Kajian Kebutuhan (need assessment) terhadap Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial bagi Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
Laporan Penelitian Individual
Disusun Oleh
SEMIARTO AJI PURWANTO untuk
PUSAT KAJIAN PERLINDUNGAN ANAK, UI THE ASIA FONDATION
Januari – Maret 2011
1 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
BAB I. Pendahuluan
Latar belakang dan tujuan Kegiatan kajian kebutuhan ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang akurat dengan berbasis kepada pengalaman, kebutuhan dan keinginan subjek penelitian yang akan mendapat manfaat dari kegiatan ini yaitu anak-anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki, yang terkena dampak pemenjaraan baik di dalam Rutan maupun Lapas, dalam hal: 1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi anak yang khususnya berkaitan dengan pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam sistem pemasyarakatan Indonesia 2. Menganalisis permasalahan yang teridentifikasi secara deskriptif melalui pendekatan sistem perlindungan anak (child protection system) dan menyusun rekomendasi guna menyusun pengembangan model pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang berpihak pada Perlindungan Anak dalam kerangka reformasi Sistem Pemasyarakatan Indonesia. 3. Model akan dibangun berdasarkan hasil kajian terhadap: a. Kerangka Hukum dan Kebijakan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia b. Struktur penyedia layanan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia c. Kapasitas struktur/lembaga penyedia layanan pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia d. Praktik-praktik pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia e. Dampak praktik-praktik program pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap Anak di Indonesia f. Model-model penanganan baik bagi anak-anak dalam lembaga yang berkembang di negara lain Pengembangan model yang dimaksud di atas tidak menjadi bagian dari kegiatan penelitian tetapi merupakan langkah lanjutan berdasarkan hasil dan rekomendasi penelitian ini nantinya.
Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan dua cara utama yaitu dengan memanfaatkan data pustaka dan penelitian lapangan. Penelitian pustaka ditujukan untuk mendapatkan data dan informasi terkait dengan pemahaman kerangka hukum dan kebijakan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia dan upaya menyusun model penanganan yang baik bagi anak-anak dalam lembaga pemasyarakatan. Model tersebut disusun melalui telaah pustaka yang menyajikan kasus komparatif di negara-negara lain. Untuk mendapatkan data mengenai lembaga penyedia layanan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia, kapasitas struktur/lembaga, praktik-praktik pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak dan dampaknya, 2 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
dilakukan penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan tersebut, diturunkan seorang peneliti dan beberapa asisten peneliti untuk mengumpulkan data primer melalui wawancara, observasi dan diskusi kelompok; dan mengumpulkan data sekunder berupa catatan atau dokumentasi di lembaga pemasyarakatan. Wawancara dengan panduan pedoman wawancara dilakukan pada informan anak-anak untuk menghimpun informasi yang terkait dengan pengalaman, opini dan harapan mereka. Sementara kepada para petugas, wawancara serupa juga dilakukan untuk mendapat data mengenai kondisi lapas. Untuk melengkapi wawancara, diskusi kelompok juga dilakukan. Ada beberapa varian dari metode mendapatkan data secara kelompok ini, pertama untuk mendiskusikan satu isu kepada beberapa peserta dan ke dua melakukan wawancara berkelompok untuk efisiensi dan peluang melakukan cek-silang. Metode pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data fasilitas yang tersedia di lapas dan mendeskripsikan jalannya interaksi sosial antar penghuni dan antara penghuni dengan petugas.Data sekunder berupa catatan administrasi dikumpulkan sebagai bagian data untuk menentukan informan dan untuk analisis kondisi lapas. Untuk melengkapi deskripsi dari wawancara, studi dokumen dari media massa secara terbatas juga dilakukan.
Proses Penelitian Kegiatan penelitian ini mendapat dukungan penuh dari Dirjen PAS dengan antara lain mengirimkan seorang aparat untuk membatntu tim peneliti melakukan pendekatan pada institusi di lapangan. Kehadiran mereka sangat mempermudah urusan perijinan dan perkenalan dengan pimpinan di Lapas, Bapas dan Kanwil Depkumham. Di Jawa Tengah, peneliti mendapat kemudahan untuk mengakses lapas Kedung Pane dan Kutoarjo berkat introduksi dari petugas Dirjen PAS yang menyertai kunjungan lapangan. Di Kutoarjo, peneliti dapat langsung masuk ke lingkungan lapas, memeriksa, mengamati dan mewawancarai semua informan anak dan petugas sesuai kriteria. Bahkan untuk mendokumentasi dengan kamera tidak ada halangan sama sekali; petgas lapas Kutoarjo sangat kooperatif. Sebaliknya di Kedung Pane, suasana perkenalan awal yang ramah dan terbuka pada akhirnya berakhir dengan sejumlah keterbatasan untuk melakukan observasi langsung ke dalam sel dan mendokumentasikan kondisi sel tahanan. Data adminsitratif juga baru diperoleh saat-saat terakhir. Sekalipun demikian wawancara dengan anak yang ada dalam lapas Kedung Pane dapat berjalan lancar. Wawancara kepada anak merupakan kegiatan yang selalu penuh tantangan; sering kali mereka mempunyai logika yang berbeda dengan orang dewasa dan merespons pertanyaan dengan reaksi yang mengejutkan. Kondisi ini semakin menantang ketika anak yang diwawancara adalah mereka yang berada dalam tahanan. Melakukan wawancara secara langsung, tatap muka antara seorang peneliti dan seorang anak, tidak semudah wawancara dalam konteks natural di luar Lapas. Seringkali anak ragu untuk berbicara namun di saat lain sering juga nampak seperti mendapatkan kesempatan bercerita. Peneliti harus tetap sadar dengan kondisi ini. Di Semarang dan Kutoarjo, wawancara dilakukan melalui dua cara yaitu wawancara berkelompok dan wawancara personal dengan satu anak sebagai informan. Wawancara kelompok membuat 3 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
mereka lebih berani ketika berhadapan dengan pihak luar, walaupun di awal peneliti harus meyakinkan mereka agar tidak ragu bercerita. Sayangnya, seperti di Kutoarjo, wawancara berkelompok ini terhambat karena ada satu-dua anak yang nampak berada dalam subordinasi rekan lainnya sehingga hanya mengikuti jawaban temannya. Sebagai kontrol, setelah wawancara bersama, informan tertentu dikonfirmasi lagi jawabannya di saat yang lain secara personal. Melakukan ice-breaking dengan membuka pembicaraan yang bersifat netral di awal pertemuan dan di kapanpun saat anak mulai terlihat bosan, menyodorkan makanan kecil dan minuman, meminta informan untuk membuat gambar, atau sejenak menghentikan wawancara merupakan sejumlah cara untuk memfokuskan kembali konsentrasi informan pada wawancara. Hambatan juga muncul saat mewawancara orang dewasa baik petugas, keluarga maupun tetangga mantan napi anak. Petugas Lapas seringkali bersifat defensif dan normatif dalam memberikan jawaban. Salah satu cara yang dilakukan adalah menegaskan kembali pentingnya penelitian ini bagi institusi lapas. Di Kutoarjo, cara ini berhasil membuat petugas relatif terbuka terhadap berbagai pertanyaan yang bersifat mendalam. Cek-silang jawaban dari anak kepada petugas dalam banyak hal juga membuat petugas nyaman untuk memberikan informasi tambahan. Di Semarang, cara-cara tersebut tidak begitu optimal karena petugas berkeras menunggu surat ijin dari Kanwil Depkumham Jawa Tengah yang tak kunjung tiba sampai penelitian usai. Orang tua mantan napi yang ditemui di rumah mereka, walaupun harus diyakinkan terlebih dahulu, pada akhirnya justru seperti mendapatkan peluang untuk menceritakan pengalaman mereka berhadapan dengan institusi Lapas dan Bapas selama anak mereka berada dalam masa tahanan. Cukup banyak data tambahan yang diperoleh pada satu kali pertemuan, yang umumnya memberikan cek-silang dan penegasan atas informasi dari anak dan petugas. Di Kutoarjo, peneliti sempat menduga orang tua tidak mengijinkan anaknya ditemui dan menyatakan bahwa anak tersebut sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah tanpa mereka ketahui keberadaannya. Namun ketika beberapa hari kemudian kembali ditemui di rumahnya, terbukti anak tersebut memang tidak berada di rumah tanpa diketahui dimana tinggalnya. Walapun gagal menemui anak tersebut, namun kunjungan ke dua pada orangtuanya menegaskan kembali isu penting yang ditemukan dalam wawancara pertama. Salah satu kendala utama untuk dapat memahami kehidupan sehari-hari di lapas dan budaya penjara yang melibatkan interaksi anak-petugas dalam konteks pemasyarakatan adalah kurangnya waktu. Sebagian besar data diperoleh dengan hanya satu kali wawancara. Di Semarang, karena keterbatasan ijin yang diberikan, wawancara hanya dilakukan sekali. Sementara di Kutoarjo, wawancara formal dilakukan sekali namun ada kesempatan untuk bertemu dan mengkonfirmasi beberapa jawaban di hari-hari akhir kunjungan. Alokasi waktu yang relatif lama, sembilan hari, berinteraksi di lapas juga membuat hubungan dengan petugas menjadi lebih nyaman. Wawancara dengan petugas dapat berlangsung dalam konteks yang lebih alamiah juga karena peneliti telah mengenal wilayah penelitian dengan baik. Sekalipun demikian, secara umum, sifat temuan umumnya berada dalam tingkat pengenalan awal. Berbagai temuan pada lapas anak di Kutoarjo dan kondisi tahanan anak di laas dewasa Kedungpane menunjukkan adanya masalah dalam penanganan anak yang berhadapan dengan 4 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
hukum. Masalah yang muncul itu terkait dengan dua hal utama yaitu sistem pemasyarakatan dan kelembagaan lapas. Sistem pemasyarakatan di lapas anak, seperti temuan di Kutoarjo, menunjukkan adanya upaya untuk mengembalikan anak pada posisi yang dapat diterma masyarakat. Pandangan ini sebenarnya sudah merupakan persoalan bagi anak karena alumni lapas seperti mengalami stigmatisasi. Petugas menganggap anak memang bermasalah, guru sukarelawan di lapas menganggap anak didik sangat nakal dan susah diatur, dan anak sendiri menganggap dirinya memang bermasalah. Lapas menjadi tempat berkumpulnya masalah dan stigma terhadap anak. Ke dua, di Kutoarjo, misalnya, sistem pemasyarakatan terlihat belum menemukan bentuka yang pas walaupun sudah mengarah ke kondisi ideal. Sekolah sudah ada, tetapi tenaga pengajar tetap belum tersedia; berbagai pelatihan terselenggara tetapi tidak reguler; klinik memadai walaupun dokter tetap belum ada. Menurut para petugas, kekurangan tersebut dapat dirujuk pada alokasi dan yang peruntukannya memang belum menuju ke arah yang lebih baik. Barangkali perlu restrukturisasi program dan alokasi anggaran untuk mengisinya. Kondisi anak di lapas dewasa, seperti Kedungpane, jauh lebih mengerikan. Sistem pemasyarakatan yang mengedepankan isu anak masih jauh dari harapan. Fasilitas tahanan khusus anak belum diupayakan maksimal, sementara fasilitas dan kegiatan pembinaan untuk anak tidak dirancang dengan baik. Dalam lapas, dikhawatirkan justru tejadi proses belajar dengan rujukan pada napi dewasa karena minimnya pembinaan pada tahanan anak. Alasan bahwa anak hanya akan berada sebentar di lapas Kedungpane mengingkari fakta bahwa proses kontaminasi sikap bisa terjadi cepat sekali dalam wadah lapas. Sistem pemasyarakatn untuk anak yang masih mencari bentuk ideal dalam proses penahanan anak di Indonesia, seperti diperparah dengan program pengembangan kapasitas petugas. Cara mengelola tahanan anak belum banyak diketahui petugas secara detail dan utuh. Umumnya mereka hanya mereka-reka bentuk penanganan tahanan anak melalui pengalaman beriteraksi dengan tahaan dewasa atau dalam kehidupan sehari-hari di luar lapas. Padahal perlu diingat bahwa anak-anak di lapas itu mengalami persoalan dengan hukum sehingga harus mendapat perhatan khusus. Isu kelembagaan lapas juga terkait dengan tingkat pemahaman petugas akan tugasnya, terkait dengan proses perkembangan anak. Selain melalui upaya peningkatan kapasitas petugas, juga bisa dilakukan dengan upaya profesionalisasi petugas dari sisi manajerial. Barangkali perlu ditinjau birokrasi lapas yang kompleks dan gemuk, mencakup empat eselon dalam struktur organisasinya. Di lapas Kutoarjo, misalnya, setelah posisi kalapas, ada kepala sub bagian yang membawahi dua kepala urusan. Lalu untuk kegiatan fungsional, sesudah kalapas ada tiga kepala seksi dengan masing-masing dua kepala sub seksi. Kalapas juga langsung membawa kepala KPLP dengan kordinasi yang berbeda. Komposisi antara staf administrasi dan staf fungsional mesti lebih menitikberatkan pada fungsi sistem pemasyarakatan. Atau setidaknya memberikan bekal fungsional untuk menghadapi pesoalan anak-anak pada seluruh staf lapas.
5 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian A. Lapas khusus Anak Kutoarjo Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo di Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, terletak di Jalan P. Diponegoro No. 36 A, tepat di tepi ruas jalan raya yang menghubungkan Purwokerto-Yogyakarta. Lokasinya berada di sebelah timur alun-alun, di sekitar kompleks sekolah mulai jenjang TK, SD, SMP dan SMU. Bangunan LP didirikan di atas tanah seluas 6.843 m² dengan luas bangunan 1.289 m². Sel-sel tahanan berada dalam blok tiga bangunan yang menyerupai huruf „u‟ dengan fasilitas olah raga di tengahnya. Di bagian depan terdapat bangunan dua lantai yang dipakai sebagai ruang kantor yang dihubungkan dengan bangunan besar dua lantai untuk sebagai aula serbaguna di bagian bawah dan aula kegiatan kesenian di atasnya. Tembok setinggi tiga meter mengelilingi kompleks bangunan ini. Di belakang bangunan sel, dihubungkan dengan sebuah pintu gerbang, terdapat 4 lokal bangunan untuk kegiatan pendidikan. Tiga bangunan kelas dan satu bangunan kantor administrasi. Sementara di sisi kiri depan LP terdapat rumah dinas Kepala Lapas. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi lapa Kutoarjo, berikut adalah denah lapas
rudin
gudang
Kelas paket B1
gudang
Kelas paket B2
Kelas paket A
pgwai rudin pgwai rudin pgwai rudin
Kantor
pgwai
Ruang jemur
rudin pgwai rudin pgwai rudin pgwai rudin pgwai
sel sel sel sel sel sel sel sel
sel Ruang TV
Kegiatan kerja
Aula/ Kelas paket C
sel
sel
Lapangan voli Badminton
Aula Serbaguna Ruang bezoek Ruang ibadah
Ruang mandi/cuci
workshop conblock
sel sel sel sel sel sel sel sel Dapur
Kantor utama
Jalan Diponegoro, Kutoarjo 6 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
rumah dinas kalapas
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo merupakan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah. Memiliki fungsi dan tugas untuk menampung, merawat dan membina Anak Didik Pemasyarakatan dan sebagai Tempat Tahanan Anak Purworejo. Sepanjang sejarah gedung dan fungsi bangunan penjara ini telah beberapa kalai berganti fungsi. Berikut adalah rekapitulasi sejarah penggunaan dan fungsi penjara di Kutoarjo. Tahun 1880 Tahun 1917 Tahun 19451948 Tahun 1948 1948-1960 Tahun 19621964 Tahun 19641979 1979-1983
1983-1991
1991-1993
1993-sekarang
Gedung Lembaga Pemasyarakatan Anak didirikan/dibangun oleh Pemerintah Belanda. gedung digunakan sebagai Rumah Tahanan Perang. menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan kosong sebagai Tangsi Tentara Indonesia, dikembalikan kepada Jawatan Kepenjaraan untuk digunakan sebagai Rumah Penjara sebagai Rumah Penjara Jompo. menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas III. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 8 Juni 1979 Nomor : JS.4/5/16 Tahun 1979 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara di Kutoarjo ( LP AN ). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 16 Desember 1983 Nomor : M.03-UM.01.06, tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan, dalam hal ini LP AN Kutoarjo beralih status menjadi Cabang Rumah Tahanan Purworejo di Kutoarjo. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 5 Pebruari 1991, Nomor: M.01.PR.07.03 tentang Pemindahan tempat kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Anak Jawa Tengah dari Ambarawa ke Kutoarjo dan penghapusan cabang Rutan Purworejo di Kutoarjo. berfungsi penuh sebagai Lembaga Pemasyarakatan Anak di Kutoarjo hingga sekarang.
Orientasi pembinaan di Lapas Kutoarjo diarahkan untuk meuwujudkan visi “Memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia mandiri )”. Dalam misi ini terkandung pengertian mengenai kondisi yang perlu dipulihkan pada diri warga binaan agar dapat hidup lebih baik. Sesuai dengan visi tersebut, misi yang diemban adalah untuk “Melaksanakan perawatan Tahanan, Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan”. Posisi lapas dengan demikian merupakan organisasi pelaksana atau unit kerja dari instansi yang lebih tinggi, dalam hal ini Dirjen PAS Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
7 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Sesuai dengan visi dan misinya, tujuan umum pembinaan adalah untuk (1) membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab dan (2) memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi Tahanan, Narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka memperlancar proses Pembinaan dan Pembimbingan Jenis Pembinaan di Lapas Kutoarjo terdiri dari empat kegiatan yaitu penyelenggaraan pendidikan umum, kesegaran jasmani dan kesenian, pelayanan kesehatan dan perawatan, dan latihan ketrampilan dan kemandirian. Pendidikan Umum diperlukan agar pengetahuan dan cara berfikir Warga Binaan Pemasyarakatan meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan. Pembinaan intelektual dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Untuk mengejar ketinggalan dibidang pendidikan diupayakan cara belajar melalui Program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, B, dan C. Pembinaan umum lainnya yang dilaksanakan untuk menunjang pembinaan adalah penyediaan perpustakaan dan pemberantasan buta huruf. Pembinaan kesegaran jasmani ditujukan guna menjaga kesehatan dan kebugaran warga binaan, antara lain dengan menyediakan fasilitas olahraga senam, bola voli, bulutangkis tenis meja dan catur. Sedangkan kegiatan kesenian dapat digunakan sebagai wahana rekreasi dan penambahan ketrampilan, antara lain dilakukan dengan menyediakan fasilitas alat musik/band seperti gitar, organ, ketipung. Untuk pelayanan kesehatan dan perawatan di Lapas Anak Kutoarjo terdapat sebuah ruangan klinik kesehatan yang bertujuan untuk menolong dan mengobati para anak didik yang membutuhkan pengobatan atau dalam keadaan sakit. Dalam hal pengadaan obat-obatan selama ini Lapas Anak Kutoarjo bekerjasama dengan Instansi Kesehatan Kabupaten Purworejo, permintaan atau pengadaan obat-obatan serta rujukan bagi anak didik diteruskan pada Puskesmas Kutoarjo. Pelayanan makanan bagi anak didik yang ada di Lapas Anak Kutoarjo diberikan secara rutin tiga kali makan utama dan dua kali makan tambahan.sesuai dengan jadwal. Pasokan kebutuhan gizi dan kalori makanan anak juga diperhatikan dengan menu standar 2.250 kalori per hari per anak. Latihan keterampilan/kemandirian dilakukan agar anak dapat memiliki keterampilan yang bermanfaat dimasyarakat, dapat dikembangkan lebih lanjut. Keterampilan yang dikembangkan disesuaikan dengan kemampuan, bakat, serta minat anak didik, antara lain: pertukangan, las, perbengkelan, peternakan, menjahit, perikanan, elektronika, montir motor, gitar, prosessing, sandal batik, dan pertanian. Berbagai lembaga yang terlibat dalam kerjasama pembinaan dengan lapas Kutoarjo selama ini adalah kantor dan instansi pemerintah seperti Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo, Departemen Agama Purworejo, Kepolisian Resort Purworejo, Pengadilan Negeri Purworejo, Kejaksaan Negeri Purworejo, Dinas Sosial Kabupaten Purworejo, Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo; perguruan tinggi negeri dan swasta seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, UGM Yogyakarta, UNDIP 8 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Semarang, UMM Magelang dan Unsoed Purwokerto, UMY Yogyakarta, UKSW Salatiga dan lembaga lain seperti PKBM Sawunggalih Kutoarjo, Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia Yogyakarta, Yayasan SETARA Semarang, Saat penelitian berlangsung, sekitar 100 anak menghuni lapas Kutoarjo. Selama kunjungan beberapa kali terjadi mutasi penghuni, walaupun hanya satu-dua anak. Data per tanggal 10 Februari 2011 yang menunjukkan jumlah tahanan anak menurut golongan pidana adalah: No. 1 2 3 4 5
Golongan B I (> satu tahun) B IIa (3-12 bulan) B IIb (0-3 bulan) Anak negara Tahanan
Jumlah 68 9 1 21 3 103
Keterangan Tambah 1 perempuan Semua laki-laki Semua laki-laki Semua laki-laki Semua laki-laki
Tabel di atas memperlihatkan hanya ada satu tahanan perempuan yang baru masuk satu minggu sebelum penelitian. Sehari sebelum penelitian berakhir, masuk lagi satu tahanan titipan dari Polres Kota Yogyakarta. Persentase tahanan golongan B I dengan hukuman di atas satu tahun relatif besar, mencapai 65% sementara mereka yang ditahan dengan masa singkat di bawah satu tahun kurang dari 10%. Sisanya, hampir 20% adalah tahanan dengan status anak tahanan. Mereka menguni lapas sebagai akibat pelanggaran hukum yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis kejahatan Ketertiban Kesusilaan Perlindungan anak Pembunuhan Penganiayaan Pencurian Perampokan Lain-lain : a. Narkotika b. Perlindungan anak c. KDRT d. Penggelapan Jumlah
Pasal 159-181 KUHP 281-297 KUHP 81-82 UU No. 23/2002 338-340 KUHP 351-356 KUHP 362-364 KUHP 365 KUHP 127 UU No. 35/1999 80 UU No. 23/2002 44 UU No. 23/2004 372 KUHP
Jumlah 5 4 42 11 0 28 3 3 5 1 1 103
Hampir 40% penghuni lapas Kutoarjo merupakan mereka yang terlibat dalam pelanggaran perlindungan anak menurut Pasal 81-82 UU No. 23/2002. Pasal ini biasanya mengatur urusan pelanggaran kesusilaan dengan korban anak di bawah umur. Sementara lebih dari 30% penghuni terlibat dalam perkara pencurian mulai dari mencuri bebek sampai perampokan. Kualitas pelanggaran hukum yang dihadapi anak lebih memperlihatkan figur yang seram manakala menilik adanya 11 anak atau 10% dari penghuni yang masuk lapas akibat pembunuhan. 9 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Dari sisi umur, gambaran masalah relatif muncul kalau kita perhatikan ada 38 orang atau sekitar 36% dari penghuni yang berusia 12-15 tahun atau anak menjelang remaja. Sisanya, sebanyak 65 0rang atau 64% berada dala kategori usia 16-18 tahun. Pembicaraan mengenai umur penguni lapas tidak bisa hanya sekedar membacar kategori usia, tetapi terkait dengan tahapan perkembangan anak. Mereka biasanya tengah berada dalam kondisi belajar, terutama melalui sekolah. Tabel berikut memperlihatkan golongan pendidikan penghuni lapas. No. Kelompok umur 1 SD/sederajat 2 SMP/sederajat 3 SMU/sederajat Jumlah
Jumlah 27 52 24 103
Separuh anak tengah menjalani pendidikan di tingkat SMP, sementara masing-masing seperempat berada di tingkat SD dan SMU. Dalam konteks penyediaan fasilitas pendidikan di lapas, kategori pendidikan inilah yang patut mendapat perhatian ekstra. Beruntung di lapas Kutoarjo sekarang telah tersedia ruang kelas untuk masing-masing jenjang sekolah; hanya saja regularitas kegiatan belajar mengajar dan ketersediaan tenaga pengajar tetap yang perlu ditingkatkan. Lokasi lapas anak di Kutoarjo boleh dibilang strategis karena berada di bagian tengah provinsi Jawa Tengah dan DIY. Walaupun berada di bagian selatan, namun akses jalan raya utama yang merupakan poros jalan Purworeto-Yogyakarta menyebabkan lapas ini relatif mudah dijangkau. Sekalipun demikian, sejumlah anak ternyata tidak pernah ditengok oleh orang tua, keluarga atau teman. Tabel berikut menunjukkan jumlah anak yang tidak pernah ditengok, glongan pidana dan daerah asal mereka. No. 1
Golongan Pidana
Alamat
BI
13 Jepara Demak Kendal Kudus Boyolali Banjarnegara Wonogiri Pati
2
1 5 1 1 1 2 1 1
B II a
6 Magelang Mungkid Kendal
3
Jumlah
1 4 1
Anak negara
15 Purworejo Yogyakarya
2 4
10 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
3 1 1 1 2 1
Bantul Sragen Temanggung Klaten Wates Brebes Jumlah
34
Angka di atas, terutama pada kategori anak negara sungguh memprihatinkan karena 15 dari 21 anak negara, artinya lebih dari 75%, tidak pernah dikunjungi. Memang kurang jelas alasannya, hanya diduga karena jarak dan keengganan keluarga untuk menengok anak yang menjadi penyebabnya. Kalau anak negara baru bebas setelah umur 18 tahun, artinya selama waktu ang panjang mereka lepas dari kontak keluarga. Susah untuk membayangkan bagaimana setelah nanti mereka keluar, kemana mereka hendak pulang? Ini menjadi persoalan tersendiri untuk petugas yang sering menemukan anak yang justru tertekan menjelang bebas dan beberapa berulah sehingga masa penahanannya menjadi lebih panjang. Rupanya masa bebas yang dinantikan banyak tahanan tidak semuanya merupakan masa yang mudah untuk dilalui oleh sebagian di antara mereka. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sampai januari 2011, 46 anak telah mendapakan PB dan satu orang menikmati fasilitas CB, sebagaimana tabel di bawah ini. Tahun Pembebasan bersyarat CMB CB
2008 8 0 0
2009 16 0 0
2010 20 0 0
2011 (Januari) 2 0 1
Kapasitas lapas anak Kutoarjo menurut para petugas masih mencukupi; menurut Kalapas, dengan perhitungan kebutuhan ruang minimal yang lama, (3.25 m2 per anak) kapasitas lapas adalah 118 anak, sehingga bila diisi 103 anak masih dalam batas muat. Berdasar peraturan ruang minimal yang baru (5.4 m2 per anak), lapas Kutoarjo telah menghitung ulang kapasitasnya. Tanggal 24 Maret 2010, menurut penghitungan Pejabat Kalapas saat itu, dengan rumus baru, diperoleh hasil bahwa kapasitas lapas adalah 61 anak. Komposisi sel yang terdiri dari tiga blok dan perhitungan kapasitasnya menurut versi baru adalah sbb.:
kamar
lebar
panjang
luas
pembagi
hasil
kapasitas
1
2
3
4 (2x3)
5
6 (4:5)
7
A1
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
A2
5
5
25
5.4
4.630
5
A3
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
A4
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
A5
5
5
25
5.4
4.630
5
11 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
A6
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
A7
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
A8
5
5
25
5.4
4.630
5 25
kamar
lebar
panjang
luas
pembagi
hasil
kapasitas
1
2
3
4 (2x3)
5
6 (4:5)
7
B1
5
7
35
5.4
6.481
6
B2
5
7
35
5.4
6.481
6
B3
5
7
35
5.4
6.481
6 18
kamar
lebar
panjang
luas
pembagi
hasil
kapasitas
1
2
3
4 (2x3)
5
6 (4:5)
7
C1
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
C2
5
5
25
5.4
4.630
5
C3
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
C4
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
C5
5
5
25
5.4
4.630
5
C6
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
C7
5
2.5
12.5
5.4
2.315
2
C8
5
5
25
5.4
4.630
5 25
Tabel-tabel di atas memperlihatkan luas ruangan sel, angka standar ruang dan hasil pembagian yang dianggap sebagai kapasitas ideal ruangan sel. Pada ketiga blok A. B dan C, terdapat total 19 ruang sel dengan total luas ruangan 381 m2. Kapastias ideal per kamar sel yang terletak di lajur (7) pada bagian total menunjukkan kapasitas blok A 25 sebanyak anak, Blok B sebanyak 18 anak dan blok C sebanyak 25 atau keseluruhan 61 anak. Dengan rujukan angka ini maka lapas Kutoarjo, sebenarnya mengalami over-capacity. B. Lapas Kedungpane Semarang Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang letaknya di bagian barat kota Semarang, tepatnya di Jalan Raya Semarang Boja Km 4. Jarak tempuh kurang lebih 30 menit dari simpang lima dengan menggunakan kendaraan mobil pribadi. Lapas kelas I Semarang yang lebih dikenal 12 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
dengan LP Kedungpane ini di dirikan untuk melakukan pembinaan terhadap nara pidana dewasa. Pada kenyataanya lapas ini difungsikan pula sebagai tempat tahanan anak dan dewasa , beserta nara pidana dewasa. Pencatatan register tahahan dengan kode A I (penahanan Polisi), A II (Penahan Kejaksaan), A III (Penahanan Pengadilan), A IV (Penahanan Pengadilan Tinggi) , dan A V (Penahan Makamah Agung). Sedangkan untuk napi dengan kode B II b/A untuk hukuman 3 bulan kebawah (kurang dari 3 bulan), B II a/Anak untuk hukuman dibawah 1 tahun (kurang dari 1 tahun), dan B I anak untuk hukuman di atas 1 tahun. Penghuni lapas Kedungpane per Januari 2011 adalah 760 orang dengan rincian tahanan titipan 280 orang, termasuk tahanan anak yang berjumlah 8 anak dan narapidana 480 orang termasuk narapidana anak yang berjumlah 8 anak. Selama penelitian, tim mengidentifikasi adanya 5 anak yang berada dalam lapas Kedungpane dengan status narapidana.
NO.
STATUS
DEWASA
PEMUDA
P
P
W
W
ANAK PIDANA P W
ANAK DIDIK ANAK ANAK SIPIL NEGARA P W P W
JUMLAH P
W
A. TAHANAN 1. A - I
44
1
45
2. A - II
50
4
54
3. A - III
175
3
178
4. A - IV
2
2
5. A - V
1
1
6. Titipan UPT JUMLAH
272
8
280
B. NARAPIDANA 6. PIDANA MATI
-
7. SEUMUR HIDUP
6
6
8. B - I
296
41
5
342
9. B - II - a
93
24
2
119
10. B - II - b
1
1
11. B - III
11
11
12. BI / AS
1
1
13. TITIPAN 18. Merusak Barang 14. LAIN - LAIN Jumlah B
407
65
8
480
679
65
16
760
C ANAK NEGARA JUMAH C D ANAK SIPIL JUMLAH D JUMLAH A,B,C,D
Melihat data di atas, kita dapat perhitungkan bahwa lapas Kedungpane merupakan salah satu tempat penitipan tahanan yang cukup tinggi, sebelum kasusnya diputus pengadilan. Tercatat
13 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
lebih dari 36% penghuninya merupakan tahanan dari berbagai instansi. Tabel berikut menjelaskan komposisi tahanan di Kedungpane berikut jenis kejahatannya: NO.
JENIS KEJAHATAN
PASAL KUHP/UU
TAHANAN AI P
1. Politik
104 -129
2. Thd Ketertiban
154 - 181
3
187 - 188
Pembakaran
2
W
P
3
P
AIII W
AIV P W
P
AV W
JML TTL P W
9
9
9
2
7
7
3
3
3
2
4
4
3
3
3
6
6
4
4
25
25
1
1
4
5
5
16
16
15
15
4. Penyuapan
209 -210
5. Mata Uang
244 - 251
6. Memalsu Meterai, Surat
253 - 275
2
7. Kesusilaan
281 - 297
4
8. Perjudian
303
3
9. Penculikan
324 - 393
1
10. Pembunuhan
338 - 350
1
11. Penganiayaan
351 - 356
2
1
13
12. Pencurian
362 - 364
3
6
5
365
1
6
17
24
24
14. Memeras / Mengancam
368 - 369
4
3
30
37
37
15. Penggelapan
372 - 375
2
28
30
30
16. Penipuan
378 - 395
18
18
17. Penadahan
480 - 481
7
7
18. UU Darurat
UU No. 12
9
3
12
12
19. Narkotika
UU. No. 9/91
5
15
13
33
33
20. Lain Lain
-
2
5
10
17
17
45
54
178
280
280
13. Perampokan
JUMLAH
2
AII W
4
22
3
13 6
1
2
1
2
1
Tahanan dengan status titipan pengadilan negeri (A III) menempati posisi paling banyak, disusul titipan polisi (A I) dan kejaksaan (A II). Tidak ada tahanan titipan wanita di lapas Kedungpane, kemungkinan besar mereka ditempatkan di lapas wanita Bulu. Sementara, tahanan yang sudah menerima putusan pengadilan dan menjalani masa tahanannya atau menjadi narapidana tercatat ada 472 orang, sebagamana tabel di bawah ini.
14 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
NO.
JENIS KEJAHATAN
PASAL KUHP/UU
NARAPIDANA SH P
BI W
P
W
BIIa P W
BIIb P W
BIII P W
JML TTL P W
1. Politik
104 -129
6
1
7
7
2. Thd Ketertiban
154 - 181
5
3
8
8
3. Pembakaran
187 - 188
3
3
3
4. Mata Uang
244 - 251
4
4
8
8
5. Memalsu Meterai, Surat
253 - 275
4
7
11
11
6. Kesusilaan
281 - 297
35
35
35
303
9
1
10
10
8. Penculikan
324 - 393
4
4
8
8
9. Pembunuhan
338 - 350
46
46
10. Penganiayaan
351 - 356
7
8
15
15
11. Pencurian
362 - 364
23
22
45
45
27
3
31
31
7. perjudian
12. Perampokan
365
3
1
43
13. Memeras / Mengancam
368 - 369
7
6
13
13
14. Penggelapan
372 - 375
4
8
12
12
15. Penipuan
378 - 395
9
4
13
13
16. Dalam Jabatan
413 - 438
2
2
2
17. Penadahan
480 - 481
7
7
18. UU Darurat
UU No. 12
1
1
1
1
127
127
4
4
1
1
5
5
7 1
19. Ekonomi
-
1
20. Narkotika
UU. No. 9/91
94
21. Korupsi
UU. No. 3/71
4
22. Penyelundupan
Psl 26h. Ro.
23. Kecelakaan 24. Teroris 25. Lain Lain JUMLAH
359 - 360 UU No. 15 Thn 2004
29
4
1 2
6
3 39
13
7
59
59
338
117
11
472
472
15 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Tidak ada narapidana dengan hukuman mati di Kedungpane saat penelitian berlangsung, namun ada empat narapidana seumur hidup. Narapidana dengan kategori hukuman B I dan BIIa menempati urutan paling tinggi yang menunjukkan tingkat hukuman di atas satu tahun. Dari jumlah tahanan dan narapidana, tahanan anak nampaknya merupakan minoritas. Di bulan Januari 2011 tercatat ada 8 anak didik pemasyarakatan, tetapi ketika penelitian berlangsung tinggal 5 orang karena ada yang telah bebas. Semuanya laki-laki dengan semuanya berstatus anak pidana. Tidak ada anak sipil dan anak negara karena fungsi lapas Kedungpane bukan lapas anak.
NO.
JENIS KEJAHATAN
PASAL KUHP/UU
ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN Anak sipil ngr
BI P
1
Thd Ketertiban
154 - 181
2
Penganiayaan
351 - 356
1
3
Pencurian
362 - 364
2
UU. No. 9/91
2
4. Narkotika
W
BIIa P W
BIIb P W
1
JUMLAH
5
1
2
1
1
BIII P W
JML TTL P W 1
1
1
1
4
4
2
2
8
8
Empat anak masuk ke lapas karena persoalan pencurian, dua karena narkoba dan masing-masing satu karena melanggar letertiban dan melakukan penganiayaan. Terdapat lima anak dengan masa penahanan di atas satu tahun, seharusnya dikirim ke lapas anak Kutoarjo. Petugas menerangkan dua kemungkinan mereka tetap di Kedungpane; pertama karena orangtua mereka meminta tetap di Kedungpane dengan alasan jarak lebih dekat. Ke dua, karena masa tahanan yang tinggal sedikit karena terpotong masa tahanan sebelum vonis. Lapas ini memiliki bangunan ruang yang difungsikan untuk: ruang besuk, koperasi, ruang dapur, ruang bimker, tempat ibadah (masjid, gereja, pura dan wihara), sarana olahraga (ping pong, volly, badminton) , Rumah Sakit dan ruang pelatihan kerja. Mekanisme masuk ke dalam ruang lapas harus melewati beberapa pintu, pintu pertama adalah portir, kemudian pemeriksaan (cek tubuh dan barang bawaan), masuk kedalam pintu kedua, ke ruangan besuk napi. Setelah melewati pintu kedua ada pintu menuju bagian ruang Bimpas (Bimbingan Pemasyarakatan). Sekilas kehidupan napi dari pintu pertama sampai kedua terlihat mereka melakukan aktivitas bekerja di area lapas seperti kerja bakti, melakukan cat tembok, ada juga yang bertugas membantu petugas untuk menjadi tamping tugasnya memanggil napi yang akan dibesuk oleh keluarga/kerabatnya. Jadwal besuk dalam seminggu dibagi menjadi 2 tahap untuk hari senin, rabu, Jum‟at untuk tahanan baik dewasa maupun anak, sedangkan hari selasa, kamis dan sabtu untuk nara pidana. Waktu berkunjungan dari pukul 09.00 sampai 13.00. setiap napi mendapatkan kesempatan bertemu dengan tamu sekitar 15-20 menit, waktu habis jika ada tanda bel yang dibunyikan oleh petugas. Setelah napi ataupun tahanan selesai menemui kerabatnya mereka biasanya membawa sesuatu barang makanan atau pun lainnya sebelum masuk pintuk blok diperiksa oleh tamping di depan pintu. Seringpula para tamping meminta kompensasi dalam
16 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
bentuk barang ataupun uang dari tahanan/napi. Konsekuensi jika tidak diberi maka untuk kunjungan keluarga/kerabat akan dipersulit. Berkaitan dengan pembinaan yang ada di Lapas Kedungpane yang khusus di tujukan kepada anak memang belum ada, karena konsep pembinaaan yang ada lebih terfokus pada napi dewasa. Jadwal kegiatan harian khususnya napi maupun tahanan anak disana mereka bangun tidur, membersihkan kamar, mengambil air, mendapatkan jatah makan, bermain ke blok lain/olah raga, menjalankan ibadah, bersih-bersih kamar dan kembali lagi tidur. Untuk beberapa anak ada yang memiliki kegiatan berbeda yaitu mereka menjadi “kurve” yang tugasnya mengambilkan air ke blok atau kamar lain dengan mendapat upah uang maupun barang/makanan. Namun memang tidak semua anak menjadi kurve hanya yang mau saja. Petugas memberikan kesempatan anak untuk berinteraksi dengan napi luar antara pukul 07.30 sampai 13.30 ( up plus/absen), kemudian tutup blok pukul 16.00 WIB sampai pukul 07.30 WIB. Anak-anak memiliki jadwal yang tidak jauh berbeda, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Untuk kegiatan sekolah, pelatihan maupun ketrampilan tidak ada yang mengikuti. Kegiatan tersebut lebih difokuskan untuk pembinaan orang dewasa. Tahanan Anak/ napi anak lebih melakukan kegiatan ibadah (masjid) untuk mengaji, olah raga dan kegiatan santai lainnya. Ada kegiatan rutin tiap pagi yang wajib di ikuti oleh semua napi anak/dewasa dan tahanan yaitu senam pagi bersama yang di pandu oleh petugas bimpas. Fasilitas yang berkaitan dengan program pembinaan napi ada ketrampilan membuat sabun, keset, menjahit dan pertukangan. Selain ketrampilan fasilitas kesehatannya lapas memiliki rumah sakit yang dilengkapi dengan 2 dokter ( dokter umum dan dokter gigi) yang dibantu 3 perawat lakilaki dan satu orang psikolog. Fasilitas sel yang ada memiliki 11 blok dan blok pidana khusus ( napi teroris), setiap blok ada 21 kamar. Penamaan blok menggunakan nama abjad dari huruf I – J. Setiap kamar memiliki kapasitas orang yang berbeda,namun khusus untuk anak di tempatkan 1 blok dengan maksimal 5- 7 anak. Rata-rata anak yang menjalani hukuman di lapas kedungpane hukumanya dibawah satu tahun, meskipun ada anak dengan kasus narkoba yang menjalani hukuman lebih 1 tahun berada dilapas kedungpane. Lapas juga memiliki sel yang di fungsikan untuk menjalani karantina dan menghukum ketika napi melanggar aturan. Sel karantina memiliki kapasitas 7- 9 orang namun kadang-kadang di isi lebih dari itu. Setiap orang ataupun anak yang baru kali pertama masuk Lapas kedungpane selalu dimasukan ke sel karantina. Selain itu ada sel yang disebut “sel tikus” yang digunakan untuk menghukum napi yang melanggar aturan. Kedua sel tersebut digunakan untuk semua napi baik dewasa maupun usia anak. Pembinaan napi di lapas kedungpane bekerja sama dengan Departemen Agama dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Semarang. Petugas yang ada di sana memiliki latar pendidikan yang berbeda mulai dari ilmu hukum, ekonomi, elektro dan pendidikan dengan jenjang S1 (sekitar 34-40 %), SMU dan SMP ( sekitar 2 %), S2 ada 4 orang.
17 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
BAB III. Praktik Layanan, Perlakuan Dan Program Pembinaan A. Lapas khusus Anak Kutoarjo Ketika masuk pertama kali, umumnya anak-anak tidak begitu tahu peraturan dalam lapas secara jelas. Mereka menyatakan bahwa peraturan tersebut mereka pahami setelah beberapa saat berada di dalam. Menurut Aji (16 tahun), ketika masuk pertama kali dia belum tahu secara detail mengenai peraturan di lapas. Dia hanya memahami aturan mengenai tata tertib, “belum tau, cuma dibacakan aja, ya peraturan-peraturan ketertiban di lapas”. Anak lain yang telah lama berada di lapas umumnya tidak yakin betul mereka tahu peraturan di awal, sebagaimana dituturkan Arifudin (14 tahun) yang berstatus sebagai Anak Negara. Sudah mendiami lapas selama empat tahun, dia agak lupa bahwa pernah mengetahui adanya peraturan yang dibacakan ketika pertam kali masuk ke lapas, walaupun sekarang dia tahu apa yang mesti dilakukan dan tidak dilakukan di dalam lapas. Peraturan di lapas diberikan secara lisan oleh petugas dan dipelajari anak selama mereka tidanggal di dalam lapas. Hidayat (17 tahun) seorang Anak Negara yang ketika masuk berstatus titipan tidak merima salinan peraturan tertulis mengenai berbagai fasilitas di lapas. Setelah beberapa saat baru ia mempelajari dari lingkungan sekitarnya, “Belum tau, dua bulan setelah disini baru tau, selesai sidang”. Kondisi ini tentu berbeda dengan mereka yang sebelumnya pernah masuk penjara. Walaupun berada dalam lapas yang berbeda, Andi (18 tahun), misalnya, menerangkan bahwa ia hanya tahu kalau peraturan di lapas ketat. Detailnya tidak begitu jelas, tetapi pasti ketat. Ia berpengalaman tinggal di lapas Demak sebelumnya sehingga mempunyai perbandingan mengenai peraturan lapas, “Ya pasti kan kalo peraturan di lapas ketat apalagi di Demak”. Detail peraturan tidak diketahui secara pasti oleh anak Peraturan di Dinding Lapas pada saat pertama masuk tetapi ada salinan peraturan yang dapat mereka pelajari ditempel di dinding sel, jendela, pintu dan tempat-tempat strategis di dalam lapas. Hanya saja anak-anak tersebut memang tidak mendapat penjelasan secara tepat. Nugroho, 15 tahun, menyatakan bahwa peraturan tentang lapas yang diketahui hanya ketertiban saja, “...ya ketertiban aja diberitahu … peraturan tertulis ada di lingkungan LP...”. Kepala Lapas dan Ketua KPLP juga menyatakan bahwa anak-anak hanya diberi orientasi umum mengenai peraturan di dalam lapas secara lisan. Namun mereka telah menempel peraturan di tempat-tempat strategis. Menilik penggunaan bahasa dalam peraturan tersebut, Kepala KPLP sendiri tidak yakin setiap anak akan tahu. Peraturan no. 9 dari tata terib yang ditempel di dinding, keluaran September 2010, menegaskan „Tidak membentuk kelompok atau golongan berdasar 18 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
SARA (Suku Agama dan Ras) dan berdasarkan ikatan emosional lainnya yang eksklusif dan diskriminatif‟. Bahasa dalam poin tersebut menurutnya susah dimengerti anak tetapi dengan memberikan contoh ia yakin anak akan mengerti, “ya sebaiknya anak semarang jangan cuma kumpul dengan kelompok semarang saja...bergaul dengan yang dari banyumas...”. Kepala Lapas menyatakan, sesuai aturan anak-anak itu ditempatkan dalam satu sel dengan pertimbangan tertentu, yaitu status anak: anak negara menempati sel terpisah dengan anak pidana. Kepala KPLP menambahkan pertimbangan situasional lain seperti jenis kejahatan, daerah asal, dan jenis kelamin. Seorang anak negara, Hidayat, mengkonfirmasi bahwa sepengetahuannya tahanan anak-anak ditempatkan terpisah sesuai umur dan sebagai Anak Negara, ia ditempatkan satu kamar dalam blok Anak Negara dengan rekan-rekan yang berstatus sama, “...kalo saya kan sebagai anak negara sudah dikhususkan, satu kamar anak negara semua, ngga dicampur sama yang lain, gitu”. Segera setelah cek administrasi dan kesehatan, anak dimasukkan ke dalam sel isolasi selama seminggu. Pemeriksaan administrasi penting dilakukan untuk memastikan anak masuk ke lapas dengan status yang tepat. Selain kelengkapan berkas perkara, juga diteliti usia anak. Di Kutoarjo pernah ada orang tua yang mengklaim anaknya telah berusia 20 tahun sesuai dengan akta kelahiran, namun lapas menganggapnya masih di bawah 18 tahun sesuai dengan salinan berkas perkara. Kepala Lapas merujuk pada dokumen yang membawa anak ke lapas, “ saya memakai dasar hukum yang mempunyai kekuatan tetap yaitu berita acara pemeriksaan polisi dan putusan hakim...”. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh pihak lapas yaitu meneliti kemungkinan penyakit, mengukur tinggi dan berat badan. Oky (28 tahun) paramedis di lapas menjelaskan prosedur baku yang harus dilalui, “...kita mengukur tinggi badan, beratnya...riwayat penyakit”, lalu memeriksa kondisi fisiknya apakah ada cacat atau kelainan. Semuanya ditulis dalam buku registrasi. Anak perempuan ditempatkan di sel bagian paling depan, terpisah dari sel tahanan lain. Sel tersebut menghadap ke arah dapur dan tepat berseberangan dengan meja jaga para petugas blok. Saat peneliti tiba di lapas, hanya ada seorang tahanan perempuan yang baru seminggu masuk lapas, namun dua hari sebelum penelitian usai masuk lagi seorang anak perempuan yang kemudian ditempatkan dalam satu sel yang sama. Di dalam lapas, anak-anak diperkenankan membawa barang-barang pribdai sepanjang tidak membahayakan penghuni lai. Senjata tajam dan alat dari logam yang mungkin dapat mencederai dilarang keras dibawa masuk, “...sendok garpu gak boleh”. Benda-benda dari logam itu dikhawatirkan dapat menjadi senjata tajam di tangan penghuni lapas. Demikian pula dengan alat telekomunikasi dan hiburan. Menurut Andi, 18 tahun, setiap anak mendapat fasilitas yang bersih, mulai dari ruangan, baju tahanan tiga stel, selimut, alat mandi dan kasur. “Bersih pada awalnya tapi tergantung orangnya,” katanya. Semua barang pribadi yang tidak boleh dibawa masuk disimpan oleh petugas tanpa ada bukti yang mereka terima. Sekalipun demikian Andi melihat bahwa semua barang itu nantinya akan dikembalikan sewaktu bebas, “itu ditulis aja....kan kalo keluar bisa dibalikin”. Selama menjalani masa tahanan, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan latihan ketrampilan yang sesuai usia dan minat mereka. Lapas menyediakan unit pendidikan kejar paket 19 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
A, B1 dan B2 untuk penghuni serta berbagai kursus ketrampilan. Wahyu, Aji (16 tahun), Arif, (14 tahun), Nugroho (15 tahun) menikmati program kejar paket B-1. Beberapa anak menyatakan sisi positif dari keberadaan di lapas dalam hal pendidikan. Ari, anak negara yang sudah mendiami lapas selama empat tahun merasa beruntung karena sebelumnya ia hanya sempat duduk di kelas satu SD. Ia meneruskan pendidikan selama di lapas melalui program paket. Demikian pula dengan Hidayat, anak negara berusia 17 tahun, yang berkesempatan meneruskan pendidikan setingkat SMU melalui paket C. Namun, ada pula yang pendidikannya terpaksa putus karena masuk lapas. Purnomo, mantan napi di lapas Kutoarjo, menceritakan bahwa sebelum masuk ia tengah menanti ujian akhir di STM. Ketika masuk lapas, ia tdak bisa lagi meneruskan sekolah dan terpaksa putus pendidikannya. Kasus Purnomo ini sangat menyedihkan dan membuat petugas lebih memperhatikan aspek pendidikan bagi anak-anak, terlebih mereka yang tinggal menghadapi ujian akhir. Kalapas menerangkan bahwa lapas Kutoarjo baru-baru ini memfasilitasi ujian akhir penghuni setingkat SMP. Dua siswa SMP Bakti Karya Pituruh, Kabupaten Purworejo yang menjadi tahanan Lapas Anak Kutoarjo menikmati fasilitas Ujian Nasional setara SMP di dalam Lapas Anak Kutoarjo. Keduanya tengah menjalani proses pengadilan dengan sangkaan melanggar pasal 363 KUHP tentang pencurian. Selama empat hari pada akhir bulan Maret 2010, mereka mengerjakan ujian setelah sebelumnya ikut program Kejar Paket B yang diselenggarakan di Lapas Kutoarjo. Ujian akhir untuk peserta program paket dilakukan beberapa bulan berikutnya. Sebanyak 19 anak mengerjakan Ujian Nasional Paket Kesetaraan Paket C di lapas anak Kutoarjo tanggal 22 Juni 2010. Dalam ujian tersebut, 12 warga binaan Lapas Anak Kutoarjo dan 7 masyarakat umum di sekitar lembaga permasyarakatan mengikuti ujian bersama. Apabila pendidikan sekolah umumnya ditanggapi positif oleh anak-anak, program kursus agak berbeda sifatnya. Penghuni lapas menilai kegiatan ini hanya merupakan bantuan dari pihak ketiga tanpa ada program yang terencana dai lapas. Sebagaimana dinyatakan Andi, lapas Kutoarjo relatif lengkap sarana pendidikannya, “ada perpustakaan di atas...ada macem-macem kegiatan, ada karawitan, kursus-kursus yang lain juga ada, prosesing (memasak kue), menjahit, otomotif, musik”. Lama kursus yang ditawarkan beragam antara satu-dua bulan; ia mencontohkan selama ikut kursus menjahit dan membuat kue “...menjahit itu satu bulan setengah, kalo prosesing satu bulan”. Namu ia menyayangkan bahwa program pelatihan tidak reguler tetapi berdasar kemauan petugas belaka, walaupun ada lembaga dari luar yang menawarkan program, “itu tergantung dari pusatnya, kalo pusatnya ngadain lagi ya kerjasama lagi.” Selain mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, penghuni lapas juga berkesempatan bekerja. Anak dapat bekerja dalam arti membantu petugas mengelola kegiatan tertentu, seperti Dwi (17 tahun) bekerja di klinik untuk membantu paramedis melakukan registrasi dan memberikan obat pada penghuni yang sakit. Sebagai PMO (pengawas minum obat), Dwi tidak mendapat upah tetapi ia relatif mempunyai waktu lebih lama berada di luar sel ketika bekerja. Kemudian ada juga anak-anak yang berada dalam korve dapur, bangunan dan cuci mobil/motor. Purnomo, mantan napi, berkisah bahwa ia termasuk tahanan yang merintis usaha jasa cuci mobil/motor. Anak yang bertugas mendapat upah 2000 untuk cuci mobil dan 1000 untuk cuci motor. Namun, semenjak masa kepemimpinan lapas yang baru, semua pekerjaan yang memberikan upah ada 20 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
anak ditutup. Usaha cuci mobil/motor baru buka lagi ketika penelitian berlangsung dengan sistem kemitraan dengan investor dari luar. Tak ada lag anak yang bekerja. Walaupun sedikit sekali peluang bagi anak untuk mendapat uang, Hidayat (17 tahun) menemukan celah untuk mendapat uang seperti, “ya mungkin pijit, kadang lima ribu...sepuluh ribu...sama pegawai”. Uang sejumlah itu bukan penghasilan rutin, hanya kadang-kadang saja dan hanya dipergunakan untuk keperluan tersier, “kadang buat beli mie...”. Berada dalam lapas selama kurun waktu yang panjang membuat jenuh para penghuni. Berbagai kegiatan harus dirancang untuk menghalau kejenuhan penghuni dan membuatnya menjadi lebih positif. Salah satu fasilitas untuk menyalurkan tenaga muda yang berlebih sekaligus untuk mengisi waktu luang adalah dengan berolahraga. Di lapas Kutoarjo tersedia lapangan bola voli dan bulutangkis yang selalu ramai dipakai di sore hari. Setiap hari Jumat, penghuni bebas kegiatan sekolah dan kursus, seharian dipergunakan untuk rekreasi yang biasanya berupa permainan voli dan bulutangkis. Sayangnya, menurut sebagian anak, lapangan itu terlalu kecil hanya satu ukuran lapangan bola voli. Di tengah lapangan voli itu, ada pula garis-garis untuk lapangan bulutangkis. Bila hanya untuk bermain-main, di kedua ujung lapangan voli, dapat dipakai untuk dua lapangan bulutangkis. Alhasil anak-anak hanya dapat bermain olahraga secara bergantian. Pembinaan mental spiritual dilakukan melalui kegiatan keagamaan. Lapas memfasilitasi anak yang beraga Islam dan Katolik untuk secara berkala menjalani pembinaan. Anak yang beragama Islam secara rutin diikutsertakan dalam pengajian miingguan; sementara yang Katolik secara tidak berkala didatangi rohaniawan. Karena mayoritas beragama Islam, pengajian agama Islam mendapat prioritas dari petugas; ada kejasama dengan Kanwil Depag yang mengirimkan petugas untuk pengajian rutin setiap hari Rabu pagi. Di samping itu ada juga kelompok dakwah Islam yang secara tidak berkala mengunjungi lapas untuk berceramah. Pengajian wajib ini bagi sebagian anak dianggap sebagai selingan saja, karena merupakan suatu hal yang wajib. Menurut Andi (18 tahun), pengajian itu tidak begitu berpengaruh ke dalam diri anak, hanya menjadi selingan kegiatan semata, “kalo berkaitan dengan saya yang jadi masukan saya dengerin, kelo lelucon buat hiburan aja”. Aji (16 tahun) juga berpendapat serupa, “kadang-kadang dimasukkan, kadang-kadang klo pikirannya ngga fit ya ngga mau nangkep, tak tinggal tidur”. Bahkan sebagian dari anak berusaha mencari alasan untuk tidak ikut dengan berpura-pura sakit. Selama berada di lapas adakalanya anak mengalami gangguan kesehatan atau sakit. Menurut Arifudin (14 tahun) umumnya penyakit dibedakan antara sakit yang ringan dan sakit yang berat; untuk sakit-sakit ringan biasanya ada tamping yang memeriksa apakah ada anak yang sakit, “...ada yang ngecek, tamping yang membantu petugas di klinik...”, jika ada yang sakit barulah tamping tadi memberitahu kepada petugas kesehatan lapas. Di lapas ini terdapat klinik untuk memeriksakan kesehatan anak jika sakit serta ada dokter yang datang (walaupun tidak setiap hari). Di ata Andi, setiap penghuni memiliki hak mendapatkan perawatan kesehatan yang bagus, “Hak kesehatan terjamin, ada perawat khusus, kalo sakitnya parah bisa keluar, misalnya sakit jantung”. Hidayat pernah mengalami sakit ringan dan berat selama di lapas dan mendapat perawatan untuk dua jenis penyakit yang diderita selama ini, “...yang pertama gatel-gatel, yang kedua asma, ya dibawa ke rumah sakit, keluar…”.
21 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Karena penyakit yang diderita biasanya menular, terutama penyakit kulit dan ISPA, maka pengobatannya cenderung serupa. Hal ini sering ditanggapi sinis oleh anak yang merasa hanya diobati seadanya di klinik. Nugroho (15 tahun) bercerita pengalamannya berobat di klinik namun ketika ditanya obat apa yang diberikan, dia berkata “...paling amoxilin, lagi-lagi amoxilin...”. Menurut paramedik, standar pengobatan untuk penyakit tertentu memang antibiotik, anti jamur dan vitamin. Hal ini terutama dikaitkan dengan penyakit kulit yang menjadi panyakit paling umum diderita penghuni lapas. Kontak dan informasi mengenai kondisi orangtua atau keluarga di luar tahanan relatif terbuka. Mereka tidak kesulitan memperoleh kabar mengenai kondisi keluarga melalui petugas. Sarkowi (42 tahun) seorang ayah mantan napi di Kutoarjo berkata bahwa sepanjang menjalani hukuman, Ekky (anaknya) tidak pernah mendapat kesempatan untuk keluar, berkunjung ke keluarga atau untuk mendapat pendidikan. Sarkowi juga tidak tahu kalau ada aturan yang memperbolehkan begitu. Namun salah satu sarana komunikasi yang dapat menghubungkan bapak-anak itu di lapas adalah HP. Meskipun Ekky tidak punya HP dan memang dilarang untuk membawa tetapi ada saja napi yang memiliki HP. Dari rekannya itu Ekky bisa memberi kabar ke keluarga atau dari petugas yang kenal keluarga, “Kadang-kadang dia dekat sama orang-orang tetangga sini, kadang Pak pinjem HP sebentar untuk telepon Bapak…” Keluhan bukan terutama pada kontak dengan orang tua, saudara atau teman di luar tetapi pada kesempatan untuk keluar lapas bertemu dengan mereka. Mengenai hal tersebut, Andi yang pernah menghuni Lapas di Demak, mengatakan bahwa …ia masuk lapas Kutoarjo bersama saudara sepupunya. Ketika orangtua saudaranya meninggal, saudaranya mendapat ijin pulang tetapi ia tidak. Peraturan di lapas Kutoarjo mengenai hal ini tidak begitu ia ketahui, tetapi dari pengalamannya di lapas Demak, penghuni dapat keluar untuk kepentingan keluarga asal memberi uang pada petugas, “...ada hal penting misalnya ada yang nikah, tapi ada bayar 500 ribu....kalo disini kurang tau”. Dalam hal komunikasi dengan dunia luar, lapas mengatur lalulintas surat dari anak yang dititipkan ke wali untuk diberikan pada orang tuanya. Anak juga disediakan berbagai bacaan hiburan dan berita yang dapat dibaca di ruang serbaguna lapas. Keluarga yang menjenguk pun diperkenankan membawa koran atau majalah. Sementara televisi hanya satu yang tersedia untuk ditonton beramai-ramai. Menurut Andi, “...koran biasanya orang tua besuk bawa koran, klo dari sini ngga ada, kebanyakan majalah, televisi juga ada, satu buat semua.” Kalapas bukannya tidak mengetahui kebutuhan komunikasi tersebut namun ia tak hendak melanggar aturan. Pak Rasyid (kalapas Kutoarjo) mengaku sering sedih melihat betapa anakanak itu ingin melihat kondisi luar, “saya lihat anak-anak sering duduk-duduk di beranda depan kantor administrasi...untuk melihat kendaraan lewat”. Dari beranda itu, ada celah yang memungkinkan anak melihat jalan raya, walaupun dari kejauhan dan sempit sudut pandangannya. Sebagai sebuah lembaga pemasyarakatan, Lapas Anak Kutoarjo menerapkan sistem penegakan disiplin standar. Meskipun banyak di antara petugas yang kemungknan tidak mengetahui persis, 22 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
menurut Kalapas Rasyid, pengalaman membuat petugas paham bahwa penanganan tahanan anak dan dewasa itu berbeda. Di lapas tidak boleh ada kekerasan fisik pada anak. Memberikan hukuman sebagai sanksi atas pelanggaran juga harus terkontrol. Paling sering adalah dengan menyuruh anak-anak lari atau push up; sementara yang paling berat adalah dengan memasukkan mereka ke sel isolasi selama enam hari, “bawa ke sel tutupan sunyi...”. Masuk ke sel isolasi, sepengetahuan Pak Rasyid sangat menyiksa sampai-sampai beberapa anak yang dihukum memilih lebih baik dipukul saja sebagai hukumana daripada harus masuk sel isolasi. Wahyu, Andi, Arif dan Aji menilai lapas Kutoarjo cukup disiplin dalam menegakkan peraturan. Andi pernah dihukum hanya karena persoalan sepele, “lari duapuluh kali muterin lapangan, gara-gara ngga pake seragam”. Sekalipun demikian, bagi Arif tidak ada peraturan yang dibuat yang tidak dilanggar. Walaupun sudah jelas ada peraturan yang melarang adanya alat komunikasi seperti handphone, tetap saja ada yang melanggar peraturan tersebut. Sanksi yang diberikan untuk anak yang melanggar hal tersebut biasanya dimasukan ke dalam sel isolasi, “...pernah, di sel selama tiga hari...”. Jika ditanya kenapa dihukum anak sudah tahu bahwa itu adalah akibat perbuatannya dan menurut Arif hukuman sel isolasi cukup membuat dia berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Walaupun mengklaim tidak lagi ada penanganan secara fisik, Nugroho mengaku pernah kena pukul petugas ketika suatu kali tidak mengenakan baju seragam. Ia ditampar dan dipukul sebagai hukuman. Kalapas dan Kepala KPLP tidak menutupi kenyataan bahwa dalam tingkat tertentu memang masih ada perilaku kekerasan, bahkan mereka menganggap tetap perlunya ada satu figur petugas yang membuat anak takut atau berpikir untuk berbuat negatif. Menurut Kepala KPLP sebagian anak dibesarkan dalam budaya kekerasan di jalanan, “...susah ngomong baikbaik ke mereka...seperti hanya lewat saja omongan kita”. Peran petugas yang ditakuti menurutnya penting sebagai penyeimbang karena pola pembinaan yang persuasif belaka ia yakin tidak akan sepenuhnya efektif. Harus tetap ada sosok yang disegani atau ditakuti, “yaaa...begitu memang. Anak butuh orang yang ditakuti...iya Pak XXX itu yang sering nggulung kalo kata anak-anak ya...”.. Setiap anak mempunya wali yang ditunjuk lapas, antara lain untuk menangani berbagai masalah pada anak. Satu wali membawahi beberapa anak dalam tiga sel. Dalam tabel yang tertempel di salah satu dinding blok terampang nama wali dan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya. Ada tujuh karyawan lapas yang menjadi wali dengan distribusi satu wali membawahi 10-18 anak. Namun perhatian dan kepekaannya dalam memahami anak berbeda-beda. Andi beruntung mendapat wali yang sangat memperhatikan kebutuhannya, “...alhamdulillah perhatian sih, ditawarin mo ngubungin apa ngga”, ujarnya menerangkan saat wali menawarinya untuk menghubungi keluarga. Demikian pula dengan Aji yang merasa cukup diperhatikan seperti ketika dia mau mengirim pesan singkat melalui handphone, “perhatian...misalnya mo minta sms”. Aspirasi dan harapan anak terkait dengan keberadaan mereka di lapas dan di masa mendatang umumnya bersifat ideal. Ketika diminta untuk menyebut harapan bagi kondisi yang lebih baik di dalam lapas, muncul sederet harapan: “Saya ingin ditambah alat-alat band...di tambah lapangan untuk sepak bola...ditambah fasilitas kamar...ditambah fasilitas tv...ditambah kegiatan karawitan....ditambah fasilitas kegiatan kerja” (Andi), “...saya ingin ditambah alat-alat band, 23 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
ditambah lapangan untuk sepak bola, ditambah fasilitas kamar, ditambah fasilitas tv, ditambah kegiatan karawitan, ditambah fasilitas kegiatan kerja...” (Aji) , “...pakaian, peralatan mandi, makanan (makanannya yang lebih bervariasi, lebih enak) tvnya 1 kamar 1, kamar mandi ada kran, buahnya diganti jeruk...” (Nugroho), “...sabun mandi dan sabun cuci, pingin keluar, pakaian, peralatan makan, pingin kamar kecil (kamar kecil yang bersih dan layak), Anak Negara jangan dicampur, dipencar...” (Wahyu). Umumnya mereka mengharap fasilitas lapas yang lebih baik, walaupun muncul pula keinginan yang sangat persoanal sebagaimana diungkapkan Nugroho yang ingin buahnya diganti dengan jeruk, tidak pisang terus menerus. Sementara setelah menjalani pembinaan di lapas, hal-hal yang sifatnya personal lebih banyak lagi kemunculannya, “Aku butuh kerja....butuh kebutuhan hidup saya.... pendidikan....butuh kasih sayang orangtua... ingin lanjutin sekolah ke universitas.... ingin kerja untuk hidup keluarga” (Andi), “...aku butuh kerja, saya butuh kebutuhan hidup saya, saya butuh pendidikan, saya butuh kasih sayang ortu, saya ingin lanjutin sekolah ke universitas, saya ingin kerja untuk hidup keluarga...” (Aji), “...saya bisa diterima di pesantren kilat, saya bisa bekerja, membahagiakan orang tua...” (Nugroho), “...pingin melanjutkan sekolah, pingin bisa bekerja, pingin minta maaf sama orang tua...” (Wahyu). Ada keinginan untuk hidup lebih baik, meneruskan sekolah atau bekerja; namun muncul pula keinginan personal yang sentimental seperti ingin membahagiakan orang tua atau sekedar minta maaf kepada mereka. Mereka juga tetap berharap diterima oelah masyarakat dan terutama orangtua.
B. Lapas Dewasa Kedung Pane, Semarang Anak-anak di lapas Kedungpane umumnya memahami aturan setelah beberapa saat tinggal di lapas. Petugas hanya menerangkan secara lisan, tanpa ada pemberitahuan aturan tertulis pada anak kecuali lembar aturan yang ditempel di dinding. Agung Ipung, 17 tahun, tahanan yang sedang mengajukan PB (Pembebasan Bersyarat) terkena kasus menyembunyikan kejahatan mengetahui bahwa ada peraturan tertulis yang terpampang di dalam lapas namun tidak menerima peraturan dalam bentuk tertulis, ”... Disuruh sholat, waktu mau masuk kan di data dulu di pos mba... Ada kok...dibaca sendiri di pendopo di sana kamar-kamar, terus di tengah pendopo, meja pingpong terus di sana ada papan peraturan...”. Agung Buchori (17 tahun) salah satu anak penghuni Lapas Kedungpane Semarang, karena pasal pencurian juga hanya menerima peraturan secara lisan, “...ya menaati peraturan, mengikuti kegiatan...ngga boleh memancing keributan, mencuri...”. Hal serupa juga dialami oleh Andi Kurniawan (17 tahun) yang menjalani tiga bulan hukuman dan sudah menjalani setengah dari masa hukumannya. Ia juga hanya menerima sosialisasi secara lisan Apa yang terjadi di Kedungpane terkait dengan masa orientasi anak di lapas menunjukkan keumuman bahwa anak tidak menerima atau mengetahui adanya aturan tertulis yang diberikan kepada mereka. Namun, aturan tersebut ada dan ada upaya dari lapas untuk memberikannya kepada anak melalui lisan dan melalui media dinding. Aturan tersebut ditempelkan di lokasi strategis agar dapat dibaca dan dipelajari anak.
24 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Setiap anak, ketika pertama kali masuk diperiksa kesehatannya dan melewati beberapa prosedur, “... Dibawa ke sini mbak, registrasi, difoto, didata nama-namanya, habis itu dibawa ke blok J... Iya mba, mulai regitrasi, terus di RS. Sehari langsung selesai, kesehatan, bagian tubuh di timbang, ditanya kamu umur berapa, kamu masuk karena kasus apa...” kata Agung Ipung yang sekarang berada di sel bersama enam orang lainnya. Walaupun masuk kategori anak, tahanan anak tetap mengalami masa orientasi yang sama. Setelah registrasi mereka masuk ke sel karantina. Agung Buchori ditempatkan bersama 7 orang, termasuk tahanan dewasa, setelah 11 hari baru dipindahkan ke sel anak. Selama masa karantina, Agung Buchori ditanya kasus yang menimpa dirinya, “...Ya ditanyain kasus, biodata, berapa kali masuk sini, badannya ada yang digambar atau nggak....”, dia harus bertahan di dalam sel tersebut selama masa karantina, ”... dibawa ke karantina lagi, ya satu blok, saya kan di blok J, Iya kamar karantina. Tapi saya karantinanya di kamar 1. Makannya kalo mau minta air sama ambil makanan. Ya sekitar 14 sampai 25 hari. Tergantung airnya ngalirnya...”. Saat penelitian, Agung sudah menempati sel anak bersama enam anak lainnya. Anak-anak di Kedungpane sempat mengalami beberapa kali perpindahan sel karena sel anak yang mereka tempati dijadikan sel tahanan tipikor. Andi menjelaskan, “...Ini lho...kemarin di blok J, 2 minggu dipindah semua, karena blok J kan dikosongi, buat..dari blok J pindah blok H. yang blok H dipindah disebar ke blok D , Nah yang blok F udah dapat hukumn berapa pindah ke napi...”. Saat itu dia bersama 17 orang di dalam satu sel tetapi kemudian dipindahkan ke kamar anak yang berisi 9 orang, “...16 sampai 17 orang, dewasa semua, (setelah 2 haru dipindahkan), ada 9 orang, pindah ke kamar anak-anak...”. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa walaupun ada sel khusus anak, tahanan anak sempat menempati sel bersama tahanan dewasa. Status sel tahanan anak yang lebih nyaman itu juga kemudian dialihfungsikan menjadi tahanan tipikor dan untuk mereka disiapkan sel lain yang baru. Perlu dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperhatikan aspek interaksi anak dengan tahanan dewasa, baik selama dalam sel karantina maupun dalam pergaulan sehari-hari. Di sel karatina, Agung Buchori sempat heran dengan kondisi bahwa untuk mendapat kasur napi harus membeli dari petugas. Untung, Agung mendapatkan kasur dari temannya yang bebas, “...Nggak ada, usaha sendiri, nggak ada, beli....sekitar Rp 60.000,00 – Rp 100.000,00...”. Sekalipun demikian di sel anak, terdapat fasilitas seperti kasur, bantal, tikar sudah tersedia dan kondisi sel tidak terlalu bersih, ”... ada, sudah ada kasurnya, Tikar, bantal, ada T-nya, ada karpet juga buat makan-makan... Nggak terlalu (kondisi kebersihan sel)...”. Hal yang sama juga diterima Agung Ipung yang memperoleh fasilitas, “...kasur ada, selain itu sabun dikasih, sikat gigi, odol piring buat makan, gelas. Tapi gelas tidak boleh beling, Kan kalau beling bisa buat marah-marah mukul kepala bisa bocor,.... Ada karpet, ambennya dari besi terus ada lemari, kamar mandi...”. Agung Buchori menjelaskan klasifikasi barang-barang yang diperbolehkan ada di lingkungan sel dan yang tidak boleh sudah pasti alat komunikasi, walaupun secara diam-diam memasukkan handphone ke dalam sel, ”... Bawa HP boleh tapi umpet-umpetan petugas, Ya kalo kayak gitu paling nggak ngasih uang rokok (jika ketahuan),... Radio boleh. Kipas angin boleh. Dispenser boleh,... Magic com, kalo kamar anak-anak itu khusus dibeliin...”.
25 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Kondisi fasilitas yang mereka terima umumnya bagus dan bersih, walaupun ada juga yang kecewa dengan kondisi awalnya. Andi Kurniawan menjelaskan bagaimana kasur yang ia terima tidak bersih, “...gak ada tempat tidur..cuma lesehan mbak, kasur tu ada semut, kalau ada temen pinjem kasur, kebanyakan pake karpet atau tikar, gak ada kasur...”. Selanjutnya, soal kebersihan memang sangat tergantung dari pribadi orang yang tinggal di dalam sel, menurut Agung Buchori, “...Biasa seh mba, tergantung orangnya mba...“. Fasilitas di lapas memang terbatas, dalam beberapa kasus napi harus mengeluarkan uang untuk mendapatkannya, terutama di sel karantina. Di sel anak, fasilitas lebih baik walaupun tingkat kebersihannya masih harus ditingkatkan. Berbagai barang yang seharusnya tidak boleh masuk sel bisa diperoleh dengan membayar kepada petugas. Walaupun ini mempermudah anak tetapi harus ditertibkan. Selama berada di lapas, anak-anak tidak berkesempatan melanjutkan pendidikan karena tidak tersedia fasilitas demikian. Buku-buku tersedia di masjid namun tidak ada ruangan khusus serupa perpustakaan. Agung Ipung menjelaskan untuk membaca buku harus sering-sering ke masjid, “...Ya da di masjid, Ya paling kalau mau ke masjid baca-baca buku terus sudah...”. Ada beberapa kegiatan yang diadakan di dalam lapas tapi itu terbatas hanya untuk napi dewasa sedangkan napi anak tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan itu. Menurut Agung Ipung, berbagai jenis pelatihan tersedia hanya untuk napi dewasa.“...Ada mba, pelatihan penjahitan, membuat keset, sabun cuci, mandi, cuci pakaian, buat kasur bantal guling, almari, Nggak mba itu kan untuk orang dewasa...”, kata Agung Ipung. Sementara Agung Buchori menjelaskan, “Di sini ada jahit, les bikin keset, sabun, alat elektronik, untuk dewasa...”. Minimnya fasilitas pendidikan dan pelatihan untuk anak memang merupakan masalah utama. Sebagai lapas dewasa, Kedungpane tidak dirancang menyediakan fasilitas demikian bagi anak karena akan mempertemukan anak dalam satu arena. Justru pertemuan kegiatan demikian yang diminimalkan terjadi. Sementara dalam pandangan Muhtadi (43 tahun) petugas registrasi lapas Kedungpane, pendidikan dan latihan untuk anak terkendala oleh keberlangsungan program mengingat status anak di lapas itu hanya sementara, titipan atau tidak lama. Menurutnya, “Seharusnya iya untuk anak, tapi masalahnya kan gini posisi mereka tahanan yang putusan pendek kemudian langsung bebas apa bisa mereka , kan pembinaan setelah jadi napi, jadi selama ini paling anak-anak putus lima bulan , empat bulan yang B1 satu tahun ke atas jarang, misalnya ada ya kita kirim ke Kutoarjo.”
Di dalam lapas, walaupun tidak legal, ada saja kemungkinan anak-anak bekerja untuk mendapatkan upah. Arif (16 tahun) yang terkena kasus narkotika jenis ganja, mengatakan bahwa ia bekerja dan mendapatkan imbalan dari napi dewasa lainnya, “...iya mbak, saya bantu-bantu, kayak rumah tangga gitu mbak, kalau pagi ngangsu cari air, dapat, seratus. Ngisi bak, ngisi air. Nyuci, ngepel, (membantu napi) iya, kayak curve gitu lho mbak. Kayak bantu-bantu gitu lho mbak, saya minta sendiri daripada nganggur…”. Pada awalnya dia tidak mengetahui bagaimana caranya bisa mendapatkan uang namun setelah mengamati beberapa napi akhirnya dia menawarkan diri untuk bekerja di dalam sel, “…pertama saya di kamar sendirian terus,terus saya nglihat orang-orang diluar tu kok pada ngangsu, terus saya Tanya kok bisa, jawabnya kerjo. Terus akhirnya saya cari kamar yang belum ngangsu. Saya tangya, “ Mas, ini gak ada yang ngangsu tho?, “ terus bilang gak ada, terus langsung tak kurvi ni, terus kerja disini…”, dan uang hasil kerjanya tersebut dibelanjakan untuk
26 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
kebutuhan dirinya selama berada di dalam lapas, “…ya buat saya tho mbak, buat nyuci, beli sabun, buat makan, langsung dibelanjakan, koperasi khan ada…”
Anak-anak di lapas Kedungpane terlihat kurang memanfaatkan fasilitas olahraga untuk mengisi waktu luang mereka. Tdak jelas betul apa alasannya, Agung Ipung, Agung Buchori dan Andi sempat mengidentifikasi adanya sarana meja pingpong, bola voli, bulutangkis dan fasilitas alat musik tapi dia tidak pernah menggunakan fasilitas itu, “...Di sini ada band mba, tapi tidak pernah makai...”, kata Agung Ipung. Permainan tersebut didominasi tahanan dewasa, tidak ada pengaturan atau alokasi waktu untuk anak-anak sehingga kebanyakan waktu luang hanya dimanfaatkan untuk menonton kegiatan tersebut atau ke masjid sekedar untuk membaca atau duduk-duduk saja. Terkait dengan fasilitas dan kegiatan agama, pengalaman Agung Ipung menunjukkan adanya sedikit hambatan, “...Nggak boleh...”, menurutnya ada aturan tidak boleh mengikuti kegiatan agama)...”. Aturan itu merujuk pada kegiatan pengajian yang dikhawatirkan justru memperkuat nilai-nilai yang lain yang dapat mengganggu ketenangan. Agung Buchori membenarkan dengan menunjuk tidak adanya kegiatan agama rutin yang difasilitasi lapas, yang ada hanya kegiatan individu dalam melaksanakan kegiatan beribadah, “...Ya di mesjid waktu mujadahan...”. Tak heran bila Andi menganggap di Kedungpane hanya merupakan masalah individual, kebetulan ia cukup rajin ke masjid, “...Ya. Sering sholat, dhuhur sama isyak, boleh kan diperbolehkan semua...”. Menurut Muhtadi, petugas lapas, fasilitas dan kegiatan keagamaan bukannya tidak ada tetapi lebih merupakan kegiatan mandiri, tidak terkait dengan kegiatan lapas. Ia mengklaim lapas Kedungpane memfasilitasi kegiatan peribatan semua agama, bahkan termasuk penyediaan vihara. Namun diakuinya itu semua sangat terbatas; semua fasilitas itu hanya berupa satu ruangan yang disekat-sekat sehingga dapat dpakai untuk beribadah semua agama. “Yo wis mboh, opo pure po opo. Tapi ruangane kan podo kuwi. Bentuknya sama, 1 bangunan di bagi 4, di sekat”, katanya sambil menambahkan tersedianya ruangan untuk agama minoritas, “Ada, Konghucu ae ada....” walaupun seringkali tidak sesuai kategorinya, “Eh,tapi kita masukkan ke budha...”
Dari kasus-kasus di atas terlihat bahwa pembinaan dalam hal keagamaan memang tidak begitu terlihat intensif. Agama masuk ke dalam ranah pribadi dan dilakukan sebagai kegiatan individual. Implikasinya adalah, walaupun terdapat sebuah masjid, tetapi kegiatan ibadah agama lain ditempatkan dalam satu ruangan untuk dipergunakan bersama. Di sisi lain, fasilitas kesehatan juga tersedia dalam kondisi yang terbatas. Menurut Agung Ipung jika ada napi yang sakit bisa ditangani oleh petugas lapas walaupun dia selama berada disini tidak pernah mengalami sakit, “...Ada, Kan biasanya ada mba kaya pelayan trus laporan trus datang ke RS. Tapi tergantung obatnya mba kalau nggak cocok ya tidak sembuh, Bilang sama dokter kalau obat tidak cocok, ada oksigen juga...”. Beruntung bahwa anak-anak tidak terlalu sering sakit, untuk perawatan kesehatannya, Andi paling hanya mengkonsumsi tolak angin, “...Tolak angin thok mbak, Itu mbeli sendiri, kan ada koperasi...”. Kendati demikian dia tahu jika ada yang sakit bisa ditangani oleh pihak lapas tergantung kondisi penyakit napi, “...Yo kan kalau ada yang sakit diobatke ning RS, dokter ada kadang dua kadang satu...”.
27 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
RS atau rumah sakit yang diacu oleh anak-anak adalah sebuah poliklinik fasilitas lapas. Ada seorang dokter umum dan seorang dokter gigi yang bertugas enam hari seminggu pada jam kerja dan tiga paramedik yang menangani sewaktu-waktu. Menurut Muhtadi yang telah bekerja sebagai pegawai di Kedungpane selama 17 tahun, fasiltas kesehatan relatif komplit mulai dari peralatan, obat sampai tenaga medis. Sekalipun demikian, berita mengenai napi sakit atau meninggal dunia selama dalam tahanan relatif sering terdengar di media massa. Mengenai informasi dan kontak dengan dunia luar, tahanan anak penghuni lapas Kedungpane menyatakan keprihatinannya. Agung Ipung menceritakan betapa seorang temannya pernah mengalami kejadian menyedihkan: tidak diperbolehkan untuk keluar dari lapas untuk menjenguk kerabatnya, “...waktu ada anaknya teman meninggal habis melahirkan meninggal, ya ngga boleh (menghadiri pemakaman), ya taunya pas besuk (kabar beritanya yang mengenai kabar itu)...”. Kalau Agung Ipung dan Andi belum pernah menerima pemberitahuan mengenai kondisi kesehatan keluarga/kerabat di luar, Agung Buchori pernah mendapatkan kabar menenai keluarganya melalui petugas, “...lewat HP, tahu dari petugas...”. Mekanisme itu memang tidak standar, biasanya diperoleh melalui hubungan baik dengan petugas yang tidak tertutup kemungkinan adanya kompensasi lain. Kehidupan dalam lapas, menurut Agung Ipung memang sangat terbatas, seorang napi tidak diperbolehkan keluar dari lapas kecuali dengan alasan tertentu. Sekalipun begitu, ia sama sekali belum pernah keluar dari lapas, hanya bisa menerima kunjungan dari keluarga dan temantemannya, “...Keluarga dan teman-teman...ngga ibu aja, dua minggu sekali...”. Pendapat serupa dikemukanan Andi terkadang yang juga relatif sering menerima kunjungan oleh keluarganya dan teman-temannya, “...Kadang seminggu sekali kadang dua kali (bapaknya), temen-temen...”, Andi tidak pernah berkirim surat kepada keluarganya apalagi menggunakan telepon. Berbeda dengan kedua rekannya, Agung Buchori tidak pernah dikunjungi keluarganya walaupun dia sudah minta agar dia dikunjungi ketika berada di lapas, ”...ngga boleh (keluar lapas), ngga (kunjungan keluarga)... Saya mintanya sebulan sekali”. Untuk mendapatkan informasi ataupun hiburan dari luar paling dari menonton televisi atau pinjam surat kabar dari petugas, “...(koran) pinjam petugas, jawa pos, suara merdeka, tergantung petugas... (tv) ada, music film, ya film, sinetron, saya gak suka sinetron, palijg trans tv,...”, kata Andi sambil menambahkan bahwa untuk membawa radio sendiri juga bisa, tetapi harus menyogok petugas, “...(radio) gak ada, sebenernya boleh, (gak di denda) gak, kan udah bayar petugas”. Ihwal sogok menyogok atau membayar untuk fasilitas tertentu dibenarkan Agung Buchori, “...Kalau di blok saya ada (televisi), dulu empat sekarang tinggal tiga. Seperti kamar samping, kamar 17, sama satu untuk semua bisa disewa. Iya, di dalam, yang satu keliling, bayar Rp 10.000,00, -(koran) pesen petugas... Pesen minuman keras Rp 1.200.000,00 dapat 12 botol, Orang tertentu. Padahal di luar bisa dapet dua krat. Bisa dua kali lipat...” Dari kacamata anak-anak, keterbatasan dan keketatan hidup di lapas tergambar oleh sangat sulitnya mendapat kesempatan keluar lapas untuk kepentingan tertentu. Kabar dari keluarga di luar belum tentu mereka terima, informasi dari media massa juga sangat terbatas. Namun itu semua dapat diatasi manakala ada kesanggupan untuk memberi uang pelicin pada petugas atau membayar jasa pada penghuni lain yang menikmati keuntungan tertentu dari kedekatan mereka pada petugas. 28 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Aturan yang ketat dengan implikasi penangguhan pembebasa, hukuman tambahan atau masuk ke sel isolasi membuat anak-anak sedikit banyak berpikir untuk melanggar aturan. Apalagi apabila masa bebas telah dekat. Agung Ipung yang sedang mengajukan PB mengaku tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan tertundanya pengajuan itu, “ngga pernah (tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin)...”. Sekalipun demikian dia tahu bahwa ada beberapa peraturan dan sanksi yang diberikan jika ada napi yang melanggar, “...Tahanan tidak boleh bertengkar, tidak boleh menggelar judi, terus tidak boleh mengasingkan, Tidak boleh bawa alat2 elektronik termasuk hp, (tapi ada temannya yg melanggar disiplin) Ada tadi mba yang dua anak tadi mba, kesalahannya dia mencuri terus di sel, Kalau pagi sampai sore disel nanti dikeluarkan terus di sel lagi, Ya tergantung petugasnya mba...”. Walapun belum pernah dihukum, Agung Buchori, Andi dan Arief juga paham jenis-jenis hukuman bagi yang melanggar. Variasi hukum bisa relatif ringan tergantung kesalahannya, sebagaimana dituturkan Arief, “...Pernah, waktu itu pas disuruh beli rokok, tameng gak tahu kalau aku, terus masuk, dihitung ada berapa, genap pa gak, terus habis itu disuruh push up...”. Bila lebih berat kesalahannya, Agung Buchori mencatat jenis hukumannya bisa jadi, “...bisa disel. Nggak boleh keluar sel, Sedikit 3 sampai 1 minggu. Paling lama 1 bulan, Ya ada, kalau melanggar itu kita di sel, kalau nggak ya tidak…”. Walaupun terkadan ada juga hukuman fisik seperti dipukuli sama petugas, “…Ya taunya itu mba dipukulin, di sel tikus tidurnya juga sempit, Namanya sel tikus. Ya itu di sel tikus. Dipukulin pakai kabel...”. Implikasinya bisa jadi lebih berta bagi napi, yaitu susah mendapatkan pembebasan, seperti dituturkan Arief, ”...ada mbak, disel dua minggu, ya tadi kalau melanggar tata tertib lapas, kalau ngurus PB, sulit…” Aturan ketat dan hukuman yang berat adalah mekanisme untuk menekan pelanggaran. Pada kasus anak-anak di lapas Kedungpane, nampaknya cara ini cukup efektif. Salah satu kemungkinan jawabannya, sebagaimana kasus-kasus di atas adalah harapan untuk segera bebas yang akan terpengaruh oleh tindakan indisipliner. Sebagai sesama napi, anak-anak bisa mengerti apa yang dirasa oleh napi lainnya oleh sebab itu mengadu atau 'curhat' seringkali menjadi perilaku umum di kalangan mereka. Agung Ipung mengatakan bahwa kadang ia bercerita ke napi lainnya, bukan pada petugas atau wali, “...ngga (disini tidak ada wali), ada tamping (untuk mengadu biasanya ke tamping),... Bukan mba, tamping blok masing-masing mba. Kalau ada apa-apa bilang tamping. Ya mereka napi juga...”. Bercerita dengan sesama napi yang dituakan, dipercaya atau yang memiliki kuasa seperti para tamping rupanya menjadi salah satu di antara sedikit pilihan untuk napi anak. Tidak ada wali atau petugas khusus yang mendengar keluhan mereka. Menurut Andi, tidak ada napi menyalurkan keluhan atau saran kepada petugas, yang ada hanya sebuah kotak saran yang tidak pernah digunakan, “...tidak ada,...di luar ada kotak saran, (pernah digunakan?) gak...”. Mengeluh pada pihak luar juga nyaris tidak mungkin; pandamping dari luar, seperti lembaga swadaya masyarakat bukan merupakan pilihan utama. Selama di lapas, Agung Buchori tidak pernah meminta bantuan dari pihak luar, ia hanya minta bantuan dari blok lainnya, “...Kalau bantuan dari luar nggak pernah. Ya ada tapi kan kalau nunggu bebas kelamaan. Minta bantuan dari blok lain...”.
29 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Temuan kasus di atas nampaknya menjadi hal penting ketika kita menempatkan lapas sebagai wahana pembinaan bukan semata penghukuman. Meknisme terkait dengan penyampaian keluhan atas apa yang mereka alami, hubungan antar sesama napi atau dengan petugas tidak terfasilitasi dengan baik. Tidak ada aturan dan petugas khusus; mekanisme peyampaian keluahan melalui surat atau kotak pengaduan tidak efektif. Pendamping dari luar bukan dianggap sebagai pilihan. Sementara di sisi lain, Muhtadi menginformasikan bahwa lapas Kedungpane telah memiliki pegawai dengan kualifikasi psikologi. Juga terdapat dua orang petugas yang masuk dalam kualifikasi pembina agama atau ustadz yang memungkinkan menjadi orang yang mampu mendengar keluhan napi. Ia juga menambahkan beberapa pegawai akrab dengan pekerjaan sosial karena beberapa di antara pegawai merupakan limpahahn dari Depsos. Masalahnya, menurut Muhtadi, latar belakang pendidikan dan ketrampilan mereka tidak berjalan mulus, “Background pendidikanne bener, tapi kan mereka kan rata-rata masuk e lewate kan SMA atau sarjana...”.
Tahanan anak-anak di lapas Kedungpane mengungkapkan aspirasi dan keinginannya selama berada dalam tahanan. Hal-hal yang muncul bervariasi namun mengerucut pada permintaan tambahan fasilitas yang merujuk pada kegiatan mengisi waktu. Arif mempunyai sepuluh kebutuhan yang menurutnya harus ada di dalam lapas, yaitu sebagai berikut: (1). Aku ingin di sini ada wartel, (2). Aku ingin setiap kamar mandi di beri kran, (3). Aku ingin setiap kamar diberi fasilitas tv, (4). Aku ingin menu makanan di sini lebih enak, (5). Aku ingin fasilitas di LP di kasih lapangan sepak bola, (6). Aku ingin ada kegiatan senam di lapas, (7). Aku ingin ada kompor di setiap kamar, (8). Aku ingin di setiap blok ada wartel, (9). Aku ingin setiap kamar ada dispenser, (10). Ada fasilitas musik. Sementara Agung Ipung yang sedang menunggu pengajuan Pembebasan Bersyaratnya, berharap agar di lapas tersedia (1) ...wartel, kan bisa untuk komunikas gimana keadaan keluarga, (2) sekolah. Agung Buchori yang merasakan semacam penyesalan dan juga perlunya mendekatkan diri dengan Tuhan mulai rajin beribadah. Aspirasinya menggambarkan hal itu “...Penyesalan. Nggak ingin mengulanginya lagi... Kayak keagamaan. Dulu sholat nggak terlalu sering. Kalau sekarang, ya ada bolong paling satu...”. Kebutuhan khusus selama di lapas menurutnya meliputi: (1) pakaian dan perlengkapan sholat, (2) peralatan mandi dan besih-bersih kamar, (3) Perlengkapan buat istirahat yang layak, (3) Makanan yang bergizi, (4) Kamar yang bersih dan tidak dalam keadaan rusak/kotor, (5) Perlengkapan kamar yang layak (kamar mandi, dapur, tempat alat makan). Hal serupa terkait dengan upaya menyembuhkan batin juga dirasakan Andi, “...gak ada, paling penambahan rohani, dispilin, pengajian dan takziah...”. Secara umum kebutuhan yang mesti dipenuhi dalam lapas menurutnya adalah (1). Baju dan sarung, (2) Makanan yang bergizi seperti daging, telur, buah, (3) Peralatan mandi, (4) Tempat tidur yang layak, kasur, bantal, (5) Hiburan yang lain: radio, olah raga Kedua kategori jawaban di atas menunjukkan adanya persepsi yang berbeda dalam mengisi kehidupan di lapas. Ada anak yang merasa bahwa kehidupan normal harus tetap berjalan karenanya lapas perlu memfasilitasi dengan berbagai sarana seperti yang tersedia di luar. Kategori lainnya menyatakan bahwa lapas adalah tempat untuk merenungkan kembali kesalahan mereka dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu fasilitas dan kegiatan terkait seharusnya mencukupi. Selain kebutuhan selama di lapas, Arif juga mengidentifiksi sepuluh kebutuhan sesudah bebas dari lapas nanti: (1). Butuh modal buat usaha kecil-kecilan, (2). Uang, (3). Pelatihan ngeband, 30 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
(4). Dorongan untuk maju, (5). Bimbingan kursus, (6). Butuh semangat, (7). Butuh motor untuk bekerja, (8). Butuh bantuan uang, (9). Pengen punya usaha warung di rumah, (10). Pengen punya usaha angkutan bus. Tigkat dan jenis kebutuhan Arif menunjukkan orientasinya pada kehidupan kekinian dan materi yang barangkali bisa ditelusuri dari gaya hidup Arif yang hedonis sebelum masuk lapas. Oleh karena itu sesudah keluar, nampaknya, ia ingin mengembangkan pemenuhan kebutuhan duniawinya. Investasi yang ia bayangkan lebih ke pekerjaan, karir dan akumulasi kekayaan. Ini berbeda dengan Agung Ipung yang setelah nanti bebas ingin, “...sekolah pelayaran...”, untuk mencapai cita-citanya. Hal yang serupa diceritakan Andi dan Agung Buchori yang mempunyai rencana investasi di bidang pendidikan. Selepas tahanan Andi ingin,“...mengikuti kursus bengkel, ingin sekolah lagi...” sementara Agung Buchori “...ingin meneruskan pendidikan setinggi mungkin, Kursus komputer ma English/Spain, Meneruskan kegiatan tuk main game online ma menggambar dan menulis...”. Walaupun unsur permainan juga menjadi harapannya setelah ke luar namun investasi di bidang pekerjaan kreatif cukup tinggi pada dirinya.
31 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
BAB IV. Kapasitas Kelembagaan Penyedia Layanan
A. Lapas khusus Anak Kutoarjo Pak Rasyid (Kepala Lapas Anak Kutoarjo sejak pertengahan tahun yang lalu) dan Pak Taufik (Kepala KPLP) menjelaskan bahwa setiap anak ketika masuk lapas selalu ditempatkan terlebih dahulu di sel karantina selama sekitar seminggu. Selama itu, anak diberi sosialisasi mengenai peraturan lapas dengan secara lisan menerangkan hak-hak dan kewajiban mereka secara berulang-ulang setiap kesempatan. Mereka menyatakan bahwa anak tidak menerima salinan aturan tertulis tetapi dapat membaca peraturan tersebut di dinding/tembok sel di setiap blok. Walaupun demikia, Pak Taufik mengakui seringkali harus menterjemahkan maksud kata-kata dalam peraturan tersebut dalam bahasa yang lebih sederhana Melalui respons anak-anak SMA yang seringkali melakukan study tour ke lapas, Pak Rasyid yakin bahwa anak didiknya paham arti kehidupan di lapas, “...ada testimoni dari anak-anak kalau hidup di lapas itu susah, diluar lebih enak”. Pernyataan itu diucapkan anak didik ke siswa SMA yang berkunjung dengan harapan mereka tidak membuat kesalahan sehingga harus masuk lapas. Ketika datang pertama kali, seorang anak, menurut Pak Rasyid akan diperiksa kesehatan, fisik dan usianya. Pemeriksaan adminsitrasi terkait usia sangat penting karena lapas harus memastikan batasan usia anak. Pernah ada kasus keluarga anak negara mengklaim usia anak sudah 21 tahun, artinya ia harus dibebaskan. Mereka mengajukan data dari Akta Kelahiran. Tetapi Pak Rasyid tidak menjadikannya pertimbangan, “ saya memakai dasar hukum yang mempunyai kekuatan tetap yaitu berita acara pemeriksaan polisi dan putusan hakim...”. Sebagai Kepala KPLP, Pak Taufik menjelaskan bahwa urusan menerima, mengarahkan dan menentukan sel tahanan berada di bawah kendalinya. Oleh karena itu dia menegaskan bahwa setiap anak yang masuk lapas Kutoarjo diteliti terlebih dahulu administrasi kasusnya. Anak-anak dipisahkan selnya berdasarkan kasus. Menurutnya, klasifikasi ini sudah baku, ada aturannya. Hal yang menjadikan pertimbangan tambahan adalah menghindarkan anak berkumpul hanya dengan kelompok asal mereka saja. Sering terjadi bentrok antar sel yang dasarnya adalah daerah asal. Oleh karena itu, secara berkala komposisi penghuni sel pidana diacak. Lapas Kutoarjo mempunyai kapastias 116 orang sehingga kalau sekarang ditempati 102 anak artinya masih dalam batas normal. Sel tahanan sudah disiapkan dengan baik, demikian pula dengan perawatan sehari-hari. Anak-anak dibekali dengan alat-alat kebersihan dan jadwal membersihkan sel. Fasilitas yang disediakan meliputi tikar, karpet dan kasur palembang. Secara teratur barang-barang itu dibersihkan dan dijemur. Anak-anak tidak diperbolehkan membawa barang-barang apapun kecuali baju. Barang-barang pribadi disita dan disimpan lapas untuk dikembalikan saat mereka keluar. Beberapa bulan lalu, menurut Pak Rasyid, lapas sempat memberikan toleransi untuk setiap kamar menyimpan radio. Namun akhir bulan Oktober 2010, saat hujan abu Gunung Merapi, ada tahan lepas dengan 32 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
menggergaji terali besi. Suara gergaji disamarkan oleh suara radio. Setelah itu radio sempat dilarang, namun sekarang sudah diijinkan lagi. Secara diam-diam, ada juga penghuni yang memiliki telepon genggam. Setiap kali pemeriksaan telepon itu disimpan di langit-langit sehingga susah ditemukan. Aliran listrik diperoleh dengan mencuri listrik dari lampu di sel. Pak Rasyid mengaku sering kagum dengan kemampuan anak mencuri listrik, sering dengan hanya seutas kawat kecil mereka menyambungkan listrik dari lampu ke charger telepon mereka. Anak-anak mendapat pendidikan di lapas melalui program kejar paket. Dari hari senin sampai kamis mereka belajar di ruangan kelas yang disediakan di bagian belakang kompleks lapas. Pak Rasyid menengarai ada anak yang buta huruf saat ada sebuah penelitian dari pelatihan yang mensyaratkan anak mengisi lembar pertanyaan pre-test. Saat itu petugas menjumpai seorang anak yang tidak bisa menulis kecuali menuliskan namanya. Sesudahnya anak tersebut diberi latihan khusus membaca oleh rekan-rekannya. Menurut Pak Bambang (52 tahun, Kepala Bimkesmas Lapas Kutoarjo) di lapas tersedia program Kejar Paker A, B dan C, “ya waktu saya dateng belum (maksudnya belum ada paket A dan C), jadinya hanya satu B…alhamdulillah pas saya masuk, kerjasama dengan ibu lestari, A bisa, C bisa, tadinya B aja…saya masuk 2009 September”. Saat ini sedang dirintis membuat sanggar kegiatan mandiri dengan pengelola pegawai lapas yang memiliki kualifikasi pendidikan sesuai. Anak-anak yang lulus dari program kejar paket dan kursus di lapas memperoleh ijazah dan sertifikat yang menenrangkan jenis kursus tanpa mencantumkan lokasi di lapas. Pelatihan dilakukan tidak berkala, seringkali tergantung pihak luar yang mempunyai rogram di lapas. Pelatihan karawitan, misalnya, merupakan inisiatif STSI Solo karena mereka mempunyai program pelayanan sosial ke lapas. Sesudah program selesai, maka pelatihan juga selesai. Seorang mahasiswi STSI dari Jepang yang melihat pentingnya program tersebut sesekali masih datang dengan biaya sendiri untuk melatih. Dari anggaran lapas alokasi untuk pelatihan sangat terbatas. Untuk kegiatan pelatihan yang paling sering mereka bekerjasama dengan PKBM Sawunggalih yang lokasinya bertetangga dengan lapas. Terkait dengan program pelatihan yang tidak reguler, Pak Bambang menjelaskan bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan koordinasi Kantor Depnaker. Pihak lapas mengajukan proposal kegiatan dan kantor Depnaker memfasilitasi dana dan instruktur. Sayangnya, seringkali proposal tidak diterima atau diterima dengan penyesuaian, “banyak, memang mengajukan beberapa proposal biar dia latihan, mebler, kerajinan-kerajinan, sablon…nah kemaren saya minta mebel ternyata yang keluar dapetnya membuat makanan…”. Pak Bambang menduga hal tersbeut terjadi karena di Kantor Depnaker juga ada program dan alokasi dana yang sudah baku, “ya karena kan disana mungkin jatahnya abis, ya saya pikir apa ajalah yang penting anak bisa trampil ada pembinaannya…”. Ada dua buah perpustakaan yang ditempatkan di lantai dua, ruang serbaguna tempat latihan musik dan karawitan dan satu lagi di ruang pembinaan. Keduanya lebih banyak berisi buku-buku pelajaran untuk materi kejar paket. Setiap anak yang mengikuti program kejar paket diperkenankan mengakses koleksi perpustakaan. Pak Rasyid yakin bahwa bekal pendidikan dan ketrampilan dari lapas dapat dipakai di masyarakat. Minimal anak mempunyai satu bidang 33 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
ketrampilan. Demikian pula denan Pak Taufik; ia mengaku sangat kaget ketika suatu saat berada di kota Wonosobo dan disapa oleh seorang montir di bengkel. Montir itu menjelaskan bahwa ia mantan penghuni lapas Kutoarjo yang merasa beruntung memperoleh ketrampilan selama dala lapas sehingga setelah bebas dapat membuka usaha bengkel. Terkait dengan bekerja selama di lapas, Pak Rasyid berpegang pada aturan yang mengatur jenis pekerjaan bagi tahanan anak. Merujuk pada aturan tersebut ia menegaskan bahwa anak-anak tidak boleh bekerja dan mendapatkan upah dari pekerjaan tersebut; mereka hanya bekerja dalam konteks latihan. Salah satu implikasinya adalah jasa cuci mobil-motor yang selalma ini dikelola lapas dengan mempekerjakan anak ditutup. Tadinya anak-anak menerima upah 5000 untuk mencuci mobil dan 1000 untuk motor. Uang tersebut sepengetahuannya dipakai untuk membeli jajan di koperasi lapas. Sekarang jasa cuci mobil-motor itu sudah buka kembali tetapi dengan sistem sewa dan dikelola operator dari luar tanpa pekerja lapas. Sarana olahraga cukup tersedia di dalam lapas: lapangan bola voli dan bulutangkis yang berada di ruang terbuka di halaman dalam lapas. Untuk kegiatan lain yang terkait dengan ketrampilan, anak dibebaskan untuk memilih jenis pekerjaan tertentu. Lapas mempunyai usaha pembuatan kon-blok yang bengkelnya ada di belakang blok C tetapi masih di halaman kompleks. Empat posisi juga diberikan pada anak untuk membantu di dapur. Pelayanan agama diberikan terbatas kepada anak pemeluk agama Islam, Kristen dan Katolik dengan prioritas pada yang beragama Islam karena jauh lebih banyak. Mereka dikumpulkan setiap minggu untuk pengajian dengan ustadz dari Departemen Agama. Ada kerjasam antar kedua instansi untuk pembinaan mental-keagamaan. Setiap hari Rabu selama sekitar dua jam ereka diberi santapan rohani. Sejak awal tahun lalu, Pak Rasyid melihat bahwa ada kelompok organsisasi lain yang masuk dan ikut memberikan bimbingan mental spriritual melaui pengajian. Ia tidak begitu jelas asal kelompok itu, tetapi sudah ada sejak ia menjabat, “...orang-orang berjenggot yang memberi ceramah agama”. Walaupun tidak reguler tetapi mereka kerap datang di hari Selasa. “Susah ya menolak kedatangan orang untuk dakwah...jadi kita pantau saja”. Karena kekhawatiran penyalahgunaan misi dakwah, beberapa kali lapas tidak mengijinkan kelompok tersebut memberi pengajian dengan alasan sedang ada kegiatan lain. minggu lalu pengajian selasa ditiadakan kaena petugas tidak memberi ijin. Tidak ada argumentasi atau pertanyaan dari kelompok yang biasanya datang 3-4 orang tersebut, mereka langsung pergi dan menyatakan akan kembali lagi minggu depan. Tiga bulan yang lalu, di akhir tahun, lapas Kutoarjo menerima paket fasilitas kesehatan yang lengkap. Dua buah tempat tidur, meja dan kursi petugas, bangku pasien, tabung oksigen dan peralatan medis standar diperoleh dari anggaran mereka. Dengan peralatan ini lapas dapat melayani kesehatan anak didik. Kerjasama dengan Puskesmas Kutoarjo dilakukan untuk memfasilitasi tenaga dokter di lapas. Dua kali dalam sebulan seorang dokter datang dan memeriksa anak-anak. Petugas medik di lapas, Oky (28 tahun) menjelaskan kerjasama yang dijalin lapas dengan puskesmas dan rumahsakit Palang Biru dalam melayan kesehatan narapidana. Ia berkisah bahwa 34 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
kerjasama itu tidak selalu mulus, beberapa kali salah paham terjadi, misalnya antara dirinya dan dokter puskesmas yang ditugaskan ke lapas. Menurutnya, kesalahpahaman itu disebabkan oleh sikap keras dan tinggi hati dokter. Ia pernah terlibat pertengkaran mulut yang berakhir dengan peang dingin saat menangani seorang pasien. Ada keluhan dan gejala sakit liver, badan si sakit mulai menguning. Ia berinisiatif melapor ke dokter tetapi justru ia mendapat omelan karena dianggap lalai mengamati kondisi tahanan. Tidak terima dengan tudingan itu, mereka bertengkar. Ujungnya kerjasama dengan puskesmas sempat terputus beberapa bulan. Lapas mengandalkan paramedis internal dan berkonsultasi ke dokter praktek swasta kalau ada masalah. Ketika kepala puskesmas Kutoarjo ganti, lapas kembali menjalin kerjasama dan sudah dua bulan ini berjalan dengan lancar. Kondisi kesehatan pasien umumnya baik, tidak ada penyakit dalam yang mengkahwatirakn kecuali pada kasus gejala liver di atas. Hasil pemeriksaan medis ketika anak berobat tercatat rapi dalam karti berobat yang memuat nama dan informasi pasien, tanggal kunjungan dan dilengkapi dengan anamnese, diagnosis dokter dan terapi obat yang diberikan. Semua anak yang berobat di klinik juga diregister dalam buku tersendiri oleh Oky. Hampir semua tahanan terserang penyakit kulit, bintil-bintil kecil dan banyak yang berkerumun di sekitar tangan, sela-sela ketiak dan pangkal paha. Penyakit kulit yang didiagnosis sebagai scabies ini menurut Oky disebabkan oleh kebersihan yang kurang, “anak-anak itu tidak tau hygiene...”. baginya dapat dimenegrti bila tahanan tidak begitu peduli dengan kebersiahan, “anak kecil aja susah sekali disuruh mandi, apalagi mereka...”. Semula ada dugaan bahwa sumber air bersihlah penyebab penyakit ini. Lapas kemudian mengganti sumber air dari sumur dengan air dari PDAM. Upaya ini tidak begitu efektif mengurangi tingkat jangkit scabies; tetap tinggi. Bahkan menurut anak-anak, air PDAMnya tidak asli karena masih berbau kaporit. Menurut Oky anak-anak itu curiga bukan air PDAM yang mereka konsumsi tetapi air sumur yg dibubuhi kaporit oleh petugas. Sakit dan penyakit seringkali menjadi alasan bagi anak di lapas untuk mendapat perhatian, bernteraksi dengan orang lain atau kalau beruntung malah dapat keluar lapas periksa ke rumahsakit. Oky menceritakan bagaimana seorang anak tiba-tiba mengeluh sesak nafas dan asmanya kumat. Karena terlihat parah, anak itu dikonsul ke dokter di puskesmas. Setelah dirawat sebentar, diberi oksigen, nafasnya mulai teratur. Petugas puskesmas tahu kalau di lapas ada fasilitas oksigen sehingga mengirim balik anak itu ke lapas dan dirawat di lapas. Beberapa saat setelah itu kondisinya membaik. Oky menduga anak itu tidak sungguh-sungguh sakit atau hanya mendramatisir keadaan dengan harapan akan dirawat di luar, “begitu tahu bisa dirawat di sini ya sembuh...”. Kondisi kesehatan anak, terutama bila sakit yang sekiranya berat selalu dikabarkan ke keluarga; sementara dalam lapas, wali selalu memantau anak-anak mereka. Di sisi lain, kondisi dan kabar mengenai keluarga anak diperoleh terutama saat besuk, tetapi bila ada keadaan darurat, lapas membuka diri untuk menyampaikan kabar keluarga pada anak. Bila ada keluarga atau kerabat yang sakit atau meninggal dunia, selama masih adalam batas yang diijinkan oleh peraturan, lapas tidak keberatan untuk mengijinkan anak berkunjung. Namun selama menjabat di Kutoarjo, Pak Rasyid belum menemukan permintaan ijin demikian. Kontak dengan dunia luar sangat dibatasi di lapas. HP dilarang digunakan, telpon umum tak tersedia. Anak-anak menerima informasi mengenai kondisi keluarga terutama dari kesempatan 35 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
besuk. Informasi lain sering juga diberikan melalui pelayanan sms dari petugas kepada keluarga. Pak Rasyid menjelaskan bahwa mekanisme ini tidak standar karena HP dilarang penggunaannya di lapas. Ia menyatakan akan memikirkan adanya telepon umum di lapas. Anak yang ingin berkirim surat difasilitasi melalui wali. Waktu besuk dialokasikan selama dua hari seminggu yaitu Senin dan Kamis setiap jam kerja antara pukul 07.00-13.30. Dalam kenyataannya seringkali petugas memberikan kesempatan pengunjujng yang datang di luar waktu tersebut untuk menemui tahanan, terutama bila mereka baru datang pertama kali atau karena rumahnya jauh. Fasilitas media massa yang dapat dinikmati bersama adalah sebuah TV di satu sel yang digunakan sebagai ruang TV. Radio ada di hampir semua kamar. Koran dan majalah terbatas jumlahnya, biasanya diawa pembesuk Untuk kepentingan pendidikan, ibadah dan kegiatan lain di luar lapas, Pak Rasyid menyatakan dalam peraturan memang tidak diperbolehkan. Apalagi fasilitas pendidikan sudah disediakan di lapas. Seringkali juga anak-anak mengikuti pertandingan olahraga dalam rangka 17-an. Siswa sekolah yang menjadi lawannya datang ke lapas dan mereka bertanding. Sebalikanya anak dari lapas tidak bertanding di sekolah lain. Salah satu cara untuk melihat dunia luar adalah dengan bekerja dalam korve tertentu. Pak Taufik menceritakan bagaimana anak yang bekerja sebagai korve pembuatan konblok untuk mengangkut pasir dan semen, secara sangat terbatas memperoleh kesempatan keluar penjara untuk mengangkut material ke dalam. Itu pun mereka terus diawasi dengan ketat dan masih di halaman depan kompleks penjara. Satu hal yang sampai sekarang dirasa berat oleh Pak Taufik adalah penerapan pola pembinaan pada anak. Hukuman fisik dan kekerasan yang sekiranya mengganggu perkembangan mental dan kepribadian dilarang sama sekali. Hanya batasan untuk itu seringkali tidak operasional. Karenanya petugas hanya menerjemahkan sebagai, “...tidak boleh mukul, mencubit...nampar”. Di sisi lain ia menjelaskan bahwa sebgian anak dibesarkan dalam budaya kekerasan di jalanan, “...susah ngomong baik-baik ke mereka...seperti hanya lewat saja omongan kita”. Sekalipun demikian ia tetap meminta bawahannya memperhatikan aspek penanganan anak ini sesuai dengan aturan. Ketika disinggung mengenai pemukulan yang sering diterima anak sebagai hukuman, Pak Taufik menyatakan sudah tidak ada lagi. Tapi ia mengakui praktik tersebut tidak sama sekali hilang, “yaaa...begitu memang. Anak butuh orang yang ditakuti...iya Pak XXX itu yang sering nggulung kalo kata anak-anak ya...”. Peran petugas yang ditakuti seperti Pak XXX ini menurutnya penting sebagai penyeimbang karena pola pembinaan yang persuasif belaka ia yakin tidak akan sepenuhnya efektif. Harus tetap ada sosok yang disegani atau ditakuti. Oleh karena asumsi bahwa perlu ada tokoh yang ditakuti anak-anak, Pak Taufik mentolerir tindakan Pak XXX menerapkan sanksi fisik kepada anak yang melanggar aturan. Sekalipun begitu ia tetap mengontrol agar aksi tersebut tidak membahayakan anak. Pelanggaran yang sering menimbulkan sanksi fisik biasanya bersifat berat, seperti perkelahian, pemukulan/penganiayaan terhadap tahanan lain dan lari/mencoba lari. Bagi Pak Rasyid, pengalamannya bertugas di beberapa lapas membuat paham bahwa penanganan tahanan anak dan dewasa itu berbeda. Menurutnya di lapas tidak boleh ada kekerasan fisik pada anak. Memberikan hukuman sebagai sanksi atas pelanggaran juga harus 36 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
terkontrol. Paling sering adalah dengan menyuruh anak-anak lari atau push up; sementara yang paling berat adalah dengan memasukkan mereka ke sel isolasi selama enam hari, “bawa ke sel tutupan sunyi...”. Sementara Pak Taufik beruntung sempat mengikuti lokakarya tentang penanganan tahanan anak. Apabila ada tindakan rekan atau petugas lapas yang tidak disukai tahanan maka ia berhak lapor ke wali. Wali kemudian membahas masalah itu dengan kalapas. Selama ini belum ada laporan mengenai keberatan anak atas perlakuan rekan maupun petugas. Pak Rasyid menjelaskan bahwa ada beberapa lembaga, seperti Setara Semarang yang memberikan dukungan pada anak yang bermasalah, sejak ditangkap, diadili maupun selama di lapas. Dari seorang aktivis Setara terungkap bahwa ada kegiatan pendampingan pada anak yang dilakukan sebuah konsorsium yang antara lain terdiri dari Yayasan Samin Yogyakarta dan Setara Semarang. Kerjasama dengan Lapas Kutoarjo itu berlangsung dari bulan Juli 2006 sampai JUli 2007 dalam bentuk fasilitasi pendidikan alternatif. Kunjungan aktivis Samin dan Setara dilakukan empat kali sebulan setiap akhir pekan. Walaupun sebagian besar kurang ekspresif menyampaikan pendapat, tetapi metode menuliskan cerita dalam kertas. Berhasil mengungkapkan pengalaman pribadi dalam bentuk simbol, misalnya pernah ada anak yang ketika diminta menggambarkan suasana hati ketika di dalam lapas dia menggambar pohon beringin. Ketika ditanya, anak menjelaskan bahwa ia sangat membenci gambar tersebut karena merupakan salah satu simbol yanga ada dibaju petugas lapas. Anak tersebut sering mendapatkan hukuman fisik dari petugas jalan bebek dan push up. Saat melakukan hukuman itu anak melihat gambar pohon beringin yang ada di baju lengan kiri petugas. Menjelan bebas, anak diantar ke Bapas atau ada petugas Bapas yang datang untuk memfasilitasi anak kembali ke masyarakat. Menurutnya, Bapas akan bekerja dalam jangka waktu tertentu, yaitu memantau perkembangan mereka sampai satu tahun setelah bebas murni atau satu tahun plus 1/3 asa hukuman bagi yang menerima PB. Fasilitasi itu lebih berupa pemantauan kondisi anak. Persoalan tempat tinggal, sekolah dan pekerjaan biasanya diserahkan pada keluarga. Dalam hal keluarga atau lingkungan tidak menerima, lapas Kutoarjo pernah mengarahkan anak tinggal di saudaranlain yang mau menerima. Ia menceritakan anak yang menerima PB, dan untuk itu perlu surat dari penjamin dan kelurahan. Surat dari penjamin tidak begitu mudah diperoleh karena tidak banyak orang/lembaga yang mau menerima mantan napi. Kasus yang dia ceritakan menima anak yang Kepala Dssanya bersedia menandatangani usulan PB tetapi meminta anak itu untuk tinggal di luar desa. Beberapa petugas mempunya kualifikasi tertentu, di lapas Kutoarjo ada dua orang dengan gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) tetapi tidak bertugas di bagian pembinaan. Umumnya gelar tersebut diambil untuk mengejar titel sarjana agar karir dapat meningkat. Pak Taufik, misalnya, menyandang gelar Sarjana Pendidikan namun gelar tersebut tidak begitu relevan dengan posisi Kepala KPLP. Pengetahuannya mengenai pendidikan baru operasional ketika isunya dikaitkan degan pembinaan anak di lapas; sebagai penanggungjawab keamanan lapas, pengetahuan itu membuatnya mampu memahami tahapan perkembangan anak. Tambahan pengetahuan mengenai anak-anak ia peroleh ketika tahun lalu mengikuti kursus mengenai psikologi dan perkembangan anak yang dikaitkan dengan isu hak-hak anak. Kursus yang terdiri dari tiga kali workshop selama 37 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
rentang 6 bulan ini diselenggarakan oleh Universitas Surabaya bekerjasama dengan Plan Fondation. Dari sini Pak Taufik mendapat bekal tentang pentingnya penanganan napi anak secara tepat sesuai umur, “mereka masih rentan...sedang membentuk pengalaman menjadi dewasa”. Di Lapas Kutoarjo ada juga seorang petugas yang mempunyai sertifikat instruktur untuk meubelair. Tidak ada yang berkualifikasi pekerja sosial dan yang berlatarbelakang psikologi. Akan tetapi Pak Rasyid mengatakan ada beberapa yang tadinya bekerja di Departemen Sosial sebelum akhirnya bubar dan bergabung dengan Depkumham. Semua petugas yang berdinas di lapas Kutoarjo sudah menjadi pegawai tetap, tidak ada yang berstatus magang atau honorer. Mereka direkrut melalui pendaftara untuk formasi PNS di lingkungan Depkumham dan ditempatkan berdasar SK. Jenjang karir dan kepangkatan sesuai dengan peraturan yang berlaku Menurut Kalapas, besaran gaji, kompensasi dan tunjangan khusus diberikan sesuai dengan pangkat dan golongan pegawai. Gaji mengikuti standar penggajian PNS tetapi ada klasifikasi tunjanganpemasyarakatan sekitar 200-300.000,- perbulan dan tunjangan resiko yang besarnya diatur berdasarkan fungsi pegawai. Sipir atau penjaga menerima tunjangan resiko yang sama yaitu 600.000,- pebulan, bagian administrasi dan teknis menerima 400.000,- dan tatausaha menerima 350.000,-. Pak Taufik menyatakan dapat menerima gaji dan insentifnya sebagai Kepala KPLP. Isu mengenai pungutan pada pembesuk dan uang pelicin untuk mengurus status penghuni lapas menurutnya mungkin saja muncul. Tetapi ia melihat itu sebagai omongan orang luar saja, bukan sesuatu yang parah, “bukan korupsi, istilahnya hanya tanda terimakasih...”. Dia meyakinkan bahwa tidak ada pungutan bagi pembesuk. Tidak seperti Pak Taufik, dua petugas menyatakan bahwa lapas Kutoarjo adalah tempat yang minus untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Pak Bambang sempat kaget dan merasa kecewa ketika ditempatkan di Kutoarjo; sebelumnya ia bertugas di rutan Purworejo. Di rutan, menurutnya, banyak sumber pendapatan sampingan, “pernah dulu sampai ada dua mantan bupati yang masuk…mereka butuh fasilitas saya yang kasih…”. Pak Bambang bercerita betapa para mantan pejabat itu masih membutuhkan suasana kerja kantor di lapas. Walaupun hanya untuk membaca koran, seorang mantan bupati, menurutnya, perlu meja dan kursi. Maka, setiap pagi sesudah membereskan laporan administrasi, meja dan kursi di kantor Pak Bambang diserahkan pada sang mantan bupati untuk berkantor. Dari „penyewaan‟ meja-kursi ini Pak Bambang dapat komisi cukup tinggi, sampai 25.000 rupiah perhari. Ketika pindah ke lapas Kutoarjo, sekalipun naik jabatan dan pangkat, sambil tertawa Pak Bambang mengatakan tidak ada sama sekali penghasilan sampingan, “Iya itu…saya promosi di sini, tambah pangkat saya…tapi rejeki mah seret…makan tuh jabatan..…”. Lain lagi pendapat Oky yang sempat berkunjung ke lapas Nusakambangan dan melihat bagaimana petugas memperoleh peluang mendapat penghasilan tambahan. Kondisi yang sama sekali tidak ia rasakan selama bertugas di Kutoarjo. Dalam sebuah wawancara terkait dengan eksistensi lapas anak, ia menguaraikan keberatannya dengan berbagai alasan terkait dengan HAM dan perkembangan anak. Namun jawabannya kemudian melenceng ke arah kesejahteraan petugas, “betul itu pak...bubarkan saja lapas anak...biar aja mereka ke panti sosial...nanti 38 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
karyawannya kan bisa pindah tugas...ke nusakambanganlah, ke LP dewasa manalah...enak itu...teleeesss...”, katanya diiringi tawa. Ia menjelaskan bahwa kemungkinan mendapatkan penghasilan tambahan dari kutipan pengunjung atau sogokan dari napi di lapas anak-anak seperti Kutoarjo sangat kecil, sangat berbeda dengan di lapas dewasa yang „teles‟ (=basah)
B. Lapas Dewasa Kedungpane Semarang Kondisi lapas Kedungpane menurut Kalapas Kedungpane sudah melebihi kapasitas. Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Antara tanggal 13 September 2010, Nyoman Putra Surya menjelaskan, "Saat ini jumlah warga binaan di Lapas Kedungpane mencapai 742 orang yang terdiri atas 476 narapidana dan 266 tahanan sehingga ada kelebihan penghuni sebanyak 212 orang." Sebagai tindak lanjut, ia mengungkapkan rencana penambahan jumlah sel tahanan yang sudah melebihi kapasitas sebanyak 530 orang. Ada sebelas blok tahanan di lapas menurut Muhtadi, staf di Kedungpane, “Semua total tahanan sama napi ada sepuluh ehm sebelas blok. Sampai I-J plus blok pidsus pidana khusus depan itu” Terkait dengan sel untuk anak-anak, Pak Muhtadi, staf register lapas yang sudah bekerja di posisi tersebut selama 11 tahun dan sebelumnya selama 6 tahun di bagian penjagaan, menjelaskan bahwa lapas sebenarnya tidak memiliki sel khusus, “Kapasitas sebetulnya kita tidak punya blok untuk anak-anak ya, itu istilah dipisahkan dalam satu blok dengan orang dewasa tapi dipisahkan kamarnya saja.” Kamar tahanan untuk anak itu bukan prioritas sehingga ketika ada jenis tahanan baru, yaitu tahanan pidana tipikor, kamar anak dipindah, “Dulu kita tempatkan di blok J, karena sekarang blok J itu tipikor sekarang di pindah ke blok G”. Karena tidak dirancang untuk menampung tahanan anak, maka sel karantina untuk orientasi penghuni baru bagi anak juga disatukan dengan tahanan dewasa. Menurut Muhtadi hal itu disebabkan oleh jumlah tahanan anak yang sedikit dan hakekat penempatan tahanan anak yang hanya sementara atau titipan sebelum mereka dialihkan ke lapas anak di Kutoarjo, “Iya, karena istilahnya anak-anak jarang ya maksimal 5-7 anak, kayak kemarin kan banyak yang putus karena pidananya pendek. Nunggu berpa hari bebas, kalau yang putus tahunan kiat pindah ke blok napi dulu baru ditangguhkan dan kita usulkan ke kutoarjo.” Kalau ada anak dengan masa tahanan lama dan hukuman sudah putus, maka anak akan segera dikirim ke lapas anak Kutoarjo. Proses administrasinya bisa memakan waktu satu bulan karena harus melalui Kanwil Depkumham tetapi sepanjang masa tahanannya panjang (di atas satu tahun) permintaan pindah lapas itu selalu dikabulkan Setiap anak akan masuk ke sel karantina terlebih dahulu sebelum ditempatkan di sel mereka. Pada saat pertama kali masuk itulah, justru, mereka langsung berhadapan dengan penghuni dewasa. Muhtadi mengatakan bahwa pada masa awal petugas melakukan sosialisasi aturan secara lisan pada anak, terutama saat berada di sel karantina, “Ya kamu harus baik-baik jaga diri, nggak boleh, ya larangan-larangan, jangan sampai melanggar”. Aturan lisan tersebut dituliskan juga dan dipampang di tembok dinding blok tahanan, “Iya, secara lesan. Tapi kita tulis di blok juga...” Menarik untuk memperhatikan bahwa pada kasus anak-anak di Kedungpane di atas, umumnya mereka tidak mendapat salinan peraturan kehidupan di lapas. Padahal sejak setahun yang lalu, pada bulan Februari 2010, kepala Lapas Kedungpane, I Nyoman Putra Surya Atmaja. Bc.IP, SH., MH telah mengeluarkan Ketentuan Tentang Kewajiban dan Larangan bagi Narapidana dan Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang', yang selengkapnya berbunyi sbb:
39 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
HAK-HAK : 1. Mendapat pengayoman dan perlindungan terhadap segala ancaman baik dari luar maupun dari dalam lapas dan bilamana merasa ada ancaman melapor kepada petugas. 2. Mendapat pelayanan dan perlakuan yang sama. 3. Mengadakan hubungan dengan keluarga melalui surat-menyurat atau kunjungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 4. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau keyakinan masing-masing. 5. Memperoleh pendidikan dan ketrampilan dengan menggunakan sarana yang tersedia sesuai dengan peraturan yang berlaku. 6. Memperoleh premi,bagi yang bekerja pada bidang produksi yang menghasilkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 7. Bagi tahanan yang menginginkan bekerja dapat dilayani melalui surat permohonan. 8. Melakukan kegiatan sosial atau kemanusiaan. 9. Khusus untuk tahanan berhak mendapatkan kunjungan dari penasehat hukum,dokter pribadi dan rohaniawan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 10. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif. 11. Berkreatif untuk mengembangkan budaya kesenian,olah raga sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi negara (Pancasila dan UUD 1945) Lain-lain : 1. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini tetap berlaku ketentuan umum / perundang-undangan yang ada. 2. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan yang dimaksud dapat dikenakan tindakan / hukuman disiplin atau dikenakan sanksi dengan ketentuan hukum yang berlaku. 3. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal dikeluarkan dengan harapan diketahui dan dilaksanakan.
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menjaga ketertiban dalam lembaga pemasyarakatan. Menjaga kerukunan sesama penghuni. Memberi jawaban yang sopan dan menghormati semua petugas. Sanggup menerima bimbingan dari petugas. Menjaga dan memelihara semua barang-barang milik negara. Menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan agar terjamin kesehatannya. Wajib bekerja bagi narapidana, sedangkan untuk tahanan sukarela. Wajib menjalankan ibadah agama atau kepercayaan yang diyakini serta menjaga kerukunan beragama. 9. Membantu petugas dalam hal-hal tertentu bila diperlukan (sesuai dengan peraturan yang berlaku). 10. Melaporkan kepada petugas terhadap hal-hal tertentu yang akan menimbulkan keresahan antar penghuni. 11. Ikut mempertahankan ideologi negara dan UUD1945. 40 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
LARANGAN-LARANGAN : 1. Menimbulkan kegaduhan,keributan,keresahan yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban (suasana tidak kondusif) 2. Melakukan ancaman, kekerasan, penganiayaan dan perbuatan yang merugikan sesama penghuni. 3. Mengadakan persekongkolan untuk berbuat melawan hukum atau mengadakan pelarian dari lembaga pemasyarakatan. 4. Membawa uang dan benda-benda terlarang ( obat terlarng, narkotka, senjata tajam, korek api, dsb). 5. Mengadakan perjudian. 6. Merusak barang-barang milik negara atau inventaris. 7. Mengadakan jual beli barang bekas. 8. Mempemasalahkan perbedaan suku, ras maupun agama (berdasarkan pancasila). 9. Merusak kelestarian alam dan lingkungan. 10. Mendekati pos penjagaan dan ruang-ruang tertentu tanpa seijin petugas. 11. Merongrong kewibawaan pemerintah yang berdasarkan pancasila dan undang-undan dasar 1945 12. Dilarang keras membawa atau mempergunakan barang-barang elektronik ( hp, tv, rice cooker, kipas angin dll). 13. Dilarang keras merubah atau merusak menyambung aliran listrik yang telah ada. 14. Apabila barang-barang yang menjadi larangan tersebut masih dimiliki akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan barang tersebut disita untuk dimusnahkan.
Setiap anak mendapat fasilitas standar di kamarnya: tempat tidur, kamar mandi, sapu dan tempat sampah kecil. Tempat tidur dari besi dibuat seperti bertingkat; bagian atas untuk tidur dan bawahnya untuk tempat pakaian. Selama menjalani hukuman, anak boleh membawa pakaian mereka sendiri dan buku-buku bacaan. Senjata tajam dan benda logam yang mungkin dapat dipakai sebagai senjata dilarang keras masuk, demikian pula dengan alat komunikasi seperti HP. Petugas secara berkala melakukan razia untuk menyita barang-barang terlarang. Mereka yang melanggar, menrut Pak Muhtadi, “Ya diadakan pembinaan napinya...Ya kita kasih tahu kalau ini barang larangan jangan sampai sekali lagi melakukan lagi”. Tidam tertutup kemungkinan barang terlarang itu datang dari luar; pada para tahanan dewasa, pengunjung seringkali membawanya dan berkilah barang tersebut tertinggal. Namun seringkali ada memang yang meninggalkan narkoba dan mengedarkannya di lapas. Masalah tahanan narkoba memang cukup serius di Kedungpane. Menurut Muhtadi kapasitas sel yang hanya 51 untuk tahanan narkoba berisi dua kali lipat sekarang sehingga ia ragu bagaimana dengan kasus anak yang terkena kasus narkoba, “Waduh itu KPLP aku nggak tahu….seharusnya untuk 51 orang jadi seratus lebih sedikit bepra gitu, dua kali lipat. Makanya kalau ditaruh di narkoba ya sudah over kapasitas. Ya solusinya kita buang ke kutoarjo gitu kan.” Mengenai fasilitas rekreasi dan olahraga di lapas, menurut Muhtadi sudah cukup tersedia. Seperti yang telah diidentifikasi anak-anak di muka, Muhtadi merinci sejumlah fasilitas yang ada. Namun ia sadar bahwa keterlibatan anak dalam penggunaannya masih terbatas. Menurutnya ini tergantung pada
41 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
kemampuan anak, apakah mereka dapat bergabung main dengan tahanan dewasa, “Tapi gerek anaknya mampu apa nggak itu. Kayak tenis nggak mampu dia...voli kan nggak mungkin dia”. Kegiatan olahraga rutin yang selama ini dilakukan anak terbatas pada senam yang dilakukan setiap pagi dengan supervisi bagian bimpas. Walaupun sifatnya wajib tetapi tidak sanksi bila ada yang mangkir, “Ya, kita oprak – oprak wae, nggak ada sanksinya.”. Fasilitas dan kegiatan rekreasi dan olahraga untuk anak yang terbatas mengakibatkan anak hanya pasif di lapas. Pihak lapas mesti memikirkan kembali mengingat, walaupun sedikit, tahanan anak ternyata selalu ada dan butuh perhatian. Pengaturan kamar sel, waktu berada di luar dan kesempatan berolahraga mestinya dapat dilakukan justru karena jumlah anak relatif sedikit. Kesempatan bagi anak untuk bekerja dengan mendapat upah, menurut Muhtadi juga sangat terbatas, nyaris tidak ada secara formal. Ia melihat tidak adanya aturan untuk itu, di samping tahanan yang akan menghuni lapas cukup laa akan diarahkan untuk pindah ke Kutoarjo. Sekalipun begitu, sebagai kegiata produktif, anak dapat bekerja membantu petugas sebaga kurve dan tamping, “Kurve itukan, kurve itu seharusnya di situ kan yang membantu pegawai. Iya thow, membantu pegawai dalam arti pelaksanaan tugas pegawai kadang dibantu untuk, misalkan kurve bersih – bersih, bersih – bersih ruangan...Kalau tamping, ya itu pembantu pegawai untuk mengatur semua dalam satu blok itu”. Berdasar pengalaman bekerja di lapas Kedungpane selama sekitar 17 tahun, Muhtadi menilai lapas cukup rawan dalam hal penjagaan. Walaupun pengamanan ketat tetapi anagka tahanan lari cukup tinggi. Selama enam tahun di bagian penjagaan, sekitar 10-an tahanan lari. Mereka biasanya adalah tahanan yang sudah menjalani masa asimilasi sehingga penjagaan tidak begitu ketat. Ada saja alasan untuk lari, utamanya kejenuhan dan kesempatan yang muncul. Dalam hal pelarian demikian, kesalahan tetap ditimpakan pada petugas dengan kemungkinan hukuman atau sanksi berupa, “Penundaan pangkat, gaji berkala, penurunan pangkat, maksimalnya dipecat.” Sementara bagi napi, bila tertangkap akan masuk ke sel isolasi atau sel tius yang gelap dan sempit dalam jangka waktu tertentu. Masuk ke sel tikus ini merupakan mekanisme hukuman di lapas, mengingat lapas tak memiliki kewenangan menambah hukuman bagi napi yang melanggar sehingga hukuman tambahan diberikan dalam bentuk isolasi. Sebagai penjaga tahanan, Muhtadi pernah mengalami peristiwa pelarian napi, “Pernah. Yang tak jogo kuwi mlayu. Mlayu tapi posisi, baru ke luar blok mau menuju ke tembok....Udah konangan duluan. Tetapi apapun bentuknya walaupun berlum ke tembok, tetapi saya salahkan? Karena dia sudah ke luar.” Walaupun napi itu belum lari jauh dan kemudian tertangkap, tetap saja ia menerima sanksi tingkat ringan berupa teguran dan surat pernyataan untuk lebih waspada. Sebagai petugas blok, setiap petugas tahu persis pedoman berikut: (1) pintu blok harus selalu terkunci. (2) pintu kamar dibuka dan ditutup pada waktunya. (3) matikan lampu pagi sampai sore hari. (4) waspada bila penghuni sedang melakukan kegiatan. (5) yakinkan bahwa semua pintu sudah terkunci sebelum anda serah-terima. Kelima hal itu merupakan 'Petunjuk Petugas Blok' yang harus dijaga betul oleh setiap petugas. Kesalahan sedikit dapat berakibat fatal dan dianggap sebagai tindak indisipliner atau kelalaian petugas yang ada sanksinya. Di sisi lain, kemungkinan jenuh atau ada persoalan berat yang membat napi lari bukannya tak disadari petugas namun Muhtadi menjelaskan hal itu sebagai bagian dari hukuman. Lapas memang memiliki tenaga untuk mengatasi masalah demikian, ada kualifikasi petugas yang berlatar belakang psikologi. Namun, nampaknya petugas seperti Muhtadi belum begitu maksimal memahami pera psikolog, “Satu....Lha kan belum mesti ono sing edan. Paling edan yo siji , loro...”. Ia mengkaitkan profesi ini dengan orang yang mengurusi sakit jiwa kronis. Itupun hanya dimanfaatkan untuk tahanan dewasa, karena tahanan anak-anak memang bukan prioritas, Muhtadi menegaskan sekali lagi “Ini begini ya, kan bilang. Ini memang untuk napi dewasa, anak kan tidak di program untuk di situ. Setelah putus kita kirim ke Kutoharjo. Kan begitu, jadi kan ya tidak ada kita.
42 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Kapasitas petugas lapas Kedungpane ditinjau dari jenjang pendidikan relatif baik. Menurut Muhtadi, sekitar 35-40% petugas berpendidikan sarjana, sisanya SMA, “Sing SMP wae wong piro tok, saiki malah wis sekolah maneh”. Petugas berpendidikan magister tercatat ada empat termasuk kalapas, seorang kasie dan dua anggotanya. Upaya peningkatan pendidikan karyawan dilakukan individual sesuai dengan keinginan untuk meningkatkan karir, kepangkatan dan golongan gaji, bukan terutama untuk kepentingan lembaga lapas. Namun dalam pemahamannya, lapas Kedungpane termasuk lengkap karena ada petugas dengan latar belakang sarjana hukum, dokter, perawat, psikologi, ekonomi dan pendidikan; ada juga bahkan yang sarjana teknik, tetapi ia tak yakin apakah dapat disesuaikan jenjang kepangkatannya. Muhtadi juga menerangkan minimnya kursus dan peluang untuk meningkatkan ketrampilan tertentu yang terkait dengan pekerjaan di lapas. Sampai-sampai ia berpendapat kalu untuk urusan pendataan yang selama ini mengandalkan catatan pada buku harus dikomputerisasi pasti akan membingungkannya, “Ki ngene yo, kerjaan neng LP buku2 itu, Kalo mau dikerjake kayak modern, peralatan modern saiki malah kebingungan.” Jenjang kepangkatan pegawai lapas sesuai dengan jenjang PNS umumnya, yaitu promosi setiap empat tahun sekali. Sebagai pegawai golongan III-C, Pak Muhtadi mengaku bergaji tak lebih dari 3.7 juta termasuk berbagai tunjangan. Dengan satu anak berusia dua tahun dan satu istri menurutnya gaji tersebut harus dikelola dengan baik, karena minimnya penghasilan tambahan, “Dicukup – cukupke.Yo, cukup ala kadare.” Kepuasan kerja memang bukan hanya diukur dari gaji, menurut Muhtadi juga ditentukan oleh kemungkinan kita dapat mengaktualisasikan diri. Sekalipun dengan gaji yang sama, ia membandingkan masa kalapas lama lebih nyaman dibanding kalaas sekarang, “Ya kerja itu, istilahnya piye ya? Seakan – akan Kita berimprovisasi ki iso ngunu lho. Kita mau buat konsep seperti – ini – ini ok. Kalau Pak Nyoman , ndak , harus sesuai konsepnya dia.” Kalapas sekarang juga dinilainya tidak terlalu hirau dengan jam kerja, bisa sabtu malam atau minggu tetap masuk kerja. Menjadi petugas lapas menurut Muhtadi juga harus awas dan waspada jangan sampai terpengaruh oleh kejahatan yang mereka dengarkan dari penghuni sehari-hari. Ia mencontohkan bagaimana peluang untuk mengkorup uang atau menerima suap selalu ada, demikian pula dengan mengedarkan narkoba. Ia merasa mampu mengatasinya namun tidak menutup kemungkinan ada petugas lain yang terpengaruh. Misalnya, “.....kita kan tahu narkoba kan barang merupakan tindak pidana. Suatu contoh karena bujuk rayu, dia bisa membawa narkoba ke dalem. ...Heeh, ikukan otomatis dia di hukum. Karena satu dia bisa menjadi kurir, ikut – ikut membantu. Bisa itu. Pernah terjadi.”. Hukuman bagi petugas yang melanggar berjenjang mulai teguran, penundaan kenaikan pangkat, dipecat sampai diproses secara hukum dan masuk penjara Menilik penuturan petugas lapas, memang sukaduka dan tantangannya cukup berat. Media massa melaporkan adanya pungutan liar di lapas Kedungpane, “Reformasi hukum yang dilakukan oleh pihak terkait ternyata tidak banyak memberi perubahan, seperti halnya yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Kedungpane Semarang. Cerita mengenai pungutan liar di balik penjara yang selama ini beredar di masyarakat ternyata masih saja terjadi, namun memang ada sedikit perubahan agar tidak terlalu transparan. Uang di Lapas masih menjadi sesuatu yang mampu mengubah segalanya agar para penghuni bisa menikmati sejumlah fasilitas ilegal yang diduga disediakan beberapa oknum petugas Lapas yang tidak bertanggung jawab dan ingin memperoleh keuntungan pribadi.
43 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Ketika masuk, narapidana akan ditawari kamar sel seperti apa yang akan dihuni. Tentu saja hal itu ada tarifnya sendiri, seperti sel ukuran 2,5 x 3 meter dengan tarif sekitar Rp2 juta yang biasa dikenal sebagai blok elite dan terpisah dari narapidana lainnya”. (http://www.antarajateng.com, tanggal 23 November 2010) Berita-berita negatif mengenai lapas Kedungpane masih bertambah dengan cerita mengenai tahanan yang tewas karena sakit, bunuh diri, atau sakit; napi yang melarikan diri; petugas yang terlibat kejahatan atau yang meninggal di lokalisasi, dsb. Berita tersebut semestinya dianggap sebagai upaya pihak luar untuk memberikan perhatian pada kondisi lapas, walaupun memang sangat mencoreng muka para petuas terkait. Sejauh ini barangkali yang diparlukan, selain melakukan balasan klarifikasi melalui media juga melakukan pembenahan. Petugas di lapas Kedungpane yang tengah mendapat sorotan publik tentunya mesti lebih peka terhadap perubahan menuju kebaikan. Mereka perlu lebih membuka diri dengan dengan merujukan pada Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan1; dharma pertama jelas menunjuk posisi istimewa mereka sebagai abdi hukum yang bertugas sebagai pembina narapidana dan pengayom masyarakat. C. Bapas Semarang
Bapas atau Balai Pemasyarakatan merupakan sebuah lembaga di bawah Departemen Hukum dan Perundangan dengan visi “terwujudnya pembimbing kemasyarakatan yang professional, handal dan tanggung jawab untuk mewujudkan pulihnya kesatuan hubungan hidup, penghidupan dan kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, bapas menjadi mitra lapas yang bergerak di komunitas dalam rangka memulihkan interaksi sosial yang melibatkan mantan narapidana. Orientasi pekerjaan yang menjadi misi dari bapas adalah (1) mewujudkan litmas yang objektif, akurat dan tepat waktu, (2) melaksanakan program pembimbingan secara berdaya guna, tepat sasaran dan memiliki prospek ke depan, (3) mewujudkan pembimbingan klien pemasyarakatan dalam rangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan, serta pemajuan dan perlindungan HAM, (4) pendampingan klien anak yang berhadapan dengan hukum. Misi ini diwujudkan dengan (1) melaksanakan penelitian kemasyarakatan, (2) melaksanakan registrasi klien pemasyarakatan, (3) melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak, (4) mengikuti sidang peradilan anak di Pengadilan Negeri, Sidang TPP BAPAS, LAPAS dan RUTAN, (5) memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak didik dan klien pemasyarakatan, (6) melaksanakan urusan tata usaha BAPAS. Dalam penjelasan Falikha, petugas Bapas Semarang yang telah bekerja selama 11 tahun, bapas merupakan lembaga yang berwenang melakukan litmas atau penelitian kemasyarakatan, yang memverifikasi kebenaran informasi saat sidang atau untuk permintaan PB atau. Dalam hal PB, litmas dari Bapas memastikan antara lain, kalau anak keluar ada pihak keluarga atau orang lain yang menampung atau tidak. Bapas mencoba memastikan siapa yang menjadi penjamin bagi 1 Selengkapnya, Tri Dharma itu berbunyi: (1) Kami Petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana, dan pengayom pemasyarakatan, (2) Kami Petugas Pemasyarakatan wajib bersikap dan bertindak adil dalam melaksanakan tugas, (3) Kami Petugas Pemasyarakatan bertekad menjadi suri tauladan dalam mewujudkan tujuan Sistem Pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.
44 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
anak yang mengajukan PB, “Iya, penjamin istilahnya, itu kemana. Soalnya kalau begitu pulang dari LP kan memang harus dipastikan dia ada penjamin yang bener – bener bersedia menerima. Trus yang kedua, pihak masyarakat merespon ,menerima juga ngga gitu lho maksudnya di sana, apalagi untuk kasus-kasus yang persetubuhan , pemerkosaan itu memang harus ditanyakan ...Karena kalau masyarakat tidak bisa, tidak mau menerima, dari pihak kelurahan, atau pun dia tidak punya penjamin, itu tidak akan bisa mendapat PB.” Dalam melakukan kegiatannya, bapas seringkali menjalin kerjasama dengan lembaga lain, “Lha itu kan di profil Bapas udah ada. PNPM... bantuan modal usaha untuk dewasa. Kalau untuk anak dari LPK Permata itu...Lha ini lagi mau dirintis sama Diknas. Proposalnya belum masuk, baru dalam proses, itu nanti jadi, mereka yang kurang biaya untuk sekolah, diberi biaya untuk sekolah gitu lho. Tapi itu belum selesai baru tahap penjajakan”. Menurut Falikha, di Kedungpane jarang atau bahkan tidak ada permintaan litmas untuk anak, karena biasanya yang meminta litmas anak adalah lapas anak. Mereka yang harus diverifikasi adalah tahanan dengan kasus tergolong berat, “....Pembunuhan ada, persetubuhan, biasanya yang rata – rata hukumannya panjang kan pembunuhan dan persetubuhan. Nek pencurian itu sangat jarang...” Selain untuk keperluan vrifikasi data di saat sidang dan untuk PB, menurut Falikha hasil litmas mestinya juga dapat dipergunakan sebagai bahan pembinaan anak selama di lapas. “Ya bisa tho. Harusnya. Karena sebenarnya dulu sebelum peraturan yang ini, dulu kan ada bahwa litmas itu dilakukan lebih dari sekali waktu peraturan menterinya siapa aku lupa, sekarang tu ada peraturan Litmas cukup 1 kali.... “ namun sayangnya sekarang, “....sudah ditiadakan. Mungkin karena penghematan anggaran ya atau mungkin untuk lebih memper singkat prosedurnya, mungkin ya biar prosesnya lebih cepat gitu lho, karena dulu dulukan dihitungnya bukan dari masa penahanan, dihitung dua per tiganya bukan dari masa penahanan....”. Sekarang masa litmas dipersingkat dan hanya dilakukan untuk kepentingan PB dan CMB bagi kepentingan lapas; dan sesudah napi keluar, yang artinya sudah urusan Bapas. Peran bapas penting dalam hal ini karena PB diajukan oleh napi yang telah menjalani masa 2/3 hukuman, sisa 1/3 hukuman diawasi oleh bapas, “...Dalam bentuk home visit, trus kadang dalam bentuk kita, pas apa hubungan dengan penjaminnya, orang tuanya kan. Kadang- kadang pada saat itu kita berhubungan dengan RT nya. Pada saat itu kan kalo setiap kita melakukan home visit kan, kita pasti ketemu tokoh masyarakat di sana bagaimana...bagaimana anaknya ini....”. hal yang sama juga berlaku untuk yang mengajukan CMB; fasilitas ini merujuk pada masa sisa tahanan yang 1/3 dihitung dari remisi terakhir, bukan dari keseluruhan hukuman. Mengenai kaitan kerja antara bapas dengan isu anak, Falikha tidak melihat adanya program khusus. Ia mengakui hal itu semestinya penting dan bisa dilakukan bapas, tetapi sampai saat ini belum ada, “Sekarang mau, mungkin opo yo,ada petunjuknya untuk LP dewasa kan tidak ada jatah bagian untuk pembinaan anak. Iku aku yo gak mudeng kok, kesalahane terletak di mana kok sampai sepert itu...Belum bisa gitu, anak tidak boleh dipidana kan angel sekarang, masih belum bisa gitu. Trend anak tidak boleh dipidana masih bentuk pidana kan?...Kudune kan wis mulai memikirkan, ada pembinaan kusus untuk anak”. Ia menganggap sekarang saatnya untuk memikirkan pola pembinaan bagian tahanan anak 45 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Falikha sering merasa hubungan bapas dan lapas tidak begitu jelas dalam hal input dan output materi yang diperoleh dari litmas. Ia bisa saja memberi masukan untuk pembinaan anak di lapas, “...dengan memasukan saran-saran, nanti anaknya kalau dapat PB akan mau saya masukkan saya ikutkan begini, kalau itu saya akan ikutkan begitu. Tapi, inovasi-inovasi seperti itu belum bisa diakomodir, oleh pimpinan- pimpinan.... tapi ternyata tidak diperbolehkan dengan alasan memang belum ada ketentuan secara yuridis yang mengatur masalah seperti itu”. Pembinaan kepada tahanan anak menurut Falikha sama saja walaupun status hukumannya berbeda, “...sama podo kabeh...” Anak pidana bersyaat, yang tidak masuk lapas, pembinaannya dimulai segera setalah vonis dijatuhkan dan jaksa mengeluarkan P-51 sebagai bentuk penyerahan dari Kejaksaan ke Bapas. Sekalipun demikian, pengawasan tetap ada pada jaksa. Ketika diminta menjelaskan perbedaan status Falikha bergeming bahwa semuanya sama. Mengenai anak sipil, yang oleh orang tuanya diserahkan pada negara, ternyata tidak ada koordinasi dengan bapas, “Harusnya dinas sosial apa lembaga instansinya itukan mengirim laporan perkembangan anaknya itu ke kita...”. Sementara anak negara, dalam pandangan Falikha mestinya menjadi urusan negara untuk mebinanya dengan baik, bukannya ditempatkan di lapas, “...cuman masalahe nek isuk sekolah, nanti, domisilinya di LP. Tetapi tidak di terali besi....Sama aja thow, wong dee masuk ke dalam LP kok. Tidurnya kan di dalam LP....Haruse anak Negara kui di urusi oleh panti sosial yang punya pemerintah.” Apabila dalam pengadilan diputuskan bahwa anak bersalah namun pembinaannya dikembalikan pada orangtuanya, bapas juga akan memantau dengan pola serupa, “ Dalam pelaksanaan kegiatan, bapas membentuk TPP atau tim pengawas pemasyarakatan yang terdiri dari ketua, wakil ketua, dua sekretaris didampingi oleh 6 anggota yang terdiri dari unsur Kasi BKA (Bimbingan Klien Anak) dan BKD (Bimbingan Klien Dewasa) serta sejumlah tim teknis. TPP inilah yang bekerja mengolah hasil litmas dan meneruskannya sebagai program untuk memecahkan masalah. Sayangnya, seringkali hasil dan saran yang keluar sudah mengikuti format tertentu, tidak detail dan nyaris sama untuk kasus-kasus tertentu, “Musti isine podo kabeh, berdasarkan eh, sesuai kalo itu sudah sesuai adminstratif dan substantif maka, diusulkan pembebasan bersyarat nek ora diusulkan CMB wis ngono tok. Ora ono kepiye... Nanti ini kliennya bagaimana? Nak nanti ke luar mau diapake? Sudah punya rencana apa PK nya? Orak ono”. Menurut Falikha hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh sidang-sidang verifikasi hasil litmas yang terlalu banyak, sekitar 15-20 kasus setiap kali sidang. Biasanya sidang dilakukan dua kali dalam satu bulan, dengan jarak sekitar dua minggu. Pembahasan di TPP untuk pengajuan PB seorang napi juga berjalan singkat dengan standar yang sama, “Apabila persyaratan administratif dan substantif sudah terpenuhi, ya sudah diusulkan PB, CMB....”. Syarat mencakup catatan dari lapas yang berupa tidak adanya Register F, yang berisi catatan mengenai kelakuan anak dan catatan pelanggaran yang dilakukan mereka. Juga diperiksa kemungkinan adanya ekstra vonis yang membuat hukuman lebih lama. Menurut Falikha, TPP dapat juga berfungsi sebagai media untuk menerima keluhan dari warga binaan, namun sayangnya lembaga TPP di bapas Semarang ini seringkali hanya asal dibentuk untuk verifikasi data saja, bukan untuk fungsi lainnya. Akibatnya, keluhan dari warga binaan hanya dihadapi tim litmas tanpa ada kelanjutannya di TPP. 46 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011
Latar belakang pendidikan para petugas bapas umumnya masih kurang sesuai dengan urusan teknis pekerjaan. Falikha sendiri walaupun lulusan STKS mengaku bahwa ilmunya seringkali harus diperbaiki lagi. Memang ia mempelajari dasar-dasar psikologi dan mampu berkomunikasi di muka umum tetapi tetap harus diasah. Ia juga melihat beberapa petugas tidak sesuai latar belakang pendidikannya, “Yo ono, sarjana ekonomi dadi PK2 Trus kebanyakan dari SMA juga banyak. Jadi mereka menerapkannya metode-metodenya belum begitu paham, cuman saya menghargai niatnya”. Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini belum ada upaya dari lembaga untuk meningkatkan kapasitas mereka. Secara terbatas beberapa kali ada upgrading dari pusat tetapi hanya menjangkau sedikit petugas tanpa kriteria rekrutmen yang jelas dan terbuka. Ada tiga hal penting menurut Falikha yang mesti dimiliki oleh petugas kemasyarakatan, pertama integritas moral, lalu kemampuan berkomunikasi dan ke tiga kemampuan persuasif untuk mengajak piak lain bekerjasama. Khusus petugas kemasyarakatan yang mengurus klien anak, ia juga harus paham hak-hak dasar anak.
2 PK adalah pembimbing kemasyarakatan, petugas fungsional pemasyarakatan di Bapas yang diangkat Menkumham dengan tugas sbb: (1) Melakukan Penelitian Kemasyarakatan, (2) Menyusun laporan atas hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dilakukannya, (3) Mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna memberikan data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukannya, (4) Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal yang sedang diperiksa di pengadilan berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dilakukannya, (5) Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan, (6) Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil Penelitian Kemasyarakatan klien tertentu, (7) Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan, (8) Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada orangtua, wali dan orangtua asuh yang diberi tugas pembimbingan. Dan (9) Melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala BAPAS.
47 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011