5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Obesitas
2.1.1. Definisi Obesitas Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi di mana perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Barrett et al., 2010). Menurut Flier (2008), seseorang dinyatakan mengalami obesitas dengan keadaan di mana massa sel lemak berlebihan serta tidak hanya berdasarkan berat badan saja karena pada orang-orang dengan massa otot besar dapat dianggap overweight tanpa peningkatan sel-sel lemak. Selain itu, menurut Sidartawan (2006), secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
2.1.2. Pengukuran Obesitas Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, ada berbagai cara yang bisa digunakan. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau dikenal juga dengan Quetelet Index, merupakan salah satu cara yang sering digunakan. Cara mengukur IMT, yaitu BB/TB2, di mana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Hamdy, 2012). Menurut WHO (2000), seseorang dikatakan obesitas jika nilai IMT ≥30 kg/m menurut
2
. Sedangkan
Kriteria Asia Pasifik (2000), dikatakan obesitas jika IMT ≥25
kg/m2 (Sidartawan, 2006).
6
Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.1. Sedangkan klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut Kriteria Asia Pasifik (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Sidartawan, 2006).
Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO (2000) Klasifikasi Berat Badan Kurang Kisaran Normal Berat Badan Lebih Pre-Obes Obes- Tingkat I Obes- Tingkat II Obes- Tingkat III
IMT(kg/m2) <18,5 18,5-24,9 >25,0 25,0-29,9 30,0-34,9 35,0-39,9 >40,0
Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000) Risiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut Klasifikasi IMT (kg/m2) <90 cm (Laki-Laki) ≥90 cm (Laki-Laki) <80 cm (Perempuan) ≥80 cm(Perempuan) Berat Badan Kurang <18,5 Rendah (risiko meningkat Sedang pada masalah klinis lain) Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat Berat Badan Lebih ≥23,0 Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat Obes I 25,0-29,9 Moderat Berat Obes II ≥30,0 Berat Sangat Berat
Cara lain untuk menilai obesitas adalah dengan mengukur lingkar perut (LP). WHO menganjurkan LP sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subjek diminta untuk tidak
7
menahan perutnya. Menurut kriteria Asia Pasifik (2000), pria dengan LP≥90 cmdan wanita dengan LP ≥80 cm masuk kategori obesitas (Sidartawan, 2006). Menurut Deurenberg (2000), pemeriksaan obesitas juga bisa dilakukan dengan cara mengukur persentase lemak tubuh secara tidak langsung. Obesitas menunjukkan suatu kondisi di mana terdapat simpanan jaringan lemak yang berlebih pada tubuh. Pada keadaan normal, persentase lemak tubuh pada pria adalah sekitar 15-20%, sedangkan pada wanita sekitar 25-30%. Rumus untuk mengukur persentase lemak tubuh, yaitu sebagai berikut: Lemak tubuh dewasa = (1,20 x IMT) + (0,23 x USIA) – (10,8 x JENIS KELAMIN) – 5,4 JENIS KELAMIN : Pria = 1; Wanita = 0. Berdasarkan rumus di atas, maka seseorang disebut obesitas bila, persentase lemak tubuh pada pria >25% dan pada wanita >33%.
2.1.3. Epidemiologi Obesitas Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) (2010) pada laporan Riskesdas, prevalensi penduduk usia dewasa menurut status IMT di masing-masing provinsi di Indonesia tahun 2007, secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 12,6% kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah di Provinsi Sulawesi Utara (37,1%), dan yang terendah adalah 13,0 persen di provinsi Nusa Tenggara Timur.
8
Gambar 2.1. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut Kategori IMT dan Provensi (Balitbangkes, 2010)
Pada tahun 2010, Balitbangkes juga menampilkan hasil tabulasi silang status gizi penduduk dewasa menurut IMT dengan beberapa variabel karakteristik responden. Dari data tersebut terlihat bahwa prevalensi obesitas cenderung mulai
9
meningkat setelah usia 35 tahun keatas, dan kemudian menurun kembali setelah usia 60 tahun keatas, baik pada laki-laki maupun perempuan. Selain itu, prevalensi obesitas juga lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan dan kelompok penduduk dewasa yang juga berpendidikan lebih tinggi, dan bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai.
Gambar 2.2. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut IMT dan Karakterisitik Responden (Balitbangkes, 2010)
10
2.1.4. Pencegahan dan Penatalaksanaan Obesitas Obesitas dapat dicegah dan ditatalaksana dengan cara manajemen gaya hidup. Terdapat tiga elemen dari gaya hidup yang harus diperhatikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan obesitas, yaitu diet sehari-hari yang sehat, aktivitas fisik yang teratur, dan modifikasi prilaku untuk menetapkan prilaku hidup sehat (Flier, 2008). Secara paradigma, penyebab obesitas adalah ketidakseimbangan antara asupan energi dengan energi yang digunakan (Hamdy, 2012). Obesitas terjadi jika, selama periode waktu tertentu, kilokalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2001). Oleh karena itu, pasien harus tahu bagaimana dan kapan energi dikonsumsi (diet), digunakan (aktivitas fisik), dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (modifikasi prilaku). Suatu penelitian menunjukkan bahwa manajemen gaya hidup dapat menurunkan berat badan sekitar 3-5 kg dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan penatalaksanaan dan perhatian apapun (Flier, 2008). Fokus primer dari terapi diet pada pasien obesitas adalah menurunkan konsumsi
kalori
pasien.
National
Heart,
Lung,
and
Blood
Institute (NHLBI) guidelines merekomendasikan terapi awal dengan penurunan kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dari diet sehari-hari pasien. Terapi awal ini dapat menurunkan sekitar 1-2 pound per minggu dari berat badan pasien. Penurunan konsumsi kalori pada pasien dapat diganti dengan diet lain yang lebih dianjurkan seperti makanan dalam porsi kecil, buah-buahan, sayur-sayuran, gandum, dan lainlain. Selain itu, American College of Sports Medicine juga merekomendasikan pada pasien overweight dan obesitas untuk melakukan aktivitas fisik sedang selama 150 menit per minggu sebagai target utama dalam menurunkan berat badan. Akan tetapi, untuk pasien yang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menurunkan berat badan, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih berat selama 200-300 menit per minggu. Selain itu, terapi prilaku juga berguna untuk mengubah prilaku
11
pasien dalam diet sehari-hari dan aktivitas pasien sebelumnya dan menetapkan prilaku hidup sehat seperti diet sehat dan aktivitas fisik yang teratur (Flier, 2008). Untuk pasien yang memiliki IMT ≥30 kg/m
2
atau IMT ≥27 kg/m2 dengan
penyakit penyerta yang berhubungan dengan keadaan obesitasnya, pasien dapat diberi farmakoterapi. Sedangkan pada pasien yang IMT-nya sudah ≥40 kg/m
2
atau IMT
≥35 kg/m2 disertai kondisi medis yang serius, tindakan bedah bisa dipertimbangkan untuk menurunkan berat badan (Flier, 2008).
2.2.
Obstructive Sleep Apnea (OSA)
2.2.1. Fisiologi Tidur Tidur merupakan suatu keadaan fisiologi dan tingkah laku yang ditandai dengan karakteristik penurunan kewaspadaan atau kesadaran dan reaksi atau gerakan yang bersifat reversibel terhadap rangsangan eksternal (Welch, 2008). Tidur berbeda dengan keadaan tidak sadar lainnya karena pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Saat proses tidur, otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan visual, auditori, dan rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensorik. Akan tetapi, mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor homeostatik (Faktor S) dan faktor sirkardian (Faktor C) juga bersama-sama berperan untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Stevens, 2011). Pusat pengaturan tidur adalah ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) dari bagian anterior hipotalamus. Area ini menjadi aktif saat tidur dan menggunakan neurotransmitter inhibitorik seperti GABA dan galanin untuk menginisiasi tidur dengan cara menghambat area untuk proses bangun di otak (Stevens, 2011). Adanya eksistensi dari sleep-inducing chemicals seperti adenosine juga berperan dalam mengatur seseorang tetap dalam kondisi tertidur. Adenosine akan berikatan dengan reseptor A1 dan menginhibisi neuron kolinergik dari reticular activating system (RAS) yang berpartisipasi dalam proses bangun sehingga aktifitas RAS menjadi rendah saat tidur (Tortora & Derrickson, 2009).
12
Stadium tidur pada manusia ditentukan berdasarkan karakteristik dari pemeriksaan pemeriksaan dan
polysomnography electroencephalogram
electromyogram
(EMG)
yang (EEG),
yang
mencakup
electrooculogram diukur
sekaligus
(EOG), sebagai
parameter electrophysiologic. Berdasarkan polysomnographic profiles, stadium tidur dibagi menjadi dua, yaitu non-rapid eye movement (NREM) sleep atau disebut juga quiet sleep dan rapid eye movement (REM) sleep atau disebut juga active sleep (Barrett et al., 2010). NREM sleep terdiri dari empat fase yaitu: a. Fase 1 Fase ini merupakan fase transisi dari keadaan bangun ke fase tidur yang normalnya berlangsung antara 1-7 menit (Tortora & Derrickson, 2009). Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG. Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG (Barrett et al., 2010). Pada fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah. b. Fase 2 Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep (Tortora & Derrickson, 2009). Pada EEG tampak kumparan tidur atau sleep spindles (12-14 Hz) dan kompleks K (Barrett et al., 2010). Kompleks K adalah suatu gelombang diphasic dengan amplitudo tinggi (>100 V) dan durasi yang panjang (>200 ms) serta bersifat sementara (Benbadis, 2012). Tidak tampak gerakan cepat mata atau REM pada EOG tetapi ada sedikit gerakan berputar atau rolling yang lambat. Potensial EMG lebih rendah dari fase 1 (Barrett et al., 2010). c. Fase 3 Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora & Derrickson, 2009). Pada EEG tampak adanya gelombang delta amplitudo tinggi (0,5-4 Hz), aktivitas gerakan mata cepat atau REM tidak ada pada EOG, dan aktivitas
13
EMG menetap dengan potensial yang lebih rendah (Barrett et al., 2010). Pada fase ini, suhu tubuh dan tekanan darah menurun. Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan (Tortora & Derrickson, 2009). d. Fase 4 Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam (Tortora & Derrickson, 2009). Gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta, tidak ada REM pada EOG, dan potensial EMG rendah (Barrett et al., 2010). Pada fase ini, metabolisme otak menurun secara signifikan dan suhu tubuh juga menurun. Akan tetapi kebanyakan refleks tubuh masih menetap dan tonus otot sedikit menurun (Tortora & Derrickson, 2009). REM sleep ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan denyut jantung, peningkatan laju pernapasan, dan peningkatan tekanan darah yang berfluktuasi secara luas (Kaplan et al., 2010). Pada EEG tampak gelombang dengan frekuensi campuran dan amplitudo rendah yang serupa dengan fase 1 dari NREM sleep. EOG memperlihatkan adanya gerakan mata cepat atau REM serupa dengan yang terlihat pada kondisi bangun dengan mata terbuka. Oleh karena itu, REM sleep disebut juga dengan paradoxical sleep. Selain itu, aktivitas pada EMG juga tidak ada sehingga terlihat atonia otot pada fase ini (Barrett et al., 2010). Tidur nokturnal normal pada orang dewasa umumnya sekitar 7-8 jam dan konstan setiap malam. Setelah inisiasi tidur, biasanya tidur dimulai dari NREM sleep fase 1-4 dalam 45-60 menit. Sebesar 15-26% dari total tidur nokturnal orang dewasa merupakan tidur gelombang lambat (fase 3 dan 4 dari NREM sleep) (Barrett et al., 2010). Dalam 1 periode tidur nokturnal, terdapat 3-5 episode REM sleep yaitu sekitar 90-120 menit. Stadium pada NREM sleep harus berbalik terlebih dahulu ke fase 2 NREM sleep sebelum memasuki fase REM sleep. Episode pertama dari REM sleep biasanya
berlangsung
selama
10-20
menit.
Kemudian
setelah
episode
REM sleep berakhir, maka fase tidur akan kembali lagi ke fase NREM sleep. REM sleep akan muncul setiap 90 menit dan biasanya episode terakhir REM sleep berlangsung lebih lama yaitu sekitar 50 menit. Maka secara fisiologi, kedua jenis
14
tidur ini akan terjadi secara berganti-gantian sepanjang malam. Dipaparkan bahwa 50% tidur bayi, 35% tidur anak, dan 25% tidur orang dewasa merupakan REM sleep. Oleh karena itu, seiring dengan usia maka persentase REM sleep akan menurun (Tortora & Derrickson, 2009).
Gambar 2.3. Stadium Tidur Manusia (Czeisler et al., 1999)
2.2.2. Sistem Pernapasan saat Tidur Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena adanya hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami perubahan saat tidur dan berbeda untuk masing-masing NREM sleep dan REM sleep. Selama NREM
15
sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga menurun sehingga frekuensi napas juga ikut menurun. Ventilasi selama REM sleep juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ventilasi selama REM sleep sedikit lebih tinggi dari NREM sleep (0,9-7,1%). Akan tetapi beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ventilasi selama REM sleep selanjutnya menjadi menurun. Oleh karena itu, ventilasi selama REM sleep bervariasi pada tiap orang. Frekuensi napas bisa bertambah cepat, dangkal, dan tak menentu sesuai dengan variasi ventilasi selama REM sleep tiap orang (Pack, 2008). Otot-otot saluran napas atas bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan napas saat bernapas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang sama dari batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran napas atas bekerja seirama dengan pernapasan (Lapinsky et al., 1997). Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal adalah akibat meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma, dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan refleks batuk juga terjadi selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan yang lain (Pack, 2008). Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat 10 kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali lipat. Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran napas atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan penurunan atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin (SaO 2 ) mengalami penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas, peningkatan resistensi saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan stimulus dari sistem pernapasan yang dapat memicu keadaan terbangun dari tidur (Arifin et al., 2010).
16
Oleh sebab itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal ini dapat mengurangi kualitas tidur, mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan resistensi insulin, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk (Downey, 2012).
2.2.3. Gangguan Pernapasaan saat Tidur Gangguan pernapasan saat tidur atau lebih dikenal dengan nama Sleep Disordered Breathing (SDB) menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur. SDB terjadi jika ada episode berulang penghentian aliran udara (apnea) atau penurunan aliran udara (hypopnea) selama tidur disertai dengan adanya fragmentasi tidur, sering terbangun, dan penurunan saturasi oksigen. SDB memiliki suatu spektrum perjalanan penyakit dari mendengkur menjadi obesity hypoventilation syndrome sehingga disebut SDB syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006).
Gambar 2.4. Sleep Disordered Breathing Syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006)
Mendengkur disebabkan oleh adanya turbulensi udara karena kolapsnya sebagian jalan napas. Jika penyakit sudah mencapai tingkat severe sleep apnea, hal ini
17
akan meningkatkan mortilitas hingga 10% berhubungan dengan penyakit kardiovaskular seperti stroke, myocardial infarction, dan arrythmia. Severe sleep apnea syndrome juga berhubungan erat dengan peningkatan IMT (Rodriguez & Berggren, 2006). Obesity hypoventilation syndrome merupakan gangguan pernapasan saat tidur atau SDB yang paling berat dan dikarakteristik dengan chronic alveolar hypoventilation, obesitas, daytime hypercapnia (PaCO 2 >45mmHg). Hal ini dapat bermanifestasi menjadi hipertensi pulmonar dan gagal jantung kanan (Welch, 2008).
2.2.4. Definisi OSA Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea (OSAH) adalah suatu gangguan tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara di mana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe gangguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode kolapsnya saluran napas atas saat tidur yang berulang (Downey, 2012). OSA merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai dengan adanya episode berulang dari obstruksi saluran napas atas sehingga aliran udara dari hidung atau mulut berkurang (hypopnea) atau tidak ada (apnea). Episode-episode berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang sehingga menyebabkan adanya fragmentasi tidur. Pasien biasanya tidak sadar bahwa dirinya terbangun secara berulang. Adanya fragmentasi tidur dapat menurunkan kualitas tidur pasien dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau disebut juga dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) (WHO, 2007). OSA yang disertai dengan
gejala
EDS
biasanya
disebut
sebagai
Obstructive
Sleep
Apnea
Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS) (Downey, 2012).
2.2.5. Klasifikasi OSA
18
Hypopnea merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan 10-70% aliran udara dibandingkan orang normal selama 10 detik. Sedangkan apnea merupakan suatu kondisi di mana tidak ada sama sekali aliran udara dari hidung atau mulut selama 10 detik. Apnea/hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index (RDI) merupakan jumlah dari kondisi apnea/hypopnea per jam saat tidur. AHI atau RDI dapat dinilai dengan pemeriksaan polysomnography (Welch, 2008). OSA terjadi jika RDI ≥5 kali/ jam. OSA diklasifikasikan menjadi OSA ringan dengan RDI 5-15 kali/jam, sedang dengan RDI 15-30 kali/jam, dan berat dengan RDI >30 kali/ jam. Seseorang didiagnosa menderita OSAS jika RDI >15 kali/jam serta mengalami nocturnal dan daytime symptoms (Welch, 2008).
2.2.6. Epidemiologi OSA OSA merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi di Amerika Serikat. National Commission on Sleep Disorders Research mengestimasi bahwa OSA ringan (RDI >5) ada sekitar 7-8 juta orang dan pada kasus OSA berat (RDI >15) sekitar 1,8-4 juta orang di Amerika Serikat. OSA sering tidak terdiagnosa pada 92% wanita dan 80% pria yang menderita OSA (Downey, 2012). Wisconsin Cohort Study, suatu studi tentang OSA yang dilakukan pada 1069 pria dan wanita yang berusia 30-60 tahun dengan menggunakan polysomnography, memaparkan bahwa prevalensi OSA pada orang berusia 30-60 tahun adalah 9% pada wanita dan 24% pada pria dengan RDI >5, tetapi estimasi prevalensi OSA dengan RDI >5 yang disertai dengan gejala EDS atau disebut juga dengan OSAS adalah 2% pada wanita dan 4% pada pria (WHO, 2007). Sedangkan untuk prevalensi OSA di populasi non-Amerika yang hanya diteliti pada pria, ada sekitar 0,3% di Inggris, 2025% di Israel dan Australia (Downey, 2012). Prevalensi OSA juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu umur, jenis kelamin, dan etnis. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali pada orang yang berusia >65 tahun dibandingkan dengan yang berusia 30-64 tahun. Pria juga 2-3 kali lebih sering menderita OSA dibandingkan wanita. Selain itu orang African American, Mexican
19
American, dan Pacific Islanders juga lebih berisiko menderita OSA dibandingkan orang kulit putih dan orang Asia. Faktor-faktor ini berhubungan dengan meningkatnya IMT yang menjadi faktor risiko dari OSA (Downey, 2012).
2.2.7. Faktor Risiko OSA Faktor risiko OSA terdiri dari faktor struktural, faktor non-struktural, dan faktor genetik. Faktor struktural berhubungan dengan adanya abnormalitas saluran napas atas, yaitu kelainan anatomi kraniofasial seperti retrognathia dan micrognathia, hipoplasia
mandibular,
bentuk
kepala
brachycephalic,
penderita
Down
syndrome, Pierre Robin syndrome, dan Marfan syndrome; obstruksi nasal seperti polip hidung, deviasi septal hidung, adanya tumor, trauma, dan stenosis di hidung; obstruksi retropalatal seperti palatum dan uvula yang memanjang dan letaknya lebih ke posterior, hipertropi tonsil dan adenoid; obstruksi retroglossal seperti makroglossia dan tumor. Faktor-faktor struktural dapat menjadi predisposisi dari OSA karena menyebabkan kolapsnya faring pada saat tidur (Downey, 2012). Sedangkan faktor non-struktural dapat berupa obesitas (diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m
2
dan 50% pasien dengan ≥40 IMT
kg/m2 menderita OSA); jenis kelamin pria lebih sering dibandingkan wanita; pertambahan usia; wanita postmenopause; penggunaan alkohol atau obat tidur; merokok; posisi tidur supine; riwayat keluarga yang menderita OSA; kelainan endokrin seperti hipotiroid dan akromegali (Downey, 2012).
2.2.8. Diagnosis OSA OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS). Setiap orang yang mengeluh tentang rasa kantuk dan menganggap bahwa dirinya adalah “good sleepers” karena dapat tidur kapanpun dan dimanapun (Downey, 2012), dapat ditanyai riwayat tidurnya tentang kebiasaan dan prilaku saat tidur (tidur tidak nyenyak, terbangun berkali-kali,
20
insomnia),
mendengkur,
apnea
(terbangun
karena
merasa
tercekik,
sulit
bernapas), daytime sleepiness (tidur saat kerja, mengantuk saat mengendarai kendaraan), kebiasaan sehari-hari (mengkonsumsi alkohol, rokok), dan riwayat penyakit yang diderita (hipertensi, penyakit kardiopulmonar). Untuk menilai apakah rasa kantuk seseorang berlebihan, maka dapat digunakan kuesioner Epworth Sleepiness Scale. Jika nilainya >11, maka seseorang dikatakan memiliki rasa kantuk yang berlebih. Hal ini dapat bermasalah bagi kesehatan dirinya, oleh karena itu pasien perlu dirujuk untuk didiagnosis dan diterapi (Douglas, 2008). Diagnosis pada OSA dapat ditentukan berdasarkan riwayat tidur, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan khusus) (Douglas, 2008). Gejala–gejala OSA pada umumnya tidak disadari tetapi dapat menjadi berats ecara spontan dan biasanya telah ada selama bertahun-tahun sebelum pasien dirujuk untuk dievaluasi. Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu gejala yang timbul pada saat tidur (Nocturnal Symptoms) dan gejala yang timbul pada siang hari (Daytime Symptoms). Nocturnal Symptoms terdiri dari: mendengkur, biasanya
suaranya
kuat,
terjadi
sehari-hari,
dan
mengganggu
orang
di
sekitarnya; apnea/hypopnea, biasanya pada saat akhir dengkuran; rasa tercekik, gejala ini yang membuat pasien sering terbangun dari tidur; nokturia; insomnia; tidur tidak nyenyak, oleh karena sering terbangun dari tidur. Sedangkan Daytime Symptoms terdiri dari: rasa lelah saat bangun tidur; sakit kepala di pagi hari; Excessive Daytime Sleepiness (EDS); rasa lelah di siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan intelektual; penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian (seperti depresi dan ansietas); disfungsi seksual; gastroesophageal reflux; hipertensi (Downey, 2012). Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher. Pengukuran tekanan darah dilakukan untuk menilai apakah pasien hipertensi karena hipertensi
21
berhubungan dengan beratnya penyakit OSA. Selain itu pengukuran IMT dan lingkar leher juga dilakukan karena pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara IMT dan lingkar leher dengan OSA. Dipaparkan bahwa ada hubungan antara IMT >27.8 kg/m2; lingkar leher >17 inches pada pria dan IMT >27.3 kg/m2; lingkar leher >15 inches pada wanita dengan kejadian OSA. Pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan anatomi kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal ataupun OSA.
obstruksi
retroglossal
yang
bisa
menjadi
faktor
risiko
kejadian
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan
radiologi seperti cephalometry dan x-rays untuk menunjang pemeriksaan fisik dan memastikan apakah ada abnormalitas dari anatomi kraniofasial atau CT scanning dan MRI juga bisa digunakan untuk menunjang diagnosa (Welch, 2008). Selain itu, ada juga pemeriksaan khusus untuk diagnosa OSA, yaitu uji subjektivitas seperti Epworth Sleepiness Scale (ESS), Multiple Sleep Latency Testing (MSLT), dan polysomnography (Welch, 2008).
22
Gambar 2.5. Epworth Sleepiness Scale (Johns, 1991)
23
Gambar 2.6. Gambaran Pemeriksaan Polysomnography CSA dan OSA (Plen & Pack, 2010)
2.2.9. Pencegahan OSA Walaupun terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat dikontrol seperti jenis kelamin, etnis, dan faktor genetik, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah kejadian OSA. Pencegahan OSA dapat berupa (Webmed, 2009): a. Diet Sehat Cara terbaik untuk mencegah OSA adalah menjaga kondisi tubuh supaya tetap sehat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, obesitas merupakan faktor risiko paling besar dan sering menyebabkan OSA. Solusi untuk mencegah obesitas adalah dengan cara makan sehat dan melakukan olahraga secara
24
teratur untuk menjaga supaya berat badan tetap ideal. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan olahraga 3-4 jam sebelum tidur dan tidak mengemil di larut malam. b. Memonitor Tekanan Darah Seseorang dengan tekanan darah tinggi lebih mungkin menderita OSA dan sekitar 30% dari orang-orang dengan tekanan darah tinggi menderita OSA. Akan tetapi, seseorang yang menderita OSA juga lebih cenderung mengalami tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, memonitor dan menjaga supaya tekanan darah tetap normal tidak hanya membantu mencegah OSA tetapi juga mencegah terjadinya penyakit lain. c. Mencegah Penggunaan Alkohol, Obat Tidur, dan Merokok Mengkonsumsi alkohol dan obat tidur lebih cenderung membuat jalan napas menjadi kolaps. Akibatnya, periode apnea menjadi meningkat. Alkohol dan obat tidur dapat memperberat kolapsnya saluran napas atas saat tidur karena otot pernapasan menjadi rileks dan jatuh sehingga menyebabkan OSA. Sama halnya dengan merokok yang dapat menyebabkan saluran napas atas membengkak dan membuat jalan napas menjadi sempit sehingga timbul gejala mendengkur dan juga menyebabkan OSA. Oleh karena itu, pencegahan konsumsi alkohol, obat tidur, dan merokok dapat mencegah OSA. d. Mengubah Posisi Tidur Untuk seseorang yang lebih cenderung menderita OSA (misalnya pada orang yang obesitas), tidur terlentang harus dihindari karena pada beberapa kasus lidah mejadi lebih cenderung jatuh dan menutupi jalan napas. Posisi tidur terbaik untuk mencegah OSA adalah posisi tidur menyamping.
2.3.
Hubungan antara Obesitas dengan OSA
2.3.1. Anatomi Saluran Napas Secara struktural, sistem pernapasan dibagi menjadi saluran napas atas dan saluran napas bawah. Saluran napas atas terdiri dari hidung, faring, dan struktur lain
25
yang berhubungan. Sedangkan saluran napas bawah terdiri dari laring, trakea, bronkus, dan paru-paru (Tortora & Derrickson, 2009). Fungsi sistem pernapasan juga dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu conducting zone dan respiratory zone. Pada conducting zone, sistem pernapasan berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara dari luar kemudian mengkonduksi udara tersebut masuk ke dalam paru. Conducting zone terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal. Sedangkan pada respiratory zone, fungsi sistem pernapasan adalah lokasi utama dalam pertukaran gas dengan darah. Respiratory zone terdiri dari bronkiolus respiratori, alveolar ducts, alveolar sacs, dan alveoli (Tortora & Derrickson, 2009).
Gambar 2.7. Anatomi Sistem Pernapasan (Tortora & Derrickson, 2009)
Pada penderita OSA, terjadi gangguan tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara oleh karena adanya obstruksi jalan napas. Penyebab dari obstruksi jalan napas pada OSA bisa karena faktor struktural seperti abnormalitas saluran napas atas. Pada orang yang obesitas, hal tersebut juga menjadi
26
prediktor terjadinya OSA karena menyebabkan penyempitan jalan napas di daerah leher (Downey, 2012).
Gambar 2.8. Anatomi Saluran Napas Atas pada Orang Normal dan Orang Obesitas (Victor, 1999)
2.3.2. Mekanisme Patofisiologi Obesitas Menyebabkan OSA Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering menyebabkan OSA. Diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m
2
dan 50% pasien
dengan IMT ≥40 kg/m 2 menderita OSA ( Downey, 2012). Pada pasien obesitas yang sebagian lemaknya lebih terakumulasi di daerah leher ataupun lidah, akan lebih berisiko menderita OSA. Suatu penelitian New Zealand Obese mouse melakukan penelitian terhadap polygenetic mouse yang obesitas, didapatkan adanya pembesaran dari ukuran lidah dengan menggunakan three-dimensional MRI (Plen & Pack, 2010). Penumpukan lemak di daerah lidah sehingga ukuran lidah menjadi lebih besar ataupun di daerah leher tersebut menyebabkan penyempitan saluran napas atas pasien. Hal ini akan menimbulkan gejala mendengkur saat tidur. Mendengkur merupakan gejala dini akibat adanya penyempitan saluran napas atas saat tidur. Jika terjadi penyempitan saluran napas atas yang progresif pada pasien, maka dapat menyebabkan terjadinya OSA (Downey, 2012).
27
Pada pasien obesitas yang tidur dengan posisi supine, hal ini dapat memperberat keadaan pasien karena ukuran lidah yang lebih besar dan posisinya menjadi lebih jatuh ke arah bawah sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia sehingga memicu penderita terbangun dari tidur. Oleh sebab itu, pada penderita OSA sering terjadi fragmentasi tidur dan menimbulkan gejala EDS (Arifin et al., 2010). Penderita OSA dengan obesitas juga berkonsekuensi menderita keadaan patologis lainnya seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan resistensi insulin, dan lain-lain (Plen & Pack, 2010).
Gambar 2.9. Mekanisme Patofisiologi OSA (Plen & Pack, 2010)
Gejala EDS paling sering dihubungkan dengan kecelakaan lalu lintas. Departemen transportasi Amerika Serikat mengestimasi bahwa 200.000 kecelakaan
28
mengendarai kendaraan per tahun berhubungan dengan rasa kantuk dan 1500 diantaranya meninggal tiap tahun (Rodriguez & Berggren, 2006).
2.3.3. Pengukuran Risiko Menderita OSA Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA. Pada tahun 1999, Netzer et al., membuat kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki RDI >5 (Netzer et al., 1999). Kuesioner Berlin merupakan hasil diskusi dari Conference on Sleep in Primary Care, yang mana melibatkan 120 orang Amerika Serikat dan Jerman yang merupakan pulmonary dan primary care physicians dan diadakan pada bulan April 1996 di Berlin. Pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner dipilih berdasarkan faktorfaktor risiko (obesitas, hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari) yang berhubungan dengan timbulnya gangguan pernapasan saat tidur. Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaanpertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu kategori 1 (pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS); kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi) (Netzer et al., 1999). Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) ≥2 pada pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten
29
(lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30kg/m
2
. Jika seseorang
berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer et al., 1999).
Gambar 2.10. Berlin Questionnaire (Netzer, et al.,1999)