LAYANAN PESAN PENDEK SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KABUPATEN KARAWANG
HARIS TRI WIBOWO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Haris Tri Wibowo NIM I352130181
RINGKASAN HARIS TRI WIBOWO. Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh DJUARA P LUBIS dan RESFA FITRI. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini telah terintegrasi dengan pembangunan pertanian. Teknologi informasi dan komunikasi seperti telepon seluler telah digunakan dalam kegiatan pembangunan pedesaan. LISA merupakan sebuah program inovatif yang bertujuan untuk memberikan layanan pertanian terpadu mencakup layanan tips pertanian, layanan tanya jawab interaktif, dan layanan iterasi keuangan keluarga yang berbasis layanan pesan pendek telepon seluler. Penelitian ini mempunyai tujuan utama untuk mengetahui sejauh mana efektivitas LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek berperan dalam pembangunan pertanian. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1) Mendeskripsikan keterdedahan pengguna terhadap LISA; 2) Menganalisis hubungan karakteristik petani dan faktor eksternal dengan keterdedahan terhadap LISA; 3) Menganalisis hubungan keterdedahan terhadap LISA dengan efektivitas komunikasi LISA; dan 4). Menganalisis hubungan interaksi dengan sumber informasi lain dengan efektivitas komunikasi LISA.bagaimana efektivitas LISA sebagai media penyebaran informasi pertanian Penelitian didesain sebagai penelitian survey yang bersifat deskriptif korelasional. Penelitian dilakukan di Kabupaten Karawang pada bulan Mei 2015 sampai dengan Juni 2015. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Multiple Stage Sampling. Tahap pertama, pemilihan kecamatan yang dijadikan subpopulasi. Kecamatan yang terpilih untuk dijadikan subpopulasi adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Jatisari, Kecamatan Karawang Timur, dan Kecamatan Pedes. Tahap kedua, pemilihan responden dilakukan secara accidental sampling. Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Slovin didapatkan responden sebanyak 100 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif korelasional dan SEMpls. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan budidaya responden secara signifikan mempengaruhi keterdedahan terhadap LISA. Faktor eksternal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keterdedahan LISA. Keterdedahan terhadap LISA berpengaruh secara nyata terhadap efektivitas komunikasi. Interaksi dengan sumber informasi lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap efektivitas komunikasi. Kata kunci:
layanan pesan pendek, keterdedahan terhadap LISA, efektivitas komunikasi
SUMMARY HARIS TRI WIBOWO. Short Message Service as Communications Media of Agricultural Development in Karawang District. Supervised by DJUARA P LUBIS and RESFA FITRI. Application of information and communication technology (ICT) currently has integrated with agricultural development. Information and communication technologies (ICT) such as mobile phones have been used in rural development activities. LISA is a groundbreaking program that aims to provide an integrated agricultural services include agricultural tips services, the interactive dialogue, and iteration financial services based on mobile phone short message service. The main objective of this study to determine the effectiveness of LISA as agricultural information dissemination media based short message service in agricultural development. The purposes of the study were 1) to analyze the exposure of LISA user; 2) to analyze the relationship between user characteristics and external factors against LISA exposure; 3) to analyze the relationship between LISA exposure against the effectiveness of communication; and 4) to analyze the relationship between interaction with other information sources against the effectiveness of communication. The research was designed as a survey descriptive correlational. The study was conducted in Karawang District in May 2015 - June 2015. The method of selecting samples using Multiple Stage Sampling. The first phase, determination of sub-populations. Sub-district that elected to be a subpopulation is Pangkalan, Jatisari, Karawang Timur, and Pedes. The second stage, the selection of respondents by accidental sampling. Based on Slovin’s formula, found as many as 100 respondents. Data analysis was performed using descriptive correlational analysis and SEMpls. The result showed that the land area cultivated respondent significantly affect LISA exposure. External factors do not significantly affect the LISA exposure. LISA exposure significantly affect the effectiveness of communication. Interactions with other information sources does not significantly influence the effectiveness of communication. Keywords: short message service, LISA exposure, the effectiveness of communication
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LAYANAN PESAN PENDEK SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KABUPATEN KARAWANG
HARIS TRI WIBOWO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada ujian tesis:
Dr Ir Pudji Muljono, MSi
Judul Tesis : Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Nama : Haris Tri Wibowo NIM : I352130181
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua
Dr Resfa Fitri, MPlSt Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Desember 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang dilakukan pada bulan Mei 2015 – Juni 2015. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Djuara P Lubis, MS dan Dr Resfa Fitri, MPlSt selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar meluangkan waktu memberikan saran, arahan, bimbingan, motivasi dan membagikan pengalamannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada: 1. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) beserta seluruh staf; 2. Dosen-dosen pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP); 3. Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku penguji luar komisi; 4. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, khususnya kepada Ir Pending Dadih Permana, MEcDev, Dr Ir Momon Rusmono, MS, Ir Heri Suliyanto, MBA, Ir Rusmini, MSi, dan Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah; 5. Pimpinan Mercy Corps Indonesia beserta staf; 6. Indonesia Programe Coordinator Agri-Fin Mobile, Andi Ikhwan; 7. Direktur PT 8villages Indonesia beserta staf; 8. Teman-teman petani dan penyuluh pertanian di Kabupaten Karawang; 9. Rekan-rekan mahasiswa KMP angkatan 2013, angkatan 2012, dan angkatan 2014; 10. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri Diah Sulistyorini, MP dan anak-anak: Hanum Amira Nisyafiqa dan Hatta Fahrizal Wibowo, keluarga M Salim dan keluarga Slamet Santoso. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016 Haris Tri Wibowo
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Magelang pada tanggal 28 Desember 1980 anak ketiga dari pasangan Much Salim dan Sifatun. Jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas dilalui di Magelang. Setelah lulus dari SMU Negeri 3 Magelang, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Pendidikan sarjana diselesaikan penulis pada tahun 2005. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai Calon Widyaiswara di Departemen Pertanian dengan ditempatkan di Sekolah Pertanian Pembangunan Negeri Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada tahun 2011, penulis dimutasi menjadi Fungsional Umum di Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian di Jakarta. Pada tahun 2013, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan strata-2 ini ditempuh dengan bantuan beasiswa dari Kementerian Pertanian.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Efektifitas Komunikasi Keterdedahan terhadap Media Karakteristik Individu Pemuka Pendapat Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia Penyuluh Pertanian Kelompoktani Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyuluhan Pertanian Layanan Operator Telepon Seluler LISA sebagai Media Komunikasi Pertanian Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran
4 4 5 6 7 9 11 13 15 19 20 21 22
METODOLOGI Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Data dan Instrumentasi Penelitian Definisi Operasional Validitas dan Reliabilitas Analisis Data
24 24 24 24 25 25 29 30
DESKRIPSI UMUM Layanan Informasi Desa (LISA) Deskripsi Lokasi Penelitian Karakteristik Responden Faktor Eksternal Interaksi dengan Sumber Informasi Lain
31 31 33 35 40 44
KETERDEDAHAN TERHADAP LISA Keterdedahan terhadap LISA Hasil Analisis menggunakan Model Persamaan Struktural PLS Hubungan Karakteristik Responden dengan Keterdedahan terhadap LISA Hubungan Faktor Eksternal dengan Keterdedahan terhadap LISA
48 48 53 56 56
EFEKTIVITAS KOMUNIKASI Tingkat Pengetahuan Sikap Hubungan Keterdedahan terhadap LISA dengan Efektivitas Komunikasi Hubungan Interaksi dengan Sumber Informasi Lain dengan Efektivitas Komunikasi
58 58 60 61 62 ii
SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
64
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Definisi operasional dan indikator peubah karakteristik petani Definisi operasional dan indikator peubah faktor eksternal Definisi operasional dan indikator peubah interaksi dengan sumber informasi lain Definisi operasional dan indikator peubah keterdedahan terhadap LISA Definisi operasional dan indikator peubah efektivitas komunikasi Jumlah desa, luas wilayah, dan luas lahan di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2014 Jumlah penduduk di 4 kecamatan lokasi penelitian menurut jenis kelamin tahun 2014 Jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai di Kabupaten Karawang tahun 2013 Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan menurut golongan luas lahan yang dikuasai di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2014 Jumlah responden menurut karakteristik di 4 kecamatan lokasi penelitian Penilaian responden terhadap konten tips pertanian dan tanya jawab interaktif di 4 kecamatan lokasi penelitian Persentase konten tips pertanian berdasarkan tema di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Persentase konten tanya jawab interaktif berdasarkan tema di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Outer loading model perbaikan Crossloading terhadap variabel laten Uji koefisiensi dan t-hitung variable karakteristik, faktor eksternal, interaksi dengan sumber informasi lain terhadap keterdedahan LISA dan efektivitas komunikasi
26 27 27 28 29 34 34 35 35 36 50 51 52 54 55 55
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Layanan grup Indosat pengguna LISA Kerangka pemikiran Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Alur Layanan Informasi Desa (LISA) Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenis kelamin Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut usia Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenjang pendidikan Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut status kepemilikan lahan Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut luas lahan Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut pekerjaan utama
21 23 33 37 37 38 38 39 39 iii
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Tingkat kepuasan responden pengguna terhadap layanan LISA Pemahaman responden terhadap bahasa yang digunakan dalam LISA Penilaian responden terhadap kelengkapan tips/jawaban/ulasan yang diberikan LISA Penilaian responden terhadap kemudahan untuk menerapkan tips/jawaban/ulasan Penilaian responden terhadap kualitas operator telepon seluler Penilaian responden terhadap tarif telepon dan pesan pendek Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan pemuka pendapat Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan kelompoktani Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan petani Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan penyuluh pertanian Frekuensi akses responden terhadap layanan LISA Frekuensi akses responden terhadap layanan grup Model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Perbaikan model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Model persamaan struktural karakteristik dan faktor eksternal terhadap keterdedahan LISA Tingkat pengetahuan responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan lokasi penelitian Tingkat pengetahuan responden menurut sub tema di 4 kecamatan lokasi penelitian Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan lokasi penelitian Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA menurut sub tema di 4 kecamatan lokasi penelitian
41 41 42 42 43 43 44 45 46 46 48 49 53 54 56 58 59 60 61
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Peran tersebut terutama dalam terciptanya ketahanan pangan, penyumbang produk domestik bruto, penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan, penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, sumber pendapatan masyarakat, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan sektor lainnya (Kementan 2014). Tantangan besar yang dihadapi sektor pertanian di masa mendatang yang bersifat multidimesi antara lain: (1) tantangan meningkatkan pendapatan petani yang sebagian besar memiliki lahan di bawah 0,5 ha; (2) tantangan untuk meningkatkan produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya; (3) tantangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus berkembang; (4) tantangan untuk memfasilitasi proses transformasi perekonomian nasional dari berbasis fosil ke basis bioekonomi; serta (5) tantangan untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan dalam konteks perubahan iklim global (Kementan 2014). Untuk menjawab tantangan di atas, diperlukan sumberdaya manusia pertanian yang andal, berkualitas, dan mempunyai kemampuan. Hal tersebut merupakan hal yang harus dimiliki para pelaku pembangunan pertanian. Pengembangan kualitas pelaku utama dan pelaku usaha pertanian dapat dilakukan melalui pendidikan dan penyuluhan pertanian. Seiring dengan perkembangan teknologi, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah terintegrasikan dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi secara signifikan telah mengubah cara hidup manusia dan menjadikannya hal yang tidak terpisahkan. Teknologi informasi dan komunikasi, seperti telepon seluler, telepon fixed-line, komputer, dan internet, telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern dalam semua masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi menghubungkan orang, menghasilkan lebih banyak perdagangan barang dan jasa di seluruh dunia, dan meningkatkan akses ke informasi dan pengetahuan. Pohjola (2003) dan UNCTAD (2008) dalam Kilenthong dan Odton (2014) menyatakan bahwa TIK merupakan faktor kunci bagi pembangunan ekonomi. Peran TIK juga telah masuk ke bidang perbankan yang terbukti meningkatkan akses keuangan dan kesejahteraan masyarakat, seperti dalam kasus M-PESA di Kenya (Jack et al. 2010 dalam Kilenthong dan Odton 2014). Hampir semua orang mempunyai dan menggunakan telepon seluler untuk memenuhi kebutuhan harian dan untuk berbagai tujuan (Salehan dan Negahban 2013). Di bidang pertanian, TIK berperan dalam penyuluhan pertanian yang memperkuat sistem komunikasi. Dengan bantuan internet beberapa hambatan terkait dengan komunikasi dapat dihilangkan. Semua komponen sistem komunikasi seperti komunikator, pesan, saluran, perlakuan pesan, penerima dan umpan balik akan berfungsi lebih efektif (Kumar 2012). Peran TIK dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat di Indonesia salah satunya dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang dikenal dengan cyber extension (Mulyandari 2011). Hasil penelitian Mulyandari (2011)
2
membuktikan bahwa cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, promosi usahatani, serta untuk akses informasi produksi dan teknologi pertanian. Hal lain yang didapat dari penelitian tersebut, bahwa masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Timur sudah dapat mengakses internet melalui telepon seluler. Dengan adanya telepon seluler, petani dapat memperoleh atau mendiseminasikan informasi dengan cepat dan mereka dapat menghubungi penyuluh pertanian atau petani lainnya untuk melakukan pertemuan atau diskusi kelompok di luar jadwal yang telah ditetapkan. Data Badan Pusat Statistik (2014) menyebutkan bahwa sebanyak 83,52 persen rumah tangga di Indonesia yang menguasai/ memiliki telepon seluler. Data dari Mercy Corps Indonesia (2012) dalam Ikhwan (2014) menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen petani di Indonesia memiliki/ menguasai telepon seluler. Tetapi baru sekitar 12 persen petani tersebut yang memanfaatkan layanan internet melalui telepon seluler. Telepon seluler memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknologi informasi komunikasi lainnya, antara lain mudah dan fleksibel dalam penggunaannya. Dengan kelebihan tersebut, PT 8villages Indonesia dengan didukung Agri-Fin Mobile dari Mercy Corp Indonesia meluncurkan layanan diseminasi informasi pertanian berbasis telepon seluler melalui Layanan Informasi Desa (LISA). LISA merupakan sebuah program yang bertujuan memberikan layanan pertanian terintegrasi melalui telepon seluler meliputi tips-tips pertanian, tanya jawab interaktif, dan iterasi keuangan keluarga bagi ibu rumah tangga dan wanita tani. Petani pengguna dari berbagai daerah terhubung dengan pusat layanan melalui LISA. Pemakaian telepon seluler sebagai sarana diseminasi informasi pertanian masih merupakan fenomena yang tergolong baru di Indonesia. Penelitian mengenai cyber extension yang berbasis layanan internet, diketahui bahwa cyber extension dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, serta untuk akses informasi mengenai usahatani (Mulyandari 2011). Cyber extension merupakan bentuk yang paling penting dari penyebaran teknologi di masa depan. Cyber extension membantu dalam pembangunan pedesaan. Cyber extension memiliki kemungkinan besar untuk memecahkan masalah kemiskinan, ketimpangan dan menjembatani kesenjangan antara masyarakat kaya informasi dan masyarakat miskin informasi di pedesaan. Penggunaan internet akan menarik partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Melalui internet masyarakat dapat berinteraksi dengan pemerintah secara dua arah, mengenai masalah dan solusi yang mereka tawarkan, serta diseminasi informasi pertanian dari pemerintah kepada masyarakat (Kumar 2012). Penelitian mengenai telepon seluler sebelumnya menunjukkan bahwa telepon seluler dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan (Lio dan Liu 2006 dalam Tadesse dan Bahiigwa 2015). Penelitian Mulyandari (2011) menyatakan bahwa sebagian petani di Jawa Barat dan Jawa Timur yang sekaligus juga sebagai pedagang pengumpul dalam kegiatannya sehari-hari, tidak pernah lepas dari penggunaan terutama telepon seluler. Telepon seluler digunakan untuk mencari informasi mengenai harga pasar komoditas yang diusahakan, transaksi secara elektronis, serta mendongkrak jangkauan pemasaran produknya. Hasil penelitian Prihandoyo (2014) menyatakan bahwa telah terjadi perubahan proses diseminasi informasi di kalangan petani dari cara konvensional
3
menjadi modern dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi. Diseminasi yang biasanya melibatkan fasilitas berupa material/fisik seperti buku berkembang dengan memanfaatkan fasilitas jaringan kerja dengan memanfaatkan teknologi komputer dan internetnya serta telepon seluler. Menurut Hudson (2006) dalam Martin (2010) dan Burrell (2008) dalam Martin (2010), penggunaan telepon seluler oleh petani bertujuan untuk akses ke input pertanian, mencari informasi pasar, bantuan darurat pertanian, memantau transaksi keuangan, dan konsultasi dengan ahli. Sejalan dengan uraian di atas, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek berperan dalam pembangunan pertanian, perlu dilakukan kajian dan analisis secara mendalam dan terarah. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek berperan dalam pembangunan pertanian. Sedangkan permasalahan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana keterdedahan petani pengguna terhadap LISA?; 2) Bagaimana hubungan karakteristik petani dan faktor eksternal dengan keterdedahan terhadap LISA? 3) Bagaimana hubungan keterdedahan terhadap LISA dengan efektivitas komunikasi LISA?; dan 4) Bagaimana hubungan interaksi dengan sumber informasi lain dengan efektivitas komunikasi LISA? Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana efektivitas LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek berperan dalam pembangunan pertanian. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini untuk: 1. Mendeskripsikan keterdedahan petani pengguna terhadap konten LISA; 2. Menganalisis hubungan karakteristik petani dan faktor eksternal dengan keterdedahan terhadap LISA; 3. Menganalisis hubungan keterdedahan terhadap LISA dengan efektivitas komunikasi LISA; dan 4. Menganalisis hubungan interaksi dengan sumber informasi lain dengan efektivitas komunikasi LISA. Kegunaan Penelitian 1. 2. 3.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan di bidang penyuluhan pertanian di semua tingkatan; Sebagai bahan evaluasi bagi Mercy Corps Indonesia dan PT 8villages dalam perbaikan program di masa akan datang; Sebagai referensi bagi akademik.
2 TINJAUAN PUSTAKA Efektivitas Komunikasi Komunikasi dikatakan efektif apabila rangsangan yang disampaikan dan dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud oleh komunikator dapat direspon oleh komunikan, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan. Selanjutnya Effendy (2001) menyatakan komunikasi untuk dapat dikatakan efektif jika dapat menimbulkan dampak yaitu: 1) kognitif, yakni meningkatnya pengetahuan komunikan, 2) afektif, yaitu perubahan pandangan komunikan, karena hatinya tergerak akibat komunikasi dan 3) behavioral yaitu perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan. Efek pada aras kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Pada aras afektif meliputi efek berhubungan dengan emosi, perasaan dan sikap, sedangkan efek pada aras konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu (Jahi 1988). Tubbs dan Moss (2005) mengemukakan bahwa secara sederhana komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudnya. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Tubbs dan Moss (2005) menyatakan ada lima hal yang menjadikan ukuran bagi komunikasi yang efektif, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. 1. Pemahaman Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan stimuli seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan (komunikator), dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikan. 2. Kesenangan Komunikasi tidak semua ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu, adakalanya komunikasi hanya sekedar untuk bertegur sapa dan menimbulkan kebahagian bersama. 3. Mempengaruhi sikap Tindakan mempengaruhi orang lain dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada waktu menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi ternyata kegagalan dalam mengubah sikap orang lain belum tentu karena orang lain tersebut tidak memahami apa yang dimaksud. Dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam mengubah pandangan seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam meningkatkan pemahaman, karena memahami dan menyetujui adalah dua hal yang sama sekali berlainan.
5
4. Memperbaiki hubungan Komunikasi yang dilakukan dalam suasana psikologis yang positif dan penuh kepercayaan akan sangat membantu terciptanya komunikasi yang efektif. Apabila hubungan manusia dibayang bayangi oleh ketidakpercayaan, maka pesan yang disampaikan oleh komunikator yang paling kompeten pun bisa saja mengubah makna. 5. Tindakan Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan yang diinginkan merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi. Lebih mudah mengusahakan agar pesan dapat dipahami orang lain daripada mengusahakan agar pesan tersebut disetujui, tindakan merupakan feed back komunikasi paling tinggi yang diharapkan pemberi pesan. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi yang efektif. Menurut Moekijat (1993), faktor-faktor tersebut adalah: (1) kemampuan orang untuk menyampaikan informasi; (2) pemilihan dengan seksama apa yang akan disampaikan oleh komunikator; (3) saluran komunikasi yang jelas dan langsung; (4) media yang memadai untuk menyampaikan pesan; (5) penentuan waktu dan penggunaan media yang tepat; dan (6) tempat-tempat penyebaran yang memadai apabila diperlukan untuk memudahkan penyampaian pesan yang asli, tidak dikurangi, tidak diubah dan dalam arah yang tepat.
Keterdedahan terhadap Media Massa Keterdedahan pada media massa adalah aktivitas komunikasi seseorang dalam memperoleh informasi melalui media massa, baik media cetak (surat kabar, buku, brosur) maupun media elektronik (televisi, radio, internet). Komunikasi ini memanfaatkan kekuatan media massa dalam hal cakupan khalayak yang luas, serentak, dan pesan yang relatif seragam (Rogers dan Shoemaker 1971). Senada dengan Rogers, Rakhmad (2007) berpendapat bahwa keterdedahan berkaitan dengan aktivitas pencarian informasi berupa aktivitas mendengarkan, melihat, membaca, atau secara umum mengalami, dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media. Keterdedahan media komunikasi adalah intensitas masyarakat yang menggunakan media komunikasi. Keterdedahan dapat dilihat dengan dua indikator, yaitu 1) frekuensi keterdedahan, adalah jumlah intensitas khalayak terdedah terhadap media massa; dan 2) lamanya keterdedahan, adalah lamanya waktu khalayak terdedah terhadap media massa. Rogers (2003) menjelaskan tiap indikator keterdedahan pada media komunikasi paling tidak dibagi menjadi pernah terdedah dan tidak terdedah. Agustini (2009) mengungkapkan bahwa keterdedahan adalah penggunaan media yang diperoleh yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Soekartawi (1988) menyebutkan bahwa sumber informasi sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi, sumber yang dimaksud dapat berasal dari media massa maupun media interpersonal, petugas penyuluh, aparat desa dan lain sebagainya. Masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. Media komunikasi massa dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat serta memberikan efek kognitif yang meliputi peningkatan kesadaran untuk belajar dan menambah pengetahuan. Media
6
komunikasi personal dapat menimbulkan efek perubahan perilaku. Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya, tetapi tergantung pada keterdedahan khalayaknya di media massa (Schramm 1984). Menurut Jahi (1988), keterdedahan pada media massa akan memberikan kontribusi terhadap perbedaan perilaku. Sejalan dengan hal tersebut, perubahan perilaku khalayak tidak saja dipengaruhi oleh keterdedahannya pada satu saluran media massa, tetapi juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi massa lainnya seperti televisi, radio, film, dan bahan-bahan cetakan (Kincaid dan Schramm 1984). Hasil penelitian Nugroho (2011), semakin tinggi intensitas masyarakat dalam mendengarkan, melihat, membaca, atau sedikitnya ada perhatian terhadap pesan media atau intensitas masyarakat dalam pencarian informasi melalui berbagai media, maka masyarakat cenderung aktif dan terbuka. Kondisi masyarakat yang cenderung terbuka dan aktif akan memudahkan diseminasi teknologi kepada masyarakat tersebut. Hasil penelitian Asmirah (2006) menunjukkan bahwa keterdedahan petani pada media komunikasi berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi. Keterdedahan terhadap media massa mempunyai indikasi positif terhadap respon peternak guna meningkatkan produktivitasnya.
Karakteristik Individu DeVito (1997) menerangkan bahwa dalam memberikan informasi ataupun mempengaruhi khalayak harus memperhatikan beberapa peubah karakteristik individu, antara lain: umur, jenis kelamin, faktor budaya, pekerjaan, pendapatan, status, dan agama. Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat pribadi yang dimiliki seseorang dan ditentukan oleh status demografik, psikografik, dan geografik yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap, dan tindakan terhadap lingkungan kehidupannya. Siagian dalam Erwiantono (2004) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan keluarga, dan lamanya berinteraksi dengan seseorang atau lingkungannya merupakan karakteristik biografi yang berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap objek tertentu. Rogers (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori dari karakteristik adopter untuk penerimaan suatu hasil inovasi, yaitu: 1. Status sosial ekonomi, meliputi umur, pendidikan formal, status sosial, serta tingkat mobilitas sosial; 2. Peubah personal, meliputi empati, tingkat dogmatis, rasionalistis dan fatalis, intelegensi, kemudahan dalam menerima perubahan sikap dan ilmu pengetahuan, kemudahan dalam menghadapi ketidakpastian dan resiko, serta tingkat aspirasi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan status; 3. Perilaku komunikasi, meliputi partisipasi sosial, tingkat keterlibatan dalam jaringan komunikasi pada suatu sistem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, tingkat keterdedahan terhadap saluran komunikasi interpersonal dan media massa, keaktivan mencari suatu inovasi, tingkat pengetahuan atas suatu inovasi dan derajat kepemimpinan.
7
Penelitian Nugroho (2011) menunjukkan bahwa karakteristik tokoh masyarakat yang berhungan nyata dengan efektivitas program tanggungjawab sosial perusahaan PT Indocement, antara lain: (a) pekerjaan utama dengan tingkat pemahaman tokoh masyarakat, (b) pekerjaan utama dengan sikap tokoh masyarakat, dan (c) keterdedahan media massa dengan sikap dan tindakan tokoh masyarakat.
Pemuka Pendapat Dalam kehidupan masyarakat biasanya terdapat seseorang yang mempunyai pengaruh dan dianggap sebagai “tokoh” atau yang dianggap “tua” dalam suatu perkara. Rogers and Shoemaker (1971) menyebutnya orang-orang yang demikian sebagai tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemuka opini, pemimpin informal atau sebutan lainnya yang sejenis. Rogers (2003) dalam Browning (2007), pemuka opini adalah “the degree to which an individual is able to influence others individuals’ attitude or overt behavior informally in a desires way with relative frequency”. Nurudin (2005) mendefinisikan pemuka pendapat sebagai orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat lain; (2) Lebih tinggi status sosial ekonominya; (3) Lebih inovatif dalam menerima dan mengadopsi ide baru; (4) Lebih tinggi pengenalan medianya; (5) Kemampuan empatinya lebih besar; (6) Partisipasi sosialnya lebih besar; (7) Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas). Rogers (2003) menjelaskan karakteristik pemuka pendapat yang membedakan dari masyarakat lainnya, yaitu (1) Pemuka pendapat mempunyai ekspose lebih besar ke media massa dibandingkan para pengikutnya; (2) Pemuka pendapat lebih kosmopolit daripada pengikutnya; (3) Pemuka pendapat mempunyai hubungan lebih luas dengan agen perubahan dibandingkan pengikutnya; (4) Pemuka pendapat memiliki partisipasi sosial lebih besar dibanding pengikutnya; (5) Pemuka pendapat memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan pengikutnya; (6) Pemuka pendapat lebih inovatif dibandingkan pengikutnya; (7) Ketika suatu sistem norma sosial menyukai perubahan, para pemuka pendapat menjadi lebih inovatif, tetapi ketika normanorma tidak menyukai perubahan, maka para pemimpin pendapat tidak terlalu inovatif. Para pemimpin pendapat boleh jadi berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan pekerjaan mana saja. Dalam setiap lapisan masyarakat yang berbeda, terdapat pemimpin pendapat yang berbeda, karena cenderung mempunyai lebih banyak informasi dan lebih sering menggunakan berbagai media massa (Tubbs dan Moss 2005). Pemuka pendapat adalah sumber informasi, para pengikutnya adalah penerima informasi (receiver). Beberapa pemuka pendapat mengambil prakarsa dalam komunikasi dengan mencari kesempatan menghubungi anggota masyarakat untuk menyebarluaskan pesan-pesannya. Sebaliknya masyarakat sering juga menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi (Ardianto et al. 2012).
8
Sebagian besar orang menerima efek media dari pemuka pendapat yang mempunyai akses terlebih dahulu kepada media massa. Tahap pertama, pemuka pendapat menerima informasi dari media massa, kemudian pemuka pendapat berbagi dengan orang-orang di sekitar lingkaran sosialnya. Setiap tahapan dalam proses pengaruh sosial dimodifikasi oleh norma-norma dan kesepakatan dari setiap lingkaran sosial baru itu. Opini-opini yang berasal dari media akan dicampur dengan opini-opini lainnya dan secara perlahan akan melebihi informasi yang diberikan media. Opini lain yang muncul dapat menyebabkan efek positif maupun negatif. Hal ini menyebabkan pemuka pendapat juga berfungsi sebagai gatekeepers (Ardianto et al. 2012). Menurut Valera et al. (1987) dalam Adi dan Setyowati (2010), peranan pemuka pendapat dalam proses adopsi dan difusi inovasi adalah : 1. Fungsi inisiatif (initiation function), memberikan inisiatif dan membangkitkan motivasi masyarakat dengan mengusahakan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. 2. Fungsi diseminasi atau penyebaran inovasi (dissemination function), membantu menyebarkan kegiatan-kegiatan penyuluhan untuk menjangkau sebagian besar masyarakat. 3. Fungsi pengungkapan minat (interest articulation function), membantu agen penyuluhan dalam menerangkan sesuatu dan melayani kesulitan-kesulitan, serta memecahkan masalah anggota masyarakat. 4. Fungsi penghubung (linkage function), membantu agen penyuluhan dalam memperkuat keputusan-keputusan, dengan mempengaruhi anggota-anggota masyarakat yang lain, yang tidak tahu mengenai keputusan tersebut, dan juga bertindak sebagai penanggung jawab bagi masyarakat. 5. Fungsi pengawas (overseer function), dapat dimintai oleh agen penyuluhan untuk mengawasi kegiatan-kegiatan penyuluhan yang berjalan, dan membantu menetapkan prosedur kerja sesuai dengan sumber daya yang ada. 6. Fungsi mobilisasi sosial (social mobilization function), membantu agen penyuluhan dengan mengorganisasi kelompok–kelompok kegiatan masyarakat dan memelihara kegiatan-kegiatan tersebut, membantu dalam memelihara kesatuan kelompok, dan membangkitkan iklim sosial yang lebih kondusif. Hasil penelitian Adi dan Setyowati (2010), pemuka pendapat berpengaruh secara nyata dalam proses difusi teknologi konservasi lahan kering oleh petani kepada petani lain. Pemuka pendapat melalui peranannya sebagai penyebar inovasi, penghubung atau katalisator dan mobilisator bagi penerapan teknologi dapat mempengaruhi keputusan petani untuk menyebarkan teknologi konservasi kepada petani lain. Penelitian Hoang et al. (2006) dalam Isaac (2012) menggambarkan bahwa meskipun penyuluhan pertanian berperan sebagai sumber informasi formal, sumber informasi informal berbasis masyarakat dapat digunakan secara efektif untuk melengkapi peran penyuluhan pertanian. Isaac et al. (2007) dalam Isaac (2012) menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian terhubung erat ke pemuka pendapat dalam sebuah jaringan komunitas.
9
Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia Dalam catatan Lubis (2012), sejarah perkembangan penyuluhan pertanian di Indonesia dapat dibagi menjadi: 1. Era Kolonial Pembangunan pertanian dimulai sejak pembangunan Kebun Raya Bogor pada tahun 1817. Belanda mengembangkan bermacam-macam komoditas pertanian komersial dibarengi dengan pendidikan dan pengembangan penelitian pertanian di daerah. Selain itu, penyuluhan pertanian mulai dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian. Kemudian pada tahun 1910, Belanda mendirikan kantor penyuluhan pertanian. Penyuluhan dilakukan dengan mendidik orang-orang, mengenalkan penemuan baru hasil penelitian kepada petani, memodernisasi sistem pertanian, menyebarluaskan bibit tanaman komersial, pelatihan bagi petani, mengenalkan demplot, studi banding untuk petani, membuat analisis usaha tani, serta pengenalan sistem kredit pertanian. 2. Era Soekarno (1945 – 1963) Pembangunan pertanian yang sistematis pertama yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah Kasimo Plan. Namun karena ketidakstabilan politik, rencana pembangunan tidak terlaksana dengan baik. Pada tahun 1950, didirikan Pusat Pendidikan Masyarakat Desa yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Pada masa ini petani diperkenalkan kepada pupuk kimia dan pestisida, varietas baru tanaman, dan sistem irigasi. Pada era ini, pemerintah melaksanakan proyek intensifikasi untuk 1.000 hektar sawah dan memberikan bantuan keuangan bagi petani (berupa pupuk, bibit, dan uang tunai). Mereka berharap bahwa demonstrasi ini ditiru oleh petani lainnya. Pada tahun 1959 ada sedikit perubahan dalam pengembangan penyuluhan pertanian. Pemerintah mengubah pendekatan penyuluhan pertanian dari slow-but-sure menjadi pendekatan personal yang cepat; olievlek-sijsteem ke sistem tetes air. Pemerintah meluncurkan Komando Operasi Gerakan Makmur untuk mencapai swasembada beras. Pendekatan “perintah” dianggap menjadikan persepsi negatif terhadap penyuluhan pertanian. Bimbingan Massal, atau yang lebih dikenal dengan BIMAS merupakan salah satu pendekatan yang lahir di era ini. Bimas pertama kali diperkenalkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (cikal bakal IPB) yang memperkenalkan 5 teknologi baru, meliputi bibit, pupuk kimia, pengendalian hama, pengaturan jarak tanam, dan sistem irigasi. 3. Era Suharto Pemerintahan di era Presiden Suharto melanjutkan BIMAS sebagai pendekatan utama dalam pembangunan pertanian. Selain itu, pemerintah juga menyediakan kredit dan menyediakan bibit, pupuk, dan pestisida dengan harga rendah. Pemerintah juga mendirikan koperasi untuk memudahkan petani mendapatkan sarana produksi dan memasarkan produk mereka. Untuk menunjang pelaksanaan penyuluhan pertanian, pemerintah membentuk kelembagaan penyuluhan sampai ke tingkat kecamatan. Pemerintah juga mengangkat 35.000 tenaga penyuluhan pertanian untuk
10
4.
5.
ditempatkan di daerah. Gerakan pembangunan pertanian secara langsung dipimpin oleh Bupati. Namun demikian, banyak kritik kepada pemerintah terhadap pembangunan pertanian di era ini. Penyuluhan pertanian dianggap menggunakan pendekatan “paksaan” untuk untuk mengubah perilaku petani. Slamet (2003) dalam Lubis (2012) mengatakan bahwa penyuluhan pertanian hanya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama beras. Melalui pendekatan ini, kegiatan penyuluhan pertanian hanya untuk meningkatkan produktivitas, bukan untuk mendidik petani (Prabowo 2003 dalam Lubis 2012). Menurut Saragih (2007) dalam Lubis (2012) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian selama era Soeharto telah berhasil mengatasi masalah klasik pengembangan pertanian yaitu produksi dan masalah on-farm. Menurut Fakih (2000) dalam Lubis (2012), pembangunan pertanian selama era ini banyak menggunakan input pertanian yang modern, seperti pupuk kimia dan pestisida. Era Demokrasi dan Desentralisasi Setelah reformasi tahun 1998, penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami perubahan, yaitu penyuluhan yang demokratis dan desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi, maka pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan. Perkembangan ini membawa masalah serius untuk pembangunan pertanian pada umumnya dan khususnya untuk penyuluhan pertanian. Secara umum, banyak pemerintah daerah tidak lagi menekankan sektor pertanian sebagai mesin utama pembangunan ekonomi dan pembangunan pertanian menjadi terabaikan. Penyuluhan pertanian menjadi stagnan dan kelembagaan penyuluhan banyak yang dipinggirkan. Menurut Slamet (2003b) dalam Lubis (2012), desentralisasi telah membawa penyuluhan pertanian di Indonesia ke situasi terburuk setelah 30 tahun pembangunan. Penyuluhan pertanian saat ini Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah meluncurkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program ini mengakui peran penting sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, pada tahun 2006 lahirlah Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ada beberapa poin penting yang tercantum dalam undang-undang ini, pertama, bahwa selain penyuluh pemerintah, penyuluhan dapat dilakukan oleh sektor swasta, organisasi non pemerintah, dan penyuluh swadaya. Kedua, undang-undang ini mewajibkan dibentuknya kelembagaan penyuluhan dari tingkat pusat sampai di tingkat kecamatan. Kelembagaan di tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan dan bertanggung jawab kepada menteri. Kelembagaan penyuluhan di tingkat provinsi berbentuk badan koordinasi penyuluhan dan diketuai oleh gubernur. Kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/ kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan, di tingkat kecamatan berbentuk balai penyuluhan. Selain itu, juga ada kelembagaan penyuluhan di tingkat desa/ kelurahan yang berbentuk pos penyuluhan desa/ dkelurahan yang bersifat non struktural. Saat ini sebagian besar provinsi dan kabupaten/ kota telah mempunyai kelembagaan penyuluhan sesuai yang diamanatkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Sebanyak 32 dari 34
11
provinsi telah mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian berbentuk badan koordinasi, dan sebanyak 342 kabupaten/ kota telah membentuk badan pelaksana penyuluhan pertanian. Selain berbentuk badan pelaksana penyuluhan, masih ada 171 kabupaten/ kota yang kelembagaan penyuluhan masih bergabung dengan dinas pertanian. Kelembagaan penyuluhan pertanian di Indonesia diperkuat oleh 69.723 tenaga penyuluh, yang terdiri dari 25.875 penyuluh pertanian pemerintah, 19.052 orang Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) dengan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 2.365 THL-TB PP dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, 21.343 penyuluh pertanian swadaya, dan 89 penyuluh pertanian swasta.
Penyuluh Pertanian Rogers (2003) mengemukakan bahwa penyuluh merupakan seseorang yang atas nama kelembagaan penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan sasaran penyuluhan dalam mengadopsi inovasi. Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, penyuluh adalah adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluhan di Indonesia dilakukan oleh penyuluh pertanian pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Tugas pokok penyuluh pertanian menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 meliputi: 1. Melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, meliputi identifikasi potensi wilayah, memandu penyusunan rencana usaha petani, penyusunan programa penyuluham pertanian, dan penyusunan rencana kerja tahunan penyuluhan pertanian; 2. Melaksanakan penyuluhan pertanian, meliputi penyusunan materi, perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian, dan menumbuhkembangkan kelembagaan petani; 3. Evaluasi dan pelaporan, meliputi evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian, dan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian; 4. Pengembangan penyuluhan pertanian, meliputi penyusunan pedoman/ petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis penyuluhan pertanian, kajian kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian, dan pengembangan metode/ sistem kerja penyuluhan pertanian; 5. Pengembangan profesi, meliputi pembuatan karya tulis ilmiah di bidang pertanian, penerjemahan/ penyaduran buku dan bahan-bahan lain di bidang pertanian, dan pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat konsep kepad institusi kepada institusi dan/ atau perorangan; dan 6. Penunjang tugas penyuluhan pertanian, meliputi peran serta dalam seminar/ lokakarya/ konferensi, keanggotaan dalam tim penilai jabatan peran serta dalam seminar/ lokakarya/ konferensi, keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional penyuluh pertanian, keanggotaan dalam dewan redaksi
12
penerbitan di bidang pertanian, perolehan penghargaan/ tanda jasa, pengajaran/ pelatihan pada pendidikan dan pelatihan, keanggotaan dalam organisasi profesi, dan perolehan gelar kesarjanaan lainnya. Peran penyuluhan dalam penyelenggaraan lebih mengarah pada perubahan berencana. Boyle (1981) dalam Nuryanto (2008) mengemukanan bahwa perubahan berencana sebagai kegiatan yang disadari, sengaja dan bersama-sama untuk meningkatkan suatu sistem sosial secara operasional, baik itu sistem sosial sendiri, sistem sosial atau sistem kebudayaan melalui pemanfaatan pengetahuan yang tepat. Perubahan yang diinginkan atau berencana harus diidentifikasi dan ditentukan. Perubahan tersebut merupakan deskripsi dari kondisi yang ada antara “what is” dan “what should be”, antara yang ada dan yang seharusnya ada. Perubahan yang direncanakan tersebut membutuhkan peran penyuluh. Levin dalam Nuryanto (2008), penyuluh mempunyai tiga peran utama, yaitu (1) peleburan diri dengan masyarakat sasaran; (2) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan berencana; dan (3) memantapkan hubungan sosial dengan masyarakat sasaran. Selanjutnya Lippit dalam Nuryanto (2008), peran penyuluh berkembang sebagai berikut: (1) mengembangkan kebutuhan untuk melakukan perubahan berencana dengan tahapan (a) mengenal masalah dan kebutuhan sistem sosial untuk mengadakan pembaruan; (b) menilai motivasi dan sumberdaya agen pembaharuan; (c) menyeleksi tujuan-tujuan pembaharuan dengan tepat; (d) memilih tipe peran dan bantuan yang akan dimainkan dengan tepat, (2) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dengan melakukan tindakan: (a) membina hubungan baik dan kerjasama terus menerus dengan masyarakat sasaran dan tokoh formal dan tokoh informal; (b) dengan tokoh masyarakat bersama-sama merencanakan upaya perubahan sesuai dengan tahaptahap pembangunan pertanian jangka panjang; dan (c) mampu menyumbangkan pengetahuan dan keahlian sebagai tenaga professional dalam membangun khalayak sasaran di wilayahnya. Mosher dalam Mardikanto (1996) mengemukakan bahwa seorang penyuluh harus mampu melakukan peran ganda, yaitu (1) sebagai guru, artinya penyuluh harus terampil menyampaikan inovasi untuk mengubah perilaku sasaran; (2) sebagai analisator, artinya penyuluh harus mempunyai keahlian untuk melakukan pengamatan terhadap keadaan, masalah, dan kebutuhan masyarakat sasaran serta mampu memecahan masalah petani; (3) sebagai konsultan, artinya penyuluh harus terampil dan ahli untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan dapat diterima oleh nilai-nilai budaya setempat, dan (4) sebagai organisator, artinya penyuluh harus mempunyai keahlian dan ketrampilan untuk menjalin hubungan yang baik dengan segenap lapisan masyarakat, mampu menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi terciptanya perubahan-perubahan, dapat memobilisasi sumberdaya, mengarahkan dan membina kegiatan maupun mengembangkan kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan perubahan yang direncanakan. Penyuluhan pertanian oleh penyuluh dalam penerapan teknologi mampu meningkatkan pendapatan petani. Dalam penelitian Saadah et al. (2011), dengan adanya penyuluhan pertanian tentang sistem tanam jajar legowo terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 65 persen.
13
Hasil penelitian Adamides dan Stylianou (2013) memberikan bukti kuat bahwa telepon seluler digunakan petani untuk memperoleh informasi pertanian. Penyuluhan pertanian akan lebih efektif dalam diseminasi informasi pertanian dan lebih fokus pada pengembangan aplikasi untuk petani dan kebutuhan informasi petani jika dapat memanfaatkan keunggulan telepon seluler. Kari (2007) menemukan bahwa sebagian besar masyarakat di Nigeria tidak mempunyai akses ke teknologi informasi modern. Sebanyak 24 persen responden masyarakat mendapatkan informasi melalui penyuluh pertanian dan 2,6 persen responden mendapatkan informasi melalui telepon seluler. Sebagian besar menganggap peran penyuluh pertanian sangat penting. Penyuluh pertanian dianggap orang yang menguasai semua permasalahan
Kelompoktani Petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian diharapkan mempunyai kemampuan manajerial, andal, mempunyai jiwa kewirausahaan dan berorientasi bisnis. Petani yang berkualitas, andal, berkemampuan manajerial, kewirausahaan dan organisasi bisnis dibutuhkan untuk menguatkan posisi tawar petani. Penyuluhan pertanian melalui pendekatan kelompok merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani. Pendekatan kelompok dalam penyuluhan dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan penyuluhan. Pendekatan kelompok juga dimaksudkan untuk mendorong penumbuhan kelembagaan petani (kelompoktani, gabungan kelompoktani). Hal ini dilakukan karena masih banyaknya jumlah petani yang belum bergabung dalam kelompoktani (poktan), terbatasnya jumlah tenaga penyuluh pertanian sebagai fasilitator, serta terbatasnya pembiayaan dalam pembinaan bagi poktan dan gabungan kelompoktani (gapoktan). Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2013 yang dilakukan, saat ini diperkirakan ada 26 juta orang yang bermata pencaharian sebagai petani. Data Kementerian Pertanian, saat ini kelompoktani yang tercatat sebanyak 322.309 poktan, dengan jumlah anggota lebih dari sembilan juta petani. Dengan demikian terdapat sekitar 15 juta petani yang belum bergabung dalam kelompoktani. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 82/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani, mendefinisikan kelompoktani (poktan) sebagai kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan sumberdaya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Kelompoktani pada dasarnya merupakan kelembagaan petani non-formal di pedesaan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Ciri Kelompoktani a. Saling mengenal, akrab dan saling percaya di antara sesama anggota; b. Mempunyai pandangan dan kepentingan serta tujuan yang sama dalam berusaha tani;
14
c. Memiliki kesamaan dalam tradisi dan/atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi dan sosial, budaya/kultur, adat istiadat, bahasa serta ekologi. 2. Unsur Pengikat Kelompoktani a. Adanya kawasan usahatani yang menjadi tanggungjawab bersama di antara para anggotanya; b. Adanya kader tani yang berdedikasi tinggi untuk menggerakkan para petani dengan kepemimpinan yang diterima oleh sesama petani lainnya; c. Adanya kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh sebagian besar anggotanya; d. Adanya dorongan atau motivasi dari tokoh masyarakat setempat untuk menunjang program yang telah ditetapkan. e. Adanya pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama. 3. Fungsi Kelompoktani a. Kelas Belajar: Kelompoktani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggota guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar tumbuh dan berkembang menjadi usahatani yang mandiri sehingga dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan serta kehidupan yang lebih baik. b. Wahana Kerjasama: Kelompoktani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama baik di antara sesama petani dalam poktan dan antar poktan maupun dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usahatani lebih efisien dan lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, gangguan serta lebih menguntungkan; c. Unit Produksi: Usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota poktan secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomis usaha, dengan menjaga kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. Sadjad (2010) dalam Nuryanti dan Swastika (2011), pembentukan kelompoktani merupakan proses perwujudan pertanian yang terkonsolidasi sehingga dapat berproduksi secara optimal dan efisien. Dengan kelompok yang terkonsolidasi, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian dapat dilakukan secara bersama-sama, sehingga biaya produksi menjadi lebih murah dan biaya pemasaran juga rendah. Selain itu, dengan berkelompok, diseminasi teknologi pertanian juga lebih efektif. Penyuluh/ agen pembaharu dapat menjangkau petani dengan jumlah yang lebih banyak dalam waktu tertentu. Kelompoktani mempunyai peranan penting dalam penerapan atau adopsi teknologi. Diseminasi teknologi kepada petani dilakukan melalui pendekatan kelompok. Program Prima Tani dari Kementerian Pertanian, menjadikan kelompoktani sebagai pelaku awal penerapan teknologi baru. Pada program Pemberdayaan Petani melalui Metode Demfarm, kelompoktani juga menjadi pelaksana awal program. Dalam perannya sebagai penerap awal teknologi baru, kelompoktani mempunyai andil dalam memberikan umpan balik dan evaluasi terhadap teknologi baru yang mereka terapkan. Penelitian Dewi (2002) menunjukkan pandangan anggota kelompok bahwa kelompoktani berperan dalam pemenuhan kebutuhan penguasaan teknologi, sarana produksi, serta pemasaran hasil pertanian.
15
Nwanze (2010), Attwood dan Bavista (2002) dalam Okafor dan Malizu (2013) mengatakan bahwa beberapa tujuan pertanian dapat dicapai dengan baik apabila petani bergabung dengan kelompoktani. Selanjutnya hasil penelitian Okafor dan Malizu (2013) memaparkan beberapa keuntungan petani berkelompok, antara lain: (1) kelompoktani dapat membantu petani mengakses informasi dan perlengkapan pertanian; (2) adanya layanan simpan pinjam yang dapat digunakan petani; dan (3) petani dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Nuryanti dan Swastika (2011) mencatat ada beberapa potensi yang dimiliki kelompoktani dalam penerapan adopsi teknologi, antara lain: (1) besarnya anggota kelompoktani, (2) luasnya hamparan lahan, sehingga terjadi konsolidasi lahan usahatani, (3) kepatuhan anggota terhadap kesepakatan kelompoktani, (4) pemahaman individu anggota yang berkonsolidasi dalam kelompok terhadap tujuan bersama, (5) kesamaan persepsi untuk mewujudkan nilai-nilai positif dari adopsi teknologi oleh kelompok, dan (6) munculnya lembaga pembiayaan yang dapat diakses oleh kelompoktani. Keanggotaan dalam kelompoktani akan meningkatkan penggunaan telepon seluler untuk kebutuhan kelompoktani, misalnya dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok. Ada sinergi antara kelompoktani dan penggunaan telepon seluler yang efektif. Penggunaan telepon seluler yang efektif untuk fungsi komunikasi kelompoktani meliputi penyediaan informasi melalui konsultasi, koordinasi bantuan darurat, dan dukungan akses kelompok ke input pertanian (Blau dan Scott, 1962; Hudson 2006 dalam Martin 2010). Martin (2010) menyatakan bahwa keanggotaan dalam kelompoktani meningkatkan kemungkinan penggunaan telepon seluler untuk pertanian. Sebaliknya, petani yang terisolasi secara sosial akan memiliki sedikit akses ke informasi pertanian dan lebih sedikit menggunakan telepon seluler untuk kepentingan pertanian. Martin (2010) menemukan bahwa petani yang menjadi anggota kelompoktani lebih cenderung menggunakan telepon seluler untuk keperluan pertanian. Salah satu alasan bahwa menjadi bagian dari kelompoktani berarti petani memiliki lebih banyak akses ke informasi pertanian. Ketika ada informasi pertanian yang baru, anggota kelompoktani akan menggunakan telepon seluler untuk menyebarkannya. Selain itu, anggota kelompoktani mempunyai lebih besar kesempatan berhubungan dengan ahli pertanian dibandingkan petani yang tidak bergabung dengan kelompoktani.
Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyuluhan Pertanian Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) didefinisikan sebagai seperangkat alat yang kompleks dan heterogen, aplikasi dan layanan yang digunakan untuk memproduksi, mendistribusikan, pengolahan dan pengiriman informasi (Marcelle 2000 dalam Kituyi dan Adigun 2008; Afolabi 2012 dalam Zahedi dan Zahedi 2012) menggunakan mikro elektronika, optik, telekomunikasi, dan komputer (FAO 1993 dalam Olaniyi et al. 2013). Sedangkan Zahedi dan Zahedi (2012) mendefinisikan TIK sebagai teknologi yang dapat membantu pertukaran informasi dengan cara yang cepat dan mudah, yang menghilangkan jarak atau perbedaan geografis antara bangsa-bangsa dan menjadikan dunia
16
menjadi sebuah desa global (Zahedi dan Zahedi 2012). Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation (CTA, 2003) dalam Olaniyi et al. (2013) mendefinisikan TIK sebagai teknologi yang mempermudah komunikasi dan proses pengiriman informasi melalui sarana elektronik untuk kepentingan penggunanya. Ngenge (2003) dalam Kituyi dan Adigun (2008) menganggapnya sebagai teknologi yang memungkinkan penanganan informasi dan memfasilitasi berbagai bentuk komunikasi antara manusia, manusia dan sistem elektronik, dan antara sistem elektronik. Secara garis besar, TIK dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: tradisional dan baru. Yang termasuk ke dalam kategori TIK tradisional antara lain media cetak dan teknologi analog, seperti: radio, televisi, telepon rumah, dan mesin faksimili. Kategori TIK baru terdiri dari komputer dan aplikasi pengolahan data yang dapat diakses melalui email, internet, telepon seluler, teknologi nirkabel dan aplikasi pengolahan data lainnya (Marcelle 2000 dalam Kituyi dan Adigun 2008). Teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu terobosan yang mendorong pengembangan dan perubahan sekarang ini. Transformasi besar dalam kehidupan orang-orang terutama di negara-negara berkembang tergantung pada kemajuan TIK (Emenari 2004 dalam Olaniyi et al. 2013). Pesatnya perkembangan TIK memiliki pengaruh besar terhadap penghidupan orang di seluruh dunia. Penerapan TIK dapat menjadi pendorong utama pembangunan ekonomi dan masyarakat di daerah pedesaan (Osiakade et al. 2010 dalam Olaniyi et al. 2013). Perkembangan TIK telah meruntuhkan batas nasional dan internasional dan mengubah dunia menjadi sebuah desa global, membuat informasi tersedia untuk semua orang, di mana-mana dan kapan saja diperlukan (Onasanya et al. 2011 dalam Olaniyi et al. 2013). Meskipun disadari TIK memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan, namun sampai saat ini petani di dunia, khususnya di Indonesia masih belum dipertimbangkan dalam bisnis TIK dan lingkungan kebijakan (Lubis 2010). Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai peranan penting dalam menghadapi berbagai tantangan dan mengangkat penghidupan di pedesaan (ITU 2009 dalam Olaniyi et al. 2013). Penggunaan radio, televisi dan telepon seluler untuk menyebarkan informasi pertanian yang sesuai kepada petani dapat mendorong pencapaian ketahanan pangan dan mendukung kehidupan pedesaan di Nigeria (Olaniyi et al. 2013). Peran TIK dalam penyuluhan dapat mendorong terjadinya realisasi bottom-up, mendorong masuk ke generasi teknologi (Meera 2003 dalam Moon 2013). Penggunaan telepon seluler dapat meningkatkan keuntungan dan kesejahteraan nelayan India (Jensen 2007 dalam Kilenthong dan Odton 2014); mengurangi biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani (Ogutu et al. 2014). Dalam program 1Nita di Malaysia, 60 persen peserta pelatihan TIK menjadi mempunyai lebih banyak pengetahuan dan keterampilan tentang penggunaan komputer dan akses internet (Hashima et al. 2011). Senada dengan 1Nita, SPARK, sebuah program pendidikan TIK di Turki menunjukkan bahwa pendidikan TIK dapat membuat perubahan dalam kehidupan orang-orang dengan penggunaan TIK (Tas 2011). Baru-baru ini, telepon seluler telah menjadi platform baru yang dapat meningkatkan akses ke perbankan dan kesejahteraan masyarakat, seperti dalam
17
kasus M-PESA di Kenya (Jack et al. 2010 dalam Kilenthong dan Odton 2014). Telepon seluler dianggap sebagai alat yang mudah diakses dan lebih murah dibandingkan dengan teknologi TIK lainnya (Wade 2004 dalam Adamides dan Stylianou 2013). Rashid dan Elder (2009) dalam Adamides dan Stylianou (2013) menyatakan bahwa telepon seluler adalah bentuk komunikasi yang dominan di negara berkembang. Telepon seluler efektif digunakan sebagai alat berbagi informasi pertanian (Rashid dan Elder 2009; Aker 2010 dalam Adamides dan Stylianou 2013). Program-program yang berbasis TIK akan berkelanjutan apabila menggunakan teknologi yang dikenal dan dikuasai dengan baik oleh penggunanya, misalnya telepon seluler (Flor 2008). Michailidis et al. (2010) dalam Adamides dan Stylianou (2013), menjelaskan beberapa hal yang menjadikan telepon seluler dapat diterima dan diadopsi lebih banyak dan cepat dibandingkan perangkat TIK yang lain, yaitu: (a) socio-economic, contohnya mengurangi jarak antara petani dengan lembaga penyuluhan, menjadikan penyebaran informasi pertanian lebih mudah dan efektif, dan (b) rural, contohnya memuat konten lokal dan membuat layanan pedesaan lebih efisien dalam hal logistik, koordinasi, dan biaya. Penelitian Adamides dan Stylianou (2013) menyatakan bahwa 98 persen petani memperoleh informasi menggunakan telepon seluler, 89 persen petani memperoleh informasi dari sesama petani, 85 persen berasal dari penyuluh pertanian, 81 persen dari konsultan swasta, dan 74 persen dari supplier input. Petani menggunakan telepon seluler setiap hari untuk mendapatkan informasi pertanian. Pada kemunculannya telepon seluler hanya dimiliki oleh orang-orang kaya, masyarakat perkotaan dan masyarakat yang lebih terdidik. Namun dalam perkembangannya telepon seluler telah diadopsi oleh penduduk di pedesaan dan perkotaan di beberapa negara berkembang di dunia (Aker dan Mbiti 2010 dalam Aker 2011). Telepon seluler secara signifikan mengurangi biaya untuk kebutuhan komunikasi dan informasi bagi masyarakat miskin pedesaan. Hal ini tidak hanya memberikan peluang baru bagi petani pedesaan untuk mendapatkan akses ke informasi teknologi pertanian, tetapi juga untuk menggunakan TIK dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Sejak tahun 2007, aplikasi dan jasa berbasis telepon seluler di sektor pertanian berkembang dengan memberikan informasi mengenai harga pasar, cuaca, transportasi dan teknik pertanian melalui suara, layanan pesan pendek, radio dan internet (Aker 2011). Pemerintah Indonesia telah memanfaatkan TIK dalam pembangunan pertanian. Lubis (2012) mencatat ada beberapa program berbasis TIK dari Kementerian Pertanian diantaranya adalah: 1. Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi/ Poor Farmers Income Improvement through Innovation (PFI3) Merupakan proyek kerjasama antara kementerian Pertanian dan Bank Pembangunan Asia. Dalam proyek ini, pemerintah mengembangkan website pertanian di tingkat nasional yang memberikan informasi tentang teknologi pertanian dan pasar. 2. Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian/ Farmers Empowerment through Agricultural Technology and Information (FEATI) Proyek ini bertujuan memberdayakan petani dan kelembagaan petani
18
dengan berbasis penggunaan TIK. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa akses petani terhadap teknologi, pasar, dan modal semakin meningkat. 3. Pusat Informasi Agribisnis/ Center for Agricultural Information Dengan adanya Pusat Informasi Agribisnis (PIA), petani dapat memperluas aksesnya kepada informasi pertanian. PIA dirancang sebagai one stop shop untuk pertukaran pengetahuan di antara stakeholder pembangunan pertanian. 4. Cyber Extension Pertama kali diluncurkan pada tahun 2011 sebagai terobosan baru dalam sistem penyuluhan pertanian. Pemerintah membagikan perangkat TIK yang terhubung dengan akses internet ke kelembagaan penyuluhan di itngkat provinsi, kabupaten/ kota, sampai dengan balai penyuluhan di kecamatan. Adanya layanan cyber extension, penyuluh pertanian, petani, dan pelaku usaha dapat mengakses informasi pertanian dengan mudah dan cepat. Pemanfaatan TIK dalam pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronik (Lubis 2010). Senada dengan Lubis (2010), Moghaddam dan Abadi (2013) merekomendasikan bahwa sebelum pembentukan pusat TIK Gharn Abad di Iran, maka harus ada program pelatihan yang dapat mendukung peningkatan ketrampilan penggunaan TIK. Pelatihan TIK dapat memberikan dorongan baru untuk kegiatan pertanian, yang dapat bertindak sebagai agen transformatif untuk pengembangan pedesaan (Botsiou dan Dagdilelis 2013). Menurut Francis dan Addom (2014), peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengguna TIK dapat mengurangi kesenjangan digital, sehingga berkontribusi untuk demokratisasi informasi dan komunikasi dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk adopsi teknologi baru/ pengetahuan. Dalam cyber extension, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyuluh mempunyai kemampuan yang kurang dalam menggunakan cyber extension dan memfasilitasi petani untuk menggunakan cyber extension (Lubis 2012). Krysa (1998) dalam Moghaddam dan Abadi (2013) menjadikan keterampilan dalam penggunaan instrumen TIK termasuk komputer sebagai faktor penghambat dalam adopsi TIK. Penerapan TIK tergantung sangat pada keterampilan komputer yang sudah ada di antara pengguna (Ssewanyana dan Busler 2007 dalam Moghaddam dan Abadi 2013). Taragola et al. (2009) dalam Lubis (2010) mengindikasikan beberapa hambatan yang dihadapi petani hortikultura dalam mengadopsi TIK, yaitu: keterbatasan kemampuan, kesenjangan dalam pelatihan (training), kesadaran akan manfaat TIK, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem dan ketersediaan software. Oleh karena itu, inovasi teknologi baru sering gagal karena terlalu banyak perhatian yang diberikan untuk hal-hal teknis tanpa memperhitungkan parameter yang paling penting yang secara langsung berkaitan dengan fenomena adopsi oleh pengguna (Verdegem & Marez 2011 dalam Moghaddam dan Abadi 2013). Penggunaan TIK untuk kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan informasi petani. Dengan bantuan TIK, penyuluhan pertanian diharapkan menjadi lebih beragam, pengetahuan lebih padat, berdasarkan permintaan petani, dan lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan informasi petani (Zijp 1994 dalam Kameswari et al. 2011). Di beberapa negara,
19
pemerintah setempat telah berusaha mengintegrasikan TIK ke dalam penyuluhan pertanian, khususnya dengan mendirikan pusat-pusat informasi kabupaten (FARA 2009 dalam Aker 2011). Dengan pertumbuhan kepemilikan telepon seluler, kegiatan penyuluhan sudah banyak berpindah dari perangkat TIK "tradisional" menuju ke penggunaan suara, layanan pesan pendek, dan internet dari telepon seluler (Aker 2011). Pemerintah Jamaika juga telah menggunakan TIK dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Mereka tidak hanya menggunakan satu metode komunikasi. Penyuluhan dilakukan dengan komunikasi tatap muka yang dikombinasikan dengan komunikasi melalui media TIK untuk memenuhi kebutuhan petani yang beragam mengingat sifat kompleks dari sektor pertanian (Francis dan Addom 2014).
Layanan Operator Telepon Seluler Telepon seluler adalah perangkat telekomunikasi elektronik nirkabel (wireless) yang dapat dibawa kemana-mana (Jogiyanto 2007 dalam Budiono 2013). Sedangkan menurut Theodora (2007) dalam Budiono (2013), telepon seluler adalah alat komunikasi tanpa kabel yang bersifat mobile atau bergerak. Telepon seluler dianggap sebagai salah satu cara mengatasi masalah informasi. Persentase populasi dunia dengan kepemilikan telepon seluler naik dari sekitar 12 persen pada tahun 1999 menjadi sekitar 76 persen pada tahun 2009. Hampir tiga perempat dari telepon seluler di dunia pada tahun 2010 berada di negara-negara berkembang (Donovan 2011 dalam Tadesse dan Bahiigwa 2015). Di negara berkembang, masyarakat lebih banyak memiliki akses ke telepon seluler dibandingkan kepada teknologi komunikasi lain seperti telepon rumah, surat kabar, dan radio (Aker 2011 dalam Tadesse dan Bahiigwa 2015). Telepon seluler berfungsi sebagai pengirim dan penerima pesan pendek atau Short Message Service (SMS), pesan gambar, video call, hingga televisi online (Farley 2005 dalam Budiono 2013). Pada perkembangan selanjutnya, telepon seluler berkembang dengan menyediakan fitur-fitur seperti kamera digital, pemutar musik, internet, global positioning system (gps), dan lainnya. Fungsi yang terus berkembang tersebut menjadikan telepon seluler sebagai alat yang berperan dalam pembangunan. Banyak penelitian, telah mengkonfirmasi bahwa telepon seluler berperan dalam pembangunan pertanian. Lio dan Liu (2006) dalam Tadesse dan Bahiigwa (2015) menemukan bahwa penerapan telepon seluler meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan. Mittal, Gandhi, dan Tripathi (2010) dalam Tadesse dan Bahiigwa (2015) mewawancarai petani India dan nelayan yang menyatakan informasi yang disampaikan via perangkat telepon seluler memungkinkan mereka untuk meningkatkan hasil usahanya. Peran penting telepon seluler tersebut tentunya didukung oleh kualitas layanan yang diberikan oleh operator jaringan telepon seluler. Operator telepon seluler adalah pihak penyelenggara jaringan dan layanan ponsel (Farley 2005 dalam Budiono 2013). Saat ini terdapat dua jaringan telepon seluler yang secara luas digunakan yaitu GSM (Global Sistem For Mobile Telecommunications) dan CDMA (Code Division Multiple Access). Operator telepon seluler GSM adalah Telkomsel (dengan produk Simpati, As, Halo), Indosat (dengan produk Mentari, IM3, Matrix), XL Axiata (dengan produk XL dan Axis), dan Hutchinson (dengan
20
produk Three “3”). Sementara operator telepon seluler CDMA adalah Telkom (dengan produk TelkomFlexy), Sinar Mas Smart (dengan produk SmartFren), Indosat (dengan produk Starone), dan Bakrie Telekom (dengan nama produk Esia). Kualitas layanan (service quality) diartikan sebagai sebuah ukuran seberapa baik tingkat layanan yang mampu diberikan oleh operator telepon seluler (Budiono 2013). Untuk menjaga loyalitas pelanggan, kualitas layanan menjadi hal yang sangat penting. Penelitian Segoro (2011), persepsi kualitas layanan operator telepon seluler akan mempengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan. Namun, beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan tidak selalu memiliki hubungan dengan loyalitas pelanggan (Fornell dan Wernerfelt 2002 dalam Segoro 2011). Dalam penelitiannya, Segoro (2011) mengemukakan konsep bahwa persepsi kualitas layanan operator telepon seluler dapat dikaji dari aspek call quality, biaya, mobile device, value added service, kemudahan prosedur, dan customer support.
LISA sebagai Media Komunikasi Pertanian LISA merupakan salah satu terobosan inovatif program Agri-Fin Mobile dari Mercy Corps Indonesia dan PT 8villages Indonesia untuk memberikan layanan terintegrasi kepada petani berpenghasilan rendah di negara berkembang. Basis layanan LISA menggunakan telepon seluler. Telepon seluler dapat digunakan untuk mendapatkan informasi seputar pertanian mulai dari perencanaan usahatani sampai pada tahap pemasaran hasil pertanian. Layanan yang diberikan LISA meliputi layanan tips pertanian, layanan tanya jawab interaktif dengan ahli, dan layanan iterasi keuangan keluarga (khusus wanita tani). Dalam merencanakan usahatani, program ini akan membantu para petani untuk mendapatkan informasi tentang ketersediaan berbagai perlengkapan dan bibit yang digunakan. Informasi ini akan membantu petani untuk memilih dan memutuskan usahatani yang dilakukan dengan mempertimbangkan biaya yang rendah dan hasil yang tinggi. Pada tahap penanaman, LISA membantu petani memperoleh cara bercocok tanam yang baik sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan menggunakan telepon seluler, petani akan dapat memperoleh informasi mengenai bibit terbaik untuk menggunakan dan mendapatkan asuransi tanaman. Pada tahap pemeliharaan tanaman, program ini membantu para petani terhubung dengan informasi tentang pupuk, pengendalian hama dan penyakit, serta informasi mengenai cuaca. Sedangkan dalam tahap pemanenan dan pemasaran, LISA memberikan informasi mengenai cara penanganan pasca panen, penyimpanan hasil pertanian, informasi harga jual hasil pertanian dan lainnya. Petani dapat menjadi pengguna layanan LISA pada Agri-Fin Mobile dengan mendaftarkan diri melalui telepon seluler dengan cara ketik “IKUTI (spasi) LISA (spasi) NOMOR TELEPON YANG DIDAFTARKAN” dan kirim ke 2000.. Setelah terdaftar sebagai pengguna LISA, maka pengguna dapat menggunakan beberapa layanan yang disediakan, seperti tips pertanian dan layanan tanya jawab interaktif dengan ahli pertanian. Prosedur untuk menggunakan layanan tanya jawab interaktif, dilakukan dengan mengetik “LISA (spasi) TANYA (spasi) PERTANYAAN” kemudian kirim ke nomor 2000. Untuk menunjang layanan,
21
operator LISA bekerjasama dengan operator telepon seluler, diantaranya: Telkomsel (dengan produk SIMcard Simpati, As, Halo) dan Indosat (dengan produk SIMcard Mentari, IM3, Matrix), XL Axiata (dengan produk SIMcard XL dan Axis), sedangkan untuk operator yang lain belum dapat digunakan untuk mengakses layanan LISA. Salah satu operator telepon seluler juga memberikan layanan grup bagi pengguna yang menggunakan layanan operator tersebut. Dalam layanan grup tersebut, sesama pengguna dapat saling berbagi pengalaman, tips, dan juga tanya jawab antar pengguna. Penyuluh pertanian lokal biasanya menjadi sumber informasi (Gambar 1).
Petani/ pengguna
Penyuluh pertanian (tenaga ahli lokal)
Lembaga Penelitian / Tenaga Ahli
Layanan grup
Gambar 1 Layanan grup Indosat pengguna LISA
Penelitian Terdahulu Penelitian Syatir (2014) menunjukkan bahwa penyuluh pertanian dan kelompoktani berperan dalam akses informasi petani. Jenis ragam materi terbanyak diperoleh petani dari penyuluh dan kelompoktani. Hal ini karena komunikasi tatap muka lebih efektif dan tanpa ada multi interpretasi yang berbeda dibandingkan mengakses informasi dari media cetak dan media elektronik. Informasi yang diperoleh petani lebih banyak diolah menjadi informasi yang sebatas pencerahan yang berarti petani belum sepenuhnya menerapkan cara bercocok tanam yang baik dan belum mampu menangani penjualan sendiri dan masih lebih banyak bergantung pada pedagang pengepul. Selain itu, Syatir (2014) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara karakteristik petani dengan keterdedahan sumber informasi, umur berhubungan dengan frekuensi penyuluh, pengalaman berhubungan dengan frekuensi dan durasi dari penyuluh, pengalaman berhubugan sangat nyata dengan akses poktan, pengalaman berhubungan nyata dengan durasi akses poktan. Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan sumber informasi dengan pemanfaatan informasi. Penelitian Awaliah (2012) menunjukkan bahwa faktor usia dan pengalaman berusahatani tidak berhubungan dengan pengetahuan dan tindakan petani dalam budidaya padi. Interaksi petani dengan penyuluh pertanian berhubungan dengan
22
pengetahuan, sedangkan penilaian petani terhadap penyuluh pertanian berhubungan dengan pengetahuan dan tindakan petani. Awaliah (2012) juga menyatakan bahwa keterdedahan terhadap media televisi berhubungan nyata dengan pengetahuan dan tindakan. Dalam mengadopsi TIK untuk menjalankan usahanya, pengguna dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain persepsi pengguna terhadap manfaat penggunaan TIK dan kebutuhan pengguna akan TIK (Beckinsale, Levy, dan Powell 2006 dalam Burke 2010). Hasil penelitian Burke (2010), besar kecilnya organisasi/kelompok mempunyai pengaruh terhadap tingkat adopsi TIK. Jenis produk yang dihasilkan dan tingkat pendidikan pengguna tidak mempengaruhi adopsi penggunaan TIK. Ketertinggalan negara-negara berkembang dalam penggunaan TIK dapat diatasi dengan mendekatkan TIK kepada masyarakat dan menyediakan kontenkonten lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Malaysia mayoritas setuju dan dapat menerima kegunaan dari konten-konten lokal yang mereka terima. Masyarakat lebih mudah untuk menerima pesan dalam bentuk gambar dan video (Mohammed 2012). Menurut Razak (2009) dalam Mohammed (2012), dalam membangun konten-konten lokal, strategi yang dapat digunakan antara lain: (1) membangun dan mengembangkan konten lokal; (2) menyediakan dukungan finansial; dan (3) mempromosikan konten-konten lokal sebagai tema program interaktif dengan pengguna. Hasil penelitian Okafor dan Malizu (2013) menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Nigeria menggunakan telepon seluler sebagai alat untuk menunjang aktivitas agribisnisnya. Petani berpendapat bahwa penggunaan telepon seluler dalam aktivitas usahataninya menjadikan akses yang lebih baik ke jaringan pasar dan distribusi, lembaga keuangan, dan layanan penyuluhan. Penelitian Yueh et al. (2013) mengungkapkan bahwa karakteristik personal petani, terutama tingkat pendidikan petani, mempengaruhi persepsi kegunaan TIK, penguasaan materi dan tingkat kepercayaan petani.
Kerangka Pemikiran Informasi pertanian yang tepat, cepat, dan spesifik lokasi merupakan salah satu hal yang diharapkan petani dalam mendukung peningkatan produktivitas usahatani mereka. Informasi merupakan hal yang sangat penting dan sangat berharga bagi petani. Hal ini menuntut petani harus mampu menguasai teknologi informasi. Sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi, maka diseminasi informasi pertanian telah banyak dilakukan dengan memanfaatkan beberapa teknologi informasi seperti media cetak (surat kabar, tabloid, majalah, leaflet dan brosur) dan media elektronik (radio, televisi, internet dan telepon seluler). Data dari Mercy Corps Indonesia (2012) dalam Ikhwan (2014) menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen petani di Indonesia memiliki/ menguasai telepon seluler, tetapi baru sekitar 12 persen petani tersebut yang memanfaatkan layanan internet melalui telepon seluler.
23
Telepon seluler memudahkan petani dalam memperoleh atau mendiseminasikan informasi dengan cepat dan mereka dapat menghubungi penyuluh pertanian atau petani lainnya untuk melakukan pertemuan atau diskusi kelompok di luar jadwal yang telah ditetapkan (Mulyandari 2011). Penelitian lain menyatakan bahwa telah terjadi perubahan proses diseminasi informasi di kalangan petani dari cara konvensional menjadi modern dengan memanfaatkan teknologi komputer dan internetnya serta telepon seluler (Prihandoyo 2014). Pemanfaatan telepon genggam dapat mempercepat proses pencarian dan diseminasi informasi di kalangan petani. Penelitian ini menggunakan lima peubah. Tiga peubah bebas, yaitu: 1) karakteristik responden (dengan indikator: umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, luas lahan, dan pekerjaan utama); 2) faktor eksternal (dengan indikator: layanan LISA dan layanan operator seluler); dan 3) interaksi dengan sumber informasi lain (terdiri dari tiga indikator: interaksi dengan pemuka pendapat, interaksi dengan kelompoktani, dan interaksi dengan penyuluh pertanian). Peubah terikat dalam penelitian ini adalah keterdedahan terhadap LISA (dengan indikator frekuensi akses dan kesesuaian konten) dan efektivitas komunikasi (dengan indikator tingkat pengetahuan dan sikap). Karakteristik Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Tingkat pendidikan X1.3 Kepemilikan lahan X1.4 Luas lahan X1.5 Pekerjaan utama
Faktor Eksternal (X2) X2.1 Kualitas layanan LISA X2.2 Kualitas layanan operator telepon seluler Interaksi dengan Sumber Informasi Lain (X3) X3.1 Interaksi dengan pemuka pendapat X3.2 Interaksi dengan kelompoktani X3.3 Interaksi dengan penyuluh pertanian
Keterdedahan terhadap LISA (Y1) Y1.1 Frekuensi akses Y1.2 Konten
Efektivitas Komunikasi (Y2) Y2.1 Pengetahuan Y2.2. Sikap
Gambar 2 Kerangka pemikiran Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang
3 METODOLOGI Desain Penelitian Penelitian didesain sebagai penelitian survey yang bersifat deskriptif korelasional. Menurut Silalahi (2012), penelitian survey mengkaji populasi yang besar maupun kecil dengan menyeleksi maupun mengkaji sampel yang dipilih dari populasi itu untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interelasi relative dari peubah-peubah. Singarimbun dan Effendi (2008), menyatakan bahwa desain penelitian survei adalah penelitian yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Dalam penelitian ini, karakteristik petani, faktor eksternal, dan interaksi dengan sumber informasi lain sebagai peubah bebas, sedangkan katerdedahan terhadap LISA dan efektivitas komunikasi terhadap konten LISA sebagai peubah terikat. Dari peubah tersebut, indikator karakteristik petani meliputi umur, pendidikan formal, pendapatan, dan pekerjaan utama. Indikator faktor eksternal meliputi layanan LISA dan layanan dari operator telepon seluler. Indikator keterdedahan terhadap LISA adalah frekuensi mengakses layanan LISA dan durasi mengakses layanan LISA, sedangkan indikator efektivitas komunikasi adalah pengetahuan mengenai konten LISA dan sikap terhadap konten LISA.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yaitu di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa Program LISA di Kabupaten Karawang berjalan dengan baik. Selain itu, Kabupaten Karawang merupakan lokasi awal program LISA. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Mei 2015 sampai dengan Juni 2015.
Populasi dan Sampel Penelitian Unit analisis penelitian adalah individu pengguna layanan LISA. Populasi penelitian adalah masyarakat yang menggunakan layanan LISA yang berdomisili di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Multiple Stage Sampling, yaitu sampel yang ditarik dari kelompok populasi, tetapi tidak semua anggota populasi menjadi anggota sampel (Nazir 1988). Teknik ini dilakukan dua tahap yang terdiri dari pemilihan kecamatan untuk menjadi subpopulasi dan pemilihan responden di setiap kecamatan terpilih. Pertama, pemilihan kecamatan yang dijadikan subpopulasi dilakukan dengan memilih empat dari tiga puluh kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Kecamatan yang terpilih untuk dijadikan subpopulasi adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Jatisari, Kecamatan Karawang Timur, dan Kecamatan Pedes. Kedua, pemilihan responden dilakukan secara accidental sampling. Pemilihan sampel secara kebetulan atau aksidental disebut juga convenience sampling. Aksidental sampling adalah pemilihan sampel dari siapa saja yang kebetulan ada atau
25
dijumpai menurut keinginan peneliti. Orang yang dipilih sebagai anggota atau bagian dari sampel adalah siapa saja mereka yang kebetulan ditemukan atau mereka yang mudah ditemui atau dijangkau tanpa ada pertimbangan apapun (Silalahi 2012). Jumlah responden yang diambil sebagai sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, yaitu:
= 92,31 ≈ 92 orang
Keterangan: n = Jumlah responden yang diambil N = Jumlah populasi pengguna layanan LISA di Kabupaten Karawang, diperkirakan 1.200 orang e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan responden yang masih dapat ditolerir, sebesar 10 persen.
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Slovin didapatkan responden sebanyak 92 orang. Dalam pelaksanaannya, jumlah responden menjadi 100 orang responden.
Data dan Instrumentasi Penelitian Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Silalahi (2012), data primer adalah suatu objek atau dokumen original atau material mentah dari pelaku, sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Instrumen merupakan keragaman alat yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian. Data yang akurat diperlukan untuk mendukung kehandalan hasil penelitian. Dalam penelitian, instrumen diartikan sebagai alat untuk mengumpulkan data mengenai peubah-peubah penelitian untuk kebutuhan penelitian. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner sebagai pedoman wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder didapatkan dari instansi pemerintah, antara lain Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang dan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Definisi Operasional Untuk memudahkan dalam melakukan analisa dan menerjemahkan data, serta menghindari persepsi yang berbeda atas pemahasan masalah, maka seluruh peubah dalam penelitian didefinisikan secara operasional sebagai berikut:
26
Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat dan sumberdaya yang dimiliki pada individu dan berkembang sesuai perkembangan lingkungan, yaitu: umur, pendidikan formal, kepemilikan lahan, luas lahan, dan pekerjaan utama. Tabel 1 Definisi Operasional dan Indikator Peubah Karaktersitik Petani (X 1) Peubah Karakteristik Definisi Operasional Indikator Parameter Petani (X1) Umur (X1.1) Masa hidup yang telah Dihitung dilalui responden berdasarkan jumlah sampai menjadi tahun dari responden kelahiran sampai saat menjadi responden Tingkat Pendidikan formal Diukur berdasarkan 1 = SD Pendidikan yang telah atau sedang jenjang pendidikan 2 = SMP ((X1.2) diikuti oleh responden formal yang telah 3 = SMA atau sedang diikuti 4 = Diploma oleh responden 5 = Sarjana Kepemilikan Status lahan garapan Berdasarkan 1 = milik sendiri lahan (X1.3) yang diusahakan kepemilikan lahan 2 = sewa/ gadai/ buruh responden garapan yang penggarap diusahakan responden Luas lahan Lahan yang dikelola Luas lahan garapan < 8.800 m2 = (X1.4) oleh responden untuk dalam meter sempit berusahatani persegi baik yang 8.800 – 19.200 m2 dimiliki, sewa, bagi = sedang hasil, atau yang > 19.200 m2= luas digarap, dan lainnya Pekerjaan Pekerjaan yang Berdasarkan 1 = petani Utama (X1.5) menjadi sumber sumber utama 2 = bukan petani pendapatan utama pendapatan responden responden
Faktor Eksternal Faktor eksternal dalam penelitian ini adalah karakteristik yang tidak melekat pada diri responden yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi LISA.
27
Tabel 2 Definisi Operasional dan Indikator Peubah Faktor Eksternal (X2) Peubah Faktor Definisi Operasional Indikator Parameter Eksternal (X2) Kualitas Pendapat responden Diukur 1. Tidak setuju Layanan terhadap kualitas berdasarkan: 2. Kurang setuju LISA (X2.1) layanan yang Kepuasan terhadap 3. Setuju diberikan LISA layanan yang 4. Sangat setuju diberikan, bahasa yang digunakan, ulasan yang diberikan, serta kemudahan penerapan jawaban yang diberikan Kualitas Pendapat responden Diukur 1. Tidak setuju Layanan terhadap kualitas berdasarkan: 2. Kurang setuju Operator layanan yang 3. Setuju Kualitas produk Telepon diberikan operator 4. Sangat setuju Biaya Seluler (X2.2) telepon seluler
Interaksi dengan Sumber Informasi lain Interaksi dengan sumber informasi lain adalah aktivitas komunikasi yang dilakukan responden dengan pemuka pendapat, kelompoktani, dan penyuluh pertanian dalam mencari atau menerima informasi tambahan mengenai konten LISA. Tabel 3 Definisi Operasional dan Indikator Peubah Interaksi dengan Sumber Informasi Lain (X3) Peubah Interaksi dengan Sumber Definisi Operasional Indikator Parameter Informasi Lain (X3) Interaksi dengan Aktivitas responden Diukur < 2 kali = Pemuka Pendapat melakukan komunikasi berdasarkan rendah (X3.1) tatap muka dengan jumlah 2-3 kali = pemuka pendapat (kiai, komunikasi tatap sedang tokoh masyarakat, muka yang > 3 kali = ketua RT / RW) dalam dilakukan tinggi mencari dan menerima responden dengan informasi tambahan pemuka pendapat mengenai konten LISA dalam sebulan terakhir
28
Peubah Interaksi dengan Sumber Definisi Operasional Informasi Lain (X3) Interaksi dengan Aktivitas responden Kelompoktani melakukan komunikasi (X3.2) tatap muka dengan pengurus kelompoktani dalam mencari dan menerima informasi tambahan mengenai konten LISA dalam sebulan terakhir Interaksi dengan Aktivitas responden Penyuluh melakukan komunikasi Pertanian (X3.3) tatap muka dengan penyuluh pertanian dalam mencari dan menerima informasi tambahan mengenai konten LISA dalam sebulan terakhir
Indikator
Parameter
Diukur berdasarkan jumlah komunikasi tatap muka yang dilakukan responden dengan kelompoktani
< 4 kali = rendah 4-8 kali = sedang > 8 kali = tinggi
Diukur berdasarkan jumlah komunikasi tatap muka yang dilakukan responden dengan penyuluh pertanian
< 2 kali = rendah 2-3 kali = sedang > 3 kali = tinggi
Keterdedahan terhadap LISA Dalam penelitian ini, keterdedahan terhadap LISA adalah frekuensi dalam mengakses layanan LISA dan kesesuaian konten yang diperoleh dari LISA untuk kepentingan usahataninya. Tabel 4 Definisi Operasional dan Indikator Peubah Keterdedahan terhadap LISA (Y1) Peubah Keterdedahan Definisi Operasional Indikator Parameter terhadap LISA (Y1) Frekuensi Berapa sering Berapa kali Untuk akses tips akses (Y1.1) responden responden pertanian: mengakses LISA mengakses LISA < 5 kali = rendah untuk kepentingan dalam satu bulan 5 – 7 kali = sedang usahataninya terakhir > 7 kali = tinggi Untuk akses Tanya jawab interaktif: < 3 kali = rendah 3 – 5 kali = sedang > 5 kali = tinggi
29
Peubah Keterdedahan Definisi Operasional terhadap LISA (Y1) Konten (Y1.2) Kesesuaian materi yang diperoleh responden dari LISA
Indikator Diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kesesuaian materi dalam layanan LISA dengan kebutuhan responden
Parameter
Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai
Efektivitas komunikasi Efektivitas komunikasi adalah perubahan yang terjadi pada diri responden setelah menerima informasi melalui partisipasinya dalam LISA. Pengukuran menggunakan dua indikator perilaku mencakup perubahan pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif). Tabel 5 Definisi Operasional dan Indikator Peubah Efektivitas Komunikasi (Y3) Peubah Efektivitas Definisi Operasional Indikator Parameter Komunikasi (Y2) Pengetahuan tingkat pengetahuan diukur berdasarkan 1. Benar (Y2.1) responden tentang pemahaman 2. Salah konten dalam LISA responden tentang konten LISA Sikap (Y2.2) Sikap responden diukur dari 1. Tidak setuju terhadap konten LISA kecenderungan sikap 2. Kurang setuju responden terhadap 3. Setuju konten LISA dan 4. Sangat setuju kemauan melakukan kegiatan sesuai konten
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Silalahi (2012) menyatakan validitas adalah kesahihan pengukuran yang menunjukkan pada sejauh mana pengukuran secara akuran merefleksikan pokok isi ukuran. Menurut Singarimbun dan Effendi (2008), validitas menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Intrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang dipergunakan untuk mendapatkan data itu valid atau dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Upaya yang dilakukan dalam upaya memperoleh validitas instrumen penelitian yang baik diperoleh dengan konsultasi dengan ahli yang
30
menguasai instrumen kuesioner, seperti dosen pembimbing dan penyuluh pertanian serta diuji coba kepada responden yang memiliki karakteristik yang sama. Validitas instrumen menggunakan uji Rank Spearman pada taraf α = 0,05 dan diolah dengan menggunakan SPSS. Reliabilitas menurut Silalahi (2012) adalah keterpercayaan, stabilitas atau kemantapan, konsistensi, prediktabilitas, dan ketepatan atau akurasi dari suatu ukuran. Satu pengukuran adalah reliabel atau andal jika pengukuran tidak berubah apabila konsep yang diukur kembali konstan dalam nilai. Instrumen yang reliabel berarti tersebut dapat dipercaya, ajeg, atau konsisten mengukur suatu konsep. Untuk menentukan apakah instrumen penelitian yang digunakan reliabel atau tidak, maka nilai r yang dihasilkan harus dikonfirmasikan dengan nilai t tabel pada taraf 0,05. Jika r hitung lebih besar dari t tabel, maka instrumen penelitian yang digunakan dinyatakan reliabel dan jika r tabel lebih kecil dari t tabel, maka instrumen penelitian dinyatakan tidak reliabel. Tingkat reliabilitas dengan metode Alpha Cronbach’s diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai 1, apabila skala tersebut dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan range yang sama, maka urutan kemantapan Alpha dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Kurang Reliabel a. 0.00 – 0.20 Agak Reliabel b. >0.20 – 0.40 c. >0.40 – 0.60 Cukup Reliabel d. >0.60 – 0.80 Reliabel e. >0.80 – 1.00 Sangat Reliabel
Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan pendekatan kuantitatif melalui uji statistik non parametrik. Teknik analisis data yang digunakan adalah: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis kondisi masing-masing peubah yang mempengaruhi efektivitas komunikasi; 2. Analisis SEM PLS menggunakan SmartPLS.
4 DESKRIPSI UMUM Layanan Informasi Desa (LISA) Permasalahan keterbatasan informasi yang akurat oleh petani mendasari pendirian 8villages. 8villages didirikan oleh Mathieu Le Bras dan Yusep Rosmansyah pada tahun 2011. Tujuan pendiriannya adalah melakukan perubahan terkait arus informasi yang berasal dari sektor umum dan swasta menuju masyarakat di pedesaan. 8villages Indonesia merupakan salah satu startup yang berkembang di Indonesia dan menyasar pasar yang banyak ditinggalkan oleh startup kebanyakan. Petani yang memiliki telepon seluler sederhana merupakan sasaran starup yang dibangun 8villages Indonesia. 8villages menghubungkan petani dengan pelaku agrobisnis melalui platform-nya untuk memperbaiki alur informasi antara semua pihak yang terlibat dalam agrobisnis ini. Platform ini memungkinkan pelaku agrobisnis berkomunikasi dengan petani di daerah pedalaman melalui telepon seluler petani tersebut. Mercy Corps adalah lembaga kemanusiaan internasional yang berdiri sejak tahun 1979. Mercy Corps International bekerja di lebih dari 43 negara dan memiliki penerima manfaat lebih dari 170 juta jiwa sejak pertama kali berdiri. Mercy Corps bekerja berdasarkan pemetaan potensi dan kebutuhan lokal, sehingga program yang dilaksanakan dapat mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Mercy Corps bekerja di Indonesia sejak tahun 1999. Pada awal tahun 2012, Mercy Corps di Indonesia disahkan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia dengan nama Yayasan Mercy Corps Indonesia (YMCI). Mercy Corps Indonesia didirikan dengan fondasi keahlian, jaringan, dan pengalaman yang dimiliki Mercy Corps International. Strategi Mercy Corps Indonesia adalah meningkatkan infrastruktur, kesehatan, ketahanan, dan peluang ekonomi di tingkat masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia terutama perkotaan dan wilayah pesisir. Lingkup kerja Mercy Corps Indonesia adalah peningkatkan kesempatan ekonomi & akses untuk pelayanan keuangan, peningkatkan kesehatan dan nutrisi, air dan sanitasi, adaptasi perubahan iklim & pengurangan resiko bencana, dan tanggap darurat. Misi dari Mercy Corps Indonesia adalah memberdayakan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sehat, mandiri, dan tangguh. Tangguh yang dimaksud adalah masyarakat yang mampu untuk memulihkan kembali dirinya dari keadaan sulit seperti krisis ekonomi, konflik, wabah penyakit, bencana alam. Sampai pada tahun 2013, cakupan program-program Mercy Corps Indonesia meliputi Aceh, Nias, Mentawai, Bengkulu, Lampung, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTT, Ambon, Seram, dan DKI Jakarta dan memberikan manfaat kepada lebih dari 1.000.000 jiwa di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1999. Dengan terus bekerjasama dengan melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat lokal, Mercy Corps Indonesia berharap dapat turut berkontribusi untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik (Mercy Corps Indonesia 2013). Layanan Informasi Desa (LISA) merupakan sebuah platform yang dikembangkan oleh PT 8villages Indonesia dengan didukung Agri-Fin Mobile Project dari Mercy Corps Indonesia. Layanan ini dibangun ketika petani yang dengan segala keterbatasannya membutuhkan informasi yang akurat yang
32
membantu usahatani mereka, seperti cuaca, curah hujan, tingkat kebutuhan konsumen, harga jual dan biaya-biaya yang perlu dikeluarkan untuk bercocok tanam. Layanan Informasi Desa (LISA) semakin menarik, karena menggunakan basis layanan pesan pendek ditengah perkembangan startup yang menggunakan aplikasi smartphone atau ponsel pintar, 8villages justru melihat peluang dan potensi ponsel biasa sebagai media penghubung layanan mereka. LISA diperkenalkan pada bulan Desember 2012 di Kabupaten Karawang. Jangkauan LISA mencakup di empat kabupaten di Provinsi Jawa Barat, meliputi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bogor. Selain itu, ada pengguna LISA yang berasal dari luar empat kabupaten tersebut. Palform LISA digunakan untuk pengembangan masyarakat oleh beberapa perusahaan multinasional di beberapa provinsi di Sumatera dan Gorontalo. Layanan LISA mencakup layanan tips pertanian, layanan tanya jawab interaktif, dan layanan iterasi keuangan keluarga. Pemilihan materi didasarkan atas tematik dari operator LISA yang merujuk pada program pemerintah, berasal dari tren yang sedang berkembang di masyarakat, atau tema-tema yang menjadi perhatian pengguna dalam layanan tanya jawab interaktif. Masyarakat dapat menjadi pengguna layanan LISA pada Agri-Fin Mobile dengan mendaftarkan diri melalui telepon seluler dengan cara ketik “IKUTI (spasi) LISA (spasi) NOMOR TELEPON YANG DIDAFTARKAN” dan kirim ke 2000. Setelah terdaftar sebagai pengguna LISA, maka pengguna dapat menggunakan beberapa layanan yang disediakan, seperti tips pertanian dan layanan tanya jawab interaktif dengan ahli pertanian. Prosedur untuk menggunakan layanan tanya jawab interaktif, dilakukan dengan mengetik “LISA (spasi) TANYA (spasi) PERTANYAAN” kemudian kirim ke nomor 2000. Pada awal berjalannya layanan LISA di bulan Desember 2012 sampai dengan bulan April 2015, tips pertanian dibagikan kepada penggunanya setiap hari. Oleh karena terbatasnya karakter dalam layanan pesan pendek, operator LISA membagikan satu tema tips pertanian dengan cara mengirimkan pesan pendek sebanyak dua kali. Sejak bulan Mei 2015, layanan tips pertanian dilakukan sebanyak 2 kali dalam satu minggu. Dalam menjalankan layanan LISA, operator LISA juga bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menjadi sumber informasi pertanian. Tenaga-tenaga ahli dari IPB memberikan informasi pertanian, inovasi pertanian, dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pengguna melalui LISA. Pada awal keberadaannya, operator LISA juga mengadakan kuis untuk penggunanya yang diadakan setiap minggu. Kuis ini bertujuan untuk mengingatkan kembali pengguna terhadap materi-materi yang telah diberikan. Dalam setiap minggu, operator akan memilih 10 orang pemenang kuis yang akan mendapatkan hadiah pulsa senilai masing-masing sepuluh ribu rupiah. Program kuis ini hanya dilakukan sebanyak 10 kali. Selain dari perguruan tinggi, operator LISA juga menggandeng penyuluh pertanian lokal untuk menjadi narasumber dalam layanan.
33
Tenaga ahli dari perguruan tinggi / penyuluh pertanian
Petani / pengguna LISA
Gambar 3
Alur Layanan Informasi Desa (LISA)
Dalam layanan tanya jawab interaktif, pengguna LISA dapat bertanya kepada ahli pertanian melalui LISA. Pertanian yang dikirimkan ke LISA akan diteruskan kepada tenaga ahli dari perguruan tinggi atau penyuluh pertanian lokal yang telah ditunjuk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jika pertanyaan sudah dijawab oleh tenaga ahli, maka jawaban tersebut kemudian disampaikan kepada penanya. Alur yang demikian ini membutuhkan waktu 2 sampai 3 hari mulai dari mengirimkan pertanyaan sampai dengan menerima jawaban. Layanan iterasi keluarga dikhususkan untuk wanita tani dan ibu rumah tangga. Selain melalui platform LISA, layanan ini menggunakan metode pertemuan di kelas. Fasilitator layanan ini adalah penyuluh pertanian yang sebelumnya mendapatkan pelatihan. Materi yang diberikan meliputi seluruh materi LISA dan pengenalan keuangan keluarga. Dalam Undang-undang nomor 16 Tahun 2006, disebutkan bahwa penyuluhan dapat dilakukan oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan swadaya. LISA merupakan bentuk penyuluhan yang diadakan oleh kelembagaan penyuluhan swasta dengan memperhatikan kepentingan pelaku utama dan pembangunan pertanian setempat. Dalam pelaksanaaannya, LISA berkoordinasi dengan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota.
Deksripsi Lokasi Penelitian Kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian utara Propinsi Jawa Barat, yang terletak antara: 107 002’ - 107040’ bujur timur dan 5056’ - 6034’ lintang selatan. Secara administratif, Kabupaten Karawang mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Subang Sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Kabupaten Karawang mempunyai wilayah 1.1753, 27 km2 atau sebesar 3,73 persen luas Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 297 desa dan 12 kelurahan (BPS Karawang 2014). Lokasi penelitian berada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Pangkalan,
34
Kecamatan Jatisari, Kecamatan Karawang Timur, dan Kecamatan Pedes. Adapun deskripsi wilayah pada masing-masing lokasi penelitian terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah desa, luas wilayah, dan luas lahan di empat kecamatan lokasi penelitian tahun 2014 Luas Luas Lahan (Ha) Jumlah No Kecamatan Wilayah Desa Sawah Kering Jumlah (km2) 1 Pangkalan 8 94,37 2.851,47 9.796,67 12.648,14 2 Jatisari 14 53,28 3.937,29 5.519,50 9.456,79 Karawang 3 8 29,77 1.708,31 3.156,51 4.864,82 Timur 4 Pedes 12 60,84 5.420,95 6.915,50 12.336,45 Sumber : BPS Karawang 2013 dan BPS Karawang 2014 Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, jumlah penduduk Kabupaten Karawang sebanyak 2.225.357 jiwa pada tahun 2013 lalu. Pada lokasi penelitian, jumlah penduduk sebesar 310.778 jiwa, atau sebesar 13,97 persen jumlah penduduk Kabupaten Karawang. Sebaran penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah penduduk di empat kecamatan lokasi penelitian menurut jenis kelamin tahun 2014 No 1 2 3 4
Kecamatan
Pangkalan Jatisari Karawang Timur Pedes Jumlah Diolah dari BPS Karawang 2014
Laki-laki 18.233 38.453 67.128 37.011
Jumlah Penduduk Perempuan 17.729 36.575 61.294 34.355
Jumlah 35.962 75.028 128.422 71.366 310.778
Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan mendominasi rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Karawang. Dari sebanyak 123.143 rumah tangga usaha pertanian yang ada, sebanyak 98,67 persen merupakan rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan (121.509 rumah tangga). Sedangkan sisanya sebanyak 1.634 rumah tangga atau 1,33 persen merupakan rumah tangga usaha pertanian bukan pengguna lahan. Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu 1) rumah tangga petani gurem yang menguasai kurang dari 0,5 ha lahan, dan 2) rumah tangga bukan petani gurem yang menguasai lahan di atas 0,5 ha. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa dari 98,67 persen rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan, sebesar 53,06 persennya (64.475 rumah tangga) merupakan rumah tangga petani gurem dan sebanyak 57.034 rumah tangga sisanya atau 46,94 persen atau bukan rumah tangga petani gurem (BPS Karawang 2013).
35
Tabel 8 Jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai di Kabupaten Karawang tahun 2013 Jumlah Rumah Tangga Usaha Golongan Luas Lahan yang Pertanian No. Dikuasai (m2) ST 2003 ST 2013 1 < 1.000 160.359 28.056 2 1.000 1.999 14.443 10.627 3 2.000 4.999 30.241 27.416 4 5.000 9.999 26.696 24.804 5 10.000 - 19.999 18.038 18.786 6 20.000 - 29.999 5.563 6.475 7 ≥ 30.000 5.793 6.979 Jumlah 261.133 123.143 Sumber : BPS Karawang 2013 Rata-rata jumlah rumah tangga petani gurem di lokasi penelitian juga lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga bukan petani gurem. Sebanyak 8.972 rumah tangga usaha pertanian atau 55,74 persen merupakan rumah tangga petani gurem, sedangkan sebanyak 7.125 rumah tangga usaha pertanian sisanya atau 44,26 persen merupakan rumah tangga bukan petani gurem. Tabel 9 Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan menurut golongan luas lahan yang dikuasai di empat kecamatan lokasi penelitian tahun 2014 Rumah Tangga Usaha Rumah Rumah No Kecamatan Pertanian Tangga Petani Tangga Bukan Pengguna Gurem Petani Gurem Lahan 1 Pangkalan 5.949 4.131 1.818 2 Jatisari 3.725 1.771 1.954 3 Karawang Timur 1.541 777 764 4 Pedes 4.882 2.293 2.589 Jumlah 16.097 8.972 7.125 Diolah dari BPS Karawang 2014
Karakteristik Responden Karakteristik responden dianggap sebagai salah satu unsur penting yang menentukan tingkat keterdedahan serta efektivitas komunikasi sebagai sasaran akhir. Karakteristik ini dijelaskan dengan peubah usia, pendidikan terakhir, status kepemilikan lahan, luas lahan, dan pekerjaan utama.
36
Tabel 10 Jumlah responden menurut karakteristik di empat kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Jumlah Karakteristik Responden orang % Jenis kelamin Laki-laki 65 65,00 Perempuan 35 35,00 Umur < 20 tahun 1 1,00 20-29 tahun 9 9,00 30-39 tahun 29 29,00 40-49 tahun 44 44,00 50-59 tahun 15 15,00 > 60 tahun 2 2,00 Pendidikan SD atau sederajat 49 49,00 SMP atau sederajat 27 27,00 SMA atau sederajat 17 17,00 Diploma 2 2,00 Sarjana 5 5,00 Status kepemilikan milik sendiri 57 57,00 lahan sewa/gadai /buruh/penggarap 43 43,00 2 Luas lahan Sempit ( < 8.800 m ) 51 51,00 2 Sedang ( 8.800 - 19.200 m ) 34 34,00 2 Luas (> 19.200 m ) 15 15,00 Pekerjaan Petani 81 81,00 Bukan Petani 19 19,00 Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini adalah 100 orang pengguna layanan LISA di Kabupaten Karawang. Dari Tabel 10, diketahui bahwa pengguna layanan LISA didominasi oleh kaum laki-laki (65 persen) dan 35 persen sisanya adalah pengguna berjenis kelamin perempuan. Dominasi ini terjadi karena laki-laki lebih banyak terlibat dengan kegiatan di bidang pertanian. Keterlibatan perempuan dalam layanan ini disebabkan karena adanya minat dan motivasi pengguna perempuan untuk lebih mentehaui pengetahuan di bidang pertanian. Menurut Flor (2008), dengan ikutsertanya kaum perempuan dalam sebuah program pembangunan berbasis TIK, maka program tersebut akan lebih berkelanjutan dan lebih sukses. Pengamatan mengungkapkan bahwa kelompok perempuan pedesaan, khususnya di Asia Tenggara, cenderung mempunyai keterikatan lebih erat dengan kelompok tani atau kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki lebih banyak waktu untuk mengisi waktunya dengan sesamanya. Selain itu, kaum perempuan lebih dapat berhubungan dan berempati dengan peran dan tantangan orang lain.
37
Gambar 4 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenis kelamin Umur Umur responden dalam penelitian ini dihitung dari tanggal dilahirkan sampai dengan saat dilakukan wawancara. Dilihat dari data yang diperoleh, sebagian besar pengguna layanan LISA merupakan orang-orang dalam kategori usia produktif. Sebanyak 97 persen responden berusia antara 20-60 tahun, 1 persen responden berumur kurang dari 20 tahun dan hanya 2 persen responden yang berusia di atas 60 tahun. Rendahnya responden yang berusia muda mengindikasikan rendahnya minat generasi muda di bidang pertanian. Dengan banyaknya pengguna layanan LISA di usia produktif diharapkan mereka mampu melakukan kegiatan usaha tani dengan optimal dan inovatif terhadap perkembangan teknologi pertanian dan teknologi informasi komunikasi.
Gambar 5 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut usia Pendidikan Pendidikan menunjukkan jenjang pendidikan formal yang telah atau sedang diikuti oleh responden pada saat penelitian dilakukan dengan kategori Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, Diploma, dan Sarjana. Sebagian besar pengguna layanan LISA berpendidikan sekolah dasar, yaitu sebesar 49 persen. Sedangkan
38
urutan selanjutnya berpendidikan SMP, sebanyak 27 persen, berpendidikan SMA sebesar 17 persen, berpendidikan diploma sebanyak 2 persen, dan 5 persen sisanya adalah pengguna layanan dengan pendidikan sarjana. Banyaknya pengguna layanan LISA yang berpendidikan rendah, mengharuskan adanya perhatian dan pendampingan lebih dari fasilitator (penyuluh pertanian atau fasilitator dari LISA) dalam pemanfaatan teknologi pertanian dan teknologi informasi dan komunikasi.
Gambar 6 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenjang pendidikan Status Kepemilikan Lahan Status lahan garapan yang diusahakan responden dilihat berdasarkan kepemilikan lahan garapan yang dikategorikan menjadi lahan milik sendiri dan lahan sewa/gadai/buruh penggarap. Sebanyak 57 persen pengguna layanan LISA merupakan pemilik lahan yang diusahakan dan sebanyak 43 persen pengguna layanan LISA sisanya merupakan lahan milik orang lain dengan status sewa/gadai atau pengguna tersebut merupakan buruh penggarap.
Gambar 7 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut status kepemilikan lahan Luas Lahan Luas lahan merupakan luas lahan garapan yang dikelola oleh responden untuk berusahatani dalam satuan meterpersegi, baik lahan milik sendiri, sewa,
39
gadai, atau yang digarap. Data penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 51 persen pengguna layanan LISA mempunyai luas lahan garapan yang masuk dalam kategori sempit (<8.800 m2). Adapun pengguna layanan LISA yang mempunyai lahan kategori sedang (8.800 m2 – 19.200 m2) sebanyak 34 persen, dan sebanyak 15 persen sisanya merupakan pengguna layanan dengan luas lahan garapan lebih dari 19.200 m2.
Gambar 8 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut luas lahan Pekerjaan Utama Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan utama responden pada saat penelitian dilakukan. Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sebagian besar ( 81 persen) pengguna layanan LISA adalah petani dan sebanyak 19 persen sisanya adalah aparatur desa, peternak, ibu rumah tangga, dan pedagang. Hal ini memperlihatkan bahwa layanan LISA bukan hanya digunakan oleh petani saja, akan tetapi semua pihak yang mempunyai minat di bidang pertanian. Selain berisi layanan tips pertanian dan layanan tanya jawab interaktif, LISA juga memberikan layanan iterasi keuangan keluarga. Layanan ini ditujukan kepada wanita tani maupun ibu rumah tangga.
Gambar 9 Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut pekerjaan utama
tahun
40
Faktor Eksternal Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel karakteristik yang tidak melekat pada diri responden yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi LISA, yaitu: layanan LISA dan layanan operator telepon seluler. Layanan LISA LISA diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Karawang pada Desember 2012 bersamaan dengan peresmian layanan yang dilakukan di Kecamatan Jatisari dan Kecamatan Cilamaya. Saat ini diperkirakan sekitar 3.800 masyarakat yang menjadi pengguna LISA di Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Bogor. Ada juga pengguna yang berasal dari luar 4 kabupaten tersebut. Jumlah pengguna LISA di Kabupaten Karawang di perkirakan sebanyak 1.200 orang. Perkembangan jumlah pengguna layanan LISA tidak lepas dari peran penyuluh pertanian. Sosialisasi layanan LISA disebarkan oleh penyuluh pertanian dalam setiap kesempatan. Pada awal berdirinya LISA, operator LISA bekerjasama dengan lembaga penyuluhan pertanian setempat mengadakan pelatihan dasar LISA. Dalam pelatihan tersebut diajarkan cara-cara menggunakan layanan LISA. Pelatihan LISA diadakan dibeberapa kecamatan dengan peserta perwakilan petani di kecamatan tersebut dan juga perwakilan petani dari kecamatan sekitarnya. Tips pertanian dibagikan melalui laayanan pesan pendek. Oleh karena terbatasnya karakter dalam layanan pesan pendek, operator LISA membagikan satu tema tips pertanian dengan cara mengirimkan pesan pendek sebanyak dua kali. Berikut merupakan salah satu contoh tips pertanian dan tanya jawab interaktif dalam LISA: Tips pertanian Tanaman yang tiba-tiba layu di antaranya dapat disebabkan oleh kekeringan, adanya serangan hama atau penyakit, kelebihan pupuk, perakaran tercabut, (1/2) Layanan tanya jawab Pertanyaan: Pada penanaman padi organik, kapan sebaiknya pemberian MOL dilakukan?
perakaran tanaman tercabut, maupun suhu lingkungan yang panas sehingga terjadi penguapan air yang berlebihan dari tanaman [Guntoro-IPB] (2/2)
MOL dapat diberikan pada saat sebelum tanam (saat pengolahan lahan), kemudian dilanjutkan setelah tanam setiap 10 hari sekali [Ramdhani-BP3K Pedes]
Layanan LISA merupakan variabel bebas untuk mengukur kepuasan responden terhadap kualitas layanan yang diberikan operator LISA. Kepuasan yang diukur mencakup kepuasan terhadap layanan yang diberikan secara umum, bahasa yang digunakan, ulasan/jawaban yang diberikan, dan kemudahan penerapan dari ulasan/jawaban yang diberikan.
41
Gambar 10 Tingkat kepuasan responden pengguna terhadap layanan LISA Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 97 responden menyatakan puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh LISA. Hanya 3 persen responden yang menyatakan kurang puas atas layanan yang diberikan LISA. Adanya penilaian kurang memuaskan dari responden disebabkan oleh lamanya waktu yang dibutuhkan responden menerima jawaban dalam layanan tanya jawab interaktif. Operator LISA akan menjawab pertanyaan dari responden dalam waktu 2-3 hari setelah pertanyaan diterima. Hal ini salah satu poin yang dikeluhkan pelanggan. Apabila ditinjau dari aspek bahasa, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam LISA mudah dipahami (81 persen), 15 responden menyatakan sangat mudah dipahami. Hanya 4 persen responden yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam LISA kurang mudah dipahami, ditunjukkan pada Gambar 10. Operator LISA menggunakan bahasa bahasa yang sederhana, mudah dipahami dan bahasa yang dimengerti oleh pengguna di wilayah jangkauan LISA.
Gambar 11 Pemahaman responden terhadap bahasa yang digunakan dalam LISA Tips/ jawaban/ ulasan yang diberikan kepada pengguna dianggap lengkap dan rinci oleh sebagian besar pengguna. Sebanyak 74 persen pengguna menyatakan bahwa tips/ jawaban/ ulasan yang diberikan memuat hal yang rinci dan lengkap, 16 persen penggguna menyatakan sangat rinci dan lengkap, dan 10 persen sisanya menganggap tips/ jawaban/ ulasan kurang rinci dan masih memerlukan penjelasan lebih lanjput. Hal ini disebabkan karena keterbatasan karakter pada layanan pesan pendek. Dalam mengirimkan pesan yang mempunyai karakter panjang, operator harus melakukan pengiriman lebih dari satu kali. Pesan lanjutan dari operator LISA kadang tidak semua diterima utuh
42
oleh pengguna, tergantung kepada perangkat telepon seluler pengguna dan layanan operator telepon seluler.
Gambar 12 Penilaian responden terhadap kelengkapan tips/ jawaban/ ulasan yang diberikan LISA Selain itu, sebagian besar responden menyatakan bahwa tips/ jawaban/ ulasan yang diberikan LISA dapat diterapkan. Dan hanya 2 persen responden menyatakan kurang dapat diterapkan dalam praktek di lapangan. Adanya penilaian kurang dari responden disebabkan oleh konten/materi yang diterima pengguna tidak sesuai dengan lokasi domisili pengguna.
Gambar 13 Penilaian responden terhadap kemudahan untuk menerapkan tips/ jawaban/ ulasan Layanan Operator Telepon Seluler Pada awal berdirinya layanan LISA, dua operator telepon seluler digandeng mendukung layanan ini, yaitu PT Telkomsel dan PT Indosat. Dengan adanya kerjasama ini, pengguna yang menggunakan SIMcard produksi PT Telkomsel dan PT Indosat dapat mengakses layanan LISA secara gratis. Secara umum, operator seluler yang dominan digunakan pengguna di lokasi penelitian adalah Indosat dengan produk SIMcard Mentari dan IM3, sebagian responden di Kecamatan Jatisari lebih banyak yang menggunakan produk Telkomsel dengan SIMcard Kartu As dan Simpati. Responden pengguna layanan LISA sebanyak 79 persen menggunakan simcard dari Indosat (dengan produk Mentari dan IM3), 12 persen responden merupakan pengguna Telkomsel (dengan produk Simpati dan Kartu As), 8 persen merupakan pengguna XL Axiata (dengan produk XL dan Axis), dan 1 persen sisanya menggunakan simcard selain produk di atas.
43
Layanan operator telepon seluler merupakan variabel bebas yang digunakan untuk mengukur kepuasan responden terhadap kualitas layanan yang diberikan operator telepon seluler. Kepuasan yang diukur mencakup kepuasan terhadap kualitas produk dan biaya. Gambar 13 menjelaskan bahwa sebagian besar pengguna layanan operator seluler menyatakan kualitas operator telepon seluler cukup baik dan sangat baik dilihat dari aspek kekuatan sinyal, jangkauan sinyal, kualitas suara, dan kualitas layanan pesan pendek. Hanya sebagian kecil pengguna yang menyatakan layanan operator telepon seluler kurang memuaskan.
Gambar 14 Penilaian responden terhadap kualitas operator seluler Dari segi biaya, tanggapan pengguna layanan operator menyatakan setuju bahwa tarif telepon dan pesan pendek murah. Sebanyak 72 persen pengguna menyatakan setuju bahwa tarif telepon murah, 16 persen menyatakan sangat setuju, dan hanya 12 persen menyatakan kurang setuju. Untuk tarif pesan pendek, sebanyak 74 persen pengguna menyatakan setuju bahwa tarif pesan pendek murah, 20 persen menyatakan sangat setuju dan sebanyak 6 persen sisanya kurang setuju.
Gambar 15 Penilaian responden terhadap tarif telepon dan pesan pendek
44
Interaksi dengan Sumber Informasi Lain Responden pengguna layanan LISA yang sebagian besar didominasi oleh petani, berhubungan juga dengan sumber informasi lain dalam mencari informasi pertanian. Petani biasanya berhubungan dengan penyuluh pertanian, sesama petani, kelompoktani yang diikuti, ataupun dengan pemuka pendapat setempat dalam mencari nformasi pertanian. Dalam penelitian ini, interaksi dengan sumber informasi lain merupakan aktivitas komunikasi tatap muka yang dilakukan responden dengan pemuka pendapat(ulama, ketua RT, ketua RW), kelompoktani, dan penyuluh pertanian dalam mencari atau menerima informasi tambahan mengenai konten LISA. Interaksi dengan Pemuka Pendapat Orang-orang yang dianggap “tokoh” atau “tua” masih diakui keberadaannya dalam masyarakat. Dengan kelebihan-kelebihan karakteristik yang dimilikinya, menjadikan orang-orang tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat. Ketua RT, ketua RW, dan ulama dianggap sebagai orang yang memiliki karakteristik dan pengaruh tersebut di lokasi penelitian. Interaksi pengguna LISA dengan pemuka pendapat (Ketua RT, Ketua RW, dan ulama) dalam mencari tambahan informasi mengenai konten LISA tergolong rendah di lokasi penelitian. Hanya sebagian besar responden di Kecamatan Jatisari yang tergolong masih tinggi interaksi dengan ulama dalam mencari informasi tambahan mengenai konten LISA. Interaksi dengan pemuka pendapat merupakan aktivitas komunikasi antara responden dengan pemuka pendapat dalam mencari dan menerima informasi tambahan mengenai konten-konten LISA. Variabel bebas ini diukur berdasarkan jumlah komunikasi yang dilakukan responden dengan pemuka pendapat (ulama, ketua RT, ketua RW) dalam satu bulan terakhir pada waktu penelitian dilakukan.
Gambar 16
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan pemuka pendapat
Berdasarkan Gambar 15, sebanyak 91 persen responden mempunyai tingkat interaksi dengan pemuka pendapat (ulama, ketua RT, ketua RW) yang rendah (≤ satu kali pertemuan). Sebanyak 6 persen responden mempunyai tingkat interaksi yang sedang, dan sebanyak 3 persen sisanya berinteraksi lebih dari 3 kali dengan pemuka pendapat. Interaksi responden dengan pemuka pendapat lebih banyak dilakukan dengan tujuan bukan berkaitan dengan konten LISA.
45
Interaksi dengan Kelompoktani Pengguna LISA yang menjadi responden, sebanyak 79 persen bergabung dengan kelompoktani dan 21 persen tidak bergabung dengan kelompoktani. Dari jumlah tersebut, rata-rata telah bergabung dengan kelompoktani selama 5,14 tahun. Sebanyak 26 responden merupakan pengurus dalam kelompoktani dan sebanyak 53 responden merupakan anggota kelompoktani. Fungsi kelompoktani sebagai kelas belajar, menunjukkan kelompoktani merupakan wadah efektif untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap anggotanya agar tumbuh dan berkembang. Dalam perkembangan LISA, kelompoktani menjadi wadah sosialisasi program LISA kepada anggota-anggotanya. Interaksi dengan kelompoktani merupakan aktivitas komunikasi antara responden dengan kelompoktani dalam mencari dan menerima informasi tambahan mengenai konten-konten LISA baik pada waktu pertemuan rutin kelompok, atau kegiatan lain. Interaksi ini diukur berdasarkan jumlah komunikasi yang dilakukan responden dengan kelompoktani dalam satu bulan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (91 persen) mempunyai interaksi yang rendah dengan kelompoktani. Hal ini berarti dalam sebulan responden berhubungan dengan kelompoktani kurang dari 4 kali sebulan. Tujuh persen responden berhubungan dengan kelompoktani berkisar antara 4 sampai 8 kali sebulan, dan sebanyak 2 persen responden sisanya berhubungan lebih dari 8 kali sebulan.
Gambar 17 Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan kelompoktani Hasil yang serupa juga terjadi pada interaksi antara responden dengan sesama petani. Sebanyak 77 responden berinteraksi dengan sesama petani berkaitan dengan LISA kurang dari 9 kali dalam sebulan (rendah), 9 responden berinteraksi antara 9 sampai dengan 19 kali dalam sebulan (sedang), dan 14 responden melakukan interaksi dengan sesama petani lebih dari 19 kali pertemuan (kategori tinggi).
46
Gambar 18 Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan petani Interaksi dengan Penyuluh Pertanian Kelembagaan penyuluhan pertanian sudah terbentuk di masing-masing kecamatan lokasi penelitian. Keberadaan balai penyuluhan kecamatan tersebut menjadi sarana untuk memudahkan bertemunya petani dengan penyuluh pertanian. Di masing-masing lokasi penelitian, rata-rata penyuluh pertanian mempunyai wilayah binaan satu desa. Hanya beberapa penyuluh pertanian yang membina lebih dari satu desa. Pertemuan antara petani pengguna layanan LISA dan penyuluh pertanian biasanya terjadi di balai penyuluhan kecamatan, di sekretariat kelompoktani, di rumah petani, atau tempat yang disepakati. Interaksi dengan penyuluh pertanian merupakan aktivitas komunikasi antara responden dengan penyuluh pertanian dalam mencari dan menerima informasi tambahan mengenai konten-konten LISA. Interaksi ini diukur berdasarkan jumlah komunikasi yang dilakukan responden dengan penyuluh pertanian dalam satu bulan terakhir pada waktu penelitian dilakukan.
Gambar 19
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan penyuluh pertanian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (76 persen) berinteraksi dengan penyuluh pertanian kurang dari 2 kali dalam sebulan berkaitan dengan LISA. Delapan responden berinteraksi sebanyak 2 sampai 3 kali dalam sebulan dan responden yang berinteraksi lebih dari 3 kali sebanyak 16 responden.
47
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan responden di empat lokasi penelitian tergolong tinggi. Sebanyak 72 persen responden mencari informasi pertanian ke luar desa dengan rata-rata 3,01 kunjungan dalam satu bulan. Sebanyak 28 persen sisanya tidak pernah melakukannya. Interaksi responden dengan sumber lain (ulama, ketua RT, ketua RW, kelompoktani, dan penyuluh pertanian) berkaitan dengan usaha mencara informasi tambahan tentang konten LISA tergolong rendah. Hal ini menunjukan bahwa responden telah mempunyai kemandirian untuk mencari informasi tambahan mengenai konten LISA.
48
5 KETERDEDAHAN TERHADAP LISA Keterdedahan terhadap LISA Keterdedahan terhadap LISA berhubungan dengan frekuensi pengguna terdedah terhadap LISA dan kesesuaian konten/materi yang diterima pengguna dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Pada awal peluncuran layanan LISA sampai pada bulan Mei 2015, setiap pengguna layanan LISA mendapat tips pertanian setiap hari. Layanan tips pertanian ini kemudian mengubah frekuensi pengiriman tips pertanian menjadi dua kali dalam satu minggu. Frekuensi akses Frekuensi akses pengguna terhadap layanan LISA dibagi antara akses kepada tips pertanian dan akses kepada layanan tanya jawab interaktif dalam satu bulan terakhir. Frekuensi responden mengakses tips pertanian diukur berdasarkan intensitas responden menerima dan membaca tips yang diterima. Semua responden yang bergabung dalam layanan LISA akan mendapatkan tips pertanian tanpa kecuali. Frekuensi responden mengakses layanan tips dibedakan antara responden yang membaca tips yang diterima. Parameter yang digunakan, setiap responden yang membaca tips pertanian kurang dari 5 termasuk dalam kategori rendah, membaca antara 5 sampai 7 tips yang diterima termasuk kategori sedang, dan membaca lebih dari 7 tips termasuk kategori tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa akses pengguna ke layanan tips pertanian tergolong tinggi. Dalam sebulan, sebanyak 73 persen pengguna menerima dan membaca tips pertanian sebanyak lebih dari 7 kali di telepon selulernya. Sebanyak 14 persen pengguna melakukan akses antara 5 sampai 7 kali sebulan, dan 13 persen pengguna melakukan akses kurang dari 5 kali sebulan. Tingginya responden yang menerima dan membaca tips pertanian menunjukkan bahwa responden menilai tips yang dibagikan berguna dan bermanfaat untuk usahatani yang mereka usahakan. Beberapa responden diketahui mencatat setiap tips yang dibagikan ke dalam buku. Bagi ibu-ibu pengguna LISA yang bukan petani, biasanya tips yang didapatkan akan diteruskan kepada suami.
Gambar 20 Frekuensi akses responden terhadap layanan LISA Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh pengguna dalam mengakses layanan tanya jawab interaktif. Frekuensi pengguna mengakses layanan tanya jawab
49
interaktif tergolong rendah. Sebanyak 88 persen pengguna melakukan akses ke layanan ini kurang dari 3 kali sebulan (kategori rendah), 9 persen pengguna mengakses sebanyak 3 sampai 5 kali (kategori sedang), dan hanya 3 persen pengguna yang tergolong aktif dalam mengakses layanan ini. Rendahnya partisipasi responden dalam mengakses layanan tanya jawab interaktif disebabkan rendahnya motivasi responden untuk mengetahui lebih jauh tentang materi yang didapat. Responden menilai konten/materi yang didapat sudah dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan mereka. Selain layanan tips pertanian dan layanan tanya jawab interaktif, khusus pengguna yang menggunakan simcard Indosat, terdapat layanan grup. Dalam layanan ini, sesama anggota grup dapat saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Sumber informasi dalam grup biasanya penyuluh pertanian setempat atau petani maju.
Gambar 21 Frekuensi akses responden terhadap layanan grup Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengguna layanan LISA dengan simcard Indosat yang menjadi responden, sebanyak 82 persen merupakan pengguna layanan grup dengan kategori akses rendah, kurang dari 9 kali akses dalam sebulan. Delapan persen pengguna mengakses grup antara 9 sampai 18 kali sebulan, dan hanya 10 persen pengguna yang tergolong aktif mengakses layanan grup. Keterbatasan jumlah anggota grup menjadikan tidak semua pengguna dapat menjadi anggota grup. Satu grup hanya dapat menampung sebanyak 25 anggota. Kesesuaian Konten Kesesuaian konten adalah kesesuaian konten/materi yang diperoleh responden dari layanan LISA dengan kebutuhan reponden terhadap informasi pertanian. Kesesuaian konten diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kesesuaian materi dalam layanan LISA dengan kebutuhan responden, baik materi dalam tips pertanian maupun layanan tanya jawab interaktif. Penilaian responden terhadap konten/materi tentang pemasaran, sebanyak 36 persen menyatakan materi tersebut kurang sesuai, 31 persen responden menyatakan tidak sesuai dan sebanyak 28 responden yang setuju bahwa materi tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.
50
Tabel 11 Penilaian responden terhadap konten tips pertanian dan tanya jawab interaktif di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Tips Pertanian Konten/materi Pengolahan tanah
Pengairan
Pembibitan
Penanaman
Pemupukan
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pemanenan
Pemasaran
Penilaian reponden Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai
Jumlah orang 2 3 70 25 9 12 61 18 6 15 56 23 7 6 66 21 4 2 62 32 2 2 50 46 14 31 43 12 31 36 28 5
% 2,00 3,00 70,00 25,00 9,00 12,00 61,00 18,00 6,00 15,00 56,00 23,00 7,00 6,00 66,00 21,00 4,00 2,00 62,00 32,00 2,00 2,00 50,00 46,00 14,00 31,00 43,00 12,00 31,00 36,00 28,00 5,00
Tanya Jawab Interaktif Jumlah % orang 1 2.08 3 6.25 36 75.00 8 16.67 7 14.58 10 20.83 30 62.50 1 2.08 4 8.33 5 10.42 35 72.92 4 8.33 4 8.33 4 8.33 34 70.83 6 12.50 5 10.42 2 4.17 28 58.33 13 27.08 6 12.50 3 6.25 22 45.83 17 35.42 15 31.25 15 31.25 17 35.42 1 2.08 28 58.33 14 29.17 5 10.42 1 2.08
Tabel 11 merupakan penilaian responden terhadap kesesuaian materi tips pertanian dan tanya jawab interaktif. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan konten/materi tips pertanian sesuai dengan kebutuhan responden, dalam materi pengolahan tanah, pengairan, pembibitan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan. Di dalam materi-materi tersebut, lebih dari 50 persen responden menyatakan sesuai
51
dan sangat sesuai. Penggunaan bahasa yang sederhana, muatan konten-konten lokal, dan pemilihan tema berdasarkan analisis kebutuhan pengguna menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna menyetujui dan menerima konten-konten yang disediakan. Konten lokal yang sesuai dengan kebutuhan akan menjadi materi yang menarik bagi pengguna layanan. Penggunaan bahasa yang sederhana, konten-konten lokal, dan pemilihan tema berdasarkan analisis kebutuhan pengguna terbukti dapat diterima dan disetujui oleh sebagian besar pengguna. Konten lokal yang sesuai dengan kebutuhan akan menjadi materi yang menarik bagi pengguna layanan. Pemilihan konten lokal merupakan salah satu prinsip untuk keberhasilan penerapan teknologi informasi dan komunikasi untuk masyarakat desa (Flor 2008). Tabel 12 Persentase konten tips pertanian berdasarkan tema di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Tema Pengolahan tanah Pengairan Pembibitan Penanaman Pemupukan Pengendalian hama dan penyakit Pemanenan Pemasaran
Persentase (%) 12.33 3.96 9.25 14.10 17.18 37.89 3.52 1.76
Persentase jumlah konten mengenai pemanenan dan pemasaran dalam layanan tanya jawab berada di urutan terbawah. Tema mengenai pemasaran merupakan tema yang paling sedikit menjadi pertanyaan pengguna, yaitu sebesar 1,22 persen. Selanjutnya sebanyak 1,53 persen dari pertanyaan yang masuk merupakan pertanyaan mengenai pemanenan. Adapun pertanyaan pengguna yang dominan dalam layanan tanya jawab adalah pertanyaan dengan tema pengendalian hama dan penyakit dengan jumlah 43,43 persen. Hal-hal mengenai penyakit blas, penyakit kresek, dan penanggulangan tikus sawah menjadi perhatian utama dari pengguna. Selain itu, hal lain yang menjadi perhatian pengguna adalah tema pemupukan. Sebanyak 21,41 persen pertanyaan pengguna mengenai pemupukan, meliputi penggunaan pupuk seimbang, pembuatan pupuk kandang, dan penggunaan pupuk organik. Hasil yang serupa dijumpai pada kesesuaian konten tanya jawab interaktif, sebagian besar pengguna menyatakan sesuai dan sangat sesuai terhadap konten/materi layanan tanya jawab interaktif. Mayoritas menyatakan kurang sesuai dan tidak sesuai terhadap konten/materi pemanenan dan pemasaran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya konten mengenai pemasaran, ulasan mengenai pemasaran kurang lengkap, dan lamanya respon terhadap pertanyaan mengenai pemasaran.
52
Tabel 13 Persentase konten tanya jawab berdasarkan tema di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2015 Tema Pengolahan tanah Pengairan Pembibitan Penanaman Pemupukan Pengendalian hama dan penyakit Pemanenan Pemasaran
Persentase (%) 11.01 3.36 11.62 6.42 21.41 43.43 1.53 1.22
Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13 diketahui bahwa tema mengenai pemanenan dan pemasaran mempunyai persentase yang kecil, kurang dari 5 persen baik di layanan tips pertanian dan layanan tanya jawab interaktif. Petani/ pengguna berharap bahwa LISA memperbanyak konten bertema pemanenan dan pemasaran, sebagaimana diungkapkan oleh (JJ, 42 tahun). “Kalau ditanya masalah materi informasi apa yang paling banyak diakses, ya saya bisa bilang banyak mas, biasanya sih informasi soal ngolah ladang, milih bibit macem-macem pokonya mas…tapi kalau materi informasi yang paling sulit saya temui, informasi tentang pemasaran.. biasanya kalau habis panen saya pasrahkan saja kepada pengepul,, perihal harganya.. ya bisa-bisa kita tawarnya.. tapi kalau ditanya harga pasaran yang sebenarnya berapa? Jujur saya tidak tah,. lagi pula kalau tidak ada pengepul kita bingung mau jual kemana,” Informasi mengenai pemanenan dan pasar merupakan informasi yang sulit didapatkan petani. Petani di lokasi penelitian mengetahui informasi mengenai harga jual hasil produksi mereka dari pengepul. Kurangnya informasi mengenai pemasaran merupakan kerugian bagi petani. Dengan informasi yang cepat dan jelas menjadikan petani lebih mempunyai posisi tawar yang baik. Senada dengan JJ, RH (29 tahun, Pedes) menyatakan “saya pengennya kedepan LISA bisa lebih banyak membahas soal pasar dan harga mas, disini saya sering menunda menjual panenan saya sambal menunggu yang bayar paling tinggi. Misalnya musim panen saat ini, saya kemarin menjual padi saya dengan harga RP 4.200, nah sebelumnya ditawar Rp 3.900 saja mas. Misalnya LISA juga ada informasi mengenai tata cara penyimpanan padi bisa membantu kami ” Informasi mengenai pemasaran merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dan menunjang kelangsungan usahatani petani. Narula dan Arora (2010) menyatakan bahwa salah pendorong penggunaan TIK oleh petani adalah memanfaatkan layanan di bidang pertanian, terutama yang berhubungan dengan pasar dan konsumen. senada dengan Narula dan Arora (2010), Kameswari et al. (2011) menyatakan bahwa perilaku mencari informasi oleh petani di India
53
bergantung pada keuntungan yang akan didapat dan nilai informasi yang dianggap menguntungkan usahanya. Menurut Francis dan Addom (2014), penyuluhan dan jasa konsultasi harus fokus pada petani dan kebutuhan petani. Mereka perlu menyediakan konten yang relevan, tepat waktu, kredibel, bermanfaat dari sumber terpercaya dan memungkinkan untuk umpan balik dari petani. Hal ini menuntut adanya perbaikan platform agar dapat memberikan informasi pemasaran produk pertanian secara cepat, tepat, real time dengan mengembangkan pusat informasi agribisnis.
Hasil Analisis menggunakan Model Persamaan Struktural PLS Analisis menggunakan model persamaan struktural PLS didapatkan hasil seperti pada Gambar 22: Frekuensi
Umur
Konten
Tk. pnddkn Status lahan Luas lahan Pekerjaan
Pengetahuan
LISA Opert Telp
Sikap efektivitas
Intr Pemuka Intr Poktan Intr PPL
Gambar 22 Model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Berdasarkan Gambar 22, terdapat beberapa faktor loading yang mempunyai nilai dibawah 0,5. Hair et al. dalam Kusnendi 2008 menyatakan apabila terdapat indikator yang tidak valid dalam model, maka indikator tersebut didrop atau dikeluarkan dari model pengukuran. Model pengukuran diperbaiki dan dilakukuan pengukuran ulang. Indikator dikatakan valid dan realibel mengukur variabel latennya apabila secara statistik koefisien loading faktornya nyata pada tingkat kesalahan sebesar 5 persen. Dari gambar tersebut diketahui bahwa peubah umur, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, pekerjaan utama dan layanan operator telepon seluler dihilangkan dari model untuk kebaikan model.
54
Hasil perbaikan model terlihat pada Gambar 23: Frekuensi
Konten
Luas lahan
Pengetahuan
LISA Sikap
Intr Pemuka
efektivitas
Intr Poktan Intr PPL
Gambar 23 Perbaikan model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang Dari model baru di atas dapat diketahui nilai sebagai berikut: Tabel 14 Outer loading model perbaikan
Luas lahan terhadap karakteristik Layanan LISA terhadap faktor eksternal Interaksi dengan pemuka pendapat terhadap interaksi dengan sumber informasi lain Interaksi dengan kelompoktani terhadap interaksi dengan sumber informasi lain interaksi Interaksi dengan penyuluh pertanian terhadap interaksi dengan sumber informasi lain Frekuensi akses terhadap keterdedahan LISA Kesesuaian konten terhadap keterdedahan LISA Tingkat pengetahuan terhadap efektivitas komunikasi Sikap terhadap efektivitas komunikasi
Outer Loading 1 1 0.600 0.850 0.637 0.915 0.649 0.891 0.620
Pada model perbaikan di atas semua outer loading sudah melebihi batas 0.5. Hal ini berarti indikator dikatakan valid dan realibel mengukur variabel latennya. Selanjutnya dilakukan evaluasi pengukuran model untuk mengetahui model yang dibentuk sudah baik atau belum. Evaluasi model dilihat berdasarkan cross loading seperti pada Tabel 15.
55
Tabel 15
X1.4 X2.1 X3.1 X3.2 X3.3 Y1.1 Y1.2 Y2.1 Y2.2
Cross loading terhadap variabel laten Efektivitas komunikasi 0.416101 -0.011510 0.155252 0.281244 0.146278 0.437840 0.188472 0.890770 0.619780
Keterdedahan terhadap LISA 0.211962 0.190172 0.240646 0.217784 0.253386 0.914760 0.648920 0.376793 0.271118
Karakteristik responden 1 0.091922 0.189623 0.162312 0.128030 0.210672 0.105950 0.402761 0.202439
Faktor eksternal 0.091922 1 0.066973 0.052666 0.028825 0.138797 0.189635 0.056255 -0.121990
Interaksi dengan sumber lain 0.220607 0.069195 0.599750 0.849740 0.636950 0.417080 -0.028830 0.323063 0.074389
Pada hasil diatas terlihat loading faktor indikator terhadap konstruknya lebih besar dibandingkan nilai loading faktor indikator terhadap konstruk yang lainnya. Misalnya X3.2 merupakan indikator untuk interaksi memiliki nilai loading faktor terhadap interaksi=0.849 lebih besar dibandingkan nilai loading faktor terhadap konstruk lainnya. Artinya, X3.2 sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah interaksi dengan sumber informasi lain, bukan menggambarkan peubah lainnya. Hal ini berlaku untuk konstruk lainnya. Korelasi konstruk dengan indikatornya yang bercetak tebal, menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator lainnya. Tabel 16
Uji koefisiensi dan t hitung variabel karakteristik, faktor ekternal terhadap keterdedahan LISA dan efektivitas komunikasi T – tabel koefisien T - hitung Keterangan (α 5%) Karakteristik terhadap 0.196139 2.105025 Signifikan keterdedahan Eksternal Tidak terhadap 0.172143 1.634179 signifikan keterdedahan 1,96 Keterdedahan terhadap 0.371483 3.604901 Signifikan efektifitas Interaksi Tidak terhadap 0.174472 1.693176 signifikan efektifitas
Selanjutnya dilakukan uji koefisien untuk melihat pengaruh konstruk terhadap konstruk lainnya. Tabel 16 menunjukkan hasil uji koefisien tersebut. Hasil uji koefisien menunjukkan bahwa karakteristik responden berpengaruh signifikan pada keterdedahan terhadap LISA. Keterdedahan terhadap LISA juga secara nyata berpengaruh terhadap efektifitas komunikasi.
56
Hubungan Karakteristik Responden dengan Keterdedahan LISA Pada Tabel 15 terlihat loading faktor indikator karakteristik mempunyai nilai lebih besar dibandingkan nilai loading faktor indikator terhadap konstruk yang lainnya. Nilai konstruk X1.4 mempunyai nilai 0,416 pada konstruk efektivitas komunikasi, nilai 0,091 pada konstruk faktor esternal, nilai 0,221 pada konstruk interaksi dengan sumber lain, dan nilai 0,212 pada konstruk keterdedahan LISA. Artinya, X1.4 sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah karakteristik responden, bukan menggambarkan peubah lainnya. Pada Tabel 16, koefisien karakteristik pengguna terhadap keterdedahan sebesar 0,196 dan mempunyai nilai t statistik sebesar 2,105 (t-tabel 0,05 sebesar 1,96), seperti pada Gambar 24. Hal ini berarti bahwa H0 ditolak atau H1 diterima. Karakteristik berpengaruh positif pada tingkat keterdedahan mereka. Semakin tinggi nilai karakteristik pengguna layanan LISA maka akan semakin tinggi pula tingkat keterdedahan pengguna tersebut. Semakin luas lahan yang diusahakan oleh responden, maka akan semakin tinggi pula tingkat keterdedahan responden tersebut terhadap LISA. Hal ini selaras dengan penelitian Kameswari et al. (2011), kesenjangan status sosial ekonomi akan mempengaruhi akan mempengaruhi perbedaan akses dan kapasitas untuk menggunakan teknologi.
Frekuensi
Sikap
Luas lahan
LISA
Gambar 24
Model persamaan struktural karakteristik dan faktor eksternal terhadap keterdedahan LISA
Hubungan Faktor Eksternal dengan Keterdedahan LISA Tabel 15 memperlihatkan loading faktor indikator faktor eksternal mempunyai nilai lebih besar dibandingkan nilai loading faktor indikator terhadap konstruk yang lainnya. Nilai konstruk X2.1 mempunyai nilai -0,016 pada konstruk efektivitas komunikasi, nilai 1 pada konstruk faktor esternal, nilai 0,069 pada konstruk interaksi dengan sumber lain, nilai 0,092 pada konstruk karakteristik, dan nilai 0,190 pada konstruk keterdedahan LISA. Artinya, X2.1 sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah faktor eksternal.
57
Hasil uji koefisien faktor eksternal terhadap keterdedahan LISA sebesar 0,172 dan mempunyai nilai t statistik sebesar 1,634 (t-tabel 0,05 sebesar 1,96). Hal ini berarti bahwa H0 diterima. Faktor eksternal tidak signifikan berpengaruh pada tingkat keterdedahan mereka. Semakin tinggi nilai layanan operator LISA dan layanan operator telepon seluler tidak secara signifikan meningkatkan keterdedahan responden terhadap LISA.
6 EFEKTIVITAS KOMUNIKASI Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan kebutuhan informasi yang cepat dan tepat menjadikan telepon seluler sebagai alat komunikasi yang mudah digunakan dan dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan responden akan informasi-informasi pertanian. Fitur layanan pesan singkat yang dimiliki telepon seluler dianggap sebagai sarana yang cepat, mudah dan murah untuk diseminiasi informasi pertanian. Komunikasi melalui layanan pesan singkat dikatakan efektif apabila terjadi perubahan pengetahuan dan sikap pada penerima pesan. Efektivitas komunikasi merujuk kepada perubahan yang terjadi dalam diri responden setelah menerima informasi dari layanan LISA. Perubahan yang diukur pada dua indikator perilaku mencakup peningkatan kesadaran dan perubahan pengetahuan (kognitif) dan efek yang berhubungan dengan emosi, perasaan dan sikap (afektif). Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan responden diukur berdasarkan pemahaman responden terhadap konten yang berasal dari LISA. Responden mendapatkan pernyataan berkaitan dengan konten yang pernah disebarluaskan oleh LISA, antara lain berkaitan dengan pengolahan tanah, pengairan, pembibitan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan serta pasca panen.
Gambar 25
Tingkat pengetahuan responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan lokasi penelitian
Dari Gambar 25, sebanyak 37 persen responden mempunyai pengetahuan yang sedang terhadap konten LISA. Responden kategori ini mempunyai 7 sampai 14 jawaban yang sesuai dari 21 pernyataan mengenai konten LISA. Sedangkan 34 persen responden termasuk ke dalam kategori tinggi dengan jawaban sesuai lebih dari 14 pernyataan, sedangkan sisanya sebanyak 29 persen merupakan responden kategori rendah dengan pernyataan sesuai kurang dari 7. Pada Gambar 26, tingkat pengetahuan 63 persen responden mengenai pengolahan tanah masih rendah dengan 1 jawaban yang sesuai. Sebanyak 11
59
persen responden pengetahuan mengenai pengolahan tanah masuk dalam kategori sedang dengan 2 pernyataan yang sesuai dan hanya 26 persen responden dengan 3 pernyataan yang sesuai. Rendahnya tingkat pengetahuan responden mengenai pengolahan tanah, dikarenakan responden masih menggunakan pola-pola pengolahan tanah yang belum benar, semisal pembakaran jerami setelah panen masih dilakukan oleh responden. Jerami mempunyai kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga pembakaran harus dihindari.
Gambar 26 Tingkat pengetahuan responden menurut sub tema di 4 kecamatan lokasi penelitian Hasil penelitian mengenai pengetahuan responden terhadap konten pengairan menunjukkan bahwa sebagian responden mempunyai pengetahuan lebih baik. Sebanyak 26 persen responden mempunyai dua pernyataan yang sesuai dan 28 persen responden mempunyai 3 pernyataan yang sesuai. Sebanyak 46 persen responden mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah dengan 1 pernyataan yang sesuai. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa responden mempunyai pengetahuan yang baik mengenai teknik pengairan yang baik. Tingkat pengetahuan responden mengenai pembibitan didominasi responden dengan tingkat pengetahuan rendah dengan satu pernyataan yang sesuai. Hanya 24 persen responden dengan tingkat pengetahuan sedang dan 18 persen responden dengan tingkat pengetahuan tinggi mengenai pembibitan yang baik. Pengetahuan responden mengenai pemberian imunisasi pada benih dan usia bibit padi yang siap tanam belum sepenuhnya diketahui dan diterapkan responden. Tingkat pengetahuan responden mengenai penanaman juga didominasi oleh responden dengan tingkat pengetahuan rendah. Sebanyak 44 persen responden mempunyai tingkat pengetahuan rendah, 30 persen sedang, dan 26 persen tinggi. Konten mengenai teknik penanaman dan jarak tanam yang baik belum sepenuhnya dimengerti responden. Hasil yang serupa juga ditunjukkan responden pada pengetahuan responden tentang pemupukan. Sebagian besar (58 persen) responden belum memahami
60
dengan baik cara pemupukan dan dosis pemupukan yang baik. Sebanyak 28 responden mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang dan 14 persen responden telah memahami cara pemupukan dan dosis pupuk yang benar. Pengetahuan responden mengenai pengendalian hama dan penyakit berada pada tingkat sedang dan tinggi (26 persen dan 35 persen) dan 39 persen responden berada pada tingkat rendah. Hal ini berarti pengetahuan responden mengenai pengendalian hama dan penyakit termasuk baik. Pengetahuan mengenai pengendalian hama dan penyakit didapat dari layanan LISA dan juga sumber lain. Adapun pengetahuan sebagian besar responden mengenai pemanenan dan pemasaran termasuk tinggi. Sebanyak 43 persen responden mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai cara pemanenan, teknik penanganan pasca panen, dan pemasaran hasil pertanian. Sebanyak 26 persen responden mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang dan 31 persen rendah. Sikap Sikap responden diukur dari kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA dan kemauan melakukan kegiatan sesuai konten. Responden memberikan pernyataan sikap berkaitan dengan konten yang pernah disebarluaskan oleh LISA, antara lain berkaitan dengan pengolahan tanah, pengairan, pembibitan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan serta pasca panen.
Gambar 27 Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan lokasi penelitian Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (66 persen) mempunyai kecenderungan sikap menyetujui dan mau melakukan kegiatan sesuai dengan konten LISA, 25 persen mempunyai kecenderungan sikap sangat setuju, dan 9 persen responden mempunyai kecenderungan sikap kurang setuju terhadap konten LISA dan kurang mempunyai kemauan untuk melaksanakan kegiatan sesuai konten LISA. Gambar 27 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kecenderungan sikap menyetujui dan mempunyai kemauan untuk melakukan kegiatan sesuai konten LISA. Sikap positif responden ini terjadi pada semua sub
61
tema, antara lain pengolahan tanah, pengairan, pembibitan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan serta pemasaran.
Gambar 28 Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA menurut sub tema di 4 kecamatan lokasi penelitian
Hubungan Keterdedahan terhadap LISA dengan Efektivitas Komunikasi Hasil perhitungan terhadap loading faktor memperlihatkan loading faktor indikator keterdedahan mempunyai nilai lebih besar dibandingkan nilai loading faktor indikator terhadap konstruk yang lainnya. Nilai konstruk frekuensi (Y 1.1) mempunyai nilai 0,438 pada konstruk efektivitas komunikasi, nilai 0,139 pada konstruk faktor eksternal, nilai 0,417 pada konstruk interaksi dengan sumber lain, nilai 0,211 pada konstruk karakteristik, dan nilai 0,915 pada konstruk keterdedahan LISA. Artinya Y1.2 sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah keterdedahan terhadap LISA. Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh perhitungan kontruk kesesuaian konten (Y2.1) senilai 0,649, seperti terlihat pada Tabel 16. Kesesuaian konten sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah keterdedahan terhadap LISA. Hasil pengujian koefisiensi keterdedahan LISA terhadap efektivitas komunikasi sebesar 0.371 dan mempunyai perhitungan t sebesar 3,615 (Tabel 16). Nilai t hitung tersebut lebih besar dari t-tabel 1,96 pada α 0,05 yang berarti bahwa keterdedahan terhadap LISA mempunyai pengaruh nyata kepada efektivitas komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan pesan pendek dapat digunakan untuk kegiatan penyuluhan. Hal ini sejalan dengan temuan Oraegbunam (2009) yang meneliti efektivitas komunikasi media internet untuk melakukan kegiatan konseling. Prajanti et al. (2013) menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi terbukti mempermudah dan mendukung kegiatan penyuluhan oleh penyuluh pertanian. Komunikasi massa melalui telepon seluler efektif untuk mempengaruhi pengetahuan dan sikap penerima. Layanan pesan pendek terbukti
62
mampu untuk meningkatkan pengetahuan penerima dan mengarahkan kecenderungan sikap penerima untuk mengikuti apa yang disampaikan LISA. Layanan pesan pendek terbukti berperan dalam diseminasi informasi pertanian. Prihandoyo (2014) menyatakan bahwa telah terjadi perubahan proses diseminasi informasi di kalangan petani dari cara konvensional menjadi modern dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi yang melibatkan teknologi komputer dan internetnya serta telepon seluler.
Hubungan Interaksi dengan Sumber Informasi Lain dengan Efektivitas Komunikasi Hasil perhitungan loading faktor (Tabel 15) memperlihatkan loading faktor indikator interaksi dengan sumber lain mempunyai nilai lebih besar dibandingkan nilai loading faktor indikator terhadap konstruk yang lainnya. Nilai konstruk interaksi dengan pemuka pendapat (X3.1), interkasi dengan kelompoktani (X3.2), dan interaksi dengan penyuluh pertanian (X3.3) mempunyai nilai masing-masing sebesar 0,600; 0,850; dan 0,637 pada konstruk interaksi dengan sumber lain. Nilai-nilai konstruk pada peubah interkasi dengan sumber lain ini lebih besar dibandingkan nilai konstruk pada peubah lain. Hal ini berarti X 3.1, X3.2, dan X3.3 sesuai untuk menggambarkan/ mewakili peubah interaksi dengan sumber informasi lain. Hasil pengujian koefisiensi interaksi dengan sumber informasi lain terhadap efektivitas komunikasi sebesar 0.174 dan mempunyai perhitungan t sebesar 1,693 (Tabel 16). Nilai t hitung tersebut kurang dari t-tabel 1,96 pada α 0,05 yang berarti bahwa interaksi dengan sumber informasi lain tidak signifikan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi massa melalui telepon seluler terbukti efektif untuk diseminasi informasi. Akan tetapi tidak mungkin komunikasi massa akan efektif berjalan sendiri untuk mengubah pengetahuan dan menggerakkan sikap pengguna tanpa didukung dengan komunikasi interpersonal. Pesan melalui media massa, bersifat terlalu umum dan biasanya hanya berfungsi sebagai pengingat (Kameswari et al. 2011). Tabel 16 menunjukkan bahwa pengaruh interaksi responden dengan sumber informasi lain terhadap efektivitas komunikasi sebesar 0,174. Artinya selain komunikasi massa melalui telepon seluler, pengetahuan dan sikap responden dipengaruhi oleh interaksi tatap muka dengan pemuka pendapat, kelompoktani, dan penyuluh pertanian. Meskipun petani memiliki akses ke berbagai media sumber informasi, petani kebanyakan tetap mengandalkan interaksi tatap muka dengan sumber-sumber lokal, termasuk dengan sesama petani, tokoh masyarakat, tengkulak dan penyuluh pertanian untuk mendapatkan informasi pertanian (Kameswari et al. 2011). Schramm (1984) menyatakan bahwa tidak ada media komunikasi yang efektif untuk memenuhi semua keperluan. Suatu kombinasi media komunikasi akan lebih efektif untuk mencapai tujuan komunikasi. Komunikasi interpersonal merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dalam penggunaan komunikasi massa. Lowery dan De Fleur (1983) komunikasi interpersonal mempunyai pengaruh yang besar dalam mempengaruhi opini khalayak. Komunikasi interpersonal dapat menimbulkan efek perubahan perilaku. Komunikasi massa dapat menyampaikan informasi
63
dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat serta memberikan efek kognitif yang meliputi peningkatan kesadaran untuk belajar dan menambah pengetahuan. Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya (Soekartawi 1988).
64
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. 2. 3.
4.
Tingkat keterdedahan terhadap tips pertanian tergolong tinggi sedangkan tingkat partisipasi dalam layanan tanya jawab interaktif tergolong rendah; Luas lahan merupakan karakteristik yang paling berpengaruh terhadap keterdedahan LISA; Keterdedahan terhadap LISA berpengaruh signifikan terhadap efektivitas komunikasi. Layanan LISA yang berbasis layanan pesan pendek dapat digunakan untuk media penyuluhan pertanian; Komunikasi personal dengan pemuka pendapat, kelompoktani, dan penyuluh pertanian merupakan hal yang diperlukan untuk mendukung komunikasi melalui pesan pendek.
Saran 1.
2.
3.
4. 5.
Hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas layanan informasi pertanian yang berbasis layanan telepon seluler, antara lain memperbanyak konten bertema pemasaran produk pertanian, memperbanyak konten yang dapat mendorong keterlibatan perempuan dalam layanan, menambah frekuensi layanan tip pertanian, dan membuat terobosan inovatif; Untuk perbaikan layanan tanya jawab diperlukan sistem bank data yang memuat permasalahan dan pemecahan masalah pertanian yang didukung dengan tenaga ahli formal maupun informal; Perlu adanya perbaikan platform yang dapat memberikan informasi pemasaran produk pertanian secara cepat, tepat, real time dengan mengembangkan pusat informasi agribisnis; Peran penyuluh pertanian perlu ditingkatkan untuk pengembangan layanan LISA, terutama dalam peran sebagai tenaga ahli lokal; Perlunya dipertimbangkan oleh kelembagaan penyuluhan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota untuk dapat mengadopasi platform layanan LISA untuk dikembangkan di sentra – sentra komoditas unggulan pertanian wilayahnya.
65
DAFTAR PUSTAKA Adamides G, Stylianou A. 2013. ICT and mobile phone use for agricultural knowledge sharing by Cypriot farmers. Agris on-line Paper in Economics and Informatics. Volume V(2): 3-10 Adi RK, Setyowati. 2010. Proses difusi teknologi konservasi lahan kering melalui pemuka pendapat di Kabupaten Bantul. Agritext. Desember (28):117-130. Alawiah R. 2012. Efektivitas media komunikasi bagi petani padi di Kecamatan Gandus Kota Palembang [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Agustini. 2009. Hubungan karakteristik dan motif dengan efek media (kasus ibu rumah tangga pendengar acara pro dokter di pro 2 LPP RRI Jakarta) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Aker JC. 2011. Dial “A” for Agriculture: A Review of Information and Communication Technologies for Agricultural Extension in Developing Countries. CGD Working Paper 269. Washington (US): Center for Global Development. [Diunduh 2015 Desember 30]. Tersedia pada http://www.cgdev.org/content/publications/detail/1425497 Ancok D. 1989. Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian. di dalam Singarimbun, M dan S. Effendi. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Ardianto E, Komala L, Karlinah S. 2012. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Edisi Revisi Cetakan ketiga. Bandung (ID): Rafika Offset Asmirah. 2006. Keterdedahan iklan televisi dan perilaku khalayak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Botsiou M, Dagdilelis V. 2013. Aspects of incorporation of ICT in The Greek agricultural enterprises: the case of a prefecture. Procedia Technology .8:387- 396 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik [BPS Kabupaten Karawang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2013. Potret Usaha Pertanian Kabupaten Karawang menurut Sub Sektor Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pendapatan Usaha Rumah Tangga Pertanian 2013. Karawang (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik [BPS Kabupaten Karawang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2014. Karawang dalam Angka 2014: Karawang in Figures. Karawang (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang Browning LD. 2007. Information and Communication Technology in Action: Linking Theory and Narratives of Practices. New York (US): Routledge Budiono FL. 2013. Persepsi dan harapan pengguna terhadap layanan data pada smartphone di Jakarta. Buletin Pos dan Telemunikasi. 11(2):93-108 Burke K. 2010. The impact of internet and ICT uses among sme agribusiness growers and producers. Journal of Small Business and Enterpreneurship. 23(2):173-194 DeVito, JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi 5. Jakarta: Profesional Book
Dewi F. 2002. Persepsi anggota kelompoktani terhadap peranan kelompoktani dalam memenuhi kebutuhan usahatani padi, kasus petani padi sawah di Kecamatan Aluh-aluh, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Effendy OU. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Edisi ke-14. Bandung: Rosdakarya Erwiantono. 2004. Hubungan antara karakteristik komunikasi dan sikap komunitas terhadap perusahaan (kasus pertambangan timah di Kabupaten Bangka Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Flor AG. 2008. Scoping Study: ICT and Rural Livelihoods. International Development Research Center. New Delhi. [Diunduh 2015 April 4]. Tersedia pada https://www.researchgate.net/publication/278038468_scoping_study_on_ict _and_rural_livelihoods_southeast_asia_and_the_pacific Francis J, Addom BK. 2014. Modern ICTs and rural extension: Have we reached the tipping point?. [Diunduh 2015 Desember 30]. Tersedia pada http://www.rural21.com/uploads/media/rural2014_01-S22-24.pdf Hashima F, Amir Z, Razak NA. 2011. Empowering rural women entrepreneurs with ict skills: an impact study. Procedia Social and Behavioral Sciences. 15:3369-3373 Ikhwan A. 2014. Mobile Technology for Agricultural and Rural Development. Makalah disampaikan pada Seminar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Tanggal 16 September 2014 Indra R. 2011. Efektivitas komunikasi kelompoktani dalam mewujudkan keberdayaan petani di Kabupaten Aceh Singkil [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Isaac ME. 2012. Agricultural information exchange and organizational ties: the effect of network topology on managing agrodiversity. Agricultural Systems.109:9-15 Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama Kameswari VLV, Kishore D, Gupta V. 2011. ICTs for agricultural extension: a study in the Indian Himalayan Region. EJISDC. 48(3): 1-12 Kari HK. 2007. Availability and accessibility of ICT in the rural communities of Nigeria. Electronic Library. 25(2):363-372 [Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Kilenthong WT, Odton P. 2014. Access to ICT in rural and urban Thailand. Telecommunications Policy 38:1146–1159 Kituyi KA, Adigun .2008. Analyzing ICT use and access amongst rural women in Kenya. International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT). 4 (4) :127-147 Kumar J. 2012. Information and communication technology in agriculture and rural development. Asia Pacific Journal of Management & Entrepreneurship Research. Vol 1:193-209 Lowery S, De Fleur ML. 1983. Milestones in Mass Communication Research: Media Effect. New York (US): Longman Inc
Lubis DP. 2010. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. [Diunduh 2015 April 4]. Tersedia pada http://www.academia.edu/590798/Pemanfaatan_Teknologi_Informasi_dan_ Komunikasi_Mendukung_Pembangunan_Pertanian_Berkelanjutan ------------. 2012. Agricultural extension in Indonesia: current status and possible ways to meeting emerging challenges. [Diunduh 2015 April 4]. Tersedia pada http://www.syngentafoundation.org/_temp/lubis_indonesia_agricultural_ext ension Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID): UNS Press Martin BL. 2010. Mobile phones and rural livelihoods: an exploration of mobile phone diffusion, uses, and perceived impacts of uses among small to medium size farm holders in Kamuli District, Uganda. [Thesis]. Iowa(US): Iowa State University Moekijat. 1993. Teori Komunikasi. Bandung (ID): Mandar Maju Moghaddam BK, Abadi AK. 2013. Factors affecting ICT adoption among rural users: a case study of ict center in Iran. Telecommunications Policy. 37:1083-1094 Mohammed AH. 2012. Empowering the online education for rural community through correlated content development. Procedia Social and Behavioral Sciences. 67:16-25 Moon SJ. 2013. Awareness of the farmers about benefit of using information and communication technology (ICT) towards increased farm productivity in Bangladesh. [Thesis]. Norwegia (NO): Norwegian University of Life Sciences Mulyandari RSH. 2011. Cyber extension sebagai media komunikasi dalam pemberdayaan petani sayuran [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Narula SA, Arora S.2010. Identifying stakeholders’ needs and constraints in adoption of ICT services in rural areas: the case of India. Social Responbility Journal. 6:222-236 Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta(ID): Ghalia Indonesia Nugroho DN. 2011. Efektivitas komunikasi program tangggung jawab sosial perusahaan melalui bina lingkungan komunikasi terhadap tokoh masyarakat sekitar [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada Nuryanti S, Swastika DKS. 2011. Peran kelompoktani dalam penerapan teknologi pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Desember, 29 (2):115-128 Nuryanto BG. 2008. Kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ogutu SO, Okello JJ, Otieno DJ. 2014. Impact of information and communication technology-based market information services on smallholder farm input use and productivity: the case of Kenya. World Development. 64:311-321
Okafor GO, Malizu C. 2013. New media and sustainable agricultural development in Nigeria. New Media and Mass Comm. 20:66-73 Olaniyi OA, Adetumbi SI, Adereti MA. 2013. Accessibility and relevance of information and communication technologies (ICT) among cassava farmers in Nigeria. African Journal of Agricultural Research. 8(35):4514-4522 Oraegbunam NM. 2009. Applying information and communication technology in counseling practice. Procedia Social and Behavioral Sciences. 1:1749-1752 Prajanti SDW, Djuniadi, Soesilowati E. 2013. Evaluation on benefits and development of information and communication technology (ICT) to improve the performance of agricultural extension in Central Java. International Journal of Organizational Innovation. October 6(2):243-253 Prihandoyo WB. 2014. Efektivitas diseminasi informasi pertanian melalui media telepon genggam pada petani sayuran di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Cetakan ke-24. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya Rogers EM, Shoemaker FF. 1971. Communication of Innovations. London(UK): The Free Press Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovation. Fifth Edition. New York (US): The Free Pr Saadah, Sulili A, Deserama RB. 2011. Peranan penyuluhan pertanian terhadap pendapatan petani yang menerapkan sistem tanam jajar legowo. Jurnal Agrisistem. Desember 7 (2): 91-94 Salehan M, Negahban A. 2013. Social networking on smartphones: when mobile phones become addictive. Computers in Human Behavior. 29:2632–2639. Schramm W. 1984. Media Besar Media Kecil: Alat dan Teknologi untuk Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press Segoro W. 2011. Pengaruh persepsi kualitas pelayanan, faktor penambat dan kualitas hubungan relasional terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan: suatu penelitian pada penyedia jasa telepon seluler di Jawa Barat. IncomTech, Jurnal Telemunikasi dan Komputer. 2(2):181-197 Shaijumon CS. 2013. Role of ict institutions in enhancing productivity, knowledge and innovativeness of farmers: a case study of ISRO village rosource centers. Economic Affair: 59(1):63-74 Silalahi U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): Refika Aditama Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Edisi revisi. Jakarta(ID): LP3ES Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): UI Pres Sumaryo. 2006. Peran media massa dalam penyebaran informasi pertanian di kalangan petani sayuran di Lampung. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Syatir. 2014. Keterdedahan dan pemanfaatan informasi oleh petani sayuran [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Tadesse G, Bahiigwa G. 2015. Mobile phones and farmers marketing decisions in Ethiopia. World Development. 68:296-307 Tas EM. 2011. ICT education for development - a case study. Procedia Computer Science. 3:507-512 Tubbs SL, Moss S. 2005. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Editor: Dedy Mulyana. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya
Yueh HP, Tzy-Ling Chen, Li-an Chiu, Wei-Chien Lin. 2013. Exploring factors affecting learner’s perception of learning information and communication technology: a hlm analysis of a national farmers training program in Taiwan. Educational Technology and Society. 16(1): 231-242 Zulvera. 2002. Efektivitas sekolah lapang pengendalian hama terpadu dalam penyuluhan pertanian [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Zahedi SR, Zahedi SM. 2012. Role of information and communication technologies in modern agriculture. International Journal of Agriculture and Crop Sciences. 4(23):1725-1728
LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Reliabilitas
Faktor eksternal Case Processing Summary N Cases
%
Valid Excludeda Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha 0.705
11
Item Statistics Mean
Std. Deviation
N
X2201
3.3667
.61495
30
X2202
3.4000
.56324
30
X2203
3.3667
.49013
30
X2204
3.2667
.44978
30
X2205
3.2333
.43018
30
X2206
3.2000
.40684
30
X2207
1.7333
1.52978
30
X2101
3.2000
.48423
30
X2102
3.2000
.48423
30
X2103
3.0667
.52083
30
X2104
3.2333
.43018
30
Kesesuaian Konten Case Processing Summary N Cases
%
Valid Excludeda Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha 0.876
15
Item Statistics Mean
Std. Deviation
N
Y1201
3.2667
.78492
30
Y1202
2.8333
1.23409
30
Y1203
3.2000
.84690
30
Y1204
3.0333
1.15917
30
Y1205
3.4333
.50401
30
Y1206
3.4333
.50401
30
Y1207
2.7000
1.05536
30
Y1208
2.3667
1.15917
30
Y1209
1.4000
1.58875
30
Y1210
.9333
1.36289
30
Y1211
1.1333
1.52527
30
Y1212
1.1667
1.57750
30
Y1213
1.2667
1.72073
30
Y1214
1.0667
1.59597
30
Y1215
.6333
1.18855
30
Sikap Case Processing Summary N Cases
Valid
%
a
Excluded Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
Reliability Statistics Cronbach's N of Items Alpha 0.704
21
Item Statistics Mean
Std. Deviation
N
Y2201
2.7667
1.07265
30
Y2202
3.0333
1.03335
30
Y2203
2.7667
1.19434
30
Y2204
1.8667
1.00801
30
Y2205
2.2333
.93526
30
Y2206
2.2000
.92476
30
Y2207
3.3000
.59596
30
Y2208
3.1667
.79148
30
Y2209
1.9667
.99943
30
Y2210
2.6333
1.18855
30
Y2211
3.2333
1.10433
30
Y2212
2.6000
1.16264
30
Y2213
3.3000
1.26355
30
Y2214
2.4000
1.13259
30
Y2215
1.8333
.91287
30
Y2216
2.8667
.89955
30
Y2217
3.2000
1.03057
30
Y2218
2.9333
1.20153
30
Y2219
2.9000
1.09387
30
Y2220
2.9000
.71197
30
Y2221
2.2333
.97143
30
Lampiran 2 Uji Validitas Layanan operator telepon seluler X22
Keterangan
X2201
0.610**
Valid
X2202
0.612**
Valid
X2203
0.573**
Valid
X2204
0.616**
Valid
X2205
0.385*
Valid
X2206
0.685**
Valid
X2207
0.784**
Valid
*.
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**.
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Layanan LISA X21
**.
Keterangan
X2101
0.746**
Valid
X2102
0.584**
Valid
X2103
0.784**
Valid
X2104
0.615**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Kesesuaian TIPS pertanian Y12
**.
Keterangan
Y1201
0.667**
Valid
Y1202
0.820**
Valid
Y1203
0.662**
Valid
Y1204
0.823**
Valid
Y1205
0.468**
Valid
Y1206
0.613**
Valid
Y1207
0.770**
Valid
Y1208
0.676**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Kesesuaian tanya jawab interaktif Y12
**.
Keterangan
Y1209
0.828**
Valid
Y1210
0.869**
Valid
Y1211
0.852**
Valid
Y1212
0.818**
Valid
Y1213
0.836**
Valid
Y1214
0.892**
Valid
Y1215
0.721**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Pengolahan lahan Y22
**.
Keterangan
Y2201
0.915**
Valid
Y2202
0.651**
Valid
Y2203
0.821**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Pengairan Y22
**.
Keterangan
Y2204
0.554**
Valid
Y2205
0.495**
Valid
Y2206
0.580**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Pembibitan Y22
**.
Keterangan
Y2207
0.622**
Valid
Y2208
0.762**
Valid
Y2209
0.617**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Penanaman Y22
**.
Keterangan
Y2210
0.809**
Valid
Y2211
0.742**
Valid
Y2212
0.632**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Pemupukan Y22
**.
Keterangan
Y2213
0.752**
Valid
Y2214
0.674**
Valid
Y2215
0.675**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Pengendalian hama penyakit Y22
**.
Keterangan
Y2216
0.734**
Valid
Y2217
0.788**
Valid
Y2218
0.859**
Valid
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Panen dan Pascapanen Y22
Keterangan
Y2219
0.671**
Valid
Y2220
0.414*
Valid
Y2221
0.640**
Valid
*.
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
**.
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)