LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : Subkhan Masykuri 211 11 023
JURUSAN AHWAL AL-SYAKSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2016
1
2
NOTA PEMBIMBING Lampiran
: 4 Eksemplar
Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: Subkhan Masykuri
Nim
: 211 11 023
Fakultas/Jurusan
: Fakultas Syari‟ah/Ahwal Al-Syakshiyyah :“Larangan pernikahan sesuku pada suku melayu dalam perspektif hukum islam (Studi kasus di kecamatan Perhentian raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau)”
Judul
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas agar segera dimunaqosyahkan. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Salatiga, Oktober 2016 Pembimbing
Muh. Hafidz, M.Ag. NIP.19730801 200312 1003
3
4
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Subkhan Masykuri
NIM
: 211 11 023
Fakultas
: Syari‟ah
Jurusan
: Ahwal Al-Syakshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Salatiga, 22 September 2016
Subkhan Masykuri 211 11 001
5
6
MOTTO
“Bila Kamu Tak Tahan Lelahnya Belajar, Maka Kamu Akan Menanggung Perihnya Kebodohan (Imam Syafi’i)
7
PERSEMBAHAN
Karya Ilmiah berupa Skripsi ini ku persembahkan kepada : 1. Al-Magfurllah Simbah KH. Zoemri RWS beserta Keluarga yang mendidikku di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah, untuk menjadi orang yang lebih baik. 2. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai. 3. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu mendukung dan membimbing setiap langkahku. 4. Teman-temanku yang selalu menyemangatiku, Rohman, Arba‟, Lasin, Dek Iis 5. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Salatiga.. 6. Semua santri Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah. 7. Sahabat-sahabati Gerakan Angkatan 2011 (GANAS) PMII Kota Salatiga. 8. Keluarga besar COBRA Salatiga 9. Bolo Kurowo STAR C, Bang Jack, Fajar, Uut, Weni, Udin, Dina, Eko, Aji, Romi
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ahwal Al-Syakshiyyah di Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal AlSyakshiyyah IAIN Salatiga. 4. Muh Hafidz, M.Ag, Selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dalam membimbing penulis. 5. Evi Ariyani, M.H selaku dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di IAIN Salatiga. 6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu. 7. Bapak Syahid Ridwan, Bapak Abdul Aziz, Bapak Ahmad Jalaluddin, Bapak Dzulfiddin, Iis Astriliani, Nelsum Febriani yang telah memberikan
9
sambutan yang hangat, membantu, dan memberikan informasi dalam penelitian. 8. Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Al-Magfurllah Simbah KH M Zoemri RWS beserta keluarga yang membina, mendidik, mencurahkan ilmu kepada penulis dengan penuh tulus, ikhlas dan sabar, dalam menuntut ilmu di pesantren. 9. Seluruh Asatidz dan Asatidzah Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah yang memberikan memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan. 10. Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang telah berkorban dalam segala hal demi kebahagiaan putranya, serta terima kasih atas ridho, do‟a, cinta dan kasih sayangnya sehingga putranya bisa menyelesaikan studi S1. 11. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu memberikan semangat dalam kuliah di IAIN Salatiga 12. Teman-teman Ahwal Al-Syakshiyyahangkatan 2011 IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan. 13. Semua santri PPTI Al Falah yang memberikan semangat dalam penulisan skripsi. 14. Teman-teman COBRA Salatiga 15. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam penulisan skripsi ini.
10
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya kepada penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Dan pada akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Salatiga, 22 September 2016 Penulis
Subkhan Masykuri NIM 211 11 023
11
ABSTRAK Subkhan Masykuri. 211 11 023. “Larangan Pernikahan Sesuku pada Suku Melayu dalam Perspektif Hukum Islam(Studi kasus di Kecamatan Perhentian RajaKabupaten kampar Provinsi Riau)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Muh Hafidz, M.Ag. Kata kunci : Larangan Pernikahan Sesuku Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang lakilaki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal). Kedua Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan perempuan dari lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga system, suku melayu termasuk pada system perkawinan Exogami. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan langsung ke masyarakat sehingga diperoleh data yang akurat, jelas dan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara bebas terpimpin, observasi dan dokumentasi. Kemudian setelah seluruh data yangdibutuhkan terkumpul maka selanjutnya dianalisis dengan menilai realita yang terjadi di masyarakat apakah sesuai dengan hukum-hukum yang ada pada Agama Islam. Larangan pernikahan sesuku yang ada pada suku melayu Riau telah ada sejak zaman dahulu ketika penghulu adat dan para luluhur telah mengucapkan Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat suku melayu tidak ada yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku karena mereka takut melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang akan dating dikemudian harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku maupun anak cucu mereka nantinya. Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa larangan pernikahan sesuku tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam karena didalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan larangan pernikahan sesuku atau saudara sesuku tidak termasuk kedalam orangorang yang dilarang/haram untuk dinikahi, jadi hukum dari pernikahan sesuku adalah Mubah (boleh) tetapi, alangkah baiknya pernikahan sesuku/kerabat dekat untuk dihindari karena akan berdampak pada kualitas keturunan yang kurang baik.
12
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................
i
NOTA PEMBIMBING ..................................................................
ii
PENGESAHAN ..............................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................
iv
MOTTO .........................................................................................
v
PERSEMBAHAN .........................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................
vii
ABSTRAK .....................................................................................
x
DAFTAR ISI .................................................................................
xi
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................. B. Rumusan Masalah........................................... C. Tujuan Penelitian ...........................................
BAB II
1 4 4
D. Manfaat Penelitian .........................................
4
E. Penegasan Istilah .............................................
5
F. Metodologi Penelitian .....................................
6
G. Sistematika Penulisan ...................................
11
: PERNIKAHAN DAN LARANGAN PERNIKAHAN
13
DALAM ISLAM A. Telaah Pustaka ..............................................
13151923 25
B. Pengertian dan Hukum Pernikahan……….... C. Tujuan Pernikahan………………………...... D. Rukun dan Syarat Pernikahan…………….... E. Wanita-wanita yang Haram Dinikahi dan Pernikahan yang Dilarang dalam Islam………………… BAB III :PRAKTEK PERNIKAHAN DALAM SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR A.
Deskripsi wilayah ………….…………………
B.
Keadaan pendidikan dan kehidupan beragama
29 30 32
masyarakat.
35
C.
Keadaan sosial budaya…………………………
37
D.
Adat istiadat dalam suku melayu ………….....
41
E.
Factor-faktor dilarangnya pernikahan sesuku..
F.
Proses pernikahan adat suku melayu…….......
BAB IV:LARANGANPERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A.
Analisis pernikahan sesuku pada suku Melayu di 43 Kec. Perhentian Raja…………………………
B.
Analisis pernikahan sesuku ditinjau dari perspektif
48
14
hukum Islam……………………………......... BAB V: PENUTUP A.
Kesimpulan ...................................................
53
B.
Saran .............................................................
55
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Suatu pernikahan bermula dari adanya rasa kasih dan sayang yang sangat besar antara dua orang individu berlainan jenis. Bermula dari pernikahan itulah kemudian terjadi perkembangbiakan manusia di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 1 berikut ini:
Artinya : Hai manusia, bertaqwalah kepada tuhan kemu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah telah memperkembang biakan lakilaki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (prliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Untuk
memperbanyak
jumlah
kaum
muslimin
dan
menjaga
kelangsungan hidup umat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus di muka bumi, serta untuk mengendalikan dorongan nafsu amarah yang selalu mengajak manusia berbuat kejahatan, maka Rasulullah mendorong, mengarahkan dan mengajarkan kepada kawula muda yang sudah berkemampuan untuk menikah sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:
16
“Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mempunyai kemampuan, maka segeralah menikah. Karena menikah itu dapat menahan pandangan mata dan memelihara kehormatan dan barang siapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa dapat mematahkan rongrongan nafsu birahi”. (HR. Bukhari dan Muslim) Di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan jelas menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan oleh kedua belah pihak supaya tercapainya tujuan tersebut. Tidak terlepas dari semuanya, untuk menjalani kehidupan berumah tangga tidak kalah pentingnya dengan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri dalam suatu masyarakat yang akan ditempatinya, yang tentunya akan terikat dengan ketentuan atau tatanan sosial budaya yang berlaku. Pada setiap daerah mempunyai tradisi dan system sosial budaya yang berbeda-beda, realitas tata tertib adat pernikahan antara masyarakat adat yang satu dengan yang lain, antara suku satu dengan suku yang lain, antara beragama islam satu dengan yang lain, begitu juga perbedaan antara pernikahan adat perkotaan dengan pedesaan. Adat istiadat yang sudah ada dan menjadi hukum adat setempat akan lebih kuat, karena bagi pelanggarnya akan dikenai sanksi adat yang berlaku ditempat tersebut.
17
Seperti yang terjadi di dalam masyarakat atau beberapa adat bahwa seseorang yang memiliki suku bangsa yang sama dilarang untuk melakukan sebuah pernikahan, atau suatu suku satu dengan suku yang lain dilarang untuk menjalin Hubungan pernikahan. Hal-hal demikian tidak diperbolehkan, bahkan larangan keras, karena jika terjadi hal demikian menurut kepercayaan setempat akan terjadi sebuah bencana yang akan menimpa pelaku pernikahan, anak, cucu, bahkan akan berdampak buruk bagi kampung/desa. Dalam hukum Islam Pernikahan dapat dilakukan kepada siapapun seorang muslim dengan syarat tidak ada hubungan makhrom antara laki-laki dan perempuan dan dalam pernikahan tersebut tidak ada unsur paksaan. Sedangkan pernikahan dalam suku melayu, tidak diperbolehkan apabila menikah dalam satu suku meskipun tidak ada hubungan makhrom antara pihak
laki-laki dan perempuan. Menurut kepercayaan warga setempat,
apabila terjadi pernikahan satu suku, maka akan menimbulkan suatu bahaya. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis masih dalam satu marga dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, bagi keberlangsungan suami dan istri tersebut dalam proses berumah tangga, juga bagi masyarakat Melayu dalam satu suku tersebut. Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukallaf seorang muslim sebagai pelakunya. Kalau ia (mukallaf) sudah dalam kondisi yang sangat memerlukan dan berkemampuan, maka hukumnya wajib. Kalau ia (mukallaf) tidak mampu, maka hukumnya menjadi makruh, jika ia berniat untuk menyakiti istri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asli dari nikah
18
adalah mubah atau diperbolehkan. Nikah hukumnyasunat bagi orang yang memerlukannya. Dari latar belakang tersebut maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pernikahan dalam suku melayu dengan judul Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayu Dalam Perspektif Hukum Islam Studi Kasus Di kecamatan Perhentian Raja. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana Praktik pernikahan pada suku Melayu?
2.
Mengapa pernikahan Sesuku pada Suku Melayu Di Riau dilarang?
3.
Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Larangan Pernikahan Sesuku pada suku Melayu di Riau?
C. Tujuan Penelitian Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut di atas, dan penelitian yang dilakukan maka penulis sebutkan tujuan penelitian. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui praktik pernikahan pada suku Melayu
2.
Untuk menjelaskan Faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Riau
3.
Untuk mengetahui pernikahan pada suku Melayu ditinjau dalam perspektif hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian 1.
Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Pernikahan sesuku.
19
2.
Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kususnya Pernikahan sesuku.
E. Penegasan Istilah Untuk memudahkan kejelasan dari judul skripsi ini, penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang dipakai sehingga dapat diketahui gambaran awal kemana arah tujuan skripsi ini dibuat, sebagai berikut: 1. Nikah Nikah berasal dari bahasa Arab nakakha, yankikhu artinya kawin atau nikah. Adalah suatu ikatan antera laki-laki dan perempuan yang sah baik menurut hukum Islam maupun undang-undang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia nikah dapat diartikan Ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.1 2. Marga/Sesuku Adalah suatu kelompok garis keturunan yang sering disebut dengan clan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia marga adalah kelompok kekerabatanyang eksogamunilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.2 3. Suku Adalah
kesatuan
social
yang
terjadi
karena
perbedaan
letakgeografis tempat tinggal, bahasa maupun kebudayaanya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia Suku dapat diartikan kesatuan social yang
1
Departemen Pendidikan Nasional.2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.hlm. 782. 2
Ibid. hlm 775
20
dapat dibedakan dari kesatuan social lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa.3 F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, agar data penulis mendapatkan data yang akurat guna menyakinkan rumusan masalah di atas, maka penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a.
Pendekatan Penelitian 1) Pendektan Sosiologis Adalah pendekatan yang dasar tujuannya permasalahanpermasalahan yang ada dalam masyarakat, yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan secara umum dan juga pernikahan dalam satu marga. 2) Pendekatan Yuridis Adalah pendekatan yang berorientasi pada gejala-gejala hukum yang bersifat normatif, lebih banyak bersumber pada data kepustakaan dan hukum adat yang berlaku pada suku melayu. Dengan pendekatan ini diharapkan sebagai usaha untuk mempelajari ketentuan hukum Islam maupun hukum adat.
b.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
3
kualitatif
adalah
penelitian
yang
menggunakan
Ibid. hlm 825
21
pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan dan lain-lain.4 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang sangat penting, karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Sedangkan status penelitian dalam hal pengumpulan data, diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dan informan. Dalam penelitian yang dilakukan ini, peneliti hanya sekedar mengumpulkan data melalui wawacara dan observasi. Disini peneliti tidak termasuk dalam suku melayu. 3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Perhentian Raja (Pantai Raja), kecamatan kampar kiri hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Peneliti memilih lokasi tersebut karena adat istiadat di desa tersebut masih kental.
4.
Sumber Data Data diperoleh dari informan yakni Ninik Mamak atau kepala Suku Melayu. Selain itu juga para masyarakat yang bermukim di Pekanbaru yang masih mempunyai garis keturunan Suku Melayu.
5. Prosedur Pengumpulan Data
4
Lexi j Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
hal. 6.
22
Untuk mengumpulkan data guna mendapatkan keterangan yang jelas mengenai obyek yang diteliti, maka penulis menggunakan hal-hal berikut: a.
Wawancara (Interview) Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri data menggunakan wawancara dengan tetap berpijak pada catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga masih memungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara dilakuka.5 Wawancara ini dilakukan kepada kepala adat dan warga suku melayu asli Riau serta tokoh adat.
b.
Observasi Observasi adalah suatu bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukur dan mencatat sesuai prosedur yang berstandar.6 Dalam penelitian yang kami lakukan, peneliti akan mengumpulkan data dari kepala adat dan melihat secara langsung warga suku melayu yang melakukan pernikahan satu marga ataupun yang melakukan pernikahan dengan lain marga.
6.
Analisis Data
5
Sutrisno Hadi. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. hlm. 75. 6
Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian Jakarta:Rineka Cipta. hlm. 46.
(Suatu Pendekatan Praktek).
23
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksiabstraksi
teoritis
terhadap
informasi
lapangan,
dengan
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang terus-menerus secara simultan sepanjang proses penelitian.7
Metode
berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan pada dasar-dasar yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang pada hakikatnya merupakan jawaban atas permasalahan.8 Dalam penelitian ini, penulis akan meninjau lebih jauh larangan pernikahan satu marga pada suku melayu dalam perspektif hukum Islam. Karena menurut peneliti pernikahan satu marga tersebut dilarang sedangkan hukum Islam diperbolehkan. 7.
Pengecekan Keabsahaan Data 7
Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. hlm. 154. 8
Hadari Nawawi dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prss. hlm. 213.
24
Peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber sebagai teknik untuk mengeck keabsahan data. Menurut Moleong dalam bukunya yang dikutip dari Patton, Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada dalam penelitian kualitatif, hal itu dapat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.9 8.
Tahap-Tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut: a.
Tahap Sebelum Lapangan Yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian, seperti peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang Suku Melayu, Adat istiadat peraturan Suku Melayu, penyusunan proposal, menetapkan fokus penelitian dan lain-lain.
b.
Tahap Lapangan Yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan, melakukan observasi.
c.
Tahap Analisa Data
9
Moleong, Op. Cit., hlm.330.
25
Yaitu ketika semua data telah terkumpul dan dirasa cukup oleh peneliti, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek yang diteliti. d.
Tahap Penulisan Laporan Yaitu setelah semua data telah terkumpul, dianalisis kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, dan yang terahir dilakukan penulisan hasi penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan skripsi.
G. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai judul diatas, maka akan dirumuskan sistematika sebagai berikut: Bab pertama pendahuluan,
yang merupaakan abstraksi dari
keseluruhan isi skripsi, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, bagian ini menjelaskan tentang pernikahan dan larangan pernikahan dalam Islam yang meliputi pengertian dan hukum pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, wanita yang haram untuk dinikahi dan pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam. Bab ketiga menguraikan tentang praktek pernikahan dalam suku Melayu di kecamatan Perhentian raja, kabupaten Kampar yang meliputi lima sub bab. Sub bab yang pertama deskripsi wilayah Kecamatan Perhentian raja.
26
Sub kedua berisikan keadaan pendidikan dan kehidupan beragama masyarakat kemudian pada sub bab ketiga menjelaskan tentang keadaan Sosial budaya yang ada pada suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja. bab yang keempat yaitu adat istiadat suku Melayu yang meliputi Faktorfaktor dilarangnya pernikahan Sesuku dan tata cara proses pernikahan Sesuku pada Suku Melayu. Bab keempat merupakan analisis pernikahan suku melayu yang meliputi analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu dan analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu ditinjau dari perspektif hukum Islam. Bab kelima merupakan penutup dari penyusunan skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum islam khususnya larangan pernikahan sesuku di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten kampar Riau.
27
BAB II PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Telaah Pustaka Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Khakim seorang mahasiswa
Fakultas Syariah IAIN Salatiga, beliau menganalisis
“Fatwa larangan nikah antar Santri di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an (BUQ) Gading, Desa Duren, kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang”. Beliau menjelaskan tentang pandangan santri, alumni dan masyarakat sekitar Pondok Pesantren tentang larangan pernikahan antar santri tersebut. Banyak dari mereka menaati aturan atau larangan tersebut dikarenakan takut dengan Guru serta tidak manfaatnya ilmu dikemudian hari. Tetapi yang menjadi alasan terkuat tidak dibolehkannya pernikahan antar santri adalah, Seluruh santri BUQ Gading dianggap menjadi satu keluarga yang dalam konsep Mahrom dilarang menikah.10 Penelitian
yang
dilakukan
olehAdini
Soraya
yang
berjudul
“Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Kasang Kabupaten Padang Pariaman”. Dalam skripsi tersebut beliau menjelaskan tentang adat minang kabau yang menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku yang Serumpun. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis Ibu, maka suku Serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis Ibu” yang disebut 10
Lukmanul Khakim. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Salatiga: STAIN Salatiga. Hlm. 84.
28
juga dengan istilah “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”. Dan dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendikiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minangkabau dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian Serumpun yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minangkabau. Beliau menjelaskan “pengertian serumpun disamakan dengan Sesuduik. Yang dimaksudkan dengan Sesuduik adalah satu kelompok dari beberapa Suku. Seperti Suduik nan5, terdiri dari 5 (lima) suku yaitu Suku Jambak, Suku Pitopang, Suku Kutianyir, Suku Salo dan Suku Banuhampu. Kelima suku ini dianggap Serumpun, sehingga antara kelima suku ini tidak boleh melakukan pernikahan. Kalau sampai terjadi sebuah Perkawinan maka akan dikenai sanksi berupa dibuang sepanjng adat karena dianggap sebagai perkawinan endogamy atau perkawinan didalam serumpun sendiri.11 Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anif Khusnawati yang berjudul “Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam.” Dalam skripsinya dijelaskan adat yang melarang pernikahan antara saudara sepupu pancer wali tidak termasuk dalam orang-orang yang haram untuk dinikahi menurut Al-qur‟an dan Hadis. Masyarakat mempunyai keyakinan terhadap buruknya keturunan dari hasil pernikahan tersebut. Sepupu pancer wali yaitu anak dari paman/bibi baik dari ayah maupun ibu,
11
Adini Soraya. 2010. Pemberian Sanksi Adat terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Kasang Kabupaten Padang Pariaman. Pekanbaru: Universitas Islam Riau. Hlm. 79
29
kedudukannya sama dengan mahram, tidak batal wudhu jika bersentuhan, jika terjadi pernikahan maka dilakukan fasakh nikah.12 Dari kajian yang telah kami lakukan bahwa karya-karya skripsi tersebut berbeda dengan penelitian ini, karena dalam penelitian ini penulis akan menitik beratkan pada Suku Melayu tepatnya di Daerah kota Pekanbaru, Riau.
B. Pengertian Pernikahan dan Hukum Pernikahan Pernikahan adalah sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu pernikahan menjadi sebuah upacara yang agung dan sakral. Menurut Imam Syafi‟i13, pernikahan adalah akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Menurut Imam Hanafi yaitu akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara‟.14 Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
12
Anif Khusnawati, 2007, Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Hlm. 95 13 Abdul Aziz Dahlan, 2001, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta: ichtiar Baru van Hoeve, hal. 132 14 Ibid., Hlm. 133
30
keluarga
(rumah
tangga)
yang
bahagia
dan
kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Slamet Abidin memberikan makna pernikahan sebagai suatu antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.15 Hukum asal pernikahan adalah mubah, tetapi dapat berubah sesuai dengan keadaan pelakunya, bisa menjadi wajib, sunat, makruh ataupun haram.16 Hukum pernikahan asalnya adalah mubah.Mubah merupakan hukum asal pernikahan, yaitu suatu perbuatan yang diperbolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak juga diharamkan. Bagi laki-laki yang terdesak alasan-alasan mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah. Menurut ulama Hanbali mubah hukumnya, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah. Hukum
pernikahan
dapat
berubah
menjadi
wajib,
yaitu
apabilaSeseorang yang sudah mampu dari segi biaya dan nafsunya sudah sangat mendesak untuk menikah, jika tidak menikah dikhawatirkan dirinya
15
Slamet Abidin dan H. Aminuddun, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 11-12 16 Ibid., Hlm. 33
31
akan terjerumus dalam lembah perzinaan, untuk menjauhkan dirinya dariperbuatan haram maka wajib baginya untuk menikah. Imam Qurtuby berkata, “bujangan yang sudah mampu menikahdan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan dirinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya mendesak, sedang ia tidak mampu untuk menafkahi istrinya maka Allah nanti akan melapangkan rezekinya.” Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa, “menukah itu wajib bagi yang menyukainya dan takut terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.” Hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah. Melakukan pernikahan hukumnya sunnah, apabila orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk
menikah,
tetapi
jika
ia
tidak
menikah
tidak
dikhawatirkanakan terjerumus ke lembah perzinaan. Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus ke lembah perzinaan.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu Sunnah bagi orang yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia mampumelakukan kewajiban dengan memberi rizki yang halal serta mampu melakukan hubungan seksual.
32
Sedangkan ulama Syafi‟iyah mengangap bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang melakukanya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan. Hukum pernikahan dapat menjadi makruh. Melakukan pernikahan hukumnya makruh bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikanya karena ia kaya, ataupun ia mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. Menurut ulama malikiyyah, menikah itu hukumnya makruh bagi seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibanya kepada istrinya.Sedangkan menurut ulama syafiiyah, menikah itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya. Hukum pernikahan dapat menjadi haram. Melakukan pernikahan hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan serta tidak mempunyau tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan melenyarkan dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seorang menikah dengan tujuan menelatarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain. Al-Qurtuby menyatakan bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istrinya dan membayar maharnya, serta tidak mampu memenuhi
33
hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepadanya atau sampau datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hal istrinya. Begitu juga kalau karena suatu hal ia menjadi lemah tidak mampu mengauli istrinya maka ia wajib menerangkan dengan terus terang agar calon isteri tidak tertipu olehnya.
C. Tujuan Pernikahan Pernikahan
sebagai
amal
perbuatan
yang
disunnahkan
tentu
mengandung beberapa tujuan. Secara umum tujuan pernikahan ada beberapa
hal.
Pertama,
Membentuk
keluarga
sakinnah
mawaddah
dan rohmah. Tujuan utama pernikahan adalah untuk memperoleh kehidupan yang tenang (sakinah,) cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rohmah) yang dapat tercapai jika semua tujuan sudah terpenuhi dengan kata lain, tujuan lain sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Tujuan untuk memperoleh kehidupan yang tenang (sakinnah) cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rohmah)
ini terdapat
dalam firman Allah yang berbunyi:17
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan17
Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia & tazzafa. Hlm. 38
34
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya kepada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.18
Kedua,
mendapatkan
dan
melangsungkan
keturunan.
pasangan yang telah melaksanakan pernikahan tentu keinginan untuk kehidupan
mendapatkan
rumah
mempunyai
tangga
keturunan,
mempunyai
anak/keturunan yang sah.
yang
serba
kehidupan
berkecukupan,
rumah
tangga
Setiap
Walaupun
tetapi
belum
tidak
sempurna,
serta terasa sepi dan hampa. Keinginan untuk mendapatkan keturunan ini disebabkan anak-anak itulah yang diharapkan
dapat membantu
ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak. Setiap orangtua tentu mengharapkan
anak-anak
yang
soleh
dan
berbakti
kepada
orang
tuanya.19 Dapat diambil pengertian bahwa anak merupakan penolong bagi orang tua baik baik bagi kehidupanya didunia maupun diakhirat kelak. Selain itu anak juga merupakan penerus generasi, penyambung keturunan
yang
akan
selalu
berkembang
untuk
meramaikan
dan
memakmurkan bumi. Karena kesusilaan, menyambung
manusia serta
mempunyai
mempunyai
keturunan
hak
hanya
pikiran, dan dengan
perasaan,
kewajiban,
kesopanan, maka
melaksanakan
untuk ikatan
18
Ar-Rum (30) : 21 Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberti.hal.13-14. 19
35
perkawinan yang sah yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Ketiga,
Pemenuhan
kebutuhan
Biologis
(Seks).
Hal
ini
dijelaskan dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:
Artinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terangbagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitufajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka itu sedang kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.20 Dalam
ayat
merupakan pakaian
diatas bagi
dijelaskan
bahwa
istri-istrinya
dan
seorang begitu
pria
juga
(suami)
sebaliknya.
Allah Awt tidak menyukai pria dan wanita yang menyalurkan naluri seksualnya sama seperti makhluk lainnya. Oleh karena itu Allah Swt mengatur hubungan pria dan wanita sedemikian rupa dalam sebuah pernikahan yang sah. Disamping pernikahan untuk pengatur naluri 20
Al-Baqarah (2) : 187
36
seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Keempat, dengan
Menjaga
pemenuhan
kehormatan.
kebutuhan
Menjaga
biologis.
kehormatan
Artinya
sejalan
pernikahan
tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis tetapi juga untuk menjaga kehormatan. Manusia bisa saja mencari pasangan atau lawan jenis untuk
memenuhi
kebutuhan
biologis
tetapi
ia
akan
kehilangan
kehormatannya. Dengan pernikahan kebutuhan biologis terpenuhi dan kehormatan terjaga.21 Pemenuhan
kebutuhan
biologis
tanpa
pernikahan
akan
menimbulkan kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat,
karena
manusia
mempunyai
nafsusedangkan
nafsu
condong mengajak kepada perbuatan buruk. Kelima,
Ibadah.
Melakukan
pernikahan
adalah
bagian
dari
ibadah, karena telah menjalankan perintah dan anjuran agama. Dalam sebuah hadis,
Nabi
Muhammad Saw mempunyai
harapan pribadi
yaitu umatnya berjumlah banyak pada akhir zaman nanti. Melakukan sunnah Nabi berarti sama dengan malakukan ibadah. Karena itu melakukan
pernikahan
sebagian
dari
melakukan
sunnah
Nabi
Muhammad Saw berarti juga melakukan ibadah.22
D. Rukun dan Syarat Pernikahan 21
Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia & tazzafa. Hlm 47 22 Ibid. hlm 47
37
Sebelum membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, alangkah baiknya diketahui terlebih dahulu syarat dan rukun itu sendiri. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan. Rukun merupakan bagian dari sesuatu, yang sesuatu itu tidak akan ada kecuali dengan bagian itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada dan tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan.23 Rukun pernikahan adalah sesuatu yang menjadi sarana bagi terlaksananya
pernikahan
atau
sesuatu
yang
menjadikan
dapat
dilaksanakannya pernikahan itu bila sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak ada maka pernikahan itu tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi bukan berarti apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut sudah ada pernikahan dapat dilangsungkan, demikian juga sebaliknya jika salah satu rukunnya tidak ada maka pernikahan juga tidak akan bisa terlaksana.24 Oleh karena itu rukun pernikahan itu harus lengkap, tidak boleh kurang dari unsur-unsurnya. Adapun rukun pernikahan yaitu Suami, Istri, Wali, Dua orang saksi dan sighat.25 Di samping rukun harus terpenuhi, juga harus dipenuhi syaratsyaratnya. Syarat-syarat suami ada beberapa hal. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami ada empat macam. Pertama, Beragama Islam. Maksudnya seorang calon suami yang akan melaksanakan pernikahan beragama Islam sehingga dia dapat membimbing keluarganya kelak sesuai 23
Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 45-46 24 A. Zuhdi Muhdlor. 1994. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”. Yokyakarta. Al-Bayan. Hlm. 52 25 Ibid. Hlm. 55
38
dengan ajaran agama Islam. Kedua, Laki-laki (bukan banci). Maksudnya calon suami terlahir berstatus sebagai laki-laki sejak lahir dan bukan dikarenakan Pergantian atau operasi Kelamin.Ketiga, Jelas orangnya. Maksudnya asal usul seorang calon suami harus jelas baik tempat tinggal atau domisilinya. Keempat, Tidak tekena halangan pernikahan. Seorang calon suami bukan sanak famili atau saudara sesusuan(dengan calon istri) yang dapat menghalangi pernikahan. Sementara syarat-syarat istri dalam pernikahan sebagaimana ijtihad para ulama adalah beragama islam atau ahli kitab, perempuan (bukan banci), jelas orangnya, halal bagi suaminya, tidak dipaksa, tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa iddah (bagi janda). Sementara syarat-syarat wali dalam pernikahan juga harus terpenuhi. Syarat-syarat wali yaitu laki-laki, dewasa, mempunyai hak atas perwaliannya, dan tidak terkena halangan untuk menjadi wali.26 Untuk perwalian Umat Islam di Indonesia menggunakan mazhab Imam Syafi‟i yaitu: ayah, kakek dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara sekandung, anak laki-laki dari saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman seayah, hakim, Adapun syarat-syarat saksi adalah
minimal dua orang laki-laki,
beragama Islam, dewasa, mengerti maksud dari akad pernikahan. Sedang
26
Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 54-55
39
syarat-syarat Sighat adalah antara ijab dan qabul jelas, antara ijab dan qabul bersambungan.27 E. Wanita yang Haram untuk Dinikahi Dalam Al-Qur‟an dan Hadits sudah diatur sedemikian rupa tentang perkawinan dan telah dijelaskan bahwa tidak semua wanita halal untuk dinikahi, melainkan ada larangan-larangan tertentu sehingga wanita itu haram untuk dinikahi. Secara garis besar, wanita-wanita yang haram dinikah menurut syariat hukum Islam dibagi dua, yaitu: haram selamanya dan haram sementara.28 Yang haram selamanya yaitu wanita-wanita yang tidak boleh dinikani oleh seorang laki-laki sepanjang masa. Sedangkan yang harang sementara yaitu wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seorang lakilaki selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Jika keadaanya sudah berubah, maka keharamannya hilang dan menjadi halal. Wanita-wanita yang haram untuk dinikah selamanya ada tiga macam.29pertama, Karena Nasab/ keturunan. Dalam Al-Qur‟an surat AnNisa‟ (4): 23 telah dijelaskan beberapa wanita-wanita yang haram untuk dinikah, yaitu: a. Ibu kandung, yaitu ibu yang telah melahurkannya, nenek dari ibu/bapak dan seterusnya keatas. b. Anak perempuan kandung, termasuk cucu dan seterusnya kebawah sesuai garis lurus. 27
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.Yokyakarta. Liberti. Hlm. 51-52 28 Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 102 29 Ibid. Hlm. 102
40
c. Saudara perempuan, yaitu semua perempuan sebapak dan seibu atau sebapak/ibu saja. d. Bibi dari pihak bapak, yaitu semua perempuan yang menjadi saudara bapak/kakek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu dari keduanya. e. Bibi dari pihak ibu, semua perempuan yang menjadi saudara ibu atau nenek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu dari keduanya. f. Anak perempuan saudara laki-laki baik sekandung maupun tiri. g. Anak perempuan saudara perempuan baik sekandung maupun tiri. Kedua, Karena Pernikahan/Pembesanan. Maksudnya karena hubungan kerabat semenda. Ada beberapa wanita yang haram untuk dinikah karena Hubungan pernikahan/pembesanan, yaitu:30 a. Ibu istri (mertua) yaitu ibu kandung atau ibu sesusuannya baik sudah dicampuri ataupun belum dicampuri. b. Anak tiri perempuan yang ibunya sudah dicampuri dalam jalinan pernikahan yang sah. c. Istri anak kandung atau istri cucu baik dari jalur laki-laki atau perempuan, baik sudah dicampuri maupun belum dicampuri. d. Istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas, baik sudah dicampuri ataupun belum dicampuri.
30
Daly, Pounoh. 1998. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bulan Bintang
41
Ketiga, Karena Sesusuan. Diharamkannya nikah karena sesusuan sama halnya nikah dengan senasab. Karena itu ibu susuan hukumnya sama seperti ibu kandung, dan diharamkan bagi laki-laki yang disusui menikah dengan ibu yang menyusui dan semua wanita yang haram dinikahi dari ibu kandung. Jadi wanita-wanita yang haram dinikahi sebagai berikut:31 a. Ibu susuan, nenek susuan dan seterusnya keatas b. Saudara perempuan dari ibu susuan, semua anak perempuan yang menyusu pada ibu susuan, yang menyusu pada cucu perempuan dari ibu susuan, yang menyusu pada istri anak laki-laki bapak susuan dan seterusnya kebawah baik melalui nasab ataupun susuan. c. Saudara perempuan sesusuan, yaitu semua perempuan yang disusui oleh ibu kandung, ibu tiri, yang dilahirkan ibu susuan dan anak perempuan dari bapak susuan. d. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari bapak susuan termasuk saudara perempuan kakek baik karena nasab ataupun susuan. e. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan termasuk saudara perempuan nenek baik karena nasab ataupun susuan. f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sesusuan dan anak perempuan sesusuan dan seterusnya kebawah baik karena nasab maupun karena susuan.
31
Ibid, hlm 182-183
42
BAB III PRAKTEK PERNIKAHAN SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR
A. Deskripsi Wilayah
43
Secara geografis Perhentian Raja terletak diantara kecamatan Siak Hulu dan Kampar Kiri Hilir. Perhentian Raja juga merupakan salah satu kecamatan yang berada didaerah Kampar propinsi Riau. Kabupaten Kampar dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, diantaranya Sungai Kampar yang panjangnya 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dan lebar 143 m dan pada umumnya kabupaten Kampar beriklim tropis. Kecamatan Perhentian Raja ini terletak lebih kurang 27 km dari kota Pekanbaru. Kabupaten Kampar terletak lebih kurang 61 km dari pekanbaru. Kabupaten Kampar terbagi dalam 21 kecamatan, diantaranya: Kampar Kiri, Kampar Kiri Hilir, Perhentian Raja, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Tengah, Gunung Sahilan, Koto Kampar XIII, Koto Kampar Hulu, Kuok, Tapung, Tapung Hulu, Tapung Hilir, Bangkinang, Bangkinang Sebrang, Kampar, Kampar Timur, Rumbio Jaya, Kampar Utara, Tambang, Siak Hulu Secara administratif batas-batas Kecamatan Perhentian Raja dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL I BATAS-BATAS WILAYAH No
Letak Batas
Kecamatan Lokasi
1
Utara
Kecamatan Siak Hulu
2
Selatan
Kecamatan Kampar Kiri Hilir
3
Barat
Kampar Kiri Tengah
4
Timur
Kecamatan Siak Hulu
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
44
Luas wilayah Perhentian Raja adalah 112,39 km 2 yang terdiri dari 5 desa, seperti terdapat pada tabel berikut: TABEL II DESA-DESA DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA
No
Luas (km2)
Desa
1
Desa Sialang Kubang
22,13
2
Desa Hangtuah
24,80
3
Desa Perhentian Raja
29,12
4
Desa Kampung Pinang
21,00
5
Desa Lubuk Sakat
15,34
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja Masyarakat Perhentian Raja pada umumnya bercocok tanam. Karena secara geografis Perhentian Raja berupa persawahan dan perkebunan yang sangat luas sehingga Kecamatan Perhentian Raja termasuk daerah penghasil tanaman pangan, karet dan kelapa sawit di Kabupaten Kampar.
B. Keadaan Pendidikan dan Kehidupan Beragama Masyarakat Adapun fasilitas pendidikan yang terdapat di kecamatan Perhentian Raja dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL III FASILITAS PENDIDIKAN No
Fasilitas Pendidikan
Jumlah Fasilitas
1
SDN
8
45
2
SLTP
2
3
MTs
2
4
SMA
2
Jumlah Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja Dengan melihat tabel di atas pendidikan di Kecamatan Perhentian Raja masih minim, hal ini terbukti karena Daerah tersebut masih minim fasilitas Pendidikannya. Masyarakat Kecamatan Perhentian Raja mayoritas mengatut agama Islam. Menurut data yang telah penyusun dapatkan ada dua agama lain yang berkembang di sana yaitu Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: TABEL IV PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA No
Nama kepercayaan
Persentase
1
Islam
95 %
2
Kristen protestan
3%
3
Kristen katolik
2%
Total
100%
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
Di Kecamatan Perhentian Raja terdapat 9 masjid, 14 musholla dan 3 gereja. Selain dijadikan tempat beribadah, masjid dan mushola juga dijadikan tempat untuk kegiatan keagamaan seperti wirid, pengajian, mempelajari Al-
46
Quran
dll.
Perhentian
Raja
juga
memiliki
Madrasah
Diniyah
Awwaliyah(MDA), yaitu pendidikan non formal yang dimulai sejak dini untuk menambah wawasan keagamaan anak.ada kurang lebih 8 bangunan MDA di Perhentian Raja. Pendidikan di mulai pukul 14.00 WIB hingga 16.30 WIB. Kegiatan keagamaannya seperti Aqidah Akhlak, Fiqih, Alqur‟an Hadist, Sholawatan, Imlak,Bahasa Arab. Pada malam hari juga ada pendidikan Al-quran di masjid-masjid. Dan pada bulan Ramadhan atau hari besar Islam diadakanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang menambah wawasan keagamaan mereka seperti diadakanya Pesantren kilat, lomba Adzan, cerdas cermat, Kaligrafi, pidato.
C. Keadaan Sosial Budaya Seperti halnya desa dikecamatan yang lainnya kecamatan Perhentian Raja juga aktif dalam kegiatan sosialnya terutama dalam adat istiadat. Adapun kegiatan yang biasa dilakukan adalah mandi balimau, pacu jalur, pencak silat, turun mandi (pemberian nama pada anak), doa tolak bala, doa sebelum masuk bulan Ramadhan, dan doa menegakkan rumah. Berikut adalah tabel persentase berdasarkan suku yang ada di kecamatan Perhentian Raja.
TABEL V PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN SUKU BANGSA No
Nama suku
Jumlah persentase
1
Suku Melayu
45,2%
47
2
Suku jawa
21,4%
3
Suku sunda
2%
4
Suku batak
3%
5
Suku minang
2,4%
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja Menurut AJ seorang Tokoh Masyarat Suku Melayu Kecamatan Perhentian Raja terdapat beberapa suku seperti: suku domo, suku pitopang, suku pilliang, suku mandailing suku chaniago. Setiap suku memiliki Datuk masing-masing TABEL VI JABATAN KEPEMIMPINAN ADAT No
Persukuan
Penghulu
Menti
Dubalang
1
Mandailing
Dt. Maruanso
Dt.Mangkuto Dubalang
Tangganai Dt. Pitunggul
Batu 2
3
4
Piliang
Pitopang
Chaniago
Dt.Baginda
Mangkuto
Perkaso
Balang
Dt. Pakomo
Dt. Topo
Dt. Rantau
Dt. Langka
Mangkuto
Godang
Dt.Rajo
Marajo
Jalelo
Kinayan
Dt. Lipati
Halontung
Dt Tomo
Sati
Pernikahan itu sendiri adalah perjanjian antara dua orang yaitu laki laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Sesuku maksudnya ialah
48
pernikahan sebangsa berdasarkan garis keturunan,dalam hal ini garis keturunan berdasarkan kepada ibu. Jadi yang dimaksud perkawinan sesuku ialah tidak bolehnya dua orang laki-laki dan perempuan melakukan perjanjian menjadi suami istri dengan yang masih berhubungan pertalian saudara dari ibu.agar lebih mudah dipahami penulis akan memberikan contoh. A
C
E
F
B
D
G
H
Dari contoh diatas maksudnya F dan G tidak diperbolehkan menikah begitu juga sampai keturunan berikutnya. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu masyarakat masih sedikit,agar lebih berkembang maka diharuskan menikah dengan di luar suku. Pada Suku Melayu Di Kecamatan Perhentian Raja dikenal istilah Mamak yaitu saudara ibu yang laki laki, dia sangat berperan penting dalam urusan adat pernikahan. Seperti mengurus surat pernikahan di KUA meminta izin pernikahan kepada kepala suku dan menentukan calon pasangan keturunan dan saudaranya.
49
Menurut NF saah seorang masyarakat Melayu , “Jika terjadi hal diluar keinginan misalnya calon mempelai hamil diluar nikah dan ternyata mereka sesuku kemudian untuk menjaga kemaslahatan sianak maka pernikahan KUA tetap berjalan tetapi pernikahan adat tidak, dan ninik mamak tidak dapat dihadirkan dan mereka yang menikah sesuku harus keluar dari kampung dikarenakan aib.” “Selain itu ada istilah Bako yaitu Ayah/ semua keluarga dari pihak ayah, merekalah yang mengurusi masalah pesta/perhelatan jika ada perkawinan atau khitanan. Jadi, jika terjadi pernikahan sesuku maka posisi Mamak dan Bako sama, maka tidak aka nada yang mengurus administrasi nikah ataupun tempat untuk resepsi pernikahannya. Selain itu, jika suatu saat terjadi persengketaan akan sulit untuk menyelesaikannya karena mamaknya sama.” Dalam adat dikenal pula istilah Bapillin tigo yaitu tiga hal dalam adat yang harus dipatuhi masyarakat karena tiga hal tersebut sejalan. Peraturan bapillin tigo tersebut adalah peraturan pemerintah, peraturan agama dan peraturan adat istiadat. Jika melanggar adat berarti melanggar peraturan pemeritah dan agama begitu juga sebaliknya.
D. Adat Istiadat dalam Suku Melayu Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang laki-laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal). Kedua Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan perempuan dari lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang
50
menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga sistem, Suku Melayu termasuk pada sistem perkawinan Exogami. Menurut Dz, Dt. Baginda Perkaso dari suku Piliang menuturkan bahwa, adat istiadat dalam Suku Melayu lebih condong memihak kaum wanita. Hal ini dikarenakan adanya sebuah hadits yang menjelaskan bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, maka sudah sepantasnya kedudukan seorang wanita sangat dijunjung tinggi dalam tanah Melayu.
Masyarakat Suku Melayu di Provinsi Riau khususnya di Kota Pekanbaru kecamatan Perhentian Raja masih terikat kesatuan keturunan yang ditarik dari garis keturunan Ibu atau Perempuan dengan kata lain bentuk kesatuan keturunan itu disebut sistem Matrilinial. “Sedangkan menurut AZ, Dt, Topo dari suku Chaniago “alasan yang paling mendasar kenapa dalam adat Melayu sangat menjunjung tinggi kaum wanita adalah pengorbanan dan jasa seorang ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan seorang anak.” Menurut SR, Dt. Maruanso dari suku Mandailing “kedudukan seorang wanita di tanah Melayu riau memanglah tinggi namun hal ini tidak berarti bahwa perempuanlah yang memiliki kekuasaan lebih kuat dibanding laki-laki, karena kekuasaan yang dimiliki oleh perempuan adalah kekuasaan yang berhubungan dengan peranan dalam kelangsungan keturunan dan tidak menempatkanya dalam kekuasaan pada system pemerintahan.” 51
Dalam adat Melayu peran seorang wanita sangatlah penting terutama dalam penerus garis keturunan. Selain itu peranan seorang wanita dalam pembagian harta waris yang lebih besar dari bagian anak laki-laki yaitu 2:1. Namun kedudukan yang diberikan kepada kaum wanita pada Suku Melayu hanyalah sebatas kedudukan dalam ruang lingkup adat dan untuk kedudukan pada sebuah kepemerintahan tetap dipegang alih oleh laki-laki. E. Faktor-faktor LaranganPernikahan Sesuku Pernikahan sesuku ini adalah istilah dari adat istiadat yang ada pada masyarakat Perhentian Raja yang mengandung makna yaitu: larangan adalah sebuah perintah agar tidak melakukan sesuatu atau tidak memperbolehkannya berbuat sesuatu. Sedangkan pernikahan itu sendiri adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri, sedangkan sesuku disini maksudnya
adalah
dengan
sesama
suku
(bangsa)nya,
sama
asal
(keturunan)nya, dan dalam hal ini garis keturunan yang diambil menurut garis keturunan Ibu(Matrilinial). Jadi, larangan pernikahan sesuku adalah ketidak bolehan melakukan perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai Hubungan pertalian dari ibu untuk bersuami istri. Menurut Dz, Dt. Maruanso dari suku Mandailing“faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku dalam Suku Melayu di Riau ada empat hal. Pertama, Dikhawatirkan merusak silaturrahmi. Dikarenakan pernikahan sesuku akan mengakibatkan rancu, jika berkumpul
dengan
keluarga
pihak
suami/istri.
Hal
ini
akan
menyebabkan kesulitan menentukan siapa Bako dan siapa Mamak dari anak yang dilahirkan.Tidak hanya itu saja bagi pelaku pernikahan
52
sesuku kelak jika ada pertemuan atau ada masalah yang terjadi pendapatnya tidak akan didengar dan apabila terjadi perceraian akan merusak silaturrahmi yang telah terjalin padahal mereka bersaudara. Kedua, Menganggap sesuku itu saudara dan menentukan mana dusanak (saudara) dan mana yang tidak saudara. Kuatnya rasa persaudaraan pada zaman dahulu sehingga mengharuskan menikahi suku lain. Zaman dulu jumlah suku masih sedikit sehingga pernikahan bertujuan untuk menambah silaturrahmi. Ketiga, Mendidik rasa malu. Dalam Hubungan persaudaraan diharuskan utuk saling menghormati. Sesuku berarti bersaudara, mereka harus mempunyai rasa malu terhadap saudaranya dan harus dapat menjaga persaudaraannya tersebut. Keempat, Patuh terhadap sumpah nenek moyang terdahulu. Sumpah sotih (sumpah setia) yang diucapkan kepala adat saat berdirinya Kecamatan Perhentian Raja dahulu. Sumpah tersebut didahului dengan bacaan takbir dan syahadat. Adapun bunyi dari sumpah sotih sebagai berikut: Bismillahirrohmanirrohim…………… Walaahi, Tallahi, walillahi…………… Kami berjanji bahwa kami akan melaksanakanaturan dan pengaturan adat kepada anak, kemenakan kami, dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan…………………… Bagi yang melanggar jonji, makan jonji……. Bagi yang melanggar buek, makan buek……. Disumpah oleh Al-Qur’an 30 Juz…… Hidup seperti karokok tumbuh dibatu, kebawah tidak baurek, kaate indak bapucuk, tongah-tongah dimakan kumbang….. Sumpah tersebut berisi barang siapa yang melanggar sumpah dengan menikah sesuku, maka hidupnya akan sengsara, melarat, masalah datang berkepanjangan, dan rumah tangga tidak akan bahagia bahkan jika memiliki keturunan diyakini akan lahir cacat/ tidak sempurna.dan
53
masyarakat Perhentian Raja sangat meyakini hal itu. Pada zaman dahulu hal ini benar benar terjadi dikarenakan sikap fanatik yang berlebihan. Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya dengan hal itu terbukti dengan sedikitnya yang melakukan pernikahan sesuku.” Menurut Dz, Dt Baginda Perkaso dari suku Piliang “Selain pernikahan sesuku ada juga pernikahan yang dilarang pada adat Suku Melayu di Perhentian Raja tersebut, seperti : 1.
Menikahi perempuan yang sesuku dengan istri pertamanya
dikarenakan istri pertama meninggal kemudian ia menikahi perempuan yang sama sukunya dengan istri pertamanya. 2.
Jika seorang pria dari suku lain misalnya suku Jawa ingin menikahi
perempuan Melayu maka harus mencari induk semang/ibu angkat. 3.
Jika seseorang sudah masuk dan mempunyai suku maka tidak
dapat menikahi perempuan dengan suku yang sama. 4.
Keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal buruk terhadap
keturunan.”
Menurut AZ, Dt. Topo dari suku Chaniago menjelaskan bahwa“Semua masyarakat masih sangat meyakini sumpah leluhur mereka bahwa yang melanggar sumpah akan terkena kutukan sebagaisanksi terhadap pernikahan sesuku. Adanya larangan menikah sesuku sudah ada sejak zaman dahulu. Mereka meyakini jika terjadi pernikahan sesuku akan berdampak besar bagi diri sendiri, keluarga dan masa depan mereka. Adapun sangsi bagi mereka yang melanggar pernikahan sesuku adalah diusir dari kampung, tidak memiliki ninik mamak (suku), denda satu ekor kerbau, dilabuh golek golek (dibunuh), dikucilkan dikampung.
Kecamatan Perhentian Raja memiliki cukup banyak tempat beribadah dan menjunjung tinggi nilai Islam, tetapi mereka juga sangat mematuhi dan
54
menghargai adat istiadat nenek moyang yang telah ada sejak zaman dahulu. Hanya saja menurut AJsalah satu tokoh adat di Kecamatan Perhentian Rajabahwa, “pernikahan sesuku ini tidak bersifat mutlak, bagi yang melanggar diperbolehkan akan tetapi harus bersedia menerima sanksi. Mereka sangat menghormati adat istiadat yang telah dibuat nenek moyang mereka, tetapi mereka takut malapetaka menghampiri mereka, jika melanggar adat yang sudah ada sejak zaman dahulu itu.” Menurut NF salah seorang masyarakat “kepercayaan dan kepatuhan kepada adat istiadat yang telah diajarkan oleh orang tua ataupun leluhurnya adalah suatu keharusan, termasuk pada aturan dilarangnya menikahi perempuan yang masih menjadi kerabat sesukunya.” Berbeda dengan IA yang tidak mempercayai apa yang telah dipercayai oleh orang tua dan leluhurnya terdahulu, ia hanya menyerahkan segala kepada Allah termasuk soal jodoh, ia menambahkan bahwa, “jika memang jodohnya kelak adalah pemuda yang sesuku dengannya maka ia siap dengan konsekwensi sanksi yang akan ia terima dari adat.”
Sanksi bagi pelaku pernikahan sesuku adalah dibunuh, diusir dari kampung, dikucilkan oleh masyarakat setempat.Dengan adanya sanksi tersebut masyarakat Perhentian Raja akan takut melakukan pernikahan sesuku.Namun seiring berkembangnya zaman hukuman dibunuh sudah tidak lagi digunakan di Kecamatan Perhentian Raja, karena dianggap tidak manusiawi.
F. ProsesiPernikahan Suku Melayu 55
Setip daerah pasti memiliki adat atau tradisi sebelum pernikahan, menurut NF ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan di Perhentian Raja. Pertama, Menggantung. Maksudnya ialah mempelai perempuan tidak diperbolehkan bertemu dengan mempelai laki-laki. Jika dalam adat jawa dikenal dengan istilah dipingit. Hari menggantung dimulai dari 5 hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Kemudian dimulai memasang tenda dll. Kedua, Malam bainai. Adalah malam dimana calon pengantin memasang inai dan memakai pakaian yang senada. adapun kelengkapan inainya adalah : tepak sirih berisi sirih lengkap, inai yang sudah digiling halus secukupnya, lilin lebah untuk menutup kuku, bedak sejuk, kain lap/ serbet / kertas tisu, lilin untuk dinyalakan, sabun mandi dan seutuhnya ditata dalam piring beralas serbet. Ketiga, Berandam. Upacara berandam dilakukan pagi hari setelah malam bainai dilakukan oleh kedua calon pengantin dikediaman masing masing yang dipimpin oleh mak andam(dukun pengantin). Dilakukan saat matahari terbit dengan harapan pengantin akan bercahaya dan secerah matahari. Berandam ini adalah mencukur bulu halus diwajah dan membentuk alis serta mencukur anak rambut dibagian belakang. Keempat, Akad nikah. Setelah ijab qobul dilakukan para pengantin melakukan sungkem meminta restu kepada kedua orang tua.Kelima, Berinai lebai. Setelah selesai meminta restu orang tua kedua pengantin melakukan upacara tepung tawar. Ini menunjukkan jika mereka telah sah menjadi suami istri. Keenam, Upacara khatam Al-qur‟an. Mempelai laki-laki membacakan beberapa ayat Al-quran. Ini menunjukkan bahwa laki-laki sebagai imam dan harus dapat membaca Al-quran.Ketujuh, Hari bersanding. Adalah hari dimana pengantin laki-laki diarak menuju rumah
pengantin
perempuan.
Setelah
tiba
dirumah
pengantin
perempuan diadakan acara seperti : pencak silat, tari persembahan, berbalas pantun, tukar sirih, dan lempar beras kuning
56
BAB IV LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
57
C. Analisis Pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Kec. Perhentian Raja Pada bab III, penyusun telah menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku beserta sanksi yang akan dikenakan terhadap pelakunya. Penyusun juga telah menguraikan kondisi keseluruhan wilayah Kecamatan Perhentian raja baik secara tata letak geografis hingga sosial budayanya. Pada bab ini penyusun akan membahas pandangan hukum islam tentang larangan pernikahan sesuku pada Suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja. Masyarakat Suku Melayu Riau khususnya yang bertempat di Kecamatan Perhentian raja menganut tiga aturan hukum atau yang sering disebut Bapilin tigo, yaitu seluruh masyarakat Melayu harus senantiasa memegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam tanpa sedikitpun meninggalkan Adat /tradisi yang dibawa leluhurnya terdahulu, selain itu mereka juga melaksanakan aturan-aturan pemerintah termasuk tata aturan pernikahan secara nasional yang berlaku hingga saat ini, dengan kata lain mereka harus mematuhi ketiga hukum yaitu: Agama, Adat,
dan Pemerintah. Jika
melanggar salah satunya maka sama halnya melanggar ketiga hukum tersebut. Namun hukum yang tertinggi adalah hukum adat, kemudian hukum agama dan yang terakhir hukum pemerintahan. Masyarakat melayu merupakan masyarakat adat yang memiliki system pernikahan yang berbeda dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia. Mengenai system pernikahan yang ada disana termasuk kedalam kategori exsogami, yaitu seorang pria dilarang menikahi wanita yang
58
semarga atau yang sesuku dengannya, ia harus menikah dengan wanita diluar marganya. Dalam adat Suku Melayu keturunan diambil dari garis Ibu (matrilineal), seorang anak laki-laki maupun perempuan tidak termasuk dalam suku ayahnya melainkan sesuku dengan ibunya. Sebagaimana hasil wawancara penyusundengan penghulu adat di kecamatan Perhentian raja tepatnya di desa Perhentian raja, bahwa faktor penyebab dilarangnya nikah sesuku ialah rancunya Hubungan/silsilah kekerabatan, dikhawatirkan merusak Hubungan silaturrahim, dikhawatirkan akan terjadinya pernikahan antar saudara kandung dan akan sulit membedakan anrata saudara dengan yang tidak., mendidik rasa malu, kepatuhan pada sumpah sotih serta keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal-hal buruk kelak pada keturunan. Berkaitan dengan rancunya Hubungan silsilah kekerabatan, bahwa keturunan dari pelaku pernikahan sesuku ialah sulitnya menentukan Bako, Sumondo, dan Ninik mamak, hal ini akan menjadi masalah jika kelak anak keturunannya akan menikah atau pada acara adat lainya. Sebagai contoh, dalam sebuah pernikahan Ninik mamak sangat berpern penting dalam pengurusan administrasi pernikahan , jika tidak tau siapa ninik mamaknya maka akan sulit untuk mengurus administras pernikahan tersebut, sementara dalam Islam yang berperan penting dalam hal ini adalah bapak/wali. Pernikahan
sesuku
dikhawatirkan
akan
merusak
Hubungan
silaturrahmi jika terjadi perceraian, karena perceraian terjadi bukan karena sesuku ataupun tidak tetapi tergantung pada diri masing-masing. Jika
59
pasangan tersebut sudah memahami arti penting sebuah pernikahan serta dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri dengan benar, maka rumah tangga mereka akan sakinah, mawaddah dan rahmah walaupun mereka sesuku. Masyarakat Melayu menganggap sesuku itu sama halnya dengan saudara yang tidak dibenarkan untuk menikah. Saudara yang tidak dibenarkan menurut masyarakat Suku Melayu ialah sebagai berikut: A
C
E
B
D
F
G
H
F dan G adalah saudara menurut garis keturunan dari ibu, oleh karena itu mereka dilarang melakukan pernikahan. Menurut Dt. Fulan, tokoh masyarakat Suku Melayu, hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang berisikan anjuran untuk tidak menikah dengan kerabat. F dan G memang mempunyai Hubungan berdasarkan garis keturunan dari ibu yaitu saudara sepupu, namun apakah Hubungan nasab seperti itu oleh Islam dilarang untuk melaksanakan pernikahan atau tidak. Hal ini dapat 60
dilihat pada surat An-Nisa (4) : 23, yaitu ibu kandung dan seterusnya keatas, anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah, saudara perempuan, bibi, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan. Selain dikarenakan Hubungan nasab, dalam surat An-Nisa (4) : 23, juga menjelaskan tentang larangan menikahi karena Hubungan Musaharah, yaitu ibu istri(Mertua), anak tiri yang ibunya sudah dicampuri, istri anak kandung atau istri cucu, istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas. Selanjutnya dalam surat An-Nisa (4) : 23 juga menerangkan bahwa Haram untuk dinikahi/ dilarang untuk dinikahi perempuan-perempuan dari hubungan persusuan yaitu ibu susuan dan seterusnya keatas, anak perempuan dari ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, bibi susuan(yaitu saudara perempuan dari bapak susuan dan ibu susuan), anak perempuan saudara lakilaki sesusuan, anak perempuan saudara perempuan sesusuan dan seterusnya kebawah baik karena nasab ataupun sesusuan, anak perempuan susuan dari istri jika ibunya sudah dicampuri. Menurut keterangan diatas telah jelas bahwa tidak ada disebutkan bahwa saudara dari garis keturunan ibu(Sesuku) adalah kerebat dekat yang Haram/dilarang untuk dinikahi. Pada zaman dahulu penghulu adat dan para luluhur telah mengucapkan Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat Suku Melayu tidak ada yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku
61
karena mereka takut melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang akan dating dikemudian harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku maupun anak cucu mereka nantinya. Seperti, kehidupan yang tidak tentram, perasaan bersalah ataupun hal-hal yang mungkin akan terjadi pada anak cucu mereka yaitu IQ rendah, cacat mental, mendapatkan penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Dulunya pernah terjadi hal-hal demikian pada mereka pelaku pernikahan sesuku . dalam Islam dijelaskan bahwa segala hal buruk berupa musibah yang menimpa seseorang merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Pada dasarnya setiap peraturan yang dilanggar pasti ada sanksinya, begitu pula adanya peraturan larangan pernikahan sesuku yang ada pada Suku Melayu ini. Adapun sanksi untuk pelaku pernikahan ini adalah dilabuh golek-golek/dibunuh, diasingkan atau diusir dari kampong serta tidak akan dianggap saudara oleh Suku Melayu, dicap tak beradab oleh masyarakat membayar denda satu ekor kambing(bagi yang melakukan pernikahan sesuku namun belum terjadi hamil diluarnikah), dan satu ekor kerbau (bagi pelaku nikah sesuku namun sudah hamil diluar nikah) , semua ini telah ditetapkan oleh penghulu adat(kepala suku) terdahulu. Meskipun demikian, sebagian masyarakat kecil ada yang melanggar aturan ini. Pada Al-Qur‟an ataupun Hadis tidak ditekukan mengenai sanksi bagi pelaku pernikahan sesuku dan juga tidak ditemukan adanya larangan nikah sesuku seperti yang ada pada Suku Melayu, jadi sanksi-sanki untuk pelaku
62
nikah sesuku ini hanya ada dan dibuat oleh penghulu adat(kepala suku) terdahulu, dan telah disepakati oleh leluhur dan Masyarakat melayu.
D. Analisis Pernikahan Sesuku Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam Masyarakat melayu sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan rasa malu, hal ini dapat dilihat pada masyarakat di Perhentian raja yang masih menjalankan atau mempercayai larangan pernikahan sesuku. Ini akan menjadi masalah ketika agama membolehkan sedangkan adat melarang, disini adatlah yang lebih kuat dibandingkan dengan Agama, yang seharusnya agamalah yang lebih dijunjung tinggi daripada adat. Dalam Al-Qur‟an telah diatur masalah pernikahan yang mencakup rukun, Syarat, tujuan serta pernikahan-pernikahan yang dilarang dalam Islam. Hal ini terlah dijelaskan pada bab II, selain itu juga sudah dijelaskan wanitawanita yang haram untuk dinikahi. Dalam surat An-Nisa (4) : 22-24 wanitawanita yang haram untuk dinikahi ada dua yaitu haram sementara dan haram selamanya. Adapun pernikahan yang haram/dilarang selamanya yaitu: sebab nasab, sebab semenda dan sebab sesusuan. Sedangkan pernikahan yang dilarang sementara yaitu: mengumpulkan dua orang perempuan semahram, istri yang sudah di talak tiga, nikah lebih dari 4 orang istri, nikah dengan istri orang lain, nikah masih dalam masa „iddah, nikah dengan perempuan musyrik.
63
Berdasarkan keterangan diatas dapat dilihat bahwa tidak ada larangan pernikahan yang berdasarkan Hubungan darah dari pihak ibu maupun ayah selain yang telah dijelaskan pada halaman 45. Dalam KHI juga sudah diatur diatur dalam pasal 39-44 tentang larangan perkawinan/pernikahan.32 Adapun larangan tersebut pertama, karena nasab yakni pernikahan dengan wanita yang mehirkan atau menurunkannya atau keturunannya, pernikahan dengan wanita keturunan ayah atau ibu, dan pernikahan dengan saudara yang melahirkannya. Kedua, karena pertalian semenda. Yakni pernikahan dengan wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya, pernikahan dengan wanita bekas istri orang yang menurunkannya, pernikahan dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri, kecuali putus Hubungan pernikahannya dengan bekas istrinya Qobla dukhul, pernikahan dengan wanita bekas istri keturunannya. Ketiga, Karena pertalian sesusuan. Yaitu pernikahan dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas, pernikahan dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah, pernikahan dengan wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah, pernikahan dengan wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas, dan pernikahan dengan anak yang yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Pada pasal selanjutnya juga disebutkan larangan pernikahan antara pria dan wanita dikarenakan beberapa sebab, yaitu: 1. Karena dalam keadaan tertentu
32
Kompilasi Hukum Islam buku islam I tentang perkawinan pasal 39-44
64
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat pernikahan dengan pria lain b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain c. Seorang wanita yang tidak beraga islam 2. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai Hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya yaitu: a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya b. Wanita dengan bibi atau kemenakannya Larangan ini tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak roj‟I, tetapi masih dalam masa iddah. 3. Seorang pria yang masih mempunyai 4(empat) orang istri dan keempat-empatnya masih terikat dalam pernikahan atau masih dalam masa iddah talak roj‟I atau salah satu dari mereka masih terikat pernikahan sedangkan yang lainya dalam masa iddah talak roj‟I, maka pria itu dilarang melakukan pernikahan dengan wanita yang lain. 4. Seorang pria juga dilarang melakukan pernikahan: a. Dengan wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, kecuali bekas istri tersebut telah menikah dengan pria lain. Kemudian pernikahan tersebut telah putus ba‟da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
65
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili‟an. 5. Seorang wanita juga dilarang melakukan pernikahan dengan pria yang tidak beragama islam. Dalam system perundang-undangan Indonesiaseperti dalam KHI juga tidak ditemukan menganai larangan pernikahan sesuku atau berdasarkan garis keturunan dari ibu. Pada zaman dahulu masyarakat melayu diri Riau masih sangat sedikit, jika terjadi pernikahan sesuku maka masyarakat tidak akan berkembang. Selain itu mereka sangat dekat seperti halnya saudara sendiri jadi jika melakukan pernikahan tidak akan menimbulkan kasih saying, ini merupakan hikmah yang tidak tersampaikan oleh para penghulu adat terdahulu. Namun seiring bergantinya waktu, saat ini masyarakat telah berkembang. Masyarakat sudah bertambah banyak sehingga sulit untuk membedakan mana yang sesuku dan mana yang bukan sesuku. Kemaslahan yang ada pada zaman dulu tidak sama dengan kemaslahatan yang ada pada zaman sekarang, oleh karena itu hukum akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Jadi dari beberapa uraian uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpul bahwa: 1. Tidak adanya ayat Al-Qur‟an dan Hadits yang mewajibkan atau melarang pernikahan sesuku. Adat istiadat yang ada pada Suku Melayu tentang larangan menikah sesuku ini dilandasi atas keyakinan yang ada secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Mereka mempercayai dan berpegang teguh
66
pada sumpah yang di ucapkan oleh para penghulu adat terdahulu. Masyarakat melayu mengetahui bahwa tidak ada ayat ataupun hadits yang melarang, namun larangan tersebut sangat dipercayai dan dan takut akan hal buruk yang akan menimpanya serta mereka takut terhadap sanksinya. 2. Tidak adanya hukum yang mengatakan bahwa pernikahan sesuku itu haram atau halal. Dengan demikian pada dasarnya pernikahan sesuku atau aturan tersebut adalah mubah boleh dilakukan siapa saja. Dan pandangan masyarakat tentang dampak buruk dari pernikahan sesuku perlu diluruskan kembali agar kemubahan atas larangan pernikahan sesuku ini terjaga. 3. Larangan pernikahan sesuku ini tidak ditemukan dalam criteria wanita-wanita yang haram untuk dinikahi menurut islam baik itu sementara maupun seamanya. Selain itu aturan ini tidak berlaku untuk umum melainkan hanya untuk Suku Melayu di Riau. 4. Dalam system perundang-undangan Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak di temukan mengenai larangan pernikahan sesuku. BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan dari Larangan pernikahan sesuku yang telah penyusun uraikan adalah sebagai berikut:
67
4.
Pernikahan menurut masyarakat suku melayu adalah pernikahan yang dilakukan oleh perempuan dari suku Melayu dengan laki-laki yang tidak memiliki Hubungan pertalian dari ibu si calon istri. Namun jika ada seorang pria dari suku lain ingin menikahi seorang wanita dari suku Melayu misalnya suku Jawa ingin menikahi perempuan Melayu maka harus mencari induk semang/ibu angkat.Selain itu seseorang yang sudah masuk dan mempunyai suku maka tidak dapat menikahi perempuan dengan suku yang sama.
5.
Masyarakat Melayu menganggap sesuku itu sama halnya dengan saudara yang tidak dibenarkan untuk menikah. faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku dalam suku Melayu di Riau ada empat hal. Pertama, Dikhawatirkan merusak silaturrahmi. Dikarenakan pernikahan sesuku akan mengakibatkan rancu, jika berkumpul dengan keluarga pihak suami/istri. Hal ini akan menyebabkan kesulitan menentukan siapa Bako dan siapa Mamak dari anak yang dilahirkan. Tidak hanya itu saja bagi pelaku pernikahan sesuku kelak jika ada pertemuan atau ada masalah yang terjadi pendapatnya tidak akan didengar dan apabila terjadi perceraian akan merusak silaturrahmi yang telah terjalin padahal mereka bersaudara.
Kedua, Menganggap sesuku itu saudara dan menentukan mana dusanak (saudara) dan mana yang tidak saudara. Kuatnya rasa persaudaraan pada zaman dahulu sehingga mengharuskan menikahi suku lain. Zaman dulu
68
jumlah suku masih sedikit sehingga pernikahan bertujuan untuk menambah silaturrahmi. Ketiga, Mendidik rasa malu. Dalam Hubungan persaudaraan diharuskan utuk saling menghormati. Sesuku berarti bersaudara, mereka harus mempunyai rasa malu terhadap saudaranya dan harus dapat menjaga persaudaraannya tersebut. Keempat, Patuh terhadap sumpah nenek moyang terdahulu. Sumpah sotih (sumpah setia) yang diucapkan kepala adat saat berdirinya Kecamatan Perhentian Raja dahulu.
6.
Dalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan mengenaikewajiban atau melarang pernikahan sesuku.Adat istiadat yang ada pada suku melayu tentang larangan menikah sesuku ini dilandasi atas keyakinan yang ada secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Mereka mempercayai dan berpegang teguh pada sumpah yang di ucapkan oleh para penghulu adat terdahulu. Masyarakat melayu mengetahui bahwa tidak ada ayat ataupun hadits yang melarang, namun larangan tersebut sangat dipercayai dan dan takut akan hal buruk yang akan menimpanya serta mereka takut terhadap sanksinya. Selain itu aturan ini tidak berlaku untuk umum melainkan hanya untuk suku melayu di Riau. Dalam system perundang-undangan Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak di temukan mengenai larangan pernikahan sesuku. Tidak adanya hukum yang mengatakan bahwa pernikahan sesuku itu haram atau halal. Dengan demikian pada dasarnya pernikahan sesuku
69
atau aturan tersebut adalah mubah boleh dilakukan siapa saja. Dan pandangan masyarakat tentang dampak buruk dari pernikahan sesuku perlu diluruskan kembali agar kemubahan atas larangan pernikahan sesuku ini terjaga.
B. Saran-saran 1. Hendaknya para ulama, tokoh masyarakat dan penghulu adat melakukan musyawarah dan pengkajian ulang mengenai larangan pernikahan sesuku yang sedah ada pada zaman dahulu, karena peran para ulama, tokoh masyarakat dan penghulu adat sangat penting untuk untuk kesejahteraan masyarakat terutama dalam pembaharuan aturan dan anggapan masyarakat mengenai larangan pernikahan yang ada dalam hukum islam serta meluruskan paham masyarakat mengenai tradisi yang sudah ada sejak turun temurun. 2. Para orang tua sekiranya mendidik dan member semangat penuh kepada anak cucu mereka agar memperkaya ilmu dan pengetahuan yang luas agar tidak terjadinya sebuah pemikiran sempit ataupun sebuah pemahaman yang setengah-setengah. 3. Para generasi muda hendaknya lebih memperdalam ilmu pengetahuan khususnya hukum-hukum islam. Serta tidak langsung menghukumi suatu perkara bahkan ikut serta menjalankannya tanpa mengetahui asal muasal suatu perkara atau kejadiantersebut dan mengetahui dasar hukumnya.
70
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Slamet dan H. Aminuddun. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia. Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta:Rineka Cipta Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada Dahlan, Abdul Aziz. 2001. Ensiklopedia Hukum Islam. jakarta: ichtiar Baru van Hoeve. Daly, Pounoh. 1998. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bulan Bintang
71
Departemen Pendidikan Nasional. 2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Khakim, Lukmanul. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Salatiga: STAIN Salatiga. Khusnawati. Anif 2007. Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Moleong, Lexi j. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, Khoiruddin. 2005. Yogyakarta:Academia & tazzafa.
hukum
Perkawinan
Indonesia.
Nawawi, Hadari dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prss. RahmanGhazaly, Abd. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 45-46 Soraya, Adini. 2010. Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan sesuku dalam kenagarian kasang kabupaten padang pariaman. Pekanbaru: Universitas Islam Riau. Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberti. Zuhdi Muhdlor. A. 1994. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”. Yokyakarta. Al-Bayan.
Wawancara denganBpk Syahid Ridwan, Dzulfiddin, Abdul Aziz Penghulu Adat Mandailing, Piliang, Chaniago di Kecamatan Perhentian Raja Pada tanggal 22 mei 2016
1. Bagaimana system pernikahan Adat melayu menurut anda? 2. Bagaimanakah kondisi masyarakat melayu di kecamatan Perhentian Raja secara geografis, perekonomian, dan keagamaannya? 72
3. Ada berapakah bagian suku pada suku melayu di kec. Perhentian Raja? 4. Bagaimanakah sejarah adanya Larangan pernikahan Sesuk? 5. Apa penyebab dilarangnya Pernikahan Sesuku? 6. Apa Sanksi bagi pelanggar pernikahan Sesuku? 7. Adakah bencana atau petaka yang akan terjadi jika dilakukannya pernikahan sesuku? 8. Bagaimana menurut anda mengenai larangan pernikahan sesuku?
Wawancara denganBpk Ahmad Jalaluddin Tokoh Masyarakat Melayu di Kecamatan Perhentian Raja Pada tanggal 24 mei 2016
1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan pernikahan Sesuku?
73
2. Menurut bapak faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya larangan nikah Sesuku? 3. Didalam sebuah pengajian atau musyawarah apakah sudah pernah ada materi tentang Fiqih munakahat kepada masyarakat? 4. Apakah masyarakat disini masih menggunakan dan mematuhi aturanaturan adat seperti larangan nikah sesuku? 5. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap larangan pernikahan tersebut? 6. Jika ada seorang pemuda ingin menikahi perempuan melayu apakah ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi?
Wawancara denganNelsum Febriani dan Iis Astriliani Masyarakat Melayu di Kecamatan Perhentian Raja
74
Pada tanggal 25 mei 2016
1. Bagaimana pandangan anda mengenai larangan nikah sesuku? 2. Faktor apakah yang melatar belakangi larangan tersebut? 3. Jika saudara anda melakukan pernikahan sesuku, apa yang akan anda lakukan? 4. Seperti apakah upacara pernikahan pada suku melayu? 5. Bagaimanakah pendapat anda mengenai larangan pernikahan tersebut? 6. Bagaimanakah pandangan masyarakat sekitar tentang anda atau keluarga anda.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Subkhan Masykuri
Tempat,Tanggal Lahir
: Sei simpang Dua, 29 Mei1993
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
75
Alamat
: Dusun Mekarsari, Desa Sei simpang Dua, Rt.14/Rw.06, Kec.Kampar Kiri Hilir, Kab.Kampar, Prov. Riau
Nama orang Tua Ayah
:
Muhammad Busri
Ibu
: Siti Munikah Anak Ke
: Dua, dari empat Dua Bersaudara
Jenjang Pendidikan
: 1. SDN011 Sei simpang Dua,Kampar, lulus tahun 2005 2. MTs An-Nur Hangtuah, lulus tahun 2008 3. MA Wmmatan Wasathan Pesantren Teknologi Riau lulus tahun 2011 4. IAIN Salatiga sampai sekarang
Pengalaman Organisasi
: 1. Bendahara PPTI Al Falah 2012/2013 2. Keamanan PPTI Al Falah 2013/2014 3. Bendahara COBRA Salatiga 2015 4. Humas COBRA Salatiga 2015
Salatiga, 22 September 2016 Penulis
76
Malam Bainai atau malam pelepasan gadis menuju kepernikahan yang ditandai dengan memakai inai.
77
Arak-arakan menuju kepelaminan
Sungkem/Minta do’a Restu kepada bapak Mertua
78
Hantaran dari Mempelai Pria untuk diserahkan kepada mempelai wanita
Simbolis penyerahan seserahan
79
80