Pada akhirnya aku menikah dengan laki-laki pilihanku. Seorang tentara soleh dan baik hati yang kukenal sekitar setahun lalu. Aku meyakini kasihnya, kesungguhannya untuk bersamaku, hingga mati. Dan dia mencintaiku begitupun aku. Kami akan bahagia selamanya, dunia akhirat. Untukmu Ibu, maaf karena aku tak selalu bisa jadi gadis kecil yang penurut. Mulan mengakhiri diary-nya. Dipandangnya lekat-lekat wajah Darta, suaminya, yang telah pulas dibuai mimpi. Baru akhir-akhir ini ia merasa sangat bahagia, damai, tenang, terbebas dari jerat permasalahan yang bertahun-tahun melilitnya. Berusaha ia buang jauh-jauh siluet wajah marah Ibunya yang sesekali terlintas di pikirannya. Ia tak punya alasan lagi untuk tidak bahagia. Kali ini, ia benar-benar lakukan itu. Di kota Pontianak yang sudah padat penduduk ini, mereka tinggal di sebuah rumah sederhana. Rumah yang berada di dalam komplek yang cukup ramai tetangga. Lingkungan sekitarnya banyak ditumbuhi pohon pisang. Entah kenapa penduduk sana hobi sekali menanam pohon pisang. Mungkin karena tanaman ini mudah beradaptasi dengan alam dan tak rewel perawatan, juga seluruh tubuh tanamannya dapat digunakan untuk kebutuhan pangan seharihari. Di depan komplek ada warung kopi yang setiap malam selalu ramai dipenuhi pemuda-pemuda yang begadang sambil bermain kartu. Disebelahnya berdiri sebuah mesjid yang cukup besar, bercat hijau. Di depan mesjid itu ada beberapa pedagang sayur dan daging yang menjajakan jualannya mulai pagi dan sore hari. Rumah ini dibeli Darta dari hasil kerja kerasnya. Bapak dan Ibu Darta berdiam di Blitar. Punya banyak sawah yang luas, termasuk dalam golongan keluarga mampu. Namun Darta tak pernah meminta uang kepada orang tuanya. Yang ia minta hanya doa. Ia yakin mampu membangun hidupnya sendiri, dengan kemampuannya sendiri. Sudah hampir sepuluh tahun ia bergabung dalam ABRI, sebentar lagi pangkatnya Kapten. Darta sering menjalani tugas kenegaraan, ditempatkan di perbatasan-perbatasan untuk melindungi negara dari ancaman manusia-manusia perusak. Badannya tinggibesar, berkulit agak gelap dan kumisan. Logat bicaranya kental bahasa Jawa. Darta anak tertua dari 2 bersaudara. Adik perempuannya baru saja menikah bulan lalu dengan seorang pemuda Blitar. Sementara Mulan keturunan Sunda, sosok perempuan berwajah keibuan dengan rambutnya yang ikal, berkulit putih dan tubuhnya berisi. Sehari-hari ia menjahit, menerima jahitan. Banyak kerabat dan tetangga berlangganan jahit baju dengannya.
Dari 3 bersaudara, Mulan adalah yang paling patuh kepada Ibunya. Ia anak bungsu. Yudi, kakak tertuanya yang selalu jadi pembela ketika setiap hari Mul, begitu panggilan akrabnya, diperlakukan semena-mena oleh Karsih, kakak kedua. Namun terkadang Yudi juga berlaku jahat terhadap Mulan. Memposisikan Mulan seolah-olah pembantu, yang bebas ia suruh kapanpun ia butuh pertolongan. Setelah tamat SMA, Mulan diharuskan bekerja oleh Ibunya untuk membayar hutang-hutang keluarga. Ayah mereka sudah meninggal lama. Misna, sang Ibu hanya seorang pengasuh bayi. Yudi pengangguran. Sedangkan Karsih tipe pemberontak, masa bodoh dengan urusan keluarga. Selama 2 tahun Mul bekerja sebagai kasir di salah satu supermarket. Dan selama itu pula ia tak pernah menikmati hasil kerjanya. Semua uang yang ia dapat diberikan kepada Ibunya, untuk melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan Ayahnya sebelum mati. Mulan tak pernah keberatan dengan itu. Ia juga tidak pernah mengeluh ketika setiap pergi dan pulang kerja harus jalan kaki. Pagi-pagi sekali ia diwajibkan membersihkan rumah, ke pasar dan memasak. Sepulang kerja dilanjutkan lagi dengan urusan pakaian; menjemur, mencuci, menyetrika. Sekalipun Mulan tak pernah marah atas ketidak-adilan yang ia terima. Yudi tak pernah membantunya mengurusi rumah. Kerjanya hanya tidur, makan, lalu tidur lagi. Dan begitu seterusnya. Sedangkan Karsih jarang ada di rumah. Ia adalah tipe perempuan yang bersikap masa bodoh dan tak peduli pada permasalahan sekitar. Karsih senang dan gampang bergaul dengan siapa saja, temannya banyak. Karsih berwajah cantik, badannya juga bagus. Tak sedikit laki-laki yang jatuh hati saat pertama kali melihatnya. Ia sering pulang malam. Tiap malam beda laki-laki. Namun Ibunya tak mempermasalahkan itu. Yang ia fokuskan hanyalah Mulan yang harus dapat banyak uang. Sampai suatu saat Misna menjodohkan Mulan dengan laki-laki pilihannya. Seorang pria berumur 40 tahunan yang bekerja sebagai bendahara di kantor Walikota. Misna mendesak pria itu untuk segera menikahi Mulan. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Mulan menolak mentah-mentah keinginan Ibunya. Ia pun diusir dari rumah, dikatai anak durhaka, disumpah serapah akan mendapat azab. Semenjak itu, Mulan hidup menumpang di rumah Bibinya. Ibunya marah besar. Ia takut pulang ke rumah. Di rumah Bi Halim inilah jalan hidup Mulan dimulai kembali. Darta yang kebetulan berteman dekat dengan suami Bi Halim yang juga seorang tentara ini sering main ke rumahnya. Disitu, cerita mereka dimulai. Dari berkenalan, saling
lirik hingga akhirnya Darta mengajak Mulan makan malam bersama. Kisah mereka berakhir dalam ikatan pernikahan yang suci.
***
Pagi-pagi sekali sepulang dari pasar, Mulan mulai bersibuk di dapur, memasak sarapan untuk suaminya. Alunan lagu September Ceria milik Vina Panduwinata terdengar samar dari pesawat radio yang sudah kuno. Iris demi iris bawang putih dipotongnya. Hari Minggu ini ia masak ikan. Begitu juga kemarin. Mungkin besok pun sama. Darta paling suka ikan. Dulu Ayahnya nelayan. Setiap hari makan ikan. Lama-lama jadi hobi, sekarang kewajiban. Sementara Mul tak terlalu doyan ikan. Sambil terus menggoreng, ia mencampur adukkan sayur; kacang panjang, sawi, labu siam dan jagung. Darta juga senang makan sayur. Sop salah satunya. “ Masak opo, Bun? “ bisik Darta yang tiba-tiba hadir dan memeluk Mulan dari belakang. “ Udah bangun? Mandi dulu.. “ “ Masih kangen sama Bunda. “ Darta bernada manja, beberapa kali ia ciumi leher istrinya sebelum benar-benar pergi ke kamar mandi. Sekitar jam 9 pagi mereka sudah akan bersantap di meja makan. Hidangan sudah siap, asapnya masih mengepul. Namun belum sampai pada suapan pertama, seseorang mengetuk pintu. Mulan bangkit dari kursinya, berniat membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia ternyata sang tamu adalah Ibu kandungnya, membawa 2 orang anak perempuan yang masih kecil, anak-anak Karsih. “ Assalammualaikum..” Sapar memberi salam. Seketika pikirannya seperti keluar dari raga. Beberapa adegan mengerikan terlihat lagi bagai film di depan matanya. Ia ingat benar kejadian itu. Suatu malam ketika semua makanan dihabiskan Yudi sedangkan Ibunya belum makan, ia dimarahi dan dicubiti habis-habisan. Maki-makian tak lepas dari mulut tua Ibunya. Mul hanya bisa teriak minta ampun.
“ Wa.. waalaikumalam, Bu. “ Mulan gemetar, ada sesuatu yang membuat hatinya berdegup, takut. Secepat mungkin ia raih tangan Ibunya dan menciumnya. “ Sudah lama sekali ya. Boleh Ibu masuk? “ Misna tersenyum, manis. “ Iya, silahkan. “ Mulan memperhatikan Ibunya yang berjalan masuk rumah. Satu dan dua kedipan tetap tak membuat pandangannya berubah. Ia coba kedipan ketiga dan masih saja sama. Bagaimana tidak terkejut. Misna yang dulunya perempuan dengan penampilan seronok, gincu merah tebal, rambut dicat pirang dan pakaian yang urak-urakan kini tampil dengan balutan busana muslimah bersih dan rapi, juga wangi. Perlakuannya dengan kedua cucunya juga baik, terlihat hati-hati dan penuh kasih sayang. Sungguh berbeda dengan Misna yang ia kenal dulu. Mungkin ini yang disebut keajaiban. “ Kebetulan kami sedang sarapan. Mari kita makan sama-sama. Pasti Ibu lelah dari perjalanan jauh.” Ajak Mulan. “ Baiklah. Ada suamimu juga, kan? “ Mulan hanya mengangguk. Mereka menyusul Darta di ruang makan. Sesampainya bertatap muka, Darta yang tadinya duduk bersandar segera berdiri, sama, ada sesuatu yang membuat hatinya berdegup, takut. “ Ibu, apa kabar? “ tanya Darta, terbata. “ Baik. “ jawab Misna ramah. “ Jangan gugup begitu. Boleh Ibu bergabung makan dengan kalian? “ “ Tentu saja. Silahkan, Bu. “ Dan mereka berlima makan dengan perasaan yang berbeda-beda. Misna dan kedua cucunya begitu menikmati ikan goreng dan sayur sop, juga sambal buatan Mulan. Sementara Darta dan istrinya begitu gugup. Perasaan takut mengusai mereka berdua. Misna tak pernah menyetujui hubungan mereka. Apalagi sampai menikah seperti sekarang. Pernikahan Mulan dilangsungkan di Blitar. Misna tak hadir. Beruntung Yudi ada disana untuk mewakili. Sejak Misna mengetahui putrinya punya hubungan dengan Darta, berbagai cacian diucapnya. Ia meyakini bahwa menikah dengan seorang tentara adalah pilihan yang bodoh. Istri mana yang rela di-doktrin agar ikut menurut pada aturan kerja suaminya?
Belum lagi ketika nanti sang suami harus bertugas jauh dari keluarga. Bisa saja ia selingkuh di luar sana, atau resiko terburuk: ia mati. Lalu istri dapat apa? Misna tak pernah setuju. Ia tetap ingin Mulan menikah dengan laki-laki kaya yang sudah dipilihkannya. “ Kamu tidak kehilangan bakat memasakmu, Nak! “ puji Sapar, ia lanjut menyuapkan nasi ke mulutnya. “ Iya, Bu. “ “ Boleh Ibu menginap disini? Malam ini saja. “ “ Tentu. “ Darta menjawab. Ia dan Istrinya kemudan saling pandang. Hening.