LAPORAN PENELITIAN MENATA&ULANG&HUBUNGAN&KEWENANGAN& PUSAT&DAN&DAERAH&& DALAM&NEGARA&KESATUAN&REPUBLIK&INDONESIA:& IDENTIFIKASI&HAMBATAN&IMPLEMENTASI&& UNDANG6UNDANG&OTONOMI&KHUSUS&PAPUA& &
Oleh:& PUSAT&KAJIAN&DEMOKRASI& (Democratic&Center)& UNIVERSITAS&CENDERAWASIH&
& & & DISAMPAIKAN&KEPADA& DEWAN&PERWAKILAN&DAERAH&REPUBLIK&INDONESIA&(DPD6RI)&
& & & & JAYAPURA&
AGUSTUS,&2010& PENGESAHAN
Judul
: Menata Ulang Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia: Identifikasi Hambatan Implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
Peneliti
: Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Universitas Cenderawasih
Lokasi
: Kota Jayapura
Jangka Waktu : April s.d. Agustus 2010 Mitra Kerja
: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Jayapura, 9 Agustus 2010 Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Universitas Cenderawasih
Dr. Mohammad A. Musa’ad, M.Si.
Mengetahui: Rektor Universitas Cenderawasih,
Prof. Dr. B. Kambuaya, MBA. NIP. 19560909 198003 1 005
ii
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS CENDERAWASIH
Puji dan syukur patut kita sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan perkenaan-Nya maka kita masih diberikan kemampuan dan kepekaan, sehingga mampu berkarya sebagai bagian dari komponen penting bangsa di tanah Papua yang kita cintai bersama. Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura sebagai suatu Lembaga Pendidikan Tinggi yang berada di tanah Papua memiliki tanggung jawab akademis, sosial, dan moral. Pertama, apresiasi terhadap tanggung jawab akademis dibuktikan melalui pengembangan kegiatan yang selalu mengedepankan pemikiran yang obyektif, kritis dan inovatif; Kedua, apresiasi terhadap tanggung jawab sosial dibuktikan melalui pengembangan kegiatan yang berorientasi pada penyelesaian masalah yang memiliki implikasi serius dalam kehidupan bermasyarakat; Ketiga, apresiasi terhadap tanggung jawab moral dibuktikan melalui pengembangan kegiatan yang berorientasi pada upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat. Berangkat dari makna ketiga tanggung jawab di atas, maka Universitas Cenderawasih (Uncen) sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi Papua, memiliki tanggungjawab moral terhadap implementasi UU Otsus, senantiasa tanggap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi sebagai dampak dari impelemntasi UU Otsus, sehingga baik diminta maupun tidak, Uncen senantiasa melakukan berbagai kajian terutama terkait dengan implementasi UU Otsus. Sebagai wujud konkrit, dari komitmen tersebut, maka Uncen melalui Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih (DC Uncen) sebagai salah satu pusat kajian yang berada di lingkungan Uncen, bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk melakukan penelitian dan menyusun kajian terkait Hubungan Pusat Daerah, dengan judul “Menata Ulang Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; Identifikasi Dan Implikasi Hambatan Dalam Implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua”. Semua pihak harus menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan demokrasi. Dua prinsip ini melandasi penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dijabarkan melalui prinsip pemencaran kekuasaan dan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia iii
(UUD
1945)
prinsip
pemencaran
kekuasaan
diwujudkan
dalam
kebijaksanaan
desentralisasi teritorial. Prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial adalah bahwa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama memikul tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Karena itu harus ada pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab. Dalam konteks Papua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus) adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomi, sosial, dan budaya
yang dimiliki, termasuk di
dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakilwakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menetukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Paparan di atas memberikan gambaran bahwasanya sebagai akibat dari penetapan UU Otsus, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. Seyogyanya, adanya kewenangan yang besar tersebut maka dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun berlakunya UU Otsus, maka masyarakat telah tersentuh oleh pembangunan, kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang
iv
signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat. Uraian di atas menunjukan bahwa ada masalah yang menghimpit kebijakan UU Otsus yang perlu dicermati secara bijaksana. Proses pencermatan sebagaimana dimaksud membutuhkan adanya proses internalisasi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan
UU Otsus. Hal ini dimaksud agar semua pihak yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan ini dapat memahami secara komprehensif akar permasalahannya, sehinga mampu dirumuskan solusi yang tepat dan akurat sebagai alternatif penyelesaian masalah Uncen memberi apresiasi yang tinggi kepada DPD-RI atas respon dan komitmennya dalam menyelesaikan permasalahan di Papua dalam kerangka UU Otsus. Atas dukungan berbagai pihak melalui kontribusi pemikiran, ide-ide maupun gagasan yang konstruktif dan penyediaan dokomen dalam menunjang penyelesaian kajian ini, kami mengucapkan terima kasih, kepada : 1.
Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, anggota dan jajarannya
2.
Semua Pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu-persatu. Akhir kata, kita harus berupaya agar apa yang telah kita lakukan saat ini, adalah
bagian integral dari proses perubahan ke arah terwujudnya kehidupan di tanah Papua yang semakin damai, adil, dan sejahtera dalam kerangka kebijakan Otsus, sebagai solidaritas dalam membentuk integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jayapura, 09Agustus 2010 Rektor Universitas Cenderawasih
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA NIP. 130 878 870
v
DAFTAR ISI
Halaman
Pengesahan ..................................................................................................................... ii Kata Pengantar ................................................................................................................. iii Daftar Isi ......................................................................................................................... vi Daftar Tabel .................................................................................................................... ix Daftar Gambar ................................................................................................................ x Organisasi Penelitian ...................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 6 C. Tujuan ........................................................................................................................ 6 D. Manfaat ...................................................................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Desentralisasi ............................................................................................... 8 1. Dimensi Maknawi ............................................................................................... 8 2. Dimensi Format .................................................................................................. 9 3. Keunggulan dan Kelemahan Desentralisasi ....................................................... 11 B. Desentralisasi Asimetris ........................................................................................... 15 C. Otonomi Khusus Papua ............................................................................................ 17 D. Kriteria Peraturan Perundang-undangan Dalam Konteks UU Otsus ........................ 21 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ...................................................................................................... 27 B. Obyek Penelitian ....................................................................................................... 27 C. Tahap Penelitian ....................................................................................................... 27 D. Sumber Data ............................................................................................................. 28
vi
E. Tahapan Analisis Data .............................................................................................. 28 F. Lokasi dan Informan Penelitian ................................................................................. 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Integrasi Wilayah Papua .............................................................................. 30 B. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ............................................ 33 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 1956 ................................................................. 33 2. Undang-Undang No. 20 Tahun 1957 ................................................................. 34 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1957 ................................................................. 34 4. Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1962 ............................................ 35 C. Pelaksanaan dan Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) .............................. 36 D. Struktur Pemerintahahn Daerah ................................................................................ 43 1. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 ..................................................... 43 2. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 .................................................... 45 3. Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2001 (UU Otsus) ................................ 49 a. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) ................................................... 51 b. Pemerintah Provinsi ...................................................................................... 52 c. Majelis Rakyat Papua (MRP) ....................................................................... 54 E. Kewenangan Pemerintahan Provinsi ........................................................................ 60 1. Kewenangan Bidang Politik ............................................................................... 61 2. Kewenangan Bidang Pertahanan dan Keamanan ............................................... 65 3. Kewenangan Bidang Keuangan dan Perekonomian ........................................... 67 4. Kewenangan Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dan Komisi HAM ........... 69 5. Kewenangan Bidang Perlindungan Masyarakat Adat ........................................ 70 6. Kewenangan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan ..................... 71 F. Perlakuan Khusus (Affirmative Action) Untuk Orang Asli Papua ............................ 76 G. Hambatan Implementasi UU Otsus dan Dampaknya ............................................... 81 1. Kelemahan Formulasi Yuridis dan Dampaknya ................................................. 81 2. Kelemahan Dalam Implementasi dan Dampaknya ........................................... 90 a. Kebijakan Pemerintah Pusat Mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 .......................................................................................... 90 a) Dimensi Keberlakuan Hukum ................................................................ 92 b) Dimensi Integralitas ................................................................................ 93 c) Dimensi Isi Atau Batang Tubuh ............................................................ 95
vii
b. Kebijakan Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tentang MRP ................... 96 3. Kebijakan Pemerintah Provinsi .......................................................................... 99 a. Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota ................. 99 b. Penyusunan dan Penetapan Regulasi Daerah ............................................... 100 c. Pengaturan Penggunaan Keuangan Daerah .................................................. 104 H. Beberapa Masalah Krusial ........................................................................................ 107 1. Persepsi Keabsahan Pepera ................................................................................ 107 2. Pelaksanaan Pemilu 2004 di Wilayah Papua ...................................................... 110 a. Penetapan Daerah Pemilihan dan Quota Kursi ............................................. 111 b. Verifikasi Peserta Pemilu ............................................................................. 112 3. Pemilihan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur di Wilayah Papua ................. 113 a. Pemililhan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur di Provinsi Papua ........... 114 b. Pemilihan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur di Provinsi Papua Barat ... 120 4. Masalah Kondisi Aparatur Pemerintahan Daerah .............................................. 123 BAB V PENUTUP A. Simpulan ................................................................................................................... 129 B. Rekomendasi ............................................................................................................ 130 SUMBER BACAAN ..................................................................................................... 131 Lampiran: Aliran Posisi Penelitian Dalam Konteks Menuju Tujuan Akhir Kliping Koran
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1.
Sistematika Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ................................................................... 19
Tabel 2.2.
Produk hukum Pemerintah Republik Indonesia (1956 s/d 2001) yang secara khusus melegitimasi dan mengatur keberadaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .......... 20
Tabel: 4.1.
Identifikasi Aspek-aspek dalam UU Otsus yang sudah termuat dalam PP MRP ........................................................................................ 99
Tabel 4.2.
Perdasus Perintah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 ........................ 101
Tabel 4.3.
Perdasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 ... 102
Tabel 4.4
Alokasi Pembagian Dana Otonomi Khusus Untuk Kabupaten/ Kota Se Papua Dalam APBD Provinsi Papua, Tahun Anggaran 2002 – 2005 ................................................................ 105
Tabel 4.5.
Jumlah PNS Otonom di Provinsi Papua Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................................................................................. 124
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1.
Mekanisme Hubungan Gubernur, DPRP dan MRP ............................... 50
Gambar 4.2.
Golongan Kepangkatan PNS Otonom di Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua ....................................................................... 125
Gambar 4.3.
Tingkat Pendidikan Anggota DPRP Hasil Pemilihan Umum 2004 ....... 126
Gambar 4.4.
Tingkat Pendidikan Anggota MRP Berdasarkan Keterwakilan Unsur .. 127
x
ORGANISASI PENELITIAN
Penanggung Jawab
: Rektor Universitas Cenderawasih
Institusi Pelaksana
: Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih
Tim Peneliti Ketua Wakil Ketua Sekretaris
: H. Mohammad A. Musa’ad : Lily Bauw : David Erari
Anggota
: 1. Bambang Sugiono 2. Untung Muhdiarta 3. Marthinus Solosssa 4. Julius Ary Mollet 5. Anita Erari 6. Renida J. Toroby
Tenaga Pendukung
: 1. Retno Sri Utami 2. Ronald Erold Mongdong 3. Muliadi Anangkota
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Komitmen Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi, telah melahirkan kesadaran dan pemikiran baru dalam menangani berbagai permasalahan yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran dan kesadaran baru tersebut ditandai dengan adanya perubahan paradigma dalam penanganan berbagai masalah bangsa dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan kesejahteraan, dengan memperhatikan kesetaraan dan keberagaman kehidupan sosial budaya masyarakat lokal. Kebijakan mengenai penetapan Papua1 sebagai daerah otonomi khusus dapat dipandang sebagai salah satu bentuk aktualisasi dari adanya perubahan paradigma tersebut. Kebijakan ini dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa keputusan politik penyatuan Irian Barat (kini Papua) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur demi kemajuan rakyat di Papua. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa berbagai kebijakan yang diimplementasikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan dan rasa keadilan bagi rakyat. Bahkan sebaliknya dirasakan adanya tindakan-tindakan diskriminatif, pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak-hak dasar orang asli Papua. Kondisi ini telah mengakibatkan kekecewaan yang bermuara pada melemahnya kepercayaan rakyat, khususnya orang asli Papua terhadap Pemerintah, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, termasuk keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Keinginan politik (political will) Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani permasalahan di Provinsi Papua secara sungguh-sungguh baru dimulai pada tahun 1999, yang ditandai dengan penetapan Provinsi Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1
Menurut Mansoben (Mansoben : 2004), sebelum bernama Provinsi Papua berdasarkan UU.No.21 Tahun 2001, nama provinsi ini telah beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan dinamika politik nasional maupun internasional. Sebelumnya, nama provinsi ini adalah Irian Jaya, Irian Barat (West Irian), Papua Barat (West Papua), Nederlands Nieuw Guinea (Neherlands New Guinea), Nova Guinea, dan lainlain. Penjelasan lebih lengkap tentang nama-nama tersebut dan kaitannya dengan perkembangan politik nasional maupun dunia.
!
2!
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 22.Amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 yang menyangkut penetapan Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditekankan kembali, melalui ketetapan MPR RI nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan perwakilan Rakyat3. Menindaklanjuti amanat kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat
pada tanggal 22 Oktober 2001 telah
menyetujui dan menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hasil ketetapan Dewan Perwakilan Rakyat ini kemudian disampaikan kepada Pemerintah (Presiden) untuk disahkan. Presiden Republik Indonesia sesuai kewenangan yang dimiliki, pada tanggal 21 Nopember 2001 telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,(UU Otsus)4 patut dicatat sebagai suatu karya monumental hasil kemitraan Pusat dan Daerah. UU Otsus adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah NKRI, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 2
Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 2, menyebutkan: “….dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat…”. 3 Tap MPR RI No. IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan DPR menyebutkan: “… Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan..”. 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, diundangkan pada tanggal 21 Nopember 2001 dalam LNRI Tahun 2001 Nomor 135, TLNRI Nomor 4151.
!
3!
mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah
provinsi
Papua,
sebesar-besarnya
bagi
kemakmuran
rakyat
Papua,
memberdayakan potensi perekonomian, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakilwakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Di sisi lain kebijakan Otonomi Khusus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol budaya (cultural symbol) sebagai wujud kemegahan jati diri. Hal ini menunjukan bahwasanya sebagai akibat dari penetapan Otonomi Khusus Papua, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus Papua maka terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. Selain itu undang-undang ini memiliki sejumlah keistimewaan5 yang membedakannya dengan produk perundang-undangan lainnya. Dengan berbagai keistimewaan sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan UU Otsus Papua dapat berperan sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 5
Beberapa keistimewaan Undang-undang No. 21 Tahun 2001 (Musa’ad, 2004) antara lain: (1) rancangan awal undang-undang tentang otonomi khusus Papua disusun oleh sejumlah komponen anak bangsa negeri ini yang berasal dari Papua. Keterlibatan berbagai komponen bangsa di Papua merupakan wujud kepercayaan Pemerintah dan Negara terhadap kemampuan putra-putra terbaik Papua dalam berkontribusi mengatur dan membangun daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) proses penyusunan rancangan undang-undang tentang otonomi khusus Papua dilakukan secara aspiratif dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya melalui pentahapan penjaringan aspirasi dalam lingkup Kabupaten/Kota dan temu kaji pada lingkup Provinsi, serta diskusi terfokus dengan para pakar dalam lingkup nasional; (3) muatan rancangan undang-undang tentang otonomi khusus Papua tersebut didesain sedemikian rupa sehingga dipandang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat, khususnya orang asli Papua; (4) proses legislasi undang-undang tentang otonomi khusus Papua dilakukan melalui mekanisme usul inisiatif DPR; (5) undang-undang ini bersifat khusus artinya bahwa ada hal-hal yang berlaku di Provinsi Papua yang mungkin tidak berlaku di Provinsi lainnya di Indonesia. Sebaliknya ada halhal yang berlaku di Provinsi lainnya di Indonesia yang mungkin tidak berlaku di Provinsi Papua; (6) undangundang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal, dipandang sangat komprehensif karena mengatur berbagai aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan-keamanan).
!
4!
kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah NKRI, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan. UU Otsus Papua telah dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002. Hal ini merupakan suatu langkah maju yang monumental bagi bangsa. Melalui undang-undang ini, Pemerintah dan NKRI mengakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Diakui pula bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli. Sebagai akibat dari hal tersebut, maka memunculkan kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Atas dasar pengakuan tersebut, maka dalam undang-undang tersebut juga memuat komitmen Pemerintah dan NKRI, yakni: menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, serta memberi perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli dan hak asasi manusia, supremasi hukum, penegakan demokrasi, penghargaan terhadap pluralisme, dan penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia penduduk asli Papua. UU Otsus Papua telah mengantar bangsa Indonesia khususnya rakyat Indonesia di Provinsi Papua memasuki satu babakan baru dalam sejarah kehidupannya. Melalui undang-undang ini, rakyat Indonesia di Provinsi Papua telah memiliki dasar hukum yang kuat secara normatif untuk mempercepat kegiatan-kegiatan pembangunan dengan inisiatif dan prakarsa sendiri secara kreatif-inovatif, sehingga diharapkan mampu sejajar dengan rakyat Indonesia di provinsi lain. UU
Otsus
merupakan
instrumen
hukum
yang
memuat
kebijakan
desentralisasi asimatris (asymetrical decentralization) kepada Papua sebagai daerah yang memiliki masalah yang bersifat khusus, dan merupakan pilar utama yang mengatur hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah. Secara garis besar UU Otsus memuat substansi yang sangat strategis sebagai instrumen hukum untuk: Pertama, menjawab permasalahan yang terjadi di Provinsi Papua sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan masa lalu, dan Kedua, implementasi model
!
5!
kebijakan pembangunan Papua yang mengakui identitas dan memperkuat kapasitas sumber daya lokal yang kompetitif di masa mendatang. Sejarah penyusunan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur otonomi daerah sebagai pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia pada umumnya hasil desain (direncanakan, disusun dan ditetapkan) politik
yang memiliki kewenangan
pada institusi
legislasi
para
elite
nasional, sejarah
penyusunan otonomi khusus Papua yang dimuat dalam UU Otsus merupakan hasil dari proses politik, antara sikap reaktif elite politik yang memiliki kewenangan pada institusi legislasi nasional dengan sikap difensif dari Tim lintas “stake holders” yang dibentuk Pemerintah Provinsi Irian Jaya yang mengajukan “Rancangan UndangUndang
Otonomi
Khusus
Bagi
Propinsi
Papua
Dalam
Bentuk
Wilayah
Berpemerintahan Sendiri” dengan substansi yang memuat tata hubungan kewenangan yang sangat terbatas antara Provinsi Papua dengan Pemerintah Republik Indonesia.6 Sebagai salah satu implikasinya, maka nuansa “pesan politik” dari substansi UU Otsus lebih dominan dibandingkan perumusan norma hukum (legislative drafting) yang dalam banyak hal kurang sistematis, kurang lengkap dan kurang jelas. Oleh karena itu, secara kontekstual dalam hal pemahaman terhadap materi muatan UU Otsus tidak boleh semata-mata didasarkan pada kelengkapan materi muatan Pasal yang tersurat, akan tetapi dalam hal terjadi perbedaan tafsir, diperlukan kajian terhadap aspek-aspek yang melatarbelakangi lahirnya materi muatan Pasal-pasal tersebut. Namun, fakta memperlihatkan bahwa UU Otsus sebagai produk politik yang diharapkan menjadi solusi komprehensif terhadap permasalahan yang terjadi di Papua pada masa lalu, justru menemui banyak hambatan dari aspek yuridis normatif dan sosio-politik dalam implementasinya. Dari hasil identifikasi awal yang dilakukan, setidaknya terdapat 2 (dua) bentuk hambatan dalam implementasi UU Otsus, yaitu: 1. Hambatan implementasi materi muatan yang terjadi sejak ditetapkannya UU Otsus. Penyebabnya adalah perbedaan kepentingan antara Pemerintah Pusat dengan masyarakat Papua yang diwakili oleh Tim Penyusun RUU Otsus, serta pemahaman !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 6
Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua Dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri, yang terdiri dari 23 Bab dan 76 Pasal tersebut memiliki struktur institusi pemerintahan Provinsi dengan kewenangan yang berbeda dengan UU Otsus yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal, walaupun keduanya dalam beberapa aspek memiliki latar belakang filosofi yang sama. Ketatnya proses politik dan tidak adanya disain awal dan pengalaman dari para elite politik di pemerintahan Indonesia, menjadi faktor yang berpengaruh pada lemahnya perumusan norma hukum (legislative drafting) yang sistematis, lengkap dan jelas.
!
6!
dan ketrampilan yang lemah dalam menyusun materi muatan undang-undang yang layak, adanya tekanan dan eskalasi politik lokal yang tinggi. 2. Hambatan
implementasi
yang
terjadi
setelah
ditetapkannya
UU
Otsus.
Penyebabnya adalah implementasi kebijakan Pemerintah Pusat yang menyimpang atau tidak sesuai dengan materi muatan UU Otsus, serta unsur-unsur pemerintahan provinsi yang tidak menyusun dan melaksanakan instrumen hukum pelaksanaan UU Otsus secara baik. Hambatan-hambatan tersebut selama 9 (sembilan) tahun implementasi UU Otsus telah menjadi masalah utama dalam mewujudkan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, maupun meningkatkan komunikasi politik yang tidak sehat dalam bentuk hubungan saling curiga antara Pusat dan Daerah, sehingga menenggelamkan berbagai keberhasilan dan prestasi pembangunan yang telah dicapai di Papua oleh Pusat maupun Daerah. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, perlu dilakukan secara rasional dalam bentuk penelitian untuk menata ulang hubungan kewenangan pusat dan daerah dalam NKRI. Mengingat keterbatasan berbagai aspek, maka tahap pertama dalam penelitian ini terfokus pada identifikasi hambatan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. B. Rumusan Masalah Penelitian ini adalah penelitian tahap pertama yang berfokus pada identifikasi hambatan implementasi UU Otsus, yang bermaksud untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa substansi kewenangan yang terdapat dalam UU Otsus yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah di Papua? 2. Apa hambatan utama dan dampak yang terjadi dalam implementasi UU Otsus? C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan substansi kewenangan yang terdapat dalam UU Otsus yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah di Papua; 2. Mengidentifikasikan hambatan utama dan dampak yang terjadi dalam implementasi UU Otsus.
!
7!
D. Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai: 1. Bahan rujukan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan evaluasi secara komprehensif tentang pelaksanaan UU Otsus Papua. 2. Bahan rujukan bagi pihak-pihak yang berkompeten untuk kepentingan melakukan review dan merekonstruksi materi muatan UU Otsus Papua dengan memperhatikan kondisi objektif dinamika sosial politik di Papua.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Desentralisasi 1. Dimensi Maknawi Wewenang pemerintahan yang terpusat (concentrated) atau yang terpencar (dispersed) merupakan pilihan yang harus ditentukan oleh suatu negara. Pilihan ini tentunya memiliki konsekuensi, jika pilihannya dijatuhkan pada pemusatan wewenang, maka strategi yang dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah “sentralisasi (centralization)”. Sebaliknya jika pilihannya adalah pemencaran wewenang, maka strategi yang dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah “desentralisasi (decentralization) . Desentralisasi dalam tinjauan etimologis berasal dari bahasa Latin, “de” = lepas dan “centrum” = pusat, sehingga “decentrum” (desentralisasi) dapat diartikan melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan dalam konteks nuansa penyerahan kekuasaan/ kewenangan Pusat kepada Daerah. Konsepsi desentralisasi sebagaimana tersebut secara substansial identik dengan rumusan dalam Webster (Suryaningrat, 1981: 3), yakni: to decentralize means to divide and distribute, as governmental administration; to withdraw from the center or place of concentration1 Scligman (Suryadinata, 1993:46), memaknai Desentralisasi adalah The process of decentralization denotes the transference of authority, legislative or administrative, from a higher level of government to a lower2 . Ruiter (Hoogerwerf, Sarundajang, 1999:46), mengemukakan bahwa “desentralisasi adalah pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah, untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu”. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1
Terjemahannya: desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan; mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi. 2 Terjemahannya: suatu proses penyerahan wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai kekuasaan, kepada pemerintah yang lebih rendah derajatnya, menyangkut bidang legislatif atau administratif.
!
9!
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai sumber hukum operasional penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”. Berbagai uraian tersebut di atas menunjukan bahwa desentralisasi pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai konsekuensi dari pola anutan pendekatan desentralisasi, maka sebagian kewenangan pemerintahan yang dikuasai oleh Pemerintah, diserahkan kepada tingkatan pemerintahan di bawahnya (Pemerintah Daerah) dan menjadi urusan rumah tangga Daerah. Mengingat bahwa bentuk negara Indonesia adalah Republik-Kesatuan, maka kekuasaan sepenuhnya hanya dimiliki oleh Pemerintah, dengan demikian maka kewenangan yang diserahkan kepada Daerah harus dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah selaku pemberi kewenangan. 2. Dimensi Format Pembahasan pada bagian ini penting dalam rangka menghindari adanya kesalahan dalam menginterpretasikan konsep desentralisasi. Ranis dan Stewart (Juoro, 1996:9) mengklasifikasikan format sistem desentralisasi dalam tiga kategori, yakni: pertama, dekonsentrasi (pegawai pemerintah pusat bekerja di daerah); kedua; delegasi (pemerintah pusat mendelegasikan kekuasaannya ke tingkat daerah); dan ketiga, devolusi (pemerintah pusat mengalihkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah). Dalam konteks yang sama, Riggs (1985:95) membagi desentralisasi dalam dua bentuk, yakni: pertama, delegation (pelimpahan wewenang), yang dalam pemahaman Riggs mencakup penyerahan tanggungjawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasarkan kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap di tangan Pemerintah Pusat, ini terkadang identik dengan dekonsentrasi; kedua, devolusi (pengalihan kekuasaan), yang dimaknai sebagai penyerahan seluruh tanggungjawab untuk kegiatan tertentu kepada penerima wewenang. Bryant dan White (1987:213), menggolongkan format desentralisasi dalam dua bentuk, yakni: pertama, desentralisasi administratif atau dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal; kedua, desentralisasi politik atau devolusi, yang berarti bahwa wewenang pembuatan
!
10!
keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumberdaya diberikan kepada pejabatpejabat regional dan lokal. Logeman (Supriatna, 1993:1-2), membagi format desentralisasi dalam dua macam, yaitu: pertama, dekonsentrasi (deconcentratie) atau “ambtelijke decentralisatie”, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Misalnya pelimpahan wewenang menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah tidak ikut campur; kedua, desentralisasi ketatanegaraan atau “ Staatkundige decentralisatie”, yang sering disebut juga desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en best UndangUndang rende bevoerheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan saluransaluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing. Dalam konteks ini, Van Der Pot (Supriatna, 1993:2), melihat desentralisasi dalam dua kategori, yaitu: pertama, desentralisasi teritorial (teritoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah
tangga
dari
daerah
masing-masing
(otonom);
kedua,
Desentralisasi fungsional (functional decentralisatie), yaitu; pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hal ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan kepentingan tertentu. Surianingrat (1980:6), dalam konteks yang sama membagi format desentralisasi dalam dua bentuk, yakni:
pertama, desentralisasi jabatan atau
dekonsentrasi; kedua, desentralisasi kenegaraan. Desentralisasi kenegaraan dibedakan atas dua yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Format desentralisasi menurut Muslimin (1986:5) ada 3 (tiga) macam, yaitu: pertama, desentralisasi politik, yakni: pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat (yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri) kepada badanbadan politik di daerah-daerah (yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah
!
11!
tertentu); kedua, desentralisasi fungsional, yakni: Pemberian hak dan kewenangan kepada golongan-golongan untuk mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat pada suatu daerah tertentu, baik terikat atau tidak. Umpamanya, mengurus kepentingan irigasi untuk golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu; ketiga, desentralisasi kebudayaan, yakni: memberikan hak kepada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri (mengatur pendidikan, agama, dan lainlain). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang merupakan landasan operasional penyelenggaraan pemerintahan daerah, telah memberikan arahan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada tiga asas pemerintahan, yakni: Pertama, asas dekonsentrasi, yaitu: pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau sebagai perangkat pusat di daerah; Kedua, asas desentralisasi, yaitu: penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI; Ketiga, asas tugas pembantuan (medebewind), yaitu: Penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia,
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa desentralisasi dalam arti luas adalah suatu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang mencerminkan kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Pencerminan kepentingan Pemerintah Pusat diapresiasikan dalam bentuk dekonsentrasi dan medebewind. Pencerminan kepentingan Pemerintahan Daerah diapresiasikan dalam bentuk desentralisasi (dalam arti sempit). 3. Keunggulan dan Kelemahan Desentralisasi Kajian dan telaah secara cermat terhadap muatan konsep desentralisasi menunjukkan adanya beberapa keunggulan, meskipun bukan berarti bahwa konsep ini tidak memiliki kelemahan. Keunggulan desentralisasi pada prinsipnya sekaligus merupakan kelemahan dari sentralisasi, begitu pula sebaliknya keunggulan sentralisasi merupakan kelemahan dari desentralisasi. Terry (Surianingrat, 1983:3), mengemukakan beberapa keunggulan dari desentralisasi, yaitu:
!
12!
a. Struktur organisasi yang didesentralisasikan berbobot pendelegasian wewenang dan memperingan beban manajemen teratas; b. Lebih berkembang “generalists” daripada “spesialists” dan dengan demikian membuka jalan untuk kedudukan manajer umum; c. Hubungan dan kaitan yang akrab dapat ditingkatkan yang
mengakibatkan
gairah kerja dan koordinasi yang baik; d. Kebiasaan dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan; e. Efisiensi dapat ditingkatkan sepanjang struktur dapat dipandang sebagai satu kebulatan, sehingga kesulitan dapat dilokalisasi dan dipecahkan dengan mudah; f. Bagi institusi yang besar dan tersebar di berbagai tempat dapat diperoleh manfaat dari keadaan di tempat masing-masing; g. Rencana dapat dicoba pada suatu eksperimen pada satu institusi dapat dirubah dan dibuktikan sebelum diterapkan pada bagian lain yang sejenis dari institusi yang sama; h. Resiko yang mencakup kerugian kepegawaian, fasilitas dan institusi menjadi terbagi; J. in het Veld (Surianingrat, 1983:5-6), menampilkan sejumlah keunggulan desentralisasi, yaitu: a. Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam; b. Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin pula mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan daerah dan bagaimana memenuhinya; c. Dengan desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja: d. Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol, karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang luas; e. Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat tidak hanya merasa sebagai objek saja;
!
13!
f. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah. Ini dapat menghindarkan pemborosan, dan dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan dayaguna dan hasil guna. Osborne dan Gaebler (1996: 283-284), mengungkapkan adanya beberapa keunggulan lembaga yang menganut asas desentralisasi, yaitu: a. Lembaga
yang
terdesentralisasi
jauh
lebih
fleksibel
daripada
yang
tersentralisasi, lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah; b. Lembaga tersentralisasi jauh lebih efektif daripada yang terdesentralisasi; c. Lembaga
yang
terdesentralisasi
jauh
lebih
inovatif
daripada
yang
terdesentralisasi; d. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen, dan lebih besar produktivitas. Sarundajang (1999:62) mencatat adanya 8 (delapan) keunggulan/ keuntungan dari penerapan desentralisasi, yaitu: a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi dari Pemerintah Pusat; c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk, karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; d. Dalam sistem desentralisasi dapat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi)
yang
berguna
bagi
kepentingan
tertentu.
Khususnya desentralisasi teritorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan khusus daerah; e. Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja, dan oleh karena itu dapat dengan mudah untuk ditiadakan; f. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat; g. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada Daerah;
!
14!
h. Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani. Keunggulan lain yang dimaknai oleh pemberlakuan asas desentralisasi menurut Salusu (1996:421), yaitu: a. Mempercepat proses pengambilan keputusan; b. Terciptanya fleksibilitas; c. Memberikan peluang bagi eselon atas untuk memanfaatkan waktu dan memusatkan perhatiannya pada proses manajemen stratejik; d. Menghindarkan keterlibatan eselon atas dalam pengambilan keputusankeputusan rutin, sehingga terpusat perhatiannya untuk dalam hal pengambilan keputusan stratejik; e. Memberikan motivasi kepada eselon bawah karena memperoleh kesempatan yang luas untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada awal pembahasan bagian ini, bahwa di samping berbagai keunggulan desentralisasi juga terdapat kelemahannya, Kaho (1988:14), mencatat beberapa kelemahan desentralisasi, yaitu: a. Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi; b. Keseimbangan dan keserasian antar bermacam-macam kepentingan dan Daerah dapat lebih mudah terganggu; c. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut dimerism atau provisialisme; d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele; e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman/ uniformitas dan kesederhanaan. Ada beberapa kelemahan dalam penerapan desentralisasi, akan tetapi seiring dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan faktor demokratisasi dan partisipasi masyarakat, maka pilihan terhadap desentralisasi merupakan alternatif terbaik. Melalui desentralisasi maka Pemerintah Pusat akan menyerahkan sebagian kewenangan yang dimilikinya kepada Daerah, ini berarti akan terhindar dari praktek autokrasi, sebaliknya akan terwujud proses demokratisasi, sebab kewenangan/kekuasaan akan menjadi milik bersama Pusat dan Daerah.
!
15!
Di sisi lain melalui desentralisasi juga akan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi merupakan proses mendekatkan Pemerintah dengan masyarakat, Pemerintah yang dekat dengan masyarakat akan bersifat responsif, reaktif, akomodatif, dan sebagainya. Pemerintah yang reaktif dalam merespon dan mengakomodir aspirasi masyarakat akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga masyarakat dengan rela berpartisipasi dalam segala bentuk proses penyelenggaraan pemerintahan. Proses demokratisasi dan partisipasi tersebut merupakan prasyarat bagi terwujudnya suatu pemerintah yang memiliki kapabilitas dan kapasitas sebagai modal dasar dalam rangka meningkatkan daya guna (efektivitas) dan hasil guna (efisiensi)
penyelenggaraan
pemerintahan,
sehingga
Pemerintah
memiliki
kemampuan untuk melayani, memberdayakan dan membangun masyarakat secara optimal. Bersamaan dengan itu masyarakat akan memberikan dukungannya, sehingga akan tercipta pemerintahan yang kuat karena memiliki kemampuan (capability) dan dapat diterima (acceptability) oleh masyarakat. B. Desentralisasi Asimetris Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization atau juga yang dikenal dengan istilah otonomi asimetris (asymmetric authonomy) adalah konsep yang digunakan terhadap pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara. Pemberian status khusus pada wilayah tertentu dalam suatu negara biasanya didasarkan atas pertimbangan historis, politik, keberagaman etnik dan budaya, akselerasi pembangunan, dan sebagainya. Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi asimetris (asyimmetric authonomy), sebagai suatu konsep oleh beberapa pihak dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hubungan Pusat dan Daerah dalam suatu negara. Dalam konteks ini Van Houten (2004: 3-4) mengungkapkan : “The legally astablilished power of distinctive, non soverigh ethnic communities or ethnically distinc territories to make substancial public dicisions and execute publik policy independently of other sources of authority in the state., but subject to the overall legal order of the state. In order words, in our understanding
!
16! outhonomy denotes the exercise of exclusive jurisdiction by distinctive no-sovereign ethnic communities or the population of ethnically distinc territories”3
Pencermatan terhadap ungkapan Van Houten tersebut setidaknya mencakup 2 (dua) aspek, yaitu : pertama, dalam konteks kewilayahan, konsepsi otonomi dapat diklasifikasikan : otonomi wilayah (territorial authonomy) dan otonomi non wilayah (non territorial authonomy). Kedua, dalam konteks fungsional konsepsi otonomi dapat diklasifikasi: otonomi asimetris dan otonomi umum. Hannum (2001: 1-3), mensinyalir setidaknya ada 2 (dua) manfaat yang dapat
diperoleh
dari
pemberlakuan
desentralisasi
asimetris
(asymmetric
decentralization) atau otonomi asimetris (asyimmetric authonomy), yaitu : pertama, sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisik lainnya. Dalam konteks ini dicontohkan seperti hubungan Hongkong dengan Cina, Hongkong merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Cina, akan tetapi Hongkong diberikan sejumlah kewenangan tertentu yang urgen dalam aspek politik, hukum, dan ekonomi. kedua, sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hakhaknya selama ini cenderung dilanggar/kurang diperhatikan. Dalam konteks ini dicontohkan seperti Quebec di Kanada, pada 1970 Quebec menjadi bagian dari wilayah Kanada. Akibat urbanisasi maka kaum Quebecois terusik dan secara lantang mempersoalkan & memperjuangkan hak-hak yang dimiliki mereka. Untuk memperjuangkan aspirasi tersebut maka didirikan partai politik “Quebecois” yang beraspirasi memerdekakan diri dari Kanada. Pada tahun 1980 partai “Quebecois” berhasil
memperjuangkan
aspirasi
tersebut
untuk
dipecahkan
melalui
“referendum”, tetapi gagal. Akhirnya untuk menyelesaikan masalah tersebut, Pemerintah dan Parlemen Nasional Kanada merevisi konstitusi, memasukan dan mengakui keunikan Quebec dengan segala kekhususannya. Dalam perkembangannya penerapan desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi asimetris (asyimmetric authonomy) terkadang !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 3
Terjemahannya: Kewenangan legal (berkekuatan hukum) yang diberikan kepada kelompok masyarakat khusus yang tidak memiliki kedaulatan, atau wilayah yang khusus secara etnis agar mereka dapat membuat keputusan-keputusan publik yang mendasar dan melaksanakan kebijakan-kebijakan publi secara bebas diluar sumber-sumber kewenangan negara yang berlaku selama ini, tapi tetap tunduk di bawah hukum negara secara keseluruhan. Dengan perkataan lain dalam pemahaman kami otonomi berarti hak yang diberikan kepada masyarakat etnis atau penduduk dari suatu wilayah beretnis khusus tertentu, yang btidak memeiliki kedaulatan politik sendiri untuk melaksanakan suatu yuridiksi eksklusuif.
!
17!
diperhadapkan
dengan
sejumlah
permasalahan.
Permasalahan-permasalahan
tersebut menurut Hannum (2001: 3-4), terutama terkait dengan ketidakpahaman Pemerintah Nasional (Pusat) dan kelompok minoritas (Pemerintah Lokal) tentang apa yang seharusnya menjadi isi/substansi dari kebijakan tersebut, sebagai upaya bersama untuk memecahkan berbagai masalah yang mengemuka. Kondisi ini akan semakin memburuk, ketika muncul kecemburuan diantara kelompok masyarakat yang memandang pemberian/pemberlakuan desentralisasi asimeteris/otonomi asimetris/otonomi khusus terhadap kelompok masyarakat tertentu merupakan bukti adanya ketidakadilan/pilih kasih Pemerintah Pusat kepada Daerah tertentu. Dalam konteks NKRI pemberian status desentralisasi asimetris, baru diberlakukan bagi Provinsi Aceh dan Provinsi Papua. Pemberlakuan otonomi khusus di kedua daerah tersebut dilakukan sejak tahun 2001, yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam4 dan UU Otsus. C. Otonomi Khusus Papua UU Otsus adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah NKRI, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Otonomi Khusus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua, sebesar-besarnya
bagi
kemakmuran
rakyat
Papua,
memberdayakan
potensi
perekonomian, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 4
Sebagai tindaklanjut dari hasil kesepakatan damai “Helsinki” antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 telah diubah dengan UndangUndang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
!
18!
keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Di sisi lain kebijakan Otonomi Khusus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol budaya (cultural symbol) sebagai wujud kemegahan jati diri. Hal ini menunjukan bahwasanya sebagai akibat dari penetapan Otonomi Khusus Papua, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus Papua maka terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. Konstruksi UU Otsus, dibangun berlandaskan pada sejumlah pernyataan bermakna filosofi, sebagaimana tertuang dalam konsiderans menimbang. Pada bagian konsiderans menimbang terdapat sejumlah pernyataan yang bermakna filosofis, yang mengandung sejumlah pengakuan antara lain: 1. Pengakuan atas cita-cita dan tujuan NKRI; 2. Pengakuan bahwasanya masyarakat Papua adalah insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab; 3. Pengakuan terhadap adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus; 4. Pengakuan bahwasanya penduduk asli provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia dan merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman budaya, sejarah, adat istiadat, dan bahasa; 5. Pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM); 6. Pengakuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli; 7. Pengakuan adanya kesenjangan provinsi Papua dengan provinsi lain di Indonesia. Di sisi lain terdapat juga sejumlah komitmen, antara lain: 1. Menjunjung tinggi HAM, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat;
!
19!
2. Menghargai kesetaraan dan keragaman sosial budaya masyarakat Papua; 3. Perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral; 4. Perlindungan hak-hak dasar penduduk asli dan HAM; 5. Supremasi hukum; 6. Penegakan demokrasi; 7. Penghargaan terhadap pluralisme; 8. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM penduduk asli Papua. Pengakuan dan komitmen ini merupakan pengejawantahan dari nilai dasar5 yang melandasi penyusunan Rancangan Undang-undang tersebut. Nilai dasar tersebut kemudian diinterpretasi dalam 5 (lima) prinsip, yang diakronimkan menjadi “PAPUA”, yakni: Proteksi, Affirmasi, Pemberdayaan, Universal, dan Akuntabilitas. Nilai dasar dan prinsip sebagaimana tersebut, pada ranah operasional diaktualisasikan dalam bentuk rumusan isi atau batang tubuh dari UU Otsus yang terdiri atas XXIV Bab dan 79 Pasal, yang secara sistematis terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Sistematika Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua BAB I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII
NAMA BAB KETENTUAN UMUM LAMBANG-LAMBANG PEMBAGIAN DAERAH KEWENANGAN DAERAH BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN PARTAI POLITIK PERATURAN DAERAH KHUSUS, PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN KEPUTUSAN GUBERNUR KEUANGAN PEREKONOMIAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT HAK ASASI MANUSIA KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA KEKUASAAN PERADILAN KEAGAMAAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KESEHATAN
JUMLAH PASAL 1 (1) 1 (2) 2 (3) 1 (4) 21 (5-25) 2 (26-27) 1 (28) 4 (29-32) 5 (33-37) 5 (38-42) 2 (43-44) 3 (45-47) 2 (48-49) 3 (50-52) 3 (53-55) 3 (56-58) 2 (59-60)
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 5
Dalam Pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penyusunan RUU Otsus Papua dalam bentuk wilayah berpemerintahan sendiri (Sumule (Ed), 2003;53-60), disebutkan 7 (tujuh) nilai dasar, yakni : (1) perlindungan terhadap hak-hak penduduk asli Papua; (2) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (3) penghargaan terhadap etika dan moral; (4) supremasi hukum; (5) penegakan HAM; (6) penghargaan terhadap pluralisme;dan (7) persamaan kedudukan , hak, dan kewajiban sebagai warga Negara
!
20! XVIII XIX
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP XX SOSIAL XXI PENGAWASAN XXII KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN XXIII KETENTUAN PERALIHAN XXIV KETENTUAN PENUTUP Sumber: Musa’ad, (2005:154)
2 (61-62) 2 (63-64) 2 (65-66) 2 (67-68) 2 (69-70) 5 (71-75) 4 (76-79)
Sebelum diberlakukannya UU Otsus Pemerintah Republik Indonesia telah pula menerbitkan sejumlah produk hukum dalam bentuk peraturan Perundang-undangan, yang melegitimasi keberadaan Provinsi Papua serta mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di provinsi tersebut, sebagai bagian integral dari NKRI, sebagaimana terlihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Produk hukum Pemerintah Republik Indonesia (1956 s/d 2001) yang secara khusus melegitimasi dan mengatur keberadaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
01.
PRODUK HUKUM Undang-undang
02.
UU Darurat
20 / 1957
03.
Undang-undang
23 / 1958
04. 05.
Penetapan Presiden Penetapan Presiden
I / 1962 I / 1963
06. 07. 08.
Penetapan Presiden Penetapan Presiden Penetapan Presiden
8/1963 14/1963 14/1965
09.
Undang-undang
12 / 1969
10.
Undang-undang
16 / 1969
NO.
NOMOR/ TAHUN 15 / 1956
11 Undang-undang 21 / 2001 Sumber: Hasil Elaborasi Tim, 2010
ISI Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat Perubahan Undang-undang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat Penetapan Undang-undang Darurat No.20 Tahun 1957 Tentang Penambahan Undang-undang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara Tahun 1957 No.76) sebagai Undang-undang Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru Pemerintahan di Wilayah Irian Barat Segera Setelah Diserahkan Kepada Republik Indonesia Kegiatan Politik di Irian Barat Kebijaksanaan pembangunan Provinsi Irian Barat Kegiatan Politik dan Kepartaian di Daerah Provinsi Irian Barat Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk provinsi Irian Barat Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
!
21!
D. Kriteria Peraturan Perundang-undangan Dalam Konteks UU Otsus Peraturan Perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional, sekaligus sebagai instrumen utama proses penciptaan hukum di Indonesia. Hal tersebut karena: 1. Sistem hukum Indonesia6 secara umum didominasi corak hukum kontinental yang mengutamakan bentuk hukum tertulis (geschrevenrecht, written law). 2. Pembangunan hukum nasional mengutamakan penggunaan peraturan Perundangundangan sebagai instrumen utama, dibandingkan dengan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Mengingat dalam melaksanakan pembangunan hukum nasional, peraturan Perundang-undangan merupakan instrumen yang dapat disusun secara berencana, dibandingkan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Sjahran Basah (1995:3) menyebutkan bahwa suatu peraturan Perundangundangan diketahui berdasarkan elemen-elemen yang menjadi substansinya, yang mencakup 3 (tiga) elemen sebagai berikut : 1). Peraturan Perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan Perundang-undangan
sebagai
kaidah
hukum
lazim
disebut
hukum
tertulis
(geschrevenrecht, written law), 2). Peraturan Perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan pejabat (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku atau mengikat umum, dan 3). Peraturan Perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. P. J . P . Tak (1987:70) merumuskan peraturan Perundang-undangan: “... als een besluit van een orgaan met wetgevende regels bevat. Het begrip algemeen in deze omesschrijving wil niet zeggen dat materiele wetten alleen die wetten zijn die alle burgers binden, maar slechts dat materiele wetten niet voor een bepaald geval gelden, maar van toepassing zijn in een onbepaald aantal gevallen en voor een onbepaald aantal personen.”7
Sedangkan D. P. W. Ruiter (1987:7) mengemukakan bahwa suatu peraturan Perundang-undangan harus mengandung tiga elemen yaitu : rechtsnormen, naar buiten !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 6
Sistem Hukum Indonesia masih mengakomodasi berlakunya 4 (empat) jenis hukum, yaitu: hukum kontinental yang berasal dari sistem hukum barat, hukum adat, hukum agama, terutama sebagian hukum Islam, dan hukum nasional yang berkembang setelah kemerdekaan. Penataan ulang sistem hukum nasional adalah untuk mengintegrasikan berbagai corak hukum sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat ke masa depan. 7 Terjemahannya: sebagai keputusan dari organ yang berisi ketentuan peraturan Perundangundangan. Pengertian umum dalam uraian ini tidak berarti bahwa undang-undang material hanya undangundang yang mengikat semua warga masyarakat, tetapi lebih tetap sebagai suatu yang mengikat umum, dalam peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang jumlahnya tidak terbatas).
!
22!
werken, algemeenheid in ruime zin (norma hukum, berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti luas). Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004)8 disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sedangkan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan,9 terdiri dari: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah, yang meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 6. Peraturan Desa atau peraturan yang setingkat dengan Peraturan Desa dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 7. Jenis Peraturan Perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Masing-masing jenis peraturan Perundang-undangan tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hierarki, sejalan dengan prinsip keserasian dan kepastian (koherensi) hukum.10 Prinsip keserasian hukum tersebut berfungsi menghilangkan peluang adanya pertentangan internal dan eksternal dalam keberlakuan yuridikal hukum. Jika penerapan masing-masing dari keempat prinsip keserasian dan kepastian tersebut diabaikan, maka pelaksanaan peraturan Perundang-undangan. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 8
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), diundangkan pada tanggal 22 Juni 2004, dalam LNRI Tahun 2004 Nomor 53, dan TLNRI Nomor 4389. 9 Pasal 7 UU 10/2004. Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Huruf a menyatakan bahwa termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. 10 Keempat prinsip keserasian dan kepastian hukum, yaitu: Pertama, lex superiori derogat legi inferiori, artinya aturan lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, Kedua, lex posteriori derogat legi priori, artinya aturan kemudian mengesampingkan aturan yang terdahulu, Ketiga, lex specialis derogat legi generali, artinya aturan khusus mengesampingkan aturan umum, dan Keempat, non-retroactif, artinya aturan tidak berlaku surut.
!
23!
Dengan demikian, suatu produk hukum yang disebut sebagai peraturan Perundang-undangan haruslah memenuhi kriteria yuridis sebagai berikut: 1. Dapat dipergunakan sebagai dasar wewenang pemerintahan bagi suatu pejabat tata usaha negara, dalam melaksanakan urusan pemerintahan. 2. Memiliki daya kerja keluar secara umum, artinya norma-norma substansinya bersifat mengatur secara umum dan abstrak, berlaku bagi jajaran pemerintah yang dituju maupun bagi warga masyarakat. Jadi, suatu peraturan yang hanya berlaku intern dalam jajaran pemerintahan tidak memenuhi kualifikasi peraturan Perundang-undangan. 3. Diciptakan menurut prosedur yang ditentukan oleh suatu peraturan Perundangundangan di atasnya. Salah satu fungsi penting dari suatu peraturan Perundang-undangan yang layak adalah adanya jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty)11 Materi muatan suatu peraturan Perundang-undangan yang layak harus memuat pemberian jaminan kepastian hukum sebagai asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakkan hukum (handhaving, uitvoering, law enforcement). Apalagi peraturan Perundang-undangan merupakan suatu bentuk aturan hukum tertulis, sehingga lebih dapat memberikan kepastian hukum yang lebih jelas dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Karakteristik adanya jaminan kepastian hukum suatu peraturan Perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written), akan tetapi terpenuhinya syaratsyarat adanya: 1. Rumusan materi muatan yang jelas dan tidak multitafsir atau mengandung rumusan yang ambigu. 2. Rumusan materi muatan yang konsisten dan sinkron antara pasal-pasal di dalam suatu peraturan Perundang-undangan, maupun sinkron antara pasal-pasal suatu peraturan Perundang-undangan dengan peraturan Perundang-undangan lainnya. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 11
Peraturan Perundang-undangan memiliki 2 (dua) fungsi utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi Internal, adalah fungsi peraturan Perundang-undangan sebagai subsistem hukum Perundang-undangan terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Fungsi internal tersebut antara lain terdiri dari Fungsi Penciptaan Hukum (rechtschepping), Fungsi Pembaharuan Hukum (law reform), Fungsi Integrasi Pluralisme Hukum, Fungsi Jaminan Kepastian Hukum. Sedangkan Fungsi Eksternal adalah keterkaitan peraturan Perundang-undangan dengan lingkungan berlakunya atau fungsi sosial hukum. Fungsi eksternal antara lain terdiri dari Fungsi Perubahan atau Fungsi Pembaharuan (law as social engineering), Fungsi Stabilisasi, dan Fungsi Kemudahan.
!
24!
3. Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan Perundang-undangan haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat. Bahasa hukum peraturan Perundang-undangan dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus digunakan secara konsisten karena merupakan bagian dari jaminan adanya kepastian hukum. Jika persyaratan tersebut dalam suatu peraturan Perundang-undangan tidak terpenuhi, maka dipastikan bahwa suatu peraturan Perundang-undangan justru menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Oleh karena itu, penyusunan setiap materi muatan pasal dalam peraturan Perundang-undangan wajib memenuhi kriteria peraturan Perundang-undangan yang layak, yaitu mengandung, nilai keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, dan dapat dilaksanakan (implementable). Faktor-faktor yang menyebabkan peraturan Perundang-undangan dalam jenis, substansi dan judul apapun menjadi sulit dilaksanakan, adalah: 1. Faktor yuridis normatif sebagai berikut: a. Adanya rumusan norma hukum yang kabur (unclear norm); b. Adanya konflik norma (conflict of norm) antar materi muatan Pasal satu dengan Pasal lainnya dalam satu Peraturan Perundang-undangan atau antar satu dengan lain Peraturan Perundang-undangan. c. Adanya pengaturan yang mengandung kevakuman hukum. Sedikitnya terdapat 2 (dua) penyebab terjadinya hambatan tersebut. Penyebab yang obyektif terjadinya ketiga faktor tersebut adalah faktor kecakapan, kecermatan dan ketrampilan teknis dalam pembuatan peraturan Perundang-undangan, sedangkan Penyebab yang subyektif terjadinya ketiga faktor tersebut adalah adanya unsur kesengajaan oleh para penguasa yang menjadi pembuat peraturan Perundangundangan, karena adanya kepentingan politik tertentu yang menghendaki kelemahan tersebut justru dapat memberikan keuntungan politik. 2. Faktor non hukum atau faktor sosiologis sebagai berikut: a. Rendahnya etika dan moralitas pejabat dan aparat penegak hukum; b. Rendahnya kesadaran hukum dan kepatuhan pejabat, aparat penegak hukum dan masyarakat; c. Rendahnya pemahaman, ketrampilan, dan komitmen aparat penegak hukum. Terjadinya faktor-faktor penghambat tersebut ada 2 (dua) penyebab. Penyebabnya adalah faktor kualitas budaya hukum, terutama adalah aspek mentalitas pejabat dan
!
25!
aparat penegak hukum, dan paradigma kesadaran hukum dan kepatuhan hukum penguasa dan masyarakat. Dari perspektif yuridis normatif, terdapat rumus ringkas dan sederhana untuk memastikan suatu peraturan apapun jenis, tingkat dan ruang lingkup berlakunya, yaitu terpenuhinya 3 (tiga) syarat penting, yaitu: 1. Materi muatan, isi atau substansi harus selengkap dan sedetail mungkin sesuai dengan ruang lingkup dan sasarannya; 2. Rumusan bahasanya (kata, kalimat atau frasa) semuanya bermakna, jangan ada yang tidak jelas fungsinya, tidak multi tafsir, dan harus mudah dipahami pembacanya. Sarah Waddell (2007:10) juga mengemukakan aturan emas (golden rules) dalam menyusun rumusan materi muatan Pasal suatu peraturan Perundang-undangan, yaitu: satu arti - satu kata, satu aturan hukum - satu kalimat terpisah, dan gunakan kalimat sesingkat mungkin. Beranjak dari uraian mengenai pentingnya penggunaan kriteria peraturan Perundang-undangan yang layak dalam penyusunan suatu Undang-undang, termasuk UU Otsus yang berfungsi sebagai: Pertama, instrumen kebijakan desentralisasi asimatris (asymetrical decentralization) di Papua sebagai daerah yang memiliki masalah yang bersifat khusus, dan Kedua, pilar utama yang mengatur hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah. UU Otsus secara garis besar memuat substansi yang sangat strategis sebagai instrumen hukum untuk: Pertama, menjawab permasalahan yang terjadi di Provinsi Irian Jaya sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan masa lalu, dan Kedua, implementasi model kebijakan pembangunan Papua yang mengakui identitas dan memperkuat kapasitas sumber daya lokal yang kompetitif di masa mendatang. Sejarah penyusunan otonomi khusus Papua yang dimuat dalam UU Otsus merupakan hasil dari proses politik, terutama pertarungan antara sikap reaktif Tim Pemerintah Pusat dengan sikap difensif dari Tim Pemerintah Daerah Provinsi Irian Jaya (Provinsi Papua) yang mengajukan “Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua Dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri”,12 Hal !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 12
Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua Dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri, terdiri dari 23 Bab dan 76 Pasal, memiliki struktur institusi pemerintahan Provinsi dengan kewenangan yang berbeda dengan UU 21/2001 yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal, walaupun keduanya dalam beberapa aspek memiliki latar belakang filosofi yang sama. Ketatnya proses politik dan
!
26!
tersebut jelas berimplikasi pada dominannya nuansa “pesan politik” dari substansi Undang-Undang No.21 Tahun 2001 dibandingkan perumusan norma hukum (legislative drafting) yang dalam banyak hal kurang sistematis, kurang lengkap dan kurang jelas.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! tidak adanya disain awal dan pengalaman dari para elite politik di pemerintahan Indonesia, menjadi faktor berpengaruh pada lemahnya perumusan norma hukum.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Desain penelitian berbentuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang didasarkan pada pemecahan masalah berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang ada pada saat penelitian berlangsung. Data-data tersebut mula-mula diinventarisir kemudian disusun secara sistematis agar data tersebut dapat dijelaskan dan selanjutnya dianalisa berdasarkan teori yang ada. Sedangkan jenis metode deskriptif yang digunakan adalah studi observasi dan survei untuk obyek tertentu yang bersifat terbatas yang bertujuan untuk mencari status dari suatu fenomena atau gejala dan menentukan kesamaan status tersebut dengan cara membandingkannya dengan standar yang telah ditentukan. B. Obyek Penelitian Penelitian bersifat kualitatif, yaitu memandang gejala dari suatu objek bersifat holistic, artinya bahwa gejala itu dilihat secara utuh sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisah, yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis dengan fokus penelitian: 1. Mendeskripsikan substansi kewenangan yang terdapat dalam UU Otsus yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah di Papua; 2. Mengidentifikasikan hambatan utama dan dampak yang terjadi dalam implementasi UU Otsus. C. Tahap Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap: 1. Tahap awal merupakan tahap orientasi atau deskripsi, dengan grand tour question. Pada tahapan ini peneliti mendeskripsikan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan ditanyakan; 2. Tahap ke-2 disebut tahap reduksi/fokus. Pada tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh pada tahap pertama, untuk memfokuskan pada masalah tertentu.
!
28!
3. Tahap ke-3 adalah tahap selection. Pada tahap ini peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci. D. Sumber Data Data
dalam
penelitian
identifikasi
dan
implikasi
hambatan
dalam
implementasi UU Otsus, dikumpulkan dengan metode dan tahapan sebagai berikut: 1. Kajian dokumen yang memiliki relevansi penyusunan dan implementasi UU Otsus. 2. Wawancara dengan informan kunci (key informan) yang memiliki peran relevan dalam penyusunan dan implementasi UU Otsus. 3. Diskusi kelompok terfokus dengan unsur-unsur pemangku kepentingan (stake holders) untuk mengetahui persepsi dan pengalaman dalam implementasi UU Otsus. 4. Hasil penelitian dalam bentuk identifikasi hambatan implementasi dan konsep solusi re-desain UU Otsus dari aspek hukum, politik, pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. E. Tahapan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan tahapan sebagai berikut: 1. reduksi data (data reduction,) banyaknya data yang diperoleh di lapangan perlu dicatat secara teliti dan rinci. Jumlah, kompleksitas, dan kerumitan data yang diperoleh peneliti di lapangan perlu segera dianalisis melalui “reduksi data”, yakni: merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya; 2. penyajian data (data display), setelah mereduksi data maka tahap selanjutnya adalah menyajikan data, yang dapat dilakukan melalui; uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori; 3. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verivication), yakni: membuat kesimpulan awal yang bersifat sementara dan dapat berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahapan pengumpulan data berikutnya.
!
29!
F. Lokasi dan Informan Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Jayapura, ibukota Provinsi Papua sebagai Provinsi Induk, mengingat di wilayah Papua saat ini terdapat 2 (dua) provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Di samping melalui studi dan kajian dokumen, data yang dibutuhkan diperoleh dari sejumlah informan yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang memadai terhadap fokus dari penelitian ini. Informan terdiri dari; (1) pejabat pemerintah Provinsi; (2) anggota DPRP, dan (3) anggota Majelis Rakyat Papua (MRP); (4) Tokoh Masyarakat yang terdiri dari unsur adat, agama, perempuan, dan mahasiswa. Pilihan informan didasarkan pada pertimbangan : (1) memiliki representasi dari berbagai komponen dan unsur yang ada di wilayah Papua; (2) sebagian pejabat Pemerintah Provinsi dan anggota DPRP pernah terlibat secara aktif dalam proses penyusunan
dan
implementasi
undang-undang
diketengahkan terkait langsung dengan unsur tersebut.
tersebut;
(3)
masalah
yang
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Integrasi Wilayah Papua Wilayah Papua yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat1 sebagai bagian dari NKRI memiliki sejarah integrasi yang berbeda dengan provinsiprovinsi lainnya di wilayah NKRI. Provinsi Papua kembali kepangkuan ibu pertiwi (integrasi) dengan NKRI setelah melalui suatu proses dan perjuangan yang panjang, bahkan sampai melibatkan pihak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), melalui persetujuan New York (New York Agreement) yang ditanda tangani oleh Belanda dan Indonesia, yang dicatat oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusinya Nomor 1757 (XVII) pada tanggal 21 September 1962. Sebagai konsekuensi dari Resolusi ini, maka pada tanggal 1 Oktober 1962 dilakukan penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority-UNTEA). UNTEA menyerahkan kekuasaan tersebut kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, dengan syarat bahwa akan diadakan jajak pendapat yang dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang berlangsung pada tanggal 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969. Hasil PEPERA menunjukan bahwa
penduduk di Irian Barat (kini Papua)
memberi dukungan terhadap keberadaan Provinsi Irian Barat (kini Provinsi Papua) sebagai bagian dari NKRI. Secara yuridis formal, hasil PEPERA tersebut dilegitimasi oleh PBB melalui Resolusi Nomor 2504 (XXIV), pada tanggal 19 Nopember 1969. Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari NKRI pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur, yakni untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan secara efektif demi kemajuan masyarakat. Hal ini secara jelas dan tegas terungkap dalam konsiderans menimbang2, Undang-Undang No. 12 Tahun 1969, yang !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1
Wilayah Papua telah beberapa kali mengalami perubahan nama, yakni Irian Barat berganti menjadi Irian Jaya, dan berganti menjadi Provinsi Papua. Dalam perkembangannya Provinsi Papua telah dimekarkan menjadi Provinsi Papua dengan ibukota di Jayapura dan Provinsi Papua Barat dengan ibukota di Manokwari. 2 Konsiderans Menimbang Undang-Undang No. 12 Tahun 1969, disebutkan: bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari NKRI dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Provinsi Irian Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962 jo Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963 jo Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963 jo Undang-Undang No. 5 tahun 1969, segera diatur kembali sebagai Daerahdaerah otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966.
!
31!
merupakan dasar hukum pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupatenkabupaten otonom di Irian Barat pasca PEPERA. Semangat dan komitmen Pemerintah NKRI sebagaimana tersebut ternyata dalam kenyataannya belum terbukti. Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum mampu mendorong terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan kemajuan masyarakat di Provinsi Papua. Bahkan dirasakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua belum memberikan perubahan yang berarti dalam berbagai aspek3. Kondisi tersebut terbukti dari adanya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik antara Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Berbagai hambatan (transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) dialami oleh masyarakat di Provinsi Papua, yang keseluruhannya menjadi faktor utama keterbelakangan dan keterisolasian masyarakat Papua. Akumulasi berbagai persoalan yang menghimpit masyarakat di Provinsi Papua, telah mengakibatkan berkurangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap kemauan dan kesungguhan Pemerintah NKRI untuk membangun masyarakat di Provinsi Papua secara beradab. Situasi keraguan seperti ini telah menciptakan rasa ketidakpercayaan masyarakat
terhadap Pemerintah yang sah, bahkan cenderung
bermuara pada terciptanya permusuhan antara masyarakat Papua khususnya orang asli Papua dengan Pemerintah NKRI, termasuk keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Hal ini jika tidak diantisipasi secara baik, maka tentunya akan menjadi ancaman bagi integritas NKRI . Ketika kemerdekaan NKRI yang diperjuangkan oleh para pejuang kusumah bangsa berhasil di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia, Papua dimasukan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Oleh karena secara defacto Belanda masih menguasai wilayah Papua, maka !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 3Pengakuan bahwasanya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua belum memberikan perubahan yang berarti terungkap dalam konsiderans menimbang Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, huruf (f), bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; dan huruf (g), bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
!
32!
Daerah ini merupakan salah satu Keresidenan yang berada dalam Provinsi Maluku yang berkedudukan di Ambon. Nama Papua pun diganti dengan Irian oleh Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap merendahkan penduduk pribumi. Nama Irian diusulkan oleh Frans Kaisepo dalam Konferensi Malino tahun 1946, yang dalam bahasa Biak berarti “sinar matahari yang menghalau kabut di laut” (Bachtiar dalam Koentjaraningrat, 1994: 72 dan 76). Tahun 1950 Belanda memperkuat kedudukannya di wilayah Papua dengan menjadikan Nederlandsch Nieuw-Guinea sebagai wilayah yang dipimpin oleh seorang Gubernur, yang dibantu oleh 3 (tiga) orang Asisten Residen, yang berkedudukan masing-masing di Jayapura, Manokwari, dan Merauke. Pada tahun 1952 Afdeeling berkembang menjadi 4 (empat), yaitu: Noord Nieuw Guinea, Zuid Nieuw Guinea, Central Nieuw Guinea, dan West Nieuw Guinea. Dalam perkembangan selanjutnya wilayah pemerintah Papua berubah menjadi 6 (enam) Afdeeling, yakni: Hollandia, Biak, Manokwari, Fakfak, Merauke, dan Central Higlands (Bachtiar dalam Koentjaraningrat, 1994: 83). Dalam konteks ini Schoorl P (2001; xxix-xxx), secara jelas menguraikan pembagian wilayah administratif di New Guinea dalam bentuk Afdeeling dan onderafdeeling, sebagai berikut:
1. Afdeling Hollandia dengan ibu kota Hollandia, yakng terdir dari: Onderafdeling Nimboran dengan ibu kota Genyem; Onderafdeling Sarmi dengan ibu kota Sarmi; Onderafdeling Keerom dengan ibu kota Ubrub; daerah penjajakan Oost-Bergland dengan ibu kota Wamena;
2. Afdeling Geelvinkbaai dengan ibu kota Biak, yang terdiri dari : Onderafdeling Schouten-eilanden dengan ibu kota Biak, Onderafdeling Yapen/Waropen dengan ibu kota Serui;
3. Afdeling Centraal-Nieuw-Guinea dengan ibu kota belum ditentukan, Onderafdeling Paniai dengan ibu kota Enarotali, Onderafdeling Tigi dengan ibu kota Waghete, Daerah penjajakan Midden-Bergland, Daerah penjajakan West-Bergland;
4. Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea dengan ibu kota Merauke, terdiri dari: Onderafdeling Merauke dengan ibu kota Merauke, Onderafdeling Mapi dengan ibu kota Kepi, Onderafdeling Boven-Digul dengan ibu kota Tanah Merah, Onderafdeling Asmat dengan ibu kota Agats, Onderafdeling Muyu dengan ibu kota Mindiptana;
!
33!
5. Afdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak-Fak, terdiri dari: Onderafdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak-Fak, Onderafdeling Kaimana dengan ibu kota Kaimana, Onderafdeling Mimika dengan ibu kota Kokonao;
6. Afdeling West-Nieuw-Guinea dengan ibu kota Manokwari, terdiri dari: Onderafdeling Sorong dengan ibu kota Sorong, Onderafdeling Raja Ampat dengan ibu kota Doom, Onderafdeling Manokwari dengan ibu kota Manokwari, Onderafdeling Ransiki dengan ibu kota Ransiki, Onderafdeling Teminabuan dengan ibu kota Teminabuan, Onderafdeling Bintuni dengan ibu kota Steenkool. Menindaklanjuti kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan dalam rangka menyelesaikan persengketaan wilayah antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia, maka digelar sebuah konferensi yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dikenal dengan sebutan “Konferensi Meja Bundar” di Denhag Belanda. Salah satu agenda yang dibahas dalam Konferensi Meja Bundar tersebut adalah penyerahan seluruh wilayah bekas jajahan kolonial Belanda sebagai wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Kenyataan menunjukan bahwa Konferensi Meja Bundar tersebut ternyata gagal mengembalikan Irian Barat/Papua sebagai bagian dari NKRI, Irian Barat/Papua tetap diklaim oleh Pemerintah Belanda sebagai bagian dari wilayah jajahannya. B. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 1956 Merespon kegagalan Konferensi Meja Bundar tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1956, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan UndangUndang No. 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat. (Memori Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1055). Undang-undang yang terdiri atas IV Bab dan 12 Pasal ini secara explicit melegitimasi pembentukan Provinsi Irian Barat. Dalam konsiderans menimbang Undang-Undang No. 15 Tahun 1956, disebutkan bahwa “setelah ditetapkannya Undang-Undang Pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar, maka tidak ada rintangan-rintangan lagi untuk melaksanakan cita-cita untuk membentuk Irian Barat menjadi Provinsi Otonom, sesuai dengan isi dan jiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945”. Uraian ini menunjukan bahwa Provinsi Irian Barat sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia secara dejure telah ada sejak 23 September 1956
!
34!
melalui pemberlakuan Undang-Undang No. 15 Tahun 1956. Pada pasal 2 UndangUndang No. 15 Tahun 1956 disebutkan bahwa Provinsi Irian Barat sebagaimana dimaksud meliputi : ayat (1) Wilayah Irian Barat yang pada saat pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar pada tanggal 21 April 1956 masih berada di dalam kekuasaan de facto Kerajaan Belanda tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia; ayat (2) Kewedanan Tidore, Distrik Weda dan Patani, dengan kedudukan Pemerintahan sementara waktu di Tidore. Masa berlaku UndangUndang No. 15 Tahun 1956 sebagaimana dimaksud ternyata sangat singkat, hanya ±1 (satu) tahun. Undang-undang ini mengalami perubahan ketika diberlakukannya Undang-undang Darurat No. 20 Tahun 1957. 2. Undang-Undang No. 20 Tahun 1957 Pada tanggal 9 Agustus 1957 Pemerintah memberlakukan UndangUndang Darurat No. 20 Tahun 1957 tentang Perubahan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1360). Dalam konsiderans Undang-Undang No. 20 Tahun 1957 disebutkan bahwa dalam Undang-undang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat, distrik Maba dalam Kawedanan Weda tidak dimasukkan dalam wilayah Daerah Otonom Provinsi Irian Barat, berhubung dengan tugas utama dari Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat sebagaimana dimaksud, distrik Maba mempunyai kedudukan yang penting, sehingga distrik itu perlu dimasukkan dalam wilayah Daerah Otonom Provinsi Irian Barat dan Undang-Undang yang bersangkutan perlu diubah karenanya. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) angka 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat diubah hingga berbunyi : a. Kewedanan Tidore yang meliputi distrik-distrik Tidore, Oba dan Wasile, dan; b. Kewedanan Weda yang meliputi distrik-distrik Weba, Maba dan Patani/Gebe. 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1957 Untuk memberikan penguatan terhadap wilayah Provinsi Irian Barat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Darurat No. 20 tahun 1957, maka pada tanggal 17 Juni 1958 Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan UndangUndang No. 23 tahun 1958, tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 20 tahun 1957 tentang penambahan Undang-Undang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara tahun 1957, No. 76) sebagai UndangUndang. Undang-Undang No. 23 Tahun 1958 mempertegas wilayah Provinsi Irian
!
35!
Barat yang terdiri atas: Kewedanan Tidore yang meliputi distrik-distrik Tidore, Oba dan Wasilo, dan Kewedanan Weda yang meliputi distrik-distrik Weda, Maba dan Patani/Gebe. 4. Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1962 Seiring dengan perjuangan pengembalian Irian Barat, pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Soekarno mencetus Tri Komando Rakyat (Trikora), yang isinya adalah: pertama, gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Belanda; kedua, kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia; ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan
dan
kesatuan
tanah
air
dan
bangsa
(Djopari,
1993:37).
Menindaklanjuti Tri Tuntutan Rakyat (Trikora), maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962, menetapkan Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2372). Pada tanggal 1 Januari 1962. Penetapan Presiden ini sekaligus mencabut Undang-Undang No. 15 Tahun 1956 (Lembaran Negara 1956 No. 33, Tambahan Lembaran Negara No. 1055) dan segala peraturan Negara yang berdasarkan Undang-Undang tersebut dan menetapkan Penetapan Presiden tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Penetapan Presiden No.1 Tahun 1962 disebutkan bahwa Provinsi Irian Barat Bentuk Baru sebagaimana dimaksud berwilayah “Residentie Nieuw Guinea” dulu menurut konstruksi Van Mook, yang sekarang masih diduduki oleh penjajahan Belanda, peta daerah Provinsi Irian Barat Bentuk Baru itu dilampirkan pada Penetapan Presiden ini. Sedangkan pada ayat (2) Penetapan Presiden No.1 Tahun 1962 ditegaskan bahwa daerah yang dahulu masuk Provinsi Irian Barat menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat No. 20 tahun 1957 tentang perubahan Undangundang Pembentukan Daerah Swatantra tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara 1957 No. 76) sebagai Undang-undang, kini dikembalikan ke dalam wilayah Provinsi Maluku. Adapun ibukota Provinsi Irian Barat Bentuk Baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Penetapan Presiden No.1 Tahun 1962, adalah “Kotabaru” di daratan Irian Barat.
!
36!
C. Pelaksanaan dan Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Dalam kenyataannya meskipun Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan sejumlah aturan hukum yang secara dejure melegitimasi keabsahan Provinsi Irian Barat sebagai bagian integral dari NKRI, akan tetapi persengketaan memperebutkan Irian Barat antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda Belum berakhir. Di awali dengan adanya “Bunker Proposal”, maka pada akhirnya menghasilkan persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat yang selanjutnya dikenal New York Agreement. Pada tanggal 15 Agustus 1962 dicatat oleh Majelis Umum PBB, berdasarkan resolusi PBB tanggal 21 September 1962 Nomor 1752 (XVII), dimana diatur Perihal penyerahan pemerintahan. Berdasarkan New York Agreement, maka pada dasarnya yang menjadi kewajiban Pemerintah RI sampai terlaksananya Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969, adalah (1) menerima penyerahan kekuasaan sepenuh-nya atas wilayah Irian Barat dari Penguasa UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority); (2) mengatur pemerintahan; dan (3) mempersiapkan dan melaksanakan Pepera. Secara berangsur-angsur Pemerintah RI menerima penyerahan kekuasaan dari UNTEA pada 31 Desember 1962 dan bendera Merah Putih dapat dikibarkan berdampingan dengan bendera PBB pada 1 Januari 1963, dan penyerahan kekuasaan tersebut baru secara penuh terlaksana pada tanggal 1 Mei 1963. Oleh karena itu, sejak dilaksanakannya penyerahan kekuasaan atas wilayah Irian Barat dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada PBB melalui UNTEA dan dilanjutkan ke pemerintah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963 tersebut, maka secara de-jure dan de- facto Irian Barat menjadi bagian dari wilayah NKRI. Dalam melaksanakan pengaturan pemerintahan di wilayah Irian Barat, Pemerintah Republik Indonesia masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam New York Agreement. Pada pasal XIV–XXI tentang Pemerintahan Indonesia dan Pepera, antara lain menyebutkan “Setelah penyerahan tanggungjawab pemerintahan sepenuhnya kepada Indonesia, Undang-Undang dan Peraturan Nasional Indonesia sebagai dasarnya akan berlaku di wilayah tersebut”. Sedangkan sebagai tugas pemerintah RI disebut dalam pasal XV yaitu “mempergiat lebih lanjut pendidikan rakyat, pemberantasan buta huruf, kemajuan perkembangan sosial, kebudayaan dan ekonomi”. Kebijakan dasar Pemerintah RI di wilayah Irian Barat dituangkan dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1963 tentang Pemerintahan di wilayah Irian Barat
!
37!
Segera Setelah diserahkan kepada RI “, menghasilkan pemerintahan Provinsi Irian Barat dalam “bentuk baru” yang selanjutnya disebut Provinsi Irian Barat yang dimulai berlaku 1 Mei 1963. Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1963 tentang Pemerintahan di wilayah Irian Barat segera setelah diserahkan kepada Republik Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 21 Pebruari 1963, pada Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa Provinsi Irian Barat Bentuk Baru selanjutnya disebut Provinsi Irian Barat. Selain itu juga diatur tentang jumlah dan pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Pemerintahan Harian, serta tugas dan wewenang Gubernur Kepala Daerah. Penetapan Presiden ini dapat disebut “Penetapan Presiden Pemerintahan Peralihan Irian Barat” dan mulai berlaku pada 1 Mei 1963. Sebagai amanat dari pasal XVI – XXI New York Agreement, maka Pemerintah RI berkewajiban mempersiapkan dan melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Sebagai langkah awal, pada tanggal 17 – 21 Maret 1969 diadakan Rapat Muspida seluruh Irian Barat, yang meliputi Muspida dari 8 Kabupaten, rapat tersebut bertujuan memberikan penjelasan umum tentang kebijakan umum dalam menghadapi pelaksanaan Pepera. Sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, maka pada 24 Maret sampai dengan11 April 1969 diadakan Konsultasi antara Pemerintah Pusat dengan DPRD Kabupaten se-Irian Barat. Tim Pemerintah Pusat didampingi oleh Tim Pemerintah Provinsi, Tim PBB atau dikenal dengan nama ”Misi Ortiz Sanz”, rapat konsultasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk sidang-sidang pleno istimewa DPRD Kabupaten se-Irian Barat. Untuk melaksanakan Pepera dibentuk Dewan Musyawarah (Demus) Pepera di 8 kabupaten, Demus Pepera tersebut mencerminkan unsur daerah, unsur partai dan organisasi masyarakat. unsur kepala suku dan adat, yang akan mewakili seluruh penduduk Irian Barat, yaitu sebanyak 1025 orang mewakili 809.327 orang penduduk, yang terdiri dari: 1. Kabupaten Jayapura 110 orang mewakili 83.750 orang penduduk; 2. Kabupaten Merauke 175 orang mewakili 144.171 orang penduduk; 3. Kabupaten Jayawijaya 175 orang mewakili 165.000 orang penduduk; 4. Kabupaten Paniai 175 orang mewakili 156.000 orang penduduk; 5. Kabupaten Teluk Cenderawasih 130 orang mewakili 91.870 orang penduduk; 6.
Kabupaten Manokwari 75 orang mewakili 49.875 orang penduduk;
!
38!
7. Kabupaten Sorong 110 orang mewakili 75.474 orang penduduk; 8. Kabupaten Fak-Fak 75 orang mewakili 43.187 orang penduduk; Pelaksanaan Sidang Pepera diselenggarakan secara bergantian di 8 kabupaten, mulai dari tanggal 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 yaitu dengan urutan sebagai berikut : 1. Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969; 2. Kabupaten Jayawijaya pada 16 Juli 1969; 3. Kabupaten Paniai pada 19 Juli 1969; 4. Kabupaten Fak-Fak pada 23 Juli 1969; 5. Kabupaten Sorong pada 26 Juli 1969; 6. Kabupaten Manokwari pada 29 Juli 1969; 7. Kabupaten Teluk Cenderawasih (di Biak) pada 31 Juli 1969; 8. Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969. Hasil pelaksanaan Sidang Pepera menunjukan bahwa mayoritas mutlak delegasi memilih untuk berintegrasi dengan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pasca Pepera, diberikan rambu-rambu
seperti pada inti sambutan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud
setelah Sidang DMP Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969 dan Keterangan Menteri Dalam Negeri tentang Hasil Pepera kepada Sidang Istimewa DPRGR/Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat di Jayapura pada tanggal 5 Agustus 1969. Inti sambutan tersebut antara lain: “Setelah Pepera, status Provinsi Administratif akan dialihkan menjadi Provinsi Otonom. Maksud dan arti otonomi daerah bukanlah demikian (Pemerintah akan memberikan otonomi luas, tentang daerah istimewa). Otonomi suatu daerah mengandung beberapa syarat antara lain adanya keselarasan antara kemampuan dan hak serta tanggung jawab. Otonomi yang tidak menghiraukan hukum keselarasan dan hukum keseiramaan, niscaya nantinya akan dapat memecah belah keutuhan bangsa dan negara. Otonomi pada hakekatnya adalah pelaksanaan dari demokrasi administratif dan demokrasi politik. Sebagaimana halnya dengan demokrasi, maka otonomi juga mutlak memerlukan syarat-syarat seperti : 1. Harus senantiasa “negara sentries” (staat gericht) 2. Bangsa statis (national gericht) 3. Kejujuran politik dan kejujuran moril (politik moril integriteit) 4. Mempunyai daya cipta yang cukup banyak.
!
39!
Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka pada tanggal 5 Juli 1969 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang antara lain menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 menjadi undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Menindaklanjuti amanat Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka kemudian pada tanggal 10 Nopember 1969 disahkan
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan KabupatenKabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Undang-Undang yang terdiri atas IV Bab dan 16 Pasal ini diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47. Dalam konsiderans Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat, angka 1, disebutkan bahwa: “… sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 wilayah Irian Barat adalah merupakan bagian wilayah NKRI, walaupun dalam
kenyataan wilayah tersebut pada waktu itu masih diduduki oleh Belanda.
Sehubungan dengan kepentingan Pemerintah di daerah tersebut, dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 1956 jo. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1958 telah dibentuk Provinsi Irian Barat …”. Uraian ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya Provinsi Irian Barat secara dejure dalam tata hukum nasional Negara Republik Indonesia telah terbentuk sejak tahun 1956, meskipun secara defacto saat itu Irian Barat masih diduduki oleh Belanda. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan dinamika sosial politik kemasyarakatan di Provinsi Irian Jaya pasca pemberlakuan Undang-Undang No. 12 tahun 1969, maka pengembangan daerah tak terelakan dan merupakan suatu keniscayaan. Struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua terus mengalami perubahan dalam konteks pembentukan daerah baru atau peningkatan status daerah yang sudah ada. Pembentukan atau perubahan status daerah sebagaimana dimaksud dilegitimasi dengan sejumlah kebijakan dalam bentuk peraturan perundangundangan, antara lain: 1. Tahun 1986, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986, yang melegitimasi pembentukan tiga wilayah Pembantu Gubernur, yakni Wilayah I berkedudukan di Jayapura, Wilayah II berkedudukan di Manokwari, dan Wilayah III berkedudukan di Merauke;
!
40!
2. Tahun 1993, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No.6 Tahun 1993, sebagai dasar hukum pembentukan Kotamadya Jayapura; 3. Tahun 1996, Pemerintah mengeluarkan : (1) Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kota Administratif Sorong; (2) Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Puncak Jaya; (3) Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Paniai; (4) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Mimika; 4. Tahun 1999, Pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Undang-undang ini secara substansial mengatur berbagai hal yang terkait dengan kebijakan pemekaran Provinsi Irian Jaya, melalui pembentukan 2 (dua) provinsi baru, yakni: Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat, ditambah dengan provinsi induk (Provinsi Irian Jaya Timur). Selain itu undang-undang ini juga mengatur pembentukan 3 (tiga) kabupaten, serta 1 (satu) kotamadya, yakni: Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kota Sorong. Pilihan terhadap kebijakan ini didasarkan pada tuntutan perkembangan dan kemajuan Provinsi Irian Jaya, Kabupaten Administratif Paniai, Kabupaten Administratif Mimika, Kabupaten Administratif Puncak Jaya, dan Kota Administratif Sorong, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sebagaimana terungkap dalam konsiderans menimbang. Akan tetapi pemberlakuan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 tersebut mendapat reaksi negatif dari berbagai komponen masyarakat di Papua, yang ditandai dengan adanya demonstrasi bahkan para demonstran sempat menduduki kantor Gubernur Provinsi Papua beberapa hari. Kondisi ini direspon oleh Pemerintah dengan menunda pelaksanaan undang-undang tersebut. Setelah ± 4 tahun ditunda pelaksanaannya, maka pada tahun 2003 berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 2003, Presiden RI (Megawati Soekarnoputri) memerintahkan kepada sejumlah pejabat Pusat dan Daerah untuk mengambil langkah-langkah strategis guna melaksanakan kembali perintah Undang-Undang No. 45 Tahun 1999. Inpres inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak di Pusat dan Daerah untuk mendeklarasikan dimulainya aktivitas pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibukotanya di Manokwari. Kondisi tersebut oleh beberapa pihak di Provinsi Papua khususnya DPRP, di pandang kontroversial dan menyalahi ketentuan Undang-undang Otsus Papua. Atas dasar pandangan tersebut maka DPRP mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
!
41!
Setelah melalui proses persidangan, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan yang intinya antara lain : (1) bahwa, Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan
sejak
dibacakannya keputusan ini dinyatakan tidak berlaku; (2) mengingat bahwa berdasarkan fakta politik aktivitas pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Barat telah berlangsung sebagaimana mestinya, maka keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi ini oleh pihak penggugat dianggap tidak tegas dan menimbulkan perbedaan persepsi, akan tetapi mengingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, maka semua pihak suka ataupun tidak suka harus dapat menerimanya. Dengan demikian maka sejak tahun 2003 di wilayah Papua terdapat dua provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang kemudian berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat, dengan ibukotanya Manokwari, yang sekarang terdiri atas 1 kota dan 10 kabupaten (Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Kabupaten
Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten
Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Maibrat, dan Kabupaten Tambrauw). 5. Tahun 2001, Pemerintah menetapkan UU Otsus. Undang-undang yang terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal ini merupakan suatu kebijakan monomental yang diharapkan dapat berimplikasi terhadap akselerasi pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomian, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Di sisi lain kebijakan Otonomi Khusus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol-simbol budaya (cultural) sebagai wujud kemegahan jati diri. Hal ini menunjukan bahwasanya sebagai akibat dari penetapan Otonomi Khusus
!
42!
Papua, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus Papua maka terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. 6. Tahun 2002 Pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2002 tentang Pembentukan sejumlah Kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama di Provinsi Papua;). 7. Tahun 2003 Pemerintah menetapkan Undang-undang No. 31 Tahun 2003, yang melegitimasi Pembentukan Kabupaten Supiori; 8. Tahun 2007, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Mamberamo Raya; 9. Tahun 2008, Pemerintah menetapkan: a. Undang-Undang No. 1 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lani Jaya; b. Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nduga; c. Undang-Undang No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Dogiyai; d. Undang-Undang No. 4 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Puncak; e. Undang-Undang No. 5 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah; f. Undang-Undang No. 6 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Yalimo; g. Undang-Undang No. 54 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Intan Jaya; h. Undang-Undang No. 55 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai. Uraian di atas menunjukan bahwa sampai dengan awal tahun 2010, di wilayah Papua terdapat 2 (dua) Provinsi, yakni: (1) Provinsi Papua dan (2) Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua memiliki 1 (satu) kota, yakni: Kota Jayapura, dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten, yakni: (1) Kabupaten Merauke; (2) Kabupaten Jayawijaya; (3) Kabupaten Jayapura; (4) Kabupaten Biak; (5) Kabupaten Kepulauan Yapen; (6) Kabupaten Nabire; (7) Kabupaten Paniai; (8) Kabupaten Puncak Jaya; (9) Kabupaten Mimika; (10) Kabupaten Yahukimo; (11) Kabupaten Pegunungan Bintang; (12)
!
43!
Kabupaten Tolikara; (13) Kabupaten Asmat; (14) Kabupaten Mappi; (15) Kabupaten Boven Digoel; (16) Kabupaten Sarmi; (17) Kabupaten Keerom; (18) Kabupaten Waropen; (19) Kabupaten Supiori; (20) Kabupaten Mamberamo Raya; (21) Kabupaten Lani Jaya; (22) Kabupaten Nduga; (23) Kabupaten Dogiyai; (24) Kabupaten Puncak; (25)Kabupaten Mamberamo Tengah; (26) Kabupaten Yalimo; (27) Kabupaten Intan Jaya, dan (28) Kabupaten Deiyai. Sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki 1 (satu) kota, yakni: Kota Sorong dan 10 (sepuluh) kabupaten, yakni: (1) Kabupaten Manokwari ; (2) Kabupaten Sorong; (3) Kabupaten Fak-Fak; (4) Kabupaten Sorong Selatan; (5) Kabupaten Raja Ampat; (6) Kabupaten Teluk Bintuni; (7) Kabupaten Teluk Wondama; (8) Kabupaten Kaimana; (9) Kabupaten Maibrat; dan (10) Kabupaten Tambrauw. D. Struktur Pemerintahan Daerah 1. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Pergolakan yang terjadi pada tahun 1965, yang mengakibatkan pergantian kepemimpinan nasional, telah pula berimplikasi terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepemimpinan nasional di bawah Pemerintahan Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 mulai melakukan penataan pada berbagai aspek. Salah satu aspek yang menjadi perhatian Pemerintahan Orde Baru adalah dalam hal menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan. Sebagai
konsekuensi
dari
komitmen
Pemerintahan
Orde
Baru
sebagaimana tersebut, maka pada tanggal 23 Juli 1974 disahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Salah satu filosofi dasar dalam undang-undang ini adalah bahwa untuk menjamin tertib pemerintahan, wilayah NKRI perlu dibagi atas daerah besar dan daerah kecil, baik yang bersifat otonom maupun administrasi. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa dalam melancarkan pelaksanaan pem-bangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan
!
44!
pemerintahan dan pembangunan berlaku asas desentralisasi4 dekonsentrasi5, dan tugas pembantuan6 Sebagai konsekuensi logis dari amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tersebut, maka dalam pelaksanaan asas desentralisasi, secara struktural di daerah dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, maka wilayah Negara Ke-satuan Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah Provinsi dan Ibukota Negara, Kabupaten dan Kotamadya, Kecamatan serta jika dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibentuk Kota Administratip dalam wilayah Kabupaten. Mengingat bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 bersifat nasional, maka domain keberlakuannya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk Provinsi Irian Barat yang pada waktu itu baru 5 (lima) tahun terbentuk dan diakui keberadaannya secara dejure dan defacto. Dalam rangka penyesuaian terhadap amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, maka Struktur pemerintahan di Provinsi Irian Barat waktu itu mengalami perubahan. Pemerintah Daerah Provinsi terdiri atas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (DPRD Tk. I). Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota-madya terdiri atas Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (DPRD Tk. II). Di Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II, dibentuk Kota Administratip yang dipimpin oleh seorang Walikota, Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat, Desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa, dan Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Lurah. Gubernur, Bupati, Walikotamadya, Walikota, dan Camat, serta Lurah berkedudukan selaku Kepala Wilayah. Ini berarti bahwa Gubernur dan Bupati atau Walikotamadya memiliki kedudukan ganda, yakni sebagai Kepala Wilayah dan Kepala Daerah. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 4Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Koesoemahatmadja, 1973:16), berasal dari bahasa Latin, “de” = lepas dan “centrum” = pusat, sehingga decentrum (desentralisasi) dapat diartikan melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan dalam konteks nuansa penyerahan kekuasaan/kewenangan Pusat kepada Daerah. 5Logeman (Supriatna, 1993:1-2), dekonsentrasi (deconcentratie) atau “ambtelijke decentralisatie”, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintahan. 6Berdasarkan UU.No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Tugas Pembantuan adalah Tugas untuk turut serta dalam melaksnakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabnya kepada yang menugaskan.
!
45!
Untuk memimpin jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Selain itu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Pemerintah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II, membentuk Perangkat Daerah, yang terdiri dari : Sekretariat Wilayah Daerah, Dinas-Dinas Daerah dan LembagaLembaga Teknis Daerah. Di sisi lain dibentuk pula sejumlah instansi vertikal. Hal yang sama juga berlaku bagi Kota Administratif, Kecamatan, dan Kelurahan, serta Desa. 2. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Undang-Undang No.22 Tahun 1999, adalah salah satu produk hukum yang merupakan perwujudan dari komitmen Bangsa dan NKRI untuk melakukan reformasi/pembaharuan Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini lahir sebagai hasil pengkritisan terhadap materi muatan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pemerintahan di Daerah. Pengkritisan ini memberikan petunjuk bahwa kemauan politik (political will) untuk menerapkan Otonomi Daerah dengan prinsip nyata dan bertanggungjawab yang dititikberatkan pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) ternyata tidak diikuti oleh kemauan administratif (administrative will). Kondisi ini telah memunculkan spekulasi dari berbagai pihak yang mencoba mereka-reka alasan yang melatari adanya keengganan untuk menerapkan otonomi daerah secara efektif yang berbasis pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Berbagai alasan pun dikedepankan akan tetapi setidaknya ada dua alasan pokok, yaitu: a. Adanya penilaian bahwa Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) dianggap belum memiliki kemampuan (institusi, finansial, personil) untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri; b. Adanya kekuatiran bahwasanya penguasaan sumber-sumber pendapatan di daerah sebagai konsekwensi dari pelaksanaan otonomi, akan mengurangi sumber pendapatan nasional, dan akan memberikan keuntungan parsial kepada golongan tertentu di Daerah. c. Merespon kondisi ini dan didorong oleh adanya tuntutan reformasi, maka Pemerintah
Orde
ketidakkonsistenan
Reformasi Pemerintah
telah
melakukan
sebelumnya
dalam
koreksi
terhadap
mengaktualisasikan
!
46!
Otonomi Daerah. Sebagai bukti nyata kesungguhan komitmen Pemerintah, maka telah ditempuh beberapa langkah yang bernilai strategis, antara lain: 1) Mensahkan
Ketetapan
MPR.RI
No.
XV/MPR/1998,
tentang
Penyelenggaran Otonomi Daerah. Tap MPR.RI ini memberikan arahan bahwa penyelenggaraan Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber-daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. 2) Mengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pemerintahan di Daerah dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah; 3) Menetapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah; 4) Melakukan perubahan terhadap prinsip Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawaban menjadi Luas, Nyata, dan Bertanggungjawab secara proporsional; 5) Melakukan restrukturisasi, refungsionalisasi dan revitalisasi pemerintahan daerah, yang diapresiasikan melalui berbagai kebijaksanaan stratejik, seperti;
pemekaran
(Provinsi,
kabupaten/
kota,
kecamatan,
dan
kelurahan/desa), penataan struktur dan eselonisasi, privatisasi BUMD, dan sebagainya. 6) Komitmen Pemerintah untuk mengaktualisasikan penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam dataran normatif konseptual operasional terumuskan di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Analisis secara cermat terhadap substansi kedua undang-undang ini, memberikan gambaran adanya perubahan mendasar dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah,
yang
mengarah
pada
tindakan
restrukturisasi,
refungsionalisasi, dan revitalisasi. Perubahan ini dimaksudkan untuk melakukan pembaharuan dalam rangka peningkatan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, akselerasi
pembangunan
Daerah
berdimensi
pemerataan
dan
keadilan,
!
47!
pengembangan kehidupan demokratisasi, serta peningkatan prakarsa, kreativitas, dan partisipasi masyarakat Undang-Undang No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan Otonomi daerah beraraskan pada prinsip luas, nyata dan bertanggungjawab. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan daerah Provinsi hanya melaksanakan Otonomi yang terbatas. Berdasarkan prinsip dasar tersebut maka Otonomi Daerah sesuai UndangUndang No. 22 Tahun 1999, memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah; b. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab; c. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota sedang Otonomi Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang terbatas; d. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antarDaerah; e. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom dan karenanya dalam Daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya yang berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom; f. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah; g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah;
!
48!
h. Pelaksanaan asas tugas pembantu dan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya
manusia
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dalam hal pembagian daerah Undang-Undang No.22 Tahun 1999, memberikan beberapa rumusan, yaitu: a. Wilayah NKRI dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom; b. Daerah-Daerah otonom masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain; c. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi; d. Kecamatan merupakan perangkat Pemerintah Kabupaten/Kota. Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat Daerah lainnya. Kedudukan Kepala Daerah adalah sebagai Kepala Eksekutif. Dalam kedudukan ini Kepala Daerah dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah, yang keduanya merupakan jabatan politik. Sebutan untuk Kepala Daerah Provinsi adalah Gubernur sedangkan Kepala Daerah Kabupaten dan Kota adalah Bupati dan Walikota. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD Provinsi sedangkan Bupati dan Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten dan Kota. Meskipun demikian baik Gubernur maupun Bupati dan Walikota berkewajiban memberikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya kepada Presiden. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD melalui pemilihan
secara
bersamaan.
Ini
berarti
bahwa
jika
Kepala
Daerah
berhenti/diberhentikan, maka keputusan ini secara otomatis berlaku juga bagi Wakil Kepala Daerah. Pada tingkat Kabupaten dan Kota pemilihan Kepala Daerah mulai dari penjaringan sampai dengan penetapannya dilakukan di Daerah, kecuali pengesahan dilakukan oleh Presiden. Sedangkan pada tingkat Provinsi, keterlibatan Pemerintah Pusat tetap ada, dimana calon Kepala Daerah harus dikonsultasikan kepada Presiden, hal ini disebabkan karena kedudukan Gubernur juga sebagai Wakil Pemerintah.
!
49!
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah, yang terdiri dari: Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah Lainnya sesuai dengan kebutuhan Daerah. Pembentukan Perangkat Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah bersama-sama DPRD dan dituangkan dalam Peraturan Daerah. Pejabat Perangkat Daerah diangkat oleh Kepala Daerah, khusus untuk Sekretaris Wilayah Daerah atas persetujuan DPRD. Jumlah dan jenis perangkat Daerah ini harus disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan Daerah. DPRD sebagai lembaga legislatif Daerah merupakan wahana bagi pelaksanaan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD memiliki kedudukan yang sama dan menjadi mitra sejajar dengan Pemerintah Daerah. Untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD, maka dibentuk sekretariat DPRD yang dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD 3. Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Materi muatan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab III, Pembagian Daerah disebutkan bahwa Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masingmasing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Uraian ini memberikan penjelasan bahwa secara struktural-hirarkhis pemerintahan di Provinsi Papua terdiri atas Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik, dan Kampung. Seiring dengan perkembangan daerah dan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka sampai dengan tahun 2008, Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang Otsus telah menjadi 2 (dua) provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua terdiri atas 26 Kabupaten dan 1 Kota, dimana di dalamnya terdapat 232 Distrik, dan 5.361 Kampung/Kelurahan. Pilar utama dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Papua terdiri atas tiga komponen, yakni DPRP, Pemerintah Daerah (Gubernur beserta perangkat lainnya), dan MRP. Dalam konteks ini, DPRP diposisikan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, dan MRP sebagai badan representase kultural orang asli Papua. Sebagai badan legislatif DPRP berwenang dalam melaksanakan fungsi dibidang legislatif, yang mencakup: (1) legislasi; (2) budgeting (penganggaran); (3) pengawasan. Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif
!
50!
berwenang dalam melaksanakan fungsi pemberian pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, serta pelaksanaan pembangunan. Di samping itu sebagai wakil Pemerintah Pusat, Gubernur juga memiliki kewenangan melaksanakan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Papua. Sedangkan MRP yang merupakan representasi kultural orang asli Papua memiliki kewenangan melaksanakan fungsi tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Uraian di atas memberi gambaran bahwa sebagai pilar penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, ketiga lembaga ini memiliki kewenangan dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Fungsi masing-masing lembaga tersebut memiliki korelasi tetapi tidak tumpang tindih (overlapping), bahkan merupakan satu kesatuan sinergis, yang diharapkan dapat lebih meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara berkeadilan dan bermartabat, dengan partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya. Pola dan mekanisme hubungan sinergis dengan tugas dan wewenang berbeda dalam rangka implementasi UU Otsus oleh ketiga lembaga ini, yaitu: Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut : Gambar 4.1. Mekanisme Hubungan Gubernur, DPRP dan MRP Pemerintah Provinsi (Gubernur dan Wakil Gubernur )
MRP (Representasi kultural orang asli Papua dengan kewenangan tertentu) Sumber : Hasil Elaborasi Tim 2010
DPRP (Legislasi, Anggaran & Pengawasan)
!
51!
a. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disingkat DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Irian Jaya. Perubahan nomenklatur DPRD Provinsi menjadi DPRP sebagaimana tersebut di atas, diikuti pula dengan penambahan jumlah anggota. Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum). Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum, pasal 23, ayat (2) butir b, diatur bahwa provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi. Merujuk pada ketentuan tersebut, maka jumlah anggota DPRP adalah 45 orang ditambah ¼ dari jumlah tersebut (11 orang). Dengan demikian maka jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) adalah 56 orang. Penambahan ¼ (seperempat) keanggotaan DPRP dimaksudkan untuk mengakomodir keterwakilan orang asli Papua (kelompok minoritas/ terabaikan/ terasing), sekaligus dalam rangka peningkatan kinerja lembaga perwakilan tersebut. Di sisi lain diharapkan dengan penambahan jumlah akan semakin menambah bobot lembaga DPRP dalam memperjuangkan dan penyalurkan aspirasi rakyat. Penambahan jumlah anggota DPRP telah dilakukan pertama kalinya dalam pemilihan umum tahun 2004. Berdasarkan ketetapan Komisi Pemilihan Umum jumlah kursi DPRP dalam pemilihan umum tahun 2004, ditetapkan 56 (lima puluh enam) kursi. Dalam konteks ini Komisi Pemilihan Umum secara langsung menambah kursi bagi DPRP sesuai amanat UU Otsus. Penambahan 11 (sebelas) kursi sebagaimana dimaksud memang merupakan amanat UU Otsus, akan tetapi mekanisme rekrutmennya sampai saat ini belum jelas. Dalam 2 (dua) kali Pemilihan Umum (2004 dan 2009), pengisian 11 kursi tersebut dilakukan melalui Pemilihan Umum, artinya kursi tersebut diperebutkan oleh parpol peserta Pemilihan Umum secara bebas, hal ini tentu berbeda dengan semangat yang terkandung dalam UU Otsus.
!
52!
Permasalahan ini akhirnya merambah sampai ke Mahkamah Konstitusi.7 Penetapan Komisi Pemilihan Umum mengenai proses rekrutmen anggota DPRP untuk pengisian 11 (sebelas) kursi tambahan sebagaimana tersebut tidak memperhatikan filosofi dan pertimbangan penambahan kursi bagi DPRP sebagaimana yang terungkap dalam persidangan-persidangan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang otonomi khusus Papua dan tercatat dalam Risalah sidang-sidang dimaksud. Untuk menunjang pelaksanaan tugas DPRP, dibentuk Sekretariat DPRP. Sekretariat DPRP mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan administrasi kepada Pimpinan dan Anggota DPRP. b. Pemerintah Provinsi Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin eksistensi simbolik orang asli Papua dalam wilayah Provinsi Papua, maka syarat utama untuk dapat dicalonkan menjadi Gubernur di Provinsi Papua adalah Warga Negara Republik Indonesia yang berasal dari orang asli Papua. Berdasarkan ketentuan Bab I, pasal 1, huruf t, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001, disebutkan bahwa orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Konsepsi orang asli Papua sebagaimana diamanatkan dalam undangundang tersebut pada hakikatnya dapat dikategorikan dalam 2 (dua) jenis, yakni: (1) kategori orang asli Papua berdasarkan pada aspek keturunan atau genetika (ras melanesia suku-suku asli di Papua). kategori ini seharusnya dimaknai bahwa seseorang bisa dikatakan asli apabila kedua orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya (bapak/ibu) berketurunan ras melanesia tanpa !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 7Merasa tidak puas dengan keputusan KPU mengenai makanisme pengisian 11 kursi DPRP sebagai akibat dari pemberlakuan UU Otsus, maka komponen masyarakat (Barisan Merah Putih/BMP) mengajukan uji materiil ke MK. MK akhirnya menerima permintaan BMP dan memerintahkan untuk menambah lagi 11 kursi DPRP untuk orang asli Papua (45+11+11=67), yang pengaturan lebih lanjut diatur dengan Perdasus. Putusan MK juga menyebutkan bahwa penambahan ini hanya berlaku untuk Pemilihan Umum 2009, artinya dalam Pemilihan Umum 2014 tidak berlaku lagi. Meskipun Putusan MK ini terkesan sebagai putusan kompromistis, tetapi harus dilaksanakan.
!
53!
mempersoalkan tingkatan keturunannya; (2) kategori orang asli Papua berdasarkan pada aspek penerimaan dan pengakuan oleh masyarakat adat tertentu. Kategori ini seharusnya dimaknai bahwa seseorang dapat disebutkan asli Papua apabila ada penerimaan dan pengakuan dari masyarakat adat tertentu. Penerimaan dan pengakuan tersebut harus pula berdasarkan pertimbangan tertentu yang merupakan indikatornya. Penerimaan dan pengakuan seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang biasa digunakan baik dalam konteks lokal, regional, nasional, maupun internasional, seperti: (a) Seseorang yang lahir dan besar 15 tahun sesudah dewasa di wilayah Provinsi Papua; (b) seseorang yang karena ikatan perkawinan secara sah (berdasarkan hukum negara dan adat) dengan seseorang yang berasal dari rumpun ras melanesia suku-suku asli di Provinsi Papua; (c) seseorang yang memiliki jasa yang luar biasa bagi pengembangan Provinsi Papua. Kategorisasi orang asli Papua sebagaimana tersebut perlu diatur secara jelas dan tegas dalam produk hukum daerah (Perdasus), hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan multi tafsir dan multi persepsi. Meskipun persyaratan untuk dapat dipilih sebagai Gubernur adalah orang asli Papua, akan tetapi tidak serta merta setiap orang asli Papua dapat dipilih begitu saja. Hal ini dikarenakan ada sejumlah persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh seorang calon Gubernur Provinsi Papua, sebagaimana diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, yaitu: 1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau setara; 3) berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; 4) sehat jasmani dan rohani; 5) setia kepada NKRI dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; 6) tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; 7) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik. Selain sebagai Kepala Daerah yang melaksanakan tugas dan wewenang di bidang eksekutif, Gubernur juga berkedudukan sebagai wakil
!
54!
Pemerintah. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki tugas dan wewenang tertentu. Untuk memimpin jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah Gubernur Papua dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur dan dalam rangka penyelenggaraan
fungsi
pemerintahan,
dalam
hal
melayani
(service),
membangun (development) dan memberdayakan (empowerment) masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua membentuk Perangkat Provinsi Papua, yang terdiri dari : Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Daerah dan Lembaga-Lembaga Teknis Daerah. c. Majelis Rakyat Papua (MRP) MRP merupakan lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Ini berarti bahwa MRP memiliki kewenangan yang terbatas. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Perdasus. Untuk menunjang pelaksanaan tugas MRP, dibentuk Sekretariat MRP. Sekretariat MRP dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertugas membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya. Sekretaris MRP diangkat dari PNS yang memenuhi syarat oleh Gubernur. Sekretariat MRP secara operasional berada di bawah pimpinan MRP dan secara teknis administrasi berada di bawah Sekretaris Daerah Provinsi. Kedudukan, susunan organisasi dan tata kerja serta keuangan Sekretariat MRP diatur dalam Perdasi. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat MRP disebutkan bahwa Sekretariat MRP mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan administrasi kepada Pimpinan dan Anggota MRP. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU Otsus Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, serta MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
!
55!
perlindungan
hak-hak
orang
asli
Papua,
dengan
berlandaskan
pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Pembentukan MRP dilatarbelakangi oleh beberapa alasan: 1. hak-hak politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung terabaikan; 2. representasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan di lembagalembaga politik (parpol/legislatif) tidak cukup signifikan dan cenderung tidak terakomodasi; 3. aspirasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung tidak terakomodir; 4. tingkat partisipasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan tergolong relatif rendah. 5. komitmen untuk menghormati adat dan budaya, memberdayakan kaum perempuan, dan memantapkan kerukunan hidup beragama; 6. komitmen untuk melakukan rekonsiliasi antara sesama orang asli Papua maupun orang asli Papua dengan penduduk Provinsi Papua. Hak-hak politik orang asli Papua di provinsi Papua belum terlindungi secara memadai. Kondisi ini berimplikasi terhadap akomodasi aspirasi atau kepentingan orang asli Papua. Merespon kondisi ini, maka Undang-Undang No.21 tahun 2001 secara khusus memberi jaminan perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang jumlahnya 2/3 dari jumlah anggota DPRP. Mengingat bahwa jumlah anggota DPRP adalah 56 (lima puluh enam) orang, maka jumlah anggota MRP adalah 42 (empat puluh dua) orang. Keanggotaan MRP terdiri atas, wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, maka MRP memiliki tugas dan wewenang tertentu. Tugas dan wewenang MRP sebagaimana diatur dalam UU Otsus, Pasal 20, ayat (1) adalah :
!
56!
1. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; 2. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; 3. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; 4. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; 5. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan 6. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota serta Bupati/ Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud diatur dengan perdasus. Pembentukan MRP membutuhkan waktu lebih dari empat tahun sejak diberlakukannya UU Otsus. Pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pelaksana (PP) Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, 23 Desember 2004. Padahal usulan mengenai syarat dan jumlah serta tata cara pemilihan anggota MRP telah diusulkan Gubernur dan DPRP kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP), sejak tanggal 14 Juli 2002. Jika Pemerintah konsisten berdasarkan ketentuan pasal (2) UU Otsus, maka seharusnya Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber antara lain mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno (lihat Kompas, 16 Januari 2003) serta tanggapan para informan, maka dapat disebutkan bahwa, setidaknya ada tiga alasan mengapa dibutuhkan waktu cukup lama bagi penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan teknis operasional bagi MRP, yaitu:
!
57!
1. ada kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintah, bahwa MRP akan menjadi lembaga berkuasa penuh (superbody) dan bakal mengganggu proses politik dan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, sehingga aturan mainnya perlu dibuat dengan lebih hati-hati; 2. sosialisasi otonomi khusus dan pemahaman tentang MRP belum berlangsung secara berkesinambungan serta lebih intensif dan menyeluruh. Perlu ada persepsi dan pemahaman yang utuh bahwasanya otonomi khusus bukan tujuan akhir melainkan proses menuju kesejahteraan rakyat Papua. 3. Indonesia belum berpengalaman dalam membentuk lembaga seperti MRP. Di sisi lain persoalan di Papua sendiri cukup “kompleks”, misalnya, jumlah suku bangsa sangat banyak. Kesulitannya menyangkut suku mana yang diberi kesempatan duduk di majelis ini, bagaimana kriterianya? Masingmasing suku bangsa tentu akan melakukan segala daya dan upaya untuk memperjuangkan wakilnya menjadi anggota MRP. Setelah Peraturan Pemerintah (PP) tentang MRP ditetapkan, maka Pemerintah Daerah mulai melakukan langkah-langkah dalam mempersiapkan proses rekrutmen anggota MRP, yang ditandai dengan pembentukan Panitia Pemilihan Anggota MRP, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan distrik. Panitia Pemilihan Anggota MRP sesuai dengan kewenangan yang diberikan, mulai melakukan tahapan pemilihan, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Proses rekrutmen anggota MRP yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan pada beberapa tahapan, berlangsung tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 Tentang MRP dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) No. 4 tahun 2005, tentang Tata cara pemilihan Anggota MRP. Proses musyawarah di tingkat kampung pada umumnya tidak dilakukan, padahal tahapan tersebut merupakan proses awal yang sangat menentukan. Proses di tingkat distrik pada beberapa daerah pemilihan juga berlangsung tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang seharusnya. Berbagai fakta sebagaimana tersebut, tentunya dapat dijadikan sebagai pembenaran (jastification) atas penilaian bahwasanya proses pemilihan anggota MRP tahun 2005 pada beberapa tahapan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini diakui adanya oleh para informan.
!
58!
Menurut mereka bahwa penyebab terjadinya hal sebagaimana di sebutkan di atas disebabkan karena beberapa hal, antara lain: 1. keterbatasan waktu untuk melakukan proses pemilihan, mulai dari pencalonan sampai dengan peresmian. Ada target yang di buat oleh Pemerintah Provinsi, bahwa anggota MRP sudah harus dilantik sebelum proses Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Gubernur dan Wakil Gubernur), yang dimulai pada Juni 2005; 2. kondisi geografis daerah Provinsi Papua dengan topografi yang bervariasi, yang menyebabkan adanya kendala transportasi dan komunikasi; 3. belum tersosialisasinya pemilihan anggota MRP secara menyeluruh dan merata, kesemua masyarakat di kampung-kampung, akibatnya masih banyak pihak yang tidak memahami tentang MRP termasuk prosedur dan mekanisme rekrutmen anggotanya. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban setiap individu dalam proses pemilihan dimaksud. Proses pemilihan anggota MRP, dengan berbagai kekurangan sebagaimana tersebut, akhirnya menghasilkan 42 (empat puluh dua) orang calon anggota terpilih. Calon anggota terpilih sebagaimana dimaksud disahkan pengangkatannya sebagai anggota MRP berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 220-982 Tahun 2005, tanggal 29 Oktober 2005. Dalam
perkembangannya
berselang
1
(satu)
bulan
setelah
pengambilan sumpah/ janji (Oktober 2005), MRP dituntut untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam hal memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Implementasinya MRP tanpa mempertimbangkan faktor prosedur dan mekanisme dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yang seharusnya diatur dalam sebuah Perdasus. MRP berdasarkan Surat keputusan No. 06/MPR/2005 tentang Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan Bakal Calon Gubernur dan Bakal Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua Masa Jabatan 2005-2010, telah memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP. Karena tidak didasarkan pada suatu mekanisme yang baku berdasarkan Perdasus, maka dalam menilai bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur orang asli Papua atau bukan, dilakukan dengan
!
59!
cara voting. Hal ini tentunya menjadi catatan kelabu bagi demokrasi di Papua, sekaligus bagi keberadaan MRP, karena suatu hal yang sangat riskan jika keturunan seseorang ditentukan atas pilihan orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adat yang memiliki hak kologial, serta dilakukan berdasarkan suara terbanyak (voting). Setelah memasuki tahun ketiga sejak diresmikan tahun 2005, MRP, nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung melakukan hal-hal di luar tugas dan wewenangnya, yang bermuara pada kontra produktif. MRP, misalnya membuat Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang Lambang-lambang Daerah. Padahal kewenangan membuat Raperdasus ada di tangan DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Sedangkan MRP hanya berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan. Di sisi lain dalam Raperdasus tersebut MRP menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang daerah Provinsi Papua, dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu Daerah Provinsi Papua. Raperdasus ini sangat kontroversial, dan sempat menimbulkan ketegangan antara “Jakarta” dan “Papua”, karena bendera dan lagu tersebut dianggap sebagai bendera dan lagu yang sama dengan bendera dan lagu yang digunakan oleh kelompok “separatis”. Hal ini akhirnya mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 tentang Lambang-lambang Daerah, yang melarang penggunaan lambanglambang yang sama dan serupa dengan lambang-lambang yang digunakan kelompok-kelompok “separatis”. Salah satu penyebab MRP belum berfungsi atau melakukan hal-hal di luar kewenangannya adalah karena sampai saat ini belum ada Perdasus yang mengatur tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP, sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus, Pasal 20 ayat (2). Selain itu sejumlah perdasus yang urgen dan mendesak terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua belum ada satupun yang dibuat dan diberlakukan. Padahal perdasus merupakan instrumen hukum bagi MRP untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kondisi ini diikuti pula dengan keterbatasan kualitas keanggotaan (rata-rata anggota berpendidikan setingkat sekolah menengah umum/kejuruan). Bahkan sebagian besar anggota MRP memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat terbatas tentang substansi kebijakan otonomi khusus Papua.
!
60!
E. Kewenangan Pemerintahan Provinsi Pengesahan UU Otsus membawa konsekuensi adanya kewenangan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus pemerintahan daerah dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam
Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomian, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Papua. Hal di atas memberikan gambaran bahwasanya ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Akibatnya terdapat hal-hal mendasar tertentu yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. Kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang dilegitimasi dengan pemberlakuan UU Otsus, maka Pemerintah menyerahkan seluruh kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Papua, kecuali 5 (lima) kewenangan yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah, yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan. Pembagian kewenangan sebagaimana tersebut disamping merupakan konsekuensi dari status otonomi khusus, sekaligus juga merupakan
pengejawantahan
dari
penegakan
prinsip-prinsip
demokratisasi
penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan Daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat. Melalui pendekatan seperti ini diharapkan
akan
memungkinkan
pelaksanaan
pelayanan,
pembangunan,
dan
pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara efisien, efektif, aspiratif, akomodatif dan ekonomis. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan tertentu berdasarkan UU Otsus, sejumlah kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang tidak dimiliki sebelumnya, serta tidak dimiliki oleh provinsi lain di Indonesia, sebagai akibat pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, yang terdapat pada beberapa aspek, yaitu:
!
61!
1. Kewenangan Bidang Politik Salah satu aspek yang menjadi muatan kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua sebagai wujud dari penyerahan serta pengakuan dari Pemerintah adalah kewenangan aspek politik. Kewenangan aspek politik sebagaimana dimaksud, adalah dalam arti luas, yang mencakup dimensi politik luar negeri (hubungan luar negeri) serta dimensi politik dalam negeri (kelembagaan politik, proses politik, keputusan politik). Kewenangan dibidang politik luar negeri pada hakikatnya merupakan kewenangan Pemerintah yang tidak diserahkan kepada Daerah, artinya kewenangan tersebut sepenuhnya menjadi domain dari Pemerintah Pusat. Akan tetapi sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, maka pada dimensi-dimensi tertentu Pemerintah memberi peluang kepada Pemerintahan Provinsi Papua untuk terlibat secara aktif dalam aktualisasi kewenangan bidang politik dimaksud. Dalam hal perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua, dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur provinsi Papua dan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Keterlibatan
Pemerintahan
Provinsi
Papua
dalam
aktualisasi
kewenangan Pemerintah dibidang politik luar negeri dimaksud untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, terutama yang terkait dengan hak ulayat. Provinsi Papua juga diberikan peluang yang luas untuk dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama, sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini dimaksudkan untuk percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Provinsi Papua juga dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri. Hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri tersebut memungkinkan Provinsi Papua memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua. Meskipun Pemerintahan Provinsi Papua diberi peluang yang besar dalam melakukan hubungan dengan pihak luar negeri, akan tetapi sebagai bagian dari NKRI, maka segala hal yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam NKRI.
!
62!
Informasi dari para informan juga mengungkapkan bahwa sampai saat ini pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, kewenangan dibidang politik luar negeri yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Papua belum pernah diwujudnyatakan. Hal ini disebabkan karena selama 7 (tujuh) tahun terakhir ini belum ada perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah dengan pihak lain yang khusus terkait dengan Provinsi Papua (domisili/wilayah operasi di wilayah Provinsi Papua). Beberapa perjanjian yang ada (kontrak karya dengan PT. Freeport Indonesia Company maupun British Potrelium), telah dilakukan sebelum pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua. Dalam konteks ini undang-undang melindungi dan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tata cara dan berdasarkan peraturan perundangundangan. Di sisi lain rumusan undang-undang ini juga bukan merupakan suatu aturan hukum yang final, akan tetapi memerlukan penjabaran (interpretasion) lebih-lanjut melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya (Perdasus dan Perdasi), yang belum ada. Pada dimensi politik dalam negeri, Pemerintahan Provinsi Papua memiliki kewenangan yang luas untuk merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan daerah dengan memberikan kesempatan yang luas bagi orang asli Papua untuk terlibat dalam proses politik di daerah, dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua. Untuk mewujudkan hal ini maka dibentuklah MRP, yang diposisikan sebagai lembaga resmi pemerintah (suprastructur politic). Selain itu pula jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua ditambah 1¼ dari jumlah anggota DPRP berdasarkan peraturan perundangundangan. Keberadaan MRP ternyata belum memiliki pengaruh terhadap perumusan kebijakan yang lebih aspiratif, akomodatif, dan berpihak kepada rakyat. Sejak pengambilan sumpah janji anggota MRP yang menandai operasionalisasinya, lembaga ini belum bisa melakukan aktivitasnya secara efektif. Faktor utama yang menyebabkan adalah belum adanya instrumen hukum yang memadai (Perdasus dan
Perdasi),
sebagai
landasan
teknis
operasional
bagi
MRP
untuk
meaktualisasikan kewenangan yang dimiliki. Selain itu keterbatasan pengetahuan dan pemahaman para anggota MRP terhadap filosofi dan substansi kebijakan otonomi khusus Papua juga berimplikasi signifikan terhadap efektivitas implementasi tugas dan wewenang lembaga ini.
!
63!
Penambahan jumlah kursi DPRP sebagai konsekuensi dari pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua, telah terealisasi bersamaan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2004. Jumlah kursi DPRP yang berdasarkan UndangUndang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berjumlah 45 (empat puluh lima) orang (sesuai jumlah penduduk Provinsi Papua antara 1000.000 s/d 3000.000 jiwa), telah ditambahkan ¼ (sebelas kursi), sehingga menjadi 56 (lima puluh enam) kursi. Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud bertujuan untuk memberi ruang yang luas bagi partisipasi politik orang asli Papua. Ini berarti dalam rangka pengisian kursi tambahan tersebut diperlukan adanya mekanisme tertentu yang berbeda dengan pengisian 45 (empat puluh lima) kursi yang dilakukan melalui pemilihan umum. Penambahan jumlah kursi sebagaimana tersebut juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja DPRP. Kinerja DPRP dapat dikategorikan masih rendah. Salah satu indikatornya adalah ketidakmampuan lembaga ini dalam melaksanakan fungsi utamanya, yakni membahas dan menetapkan Perdasus dan Perdasi. Sampai dengan memasuki tahun ke-7 (tujuh) pelaksanaan kebijakan otonomi khusus, Perdasi yang telah ditetapkan DPRP hanya ± 5 (lima) sedangkan Perdasusnya hanya 1 (satu). Padahal UU Otsus mengamanatkan pembentukan 11 (sebelas) Perdasus dan 17 (tujuh belas) Perdasi. Pemerintah Daerah juga berwenang membentuk perangkat daerah termasuk perangkat DPRP dan MRP. Pembentukan perangkat daerah sebagaimana dimaksud didasarkan pada kebutuhan daerah. Dalam kenyataannya perangkat daerah yang ada selama ini merupakan hasil bentukan sebelum pemberlakuan kebijakan otonomi khusus. Hal ini mengandung arti bahwa belum ada perubahan perangkat daerah yang mendasar sebagai akibat dari adanya pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua. Bahkan dalam hal perangkat Pemerintah daerah lebih cenderung mengikuti berbagai aturan lainnya yang sama dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Daerah belum memiliki keberanian dan kreatifitas untuk membentuk perangkat dari yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia, sesuai tuntutan otonomi khusus atas dasar kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Pemerintah Daerah juga berwenang menetapkan kebijakan kepegawaian dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan
!
64!
manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. Kebijakan kepegawaian dimaksud mulai dari penentuan formasi, seleksi (recruitment), pendidikan dan latihan, penggajian, penempatan dalam jabatan, dan pensiun. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan kepegawaian yang tidak sesuai dengan norma dan standar dan prosedur yang berlaku secara nasional. Peluang yang diberikan dalam rangka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua dalam hal menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Daerah belum dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Padahal Pemerintah Daerah di Papua dapat menetapkan kebijakan kepegawaian yang tidak sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRP) berwenang untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah. Kewenangan ini telah dilaksanakan, yang ditandai dengan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah tentang MRP. Penyerahan tersebut dilakukan pada bulan Juli 2002, yang sesuai ketentuan undang-undang seharusnya paling lambat 1 (satu) bulan usulan tersebut telah ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya Peraturan Pemerintah yang dimaksud baru ditetapkan pada Desember 2004. MRP dan DPRP juga memiliki kewenangan terutama dalam hal memberi persetujuan terhadap pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Persetujuan tersebut didasarkan atas pertimbangan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. Dalam rangka pelaksanaan wewenang ini maka diperlukan adanya pengaturan (Perdasus/Perdasi), yang memuat indikator-indikator yang terukur, khususnya yang terkait dengan kesatuan social-budaya, kesiapan sumberdaya manusia, dan kemampuan ekonomi, serta pengembangan di masa datang. Pengaturan tersebut juga diperlukan untuk memperjelas domain dari masing-masing institusi (MRP dan DPRP). hal ini dimaksudkan agar proses pemekaran dan/atau pembentukan provinsi-provinsi baru di Papua dapat
!
65!
berlangsung secara prosedural berdasarkan pertimbangan/penilaian secara objektif, yang bertujuan untuk percepatan pembangunan serta peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Pengaturan sebagaimana dimaksud sampai saat ini belum ada, akibatnya proses pemekaran dan/atau pembentukan provinsi-provinsi baru yang marak akhir-akhir ini di Papua dijadikan komoditi politik yang kurang sehat (pertarungan anta relit), yang cenderung bernuansa kepentingan pribadi/kelompok/ golongan. Hal ini jika tidak direspon secara cepat dapat mengarah menjadi potensi konflik (disintegrasi horizontal). 2. Kewenangan Bidang Pertahanan dan Keamanan Aspek
pertahanan
dan
keamanan
pada
hakikatnya
merupakan
kewenangan Pemerintah, akan tetapi dalam kerangka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan Pusat aspek pertahanan keamanan kepada Pemerintah Provinsi Papua. Dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua, Gubernur dalam kapasitas sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah berhak melakukan koordinasi dengan Pemerintah. Hal ini mengandung arti bahwa setiap kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan NKRI dan pelaksanaan operasi militer selain perang yang dilaksanakan di Provinsi Papua, harus diketahui dan merupakan hasil koordinasi antara Gubernur Provinsi Papua dengan Pemerintah. Pemerintah Daerah berwenang mengkoordinasikan hal itu dengan pihak Pemerintah, termasuk dalam hal memberikan saran pendapat. Kewenangan exclusive yang dimilki pemerintah Provinsi Papua pada aspek pertahanan ini juga belum teraktualisasikan. Salah satu faktor penyebabnya adalah belum adanya prosedur dan mekanisme yang jelas tentang hal dimaksud. Prosedur dan mekanisme koordinasi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah sebagaimana dimaksud memerlukan pengaturan lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan agar prosesnya berlangsung secara legal dan proporsional. Sebagai alat Negara, Kepolisian Republik Indonesia berwenang melakukan segala daya dan upaya untuk menjamin ketertiban dan ketentraman masyarakat di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, yang diatur dalam prosedur tetap, yang merupakan kewenangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Akan tetapi dalam konteks Papua, kewenangan tersebut diserahkan kepada Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai tugas kepolisian di bidang ketertiban dan ketentraman di Provinsi Papua diatur melalui Perdasi.
!
66!
Mengingat bahwa tugas kepolisian dibidang ketertiban dan ketentraman di Provinsi Papua didasarkan pada suatu Perdasi, serta pembiayaannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua, maka sebagai konsekuensinya Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) berkewajiban memberi pertanggungjawaban terkait tugas kepolisian bidang ketertiban dan ketentraman di Provinsi Papua kepada Gubernur atas nama Pemerintahan Daerah. Gubernur berwenang menerima dan/atau meminta pertanggungjawaban Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua dibidang ketertiban dan ketentraman. Gubernur juga berwenang untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua mengenai keamanan di Provinsi Papua, serta relokasi dan penempatan baru satuan Kepolisian di Provinsi Papua. Untuk menjamin kewenangan Gubernur sebagaimana dimaksud, maka dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua yang merupakan domain dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), harus memperhatikan dan berdasarkan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Satu-satunya kewenangan yang sudah dilaksanakan dalam kaitannya dengan dimensi keamanan adalah persetujuan Gubernur terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua. Sebelum melantik Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) meminta pertimbangan dan persetujuan Gubernur. Meskipun proses ini telah berlangsung sejak tahun 2004, akan tetapi persoalan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana mekanisme pemberian persetujuan Gubernur? apakah Gubernur berhak secara sepihak melaksanakan kewenangan tersebut tanpa melibatkan DPRP ? dan atas dasar indikator apa yang dipakai oleh Gubernur untuk menyetujui atau tidak menyetujui seorang calon Kepala kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua? Kesemuanya ini perlu pengaturan dalam suatu aturan hukum yang mengikat di tingkat daerah (Perdasi/Perdasus), yang sampai saat ini belum ada, sehingga diharapkan pelaksanaan kewenangan ini akan efektif dan sesuai dengan filosofi, maksud dan tujuannya, bukan sekedar formalitas belaka. Kewenangan lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Papua pada dimensi keamanan, belum terlaksana sebagaimana mestinya. Pengaturan mengenai tugas kepolisian dibidang ketentraman dan ketertiban di Provinsi Papua, serta pembiayaannya, yang seyogyanya diatur dengan Perdasi, belum terwujud karena belum ada Perdasinya. Hal yang sama juga terkait dengan koordinasi dan
!
67!
pertanggungjawaban keamanan termasuk relokasi dan penempatan baru satuansatuan kepolisian, dari Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) kepada Gubernur. Sejauh ini belum dilakukan dalam suatu kerangka prosedur dan mekanisme yang baku secara sistemik dan legal, dalam bentuk suatu aturan hukum memadai. 3. Kewenangan Bidang Keuangan dan Perekonomian Dalam kerangka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, Pemerintah Provinsi Papua berwenang untuk menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua juga berwenang melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP, sedangkan Pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pemerintah Provinsi Papua setiap tahun anggaran berhak menerima dan berwenang mengelola dana dalam rangka otonomi khusus sebesar 2 % setara Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dana perimbangan yang bersumber dari produksi minyak dan gas alam dengan perbandingan antara Daerah dan Pusat adalah 70 % : 30 %, serta dana pembangunan infrastruktur atas usul Daerah dan dibahas bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sumber penerimaan sebagaimana tersebut di luar sumber penerimaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lain (Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan UndangUndang No. 33 Tahun 2004). Kesemua penerimaan sebagaimana dimaksud sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi. Pemerintahan Provinsi berwenang mengatur pembagian penerimaan tersebut antara provinsi dan kabupaten/kota secara berkeadilan dan proporsional dengan memperhatikan daerah-daerah tertinggal/terisolasi. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua. Dalam hal ini Pemerintah provinsi Papua berwenang melakukan pengaturan usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumberdaya alam dan penyertaan modal Pemerintah Daerah dalam BUMN yang beroperasi di
!
68!
Provinsi Papua, serta mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Untuk
meningkatkan
usaha-usaha
perekonomian
daerah,
maka
Pemerintah Provinsi Papua berwenang melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. Dalam konteks ini Pemerintah Provinsi berwenang mengelola kawasan lindung, dalam rangka untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting. Para informan juga mengakui bahwa sejak tahun 2002 Pemerintah telah mengucurkan dana dalam rangka otonomi khusus senilai 2 (dua) % setara Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, yang besarnya bertambah dari tahun ke tahun. Pengucuran dana ini tidak diikuti oleh terbentuknya aturan hukum (regulasi) sebagai dasar pembagian dan pemanfaatannya. Padahal UU Otsus, Pasal 34 ayat (7) disebutkan bahwa Pembagian lebih lanjut penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota, diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Mengingat Perdasus yang disyaratkan belum terbentuk, maka dana dalam rangka otonomi khusus Papua yang diterima, khususnya yang 2 (dua) % setara Dana Alokasi Umum Nasional dibagi atas “kesepakatan” antara Gubernur dengan Bupati/Walikota se Papua. Hasil kesepakatan pada 2002 s/d 2003 pembagian dana tersebut dilakukan dengan perbandingan 60 % untuk provinsi dan 40 % untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/kota sebagaimana tersebut, dibagikan kepada 27 kabupaten dan 2 kota se tanah Papua (di Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat/Papua Barat). Untuk melegitimasi pembagian ini, maka diterbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Papua. Mulai tahun 2004 persentase pembagian dana sebagaimana dimaksud diubah menjadi 40 % untuk provinsi dan 60 % untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/kota dibagi seperti tersebut di atas. Sedangkan pemanfaatannya include di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing (provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian dana dalam rangka otonomi khusus
!
69!
Papua sebagaimana yang diuraikan tentunya memunculkan sejumlah masalah. Diantara masalah yang mengemuka adalah dasar hukum pembagiannya yang hanya berdasarkan Keputusan Gubernur, padahal UU Otsus mengharuskan adanya dasar hukum dalam bentuk Perdasus. Selain itu pembagian antar provinsi dan kabupaten/kota, maupun antar kabupaten/kota tidak didasarkan atas indikator yang jelas, sehingga menimbulkan persepsi adanya ketidakadilan dalam pembagiannya. Pada tahun 2007 Perdasus sebagaimana dimaksud baru dibuat, akan tetapi belum dipergunakan sebagai landasan hukum pembagian dan pemanfaatan dana dalam rangka otonomi khusus Papua, tanpa ada alasan yang jelas. Sedangkan berbagai hal lain yang terkait dengan masalah keuangan dan perekonomian belum dapat yang dilaksanakan karena belum ada suatu aturan hukum sebagai landasan yuridis teknis operasional. 4. Kewenangan Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dan Komisi HAM Kebijakan otonomi khusus Papua telah menempatkan aspek hukum dan HAM sebagai aspek strategis dalam membangun kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah pada semua lini. Atas dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud, maka Pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan segala daya dan upaya dalam rangka penegakan hukum, serta penegakan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak-HAM. Dalam
rangka
menciptakan
sistem
hukum
yang
kuat
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat, maka melalui kebijakan otonomi khusus Papua, Pemerintah Provinsi Papua berwenang membuat regulasi daerah dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi)8 dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)9. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, maka Pemerintah provinsi Papua berwenang membentuk Komisi Hukum Ad Hoc. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 8
Undang-Undang No. 21 tahun 2001, pasal 1 huruf j, menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) bersama-sama dengan Gubernur (Pemerintad daerah) 9 Undang-Undang No. 21 tahun 2001, pasal 1 huruf I, menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang ini, dan dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) bersama-sama dengan Gubernur (Pemerintad daerah) serta mendapat pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua (MRP)
!
70!
Sebagai upaya untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa, maka UU Otsus mengamanatkan Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam konteks ini, Pemerintah Provinsi Papua berwenang untuk mengusulkan pembentukan nya , yang terkait dengan susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan, untuk kemudian ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Kepres). Gubernur Provinsi Papua juga memiliki wewenang memberi persetujuan atas pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua Dalam hal pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Papua yang dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Kewenangan Pemerintah provinsi Papua pada aspek hukum dan hakHAM sebagaimana diuraikan di atas, belum dapat diwujudkan secara optimal. Kewenangan dalam hal menetapkan Perdasus dan Perdasi yang merupakan landasan hukum teknis operasional dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, sampai dengan memasuki tahun ke-7 (ketujuh) pemberlakuan UU Otsus, baru ditetapkan 1 (satu) Perdasus dan 5 (lima) Perdasi. Keterbatasan Perdasus dan Perdasi sebagaimana tersebut tentunya berimplikasi terhadap pelaksanaan kewenangan lainnya. Pelaksanaan kewenangan lainnya menjadi tidak dapat diwujudkan karena tidak adanya landasan hukum yang memadai. 5. Kewenangan Bidang Perlindungan Masyarakat Adat Kebijakan otonomi khusus Papua memberikan perhatian terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Provinsi Papua berwenang melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat dimaksud meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam hal terjadi sengketa yang melibatkan masyarakat adat terkait dengan tanah ulayat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berwenang memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Selain itu Pemerintah Provinsi juga berwenang dan bertanggungjawab untuk melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Dalam hal ini termasuk membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa
!
71!
dan sastra daerah serta melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua, guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua serta. Menurut para informan bahwa untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua sebagaimana tersebut di atas, maka yang harus dilakukan lebih awal adalah memetakan wilayah adat. Selama ini yang diketahui luas oleh masyarakat bahwa wilayah adat Papua terbagi atas 7 (tujuh), yakni Lapago, Mepago, Mamta, Saireri, Ha’Anim, Doberay, dan Bomberay. Pembagian ini masih perlu pengkajian lebih lanjut, bahkan jika dimungkinkan dirinci lebih detail lagi, dan kemudian ditetapkan dengan Perdasus. Berdasarkan pemetaan tersebut maka dapat disusun prosedur dan mekanisme perlindungan hak-hak masyarakat adat yang sesuai dengan karateristik masing-masing. Hal ini diakui belum pernah dilakukan, sehingga dimungkinkan pembinaan dan perlindungan yang dilakukan menjadi bias, bahkan mungkin berlebihan tetapi tidak bermakna. 6. Kewenangan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan Aspek sosial yang dimaksudkan dalam hal ini mencakup pendidikan, kesehatan,
dan
gizi,
serta
kependudukan.
Kebijakan
otonomi
khusus
mengisyaratkan Pemerintah Provinsi Papua memberi kesepakatan kepada Pemerintah provinsi Papua memiliki sejumlah kewenangan pada aspek sosial. Pemerintah Provinsi berwenang menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Penyelenggaraan pendidikan dimaksud dilakukan dengan mengedepankan mutu, yakni pendidikan di Provinsi Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab dengan biaya yang serendah-rendahnya, sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Dalam rangka mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan di provinsi Papua, maka pemerintah Provinsi Papua telah menetapkan Perdasi tentang Pembangunan Pendidikan Tahun 2006. Penetapan Perdasi sebagaimana dimaksud belum mampu memberi perubahan yang berarti dalam penyeleggaraan pendidikan di Provinsi Papua. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: substansi Perdasi tersebut belum memuat aspek pendidikan secara komprehensif-holistic-
!
72!
integral, beberapa muatan penting dalam kebijakan otonomi khusus Papua belum terakomodir pengaturannya dalam Perdasi tersebut, seperti pemberian subsidi kepada lembaga keagamaan dan lembaga sosial masyarakat yang memenuhi syarat (indikator yang terukur), standar mutu minimal bagi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Selain pendidikan, kesehatan dan gizi merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian semua pihak di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk, dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota juga berwenang mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
berwenang
merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. Dalam rangka Pelaksanaan kewenangan dimensi kesehatan dan gizi sebagaimana dimaksud di atas, maka Pemerintahan provinsi berkewajiban membuat perangkat hukum dalam bentuk Perdasi. Perangkat hukum tersebut diharapkan mengatur: mutu pelayanan kesehatan (minimal), syarat subsidi bagi lembaga keagamaan dan lembaga sosial masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, syarat perbaikan gizi, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk terciptanya masyarakat Papua yang cerdas, sehat memiliki gizi yang tinggi, serta keimanan yang kuat, sehingga terwujud masyarakat Papua yang unggul dan mandiri. Pemerintah Provinsi juga berwenang melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan. Pemerintah Provinsi berwenang memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah social. Kebijakan kependudukan sebagaimana dimaksud adalah pemberian fasilitas khusus dalam bentuk kebijakan affirmative. Kebijakan affirmative adalah suatu kebijakan keberpihakan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua, seperti:
!
73!
pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bidang tertentu an dalam kurun waktu tertentu. Melalui kebijakan ini diharapkan penduduk asli Papua dapat mengembangkan kemampuan dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan daerah secara optimal dalam waktu secepat-cepatnya. Paparan di atas menunjukan bahwa pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua yang dilegitimasi dengan UU Otsus, telah memberi ruang yang lebih besar bagi Pemerintahan di Provinsi Papua untuk berkarya secara kreatif atas dasar prakarsa sendiri guna membangun daerah dan masyarakatnya. Melalui kebijakan ini maka Provinsi Papua memiliki beberapa kewenangan exclusive, artinya kewenangan yang hanya dimiliki Provinsi Papua dan tidak dimiliki provinsi lain di Indonesia. Kepemilikan kewenangan tersebut berbeda dengan kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua sebelum pemberlakuan Undang-undang No 21 Tahun 2001. Perbedaan dimaksud tidak hanya terbatas pada ranah jumlah tetapi juga yang lebih penting adalah pada ranah substansinya. Ini berarti bahwa ada perubahan kewenangan yang terjadi di Provinsi Papua sebagai akibat dari adanya kebijakan otonomi khusus. Tetapi sejauhmana perubahan tersebut berdampak signifikan terhadap efektivitas otonomi khusus. Kewenangan exclusive yang dimiliki oleh Provinsi Papua sebagai konsekuensi logis dari status otonomi khusus, sampai dengan memasuki tahun ke-7 (tujuh) ternyata belum memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan di Papua. Perubahan kewenangan yang ada ternyata sebagian besar hanya sebatas pada ranah normative. Artinya bahwa kewenangan-kewenangan tersebut hanya sebatas konsepsi yang tertuang dalam suatu aturan hukum yang berbentuk undangundang, yang belum bisa aplikatif. Salah satu penyebab belum aplikatifnya sejumlah kewenangan exclusive Provinsi Papua adalah karena belum adanya sejumlah perangkat hukum yang berfungsi sebagai landasan teknis operasional di tingkat Daerah dalam bentuk Perdasus dan Perdasi. Beberapa diantara kewenangan dimaksud memang telah diaktualisasikan, berdasarkan pada komitmen atau kesepakatan antara pihak-pihak yang berkompeten. Akan tetapi pelaksanaannya menjadi tidak optimal dan tepat sasaran, bahkan berpotensi menimbulkan masalah, karena tidak didasarkan pada suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif. Di
sisi
lain
pengetahuan
dan
pemahaman
para
penyelenggara
pemerintahan di Papua mengenai filosofis dan substansi dari UU Otsus, juga masih
!
74!
belum memadai. Umumnya para penyelenggara pemerintahan menyempitkan makna otonomi khusus Papua, sebagai kebijakan penyerahan uang dari Pemerintah kepada Daerah. Hal ini terbukti ketika para penyelenggara pemerintahan di Provinsi dan/atau kabupaten/kota se Papua lebih sering meributkan masalah dana Otsus dari pada substansi Otsus yang sebenarnya, yakni kewenangan. Bahkan penyelenggara pemerintahan dan sebagian masyarakat lebih mengedepankan aspek-aspek simbolik yang tertuang dalam undang-undang tersebut (seperti: nama papua, Gubernur harus orang asli Papua, lambang-lambang daerah dalam bentuk bendera dan lagu, nomenklatur distrik, kampung, dan sebagainya). Akibatnya halhal substantif dalam undang-undang tersebut seperti bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa substansi kewenangan pemerintah provinsi dalam rangka pelaksanaan UU Otsus adalah
kewenangan yang telah dimiliki berdasarkan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 yang telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, Pemerintahan Provinsi Papua juga memiliki sejumlah kewenangan tambahan yang dilaksanakan dengan kekhususan antara lain : a. Perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan; b. Provinsi Papua dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai peraturan perundang-undangan. c. Untuk maksud tersebut, pemerintah daerah atau pihak swasta di provinsi Papua dapat membentuk badan atau lembaga di luar negeri yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan pengembangan pariwisata. d. Gubernur berhak berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di provinsi Papua; e. Kebijakan mengenai keamanan di provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah provinsi Papua kepada Gubernur; f. Tugas kepolisian dibidang ketertiban dan ketentraman masyarakat di provinsi Papua termasuk pembiayaan yang diakibatkan diatur dengan Perdasi, dan dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah provinsi Papua kepada Gubernur;
!
75!
g. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas persetujuan Gubernur provinsi Papua; h. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal; i. Penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di provinsi Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur. j. Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah; k. Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari provinsi Papua disampaikan kepada pemerintah provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran. l. Pengakuan adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu; m. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. n. Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga kerja asing bidang keagamaan di provinsi Papua kepada Gubernur provinsi Papua; Selain kewenangan Pemerintah Pusat yang dilakukan dengan kekhususan dengan memberi kewenangan tertentu kepada Pemerintah Provinsi Papua, Undangundang ini juga mengatur sejumlah kewenangan lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Papua, antara lain: a. Pengaturan bidang pendidikan; penyelenggaraan pendidikan, hak masyarakat atas pendidikan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam penyelenggaraan pen-didikan, serta perlindungan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan Papua; b. Pengaturan bidang kesehatan; standar mutu pelayanan kesehatan; pencegahan dan penanggulangan penyakit endemis atau membahayakan kelangsungan hidup, perbaikan dan peningkatan gizi, hak masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu; peran serta lembaga swadaya masyarakat dalam pelayanan kesehatan; c. Pengaturan
bidang
kependudukan
dan
ketenagakerjaan;
pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian penduduk, pemberdayaan dan peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk, hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta pengutamaan kesempatan kerja bagi orang asli Papua;
!
76!
d. Pengaturan bidang lingkungan hidup; pengelolaan lingkungan hidup; pengelolaan kawasan lindung; keikutsertaan lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup; e. Pengaturan bidang Sosial; pemeliharaan dan pemberian jaminan hidup yang layak kepada penduduk penyandang masalah sosial; pengaturan keikutsertaan lembaga swadaya masyarakat dalam penanggulangan masalah-masalah sosial; penanganan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan; f. Menyusun dan mengusulkan syarat, jumlah anggota, serta tata cara pemilihan anggota MRP sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah; g. Persetujuan atas pemekaran Provinsi Papua. Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan berbagai kewenangan Pemerintahan Provinsi sebagai akibat dari adanya pemberlakuan Otonomi Khusus Papua dimaksud, maka sebagian dapat di-serahkan atau didelegasikan kepada Pemerintahan Kabupaten/ Kota. Pembagian kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota dilakukan secara proporsional, berdasarkan pada pertimbangan
kebutuhan
dan
kemampuan.
Pengaturan
mengenai
penyelenggaraan kewenangan-kewenangan tersebut serta penyerahan atau pendelegasian sebagian dari kewenangan tersebut kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota dilakukan melalui Perdasus dan Perdasi. F. Perlakuan Khusus (Affirmative Action) Untuk Orang Asli Papua Kebijakan yang memuat adanya bentuk perlakuan Khusus (Affirmative Action) pada dasarnya dikenal sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara, maka berdasarkan pemahaman terhadap makna Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Prinsip ketentuan mengenai “perlakuan khusus” dikenal juga dengan istilah “affirmative action”, suatu bentuk tindakan diskriminasi yang bersifat positif. Erwin Chemerinsky, (1997:585). Menyatakan bahwa perlakuan khusus dalam bentuk diskriminasi positif tersebut dapat diterima, dan bahkan diperlukan untuk mengatasi fakta adanya ketidakseimbangan atau ketidakadilan, sepanjang dimaksudkan untuk tujuan mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
!
77!
Hak konstitusional warga negara yang meliputi HAM dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945, berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis kelamin. Dalam kaitan tersebut, UUD 1945 juga menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pada hakekatnya, ketentuan dan tindakan mendiskriminasikan warga negara tertentu, adalah melanggar HAM dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia memiliki hak konstitusional sama. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya. Oleh karena itu, perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, justru akan memperjauh perbedaan tersebut, sehingga agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan melalui pemenuhan hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam Otonomi khusus, penduduk asli (individu dan kelompok orang asli) Papua merupakan warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus. Tanpa adanya perlakuan khusus, mereka justru dapat semakin sulit mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya, karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan oleh struktur dan sistem sosial, dan kebijakan pembangunan masa lalu yang tidak tepat. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya
!
78!
perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi spesial terhadap sebagian penduduk asli Papua. Perlakuan khusus dibutuhkan bagi perorangan dari kelompok-kelompok yang telah menderita akibat korban diskriminasi sosial seperti kelompok perempuan dan kelompok minoritas dalam perspektif politik, ekonomi atau budaya untuk mendapatkan kesempatan berkembang menjadi setara dengan kelompok mayoritas lainnya. Kebijakan afirmatif dimaksudkan sebagai langkah-langkah sementara untuk “menyamakan kesempatan” dan memungkinkan kesempatan yang sama. Hal tersebut diperlukan karena kebijakan non-diskriminatif saja tidak cukup untuk mencapai kesetaraan dan diakui bahwa untuk memperbaiki posisi sosio-ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu di masyarakat tertentu, maka langkah-langkah positif harus diambil. Disamping jaminan konstitusional dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, dinyatakan pula dalam Pasal 1 ayat (4) Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), bahwa: “Special measures taken for the sole purpose of securing adequate advancement of certain racial or ethnic groups or individuals requiring such protection as may be necessary in order to ensure such groups or individuals equal enjoyment or exercise of human rights and fundamental freedoms shall not be deemed racial discrimination, provided, however that such measures do not, as a consequence, lead to the maintenance of separate rights for different racial groups and that they shall not be continued after the objectives for which they were taken have been achieved.” 10
Sasaran atau obyek implementasi HAM menurut UU Otsus, mencakup 3 (tiga) klasifikasi, yaitu: 1. Penduduk, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.11 !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 10
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Mendapat persetujuan Dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tanggal 21 Desember 1965. Terjemahannya: Perlakuan khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin pemajuan kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok perorangan yang memerlukan perlindungan agar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-HAM dan kebebasan-kebebasan mendasar secara sederajat tidak dapat dianggap suatu diskriminasi rasial, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsekuensi yang mengarah kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwa langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai. 11 Pasal 1 angka 2, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006, Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4674. Lihat pula, Pasal 1 huruf t UU Otsus yang menyatakan bahwa penduduk
!
79!
2. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.12 3. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.13 Berdasarkan ketiga jenis sasaran kebijakan hak-hak sipil dan politik menurut UU Otsus, dalam otonomi khusus Papua tersebut, maka yang menjadi sasaran pelaksanaan perlakuan khusus (affirmative action) adalah orang asli Papua di bidang pendidikan,
kesehatan,
kepegawaian,
jabatan
pemerintahan,
jabatan
politik,
ketenagakerjaan, dan pemberdayaan ekonomi. Beberapa norma hukum dalam UU Otsus yang mengatur tentang bentukbentuk perlakuan khusus (affirmative action) untuk orang asli Papua, adalah sebagai berikut: 1. Adanya institusi Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua;14 2. Adanya ketentuan bahwa untuk dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dari orang asli Papua;15 3. Adanya kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat.16 4. Adanya hak penduduk Provinsi Papua untuk membentuk partai politik dan dengan rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.17 !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua. 12 Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006, Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4674. Lihat pula, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 13 Pasal 1 huruf t Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, diundangkan pada tanggal 21 Nopember 2001 dalam LNRI Tahun 2001 Nomor 135, TLNRI Nomor 4151. 14 Pasal 5 ayat (2), UU Otsus. 15 Pasal 12 huruf a, UU Otsus. 16 Pasal 27 ayat (2), UU Otsus. 17 Pasal 28 , UU Otsus.
!
80!
5. Adanya hak untuk mendapatkan penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan dan dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.18 6. Adanya pengakuan terhadap peradilan adat sebagai peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.19 7. Adanya kewenangan membuat kebijakan kependudukan untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan dan peningkatan kualitas penduduk asli Papua.20 8. Adanya prioritas bagi orang asli Papua untuk mendapatkan pekerjaan, termasuk keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.21 Aspek fundamental yang penting dalam implementasi perlakuan khusus,22 yaitu: 1. Bertujuan untuk menjamin pemajuan kelompok atau perorangan warga negara yang memerlukan perlindungan agar dapat menikmati atau melaksanakan HAM dan kebebasan mendasar secara sederajat; 2. Kebijakan atau tindakan tersebut tidak mempunyai konsekuensi yang mengarah kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok yang secara rasial yang berbeda; 3. Kebijakan atau tindakan tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai. Namun demikian, fakta juga memperlihatkan, selama berlakunya UU Otsus, pelaksanaan perlakuan khusus (affirmative action) untuk orang asli Papua di bidang pendidikan,
kesehatan,
kepegawaian,
jabatan
pemerintahan,
jabatan
politik,
ketenagakerjaan dan pemberdayaan ekonomi, tidak dilaksanakan dengan menggunakan kriteria fundamental tersebut, sehingga sulit untuk diketahui
keberhasilan atau
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 18
Pasal 34, UU Otsus. Pasal 51, UU Otsus. 20 Pasal 61 ayat (2), UU Otsus. 21 Pasal 62 ayat (3), UU Otsus. 22 Bambang Sugiono, Pengaturan dan Implementasi Otonomi Khusus Papua Dalam NKRI, Jayapura, Tahun 2008. 19
!
81!
kegagalannya secara jelas. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya instrument hukum dalam peraturan perundang-undangan daerah yang menjabarkan ketentuan dalam UU Otsus, terutama tentang ruang lingkup substansi yang jelas, terutama mengaturan tentang sasarannya, waktu pelaksanaannya, tata cara pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, dan indikator keberhasilan dan kegagalannya. G. Hambatan Implementasi UU Otsus dan Dampaknya 1. Kelemahan Formulasi Yuridis dan Dampaknya Fakta juga memperlihatkan bahwa pada tahap sebelum implementasi, atau tahap formulasi dan pengesahan, UU Otsus sudah memiliki berbagai kelemahan yuridis yang bersifat signifikan sebagai hambatan dalam implementasi UU Otsus di kemudian waktu, yang diuraikan sebagai berikut: a. Formulasi dalam bagian konsideran menimbang maupun konsideran mengingat yang termuat dalam UU Otsus tidak secara tegas dan jelas (eksplisit) mencabut pasal-pasal tertentu dalam materi muatan Pasal-Pasal tertentu Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 yang mengatur norma tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur. b. Dampak negatif yang terjadi adalah terjadinya konflik hukum, sosial dan politik setelah 2 (dua) tahun UU Otsus dilaksanakan, karena keluarnya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 yang bertujuan membentuk Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah yang tidak berhasil dilaksanakan karena tidak memperoleh dukungan sosial politik dari unsur-unsur masyarakat setempat. Konflik tersebut disebabkan dalam UU Otsus mengatur adanya Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur, tetapi UU Otsus hanya mengenal 1 (satu) provinsi bernama Provinsi Papua. c. Formulasi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dalam Pasal 1 huruf i UU Otsus yang intinya menyebutkan bahwa Perdasus berfungsi sebagai Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus.23 Artinya, dengan formulasi tersebut jenis dan jumlah Perdasus sudah secara jelas dan limitatif disebutkan dalam pasal-pasal tertentu UU Otsus yang !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 23
Pasal 1 huruf i UU Otsus menyebutkan bawa Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang ini;
!
82!
memerintahkan perlunya peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasus, sehingga jika ada Perdasus di luar pasal tersebut menjadi tidak jelas dasar hukumnya. Berdasarkan ketentuan tersebut terdapat 11 (sebelas) Perdasus yang harus dibuat dalam implementasi UU Otsus. d. Dampak yang terjadi yaitu, dalam hal terdapat kebutuhan untuk membuat Perdasus di luar perintah pasal-pasal tersebut akan terjadi kesulitan untuk menemukan dasar hukumnya, dan dapat menjadi hambatan yuridis dalam implementasi UU Otsus, seperti kebutuhan untuk menyusun Perdasus tentang Masyarakat Hukum Adat, Perdasus tentang Peradilan Adat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Program Strategis Berbasis Masyarakat Kampung dan lainlain. e. Formulasi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dalam Pasal 1 huruf j UU Otsus yang intinya menyebutkan bahwa Perdasi adalah Perda dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.24 Formulasi tersebut jelas memiliki kelemahan yuridis yang serius, karena dalam UU Otsus terdapat pasal-pasal tertentu yang secara jelas memerintahkan perlunya peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi yang berjumlah 17 (tujuh belas). f. Dampak yang terjadi yaitu, jenis Perdasi tidak hanya 17 (tujuh belas) jenis yang diperintahkan oleh UU Otsus, akan tetapi juga berbagai jenis peraturan pelaksanaan yang diperintahkan atau menjabarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah selain UU Otsus. Hal ini terbukti menjadi problematik dalam implementasi UU Otsus, karena ternyata selama ini yang sebagian besar dibuat oleh Pemerintah Provinsi dengan DPRP adalah jenis Perdasi yang diperintahkan atau menjabarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah selain UU Otsus, sedangkan jenis-jenis Perdasi yang diperintahkan UU Otsus yang sebagian kecil yang di buat dan ditetapkan. g. Formulasi
Distrik, dalam Pasal 1 huruf k UU Otsus25 yang intinya
menyebutkan bahwa distrik adalah pengganti kecamatan, serta sebutan
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 24
Pasal 1 huruf j UU Otsus menyebutkan bawa Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; 25 Pasal 1 huruf k UU 21/2001 Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;
!
83!
kampung dalam Pasal 1 huruf l UU Otsus26 sebagai pengganti desa, ternyata tidak ada tindaklanjut formulasi yang lengkap dan jelas berkaitan dengan fungsi kelembagaan distrik serta karakteristik khas kampung sesuai dengan kondisi lokal Papua. h. Dampak negatif yang terjadi adalah perubahan kecamatan menjadi distrik dan perubahan desa menjadi kampung hanya bersifat simbolis, serta sama sekali tidak mengatur substansi dari fungsi maupun tujuan strategis perubahan nama tersebut. Adanya perubahan nama, tanpa adanya perubahan kebijakan substansial untuk menempatkan kampung sebagai wilayah otonomi asli yang bercorak tradisional, semi tradisional maupun modern, serta ketidakjelasan fungsi kelembagaan distrik yang hendak difungsikan sebagai ujung tombak kabupaten dalam melayani kampung. i. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan kewenangan Provinsi diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi, dan pasal 4 ayat (5) yang menyebutkan kewenangan Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi. Ketentuan tersebut membingungkan karena tidak jelas jenis-jenis kewenangan apa saja yang dimiliki oleh Provinsi, maupun jenis-jenis kewenangan apa saja yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota yang bersifat umum dan ditindaklanjuti dengan Perdasi, dan kewenangan yang bersifat khusus yang ditindaklanjuti dengan Perdasus. j. Dampak yang terjadi yaitu Pemerintah Provinsi ragu-ragu dalam menyusun Perdasi maupun Perdasus yang mengatur hubungan dan pembagian kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga sering terjadi konflik kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. k. Ketentuan Pasal 4 ayat (7) yang menyebutkan bahwa Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari aspek perumusan norma hukum, ketentuan tersebut lemah karena tidak jelas aspek kekhususannya. Hal tersebut disebabkan pelaksanaan kewenangan Pemerintah Provinsi Papua yang !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 26
Pasal 1 huruf l UU 21/2001 Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;
!
84!
seharusnya bersifat khusus dan otonom masih bergantung dengan Peraturan Perundang-undangan di luar UU Otsus. Dengan demikian pasal tersebut tidak mempunyai makna khusus. l. Ketentuan Pasal 4 ayat (9) dan (10) yang menyatakan bahwa Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua, dengan tata cara pemberian pertimbangan Gubernur diatur dengan Perdasus. Ketentuan tersebut tidak jelas penempatannya sehingga sulit pelaksanaannya, karena kewenangan penyusunan kebijakan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan kewenangan Gubernur adalah memberikan pertimbangan. Formulasi instrumen hukum dalam ketentuan tersebut tidak jelas, karena materi muatan Perdasus bukan mengatur tata cara Gubernur melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat, karena sebagai instrumen hukum pelaksanaan UU Otsus, Perdasus mengatur tentang substansi dan prosedur yang berlaku khusus di wilayah Papua. m. Ketentuan Pasal 6 ayat (4) yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan sehingga sulit pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan tidak jelasnya : 1) tata cara pemilihan, 2) unsur yang berhak mendapat kursi keterwakilan, dan 3) nama atau jenis peraturan pelaksanaan di tingkat Provinsi yang mengatur tambahan kuota anggota DPRP yang secara khusus diberikan dalam rangka pelaksanaan UU Otsus. Dampak negatif yang terjadi atas kelemahan ketentuan tersebut yaitu sampai sekarang masing-masing institusi pemerintahan tingkat provinsi maupun pusat saling melempar tanggung jawab. n. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik dengan tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut memuat norma yang ambigu, karena di satu pihak memberikan hak kepada penduduk Papua untuk membentuk partai politik (parpol) di Provinsi Papua atau disebut parpol lokal sebagai aspek yang bersifat khusus, serta di pihak lain menyerahkan pengaturannya menjadi urusan Undang-Undang yang mengatur parpol yang bersifat nasional. Dampak negatif yang terjadi sampai sekarang parpol lokal hanya menjadi wacana, dan selalu gagal direalisasikan pembentukannya.
!
85!
o. Ketentuan Pasal 28 ayat (3) dan (4) yang menyatakan bahwa rekrutmen politik oleh parpol di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua, dan kewajiban parpol meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan karena tidak jelas jenis peraturan pelaksanaan yang harus digunakan, serta kualifikasi orang asli Papua yang harus mendapatkan prioritas dalam proses seleksi. Dampak negatifnya sampai sekarang ketentuan tersebut tidak pernah dilaksanakan. p. Ketentuan Pasal 37 yang menyatakan bahwa data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan karena tidak jelas instrumen hukum yang menjadi sarana penyampaian dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan DPRD, serta tata cara dan periode penyampaiannya. Dampak negatifnya sampai sekarang ketentuan tersebut tidak pernah dilaksanakan sehingga pemerintah provinsi, DPRP dan terutama masyarakat di Papua tidak mengetahui jumlah penerimaan pajak dan PNBP yang berasal dari Provinsi Papua. q. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan bahwa pembangunan perekonomian
berbasis
kerakyatan
dilaksanakan
dengan
memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan dalam tiga variabel penting yaitu : pengertian “ekonomi berbasis kerakyatan, kesempatan seluasnya, dan masyarakat hukum adat”, di samping tidak adanya kejelasan tentang instrumen hukum yang dijadikan sarananya. Dampak negatifnya sampai sekarang isu-isu tersebut hanya menjadi wacana dan proyek-proyek jangka pendek oleh instansi terkait pemerintah provinsi, tanpa adanya “output” dan “outcome” yang jelas. r. Ketentuan Pasal 42 ayat (2) yang menyatakan bahwa hak-hak masyarakat adat meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan karena tidak jelasnya instrumen hukum. Dampak negatifnya sampai sekarang belum ada instrumen hukum yang secara tegas memberikan pengakuan yang didukung dengan peta fisik dan sosial tentang hak ulayat dan hak perseorangan masyarakat hukum adat.
!
86!
s. Ketentuan Pasal 45 ayat (2) yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM), Pengadilan HAM (HAM), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 46 dijelaskan bahwa dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk KKR yang bertugas untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI; dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi, dengan susunan keanggotaan diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur. t. Ketentuan yang mengatur tentang pembentukan perwakilan KOMNAS HAM dan pengadilan HAM tidaklah bersifat khusus karena menjadi kewenangan pusat dan berlaku juga bagi provinsi lain di luar Papua, sepanjang provinsi tersebut memenuhi syarat. Artinya, ada atau tidak adanya ketentuan tersebut menurut undang-undang HAM dan pengadilan HAM, jika Provinsi Papua memenuhi syarat pasti dibentuk perwakilan KOMNAS HAM, dan Pengadilan HAM. u. Demikian pula, ketentuan tentang pembentukan KKR bersifat ambigu karena di satu pihak pembentukannya diatur dengan undang-undang yang bersifat umum, serta di pihak lain tugas KKR di Provinsi Papua bersifat khusus sebagaimana diatur dalam pasal 46. Konsekwensinya adalah pembentukan KKR bergantung pada undang-undang tentang KKR dan isi undang-undang tersebut harus mengakomodasi ketentuan khusus dalam pasal 46 UU Otsus. v. Ketentuan Pasal 47 yang menyatakan bahwa untuk menegakkan HAM kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Ketentuan tersebut tidak mengandung makna apapun karena bersifat deskriptif, tidak jelas tata cara penegakannya, tidak jelas bentuk kewajibannya, tidak jelas kualifikasi perempuan yang menjadi sasarannya, serta tidak jelas instrumen hukum sarannya. Dampak negatifnya adalah banyaknya tindak pelanggaran HAM terhadap perempuan di Papua sampai sekarang ini tidak dapat ditangani dengan instrumen hukum yang bersifat khusus, tetapi masih menggunakan ketentuan hukum yang bersifat nasional.
!
87!
w. Ketentuan Pasal 45 ayat (5) yang menyatakan bahwa pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua, dan Pasal 52 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. Kedua ketentuan tersebut memberikan kewenangan yang jelas kepada Gubernur, tetapi tidak dijelaskan jenis instrumen hukum yang menjadi sarana untuk mengatur tata cara pemberian persetujuan tersebut. Dampak negatifnya sampai sekarang tidak jelas apakah penempatan calon Kapolda dan calon Kajati telah mendapatkan persetujuan Gubernur atau tanpa persetujuan Gubernur. Jika Gubernur memberikan persetujuan, apakah parameter yang digunakan Gubernur untuk menilai calon Kapolda dan calon Kajati tersebut tepat untuk Papua. x. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwa pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua, serta untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan. Dalam ketentuan tersebut tidak jelas instrumen hukum yang digunakan sebagai sarana pelaksanaan kebijakan, serta ruang lingkup, jenis dan jangka waktu kebijakan kependudukan yang dianggap penting untuk dilakukan. Dampak negatifnya sampai sekarang masing-masing unsur dalam masyarakat memberikan tafsir sesuai dengan persepsi dan kepentingannya, sehingga masalah kependudukan tidak dirumuskan secara sinergi dengan kebijakan afirmasi lainnya, dan hanya berupa wacana yang tidak jelas orientasinya. y. Ketentuan Pasal
76 yang menyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papua
menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. Ketentuan tersebut memiliki tujuan yang baik secara substansi maupun prosedur, tetapi tujuan tersebut sulit direalisasikan karena adanya kelemahankelemahan pada aspek substansi yaitu parameter kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di
!
88!
masa datang, serta pada aspek prosedur yaitu bagaimana tata cara dan dengan instrumen hukum apa pemberian persetujuan dilakukan oleh MRP dan DPRP. z. Ketentuan Pasal 78 yang menyatakan bahwa pelaksanaan UU Otsus dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah UU Otsus berlaku. Ketentuan tersebut memiliki kelemahan karena tidak jelas instrumen hukum yang menjadi sarana pengaturannya, dan tidak jelas juga subjek hukum yang menjadi pelaku evaluasi, yang menjadi sasaran evaluasi, objek yang menjadi sasaran evaluasi, serta parameter objektifitas pelaksanaan dan penggunaan hasil evaluasi. Dampak negatifnya sampai sekarang pengertian evaluasi dikerdilkan hanya evaluasi penggunaan dana Otsus yang penggunaannya belum juga didasarkan pada Perdasus sebagaimana perintah Pasal 34 ayat (7). aa. Formulasi materi muatan Pasal 1 huruf a Perpu Nomor 1 Tahun 2008 jo UU 35 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI, dan mencabut dan menggantikan Pasal 1 huruf a UU 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI, berdasarkan logika hukum (legal reasoning) maupun logika umum jelas membingungkan, karena sesuai kriteria norma hukum yang baik, seharusnya dalam rumusan norma hukum satu kata bermakna satu arti, bukan dua kata satu arti, atau sebaliknya satu kata dua arti. Dalam rumusan Pasal 1 huruf a Perpu Nomor 1 Tahun 2008 terdapat 2 (dua) pengertian atau makna ganda tentang pengertian Provinsi Papua, yaitu: Pertama, Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang di dalam wilayahnya terdapat wilayah Provinsi Papua dan wilayah Provinsi Papua Barat, semuanya diberi Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI, serta, Kedua, Provinsi Papua hasil pembagian Provinsi Papua yang wilayahnya berdampingan dengan wilayah Provinsi Papua Barat. Artinya, Provinsi Papua yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya tersebut tidak dapat lagi disebut sebagai Provinsi, tapi harus disebut sebagai bekas provinsi atau wilayah Papua yang bukan lagi bernama Provinsi. Artinya, secara yuridis sejak dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 di wilayah Papua ada 2 (dua) Provinsi, yaitu: Pertama, Provinsi Papua yang terdiri dari 26 (dua puluh enam)
!
89!
Kabupaten dan 1 (satu) Kota27 dan Kedua, Provinsi Papua Barat yang terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten dan 1 (satu) Kota28 bb. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya, di dalam wilayah Provinsi terdapat beberapa Kabupaten/Kota, tidak mungkin di dalam wilayah Provinsi ada lebih dari satu provinsi. Dampak serius dan mendasar yang terjadi secara yuridis formil telah terjadi Perubahan Mendasar Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: 1) Perubahan Wilayah Berlakunya UU Otsus, serta 2) Perubahan Struktur Pemerintahan Provinsi di Papua. Secara yuridis formil UU Otsus hanya berlaku bagi Provinsi Papua yang wilayahnya menjadi lebih kecil dibanding Provinsi Papua sebelum tahun 2004, serta di wilayah Papua tidak lagi memiliki seorang Gubernur dan satu DPRD. cc. Formulasi materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 200829 yang ditetapkan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 200830 yang menghapus kewenangan DPRP memilih Gubernur dan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 27
Lihat: alinea keempat Penjelasan Umum Perpu Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Wilayah Provinsi Papua pada saat ini meliputi Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, Kota Jayapura, Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Keerom, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Dogiyai. 28 Lihat: alinea kelima Penjelasan Umum Perpu Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Wilayah Provinsi Papua Barat pada saat ini meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kota Sorong. 29 Pada tanggal 16 April 2008, dikeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2008 yang ditetapkan oleh Presiden dan DPR-RI menjadi UU 35 Tahun 2008. Salah satu ketentuan Perpu No. 1 Tahun 2008 menghapus ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l UU Otsus, yang memberi kewenangan DPRP untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur. 30 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Perpu No. 1 Tahun 2008), diundangkan pada tanggal 16 April 2008, dalam LNRI Tahun 2008 Nomor 57, dan TLNRI Nomor 4842. Selanjutnya Perpu No. 1 Tahun 2008 ditetapkan oleh Presiden dan DPR-RI menjadi Undang-undang melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, (UU 35 Tahun 2008) diundangkan pada tanggal 25 Juli 2008, LNRI Tahun 2008 Nomor 112, TLNRI Nomor 4884, yang intinya mengakui keberadaan Provinsi Papua Barat yang wilayanya merupakan bagian dari Wilayah Provinsi Papua menurut UU Otsus sebelum diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 dan UU 35 Tahun 2008, termasuk hak Provinsi Papua Barat untuk mendapatkan dana otonomi khusus.
!
90!
Wakil Gubernur bertentangan dengan formulasi materi muatan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan Pasal 11 ayat (3) UU Otsus31 yang mengatur bahwa cara memilih Gubernur dan Wakil Gubernur diatur secara khusus dalam Perdasus. Dampak negatif yang terjadi adalah tidak adanya pengaturan hukum yang jelas dan dilaksanakan tidak sesuai dengan norma hukum yang mengaturnya, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik sosial dan politik setiap waktu, apabila ada pemangku kepentingan yang tidak puas di kemudian waktu dengan pelaksanaan tata cara memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Penyebabnya adalah Presiden membuat Perpu untuk menghapus kewenangan DPRP untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, karena pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan secara langsung. Tetapi anehnya, Perpu tersebut tidak menghapus atau membiarkan ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU Otsus Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagaimana
mungkin
suatu
Perdasus
melaksanakan ketentuan Undang-Undang di luar UU Otsus? 2. Kelemahan Dalam Implementasi dan Dampaknya a. Kebijakan Pemerintah Pusat Mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 Mengingat bahwa otonomi khusus Papua merupakan suatu kebijakan nasional yang diatur dalam undang-undang, Pemerintah Pusat merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas efektivitas otonomi khusus Papua. Dengan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah Pusat dapat melakukan segala hal baik untuk mengefektifkan otonomi khusus Papua atau sebaliknya malah dapat menghambat efektivitas otonomi khusus Papua. Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 200332 tentang percepatan pelaksanaan pemekaran Provinsi Irian Jaya sesuai Undang-undang Nomor !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 31
Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Otsus menyebutkan bahwa DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Namun, dalam praktik pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua pada tahun 2006 dilakukan secara langsung dengan menggunakan ketentuan Pasal 139 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah (PP No. 6 tahun 2005). Padahal PP No. 6 tahun 2005 tersebut melaksanakan UU 32 Tahun 2004, bukan UU Otsus. 32 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan pada tanggal 27 Januari 2003, dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU 45 Tahun 1999 yang memerintahkan kepada: Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Keuangan, Gubernur Provinsi Papua, serta Para Bupati dan Walikota se-Provinsi Papua, untuk: Pertama, memberikan pembinaan pemerintahan daerah di Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah, Kedua, menyesuaikan
!
91!
45 Tahun 199933, dapat dipandang sebagai suatu kebijakan yang kotroversial. Kebijakan ini telah memunculkan paradoksal respon masyarakat dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat Papua kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 direspon dengan penuh antusias dan optimistis, karena dinilai sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service) kepada masyarakat dan akselerasi pembangunan di daerah ini secara berkeadilan. Bersamaan dengan itu bagi sebagian kalangan masyarakat Papua yang lain merespon kebijakan tersebut dengan sikap apatis dan pesimistis, karena dianggap sebagai kebijakan yang tidak populer, dan menjadi momok/penghalang dalam implementasi Otonomi Khusus. Menurut hemat kelompok ini jika kebijakan tersebut dipaksakan maka secara signifikan akan berimplikasi negatif terhadap implementasi Otonomi Khusus, yang mengarah pada memburuknya keadaan (kehidupan) masyarakat sekaligus dapat menjastifikasi ketidak percayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Kedua kondisi paradoksal ini adalah suatu kenyataan yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di Papua. Dikeluarkannya Inpres ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana termuat dalam konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk
pelaksanaan
Undang-Undang
No.45
Tahun
1999
tentang
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (2) Sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Papua Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! batas-batas wilayah Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, dan Provinsi Irian Jaya, Ketiga, memberikan pembinaan untuk membentuk Organisasi Perangkat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah, Keempat, mengaktifkan pejabat Gubernur, para pejabat dan penataan aparatur Pemerintah provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah. 33 Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, disahkan oleh Presiden RI “Bacharuddin Jusuf Habibie”, Pada tanggal 4 Oktober 1999.
!
92!
Menindaklanjuti Inpres ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati/Walikota se Provinsi Papua, dan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri. Radiogram Nomor 134/221/SJ34 tertanggal 3 Pebruari 2003. Inpres No 1 Tahun 2003 dan Radiogram Mendagri No 134/221/SJ yang seharusnya tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat di Papua, justru telah mengakibatkan munculnya konflik norma (conflic of norm) antara ketentuan Undang-Undang No 45 Tahun 1999 dengan Ketentuan Undang-Undang No 21 Tahun 2001. Kondisi ini bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, serta kebingungan bagi pejabat publik (pemerintah) provinsi, kabupaten/kota di Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam menjalankan Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Implikasi pemberlakuan Inpres No. 1 Tahun 2003 terhadap implementasi Otonomi Khusus Papua, dapat ditinjau dari beberapa dimensi, antara lain : a) Dimensi Keberlakuan Hukum Berdasarkan aspek keberlakuan hukum, maka Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 dikategorikan sebagai suatu aturan hukum yang bersifat umum,
sedangkan
Undang-undang
Otonomi
Khusus
Papua
dikategorikan sebagai suatu aturan hukum yang bersifat khusus. Karena kekhususan maka berlaku prinsip Legs specialis derogath legie generalis (aturan hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum). Berdasarkan asas hukum tersebut maka materi muatan dalam Undang-undang No 45 Tahun 1999, khususnya yang terkait dengan pembentukan Provinsi Papua Barat dan Irian Jaya Tengah, seharusnya dikesampingkan. Dalam kenyataannya bahkan sebaliknya, Pemerintah mengeluarkan Inpres untuk memberi penguatan bagi pelaksanaan materi muatan Undang-Undang No.45 Tahun 1999, khususnya yang terkait dengan pembentukan Provinsi !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 34
Radiogram Mendagri No 134/221/SJ, berisikan: (1)seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang relevan; (2) ditegaskan bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya UU.No.21 Th 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua;(3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri Dalam negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua minggu.
!
93!
baru. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap efektivitas pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Kondisi ini juga telah menimbulkan karancuan hukum (conflic of norm) antara Undangundang No 45 Tahun 1999 dengan Undang-undang 21 Tahun 2001. b) Dimensi Integralitas Integralitas merupakan salah satu karakteristik dalam formulasi kebijakan. Kebijakan yang baik adalah suatu kebijakan yang secara terus menerus (konsisten) mendapat penguatan dari kebijakan lain yang mengatur objek yang sama. Artinya bahwa formulasi kebijakan terhadap objek tertentu harus integral dan interconnected dengan kebijakan sebelumnya. Analisis terhadap dimensi integralitas dan interconnected antara Undang-undang No. 45 tahun 1999 dengan UU Otsus, menunjukkan bahwa kedua undang-undang ini tidak terintegral dan terinterconected. Beberapa alasan jastifikasi dapat disebutkan, antara lain: (1) Undang-Undang No. 45 tahun 1999 disahkan pada tanggal 4 Oktober 1999. Karena mendapat penolakan dari masyarakat Papua melalui
Keputusan
DPRD
Provinsi
Irian
Jaya
Nomor:
11/DPRD/1999, maka selama lebih dari empat tahun pasal-pasal yang mengatur pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan provinsi Papua Barat tidak dilaksanakan, bahkan pejabat Gubernur berdasarkan Kepres Nomor 327/M Tahun 1999 tidak pernah melaksanakan tugas; (2) pada tanggal 19 Oktober 1999 dalam rapat paripurna ke-12 Sidang Umum MPR, ditetapkan Tap/IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Pada Bab IV huruf (g) point 2 Tap MPR RI tersebut mengamanahkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM (bukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Papua Barat, dan Irian Jaya Timur, sebagaimana dimaksud UU.No.45 tahun 1999); (3) satu tahun kemudian dalam Sidang Tahunan MPR RI ditetapkan Tap MPR RI Nomor IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi MPR terhadap DPR dan Presiden, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam Tap ini secara tegas dan jelas diamanahkan agar
!
94!
selambat-lambatnya pada tanggal 1 Mei 2001 Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya sudah dapat dilaksanakan. Tap MPR RI tersebut menegaskan kembali Provinsi Irian Jaya yang satu, ( bukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Papua Barat, dan Irian Jaya Timur, sebagaimana dimaksud UU No.45 tahun 1999); (4) pada tanggal 21 November 2001, Pemerintah menetapkan dan mengesahkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-undang ini juga menegaskan kembali Provinsi Irian Jaya yang satu, yang disebut Papua35; (5) pada tanggal 11 Desember 2002 Pemerintah mengesahkan Undangundang Nomor 26 tahun 2002 tentang pembentukan sejumlah Kabupaten (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, dan kabupaten Teluk Wondama), dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa kabupaten-kabupaten
tersebut
berada
di
Provinsi
Papua36
berdasarkan UU Otsus; (6) pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden RI mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003, yang isinya antara lain:
memerintahkan
Menteri Dalam negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan Para Bupati untuk mengambil langkah-langkah percepatan Pembentukan Provinsi Papua Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan UndangUndang No. 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat Gubernurnya. c) Dimensi Isi Atau Batang Tubuh Analisis terhadap konten/batang tubuh kedua undang-undang ini menunjukkan adanya sejumlah perbedaan prinsip, antara lain: !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 35
Bab I Pasal 1 huruf a Undang-undang Otonomi Khusus menyebutkan: Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam penjelasan umum disebutkan bahwa Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 (dua belas) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang berawa sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea. 36 Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001, Bab I, ayat (1) huruf a adalah (undang-undang ini menyebutkan bahwa Provinsi Papua yang dimaksud adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI sebagaimana bunyi pasal 1 huruf a).
!
95!
(1) nama dan batas wilayah; dalam Undang-Undang No.45 tahun 1999 disebutkan secara rinci pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Papua Barat. Lebih lanjut dalam Bab II, Pembentukan, Batas Wilayah, dan Ibukota , disebutkan bahwa Provinsi Irian Jaya Tengah berasal dari sebagian wilayah Provinsi Irian Jaya yang terdiri atas wilayah: Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Yapen Waropen, kabupaten Nabire, kabupaten Paniai, dan kabupaten Mimika. (2) Provinsi Papua Barat berasal dari sebagian wilayah Irian Jaya yang terdiri atas wilayah: Kabupaten Sorong, kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, dan Kota Sorong. Sedangkan dalam Undangundang N0. 21 Tahun 2001, disebutkan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Lebih lanjut dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka NKRI. Dalam Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4151 sebagai penjelasan atas Lembaran Negara RI tahun 2001 nomor 135, disebutkan bahwa “… Wilayah Provinsi papua pada saat ini terdiri atas 12 kabupaten dan 2 kota, yang berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafuru, di sebelah barat dengan Provinsi maluku dan Maluku Utara, dan sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea. Uraian ini memberikan gambaran bahwa dalam hal nama dan batas wilayah provinsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 45 tahun 1999 sangat berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua; (3) bentuk dan susunan pemerintahan; dalam Undang-Undang No.45 Tahun 1999, Bab IV Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa dengan terbentuknya Provinsi Irian Jaya Tengah dan Papua Barat, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Provinsi masingmasing, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UndangUndang No.45 Tahun 1999 Pasal 17). Lebih lanjut disebutkan pula bahwa untuk memimpin jalannya pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Tengah dan Papua Barat, dipilih dan disahkan Gubernur dan
!
96!
Wakil Gubernur di Provinsi masing-masing, sesuai dengan Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang No.45 Tahun 1999, Pasal 18 ayat 1). Rumusan pasal-pasal tersebut memberikan arahan bahwa susunan pemerintahan di kedua Provinsi tersebut terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif dan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif. Hal ini berbeda dengan pengaturan bentuk dan susunan pemerintahan berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Pada Bab V, Bagian Ke satu, Umum, disebutkan bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus di provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua melibatkan 3 (tiga) institusi. b. Kebijakan Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tentang MRP Pada tanggal 23 Desember 2004 di Jakarta Presiden Republik mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah menjadi Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua (PP MRP) dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 165, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 446. Diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang MRP tersebut adalah dalam rangka menjalankan amanat UU Otsus Pasal 72 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa: (1) “Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah; (2) selanjutnya Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima. Dalam kenyataannya sejak diusulkan oleh Gubernur dan DPRP pada tanggal 15 Juli 2002, Peraturan Pemerintah tersebut baru ditetapkan setelah ± 2 (dua) tahun mengendap di pihak Pemerintah tanpa ada alasan yang jelas.
!
97!
Padahal merespon penyerahan usulan pihak Pemerintahan Daerah mengenai syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP, pihak Pemerintah maupun Pemerintahan Daerah telah membentuk tim yang ditugasi untuk membahas substansi materi Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut. Ke-2 (kedua) tim juga telah melakukan pembahasan bersama beberapa kali dan sudah ditemukan adanya kesamaan persepsi diantara ke-2 (kedua) tim sebagaimana dimaksud. Akan tetapi hasil pembahasan ke-2 (kedua) tim tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang. Akhirnya Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak kunjung ditetapkan. Ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Megawati Soekarno Putri kepada Susilo Bambang Yudoyono, pada oktober 2004, maka Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia, memasukan penyelesaian Peraturan Pemerintah tentang MRP sebagai salah satu dari agenda prioritas 100 (seratus) hari kerja pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia, terbukti ketika pada tanggal 23 desember 2004, Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 tentang MRP ditetapkan, dan secara resmi diserahkan kepada pemerintahan dan masyarakat di Papua pada tanggal 26 desember 2004 bersamaan dengan perayaan Natal Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan masyarakat di Jayapura. Sebagai akibat dari keterlambatan Pemerintah Menetapkan Peraturan Pemerintah tentang MRP, sebagai salah satu institusi penting dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, maka tentunya hal ini telah pula berdampak terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa berapa dimensi dalam proses politik dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua sebagai pengajawantahan dari kebijakan otonomi khusus tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Peraturan daerah khusus sebagai instrumen hukum daerah tidak dapat dibuat, karena
berdasarkan
ketentuan
undang-undang
yang
berlaku,
proses
perumusannya harus melibatkan MRP. MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus, yang diajukan oleh DPRP. Selain itu komitmen Pemerintah pada semua tingkatan dengan masyarakat di Papua untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua, juga menjadi sumir jika Majelis Rakyat
!
98!
Papua belum terbentuk. Hal ini disebabkan karena MRP adalah lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diberi wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli papua. Oleh karena itu maka jelaslah bahwa keterlambatan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang MRP tentunya berimplikasi terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Ketiadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) berarti beberapa komitmen yang tersurat dan tersirat dalam UU Otsus, sebagai landasan hukum pemberlakuan kebijakan otonomi khusus papua tidak dapat teraktualisasi secara optimal. Meskipun PP MRP sudah dikeluarkan, akan tetapi materi muatannya belum dipahami secara benar37. Di dalam PP MRP, materi muatannya sudah memuat 6 (enam) aspek dari 7 (tujuh) aspek yang diamanatkan dalam UU Otsus. Berdasarkan hasil identifikasi 6 (enam) aspek yang membutuhkan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah, sudah termuat dalam PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang MRP. Hasil identifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1. di bawah ini:
Tabel: 4.1. Identifikasi Aspek-aspek dalam UU Otsus yang sudah termuat dalam PP MRP No 1
Materi muatan UU Otsus
Pasal 19 ayat (4) tentang Kedudukan Keuangan MRP 2 Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) tentang Pelaksanaan Hak MRP !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 37
Materi Muatan PP MRP Bab XIII, Pasal 57 s.d. 68 Bab X, Pasal 42 s.d. 45
Pernyataan Menkopolhukam atas nama Pemerintah yang disampaikan dalam Raker Tim Pemantau Pemerintahan Aceh dan Otsus Papua dan DPR pada tanggal 23 Juli 2010, bahwa Otsus Papua seharusnya ada 7 (tujuh) PP selain PP MRP dan Lambang Daerah.
!
99! 3
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) tentang Pelaksanaan Hak Anggota 4 Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) tentang Pelaksanaan Kewajiban MRP 5 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP 6 Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) tentang Pengesahan dan Pelantikan Anggota MRP Sumber: Hasil elaborasi Tim, 2010
Bab X, Pasal 46 s.d. 49 Bab X, Pasal 5 Bab III, Pasal 5 s.d. 18 Bab V, Pasal 17 s.d. 18
Sedangkan satu Pasal lagi yang memerlukan Peraturan Pemerintah lagi adalah Pasal 18 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kewenangan Khusus. Dengan demikian adanya pendapat oleh Pemerintah Pusat maupun beberapa kalangan di Daerah, bahwa UU Otsus tidak berjalan karena belum terpenuhinya 7 (tujuh) PP lagi adalah pemahaman yang keliru. 3. Kebijakan Pemerintah Provinsi a. Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota Pasal 4 UU Otsus menyebutkan bahwa Pembagian dan pelaksanaan kewenangan antara Provinsi dan kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam ketentuan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang menyebutkan bahwa Urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus daerah yang bersangkutan. Namun, amanat tersebut belum juga dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan DPRP, sehingga implementasi UU Otsus di pemerintahan daerah Kabupaten/Kota tidak berjalan sesuai dengan ketentuan UU Otsus. b. Penyusunan dan Penetapan Regulasi Daerah Dalam rangka implementasi secara operasional, setidaknya UU Otsus membutuhkan penyusunan dan penetapan 11 (sebelas) Perdasus dan 17 (Perdasi) Perdasi, termasuk Perdasus dan Perdasi prioritas. Sebagai contoh: Pertama, Perdasus untuk memperjelas mekanisme hubungan kerja dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Provinsi yang bersifat khusus antara
!
100!
MRP. DPRP dan Gubernur, sebagaimana diamanatkan Pasal 20 ayat (2) UU Otsus yang menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang MRP diatur dengan Perdasus, serta Kedua, Perdasi yang mengatur secara operasional kebijakan afirmasi di bidang kepegawaian, sebagaimana diamanatkan Pasal 27 UU Otsus yang menyebutkan bahwa dalam hal norma, standar dan prosedur manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai peraturan perundang-undangan belum dapat dipenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat yang diatur dengan Perdasi, serta ketenagakerjaan. Konsekuensinya sampai sekarang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua belum berdasarkan pada UU Otsus, baru sebatas pada penggunaan dana Otsus. Sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, maka di Provinsi Papua diberlakukan dua bentuk Peraturan Daerah, yakni: Peraturan Daerah Khusus yang disingkat Perdasus dan Peraturan Daerah Provinsi yang disingkat Perdasi. Dalam konteks ini kedudukan Perdasus dan Perdasi adalah sama, artinya yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Perdasus dibuat oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur yang dalam penetapannya harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP. Sedangkan Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Perdasus maupun Perdasi kedua-duanya adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dengan lingkup domain yang berbeda. Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dalam Perdasus dan Perdasi pada tahapan implementasi, maka dibentuk Keputusan Gubernur. Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur merupakan perangkat hukum Daerah yang strategis dalam rangka implementasi UU Otsus. Jika pada undangundang lainnya membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk beberapa Peraturan Pemerintah, maka berbeda dengan UU Otsus. Undang-undangundang ini hanya membutuhkan 1 (satu) Peraturan Pemerintah, yakni tentang MRP. Hal ini mengandung pengertian bahwa perangkat hukum yang bersifat teknis operasional sebagai pelaksana UU Otsus adalah dalam bentuk Perdasus dan Perdasi. Kelambatan dan/atau ketidakmampuan Daerah dalam merumuskan Perdasus dan Perdasi akan berimplikasi signifikan terhadap implementasi
!
101!
undang-undang ini, bahkan undang-undang ini menjadi tidak bermakna jika tidak ada Perdasus dan Perdasi. Pelaksanaan UU Otsus, memerlukan sejumlah Perdasus dan Perdasi. Berdasarkan undang-undang tersebut, setidaknya dibutuhkan 11 (sebelas) Perdasus dan 18 (delapan belas) Perdasi, sebagaimana terlihat pada tabel 4.2. dan tabel 4.3. Tabel 4.2. Perdasus Perintah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 NO.
PASAL
ASPEK YANG DIATUR
1.
Pasal 2 ayat (3)
2.
Pasal 4 ayat (9)
3.
Pasal 11 ayat (3)
4.
Pasal 19 ayat (3
Pengaturan lambang daerah. Berpedoman pada peraturan perundang-undangan Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur dalam pembuatan perjanjian internasional oleh Pemerintah. Berpedoman pada Peraturan Pemerintah Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sesuai peraturan perundang-undangan Keanggotaan dan jumlah anggota MRP
5.
Pasal 20 ayat (2)
Pelaksanaan tugas dan wewenang MRP
6.
Pasal 21 ayat (2)
Pelaksanaan hak MRP. Berpedoman pada Peraturan Pemerintah
7.
Pasal 23 ayat (2)
Tata cara pelaksanaan kewajiban MRP. Berpedoman pada Peraturan Pemerintah
8.
Pasal 34 ayat (7)
9.
Pasal 38
Pembagian lebih lanjut penerimaan bagi hasil bidang pertambangan minyak bumi, gas alam serta penerimaan khusus untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan Usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam
10.
Pasal 66 ayat (2)
Penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan 11. Pasal 67. Pelaksanaan pengawasan sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang layak Sumber: Hasil Elaborasi Tim, 2010
Tabel 4.3. Perdasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 NO.
PASAL
1.
Pasal 24 ayat (2)
2.
Pasal 26 ayat (3)
ASPEK YANG DIATUR Tata cara pemilihan anggota MRP. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Perangkat Pemprov. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
!
102! 3.
Pasal 27 ayat (3)
Kewenangan Pemprov dan Pemkab/Kota untuk menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP dalam pembentukan Perdasus, Fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaan Komisi Hukum Ad Hoc, Pelaksanaan bantuan dari dalam dan luar negeri.
4.
Pasal 29 ayat (3)
5.
Pasal 32 ayat (2)
6.
Pasal 35 ayat (6)
7. 8.
Pasal 36 ayat (1) Pasal 36 ayat (3)
9.
Pasal 41 ayat (2)
Perubahan dan perhitungan APBD Provinsi Papua Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya Tata cara penyertaan modal Pemprov. Papua
10.
Pasal 48 ayat (3)
Hal tertentu mengenai tugas kepolisian di Provinsi Papua
11.
Pasal 56 ayat (6)
12.
Pasal 57 ayat (4)
13.
Pasal 59 ayat (5)
Pelaksanaan pemberian bantuan dan/atau subsidi Pemprov dan Pemkab/Kota dalam bidang pendidikan Perlindungan dan pengembangan kebudayaan asli Papua oleh Pemprov. Kewajiban penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh Pemprov.
14.
Pasal 60 ayat (2)
15.
Pasal 61 ayat (4)
16.
Pasal 62 ayat (4)
17.
Pasal 64 ayat (5)
18.
Pasal 65 ayat (3)
Perencanaan dan pelaksanaan program perbaikan dan peningkatan gizi oleh Pemprov Papua& Pemkab/Kota Masalah kependudukan termasuk penempatan penduduk dalam rangka transmigrasi nasional, Masalah ketenagakerjaan Masalah pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dan berkelanjutan, Kewajiban Pemprov. di bidang sosial
Sumber: Hasil Elaborasi Tim, 2010
Hasil inventarisasi yang dilakukan menunjukan bahwa Perdasus dan Perdasi yang diamanatkan oleh UU Otsus, sebagian besar belum dirumuskan. Amanat UU Otsus untuk merumuskan 11 Perdasus, sampai dengan memasuki tahun ke9 (2010) pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, ternyata baru 4 (empat) Perdasus yang
sudah
dirumuskan
dan
ditetapkan
DPRP,
akan
tetapi
belum
diimplementasikan karena belum disahkan oleh Gubernur dan belum dicatat dalam Lembaran Daerah. Hal yang sama juga terjadi untuk perumusan Perdasi, sampai dengan memasuki tahun ke-7 (2008) pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua hanya 5 (lima) Perdasi yang diperintahkan oleh undang-undang tersebut yang telah ditetapkan.
!
103!
Ketidakmampuan Pemerintahan Daerah Provinsi Papua dalam merumuskan regulasi daerah sebagaimana fakta di atas, disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: 1) belum adanya kesamaan persepsi diantara pembuat kebijakan (Pemerintah Daerah, DPRP, dan MRP). Perbedaan persepsi ini dilatari oleh pengetahuan dan pemahaman yang terbatas yang berakibat masing-masing pihak cenderung menafsirkan muatan dalam UU Otsus sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya masing-masing; 2) belum adanya komitmen yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebijakan Otonomi Khusus Papua secara konsisten dan konsekuen sesuai dengan tuntutan UU Otsus. Masih ada diantara penyelenggara pemerintahan daerah yang melihat kebijakan Otonomi Khusus Papua hanya sekedar dari aspek keuangan semata, akibatnya perhatian hanya tertuju pada masalah dana dalam rangka Otonomi Khusus Papua. Kebijakan Otonomi Khusus Papua tidak dilihat secara komprehensif dan menyeluruh (holistic) . 3) keterlambatan Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang MRP, juga dipandang sebagai faktor yang berkontribusi atas hal ini. Sesuai dengan ketentuan pasal 72, ayat (1) dan (2), Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah. Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima. Menindaklanjuti ketentuan sebagaimana dimaksud, maka pada Juli 2002, telah diusulkan kepada Pemerintah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP. Usulan ini kemudian diikuti dengan pembahasan antara delegasi Provinsi Papua (Pemerintah Daerah, DPRP, dan akademisi) dengan pihak Pemerintah. Akan tetapi kenyataannya Peraturan Pemerintah tersebut baru ditetapkan pada akhir tahun 2004, pada masa pemerintah Presiden H. Susilo Bambang Yudoyono. Karena Perdasus dibuat harus atas pertimbangan dan persetujuan MRP, maka ketiadaan MRP berarti Perdasus tidak dapat ditetapkan, disahkan dan diimplementasikan. Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, mengenai Sistem Pemerintahan Negara, disebutkan bahwa : (1) Indonesia adalah Negara yang
!
104!
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat); (2) pemerintah berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar) bukan bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Pernyataan ini merupakan komitmen para founding father dan seluruh bangsa Indonesia, sehingga patut dijadikan sebagai konsensus bersama dalam berbangsa, berpemerintahan dan bernegara. Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan (Rasyid; 2000: 18-27), dikenal adanya 3 (tiga) paradigma, yakni : (1) a rulling process; penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada kehendak dan kapasitas seseorang (pemimpin); (2) a governing process; penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan atas kesepakatan atau komitmen bersama antara berbagai pihak (pemimpin dengan yang dipimpin); (3) an administering process; penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan atas suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif. Seiring dengan tuntutan global, perkembangan perubahan sosial politik masyarakat dan dinamika pemerintahan, serta memperhatikan amanat konstitusi, maka paradigma yang dianggap relevan adalah paradigma “an administering process. Dalam konteks ini maka jelaslah bahwa regulasi daerah merupakan aspek yang urgen dan patut menjadi prioritas sebagai perwujudan dari aktualisasi tata pemerintahan yang baik (good governance). Keberadaan Regulasi daerah akan berimplikasi signifikan terhadap terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan efisien, ini berarti bahwa regulasi daerah sangat menentukan fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan otonomi khusus di Provinsi Papua. c. Pengaturan Penggunaan Keuangan Daerah Sejak diberlakukannya kebijakan Otonomi Khusus Papua, semua pihak sepakat bahwasanya wilayah Provinsi Papua adalah yang sebelumnya menjadi wilayah Provinsi Irian Jaya. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU Otsus Pasal 1 huruf a, bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka NKRI. Atas dasar tersebut, maka dana dalam rangka Otonomi Khusus Papua dibagi secara berkeadilan antara provinsi dan kabupaten/kota se Papua. Sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut, maka sejak tahun 2002 sampai dengan
!
105!
tahun 2007, semua kabupaten/kota se Papua berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus Papua mendapatkan bagian dari pembagian dana Otonomi Khusus. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah ketika Inpres No. 1 Tahun 2003
belum
dikeluarkan,
serta
belum
diikuti
dengan
pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua Barat. Kondisi ini tentunya akan berbeda jika eksistensi Provinsi Papua Barat semakin definitif dengan terbentuknya DPRD Provinsi Papua Barat, hasil Pemilihan Umum 2004 maupun terpilihnya Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi Papua Barat, hasil Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tahun 2006. Defenitifnya eksistensi Provinsi Papua Barat yang telah berubah menjadi Provinsi Papua Barat, tentunya akan memunculkan permasalahan baru. Terutama terkait dengan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua, yang bersumber dari dana dalam rangka otonomi khusus, untuk membiayai program pembangunan kabupaten/kota di wilayah Papua Barat, seperti terlihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Alokasi Pembagian Dana Otonomi Khusus Untuk Kabupaten/Kota Se Papua Dalam APBD Provinsi Papua, Tahun Anggaran 2002 – 2005 No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 15 16 17 18 19 20 21
Kabupaten/ Kota 2 Jayapura Yapen Biak Numfor Nabire Manokwari* Sorong* Fakfak* Merauke Jayawijaya Paniai Puncak Jaya Mimika Kota Jayapura Kota Sorong* 2 Waropen Teluk Wondama* Teluk Bintuni Asmat Bovendigoel Mappi Sarmi
2002 3 44,211,223,000 42,178,711,000 40,061,008,000 41,915,130,000 46,705,447,000 48,754,557,000 30,692,465,000 33,829,019,000 40,991,242,000 37,995,981,000 47,100,779,000 25,562,455,000 37,060,652,000 35,711,331,000 3 -
Alokasi Dana 2003 2004 4 5 46,896,453,200 35,948,360,000 39,690,430,400 32,972,330,000 32,569,163,400 35,191,760,000 35,676,506,200 35,667,790,000 34,294,802,200 32,448,360,000 37,956,002,000 30,927,980,000 32,030,539,400 32,712,140,000 38,300,244,200 33,931,570,000 33,998,110,000 36,280,460,000 33,648,926,200 36,496,300,000 56,301,018,600 38,715,730,000 37,051,774,200 37,191,760,000 33,852,196,400 33,407,600,000 43,246,219,600 33,407,600,000 4 5 5,000,000,000 30,927,980,000 5,000,000,000 33,232,520,000 5,000,000,000 32,191,760,000 5,000,000,000 38,845,190,000 5,000,000,000 32,972,330,000 5,000,000,000 32,972,330,000 5,000,000,000 33,232,520,000
2005 6 28,300,000,000 27,500,000,000 28,500,000,000 29,000,000,000 28,300,000,000 29,000,000,000 28,200,000,000 28,500,000,000 29,000,000,000 30,300,000,000 30,300,000,000 28,600,000,000 27,100,000,000 27,100,000,000 6 30,100,000,000 30,000,000,000 30,000,000,000 31,500,000,000 30,100,000,000 30,100,000,000 30,250,000,000
!
106! 22 23 24 25 26 27 28 29
Keerom 5,000,000,000 Raja Ampat* 5,000,000,000 Sorong Selatan* 5,000,000,000 Kaimana* 5,000,000,000 Tolikara 5,000,000,000 Peg. Bintang 5,000,000,000 Yahukimo 5,000,000,000 Supiori JUMLAH 552,920,000,000 605,512,386,000 Sumber data : Biro Keuangan Provinsi Papua, 2007
31,411,190,000 30,000,000,000 32,191,760,000 30,750,000,000 33,715,730,000 29,500,000,000 32,191,760,000 30,000,000,000 34,050,260,000 31,000,000,000 34,050,260,000 31,000,000,000 38,622,170,000 31,500,000,000 29,292,500,000 29,500,000,000 985,200,000,000 855,000,000,000
Keterangan : * Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Papua Barat
Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah “batas teritorial”, sebagai locusnya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu daerah otonom memiliki batas wilayah dan tidak dibolehkan melampaui batas tersebut kecuali dalam kerangka kerjasama. Dengan demikian maka akomodasi program-kegiatan dan penyediaan dana bagi kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Barat dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi Papua seperti yang terjadi saat ini nyata-nyata merupakan suatu pelanggaran dan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka otonomi khusus Papua juga menjadi unsur yang berimplikasi terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Dana dalam rangka otonomi khusus Papua selama ± 7 (tujuh) tahun anggaran (2002 s/d 2008), dibagi hanya berdasarkan pada kesepakatan antara Gubernur Provinsi Papua dan para Bupati/Walikota se Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Sedangkan pengelolaannya dilakukan berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), yang telah diubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006. Uraian di atas menunjukan bahwa pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka otonomi khusus Papua selama ± 7 (tujuh) tahun anggaran (2002 s/d 2008), dilakukan tidak berdasarkan tuntunan UU Otsus. Pada prinsipnya UU Otsus Pasal 34 ayat (7) menyebutkan bahwa Pembagian penerimaan dalam rangka Otsus Papua antara Provinsi Papua dengan kabupaten/kota se Papua diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Dalam hal penyusunan, pelaksanaan, perubahan, dan perhitungan, serta pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), UU Otsus Pasal 36 ayat (3) memberi
!
107!
arahan didasarkan pada Perdasi. Akibatnya dana tersebut cenderung tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Selain itu dalam struktur Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua, sejak pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua, tidak ditemukan besaran dana dalam rangka otonomi khusus Papua yang dialokasikan 30% untuk aspek pendidikan dan 15 % untuk aspek kesehatan. Padahal UU Otsus, mengisyaratkan hal tersebut38. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka terbukti bahwa beberapa hal dalam kebijakan otonomi khusus yang terkait dengan faktor keuangan ternyata dilakukan tidak berdasarkan pada apa yang seharusnya sesuai dengan tuntunan UU Otsus. Akan tetapi dilakukan berdasarkan kesepakatan dan/atau peraturan perundang-undangan selain Undang-Undang No. 21 tahun 2001. Kondisi ini tentunya akan berimplikasi negatif terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. H. Beberapa Masalah Krusial 1. Masalah Persepsi Keabsahan Pepera Silang
pendapat
antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dengan
masyarakat Papua mengenai eksistensi Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI hingga saat ini masih mengemuka dan menjadi wacana dikalangan akademis, praktisi, maupun masyarakat awam. Dalam dokumen Pokok-pokok Pikiran yang Melatarbelakangi penyusunan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri, yang disusun oleh Tim Bentukan Gubernur Provinsi Papua, silang pendapat tersebut dikedepankan, yang antara lain sebagai berikut: “… Pemerintah pusat berpendapat bahwa masalah keabsahan Irian Jaya/Papua sebagai bagian dari NKRI telah selesai. Pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Irian telah dilakukan secara demokratis dan transparan telah melibatkan masyarakat Irian Jaya melalui proses konsultasi mengenai cara dan pemberian suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tersebut. Seluruh proses Pepera tersebut juga melibatkan partisipasi, pemberian nasehat dan bantuan PBB yang pada gilirannya mendapatkan pengesahan masyarakat internasional !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 38
Pasal 34 ayat (3) huruf e Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; Sedangkan pada Pasal 36 ayat (2) Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan yang bersumber dari bagi hasil minyak dan gas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan 30 % (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
!
108!
(Majelis Umum PBB).
Dengan demikian jelas bahwa Pepera sebagai suatu
pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak cacat hukum …" (Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri, 1998, hal. 7). Hal senada sebelumnya juga ditegaskan oleh, Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat dalam laporan rinci tentang pelaksanaan Pepera di Irian Barat, 1972, halaman 510 (dengan penyesuaian ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan) ditegaskan
bahwa "… dengan terselesaikannya masalah Penentuan Pendapat
Rakyat di Irian Barat secara final dan syah, baik di tingkat nasional maupun internasional, maka secara mutlak status daerah tersebut merupakan daerah bagian NKRI, keputusan mana tidak dapat diganggu-gugat dengan dalih apapun dan oleh siapapun …". Di lain pihak, Kongres II Papua, membantah dengan tegas klaimklaim tersebut. Selain menggunakan berbagai argumentasi pembenaran dan data kesejarahan yang intinya membantah klaim tersebut, secara spesifik ditunjukkan berbagai bentuk penyelewengan dan intimidasi yang dilakukan pemerintah sebelum, pada saat dan sesudah Pepera. Dalam Kongres II Papua hasil Komisi Pelurusan Sejarah dirumuskan beberapa pokok penting sebagai berikut ; "… Pasal XVIII ayat d New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice …”. Aturan ini berarti bahwa penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatangan New York Agreement. Hal ini tidak dilaksanakan. Pertama, penentuan nasib sendiri dilakukan oleh suatu badan di tiap kabupaten yang disebut Dewan Musyawarah Pepera yang keanggotaannya langsung ditunjuk oleh pemerintah Indonesia.
Dari 815.906
penduduk (diperkirakan 600.000 orang dewasa) ditunjuk langsung hanya 1026 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera. Dari ke-1026 orang tersebut ditunjuk hanya 175 orang untuk menyampaikan pendapat yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Kedua, masyarakat Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatanganan New York Agreement adalah penduduk Papua, tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri ini; Ketiga, tidak dilaksanakannya hak penentuan nasib sendiri sesuai dengan Pasal XVIII ayat d New York Agreement, menurut pemerintah Indonesia, dikarenakan oleh tiga alasan: (1) keprimitifan penduduk untuk dapat melakukan pemilihan secara
!
109!
demokratis menurut praktek modern; (2) kesulitan transportasi; dan (3) faktorfaktor geografis. Alasan seperti ini tidak bisa diterima, dengan beberapa argumentasi, yakni: (1) jauh sebelum pelaksanaan Pepera, telah dilaksanakan pemilihan badan pengurus gereja-gereja dan keanggotaan New Guinea Raad dilakukan melalui caracara demokratis; (2) dua tahun sesudah Pepera, yaitu pada tahun 1971, pemerintah Indonesia melaksanakan Pemilihan Umum di Papua Barat dengan melibatkan pria dan wanita dewasa menurut praktek internasional; (3) sejak awal, pemerintah Indonesia secara sengaja berencana memenangkan dengan cara mengubah dan menggagalkan pemilihan dengan cara satu-orang-satu-suara seperti yang diatur dalam Pasal XVIII New York Agreement. Pada tanggal 11 Januari 1969 rombongan Panitia Persiapan Pembentuk Dewan Musyawarah Pepera (PPPDMP) yang terdiri dari
Mayor
Jenderal
(Perwakilan RI di
Brotosewoyo
(BAKIN),
Soedjarwo
Tjondronegoro
PBB), Sarodjo Tanojo (Bupati Paniai), Drs. A. Soenarto
(Kadinsos Paniai/Wakil Ketua DPRD II Paniai), R. Soeharto (Dinas Kesda Tk. II Paniai), Mayor L. Sitompul (Dandim Paniai), Drs. Abdulkadir (Deplu RI), J. Rotti (Deplu R.I), Kapten Polisi Sakunto (Wadanres Jayawijaya) bertemu di Enarotali (Paniai) mengadakan suatu rapat rahasia untuk menyusun siasat mengganti dan menggagalkan pelaksanaan Pepera dengan cara satu-orang-satu-suara; (4) diserahkannya administrasi pelaksanaan Pepera kepada pemerintah Republik Indonesia, seperti yang diatur dalam New York Agreement, sesungguhnya adalah suatu keputusan yang menyesatkan dan sewenang-wenang, serta merupakan sumber utama pelanggaran hak-hak politik dan hak-hak azasi manusia bangsa Papua; (5) sebagai pihak yang bermasalah Indonesia tidak patut menjadi penyelenggara penentuan hak nasib sendiri bangsa Papua. Seharusnya, sesuai dengan kebiasaan internasional, peranan itu dipegang oleh negara netral atau badan yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa; (6) keterlibatan pihak militer Republik Indonesia dalam pelaksanaan Pepera sangat dominan. Tidak saja bahwa militer Indonesia terlibat dalam intimidasi terhadap penduduk, tetapi militer terlibat dalam pengaturan pelaksanaan Pepera. Misalnya, Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: R-24/1969, Perihal: Pengamanan Pepera, tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida Kabupaten Merauke.
Isi surat tersebut antara lain menyatakan, “…
Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota
!
110!
DEMUS, penggantiannya supaya dilakukan jauh sebelum MUSYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang di lain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang tidak wajar untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA.” Di bagian lain surat tersebut, Komandan Korem 172 menginstruksikan, bahwa “Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa Pepera secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara tidak wajar.” Mengingat bahwa wilayah kerja Komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten Jayapura dan Jayawijaya, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain. Silang pendapat sebagaimana tersebut sampai saat ini masih terus berlangsung dan mengemuka dalam berbagai kesempatan, yang dipelopori oleh berbagai pihak khususnya Presidium Dewan Papua dan Dewan Adat Papua. Issu tentang sejarah integrasi Papua masih sering dijadikan sebagai alat propaganda politik. Apalagi ketika Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang sebagai sarana untuk meluruskan sejarah integrasi Papua tak kunjung terbentuk. Hal ini tentunya akan menimbulkan kotraproduktif bagi efektivitas pelaksanan otonomi khusus. 2. Masalah Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 di Wilayah Papua Pemilihan Umum pada hakikatnya merupakan sarana untuk wujudkan kedaulatan rakyat dalam Pemerintahan NKRI berdasarkan Pancasila, sesuai amanat UUD 1945. Setidaknya ada 4 (empat) makna yang terkandung dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, yaitu: (1) Pemilihan Umum bermakna sebagai sarana proses pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara (legislative dan eksekutif di Pusat/Daerah) melalui
prosedur dan mekanisme menurut
peraturan perundang-undangan; (2) Pemilihan Umum bermakna sebagai sarana proses pemindahan aspirasi dan kepentingan dari masyarakat ke lembaga-lembaga negara untuk diproses secara beradab dan dilegitimasi untuk kepentingan bersama; (3) Pemilihan Umum bermakna sebagai sarana proses perubahan politik secara teratur (periodik), yakni : adanya sirkulasi atau penggantian elit politik (penguasa) maupun arah dan pola kebijakan publik; (4) Pemilihan Umum bermakna sebagai sarana proses rekayasa ulang (reengineering) suatu sistem politik, guna
!
111!
mewujudkan suatu tatanan politik yang lebih baik dan mapan, yang diikuti dengan perubahan perilaku politik. Uraian di atas cukup beralasan untuk menyadarkan semua pihak bahwa Pemilihan Umum merupakan suatu agenda yang sarat makna, oleh karena itu maka sewajarnya jika semua komponen bangsa NKRI memiliki kepedulian serta komitmen dan tekad yang bulat dengan segala daya dan upaya untuk mensukseskan Pemilihan Umum. Tekad dan komitmen sebagaimana tersebut telah terbukti, dengan keberhasilan penyelenggaran Pemilihan Umum 2004, dalam hal memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Presiden dan Wakil Presiden. Dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus Papua, keberhasilan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004, ternyata meninggal sejumlah masalah yang perlu dicermati. Keberhasilan Pemilihan Umum 2004 ternyata meninggalkan sejumlah implikasi terhadap
kebijakan Otonomi Khusus Papua. Beberapa
persoalan yang mengemuka dalam proses pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Penetapan Daerah Pemilihan dan Quota Kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam ketetapannya mengenai daerah pemilihan, membagi daerah pemilihan di Papua menjadi dua, yakni daerah pemilihan Papua dan daerah pemilihan Papua Barat. Pembagian daerah pemilihan ini tentunya
berimplikasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus
Papua. Hal ini disebabkan karena berdasarkan UU Otsus, pasal 1 huruf a, Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka NKRI. Hal ini bermakna bahwa wilayah Provinsi Papua meliputi seluruh wilayah yang sebelumnya bernama Irian Jaya, sebagaimana disebutkan dalam Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4151 sebagai penjelasan atas Lembaran Negara RI tahun 2001 nomor 135, disebutkan bahwa “… Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 kabupaten dan 2 kota, yang berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafuru, di sebelah barat dengan Provinsi maluku dan Maluku Utara, dan sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea. Ini berarti berarti bahwa penetapan KPU tersebut nyata-nyata bertentangan dengan UU Otsus.
!
112!
Menindaklanjuti penetapan KPU mengenai daerah pemilihan sebagaimana dimaksud, maka KPU menetapkan pula quota kursi bagi masing-masing daerah pemilihan. Berdasarkan keputusan KPU, maka kursi untuk calon anggota DPR RI untuk daerah pemilihan Papua 10 kursi sedangkan untuk daerah pemilihan Papua Barat 3 kursi. Penetapan ini tidak hanya bertentangan dengan UU Otsus, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Dalam penjelasan pasal 48, ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, disebutkan bahwa ”Jumlah kursi untuk anggota DPR pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai Pemilihan Umum 1999”. Jika KPU konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan ketentuan ini, maka jumlah kursi untuk anggota DPRP daerah pemilihan Provinsi Papua adalah 13 kursi bukan 10 kursi (Pemilihan Umum 1999 jumlah kursi untuk anggota DPR daerah pemilihan Irian Jaya adalah 13 kursi). Penetapan jumlah kursi untuk DPR Papua (DPRP) sebanyak 56 kursi (45 kursi berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dan 11 kursi berdasarkan UU Otsus), telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan penetapan 44 kursi bagi DPRD Provinsi Papua Barat (35 kursi berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dan 9 kursi berdasarkan UU Otsus). Penetapan quota kursi ini nyata-nyata bertentangan dengan UU Otsus karena berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (4) UU Otsus disebutkan: “ Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan”. Pasal ini menunjukan bahwa jumlah 1¼ (satu seperempat) kali hanya diberlakukan pada DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) bukan DPRD Papua Barat. Ini berarti penambahan quota kursi (9 kursi) bagi DPRD Provinsi Iria Jaya barat nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan UU Otsus. b. Verifikasi Peserta Pemilihan Umum Pada tahapan verifikasi peserta Pemilihan Umum bagi partai politik untuk pemilihan anggota DPR RI, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan peserta perseorangan untuk anggota DPD, juga ditemukan adanya masalah. Pada daerah pemilihan Papua Barat verifikasi terhadap peserta Pemilihan Umum partai politik tidak dilakukan, karena KPU provinsi Papua Barat baru terbentuk ketikan sampai pada tahapan penetapan hasil Pemilihan Umum. Khusus untuk
!
113!
peserta Pemilihan Umum perseorangan yang mensyaratkan adanya dukungan dari penduduk pemilih, calon yang berdomisili di daerah pemilihan Papua maupun Papua Barat, didukung oleh penduduk pemilih di kedua daerah pemilihan tersebut. Artinya ada calon yang berdomisili di daerah pemilihan Papua yang mendapat dukungan penduduk pemilih dari daerah pemilihan Papua Barat, begitu pula sebaliknya. Secara hukum hal ini seharusnya tidak dibenarkan, tetapi kenyataannya berlangsung, yang bermuara pada terpilihnya calon anggota DPD RI. 3. Masalah Pemilihan Langsung Gubernur/WaGubernur di Wilayah Papua Sebagai manifestasi dari komitmen seluruh komponen bangsa dan Negara Republik Indonesia untuk melakukan reformasi terhadap berbagai aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, maka Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI) telah melakukan amandemen terhadap konstitusi negara, UUD 1945 dalam 4 (empat) tahapan. Perubahan ini dilakukan pada beberapa aspek termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota)39. Konsekuensi logis dari adanya amandemen tersebut maka perlu dilakukan penyesuaian berbagai produk perundang-undangan di bawah UUD 1945, yang dinilai tidak relevan lagi. Perubahan terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah merupakan salah satu pengejawantahan dari tuntutan tersebut. Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah memuat sejumlah materi muatan dalam rangka mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah secara holistik integratif. Salah satu materi muatan yang bernilai strategis yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah Pemilihan Kepala Daerah40. Undang-undang ini mengamanatkan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan akan lebih menjawab semangat demokratisasi di tingkat lokal yang secara kamulatif diharapkan akan berkontribusi positif terhadap pembangunan demokrasi secara nasional. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 39
UUD 1945, Pasal 18 ayat (4), menyebutkan: “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis” 40 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pasal 24 ayat (5) menyebutkan: Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
!
114!
Pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan salah satu tugas besar yang menjadi agenda nasional. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada hakikatnya merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Setidaknya ada 4 (empat) makna yang terkandung dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung., yaitu: (1) pemilihan Kepala Daerah secara langsung. bermakna sebagai sarana proses pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara (Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) melalui prosedur dan mekanisme menurut peraturan perundang-undangan; (2) pemilihan Kepala Daerah secara langsung. bermakna sebagai sarana proses pemindahan Daerah
aspirasi dan kepentingan dari
untuk
masyarakat ke lembaga-lembaga
diproses secara beradab dan dilegitimasi untuk kepentingan
bersama; (3) pemilihan Kepala Daerah secara langsung. bermakna sebagai sarana proses perubahan politik secara teratur (periodik), yakni : adanya sirkulasi atau penggantian elit politik (penguasa) maupun arah dan pola kebijakan publik di tingkat daerah; (4) pemilihan Kepala Daerah secara langsung, bermakna sebagai sarana proses rekayasa ulang (reengineering) suatu sistem politik, guna mewujudkan suatu tatanan politik yang lebih baik dan mapan, yang diikuti dengan perubahan perilaku politik. a. Pemililhan Langsung Gubernur/WaGubernur di Provinsi Papua Memperhatikan amanat UUD 1945, Pasal 18 B41, maka di dalam UndangUndang No. 32 Tahun 200442 juga diakui dan dihormati daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa, seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ,Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Materi muatan yang terkandung dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pasal 225 dan 226 ayat (1) sebagaimana tersebut mengandung makna bahwa materi muatan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diberlakukan juga bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 41
UUD 1945, Pasal 18 B, menyebutkan “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa”, 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pasal 225, menyebutkan:“ Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan undang-undang ini di berlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain”. Lebih lanjut dalam pasal 226 ayat (1) disebutkan pula: “ Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri”.
!
115!
Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.34 tahun 1999 Tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Undang-Undang No.44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jo UndangUndang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, dan UU Otsus Tentang Provinsi Papua, Berdasarkan pemikiran konseptual tersebut, maka penetapan materi muatan yang dikategorikan sebagai kekhususan bagi masing-masing provinsi dimaksud secara limitatif merupakan suatu keniscayaan dan urgen. Hal ini dimaksudkan agar jelas ruang bagi materi muatan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maupun undang-undang yang mengatur mengenai kekhususan-kekhususan tersebut. Pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) berdasarkan UU Otsus, tertuang dalam beberapa pasal, antara lain: a) Pasal 7 ayat (1) huruf a DPRP mempunyai tugas dan wewenang: memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; b) Pasal 11 ayat (3) Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c) Pasal 12 Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syaratsyarat: (a) orang asli Papua; (b) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (c) berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara; (d) berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; (e) sehat jasmani dan rohani; (f) setia kepada NKRI dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; (g) tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan (h) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; d) Pasal 13 Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan, serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan; e) Pasal 20 ayat (1) MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; f) Pasal 28 ayat (3) Rekrutmen politik oleh partai politik
!
116!
di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua; g) Pasal 28 ayat (4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing. Analisis terhadap pasal-pasal Undang-undang tersebut yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah sebagaimana tersebut di atas, menunjukan bahwa yang berwenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua adalah DPRP. Dalam prosesnya bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur
harus
mendapatkan
pertimbangan
dan
persetujuan
MRP.
Pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) hanya terkait dengan pemenuhan persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf a Undang-undang Otonomi Khusus, yaitu mengenai keaslian bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai orang Papua. Pemilihan Kepala Daerah yang digelar di Provinsi Papua pada tahun 2005 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, ternyata
tidak sepenuhnya
didasarkan pada ketentuan UU Otsus. Jika Pilkada di Provinsi Papua dasarkan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Otsus, maka seharusnya yang berwenang menyelenggarakan dan melakukan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Dewan perwakilan Rakyat Papua (DPRP), sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf a, sebagaimana tersebut di atas. Dalam kenyataannya
Pemilihan
Kepala
Daerah
di
Provinsi
Papua
yang
diselenggarakan pada tahun 2005, untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan secara langsung oleh rakyat (Pilkadasung). Analisis terhadap pelaksanaan Pilkadasung di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud, untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur ternyata juga tidak sepenuhnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, sebagaimana yang digunakan oleh provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.32 Tahun 2004, pasal 24 ayat (5) disebutkan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Lebih lanjut pada pasal Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa “ Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang
!
117!
bertanggungjawab
kepada
DPRD43”.
Uraian
ini
menunjukan
bahwa
Pilkadasung berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dilaksanakan secara langsung di bawah kendali KPUD sebagai penyelenggara. Dalam kenyataannya Pilkasung untuk memilih Gubernur dan wakil Gubernur yang berlangsung di Provinsi Papua tidak menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 tersebut. Dalam kenyataannya Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dilakukan secara langsung oleh rakyat akan tetapi pesertanya (pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur) harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat kepada DPRP. DPRP memiliki wewenang untuk melakukan proses penyaringan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik tersebut. Hasil penyaringan DPRP kemudian disampaikan kepada MRP untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan dalam hal keaslian calon sebagai orang Papua. Mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana yang telah diuraikan menunjukan bahwa prosesnya juga tidak sesuai dengan UndangUndang No. 32 Tahun 2004. Jika proses Pilkasung sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, maka KPUD merupakan lembaga penyelenggara tunggal dan independen, tanpa melibatkan pihak lain, seperti DPRP dan MRP. Disadari bahwa dalam pelaksanaan Pilkada di Provinsi Papua untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemerintah bermaksud untuk memadukan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UU Otsus dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 secara bersamaan. Maksud ini patut dihargai sepanjang tidak bertentangan dengan materi muatan dari kedua undang-undang tersebut. Akan tetapi jika penerapan kedua undang-undang ini nyata-nyata kontradiktif sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka hal ini patut menjadi koreksi. Kalau demikian halnya maka akan muncul suatu pertanyaan kritis, apa dasar penyelenggaraan Pilkadasung tahun 2005 di Provinsi Papua untuk memilih Gubernur dan wakil !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 43
Berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu) No. 3 Tahun 2004, ketentuan pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, telah mengalami perubahan, yakni KPUD dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab kepada rakyat bukan kepada DPRD.
!
118!
Gubernur ? ternyata jawabannya adalah Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Penyelenggaraan Pilkadasung di Provinsi Papua ternyata hanya di dasarkan pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005.
Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005, Pasal 139 menyebutkan bahwa “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang pencalonannya diusulkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD. Selanjutnya disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagaimana dimaksud melakukan penyaringan pasangan bakal calon Gubernur
dan
Wakil
Gubernur
melalui
tahapan.
Hasil
penyaringan
diberitahukan secara tertulis kepada Pimpinan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan bakal calon paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan. Apabila pasangan bakal calon ditolak karena tidak memenuhi syarat, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan pasangan bakal calon diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan pasangan bakal calon atau mengajukan pasangan bakal calon baru paling lambat 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penyaringan. Setelah melakukan penyaringan ulang terhadap persyaratan pasangan bakal calon atau pasangan bakal calon baru yang diusulkan, DPRP memberitahukan hasil penyaringan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kepada Pimpinan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan. Apabila hasil penelitian persyaratan pasangan bakal calon tidak memenuhi syarat dan ditolak DPRP, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak dapat lagi mengusulkan pasangan bakal calon. Berdasarkan hasil penyaringan, DPRP menetapkan pasangan bakal calon paling sedikit 2 (dua) pasangan bakal calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan bakal calon. Sebelum menetapkan pasangan bakal calon menjadi pasangan calon paling sedikit 2 (dua) pasangan calon, DPRP meminta pertimbangan dan persetujuan MRP. Pertimbangan dan persetujuan atas pasangan bakal calon oleh MRP, khusus mengenai persyaratan yang berkaitan dengan orang asli Papua. Hasil
!
119!
pertimbangan dan persetujuan sebagaimana dimaksud huruf g, disampaikan secara tertulis oleh MRP kepada DPRP paling lama 7 (tujuh) hari sejak permintaan pertimbangan dan persetujuan. Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari, MRP tidak memberikan persetujuan terhadap pasangan bakal calon yang diajukan Dewan Perwakilan Papua (DPRP), pasangan bakal calon tersebut sah untuk diajukan menjadi pasangan calon kepada KPUD Provinsi. Pasangan bakal calon yang telah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua menjadi pasangan calon dan selanjutnya disampaikan kepada KPUD Provinsi Papua. Berdasarkan penyampaian pasangan calon dari DPRP, KPUD Provinsi menyelenggarakan pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Sebelum menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, KPUD Provinsi Papua melakukan pengundian nomor urut pasangan calon peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang hasilnya
ditetapkan
dengan
keputusan
KPUD
Provinsi
Papua
dan
mengumumkannya. Dalam hal MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f belum dibentuk, pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua ditetapkan menjadi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua oleh DPRP. Kepala Daerah dan Penjabat Kepala Daerah di Provinsi Papua yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik menjadi calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini”. Paparan di atas semakin memperjelas bahwa dasar penyelenggaraan Pilkadasung di Provinsi Papua hanyalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Seandainya berbagai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut sesuai atau merupakan penjabaran/interpretasi dari ketentuan yang ada dalam suatu undang-undang tentunya hal ini tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi jika pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak sesuai dan/atau tidak dalam konteks menjabarkan ketentuan yang ada dalam suatu undang-undang tentunya hal ini menimbulkan masalah. Dalam hal pelaksanaan Pilkadasung di Provinsi Papua tahun 2005 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 sebagaimana tersebut di atas nyata-nyata tidak sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam UU Otsus maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Sebagai peraturan
!
120!
pelaksanaan dari Undang-Undang No.32 tahun 2004 (undang-undang pemda), seharusnya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 hanya menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tidak pada posisi membuat aturan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004, seperti yang terjadi saat ini. b. Pemilihan Langsung Gubernur/WaGubernur di Provinsi Papua Barat Silang pendapat mengenai eksistensi dan status hukum Provinsi Papua Barat44 sampai saat ini masih belum berakhir. Akan tetapi secara faktual tidak dapat dipungkiri bahwa provinsi ini telah eksis dan semakin definitif dengan terbentuk Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua Barat, hasil Pemilihan Umum 2004 serta terpilihnya Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi Papua Barat hasil Pilkadasung 2006. Meskipun Pilkadasung yang berlangsung di Provinsi Papua Barat tahun 2006 telah dilaksanakan dengan sukses, yang ditandai dengan terpilihnya Gubernur dan wakil Gubernur definitif, akan tetapi jika dicermati ternyata masih meninggalkan sejumlah masalah. Masalah yang sangat prinsip adalah bahwa pelaksanaan Pilkada di Papua Barat tahun 2006, untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, ternyata tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa pelaksanaan Pilkada di provinsi ini tidak sepenuhnya berdasarkan pada UU Otsus, tidak berdasarkan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, serta juga tidak berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa apabila didasarkan pada ketentuan UU Otsus maka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur harus dilakukan oleh DPRP. Ketentuan ini jelas tidak berlaku bagi Provinsi Papua Barat, sebab Provinsi Papua Barat tidak identik dengan Provinsi Papua, dan DPRD Papua Barat bukan DPRP, meskipun dalam hal tertentu ada pihak-pihak yang karena kelalaiannya mengidentikan Provinsi Papua dengan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 44
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2007 tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat menjadi Provinsi Papua Barat, yang mengabaikan pembentukan provinsi dalam wilayah keberlakuan otonomi khusus berdasarkan UU 21 Tahun 2001, tetapi sama sekali prosedur hukumnya mengabaikan UU Otsus, tetapi mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
!
121!
Papua Barat seperti dalam hal penetapan qouta kursi DPRD provinsi dan sebagainya. Pilkada di Provinsi Papua barat untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur juga tidak didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Jika pelaksanaan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka pelaksanaannya dilakukan secara langsung oleh rakyat (Pilkadasung), dan KPUD bertindak sebagai penyelenggara satu-satunya secara independen. Artinya bahwa semua proses dalam rangka pelaksanaan Pilkasung tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab KPUD. Apabila Pilkada di Provinsi Papua Barat untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, maka prosedur dan mekanisme harus sesuai dengan ketentuan pasal 141 Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam ketentuan Pasal 141 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, disebutkan bahwa: “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pemekaran di Provinsi Papua sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 200445, dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah diselesaikannya Pasal 7346 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud, dilaksanakan setelah terbentuknya MRP sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (1)47 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004. Dalam hal MRP sebagaimana dimaksud belum terbentuk, penetapan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh DPRD Provinsi yang bersangkutan. Ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua barat ternyata !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 45
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua., disahkan Presiden pada tanggal 23 Desember 2004. 46 Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004, menyebutkan: “MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk bertugas dan bertanggung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP”. 47 Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004, menyebutkan: “ Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru, dibentuk MRP yang berkedudukan di masingmasing ibukota provinsi”
!
122!
dikesampingkan. Pilkada yang diselenggarakan di Provinsi Papua Barat untuk memilih Gubernur dan wakil Gubernur dilakukan dengan menggunakan dasar hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 secara acak dan tidak konsisten. Pilkada di Provinsi Papua Barat untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan dengan mekanisme yang sederhana sebagai berikut: a) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua Barat dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang pencalonannya diusulkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD; b) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi melakukan penyaringan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur; c) Hasil penyaringan diberitahukan secara tertulis kepada Pimpinan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan bakal calon paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan; d) Berdasarkan hasil penyaringan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua menetapkan pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon. e) Penetapan pasangan calon selanjutnya disampaikan kepada KPUD Provinsi. f) Berdasarkan penyampaian pasangan calon dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, KPUD Provinsi menyelenggarakan pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur; g)
Sebelum menyelenggarakan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, KPUD Provinsi melakukan pengundian nomor urut pasangan calon peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang hasilnya ditetapkan dengan keputusan KPUD Provinsi dan mengumumkannya. Jika ditelaah dan dikaji secara cermat mekanisme pelaksanaan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua Barat, maka dapat dikatakan bahwa proses yang dilakukan nyata-nyata tidak berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku UU Otsus, UndangUndang No. 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Hal ini tentunya berkontribusi terhadap ketidakefektifan otonomi khusus Papua. 4. Masalah Kondisi Aparatur Pemerintahan Daerah
!
123!
Pemberlakuan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua, menuntut adanya penyesuaian berbagai unsur pemerintahan daerah, sebagai prasyarat guna mewujud-nyatakan kewenangan yang dimiliki dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri menuju demokratisasi dan good governance. Utomo (2007: 78), menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu diperhatikan adanya 4 (empat) issu strategis, yaitu: (1) pengembangan kelembagaan; (2) pengembangan sumberdaya manusia aparatur; (3) pengembangan jaringan kerja (net work); dan (4) pengembangan lingkungan yang kondusif. Pandangan ini mempertegas bawasanya aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu unsur penting dalam menggerakan sumberdaya lain yang dimiliki pemerintah daerah. Seiring dengan perubahan fungsi pemerintah, yakni sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan, dan administrator kemasyarakatan menjadi
melayani,
membangun
dan
memberdayakan,
masyarakat,
maka
performance aparatur pemerintahan juga seharusnya mengalami perubahan, apalagi dalam
kerangka
otonomi
khusus.
Perubahan
struktur
dan
kewenangan
pemerintahan dalam otonomi khusus menjadi tidak berarti kalau tidak didukung oleh performance aparatur pemerintahan yang handal. Aparatur pemerintahan yang dimaksudkan dalam konteks ini tidak secara mikro dan statis, yakni terbatas pada jajaran pemerintah daerah atau perangkat daerah, tetapi bersifat makro, termasuk pihak DPRP dan MRP. Untuk memotret kondisi aparatur pemerintahan di Provinsi Papua dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka setidaknya dapat digunakan indikator, tingkat pendidikan dan pangkat/golongan. Berdasarkan indikator tersebut, maka potret aparatur pemerintahan di Provinsi Papua dapat terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5. Jumlah PNS Otonom di Provinsi Papua
!
124! Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jumlah / Unit Kerja Provinsi Kab/Kota 1 Sekolah Dasar (SD) 103 1.041 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 109 1.463 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 2.828 20.735 4 Diploma I 61 813 5 Diploma II 96 4.482 6 Diploma III 819 3.435 7 Diploma IV 25 189 8 Sarjana (S1) 1.859 10.268 9 Pascasarjana (S2) 244 290 10 Pascasarjana (S3) 7 1 Total 6.281 42.217 Sumber : BPS Provinsi Papua (Papua dalam angka 2007) No
Golongan
Jumlah 1.144 1.572 23.608 874 4.578 4.254 214 12.127 607 8 48.498
Data pada tabel 4.5. memberi gambaran bahwa sebagian aparat pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota, yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil otonom dan bekerja di berbagai perangkat pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota berpendidikan dasar (SD) dan menengah (SLTP/SLTA), yakni sebanyak 23.608 orang atau setara dengan 54,27 %. Sedangkan yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana hanya 12.742 orang atau setara dengan 26,27 %. Selain pendidikan konfigurasi aparat pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota ditinjau dari golongan kepangkatan juga menunjukan kondisi yang tidak jauh berbeda, artinya bahwa sebagian besar aparat pemerintah yang berstatus pegawai negeri sipil otonom provinsi dan kabupaten atau kota hanya bergolongan kepangkatan I dan II, yakni sebanyak 23.554 orang atau setara dengan 48,56 %. Sedangkan yang bergolongan IV sangat terbatas hanya berjumlah 3.879 orang atau setara dengan 7,99 %.
Gambar 4.2. Golongan Kepangkatan PNS Otonom
!
125!
di Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua 25000 Gol. I 20000 Gol. II
15000 10000
Gol. III
5000 0
Gol. IV Provinsi
Kab/Kota
Jumlah
Sumber : BPS Provinsi (Papua dalam Angka 2007) Kondisi aparat pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota ini tentunya akan berimplikasi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam mengaktualisasikan fungsi pemerintahan, yakni melayani, membangun, dan memberdayakan masyarakat. Keterbatasan sumberdaya aparatur dalam konteks kuantitas maupun kualitas juga akan mempengaruhi kinerja pemerintahan secara kelembagaan maupun kinerja aparatur secara individu. Potret aparat pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota sebagaimana yang telah digambarkan, agak berbeda dengan potret anggota DPRP. Keseluruhan jumlah anggota DPRP adalah 56 orang, 45 orang dipilih berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum., Sedangkan 11 orang sisanya dipilih berdasarkan UU Otsus. Komposisi anggota DPRP berdasarkan hasil Pemilihan Umum 2004 ditinjau dari aspek tingkat pendidikan, menunjukan bahwa tingkat pendidikan anggota DPRP sebagian besar atau 36 orang (64,28 %) berpendidikan sarjana, 11 orang (19,65 %) berpendidikan setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan yang berpendidikan pascasarjana 9 orang (16,07 %).
Gambar 4.3. Tingkat Pendidikan Anggota DPRP Hasil Pemilihan Umum 2004
!
126!
SLTA
40 S2
20
S1
S1 SLTA
0 Jumlah
S2
Sumber : BPS Provinsi (Papua dalam Angka, 2007)
MRP memiliki kedudukan yang strategis dalam otonomi khusus Papua. Sebagai lembaga representasi kultural Majelis Rakyat Papua oleh UU Otsus diberi kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Dalam konteks ini maka keanggotaan MRP seharusnya memiliki kualifikasi tertentu, baik secara formal maupun moral. Keanggotaan MRP berjumlah 42 orang yang masingmasing unsur (adat, agama dan perempuan) berjumlah 14 orang. Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk memotret kualifikasi anggota MRP adalah pendidikan formal. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa sebagian anggota MRP adalah berpendidikan setingkat sekolah menengah (SLTP dan SLTA) sebanyak 21 orang (50,00 %). 17 orang (40,47 %) berpendidikan sarjana dan hanya 4 orang (9,52 %) berpendidikan pascasarjana.
Gambar 4.4. Tingkat Pendidikan Anggota MRP
!
127!
Berdasarkan Keterwakilan Unsur 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
SLTP
SLTA
S1
S2
Adat Agama Sumber: MRP, 2008
Perempuan
Jumlah
Kondisi faktual aparatur pemerintahan yang terbatas sebagaimana yang telah dinampakan tentunya memiliki implikasi yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diemban. Kualitas sumberdaya aparatur yang kurang memadai, telah membuat aparatur tidak memiliki kreativitas untuk menciptakan atau melakukan hal yang bersifat inovatif. Aparatur cenderung hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan rutinitas karena ketidakmampuan membuat terobosan baru. Kondisi ini diperparah lagi ketika banyak aparat pemerintahan yang cenderung bekerja untuk melayani diri sendiri atau melayani penguasa. Sikap ini telah menjadi semacam dogma yang terus-menerus mempengaruhi image para aparat maupun masyarakat dan berpengaruh secara signifikan dalam pembentukan perilaku para aparat. Sistem, proses, dan prosedur yang berorientasi legalistic dengan pendekatan hirarkikal telah membentuk pola pikir, pola sikap, dan pola tindak aparat berorientasi pada aturan dan arahan pimpinan, hal ini tentunya mengkebiri kreativitas dan inovasi para aparat tersebut. Akibat ikutan dari pendekatan ini maka jabatan struktural dipandang memiliki kelebihan ketimbang jabatan fungsional. Kondisi ini telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat di lingkungan aparatur, sehingga
memberi
menghalalkan
peluang
bagi
cara”,
yang
segala
berkembangnya tentunya
akan
paham
“Machiavelli:
mempengaruhi
kinerja
pemerintahan itu sendiri. Kelembagaan, proses rekrutmen dan pembinaan aparatur tidak terpola secara definitive. Meniadakan atau mengadakan suatu lembaga sangat bergantung pada elit politik yang berkuasa. Akibatnya dengan mudah suatu lembaga dibentuk
!
128!
tetapi dengan mudah pula dibubarkan, tanpa melalui suatu analisis yang mendalam. Kondisi ini tentunya akan berdampak terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, pembinaan karier aparat, serta kebutuhan pelayanan masyarakat. Proses rekrutmen masih bersifat sentralistis dan cenderung subjektif, berdasarkan suatu analisis pekerjaan/kebutuhan yang tidak komprehensif. Pembinaan karier aparat tidak didasarkan pada penilaian kompetensi yang objektif. Pengisian jabatan cenderung bermuatan politis dan bernuansa KKN. Sistem insentif secara kelembagaan maupun individu yang berpola anutan diferensiasi berdasarkan dimensi input (DIP, pendidikan dan masa kerja) telah ikut memberi kontribusi bagi rendahnya kinerja aparat. Setiap aparat akan berlombalomba untuk menyusun proposal perencana program yang baik sebagai dasar penentuan insentif walaupun program tersebut tidak memberi impac bagi masyarakat. Aparat dapat menggunakan segala cara mengejar ijasah pada tingkat tertentu karena akan berpengaruh pada golongannya yang berarti berpengaruh pula pada insentif yang diperoleh, walaupun yang bersangkutan tidak produktif. Aktivitas aparat cenderung menembus batas-batas fungsinya sebagai pelaku administratif. Intervensi kepentingan politik dalam lingkaran aparatur pemerintahan sangat kental. Penunjukan/pengangkatan seorang pejabat struktural di jajaran pemerintahan daerah tidak lagi didasarkan pada carrier system tetapi spoil system, tergantung dari like and dislike atasan. Akibatnya aktivitas aparatur dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya ketergantungan semu rakyat terhadap aparatur, aparatur berada pada posisi yang dominan, sedangkan rakyat berada pada posisi marginal. Dalam kondisi inilah maka rakyat sering dikooptasi oleh aparatur untuk kepentingan mempertahankan “status quo”. Terbentuk dan berkembang di lingkungan aparatur, mentalitas konsumtif, yakni sikap mental yang berorientasi membelanjakan bukan menghasilkan, feodalistik,
cenderung
minta
dilayani
bukan
melayani,
primordialisme,
mengedepankan kepentingan golongan atas dasar etnik atau suku, nepotisme mengutamakan kerabat, mengagungkan status sosial, bekerja untuk mengejar prestise bukan prestasi. Di sisi lain kualitas sumberdaya masyarakat yang tidak memadai telah menempatkan rakyat pada ketidakmampuan untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap birokrasi. !
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, disimpulkan bahwa: 1. UU Otsus merupakan instrumen hukum nasional dalam bentuk kebijakan desentralisasi asimatris (asymetrical decentralization) di Papua, sebagai daerah yang memiliki masalah yang bersifat khusus, dan berfungsi sebagai pilar utama yang mengatur hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah. UU Otsus secara garis besar memuat substansi strategis untuk: Pertama, menjawab permasalahan yang terjadi di Provinsi Irian Jaya sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan masa lalu, dan Kedua, implementasi kebijakan pembangunan Papua yang memperkuat kapasitas sumber daya lokal yang kompetitif di masa mendatang. UU Otsus memuat kewenangan pemerintahan daerah dan kewenangan khusus yang mencakup aspek-aspek: Kewenangan Bidang Politik, Kewenangan Bidang Pertahanan dan Keamanan, Kewenangan Bidang Keuangan dan Perekonomian, Kewenangan Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dan Komisi HAM, Kewenangan Bidang Perlindungan Masyarakat Adat, Kewenangan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan, serta mengatur adanya perlakuan khusus (Affirmative Action) untuk orang asli Papua. 2. Sejak diberlakukannya pada tanggal 21 November 2001, dalam implementasi UU Otsus mengalami berbagai hambatan, yaitu: Pertama, berbagai kelemahan formulasi yuridis yang terdapat dalam materi muatan pasal-pasalnya, Kedua, kelemahan sebagai akibat kebijakan Pemerintah Pusat yang menyimpang dari substansi UU Otsis, Ketiga, kelemahan kebijakan pemerintah provinsi yang tidak melaksanakan substansi UU Otsus secara konsisten, serta Keempat, masih banyaknya perbedaan persepsi dan pemahaman substnasi UU Otsus dari berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan di Papua. Hambatan-hambatan tersebut berdampak negatif, dalam bentuk: Pertama, materi muatan UU Otsus sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan pemerintahan di Papua, dan tidak sesuai lagi kondisi objektif dinamika sosial politik di Papua, Kedua, implementasi UU Otsus yang tidak efektif dan tidak sesuai lagi dengan UU Otsus, serta, Ketiga,
!
130!
banyaknya sikap dan reaksi dalam bentuk protes penolakan yang dilakukan berbagai unsur masyarakat, terutama masyarakat asli Papua (yang berada di Papua maupun di luar Papua) terhadap pelaksanaan UU Otsus yang tidak sesuai lagi dengan substansi atau materi muatan UU Otsus. B. Rekomendasi Berdasarkan simpulan di atas, direkomendasikan kepada setiap pejabat dan institusi di tingkat nasional dan di Papua, sesuai dengan kewenangan dan peran relevan yang
dimiliki, agar bekerjasama secara sinergi untuk melakukan tindakan nyata,
sebagai berikut: 1. Penyempurnaan substansi atau materi muatan UU Otsus, sebagai berikut: a. Menyusun naskah akademik secara tajam tentang masalah yang menjadi penyebab utama perlunya perubahan pada Pasal-pasal tertentu yang menjadi materi muatan UU Otsus; b. Menyusun rumusan Pasal-pasal tertentu hasil perbaikan dari Pasal-pasal UU Otsus yang bermasalah secara cermat dan detail berdasarkan hasil kajian naskah akademik; c. Menyerasikan seluruh Pasal-pasal UU Otsus hasil perbaikan dalam suatu susunan UU Otsus hasil perbaikan yang sistematis, jelas dan implementabel; d. Melakukan diskusi kritis dengan para akademisi di berberapa perguruan tinggi di Indonesia yang dinilai memiliki ahli yang memiliki kepedulian dan kapasitas untuk memberikan pandangan-pandangan kritis dan analisis; 2. Penyempurnaan UU Otsus melalui tatacara demokratis dan transparan, melalui tahapan sebagai berikut: a. Konsultasi untuk memperoleh legitimasi dari rakyat Papua b. Pembahasan antar unsur institusi penanggung jawab usulan. c. Pembentukan tim pelaksana konsultasi publik d. Penjaringan aspirasi masyarakat untuk penyempurnaan RUU Otsus. e. Penyelenggaraan dialog Jakarta – Papua untuk menyamakan persepsi atas materi muatan RUU Otsus f. Pembahasan dan penetapan UU Otsus di DPR. g. Pembentukan Tim Papua untuk pembahasan RUU Otsus di DPR. h. Pelaksanaan pendampingan pembahasan di DPR
SUMBER BACAAN
Abdurahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Shelton, Jakarta. Ajamiseba, D. C., 1994, Kebinekaan Bahasa di Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta. Amal, Ichlasul, 1992, Regional and Central Government in Indonesia Politics, Gajahmada University Press, Jogyakarta. Bahtiar H.W, 1994, Sejarah Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta. Bambang Sugiono, 2009, Karakteristik Substansi dan Implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Rancangan Hasil Penelitian, Jayapura. ----------, 2008, Pengaturan dan Implementasi Otonomi Khusus Papua Dalam NKRI, Jayapura, Tahun 2008. ----------, 2008, Wilayah Keberlakuan Hukum dan Struktur Pemerintahan Penyelenggara Otonomi Khusus Papua Paska Keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2008, Dialog Publik Implikasi Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2008 terhadap Implementasi Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Jayapura, tanggal 22 s.d. 23 Desember 2008. ----------, 2009, Sinkronisasi Pengaturan dan Konsistensi Implementasi Kebijakan Sebagai Elemen Mendasar Dalam Penyelesaian Masalah Otonomi Khusus Papua, Diskusi Sinkronisasi Kebijakan di Papua, Sekretariat Wakil Presiden (SETWAPRES), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Pemerintah Provinsi Papua, Jayapura, 7 Agustus 2009. D.P.W. Ruiter, 1987, Bestuursrechtelijke Netgevingsleer, Maastricht Van Gorcum, Decki Natalis Pigay, 2000, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Diamond, Larry., 1994, Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation, Journal of Democracy, July, Djohan, Djohermansyah, 2003, Kebijakan otonomi Daerah 1999, Yarsif Watampone, Jakarta. Djopari, John RG, 1993, Pemberontahan Organisasi Papua Merdeka, Grasindo, Jakarta. Dwiyanto, Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
131
Erwin Chemerinsky, 1997, Constitutional Law: Principles and Policies, Aspen Law and Business, New York. Fred W.Riggs (Ed), 1994, ADMINISTRASI PEMBANGUNAN Sistem Administrasi dan Birokrasi, Rajawali Pers, Jakarta;
Hannum, Hurst, 2001, Territotial Authonomy: Permanent Solution or Step Toward Seccesion
Haris, Syamsuddi (ed), 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, AIPI Press, Jakarta. Ifdhal Kasim, 2000, Beberapa Pemikiran Mengenai Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia,: Seri Kajian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, Kaho, Josep Riwu, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Repulik Indonesia, Indentifikasi beberapa Faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya, Rajawali Press, Jakarta. Kansil, C.S.T., 1985, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Aksara Baru, jakarta. Koentjaraningrat, 1994, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta Lubis, M.Solly, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung. Manan, Bagir, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Musa’ad, Mohammad, 2009, Struktur dan Kewenangan Pemerintahan dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua, Disertasi PPS Unpad, Bandung. ----------------------------, 2004, Menguak Tabir Otonomi Khusus Papua, ITB Press, Bandung. ----------------------------, 2002, Penguatan Otonomi Daerah di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi, ITB Pres, Bandung. ----------------------------,1998, Analisis Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Berpengaruh dalam Pembentukan Wilayah Administratif di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya, Tesis PPS Unhas, Ujung Pandang. Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta P.J.P. Tak., 1987, Rechtsvorming in Nederland, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alpena an den Rijn.
132
Rasyid, Ryaas, 1996, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone, Jakarta. ---------------------------, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Yarsif Watampone, Jakarta. Rickles, F., 1993, Sejarah Indonesia Modern. Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Rouke, Francis, 1984, Bureaucratic, Politics and Public Policy, Little Brown: Boston. Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Grasindo, Jakarta. Sarah Waddell, 2007, Local Parliamentary Procedure Drafting, Indonesia-Australia Specialised Training Project Phase III, Jayapura, Manokwari dan Jakarta. Sarundajang, S.H., 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta. Schoorl, Pim, 1997, Kontrolir BB sebagai Agen Pembangunan dalam Schoorl, Pim (Ed), Belanda di Irian Jaya: Amtenar dimasa Penuh Gejolak 1945-1962, Garba Budaya, Jakarta. Scott, W.G. 1962, Organization Theory: A Structural and Behavioral Analaysis, 3d cd. Homewood, III: Richard D. Irwin, Inc. Simorangkir, Bonar, dkk (P), 2000, Otonomi atau Federalisme Dampaknya terhadap Perekonomian, Sinar Harapan, Jakarta. Sjahran Basah, 1995. Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Makalah Seminar, Jakarta. Soehino, 1980, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta. Soejito, Irawan, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta. Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua; Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, Jakarta. Sumaryadi, I. Nyoman, 2005, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Jakarta. Sumule, Agus (ed), 2004, Mencari Jalan Tengah, Grasindo, Jakarta Supriatna, Tjahya, 1993, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta. Supriatna, Tjahya, 1993, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta.
133
Supriatna, Tjahya, 1993, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta. Suryadinata, Ermaya, 1993, Kebijaksanaan Pembangunan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah: Perkembangan Teori dan Penerapan, Ramadhan, Bandung. Suryaningrat, Bayu, 1981 Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan Di Indonesia: Suatu Analisa, Dewa Ruci Press, Jakarta. Tebay, Neles, 2009, Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura. Thoha, Miftah, 1993, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, Rajawali Press, Jakarta. UNDP, 2004, Memahami Desentralisasi, Pembaruan, Yogyakarta. Utomo, Warsito, 2007, Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik (cetakan II), Kerjasama Program Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Van Houten, Peter, 2004, The International Politics of Authonomy Regimes, Univercity of Cambridge, London. Varma, SP. 2003, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah Undang Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintah Daerah Undang-undang No. 15 tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah otonom Propinsi Irian Barat Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Darurat No. 20 Tahun 1957 Tentang Perubahan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Irian Barat Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Propinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang No, 22 Tahun 1999 tentang, Pemerintahan Daerah, Setneg RI, Jakarta. 134
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-undang No.45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-undang No. 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu N0. 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 menjadi Undang-undang Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Peraturan Daerah Provinsi No. 4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua
Dokumen Ketetapan MPR Republik Indonesia 1999 beserta GBHN 1999-2004 Ketetapan MPR Republik Indonesia 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Departemen Dalam Negeri dan FISIP UGM, 1987, Penerapan Konsep Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Dati II, Laporan Penelitian, Depdagri, Jakarta.
135
Bab-1 (Mansoben : 2004) Bab-2 Webster (Suryaningrat, 1981: 3), Scligman (Suryadinata, 1993:46), Ruiter (Hoogerwerf; Sarundajang, 1999:46), Stewart (Juoro, 1996:9) Riggs (1985:95) Bryant dan White (1987:213), Logeman (Supriatna,1993:1-2), Van Der Pot (Supriatna, 1993:2), Surianingrat (1980:6-7), Muslimin (1986:5) Terry (Surianingrat, 1983:3), J. in het Veld (Surianingrat, 1983:5-6), Osborne dan Gaebler (1996: 283-284), Sarundajang (1999:62) Salusu (1996:421), Kaho (1988:14), Van Houten (2004: 3-4) Hannum (2001: 1-3), Bab-4 Bachtiar (Koentjaraningrat, 1994: 72 dan 76). Schoorl P (2001; xxix-xxx), (Koesoemahatmadja, 1973:16), (Supriatna, 1993:1-2), Rasyid; 2000: 18-27), Utomo (2007: 78),
136
ALIRAN POSISI PENELITIAN DALAM KONTEKS MENUJU TUJUAN AKHIR
DIALOG BERSAMA RAKYAT PAPUA UNTUK PERBAIKAN DAN MENYAMAKAN PERSEPSI TENTANG MATERI RUU HASIL REKONSTRUKSI
INSTITUSI INISIATOR
UU NO. 21 TAHUN 2001 jo UU NO. 35 TAHUN 2008
IDENTIFIKASI HAMBATAN DAN USULAN SOLUSI
PROSES FINALISASI
INSTITUSI PELAKSANA PROSES POLITIK DAN PROSES HUKUM ! ! ! ! ! !
1. NASKAH AKADEMIK 2. USULAN RUU HASIL PERBAIKAN
DPR Papua Gub. Prov. Papua DPRD Papua Barat Gub. Prov. Papua Barat Anggota DPR dan DPD dari Papua Anggota DPR dan DPD dari Papua Barat
PEMBAHASAN PEMERINTAH DENGAN DPR UNTUK PENGESAHAN, DENGAN PENDAMPINGAN OLEH TIM PAPUA
TANGGAPAN DAN PENYAMAAN PERSEPSI UNSUR-UNSUR PEMERINTAH PUSAT ATAS MATERI RUU HASIL REKONSTRUKSI
PENGESAHAN DAN PENETAPAN UU BARU PENGGANTI UU NO. 21 TAHUN 2001 jo UU NO. 35 TAHUN 2008