TISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) IMPLEMENTATION OF STA STATISTICAL HM FOR INCREASING METHANE IN PREDICTIVE CONTROL ALGORIT LGORITHM IC BIOREACTOR PRODUCTION OF ANAEROB ANAEROBIC (Katherin Indriawati) Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Keputih Sukolilo – Surabaya 60111
[email protected]
ABSTRAK
Bioreaktor anaerob dapat mengolah limbah untuk menghasilkan gas metan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Kenaikan kandungan Volatile Fatty Acid (VFA) dapat menyebabkan laju gas metan yang dihasilkan meningkat namun juga menyebabkan pH sistem turun yang dapat berdampak pada kestabilan sistem. Melihat fenomena tersebut maka pada makalah ini diajukan suatu strategi pengawasan untuk meningkatkan laju gas metan dan tetap menjaga kestabilan sistem dengan cara melakukan perubahan set point laju gas metan secara otomatis dan tetap menjaga pH proses bernilai 7. Ide dasar yang dikembangkan untuk tujuan di atas adalah: teknik statistical process control (SPC) digunakan untuk mendeteksi keberadaan gangguan yang terlihat pada variabel output proses, sedangkan metode predictive control berfungsi mengkompensasi gangguan tersebut. Kata kunci: bioreaktor anaerob, strategi pengawasan, SPC, perubahan set point laju gas metan I. PENDAHULUAN
Biorektor sangat rentan terhadap fluktuasi substrat, perubahan temperatur dan pH [1]. Variabelvariabel itu berpengaruh terhadap kelangsungan dari mikroorganisme. Bila variabel-variabel tersebut tidak dijaga kestabilannya akan mengakibatkan kematian dari mikroorganisme dan lama kelamaan mikroorganisme dalam reaktor tersebut mati secara total dan bioreaktor tidak dapat diolah lagi, peristiwa itu disebut wash out (pencucian) dan waktu recovery untuk kejadian itu membutuhkan waktu yang lama [2]. Pengontrolan bioreaktor umumnya ditujukan untuk mencapai dua tujuan, yaitu memaksimumkan laju produksi biogas dan meminimumkan konsentrasi effluent. Menurut Simeonov dan Queinnes [3], kedua tujuan tersebut tidak mungkin dicapai bersama karena kedua variabel tersebut saling bertolak belakang. Dalam makalah ini, sistem kontrol yang dibangun adalah ditujukan untuk memaksimumkan laju produksi biogas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pH merupakan salah satu parameter yang perlu diperhatikan dalam proses anaerobik digester selain temperatur [4]. Kondisi pH berkaitan erat dengan kapasitas buffer bioreaktor. Berdasarkan referensi, penambahan kapasitas buffer yang rendah dicapai terbaik dengan mereduksi organic loading rate (OLR), meskipun pendekatan yang sering digunakan adalah penambahan basa kuat atau penambahan bikarbonat [5]. Peningkatan laju produksi gas metan dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam lemak volatile atau volatile fatty acid (VFA) yang terdapat
pada substrat limbah. Namun peningkatan VFA memberikan dampak pada menurunya pH proses, sehingga sistem menjadi tidak stabil dan bahkan dapat menyebabkan kematian mikroba yang menimbulkan kondisi washout. Indriawati [6] telah melakukan simulasi sistem kontrol prediktif untuk meningkatkan produksi gas metan dari bioreaktor anaerob dengan tetap mengendalikan pH proses bernilai 7. Namun demikian, peningkatan laju produksi gas metan dengan merubah nilai setpoint laju gas metan dilakukan tidak secara otomatis, namun ditetapkan oleh operator. Pada makalah ini ditawarakan algoritma sistem kontrol prediktif yang mampu melakukan perubahan setpoint laju gas metan secara otomatis menggunakan strategi pengawasan berdasarkan statistical process control. II. TEORI DASAR 2.1 Bioreaktor Anaerob Bioreaktor anaerob merupakan suatu tangki yang efektif untuk mengolah limbah organik pada industri, dimana hasil samping dari pengolahan limbah ini berupa gas metan (CH4). Proses pada bioreaktor ini dengan memanfaatkan aktifitas dari mikroorganisme pada lingkungan tanpa udara (anaerob). Mikroorganisme dapat tumbuh dengan mengkonsumsi nutrisi atau substrat yang tersedia, pada kondisi lingkungan (temperatur, pH) yang mendukung. Substrat disini dapat berupa limbah organik.
1
Proses yang terjadi di dalam bioreaktor anaerob adalah proses fermentasi limbah oleh mikrorganisme dan dapat pula disebut sebagai anaerobic digestion (pencernaan anaerob). Proses fermentasi merupakan proses degradasi suatu komponen menjadi komponen lain yang berbeda sifat secara kimia dan fisika yang diakibatkan kinerja dari mikroorganisme. Anaerobic digestion (AD) juga dapat didefinisikan sebagai konversi bahan organik menjadi gas metan, karbon dioksida, dan lumpur melalui penggunaan bakteri dalam lingkungan yang oksigennya banyak dikurangi. Dapat pula dikatakan bahwa AD adalah proses penguraian senyawa organik menjadi komponen kimia yang lebih sederhana tanpa menggunakan oksigen. Tahap pembentukan gas metana dilakukan dengan suatu konsorsium bakteri anaerob yang sangat spesifik dalam hal konsumsi substrat, reproduksi, pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Dengan demikian pada tahap ini diperlukan waktu untuk membentuk gas metana dari asam yang sudah terbentuk. Sejumlah spesies bakteri akan terlibat di dalam konversi organik kompleks menjadi gas metana. Untuk mempertahankan sistem dalam keadaan anaerobic, yang akan menstabilkan limbah organik secara efisien, bakteri metanogenesis dan nonmetanogenesis harus dalam kesetimbangan dinamik. Untuk menciptakan kondisi demikian, reaktor semestinya tanpa oksigen terlarut dan sulfide. pH juga harus dijaga dalam rentan 6.6 –7.6 dan alkalinity harus cukup untuk menjamin pH tidak akan turun dibawah 6.2. Diantara keempat tahap yang ada : hydrolisis, acidogenesis, acetogenesis, dan metanogenesis, tahapan metanogenesis adalah tahap yang paling lambat. Pada tahapan metanogenesis penurunan asam asetat (acetat acids) menjadi gas metana (CH4) memerlukan waktu yang lama, sehingga jika terjadi fluktuasi yang berlebihan dari substrat yang masuk kedalam bioreaktor maka akan dapat mengganggu kestabilan proses. Banyaknya fluktuasi substrat yang masuk pada kondisi tertentu dapat menyebakan kematian bakteri, peristiwa inilah yang disebut fenomena pencucian bioreactor (wash-out). 2.2 Statistical Process Control (SPC) Statistical process control (SPC) adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengevaluasi performansi suatu proses. Salah satu perangkat SPC yang sering digunakan adalah grafik kontrol. Pada proses kontinu, seperti di industri kimia, grafik kontrol yang digunakan umumnya adalah grafik individual – moving range (MR), yang merupakan salah satu jenis grafik kontrol Shewhart . Jika sebuah proses tidak terkontrol secara statistik, distribusi output akan bervariasi dari waktu ke waktu. Distribuasi output proses merupakan variabel dan tidak dapat diprediksi. Pada kasus ini,
proses dipengaruhi tidak hanya oleh variasi sebab alami, tetapi juga oleh variasi sebab khusus (special/assignable cause variation). Variasi ini disebabkan oleh penyebab non random. Jika diketahui penyebab variasi sebab khusus mempengaruhi proses, penyebab ini harus diidentifikasi dan dieliminasi agar kondisi terkontrol secara statistik dapat dipertahankan. Grafik kontrol merupakan salah satu alat SPC yang sering digunakan. Dibanding dengan alat SPC lain seperti histogram dan kurva distribusi frekuensi, grafik kontrol, yang dibuat pertama kali oleh Shewhart, dapat menggambarkan kondisi statistik suatu sistem dengan melibatkan orde atau urutan waktu kejadian. Grafik kontrol mem-plot data (yang merepresentasikan output proses) terhadap waktu dalam bentuk yang sederhana sehingga mudah untuk menganalisa apakah proses beroperasi secara normal dimana hanya variasi sebab alami saja yang mempengaruhi proses, atau apakah ada variasi sebab khusus yang telah mempengaruhi proses dan membuatnya bergerak dari kondisi terkontrol secara statistik. Secara umum, ada dua jenis grafik kontrol, yaitu grafik kontrol atribut dan grafik kontrol variabel. Setiap grafik kontrol mempunyai kemampuan sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini, grafik kontrol yang digunakan adalah grafik kontrol individual dan grafik kontrol CUSUM, yang dijelaskan sebagai berikut: 2.2.1 Grafik Kontrol Individual Grafik kontrol individual digunakan untuk pengukuran yang dihimpun secara individual (dengan kata lain tiap subgrup berisi hanya 1 data). X adalah nilai data individual dari sebuah observasi. Grafik X mempunyai garis referensi pusat Xbar ( X ), yaitu nilai rata-rata dari sebuah pengukuran. Untuk menghitung X digunakan persamaan: X =
X1 + X 2 + ⋯ + X m m
dengan X 1 , X 2 ,⋯, X m adalah nilai data individual dan m adalah jumlah data dalam satu observasi. Grafik kontrol X mempunyai garis batas kontrol atas (UCL) dan garis batas kontrol bawah (LCL). Kedua garis tersebut merepresentasikan batas ± 3 σ . Untuk menghitung kedua garis tersebut pada grafik kontrol X, digunakan nilai X-bar. Saat kondisi terkontrol secara statistik terjadi, seluruh titik akan berada diantara batas kontrol atas dan bawah, yaitu batas ± 3 σ . Pada grafik Shewhart standar, hanya sample dengan periode waktu individual (tidak melibatkan sample dari periode waktu sebelumnya) yang dibandingkan dengan nilai target dan batas kontrol. Jika satu titik sample individual berada di luar batas kontrol, maka proses dinyatakan out-ofcontrol.
2
2.2.2 Grafik Kontrol Cumulative Sum (CUSUM) Skema kontrol CUSUM memonitor kejadian kumulatif dari penyimpangan atau pergeseran proses dengan menggunakan jumlah deviasi dari pengamatan terhadap suatu titik referensi. Skema CUSUM dapat langsung mendeteksi pergeseran yang sedang besarnya (dalam orde 1 σ ), bahkan melebihi kemampuan pendekatan metode Shewhart. Namun demikian, jika digunakan aturan pola (run-rules) pada grafik Shewhart, maka beda kelebihan tersebut semakin kecil [7]. Pada CUSUM, deviasi kumulatif dari target diperiksa apakah tetap berada dalam batas yang ditentukan atau tidak. Karena deviasi adalah kumulatif, CUSUM mampu mendeteksi deviasi yang sangat kecil lebih cepat. Ada dua macam penjumlahan kumulatif yang dihitung pada CUSUM standar. Penjumlahan ini menggunakan kriteria batas KU. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: SH (i) = max 0, ( X − AIM ) − KU + SH (i − 1)
[
] SL(i) = max[0,− ( X − AIM ) − KU + SL(i − 1)]
(1) adalah deviasi terhadap target
dengan ( X − AIM ) (AIM) Persamaan pertama digunakan untuk mendeteksi deviasi pada bagian tinggi (sum high); sedangkan persamaan kedua digunakan untuk mendeteksi deviasi pada bagian rendah (sum low). Jika harga deviasi melebihi nilai batas KU, maka SH atau SL akan bertambah. Jika deviasi kumulatif bagian tinggi menjadi bernilai negatif, maka SH(i) = 0. Jika deviasi kumulatif bagian rendah menjadi bernilai negatif, maka SL(i) = 0. Setiap kali SH atau SL melampaui batas aksi HU, maka situasi off-aim terindikasi. Harga KU dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
KU =
DELTAU 2
(2)
dengan DELTAU adalah besar deviasi yang didefinisikan pada awal sedemikian hingga pergeseran pada rerata proses sebesar DELTAU atau lebih, dapat dideteksi secara langsung. Nilai DELTAU biasanya didekati dengan nilai deviasi standar variabilitas random pada proses, disebut SPROC. III. METODOLOGI PENELITIAN Dalam makalah ini, tujuan sistem kontrol adalah meningkatkan laju aliran biogas terutama metan yang memiliki nilai ekonomis, dan mengontrol pH agar tetap dihasilkan laju biogas yang optimal. Ide dasar yang digunakan adalah merubah nilai setpoint sesuai perubahan kandungan VFA yang terjadi pada proses digester sebagai akibat perubahan konsentrasi limbah organik yang masuk ke dalam bioreaktor – dianggap sebagai gangguan. Hal ini dilakukan dengan melakukan strategi pengawasan untuk merevisi model
gangguan dan model referensi yang digunakan dalam menurunkan hukum kontrol optimal prediktif. 3.1 Pembuatan Estimasi Model Gangguan Berdasarkan persamaan model CARIMA, gangguan yang terjadi pada plant dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan model. Dengan demikian model gangguan dapat ditentukan dengan persamaan: (3) Namun karena model prediksi yang digunakan dalam penentuan hukum kontrol adalah menggunakan persamaan beda, maka model gangguan yang digunakan dalam merevisi hukum kontrol optimal juga harus dalam bentuk perubahan gangguan, yaitu: (4) Model gangguan dapat dihitung pada setiap iterasi sampling dengan menggunakan nilai pengukuran output yk dan nilai sinyal kontrol yang diumpankan ke plant bioreaktor uk 3.2 Pembuatan Grafik Kontrol Grafik kontrol digunakan untuk memonitor model gangguan yang terjadi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsekuensi penggunaan persamaan beda pada penurunan hukum kontrol (yaitu menghubungkan prediksi output yk+1 dengan perubahan input ∆uk), mengakibatkan model gangguan juga dinyatakan dalam bentuk perubahan atau ∆dk. Dengan demikian, model gangguan yang berupa pergeseran mean (step) akan memiliki bentuk impuls jika dinyatakan dalam ∆dk. Di sisi lain, model gangguan yang berupa spike akan tetap berbentuk spike (impuls) jika dinyatakan dalam ∆dk. Dalam penelitian ini, grafik kontrol yang digunakan dalam memonitor model gangguan seperti ini adalah grafik kontrol individual atau X. Penentuan batas kontrol atas (UCL) dan batas kontrol bawah (LCL) pada grafik kontrol X dilakukan secara off-line, yaitu menggunakan data hasil simulasi sistem kontrol GPC pada bioreaktor anaerob ketika tidak ada gangguan. Dari data tersebut dihitung nilai simpangan bakunya σ . Selanjutnya UCL dan LCL ditentukan dari ± 3 σ . Garis pusat yang menyatakan nilai rerata gangguan dibuat nol, karena pada kondisi normal tanpa gangguan, model gangguan secara teoritis bernilai nol. Untuk mendeteksi adanya perubahan kandungan VFA pada proses digester, maka dilakukan monitoring terhadap laju aliran gas methan yang keluar dari bioreaktor, qM. Selanjutnya digunakan grafik kontrol CUSUM untuk memberikan estimasi perubahan nilai setpoint yang baru. Data yang digunakan dalam grafik kontrol CUSUM adalah
3
perubahan laju aliran gas methan, atau ∆ qM = qM k qMk-1. Penentuan parameter grafik kontrol CUSUM dilakukan secara off-line, yaitu menggunakan data laju gas methan hasil simulasi sistem kontrol prediktif ketika ada gangguan. Dari data tersebut ditentukan nila penyimpangan yang ingin dideteksi oleh grafik kontrol CUSUM, DELTAU. Selanjutnya, parameter yang digunakan oleh grafik kontrol ini sesuai dengan persamaan 2.81 adalah: AIM = 0, KU = 0,002. Informasi model referensi yang akan diberikan pada algoritma kontrol prediktif diperoleh dari mengambil nilai maksimum SH ditambah nilai referensi sebelumnya.
3.3 Perbaikan Algoritma Kontrol Prediktif Algoritma kontrol prediktif sebelumnya disusun dengan mengabaikan gangguan karena diasumsikan nilai dk+1 = dk (∆dk = 0). Jika terjadi perubahan model akibat adanya perubahan gangguan, maka penurunan hukum kontrol menjadi berubah. Informasi tentang perubahan gangguan harus dimasukkan dalam persamaan prediksi, sehingga diperoleh persamaan prediksi revisi: (5)
CD-1HD, dengan H = CD-1Czb , P = CD-1Hzb , Q = -C Hf = CD-1Hzd Karena asumsi yang digunakan adalah gangguan terjadi pada saat itu juga, dan pengaruh gangguan masa lalu telah dimasukkkan dalam gangguan saat ini, maka nilai Hzd = I (matrik identitas). Dengan demikian, persamaan optimisasi untuk memperoleh hukum kontrol optimal:
persamaan 6 direvisi. Algoritma revisi model referensi yang digunakan adalah: jika max( SH k ) = max( SH k −1 ) ⎧r (8) rk = ⎨ k −1 r + max( SH ) jika max( SH ) > max( SH ) k k k −1 ⎩ k −1 Setelah revisi dilakukan, selanjutnya pengontrol prediktif menghasilkan sinyal kontrol untuk mengkompensasi gangguan tersebut. Jika tidak terdeteksi adanya gangguan, maka tidak ada pengaturan yang perlu dilakukan dan selanjutnya proses hanya dimonitor kembali. Start
Proses plant
Proses jalan?
N
Y Monitoring proses
Uji untuk sinyal out-of-control
Y
(6) dengan
dan
Output sesuai target?
N
3.4 Integrasi Strategi Pengawasan pada Kontrol Prediktif Strategi pengawasan yang dibangun dalam penelitian ini memiliki alur logika seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Jika terdeteksi adanya gangguan pergeseran mean oleh grafik kontrol X, maka model gangguan deterministik fk yang digunakan dalam memperoleh hukum kontrol pada persamaan 3.11 direvisi. Algoritma revisi model gangguan yang digunakan adalah: (7) Selanjutnya, jika terdeteksi adanya akumulasi VFA akibat gangguan pada proses digester oleh grafik kontrol CUSUM, maka model referensi rk yang digunakan dalam memperoleh hukum kontrol pada
Revisi model gangguan & referensi
Perhitungan sinyal kontrol GPC
Finish
Gambar 1. Diagran alir algoritma strategi pengawasan pada kontrol prediktif 3.5 Uji Performansi Performansi sistem kontrol prediktif yang dilengkapi dengan strategi pengawasan menggunakan SPC dinilai dengan melakukan uji performansi. Uji perfromansi ini dilakukan dengan merubah konsentrasi S2, yang terkandung dalam substrat organik limbah. Hal ini disebabkan karena kandungan VFA yang dapat diuraikan oleh bakteri
4
tanpa X-chart setpoint dengan X-chart
7.04
dengan X-chart tanpa X-chart (mmol/l-jam)
5
Laju Aliran Gas Methan, q
M
4.5
4
3.5
3
2.5
0
50
100
150
200
250 Waktu (jam)
300
350
400
450
500
Gambar 3. Respon qM saat uji gangguan dengan revisi model referensi qM 5 tanpa X-chart dengan X-chart X: 458 Y: 4.683
(mmol/l-jam)
4.5 X: 303 Y: 4.065
X: 442 Y: 4.253
M
4
Laju Aliran Gas Methan, q
X: 303 Y: 4.024
3.5
3
2.5
0
50
100
150
200
250 Waktu (jam)
300
350
400
450
500
Gambar 4. Perubahan setpoint qM saat uji gangguan dengan revisi model referensi qM
(mmol/l-jam)
4.5
setpoint output
4
M
IV. HASIL DAN ANALISA Respon output sistem pada saat dilakukan revisi model referensi ditunjukkan pada gambar 2 untuk pH dan gambar 3 untuk qM. Sedangkan perubahan setpoint ditunjukkan pada gambar 4. Eksperimen ini menunjukkan bahwa dengan melakukan revisi nilai setpoin, maka dapat diperoleh gas methan yang lebih banyak tanpa membuat proses digester menjadi tidak stabil – karena pH tetap dipertahankan dalam range kerja normal. Penggunaan grafik individual untuk melakukan revisi model referensi sistem prediktif ternyata dapat memberikan perubahan nilai setpoint yang lebih besar (yaitu 4,683 mmo/l-jam saat nilai gangguan 377,2 mmo/l) dibandingkan sistem kontrol prediktif tanpa revisi model referensi (yaitu 4,253 mmol/l-jam saat nilai gangguan 377,2 mmo/l), seperti yang terlihat pada gambar 4.
5.5
Laju Aliran Gas Methan, q
methanogenic menghasilkan gas methan, diwakili oleh S2. Perubahan nilai gangguan S2 dilakukan sebagai berikut: - pada jam ke-100 menjadi 143,6 mmol/l (dari 93,6 mmol/l) - pada jam ke-200 menjadi 243,6 mmol/l - pada jam ke-400 menjadi 377,2 mmol/l Terdapat dua macam eksperimen yang dilakukan, yaitu menggunakan revisi model referensi, dan tidak menggunakan revisi model referensi atau nilai produksi gas methan tidak dikontrol (baca: tidak ditetapkan nilainya). Hal ini ditujukan dalam rangka perbandingan antara sistem kontrol prediktif dengan strategi pengawasan menggunakan dan tanpa menggunakan grafik kontrol individual, dan antara sistem kontrol prediktif dengan strategi pengawasan menggunakan dan tanpa menggunakan grafik kontrol CUSUM.
3.5
3
2.5
0
50
100
150
200 Waktu (jam)
250
300
350
400
7.02
Gambar 5. Respon qM saat uji gangguan tanpa pH
7
6.98
6.96
6.94
6.92
6.9
0
50
100
150
200
250 Waktu (jam)
300
350
400
450
500
Gambar 2. Respon pH saat uji gangguan dengan revisi model referensi qM
revisi model referensi qM Respon output sistem pada saat laju gas methan yang diproduksi tidak dikontrol (tidak dilakukan revisi model referensi) ditunjukkan pada gambar 6. Terlihat disini, bahwa produksi gas methan dari sistem kontrol prediktif tanpa menggunakan revisi model gangguan lebih besar (yaitu rata-rata 4,7 mmol/l-jam saat nilai gangguan 377,2 mmo/l) dari pada sistem kontrol prediktif dengan menggunakan revisi model gangguan (yaitu rata-rata 4,35 mmol/ljam saat nilai gangguan 377,2 mmo/l). Harga ini sama dengan produksi gas methan yang dihasilkan dari sistem kontrol prediktif dengan revisi model referensi. Namun pada saat nilai gangguan 243,6 mmol/l (yaitu pada jam ke-200 hingga jam ke-400), produksi gas methan tidak stabil di sekitar 4,
5
sehingga jika ditinjau secara kumulatif, dari awal hingga jam ke-500, laju aliran gas methan dari sistem bioreaktor yang menggunakan kontrol predikif dengan revisi model referensi lebih besar (yaitu 1.914 mmol/l-jam) dibandingkan laju aliran gas methan dari sistem bioreaktor yang menggunakan kontrol prediktif hanya untuk mengontrol pH (yaitu 1.780 mmol/l-jam). Dengan demikian, pengontrolan laju aliran gas methan masih diperlukan untuk memaksa sistem bioreaktor menghasilkan gas methan optimal sesuai dengan nilai yang masih mungkin dicapai tanpa menyebabkan terjadinya washout. 5.5 dengan X-chart tanpa X-chart
X: 496 Y: 4.895 X: 497 Y: 4.597
4.5 X: 497 Y: 4.532
Laju Aliran Gas Methan, q
M
(mmol/l-jam)
5
X: 498 Y: 4.198
4
3.5
3
2.5
0
50
100
150
200
250 Waktu (jam)
300
350
400
450
500
Gambar 6. Respon qM saat uji gangguan dan tanpa revisi model referensi qM V. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: − Sistem kontrol GPC dengan menggunakan strategi pengawasan berbasis SPC (yaitu grafik kontrol individual dan CUSUM) terbukti secara kumulatif mampu menghasilkan gas methan yang lebih banyak dibandingkan sistem kontrol GPC tanpa menggunakan strategi pengawasan, yaitu – dalam waktu 500 jam – 1.914 mmol/l-jam jika menggunakan strategi pengawasan, sedangkan 1.780 mmol/l-jam jika tanpa menggunakan strategi pengawasan. − Penggunaan revisi model gangguan pada strategi pengawasan untuk GPC dapat menyebabkan nilai referensi laju aliran gas methan yang ingin dicapai lebih besar dibandingkan jika tidak digunakan revisi model gangguan, yaitu – pada kondisi gangguan tertinggi (377,2 mmol/l) – 4,683 mmo/l-jam jika menggunakan revisi model gangguan, sedangkan 4,253 mmol/l-jam jika tanpa menggunakan revisi model gangguan. − Penggunaan revisi model referensi pada strategi pengawasan untuk GPC dapat menyebabkan produksi plant meningkat sebagai akibat plant dikondisikan harus mencapai nilai referensi revisi.
DAFTAR PUSTAKA [1] J. F. Béteau, Carlos-Hernandez, E.N. Sanchez., Fuzzy observers for anaerobic WWTP: Development and implementation, GIPSALab, Automatic Control Department, Grenoble INP, BP 46, 38402 St Martin d’He`res, France, 2009. [2] J.F. Béteau, V. Ottona, J.Y. Hihnb, F. Delpechc, A.Chéruy, “Modelling of anaerobic digestion in a fluidised bed with a view to control”, Biochemical Engineering Journal, vol. 24, pp. 255–267, 2005. [3] I. Simeonov , I. Queinnec, “Linearizing control of the anaerobic digestion with addition of acetate (control of the anaerobic digestion)”, Control Engineering Practice, vol 14, pp. 799– 810, 2006 [4] H.Q. Yu, H.H.P. Fang, “Acidogenic og gelantinerich Wastewater in an upflow anaerobic reactor: influence of pH and temperature”, Water Research, vol.37 (1), pp. 55 – 66, 2003 [5] A.J. Guwy, F.R. Hawkes, S.J. Wilcox, D.L. Hawkes, “Neural network and on–off control of bicarbonate alkalinity in a fluidised-bed anaerobic digester”, Water Research, 31, 2019– 2025, 1997 [6] K. Indriawati, Multivariable Predictive Control of The Anaerob Digestion Based Generalized Predictive Control Algorithm Algorithm. Seminar Nasional APTECS, Surabaya, 2009 [7] W.H. Woodall, , D.C. Montgomery, “Research issues and ideas in statistical process control”, Journal of Quality Technology Technology, 31, 376-386, 1999.
6