampas harta orang lain, mencuri, memperkosa, membunuh, menganiaya, mereka yang mengetahui di kanan kirinya banyak orang miskin, tersiksa dan memerlukan bantuan tetapi ia membiarkannya, mereka yang tidak benar ketika bergaul, berpolitik maupun berdagang, mereka yang berdosa besar maupun kecil, berjual beli secara bathil, membuka aurat di depan umum dan berteriak-teriak di jalanan, berbisik, mengukur dan menimbang secara curang, hubungan antara majikan dengan buruh buruk, serta berbagai persoalan keluarga. Semua bentuk perbuatan tersebut pasti diadili, yaitu disaat tidak ada partai dan golongan, kebangsaan, kesukuan maupun ikatan lainnya yang dapat membantu mereka dari peradilan yang seadil-adilnya. Segala caci maki, tuduhan yang semena-mena tanpa bukti, menyakiti orang lain, bergunjing, mengkritik dengan maksud buruk, kata-kata yang keluar tanpa makna, menyianyiakan waktu, berhutang tetapi tidak mau membayar, berjudi dan berzina, serta 1001 macam persoalan kehidupan manusia, semua pasti diadili dan mendapat hukuman Allah pada hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah: ―Tahukan engkau siapa orang-orang miskin (bangkrut) itu? Mereka adalah umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan shalat, shaum, zakatnya, tetapi mereka telah mencaci maki, menuduh seseorang tanpa bukti, sehingga semua perbuatannya itu menyebabkan ia telah menghilangkan kebaikannya. Kemudian ia ditenggelamkan ke dalam jahannam.‖ Orang-orang yang jumlah dosanya lebih banyak daripada amal kebajikannya, mereka pasti disiksa dalam neraka jahannam. Sedangkan orang-orang yang jumlah amal kebajikannya lebih banyak daripada amal kejahatannya, maka mereka akan mendapat balasan kenikmatan di jannah. Tetapi akan berbeda terhadap orang-orang yang jumlah amal kebajikannya seimbang dengan amal kejahatannya, maka mereka akan ditangguhkan, tidak dimasukan ke dalam jannah atau jahannam. Mereka akan ditempatkan di suatu lokasi yang disebut Al A‟raaf sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dari tempat ini, mereka dapat menyaksikan bagaimana pedihnya siksa jahannam dan bagaimana pula kenikmatan yang diperoleh oleh penghuni jannah. Namun penghuni Al A‟raaf ini suatu waktu pasti dimasukan Allah ke dalam jannah. Hal ini dijelaskan dalam ayat 46-47 surat Al A‘raaf. Kenikmatan Jannah (Surga) 28
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Kehidupan di dalam jannah adalah abadi, penuh dengan kesenangan dan kenikmatan. Allah SWT berfirman:
―Masukilah jannah itu dengan aman, itulah hari kekekalan.‖ [QS. Qaaf: 34) Penghuni jannah akan bertemu dengan ayah, suami, istri, para famili, dan para cucunya yang beramal shalih dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Para malaikat akan masuk dari segala penjuru dengan menyampaikan salam. Gambaran tersebut, sekilas ditunjukan oleh firman-Nya:
―(Itulah) Jannah „Adn, tempat mukim mereka, bersama orang-orang shalih dari bapak, istri, dan anak cucu mereka. Sementara itu, para malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, (sambil berucap): „Sejahtera atas kalian seluruhnya karena kesabaran kalian‟. Maka, alangkah baiknya tempat berakhir itu.‖ [QS. Ar-Ra‟ad: 23-24] Tentang sifat-sifat jannah, Rasulullah SAW bersabda: ―Siapa saja yang masuk jannah, maka ia pasti merasakan senang dan tidak pernah putus asa. Ia berpakaian yang tidak lepas, masa remaja yang tidak pernah pudar, matanya melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat sebelumnya, telinganya mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya, dan hati manusia tidak pernah mengkhayalkan sesuatu hal yang ada sebelumnya.‖ (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah) Saat itu manusia akan melihat Rabbnya. Ini dinyatakan Rasulullah SAW sebagai saat yang maha indah. Di dalam jannah berlimpah buah-buahan yang tidak putus-putusnya dan tidak pernah terhalang. Allah SWT berfirman :
―Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak dilarang mengambilnya.‖ (QS. Al- Waqi‟ah: 32-33) Siksaan Jahannam (Neraka) Tentang siksaan terhadap orang kafir dan dzalim di dalam jahannam, Allah SWT berfirman:
29
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Hai orang-orang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah (tubuh) manusia dan bebatuan; penjaganya para malaikat yang kasar, keras, (dan) tidak (pernah) membantah kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.‖ (QS. At-Tahriim: 6) Sedangkan kedudukan orang-orang munafik, mereka akan berada di kerak/dasar jahannam yang paling bawah.
―Sesungguhnya orang-orang munafik itu (tempat mereka) berada pada tingkatan yang paling bawah dari jahannam, dan kamu sekali-kali tidak mendapat seorang penolongpun bagi mereka.‖ (QS. An-Nisaa‟: 145) Allah SWT juga mengingatkan kepada manusia bahwa siksa jahannam amatlah pedih.
―Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, maka kelak akan Kami masukan mereka ke dalam jahannam. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain (baru) supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.‖ (QS. An- Nisaa‟: 56) Adzab Jahannam adalah Siksaan Fisik (tidak hanya ruh) dan Kenikmatan Jannah adalah Kesenangan Sempurna
Siksaan jahannam dan kenikmatan jannah adalah abadi dan kekal. Semua itu merupakan akibat perbuatan manusia di dunia. Semua dirasakan secara fisik, bukan secara roh. Tentang pendapat bahwa kenikmatan maupun siksaan pada kedua tempat tersebut dirasakan manusia dalam bentuk roh, maka pernyataan tersebut terbantah dengan memperhatikan firman Allah SWT:
―Ketika (itu) belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret. (Kemudian mereka dimasukan) ke dalam api yang sangat panas, lalu mereka dibakar di dalam api (yang menyala-nyala).‖ (QS. Al-Mu‟min: 71-72) Begitu pula sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an surat At-Taubah: 35; dan Al-Ma‘aarij: 15-16; dan Al-Fathir: 33. Bagaimana mungkin siksaan yang disebutkan pada ayat-ayat Al Qur'an tersebut bentuknya adalah siksaan yang bersifat ruh? Bahkan patut pula diketahui bahwa kehidupan akhirat tersebut mempunyai persamaan dengan kehidupan dunia, yaitu adanya perasaan, pengertian, kepuasan dan adanya makhluk (hewan dan tumbuhan) yang akan menemani kehidupan manusia di jannah. Allah SWT berfirman: 30
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―(Dan) Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.‖ [QS. Ath-Thuur: 22] Rasulullah SAW bersabda: ―Ahli jannah makan dan minum di dalam jannah tetapi mereka tidak buang air besar, tidak buang ingus dan tidak kencing.‖ (HR Muslim dari Jabir ra) Dari Nu‘man bin Basyir ra, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: ―Seringan-ringannya siksa pada hari Kiamat adalah orang yang padanya diletakan dua bara api di bawah tumitnya yang mampu mendidihkan otaknya. Pada saat itu dia merasa bahwa tidak seorangpun yang lebih berat siksaan yang diterimanya dibandingkan dengan orang lain. Padahal sesungguhnya itulah siksa seringan-ringannya.‖ (HR Bukhari Muslim) Dampak Iman Kepada Hari Kiamat Iman pada hari kiamat akan mampu mendorong setiap mukmin untuk berpikir sebelum melakukan tindakan. Sebab ia yakin bahwa semua amal perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban dan ia menerima balasannya, baik atau buruk sesuai dengan perbuatannya itu. Allah SWT berfirman:
―Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, maka pasti ia melihat (balasan)nya, dan siapapun yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, juga pasti melihat (balasan)nya.‖ [QS. AzZalzalah: 7-8] Karena itu, iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni: (a) Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan berusaha menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan kelak di kemudian hari. (b) Menghibur dan mendorong untuk bersabar, bahwa kebahagiaan bagi mukmin yang belum diperolehnya di dunia akan diterimanya di kemudian hari. (lihat ―Aqidah Ahlus Sunnah‖, Muhammad Shalih, terj. Hal.89) Catatan Amal Perbuatan Manusia Iman kepada Hari Kiamat membawa konsekuensi logis untuk iman kepada adanya catatan amal perbuatan manusia. Setiap manusia akan menerimanya pada hari pembalasan itu. Allah SWT berfirman:
31
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―(Dan) Setiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tepatnya kalung) pada lehernya. Dan Kami berikan kepadanya pada Hari Kiamat sebuah kitab (catatan amal perbuatan) yang dijumpainya terbuka : „Bacalah kitabmu. Maka, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab.‖ [QS. Al Israa‟: 13-14] Al Qur'an menjelaskan bahwa orang-orang mukmin akan diberikan catatan amal perbuatan mereka melalui tangan kanannya dari depan, sedangkan orang-orang mukmin yang berdosa besar akan menerimanya melalui tangan kanannya tapi dari belakang. Hal itu akan berbeda terhadap orang-orang kafir. Mereka pasti menerima catatan amal perbuatannya melalui tangan kirinya. Kejadian ini digambarkan dengan jelas melalui firman Allah SWT pada ayat 19 sampai 37 surat Al Haaqqah. Bagi kaum muslimin, iman kepada Hari Kiamat sesungguhnya akan berdampak kuat bagi setiap amal perbuatannya. Mereka pasti berlomba-lomba menjalankan semua perintah Allah yakni syari‘at yang dibawa rasul-Nya, Muhammad SAW, yaitu syariat Islam. Hari Kiamat merupakan hari yang pasti datangnya. Seluruh manusia akan menemuinya, baik secara sukarela maupun terpaksa. Dan sesungguhnya siksaan maupun kenikmatan yang diterima setiap manusia merupakan akibat logis dari seluruh amal perbuatannya selama ia hidup di dunia. Iman Kepada Taqdir Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti (qoth‘i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan iman kepada ‗Qadha dan Qadar‘, ia bukan lahir dari nash-nash syara‘ secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al Qur'an sendiri tidak ada istilah ‗qadha dan qadar‘ yang digabungkan. Keduanya hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha). Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi‘in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah). Taqdir dan Pengertian Iman Terhadapnya Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui sesuatu (Al-„Aliim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuz (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT). Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW. Dengan kata lain taqdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‗segala sesuatu‘ yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di Lauhul Mahfuzh. Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya:
32
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR Muslim) Seorang yang tidak percaya kepada taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkan dirinya dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan oleh nash-nash Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW, seperti ayat:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya.” (QS Al Qamar: 49) Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy-Syuyuti menyatakan: “Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu kejadian di langit dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.” (lihat Tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal. 148) Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasib seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb). Pahamilah, pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-„Aliim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya. Hadits berikut ini menunjukan wajibnya iman kepada taqdir dan larangan mengingkarinya: “Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang-orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka janganlah kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq (benar) dari Allah SWT.” (HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat Sunan Abu Dawud, juz IV hal. 222) Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah mencampuradukan antara ―iman kepada taqdir‖ tersebut dengan ―amal perbuatan manusia‖, karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu. Rosulullah SAW telah melarang para shahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan antar : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan ! Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali bin Abi Thalib ra. yang artinya: “Rosulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata 33
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
: “Setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (surga) dan jahannam”. Para shahabat terkejut lalu bertanya : “Kalau demikian ya Rosulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : “Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya.” Lalu Rosulullah membaca surat Al Lail ayat 5-10‖. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XVI, hal. 196197) Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan demikian maka secara suka rela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur paksaan) suatu kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya taqdir hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan ilmu Allah tersebut tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. (lihat Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam. Sayyid Sabiq, hal. 151) Tak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang berkata : ―Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini‖. Karena, darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh? Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang benar, pasti akan memberikan suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa. Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam garisan syari‘at Islam. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan ketabahan dan keberanian dalam membela yang haq, berhati baja dalam merealisasikan hal-hal yang haq serta menetapi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah atau putus asa dalam kamus orang yang beriman kepada taqdir dengan pemahaman yang benar. Ia akan menjadi orang yang bersyukur ketika langkahlangkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan ia akan menjadi orang yang sabar ketika langkah-langkahnya tidak memberikan keberhasilan. Asal Mula Munculnya Istilah „Qadha dan Qadar‟ Akhir abad kedua merupakan masa suburnya penaklukan daerah lain, yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Banyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan faham-faham di luar Islam semisal filsafat (Yunani). Pada awalnya hanya semacam kebutuhan untuk menjawab dan berdebat dengan mereka setelah dari pihak Nasrani terlebih dahulu mempelajarinya untuk mempertahankan aqidah mereka. Kaum Muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nashrani, terutama dalam bidang “kebebasan bertindak” (free will). Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya munculah beberapa aliran/pandangan di kalangan kaum muslimin sendiri terhadap permasalahan ini. 1. Faham Qadariyah (Muktazilah) Ketika Islam telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai faham di dalam ajaran Islam sulit untuk dihindari. Karenanya kemunculan segolongan dari kaum Muslimin yang berpendapat bahwa manusia itu bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah SWT adalah salah satu akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat. Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan ―Qadariyah‖. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan
34
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
taqdir (Al-Qadar) maupun dalam ketetapan Allah. Faham ini pertama kali dikembangkan oleh Washil bin Atha‘. Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak (iradlah), kekuatan, kekuasaan (qudrat, power) dan kebebasan (huriyyah, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta terlepas dari kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah. Karena itu, menurut faham ini, wajar dan adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Golongan ini memandang bahwa manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan qudratnya sendiri sementara iradlat dan qudrat Allah tidak turut campur dalam perbuatan manusia. Inilah faham indeterminasi (Qadariyah) dari filsafat Yunani yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat. Untuk mendukung pendapat mereka, Muktazilah gemar menakwilkan ayat-ayat Al Qur'an. Ayat-ayat Al Qur'an yang sering dikutip adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas perbuatannya misalnya:
“(Dan) Katakanlah: „Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al-Kahfi: 29) Dalam perkembangannya, faham ini telah dirangkul erat-erat oleh ahli pikir Barat yang ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan mereka dari imannya. Padahal Islam telah memulai risalahnya dengan penanaman iman dan beriman kepada enam rukun iman yang dimulai dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia dalam menggunakan akalnya, yaitu segala sesuatu telah diberikan batas, dari garis halal dan haramnya. Muktazilah adalah golongan yang bergerak dalam tiga fungsi: agama-filsafat-politik. Nama lain Muktazilah adalah Qadariyah, Adliyah, atau “Ahlul Adli wat Tauhid‖ (penganut faham keadilan dan keesaan Allah). 2. Faham Jabariyah Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham sebelumnya. Mengenai kemunculannya, ada yang berpendapat bahwa faham jabariyah muncul sebelum adanya Muktazilah. Orang pertama yang memelopori faham ―Jabariyah‖ adalah Jahmu bin Sofyan. Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa yang telah ditentukan, dan bahwa Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah menciptakan benda-benda. Ia tidak ubahnya seperti air yang mengalir, angin yang berhembus, batu yang jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia melakukan sesuatu apapun sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat, tidak lebih dari itu). Oleh karena itu, pahala, siksa dan amal perbuatan tidak lain adalah hasil dari paksaan. Allah telah menakdirkan terhadap diri seseorang sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang tersebut mendapat pahala, dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut telah ditakdirkan akan mendapat siksa. Imam Sa‟duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat. Manusia bukan subyek, melainkan hanya sebagai obyek (kehendak dari luar). Dengan kata 35
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
lain, manusia dipaksa oleh kekuatan dari luar dirinya, yakni atas kehendak dan kekuasaan Allah. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak (laa hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu. 3. Faham Asy „Ariyah (kadang disebut Ahlussunnah) Mohammad Fuad Fachruddin mengatakan bahwa kemunculan dua faham di atas, mendorong kalangan ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy‘ari dan Mansur Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal Jama‘ah terbagi dua golongan, tetapi mereka sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan (knowledge), tetapi hanya sampai ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi). Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pada diri manusia ada kehendak berbuat dan ada khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan Allah SWT tatkala seseorang ‗memulai‘ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‗batas‘, yang saat ‗batas‘ itulah Allah menentukan, jadi tidaknya perbuatan tersebut. Jadi ketika seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji, maka ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba. Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al Qur'an, antara lain:
“Mereka itulah penghuni jannah. Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Ahqaf: 14)
“(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al Kahfi: 29)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al Baqarah: 286) Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan) Allah. Mereka mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan dosa dan pahala, atau siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan perbuatan.
Bagaimana Menyikapi Berbagai Faham Ini ? Demikianlah, kaum Muslimin terpecah ke dalam tiga golongan besar ketika mereka membahas amal/perbuatan manusia yang dikaitkan dengan asas taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan tersebut disebabkan karena mereka menakwilkan beberapa nash ayat Al Qur'an tentang perbuatan manusia sendiri, juga karena ada nash dari ayat Al Qur'an yang menurut mereka menunjukan bahwa perbuatan manusia tergantung kepada kehendak Allah. Golongan pertama dari kalangan Mu‘tazilah, golongan kedua dari golongan
36
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Jabbariyah. Namun ada golongan yang berada di tengah-tengah kedua golongan tersebut, yaitu dari kalangan Ahlussunnah. Dasar Pembahasan Masalah „Qadha dan Qadar‟ Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‗qadha dan qadar‘ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini. Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan : Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih ? Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‗qadha dan qadar‘, yaitu ‗perbuatan manusia‘. Karena ‗perbuatan manusia‘ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnyapun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam tema ‗qadha dan qadar‘ ini. Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-Kejadian yang Menimpa Manusia Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu : a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri. b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luat kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya. Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui, semisal, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamir, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun. Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia. Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari dua bentuk. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‗nidzom wujud‟ (Sunnatullah/peraturan alami). Misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb. Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‗nidzom wujud‟, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang malah diluar kemampuannya. Meskipun tidak ditentukan oleh ‗nidzom wujud‘, akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya. Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang meng-‗qadha‘ (memutuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita karena adanya ‗hari baik, hari sial, 37
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
memakai jimat/mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata. Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain. HAKIKAT PERISTIWA YANG TERJADI DI DUNIA
Daerah yang dikuasai / di bawah kontrol manusia
Manusia dihisab atas apa yang diperbuat
Daerah yang tidak dikuasai/ tidak di bawah kontrol manusia
Melibatkan manusia
Tidak melibatkan manusia
Tidak ada hisab atas apa yang terjadi
Skema pemahaman qadla-qadar
Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‗qadha dan qadar‘ yang digabungkan ini). Sedangkan untuk memahami pengertian qadar, dapat disimak dari uraian berikut ini: Memahami Makna Qadar Bahwasanya segala perbuatan dan kejadian, baik jenis yang pertama maupun yang kedua, semuanya terjadi dari benda menimpa (terhadap benda), baik benda itu termasuk dalam unsur alam semesta, manusia maupun kehidupan. Misalnya, peristiwa tabrakan antara mobil (benda, bersifat keras) dengan manusia, kebakaran, antara api dengan benda lain, dsb. Sesungguhnya, Allah SWT juga telah menciptakan benda-benda tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api diciptakan ‗khasiat‘ membakar. Dalam kayu terdapat ‗khasiat‘ terbakar. Dalam pisau (benda tajam) terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Pada manusia ada rasa lapar, haus dll. Juga ada gharizah/naluri, seperti naluri seksual, mempertahankan diri, beragama, dsb. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu tunduk sesuai dengan ‗nidzom wujud‘ yang tidak bisa dilanggar lagi. Bila suatu waktu tampak khasiat ini melanggar ‗nidzom wujud‘, hal ini karena Allah SWT telah menarik khasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka. Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia (gharizah serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan qadar (penetapan batasan/kadar). Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsurunsur tersebut --seperti pernyataan orang-orang atheis (materialis).
38
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam bendabenda tersebut hanyalah Allah SWT. Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat ini memiliki „qabiliyyah‟ (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan itu berupa kebaikan ataukah keburukan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‗baik‘. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‗jahat‘. Baik ia melakukan perbuatannya itu dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya. Makna Iman kepada Qadha - Qadar, Baik-buruknya dari Allah SWT Dengan demikian, perbuatan atau kejadian yang berada di luar kontrol dan kemauan manusia, datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan khasiat-khasiat yang ada pada benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha, baik dan buruknya dari Allah SWT. Dengan kata lain meng‘itiqadkan bahwasanya perbuatan dan kejadian yang berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah SWT. Dan wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Misalnya terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau‟, atau rasa lapar dan haus yang terdapat pada kebutuhan jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT semata. Amal Manusia Yang Akan Dihisab Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan dan kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia. Adapun pada perbuatan dan kejadian yang berada di bawah kontrol dan kemauan manusia maka pada wilayah ini manusia berjalan ‗secara sukarela‘ di atas „nidzom‟ (peraturan) yang dipilihnya, baik itu syari‘at Allah atau syari‘at yang lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau menimpa manusia disebabkan kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum, dan bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau apa saja yang dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan seksualnya atau keinginan memiliki barang, ataupun keinginan perutnya dengan cara apapun yang ia kehendaki. Ia ‗melakukannya‘ dengan sukarela sebagaimana ia ‗tidak melakukannya‘ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini. Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan ‗qadar‘ ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan dengan memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yang terdapat pada gharizatun nau‟ memang mempunyai „qabiliah‟ (kecenderungan) untuk kebaikan atau keburukan, namun manusialah yang menggunakan sesuai dengan pilihannya. Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal bagi manusia yang mampu membedakan. Di dalam tabi‘at akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membedabedakan; mana yang baik (taqwa), dan mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
”(Dan) Ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk dan mana yang taqwa.” [QS. As-Syams: 8]
39
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Dan disisi lain, Allah telah menunjukan kepada manusia jalan baik dan buruk.
”Telah Kami tunjukan padanya dua jalan.” [QS. Al-Balad: 10] Maka apabila manusia memuaskan panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT berarti ia telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa. Akan tetapi apabila ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya seraya berpaling dari perintah Allah dan larangan-Nya berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Berdasar hal inilah manusia dihisab atas perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukan secara sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun (qadar Allah pada benda dan manusia tidak pernah „memaksa‟ manusia untuk berbuat sesuatu). Allah menjadikan akal sebagai sandaran (manath) pembebanan kewajiban syari‘at. Karenanya Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik, sebab akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan larangan Allah. Sebagaimana firman-Nya :
“Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al Mudatsir: 38)
40
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
MAFAHIM SYARI‟AH
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah: 44]
41
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB SYARI‟AH ISLAM Definisi Syari‟ah Islam Kata syari‟ah Islam merupakan pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-syarî„ah alIslâmiyyah. Secara etimologis, kata as-syarî‟ah mempunyai konotasi masyra„ah al-mâ‟ (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan syarî„ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering. Dalam bahasa Arab, syara„a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara„a lahum-yasyra„u-syar„an berarti sanna (menetapkan). Syari‘ah dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus). Dalam istilah syari‘ah sendiri, syarî„ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragam. Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syari‘ah karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, syari‘ah dan agama mempunyai konotasi yang sama, yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasi inqiyâd (tunduk) dan istislâm li Allâh (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya dikhususkan untuk menunjuk agama yang disyari‘ahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan kata Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
“Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [QS. al-Mâ‟idah: 3] Karena itu, secara syar„î, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian. Dengan demikian, syari‘ah Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Dengan kata lain, syari‘ah Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af„âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af„âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu, syari‘ah Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya. Keterikatan Terhadap Syari‟ah Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari syara'. Amal itu tidak tergolong wajib, sunah, haram, makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak ada "beban hukum" (taklif) sebelum sampainya pernyataan syara'. Allah SWT berfiman:
"(Dan) Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul/utusan." [QS. Al- Isra': 15] Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan datang azab kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak 42
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
terbebani oleh satu hukum pun. Hanya saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang rasul kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum, penjelasan syara'; maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman :
"(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." [QS. An- Nisa: 165] Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidak imanannya dan ketidak-terikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya iapun akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap sebagian hukum dari hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
"... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." [QS Al-Hasyr: 7] Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barangsiapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah SAW telah lewat) maka ia tidak termasuk "mukallaf" (orang yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara' adalah 'aam (bersifat umum), sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari hukum syari'at. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semuanya." [QS Al-A'raf: 158] Oleh karena itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa apapun yang dibawa Rasul tentang suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan. Dengan demikian setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar'i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara'. Selain itu, bila ada perbuatan/ hal baru yang belum diketahui nash syara' terhadapnya, maka manusia tetap tidak berhak menghukumi berdasar kemauannya. Jika ada anggapan bahwa terdapat perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukum; anggapan tersebut sama artinya dengan menganggap bahwa syari'at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali untuk masa dan keadaan tertentu. Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari'at itu sendiri serta kenyataan yang sesuai dengannya. Hukum bagi Masalah Baru Memang syari'at Islam tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi Islam datang dengan makna-makna umum (garis global/khuthuthun 'aridhoh ) yang berkaitan dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat 'manusia sebagai
43
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
manusia, sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondisi/tempat. Kemudian mengalirlah di bawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan difahami. Kemudian, dilakukan ―istinbath” hukum (penggalian status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung dalam syari'at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah Swt. dalam masalah tersebut. Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah SAW, hingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada syari'at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai di zaman Rasulullah Saw; begitu pula telah muncul persoalan-persoalan baru di masa Khalifah Harun Al Rasyid yang tidak ditemui dimasa Abu Bakar ra. Disini para mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya tidak pernah ditemukan. Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syari'at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari'at Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia; tidak ada satupun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslimin untuk senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari'at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Hukum Perbuatan Manusia Hukum syara‘ (syari‘at) adalah ‗khithaabusy Syaari‟ (seruan dari Sang Pembuat Hukum – Allah dan Rasul-Nya--) yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum syari‘at ditetapkan berdasarkan adanya ‗khitab‟ (seruan tersebut), sedang kejelasannya tergantung pada jelasnya ma‘na dari suatu khithab. Khithab syar‘i adalah apa-apa yang terdapat dalam Al Qur'an dan As Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan sejenisnya tidak termasuk dalam pengertian hukum Syar‘i). Oleh karena itu setiap muslim harus memahami Al Qur'an dan As Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber tasyri‘. Dengan memahami jenis khithabnya maka tidak setiap khithab Syar‘i itu wajib dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya, atau haram melakukannya dan mendapat pahala bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari penjelasan hukum bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat atau hadits yang menerangkan adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau larangan di dalam ayat Al Qur'an dan Al Hadits. Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang memahami makna tasyri‘. Karenanya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis khithob sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penunjukan jenis hukum syara‘. Memahami Makna Khitab Memahami makna ayat atau hadits haruslah dengan pemahaman secara tasyri‟ dan bukan pemahaman secara lughowiyah (bahasa) saja. Dengan demikian seorang muslim tidak akan melakukan kelancangan dan kesalahan; mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah SWT:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tdk mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya...‖ QS. At-Taubah: 29] Dari ayat ini, sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah tersebut adalah wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum wajib /fardlu tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja, melainkan juga adanya isyarat-isayarat (qarinah) lain yang menunjukan bahwa perkara ini menuntut suatu perbuatan dengan ‗tuntutan yang pasti‘. Qarinah yang dimaksud misalnya nash-nash yang lain, seperti firman Allah SWT berikut ini :
44
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―(Dan) Jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih.‖ [QS. At-Taubah: 39] Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah SWT telah berfirman: ―Janganlah kamu mendekati zina....‖ [QS. Al Isra‟: 32] Dari sini sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum haram tersebut tidak muncul hanya karena sighot nahi (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan isyarat-isyarat (qarinah) lain yang merupakan nash-nash lain misalnya firman Allah SWT:
―... sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.‖ [QS. Al Isra‟: 32]
―Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang darinya seratus kali dera.‖ [QS. An-Nuur: 2] Begitu pula hukum-hukum yang diambil dari hadits Rasulullah SAW, misalnya ketika Rasulullah bersabda: ―Shalat berjamaah itu lebih baik dari shalat sendiri dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat.‖ (HR Imam Malik, Imam Ahmad dll.) Sesungguhnya Rasul memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu pula dalam sabdanya yang lain: ―Aku pernah mencegah kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian.― (HR Al Hakim) Hadits tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam kedua hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu. Hukum sunnah tersebut tidak akan ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah SAW terhadap sekelompok orang yang shalat sendiri, atau diamnya Rasulullah SAW terhadap orang yang tidak ziarah kubur. Jadi isyarat tersebutlah yang menunjukan bahwa tuntutan itu tidak bersifat wajib. Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda: ―Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku.‖ (HR Imam Thabrani) Diketahui pula bahwa Rasulullah SAW melarang „tabathul‟ (tidak mau beristri atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh: ―Bahwa sesungguhnya Nabi SAW mencegah tabathul.‖ Dari kedua hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW mencegah orang yang mampu, untuk tidak beristri atau bersuami dalam hadits pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak memiliki pasangan dalam hadits yang kedua. Meskipun demikian tidak berarti ketiadaan istri atau suami pada orang yang mampu itu haram hukumnya, dan ketiadaan suami atau istri bukanlah haram secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukan bahwa larangan ini hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian shahabat yang mampu tetapi tidak menikah. Dan ketika Allah SWT berfirman: 45
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah...‖ [QS. Al Maidah: 2]
―...apabila telah selesai shalat jum‟at maka menyebarlah.” [QS. Al-Jumu‟ah: 10] Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom haji dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum‘at. Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukan hukum mubah. Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya ketika ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi usai shalat Jum‘at sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu sholat Jum‘at. Demikianlah isyarat/qorinah tersebut menunjukan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran pada kondisi yang demikian itu adalah mubah. Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri‘ dan kaitannya dengan qorinah yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syari‘at itu bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka jenis hukum syar‘i itu ada lima: (1) Fardlu yang bermakna wajib. (2) Haram yang bermakna terlarang. (3) Mandub (sunnah). (4) Makruh. (5) Mubah. Tuntutan Dalam Khithab Kadang-kadang ―khithab syari‟‘ menuntut untuk melakukan suatu perbuatan, atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau memberikan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan tuntutan tersebut adakalanya bersifat sungguhsungguh (pasti atau jaazim) dan adakalanya tidak jaazim. Jika tuntutan itu bersifat jaazim maka akan menjadi fardlu, dan jika tuntutan ini bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi haram, tetapi yang bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi hukum makruh. Adapun tuntutan yang memberikan alternatif maka hukumnya akan menjadi mubah. Jadi, upaya penelaahan terhadap nash atau dalil-dalil syar‘i untuk menetapkan suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadits. Dan tidak semua perintah berbentuk ‗fiil amr‟/kata perintah. Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah justru tidak berujung pada munculnya sikap-sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukum-hukum baru, atau metode ijtihad baru yang menyimpang dari syara‘. Makna Fardlu Kifayah Yang dimaksud dengan fardlu kifayah adalah khithab syar‘i (seruan Allah) yang berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman Allah SWT: ―Dan dirikanlah shalat...‖ [QS. Al-Baqarah: 43] Juga dalam hadits Rasulullah: ―Seseorang dijadikan imam adalah untuk diikuti.‖ (HR Ahmad, Abu Daud, Bukhari dan Muslim) ―Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu bai‟at di atas pundaknya, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.‖ (HR Muslim) 46
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Semua nash tersebut adalah khithab syari‘ yang berkaitan dengan tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang menyebabkan tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya ‗qorinah‘ (isyarat) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib dilaksanakan. Sesuatu yang pasti/wajib, tidak akan gugur (hilang kewajiban melaksanakannya) dalam kondisi apapun sampai amalan fardlu terlaksana secara sempurna. Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan mendapat siksa. Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ―fardlu „ain‖ dengan ―fardlu kifayah‖, semuanya itu adalah fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT ―Dirikanlah shalat‖ (QS Al Baqarah: 43), adalah fardlu „ain, dan firman-Nya:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (QS At Taubah: 41), adalah fardlu kifayah. Sedangkan sabda Rasulullah SAW: ―Seseorang dijadikan imam (shalat) adalah untuk diikuti.‖ (HR Ahmad), adalah fardlu „ain. Juga sabdanya pula: ―Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai‟at, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.‖ (HR Muslim dan Ahmad), adalah fardlu kifayah. Tetapi semua itu adalah fardlu, yang telah ditetapkan oleh ―khitthob syar‘i‖ dan berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk melakukan suatu perbuatan. Karenanya, usaha untuk memisahkan fardlu „ain dengan fardlu kifayah dari sisi samasama suatu kewajiban adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT dan menyimpang dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan amalanamalan fardlu. Begitu pula dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara keduanya (fardlu ‗ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu yang fardlu tidak akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana kewajiban tersebut sebagaimana yang dituntut syara‘. Sama saja, apakah tuntutan itu tertuju pada setiap muslim (‗ain) seperti sholat lima waktu ataupun yang tertuju pada seluruh kaum muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali Daulah Khilafah. Semuanya tidak akan gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna, artinya hingga sholat itu dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad dan Daulah Khilafah. Dengan demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap muslim selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya. Bahkan setiap muslim tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum berhasil). Adanya suatu kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin ‗sedang‘ melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut. Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur, jika sebagian kaum muslimin ‗telah‘ melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan yang dituntut tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi kesempatan untuk menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu kifayah, dari sini ia sama persis dengan fardlu ‗ain. Oleh karena itu, jihad terhadap Israel di Palestina dan Syiria adalah fardlu/wajib untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin di negeri Islam yang lain untuk mengusir kaum kafir yang menjajahnya sebagaimana kaum Muslim Indonesia mengusir penjajah Belanda pada masa kolonialis dahulu. Ketika penduduk Palestina bangkit melawan Israel, maka tidaklah berarti bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya, tetapi tetap menimpa seluruh kaum Muslimin sampai Israel benar-benar keluar dari Palestina dan sempurna kemenangan atas kaum muslimin. Demikianlah, setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin, dan tidak gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah terlaksana dengan sempurna. Sumber-sumber Syari‟ah Islam 47
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Pembahasan sumber-sumber syari‘ah Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syari‘ah Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber Syari‘ah Islam harus berdasarkan ketetapan yang pasti (qath‟i) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Allah SWT berfirman: ―(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.‖ [QS. Al-Isra: 36]
―(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.‖ (QS. Yunus: 36) Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karenanya menetapkan sumber syari‘ah Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka. Dengan demikian maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar‘i adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar‘i). AL QUR'AN Al Qur'an adalah kallam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya. Al Qur'an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir), artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasi selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al Qur'an. Orangorang yang memusuhi Al Qur'an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al Qur'an tetap menjadi mu‘jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan Risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia. a. Kehujjahan Al Qur'an Banyak argumentasi yang menunjukan bahwa Al Qur'an itu datang dari Allah dan merupakan mukjizat yang mampu menundukan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al Qur'an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi‘ir orang arab atau siapapun. Allah SWT berfirman:
―Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al Qur'an ini, pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” [QS. Al-Isra: 88]
48
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an, dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.‖ [QS. Al-Baqarah: 23] Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang tokoh Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata : ―Sesungguhnya di dalam Al Qur'an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahan, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al Qur'an”. Selain dari bahasanya, isi Al Qur'an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar Ruum) dsb. Selain itu, isi Al Qur'an juga menunjukan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dsb, yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukan bahwa Al Qur'an memang bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al Qur'an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga pembuktian kesahihan Al Qur'an pada materi ―Proses Keimanan‖) b. Al Muhkamat dan Al Mutasyabihat Dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:
―Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu, diantara (isinya) ada ayat-ayat Muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat.” [QS. Ali Imron: 7] Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata dan tidak perlu ditafsirkan lain lagi. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti terselubung (tersembunyi), yang dapat ditafsirkan karena mengandung beberapa pengertian. Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang Muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat Muhkamat adalah haramnya riba‘ dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya. Sedangkan ayat-ayat yang Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu‘amalah, seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru‟ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri). c. Nasakh dalam Al Qur'an Nasakh termasuk salah satu hal yang dikhususkan Allah kepada umat Islam. Jumhur ulama sepakat adanya nasakh. Di dalam Al Qur'an, lafadz nasakh memiliki beberapa arti lughowi (arti bahasa), yaitu: (a) Menghapuskan (izalah), seperti pada QS. Al Hajj: 52 (b) Mengganti (tabdil), seperti tercantum dalam QS. An Nahl: 101 Makna nasakh menurut syara‘ adalah penghapusan suatu hukum dan diganti dengan penetapan hukum baru. Nasakh tidak terjadi kecuali menyangkut masalah perintah dan larangan. Contoh yang masyhur tentang nasakh adalah perubahan arah kiblat sholat 49
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
seperti yang tercantum dalam QS. Al Baqarah 142-145, atau penggantian puasa Asy Syura dengan Ramadhan (QS. Al Baqarah 183-185), dll. Al Qur'an dapat dinasakh dengan ayat Al Qur'an lainnya, tetapi tidak dapat dinasakh dengan sunnah. Adapaun hadits mutawatir dapat menasakh hadits lain (baik yang mutawatir maupun yang ahad), sedangkan hadits ahad hanya dapat menasakh hadist ahad saja. Mengenai Ijma‘ dan Qiyas tidak ada nasakh, karena tidak ada nasakh setelah wafatnya Rasulullah SAW. d. Tafsir Al Qur'an Tafsir adalah menerangkan maksud lafadz. Misalnya firman Allah SWT “laa raiba fiihi” (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al Qur'an merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain (tafsir ayat bil ayat), atau oleh hadits Rasulullah SAW tentang suatu ayat (tafsir bis sunnah), atau penjelasan para Shahabat dan Ahli Ilmu terhadap suatu ayat. Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al Qur'an kecuali melalui bahasa arab. Dengan demikian Al Qur'an tidak bisa tidak, hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al Qur'an itu sendiri, yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT, maka tidak ada alternatif lain bagi kaum muslimin melainkan berusaha semaksimal mungkin memahami Al Qur'an, menghayati dan mengkaji isinya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al Qur'an itu sendiri. Dalam hal ini Allah berfirman :
―(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab.‖ [QS. Ar Ra‟du: 37] Hendaknya disadari bahwa umat harus senantiasa melakukan kajian terhadap isi kandungan Al Qur'an. Hal ini pasti menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Disamping menurut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al Qur'an. Apabila persyaratan ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan pemahaman keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan inipun tidak mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha maksimal mendekati kebenaran yang dimaksud Al Qur'an. Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman terhadap Al Qur'an hanya merupakan ‗jembatan‘ untuk mengakrabkan diri dengan Al Qur'an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al Qur'an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian, maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al Qur'an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan. AS SUNNAH Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/ diamnya) Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syari‘at Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al Qur'an, karena sebenarnya sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
―(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (padanya).‖ [QS. An Najm: 3-4] Makna ayat di atas bahwasanya apa yang disampaikan Rasulullah SAW (Al Qur'an dan As Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman-Nya:
50
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―(Katakanlah Muhammad)….aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.‖ [QS. Al An‟am: 50] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al Qur'an telah menegaskan bahwa selain dari Al Qur'an, Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu „Al Hikmah‟ yang pengertiannya sama dengan As Sunnah, baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As sunnah dapat ditemukan dalam QS Ali Imran: 164, QS Al Jumu‘ah: 2, dan QS Al-Ahzab: 34. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As Sunnah sebagai sumber hukum/Syari‘ah Islam bersifat pasti (qoth‘i) kebenarannya; sebagaimana Al Qur'an itu sendiri. a. Fungsi Sunnah terhadap Al Qur'an Adapun fungsi As Sunnah terhadap Al Qur'an, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menguraikan Keumuman (mujmal) Al Qur'an. Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya), yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Al Qur'an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan cara-cara pelaksanaan sholat, jumlah raka‘at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan sholat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, seorang ulama besar Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: ―Sesungguhnya di dalam Al Qur'an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Adapun Ijma‟ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.” 2. Pengkhususan Keumuman Al Qur'an Umum (‗Aam) ialah lafadz yang mencakup segala makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‗Al Muslimun‟ (orang-orang Islam), ‗ar rijaalu‟ (orang-orang laki-laki), dll. Dalam Al Qur'an terdapat banyak lafadz bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya. Misalnya firman Allah SWT:
―Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.‖ (QS An Nisaa: 11) Menurut ayat tersebut setiap anak (secara umum) berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah SAW: ―Kami, seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.‖ (HR Imam Bukhari) ―Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.‖ (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) Hadits di atas mengkhususkan bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya. 3. Taqyid (Pen-syaratan) terhadap Ayat Al Qur'an yang Mutlak Mutlak ialah lafadz yang menunjukan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mu‘min, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya: 51
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaknya kamu potong tangan (keduanya) .‖ [QS. Al Maidah: 38] Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas keatas. Sabda Rasulullah SAW: ―Potonglah dalam pencurian sehingga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.‖ (HR Ahmad) Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (QS Al Maidah: 38), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. 4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al Qur'an, disamping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al Qur'an. Al Qur'an menegaskan tentang pengharaman memperistri dua orang saudara sekaligus. Allah SWT berfirman:
―(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.‖ [QS. An-Nisaa‟: 23] Di dalam Al Qur'an tidak disebutkan tentang haramnya seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi: ―Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan „ammah (saudara bapaknya), atau dengan khala (saudara ibu) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.‖ (HR An Nasa‟i dan Ibnu Majah) 5. Sunnah menetapkan Hukum-Hukum Baru yang Tidak Terdapat dalam Al Qur'an Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru, yang tidak ditemukan dalam Al Qur'an dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al Qur'an, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam sunnah. Misalnya, diharamkannya ‗keledai jinak‘ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki benda kepentingan umum, seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat penggembalaan, dll. b. Kehujjahan As Sunnah Tidak berbeda dengan Al Qur‘an, As Sunnah juga berasal dari wahyu Allah yang diturunkan kepada manusia melalui Rasulullah. Hanya saja ada perbedaan antara Al Qur‘an dan As Sunnah, yaitu dari segi lafadznya. Dalam hal ini lafadz (redaksi bahasa) As Sunnah berasal dari Rasulullah SAW sedangkan Al Qur‘an lafadznya lagsung dari Allah SWT. Dari segi riwayat dan kekuatan dalil, As Sunnah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu : 1. Hadits Mutawatir Hadits Mutawatir adalah suatu hadits yang disampaikan oleh para sahabat, tabi,in dan tabiit tabi‟in dengan jumlah tertentu dalam setiap thabaqat-nya (generasi). Dalam setiap thabaqat tersebut, periwayat yang membawanya haruslah mempunyai syarat-syarat yang 52
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
tidak memungkinkan mereka untuk berdusta1. Sifat dari Hadits Mutawatir ini adalah qath‟í (pasti) yang artinya tidak ada keraguan di dalamnya. Hadits Mutawatir dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma‟nawi. Contoh hadits Mutawatir Lafdzi adalah: “Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR At Turmudzi, Ahmad, Bukhari, Muslim dan Nasa‟í) Contoh Mutawatir Ma‘nawi adalah: “Konon Rasulullah SAW mengangkat tangan, sejajar dengan kedua pundak beliau.” (HR Imam Ahmad, Al Hakim dan Abu Daud) 2. Hadits Ahad Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir pada tiga thabaqat. Hadits ahad ini dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan jumlah perawi dan kualitas perawi. Dari segi jumlah perawi, hadits ahad dibagi menjadi gharib (satu orang), aziz (dua orang), dan masyhur (tiga orang atau lebih). Sedangkan dari segi kualitas perawi, hadits ahad dibagi menjadi shahih, hasan dan dhaif. Demikianlah antara lain ketentuan tambahan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW melalui sunnahnya. Maka sikap seorang muslim terhadap hal ini harus sesuai dengan firman Allah SWT:
―Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan : Kami mendengar dan kami mematuhinya. mereka itulah orang-orang yang berbahagia.‖ [QS. An Nur: 51] Penggunaan nash As Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath‟i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i‘tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/syari‘ah masih dapat digunakan nash As Sunnah yang mencapai derajat dzonni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah syari‘ah, tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i‘tiqadiyah). IJMA‟ SHAHABAT Lafadz ijma‟ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten terhadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, ijma‘ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara‟. Dalam hal ini terdapat perbedaan tentang „siapa‟ yang dapat berijma‘ dan hasil ijma‘nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar‘i. Ada yang mengatakan ijma‘ ulama pada setiap masa, atau ijma‘ ahlul bait, atau ijma‘ ahlu Madinah, atau ijma‘ Ahlul Halli wal Aqdi, ijma‘ shahabat, atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar‘i, dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath‘i. Diantara berbagai pendapat tentang ‗siapa‘ yang ijma‘-nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah ‖ijma‟ para shahabat‖ Rasulullah SAW, dengan beberapa alasan sebagai berikut: (1) Dari segi mungkin tidaknya ‗seluruh orang yang berijma‘ berkumpul, saling mengetahui ijma‘ dan dapat mengoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin
53
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka (sebagai contoh, ijma‘ ulama). Maka untuk terwujudnya ijma‘ ulama, haruslah diperjelas ‗siapa saja ulama‘ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‗membuat hukum pesanan‘ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma‘ mereka tersebut? Benarkah semua ‗ulama‘ tadi mengetahui dan menyetujui ijma‘ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma‘nya tadi sampai ia meninggal? dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh ijma‘ shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma‘ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma‘ setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‗jumhur ulama‟, artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma‘. (2) Banyaknya pujian kepada para shahabat secara jamaah, baik tercantum dalam Al Qur'an maupun hadits (keduanya dalil yang qath‘i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS Al Fath: 29, QS At Taubah: 100, QS Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah SAW: ―Sesungguhnya aku telah memilih para shahabatku atas segenap makhluk, selain para nabi.‖ (HR At Thabari, Al Baihaqi, dll) ―Para Shahabatku itu ibarat bintang; pada siapapun (diantara mereka) kalian turuti, maka akan mendapat petunjuk.‖ (HR Ibnu Abdil Barr) Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jamaah, bukan secara pribadipribadi), sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath‘i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma‘ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara‘. (3) Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan, dan menyampaikan Al Qur'an beserta sunnah pada generasi berikutnya. Disamping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al Qur'an diturunkan. Merekalah yang mengetahui sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah SAW masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka? Ijma‘ siapa lagi selain ijma‘ mereka yang lebih baik dan lebih kuat? (4) Memang tidak mustahil para shahabatpun melakukan kesalahan, sebab mereka tetap manusia yang tidak ma‟shum. Akan tetapi secara syar‟i mereka mustahil bersepakat atau berijma‘ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma‘ mereka tentang suatu persoalan, maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al Qur'an dan Hadist, sebab merekalah orang yang menyampaikan Al Qur'an dan menuturkan Hadits Rasulullah SAW kepada generasi berikutnya. Bahkan, sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma‘ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar‘i. Beberapa Contoh Ijma‟ Shahabat Salah satu ijma‘ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al Qur'an menjadi suatu mushaf. Al Qur'an dalam bentuk sekarang merupakan hasil kesepakatan (ijma‘) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
―Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.‖ [QS. Al Hijr: 9]
54
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
„Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [QS. Fushilat: 42] Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al Qur'an yang ada kini – yang merupakan ijma‟ para shahabat- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangantangan para shahabatlah Allah menjaga kebenaran Al Qur'an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma‘ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al Qur'an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar‘i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma‘ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma‘ shahabat merupakan dalil syar‘i. Contoh lain yang masyhur tentang ijma‘ shahabat adalah keharusan adanya seorang Khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah wafat. QIYAS Menurut para ulama‘ ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya, dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/ hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam sebab („illat) hukumnya. Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar‘i karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar‘i yang memiliki kesamaan ‗illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah ‗illatnya, maka apabila ada kesamaan ‗illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah baru tersebut menjadi sama. Maka bila ‗illat yang sama terkandung dalam Al Qur'an, berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al Qur'an. Demikian pula apabila ‗illat yang sama terkandung dalam sunnah dan ijma‘ shahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan sholat jum‘at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram berdasarkan ayat:
―Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari jum‟ah, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.‖ [QS. Al-Jumu‟ah: 9] ‗Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh karena itu, sewa-menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan ‗illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli diatas, yaitu haram. Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan disini hanya bersifat global, maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang lebih dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam. Pelaksanaan Syari‟ah Islam Sistem kehidupan masyarakat dunia hingga kini masih didominasi dua sistem, yaitu sistem Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua sistem tersebut dibangun atas dasar materi belaka (materialisme; tanpa nilai ruhiyah). Pada sisi inilah keduanya bertemu, meski dalam segi ide (fikrah) dan metode pelaksanaan (thoriqah) peraturannya kadang berbeda. Sebagai contoh, sistem kapitalisme memandang individu bebas bertindak dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih kebahagiaan duniawi, tidak mau menerima pengawasan orang lain serta menolak untuk dibatasi dan dibelenggu kebebasannya. Sedangkan sistem sosialisme memandang individu hanyalah bagian dari alat/sarana produksi yang tidak memiliki kebebasan ataupun pilihan. Masyarakat pada sistem kapitalisme selalu berubah peraturannya, terpecah-pecah hubungannya, tidak diawasi dan dikoreksi oleh siapapun, karena dalam pandangan sistem ini, masyarakat terbentuk dari sejumlah individu yang ingin bebas sehingga mereka tidak memiliki 55
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
kemampuan untuk mengawasi dan mengoreksi masyarakat/individu lainnya. Adapun pada sistem sosialisme, masyarakat bertingkat-tingkat (kelas) yang saling bertentangan, saling mewaspadai, antar satu dengan lainnya, karena peran negara dalam sistem ini sangat mendominasi segala aspek kehidupan. Dalam sistem kapitalisme negara merupakan sarana yang bersifat temporal untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan individu. Sedangkan pada sosialisme, negara ibarat tangan besi yang memaksa dan menghancurkan sisa-sisa sistem yang lama untuk mengarahkan masyarakat secara produktif secara bersama-sama, dipimpin oleh negara. Bagaimana dengan Sistem Islam ? Sistem Islam berbeda dengan kedua sistem tersebut, dan jelas takkan pernah bertemu apalagi kompromi, baik dalam fikrah maupun thoriqahnya. Sistem Islam dengan ketiga asasnya, merupakan sistem tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem-sistem lain yang ada, baik yang lama maupun yang baru. Adapun ketiga azas pelaksanaan sistem Islam adalah: 1. Asas Pertama Azas pertama pembangun sistem Islam adalah rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat. Seorang muslim memiliki pandangan mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia dan kehidupan serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan indera seorang mukmin terhadap taqwa, dan menjadikannya aqidahnya sebagai pengontrol tingkah lakunya sehingga tidak akan pernah bertentangan dengan aqidahnya. Hal ini terjadi karena mafahim (ide-ide yang nyata atau bukan khayali) tentang kehidupan dan tingkah laku seorang mukmin terpancar dari aqidahnya. Seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Dia juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dihidupkan kembali oleh-Nya, kemudian akan dihisab terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Ia meyakini semua ini secara pasti tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Dan keyakinan ini membekas dalam setiap hidupnya sehari-hari di masyarakat. Contoh kebenaran pernyataan ini banyak sekali dan dapat kita temukan dalam rentetan sejarah Islam yang agung, malah masih bisa ditemukan saat ini walaupun kaum muslimin dalam keadaan terpecah belah dan tidak berjalannya sistem Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW banyak teladan yang amat menakjubkan tentang ketaqwaan para masyarakat dalam melaksanakan sistem Islam. Pada masa itu cukuplah Rasulullah SAW memberi isyarat (berperang), seluruh kaum muslimin yang telah beriman langsung berangkat ke medan perang untuk meraih kemenangan atau syahid, tanpa ada keraguan dan keterlambatan sedikitpun. Kisah Ma‟iz Al Islami dan Al Ghomidiyah, radliyallahu ‗anhuma merupakan teladan yang tepat sekali untuk menggambarkan betapa tingginya rasa ketaqwaan pada diri para shahabat. Ma‟iz adalah seorang mukmin sejati, demikian pula Al Ghomidiyah. Suatu ketika Al Ghomidiyah ini datang kehadapan baginda Nabi SAW dan mengaku telah berbuat zina, seraya meminta supaya baginda Nabi SAW menjatuhkan hukuman/had terhadapnya sesegera mungkin. Nabi SAW menangguhkannya hingga ia melahirkan (anak yang dikandungnya), dan kemudian ditangguhkannya lagi sampai selesai melaksanakan kewajiban menyusui anaknya, namun demikian selama itu, ia masih terus meminta agar hukum syara‘ diberlakukan pada dirinya yaitu hukum rajam. Begitu pula halnya dengan Ma‟iz ra, ia telah melakukan seperti yang diperbuat wanita mukminah tadi. Rasulullah telah memberinya kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti, namun demikian ia tetap meminta kepada baginda Nabi agar sudi mensucikan dirinya dan menegakan hukum Allah SWT padanya (atas perbuatannya). Demikian gambaran ketinggian aqidah dan akhlak individu masyarakat Islam, yang pada akhirnya menjadi azas pertama penopang kehidupan masyarakat yang Islami. Dalam kasus mulia tersebut, Nabi SAW memberi komentar terhadap Al Ghomidiyah: ―Dia (wanita itu) telah bertaubat dengan sesungguhnya, yang bila ditimbang (taubatnya itu) dengan seluruh penduduk bumi, pasti dikalahkannya.‖ (HR Abu Dawud, No. 4446; Tirmidzi, No. 1459) Kemudian tentang Ma‟iz beliau berkomentar: ―Dia sekarang telah berenang di sungai surga.‖ (HR Ibnu Hibban, No. 4384, 4385)
56
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Pada masa sekarangpun, masih banyak teladan yang menunjukan tingginya nilai taqwa individu dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Mayoritas umat Islam masih tetap tegar menjauhi minum khamr, perbuatan-perbuatan keji, riba dan harta yang diperoleh dengan cara yang haram, sekalipun penguasa beserta sistem kufur yang berlaku dewasa ini memberinya peluang dan kemudahan untuk itu. Semua ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ketaqwaan individu menjadi salah satu asas pokok kehidupan masyarakat Islam. 2. Asas Kedua Asas kedua dalam penegakan sistem Islam adalah adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa, pada masyarakat. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang khas dan solid (persatuannya). Masyarakat seperti ini jelas berbeda dengan masyarakat kapitalisme yang terpecah-pecah oleh rasa individualistis dan selalu berubah; berbeda dengan masyarakat sosialisme yang saling bertentangan dan mengalami fase kehidupan yang keras dan penguasa yang absolut untuk mencapai masyarakat tanpa kelas yang diidamkan. Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri individu. Hal ini dijelaskan dalam firmanNya:
―Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al Maidah: 8] Lebih dari itu masyarakat Islam memiliki kepekaan indera yang amat tajam, terhadap berbagai gejolak masyarakat; apalagi terhadap adanya kemungkaran yang mengancam keutuhan masyarakat. Dari sisi inilah maka amar ma‟ruf nahi munkar menjadi bagian yang paling esensial sekaligus yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lainnya. Allah SWT berfirman:
―(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru berbuat yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.‖ [QS. Ali Imran: 104]
―Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk ummat manusia, menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.‖ [QS. Ali Imran: 110] Oleh karena itu ketaqwaan individu itu dapat dipengaruhi dan dibina oleh pandangan masyarakat. Dalam naungan masyarakat inilah, individu yang berbuat maksiat tidak berani terbuka, bahkan tidak berani melaksanakannya. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk 57
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
melakukannya ia akan berusaha menyembunyikannya. Dengan sadar ia akan kembali kepada kebenaran dan bertaubat atas kekhilafannya. Dimasa Nabi SAW kaum munafik sekalipun, tidak berani menampakan apa yang mereka sembunyikan. Pada zaman kekhilafahan Abbasiyah ada orang-orang fasik, dalam jumlah sedikit, mendatangi rumah-rumah kaum Nashrani (kafir dzimmi) secara diam-diam hanya untuk meminum seteguk khamr. Hal ini terjadi bukan karena takut terhadap penguasa (sanksi) saja, tetapi mereka takut menghadapi perlawanan masyarakat. Tekanan keras dari masyarakat inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi. Karenanya, pengawasan masyarakat dalam bentuk amar ma‘ruf nahi munkar merupakan asas kedua yang menopang kehidupan masyarakat Islam. Dengan asas ini makin kokohlah bangunan masyarakat Islam sehingga mampu membawa kepada kemuliaan umat.
3. Asas Ketiga Asas ketiga pembangun masyarakat Islam adalah keberadaan negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syara‘. Kedudukan negara dalam Islam, adalah untuk selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Keberadaan terpenting sebuah negara/pemerintahan dalam masyarakat Islam adalah untuk menetapkan hukum-hukum syara‟ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Maka dalam negara Islam, kedaulatan (penentu nilai benar-salah) itu adalah milik syara‘ saja, sedangkan kekuasaan (penentu siapa yang akan melaksanakan nilai baik benar) adalah milik umat. Artinya umat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melaksanakan pemerintahan, dengan tetap berdasar kepada hukum syara‘. Sedangkan kekuasaan melaksanakan hukum diserahkan kepada manusia untuk memilih pemimpinnya dalam melaksanakan hukum tersebut. Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi karena umat merupakan penyangga negara dan negara berwenang penuh untuk menerapkan hukum-hukum syara‘ secara adil dan menyeluruh. Suatu saat diajukan kepada Nabi SAW seorang pencuri wanita untuk diadili dan dijatuhkan hukuman/had potong tangan terhadapnya. Beliau tidak menerima permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuk wanita tersebut, bahkan menegur Usamah seraya berkata: ―Apakah kamu mengajukan keringanan/grasi terhadap salah satu hukuman dari Allah SWT?, demi Allah kalau saja Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.‖ (HR Bukhari, Muslim dari „Aisyah. ―Jaami‘ul Ushul‖, Ibnu Atsir. No. 1879) Abu Bakar As Shidiq ra, khalifah pertama, berkata dalam pidatonya selepas dibai‘at kaum muslimin: ―Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat menurut pandanganku sampai aku berikan haknya kepadanya. Orang yang kuat menurut kalian adalah lemah menurut pandanganku sampai aku ambil hak tersebut darinya.‖ (HR Az Zuhri dari Anas. ―Al Bidayah Wan Nihayah‖ Ibnu Katsir VI :340) Oleh karena itu ketika muncul kemurtadan, sesaat setelah Rasul wafat, dan kejahatan merajalela serta menunjukan tanda-tanda membahayakan stabilitas negara khilafah yang masih muda itu, segera Abu Bakar mengambil tindakan menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para murtadin itu kembali kepada Islam. Kemudian Allah SWT menghinakan para pemimpin kafir yang mengibarkan bendera kemurtadan lalu Islam kembali kuat dan mulia. Dengan demikian, negara merupakan asas tegak dan kokohnya masyarakat Islam. Negara/pemerintahan mengawasi dan mengontrol masyarakat, individu dan pelaksanaan seluruh hukum Islam. Kepadanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syari‘at Islam. Kepala negara (khalifah) beserta aparatnya yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
58
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
―Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap peliharaannya.‖ (HR Imam Bukhari, Muslim, dari Ibnu Umar. “Al Fathul Kabir”, Yusuf An Nabhani jilid II : 330331) Karena itu negara menegakan sanksi-sanksi hukum dan menyebarkan keadilan serta mengembalikan hak-hak kepada yang berhak. Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam di seluruh pelosok dunia. Negara juga merupakan pemimpin bagi umat dalam mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah masyarakat. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian kerjasama ekonomi maupun yang lainnya untuk kemashlahatan umat. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat beserta individu dan meminta pertanggungjawaban mereka tanpa memandang siapapun juga. Dalam sistem Islam, negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syari‘at Islam, tetapi lunak terhadap umat dan individu yang ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi tingkah laku para penguasa. Oleh karena itu dalam sistem Islam pengontrolan dan pengawasan pelaksanaan hukum dilakukan secara bersama-sama. Individu merupakan penyangga dan pengoreksi tingkah laku masyarakat dan penguasa. Sedang masyarakat adalah pilar yang membentuk kepribadian individu secara islami yang khas, serta mendukung negara dan meminta pertanggungjawabannya, juga ikut serta dalam menyangga masyarakat dan individu, disamping memenuhi dan melayani seluruh kebutuhan masyarakat, berdasarkan peraturan Islam, serta meminta pertanggungjawaban mereka terhadap setiap kesalahan dan penyelewengan. Inilah gambaran umat Islam yang disimbolkan dengan negara, masyarakat dan individuindividunya. Inilah umat yang kokoh bangunannya, sempurna dan konsisten peraturannya, sehingga tidak terdapat sedikitpun celah-celah yang memungkinkan disusupi oleh pemikiran/ideologi asing. Sekarang ini, keadaan umat Islam kacau balau. Mereka telah digoncangkan sehingga ambruk bangunannya dan ditundukan oleh aturan-aturan kufur. Semuanya itu terjadi setelah umat Islam menjauhkan diri dari Dienul Islam dan mencampakan peraturan-peraturan Islam. Saat ini, muncul pertanyaan, mungkinkah seorang individu yang hidup dalam sistem materialis dapat mengecap kesempurnaan taqwa? Apa sebenarnya yang bisa mendorong untuk memiliki sifat taqwa, sedangkan ia telah terputus hubungannya dengan Allah SWT dan telah terikat dengan materi semata? Juga ia tidak percaya bahwa Allah akan menghisabnya di hari kiamat kelak? Jawaban pertanyaan ini sudah jelas, bahwa tidak ada tempat bagi taqwa di hati individu, negara maupun masyarakat dalam sistem kapitalis maupun sosialis. Sesungguhnya, Islam yang berlandaskan wahyu Allah SWT, disampaikan melalui RasulNya, merupakan satu-satunya sistem yang memiliki ciri khas tentang cara pelaksanaan aturannya. Hal ini tidaklah mengherankan karena Islam adalah sistem yang bersumber dari Al Qur'an, kalam Allah SWT, yang Maha Sempurna. Allah SWT berfirman:
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan oleh Rabb Yang Maha Terpuji.‖ [QS. Fushilat: 42]
59
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE Mengenal Mabda‟ Islam Jika kita amati perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia, maka hal itu tidak terlepas dari perbedaan tingkat pemikiran manusia saat itu. Konflik antarmanusia, antarsuku, antarbangsa atau antaragama adalah hal yang wajar terjadi dilihat dari keragaman pemikiran dalam masyarakat. Namun, dari berbagai perubahan yang terjadi, perbedaan ideologilah yang nampak banyak mempengaruhi perubahan tersebut. Terjadinya perang dingin antara blok barat (kapitalis) dan blok timur (sosialis/komunis) yang melibatkan sejumlah negara selama bertahun-tahun menunjukkan bukti tersebut. Dengan berakhirnya perang dingin, kini ideologi kapitalis yang dimotori Amerika Serikat berusaha menjadikan ideologinya sebagai landasan berfikir bagi semua negara di dunia. Hal ini dilatarbelakangi oleh ‗keyakinan‘ bahwa ideologi kapitalis bersifat universal seperti yang digambarkan oleh Samuel P Huntington dalam tesisnya. Amerika Serikat lewat berbagai media komunikasi yang dikuasainya berusaha mempropagandakan ide-ide kapitalis ke seluruh dunia seperti pluralisme, HAM, demokrasi, perdagangan bebas dan ide-ide kufur lainnya. Wajarlah bila hampir semua konflik atau perubahan tidak luput dari perhatian dan keikutsertaan Amerika Serikat. Bila negara-negara tersebut tidak memenuhi keinginannya, maka AS pun tak segan-segan memberikan sanksi, baik secara ekonomi ataupun secara militer. Kesombongan AS dengan kapitalisnya, bukan berarti tanpa perlawanan. Di beberapa negara mayoritas Islam seperti Iran, Irak, Malaysia, Libya dan juga di Indonesia mulai bangkit orang-orang yang menentang kesombongan AS. Demikian juga di negara-negara sisa komunis seperti Kuba, RRC dan Korea Utara. Kampanye anti Amerika juga dilancarkan oleh sejumlah LSM di berbagai negara.. Dari sini, tampak jelas bahwa persaingan ideologi telah melahirkan suatu konflik yang berkepanjangan, apalagi setiap pengemban ideologi akan berusaha untuk mempertahankan dan menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru dunia. Selain kedua ideologi tersebut, masih ada sebuah ideologi lagi yang pernah menguasai dunia, yaitu ideologi Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam pernah berjaya selama belasan abad sejak masa Rasulullah SAW hingga keruntuhan Daulah Khilafah Turki Utsmani. Sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani hingga awal abad kedua puluh satu ini, ideologi Islam tidak pernah lagi diterapkan secara kaffah. Bahkan umat Islam sendiri banyak yang tidak mengetahui bahwa agamanya adalah sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan segala permasalahan hidup, bahkan mengungguli kedua ideologi yang lain. Definisi Mabda‟ (Ideologi) Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamiy, menyatakan bahwa idelogi (mabda‘) merupakan ‗aqidah „aqliyyah yanbatsiqu „anha an nizham. Artinya; ‗aqidah ‗aqliyyah yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Menurut definisi ini, nampak bahwa sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat, yaitu memiliki ‗aqidah „aqliyyah sebagai fikroh (ide) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah (metode penerapan). Bila tidak memiliki kedua hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan sebagai ideologi. Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab Nizham Al Islam menjelaskan bahwa aqidah merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan dunia, kehidupan sebelum dunia, setelah dunia dan bagaimana hubungan antara dunia dengan kehidupan sesudah dunia. Sedangkan sistem aturan adalah mencakup berbagai pemecahan terhadap berbagai problema kehidupan (baik pribadi, keluarga, maupun negara; menyakut persoalan ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Selain itu juga harus mencakup metode untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut, metode untuk memelihara ‗aqidah, dan metode untuk menyebarkan aqidah tersebut. Dengan demikian, ‗aqidah „aqliyyah dan bagaimana cara pemecahan problem manusia disebut dengan ide/fikrah. Sedangkan tentang bagaimana penerapan berbagai pemecahan tersebut, bagaimana pemeliharaan ide/fikroh, dan cara untuk menyebarkan ide/fikroh tersebut disebut thariqah (metode operasional untuk menerapkan aqidah tersebut). Dengan demikian suatu ideologi bukan hanya bersifat ide-ide teoritis tanpa adanya realitas pelaksanaannya (seperti filsafat-peny) namun mesti ada metode (cara operasional) yang jelas tentang bagaimana penerapannya dalam masyarakat. Dari penjelasan di atas nampak bahwa Islam mempunyai keunikan sendiri dibanding dengan agama-agama lain di dunia. Dari segi wilayah ajarannya, Islam tidak hanya mengatur hal yang bersifat aqidah seperti keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, kitab, hari kiamat, 60
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
serta qadla dan qadar yang baik dan buruk semata dari Allah SWT. Namun Islam juga mengatur masalah sistem atau dalam istilah lain disebut nizham atau syari‟ah. Sistem (nizham atau syari‟ah) ini berbicara bagaimana Islam mengatur seluruh masalah manusia. Dengan demikian akan nampak kesempurnaan Islam sebagai sebuah agama dan juga ideologi. Kesempurnaan Islam tersebut secara tegas disebutkan dalam Al Qur‘an Al Karim sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini utk menerangkan semua perkara.” [QS. An Nahl: 89] Juga firman-Nya:
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, serta Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.” [QS Al Maidah: 3] Dari nash tersebut, jelas bahwa Islam telah sempurna sehingga pastilah tidak ada satu hal pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah yang sangat sederhana seperti memindahkan duri dari tengah jalan sampai masalah yang sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam mengaturnya. Namun demikian, penjelasan yang menerangkan segala urusan tersebut secara umumnya dinyatakan dalam bentuk amarat (tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang perlu penggalian hukum untuk menguraikannya. Orang yang bertugas untuk menggali hukum-hukum tersebut dan menyampaikannya kepada umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil ijtihad dari mujtahid itu benar maka syarat-syarat ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu Al Qur‘an, dan tsaqofah Islam yang lainnya mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Adanya mujtahid untuk melakukan ijtihad merupakan fardlu kifayah. Sehingga, tidak boleh dalam suatu kurun waktu tidak ada orang yang melakukan ijtihad untuk disampaikan kepada umat. Dari uraian di atas nampak bahwa syari‘at Islam adalah syari‘at yang lengkap yang mengatur seluruh urusan manusia seperti ibadah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan , pendidikan dan yang lainnya. Namun semua hukum-hukum Islam tersebut hanya akan sempurna dilaksanakan umat Islam tatkala segala perangkat yang melaksanakannya ada. Dalam hal ini adanya Daulah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila sekarang tidak ada sistem tersebut maka kewajiban kaum musliminlah untuk mengadakan sistem tersebut sehingga segala hukum-hukum Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab bagi orang yang beriman, Allah SWT telah memerintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan tidak boleh melaksanakannya sebagian-sebagian. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)….” (QS Al Baqarah: 208 ) Adanya dakwaan Islam bukan ideologi dan pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat adalah karena akibat pemahaman umat yang keliru akan Islam. Atau juga akibat kebodohan umat Islam, sehingga mereka kurang bisa melihat realitas sejarah. Mereka akhirnya memandang Islam sama dengan agama-agama lain di dunia. Padahal agama-agama tersebut tidak memiliki konsep politik yang mengatur masalah kehidupan. Maka tatkala umat keliru dalam memahami Islam tersebut maka umat pun akan keliru dalam menerapkan Islam dalam masyarakat. Demikian juga ketika ada masalah yang muncul dalam masyarakat dan karena tidak ada yang sanggup berijtihad sehingga masalah tersebut tidak bisa dipecahkan, 61
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
maka umat pun memandang Islam tidak lengkap. Akhirnya mereka beralih kepada ideologi selain Islam untuk pemecahan masalah tersebut. Mereka pun akhirnya mencampur adukkan Islam dengan ideologi lain seperti demokrasi Islam dan sosialisme Islam. Aqidah Islam sesungguhnya telah memerintahkan setiap individu untuk menyembah hanya kepada Allah semata (QS Adz Dzariyat: 56). Penyembahan tersebut harus dilakukan secara keseluruhan dan dilaksanakan sebagaimana yang telah diperintahkan dan dicontohkan Rasulullah SAW. Penyembahan itu pula tidak hanya ditunjukkan pada satu bentuk saja semisal akhlak (tingkah laku), namun juga ditujukan pada semua aspek kehidupan, semua urusan masyarakat dan pemerintahan. Secara umum sistem Islam mengatur setidaknya tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan individu dan Al Khaliq, yakni Allah SWT (hablum minallah) seperti ibadah yang meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Kedua, mengatur hubungan satu individu dengan dirinya sendiri (hablum minannafsi) seperti hukum berpakaian, makan, minum, dan termasuk diantaranya akhlak. Ketiga, mengatur hubungan individu dengan individu yang lainnya dalam masyarakat (hablum minannasi) seperti urusan niaga, pendidikan, sosial, pemerintahan , politik dan hukum-hukum yang lainnya. Bila semua hubungan itu diatur merujuk pada sistem Islam, artinya orang Islam telah melaksanakan kehidupan berdasarkan aqidah Islam yang benar (ideologi Islam). Selain itu akan nampaklah bahwa memang Islam lebih unggul dibanding agama atau ideologi yang lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan bagaimana tingginya peradaban Islam dibanding peradaban yang lainnya saat itu. Umat Islam kala itu pun pantas disebut umat terbaik sebagaimana tercantum dalam Al Qur‘an surat Ali Imran ayat 110. Secara umum kita mengenal tiga ideologi besar dunia. Mereka adalah Kapitalis/Liberalisme, Sosialisme dan Islam. Kapitalisme dan Sosialisme sampai saat ini masih diemban oleh beberapa Negara dan beberapa LSM. Sedangkan untuk Islam sampai saat ini masih diemban oleh individu/partai dan belum diemban oleh Negara sejak runtuhnya Daulah Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924. Namun demikian Insya Allah Daulah Khilafah Islamiyah yang akan kembali melanjutkan Islam akan segera berdiri. Sejak kelahirannya, setiap ideologi mempunyai kekhasannya masing-masing, baik dari ide ataupun dari metode operasionalnya. Syariah Sebagai Problem Solving Sebagai agama dan mabda‟ yang mengajarkan spiritualisme dan politik, Islam bukan hanya membahas persoalan akidah, tetapi juga membahas masalah hukum syara‘, yang dari aspek pembahasannya, masing-masing berbeda. Akidah membahas „amaliyyah qalbiyyah (aktivitas kalbu), sedangkan hukum syara‘ membahas „amal al-jawârîh (aktivitas fisik). Masingmasing dibangun secara logis dan rasional, sehingga tidak ada satupun ajaran Islam yang tidak bisa difahami secara logis dan rasional. Pemikiran mendasar (al-fikr al-asâsi) yang menjadi akidah, misalnya, bisa dijadikan sebagai akidah, karena pemikiran tersebut mempunyai makna yang bisa difahami. Sebab, antara makna pemikirannya dengan realitas yang ada relevan. Contoh, adanya Allah; pemikiran ―adanya Allah‖ tersebut mempunyai makna yang bisa dibuktikan realitasnya, misalnya, melalui keunikan benda karena tunduk pada hukum Allah SWT. yang tidak bisa diubah atau ditinggalkan oleh siapapun. Contoh lain adanya Malaikat; pemikiran ―adanya Malaikat‖ ini juga bisa difahami maknanya. Meskipun untuk memahami realitasnya berbeda dengan yang pertama. Ini karena realitas yang kedua tidak bisa diindera secara langsung, sementara realitas ―adanya Allah‖ (makhluk-Nya) bisa diindera. Manusia bisa mengindera realitas tersebut secara tidak langsung melalui informasi yang kebenarannya sudah terjamin, yaitu al-Qur‘an dan hadits Mutawâtir. Demikian halnya dengan pemikiran furû‟ (al-fikr al-far‟i), seperti hukum yang berkaitan dengan Islamic thought maupun Islamic method semuanya bisa difahami secara rasional. Karena hukum syara‘ ini diturunkan oleh Allah SWT. untuk menyelesaikan masalah manusia; baik masalah manusia dengan Tuhannya, sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri? Jadi, di sinilah logis dan rasionalnya hukum syara‘ tersebut diturunkan oleh Allah; sebagai problem solving atas seluruh masalah kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan konsep maupun metode. Dengan analogi yang sederhana, tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, hukum syara‘ adalah bagaikan obat. Jika seseorang sakit, dia akan mendiagnosis apa penyakit (masalah) yang dialaminya. Setelah dia mengetahui masalahnya, dia akan memilih obat yang cocok. Sakit kepala, misalnya, memang akan diobati dengan obat sakit kepala. Tentu bukan 62
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
dengan obat sakit gigi, atau obat-obat yang lain. Inilah yang disebut mafhûm. Meskipun, tidak diketahui secara detail apa kandungan zat yang ada di dalamnya, karena dia bukan apotiker, atau dokter. Demikian pula dengan orang yang mengambil hukum syara‘. Orang tersebut harus memahami apa masalah yang dia alami, baru kemudian menentukan hukum yang relevan denga masalahnya. Misalnya, kentut dan batalnya wudhu‘; orang tersebut mengetahui, bahwa yang dia perlukan adalah melakukan wudhu‘ kembali dengan membasuh muka, kedua tangan dan seterusnya. Inilah yang disebut mafhûm. Dia tidak perlu bertanya lebih jauh mengapa yang diperintahkan kepadanya harus membasuh muka, dan bukan yang lain? Karena orang tersebut adalah bagaikan orang sakit yang mempunyai masalah, yang memang harus diselesaikan. Untuk mengobati masalahnya, dia memang harus mencari ―obat‖ dari zat yang Maha Tahu masalah yang dia alami. Dan tentu bukan kepada yang lain. Inilah pandangan dasar (falsafah) mengenai hukum syara‘ sebagai problem solving atas semua masalah yang dialami oleh manusia, baik yang berhubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, inilah pandangan mengenai hukum syara‘ yang berkaitan dengan masalah ibadah; shalat, zakat, puasa, haji dan jihad, atau yang berhubungan dengan masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, peradilan, dakwah, atau yang berhubungan dengan manusia sendiri, seperti akhlak, pakaian, makan dan minum. Semuanya ini merupakan masalah manusia yang memerlukan pemecahan. Allah kemudian memberikan pemecahan, baik berupa akidah maupun hukum syara‘. Meskipun dalam konteks ini, hukum syara‘ yang dibahas diklasifikasikan menjadi dua: 1. Mu‟âlajah masyâkil al-insân; hukum syara‘ yang berfungsi sebagai problem solving dan menjadi bagian dari Islamic thought, 2. Tharîqah; hukum syara‘ yang berfungsi sebagai metode aplikasi, memelihara dan mengemban mabda‟ yang menjadi bagian dari Islamic method. Kedua klasifikasi di atas merupakan pembagian yang didasarkan pada komponen mabda‟, yang terdiri dari thought and method, yang tentu sah saja dilakukan. Mengingat, masing-masing hukum tersebut mempunyai ciri khas yang berbeda,177 sekalipun secara substantial sama. Sama-sama merupakan problem solving atas seluruh masalah kehidupan manusia. Jika Islam diterapkan secara utuh, baik dari aspek ibadahnya, sosial, ekonomi, pemerintahan, peradilan, pendidikan, maupun akhlaknya untuk menyelesaikan problem manusia, tanpa dibedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain, pasti kemaslahatan yang hakiki akan diperoleh oleh semua orang. Bukan hanya akan dirasakan oleh orang yang melaksanakannya saja, tetapi juga oleh orang lain. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah ushul:
َّ [ح ْيثُ َما يَ ُك ْو ُن ]ُصلَ َحة ْ الش ْرعُ تَ ُك ْو ُن ال َْم َ
“Jika hukum syara‟ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”
Ulama‘ ushul kemudian telah merincikan bentuk kemaslahatan yang bisa diraih oleh manusia, ketika hukum Islam diterapkan secara total, antara lain: 1. Mashlahah Dharûriyyah: Kemaslahatan yang diperoleh manusia dalam bentuk terpeliharanya survivalitas hidupnya. Jika kemaslahatan tersebut tidak diperoleh, kehidupan manusia akan mengalami kehancuran. Kemaslahatan tersebut tidak akan terpenuhi, kecuali jika hukumhukum Islam tersebut diterapkan. Adapun bentuk kemaslahatan tersebut adalah: (1) alMuhâfadhah „alâ al-aqîdah (terpeliharanya akidah). Maslahat ini bisa direalisasikan jika hukum hadd al-murtaddîn (sanksi atas orang murtad) diterapkan, yaitu dibunuh. Juga ketika sanksi atas orang-orang yang menyebarkan pemikiran dan ideologi kufur dilaksanakan. (2) Muhâfadhah „alâ ad-dawlah (terpeliharanya negara). Maslahat ini tercapai ketika hukum hadd ahl al-baghy (sanksi atas pembangkang negara) diterapkan, yaitu diperangi dengan maksud mendidik. (3) Muhâfadhah „alâ al-amni (terpeliharanya keamanan). Maslahat ini terwujud, jika hukum hadd quthâ‟ at-tharîq (hukuman atas perampok, perusuh dan pelaku tindak kriminal) diterapkan, yaitu dibunuh dengan disalib dan dibuang dari negeri, dibunuh dan disalib, dibunuh ataupun dibuang dari negeri. (4) Muhâfadhah „alâ al-mâl (terpeliharanya kekayaan). Maslahat ini terwujud jika hukum hadd as-sariqah (sanksi atas pencuri) diterapkan, yaitu dipotong tangannya jika memenuhi syarat dipotong. Juga ketika sanksi ta‟zîr atas pelaku suap, korupsi dan sebagainya diterapkan. (5) Muhâfadhah „alâ al nasl (terpeliharanya keturunan). Maslahat ini tercapai jika hukum hadd az-zinâ (sanksi atas pelaku zina) diterapkan, yaitu dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah (ghayr muhshan) atau dirajam sehingga mati bagi yang telah menikah (muhshan). Disamping kewajiban 63
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
menikah sebagai satu-satunya tharîqah (tuntunan) untuk memenuhi naluri seksual, serta diharamkannya zina, liwat, oral seks dan sebagainya sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan seks. Meskipun hukum menikah itu sendiri. adalah sunnah. (6) Muhâfadhah „alâ al-karâmah (terpeliharanya kemuliaan). Maslahat ini terealisir jika hukum al-qadzaf (sanksi atas orang yang menuduh zina) diterapkan, yaitu dicambuk 80 kali, jika tuduhannya tidak terbukti. Juga ketika wanita yang dijadikan sebagai „aradh (harta selain mâl) yang yang wajib dipelihara, bukan sebagai mâl (harta benda) murahan. (7) Muhâfadhah „alâ al-‟aqli (terpeliharanya akal). Maslahat ini terealisir jika hukum hadd syârib al-khamr (sanksi atas peminum minuman keras, pecandu narkoba dan sebagainya) diterapkan, yaitu dicambuk tidak kurang dari kali 80. (8) Muhâfadhah „alâ an-nafs (terpeliharanya nyawa). Maslahat ini terealisir jika hukum hadd al-qatli (sanksi atas pembunuh) dilaksanakan, yaitu dibunuh atau dikenakan diyah dan lain-lain. Inilah yang dalam istilah Muhammad Husayn Abdullâh disebut al-ahdâf al-ulya li shiyânah al-mujtama‟, atau tujuan luhur untuk menjaga masyarakat.180 Memang ini merupakan tujuan luhur yang harus direalisasikan demi menjaga masyarakat. Sebab, jika hukum-hukum tersebut tidak diterapkan, masyarakat pasti akan mengalami kekacauan. 2. Mashlahah Hâjiyyah: Kemaslahatan yang diperoleh manusia dalam kondisi yang sulit atau menghadapi kesengsaraan. Kemaslahatan ini diperoleh oleh seseorang berkaitan dengan keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh Allah SWT. kepada manusia. Misalnya, ketika sedang melakukan puasa Ramadhan atau puasa wajib yang lain, sedangkan pada waktu yang sama sedang bepergian atau sakit, maka orang tersebut diizinkkan untuk membatalkan puasanya kemudian diganti dengan puasa pada waktu lain. Jika orang tersebut sakit yang menyebabkannya tidak bisa duduk atau berdiri, maka dia dibolehkan shalat dengan berbaring. 3. Mashlahah Tahsîniyyah: Kemaslahatan yang diperoleh oleh manusia ketika melaksanakan hukum-hukum yang berkaitan dengan sifat akhlak dan adab. Misalnya, menjaga kebersihan badan dan pakaian. Dengan cara melaksanakan hukum-hukum thahârah yang berkaitan dengan tempat dan pakaian, atau menjaga agar hanya makanan dan minuman yang dihalalkan oleh Allah SWT. atau menjaga diri terhadap hal-hal yang bisa menjatuhkan martabat kepribadian Islam, seperti melakukan hal-hal yang sia-sia atau terrlibat dalam perkara syubhât. Sebaliknya, wajib mempunyai sikap wara‟ dan takwa dalam setiap tingkah lakunya, sopan kepada orang lain, tawâdhu‟ dan tidak sombong, tidak membanggakan diri, riyâ‟‟ atau hal-hal lain yang membawa pada tercelanya kepribadian Islamnya. Semuanya itu merupakan hukum-hukum akhlak yang menghiasi tingkah laku orang tersebut, yang membuat kepribadiannya indah mempesona. 4. Mashlahah Takmîliyyah: Kemaslahatan yang berkaitan dengan penyempurnaan maslahat yang diperoleh manusia karena menyempurnakan tiga kemaslahatan yang lain, yaitu dengan diperintahkan dan dilarangnya hal-hal yang menjadi cabang kewajiban atau keharaman asal. Contoh, ketika hukum zina diharamkan, maka apa saja yang bisa mengantarkan seseorang untuk melakukan zina juga diharamkan. Seperti, tabarruj (mempercantik diri dengan maksud menarik perhatian lawan jenis), tidak memakai jilbab, berduaan di tempat sepi (khalwah) dan sebagainya. Inilah gambaran mengenai maslahat yang akan diperoleh oleh manusia ketika melaksanakan hukum-hukum syara‘ secara utuh, baik yang berhubungan dengan Allah, sesamanya, ataupun dengan dirinya sendiri.
Problem Solving Berkaitan Hubungan Manusia Dengan Allah
Masalah manusia dengan Allah SWT. merupakan masalah yang muncul dari gharîzah attadayyun (naluri beragama) yang dimiliki oleh masing-masing orang. Naluri inilah yang mendorong orang tersebut melakukan kultus, pengagungan atau penghormatan pada zat yang dipandang agung. Naluri inilah yang mendorong perasaan (wijdân) manusia untuk melakukan pemenuhan. Jika wijdân tersebut dibiarkan tanpa kontrol akal, manusia akan kehilangan arah dalam menentukan siapakah zat yang layak diagungkan. Karena itu, banyak orang yang mengagungkan al-Qur‘an; dicium, dipeluk, bahkan diletakkan di tempat tinggi, tetapi isinya diinjak-injak. Ini adalah bentuk taqdîs (kultus) yang salah, yang seharusnya mensucikan isinya berubah mensucikan benda. Karena naluri beragama inilah, manusia memerlukan ibadah. Maka, masalahnya sekarang adalah bukan semua manusia memerlukan ibadah ataukah tidak? Sebab, masalah tersebut merupakan masalah fitrah, yang pasti dimiliki semua manusia. Namun yang menjadi
64
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
masalah sekarang adalah siapakah yang layak disembah dan bagaimana caranya? Inilah yang menjadi masalah manusia yang harus diselesaikan. Mengenai masalah siapakah yang layak disembah, tentu jika wijdân manusia yang diminta untuk menentukannya, pasti kacau dan tidak karuan. Akibatnya ada yang menyembah matahari, api, dewa, manusia dan materi. Narnun, sesungguhnya jika akal yang diminta untuk menentukannya, akal akan menentukan bahwa zat yang layak disembah haruslah zat Yang Maha. Sebab, ibadah adalah bentuk kultus, pensucian dan pengagungan. Apa yang disucikan, jika ternyata zat yang disembah oleh manusia tersebut tidak suci? Apa yang hendak diagungkan, jika ternyata zat yang diagungkan itu tidak agung? Dengan demikian akal akan menentukan bahwa zat yang disembah adalah zat yang Maha Agung. Zat yang wujud-Nya dapat dirasakan, meskipun tidak dapat dilihat zatnya. Justru karena itu, akal manusia juga bisa menentukan, bahwa Zat yang diisembah tidak sama dengan makhluk yang ditemukan di muka bumi ini, sehingga mereka tidak menpersonifikasikan Allah dengan makhluk, sampaisampai muncul anggapan bahwa Allah menyatu dengan benda (manuggaling gusti ing kawula). Tentu tidak demikian. Di sinilah peranan akal untuk menetukan siapa yang akan layak disembah. Mengenai bagaimana cara ibadah tersebut dilakukan? Akal sebenarnya juga mempunyai peranan untuk menentukan, dimana bisa menentukan cara siapakah yang layak digunakan untuk mengaturnya? Apakah cara yang dibuat oleh manusia, atau cara yang dibuat oleh SWT? Di sinilah peranan akal, tidak lebih dari itu. Jika ibadah merupakan hubungan manusia dengan Allah, sedangkan Allah adalah zat yang Maha Tinggi, yang tidak bisa dijangkau oleh manusia, maka aturan atau cara beribadah tersebut mustahil diciptakan oleh manusia. Kerena itu, aturan atau cara beribadah tersebut harus dibuat oleh Allah SWT. Karena itu, al-ibâdah yang dalam konotasi etimologisnya berarti at-thâ‟ah (keta‘atan) itu menurut ulama‘ fiqih mempunyai dua maksud: Pertama, menta‘ati seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Inilah pengertian ibadah secara umum, yang juga sering diistilahkan dengan al-ibâdah al-‟âmmah. Kedua, perintah dan larangan Allah yang mengatur hubungan seorang dengan Tuhannya saja. Inilah yang biasanya disebut dengan al-ibâdah almahdhah, seperi shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Aturan dan cara untuk melakukannya murni dibuat oleh Allah yang tidak bisa ditambah, dikurangi atau dimanipulasi oleh siapapun. Jika terjadi pengurangan, penambahan atau manipulasi, maka itulah yang biasanya dalam istilah fiqih disebut bid‟ah. Disamping itu, ibadah merupakan satu-satunya masalah yang diatur oleh Allah SWT. dengan aturan yang lengkap dan terperinci. Berbeda dengan yang lain; jika masalah yang lain hanya diatur secara global, maka tidak demikian dengan ibadah. Hanya karena tulisan ini bukan merupakan kajian fiqih, maka pembahasan ini tidak akan membahas secara detail mengenai syarat, rukun, termasuk hal-hal yang membatalkan ibadah. Tetapi, pembahasan ini akan membahas masalah ibadah dari sudut falsafah dasarnya. Dilihat dari segi tujuan: Allah telah mensyariatkan ibadah untuk mengatur hubungan manusia dengan-Nya. Dialah zat yang Maha Mengetahui tujuan ibadah, dan Dialah zat yang Maha Memberikan balasan pahala kepada siapa saja yang melakukannya. Kerena itulah, maka manusia tidak bisa menentukan tujuan ibadah, kecuali berdasarkan dalil syara‘. Tujuan (maqâshid) yang ditentukan oleh Allah SWT. dalam masalah ibadah tersebut, antara lain, adalah: 1. Shalat: Hikmah dari perlaksanaan shalat yang disebutkan oleh Allah SWT. berdasarkan firman-Nya:
“Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” [QS. Al-Ankabut: 45] Shalat orang yang ikhlas, disertai penghayatan yang mendalam terhadap setiap ―makna pemikiran‖ yang dibaca dalam shalat, akan dapat menjauhkan orang tersebut dari perbuatan mungkar dan semua bentuk aktivitas yang tercela. 2. Puasa: Hikmah dari perlaksanaan puasa sebagimana yang diseebutkan oleh Allah SWT. adalah meningkatkan kualitas ketakwaan seseorang:
65
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Telah ditetapkan atas kamu puasa sebagaimana yang telah ditetapkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Diwajibkannya puasa agar bisa menjaga diri terhadap apa saja yang diharamkan kepada manusia, karena itu jangan melakukannya, baik berdusta, sumpah palsu, zina dan larangan yang lainnya. 3. Zakat: Zakat merupakan harta yang wajib dibayarkan oleh orang-orang kaya yang mempunyai satu nisab dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun kepada orang yang berhak mendapatkannya (mustahiq). Seperti fakir dan miskin. Allah SWT. berfirman:
“Ambillah zakat dari harta mereka yang bisa membersihkan diri mereka dan dengannya bisa mensucikan mereka.” [QS. At-Taubah: 103] Tujuan zakat sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah untuk membersihkan jiwa orang kaya dari sifat bahkil, serta membersihkan diri mereka di sisi Allah. Dengan menunaikannya, orang tersebut akan dibalas dengan pahala yang besar. 4. Haji: Hikmah haji adalah untuk mendapatkan manfaat dari aspek bisnis dan bisa melakukan perkenalan dengan orang lain ketika berhaji dengan suasana zikir kepada Allah. Sementara zikir tersebut merupakan aktivitas fisik haji yang paling menonjol. Allah SWT. berfirman:
“Agar mereka dapat menyaksikan manfaat-manfaat untuk mereka serta mengingat asma‟ Allah pada waktu-waktu tertentu.” [QS. Al-Hajj: 28] 5. Jihad: Jihad adalah mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung maupun tidak. Jihad merupakan metode yang diwajibkan oleh Allah SWT. atas kaum muslimin untuk menyebarkan dakwah kepada bangsa dan ummat lain. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rintangan fisik yang menghalangi mereka agar bisa memeluk Islam. Firman Allah SWT:
“Dan perangilah mereka, sehingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran), dan agama ini hanya menjadi milik Allah SWT.” [QS. Al-Baqarah: 193] Disamping itu, secara umum tujuan masing-masing ibadah tersebut adalah untuk menebus dosa. Menunaikan ibadah merupakan suatu kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.:
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu benar-benar bisa menghapuskan keburukan (dosa).” [QS. Huud: 114] Dilihat dari sudut ciri khasnya: Ada beberapa ciri khas yang ditetapkan oleh Allah SWT. dalam beribadah, antara lain: 1. Ibadah bersifat tawqîfiyyah (mutlak urusan Allah). Artinya, setiap muslim yang melaksanakan ibadah wajib terikat secara penuh kepada apa saja yang dinyatakan oleh nas, yaitu wahyu Allah SWT. Karena itu, orang tersebut wajib melakukan shalat, zakat, 66
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
puasa dan haji dengan aturan-aturan khusus. Contohnya, tidak sah shalat seorang muslim yang tangannya dilipat ke belakang ketika melakukan shalat, sebab cara seperti ini tidak pernah dinyatakan oleh nas. Sabda Rasulullah Saw.:
»ُص ِلّ ْي َ صلُّ ْوا َك َما َرأَيْ تُ ُم ْوِِن أ َ«
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku sedang melakukan shalat.” (HR Bukhâri dan Muslim).
Demikian pula, tidak sah melaksanakan ibadah haji di bulan Ramadhan. Sebab, Allah telah menetapkan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan manasik. 2. Ibadah tidak didasasrkan pada illat (alasan hukum) tertentu, sehingga tidak ada satu illat pun dalam pelaksanaan ibadah. Ini terlihat dari hukum-hukum ibadah, dimana tidak ada satupun aktivitas di dalamnya yang dinyatakan dengan illat tertentu. Kebersihan juga bukan merupakan illat bagi kewajiban wudhu‘. Senam atau kesehatan juga bukan merupakan illat bagi kewajiban shalat. 3. Ibadah adalah aktivitas yang murni untuk Allah SWT. Sebab, ibadah merupakan aktivitas yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah. Karena itu, tidak dibenarkan seorang muslim menyekutukan Allah dengan yang lain dalam beribadah. Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kamu berdo‟a kepada Tuhan yang lain bersama dengan Allah.” [QS. AlQashash: 88]
“Dan hendaklah dia tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun dalam menyembah kepada Tuhannya.” [QS. Al-Kahfi: 110] 4. Ibadah juga tidak dapat diterima, kecuali dengan niat yang ikhlas untuk Allah SWT. semata. Di antara syarat agar ibadah diterima adalah niat, dimana ibadah yang dilakukan semata karena Allah. Jika seorang muslim melakukan shalat, tetapi tidak berniat melakukan shalat untuk Allah, maka shalatnya tidak akan diterima. Tentu saja orang tersebut tidak akan memperoleh apa-apa. Dengan kata lain, kewajiban tersebut belum gugur dari. Sebab, aktivitasnya dianggap tidak sah. Rasulullah Saw. bersabda:
ِ ال بِالنِّي »ات َ ُ «إِ ََّّنَا اْألَ ْع َم
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.” (HR Bukhâri dari Umar bin al-Khattâb). Amal perbuatan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah ibadah, bukan yang lain. Sebab, dalam melakukan tasharruf qawli (aktivitas timbal balik yang bersifat lisan) seperti akad, atau yang lain tidak diperlukan niat agar amal perbuatannya dianggap sah oleh Allah.
Dilihat dari aspek pengaruh.: Jika aktivitas ibadah tersebut dilakukan oleh seorang muslim dengan benar, ibadah ini akan mempunyai pengaruh yang signifikan dalam tindakan mereka, antara lain: 1. Ibadah bisa menguatkan hubungan seorang muslim dengan Allah. Karena seseorang yang berdiri di hadapan Tuhannya sehari semalam minimal lima kali. Dia bermunajat kepadaNya, dan kepada-Nyalah dia memohon pertolongan serta bantuan dalam setiap rakaat shalatnya. 2. Ibadah bisa melahirkan ketenteraman dalam diri seseorang. Sebab setelah menunaikannya, dia akan merasakan bahwa dia telah menta‘ati penciptanya. Dia juga akan diberi balasan terbaik, sehingga dengan kesedaran itu dia akan merasa senang dan tenteram hingga di akhirat. 3. Ibadah bisa menguatkan sebagian sifat akhlak seorang muslim. Tentu saja sifat-sifat yang tidak bisa dipisahkan dengan ibadah. Antara Iain, tawâdhu‟, khusyû‟ dan menjauhi perkara 67
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
keji dan mungkar. Puasa juga bisa menguatkan sifat „iffah (menjaga kesucian diri), jujur dan sabar. Sedangkan jihad bisa meningkatkan sifat pemurah, dermawan dan mengutamakan orang lain. Shalat berjamaah bisa menguatkan sifat tawâdhu‘ dan menjaga ukhuwwah Islâmiyyah.
Problem Solving Berkaitan Hubungan Manusia Dengan Sesama Manusia
Hukum-hukum syara‘ yang menyelesaikan masalah manusia dengan sesamanya adalah hukum-hukum yang mengatur urusan ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, politik luar negeri dan sanksi (uqûbât). Di dalamnya termasuk hukum seputar dakwah. Sebab, hukum tentang dakwah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, menyangkut hak dan kewajiban terhadap orang Iain. Tetapi, hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan dakwah akan dijelaskan secara spesifik pada pembahasan berikutnya. 1. Sistem Ekonomi Islam Sistem ekonomi berbeda dengan ilmu ekonomi. Jika ilmu ekonomi bersifat universal, tidak terikat dengan pandangan hidup ideologi tertentu, maka sebalinya dengan sistem ekonomi. Sebab, ilmu ekonomi adalah ilmu yang membicarakan produksi dan peningkatan kualitas produksi, atau menciptakan sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sedangkan sistem ekonomi adalah hukum atau pandangan yang membahas distribusi kekayaan, pemilikan serta bagaimana mengelolanya. Meskipun semuanya ini tidak dibedakan oleh para ekonom Kapitalis dan Sosialis.181 Karena itu, sistem ekonomi Islam berbeda dengan Kapitalisme dan Sosialisme. Dalam hal ini, Islam telah menetapkan asas sistem ekonominya, yaitu: 1. Pemilikan (al-milkiyyah atau ownership); 2. Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al-milkiyah), 3. Distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tawzî‟ al-amwâl bayn an-nâs).
Asas Pertama: Pemilikan (al-milkiyyah), yaitu tatacara yang digunakan oleh seseorang
untuk mendapatkan manfaat yang dihasilkan oleh jasa atau barang tertentu. Sedangkan pengertian pemilikan, menurut syara‘ adalah izin pembuat syariat untuk memanfaat zat. Yang dimaksud dengan ―izin‖ adalah hukum syara‘, sedangkan ―pembuat syariat‖ adalah Allah SWT. Mengenai maksud ―zat‖ adalah barang yang dapat dimanfaatkan. Pemilikan dalam Islam ada tiga: (1) Pemilikan individu (private ownership), (2) Pemilikan umum (public ownership), dan (3) Pemilikan negara (state ownership). Pemilikan individu adalah izin yang diberikan oleh pembuat syariat untuk memanfaatkan benda, baik yang berkaitan dengan barangan bergerak, seperti sepeda motor dan uang maupun barangan tidak bergerak, seperti tanah, rumah dan sebagainya. Adapun pemilikan umum (public ownership) adalah izin pembuat syariat atas jamaah untuk memanfaatkan benda, seperti api, air dan padang. Dari ketiga jenis benda yang disebutkan oleh hadits tentang kebutuhan orang pada benda tertentu, maka bisa disimpulkan, bahwa semua benda yang menguasai hajat hidup orang banyak termasuk dalam pemilikan umum. Seperti jalan raya, air, listrik, minyak dan sebagainya. Sedangkan pemilikan negara (state ownership) adalah kekayaan yang pengelolaannya diserahkan pada kepala negara. Misalnya jizyah, kharâj, harta orang murtad (yang dibunuh), harta yang tidak mempunyai ahli waris dan sebagainya. Sedangkan cara mendapatkan pemilikan individu adalah: (1) bekerja, (2) waris (3) adanya keperluan yang mendesak atas harta dalam rangka mempertahankan hidup dengan mengambil harta orang lain, (4) pemberian negara dengan cuma-cuma, (5) harta yang diperoleh tanpa pengorbanan, seperti hadiah, hibah dan sedekah.
Asas kedua: Pengelolaan pemilikan (tasharruf al-milkiyah), yaitu cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Untuk itu, Islam telah menentukan dua cara: (1) pengembangan harta (tanmiyah al-mâl), dan (2) pembelanjaan hak milik (al-infâq). Pengembangan hak milik berbeda dengan sebab pemilikan. Jika sebab pemilikan adalah usaha orang yang sebelumnya belum mempunyai kekayaan, sedangkan pengembangan hak milik adalah usaha orang yang sebelumnya telah mempunyai kekayaan. Berkaitan dengan pengembangan hak milik, Islam telah membolehkan seseorang untuk mengembangkan harta miliknya melalui perdagangan, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan syarikat, serta mengharamkan riba, melakukan penimbunan, menipu, berjudi dan sebagainya. Atau melalui pertanian, seperti memiliki tanah untuk ditanami, dan mengharamkan lahan pertanian atau 68
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
ladang untuk disewakan. Atau melalui industri, seperti dibolehkannya seorang muslim mempunyai pabrik, menjualbelikan produksi pabrik dan sebagainya, dimana hukum pabrik tersebut mengikuti barang yang diproduksi. Jika yang diproduksi hukumnya haram, maka pabriknya juga haram. Jika yang diproduksi merupakan barangan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka pabrik tersebut juga merupakan pabrik yang menjadi hak milik umum. Mengenai masalah pembelanjaan pemilikan, Islam telah menetapkan bahwa setiap muslim hanya dimubahkan untuk membelanjakan hartanya di jalan yang dihalalkan oleh Allah. Jika hartanya dibelanjakan di jalan yang diharamkan, meskipun sedikit, hukumnya tetap haram. Inilah yang disebut dalam istilah fiqih dengan isrâf wa tabdzîr. Pembelanjaan harta yang dibolehkan Islam, antara lain, zakat, membelanjakan harta untuk kepentingan diri dan orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri, orang tua dan anak, dimana hukumnya adalah wajib, dan juga pembelanjaan harta untuk menjaga hubungan, seperti memberi hadiah, yang hukumnya adalah sunnah. Demikian juga perbelanjaan harta sebagai sedekah pada fakir, miskin dan orang yang memerlukan dimana hukumnya adalah sunnah. Juga termasuk pembelanjaan harta untuk berjihad, membeli senjata, menyiapkan tentara, dimana hukumnya adalah fardhu kifayah. Sementara pembelanjaan harta yang diharamkan adalah membelanjakan harta benda untuk hal-hal yang diharamkan, seperti isrâf wa tabdzîr dan suap.
Asas Ketiga: Distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tawzî‟ al-amwâl bayna an-nâs). Dalam hal ini Islam telah mensyariatkan hukum-hukum yang mampu menjamin distribusi kekayaan di tengah masyarakat secara adil. Antara lain: 1) Mewajibkan zakat, 2) Pemberian hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memanfaatkan pemilikan umum; 3) Pemberian negara secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat yang memerlukan, yang diambil dari harta negara; 4) Pembagian harta waris kepada ahli waris. Sebaliknya Islam telah mengharamkan: 1) Penimbunan emas dan perak atau mata uang; 2) Penimbunan barang, serta 3) Bakhil dan kikir. Inilah gambaran secara umum mengenai sistem ekonomi Islam yang tertuang dalam ketentuan hukum syara‘ yang mengatur muamalah. 2. Sistem Politik Islam Sistem politik dalam pandangan Islam adalah hukum atau pandangan yang berkaitan dengan cara bagaimana urusan masyarakat dikelola dan diatur dengan hukum Islam. Karena politik itu sendiri dalam pandangan Islam adalah mengurus urusan ummat dengan menerapkan hukum Islam baik dalam maupun luar negeri. Karena itu, Islam telah menetapkan asas bagi sistem politiknya, yang terdiri dari empat macam: 1) Kedaulatan di tangan syara‘ (as-siyâdah li as-syar‟i); 2) Kekuasaan di tangan ummat (as-sulthân li al-ummah); 3) Pengangkatan khalifah untuk seluruh kaum muslimin hukumnya wajib (wujûb al-khalîfah alwâhid li al-muslimîn); 4) Khalifahlah satu-satunya yang berhak untuk mengadopsi hukum syara‘ untuk dijadikan undang-undang (li al-khalîfah wahdah haqq at-tabanni). Jika salah satu dari keempat asas ini tidak ada, maka politik Islam akan hancur. Karena itu, keempat asas tersebut harus ada dalam sistem politik Islam.
Asas pertama: Kedaulatan di tangan syara‘ (as-siyâdah li as-syar‟i). Kata ―kedaulatan‖
sebenarnya bukan dari Islam. Kata tersebut diarabkan dengan as-siyâdah. Dalam bahasa Inggeris disebut sovereignty. Makna yang dikehendaki oleh kata tersebut sebenarnya adalah ―sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi‖. Jika seseorang mengendalikan dan melaksanakan aspirasinya sendiri, berarti orang tersebut menjadi budak („abd) sekaligus tuan (sayyid). Jika orang lain yang mengendalikan, berarti orang tersebut diperbudak oleh orang lain. Demikian pula, ketika ummat mengendalikan aspirasinya sendiri, maka ummat itu menjadi budak sekaligus tuan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia telah diperbudak oleh sesamanya. Dengan begitu hukumnya adalah haram. Sebab, yang bisa memperbudak atau menjadikan manusia sebagai hamba hanyalah Allah SWT. Islam mengajarkan kedaulatan di tangan syara‘, bukan di tangan manusia, ummat atau yang lain. Konsekuensi dari pandangan tersebut adalah: 69
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Pertama, bahwa yang menjadi pengendali dan penguasa adalah hukum syara‘, bukan akal atau manusia. Ini berarti semua masalah akan dikembalikan kepada hukum syara‘. Karena itu, tidak ada satupun masalah yang terlepas dari hukum syara‘. Kedua, bahwa siapapun akan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum syara‘, baik penguasa maupun rakyatnya. Karena itu, tidak ada seorang pun yang mempunyai hak imunity (kekebalan hukum) dalam negara Islam. Ketiga, bahwa keta‘atan pada penguasa terikat dengan ketentuan hukum syara‘, dan bukan keta‘atan mutlak. Karena rakyat hanya diwajibkan untuk ta‘at kepada penguasa jika dia melaksanakan hukum syara‘, sebagaimana yang dinyatakan oleh nash:
“Wahai orang-orang yang beriman, ta‟atlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” [QS. An-Nisâ‟ 59)
ِ اع َة لِم ْخلُو ِق ِِف م ْع ْ ص يَ ِة »اْلَالِ ِق َ ْ َ َ َ«الَ ط
“Tidak ada (kewajiban) ta‟at dalam melakukan kemaksiatan kepada Yang Maha Pencipta (Allah).” (HR Ahmad)
“Mendengarkan dan menta‟ati adalah kewajiban orang Islam, baik dalam masalah yang disukai ataupun tidak, selagi tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat. Jika diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka ada tidak kewajiban untuk mendengarkan (perintah) dan menta‟atinya.” (HR Bukhâri). Ayat di atas, menjelaskan bahwa hukum keta‘atan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan hukum keta‘atan kepada penguasa tergantung pada keta‘atannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika penguasa tersebut telah memerintah pada kemaksiatan, maka tidak wajib dita‘ati, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits di atas. Demikian juga ketika terjadi perselisihan, perbedaan pandangan atau apa saja yang berhubungan dengan penguasa dan rakyat, harus dikembalikan kepada hukum syara‘. Bahkan, ini merupakan indikasi seseorang, apakah dia masih beriman ataukah tidak. Keempat, wajib mengembalikan masalah kepada hukum syara‘ jika terjadi perselisihan antara penguasa dengan rakyatnya sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas. Kelima, wajib melakukan kontrol terhadap negara yang dijalankan oleh partai politik Islam atau ummat, ketika terjadi penyimpangan negara atau penguasa terhadap salah satu hukum syara‘. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur‘an:
“Hendaklah ada di antara kalian sekelompok ummat yang menyeru pada jalan kebaikan, memerintahkan pada kemakrufan, serta mencegah kemungkaran.” [QS. Ali Imran: 104] Keenam, wajib ada pengadilan yang bertugas untuk melenyapkan penyimpangan terhadap hukum syara‘ yang dilakukan oleh penguasa. Pengadilan itulah yang disebut Mahkamah Madhâlim. Sebab, terjadinya perselisihan antara penguasa dengan ummat itu wajib dikembalikan kepada syara‘. Sementara kembali pada hukum syara‘ mengharuskan adanya lembaga di luar pihak yang bersengketa, yaitu pihak ketiga yang independen, agar bisa 70
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
menegakkan hukum dan bertugas menjatuhkan keputusan pada dua belah pihak yang berselisih. Karena itu, adanya lembaga tersebut menjadi wajib, berdasarkan kaidah ushul:
ِ اجب إِالَّ بِ ِه فَ ُهو و ِ ِ [اجب َ َ ُ ] َما الَ يَت ُّم ال َْو
“Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka adanya sesuatu itu menjadi wajib.”
Ketujuh, bahwa mengangkat senjata untuk mengambil alih kekuasaaan ketika khalifah kaum muslimin telah melakukan penyimpangan terhadap syara‘ dan nyata-nyata kufur adalah wajib. Pengangkatan senjata ini tidak dihukumi sebagai tindakan makar pada negara.
Asas kedua: Kekuasaan di tangan ummat (as-sulthân li al-ummat). Kekuasaan di tangan ummat ini tercermin dari pengambilan kekuasaan yang diambil dalam hadits maupun Ijmâ‘ sahabat, yang semuanya dilakukan melalui bai‗at. Sedangkan bai‘at adalah akad yang diberikan oleh ummat kepada khalifah. Konsekuensi dari asas kedua ini adalah: Pertama, bahwa tidak ada satu kekuasaan pun yang diperoleh seorang muslim, kecuali diberikan oleh ummat. Caranya adalah melaui bai‘at. Karena itu, hukum bai‘at untuk mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah. Sedangkan bai‘at untuk menta‘atinya adalah fardhu ‗ain. Kedua, bahwa ummat mempunyai hak untuk mengangkat khalifah dengan ridha dan bebas. Tidak dibolehkan melalui paksaan. Karena itu,Islam mengharamkan pemerintahan atau kekuasaan yang diperoleh dengan jalan kekerasan ataupun menakut-nakuti mereka, yang dalam istilah fiqih disebut hukmu al-tasalluth. Seperti kekhilafahan Mu‘âwiyah bin Abi Sufyân, yang awalnya diambil dengan paksa dari Ali bin Abi Thalib. Ketiga, bahwa pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan, yang diperoleh dengan warisan. Sebab, kekuasaan di tangan ummat yang diberikan melalui bai‘at itu dilakukan secara sukarela oleh ummat. Karena itu, sistem kerajaan, apakah monarki absolut atua monarki parlementer, jelas bertentangan dengan Islam. Keempat, bahwa meskipun ummat berhak mengangkat penguasa, namun kedudukan ummat bukan sebagai musta‟jir (majikan) sementara khalifah sebagai ajîr (buruh). Karena itu kedudukan khalifah menjadi kuat, sebab tidak menjadi budak rakyat, atau dikontrak oleh rakyat untuk menjalankan aspirasinya. Dia mampu bartindak tegas kepada rakyat, jika mereka melakukan penyelewengan. Kelima, bahwa ummat mempunyai hak syura kepada khalifah, meskipun tidak mempunyai hak untuk memecat jabatan khalifah. Karena khalifah bukan pegawai yang digaji, tetapi penguasa yang diangkat dengan bai‘at, dan bukannya ijârah, dimana khalifah dibayar karena berkhidmat kepada majikannya, yaitu rakyat atau ummat. Keenam, bahwa penguasa adalah pelayan ummat yang melayani mereka dengan memenuhi maslahat mereka dan mencegah mudarat yang akan menimpa mereka berdasarkan hukum syara‘. Karena dia dibai‘at untuk memerintah ummat atau rakyat dengan hukum syara‘ Asas ketiga: Pengangkatan satu khalifah untuk seluruh kaum muslimin hukumnya
wajib . Adapun konsekuensi dari asas tersebut adalah: Pertama, bahwa khalifah Islam wajib hanya satu. Tidak boleh ada khalifah lebih dari satu dalam satu waktu. Adapun apa yang terjadi dalam sejarah, seperti adanya lebih dari seorang khalifah seperti yang terjadi pada zaman Abbâsiyah adalah kesalahan sejarah yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum syara‘. Sebab, sejarah bukan merupakan sumber hukum syara‘. Kedua, bahwa bentuk negara kekhilafahan Islam adalah kesatuan. Tidak dibenarkan menganut bentuk federal. Sebab, hanya dibenarkan ada satu kepala negara, satu undangundang dan satu negara. Ketiga, bahwa pemerintahan khilafah Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan sistem administrasinya adalah desentralisasi. Karena pemerintahan merupakan otoritas khalifah, dan kekuasaan dalam satu negara adalah tunggal. Adapnn administrasi adalah masalah teknis, yang berbeda dengan pemerintahan. Keempat, bahwa khalifah adalah negara. Karena konsep negara dalam Islam berbeda dengan konsep Kapitalisme maupun Sosialisme. Politikus Barat mendefinisikan negara adalah kumpulan dari wilayah, rakyat dan pemerintahan. Islam menggambarkan negara sebagai kekuasaan saja. Sebab, wilayah negara dalam Islam selalu berkembang, dan tidak ada wilayah perbatasan. Rakyat bukan pemegang kedaulatan, meskipun rakyat mempunyai kekuasaan. 71
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Karena itu, dalam pandangan Islam negara adalah kekuasaan. Yang memegang kekuasaan adalah khalifah, maka khalifah adalah negara. Maka, khalifah mempunyai otoritas untuk mengangkat dan memecat jabatan semua penjabat pemerintahan, seperti wâli, âmil, qâdhi dan sebagainya.
Asas keempat: Khalifahlah satu-satunya yang mempunyai hak untuk mengadopsi
hukum syara‘ untuk dijadikan undang-undang. dari sini ada beberapa konsekuensi hukum syara‘, antara lain, sebagai berikut: Pertama, bahwa tidak ada yang berhak membuat undang-undang apapun selain khalifah, termasuk majelis ummat. Majelis ummat juga tidak bisa membuat dan mengubah undangundang. Karena itu, tidak ada legislatif dalam khalifah Islam. Khalifahlah lembaga legislatifnya. Kedua, bahwa otoritas membuat keputusan ada di tangan seorang khalifah. Namun, kewajiban untuk melaksanakan keputusan tersebut ada di atas pundak seluruh rakyat. Jadi, meskipun yang berhak mengambil keputusan hanyalah seorang, tetapi jika keputusan tersebut telah diambil, maka seluruh rakyat wajib melaksanakannya. Ketiga, bahwa kepimpinan negara Islam bersifat individual. Tidak ada kepimpinan kolektif dalam negara Islam. Karena itu, tidak ada lembaga lain yang memegang otoritas pemerintahan dalam Islam, kecuali khalifah. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep Trias Politica (pemisahan kekuasan), legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itu, sistem demokrasi sangat bertentangan dengan sistem khilafah Islam. Demikian sebaliknya, sistem khilafah tidak berbentuk demokrasi. Tetapi berbentuk khilafah. Keempat, bahwa khalifah mempunyai hak untuk mengadopsi hukum syara‘ untuk menghilangkan perselisihan di tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah syara‘:
ِ َاْلِال ْ ]أ َْم ُر اْ ِإل َم ِام يَ ْرفَ ُع [ف
“Perintah imam bisa menghilangkan perselisihan (yang terjadi di masyarakat).”
Kelima, bahwa mengadopsi hukum syara‘ bagi khalifah hukumnya adalah mubah. Apabila terjadi mudarat pada saat tidak diambil dan ditetapkan oleh khalifah, karena bisa menimbulkan perselisihan di tengah ummat, maka pada saat itu hukum mengadopsi hukum syara‘ adalah wajib. Karena itu, tidak semua masalah akan diadopsi hukumnya oleh khalifah. Seperti masalah akidah dan ibadah, misalnya, kecuali masalah dalil akidah dan urusan ibadah yang menyangkut banyak orang. Seperti zakat, penentuan tanggal 1 Ramadhan, atau 1 Syawal. Keenam, bahwa khalifah dalam mengadopsi undang-undang dan ketentuan apa saja harus terikat dengan hukum syara‘. Khalifah juga wajib mengadopsi hukum syara‘ tersebut dengan cara yang tidak bertentangan dengan kaidah pengambilan hukum syara‘. Yaitu, hanya akan menggunakan al-Qur‘an, al-Hadits, Ijmâ‘ Sahabat dan Qiyas untuk mengadopsi hukum syara‘. Semua gambaran di atas merupakan gambaran mengenai bagaimana hukum syara‘ mengatur semua masalah politik kenegaraan. Semuanya mencerminkan sistem pemerintahan yang unik. 3. Sistem Sosial-Kemasyarakatan Islam Sistem sosial-kemasyarakatan (an-nidhâm al-ijtimâ‟i) adalah sistem yang mengatur pertemuan laki-laki dengan wanita, atau wanita dengan laki-laki, serta mengatur hubungan yang terjadi di antara mereka akibat pertemuan tersebut, termasuk hal-hal yang menjadi konsekuensi dari adanya hubungan tersebut. Sedangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah sosial-kemasyarakatan yang diatur oleh Islam adalah: Pertama, bahwa hukum asal wanita adalah menjadi ibu dan pengurus rumah tangga. Wanita merupakan kehormatan yang harus dijaga. Berbeda dengan konsep Kapitalisme ataupun yang lain, bahwa wanita merupakan barang yang dapat dicicipi oleh siapa saja, sehingga kehormatan mereka tidak dapat dipertahankan, malah dinodai di mana-mana. Dalam Islam, antara lain nampak dari adanya hukum-hukum seperti kewajiban menutup aurat wanita, berjilbab dan tidak bertabarruj. Kedua, bahwa hukum asal wanita wajib dipisahkan dengan laki-laki. Mereka tidak bisa bertemu kecuali karena adanya kebutuhan dibolehkan oleh syara‘, seperti haji dan jual beli. Hal ini juga nampak dari adanya hukum-hukum seperti larangan berdua-duaan di tempat sepi (khalwah) antara laki-laki dan wanita, perbedaan hukum kehidupan umum dan khusus. 72
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Ketiga, bahwa wanita diberi hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, kecuali halhal yang dikhususkan oleh syariat untuk laki-laki atau wanita. Wanita dan laki-laki sama-sama dibolehkan melakukan perdagangan, pertanian, membuat pabrik, serta melakukan akad dan mu‘amalah yang lain. Dia juga bisa memiliki berbagai jenis pemilikan. Dia juga dibolehkan untuk mengembangkan harta dan membelanjakannya, serta mengurus semua urusannya sendiri. Wanita juga dibenarkan untuk diangkat menjadi pegawai negara, serta dipilih menjadi anggota majlis ummat ataupun memenuhi haknya untuk memilih dan membai‘at khalifah. Tetapi, wanita tidak bisa menjadi al-hâkim (khalifah, wakil dan pembantu khalifah, wâli, kepala hakim dan âmil) atau memangku tugas-tugas yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti menjadi qâdhi madhâlim. Keempat, wanita hidup dalam kehidupan umum (di luar rumah) dan kehidupan khusus (dalam rumah). Dalam kehidupan umum, wanita dibolehkan bersama laki-laki muhrim, ataupun asing dengan syarat tidak menampakkan anggota tubuhnya, kecuali wajah dan tapak tangan. Juga tidak dibolehkan berpakaian yang menarik perhatian, seronok atau menampakkan bentuk tubuh. Sedangkan dalam kehidupan khusus, sama sekali tidak dibolehkan bersama orang lain, selain wanita, dan muhrimnya. Dalam masing-masing kehidupan ini, secara mutlak dia wajib terikat dengan hukum syara‘. Sedangkan yang dimaksudkan dengan tempat khusus di sini adalah tempat tertentu yang untuk memasukinya seseorang harus meminta izin pada penghuninya. Ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, kalian jangan memasuki rumah lain, sehingga kalian mendapatkan izin dan kalian mengucapkan salam kepada penghuninya.” [QS. An-Nuur: 27] Ayat di atas menjelaskan, bahwa ada rumah yang ―kalian mendapatkan izin‖ untuk memasukinya, dimana ini menjadi illat yang menentukan tempat tersebut sebagai tempat khusus. Sebaliknya tempat umum adalah tempat yang untuk memasukinya seseorang tidak perlu meminta izin. Kelima, bahwa wanita juga dilarang berdua-duaan dengan laki-laki bukan muhrimnya, menarik perhatiannya dengan bersolek (memakai wangi-wangian, memakai make-up wajah yang menonjolkan kecantikannya dan sebagainya), termasuk membuka aurat di depan khalayak ramai atau laki-laki asing. Berdua-duaan tidak seharusnya terjadi di rumah, kendaraan, atau tempat-tempat khusus saja, tetapi juga bisa terjadi di tempat umum, seperti berdua-duaan di tempat umum yang kosong, atau tempat umum yang lain. Karena khalwah adalah memisahkan diri dari khalayak ramai dengan cara berdua-duaan, antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, khalwah bisa juga terjadi di tempat khusus, seperti rumah, mobil pribadi atau kantor, atau di tempat umum, seperti taman, kampus atau ruang belajar dan sebagainya. Keenam, bahwa antara laki-laki maupun wanita, sama-sama diharamkan untuk melakukan aktivitas yang secara langsung bisa merusak akhlak atau membawa kerusakan pada masyarakat. Seperti diharamkannya wanita untuk bekerja menjadi pramugari, karena digunakan sebagai daya tarik seksual bagi kaum laki-laki. Atau bekerja di super market dengan tujuan menarik pelanggan laki-laki. Atau bekerja di pub-pub, night club dan sebagainya. Lakilaki yang bekerja di salon kecantikan yang digunakan untuk menarik daya seksual wanita juga haram. Ketujuh, bahwa kehidupan suami-isteri adalah kehidupan yang penuh ketenteraman. Kehidupan suami-isteri adalah kehidupan persahabatan. Bukannya kehidupan dua orang yang bermitra usaha. Karena itu, suami-isteri wajib saling bantu-membantu dalam pekerjaan rumah, meskipun kewajiban suami adalah bekerja di luar rumah. Suami harus berusaha mengambil pembantu untuk meringankan beban isterinya. Sedangkan kepemimpinan suami dalam rumah tangga tidak sama dengan model kepemimpinan seorang penguasa terhadap rakyatnya, melainkan kepemimpinan yang bersifat ri‟âyah (mengurus). Sebab, hubungan suami-isteri tidak seperti hubungan antara penguasa dengan rakyat. Isteri juga diwajibkan
73
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
untuk ta‘at, sedangkan suami diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada isteri dengan kadar yang lazim dan wajar sebagaimana yang ada di tengah masyarakat. Kelapan, bahwa mengasuh anak adalah hak dan kewajiban wanita, baik muslimah maupun non-muslimah. Namun, jika anak tersebut tidak memerlukan lagi ―asuhan‖ ibu, jika ibunya seorang muslimah, maka anak tersebut diberi pilihan untuk memilih ayah atau ibunya. Namun, jika salah seorang dari orang tuanya bukan seorang muslim, maka anak tersebut wajib diasuh oleh orang tua yang beragama Islam. Ini tentu saja berlaku dalam kasus penceraian antara suami isteri. 4. Sistem Pendidikan Islam Islam mempunyai sistem pendidikan yang unik. Semuanya telah telah diatur dengan jelas, sistematis dan sempurna dalam Islam. Berikut ini adalah gambaran secara umum mengenai sistem pendidikan dalam Islam: Pertama, kurikulum pendidikan Islam berdasarkan akidah Islam. Karena itu, seluruh bahan pelajar dan metode pengajaran ditetapkan berdasarkan asas tersebut. Tidak dibolehkan adanya penyimpangan, walaupun sedikit dari ketentuan tersebut. Kedua, strategi pendidikan adalah untuk membentuk „aqliyyah dan nafsiyyah Islam. Maka, semua bahan pelajaran yang hendak diajarkan disusun berdasarkan strategi tersebut. Ketiga, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam, membekali khalayak ramai dengan ilmu pengetahuan serta sains yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Karena itu, metode pendidikan disusun untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak dibolehkan adanya metode yang mengarah pada tujuan yang lain, atau bertentangan dengan tujuan tersebut. Keempat, waktu pelajaran ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab yang diberikan setiap minggu harus disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, baik dari segi waktu maupun jumlah jamnya. Kelima, pengajaran sains dan ilmu terapan seperti matematika, fisika harus dibedakan dengan pengajaran tsaqâfah. Ilmu-ilmu terapan dan sains diajarkan tanpa mengenal peringkat pendidikan, tetapi mengikuti kebutuhan. Sedangkan tsaqâfah Islam diajarkan pada tingkat sekolah rendah hingga menengah atas dengan kurikulum pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsep dan hukum Islam. Sedangkan di tingkat universitas bisa diajarkan secara utuh, baik tsaqâfah Islam maupun non-Islam, demikian juga ilmu terapan dan sains, dengan syarat tidak menyimpang dari tujuan dan kebijakan pendidikan. Keenam, tsaqâfah Islam wajib diajarkan pada semua level pendidikan. Di level universitas, hendaknya dibuka berbagai jurusan dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Disamping itu, bisa dibuka jurusan lain, seperti teknik dan sains. Ketujuh, seni dan ketramprilan bisa dikategorikan sebagai ilmu terapan dan sains, seperti bisnis, pelayaran dan pertanian. Semuanya mubah dipelajari tanpa terikat dengan batasan atau syarat tertentu. Tetapi, di sisi lain juga bisa dimasukkan dalam katagori tsaqâfah, jika telah terpengaruh dengan pandangan hidup tertentu. Seperti seni lukis, ukir dan pahat. Yang terakhir ini tidak bisa dipelajari, jika bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Kedelapan, program pendidikan hendaknya seragam. Program apa saja hendaknya sama dengan program yang telah ditetapkan oleh negara. Tidak ada larangan untuk mendirikan sekolah swasta, tetapi dengan syarat sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum pendidikan negara dan tunduk kepada kurukulum, strategi dan tujuan pendidikan yang ada. Dengan syarat, sekolah tersebut bukan sekolah asing. Kesembilan, mengajarkan masalah yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya merupakan kewajiban bagi setiap individu, baik laki-laki maupun wanita. Program wajib belajar berlaku untuk seluruh rakyat pada level sekolah dasar dan menengah. Negara juga wajib menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat dengan gratis. Mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan ke level pendidikan tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas yang terbaik. Kesepuluh, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium dan media belajar-mengajar yang lain, disamping bangun sekolah dan universitas untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan tsaqâfah, seperti fiqih, ushul fiqih, hadits dan tafsir, atau bidang ideologi, teologi, kedokteran, teknik, kimia, maupun eksperimental, sehingga negara akan bisa melahirkan sejumlah mujtahid dan para saintis. Kesebelas, tidak bisa memberikan hak istimewa dalam mengarang buku-buku pendidikan untuk semua level. Seseorang, baik sebagai pengarang ataupun bukan, tidak bisa mempunyai hakcipta atau hak terbit apabila sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan. Namun, jika 74
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
masih berbentuk pemikiran yang dimiliki oleh seseorang dan belum dicetak ataupun diedarkan, maka seseorang bisa mendapatkan imbalan, ataupun kompensasi yang memadai atas jasanya. Layaknya gaji seorang pengajar. Inilah gambaran secara umum mengenai sistem pendidikan yang pernah ada dalam khilafah Islam, dan banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah peradaban ummat Islam. Gambaran yang lebih lengkap mengenai sistem pendidikan Islam ini bisa ditemukan dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, karya Dr. Abdurrahmân al-Baghdâdi.
Problem Solving Berkaitan Hubungan Manusia Dengan Dirinya
Islam telah memberikan penyelesaian dalam masalah pribadi, menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam masalah ini, Islam telah menetapkan hukum tertentu, baik yang berkaitan dengan aktivitasnya, maupun sesuatu yang digunakan untuk melakukan aktivitasnya. Adapun masalah manusia dengan dirinya sendiri telah dipecahkan oleh Islam ketika membahas hukum-hukum syara‘ yang berkaitan dengan sifat perbuatan, atau hukum-hukum akhlak Islam. Sedangkan sesuatu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut berbentuk hukum benda yang meliputi pakaian, makanan dan minuman. Sebab, ketiga hal inilah yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas manusia dalam kaitannya dengan dirinya sendiri. 1. Hukum-hukum Akhlak Akhlak adalah sifat yang harus dimiliki setiap muslim ketika sedang melakukan aktivitas. Sifat tersebut berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan atau ditinggalkan oleh seseorang. Sifat tersebut ada yang hasan (terpuji) dan qabîh (tercela) atau khayr (baik) dan syarr (buruk). Dalam hal ini, Islam telah mengatur sifat perbuatan tersebut dalam konteks hubungan manusia dengan dirinya. Artinya, bagaimana seseorang memperhatikan kesempurnaan perbuatannya dengan menjadikan sifat tertentu sebagai sifat perbuatannya. Semua ini telah diatur oleh Islam dalam bentuk hukum syara‘ yang spesifik, dan tidak diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk menetukannya. Sebab, jika diserahkan kepada manusia untuk menetukan sendiri sifat perbuatannya, pasti dia hanya akan melihat dari aspek yang ―menguntungkan atau merugikan‖ bagi dirinya. Ini artinya, jika hal itu menguntungkan, ia dianggap baik, sebaliknya jika merugikan, ia dianggap buruk. Di sisi lain, ia akan menggunakan standar benda sabagai standar terpuji dan tercela, seperti manis digambarkan dengan baik, sedangkan pahit digambarkan buruk. Meskipun masalah sifat tersebut ditetapkan oleh syara‘, tetapi syari‘at Islam tidak banyak membahas hukum tersebut secara detail. Karena itu, tidak ada pembahasan akhlak secara spesifik dalam buku-buku fiqih. Namun untuk memudahkan, berikut ini merupakan huraian singkat mengenai akhlak dalam Islam. Dilihat diri aspek ciri khasnya: Ada beberapa ciri khas yang ditetapkan oleh Allah SWT. dalam masalah akhlak ini, antara lain: 1. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari hukum syara‘, termasuk semua bentuk ketentuan hukum syara‘ yang lain. Seperti khusyû‟ adalah sifat perbuatan orang yang sedang mengerjakan shalat, yang tidak ada pada orang di luar shalat. Jujur, amanah dan menunaikan janji adalah sifat perbuatan orang yang melakukan mu‘amalah (berhubungan dengan orang lain). 2. Akhlak juga tidak didasarkan kepada „illat, sehingga tidak ada satu „illat pun dalam masalah akhlak. Jujur, amanah dan menunaikan janji diperintahkan semata-mata karena hukumnya wajib menurut syara‘, yang kewajibannya telah ditentukan oleh nas, bukan disebabkan adanya illat tertentu. Maka, kejujuran, amanah dan menunaikan janji tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh seorang muslim karena keuntungan material, atau mengharapkan pujian orang, dan sebagainya. 3. Akhlak juga tidak tunduk pada manfaat tertentu. Sebab, orang yang melakukan hukum akhlak kadang-kadang malah mendapat kerugian, bukan keuntungan. Contoh, sifat berani dan menantang ketika mengingatkan penguasa yang zalim adalah sifat pengembang dakwah yang mulia. Sesuatu yang bisa mengakibatkan orang tersebut menemui ajalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Penghulu para syahid adalah Hamzah bin „Abd al-Muthallib, serta orang yang yang berdiri di depan penguasa zalim, lalu memerintahkan (kemakrufan) dan mencegah (kemungkaran) atasnya, kemudian dia pun membunuhnya.” (HR Hakim dari Jabir). 75
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
4. Akhlak sama seperti akidah. Akhlak merupakan tuntutan fitrah manusia. Memuliakan tamu dan membantu orang yang memerlukan adalah sangat selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah al-baqâ‟. Khusyû‟ dan tawâdhu‟ juga selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah at-tadayyun. Kasih sayang dan keta‘atan juga sesuai dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah an-naw‟. Dari aspek pengaruh: Jika sifat perbuaaan (akhlak) tersebut dimiliki oleh seorang muslim ketika melakukan aktivitas, maka akan mempunyai pengaruh yang signifikan, antara lain: 1. Melaksanakan akhlak dengan taklîf syar‟i yang lain akan menjadikan seorang muslim mempunyai kepribadian yang unik ketika berinteraksi dengan khalayak ramai. Mereka pun percaya dengan kata-kata dan perbuatannya. 2. Akhlak akan bisa menumbuhkan kasih sayang dan sikap hormat khususnya antara sesama anggota keluarga, dan umumnya dengan anggota masyarakat. 3. Orang yang mempunyai sifat perbuatan (akhlak) yang terpuji akan mendapat pahala di sisi Allah SWT. di akhirat. Bahkan orang yang mempunyai akhlak yang mulia di dunia akan dekat dengan Rasulullah Saw. di akhirat. Sabda baginda Saw.: “Sesungguhnya orang yang lebih aku cintai di antara kalian, dan lebih dekat kepadaku tempatnya pada hari kiamat, adalah siapa saja di antara kalian yang paling baik akhlaknya.” (HR Bukhâri). 2. Hukum-hukum Islam mengenai Pakaian Hukum-hukum Islam mengenai pakaian ini adalah hukum-hukum yang membahas benda, bukan hukum perbuatan. Sebab, ada perbedaan antara hukum perbuatan dengan hukum benda. Hukum perbuatan terikat dengan al-ahkâm al-khamsah (lima macam hukum syara‘), yaitu wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Sedangkan hukum benda hanya terikat dengan hukum halal dan haram, ataupun mubah dan haram. Tidak ada hukum benda yang makruh, sunnah atau wajib. Karena pakaian ini merupakan sesuatu yang digunakan oleh seseorang untuk menutup auratnya, maka pakaian adalah bendanya sedangkan menutup aurat adalah aktivitasnya. Secara umum, hukum Islam mengenai pakaian asalnya adalah mubah. Ini sebagaimana kaidah usul yang menyatakan: “Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” Ini artinya, bahwa pakaian hukum asalnya adalah mubah. Dan untuk mengharamkannya harus ada dalil yang mengharamkannya. Barulah hukum benda tersebut akan menjadi haram. Sekalipun demikian, jika diteliti lebih mendalam, hukum Islam yang berkaitan dengan benda tersebut tidak ada satu pun yang disertai dengan illat apapun. Sebab semua hukum yang berkaitan dengan pakaian adalah hukum benda yang asalnya mubah berdasarkan dalil umum, dan menjadi haram jika ada dalil khusus yang mengharamkannya. Jadi, hukum pakaian tersebut mutlak ditentukan olah dalil bukannya oleh yang lain, sehingga dalam masalah pakaian tidak ada analogi. Meskipun tetap tidak bisa ditolak adanya tahqîq manât yaitu usaha untuk membuktikan objek benda tertentu. Misalnya, ada pakaian yang diharamkan karena menyerupai hadhârah (tradisi budaya) bangsa atau ummat lain. Contoh songkok Yahudi, lambang salib Kristen, atau serban Sikh yang dibelitkan di kepala para pengikutnya. Semuanya ini diharamkan berdasarkan dalil tasyabbuh bi al-kuffâr (menyerupai pakaian orang kafir). Sedangkan untuk membuktikan mana pakaian yang menyerupai orang kafir tidak memerlukan dalil. Tetapi, cukup dengan pembuktian realitasnya, atau yang disebut dengan tahqîq al-manâth. 3. Hukum-hukum di seputar Makanan dan Minuman Hukum-hukum Islam mengenai makanan dan minuman adalah hukum-hukum yang membahas benda, sama seperti hukum pakaian. Karena itu, hukumnya jelas berbeda dengan perbuatan. Maka, hukum benda tersebut hanya terikat dengan halal dan haram, atau mubah dan haram. Di sini tidak ada makruh, sunnah atau wajib. Karena makanan dan minuman ini merupakan benda yang akan digunakan oleh seseorang untuk memenuhi keperluannya, maka makanan dan minuman adalah benda. Sedangkan usaha pemenuhannya adalah aktivitasnya. Maka, secara umum, hukum Islam yang berkaitan dengan makanan dan minuman ini adalah mubah, yang menjadi haram jika ada yang mengharamkannya, sebagaimana kaidah ushul yang berkenaan dengan benda: “Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil haram yang mengharamkannya.” 76
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB SIYASAH Pemikiran Politik Islam Banyak versi mengenai definisi dari politik. Harold D. Laswell dan A. Kaplan mengartikan politik adalah sebuah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Demikan juga WA Robson mengungkapkan mengenai politik dengan pengertian sebagai berikut: ―Ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, prosesproses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.‖ Pemikiran-pemikiran politik seperti tersebut di atas merupakan sedikit dari pandangan dan teori politik yang diterima setiap bangsa. Layaknya adagium “Tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, adanya hanya kepentingan abadi”, teori dan pemikiran politik tersebut sudah diterima sebagai suatu kelaziman dan kebenaran, pun oleh kaum muslimin. Terhadap teori dan pemikiran politik ini, sebagian kaum muslimin menerima dengan apa adanya. Sebagian kaum muslimin mengkompromikannya dengan Islam, namun tidak sedikit yang menolaknya dengan pandangan bahwa “politik itu kotor”. Kelompok yang terakhir ini berpendapat bahwa politik itu bukan bagian dari Islam, bahkan dikatakan Islam mengharamkan politik dan aktivitas politik. Lantas bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam mengenai politik ini? Apakah politik menurut pandangan Islam sama dengan politik dalam kacamata demokrasi? Islam adalah suatu metode kehidupan yang unik, dibandingkan dengan agama maupun ideologi lain. Dari segi wilayah ajarannya, Islam bukan saja agama yang mengurusi masalah ruhiyah (spiritual), namun juga meliputi masalah politik (siyasiyah). Dengan kata lain, Islam adalah aqidah spiritual dan politik (al aqidah ar ruhiyah wa as siyasiyah). Aqidah spiritual (al aqidah ar ruhiyah) mengatur masalah yang berhubungan dengan akhirat, seperti surga dan neraka, pahala dan siksa, ibadah (shalat, puasa, zakat, haji dll). Sedangkan al aqidah as siyasiyah mengatur urusan kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, hukuman dan sebagainya. Keyakinan seorang muslim tentang aqidah haruslah meliputi kedua aspek tersebut secara keseluruhan (kaffah). Manusia yang menerima satu aspek saja dan menolak yang lain, atau bahkan menolak dua-duanya, adalah termasuk dalam golongan orang ingkar (kafir). Jadi, dienul Islam yang mencakup urusan aqidah dan syariah harus dijalankan oleh setiap insan yang telah mengikrarkan kalimat syahadat. Politik (siyasah) mempunyai makna pengaturan urusan umat dengan aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri‟ayah syu‟uun al ummah dakhilian wa kharijian). Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah (negara). Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan tersebut secara praktis („amali), disisi lain umat memberikan koreksi (muhasabah) kepada pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Definisi ini sesuai dengan realitas empiris yang wujudnya ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan berlaku umum, sebab diambil berdasarkan fakta politik dan ditinjau dari sisi politik itu sendiri. Secara etimologis, politik (siyasah) berasal dari kata „sasa‟, „yasusu‟, „siyasatan‟ yang berarti mengurusi kepentingan seseorang. Kamus Al Muhith menyebutkan bahwa ‗sutsu ar ra‟iyata siyasatan‘ bermakna ‗saya memerintah dan melarangnya dengan suatu aturan‘. Makna tersebut mencerminkan adanya aktivitas pengaturan urusan rakyat oleh suatu pemerintahan dalam bentuk perintah dan larangan. Dalil-dalil syara‘ dari beberapa hadits menggambarkan adanya aktivitas penguasa, koreksi dan kontrol terhadapnya dan wajibnya mengurusi kepentingan kaum muslimin, yang semuanya itu merupakan aktivitas politik (ri‟ayah syu‟uun) diantaranya: “Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari dari Ma‟qil bin Yasar ra.) “Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ma‟qil bin Yasar ra., lafadz bagi Bukhari)
77
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah ra.) “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara‟), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridha (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hokum syara‟) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya : „Apakah kita tidak memerangi mereka ?‟ Beliau Saw menjawab :‟Tidak, selama mereka menegakkan sholat (hukum-hukum Islam).” (HR Muslim dari Ummu Salamah ra.) Abu Dzar ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa menjadi wali (menguasai) seseorang, maka nanti pada hari kiamat didatangkan lalu ditegakkan di atas jembatan Jahannam. Apabila ia berbuat baik, maka ia selamat, dan apabila ia berbuat jahat (curang), maka jembatan itu akan terbelah lalu ia terlempar ke dalam Jahannam selama 70 tahun, sedangkan Jahannam itu gelap gulita.” Ibnu Abbas ra berkata: “Ayat athi‘ullaha wa athi‘urrasula wa ulil amri minkum (taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah dan pemerintahan dari kaum muslimin) turun ketika Abdullah bin Hudzaifah bin Qays bin Adi diutus Nabi Saw. memimpin suatu pasukan.” (HR Bukhari dan Muslim) Jarir Ibnu Abdullah ra berkata: “Aku berbai‟at kepada Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim.” (HR Bukhari Muslim) “Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya) maka bersabarlah. Barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walaupun sejengkal saja, lalu mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas ra.) Hadits-hadits di atas, baik yang berkenaan tentang penguasa dan kedudukannya, muhasabah umat pada penguasa, atau hubungan antar sesama kaum muslimin dalam mengurus kepentingan mereka dan untuk saling menasehati, semua itu menunjukkan makna politik, yaitu mengurusi kepentingan umat. Jadi, definisi ‗politik‘ tersebut merupakan definisi syar‘i yang berasal dari dalil-dalil syara‘. Dalil-dalil syara‘ tersebut menunjukkan bahwa politik adalah unsur terpenting dalam Islam. Peduli dan sibuk dengan aktivitas politik untuk mengurusi kepentingan umat Islam, khususnya berusaha untuk menegakkan Islam di muka bumi, merupakan kewajiban terbesar kaum muslimin. Sibuk dengan aktivitas politik dalam dan luar negeri hukumnya fardlu seperti halnya aktivitas jihad. Sebab, pengaturan urusan umat Islam harus diselenggarakan negara dengan hanya merujuk pada hukum-hukum dan solusi Islam. Intinya, aktivitas politik untuk menerapkan hukum Islam secara sempurna (kamiil) dan keseluruhan (syamiil) adalah wajib bagi kaum muslimin. Dari definisi ini jelaslah bahwa politik (siyasah) dalam Islam adalah ri‟ayah syu‟uun al ummah (mengurusi urusan umat), bukan seperti politik dalam demokrasi yang berorientasi pada kekuasaan dengan mengabaikan aturan-aturan Al Khaliq. Aktivitas politik dalam demokrasi yang menghalalkan segala cara, menerapkan dan membuat hukum-hukum buatan manusia serta mengeliminasi hukum-hukum Allah, merupakan kemaksiatan. Sedangkan aktivitas politik dalam Islam yang bertujuan untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin merupakan kewajiban. Ikatan yang Mempersatukan Manusia Seorang pemimpin Republik Turki, Turgut Ozal pernah mengatakan: ―Ada sebuah kelompok besar negara Islam. Mereka pernah menganggap Utsmaniyyah sebagai pemimpin dunia Islam. Kita harus memimpin kelompok negara-negara ini dan hal ini akan membuat kita lebih penting dimata Barat. Secara fisik maupun moral kita adalah jembatan dari Barat.‖
78
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Ia adalah seseorang yang walaupun muslim, pada saat yang sama ia merasa nyaman dengan pemerintahan non-Islam. Dalam memimpin Turki, Ozal memiliki dua tahap strategi internasionalnya yakni membangkitkan kembali posisi Turki di dunia muslim seperti era Turki Utsmani, dan membiarkan negaranya bertindak sebagai sebuah jembatan bagi pihak Barat dengan usahanya menjadi bagian dari Eropa. Suatu target yang hampir pasti tidak akan pernah terwujud. Gambaran tersebut menunjukkan adanya suatu konsensus di kalangan bangsa-bangsa beragama Islam untuk bersatu dengan saudara sebangsanya dan berpisah dari yang bukan sebangsanya. Bangsa Indonesia membentuk Republik Indonesia, bangsa Arab menyatukan dirinya dalam kerajaan-kerajaan kecil seperti Saudi Arabia, bangsa Mesir menyatukan dirinya dalam Republik Mesir. Sementara itu slogan-slogan “Agama milik Allah, tanah air milik semua orang”, “Kita dipersatukan oleh penderitaan dan cita-cita”,atau ” Tanah air di atas segalanya” menjadi legitimasi bangsa-bangsa itu untuk hidup dalam aturan-aturan yang digali dari budaya masingmasing untuk cita-cita mereka masing-masing. Jadilah umat Islam yang merupakan ummatan wahidah menjadi potongan-potongan kecil yang diperebutkan orang-orang kafir. Dalam mencapai tujuannya, manusia membentuk kelompok-kelompok yang dipersatukan oleh beragam ikatan. Kesamaan kepentingan, suku bangsa atau ras, rasa cinta tanah air, spiritualisme, dan keyakinan seringkali menjadi dasar bersatunya manusia. Lantas, dari adanya ikatan-ikatan kesamaan tersebut, manakah yang paling kuat menyatukan manusia? Ikatan Kepentingan (Mashlahat) Ikatan yang timbul karena kesamaan kepentingan adalah ikatan yang temporal sifatnya, dan tidak bisa dijadikan pengikat antar manusia. Hal ini disebabkan adanya peluang tawarmenawar (take and give) dalam mewujudkan kepentingan mana yang lebih besar, sehingga eksistensinya akan hilang begitu saja begitu satu kepentingan dipilih atau didahulukan dari kepentingan yang lain. Apabila kepentingan itu telah ditentukan, berakhirlah persoalannya, kemudian orang-orangnya pun membubarkan diri, karena ikatan itu berakhir tatkala kepentingan telah tercapai. Dengan demikian, ikatan ini sangat berbahaya bagi para pengikutnya. Misalnya, mengenai isu lingkungan hidup yang menyeruak sebagai isu internasional pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro. Namun, nyatanya kepentingan negaranegara Barat yang kapitalistik, mendominasi proses kesepakatan mengenai isu tersebut. Ikatan Nasionalisme Ikatan kesukuan (chauvinisme), atau kebangsaan (nasionalisme) ataupun ras (rasisme), adalah ikatan yang bersifat emosional, karena lahir dari naluri mempertahankan diri semata, tidak tumbuh dari sebuah kesadaran yang permanen, sehingga wajar jika ikatan nasionalisme misalnya, bernilai kontradiktif. Di satu sisi mempersatukan manusia, di sisi lain menumbuhkan sikap antiegaliter terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam kamus Webster tertulis, bahwa salah satu bagian dari nasionalisme adalah a sense of national cosciousness exalting one nation above all others (satu perasaan untuk mengagungkan satu bangsa di atas bangsa-bangsa yang lain). Pada dasarnya nasionalisme adalah ikatan yang lemah. Salah satu kelemahannya adalah ketidakmampuannya mempersatukan manusia secara permanen. Ikatan nasionalisme bersifat temporal, hanya akan muncul tatkala ada ancaman dari pihak luar terhadap eksistensi satu komunitas. Adanya penjajahan, persaingan atau benturan budaya adalah stimulan yang ampuh untuk menumbuhkan ikatan nasionalisme. Senang dan gembira yang dirasakan oleh mahasiswa muslim Indonesia yang sedang tugas belajar di luar negeri ketika bertemu orang Indonesia yang notabene beragama non Islam dan tidak segembira ketika bertemu saudaranya sesama muslim yang berbeda bangsa dan negara; merupakan contoh kecil dari ikatan nasionalisme. Contoh lain adalah keberhasilan Sukarno menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda adalah semata-mata karena tiupan spirit nasionalisme yang kental. Bentrokan antar suku di Indonesia yang marak terjadi, menjadi contoh nyata sukuisme. Sementara itu, di Eropa, pada awal abad kedua puluh, demi supremasi ras Aria, Hitler mengobarkan Perang Dunia II. Kemudian, Jepang yang menyembah matahari mengikuti jejak Jerman masuk ke dalam kancah PD II, semata demi keunggulan negerinya di dunia. Rasa cinta tanah air memunculkan ikatan patriotisme, yang muncul ketika tanah tersebut berada di bawah ancaman pihak luar , misalnya konflik militer dengan bangsa lain. Namun, semua luapan sukuisme, nasionalisme, rasisme maupun patriotisme tersebut akan hilang dengan sendirinya begitu ancaman dari luar berkurang atau hilang sama sekali. 79
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Ikatan Spiritual Sedangkan ikatan spiritual atau kerohanian, adalah ikatan atau persatuan manusia berdasarkan pada ―kepercayaan agama‖ mereka dan kepercayaan itu sifatnya tidak komprehensif. Kepercayaan ini hanya berkaitan dengan aspek ritual suatu ibadah, yaitu hubungan antara manusia dengan yang disembahnya. Misalnya, ikatan spiritual yang diidentifikasikan oleh manusia dengan orang lain berdasarkan agama Kristen, Hindu atau Budha. Semangat berani mati para serdadu Jepang pada perang dunia II, perilaku hara-kiri dan sebagainya, yang didasarkan kesetiaan pada Kaisar Tenno Heika dan Hinomaru juga dapat dijadikan kasus ikatan spiritual ini. Ikatan spiritual ini tidak memiliki peraturan, aktivitasnya hanya terlihat dari kegiatan spiritual saja. Ikatan spiritual ini tidak mengikat dan menyatukan manusia dalam masalahmasalah selain urusan keyakinan dan persembahan, jadi terbatas dan tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mempersatukan manusia dengan kuat. Ikatan ini merupakan ikatan yang sifatnya parsial dan terbatas pada aspek kerohanian semata, yang tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga tidak layak menjadi pengikat antar manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Misalnya, aqidah yang dianut oleh kaum Nashrani yang dianut hampir di seluruh Eropa, tidak dapat dijadikan pengikat antar bangsa-bangsa Eropa. Begitupun, jika Islam dipandang hanya sebatas aspek spiritual saja, maka tidak dapat juga menyatukan negerinegeri Islam yang terpecah belah menjadi lebih dari 55 negeri. Ikatan Ideologi Seluruh ikatan di atas tidak layak dijadikan pengikat antar manusia dalam kehidupannya, apalagi untuk mencapai kemajuan dan kebangkitan. Ikatan yang benar dan paling kuat mengikat manusia dalam kehidupannya adalah ikatan aqidah yang dibentuk melalui suatu proses berpikir (aqidah aqliyah) yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Hal inilah yang disebut ikatan ideologis (mabda‟), yang didasarkan pada suatu ideologi. Ideologi adalah keyakinan (aqidah) yang melahirkan suatu paket aturan dan sistem yang mampu mengatur hidup manusia. Kepada aturan itulah manusia yang meyakininya akan mengembalikan seluruh problem kehidupannya. Ikatan berdasarkan ideologi ini hanya memandang aqidah, bukan yang lain. Perbedaan bangsa, warna kulit, ras, kekayaan, kepentingan dan lainnya, bukanlah persoalan yang dapat menghalangi orang untuk saling mengikatkan dirinya satu dengan yang lain. Jenis ikatan ini terletak pada orang-orang muslim, kapitalis dan komunis. Namun jelas, Islam adalah satu-satunya ideologi yang benar, karena ia adalah bukan hasil pemikiran manusia, namun semata-mata datang dari Sang Pencipta manusia. Setiap muslim yang mendambakan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam Islam, maka tidak ada pilihan lain dalam mengikatkan dirinya dengan orang lain, kecuali dengan ikatan ideologi Islam. Ia harus berani mengubur habis ikatan-ikatan lainnya seperti nasionalisme, sukuisme, rasisme, patriotisme, kepentingan, spiritual belaka, kapitalisme dan sosialisme yang rusak (fasad). Ia harus senantiasa berpegangan pada dalil-dalil syara‘ yang melarang kaum muslimin mengikatkan dirinya kecuali hanya pada ikatan mabda‟. Rasulullah SAW bersabda: “Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ashabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang-orang yang berperang karena ashabiyyah serta bukan dari golongan kami orang-orang yang mati karena ashabiyyah.” (HR Abu Dawud) Dalam hadits yang lain disebutkan oleh Misykat Al Masabih Rasulullah bersabda: ”Dia yang menyeru pada ashabiyyah laksana orang yang menggigit kemaluan bapaknya.” Walhasil, ikatan aqidah Islamlah yang harus dipegang oleh setiap muslim, sehingga benar-benar umat Islam menjadi ummatan wahidah (umat yang satu), sebagaimana sabda Rasulullah: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya bapak kalian adalah satu, ibu kalian juga satu. Setiap kalian adalah anak Adam. Adam itu berasal dari tanah. Sesungguhnya tidak ada yang disebut orang Arab diantara kalian karena faktor bapak atau ibunya, karena kearaban itu hanyalah ditentukan oleh faktor bicaranya. Siapa saja yang berbicara dengan bahasa Arab, ia termasuk orang Arab”.
80
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB SYAKHSHIYYAH Definisi Syakhshiyyah Istilah Syakhshiyah (kepribadian) dan Syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam) merupakan istilah baru yang tidak ada dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Hal itu adalah lumrah karena merupakan hal baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, shahabat bahkan berabad-abad selama terwujudnya masyarakat Islam secara nyata. Namun ketika berbagai produk budaya Barat makin merajalela di berbagai negeri kaum Muslimin saat ini; baik produk-produk materi (al maadiyah) maupun nilai-nilai (al afkaar); maka pembahasan masalah tersebut menjadi sangat penting dibicarakan. Salah satu nilai yang tertanam dalam kehidupan kaum Muslimin saat ini adalah nilai-nilai yang dikembangkan dalam bidang ilmu kejiwaan atau psikologi; antara lain tentang konsep kepribadian manusia yang sangat ditentukan oleh berbagai standar. Para ahli Barat banyak membicarakan konsep kepribadian dan nilai-nilai tinggi-rendahnya kepribadian tersebut. Konsep mereka menyatakan bahwa tinggi rendahnya kepribadian seseorang ditentukan oleh berbagai nilai seperti: nilai-nilai fisik (postur tubuh, cara berjalan, bentuk hidung, mata, letak tahi lalat, dsb.) nilai-nilai non-fisik (bentuk pakaian, warna kesukaan, makanan-minuman, saat kelahiran, adat istiadat, dsb.) nilai-nilai genetik (orang tua pintar, seniman, dsb.) nilai-nilai ekternal lainnya (pendidikan, ekonomi, kondisi sosial-politik, dsb.). Walhasil, nilai-nilai tersebut pun semakin mempengaruhi kaum Muslimin dalam memandang kemuliaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri seseorang maupun masyarakat. Seseorang yang berpakaian ala barat, santun dalam berkata, rapi, peduli lingkungan, disiplin, pemaaf, tepat waktu; dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulia, meskipun ia biasa mengkonsumsi minuman keras --meski tidak sampai mabuk, hidup tanpa ikatan pernikahan seatap dengan pasangannya atas dasar suka sama suka, iapun memakan uang riba dan hasil perjudian (legal maupun tidak), dan ia cukup datang ke tempat-tempat ibadahnya pada saat-saat tertentu saja. Berbagai contoh lain tentang hal ini tentu mudah kita dapatkan di masyarakat. Apalagi kini bermunculan 'sekolah kepribadian' yang mengajarkan tentang 'kepribadian baik dan mulia' sesuai dengan nilai-nilai baik dan mulia menurut para pengajarnya; yakni masyarakat Barat. Memahami kondisi seperti inilah maka pemahaman tentang makna 'kepribadian' dan 'kepribadian Islam' menjadi sesuatu yang penting, agar kaum Muslimin memiliki sebuah kepribadian yang benar, mulia dan kokoh yang dibangun diatas nilai-nilai Aqidah Islam sebagaimana kepribadian Rasulullah SAW dan para shahabat yang mulia. Kepribadian dan Kepribadian Islam Siapapun yang mencermati realitas ini dengan baik, akan menemukan bahwa sesungguhnya kepribadian bukanlah dinilai dari nilai-nilai fisik pada diri seseorang (cantik/tidak, kaya/miskin, dsb.) juga bukan pada asal daerah dan suku (Jawa, Batak, Sunda), kebiasaan atau keturunannya. Kepribadian sebenarnya adalah perwujudan dari pola pikir/aqliyah (yakni bagaimana ia bersikap dan berpikir) dan pola tingkah laku/nafsiyah (bagaimana ia bertingkah laku). Pola pikir seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran yang ada pada dirinya dalam menyikapi atau menanggapi berbagai pandangan dan pemikiran tertentu. Pola pikir pada diri seseorang tentu sangat ditentukan oleh 'nilai paling dasar' atau ideologi yang diyakininya. Dari pola pikir inilah bisa diketahui bagaimana sikap, pandangan atau pemikiran yang dikembangkan oleh seseorang atau yang digunakannya dalam menanggapi berbagai sikap, pandangan dan pemikiran yang ada di masyarakat sekitarnya. Misalnya, seseorang akan mengembangkan suatu ide/konsep; seperti kebebasan, persamaan dan kesetaraan, bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut. Begitu pula sebaliknya, bila ideologinya melarang hal seperti itu. Sedangkan pola tingkah laku/nafsiyah adalah perbuatan-perbuatan nyata yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya (kebutuhan biologis maupun naluriahnya). Pola tingkah laku pada diri seseorang pun sangat ditentukan oleh 'nilai paling dasar' atau ideologi yang diyakininya. Seseorang akan makan-minum apa saja dalam memenuhi kebutuhan biologisnya bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal itu. Seseorang pun akan memuaskan naluri seksualnya dengan cara apa saja bila ideologi yang 81
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
diyakininya membolehkan hal itu. Dan ia pun akan mengatur aturan peribadahannya, tata cara berpakaiannya, tata cara bergaul dan berakhlak sesuai dengan keinginannya, bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal itu. Begitu pula sebaliknya jika ideologi yang diyakini melarangnya. Walhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan 'corak' kepribadian seseorang. Dan karena pola sikap dan pola tingkah laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar/ideologi yang diyakininya, maka 'corak' kepribadian seseorang memang sangat bergantung kepada ideologi/aqidah yang dianutnya. Ideologi/aqidah kapitalisme akan membentuk masyarakat berkepribadian kapitalismeliberal. Ideologi sosialisme pasti akan membentuk kepribadian sosialisme-komunis. Sedangkan ideologi/aqidah Islam seharusnya menjadikan kaum Muslimin yang memeluk dan meyakininya, memiliki kepribadian Islam. Dalam bahasa yang lebih praktis, kepribadian (syakhshiyah) terbentuk dari pola sikap (aqliyah) dan pola tingkah laku (nafsiyah), yang kedua komponen tersebut terpancar dari ideologi (aqidah) yang khas/ tertentu. Dari sinilah maka ketika membahas tentang kepribadian Islam (Syakhshiyah Islamiyah) berarti berbicara tentang sejauh mana seseorang memiliki pola pikir yang Islami (Aqliyah Islamiyah) dan sejauh mana ia memiliki pola tingkah laku yang Islami (Nafsiyah Islamiyah). Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu ke-Islaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat; dimana semua pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu dan nilai-nilai Islami. Sedangkan Nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan Islam sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian, dsb.), maupun kebutuhan naluriahnya (beribadah, bergaul, bermasyarakat, berketurunan, dsb.). Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa bersikap/berfikir atas dasar pola berfikir Islami dan orang-orang yang senantiasa memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam, tidak mengikuti hawa nafsunya semata. Terlepas apakah ia memiliki syakhshiyah islamiyah yang kuat ataukah tidak, yang jelas ia telah memiliki syakhshiyah/kepribadian Islam. Hanya saja perlu dipahami disini, bahwa Islam tidak menganjurkan umatnya memiliki syakhshiyah Islamiyah sebatas ala kadarnya. Islam membutuhkan orang-orang dengan syakhshiyah islamiyah yang kokoh; kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya dan tinggi pula tingkat ketaatannya terhadap ajaran Islam. Metode Memperkuat Syakhshiyah Islamiyah Upaya untuk memperkuat syakhshiyah islamiyah adalah dengan cara meningkatakan aqliyah dan nafsiyah islamiyahnya. Meningkatkan kualitas aqliyah islamiyah adalah dengan cara menambah khazanah ilmu-ilmu Islam (tsaqofah islamiyah); sebagimana dorongan Islam bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun. Dengan ilmu Islam yang cukup seorang Muslim akan mampu menangkal berbagai bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Ia pun akan mampu mengembangkan ilmu-ilmu Islam bahkan dapat menjadi seorang Mujtahid atau Mujaddid. Allah SWT mengajarkan do'a kepada kita: "Katakanlah: Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku." [QS. Thaha: 114] Adapun nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan Islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunah, serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan syubhat apalagi yang haram. Islam pun menganjurkan agar kita senantiasa berakhlak mulia, bersikap wara' dan qana'ah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman: " ... dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hambaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardlu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya." (HR Bukhari dari Abu 82
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Hurairah) Allah SWT juga berfirman: "Maka berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebaikan." (QS Al Baqarah: 148) Rasulullah SAW bersabda: "Bagi seorang Muslim telah diwajibkan baginya bershodaqoh. Abu Musa bertanya: 'Bagaimana jika ia tidak mendapatkan sesuatu untuk bershodaqoh?' Rasul menjawab: 'Ia harus berbuat dengan kedua tangannya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya kemudian ia bershadaqoh' Bagaimana jika ia tidak berbuat demikian?' tanya Abu Musa. Rasul menjawab: 'Ia harus menolong orang yang membutuhkannya' Bila ia tidak mampu? Jawab Rasul: 'Ia harus beramar ma'ruf dan mengajak kepada kebajikan'. Bagaimana bila ia tidak kuasa melakukan itu? Rasul menjawab: 'Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah." (HR Bukhari dari Abu Musa) Dengan cara inilah syakhshiyah islamiyah akan semakin meningkat terus; pemikiran islamnya semakin cemerlang, jiwa islamnya semakin mantap dan istiqomah serta ia pun akan semakin dekat dengan Allah SWT. Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering muncul di kalangan kaum muslimin, yaitu terkadang menggambarkan sosok pribadi Muslim sebagai 'sosok mulia tanpa cacat ibarat malaikat'. Pandangan seperti ini salah dan bisa berbahaya karena seolah kepribadian Muslim adalah hanya milik para Rasul dan tidak akan bisa diterapkan dalam realitas masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan syakhshiyah islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam pada diri seseorang. Kemudian aqidah tersebut difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan dalam setiap aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini manusia tetap bisa berbuat salah dan maksiat, baik dalam masalah pemikiran maupun perbuatan. Artinya, suatu saat manusia dapat saja berbuat dosa dan lalai terhadap pemikiran maupun perbuatan yang Islami. Namun saat itu pula ia diingatkan untuk segera bertaubat dan kembali berupaya berbuat baik, sebagaimana firman Allah SWT:
"(dan orang bertaqwa itu adalah).. yang jika berbuat dosa dan aniaya atas diri sendiri, ia segera ingat Allah dan memohon ampun atas dosanya... " [QS. Ali Imron: 135] Seorang yang memiliki syakhshiyah islamiyah yang tangguh akan tampil mulia di tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Dimana ia berada akan menjadi pusat perhatian karena ketinggian ilmu dan kekuatan jiwanya. Allah SWT telah menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu dalam berbagai ayat Al Qur‘an, antara lain:
"Muhammad itu rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (para shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi saling berkasih sayang terhadap sesama mereka. Engkau melihat mereka ruku' dan sujud mengharap karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dan bekas sujud." [QS Al Fath: 29] Begitu pula sebagaimana yang tercantum pada QS At Taubah: 100, Al Mukminun: 1-11, Al Furqon: 63-74, dsb. Meski sifat khas kepribadian Islam itu tidak ada kaitannya dengan penampilan fisik 83
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
seseorang, namun Islam juga menganjurkan agar umatnya selalu menjaga penampilan fisik, keindahan dan kebersihan; sebagaimana dalam hadits berikut: "Jika kalian mengunjungi saudaramu maka perbaikilah kendaraanmu dan perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan keindahan yang mudah dikenali) diantara manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang buruk." (HR Abu Dawud) Islam telah menjadikan diri Rasulullah SAW dan para shahabatnya sebagai orang-orang dengan kepribadian Islam yang paripurna dan kokoh, sebagai teladan tepat bagi seluruh kaum Muslimin. Tidak ada contoh terbaik selain mereka dan orang-orang yang juga mencontoh mereka. Karenanya seorang Muslim haram menjadikan kepribadian Barat sebagai teladan bagi standarisasi kepribadian yang mulia dan kepribadian yang buruk. Teladan Kepribadian Para Shahabat dan Tabi'in Ciri khas syakhshiyah pada shahabat dan tabi'in berbeda-beda sesuai dengan tingkatan ilmu, olah aqliyah, kemampuan hafalan Al Qur‘an dan hadits Rasul. Abu Ubaidah bin Jarrah merupakan salah seorang shahabat yang demikian teguh keimanannya. Beliau pantas menduduki jabatan Khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah mencalonkannya sebagai Khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah Bani Sa'idah. Hal ini mengingat keahlian dan keamanahannya. Abu Ubaidah termasuk salah seorang shahabat yang menguasai dan hafal seluruh Al Qur‘an. Beliau mempunyai sifat amanah sehingga Rasulullah SAW memujinya. "Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang yang terpercaya dan orang yang terpercaya dalam ummatku adalah Abu Ubaidah." (HR Bukhari) Selain itu Beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadlu'. Sangat tepatlah apabila Khalifah Abu Bakar mengangkatnya sebagai pengelola Baitul Maal dan pada saat yang lain beliau dipercaya sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam. Di kalangan shahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin Zubeir, yang oleh Rasulullah SAW pernah dijuliki Thalhah bin Khair (Talhah yang baik) dalam Perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga mendapat gelar-gelar lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Talhah yang pemurah) pada saat Perang Dzul 'Asyiroh, dalam Perang Khaibar. Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan selalu menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa memenuhi kebutuhan setiap orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya (Bani Tim) dan selalu melunasi hutanghutang mereka. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap nabi mempunyai hawariy (pendamping) dan hawariku adalah Zubeir." (HR Ahmad) dengan isnad Hasan dalam "Al Musnad" jilid I/89, dan Al Hakim "Al Mustadrak", jilid III/462). Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi SAW hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat jihadnya sehingga dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan yang memberikan sebagian besar hartanya untuk kepentingan jihad fi sabilillah, Az-Zuhri telah meriwayatkan. "Abdurrahman bin Auf menanggung seluruh ahli Madinah. 1/3 penduduknya diberi pinjaman, 1/3 lainnya membayar pinjamannya, sedangkan 1/3 sisanya diberikan sebagai pemberian." (Lihat "Siar A'lam An Nubala", karangan Imam Adz Dzahabi jilid I/88) Di antara shahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan perencanaan tata kota adalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh Umar bin Khaththab sebagai wali sekaligus menata Kota Basrah. Ada pula shahabat yang terkenal ahli berpidato adalah Tsabit bin Qo'is, Abdullah bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan Ka'ab bin Malik. Dan tidak ketinggalan, shahabat Utsman bin Affan yang terkenal dengan sifat pemalunya, sampaisampai Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya malaikatpun merasa malu kepadanya." Shahabat Khabab bin Mudzir, terkenal dengan kecermatan pendapatnya sehingga digelari Dzir Ro'yi (intelektual). Masih ada empat orang shahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu Mua'wiyah bin Abu Sufyan yang memiliki jiwa tenang dan lapang dada, Amr bin Ash yang ahli 84
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya, Mughiroh bin Syu'bah yang mampu memecahkan masalah besar dan genting, serta Ziyad yang ahli dalam menghadapi masalah kecil maupun besar. Selain itu di masa shahabat terdapat seorang shahabat yang mampu berbicara dalam seratus bahasa yang tak tertandingi oleh bangsa atau umat manapun hingga kini. Beliau adalah Abdullah bin Zubeir. Adapun shahabat Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian dalam bidang qadha/kehakiman dan fatwa. Shahabat yang ahli dalam masalah pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash dan Abil Jalad Al Jauli. Beberapa contoh tersebut hanyalah beberapa dari syakhsiyah para sahabat. Tentunya masih banyak lagi sahabat rasul yang bersyakhsiyah Islam dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam keilmuannya. Semoga kita bisa meniru mereka atau setidaknya mendekati mereka. Akhlaq Adalah Perintah Syara‟ Dari segi bahasa, khuluq (kata dasar akhlak) berarti sifat yang senantiasa nampak pada tingkah laku dan telah menjadi tabi'at, sebagaimana firman Allah SWT:
"(Dien kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu." [QS. Asy Syu'araa: 137] Maksud kata khuluq dalam ayat ini adalah tabi'at manusia dahulu dengan adat istiadatnya. Apabila tingkah lakunya baik maka dikatakan khuluqnya baik, begitu pula sebaliknya bila tingkah lakunya buruk maka khuluqnya buruk. Tetapi menurut syara', khuluq artinya Diin, sebagaiman firman-Nya:
"Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." [QS. Al Qalam: 4] Maksud kalimat khuluq di sini adalah Diin yang mulia, disebabkan menunjukkan arti khuluq sebagai Din. Firman Allah SWT:
seruan ayat ini
"Nun. Demi qalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Rabbmu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat. Dan mereka (orang- orang kafir) pun melihat siapa diantara kamu yang gila." [QS. Al Qalam: 1-6] Dalam pembahasan ini mereka menganggap bahwa risalah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah 'gila'. Yang menjadi masalah (bagi kaum kafir Mekkah) sebenarnya adalah Din/ajaran yang dibawa oleh Rasul, dan bukanlah sifat (tingkah laku) Nabi itu sendiri (yang bertabiat baik, terpercaya,dsb) karena sebelum beliau diutus menjadi nabi pun orangorang Quraisy telah mengakui bahwa beliau adalah orang yang baik akhlak (tingkah laku)nya sehingga beliau diberi gelar Al Amin (yang dipercaya). Oleh karena itu, arti khuluq dalam ayat ini adalah Din/agama. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam tafsir Al Jalalain. Berbicara tentang akhlak memang yang menjadi pokok bahasannya adalah tingkah laku, perangai, budi pekerti atau moral. Akhlak juga merupakan perwujudan dari pemahaman seseorang tentang tingkah laku. Masyarakat barat yang bebas dan sekuler memiliki tingkah laku yang terbebas dari berbagai aturan karena pemahaman mereka tentang kehidupan memang seperti itu. Kondisi tersebut tentu sangat berbeda dengan kondisi masyarakat Islam yang segala pikiran dan tingkah lakunya selalu terkait dengan hukum syara' (Syariat Islam). 85
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Hanya saja, harus dipahami bahwa pandangan Islam tentang 'akhlak' memang bersifat khas, berbeda dengan pandangan masyarakat umumnya. Perbedaan itu dapat dipahami dari beberapa konsep berikut ini. 1. Islam tidak hanya memahami akhlak dari segi tingkah laku dan sifat moral belaka, tetapi akhlak merupakan salah satu dari berbagai hukum Islam. Artinya, ada hukum Allah yang berkait dengan ibadah, (seperti shalat, shaum, zakat, haji dsb.); ada hukum yang berkait dengan muamalah (seperti pernikahan, jual beli, syirkah, dsb.) dan ada pula hukum tentang sifat-sifat tingkah laku (yakni akhlak). 2. Islam menentukan bahwa akhlak (yang baik atau buruk) tidak bisa ditentukan oleh manusia sesuai realitas, perkembangan zaman, maupun suara mayoritas manusia semata. Ini tentu berbeda dengan konsep moral dalam masyarakat sekarang, yang sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Akhlak merupakan bagian dari hukum syara' yang bersifat tetap, memiliki nash dari sumber hukum Islam, wajib dilaksanakan oleh orang yang beriman sebagai wujud ketaatannya kepada Allah SWT. 3. Sebagaimana aturan peribadahan, maka pelaksanaan aturan akhlak ini pun hanya bertujuan untuk mendapat keridhoan Allah SWT, bukan sebatas untuk ketinggian moralitas semata, dan bukan untuk mendapat gelaran-gelaran manusiawi semata. 4. Karena akhlak merupakan ketentuan Allah SWT maka adakalanya manusia menganggap suatu akhlak itu baik (memberi kemaslahatan) padahal tingkah laku tersebut dibenci Allah SWT; atau sebaliknya (misalnya bersikap tegas dan keras terhadap orang kafir, tidak iba terhadap orang pelaku kejahatan, berbohong dalam beberapa kondisi, dsb). Ayat-ayat Al Qur‘an dan hadits-hadits Rasulullah banyak yang mendorong manusia agar memiliki sifat yang baik dan melarang manusia berakhlak buruk. Nash-nash syara' bahkan menjelaskan sifat-sifat terpuji semisal jujur, amanah, iffah, menepati janji dsb. Walaupun semua itu merupakan akhlak yang baik, nash-nash syara‘ juga menegaskan bahkan hal-hal tersebut sebagai suatu hukum. Bahkan harus dilihat sebagai sebuah hukum syara (bukan hanya sebagai sebuah penjelasan tentang sifat yang baik/buruk semata). Orang-orang yang memiliki akhlak yang baik haruslah dinilai sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Kita tidak boleh melihatnya hanya sebagai sifat-sifat moral, karena seorang muslim telah diperintahkan untuk melaksanakan hukum-hukum syara‘ walaupun hukum-hukum itu berupa akhlak/tingkah laku. Seorang muslim tidak diperintahkan untuk hanya memiliki sifat-sifat moral semata. Hal ini disebabkan ukuran baik dan buruk hanya dinilai berdasarkan nash-nash syara‟ semata. Allah SWT memerintahkan bersifat jujur dan melarang bersifat dusta, bukan hanya berdasar karena sifat-sifat itu patut dicontoh, tetapi karena hal itu sudah merupakan hukum syara. Sebagai bukti penguatnya adalah bahwa Allah SWT melarang seorang Muslim 'berbohong', namun Allah SWT membolehkan kita 'berbohong' di medan perang (tidak berkata jujur pada musuh-peny). Jadi 'berbohong' disini merupakan sebuah hukum syara. Allah pun memerintahkan bersikap keras terhadap orang kafir dan melarang seorang hakim muslim untuk merasa iba atau kasihan terhadap seorang pelaku pidana. Seandainya perintah Allah SWT, seperti berlaku jujur, melarang dusta, dsb. hanya semata-mata untuk tujuan sifat khuluq/perilaku semata, maka berarti hukum dusta ini merupakan suatu hal yang tidak akan berubah dalam berbagai keadaan bagaimanapun. Namun demikian, karena hal itu termasuk bagian dari hukum syara' maka semua itu harus dilihat dari segi pelaksanaan perintah Allah SWT. Jadi syara telah menetapkan hukum berdusta dalam keadaan tertentu haram dan dalam keadaan lain diperbolehkan. Karena itu, hukum-hukum syara' tidak boleh dijadikan hanya sekedar diambil sifat akhlaknya saja (segi manfaatnya), melainkan harus diperlakukan sebagai sebuah perintah hukum. Dengan kata lain perlu ditekankan bahwa ajakan kepada manusia untuk berakhlak bukan hanya karena sifatnya saja, tetapi justru harus ditekankan bahwa hal itu termasuk bagian dari hukum syara'. Apabila seorang muslim bersikap jujur hanya semata-mata karena sifat jujur tersebut, maka ia tidak akan mendapat ganjaran/pahala atas perbuatannya. Hal itu karena ia mengerjakannya bukan berdasarkan hukum syara‘ tetapi hanya karena anggapan bahwa sifat jujur tersebut dianggap memiliki kebaikan atau manfaat baginya. Kaum muslimin perlu berhati-hati melakukan perbuatan dan tatkala mengajak orang lain agar berakhlak mulia. Sebab bila mereka lalai dan tidak memperhatikan hal ini maka mereka tidak dianggap melaksanakan hukum syara'. Lebih dari itu, hal ini dapat menjadikan perbuatan mereka sama dengan orang kafir, karena orang-orang kafirpun mengajak bersikap 86
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
baik dan mereka menjalankan sifat-sifat yang dianggapnya luhur walaupun sudut pandang dan motivasinya berbeda-beda. Atau bisa juga mereka (orang-orang kafir-peny) hanya melihat sesuatu sifat dari segi manfaatnya semata. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin memiliki akhlak mulia yang hanya dilandasi oleh keyakinan bahwa sifat-sifat akhlakiyah merupakan perintah dan larangan Allah SWT, bukan didasari oleh hal-hal yang lain. Akhlaq Baik dan Akhlak Buruk Beberapa Contoh Akhlaq yang Mulia Al Qur‘an dan As Sunnah telah banyak menggambarkan berbagai sifat akhlakiyah yang harus menjadi panutan seorang Muslim, diantaranya: 1. Jujur dan menjauhi sifat dengki (hasad) Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkannya ke surga. Dan seseorang yang senantiasa berkata benar dan jujur akan tercatat disisi Allah sebagai orang yang benar dan jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan yang akhirnya akan mengantarkannya ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR Bukhari dan Muslim) "Hati-hatilah kamu sekalian terhadap hasad, karena sesungguhnya hasad akan memakan seluruh kebaikan sebagaimana api yang melahap habis kayu bakar." (HR Abu Dawud) 2. Menepati Janji Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ikatan-ikatan perjanjian itu." [QS. Al Maidah: 1] Ayat senada juga dapat dilihat pada QS Al Isra:34 dan An Nahl: 91. Rasulullah SAW bersabda: "Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga :jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanat ia berkhianat." (HR Muttafaq 'Alaih) 3. Suka Memaafkan Allah SWT berfirman:
"..(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orangorang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." [QS. Ali Imran: 134] Ayat senada dapat dilihat pada QS Asy Syura: 39-40, An Nur: 22, Al Fushilat: 34-35, dan Al A'raf: 199. Dalam sebuah hadits digambarkan bahwa suatu ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah SAW: “Beritahu aku tentang keutamaan amal seseorang?” Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Uqbah, hubungkanlah kembali tali persaudaraan kepada siapa yang telah memutuskannya. Kasihilah orang yang telah membencimu. Berpalinglah dari yang menzhalimimu" Dalam riwayat lain: "Berilah maaf kepada mereka yang menzhalimimu." (HR Ahmad dan Thabrani) 4. Menjauhi Hal Yang Tidak Bermanfaat 87
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya setengah dari kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR Malik, Ahmad, Thabrani) 5. Menjauhi Perbuatan Menggunjing dan Adu Domba Allah SWT berfirman:
" .. dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang kamu memakan daging saudara sendiri yang telah mati? Maka tentu kamu merasa jijik akan hal itu." [QS. Al Hujurat: 12] Rasulullah SAW juga bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba." (HR Muttafaq„alaih) 6. Amar Ma'ruf Nahi Munkar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya pada orang-orang kalangan Bani Israil, apabila salah seorang dari mereka melakukan kesalahan (dosa), maka orang lain tidak mencegahnya. Sehingga pada pagi harinya mereka duduk, makan dan minum seolah mereka tidak pernah melihat perbuatan dosa yang kemarin dilakukan. Melihat kondisi mereka Allah mensifati hati mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam dengan mengatakan: 'Demikianlah itu terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas'(QS Al Baqarah: 61). Demi zat yang jiwaku ada dalam kekuasaanNya, sungguh telah diperintahkan atasmu beramar ma'ruf nahi munkar, mencabut kekuasaan orang jahat dan meluruskannya pada kebenaran, atau (bila tidak demikian) Dia akan mencampakkan hatimu dan mengutukmu sebagaimana Ia mengutuk mereka (Bani Isaril)." (HR Thabrani) 7. Menghormati Tamu Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya.... Para Shahabat bertanya: 'Selebihnya itu apa yaa Rasulullah?' Jawab Beliau : 'Siang dan malamnya serta menjamu tamu selama tiga hari. Maka batas di luar itu termasuk sedekah." (HR Muttafaq 'alaih) 8. Menyebarkan Salam Allah SWT berfirman:
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke dalam rumah orang lain sehingga kalian mendapat izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya." [QS An Nur: 27] Juga sabda Rasulullah SAW: "Apakah kalian mau aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan akan mendapatkan jalinan cinta kasih? Yaitu sebarkanlah salam diantara kalian." (HR Muslim) 88
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Salah seorang shahabat, Abdullah bin Umar, sering berkeliling di pasar. Suatu hari seseorang datang dan bertanya kepadanya. 'Apa yang anda lakukan di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak juga membeli dagangan. anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar, tetapi mengapa Anda sering berada di pasar?' Ibnu Umar menjawab: 'Aku sengaja setiap pagi ke pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada Muslim yang aku temui." (HR Bukhari) Demikianlah beberapa penjelasan ringkas tentang posisi akhlak dalam hukum Islam dan beberapa contoh akhlak yang diperintahkan Islam. Tentu masih banyak contoh lain tentang akhlak yang terpuji dan tercela dalam pandangan Islam, yang dapat dipahami dalam berbagai kitab tentang akhlak.
89
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
MAFAHIM DAKWAH
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” [QS. An-Nuur: 55]
90
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
BAB DAKWAH Definisi Dakwah Dakwah menurut makna bahasa adalah seruan. Sedangkan menurut makna syar‟i, dakwah adalah seruan kepada orang lain agar mengambil yang khoir (Islam), melakukan kema‘rufan dan mencegah kemunkaran. Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk merubah manusia –baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunya – dari jahiliyah ke Islam, atau dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Kedua definisi syar‟i tersebut diambil dari hadits yang disampaikan Rasulullah Saw. : “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya dan jika dia tidak mampu, hendaknya mengubahnya dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu, hendaknya mengubahnya dengan hatinya. Sesungguhnya hal itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa‟i, Ibn Majah dari abi Sa‟id Al-Khudri) Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah Saw. yang lain : “Demi zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, kalian harus menyerukan kepada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran, ataukah Allah Swt akan menurunkan siksa dari sisi-Nya kepada kalian, sehingga ketika kalian berdo‟a, Dia tidak akan mengabulkan do‟a kalian.” (HR. At-Tirmidzi dari Hudzaifah Al-Yaman) Jadi, dengan definisi ―usaha mengubah keadaan‖ tersebut menjelaskan, bahwa dakwah bukan sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan, melainkan harus disertai dengan usaha untuk melakukan perubahan. Proses yang dilakukan dalam merubah kondisi harus bersifat inqilabiyyah, yaitu perubahan yang dimulai dari asas, berupa perubahan aqidah, bukan perubahan ishlahiyyah yang hanya sekedar perubahan dari kulitnya saja tanpa menyentuh asasnya (aqidah). Tujuan dan Arahan Dakwah Sesuai dengan definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan dari aktivitas dakwah Islam adalah mengubah keadaan yang tidak Islami menjadi Islami agar bisa mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Adapun secara rinci, tujuan dakwah dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Menyerukan kepada orang kafir agar memeluk Islam; 2. Menyerukan kepada orang Islam agar menerapkan hukum Islam secara sempurna; 3. Menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran, yang meliputi semua bentuk kemakrufan dan semua bentuk kemungkaran, baik kemungkaran yang dilakukan oleh pribadi, kelompok maupun negara. Juga meliputi kemakrufan yang diserukan kepada pribadi, kelompok maupun negara. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran: 104]
Sedangkan secara umum dakwah diarahkan kepada: 1. Mentauhidkan Allah Swt.
91
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Melalui dakwah, ditanamkan dengan kuat kalimat laa ilaaha illa Allah yang berarti tidak ada lagi yang patut disembah, ditakuti dan diharapkan keridhoannya melainkan Allah SWT semata. 2. Menjadikan Islam sebagai Rahmat . Keimanan kepada Allah SWT tentunya harus membawa pada keyakinan dan ketundukkan pada seluruh hukum dan syari‘at-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al Anbiya: 107] Dengan demikian dakwah diarahkan untuk meyakinkan manusia bahwa hukum-hukum Allah SWT saja yang akan mendatangkan rahmat bagi mereka. Sedangkan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia adalah bathil serta tidak dapat mendatangkan rahmat dan kemaslahatan. 3. Menjadikan Islam sebagai Pedoman Hidup. Dakwah ditujukan untuk menjadikan Islam sebagi pedoman hidup artinya adalah mengajak manusia untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Karena Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, maka Islam hanya dapat dijadikan pedoman hidup jika diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. 4. Menggapai Ridho Allah SWT. Seluruh amal yang dilakukan, termasuk dakwah, ditujukan untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Dengan demikian dakwah dilakukan dengan ikhlas lillahi ta‟ala dan sesuai dengan tuntunan Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Secara khusus, dengan mengkaji perjalanan dakwah Rasul SAW, dakwah diarahkan untuk: 1. Membentuk kader yaang memiliki kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyah) 2. Membentuk jamaah yang membina kader dan memperjuangkan tegaknya daulah Islamiyah. 3. Membentuk daulah Islamiyah yang menerapkan seluruh ajaran Islam. Kewajiban Berdakwah
“Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [QS. An Nahl: 125]
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At Taubah: 71] Dari ayat-ayat itu, jelas bahwa dakwah hukumnya wajib karena Allah berjanji akan memberi rahmat kepada orang yang berdakwah. Hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang
92
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
menunjukkan ketegasan perintah tersebut. Demikian pula qarinah yang tegas itu terlihat pada sabda Rasulullah SAW: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh kalian (memiliki dua pilihan, yaitu) benar-benar memerintah berbuat ma‟ruf dan melarang berbuat munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo‟a, maka do‟a itu tidak akan dikabulkan.” (HR Tirmidzi) ―Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Dan sesungguhnya hal itu merupakan selemah-lemahnya iman.‖ (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Turmidzi, An Nasaa‟i, Ibnu Majah, dari Abi Sa‟id Al Khudri) Seorang muslim yang bertaqwa, maka tentunya ia akan bersama-sama dengan kaum muslimin yang lain memikul kewajiban dakwah ini. Bila tidak berarti ia ridho dengan keadaan saudaranya – kaum muslimin – yang sedang terpuruk dan terhina, lebih dari itu di akhirat Allah Swt menyediakan siksaan yang amat pedih sebagai balasan atas perbuatan yang dipilihnya. Kewajiban dalam melakukan aktivitas dakwah ini dibedakan berdasarkan perbedaan pelaku, yaitu : 1. Aktivitas dakwah pribadi
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS Fushshilat: 33] Bentuk aktivitasnya bisa bersifat fisik dan non-fisik. Ini diambil dari aktivitas pribadi Sa‘ad bin Abi Waqqash, ketika beliau dengan para sahabat lain sedang melaksanakan shalat di sebuah lembah di Makkah, tiba-tiba orang Quraisy datang mencaci maki mereka, beliau pun kemudian membunuh orang kafir tersebut dengan tulang unta. Ketika berita pembunuhan yang dilakukan oleh Sa‘ad bin Abi Waqqash ini sampai kepada Rasululah Saw, beliau tidak menegurnya. 2. Aktivitas dakwah kelompok atau jamaah
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat (kelompok) yang mengajak kepada kebajikan (Islam), memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104) Bentuk aktivitasnya tidak bisa berbentuk aktivitas yang lain, selain aktivitas bukan fisik yaitu penyebaran pemikiran dan politik atau biasa disebut da‟wah fikriyyah wa siyasiyyah. Sebab, apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika melakukan aktivitas dakwah berjamaah tidak pernah menunjukkan satu tindakan fisik pun untuk menentang kezaliman yang dilakukan orang kafir Quraisy. Bahkan, ketika orang-orang Madinah membai‘at beliau Saw. pada bai‘at Aqabah, mereka langsung meminta izin dari Nabi untuk menyerang orang Quraisy, tetapi Nabi melarang mereka. 3. Aktivitas dakwah negara “Rasulullah SAW (sebagai kepala negara) tidak pernah memerangi suatu kaum, melainkan sesudah terlebih dahulu beliau menyampaikan dakwah Islam kepada mereka.” (HR Imam Ahmad) Bentuk aktivitas negara adalah fisik dan pemikiran sekaligus. Caranya adalah dengan melaksanakan semua hukum Islam, termasuk sanksi hukum kepada orang yang 93
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
melakukan pelanggaran atau penyimpangan terhadap hukum syara‟. Disamping itu, negara hanya memberikan izin kepada setiap orang yang berada dalam wilayah nedara untuk menyebarkan pemikiran Islam, baik yang dilakukan oleh prbadi, kelompok maupun negara. Teladan Dakwah Rasul Seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tentunya memiliki keyakinan bahwa setiap letupan hati, ucapan lisan dan perbuatannya akan ditanya oleh Allah SWT di yaumil hisab nanti. Karenanya ia akan melakukan setiap perbuatan sesuai dengan hukum syara‟, termasuk di dalamnya aktivitas mengemban dakwah. Kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan dakwah, yakni kehidupan mengemban risalah Islam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara kaffah serta perjuangan menghadapi segala bentuk pemikiran kufur dan kehidupan jahiliah.
“Katakanlah: Inilah jalan (da‟wah)ku. Aku beserta orang-orang yang mengikutiku (yang) mengajak kalian kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS Yusuf: 108] Selama 23 tahun Rasulullah berjuang dengan sungguh-sungguh, tak kenal lelah, berdakwah terus-menerus, mengajak manusia kepada Islam dengan dakwah fikriyyah, dakwah siyasiyyah dan dakwah askariyyah. Disebut dakwah fikriyyah karena beliau memulainya dengan menyebarkan aqidah, pandangan hidup, pemikiran dan pemahaman Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran kufur, pandangan hidup sesat serta menghancurkan semua bentuk kepercayaan (tradisi) jahiliyah. Disebut dakwah siyasiyyah karena di dalam dakwah ini beliau mengarahkan umat pada terbentuknya suatu kekuatan sebagai pelindung dan pendukung agar Islam menjadi rahmat dan tersebar ke seluruh dunia. Sedangkan dakwah askariyyah adalah dakwah yang dilancarkan melalui strategi dan taktik dalam jihad fi sabilillah. Rasulullah sukses dalam mengemban dakwah, membina dan membentuk masyarakat Islam, mendirikan daulah serta menghimpun umat manusia yang sebelumnya terpecah belah dalam bentuk berbagai qobilah menjadi umat yang satu di bawah panji Islam. Kesuksesan Rasulullah SAW dalam mengemban dakwah tentunya karena apa yang beliau lakukan merupakan wahyu dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui kebutuhan hambaNya. Tidak ada satu pun perbuatan Rasulullah yang beliau kerjakan atas kehendak atau keinginan beliau. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Katakanlah: …. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” [QS. Al An‟aam: 50] Ayat di atas bermakna bahwa Rasulullah SAW tidak akan melakukan suatu perbuatan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT, dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikan Rasul kepada mereka. Sebagaimana firmannya di ayat yang lain:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [QS. Al Hasyr: 7] Pada dasarnya kesempurnaan dakwah yang hakiki sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat ini telah berhenti. Semenjak runtuhnya Daulah Khilafah, umat Islam yang semula utuh dan bersatu sebagai ummatan wahidah, terkoyak-koyak menjadi berbagai bangsa dan negara yang berdiri sendiri-sendiri. Penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) yang 94
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
seharusnya terus berlanjut, kini terhenti total. Semua itu disebabkan tidak adanya Daulah yang menyatukan umat. Sehingga Islam menjadi lemah padahal mulanya kekuatan Islam sangat tangguh dan disegani oleh musuh-musuhnya. Oleh karena itu umat Islam yang ingin bangkit harus menempuh jalan dakwah yang lurus dengan metode (thoriqoh) yang benar dengan cara memahami perjalanan dakwah Rasulullah secara keseluruhan. Dengan cara ini kejayaan Islam Insya Allah akan dapat dicapai untuk kedua kalinya. Allah lah yang menurunkan agama ini sebagai dien al fitrah, maka Dia pulalah yang mengokohkan dan memenangkannya dari musuh-musuh Islam, sekalipun mereka berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkannya. Dengan mengamati tahapan turunnya Al Qur‘an dan sebab-sebab turunnya Al Qur‘an, maka akan dapat dipahami sirah dan perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Dengan demikian sangat jelas tergambar perbedaan aktivitas dakwah pada dua periode yaitu, periode dakwah di Mekah dan di Madinah (di mana telah berdiri Negara Islam (Daulah Al Islamiyah)). Periode Mekah Dengan mengamati perjalanan dakwah di Mekah akan dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW berdakwah melalui dua tahapan (marhalah). Tahapan pertama adalah tahap pembinaan dan pengkaderan sedangkan tahap kedua adalah tahap penyebaran dakwah secara terang-terangan dan melakukan upaya perjuangan untuk tatanan baru sebuah masyarakat. 1. Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif) Tahap ini dimulai sejak beliau SAW diutus menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!”(QS Al Muddatstsir: 1-2) Beliau SAW secara diam-diam (sirriyah) mulai mengajak masyarakat untuk memeluk Islam. Selama tiga tahun Beliau SAW menyampaikan dakwah dalam bentuk ajakan per individu dari rumah ke rumah. Bagi yang menerima dakwah, segera dikumpulkan di rumah seorang sahabat bernama Arqom, sehingga rumah tersebut dikenal sebagai Darul Arqam (rumah Arqom). Di rumah ini setiap hari para sahabat mendengarkan ayat-ayat Al Qur‘an dan penjelasannya dari Rasulullah SAW. Pendeknya di tempat inilah mereka dibina dan dikader dengan sungguh-sungguh dan terus menerus. Selanjutnya beberapa dari mereka diutus untuk menyampaikan dakwah kepada yang lain. Di antaranya adalah Khabab bin Arts yang mengajarkan Al Qur‘an di rumah Fatimah binti Khaththab bersama suaminya, yang kemudian dari sinilah Umar bin Khaththab masuk Islam. Walaupun terasa lambat, namun semakin hari semakin bertambah jumlah mereka hingga mencapai 40 orang dalam waktu tiga tahun. Memang, dakwah pada marhalah ini dilakukan secara diam-diam, tetapi bukan berarti Rasulullah takut melaksanakannya secara terang-terangan. Apakah ada yang meragukan rasa yakin Rasulullah SAW bahwa dalam mengemban risalah dakwah ini pasti akan mendapat perlindungan dari Allah SWT? Seandainya dakwah dilaksanakan secara terangterangan pun, insya Allah Rasulullah dijamin keselamatannya oleh Allah. Bila demikian, mengapa Rasul melakukannya secara diam-diam? Jika dikaji secara seksama, maka akan dapat dimengerti mengapa tahap awal dakwah Rasulullah ini dilakukan secara sirriyah. Suatu konsepsi atau pemikiran yang masih asing dan belum terfikirkan oleh masyarakat, hendaklah terlebih dahulu disampaikan secara diam-diam dengan memperbanyak tatap muka dan penjelasan. Ternyata terbukti kemudian, aktivitas seperti ini mampu menghasilkan kader dan pendukung tangguh yang bersedia mengorbankan apapun untuk meraih cita-cita yang diharapkan. Maka, inilah thariqoh yang tepat untuk mengawali dakwah di tengah-tengah masyarakat yang menerapkan aturan jahiliyah, yang sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam. Berdasarkan langkah dakwah ini, jumhur (mayoritas) fuqoha berpendapat bahwa bila kaum muslimin berada pada posisi lemah, rapuh kekuatannya dan khawatir hancur binasa oleh kekuatan lawan, maka mereka harus memelihara diri dan agama mereka dengan cara dakwah sirriyah. Sebaliknya apabila terdapat kemungkinan untuk berdakwah secara zhahiriyah (terang-terangan), maka hal ini lebih utama karena seorang muslim tidak boleh menyerah kepada kaum kafir atau zhalim dan tidak boleh berdiam diri tanpa berjihad melawan orang-orang kafir.
95
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Hal ini terbukti pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada pemulaan dakwah. Saat bersama istrinya, yaitu Siti Khadijah, Rasulullah pernah diancam oleh Abu Jahal tatkala shalat di depan Ka‘bah dan dengan terang-terangan mencela patung-patung berhala yang disembah oleh orang-orang Arab. Ketika di Mina, Rasul bersama Ali bin Abi Thalib menyampaikan kepada orang banyak bahwa suatu saat Kerajaan Romawi dan Persia akan ditaklukan oleh Islam. Menurut pensyarah hadits ini, apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya yang masih berjumlah tiga orang itu adalah untuk menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakikat berhala yang dijadikan sebagai tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Dari hal tersebut dapat pula diketahui bahwa sejak awal dakwah Rasulullah SAW bukanlah dakwah ruhiyah (kerohanian) semata, melainkan juga dakwah siyasiyah (politik). Karena tidak mungkin kerajaan Romawi dan Persia akan dapat ditaklukan tanpa niat dan usaha kaum muslimin untuk memperoleh kekuasaan yang berdaulat, kekuasaan yang mampu menggerakkan bala tentara untuk menghancurkan kedua kerajaan itu. 2. Tahapan Interaksi dengan Masyarakat dan Perjuangan (Marhalah Tafaa‟ul wal kiffah) Pada tahap ini dakwah Rasulullah berubah dari sembunyi-sembunyi menjadi terangterangan. Dari aktivitas mengontak individu-individu untuk kemudian disiapkan menjadi kutlah (kelompok) menjadi menyeru secara langsung dan terbuka kepada masyarakat seluruhnya. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah beserta para pengikutnya mendapat perintah dari Allah:
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” [QS. Al Hijr: 94] Sejak saat itu maka dimulailah benturan antara kekafiran dengan keimanan, dan pertarungan antara pemikiran yang rusak dan bejat melawan pemikiran yang benar dan suci. Benturan yang dahsyat pada tahapan dakwah ini segera mendapat reaksi keras dari orang-orang kafir di Mekkah. Sehingga menimbulkan dampak berupa penyiksaanpenyiksaan yang hebat dan datang secara bertubi-tubi. Pada tahap ini, para pengikut Rasulullah SAW sunguh-sungguh diuji sampai sejauh mana kualitas keimanan mereka setelah tiga tahun dibina kepribadiannya (syakhsiyah) di Darul Arqam. Penyiksaan secara keji terhadap orang-orang yang memeluk Islam banyak terjadi. Penyiksaan terhadap Bilal bin Rabah, keluarga Yasir, Khabab bin al Arts, Abu Dzar Al Ghifari, Ibnu Mas‘ud, serta boikot yang dilakukan oleh kafir Quraisy terhadap kaum muslimin hanyalah sedikit contoh dari ujian itu. Di puncak penderitaan itu, Rasulullah SAW berharap ada orang kuat diantara pengikutnya yang dapat melindungi dakwah. Harapan Rasulullah tidak sia-sia. Sayidina Hamzah, paman Rasulullah yang sangat disegani, masuk Islam ketika melihat Muhammad Rasulullah dianiaya dan dicaci maki oleh Abu Jahal. Ketika itulah Rasulullah SAW berdo‘a: “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab.” Do‘a Rasulullah yang mengharapkan Umar bin Khaththab masuk Islam menjadi pelajaran bahwa dakwah Islam, di manapun berkembangnya memerlukan pendukung-pendukung yang kuat dari orang-orang memiliki pengaruh di hadapan masyarakat. Pelajaran lain dari peristiwa-peristiwa itu, bahwa penderitaan, ujian dan cobaan, merupakan penguji iman untuk memisahkan antara yang haq dengan yang bathil. Manakah pengikut Rasulullah yang tangguh dan sungguh-sungguh dan mana yang bukan. Kisah-kisah ini sudah seharusnya menjadi pelajaran bagi semua kaum muslimin untuk tetap dapat istiqomah di jalan dakwah serta ikhlas menegakkan dienullah, meskipun mendapat ancaman maut, dianiaya dan disiksa oleh penguasa yang zhalim. Pengorbanan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap perjuangan dakwah. Pada tahapan ini, dakwah Rasulullah lebih banyak menggugat mengenai aqidah, sistem serta adat-istiadat jahiliyah orang-orang kafir Mekkah. Hal ini terlihat dari ayat-ayat Makiyah yang pada umumnya mengajak manusia untuk memikirkan kejadian alam
96
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
semesta, agar meninggalkan kepercayaan nenek moyang. sebagai berikut:
Ayat-ayat tersebut adalah
a). Dalam masalah aqidah, seperti tercantum dalam firman Allah SWT:
“….. orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapakbapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: “Apakah kamu akan mengikutinya juga sekalipun aku membawa untukmu agama) yang lebih nyata memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?”….” [QS. Az- Zukhruf: 23-24] b). Bidang Sosial Allah SWT berfirman:
“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya dalam tanah. Ketahuilah, alangkah buruknya yang mereka tetapkan itu.” [QS An Nahl: 58-59] c). Bidang Ekonomi Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka azab yang amat pedih.” (QS At Taubah: 34) Aktivitas ini membuat para tokoh pemimpin kafir Quraisy berkumpul di Darun Nadwah untuk merundingkan perilaku dan dakwah Rasulullah SAW yang telah menyusahkan mereka serta mengguncang kepemimpinan mereka atas kaum Quraisy. Kemudian dibuatlah isu bahwa Muhammad memiliki kata-kata yang menyihir, yang dapat memisahkan seseorang dari istrinya, dari keluarganya, dan bahkan dari kaumnya. Akan tetapi kemudian Allah SWT memberitahukan kepada Rasulullah SAW mengenai persekongkolan ini dengan firman-Nya:
97
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, lalu dia bermuka masam dan merengut. Dia lantas berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Selanjutnya dia berkata, “Al Qur‟an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar.” [QS. Al Muddatstsir: 18-26] Tatkala para pemimpin Mekkah mengalami kejumudan dan mulai menyakiti Rasul setelah paman beliau SAW, Abu Thalib wafat. Rasulullah berusaha mencari pendukung ke kota Tha‘if. Tetapi usaha beliau tidak berhasil bahkan disambut dengan penghinaan dan lemparan batu. Rasul juga menyeru para pemuka qabilah-qabilah Arab. Beliau berkata kepada mereka, ―Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kepada kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, agar kalian beriman kepadaku dan percaya kepadaku, dan agar kalian membela dan melindungiku, sehingga aku bisa menjelaskan apa yang telah disampaikan Allah kepadaku.‖ Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, ―Zuhri menceritakan bahwa Rasulullah SAW mendatangi secara pribadi Bani Kindah, akan tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalban akan tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka pertolongan (nushroh) dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‗Amir bin Sha‘sha‘ah, mendo‘akan mereka kepada Allah dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membai‟atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau? Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Urusan (kekuasaan) itu hanyalah milik Allah, yang Ia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” Baiharah berkata, “Apakah kami menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, padahal jika Allah memenangkan kamu, urusan (kekuasaan) itu bukan untuk kami. Kami tidak butuh urusanmu.” Beliau SAW selain aktif mendakwahi qabilah-qabilah di sekitar Mekkah, beliau juga mendatangi qabilah-qabilah di luar Mekkah yang datang tiap tahun ke Mekkah, baik untuk berdagang maupun untuk mengunjungi Ka‘bah, di jalan-jalan, pasar Ukadz, dan Mina. Sampai suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang dari suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyampaikan dakwah. Ketika rombongan ini mendengar ajakan Rasul, satu sama lain saling berpandanngan sambil berkata:“Demi Allah, dia ini seorang nabi seperti yang dianjurkan orang-orang Yahudi kepada kami.” Kemudian mereka menerima dakwah Rasulullah SAW sambil berkata: “Kami tinggalkan kaum kami disana dan tidak ada pertentanngan serta permusuhan antara kaum kami dengan kaum yang lain, mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan mereka denganmu. Kami akan sampaikan berita ini kepada mereka, dan bila Allah mempertemukan mereka denganmu dan menerima dakwahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu.” (Sirah Ibnu Hisyam 1: 428) Tatkala tahun berikutnya tiba dan musim haji datang, dua belas orang laki-laki dari penduduk Madinah bertemu dengan Rasulullah SAW di ‗Aqabah. Mereka berbai‘at kepada Rasulullah SAW yang dikenal dengan Bai‟atul „Aqabah I. Isi bai‘at tersebut adalah: “Tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzinah dan tidak membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong serta tidak menentang Rasulullah dalam perbuatan ma‟ruf.” (HR Bukhari). Setelah bai‘at itu, mereka kembali ke Madinah bersama utusan Rasul, yaitu Mush‘ab bin Umair untuk mengajarkan Al Qur‘an dan hukum agama. Pada tahun berikutnya, 98
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Mush‘ab bin Umair kembali ke Mekkah bersama tujuh puluh lima orang Madinah yang telah masuk Islam. Dua diantaranya adalah wanita dan mereka membai‘at Rasulullah SAW. Bai‘at ini dinamakan Bai‟atul „Aqabah II. Selesai melakukan bai‘at, Rasulullah menunjuk dua belas orang untuk menjadi pemimpin masing-masing qabilah mereka. Abbas bin Ubadah, salah seorang dari mereka berkata kepada Rasulullah: “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, bila engkau mengizinkan, kami akan perangi penduduk Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami.” Jawab Rasulullah: “Kita belum diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah ke kendaraanmu masing-masing.” (Sirah Al Halabiah II: 176) Jelas bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun Daulah di Madinah, kewajiban berjihad di dalam Islam belum diperintahkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dakwah Rasulullah dalam periode Mekkah adalah dakwah dalam rangka memperkenalkan Islam melalui dakwah fikriyyah kemudian membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian Hijrah ke Madinah. Periode Madinah Hijrahnya kaum muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula marhalah dakwah ketiga, yaitu Marhalah Tathbiq Al Ahkaam Al Islam (penerapan Syari‘at Islam). Hal ini ditandai dengan didirikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Adapun tahapan ketiga ini dimulai dengan tibanya Rasulullah di Madinah melalui peristiwa hijrah Rasulullah pada tahun 622 M bersama Abu Bakar. Sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW melakukan aktivitas sebagai berikut: 1. Membangun Masjid Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membangun mesjid. Pembangunan mesjid mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat Islam yang terdiri dari individu-individu muslim yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah dan syari‘at Islam. Rasulullah SAW menjadikan mesjid tidak hanya sebagai tempat shalat, melainkan juga sebagai tempat berkumpul, bermusyawarah, membina ukhuwah dan ‗aqidah Islam serta mengatur berbagai persoalan kaum muslimin sekaligus memutuskan hukum di antara mereka. 2. Membina Ukhuwah Islamiyah Aktivitas selanjutnya yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mempersaudarakan antara Anshar dan Muhajirin. Persaudaraan yang digambarkan oleh Rasulullah ibarat satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh tertimpa sakit maka seluruh tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging mengalir dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk fanatisme golongan, suku bangsa dan ras. Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari Afrika dengan Abu Ruwaim Al Khutsa‘mi, Salman Al Farisi dari Parsi dengan Mush‘ab bin Umair dan lain sebagainya. Persaudaraan ini tidak hanya sampai batas mewarisi harta bahkan isteri (saat itu belum ada larangannya), sebagaimana yang terjadi antara Sa‘ad bin Rabi dari kaum Anshar dengan Abdurrahman bin ‗Auf dari kaum Muhajirin, sehingga kata Sa‘ad bin Rabi. “Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, inilah hartaku, aku bagikan antara kita berdua. Aku punya dua isteri, kuceraikan seorang dan kawinilah olehmu.” (sirah Al Halabiyah II: 292) Persaudaraan dengan ikatan Aqidah Islamiyah ini semakin bertambah kokoh setelah dinaungi sebuah Daulah dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang menerapkan Sistem Islam. 3. Menyusun Piagam Perjanjian
99
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Setelah Islam datang dan terbentuk masyarakat Islam di Madinah, gambaran dan pola hubungan antara masyarakat Yahudi dan Islam semakin tampak perbedaanya. Oleh karena itu harus ada kebijakan hukum yang mengatur hubungan mereka dengan kaum muslimin. Rasulullah SAW kemudian membuat perjanjian (piagam Madinah). Istilah sekarang disebut Undang-Undang Dasar yang berfungsi sebagai suatu manhaj (jalan atau strategi pengamanan) dalam mengatur atau membuat batasan-batasan yang menyangkut interaksi antara qabilah-qabilah Yahudi dan kaum muslimin. Lebih dari itu isi perjanjian mencakup pula hubungan negara dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan negara. Dr. Musthafa Asy Siba‟i dalam bukunya “Siroh Nabawiyyah, Duruus wal Ibrar” mengemukakan pokok-pokok isi perjanjian tersebut berikut ini: a. Kesatuan umat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras. b. Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat. c. Gotong-royong dalam segala hal yang bukan untuk kedzaliman, dosa dan permusuhan. d. Kompak dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam. e. Membangun suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya. f. Melawan orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya. g. Melindungi orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat dzholim kepadanya. h. Umat non-Islam bebas melaksanakan agamanya, dan tidak boleh dipaksa umat Islam serta tidak diganggu harta bendanya. i. Umat non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan negara sebagaimana umat Islam. j. Umat non-Islam harus saling membantu dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancam negara. k. Umat non-Islam harus ikut membiayai perang apabila negara dalam keadaan perang dengan negara lain. l. Umat Islam dan non-Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara. m. Warga negara bebas keluar masuk negara selama tidak merugikan negara. n. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan prinsip tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan tidak atas dosa dan aniaya. o. Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan ruh (spiritual) yaitu imannya kepada Allah, keyakinan akan pengawasan dan perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik dan konsekuen. Begitu pula jika ditunjang oleh kekuatan materi/fisik yaitu kepemimpinan negara yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. 4. Strategi Politik dan Militer Dalam rangka menyebarkan dakwah Islam ke luar negeri Madinah, sekaligus mengumumkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain mengenai berdirinya Daulah Islamiyah. Maka diambil beberapa langkah lanjutan sebagai berikut: a. Mengirim surat kepada kepala-kepala negara/kerajaan, pimpinan qabilah/suku yang ada di sekitar jazirah Arab. b. Memaklumkan perang kepada orang-orang yang menantang dakwah Islam. c. Memerangi qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian bersama kaum muslimin. d. Menjadikan daulah Islamiyah sebagai satu kekuatan yang disegani dan ditakuti lawanlawannya. Mengikuti langkah-langkah dakwah Rasulullah sejak periode Mekah hingga Madinah dapat disimpulkan bahwa pada periode Mekah, beliau lebih bersikap sebagai seorang da‘i, muballigh, imam dan sekaligus sebagai tokoh politik dan pemimpin jamaah kaum muslimin. Sedangkan dalam periode Madinah, beliau bukan hanya sebagai seorang Rasul, tetapi juga sebagai kepala negara di dalam pemerintahan Daulah Islamiyah. Keberhasilan para da‘i penerus risalah dakwah sangat ditentukan oleh sejauh mana kesetiaannya mengikuti jejak langkah dakwah Rasulullah. Mudah-mudahan kita senantiasa dianugerahi taufiq dan hidayah dari-Nya dalam menegakkan Islam di bumi Allah ini. Merapatkan Barisan Dakwah Jika kita melihat kondisi kaum muslimin dan Islam saat ini, akan kita dapati bahwa Islam tidak lagi menjadi sebuah tubuh yang utuh apalagi sempurna. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil alamin, untuk menjadi rahmatan lil muslimin pun sangat sulit dilihat faktanya. 100
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Banyak di antara kaum muslimin di berbagai belahan dunia saat ini dalam keadaan menderita, baik karena bencana alam, peperangan maupun ketertindasan. Bahkan banyak di antaranya berada pada deretan negara miskin. Untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah rahmatan lil alamin, tidak bisa tidak Islam harus dilaksanakan secara kaffah. Ini merupakan suatu kewajiban. Allah SWT berfirman: “ Dan masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah”. Kekaffahan Islam hanya akan terjadi apabila semua obyek dikenai hukum, yaitu individu yang bertaqwa, masyarakat yang islami sebagai kontrol sosial pelaksanaan syariat Islam serta negara yang melaksanakan dan melindungi penerapan syariat Islam ada. Pada saat ini, penerapan hukum Islam terhadap ketiga obyek di atas tidak terlaksana dengan sempurna, terlebih lagi dalam hal ini negara yang menerapkan Islam. Untuk itulah dakwah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Untuk mendakwahi seorang individu, hanya dengan seorang pengemban dakwah saja sudah cukup. Namun untuk mendakwahi sebuah masyarakat apalagi untuk mewujudkan sebuah negara yang menerapkan syariat Islam, sangat tidak mungkin apabila hanya dilaksanakan seorang diri. Tidak bisa tidak haruslah dilakukan dengan cara berjamaah. Sebuah kaidah syara‘ menyebutkan ”apabila suatu kewajiban tidak terlaksana tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib adanya”. Demikian juga perwujudan syariat Islam tidak akan bisa kaffah tanpa adanya jamaah dakwah, maka keberadaan jamaah dakwah adalah wajib. Kewajiban Dakwah Berjamaah “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron: 104) Ayat tersebut mengisyaratkan tentang sebuah kewajiban adanya kelompok atau jamaah yang berdakwah untuk menyeru kepada yang ma‘ruf dan mencegah kepada yang munkar. Lafadz ummah pada ayat di atas, tidak membatasi jumlah jamaah atau kelompok atau gerakan Islam, walaupun ayat tersebut menyebutkan agar kaum muslimin membentuk suatu jamaah yang melaksanakan tugas dakwah. Seandainya telah terbentuk sebuah jamaah, maka kewajiban tersebut tidak lagi dibebankan kepada yang lain. Dengan demikian apabila telah terbentuk sebuah jamaah, maka tujuan dari ayat tersebut sudah terlaksana sehingga tidak ada kewajiban untuk membentuk yang lain. Jika ternyata muncul jamaah yang kedua, maka pembentukan itu pada dasarnya hukumnya adalah mubah. Dengan demikian, adanya suatu jamaah yang ber-amar ma‟ruf nahi munkar adalah sebuah fardlu kifayah. Namun selama ini fardlu kifayah hanya dipahami sebagai sebuah kewajiban yang apabila telah dilaksanakan oleh seseorang atau suatu kelompok, maka fardlu itu telah gugur. Padahal fardlu kifayah hanya akan gugur sebagai sebuah fardlu yakni apabila sesuatu yang dibebankan tersebut sudah dilaksanakan dengan tuntas atau sempurna. Jika kewajiban yang dibebankan tersebut belum tuntas dilaksanakan, maka seluruh umat Islam tetap terbebani fardlu tersebut hingga fardlu itu sempurna dilaksanakan. Demikian juga beban untuk mewujudkan terlaksananya syariat Islam mulai dari individu hingga negara. Beban ini tidak akan hilang hingga terwujudnya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam serta memelihara dan melindungi pelaksanaan syariat Islam, baik oleh individu maupun negara. Kelompok Da’wah dalam Islam Kelompok da‘wah dalam Islam sering disebut sebagai gerakan Islam. Gerakan dalam bahasa arab adalah harokah. Harokah berasal dari akar kata taharruk yang artinya bergerak. Istilah tersebut kemudian diartikan sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang tertentu serta mempunyai target tertentu, dengan menempuh suatu metode yang telah ditetapkan oleh gerakan tersebut, terlepas apapun bentuk dari gerakannya. Dengan demikian sebuah kelompok dapat disebut sebagai sebuah gerakan apabila: 1. Mempunyai landasan tertentu. 2. Mempunyai tujuan atau target yang telah ditetapkan. 3. Mempunyai metode untuk meraih target. Syarat gerakan di atas adalah umum bagi setiap gerakan. Sebagai contoh gerakan sosial seperti panti asuhan akan mempunyai landasan tersendiri, dengan target membantu 101
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
anak yatim, piatu dan anak-anak dari keluarga tidak mampu dengan metode tertentu yang telah dirumuskan, misalnya dengan mencari sumbangan dan sebagainya. Demikian juga ketika suatu kelompok menamakan organisasinya sebagai gerakan/harokah Islam. Maka yang menjadi syarat bagi kelompok tersebut adalah: 1. Terdiri dari orang-orang Islam. 2. Menggunakan Islam sebagai landasan dalam merumuskan target dan metode. 3. Mempunyai target terlaksananya syariat Islam. 4. Mempunyai metode yang sesuai dengan Islam, yaitu harus sesuai dengan metode Rasulullah dalam berdakwah untuk menegakkan Islam di muka bumi. Target Kelompok Dakwah Saat ini cukup banyak terdapat harokah-harokah Islam di muka bumi. Dari berbagai harokah yang ada saat ini, ada yang bersifat lokal dalam suatu negara, misalnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persis, ada juga yang bersifat Internasional, seperti Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Jamaah Salafiyah. Masing-masing gerakan ini mempunyai tujuan spesifik. Tujuan dari setiap harokah ini tentunya sangat mempengaruhi metode dari harokah tersebut untuk mencapai target. Apabila diamati banyaknya harokah da‘wah saat ini, setidaknya ada tiga kategori harokah da‘wah dilihat dari target yang hendak dicapainya. Ketiga target tersebut adalah: 1. Gerakan yang Memperhatikan Kepentingan Individu. Target semacam ini banyak dianut oleh perkumpulan Tarekat dan Sufi. Menurut kelompok ini, kemenangan dan keselamatan di akhirat adalah target utamanya. Dari sinilah mereka mulai melakukan aktivitas-aktivitas rohani untuk mencapai target tersebut, salah satunya adalah dengan ber-uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat. Jamaah ini menganggap bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan diri dari kesesatan ketika keadaan masyarakat sudah mengalami kerusakan adalah dengan cara mengasingkan diri. Mereka memahami hal ini dari firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang sesat itu akan memberi madlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.…” (QS Al Maidah: 105) Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah menunjukkan bahwa apabila Allah telah memberi petunjuk kepada seseorang, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkan. Ayat ini sama sekali tidak memerintahkan orang untuk mengasingkan diri, dan melarang manusia untuk ber-amar ma‟ruf nahi munkar. 2. Target Memperbaiki Aqidah dan Akhlak Individu. Gerakan yang mempunyai target demikian sebenarnya mempunyai keinginan untuk memperbaiki masyarakat. Gerakan ini berpendapat bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang di dalamnya terjadi interaksi. Dengan demikian baik buruk suatu masyarakat akan ditentukan oleh baik buruk individu yang ada di masyarakat tersebut. Atas dasar pandangan ini gerakan tersebut menjadikan individu sebagai dasar utama untuk perubahan masyarakat. Dari pemahaman tersebut, gerakan ini mulai mencoba memperbaiki individu dengan perbaikan aqidah dan akhlaknya sehingga dapat menjaga interaksi di antara individu di dalamnya agar tetap berjalan lancar tanpa ada masalah. Pandangan mereka terhadap definisi masyarakat ini sebenarnya adalah suatu kekeliruan. Dari pandangan tersebut, justru yang akan terbentuk cenderung sebuah jamaah yang terdiri dari orang-orang yang beraqidah dan berakhlak baik, bukan sebuah masyarakat. Padahal seharusnya sebuah masyarakat tidak hanya terdiri dari banyak individu yang saling berinteraksi, namun juga terdapat sebuah peraturan yang sama yang mengatur interaksi tersebut, serta individu-individu yang ada di dalamnya mempunyai pandangan yang sama terhadap suatu ke-mashlahat-an maupun ke-mudlarat-an, baik individu itu muslim maupun non-muslim. 3. Target Memperbaiki Masyarakat. Kelompok Organisasi ketiga ini mempunyai pandangan bahwa masyarakat adalah suatu kumpulan individu yang di dalamnya terdapat suatu interaksi. Di dalam interaksi itu terdapat suatu aturan yang sama yang mengaturnya. Selain itu interaksi tersebut juga 102
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
disatukan oleh perasaan dan pemikiran yang sama terhadap suatu kemashlahatan dan kemudlaratan sehingga pandangan mereka terhadap kemashlahatan dan kemudlaratan sama. Menurut kelompok ketiga ini, rusaknya masyarakat terlihat dari interaksi yang ada di dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti juga rusaknya perasaan, pemikiran serta peraturan yang mengatur interaksi tersebut serta rusaknya pandangan masyarakat tentang hal yang dianggap mashlahat atau madlarat. Untuk itu dalam memperbaiki masyarakat haruslah diperbaiki perasaan, pemikiran serta peraturan yang mengatur interaksi tersebut. Dari ketiga macam target tersebut, manakah yang seharusnya menjadi target dari sebuah harokah? Dalam surat Ali Imron ayat 104, Allah telah menyebutkan bahwa aktifitas suatu jamaah seharusnya adalah amar ma‟ruf nahi munkar. Kemunkaran yang terbesar saat ini adalah tidak dilaksanakaannya hukum Islam secara kaffah. Dan kekaffahan hukum Islam itu hanyalah dapat terwujud dengan adanya institusi negara yang menjalankan dan melindungi penerapan syariat Islam. Dengan demikian keberadaan jamaah yang berusaha mewujudkan pemerintahan Islam itu wajib sebagaimana wajibnya pemerintahan Islam. Metode untuk Meraih Target Jamaah dakwah pertama dan kedua, sebenarnya jamaah ini lebih konsen terhadap urusan individu. Kedua jenis jamaah ini berpandangan bahwa masyarakat yang islami hanya akan terbentuk apabila seluruh individu di dalam masyarakat itu beragama islam, mempunyai aqidah yang benar serta akhlak yang baik. Dengan demikian metode yang diterapkannya pun adalah membina masyarakat dengan suatu pembinaan yang arahnya individual, di mana individu yang lebih awal dibina nantinya diharuskan menyebarkannya ke individu lain sehingga seluruh individu yang ada akan beraqidah dan berakhlak baik. Dengan demikian masyarakat islami akan terbentuk ketika seluruh anggota masyarakat itu telah beraqidah islam dan berakhlak mulia. Seandainya jumlah masyarakat yang akan diperbaiki hanya ratusan orang, hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Namun bagaimana ketika masyarakat yang hendak diperbaiki itu adalah seluruh penduduk suatu negara yang jumlahnya ratusan juta dan di dalamnya terdapat aqidah dan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, seandainya seluruh anggota masyarakat telah beraqidah dan berakhlak baik, siapakah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam, terutama hukum-hukum yang menyangkut pemerintahan, sistem ekonomi serta uqubat yang seharusnya hal itu dilakukan oleh negara, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal hal ini sama sekali bukan termasuk urusan individu maupun jamaah. Tidak pula dapat diselesaikan hanya dengan akhlak yang baik, karena hukum yang dilaksanakan oleh negara ini sudah ditetapkan bentuk-bentuknya. Ditambah lagi apabila ternyata pengikut dari jamaah ini dalam pembinaannya sama sekali belum pernah mendapatkan bagaimana gambaran sistem Islam yang seharusnya. Baik itu menyangkut sistem pemerintahan, politik luar negeri, ekonomi, sosial dan sebagainya; melihat yang menjadi pembinaan utama adalah aqidah dan akhlak. Dengan demikian tentu kedua macam jamaah dakwah ini cukup kesulitan ketika harus menegakkan masyarakat Islam secara kaffah. Adapun kelompok dakwah yang ketiga adalah kerlompok dakwah yang konsen terhadap perbaikan masyarakat. Dari pemahamannya terhadap definisi masyarakat yang merupakan sekumpulan individu yang saling berinteraksi dan mempunyai perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, kelompok ini memandang kerusakan di masyarakat terjadi akibat adanya kerusakan perasaan, pemikiran dan peraturan yang ada di masyarakat. Sehingga ketika ingin memperbaiki masyarakat yang dilakukan adalah memperbaiki pemikiran dan perasaan masyarakat dengan pemikiran dan perasaan Islam serta sistem yang mengatur interaksi dalam masyarakat itu. Pada intinya tujuan dari kelompok ketiga ini adalah berusaha mewujudkan kehidupan Islam kembali dengan penerapan sistem Islam yang akan melindungi dan memelihara pelaksanaan hukum Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat dapat berubah secara totalitas. Untuk mengubah secara totalitas tersebut, haruslah melalui metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, bagaimana beliau dengan para sahabat menegakkan masyarakat Islam. Dengan demikian metode atau strategi dakwah yang harus dilakukan meliputi: 1. Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif) Tahap ini dimulai sejak beliau SAW diutus menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT: 103
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS Al Muddatstsir: 1-2) Tahapan pertama atau tahapan pengkaderan ini dilakukan secara lebih tersembunyi (siriyyah). Tahapan ini merupakan sebuah masa untuk mendidik kader, di mana kader yang terbentuk inilah yang akan menyebarkan pemahaman Islam ke masyarakat. Pada pengkaderan ini ditanamkan pada diri kader tentang target dakwah yang akan diraih, yaitu menegakkan Islam kembali di muka bumi dengan cara tegaknya sebuah pemerintahan yang akan menerapkan Islam dalam setiap sendi kehidupan. 2. Tahap Interaksi dengan Masyarakat dan Perjuangan (Marhalah Tafaa‟ul wal kiffah) Tahap ini ditempuh setelah melalui tahapan pembinaan. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah mendapat perintah dari Allah: “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”(QS Al Hijr: 94) Pelaku dakwah adalah orang-orang yang telah mengalami pengkaderan sebelumnya. Dibandingkan dengan tahap pertama, tahapan ini akan lebih berat dari segi tantangan yang akan dihadapi. Tahapan ini dibagi ke dalam dua strategi, yaitu: (a). Shiraa‟ul fikri (pertarungan pemikiran) Target dari aktivitas shiraa‟ul fikri adalah menjelaskan kepada masyarakat bahwa sistem yang ada saat ini tidak sesuai dengan Islam. Hal ini dilakukan dengan memerangi pemikiran-pemikiran kufur dengan mengungkapkan kelemahan, kerusakan dan kepalsuannya serta memberikan pemikiran Islam yang jernih sebagai penggantinya. Pada tahap ini, pengkaderan terhadap individu-individu yang akan melakukan dakwah harus terus dilakukan. (b). Kiffah as siyasi (perjuangan politik) Aktivitas kiffah as siyasi (perjuangan politik) adalah mengkritik kebijakan pemimpin yang tidak sesuai dengan Islam, tidak membela kemashlahatan kaum muslimin serta membongkar berbagai makar yang akan menghalang-halangi tegaknya Islam kembali, baik makar antar pemimpin maupun dengan negara lain. Dengan begitu, rakyat mengetahui dengan jelas hakikat para penguasa mereka. 3. Tahap Penerapan Syari‟at Islam (Tathbiq Al Ahkaam Al Islam). Tahap ini ditandai dengan didirikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Dengan telah dipahaminya tentang kewajiban mengorganisasikan dakwah dengan baik serta tujuan yang jelas juga metode yang jelas, insya Allah kehidupan Islam yang diinginkan semua umat dapat terwujud. Islam pun akan mampu kembali menjadi rahmatan lil alamin.
104
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Bab Agenda Dakwah ke Depan Problematika Umat Islam Hari Ini Kondisi umat Islam hari ini masih diliputi derita. Imperialisme, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan sederet permasalahan lainnya belum juga terselesaikan. Di negeri Indonesia ini saja misalnya, sebagai negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, krisis multidimensi yang sejak beberapa tahun ke belakang melanda kita nampaknya masih akan terus dirasakan. Bagaikan benang kusut, berbagai masalah itu membelit, sehingga tidak dapat diketahui mana ujung pangkalnya, dan mana yang lebih dahulu harus diuraikan dan diselesaikan, karena lilitan masalah itu terjadi hampir di semua segi kehidupan. Begitu juga yang dirasakan oleh umat Islam di Asia Tengah seperti Chechnya, di Eropa seperti Albania dan Bosnia Herzegovina, Sudan (Afrika), Iraq, Afghanistan dan Palestina (Asia Barat), Malaysia, Pattani, dan Filipina (Asia Tenggara), Bangladesh, Pakistan dan India (Asia Selatan), serta negeri-negeri Islam yang lain yang tengah mengalami kondisi yang tak jauh berbeda. Jika kita amati, negeri-negeri Islam saat ini tidak memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan kehidupan mereka. Intervensi negara-negara adikuasa terutama Amerika Serikat sangat kental dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para penguasa negerinegeri tersebut. Imperialime klasik berbentuk penjajahan fisik memang tidak lagi populer, tetapi sesungguhnya umat Islam masih menjadi obyek imperalisme gaya baru – yang lebih halus dan mematikan – berupa penjajahan politis dan dominasi ekonomi melalui PBB, IMF, WTO dan berbagai lembaga internasional lainnya. Secara ekonomi, kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin tergolong sebagai negara miskin. Kenyataan ini sebenarnya sangat mengherankan. Sebab negara-negara yang bergelimang dengan kemiskinan dan penderitaan itu sebenaranya adalah negara-negara yang sumber daya alamnya sangat melimpah. Indonesia, misalnya, negara yang sangat terkenal dengan kesuburannnya, dan berbagai tambang minyak, emas, tembaga, batu bara, dsb. yang bertebaran di berbagai wilayahnya, justru mengemis-ngemis kepada IMF, negara-negara donor, dan investor asing. Itu terjadi karena di samping buruknya pengelolaan kekayaan tersebut, meluasnya paktek-praktek korupsi, kolusi, dan suap yang dilakukan atau melibatkan penguasa setempat, juga akibat dieksploitasi dan dikeruk oleh negara-negara adidaya. Tambang emas di Irian jaya, misalnya, setiap hari diangkut ke Amerika dan Kanada melalui Freeport. Minyak di negara-negara Teluk tandas disedot melalui politik perdagangan yang culas dan curang. Beberapa permasalahan tersebut hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang kesengsaraannya langsung dirasakan. Pengrusakan terparah yang dilakukan musuh-musuh Islam itu kini justru berfokus pada pengrusakan pemikiran Islam yang ada di kepala kaum muslimin. Pemikiran Islam yang telah membuat kaum muslimin berjaya selama berabad-abad itu telah hilang, dirusak dan diganti dengan pemikiran-pemikiran sesat yang dilancarkan barat yang merusak aqidah dan akhlak kaum muslimin. Tidak lain hal itu sebenarnya merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk semakin menancapkan kuku-kukunya di tubuh kaum muslimin. Berbagai pengrusakan itu antara lain: (1). Sekulerisme Sekulerisme merupakan asas dari ideologi imperialis Kapitalisme. Inti ide ini adalah memisahkan agama dari kehidupan sosial-kemasyarakatan. Artinya, agama jangan campur tangan dalam urusan sosial kemasyarakatan. Politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hubungan luar negeri, tidak boleh diatur oleh agama secara praktis. Kalaupun agama mau berperan hanya secara moral (etika) yang memang tidak punya pengaruh berarti. Perlu kita ingat, bukan berarti agama tidak diakui dalam sekulerisme ini, tapi agama dimandulkan hanya urusan ritual, moral, dan individual. Sekulerisme juga berarti menolak aqidah Islam dan syariah Islam mengatur masyarakat kita. Padahal, kita menyakini dengan keyakinan yang penuh umat Islam harus tunduk pada seluruh aturan Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupannya. Dengan asas sekulerisme ini semua yang berbau syariah Islam akan ditolak. Tidak peduli apakah syariah Islam akan menyelamatkan manusia dan memberikan solusi atau tidak. Sama tidak pedulinya, bahwa aturan yang bukan bersumber dari syariah Islam telah menghancurkan manusia. Sekulerisme juga menjadi bencana bagi kemanusiaan. Islam yang sejatinya merupakan agama yang memberikan kebaikan bagi manusia ditolak. Islam yang memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia, diterlantarkan. Akibatnya, dunia diatur oleh Ideologi 105
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Kapitalisme dengan asas sekulerisme ini. Dunia diatur oleh para kapitalis yang membuat aturan atas nama rakyat, tapi justru menyengsarakan rakyat. Kemiskinan, konflik, kesengsaraan, ketidak adilan, merupakan buah dari kepemimpinan ideologi Kapitalisme sekarang ini. (2). Liberalisme Liberalisme masih merupakan satu paket dengan ideologi Kapitalisme. Liberalisme sendiri lahir dari masyarakat sakit Eropa di abad kegelapan. Belenggu dominasi raja yang mengatasnamakan Tuhan mengancam perkembangan sains dan teknologi. Rajapun berkolabrasi dengan agamawan palsu untuk menindas rakyat. Solusinya, belenggu ini harus dihilangkan dengan memberikan manusia kebebasan. Melihat dari latar belakangnya jelas tidak sesuai dengan kaum muslim. Dalam Islam, meskipun masyarakatnya terikat pada aturan Allah, ilmu, sains, dan dan teknologi tidak terbelenggu. Bahkan Islam mendorong negara dan masyarakat untuk meningkatkan sains dan teknologi. Bukan hanya itu, Islam juga menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan penghargaan terhadap sains dan teknologi yang luar biasa. Sejarah keemasan Islam, saat diatur oleh syariat Islam, penuh dengan ketinggian sains dan teknologi yang sulit dibantah oleh orang-orang yang jujur. Dunia pemikiran (intelektual), meskipun didasarkan pada Islam dan tunduk pada aturan Islam, bukan berarti terbelenggu. Berkembangnya mazhab dan tumbuh suburnya ijtihad merupakan bukti dari perkembangan intelektual yang produktif ini. Karya-karya ulama bertaburan. Perpustakaan dunia Islam dipenuhi dengan berbagai karya ulama yang membahas berbagai persoalan, mulai tafsir, aqidah, fiqh, sampai sains dan teknologi.Aturan Islam yang diterapkan negara pun tidak menimbulkan kediktatoran, malah memberikan kebaikan pada masyarakat dengan pemimpin yang amanah. Liberalisme ini juga berbahaya. Atas dasar kebebasan berpikir, mereka berpendapat sebebas-bebasnya tanpa terikat pada Islam. Termasuk mempersoalkan yang jelas-jelas perkara yang qoth'i yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat lagi . Al-Qur'an pun diragukan keabsahannya. Atas nama kebebasan berpendapat pemikiran seseorang tidak boleh dilarang, meskipun pemikiran itu bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Kebebasanpun merambah kepada tingkah laku. Homoseksual dan lesbianisme menjadi kenyataan yang harus diterima atas nama kebebasan. Termasuk pernikahan antar homo atau lesbi bisa menjadi legal. Pelacuranpun dibela dan dianggap profesi yang harus dilindungi. Liberalisme yang mengusung kebebasan ini justru akan membawa manusia ke jurang kehinaan. (3). Pluralisme Sebagaimana dua pemikiran sebelumnya, pluralisme merupakan pemikiran yang berasal dari ideologi kapitalisme. Pemikiran ini memandang bahwa masyarakat itu tersusun atas individu-individu, dan masing-masing individu memiliki berbagai macam akidah, kemaslahatan (kepentingan), keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Karena itu sudah semestinya bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), karena masing-masing kelompok memiliki tujuan khusus. Masing-masing kelompok itu memiliki ciri khas yang tidak sama satu dengan yang lain, baik dari sisi kebutuhannya, tujuannya, nilai-nilai yang dimilikinya, bahkan akidah atau ide yang dianutnya. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dijaga, karena tidak mungkin dipersatukan. Pandangan ini terkait dengan ide kebebasan individu dalam pemikiran kapitalisme. Pluralisme membolehkan munculnya berbagai partai, gerakan, kelompok, organisasi, bahkan jamaah apapun yang berlandaskan kepada akidah yang kufur, atau berasaskan pada sesuatu yang bertentangan dengan Islam, seperti partai-partai yang berasaskan nasionalisme, kesukuan dan primordialisme. Masyarakat yang pluralis adalah masyarakat yang membolehkan munculnya kelompok-kelompok yang berasaskan pada sesuatu yang haram. Misalnya, dibolehkannya perkumpulan (komunitas) orangorang homo, lesbian, sex bebas, perkumpulan para pemabuk atau penjudi. Dalam hal agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama, toleransi umat beragama (seperti yang dipahami Barat dan kalangan orientalis). Lebih 106
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
berbahaya lagi, pluralisme menafikkan kebenaran yang absolut. Kebenaran menjadi relatif. Implikasinya, tidak satu agamapun yang berhak mengklaim dirinya paling benar. Dengan demikian tidak ada lagi yang membedakan agama yang satu dengan agama yang lain. Muncullah anggapan agama itu pada dasarnya sama. Di bidang politik juga tampak dalam bentuk aliansi (atau koalisi) berbagai kelompok/partai yang berbeda-beda asasnya tetapi sama dalam kepentingan yang bersifat temporer. Itu gambaran tentang pluralisme di dalam masyarakat kapitalis sekular. Realitasnya, masyarakat itu tersusun atas individu-individu, dan adanya interaksi yang muncul dari upaya manusia untuk memperoleh pemuasan kebutuhan hidup dan nalurinya. Di dalam masyarakat, disamping dijumpai adanya individu-individu, juga terdapat aturan (sistem) yang mengatur interaksi manusia, perasaan-perasaan (kecenderungan) manusia, dan pemikiran-pemikirannya Homogenitas atau kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan adalah realitas yang dijumpai pada seluruh masyarakat yang ada. Kita tidak akan pernah menjumpai masyarakat komunis sekaligus di dalamnya bergabung masyarakat kapitalis. Kita juga tidak akan pernah mendapatkan masyarakat Islam yang menerapkan aturan sekular, tetapi pemikuran-pemikiran yang dominan dan berlaku di masyarakat tersebut adalah pemikiran Islam (akidah Islam). Hal ini tidak mungkin ada, sebab akidah Islam telah menafikan ideologi lain. Bahkan telah mengkufurkannya, karena bertentangan dengan akidah Islam. (4). Terorisme Terorisme menjadi topik paling hangat dibahas media massa di seluruh dunia. Pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001, isu terorisme memang telah menjadi isu global. Media massa Barat - yang kemudian diikuti oleh media massa lainnya mempunyai andil dalam membangun opini bahwa aktivitas terorisme berkaitan dengan perjuangan Islam, yaitu melawan penjajahan AS dan sekutunya di negeri-negeri Muslim, khususnya di Irak dan Afganistan. Aksi terorisme yang sangat kejam itu diopinikan sebagai aktivitas kelompok Islam atau bahkan aktivitas kaum Muslim secara umum dalam merespon penjajahan AS tersebut. Dalam tataran global, aksi terorisme dapat menjadi senjata ampuh Barat pimpinan AS untuk memojokkan Islam. Pasca keruntuhan Komunisme, Islam menjadi ancaman serius bagi Barat. Sebab, faktanya hanya Islamlah saat ini yang memiliki daya tolak yang memadai terhadap sistem Kapitalisme yang diperjuangkan Barat. Sistem ini tidak akan berdaya di hadapan kesempurnaan sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Mahaagung. Karena itu, Barat berkepentingan untuk melakukan pencitraan buruk terhadap Islam. Kasus-kasus terorisme semakin mendekatkan hubungan negara-negara di dunia dengan AS dalam agenda bersama memerangi terorisme. Artinya, semakin banyak aksi terorisme maka semakin besar pula peluang AS untuk mendapat kewenangan menjadi pimpinan utama dunia dalam perang melawan terorisme. Target utamanya adalah kaum Muslim yang tidak sejalan dengan agenda global Kapitalisme-sekular. Ada proses sistematis yang berupaya menjelmakan Islam menjadi musuh bersama (common enemy) dunia. Realitanya, isu perang melawan terorisme telah menjadi senjata pamungkas bagi Barat pimpinan AS untuk melumpuhkan kebangkitan Islam. Secara lebih spesifik, isu itu digunakan untuk menggiring publik dunia pada suatu perang global terhadap kaum Muslim yang memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Mereka memahami bahwa perjuangan penegakan syariah tersebut secara nyata telah mengancam hegemoni sistem Kapitalisme yang mencengkeram dunia saat ini. (5). Nasionalisme Pasca keruntuhan kekhilafahan Islam terakhir yang berpusat di Istambul Turki 1924, dunia Islam memang tidak lagi menjadi kekuatan politik yang disegani. Wilayahnya yang luas telah terkotak-kotak menjadi lebih dari lima puluh negara dan terkerat-kerat oleh ikatan nasionalisme. Ikatan nasionalisme inilah yang menggantikan ikatan kukuh yang berupa aqidah dan persaudaraan Islam yang selama ini mereka miliki. Dengan ikatan rapuh berupa hubungan ketetanggaan, persahabatan dan kepentingan bersama itu mereka bekerjasama. Ikatan ini pula yang menjadikan mereka bersikap individualistik ketika 107
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
negeri muslim lain mendapat persoalan dan membutuhkan bantuan dengan alasan masalah dalam negeri negara lain. Sangat jelas fakta dalam benak kita bagaimana Palestina yang merupakan jantung umat Islam hingga saat ini masih dikuasai Yahudi, sedangkan 1,2 milyar kaum muslimin tidak mampu melakukan tindakan yang berarti. Jangankan untuk menentang nasionalisme, banyak orang Islam sendiri yang justru melanggengkan nasionalisme dengan melandaskannya pada: “Cinta tanah air sebagian dari iman.” Padahal kalimat yang dianggap sebagai hadits tersebut hanyalah sebuah propaganda untuk memecah belah kaum muslimin. Selain itu kalimat tersebut bertentangan dengan sabda Rasulullah, yaitu : “Bukanlah golonganku orang yang menyeru kepada ashobiyah, bukanlah golonganku orang yang berjuang untuk ashobiyah dan bukan golonganku orang yang mati dalam memperjuangkan ashobiyah.” (HR Muslim) Ashobiyah yang dimaksud adalah perasaan fanatisme golongan termasuk ke dalamnya kesukuan dan nasionalisme. Ashobiyah inilah yang telah memecah belah kaum muslimin. (6). HAM dan Demokrasi Di sisi aqidah, kaum muslimin juga banyak terpesona oleh ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Tanpa ragu ide-ide demokrasi dan HAM dianut dan diperjuangkan sebagai pemecah berbagai problematika hidup. Padahal ide-ide tersebut justru menjadi sumber masalah di negeri-negeri mereka. Dengan alasan demokrasi dan HAM, kaum muslimin ikut-ikutan memperjuangkan kebebasan bertingkah laku, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat. Dari ide-ide ini munculah derivatnya berupa ide permisivisme (keserbabolehan),. termasuk memperbolehkan bertingkah laku apa saja asalkan tidak mengganggu orang lain. Akhirnya judi, minuman keras, pergaulan bebas dan freesex muncul di mana-mana dengan alasan hal itu tidak mengganggu orang lain. Akhirnya muncu bencana baru berupa AIDS yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. (7). Pengrusakan Martabat Wanita Di barat, wanita bukanlah seorang sosok yang berperan sangat mulia untuk mendidik generasi mendatang yang berkualitas. Mereka mengganggap wanita sebagai sebuah barang dan bisa jadi sebuah komoditi yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Aurat wanita diumbar di mana-mana. Media massa tidak henti-hentinya menayangkan gambar wanita telanjang maupun ―sedikit tidak telanjang‖ untuk melariskan dagangan. Model wanita karier berkembang dimana-mana. Kuno dan haram sepertinya ketika harus memakan gaji suami. Sehingga akhirnya tugasnya yang mulia sebagai pendidik generasi masa depan yang berkualitas ditinggalkan.
Al Qadliyyah al Mashiriyyah
Melihat begitu banyaknya permasalahan yang terjadi hampir pada semua aspek kehidupan, umat Islam harus mengetahui dan membatasi masalah utamanya. Masalah utama (al qadliyyah al mashiriyyah) ini adalah masalah yang sangat mendesak dan harus didahulukan penyelesaiannya sebelum masalah lainnya. Dengan mengetahui dan membatasi masalah utama tersebut, akan memudahkan umat Islam dalam menentukan arah perjuangannya. Seluruh potensi dan kekuatan umat pun harus dikerahkan menyelesaikan masalah utama tersebut. Tanpa memahami dan membatasi masalah tersebut, maka arah perjuangan umat pasti tidak akan terarah dan berakhir dengan kesia-siaan. Dengan membatasi masalah utama umat Islam ini pula, maka menjadi jelaslah tujuan yang diupayakan oleh seluruh pengemban dakwah Islam, baik dalam bentuk kutlah-kutlah (kelompok dakwah), jama‘ah-jama‘ah, atau pun partai-partai politik (al hizbu as siyaasi). Setelah melakukan pengkajian secara mendalam terhadap Islam dan kondisi umat Islam saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya al qadliyyah al mashiriyyah umat Islam saat ini adalah bagaimana memberlakukan kembali hukum yang diturunkan Allah SWT secara totalitas. Caranya, dengan menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyyah dan mengangkat seorang khalifah yang dibaiat atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dialah yang akan mengusir negara kafir imperialis dari negeri-negeri muslim, menggusur perundang-undangan kufur untuk kemudian menggantinya dan merealisasikan hukumhukum Islam, menyatukan negeri-negeri Islam di dalam naungan khilafah, serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
108
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Minimal ada dua alasan mengapa berlakunya hukum-hukum Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara ini dapat dikategorikan sebagai al qadliyyah al mashiriyyah bagi umat Islam. Pertama, Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk menerapkan Islam secara totalitas. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah. Ada pun dasar pemikiran tentang wajibnya memberlakukan hukum-hukum Islam dan menegakkan daulah adalah sebagai berikut: Beriman terhadap keberadaan Allah SWT, tidak cukup hanya mengimani-Nya sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan alam semesta dan isinya, tetapi juga mengimaninya sebagai Rabb dan Ilaah yang wajib ditaati semua perintah dan larangan-Nya. Allah SWT telah menciptakan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Ad Dzariyaat: 56). Dan untuk itu, Allah SWT menurunkan dien yang mewajibkan seluruh manusia untuk menjalankannya. Terakhir, Allah menurunkan Islam sebagai risalah penutup semua risalah yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Keberadaan risalah yang dibawa Rasulullah SAW tersebut menghapus berlakunya risalah sebelumnya. Risalah Islam ini diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali (Saba‘ :28). Sehingga, sejak diturunkannya Islam ke dunia, seluruh manusia wajib mengikatkan dirinya dengan syariat Islam, menerapkan, dan memberlakukan hukum-hukumnya. Kewajiban ini tercantum dalam nash-nash syara‘, baik dalam Al Qur‘an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah firman Allah SWT ; Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (AL Hasyr: 7) Dalalah (penunjukan) ayat ini bersifat qath‟iy dalalah (pasti penunjukkannya), yakni menunjukkan kewajiban terikat dengan hukum-hukum syara‘. Allah memerintahkan kaum muslimin agar melaksanakan apa-apa yang dibawa atau diperintahkan Rasulullah, baik yang berupa perintah wajib, sunnah, maupun mubah, serta mengharuskan mereka meninggalkan segala yang dilarang, baik yang haram maupun yang makruh. Dan Allah juga memerintahkan untuk mencegah apa yang dilarang bagi mereka. Maka seluruh manusia wajib terikat dengan setiap seruan yang dibawa Rasulullah. Karena lafadz (..) berbentuk umum, maka keterikatan itu mencakup seluruh hukum syara‘ tanpa terkecuali. Sedangkan perintah dalam ayat tersebut menunjukkan wajib apabila dikaitkan dengan qarinah (indikasi) ayat lainnya. Seperti, firman Allah SWT: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" (An Nur: 63). Pada ayat ini, Allah SWT memberikan ancaman kepada siapa saja yang menyimpang dari perintah Rasulullah akan diberikan iqaab (sanksi) berupa ditimpakannya fitnah atau adzab yang pedih di akhirat. Ini menunjukkan bahwa mentaati syariat yang dibawa Rasulullah (Islam) itu bersifat jazim (tegas/pasti), yakni memberikan implikasi hukum wajib. Dengan demikian lafadz dan pada QS Al Hasyr : 7 itu bersifat wajib. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk mengambil hukum syara‘ dan terikat dengannya adalah firman Allah SWT: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan , dan mereka menerima dengan sepenuhnya" ( An Nisa 65) Ayat ini menafikan (meniadakan) iman seseorang yang tidak merujuk kepada Rasulullah SAW atau hukum syara‘. Sebab bertahkim kepada Rasulullah berarti juga bertahkim kepada hukum syara‘. Pengertian tersebut bisa disimpulkan demikian karena Rasulullah SAW tidak memutuskan hukum apapun berdasarkan undang-undang yang berlaku menurut adat dan kebiasaan masyarakat, ataupun mitos nenek moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengadili dan memutuskan mereka dengan hukum syara‘ semata yang berasal dari Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya: "Dan handaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu daya mereka, supaya 109
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu" (QS Al Maidah: 49). Disamping itu, Allah SWT telah mengkaitkan perintah-Nya untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim dengan ada atau tidaknya iman. Juga, diwajibkan atas mereka untuk menerima keputusan Rasulullah SAW tersebut dengan rela dan tunduk, serta tidak boleh ada sedikit pun ada keberatan dalam dirinya. Dalam hal ini, Allah SWT mengancam bagi orang-orang yang mengambil hukum selain hukum syara‘ sebagaimana firman-Nya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya" (An Nisa: 60). Pengakuan bahwa mereka telah beriman kepada Al Qur‘an, mengharuskan mereka untuk bertahkim kepada hukum Al Qur‘an itu. Apabila ia justru menginginkan untuk bertahkim kepada hukum yang tidak bersumber dari Al Qur‘an (hukum thaghut), padahal ia diperintahkan untuk mengkufurinya, maka jelas itu bertentangan dengan pengakuan orang tersebut bahwa ia telah beriman. Oleh karena itu, iman seseorang kepada Islam mewajibkan ia bertahkim kepadanya. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukumhukum Islam. Apabila ia tidak terikat, berarti ia telah menempuh jalan kekufuran. Bahkan pada hakikatnya ia tidak beriman kepada ajaran Islam. Syara‘ juga telah menegaskan hal ini secara jelas dan terang-terangan terhadap para penguasa dan qadli/hakim. Merekalah pihak yang termasuk ke dalam jajaran para pelaksana hukum syara‘. Mereka dilarang menjalankan hukum thaghut (selain hukum Allah SWT). Jika mereka tetap menjalankan hukum thaghut, maka mereka termasuk orang-orang kafir, dzalim, dan fasik. Mereka dianggap kafir secara pasti apabila meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan lagi untuk memecahkan problematika manusia di abad sekarang, justru meyakini bahwa selain Islam, semisal sosialisme atau kapitalisme, lebih handal dan mampu memecahkan problematika hidup. Allah SWT berfirman: "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (Al Maidah: 44). Tetapi jika mereka masih meyakini bahwa hukum Islam itu mampu memecahkan segala problema kehidupan, tetapi ia taat pada hukum-hukum selain Islam karena alasan takut terhadap penguasa atau tekanan negara-negara besar atau ada keyakinan bahwa mereka tidak mampu menerapkan hukum Islam, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim dan fasik, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur‘an surat Al Maidah 45 dan 47. Sebab, ia telah mengerjakan sesuatu yang diharamkan. "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim (Al Maidah 45). "Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik " (Al Maidah: 47). Sebagai risalah terakhir bagi manusia, syariat Islam mencakup seluruh kehidupan manusia. Berbagai interaksi yang dilakukan manusia tak ada yang dibiarkan lepas dari syariat yang mengaturnya (surat An Nahl 89). Keseluruhan syariat tersebut membentuk sebuah sistem kehidupan. Sistem ini mengatur hubungan manusia dengan Dzat yang menciptakannya, yaitu Allah SWT dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan ibadah yang telah diwajibkan dan disunnahkan. Dengan demikian, Islam menggariskan jalan kebahagiaan yang abadi dalam bentuk balasan di akhirat nanti. Juga, sistem Islam mengatur hubungan dengan dirinya sendiri. Sistem ini menghalakan makanan dan minuman yang baik-baik (halalan thoyyiban) dan mengharamkan semua makanan dan minuman yang buruk-buruk (khobaits). Dipilihkan juga baginya pakaian yang layak dan sempurna. Sistem Islam mewajibkan setiap muslim untuk melekatkan akhlak yang terpuji bagi setiap perilaku yang dilakukannya. Pun, sistem Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya di berbagai pergaulan hidup. Hukum muamalah merupakan hukum yang mengatur berbagai ketentuan yang menyangkut hubungan antara manusia, baik masalah pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hubungan antara pria dan wanita, dan politik luar negeri. Syariat Islam telah 110
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
menjelaskan hukum seputar perdagangan, hibah, syirkah, ijarah, harta kharaj, fa‘iy, ghanimah, dan berbagai masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah ekonomi. Di samping Islam menjelaskan masalah pernikahan dan rumah tangga berbagai ketentuan pergaulan antara pria dan wanita, Islam juga menjelaskan persoalan jihad dan tata cara mengemban dakwah sebagai dasar pokok politik luar negeri. Tidak hanya itu, sistem Islam juga merinci berbagai bentuk sanksi-sanksi hukum yang dikenakan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum. Dalam sistem pemerintahan, syariat Islam juga telah memberikan penjelasan yang cukup gamblang, yang sistem tersebut sama sekali berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang pernah ada di dunia ini. Pendek kata, tak ada satu pun persoalan kehidupan dibiarkan begitu saja, tanpa Islam memberikan ketentuan hukumnya. Semua hukum tersebut wajib diterapkan. Tak ada yang lebih diistimewakan daripada lainnya. Karena semuanya berasal dari Allah SWT untuk manusia. Karena semua ayat dan hadist Nabi yang memerintahkan kita untuk menerapkan Islam datang dalam bentuk umum. Menolak salah satu hukum Allah akan membawa status pembangkangan atau kekufuran sebagai mana yang disebutkan dalam Al Qur‘an surat An Nisa‘ 150-151: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan" (An Nisa‟ 150-151). Sebagaimana tidak boleh mengurangi hukum-hukum yang telah ditentukannya, tidak boleh pula menambah-nambahinya dengan hukum-hukum yang tidak bersumber dari Islam. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan bagian darinya, ia tertolak (HR Bukhori dan Muslim). Sedangkan berkaitan dengan pelaksana hukum tersebut, syara memberikan ketentuan bahwa ada hukum-hukum syara‘ yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu. Hukum ini berkaitan dengan aspek individu, semacam aqidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Juga beberapa hukum muamalah seperti seputar perdagangan, ijarah, pernikahan, dsb. Karena dilaksanakan oleh individu, maka di mana pun ia berada, wajib terikat dengan syariat tersebut, baik di dalam daulah Islam atau bukan. Ada pula hukum-hukum syara‘ yang bebannya dilaksanakan oleh negara (dalam hal ini, khalifah dan setiap pihak yang ditugasi olehnya). Hukum itu berkaitan dengan aturan hubungan antara sesama manusia, semisal tentang sistem pemerintahan, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan dan politik luar negeri. Juga hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan pada setiap bentuk pelanggaran hukum syara‘. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu per individu. Sehingga tidak setiap orang, misalnya, boleh memotong tangan seorang pencuri, atau mencambuk seorang pezina. Demikian pula yang memberikan komando kaum muslimin untuk melancarkan jihad futuhat atau membuat perjanjian dengan negara lain, membagi harta ghanimah atau fa‘iy, memaksa setiap individu muslim membayar zakat, mengatur distribusi kekayaan di baitul mal, menyelenggarakan program pendidikan yang membentuk menjadi pribadi Islamiy, mencegah berbagai kemungkaran yang terjadi dengan hukuman pidana, dsb. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah dan yang diberi wewenang olehnya. Dengan demikian, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dlaruri (sangat penting) dalam melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil bisa memberlakukan syariat Islam secara menyeluruh. Banyak sekali hukum syara‘ yang terbengkelai. Pada hal, kita diwajibkan untuk menerapkan syariat Islam secara totalitas. Dengan demikian, aqidah Islamiyyah tidak hanya menjadi asas bagi kehidupan individu, tetapi juga sebagai asas bagi kehidupan bernegara. Sehingga, semua peraturan dan perundangan yang diberlakukan oleh negara itu bersumber dari Islam. Simpulan ini lebih diperkuat dengan tiga argumentasi yang membuktikan hal itu. Pertama, pada saat Rasulullah SAW mendirikan daulah Islamiyyah di Madinah, sejak awal beliau mendirikannya atas dasar aqidah Islamiyyah. Hal ini terbukti dari fakta pada saat itu, di mana ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah hukum belumlah turun, tetapi Rasulullah telah menjadikan sebagai asas bagi pengaturan dan penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 111
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Kedua, Rasulullah SAW telah menetapkan kewajiban jihad atas kaum muslimin untuk menyebarkan aqidah Islamiyyah. Beliau bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukannya, terjagalah harta dan darah mereka dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan Islam dan hisabnya atas hal itu dan perhitungan mereka terserah kepada Allah SWT " (HR Muslim). Ketiga, Rasulullah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempertahankan posisi aqidah Islamiyyah sebagai landasan kehidupan bernegara dengan cara memerangi penguasanya, apabila para penguasa itu menampakkan kekufurannya secara terang-terangan (kufran bawahan). Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit ra. yang berkata tentang baiat kaum muslimin kepada Rasulullah SAW "Dan hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak kecuali (sabda Rasulullah) kalian
melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah"
(HR Bukhari dan Muslim). Juga hadits dari Auf bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah kalian membeci mereka dan mereka pun membenci kalian, mereka melaknat kalian kalian pun melaknat mereka. Ditanyakan kepada Rasulullah SAW," Tidakkah kita perangi saja dengan pedang?‟ Rasulullah SAW menjawab,"Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat (HR Muslim). Arti menegakkan sholat adalah menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan. Ungkapan ini termasuk ithlaaqul juz‟i wa iraadatul kulli (menyebutkan sebagian sedangkan yang dimaksud adalah keseluruhan). Dari tiga argumen itu dapat disimpulkan bahwa aqidah Islamiyyah adalah asas daulah sekaligus sumber konstitusi dan undang-undang. Realitas kaum muslimin saat ini, walaupun telah memeluk Islam, tetapi mereka ternyata dikuasai oleh berbagai pemikiran dan perasaan. Ada yang Islami, ada yang kapitalistik, ada yang sosialistik, ada yang bertolak dari nasionalisme dan patriotisme, selain ada yang bertolak dari semangat kesukuan atau fanatisme madzhab. Ada pun negeri-negeri Islam --sebuah kondisi yang amat disayangkan--semuanya memberlakukan perundang-undangan dan hukum kufur, kecuali hanya sebagian saja hukumhukum Islam, seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara memberi nafkah, waris, perwalian, atau pun sengketa tentang anak. Hanya hukum-hukum semacam inilah yang mereka serahkan pelaksanaannya kepada pengadilan khusus, yang diberi istilah sebagai pengadilan agama. Jika ini yang terjadi, maka jelaslah masalah utama (al qadliyyah al mashiriyyah) umat Islam sejak runtuhnya daulah khilafah Islamiyyah di Turki adalah kembali diterapkannya Islam dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu dengan jalan menegakkan kembali sistem khilafah dan membaiat seorang khalifah yang akan memberlakukan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, menyatukan negeri-negeri Islam menjadi satu negara, dan mengemban risalah Islam keseluruh dunia. Mengapa masalah tersebut dianggap sebagai masalah utama? Karena syara‘ telah mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk mengamalkan hukum-hukum Islam secara totalitas dan direalisasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan Islam telah menjadikan ketentuan sikap terhadap masalah utama ini sebagai masalah antara hidup dan mati. Hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra dan hadits Auf bin Malik di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin harus menggusur bahkan memerangi para penguasa dalam daulah Islamiyyah yang menghentikan penerapan hukum Islam, dan justru memberlakukan hukum-hukum kufur. Rasulullah SAW juga menegaskan betapa pentingnya keberadaan khilafah bagi kaum muslimin. Siapa saja di antara mereka yang mati sedangkan khilafah tidak tegak, mereka diancam dengan ancaman yang sangat menakutkan, yakni mati jahiliyyah. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barang siapa yang mati sementara di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyyah (HR Muslim). Kewajiban mendirikan khilafah tidak sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya. Sebab, lenyapnya daulah Islamiyyah berarti terlantarnya lebih dari tiga per empat syariat Islam. Hukum-hukum Islam yang mengatur persoalan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, hubungan luar negeri, jihad, hudud, jinayat, ta‘zir, mukholafat, dan sebagainya tidak bisa diterapkan. 112
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Alasan kedua mengapa mendirikan khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukumhukum Islam itu menjadi masalah utama --disamping kewajiban tegaknya khilafah yang harus segera didirikan-- adalah karena sebenarnya berbagai problematika lainnya yang sekarang menghimpit kaum muslimin adalah akibat lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Tiadanya Daulah Khilafah Islamiyyah telah mengakibatkan bercokolnya pemikiran dan hadlarah (peradaban), akhlak, dan gaya hidup Barat di benak putra-putri kaum muslimin. Aqidah Islam yang merupakan satu-satunya aqidah yang shahih justru ditanggalkan oleh sebagian besar putra-putri kaum muslimin, dan diganti dengan aqidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan ide-ide turunannya yang mendatang malapetaka bagi manusia. Tiadanya khilafah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan telah mengakibatkan terpecah belahnya kaum muslimin menjadi lebih dari 50 negara dan terbukti telah menimbulkan banyak persoalan. Lebarnya jurang kemiskinan dan kekayaan yang terjadi di dunia Islam adalah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, Demikian pula kemiskinan yang di alami kaum muslimin karena mereka dipimpin oleh para pemimpin yang sangat korup, dan membiarkan kekayaan begerinya dijarah dan dikuras oleh para penjajah kafir. Ini juga tidak akan terjadi jika sistem khilafah ada di tengah-tengah umat. Merosotnya moralitas, tingginya angka kriminalitas, dan merebaknya berbagai kemungkaran dan kemaksiatan adalah produk sistem kufur yang melingkupi mereka. Jika ada Daulah Khilafah Islamiyyah maka semua itu akan dicegahnya. Khilafah Islamiyyah akan menghentikannya, membasmi kerusakan yang nampak di tengah-tengah masyarakat, memelihara aqidah, serta yang akan mencegah seluruh penyimpangan aqidah, perusakan aqidah atau menyalahi aqidah. Khilafah juga menghantarkan terciptanya suasana penuh keimanan, akhlak yang mulia di seluruh lapisan masyarakat, melalui media penerangan, pendidikan, serta berbagai lembaga lainnya. Penanganan dan pengaturan Daulah Islamiyah ini tidak akan mengkhawatirkan hanyutnya para pemuda dan pemudi dari propaganda kemungkaran, kerusakan, demoralisasi. Tiadanya khilafah Islamiyyah memberikan kemudahan bagi negara-negara Barat yang kafir untuk mencengkeramkan dominasi mereka terhadap kaum muslimin, merampok kekayaan alamnya, menginjak-injak kehormatannya, bahkan mengusir dan membantai penghuninya. Raulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai. Diperangi orang yang ada di baliknya dan dijadikan pelindung" (HR Muslim). Berbagai problematika yang yang sekarang melilit kaum muslimin Itu tidak akan terjadi jika sistem khilafah masih tegak. Karena Daulah Khilafah Islamiyyah bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai al haaris (penjaga) aqidah, al munaffidz (pelaksana) syariah, al muqiim (penegak) agama, al muwahhid (penyatu) barisan kaum muslimin, al haamiy (penjaga) negeri-negeri kaum muslimin, darah, harta, dan cita-cita mereka, serta yang yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dan memimpin umat dalam berjihad fisabilillah.
113
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Agenda Dakwah ke Depan Kita umat Islam harusnya menyadari kekuatan dan potensi yang kita miliki, sehingga dengan potensi ini kita mengetahui kenapa Allah Swt menjuluki kita sebagai khairul ummah, umat yang terbaik (Q.S Ali Imran 110). Potensi dan kekuatan yang dimiliki umat Islam diantaranya, Negeri Islam adalah wilayah yang kaya sumber daya alam dan strategis secara geopolitis Lebih 70% cadangan minyak dunia yang sangat vital itu ada di dunia Islam Belum lagi sumber daya alam lain (emas, timah, tembaga, batubara, dan sebaganya) Posisi negeri Islam (wilayah timur tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan) berada pada titik-titik penting secara geografis, ekonomi dan militer. Menguasai dunia Islam berarti menguasai pasokan energi dan SDA lain serta menguasi posisi strategis dunia Islam juga adalah peradaban (hadharah) yang lebih unggul (Samuel P Huntington, the Clash of Civilization: 1996); Peradaban Islam mempunyai konsepsi kehidupan yang khas dan unik; berbeda dengan Sosialisme maupun Kapitalisme, baik di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, maupun yang lain. Islam adalah satu-satunya agama dan ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa. Karena diturunkan oleh Dzat yang Maha Tahu akan fitrah, akal dan jiwa ciptaan-Nya. Sumber daya manusia yang sangat besar (lebih dari 1,4 milyar), lebih besar dari pemeluk agama manapun Sumber daya alam yang sangat melimpah lebih dari wilayah manapun Posisi geografis yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan militer Dengan Islam sebagai pandangan hidup yang sempurna dan basis ideologi serta sistem politik yang khas, maka Islam dan Dunia Islam bakal menjadi rival potensial yang akan mengancam dominasi Barat di masa mendatang pasca era perang dingin Melihat realitas potensi yang dimiliki, sangat mungkin umat Islam bangkit dari keterpurukannya selama ini. Namun, bagaimana langkah nyata menuju sebuah kebangkitan? Kita harus berfikir mendalam untuk memahami apa sesungguhnya rahasia sebuah kebangkitan, sebelum kemudian menentukan langkah menuju kesana. Kebangkitan bisa berarti kesadaran, ketercerahan, kemampuan untuk memahami dan menentukan langkah mandiri. Kebangkitan juga diindikasikan oleh kemampuan mempengaruhi bahkan menguasai. Kebangkitan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh kemajuan teknologinya karena kita menyaksikan bagaimana Jepang yang merupakan salah satu negara yang menguasai teknologi tinggi tapi ia tidak mampu mengendalikan kekuatannya, dan masih dalam kendali Amerika. Kebangkitan juga bukan ditentukan oleh masalah ekonomi, karena dengan jelas kita melihat bagaimana Saudi Arabia, Brunei Darussalam termasuk juga Jepang dan negeri-negeri kaya lain yang tetap tidak mampu menentukan keputusan mereka secara mandiri. ―Nasib‖ mereka berada dalam genggaman Amerika. Saudi Arabia saat ini terbelit utang kepada Amerika, sedang Jepang harus memberikan sumbangan dana kepada Amerika agar kepentingan ekonominya terjaga. Kita juga bisa memastikan kebangkitan tidak ditentukan oleh ketinggian moral (kemuliaan akhlak) karena kita membuktikan Madinah yang penduduknya adalah penduduk yang paling mulia akhlaknya di seluruh dunia tetapi mereka ternyata tidak bangkit. Mereka membeku seperti es tatkala menyaksikan perang saudara antara Arab Saudi dengan Iraq yang notabene keduanya adalah kaum muslimin. Sebaliknya masyarakat Paris adalah masyarakat yang bermoral rendah tetapi mereka bangkit. Termasuk masyarakat Amerika dan Eropa yang gaya hidupnya bebas dan tidak terikat oleh etika-etika moral tetapi mereka mampu menguasai dunia. Sungguh kebangkitan ternyata tidak ditentukan oleh itu semua. Rahasia kebangkitan adalah kebangkitan taraf berfikir. Dari berfikir hewani –yang sekedar berfikir untuk hidup-, meningkat menjadi berfikir manusiawi -yang berusaha memperjuangkan kemuliaan manusia dengan ideologi tertentu. Berfikir ideologis inilah yang telah menghantarkan umat Islam dahulu mampu menguasai dunia, meski hanya berkendaraan kuda dan unta. Sebab teknologi hanya sarana yang akan berubah mengikuti perubahan dunia. Sedangkan mabda‘ tidak akan berubah terutama mabda‘ Islam. Ia tetaplah mabda‘ dan tetap layak menguasai dunia. Menjadi semakin jelas bagi kita bahwa hanya dengan menjadikan 114
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Mafahim BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus)
Islam sebagai mabda‘ maka kaum muslimin akan bangkit, bergerak dan menyelesaikan berbagai persoalannya. Tugas para pengemban dakwah ke depan adalah menyadarkan umat untuk bersamasama bangkit dan menggunakan seluruh potensi serta kekuatan yang dimiliki sehingga mampu menyelesaikan seluruh problematika umat sekaligus menghancurluluhkan kaum kair imperialis yang selama ini memusuhi Islam dan kaum muslimin. Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat bagi para pengemban dakwah. Beberapa hal yang dapat menjadi bekal pengemban dakwah dalam menjalani perjuangaannya dipaparkan sebagai berikut: 1. Membentuk pemikiran ideologis. Artinya, pengemban dakwah harus memahami Islam sebagai sebuah ideologi, yang terdiri dari akidah dan syariat, yang berfungsi untuk memecahkan seluruh problematika hidup manusia. Pengemban dakwah harus yakin bahwa Islam merupakan aturan hidup yang sempurna, yang tidak lagi membutuhkan pengurangan atau penambahan dari aturan-aturan lain di luar Islam. 2. Tidak berpikir pragmatis. Artinya, pengemban dakwah tidak boleh terjebak oleh kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek dalam mengambil sikap dan keputusan. Setiap sikap dan keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri akar permasalahannya, lalu dipecahkan dengan mengacu pada ideologi Islam yang memiliki konsep tersendiri dalam bidang ekonomi. 3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini penting agar pengemban dakwah tidak mudah tertipu oleh manuver-manuver politik kaum penjajah berserta kroninya yang ingin melanggengkan penjajahannya. Sebagai contoh, pengemban dakwah harus memahami kampanye yang kumandangkan Amerika tentang "Perang melawan Teroris". Apa dan siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika? Apa target Amerika di balik kampanye tersebut? Demikian seterusnya. 4. Meraih kemuliaannya dengan Islam. Pengemban dakwah harus memahami bahwa kemuliaan hidupnya, di dunia dan akhirat, hanya bisa diraih dengan mewujudkan tegaknya aturan Islam dalam naungan khilafah. Sebaliknya, kehinaannya di dunia dan akhirat, semata-mata karena mengambil aturan kufur. Semakin banyak ide-ide kufur yang diadopsi, akan semakin jauh pengemban dakwah terperosok ke dalam jeratan penjajahan dan arah perjuangan semakin kabur yang ujung-ujungnya berakhir pada titik kegagalan yang selalu berulang. Adapun bagaimana dakwah yang mesti ditempuh saat ini untuk terwujudnya Islam sebagai sebuah sistem kehidupan tentu saja tidak terlepas dari contoh yang telah diberikan Rasulullah yang telah terbukti keberhasilannya. Beberapa tahapan kongkrit yang mesti ditempuh antara lain Pertama, membina individu-individu (kader-kader dakwah) dengan ruh dan pemikiran Islam sebagai sebuah ideologi disertai dengan gambaran penerapan ideologi tersebut dalam kehidupan. Pemahaman ini akan mendorong upaya-upaya untuk memperjuangkannya. Kedua, melakukan interaksi di tengah-tengah masyarakat untuk membina kesadaran masyarakat terhadap ideologi Islam melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Dengan aktivitas ini akan terbentuk opini Islam yang berkembang luas dan kesadaran masyarakat terhadap Islam. Ketiga, penerapan seluruh aturan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah yang didukung penuh oleh seluruh masyakat. Dukungan ini terbentuk dari kesadaran yang terwujud manakala aturan tersebut lahir dari ideologi yang diyakini. Inilah agenda umat yang harus segera dilaksanakan, saat ini juga !
115
Unit Kegiatan Kerohanian Islam Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
4/4/2014
دار اﻟﻣﻔﻛرﯾن: Download Mafahim BKLDK
Rabu, 23 November 2011
Download Mafahim BKLDK Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh, Butuh referensi untuk mengisi halqoh umum ? atau butuh referensi untuk latihan mengisi mentoring ? Maka tepat sekali jika antum berkunjung ke halaman ini. Silahkan download edisi lengkap "Mafahim BKLDK" dari pembahasan Aqidah Islam, Syariah, hingga Dakwah. Diterbitkan oleh Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus. Silahkan perbanyak sesuai kebutuhan anda. Karena hak cipta hanya milik Allah SWT.
Cuplikan Kata Pengantar : Kitab ini akan memberikan pemahaman keislaman yang benar menurut sudut pandang Islam, dari perkara dasar (tauhid) hingga perkara syariat islam kaafah, dan kemudian menjelaskan tentang dakwah. Dengan pertemuan intensif antara mentor dengan tentor maka pengkajian terhadap kitab ini akan lebih cepat dan mudah difahami. Semoga dengan disajikannya kitab ini dapat menjernihkan pemahaman keislaman dan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya.
Download Kitab "Mafahim BKLDK" Free - disini. Dan dapatkan pula covernya, tinggal unduh gambar dibawah ini, lalu sesuaikan ukurannya sesuai yang dikehendaki.
Cover Depan
http://propaganda1453.blogspot.com/2011/11/download-mafahim-bkldk.html
1/4
4/4/2014
دار اﻟﻣﻔﻛرﯾن: Download Mafahim BKLDK
http://propaganda1453.blogspot.com/2011/11/download-mafahim-bkldk.html
2/4
4/4/2014
دار اﻟﻣﻔﻛرﯾن: Download Mafahim BKLDK
Cover Belakang
http://propaganda1453.blogspot.com/2011/11/download-mafahim-bkldk.html
3/4
4/4/2014
دار اﻟﻣﻔﻛرﯾن: Download Mafahim BKLDK
Cover Depan Belakangnya nampak seperti berikut :
Selamat mencetak, mempelajari, dan menyampaikan. Semoga mendapatkan pahala amal shalih dari Allah SWT. Amiin... َ َ Diposkan oleh ِﻗﻲ ِر ْﺷ َﻣ ْﻟ ٌا ﺳد اdi 19.50 َ
http://propaganda1453.blogspot.com/2011/11/download-mafahim-bkldk.html
4/4
4/4/2014
Dakwah Yuk: Cara Merintis Dakwah di Kampus...
Sabtu, 11 Juni 2011
Cara Merintis Dakwah di Kampus...
Cara Merintis Dakwah di Kampus Segala Puji bagi Allah SWT, Tuhan Penggenggam segala jiwa, dan Shalawat serta salam teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW. Dan tidak lupa pula doa kebaikan teruntuk umat islam diseluruh dunia, khususnya para pejuang islam hingga akhir jaman. Saya tidak dapat bayangkan seperti apa rusaknya kampus yang tidak ada aktifitas keislamannya, kampus yang sudah ada aktifitas keislamannya saja kemaksiatannya masih merajalela. Sudah biasa kita lihat para wanita dan pria yang tidak menutup auratnya, tiap waktu meneguk minuman keras, pacaran tiap malam di sudut kampus yang gelap, dan masih banyak yang lainnya. Realita ini menunjukkan bahwa pentingnya dakwah islam berporos di kampus. Berbicara Memulai dakwah di kampus mengingatkan kita pada sosok Mus’ab bin Umair, seorang sahabat yang yang percaya oleh Rosulullah SAW untuk mengemban tugas berat namun mulia, yaitu mendakwah orang-orang yang ada di Madinah. Yang akhrnya, Mus’ab bin Umair selama 1 tahun lamanya berhasil menjadikan semua orang madinah mengenal islam dan kemudian menentukan pilihannya masing-masing, apakah Masuk islam atau tetap pada kekafirannya. Dan kitapun saat ini mengenal Madinah sebagai awal kaum muslimin memproklamirkan Islam sebagai Aturan Negara. Kesuksesan Mus’ab bin Umair patut menjadi contoh bagi kita yang hendak memulai dakwah di Kampus. Apa Rahasia Kesuksesan Dakwah Mus’ab bin Umair? Step pertama. Miliki Keikhlasannya Modal awal dari kesuksesan yang dimiliki oleh mus’ab bin Umair adalah Keikhlasannya kepada Allah. Hanya Allah motivasi dan tujuannya, hanya Allah tempat baginya untuk meminta disaat kesulitan menghadapinya, dan hanya Allah tempatnya mengadu di saat ketidakadilan menimpanya. Keikhlasannya itu sudah terlihat jelas ketika awal tugas ini dibebankan Rosulullah kepadanya, sungguh responnya memperlihatkan keikhlasannya. dengan senang hati tugas berat ini diterima dan dilaksanakannya tanpa ragu dan tanpa sedikitpun bimbang. Sekarang bertanyalah pada diri anda yang paling dalam. Apakah anda saat ini sudah ikhlas? . kalau sudah selahkan anda teruskan untuk membaca pada step yang kedua. Step kedua. Miliki Pancaran Pribadinya Salah bekal yang dititipkan Allah untuknya selain kesehatan jasmani di Madinah berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur, sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati.karena Pancaran pribadinyalah sehingga ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Pancaran pribadi yang mulia ini wajib kita miliki agar dakwah yang kita lakukan bisa sukses dan istiqomah. Step ketiga. Bentuklah TIM Hebat Keliru sekali jika kita mengatakan kalau Mus’ab bin Umair berdakwah sendirian di Madinah, sebab salah satu Tugas yang dibebankan Rosulullah SAW terhadap Mus’ab bin Umair adalah mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat kepada Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam di bukti Aqabah. Artinya http://dakwahasik.blogspot.com/2011/06/cara-merintis-dakwah-di-kampus.html
1/3
4/4/2014
Dakwah Yuk: Cara Merintis Dakwah di Kampus...
pada saat Mus’ab bin Umair pertamakali menginjakkan kakinya di madinah dia tidak sendiri tetapi sudah ada 12 orang ansyar yang sudah beriman. Akhirnya merekapun menjadi tim yang solid dalam menyiarkan agama islam di Madinah. Khalid Muhammad Khalid dalam buku nya Karakteristik Perihidup Enampuluh Shahabat Rasulullah mengatakan “Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dari Allah, menyampaikan kalimatullah "bahwa Allah Tuhan Maha Esa" secara hati-hati.”. As’ad adalah salah satu sahabat muslim Ansyar. Memulai dakwah dikampus juga sama, kita membutuhkan tim yang solid dankompak, apabila belum ada maka tugas kita adalah mengadakannya. Ajak dan dakwai semua teman yang anda kenal, terus dakwai mereka agar mau mempelajari islam bersama anda. setelah terkumpul satu demi satu, adakan pertemuan rutin setiap harinya untuk memperkuat akidah mereka, gunakan buku pembinaan BKLDK seperti Mafahim BKLDK dan Islamic Inspiration sebagai buku panduannya. Kuatkan terus persaudaraan anda dengan mereka, sehingga kedekatan mereka kepada Allah menjadikan rasa cintanya terhadap islam semakin mungkin untuk dipisahkan lagi, ditambah lagi dengan kuatnya perasaan anda dengan dengan mereka menjadikan tim andapun menjadi solid tak tertandingi. Setelah tim benar-benar solid dan kompak, beri nama komunitas anda. misalnya dengan nama “Forum Mahasiswa Cinta Islam” atau yang lainnya, kemudian adakan kajian Rutin, seminar/training dan kegiatan lainnya, dengan mengundang semua mahasiswa sebagai pesertanya. Komunitas anda bisa melibatkan dosen/pimpinan kampus sebagai pematerinya, sekaligus mendakwai mereka/mendapatkan dukungan. Apabila anggota dan pengurus anda sudah mencapai lebih dari 20 orang, anda bisa memformalitaskan komunitas anda saat ini menjadi Lembaga Dakwah Kampus. bagaimana caranya?insya Allah akan kita bahas dalam pertanyaan selanjutnya. Step keempat. Bersikaplah Berani Keberanian Mus’ab bin Umair digambarkan oleh Khalid Muhammad Khalid dalam buku nya Karakteristik Perihidup Enampuluh Shahabat Rasulullah. Dia mengatakan“Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumahrumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dari Allah, menyampaikan kalimatullah "bahwa Allah Tuhan Maha Esa" secara hati-hati dan tanpa takut dan bermanis muka dihadapan mereka”. Disini kita fahami bahwa Mus’ab bin Umair beserta kaum ansar yang telah muslim setiap hari mendatangi masyarakat untuk mendakwahkan islam, khususnya para pemimpin kabilah/suku yang ada disana. seandainya Mus’ab bin Umair tidak memiliki keberanian mustahil dia mampu melakukannya. Dalam dunia Kampus, aktifitas mus’ab bin Umair dan sahabatnya dapat kita refleksikan dengan cara mendakwai semua mahasiswa, dosen dan karyawan yang ada di kampus, tidak terkecuali pemimpin kampus sekalian. Setiap hari dan setiap waktu. Kalau kita lakukan setiap hari bagaimana caranya? bukankah kita juga kuliah. Kalimat anda yang berbunyi“bukankah kita kuliah” ini adalah tanda keragu-raguan, awas dan hati-hati!. sebaiknya dihilangkan dan dimusnakan sekalian dalam benak kita. Bukannya bermaksud untuk mengajak anda hengkang atau tidak serius di kuliahan, melainkan mengajak untuk memantabkan/luruskan niat anda bahwa segala kesulitan yang anda hadapi adalah ujian dan cobaan dari Allah. Kuliah adalah masalah beda yang mestinya kita juga harus serius dan sungguh-sungguh agar kita mendapatkan hasil yang terbaik. Cara menyiarkan ajaran Islam pada saat Mus’ab bin Umair tentu berbeda dengan http://dakwahasik.blogspot.com/2011/06/cara-merintis-dakwah-di-kampus.html
2/3
4/4/2014
Dakwah Yuk: Cara Merintis Dakwah di Kampus...
saat ini, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi sudah maju, sedangkan dahulu mus’ab bin Umair belum mengenalnya. kalau dahulu mus’ab bin umair mendatangi objek dakwahnya langsung face-to-face, skarang sudah lebih dari itu. Kita bisa membuat pamflet, booklet, majalah, lembar jum’at dan lembar-lembar yang lain yang bisa kita sebarkan/tempel di kampus. atau masuk ke group FB/Milis/Website kampus anda saat ini untuk menyiarkan Islam sekaligus memperkenalkan komunitas kita ke mereka. lebih efektif bukan?!. Terus pembiayaannya bagaimana?. Dari Allah. Terus bagaimana caranya?. Anda bisa membuat proposal dan mengajukannya di sponsor terdekat, dengan menawarkan space iklan di majalah atau pamflet yang anda miliki. atau bisa juga teman-teman membuat bisnis khusus pembiayaan dakwah. Misalnya jual pulsa, goreng, kue kering, atau nasi bungkus di kelas. Step keempat. Miliki jiwa Rela berkorban Rela berkorban untuk Garuda bukanlah kebanggaan, apalagi rela berkorban untuk mempertahankan pangkat dan jabatan demi untuk mendapatkan uang, lihatlah Mus’ab bin Umair. Sikap rela berkorban mus’ab bin umar sudah terlihat sejak dia meninggalkan segala macam kemewahan yang dimilikinya untuk mempertahankan akidahnya. Meskipun dia dikurung dan disiksa oleh ibunya berhari-hari di dalam tempat yang gelap, kotor dan tanpa diberi makan, dia tetap mempertahankan akidahnya, hingga akhirnya dia meninggalkan orangtuanya yang dalam kekafiran. Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam pernah menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”. Subhanallah. Tanyalah pada diri anda saat ini, tanyakan pula kepada rekan-rekan anda.” apakah saat ini mereka masih ragu untuk berkorban di dalam jalan dakwah ini?”. Bukankah Allah telah berjanji akan membayar semua pengorbanan kita untuk surganya?. Apakah ada tempat lain yang kita di kehidupan yang abadi mendatang selain surga?. Ayolah sobat! Anda sudah melangkah cukup jauh. Step keempat. Jangan hinakan diri kita untuk mundur dari jalan dakwah ini lantaran bisikan setan yang menipu. Demikian sekelumit modal sukses membuka dakwah di dunia kampus, Semoga Allah memberikan kekuatan yang cukup bagi anda dalam mengarungi aktifitas mulia ini. Tetap semangat dan salam Revolusi! (Diasuh Oleh Umar, Kornas BKLDK) syahril siswanto Syariah With Khilafah di Sabtu, Juni 11, 2011
http://dakwahasik.blogspot.com/2011/06/cara-merintis-dakwah-di-kampus.html
3/3