PEMERINTAH KABUPATEN SELAYAR DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
PROJECT MANAGEMENT UNIT CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) TAHAP II KAB. SELAYAR
LAPORAN AKHIR LOKAKARYA AGENDA PENELITIAN
CV. PESISIR LESTARI SEJAHTERA Jl. Perintis Kemerdekaan VIII, Kompleks Unhas Blok GB-38 Tamalanrea, Makassar, 90245 Telp/Fax : (0411) 584014; email:
[email protected]
2006
Halaman Pengesahan Judul Kegiatan
: Lokakarya Agenda Penelitian
Pelaksana
: CV. Pesisir Lestari Sejahtera
Hari/Tanggal
:
Telah diperiksa dan disetujui oleh : Koordinator Komponen CRITC
Ketua Pemeriksa dan Penerima Barang
Irwan, S.Pi.
Satu Alang, S.Pd.
NIP. 950 001 698
NIP. 050 053 871
Diketahui oleh : Ketua Project Manajement Unit
Ir. H. Syarifuddin Tonnek, MS. NIP. 080 072 324
Kata Pengantar
Laporan
akhir
kegiatan
ini
disusun
sesuai
dengan
hasil
pelaksanaan lokakarya pada tanggal 9-10 September 2006 di Hotel Selayar Beach. Metode partisipatif digunakan dalam lokakarya ini, sehingga kapasitas dan peran aktif peserta sangat menentukan output kegiatan. Oleh karena itu peserta yang akan direkrut harus betul-betul sesuai dengan kriteria yang telah digariskan. Perusahaan CV. Pesisir Lestari Sejahtera, sesuai dengan missinya, ingin berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat. Kami tidak mungkin berbuat banyak, tanpa dukungan dari berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan COREMAP Kabupaten Selayar, terutama dalam menjaring informasi lapangan.
Terima kasih
banyak kepada para narasumber dan para peserta atas kerjasamanya yang baik selama lokakarya sehingga sasaran lokakarya dapat tercapai. Terima
kasih
banyak
atas
kepercayaan
Bapak/Ibu
panitia
COREMAP II Kab. Selayar kepada perusahaan kami untuk melaksanakan kegiatan lokakarya ini, semoga kami dapat memberikan hasil yang terbaik sesuai dengan penggarisan TOR yang ada.
.Kami menyadari bahwa
laporan ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kemajuan Selayar ke depan. Semoga bermanfaat.
Makassar, 16 September 2006 CV. Pesisir Lestari Sejahtera
Asep Suparman, S.Pi. Direktur Utama
ii
DAFTAR ISI Halaman Halaman Pengesahan ……………………………………………………
I
Kata Pengantar …………………………………………………………....
ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
iii
DAFTAR TABEL ..…………………………………...……………………
v
DAFTAR LAMPIRAN ………………………..…………………………… vi BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ……………………………………………… Tujuan ……………… ……………………………………….. Keluaran (Output) …………………………………………… Dampak (Out come) ………………………………………… Ruang Lingkup Pembahasan ………………………………
1 3 3 3 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………..………………………………
4
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Kondisi Terumbu Karang …………………………………. Terumbu Karang dan Produksi Perikanan ……………… Karakteristik dan Sifat Ekologi Ikan Karang …………….. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Berkelanjutan …. Database ......................................................................... Aplikasi SIG dalam bidang kelautan dan perikanan ......... Indikator Keberhasilan COREMAP ……………………….
4 6 7 9 10 11 13
BAB III. METODOLOGI …… …………………………………………….. 14 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6
Waktu dan Lokasi Kegiatan .……………………………..... Teknik / Metode Kerja ………………………………………. Teknik / Metode Analisa ……………………………………. Indikator ……………………………………………………… Susunan Pelaksana ………………………………………… Peserta Lokakarya …………………………………………..
14 14 15 16 17 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………..
18
4.1 4.2 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7
Informasi awal ………………………………………………. Pelaksanaan Lokakarya …………………………………… Issu-Issu Penelitian …………………………………………. Analisis Akar Masalah ……….……………………………. Analisis SWOT ……………………………………………… Rencana Penelitian Kedepan ……………………………… Pembahasan
iii
18 19 27 31 32 34 39
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..………………………………… 5.1. 5.2.
Kesimpulan …………………………………………………. Saran …………………………………………………………
44 44 44
PENUTUP …………………………………………………………… 44 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
45
LAMPIRAN ……………………………………………………………….
47
iv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Indikator keberhasilan proyek COREMAP ……………………
13
2.
Akar penyebab masalah ………………………………………..
31
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Makalah lokakarya
47
2.
Jadwal Lokakarya
142
3.
Daftar peserta lokakarya
143
4.
Daftar hadir peserta
144
5.
Daftar hadir pemakalah
146
6.
Daftar hadir tim perumus/moderator/panitia
146
7.
Daftar penerimaan seminar kit
148
v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Selayar sebagai salah satu lokasi Program COREMAP II (Coral Reef Management Project) tahun 2005 – 2009 merupakan Kabupaten Kepulauan yang terpisah dari pulau induknya, yakni Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Selayar sendiri terletak di Laut Flores dengan titik koordinat 5o42’ – 7o35’ lintang selatan (LS) dan 120o15’ – 122o30’ bujur timur (BT), dengan sebaran jumlah penduduk kurang lebih 107.000 jiwa yang tersebar pada sepuluh (10) kecamatan dan tujuh puluh dua (72) Desa dan Kelurahan. Sebagai Kabupaten kepulauan maka di daerah ini terdapat 123 pulau, 20 pulau diantaranya berpenduduk dan 103 pulau tidak berpenduduk. Dari 20 pulau yang berpendukduk terdapat 45 desa nelayan dan 42 desa diantaranya menjadi lokasi program COREMAP II tahun anggaran 2005 - 1009. Kabupaten Selayar yang berada pada wilayah sub tropis, memiliki luas areal terumbu karang kurang lebih 2000 Ha, dengan 375 jenis ikan pelagis, demarsal dan ikan hias dan empat (4) jenis penyu dari enam jenis penyu yang ada di dunia. Kondisi sumberdaya demikian ini selain dimanfaatkan
oleh
sebagian
mengundang
nelayan
daerah
besar lain
masyarakat (Andon)
pesisirnya,
melakukan
juga
aktivitas
penangkapan ikan. Bahkan untuk mengakselerasi perolehan sumberdaya, jenis alat tangkap dan armada penangkapan yang dimiliki oleh nelayan pendatang jauh lebih modern sehingga menimbulkan konflik sosial dengan nelayan lokal. Bahkan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan lokal maupun mendatang menggunakan metoda efektif tapi tidak ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan bom atau bahan kimiawi. Aktivitas tersebut dikenal sebagai Destructive Fishing Gear yang merusak terumbu karang yang terdapat di Kabupaten Selayar yang menurut penelitian Suharsono (2000) sebagian besar terumbu karang di Indonesia,
termasuk
di
Kabupaten
meprihatinkan.
1
Selayar
kondisinya
sangat
Program COREMAP II merupakan salah satu program nasional yang bertujuan merehabilitasi, melindungi dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan guna menunjang kesajahteraan masyarakat pesisir yang untuk wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan dipusatkan di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Selayar. Akar persoalan rusaknya ekosistem terumbu karang di Indonesia merupakan akibat kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat, kebijakan dan strategi pengelolalaan yang kurang tepat dan kelemahan kerangka perundang undangan dan penegakan hukum. Karenanya dengan
Program
pemulihan mengangkat
COREMAP
terumbu tingkat
karang
II
diharapkan
yang
kesejahteraan
terjadinya
selanjutnya masyarakat
akselerasi
diharapkan khususnya
dapat bagi
masyarakat pesisir (nelayan). Aplikasi program di harapkan melibatkan masyarakat luas, NGO dan lembaga pemerintah yang akan berkerja sama sebagai suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Kerusakan terumbu karang akibat aktivitas penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab berlangsung terus menerus dari hari ke hari (wawancara lapangan di sekitar kawasan taman laut taka bonerate dan informasi dari jagawana). Apabila hal tesebut dibiarkan berlanjut terus, maka dalam waktu yang
dan tidak terlalu lama, taka bonerate yang
merupakan kebanggaan kita, hanya tinggal kenangan.
Sementara
nelayan yang berada di sekitar wilayah pesisir, tinggal gigit jari meratapi kondisi sumberdaya yang tidak lagi dapat menunjang kehidupannya. Sebelum kondisi tersebut terjadi, mari kita bersama-sama sadar bahwa wilayah terumbu karang dan sumberdaya yang ada di dalamnya harus dijaga eksistensi dan keberlanjutannya. Tolok ukur dari keberhasilan COREMAP di lapangan adalah : luasan terumbu karang hidup, CPUE dan pendapatan nelayan meningkat. Untuk mencapai target tersebut diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. lokakarya ini dilaksanakan.
2
Atas dasar inilah maka
1.2. Tujuan Tujuan kegiatan ini adalah menggali dan menggalang input-input dari peserta lokakarya (akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, aparat desa Bappeda, Litbang, fasilitator, seto, LSM) untuk dapat menformulasikan topik-topik penelitian baik dasar maupun terapan yang dapat menunjang pelaksananan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
1.3. Keluaran (out put) •
Tersedianya usulan beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan program pelestarian ekosistem terumbu karang yang akan dilaksanakan di Kabupaten Selayar.
•
Terlaksananya kegiatan penelitian dan tersedianya arahan hasil kajian
ilmiah
yang
berkaitan
dengan
upaya
pelestarian
ekosisttem terumbu karang di Kabupaten Selayar
1.4. Dampak (out come) Kegiatan-kegiatan yang terlaksana lebih variatif, akomodatif dan lebih tepat sasaran serta data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian lebih akurat.
1.5. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan lokakarya meliputi : •
Persiapan, meliputi pengkajian informasi awal tentang kondisi lapangan terumbu karang, sumberdaya ikan, sosial ekonomi masyarakat pesisir, teknologi penangkapan ikan dan budidaya ikan melalui diskusi informal dengan berbagai stakeholders .
•
Formulasi awal masalah untuk diteliti
•
Pembuatan makalah lokakarya
•
Pelaksanaan Lokakarya
•
Perumusan hasil lokakarya
•
Laporan dan rekomendasi hasil lokakarya.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis. Meskipun terumbu karang banyak ditemukan di berbagai perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Dibandingkan dengan negara tropis lain, Indonesia
memiliki
keunggulan
alam
tersendiri
berupa
tempat
“megabiodiversity” bahkan termasuk paling kaya keanekaragamaan hayatinya, dalam arti tidak tertandingi oleh negara-negara di kawasan sub tropis, dan negara-negara maju dibelahan bumi bagian utara maupun selatan (Kusumaatmaja, 2001). Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang oleh sebagian besar masyarakat nelayan di daerah pesisir dewasa ini menuju pada suatu pola degradasi lingkungan berupa kerusakan habitat karena menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, bahan peledak dan zat kimia beracun untuk mengeksploitasi berbagai spesies ikan atau organisme lain yang memiliki nilai ekonomis penting. Hal tersebut lebih diperparah lagi akibat
permintaan
eksportir
ikan
hidup
yang
harganya
sangat
menggiurkan (Najamuddin dkk., 2005). Menurut Sugandhy (2000) hanya sekitar 7 % kondisi terumbu karang yang masih sangat baik dan 61 % telah rusak. Hal tersebut lebih diperkecil lagi cakupannya untuk wilayah
Indonesia bagian timur
prosentase penutupannya yang menunjukkan kondisi memuaskan 9,80 %, dalam kondisi baik 35,29 %, dalam kondisi sedang 25,49 % dan 29,42 % dalam kondisi rusak. Penggunaan alat tangkap yang efektif dan selektif seperti jaring insang dasar telah lama digunakan oleh sebagian masyarakat nelayan di daerah pesisir, tetapi untuk meningkatkan efektifitas kerja alat tersebut, yakni mempercepat proses terjeratnya
ikan, nelayan menggunakan
berbagai alat bantu yang berdampak negatif terhadap habitat atau ekosistem terumbu karang untuk memaksa ikan-ikan keluar dari tempat
4
persembunyiannya, sebab alat tangkap jaring insang dasar ini bersifat pasif. Sebagai contoh, misalnya nelayan menggunakan besi atau bendabenda
keras
lainnya
untuk
mengusir
ikan-ikan
dari
tempat
persembunyiannya pada lubang-lubang karang (Najamuddin dkk., 2005). Ikan-ikan karang selama ini dieksploitasi dengan cara-cara yang merusak terumbu karang, seperti : bahan peledak, bahan kimia, dan jaring tetapi dengan mengusir ikan sambil memukulkan bambu ke daerah karang.
Akibat kegiatan eksploitasi yang merusak tersebut Sugandhy
(2000) melaporkan sekitar 61% areal terumbu karang di Indonesia sudah dalam kondisi rusak, dan hanya sisa sekitar 7% dalam kondisi sangat baik. McManus et al (1997) melaporkan kerusakan terumbu karang di Philipina akibat bahan peledak, cianida dan jangkar kapal berturut-turut sebesar 19%, 8% dan 0,25% pertahun. Penggunaan alat penangkap ikan yang merusak lingkungan seperti bahan peledak dan cianida dilakukan oleh nelayan mengingat sampai saat ini belum ada alat penangkap ikan yang efektif digunakan di daerah terumbu karang.
Penggunaan alat tangkap gill net di sekitar terumbu
karang sangat beresiko tinggi, karena kalau tersangkut sedikit saja di karang, jaring akan robek.
Pada kenyataannya memang sangat sulit
menempatkan alat penangkap ikan di daerah terumbu karang. Sebagai alternatifnya, maka alat penangkap ikan dipasang diluar daerah terumbu karang dan tidak berhubungan langsung dengan terumbu. Akan tetapi perlu dicari cara supaya ikan-ikan yang berada di daerah terumbu karang terusik dari tempatnya dan lari ke arah jaring sehingga ikan-ikan tertangkap. Prinsip seperti ini sudah pernah digunakan di Jepang (Akamatsu et al, 1996) untuk mengusir singa laut dari memangsa ikan hasil tangkapan jaring. Pemerintah menyadari kondisi terumbu karang yang begitu parah kerusakannya, sehingga dirintis proyek yang disebut COREMAP (coral reef rehabilitation and management program).
Proyek yang bernilai
milyaran rupiah tersebut tidaklah berarti banyak, apabila masyarakat di sekitar wilayah terumbu karang tidak mendapatkan alat penangkap ikan
5
karang yang efisien dan produktif. Penelitian ke arah tersebut sepanjang informasi yang kami peroleh belum ada. Keberhasilan penelitian ini akan sangat membantu memecahkan masalah pengrusakan terumbu karang akibat ulah nelayan. Aspek biologi ikan, terutama ukuran pada saat pertama kali matang gonad merupakan salah satu rujukan dalam kajian selektivitas alat penangkap ikan.
Dalam rangka penerapan kode etik perikanan yang
berkelanjutan, rujukan biologis merupakan salah satu data dasar yang mutlak harus ada. Tanda dasar ini, penerapan manajemen di lapangan hanya akan mengambang dan tidak jelas. Sebagai tindak lanjut dari rujukan biologis adalah perbaikan disain alat penangkap ikan agar ikan-ikan yang tertangkap hanya memenuhi standar ukuran, atau selektif terhadap ukuran ikan. Perbaikan disain alat ditujukan untuk memperbaiki selektivitasnya, dengan mengusahakan agar ikan-ikan yang tertangkap adalah yang sudah dewasa saja, sedangkan ikan-ikan muda dapat meloloskan diri dari alat tangkap. Produksi alat tangkap sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain : alat bantu, sumberdaya ikan yang ada, tingkat teknologi yang digunakan, dan kondisi habitat (dalam hal ini terumbu karang) dimana ikan hidup.
Hasil penelitian Yusuf dkk. (2003) menunjukkan bahwa hasil
tangkapan rata-rata gill net di daerah terumbu karang sekitar 3,5 kg per trip tanpa alat bantu, dengan alat bantu sebesar 4,7 kg per trip.
2.2. Terumbu Karang dan Produksi Perikanan Terumbu
karang
mempunyai
fungsi
yang
strategis
dalam
ketersediaan sumberdaya perikanan karena terumbu karang merupakan tempat dan ruangan untuk berlindung, berkembang biak dan penyediaan makanan bagi ikan dan jenis biota laut lainnya.
Disamping itu secara
fisiologis berfungsi menyediakan oksigen untuk semua makluk hidup di laut dan mengisap karbondioksida membentuk kalsium karbonat untuk pembentukan karang (Nybakken, 1988).
6
Dari fungsi strategis tersebut terumbu karang dapat menyediakan sumber makanan, lapangan kerja, tempat rekreasi yang pada akhirnya merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat setempat.
Hasil
(produksi) terumbu karang yang dihasilkan sebagian besar adalah ikan yang dapat dinikmati oleh manusia sebagai sumber protein, mineral, vitamin dan zat yodium dari hasil makanan laut serta minyak ikan. Terumbu karang yang sehat sangat produktif karena dengan bantuan sinar matahari dapat memproses pembuatan makanan untuk ikan. Sel-sel tumbuhan yang kecil yang hidup dibagian karang yang lunak menangkap energi dari sinar matahari dan tentakel dari polip karang menarik plankton dan binatang laut yang kecil sebagai makanan. Sebagai gambaran satu kilometer per segi dapat menghasilkan 20-35 ton ikan per tahun yang cukup untuk dikonsumsi 400 -700 orang (Hatcher, 990). Untuk itu perlu dijaga agar terhindar dari kerusakan akibat pengendapan, polusi sampah, pencemaran minyak, penggunaan bahan peledak dan
racun
ikan, pengerukan dan pengambilan karang serta penangkapan yang merusak. Dari berbagai aktivitas pengrusakan tersebut, penggunaan bahan peledak mengakibatkan kerusakan yang serius karena dibutuhkan waktu selama 37 tahun untuk mengembalikan separuh dari terumbu karang yang hancur. Disamping itu, penggunaan racun ikan seperti sodium sianida dapat membunuh telur, larva dan ikan serta dapat membahayakan bagi pemakai (Jennings and Polunin, 1996). Kegiatan-kegiatan pengrusakan tersebut
dapat
menimbulkan
kurangnya
ketersediaan
sumberdaya
perikanan serta punahnya biota-biota laut.
2.3 Karakteristik dan Sifat Ekologi Ikan Karang Menurut Iskandar dan Mawardi (1997) keberadaan ikan-ikan pada terumbu karang ternyata mempunyai perbedaan spesies antara siang dan malam hari, ikan-ikan karang yang aktif siang hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan diurnal, sedangkan yang aktif malam hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan nocturnal. Pada malam hari ikan-ikan diurnal
7
berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh species nocturnal yang tidak terlihat di siang hari. Meskipun secara ekologi sama dengan spesies diurnal tertentu. Sedangkan Hobson (1968) dalam Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa semua spesies nocturnal adalah predator. Laevestu dan Hayes (- ) mengemukakan bahwa umumnya karakteristik ikan karang pada waktu siang hari berada dekat dasar perairan, beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang di atas termoklin pada waktu sore hari. Kemudian turun ke dasar atau lapisan yang lebih dalam pada waktu matahari terbit. Sedangkan menurut Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa pada ikan-ikan nokturnal sama halnya dengan ikanikan diurnal, hanya saja mereka memulai aktivitasnya saat hari mulai gelap. Ikan-ikan ini pada umumnya dapat digolongkan sebagai ikan soliter atau lebih senang beraktivitas sendiri-sendiri dibandingkan berkelompok. Dikatakan juga aktivitas ikan nokturnal tidak seaktif ikan-ikan diurnal. Gerakannya lambat cenderung diam, dan arah pergerakannya tidak melingkupi area yang luas dibandingkan dengan ikan diurnal. Dari segi ekologi jenis-jenis ikan karang diartikan sebagai jenis ikan yang habitatnya terutama berada dilapisan dekat dasar laut. Ikan-ikan ini mempunyai sifat ekologi antara lain: (1) Kemampuan beradaptasi dengan faktor-faktor kedalaman perairan pada umumnya tinggi, hal ini terlihat dari penyebaran berbagai jenis ikan tertentu yang hidup mulai dari kedalaman beberapa meter sampai ratusan meter. (2) Gerombolannya lebih kecil dibandingkan ikan-ikan pelagis bahkan sebagian besar bersifat soliter. (3) Habitat utamanya dilapisan dekat dasar laut, meskipun beberapa jenis diantaranya dapat hidup dilapisan atas perairan.
4)
Kecepatan
pertumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan ikan-ikan pelagis dan umurnya untuk mencapai tingkat dewasa juga sangat lambat. Aktivitas rendah dan daerah ruaya sempit. (6) kompleks (Nikolsky, 1985).
8
(5)
Komunitasnya sangat
2.4 Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Berkelanjutan Sustainability (berkelanjutan) menurut definisi kamus Oxford adalah merujuk kepada upaya yang berlangsung secara terus menerus, kemampuan untuk menjaga dari kekurangan.
Oleh karena itu
pembangunan berkelanjutan adalah kemampuan dari sistem untuk menjaga produksi dan distribusi berjalan terus menerus tanpa berkurang. Selanjutnya menurut WCED (1987) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan
kemampuan
generasi
mendatang
dalam
memenuhi
kebutuhannya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang (FAO, 1995).
Teknologi
penangkapan ikan bukan saja ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan,
tetapi
juga
memperbaiki
proses
penangkapan
untuk
meminimumkan dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan biodiversitinya (Arimoto, 1999). Menurut Charles (1994) dan Charles (2001) sustainabilitas sebagai suatu sistem komprehensif, termasuk aspek ekologi, ekonomi, sosial dan institusi.
Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan
sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat secara individu atau kelompok tergantung. Kondisi terus menerus, terhadap masa mendatang yang tak terbatas, kepentingan tertentu dan karakteristik yang diinginkan oleh sistem sosial politik dan lingkungan alamnya.
Sustainabel
lingkungan/ekologi dan sosial/politik dibutuhkan oleh sustanaibilitas masyarakat. Charles (1994 dan 2001) menyatakan sustainabilitas sebagai suatu sistem terdiri dari 4 komponen, sebagai berikut : (a). Sustainabilitas secara ekologi meliputi : (1) perhatian jangka panjang untuk meyakinkan bahwa penangkapan adalah sustainabel, dalam hal menghindari penurunan stok ikan; (2) perhatian lebih luas dalam menjaga
9
sumberdaya dan jenisnya pada tingkatan dimana tidak menutup pilihan masa mendatang, dan (3)
tugas dasar dalam menjaga atau memacu
fluktuasi kesehatan seluruh ekosistem. (a) Sustainabilitas secara socioekonomik, memusatkan pada tingkatan makro, misalnya dalam mempertahankan atau memacu seluruh kesejahteraan sosial ekonomi jangka panjang. Kesejahteraan sosial ekonomi berdasarkan pada perpaduan antara indikator ekonomi dan sosial yang relefan, fokus utama dalam menurunkan sustainabilitas keuntungan bersih. (b) Sustainabilitas masyarakat menekankan pada tingkat mikro, seperti menekankan pada keinginan akan mempertahankan masyarakat sebagai sistem manusia yang sangat berharga pada kebenaran mereka sendiri. (c) Sustainabilitas institusi melibatkan penjagaan kecocokan finansial, administrasi dan kapasitas organisasi jangka panjang, sebagai prasyarat bagi 3 komponen sustainabilitas di atas. Pada prinsipnya pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan adalah perpaduan antara kegiatan eksploitasi dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kalau prinsip ini sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat nelayan, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan akan dapat dicapai, tetapi kalau tidak maka degradasi sumberdaya akan terjadi dimana-mana.
2.5 Database Database dapat didefinisikan sebagai kumpulan data yang saling terkait dan dirancang untuk menyatukan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga atau organisasi (McFadden). Database ini mempunyai dua indikator penting yaitu integrated (terpadu) dan shared (mudah diakses dan digunakan).
Sedangkan Database Management
System (DBMS) adalah sebuah intermediasi antara program-program aplikasi oleh pengguna dan database yang ada. Pengguna menggunakan program aplikasi dan membutuhkan software untuk memproses data
10
dalam DBMS environment dan kemudian menyimpan atau mengakses data (Gambar 1). Jadi secara sederhana database merupakan kumpulan data persistent yang digunakan oleh sistem-sistem aplikasi dari berbagai pengguna tertentu. Dalam pola pandang sistem, DBMS mempunyai beberapa keuntungan dalam penggunaannya, antara lain: meniadakan atau mengurangi duplikasi data (Reduce redundancy), mempertahankan konsistensi data (Maintain consistency), mempermudah data sharing (Data sharing), standar data dapat diberdayakan atau di update (Standars can be enforced), menjamin keamanan data (Provide security of the data), menjaga integritas data (Maintain integrity) dan menjaga independensi data (Data independency).
Sedangkan keterbatasannya antara lain:
sistem pengolahan datanya yang rumit dan lebih kompleks untuk sistem pengembangannya.
2.6 Aplikasi SIG dalam bidang kelautan dan perikanan Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang sering dilontarkan nelayan antara lain dimana ikan di laut berada dan kapan bisa ditangkap dalam jumlah yang berlimpah.
Meskipun sulit
mencari jawabannya, perntanyaan penting ini perlu dicari solusinya. Hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan yang tidak menentu akan mempunyai konsekuensi yang besar yaitu memerlukan biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan. Dengan mengetahui area dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan, waktu dan tenaga. Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (inderaja) kelautan.
Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang
mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas.
Faktor
lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan laut (SST), tingkat
11
konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus
dan tingkat produktifitas primer.
Ikan dengan
mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dinamika arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a.
Pengetahuan dasar yang dipakai dalam
melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan di sekelilingnya. Dari hasil analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsetrasi pada kisaran suhu 18.5-21.5oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3 (Polovia et al., 2001; Zainuddin et al., 2004, 2006). Selanjutnya output yang didapatkan dari indikator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG.
Data
indikator oseanografi yang cocok untuk ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter lingkungan saja, tapi berbagai parameter yang saling berkaitan.
Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data
lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberi gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bias mendapatkan banyak ikan. Di bawah ini disajikan salah satu contoh aplikasi penggunaan SIG dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut utara Pasific (Gambar 1).
Disini terlihat bahwa dua database (satelit dan perikanan tuna)
dikombinasikan
dalam
mengembangkan
spasial
analysis
daerah
penangkapan ikan tuna. Pada prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang diintegrasikan yaitu suhu permukaan laut (SST) (NOAA/AVHRR), tingkat konsentrasi klorofil (SeaWiFS), perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan eddy kinetik energi (EKE) (AVISO).
12
Parameter pertama
(SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk ikan tuna; sedangkan parameter yang kedua karena dapat menjelaskan tingkat produktifitas perairan yang berhubungan dengan kelimpahan makanan ikan; sementara parameter yang ketiga berhubungan dengan kondisi sirkulasi air daerah yang subur seperti eddy dan upwelling ; dan parameter terakhir berhubungan dengan indeks untuk melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan.
Data penangkapan ikan tuna (lingkaran
putih pada peta yang ditunjukkan dengan tanda panah) diplot pada peta lingkungan yang dibangkitkan dari citra satelit. Sedangkan panel atau layer yang paling atas menunjukkan peta prediksi hasil tangkapan.
2.7. Indikator Keberhasilan COREMAP COREMAP untuk Indonesia bagian timur dibiayai dari pinjaman Bank Dunia.
Sebagai penyandang dana, Bank Dunia menetapkan
indikator keberhasilan proyek, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator keberhasilan proyek COREMAP
WB
Biofisik
Sosio-ekonomi
Persentase tutupan karang hidup di lokasi program naik sebesar 5% per tahun sampai mencapai kondisi di lokasi yang pristine atau dikelola dengan baik.
Pendapatan rata-rata pendduk di kab. Lokasi COREMAP yang memiliki kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10% pada akhir program
Catch Per Unit Effort (CPUE) mengalami kenaikan
Jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik 10% Paling sedikit 70% dari masyarakat nelayan di Kab. Program merasakan dampak positif COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya
Sumber : Nurul Dhewani, 2006. Dokumen Bank Dunia, 2005.
13
BAB III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Kegiatan Rangkaian Kegiatan Lokakarya dilaksanakan pada bulan Agustus – Oktober
2006, selama 3 bulan (90 hari), bertempat di Benteng
Selayar. Lokakarya dilaksanakan selama 2 (dua) hari pada tanggal 9 -10 September 2006, bertempat di Hotel Selayar Beach.. 3.2 Teknik/ Metode Kerja Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan ruang lingkup kegiatan yang meliputi
persiapan
stackeholder
dan
termasuk
pengkajian identifikasi
awal
informasi
masalah.
Dari
dari
berbagai
masalah
yang
teridentifikasi serta negosiasi dengan pihak panitia, diformulasikan kembali topik-topik yang akan disajikan. Topik-topik yang telah disepakati, oleh tim ahli dibuatkan makalah untuk disampaikan pada saat lokakarya. Pendekatan partisipatif yang digunakan, dimana peserta diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan untuk perencanaan penelitian kedepan yang dapat menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan karang secara berkelanjutan. Perencanaan penelitian harus berorientasi pada kebutuhan lapangan. Untuk
mendapatkan
hasil
penelitian
yang
bagus,
kadang-kadang
diperlukan penelitian berantai (multi years), sehingga perencana betulbetul memahami kondisi ril di lapangan.
Kenyataan kadang-kadang
sangat berbeda dengan perencanaan, sehingga hasil yang diperoleh berbeda dengan harapan.
Untuk itu, maka perencaan penelitian perlu
dibuat dengan seksama dan mengacu kepada kebutuhan aplikasi lapangan. Kegiatan lokakarya agenda penelitian berlangsung selama 2 (dua) hari dengan agenda sebagai berikut : Hari 1 pemberian materi sesuai dengan bidang keahlian tim ahli.
Hari 2 , diskusi kelompok untuk
menjaring masukan dari peserta lokakarya. Rencananya, peserta dibagi 3 kelompok, terdiri dari : kelompok pengelolaan sumberdaya, sosial ekonomi masyarakat, informasi dan monitoring. Akan tetapi karena kondisi yang
14
kurang aktif dan berdasarkan kesepakatan tim ahli, maka peserta tetap digabung.
Setiap peserta diberikan kesempatan untuk menyampaikan
idenya terkait permasalahan yang dihadapi di lapangan dan usulan penyelesaian masalah termasuk bidang penelitian. Informasi dari masingmasing peserta ditabulasi, kemudian dibahas relevansinya dengan kegiatan agenda penelitian.
Terakhir, hasil bahasan topik penelitian
diplenokan untuk mendapatkan masukan akhir dan persetujuan dari peserta lokakarya. Materi presentasi meliputi beberapa topik, yaitu: •
Arahan Agenda Penelitian COREMAP II
•
Perencanaan penelitian kelautan dan perikanan
•
Issu strategis penelitian perikanan kelautan
•
Pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dan berbasis masyarakat
•
Penangkapan ikan illegal dan alternatifnya
•
Database informasi penelitian kelautan dan perikanan
•
Aplikasi Sistem informasi geografis dalam penelitian perikanan dan
kelautan Makalah lokakarya disertai input-input diskusi serta rumusan hasil lokakarya diconfile dan ditambahkan beberapa rekomendasi untuk perencanaan sebagai komponen utama laporan akhir.
Laporan akhir
mencakup seluruh kegiatan termasuk informasi awal, identifikasi masalah, proses jalannya lokakarya, hasil lokakarya dan analisis serta pembahasan disertai dengan dokumentasi pelaksanaan kegiatan.
3.3 Teknik / Metode Analisa Permasalahan penelitian dianalisis menggunakan metoda roof cause analysis (RCA) dan SWOT analisis.
Kedua alat analisis ini
digunakan untuk mengidentifikasi akar masalah dalam program agenda penelitian di Selayar. Analisis RCA adalah alat yang didisain untuk
membantu
mengidentifikasi
tidak
hanya
“apa”
dan
“bagaimana” sesuatu terjadi, tetapi juga “mengapa” sesuatu itu 15
terjadi.
Urutan dalam analisis RCA meliputi : pengumpulan data,
diagram faktor penyebab, identifkasi akar masalah dan rekomendasi umum serta implementasi. Pendekatan SWOT (strength, weakness, opportunity and threat), merupakan analisis untuk mengoptimalkan kekuatan internal melawan tantangan eksternal.
Tanpa dapat menformulasikan akar
masalah yang sebenarnya, maka aktivitas yang diformulasikan tidak menyelesaikan masalah utama. Berdasarkan
informasi
awal
dari
diskusi
informal
dikombinasikan dengan teori serta kajian pustaka para tim ahli melakukan analisis masalah, kemudian membuat konsep penelitian yang
dapat
dilakukan
berdasarkan
bidang
masing-masing.
Selanjutnya dipresentasikan pada lokakarya, yang akan diperkaya dengan adanya masukan dari peserta lokakarya.
Hasil akhirnya
berupa rekomendasi penelitian yang akan dilakukan. Hasil lokakarya dikonfilasi dan dianalisis menggunakan RCA untuk
mencari
akar
masalah
lapangan.
Selanjutnya
dibuat
perencanaan penelitian dengan menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT akan dimasukkan perencanaan penelitian yang telah dibuat oleh pihak pengelola COREMAP II Kabupaten Selayar serta hasil-hasil penelitian terdahulu.
3.4 Indikator • Teridentifikasinya akar masalah program penelitian sehingga dapat dibuatkan rekomendasi penyelesaian masalah melalui paket program aksi nyata. • Tersedianya rumusan hasil lokakarya dan penyebaran hasil lokakarya kepada seluruh jajaran pengelola program COREMAP II Kabupaten Selayar serta pihak yang membutuhkan.
16
3.5. Susunan Pelaksana Staf Ahli/Pemateri : Prof.Dr.Ir. Achmar Mallawa, DEA. Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc. Dr.Ir. Mukti Zainuddin, M.Sc. Dra. Nurul Dhewani, MS. Panitia Pengarah/Pelaksana : Ir. Andi Asni, MS. Asep Suparman, S.Pi. Ghurdi, S.Pi. Mirwan, A.Md. Muh. Ridwan, S.Pi. A. Yusneri, S.St.Pi. A. Diani 3.6. Peserta Lokakarya Peserta lokakarya sebanyak 20 orang yang terdiri dari berbagai kalangan antara lain : Bappeda, Litbang, Akademisi, Taman Nasional Taka Bonerate, Aparat Desa, Tokoh Masyarakat, Seto, Fasilitator dan staf dinas Perikanan dan Kelautan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Informasi Awal Data informasi awal diperoleh melalui daftar isian yang telah dikirimkan kepada peserta lokakarya.
Tabulasi data informasi awal
diuraikan sebagai berikut :
(1). Tujuan COREMAP adalah : •
Melindungi terumbu karang
•
Merehabilitasi terumbu karang
•
Memanfaatkan
terumbu
karang
secara
lestari
untuk
kesejahteraan masyarakat •
Menjamin pengelolaan terumbu karang
•
Memperkuat kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang
•
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
•
Meningkatkan kapasitas kelembagaan
•
Mengelola dan melestarikan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya.
•
Menggalang dukungan masyarakat untuk pelestarian terumbu karang
•
Mengembangkan
mata
pencaharian
alternatif
yang
ramah
lingkungan. •
Terumbu karang sehat ikan melimpah.
•
Meningkatkan produktifitas sumberdaya perikanan
(2). Penyebab terumbu karang rusak adalah : •
Pemboman, pembiusan, bencana alam, biologi.
•
Eksploitasi terumbu karang
•
Penggunaan pukat harimau.
•
Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan arti penting keberadaan terumbu karang.
18
(3). Pelaku perusak terumbu karang adalah : •
Nelayan pembom/pembius
•
Aparat pemerintah yang terlibat dalam destructive fishing secara terselubung (backing up)
•
Wisatawan yang tidak bertanggung jawab
•
Faktor alam, seperti gempa bumi, tsunami.
(4). Usulan Penelitian yang perlu dilakukan meliputi : • Pemetaan sebaran terumbu karang • Penelitian tentang nilai ekonomi terumbu karang • Penelitian
tentang
kearifan
lokal
yang
dapat
mendukung
pelestarian terumbu karang • Penelitian model kelembagaan masyarakat yang efektif dalam mendukung pelestarian terumbu karang • Penelitian yang bersifat partisipatif (melibatkan masyarakat) • Transplantasi karang • Penelitian
bagaimana
memutus
siklus
peredaran
material
pembuatan bom dan bius • Penelitian
pengaruh
terumbu
buatan
terhadap
kelestarian
terumbu karang alami. • Penelitian peningkatan konservasi alam • Perlindungan
terumbu
karang
melalui
pengawasan
dan
penegakan hukum. 4.2. Pelaksanaan Lokakarya Lokakarya dilaksanakan selama 2 hari dimana hari I para narasumber memberikan materi yang berhubungan dengan penelitian yang diperlukan dalam menjaga kelestarian terumbu karang. Materi dari para nara sumber dimaksudkan untuk memberikanan pemahaman atau arahan kepada para peserta supaya mereka dapat meramu kembali permasalahan lapangan dalam bentuk penelitian yang dibutuhkan.
19
Lokakarya agenda penelitian dilaksanakan dalam dua bagian, yaitu : bagian I penyampaian materi dari para nara sumber dan bagian II diskusi. Penyampaian materi dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada para peserta sebagai pengkayaan ide dalam perencanaan penelitian ke depan.
Bagian diskusi dimaksudkan partisipasi aktif dari
peserta untuk menjaring masukan rencana penelitian yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Sesuai rencana awal, peserta akan dibagi kelompok sesuai dengan topik tertentu. Setelah ditawarkan kepada peserta, ternyata konsep ini kurang mendapat restu peserta dengan pertimbangan bahwa informasi dari peserta tidak dapat dijaring secara total. Oleh karena itu disepakati tetap bersatu dan setiap peserta menyampaikan ide-idenya secara bebas. Tahap berikutnya, ide-ide yang masuk disortir yang mana masuk kriteria penelitian.
Informasi dari masing-masing peserta diuraikan sebagai
berikut :
Hardi (Fasilitator) Kasus pengelola terumbu karang yang meninggal dalam penanganan kasus pengrusakan terumbu karang merupakan presenden buruk bagi pengelolaan berbasis masyarakat. Kelompok masyarakat yang selama ini menjadi pemerhati terumbu karang, berubah haluan menjadi tidak peduli lagi akibat kasus tersebut. Oleh karena itu, untuk membangun kembali diperlukan
kerja
ekstra
keras
dan
lebih
hati-hati
serta
struktur
kelembagaan hukum yang menaunginya, supaya kasus yang lalu tidak terulang. DPL desa Tambolongan dan Polassi tidak bisa dipisahkan, harus digabung supaya lebih efektif.
Suwardi Pemboman dan pembiusan merajalela dimana-mana. Penagakan hukum di lapangan belum bisa diharap terlalu banyak. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebaiknya diadakan “tudang sipulung” yang
20
melibatkan seluruh pejabat di daerah dan membuat komitmen bersama demi tegaknya hukum di laut.
Kalau tidak ada komitmen seperti ini,
pelanggaran akan terus terjadi dimana-mana.
Rahim (Unismuh) Kasus
pemboman
peledakan/pembiusan
semakin
marak,
dalam 1 hari.
biasanya
5-8
kali
Bagaimana kerja petugas di
lapangan ? Apakah sengaja dibiarkan atau bekerjasama ?
Nasruddin (seto) Seandainya semua kegiatan COREMAP terkordinasi dengan baik, tidak sulit untuk mengagendakan kegiatan penelitian. Masalah masing-masing lokasi sudah ada pada laporan para petugas (seto dan fasilitator). Tetapi sepertinya laporan tersebut kurang diperhatikan dalam pembuatan perencanaan kegiatan. Sebenarnya masyarakat sudah sadar, mereka juga sadar bahwa melanggar, akan tetapi penegak hukum yang belum sadar karena tidak menindak para pelanggar, justru sebaliknya bekerja sama dengan para pelanggar, sehingga pelanggaran semakin merajalela dimana-mana. Perlu ada kordinasi dengan instansi lain seperti pertanian, untuk membuat aturan pembatasan peredaran pupuk dan bahan kimia sebagai bahan utama bom.
Aswan Sebaiknya ada evaluasi kegiatan COREMAP?
Apakah kegiatan atau
program yang dilakukan selama ini sudah mampu mencapai target program atau belum ? Kalau belum, perlu dilakukan upaya-upaya ekstra, sehingga dana yang sangat besar tersebut tidak terbuang percuma saja, harus dapat dinikmati masyarakat. Kita cenderung melihat dari luar saja, perlu juga ditelusuri internal pengelola. Secara kelembagaan, ada beberapa komponen tidak jalan, termasuk gaji seto sampai saat belum dibayarkan.
21
Kalau demikian
kondisinya, bagaimana seto dapat bekerja optimal? Keterjalinan dengan instansi lain dalam mendukung COREMAP, belum kelihatan.
Untuk
menunjang keberhasilan program, perlu ada kerjasama program lintas sektoral yang saling mendukung. Masyarakat nelayan (lokal atau pendatang) cenderung membius dan membom karena desakan kondisi ekonomi dan adanya peluang akibat penegakan hukum lemah. Untuk itu perlu penelitian lembaga ekonomi di tingkat desa yang dapat berperan membina perekonomian warga desa, sehingga kondisi ekonominya dapat ditingkatkan.
Suaida (LSM Kakabia) Lembaga internal perlu diperbaiki.
Mestinya COREMAP bukan hanya
milik perikanan, tetapi milik kabupaten selayar. Sangat lucu kalau seorang camat tidak kenal program COREMAP. Pengusaha cuma mengandalkan modalnya ke masyarakat.
Mestinya
pemerintah dapat membantu masyarakat dalam menyediakan modal, sehingga masyarakat dapat terhindar dari praktek rentenir yang mengikat leher.
Sahlan ( Taman laut taka bonerate) Terumbu karang rusak karena ulah masyarakat sendiri.
Masyarakat
sudah keenakan menggunakan cara terlarang, karena memang sangat mudah mendapatkan uang.
Abd. Radjab (kecamatan pasimarannu) Perlu diteliti penegakan hukum, karena penyebab utama aktifitas nelayan merusak terumbu karang dengan bom dan bius akibat lemahnya penegakan hukum di lapangan. Kalau kondisi begini terus, dikhawatirkan program COREMAP tidak dapat mencapai target.
Irmawati Motto COREMAP ii terumbu karang sehat ikan melimpah
22
Bagaimana meningkatkan luasan terumbu karang? Salah satu cara yang dapat ditempuh melalui transplantasidan artificial reef
Mastam Agenda penelitian harus dapat menjawab Pelestarian terumbu karang Penelitian
untuk
mengkaji
destructive
fishing
terintegrasi
dengan
kabupaten lain Ada beberapa spot sebagai wilayah selam, dapat menjaga kelestarian terumbu karang dengan menjaga terumbu karang di wilayah tsb untuk mempertahankan keindahannya sebagai daya tarik obyek wisata.
Kelembagaan Kasus Nopember tahun lalu, dimana masyarakat yang menjaga kelestarian terumbu karang menjadi korban, sehingga masyarakat tidak peduli lagi dengan pengawasan terumbu karang. Oleh karena itu perlu ada kajian model kelembagaan pengawasan terumbu karang, model yang bagaimana yang sebaiknya diterapkan, apa saja tanggung jawabnya, bagaimana hubungannya dengan aparat penegak hukum, kalau ada kejadian pelanggaran apa yang harus dilakukan. Bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Kesejahateraan masyarakat dapat ditingkatkan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif yang sesuai dengan kondisi wilayah masingmasing, serta melalui ekowisata. Ekowisata dapat berfungsi ganda, dapat mempertahankan keindahan terumbu karang karena pihak pengelola menjaganya, sementara dengan banyaknya wisatawan yang datang akan menciptakan beberapa mata pencaharian alternatif.
Irwan (DKP) Selayar punya potensi wisata yang sangat besar Di Pulau Madu ada beberapa spot diving yang masih bagus, sangat unik, dimana sangat berbeda dengan yang ada di kawasan taka bonerate. Di
23
kawasan taka bonerate, terumbu karang pada umumnya pada perairan yang dangkal, sementara di P. Madu berada pada daerah dangkal berbatasan langsung dengan slope yang terjal dan kondisi terumbu karang yang masih bagus. Pulau Kakabia juga merupakan potensi besar, tetapi akses kesana yang sangat sulit dan tidak berpenghuni.
Persoalan utama bagaimana
mempermudah akses kesana. Mpa (mata pencaharian alternatif), perlu dikaji akses pasar dari pulaupulau, termasuk pengolahan hasil perikanan. Lokakarya seperti ini perlu diundang lintas sektoral seperti aparat keamanan.
Andi Yusran (Seto Takabonerate) Agenda penelitian yang telah dilakukan tidak pernah dilaporkan ke desa, sehingga informasi yang telah dilakukan di desanya tidak diketahui. Sebaiknya laporan hasil penelitian disampaikan kepada masing-masing desa lokasi penelitian, sehingga masyarakat juga tahu informasinya.
Nurul Dhewani (Nara Sumber) Penegakan hukum Ekoturism Mpa, apa saja yang dapat diterapkan di takabonerate (COREMAP I) ? Kalau ada yang berhasil sampai saat ini, perlu disebarluaskan ketempat lain. Tetapi kalau tidak berhasil, perlu dievaluasi kembali, jangan sampai mengulang kegagalan di tempat lain. Bagaimana jalur bom dan pupuk?
Menurut informasi, berasal dari
malaysia ke wanci, baru ke pangkep, mungkin baru ke Selayar atau ada jalur lain ke Selayar.
Bahan baku bom adalah pupuk yang biasa
digunakan pada pertanian.
Oleh karena perlu ada regulasi dari dinas
pertanian supaya bahan-bahan ini tidak terlalu mudah didapatkan oleh yang bukan petani, apalagi disalah gunakan.
24
Penelitian kinerja pengelola COREMAP, bagaimana kinerja pengelola. Pada prinsipnya kinerja pengelola perlu dievaluasi, karena terlalu banyak sorotan. Cuma permasalahan yang akan dihadapi oleh peneliti adalah sulit menyampaikan kondisi sebenarnya kalau berhadapan langsung, apalagi penyandang dana adalah COREMAP.
Untuk itu perlu ada
lembaga independen atau LSM yang melakukan pemantauan. COREMAP terdiri dari unsur departemen kelautan dan perikanan, LIPI & LSM.
A. Faisal Wilayah COREMAP meluas, apakah masyarakat siap menerima ? Masyarakat menginginkan mata pencaharian alternatif yang seimbang dengan usaha yang biasa dilakukan. Oleh karena itu, pihak pengelola COREMAP harus membuat program yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat.
Sebaiknya diperbanyak aksi pembuatan percontohan di
lapangan yang dapat langsung dicontoh oleh masyarakat. Porsi pelatihan berbasis kelas sebaiknya dikurangi, dialihkan kepada berbasis lapangan.
Berdasarkan diskusi yang berkembang, permasalahan diklasifikasi dalam 5 bidang, yaitu: penegakan hukum, ekotorism, mata pencaharian alternatif, rehabilitasi terumbu karang dan ikan, serta pengembangan fasilitas penunjang.
Usulan yang tidak merupakan kegiatan penelitian
dikeluarkan dari daftar.
Uraian kelompok serta judul-judul penelitian
sebagai berikut :
(1). Penegakan hukum a. Kearipan lokal proteksi terumbu karang, sudah ditip eks ditengah jalan akibat kasus tambolongan. Perlu dibangun kembali dari awal dan diperjelas lembaga pendukungnya. Revitalisasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian terumbu karang.
25
b. Penegak hukum (TNI, POLISI), TELUSURI APA YANG ADA DI PIKIRAN
MEREKA.
Kajian
penegakan
hukum
di
laut
:
permasalahan dan solusinya ? (2). Ekoturism (a) Kajian
ekoturism
Lokasi
(spot)
yang
potensil
(Promosi,
Aksesibiltas yang relatif mudah, yg dekat-dekat saja, seperti taka nambolaki,
Infrastruktur).
Analisis
potensi
(peluang
dan
tantangan) ekotourism di lokasi COREMAP II Selayar.
(3). MPA (Mata Pencaharian Alternatif) a. Kajian akses pasar untuk hasil-hasil perikanan (lanjutan dari penelitian pada COREMAP I).
Output teridentifikasinya akses
pasar berbagai produk hasil-hasil perikanan, nilai ekonomis dan jalur pemasarannya. b. Kajian peranan gender dalam pelestarian terumbu karang. Output teridentifikasinya peranan-peranan gender dalam : menyadarkan anggota
keluarga,
membantu
pendapatan
keluarga,
sosial
kemasyarakatan dalam penyadaran. c. Kajian peluang dan potensi mata pencaharian alternatif di seluruh wilayah COREMAP. Output teridentifikasinya potensi dan peluang mata pencaharian alternatif dari aspek teknis dan ekonomis.
(4). Rehabilitasi terumbu karang & ikan a. Kajian potensi dan lokasi daerah perlindungan laut, taman laut daerah b. Kajian
potensi
dan
lokasi
restoking
ikan-ikan
karang
dan
kekerangan c. Kajian lokasi Artificial reef yang sesuai dengan kondisi masingmasing wilayah d. Efektifitas dan produktifitas
terumbu buatan dan peluang
pengembangannya (studi kasus proyek terumbu buatan tahun 2006)
26
e. Kajian potensi eksploitasi karang, ikan karang & ikan hias (lokasi daerah yang masih potensil, berdasarkan kajian sebelumnya)
(5).Pengembangan fasilitas penunjang COREMAP a. Kajian penanggulangan listrik pedesaan di pulau pulau kecil b. Kajian penanggulangan air tawar di pulau-pulau kecil yang kekuraangan air tawar.
4.3. Issu-Issu Penelitian Issu-issu penelitian yang akan dan seharusnya dilakukan dalam rangka menunjang program pengelolaan terumbu karang yang telah dicanangkan secara nasional dan internasioal sebaiknya dijabarkan untuk menjawab
permasalahan
perikanan
terumbu
karang
dan
tujuan
pengelolaan terumbu karang. 4.3.1 Issu Penelitian Tahap Perencanaan (Investigation For Planning) Pengembangan rencana pengelolaan konservasi membutuhkan pengetahuan dan informasi tentang karakter fisik dan biologi untuk area tersebut dan faktor sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan potensi pemanfaatan masa laut, sekarang dan yang akan datang. Investigasi untuk perencanaan dan pengelolaan meliputi pengumpulan data yang secara langsung dapat digunakan di dalam pengambilan keputusan untuk keperluan pengelolaan, atau dengan kata lain penelitian yang dilakukan berbasis masalah (problem oriented). Penggunaan teknis sains dan metoda untuk menyimpulkan hasil suatu studi sangat diharapkan. Dari berbagai aspek yang perlu diperhatikan, aspek fisik, biologi, sosio-ekonomi dan budaya adalah aspek-aspek utama.
Untuk
mengetahui issu-issu penelitian yang mana seharusnya dilakukan, maka sangat penting membuat pertanyaan (kumpulan kondisi dan masalah) yang akan dijawab oleh hasil studi.
Selain itu, dengan mudah dapat
mengalokasikan dana, waktu dan sumberdaya yang dibutuhkan.
27
Aspek fisik (Physical Considerations) Aspek fisik adalah salah satu faktor yang perlu diketahui sebelum membuat perencanaan pengelolaan yang meliputi : • bagaimana kondisi geologi area pengelolaan
(reefs, shoals, cays,
islands, mangrove ) • bagaimana kondisi oseanografis area pengelolaan (arus, gelombang, pasang surut) • apakah kondisi fisik dan hidro-oseanografis wilayah pengelolaan saat ini telah tersedia (dalam bentuk peta, charts, aerial photograph, satellite imagery),
Aspek Biologi (Biological Considerations) • jenis komunitas biologi yang ada ? (identifikasi species, distribusi, kelimpahan, komposisi, dinamika populasi dan lain-lain), • bagaimana kondisi komunitas biologi (perubahan menurut waktu, indikasi kerusakan nyata, indikasi pemanfaatan lebih atau eksploitasi lebih), • apakah ada dalam wilayah pengelolaan mempunyai
fungsi khusus
bagi komunitas biologi atau berperanan terhadap life history / life cycle (lokasi feeding dan breeding ikan-ikan yang hampir punah/dilindungi, ikan-ikan penting menurut budaya, ikan-ikan ekonomis penting dan lain-lain).
Aspek Sosial-Ekonomi (Socio-economic Considerations) • Apa yang diketahui tentang penggunaan area pengelolaan (siapa, mengapa, kapan, bagian apa yang digunakan, apa pengaruh penggunaan ?) • Apa saja prospek dari pengelolaan untuk penggunaan yang akan datang ? • Bagaimana kemungkinan pengaruh pengrusakan, sosial dan ekonomi diperkecil melalui perencanaan pengelolaan ?
28
• Potensi konflik apa saja yang ada saat ini dan akan datang antar pengguna atau yang akan bermaksud menggunakan area tersebut ? (lokal, nasional, internasional)? • Apakah keperluan lokal lebih banyak dari keperluan nasional ? • Apakah keperluan internasional lebih banyak dari keperluan lokal dan nasional? Cakupan analisis ekonomi tergantung kepada jenis managemen yang akan dilakukan.
Apabila pendekatan ditekankan kepada perlindungan
reserve, hal utama yang dibutuhkan adalah pengenalan tentang pengguna yang akan dipindahkan dan konsekwensi pemindahan tersebut harus dianalisis, jika perlu beberapa bentuk kompensasi ditawarkan.
Untuk
pengelolaan terumbu karang dalam skala besar mencakup beberapa zona dengan beberapa tujuan, analisis yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan. Aspek Budaya (Cultural Considerations) • Apa yang diketahui tentang pemakaian tradisional area ? (siapa memiliki
apa,
apakah
cara
pemanfaatan
ada
yang
bersifat
berkelanjutan, apakah cara tradisional merusak), • Apakah pemakai-pemakai tradisional mempunyai pengetahuan khusus tentang : flora dan fauna yang ada di area, musim pemijahan, lokasi pemijahan, pergerakan arus dan pengaruhnya, dan informasi yang relevan lainnya), • Apakah pemakai menggunakan peralatan moderen (kapal, mesin tempel, mesin dalam, bahan peledak dan lainnya; apakah semua ini merubah konsep-konsep pemanfaatan tradisional ?
Jawaban dari
pertanyaan tersebut akan kegiatan survey, pengumpulan data secara regular melalui penelitian yang terencana dengan baik.
4.3.2 Issu penelitian tahap monitoring (Monitoring Investigations) Tujuan kesehatan
utama ekologi
skema
pengelolaan
(Ecological
Healt)
adalah terumbu
mempertahankan Karang
dan
mempertahankan hasil lestari (Sustainable Yields) dari organisme yang 29
dipanen (Fishing and Collecting). Monitoring kondisi dari terumbu Karang adalah salah satu aspek penting dari proses pengelolaan. Tujuan dari monitoring adalah melakukan deteksi perubahan nyata dari kondisi yang hasil dapat menjelaskan apakah normal atau optimum, beberapa perubahan dapat dijadikan petunjuk kondisi stress pada terumbu karang. Tanda-tanda stress harus dideteksi lebih awal untuk mengambil langkahlangkah perbaikan. Kondisi fisik, kimia dan biologi dapat digunakan untuk deteksi stress pada terumbu karang, tergantung kepada tipe stress, tetapi yang paling banyak digunakan adalah penggunaan komponen biologi, antara lain melalui identifikasi organisme indikator. Tanda-tanda negatif kondisi terumbu karang dapat diketahui melalui : Umum, • kematian yang nyata (ikan muda, dan atau dewasa), • penurunan nyata pertumbuhan (panjang dan atu berat) pada ikan matang gonad, • pemunculan tanda-tanda penyakit, • perubahan dari proses reproduksi, • penurunan nyata dari stok • ada atau tidak adanya organisme khusus atau faktor • perubahan kebiasan makan dan cara makan Tambahan untuk organisme benthic (seperti coral dan algae) • penurunan nyata tingkat penutupan, • penurunan nyata keanekaragaman, • perubahan kelimpahan atau kelimpahan relatif dari spesies,
Tambahan untuk organisme bergerak (mobile organism) • perubahan tingkah laku (matang, territorial, migrasi, agressi dsb) • menghilang dari daerah sebelumnya sebagai tempat atau normal territories
30
4.4. Analisis Akar Masalah Akar masalah rusaknya terumbu karang di Kabupaten Selayar di dekati melalui RCA. Identifikasi faktor-faktor penyebab rusaknya terumbu karang disajikan pada Tabel 1. Tabel 2. Akar penyebab masalah Faktor Penyebab1 Deskripasi : nelayan menangkap ikan menggunakan bom & KCN
Deskripsi : penegak hukum tidak melarang nelayan
Deskripsi: pemerintah setempat membiarkan pelaku
Deskripsi : masyarakat setempat membiarkan
Langkah ke peta akar penyebab • Nelayan tidak punya alat penangkap ikan lain • Nelayan tidak sadar akan bahaya bom • Nelayan keenakan menggunakan bom • Aparat keamanan tidak menindak pelaku • Pemerintah desa tidak melarang • Aparat kurang fasilitas • Proses hukum tidak jelas • Kepedulian aparat terhadap sumber daya alam sangat kurang • Rasa memiliki sumber daya alam tidak ada • Masalah kepentingan • Kepedulian sumber daya alam kurang • Rasa memiliki sda tidak ada • Masalah kepentingan • Rasa memiliki sumber daya alam tidak ada • Pengelolaan masyarakat tidak ada
Rekomendasi • Perlu upaya mendapatkan alat tangkap legal • Upaya penyadaran masyarakat • Perlu penegakan hukum
• Perlu melengkapi fasilitas • Proses hukum harus transparan • Perlu penyadaran
• Perlu penyadaran
• Perlu penyadaran • Masyarakat perlu dilibatkan
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat ditarik akar masalah pengrusakan terumbu karang adalah kurangnya kesadaran masyarakat dan kurangnya penegakan hukum di lapangan. Hal tersebut dilakukan masyarakat karena masalah kepentingan dan kebutuhan, masyarakat membutuhkan uang untuk kebutuhan keluarga dengan cara yang mudah,
31
sementara aparat juga membutuhkan sesuatu dari nelayan dengan tidak menindaknya. Penyelesaian masalah harus dilakukan secara terpadu dan melibatkan semua stakeholders.
4.5.
Analisis SWOT
Kekuatan (Strength) z Garis pantai yang sangat panjang z Wilayah laut dan terumbu karang luas z Nelayan tersebar pada berbagai pulau dengan laut & terumbu karang disekelilingnya. z Terumbu karang di wilayah ini merupakan pusat biodiversity z Proyek COREMAP
Kelemahan (Weakness) z Nelayan
menangkap
ikan
tanpa
memperhatikan
kelestarian
sumberdaya perikanan. z Nelayan menangkap ikan dengan merusak ekosistem. z Nelayan merusak ekosistem untuk kebutuhan bangunan. z Sistem milik bersama, sehingga nelayan berprinsip kalau bukan mereka
yang
mengambil
maka
nelayan
lain
yang
akan
mengambilnya. z Nelayan belum sadar akan manfaat terumbu karang.
Peluang (Opportunity) z Perhatian dunia terhadap pelestarian sumberdaya ekosistem laut sangat besar. z Wisatawan mancanegara sangat tertarik terhadap keindahan terumbu karang. z Proyek COREMAP merupakan fasilitas untuk berbuat banyak. z Dukungan PEMDA sangat kuat terhadap pemberantasan illegal fishing.
32
z Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan mulai muncul di berbagai wilayah.
Ancaman (Threats) z Pengrusak terumbu karang pelintas batas semakin banyak akibat kondisi sumberdaya ikan ditempat lain semakin rusak. z Permintaan ikan hidup relatif tetap, sementara sumberdaya ikan karang semakin berkurang, sehingga memperparah aktivitas penangkapan ikan yang merusak. z Batasan ukuran minimum ikan di pasar tidak sesuai dengan ukuran ikan layak eksploitasi. z Pengawasan dari aparat yang berwewenang sangat kurang z Permintaan pasar akan ikan-ikan terumbu karang, baik dari pasar lokal maupun ekspor tidak berubah bahkan bertambah.
Berdasarkan
analisis
SWOT
dibuat
strategi
dengan
menggabungkan faktor internal dan eksternal untuk meminimalisir kelemahan dan ancaman.
Manfaatkan kekuatan internal dan peluang
eksternal seoptimal mungkin. Beberapa strategi dapat disusun antara lain :(1) Strategi SO; •
Manfaatkan garis pantai yang panjang untuk kegiatan produksi.
•
Libatkan masyarakat secara lebih aktif dalam setiap kegiatan yang ada di wilayahnya, supaya mereka dapat melihat langsung kondisi lapangan.
•
Pertahankan
keindahan
terumbu
karang
supaya
turis
mancanegara berdatangan. •
Manfaatkan program COREMAP untuk mempertahankan terumbu karang sambil mengkaji usaha alternatif di wilayah masingmasing.
(2) Strategi WO, •
Didik masyarakat supaya sadar akan kepentingan terumbu karang; 33
•
Libatkan
masyarakat
secara
lebih
aktif
dalam
kegiatan
COREMAP dan tunjukkan apa keuntungan yang dapat diperoleh sesuai dengan tujuan COREMAP. •
Berikan contoh konkrit di lapangan yang dapat diikuti dan dapat memberikan keuntungan bagi mereka.
(3) Strategi ST, •
Tingkatkan produksi ikan melalui budidaya;
•
Buat tolok ukur managemen (standar ukuran yang boleh ditangkap) untuk ikan-ikan karang
•
Manajemen
sumberdaya
berbasis
masyarakat
perlu
dikembangkan di seluruh wilayah. •
Pengawasan pihak aparat perlu ditingkatkan.
(4) Strategi WT, •
Tingkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan dan usaha alternatif.
•
Tingkatkan koordinasi di tingkat PEMDA dalam membangun komitmen bersama untuk menegakkan hukum di lapangan.
•
Perlu ada ketegasan sangsi terhadap pelanggar, termasuk aparat yang terlibat, sesuai dengan aturan yang berlaku.
4.6. Rencana penelitian kedepan Rencana penelitian kedepan disusun sesuai hasil identifikasi akar masalah, strategi dari analisa SWOT, hasil lokakarya dan issu strategis yang ada. terumbu
Pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir kawasan
karang
harus
diwujudkan
melalui
penguasaan
teknologi
pemanfaatan sumberdaya hayati ekosistem terumbu karang.
Manfaat
langsung terumbu karang yang dirasakan oleh nelayan dan masyarakat pesisir akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap ekosistem ini, dan akan mencegah segala bentuk kegiatan yang merusak kelestariannya. Budaya bahari perlu dikembangkan dan diimplementasikan ke arah semua kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, termasuk usaha budidaya, pemasaran, pengolahan pasca panen, serta 34
pemeliharaan prasarana dan sarana pendukung yang diperlukan. Kerangka penelitian kedepan seperti pada Gambar 1.
Illegal Fishing & Destructive fishing
TERUMBU KARANG RUSAK
• • • • • • •
Penyadaran Masyarakat Penegakan Hukum Pengembangbiakan karang Daerah Perlindungan Laut MPA Partisipasi masyarakat Pengembangbiakan ikan
Penelitian
Kaji Tindak Target COREMAP: • Luas TK • CPUE • Pendapatan
Gambar 1. Kerangka pikir perencanaan penelitian Penerapan teknologi budidaya/penangkapan ikan yang tepat dan ramah lingkungan di kawasan terumbu karang ini merupakan upaya optimalisasi
pemanfaatan
produktivitas
ekosistem
ini
yang
dapat
diprogramkan yang dapat dengan cepat dikuasai oleh nelayan dan masyarakat pesisir untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Kegiatan budidaya itu sendiri merupakan obyek yang menarik bagi para wisatawan jika tidak mengganggu ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Teknologi budidaya pantai yang dikembangkan selama ini memerlukan beberapa modifikasi agar dalam penerapannya pada ekosistem ini tidak merusak kondisi optimum komponen fisikawi, kimiawi dan biologis ekositem terumbu karang.
35
Teknologi produksi budidaya, Agroindustri Hasil Perikanan, serta Kebijakan Pemasaran Komoditi Perikanan adalah sub sistem agribisnis perikanan budidaya terumbu karang yang perlu
ditingkatkan melalui
pembenahan-pembenahan. Secara garis besar aktivitas penelitian yang dapat dilakukan tentang terumbu karang atau yang berhubungan dengan pengelolaan terumbu karang dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yaitu : 1) Penelitian akademis (Academic Research) Penelitian yang termasuk didalamnya antara lain : penelitian tentang
aspek
tingkah
laku
(physiological aspect),
(specific
behavioral),
aspek
fisiologi
dan aspek ekologi (ecological aspect) dari
organisme terumbu karang dan komunitas yang berasosiasi dengan terumbu karang, 2) Penelitian terapan (Applied Research) Penelitian yang termasuk didalamnya antara lain : penelitian yang mendeterminasi kebutuhan pengelolaan, penelitian yang mendeterminasi tipe
atau
bentuk
pengelolaan,
dan
penelitian
yang
menunjang
pelaksanaan pengelolaan, 3) Penelitian pemanfaatan terumbu Karang non perikanan (Biomedical Research, Biotechnological Research) Penelitian yang termasuk didalamnya antara lain : mendeterminasi senyawa-senyawa yang berasal dari coral reef untuk dunia kedokteran, industri farmasi, industri pertanian, dan industri lainnya. COREMAP phase II mencanangkan dilakukannya penelitian terumbu karang dan monitoring
yang komponennya antara lain : inventarisasi
perikanan (nelayan, kapal, alat tangkap, dan managemen pengembangan perikanan, pengembangan pengelolaan yang berkelanjutan, penguatan kelembagaan, peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan sebagainya). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka topik-topik penelitian strategis yang dapat dilakukan antara lain :
36
Aspek biologi • Identifikasi spesies dan deskripsi komunitas (biota dominant, spesies ekonomis penting, sedentary species, spesies dilindungi dll), • Biologi populasi dan dinamika populasi (spesies dilindungi, spesies ekonomis penting, sedentary spesies termasuk biota non ikan), • Biologi reproduksi (spesies dilindungi, spesies ekonomis penting, sedentary spesies Aspek fisik • Identifikasi struktur geologi, • Identifikasi umum kondisi terumbu (jenis, luasan, coral cover, distribusi dan kelimpahan relatif spesies sedentaire), • Analisis hidrologi dan hidrometrik area (pasang surut, beda pasang, gelombang, pasang rencana, arus dan kecepatan arus, moving salinity dll), • Analisis kualitas air perairan • Analisis pencemaran dan sedimentasi (sumber pencemaran dan sedimentasi) Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya • Identifikasi kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat pengguna terumbu karang • Kajian prospek pengelolaan untuk penggunaan yang akan datang, • Kajian dampak ekonomi dan sosial terhadap penerapan pengelolaan, • Kajian tentang praktek-praktek budaya oleh masyarakat terhadap kelestarian ekosistim terumbu karang, • Identifikasi
kegiatan-kegiatan
pemanfaatan
sumberdaya
terumbu
karang, • Identifikasi kegiatan pemanfaatan tidak langsung sumberdaya terumbu karang, • Kajian sosial-ekonomi industri perikanan, • Kajian lembaga mikro keuangan usaha perikanan,
37
• Kajian karakteristik sosial-ekonomi nelayan, • Kajian ekonomi pemanfaatan terumbu karang untuk aktivitas tourisme, • Kajian
tata
niaga
dan
peluang-peluang
pemasaran
komoditas
perikanan, • Kajian pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program COREMAP, Aspek perikanan Perikanan Tangkap • Kajian potensi sumberdaya (ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang konsumsi, dan non ikan) dan upaya optimum, • Kajian rona industri perikanan tangkap dan potensi pengembangannya, • Kajian ramah lingkungan teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan • Pemetaan daerah penangkapan ikan, • Kajian cara-cara pemanfaatan sumberdaya terumbu karang oleh masyarakat, • Kajian pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap (pelabuhan perikanan, pabrik es, cold storage, pasar higinies dan lainlain), • Analisis potensi wilayah pesisir dan potensi pengembangannya, Perikanan Budidaya • Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut, • Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya sistim karamba apung, • Kajian tingkat teknologi perikanan budidaya saat ini dan peluang pengembangan, • Kajian peluang-peluang pengembangan budidaya, • Studi kelayakan pengembangan pembenihan (ikan dan udang), Aspek hukum dan kelembagaan • Identifikasi tipe konflik dan area konflik, 38
• Identifikasi cara-cara illegal pemanfaatan sumberdaya, • Kajian efektivitas kelembagaan saat ini untuk mengatasi permasalahan pengrusakan terumbu karang, • Kajian kesesuaian perdes dan perda atas aturan yang diatasnya, • Kajian model kelembagaan yang efektif dalam menanggulangi pengrusakan terumbu karang, • Kajian aturan pengelolaan (perdes) menurut desa.
4.7. Pembahasan Pada umumnya peserta terlalu banyak menyoroti masalah lemahnya penegakan hukum di lapangan.
Kelihatannya faktor ini
dianggap sebagai akar masalah maraknya penggunaan alat penangkap ikan illegal. Masalah ini tidak bisa diselesaikan melalui kegiatan penelitian saja, tetapi diperlukan komitmen internal dari pemerintah Kabupaten beserta aparatnya.
Kalau tidak ada komitmen bersama, penegakan
hukum sulit ditegakkan di lapangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pihak pengelola COREMAP dapat melakukan negosiasi intensif dengan pemerintah daerah dan lintas sektor, sehingga terbangun komitmen dan kebersamaan dalam mensukseskan program. Kalau komitmen dari pihak pejabat daerah sudah terbentuk, tinggal diperkuat ditingkat masyarakat desa melalui program penyadaran, kearifan lokal, mata pencaharian alternatif dan pembentukan daerah perlindungan laut. Berdasarkan diskusi yang berkembang selama lokakarya dapat ditarik akar masalah kerusakan terumbu karang di Kabupaten Selayar adalah akibat dari aktivitas nelayan yang menggunakan bahan kimia dan bahan peledak dalam menangkap ikan.
Kedua jenis bahan tersebut
dikategorikan sebagai alat terlarang. Tentunya akan timbul pertanyaan, mengapa nelayan melakukannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa penyebabnya antara lain : penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap kepatuhan hukum serta akan dampak penggunaan bahan terlarang. Disisi lain, masyarakat juga terdesak akan kebutuhan ekonomi sehingga 39
penanggulangannya semakin rumit. Oleh karena itu, solusi yang dapat dilakukan harus terpadu, minimal menyangkut penegakan hukum, penyadaran masyarakat dan penciptaan mata pencaharian alternatif. Pada dasarnya, kalau nelayan ditanya tentang bahaya penggunaan bahan peledak dan bius, pada prinsipnya mereka mengetahui, tetapi sulit untuk berhenti karena sudah merasa keenakan.
Untuk itu, sebagai
langkah antisipasi, diperlukan penciptaan lapangan kerja alternatif yang dapat mengalihkan perhatian nelayan dari merusak menjadi tidak merusak.
Pelaksanaan program di setiap wilayah sebaiknya secara
terpadu, misalnya penyadaran masyarakat, mata pencaharian alternatif dan penegakan hukum. Penegakan hukum sendirian tidak akan efektif, karena nelayan terdesak oleh kebutuhan ekonomi.
Disisi lain,
sumberdaya ikan sudah semakin berkurang, sehingga perlu diantisipasi dengan upaya perbaikan habitat disertai dengan restoking. Setiap kegiatan, termasuk kegiatan penelitian, perlu dibuatkan indikator kinerja yang jelas dan terukur, sehingga dapat dipertanggung jawabkan di depan umum.
Informasinya disosialisasikan sampai ke
tingkat desa, sehingga masyarakat luas juga tahu apa yang sedang berlangsung di wilayahnya. Penelitian harus direncanakan dengan baik, indikator yang jelas dan terukur, serta harus diikuti tindak lanjutnya. Perencanaan penelitian harus terkait dengan kegiatan lain, sehingga kelihatan sinerginya. Lokasi penelitian juga harus direncanakan dengan baik, karena masing-masing lokasi punya urgensi berbeda-beda. Dalam TOR penelitian lokasi perlu dimunculkan, dimana lokasi dan apa urgensinya, sehingga pemenang tender tidak lagi mencari-cari lokasi yang mudah dijangkau saja. Selanjutnya, anggaran biaya harus disesuaikan dengan lokasinya. Penelitian yang akan dilakukan kedepan harus dapat mengacu pada sasaran akhir COREMAP dan harus terintegrasi dengan kegiatan lainnya dalam satu wilayah. Beberapa judul penelitian yang ditawarkan adalah :
40
(1).PENEGAKAN HUKUM (a)
Revitalisasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian terumbu karang.
(b)
Kajian penegakan hukum di laut : permasalahan dan solusinya
(c)
Identifikasi tipe konflik dan area konflik,
(d)
Identifikasi cara-cara illegal pemanfaatan sumberdaya,
(e)
Kajian efektivitas kelembagaan saat ini untuk mengatasi permasalahan pengrusakan terumbu karang,
(f)
Kajian kesesuaian perdes dan perda atas aturan yang diatasnya,
(g)
Kajian model kelembagaan yang efektif dalam menanggulangi pengrusakan terumbu karang,
(h)
Kajian aturan pengelolaan (perdes) menurut desa
(2). EKOTURISM & Sosial Budaya (a)
Analisis potensi (peluang dan tantangan) ekotourism di lokasi COREMAP II Selayar.
(b)
Identifikasi
kondisi
sosial-ekonomi-budaya
masyarakat
pengguna terumbu karang (c)
Kajian prospek pengelolaan untuk penggunaan yang akan datang,
(d)
Kajian dampak ekonomi dan sosial terhadap penerapan pengelolaan,
(e)
Kajian tentang praktek-praktek budaya oleh masyarakat terhadap kelestarian ekosistim terumbu karang,
(f)
Identifikasi
kegiatan-kegiatan
pemanfaatan
sumberdaya
terumbu karang, (g)
Identifikasi kegiatan pemanfaatan tidak langsung sumberdaya terumbu karang,
(h)
Kajian sosial-ekonomi industri perikanan,
(i)
Kajian lembaga mikro keuangan usaha perikanan,
(j)
Kajian karakteristik sosial-ekonomi nelayan,
41
(k)
Kajian ekonomi pemanfaatan terumbu karang untuk aktivitas tourisme,
(l)
Kajian tata niaga dan peluang-peluang pemasaran komoditas perikanan,
(m) Kajian
pelibatan
masyarakat
dalam
perencanaan
dan
implementasi program COREMAP,
(3). MPA (Mata Pencaharian Alternatif) (a)
Kajian akses pasar untuk hasil-hasil perikanan (lanjutan dari penelitian pada COREMAP I).
(b)
Kajian peranan gender dalam pelestarian terumbu karang.
(c)
Kajian peluang dan potensi mata pencaharian alternatif di seluruh wilayah COREMAP
(d)
Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut,
(e)
Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya sistim karamba apung,
(f)
Kajian tingkat teknologi perikanan budidaya saat ini dan peluang pengembangan,
(g)
Kajian peluang-peluang pengembangan budidaya,
(h)
Studi kelayakan pengembangan pembenihan (ikan dan udang),
(i)
Analisis hidrologi dan hidrometrik area (pasang surut, beda pasang, gelombang, pasang rencana, arus dan kecepatan arus, moving salinity ).
(4). Rehabilitasi terumbu karang & ikan (a)
Kajian potensi dan lokasi daerah perlindungan laut, taman laut daerah
(b)
Kajian potensi dan lokasi restoking ikan-ikan karang dan kekerangan
(c)
Kajian lokasi Artificial reef yang sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah
42
(d)
Efektifitas dan produktifitas
terumbu buatan dan peluang
pengembangannya (studi kasus proyek terumbu buatan tahun 2006) (e)
Kajian potensi eksploitasi karang, ikan karang & ikan hias (lokasi daerah yang masih potensil, berdasarkan kajian sebelumnya)
(f)
Kajian potensi sumberdaya (ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang konsumsi, dan non ikan) dan upaya optimum,
(g)
Kajian
rona
industri
perikanan
tangkap
dan
potensi
pengembangannya, (h)
Kajian ramah lingkungan teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan
(i)
Pemetaan daerah penangkapan ikan,
(j)
Kajian cara-cara pemanfaatan sumberdaya terumbu karang oleh masyarakat,
(k)
Analisis
potensi
wilayah
pesisir
dan
potensi
pengembangannya
(5).PENGEMBANGAN FASILITAS PENUNJANG COREMAP (a)
Kajian penanggulangan listrik pedesaan di pulau pulau kecil
(b)
Kajian penanggulangan air tawar di pulau-pulau kecil yang kekuraangan air tawar.
(c)
Kajian pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap (pelabuhan perikanan, pabrik es, cold storage, pasar higinies dan lain-lain)
43
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Sesuai dengan hasil lokakarya dan pembahasan disimpulkan beberapa judul penelitian sebagai berikut : (a)
Akar masalah pengrusakan terumbu karang adalah lemahnya penegakan hukum di lapangan.
(b)
Judul-judul penelitian yang diusulkan dibagi dalam lima kelompok, yaitu: penegakan hukum, ekoturismn dan sosial budaya, mata pencaharian alternatif, rahabilitasi terumbu karang dan ikan, serta pengembangan fasilitas penunjang. Susunan pada masing-masing kelompok bukan merupakan urutan prioritas, urgensinya tergantung kondisi lapangan masing-masing wilayah.
(c)
Penelitian yang akan dilakukan harus disesuaikan dengan urgensi masing-masing wilayah dan erat hubungannya dengan target akhir COREMAP.
5.2. Saran Perencanaan penelitian kedepan mengacu pada hasil lokakarya ini, tapi harus sinkron dengan kegiatan lain secara terpadu dengan indikator outcome yang jelas dapat diukur.
PENUTUP Lokakarya ini merupakan salah satu media dalam rangka menjaring partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Semakin banyak dilibatkan dalam perencanaan kegiatan di wilayahnya, maka mereka akan semakin merasa memiliki dan akan menjaganya.
Oleh
karena itu, sudah saatnya masyarakat lebih banyak dilibatkan dalam perencanaan, jangan hanya dilarang terus menerus, tetapi perlu dicarikan solusi secara bersama-sama, demi untuk kepentingan kita semua dan dapat diwariskan kepada anak cucu kita.
44
Penjaringan peserta perlu
dipersiapkan lebih baik lagi, sehingga peserta betul-betul sesuai dengan harapan dan terdistribusi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Akamatsu, T., Nakamura, K., Miroi, H., and Watanabe, M. 1996. Effects of Underwater Sounds on Escape Behaviour of Steller Sea Lions. Fisheries Science, 62(4) : 503-510. Arimoto, T., Choi, SJ., and Choi, Y.G. 1999. Trends and Perspectives for Fishing Technology Research Towards the Sustainable Development. In Proceeding of 5th International Symposium on Efficient Application and Preservation of Marine Biological Resources. OSU National University, Japan. Pp 135-144. Charles, A.T. 1994. Towards Sustainability: The Fishery Experience. Ecological economics, 11: 201-211. ----------------. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. London. 370 p. Coral Reef Information and Training Centers (CRITC) in Indonesia. www.gaf.de/main/selectedprojects.php - 33k. online. Diakses 25 Mei 2006. Dokumen Bank Bunia. Coral Reef Rehabilitation And Management Project (Loan 1613-INO www.adb.org/Documents/PCRs/INO/pcrino-29313.pdf online. Diakses 25 Mei 2006. Dutton, I. M, D.G. Bengen and J.J. Tulungen. 2001. The challenges of coral reef management in Indonesia. In Oceanographic Processes of Coral Reefs : Physical and biological links in the Great Barrier Reef. CRC Press. Washington D.C. p 315-330. English, S., C. Wilkinson and V. Baker (editors). 1994. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. FAO. 1995. Code of conduct for responsible fisheries. FAO Fisheries Department. 24 p. (Online) (http://fao/fisheries/code, diakses 9 Juli 2002). Hatcher, B.G. 1990. Coral reef primary productivity: A hierarchy of pattern and process. Tree Vol. 5 No. 5 : 149-155. Iskandar, B. H. dan Mawardi W., 1997. Studi Perbandingan Keberadaan Ikan-Ikan Karang Nokturnal dan Diurnal Tujuan Penagkapan di Terumbu Karang Pulau Pari Jakarta Utara. Buletin PSP. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jennings, S., E.M. Grandcourt, N.V.C. Polunin. 1995. The effects of fishing on the diversity, biomass and trophic structure of Seychelles’ reef fish communities. Coral reef 14: 225-235. 45
Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. Impacts of fishing on tropical reef ecosystems. Ambio Vol 25 No. 1: 44-49. Jennings, S., S. S. Marshall & N.V.C. Polunin. 1996. Seychelles’ marine protected areas: Comparative structure and status of reef fish communities. Biological Conservation 75: 201-209. Kusumaatmaja, S. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Kata Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta . 328 hal. Laevestu dan Hayes. - . Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England. 199p. MCMANUS, J.W., & R.B. REYES, JR. 1997. Effects of some destructive fishing methods on coral cover and potential rates of recovery. Environmental management Vol. 21 No. 1: 69-78. Nikolsky, Rachman, Sutjiati, 1985. Ekologi Ikan, Malang Agustus Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Rangkuti, F. 2003. Analisis SWOT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rooney, J.J and Heuvel, L.N.V. 2004. Root cause analysis for beginners. Quality Progress, July: 45-53. Sugandhy, A. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Kata Pengantar Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Lingkungan Alam/Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup BAPEDAL. Penerbit Djambatan. Jakarta. 118 hal. Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Penerbit Djambatan. WCED (World Commision on Environment and Development). 1987. Our Common Future. Oxford University Press. Oxford. Yusuf, K., Mallawa, A., dan Iqbal, 2003a. Penggunaan Frekuensi Suara Pengejut Ikan pada Malam Hari. Bulletin Mutiara UMI, Vol 2 No.3/VI Yusuf, K., Mallawa, A., dan Sahabuddin, 2003b. Penggunaan Frekuensi Suara Pengejut Ikan pada Siang Hari. Bulletin Mutiara UMI, Vol. 3 No. 4/XII.
46
Lampiran 1. Makalah Lokakarya
47
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc.2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September 2006 2) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis adalah alat dengan system komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi dimuka bumi. Teknologi SIG ini dapat mengintegrasikan sistem operasi database seperti query dan analysis statistik dengan berbagai keuntungan analysis geografis yang ditawarkan dalam bentuk peta.
Dengan kemampuan pada sistem
informasi pemetaan (informasi spasial) yang membedakannya dengan system informasi lain seperti database, maka SIG banyak digunakan oleh masyarakat, pengusaha dan instansi untuk menjelaskan berbagai peristiwa, memprediksi hasil dan perencanaan strategis (Environmental Systems Research Institute, ESRI).
SIG memiliki kapabilitas menghubungkan berbagai lapisan data di
suatu titik yang sama pada tempat tertentu, mengkombinasikan, manganalysis data tersebut dan memetakan hasilnya. Teknologi ini juga dapat mendeskripkan karaketristik objek pada peta dan menentukan posisi kordinatnya, melakukan query dan analysis spasial serta mampu menyimpan, mengelola, mengupdate data secara terorganisisr dan efisien. Secara prinsip tujuan umum pemrosesan data pada teknologi SIG yaitu mempresentasikan: •
Input
•
Manipulasi
•
Pengelolaan
•
Query
•
Analysis
•
Visualisasi
1/5
Aplikasi SIG dalam bidang kelautan dan perikanan Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang sering dilontarkan nelayan antara lain dimana ikan di laut berada dan kapan bisa ditangkap dalam jumlah yang berlimpah. Meskipun sulit mencari jawabannya, perntanyaan penting ini perlu dicari solusinya. Hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan yang tidak menentu akan mempunyai konsekuensi yang besar yaitu memerlukan biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan. Dengan mengetahui area dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan, waktu dan tenaga. Salah
satu
alternatif
yang
menawarkan
solusi
terbaik
adalah
mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (inderaja) kelautan.
Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang
mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan laut (SST), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus
dan tingkat
produktifitas primer. Ikan dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dinamika arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a.
Pengetahuan dasar yang
dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan di sekelilingnya. Dari hasil analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsetrasi pada kisaran suhu 18.5-21.5oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3 (Polovia et al., 2001; Zainuddin et al., 2004, 2006). Selanjutnya output yang didapatkan dari indikator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG. Data indikator oseanografi yang cocok untuk ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter 2/5
lingkungan saja, tapi berbagai parameter yang saling berkaitan.
Dengan
kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberi gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bias mendapatkan banyak ikan. Di bawah ini disajikan salah satu contoh aplikasi penggunaan SIG dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut utara Pasific (Gambar 1). Disini terlihat bahwa dua database (satelit dan perikanan tuna) dikombinasikan dalam mengembangkan spasial analysis daerah penangkapan ikan tuna.
Pada
prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang diintegrasikan yaitu suhu permukaan laut (SST) (NOAA/AVHRR), tingkat konsentrasi klorofil (SeaWiFS), perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan eddy kinetik energi (EKE) (AVISO). Parameter pertama (SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk ikan tuna; sedangkan parameter yang kedua karena dapat menjelaskan tingkat produktifitas perairan yang berhubungan dengan kelimpahan makanan ikan; sementara parameter yang ketiga berhubungan dengan kondisi sirkulasi air daerah yang subur seperti eddy dan upwelling ; dan parameter terakhir berhubungan dengan indeks untuk melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan. Data penangkapan ikan tuna (lingkaran putih pada peta yang ditunjukkan dengan tanda panah) diplot pada peta lingkungan yang dibangkitkan dari citra satelit. Sedangkan panel atau layer yang paling atas menunjukkan peta prediksi hasil tangkapan. Gambar 1 memberi informasi bahwa ikan tuna tertangkap dalam jumlah yang besar (terkonsentrasi) pada posisi sekitar 35oLU dan 160oBT bersesuaian dengan kondisi SST sekitar 20oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3.
Konsentrasi ikan tersebut berada pada posisi positif
anomaly permukaan laut (warna merah) yang bertepatan dengan kondisi EKE yang relatif lebih tinggi. Dari Gambar itu terlihat bahwa prediksi hasil tangkapan dengan peluang yang tinggi (dikenal dengan istilah habitat hotspot) juga 3/5
menkonfirmasi daerah produktif tersebut.
Setiap spesies ikan mempunyai
karakteristik oseanografi kesukaannya sendiri dan cenderung menempati daerah tertentu yang bisa dipelajari. Hal ini dapat diketahui dengan pendekatan SIG dan inderaja multi-layer tersebut.
Gambar 1. Aplikasi SIG dan inderaja dalam kegiatan penangkapan ikan tuna pada bulan November 2000 (resolusi semua layer citra = 9 Km) (Zainuddin, 2006). 4/5
Contoh lain aplikasi SIG di selatan pulau Hokkaido, Jepang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Peta ini menunjukkan berbagai informasi spasial yang bisa kita pahami tentang perikanan tangkap di sekitar pulau tersebut, khususnya perikanan cumi-cumi.
Disni peta SIG menggambarkan dimana
posisi pelabuhan perikanan (fishing port), jarak antara fishing ground (daerah penangkapan) dan pelabuhan, distribusi hasil tangkapan, jumlah kapal yang tersedia.
Dari informasi ini dapat dilihat bahwa distribusi musiman daerah
penangkapan,
hasil
tangkapan
dan
jumlah
kapal
penangkap
akan
menghasilkan informasi tentang jalur migrasi spesies cumi-cumi tersebut yaitu cenderung ke utara pada bulan Juni dan kembali ke selatan pada bulan November.
Gambar 2. Peta distribusi daerah penangkapan cumi-cumi dan jumlah kapal dan hasil tangkapannya di sekitar pulau Hokkaido, Jepang pada bulan Juni (kiri) dan November (kanan) (Kiyofuji and Saitoh, 2004).
5/5
PERENCANAAN PENELITIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 1) Oleh Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc.2) 1)
Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006
2)
Staf pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
PENDAHULUAN Peningkatan eksploitasi laut untuk memenuhi permintaan protein ikani dan produk-produk perikanan bahan baku industri,
serta pemanfaatan lain dari
ekosistem laut yang tidak terkendali membawa dampak pada kerusakan dan penurunan mutu dan produktivitas sumberdaya laut tersebut.
Salah satu
sumberdaya laut yang rentan terhadap dampak berbagai aktivitas tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Selayar selalu berhadapan dengan ancaman kerusakan akibat penangkapan ikan dengan bahan kimia beracun dan penggunaan bom, karena ekosistem tersebut sangat dekat dengan dan mudah dijangkau oleh masyarakat pesisir yang aksesnya terhadap modal dan teknologi terbatas, serta pengetahuan dan kesadaran pengelolaan sumberdaya laut yang sangat terbatas. Terumbu karang yang hidup di dasar laut yang luas dengan beraneka ragam jenis dan warna,merupakan habitat tempat hidup bagi berbagai biota terumbu karang yang bernilai ekonomi penting seperti bunga karang, penyu, udang barong, kima, teripang, rumput laut serta ikan terumbu karang lainnya. Dari kekayaan keanekaragaman hayati itulah terumbu karang berpotensi sebagai sumber makanan, perikanan, obat-obatan, wisata, komoditi ekspor, bahan bangunan, pelindung pantai dari gempuran ombak, dan sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pendidikan. Ekosistem terumbu karang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan karena merupakan modal pembangunan, penggerak roda perekomian wilayah Selayar yang dapat mensejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan di wilayah ini. Sebagai sumberdaya pesisir, ekosistem terumbu karang dan masyarakat yang bermukim disekitarnya merupakan suatu kesatuan pengelolaan. Oleh sebab itu harus
dikelola
dengan
lebih
mengutamakan
pendekatan
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
sosial-ekonomi. 1/14
Optimalisasi pemanfaatan dan upaya pencegahan kerusakan terumbu karang dapat dicapai dengan memberdayakan masyarakat pesisir disekitarnya, dan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat tersebut.
Usaha budidaya
komoditi ekspor berupa ikan-ikan karang dan jenis-jenis lain bernilai ekspor akan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir
dan
meningkatkan rasa memiliki ekosistem terumbu karang di tengah masyarakat sekitarnya.
Diperkirakan 60% dari populasi penduduk bermukim di wilayah
pesisir, dan sebagian besar berupa nelayan yang tidak memilik akses yang cukup (kehandalan SDM dan perangkat teknologi) dalam memanfaatkan sumberdaya sekitarnya secara berkelanjutan. Penelitian merupakan suatu kajian ilmiah dimana hasil yang diperoleh dapat diverifikasi dan diuji kebenarannya. diteliti.
Tidak semua masalah layak untuk
Perumusan masalah merupakan kunci utama dalam menformulasikan
suatu perencanaan penelitian.
Selain itu, urgensi suatu masalah terhadap
pembangunan daerah merupakan salah satu kunci. Penelitian yang direncanakan harus dapat menjawab permasalahan lapangan yang ada dan juga harus dapat diaplikasikan.
Tidak semua permasalahan merupakan masalah penelitian dan
layak untuk diteliti.
Permasalahan penelitian harus berdasar pada landasan
ilmiah, parameternya dapat diukur, dapat diuji, tenaga ahli tersedia, fasilitas tersedia dan secara tehnis dapat dilakukan. Banyak jenis penelitian antara lain penelitian dasar, penelitian aplikasi dan penelitian kaji tindak.
Penelitian dalam proyek COREMAP diharapkan dapat
diaplikasikan oleh masyarakat nelayan dalam menunjang pencapaian sasaran proyek.
Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan haruslah berorientasi
aplikasi. Dalam perencanaan, yang perlu diperjelas adalah sasaran/tujuan. Dalam proyek COREMAP II sesuai laporan Bank Dunia (2004), sasarannya adalah : meningkatnya luasan terumbu karang hidup, meningkatnya hasil tangkapan nelayan, dan meningkatnya pendapatan serta standar hidup masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, perlu dilakukan evaluasi permasalahpermasalahan penelitian yang merupakan faktor penghambat dalam pencapaian tujuan.
Alur pikir pentingnya perencanaan penelitian dalam mencapai target
COREMAP disajikan pada Gambar 1. Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
2/14
Terumbu Karang Rusak
AKAR MASALAH ??? Indikator :awal MASALAH PENELITIAN
RENCANA STRATEGIS
RENCANA AKSI PENELITIAN
AKSI
Target COREMAP : Indikator :akhir
• Luasan TK miningkat • Hasil tangkapan meningkat • Pendapatan nelayan meningkat
Gambar 1. Alur pikir perencanaan penelitian PERMASALAHAN Ada dua hal yang dapat mengancam pelestarian sumber daya perikanan terumbu karang, yaitu rusaknya habitat terumbu karang dan over fishing. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan perikanan terumbu karang secara menyeluruh karena produktivitas terumbu karang tersebut tergantung pada kondisi terumbu karang. Produktifitas perikanan akan tinggi apabila berada pada habitat terumbu karang yang baik, dan sebaliknya akan terjadi produktifitas perikanan yang rendah pada habitat terumbu karang yang rusak. Adapun akibat rusaknya habitat terumbu karang itu adalah sebagai berikut: • Pencemaran laut (limbah industri, limbah domestik, endapan, tumpahan minyak) Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
3/14
• Penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan di terumbu karang • Karena faktor biologis (adanya blooming hama pemakan karang batu, Acanthaster planci) • Kegiatan pariwisata bawah air (penyelaman/snorkeling) • Penambangan karang • Faktor alami seperti gempa dan taufan yang di luar kemampuan manusia Beberapa masalah kerusakan terumbu karang yang dapat teridentifikasi, antara lain : o Besarnya ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang di Sul-Sel oleh aktivitas penangkapan ikan dengan bahan kimia dan bahan peledak, pengambilan biota karang untuk cindera mata dan untuk bahan bangunan, serta oleh aktivitas pariwisata berpangkal pada keterbatasan masyarakat
pesisir
akan
akses
terhadap
teknologi
pemanfaatan
sumberdaya hayati terumbu karang dan keterbatasan
pengetahuan
masyarakat terhadap pentingnya ekosistem terumbu karang. o Belum adanya program pengelolaan kawasan terumbu karang yang dapat menjamin penerapannya secara berkelanjutan karena memerlukan dana yang sangat besar, selain manfaat langsung dari pengelolaan tersebut belum nampak. o Diperlukan penerapan teknologi budidaya yang tepat agar fungsi ekosistem terumbu karang sebagai obyek ekowisata dan pusat keanekaragaman hayati tidak terganggu. o Ketidakberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang pada dasarnya bercorak agribisnis disebabkan oleh tidak optimalnya fungsi sub-sub sistem agribisnisnya yang sedang berlangsung. o Budaya bahari selama ini diartikan sempit yaitu hanya terbatas pada kegiatan berlayar dan menangkap ikan saja. Masalah Penelitian Bagaimana Suatu Masalah Penelitian Muncul?
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
4/14
Ada “kesenjangan” antara teori (what should be) dengan kenyataan yang dijumpai (what is). Mengapa kesenjangan terjadi ? Mestikah setiap kesenjangan dapat dikembangkan menjadi permasalahan penelitian, ternyata jawabannya tidak Apa yang Dimaksud Masalah Penelitian ? z Pertanyaan tentang situasi problematik yang timbul dari kesenjangan antara kenyataan dengan teori atau fakta empirik penelitian terdahulu, yang memungkinkan untuk dijawab, dan terdapat lebih dari satu kemungkinan jawaban” z “Suatu rumusan kalimat interogatif mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih yang belum terjawabkan dengan teori atau penelitian yang ada” Ciri Masalah yang baik z Mempunyai nilai penelitian yang dicirikan dengan adanya suatu hubungan dua atau lebih vaiabel, merupakan hal yang penting serta dapat diuji z
Masalah harus fisible dalam arti tersedia data serta metode, biaya, waktu, sponsor, tidak bertentangan dengan hukum adat
z
Masalah harus sesuai dengan kualifikasi peneliti dalam hal ini menarik bagi peneliti
Signifikansi Masalah Penelitian z Perumusan masalah merupakan langkah awal yang menentukan bagi penyusunan matarantai metodologik berikutnya z Seorang peneliti dapat mengetahui “prognosis” penelitian yang akan dilakukan z Dapat dilakukan konfirmasi ketepatan judul dan tujuan penelitian yang ditetapkan. z Mengetahui seberapa jauh penelitian yang dilakukan cukup berbobot dan orisinal. Prinsip-Prinsip Perumusan Masalah z Prinsip yang berkaitan dengan teori dasar z Prinsip yang berkaitan dengan maksud perumusan masalah z Prinsip hubungan faktor. z Masalah sebagai wahana untuk membatasi studi z Prinsip yang berkaitan dengan kriteria inklusi-eksklusi Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
5/14
z Prinsip yang berkaitan dengan bentuk perumusan masalah z Prinsip sehubungan dengan posisi perumusan masalah z Prinsip yang berkaitan dengan kajian kepustakaan z Prinsip yang berkaitan dengan pengunaan bahasa Dalam menetapkan masalah penelitian ada lima hal yang harus dilakukan, yaitu 1. Tunjukkan kenyataan (fenomena) yang ditangkap atau yang dijadikan pikiran itu; misalnya dari data sekunder (laporan-laporan). 2. Tunjukkan harapan yang bersangkutan dengan kenyataan itu,. Misalnya: ketentuan-ketentuan, patokan-patokan, fakta, teori, hukum dan sebagainya; dari referensi-referensi tertentu.. 3. Tunjukkan kesenjangan antara kenyataan dan harapan itu. 4. Tunjukkan bahwa alternative jawaban/pemecahan kesenjangan itu lebih dari satu alternative (jika hanya satu alternative, tidak merupakan masalah). 5. Tunjukkan tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan (jika tidak dipecahkan akan mengganggu apa). Dari uraian di atas jelas bahwa banyak masalah yang menyebabkan rusaknya terumbu karang, tetapi tidak semua masalah tersebut merupakan masalah penelitian.
Masalah terumbu karang yang ada harus di pilah-pilah
sehingga menjadi masalah penelitian. ANALISIS RCA TERUMBU KARANG RUSAK & OVER FISHING Mengapa nelayan menggunakan bom dan obat bius ? Berdasarkan informasi dari beberapa nelayan, pada dasarnya mereka menyadari kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan bom dan obat bius, akan tetapi mereka sudah terlanjur terbiasa dan keenakan menggunakannya. Memang disadari, nelayan pengguna alat tersebut dengan mudah akan mendapatkan ikan dalam jumlah banyak, jika dibandingkan dengan jenis alat tangkap ikan lainnya yang diperbolehkan. Permasalahan penelitian dianalisis menggunakan metoda roof cause analysis (RCA) dan SWOT analisis.
Kedua alat analisis ini digunakan untuk
mengidentifikasi akar masalah dalam program agenda penelitian di Selayar. Analisis RCA adalah alat yang didisain untuk membantu mengidentifikasi tidak hanya “apa” dan “bagaimana” sesuatu terjadi, tetapi juga “mengapa” sesuatu itu Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
6/14
terjadi.
Urutan dalam analisis RCA meliputi : pengumpulan data, diagram faktor
penyebab, identifkasi akar masalah dan rekomendasi umum serta implementasi. Tabel 1. Analisis RCA; Deskripsi kasus : Terumbu Karang Rusak akibat aktivitas nelayan yang menggunakan bom dan KCN Faktor Penyebab1 Deskripasi : nelayan menangkap ikan menggunakan bom & KCN
Deskripsi : penegak hukum tidak melarang nelayan
Deskripsi: pemerintah setempat membiarkan pelaku Deskripsi : masyarakat setempat membiarkan
Langkah ke peta akar penyebab • Nelayan tidak punya alat penangkap ikan lain • Nelayan tidak sadar akan bahaya bom • Nelayan keenakan menggunakan bom • Aparat keamanan tidak menindak pelaku • Pemerintah desa tidak melarang • Aparat kurang fasilitas • Proses hukum tidak jelas • Kepedulian aparat thd sda sangat kurang • Rasa memiliki sda tidak ada • Masalah kepentingan • Kepedulian sda kurang • Rasa memiliki sda tidak ada • Masalah kepentingan • Rasa memiliki sda tidak ada • Pengelolaan masyarakat tidak ada •
Rekomendasi • Perlu upaya mendapatkan alat tangkap legal • Upaya penyadaran masyarakat • Perlu penegakan hukum • Perlu melengkapi fasilitas • Proses hukum harus transparan • Perlu penyadaran • Perlu penyadaran • Perlu penyadaran • Masyarakat perlu dilibatkan
ANALISIS SWOT Strength (Kekuatan) : • Garis pantai yang sangat panjang • Wilayah laut dan terumbu karang luas • Nelayan tersebar pada berbagai pulau dengan laut & terumbu karang disekelilingnya. • Terumbu karang di wilayah ini merupakan pusat biodiversity Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
7/14
• Proyek COREMAP
Weakness (Kelemahan) : • Nelayan menangkap ikan tanpa memperhatikan kelestarian ikan • Nelayan menangkap ikan dengan merusak ekosistem • Nelayan merusak ekosistem untuk kebutuhan bangunan • Sistem milik bersama, sehingga nelayan berprinsip kalau bukan mereka yang ambil maka meka nelayan lain yang akan ambil. • Nelayan belum sadar akan manfaat terumbu karang.
Opportunities (Peluang) : • Perhatian dunia terhadap pelestarian sumberdaya laut sangat besar. • Wisatawan mancanegara sangat tertarik terhadap keindahan terumbu karang. • Proyek COREMAP merupakan fasilitas untuk berbuat banyak. • Dukungan PEMDA sangat kuat terhadap pemberantasan illegal fishing. • Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan mulai muncul di berbagai wilayah.
Threats (Ancaman) : • Pengrusak terumbu karang pelintas batas semakin banyak akibat kondisi sumberdaya ikan ditempat lain semakin rusak. • Permintaan ikan hidup relatif tetap sementara sumberdaya ikan semakin berkurang memperparah aktivitas penangkapan ikan yang merusak. • Batasan ukuran minimum ikan di pasar tidak sesuai dengan ukuran ikan layak eksploitasi • Pengawasan sangat kurang • Permintaan pasar akan ikan-ikan terumbu karang, baik dari pasar lokal maupun ekspor tidak berubah bahkan bertambah Berdasarkan analisis swot dibuat strategi dengan menggabungkan faktor internal dan eksternal untuk meminimalisir kelemahan dan ancaman. Manfaatkan kekuatan internal dan peluang eksternal seoptimal mungkin. Beberapa strategi dapat disusun antara lain :
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
8/14
Strategi SO; Manfaatkan garis pantai yang panjang untuk kegiatan produksi (seperti budidaya ikan, rumput laut, teripang). Strategi WO, Didik masyarakat supaya sadar akan kepentingan terumbu karang; Strategi ST, Tingkatkan produksi ikan melalui budidaya; Strategi WT, Tingkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan dan usaha alternatif.
Indikator kinerja hasil penelitian Harus jelas dan pada masing-masing lokasi coremap dan secara kuantitatif dapat diukur sesuai dengan target COREMAP.
Karena indikator akhir proyek
jelas, maka secara kuantitatif pada masing-masing wilayah dapat dijelaskan perubahan yang terjadi, apakah penambahan atau pengurangan.
Monitoring dan evaluasi lapangan Secara umum, monitoring adalah sebuah komponen penting dalam manajemen. Manajemen itu sendiri merupakan proses yang berulang, yaitu sebuah siklus yang diawali dengan identifikasi isu, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana penanganan isu, penetapan rencana dan pengalokasian anggaran, pelaksanaan rencana, lalu monitoring dan evaluasi yang menghasilkan umpan balik (feedback) untuk perencanaan berikutnya Pengelolaan yang efektif adalah yang dinamis dalam merespons permasalahan yang berkembang; informasi tentang perkembangan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan monitoring. Manfaat monitoring terhadap suatu pengelolaan. Pertama, monitoring diperlukan untuk mengukur kemajuan pelaksanaan rencana dan mengidentifikasi masalah-masalah yang menghambat pencapaian tujuan. Pengukuran kemajuan ini sangat penting untuk memastikan rencana dilaksanakan dengan baik dan berdampak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berlaku baik untuk pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu dengan siklus yang berulang-ulang. Kedua, mengukur kinerja manajemen, membandingkan antara output dan input. Walaupun indikator kinerja sudah ditetapkan, akan tetapi harus dapat dibuktikan di lapangan.
Untuk itu, monitoring lapangan merupakan hal yang
mempunyai urgensi tinggi. Monitoring harus mengacu pada indikator kinerja yang Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
9/14
telah dibuat dan disepakati pada saat penandatanganan kontrak kegiatan. Dalam pembuatan indikator kinerja harus mengacu kepada tujuan akhir proyek, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan dapat diplot kontrubusinya terhadap tujuan akhir proyek. Wilayah proyek yang luas merupakan tantangan besar untuk dapat menjangkaunya secara merata. Oleh karena itu diperlukan indikator awal berupa data base untuk seluruh wilayah yang merupakan titik acuan untuk mengukur keberhasilan proyek.
PERLUNYA KEBERSAMAAN Rasa memiliki masyarakat terhadap rencana pengelolaan merupakan hal yang penting dan membutuhkan partisipasi nyata dari masyarakat dalam tahaptahap perencanaan dan pelaksanaan. Masyarakat desa di wilayah pesisir apabila dilatih dan diperkuat kemampuan dan kapasitas mereka serta diberi kepercayaan secara partisipatif akan mampu bertanggungjawab secara baik dalam mengelola sumberdana
dan
sumberdaya
secara
baik,
mampu
melakukan
pemantauan/monitoring kondisi sumberdaya pesisir secara tepat serta dapat dirubah dari pemanfaat murni sumberdaya menjadi pengelola (manager) sumberdaya mereka sendiri (Tulungen dkk., 2000). Peningkatan pengembangan kapasitas masyarakat dan kelompok yang bertugas untuk melaksanakan rencanan pengelolaan harus mendapatkan perhatian serius dan penekanan utama selama proses persiapan, perencanaan, bahkan harus dilanjutkan sampai pada tahap pelaksanaan. Tanpa kapasitas yang cukup bagi pengelolaan maka kemungkinan keberhasilan secara berkelanjutan akan sulit dijamin. Rencana pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat harus dipandang sebagai pendekatan pengelolaan bersama (co-management) atau secara kolaboratif dimana masyarakat dan pemerintah setempat (di desa, kecamatan dan ditingkat kabupaten) secara aktif bekerjasama selama proses perencanaan dan pelaksanaan. Partisipasi masyarakat akan sangat efektif apabila diintegrasikan sejak awal proses perencanaan bersamaan dengan keterlibatan aktif dari lembaga permerintah. Karena belum ada pengalaman dan tradisi yang cukup panjang menyangkut “bottom-up planning” dan partisipasi masyarakat yang nyata, penekanan dan perhatian pada pengembangan kapasitas sangat penting bagi pengelolaan berbasis-masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
10/14
Dukungan dari pejabat pemerintah ditingkat kabupaten dan propinsi akan juga mempercepat kemungkinan keberhasilan program. Demikian juga di tingkat desa, dukungan yang kuat dari pemimpin setempat pada saat memulai proses perencanaan akan menjamin bahwa proses perencanaan tersebut berhasil dan mempercepat
waktu
yang
dibutuhkan
dalam
mengembangkan
rencana
pengelolaan. Bila dukungan yang kuat dari masyarakat sudah dibangun dan rencana pengelolaan sudah ditetapkan maka perubahan dalam kepemimpinan di desa akan memberikan dampak yang kecil atau tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan. Ketrampilan dan komitment pendamping masyarakat merupakan syarat utama keberhasilan program, namun demikian masih diperlukan investasi bagi pengembangan kapasitas dari pendamping lapangan terutama
dalam
ketrampilan
dan
kemampuannya
untuk
pengembangan
masyarakat, menumbuhkan partisipasi masyarakat dan pengelolaan pesisir terpadu.
RENCANA PENELITIAN KEDEPAN Pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir kawasan terumbu karang harus diwujudkan melalui penguasaan teknologi pemanfaatan sumberdaya hayati ekosistem terumbu karang. Manfaat langsung terumbu karang yang dirasakan oleh nelayan dan masyarakat pesisir akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap ekosistem ini, dan akan mencegah segala bentuk kegiatan yang merusak kelestariannya. Penerapan teknologi budidaya/penangkapan ikan yang tepat dan ramah lingkungan di kawasan terumbu karang ini merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan produktivitas ekosistem ini yang dapat diprogramkan yang dapat dengan cepat dikuasai oleh nelayan dan masyarakat pesisir untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Kegiatan budidaya itu sendiri merupakan obyek yang menarik bagi para wisatawan jika tidak mengganggu ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Teknologi budidaya pantai yang dikembangkan selama ini memerlukan beberapa modifikasi agar dalam penerapannya pada ekosistem ini tidak merusak kondisi optimum komponen fisikawi, kimiawi dan biologis ekositem terumbu karang.
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
11/14
Teknologi produksi budidaya, Agroindustri Hasil Perikanan, serta Kebijakan Pemasaran Komoditi Perikanan adalah sub sistem agribisnis perikanan budidaya terumbu karang yang perlu ditingkatkan melalui pembenahan-pembenahan. Budaya bahari perlu dikembangkan dan diimplementasikan ke arah semua kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, termasuk usaha budidaya, pemasaran, pengolahan pasca panen, serta pemeliharaan prasarana dan sarana pendukung yang diperlukan.
Kerangka penelitian kedepan seperti
pada Gambar 2.
Illegal Fishing & Destructive fishing
TERUMBU KARANG RUSAK
• • • • • • •
Penyadaran Masyarakat Penegakan Hukum Pengembangbiakan karang Daerah Perlindungan Laut MPA Partisipasi masyarakat Pengembangbiakan ikan
Penelitian
Kaji Tindak Target COREMAP: • Luas TK • CPUE • Pendapatan
Gambar 2. Kerangka penelitian kedepan
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
12/14
Penelitian yang direncanakan (Gambar 2) harus terpadu dan melibatkan sebanyak mungkin komponen, sehingga hasil yang diperoleh kelak dapat menjawab permasalahan masyarakat yang kompleks.
Tidak berarti bahwa
penelitian harus besar, akan tetapi dapat dipilah-pilah dalam bingkai yang tetap holistik. Penelitian harus mengacu pada tolok ukur proyek, karena kalau tidak sasaran akhir tidak akan tercapai. Beberapa judul penelitian yang mendesak untuk dilaksanakan, meliputi : 1. Pembutan atlas sumberdaya ikan & terumbu karang 2. Pembuatan data base kondisi habitat terumbu karang, sumberdaya ikan dan masyarakat nelayan pengguna 3. Penelitian ukuran ikan layak tangkap dirinci perjenis sebagai rujukan dalam pengelolaan 4. Penelitian alat penangkap ikan yang ramah lingkungan 5. Penelitian standarisasi alat penangkap ikan yang ramah terhadap karang 6. Kajian mata pencaharian alternatif yang sesuai dengan kondisi daerah (kajian meliputi aspek teknik, ekonomi dan pemasaran). 7. Rencana pengelolaan dan rencana zonasi cagar alam laut dan pemetaan kondisi terumbu karang 8. Mengembangkan daerah perlindungan laut (marine sanctuary) berbasis masyarakat 9. Inventarisasi status dan potensi sumberdaya alam pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya 10. Transplantasi terumbu karang 11. Daerah perlindungan laut PENUTUP Perencanaan penelitian harus disusun sesuai dengan permasalahan utama dan dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan indikator Coremap. Penilitian dibingkai dalam bingkai yang terpadu, dan dapat dipilah-pilah. Indikator penelitian harus jelas, dapat diukur dan mengacu pada tujuan COREMAP. Alokasi anggaran penelitian harus disesuaikan dengan kondisi wilayah, sehingga sasaran dapat tercapai.
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
13/14
DAFTAR PUSTAKA Levine J.S. Writing and presenting your thesis or dissertation. On line diakses tgl 5 Mei 2003 http://www.canr.msu.edu/aee/dissthes/guide.htm Pemda Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung. Indonesia. 96 pp. Thomas, J.R. and J.K. Nelson. 1990. Research methods in physical activity. Second edition. Human Kinetics Books. Champaign, Illinois. 550 pp. Tulungen, J.J., Devi, B.P. dan Rotinsulu, C. 2000. Pengembangan, Persetujuan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis-Masyarakat di Sulawesi Utara. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional II: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Makasar, Sulawesi Selatan. 15 – 17 Mei 2000. Usman, H., P.S. Akbar. 1998. Metodologi penelitian sosial. Bumi Aksara, Jakarta. 110 hal. Wallace, W.L. 1994. Metoda logika ilmu sosial. Terjemahan oleh Yayasan Solidaritas Gama. Bumi Aksara, Jakarta. 121 hal. World Bank. 2004. Document of The World Bank Report No: 288364" Project Appraisal Document.
Lokakarya Agenda Penelitian,COREMAP II SELAYAR, 9-10 September 2006
14/14
CORAL REEF INFORMATION AND TRAINING CENTER oleh
Dra. Nurul Dhewani, MS.
Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, 9-10 Sept 2006, Selayar Beach Hotel, Benteng Selayar
Jl. Raden Saleh No 43, Jakarta Telp. 021-3143080 Fax.021-3143082 www.coremap.or.id
KOMPONEN COREMAP II A.Pengembangan Kelembagaan 1. Koordinasi, Monitoring, Evaluasi dan Training 2. Coral Reef Information and Training Center (CRITC) 3. Hukum kelembagaan, kebijakan dan strategi
B. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat C. Penyadaran Masyarakat, Pendidikan dan Kemitraan Bahari
COREMAP Public Awareness MCS
CBM
Institusional Strenghtening
CRITC
BIDANG PEKERJAAN CRITC Data dan Informasi (GIS, Database, WEB) Monitoring Riset Agenda Training Edukasi
1.MONITORING Bidang Monitoring merupakan salah satu bidang CRITC Nasional yang bertugas melakukan pemantauan kondisi terumbu karang serta keadaan social-ekonomi masyarakat yang berada dalam lokasi COREMAP Hasil monitoring dan evaluasi terumbu karang di lokasi COREMAP yang telah dilakukan dirangkum dalam Tabel di bawah ini :
Performance Indikator COREMAP WB
Biofisik
Sosio-ekonomi
Persentase tutupan karang hidup di lokasi program naik sebesar 5% per tahun sampai mencapai kondisi di lokasi yang pristine atau dikelola dengan baik.
Pendapatan rata-rata pendduk di kab. Lokasi COREMAP yang memiliki kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10% pada akhir program
Catch Per Unit Effort mengalami kenaikan
Jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik 10% Paling sedikit 70% dari masyarakat nelayan di Kab. Program merasakan dampak positif COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya
Bagaimana mengukurnya? Benefit Monitoring Evaluation (BME) Reef Health Status (2 tahun sekali) Community Led Fisheries Sosio-ekonomic survey (pertengahan dan akhir program)
Lanjutan Bagaimana mengukurnya?
No
Parameter
To
1
Kesehatan Karang
Baseline
T1, T2, T3 dst Reef Health
2
CPUE
Baseline
CoLFish
3
Kenaikan Pendapatan Kesadaran Masyarakat
Baseline
Sosek Survey Sosek survey
4
Baseline
Hasil Baseline Studi Baseline Socio-economic Æ buku Baseline ecology Æ Rajaampat : Atlas of Marine Resources Regional Planning for Kabupaten Rajaampat Wakatobi : Kajian Efektifitas Taman Nasional Laut Wakatobi
2. RISET AGENDA TUJUAN : • Riset Agenda Nasional – untuk mengakomodir issue-issue nasional yang nantinya dapat diimplementasikan diseluruh lokasi COREMAP. • Riset Agenda Daerah – Untuk menjawab permasalahan yang muncul di daerah, baik topic maupun pelaksana riset diserahkan sepenuhnya kepada daerah yang bersangkutan melalui suatu mekanisme tertentu.
Visi dan Misi • Visi : sebagai alat untuk menjawab persoalan di daerah • Misi : Memberikan informasi dan solusi kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi.
Tujuan Riset Agenda Daerah • Menjawab permasalahan yang muncul di daerah secara sistematis • Mengajak instansi, lembaga, universitas, LSM, private sektor untuk menyelesaikan permasalahan di daerah yang dikemas dalam suatu bentuk penelitian.
PENGAJUAN DAN PELAKSANAAN RISET AGENDA DAERAH 1. Pengajuan Proposal 2.Evaluasi Proposal 3.Kontrak Kerja 4.Pelaksanaan Penelitian
RISET AGENDA DAERAH • Mengakomodir riset yang dibutuhkan oleh daerah • Riset Aplikatif • Pelaksana adalah SDM daerah
Workshop PMU Æ List Judul & TOR Tujuan Workshop 1. Curah Pendapat (issue-issue terumbu karang dari aspek ekologi, sosial-ekonomi dan budaya) 2. Menjaring judul Penelitian Daerah 3. Merumuskan TOR dari judul-judul riset yang akan diajukan
1. PENGAJUAN PROPOSAL Workshop Æ List Judul & TOR* Media Cetak, Elektronik, Pengumuman Pengajuan Proposal Æ 1 judul 3 pengusul Seleksi Administrasi o/ CRITC Daerah & Pengesahan Evaluasi o/CRITC Nasional
PENGAJUAN PROPOSAL (lanjutan)
Yang lulus seleksi Æ Presentasi riset desain Perbaikan, diajukan ke Penyandang Dana Kontrak Penelitian Monev o/ CRITC Nasional Laporan
2. EVALUASI PROPOSAL 1. Evaluasi Administrasi * Æ CRITC Daerah 2. Evaluasi Substansi Æ CRITC Nasional • Kesesuaian judul dengan isi • Latar belakang • Tujuan • Luaran • Metode Penelitian • Personil • Pendanaan
Evaluasi Administrasi NO
KRITERIA PENILAIAN
PENGAJU PROPOSAL A
1.
Kelengkapan Administrasi - Surat Pengantar (5) - Proposal Teknis (5) - Kesesuaian Dana dengan materi riset (5) - Profil Lembaga (5) - NPWP (5)
2
Kelengkapan Proposal - Lembar Pengesahan (5) - Kesesuaian Proposal dengan petunjuk riset bab demi bab (10)
3.
Penilaian Tambahan - Kesesuaian dana dengan materi riset (5) - Penampilan proposal (5)
B
3. KONTRAK KERJA
5. PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Field Work 2. Pelaporan • Laporan Awal • Laporan Sementara (Draft report) • Laporan Akhir (Final report)*
Beberapa Hasil Workshop Riset Agenda di Lokasi ADB 2003-2004 1
Natuna
PA, AIGA, Socio-economic and Ecotourism
2
Tanjung Pinang
MCS, Ecology, Potensi, PA, AIGA, Conservation and Policy
3
Batam
AIGA, Ecotourism, Socio-economic, Ecology, MCS, Conservation
4
Tapanuli Tengah
AIGA, Policy, Sosio-economic, Potensi MCS and Ecology
5
Nias
PA, AIGA, Socioeconomic, MCS and Policy
6
Mentawai
AIGA, Ecotourism, Ecology, PA
KESEPAKATAN TOPIK RISET AGENDA RAJAAMPAT 06 Februari 2006 • Mata Pencaharian Alternatif • Kearifan Lokal • Peran perempuan dalam masyarakat Raja4
•Ekowisata Bahari •Mata Pencaharian Alternatif •Perikanan
Riset agenda nasional sebanyak 19 judul penelitian Riset agenda daerah meliputi :
Beberapa Hasil Riset Agenda yang telah diimplementasikan Studi Strategi dan Kebijakan Kabupten Maritim Kajian ayat-ayat suci Al-Quran dalam penyampaian pesan penyelamatan terumbu karang. Kajian Al-Kitab dalam penyampaian pean penyelamatan terumu karang Strategi Komunikasi untuk Stakeholde prioritas di Kota Padang dan Kabupaten Buton. Peta Lingkungan Terumbu Karang
Riset Agenda 2005 • Strategi Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat P. Abang : BPP-PSL Unri • Studi Pengembangan Ekowisata Bahari di P. Abang Universitas Internasional Batam
ISSU-ISSU STRATEGIS PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN1) oleh Prof. Dr.Ir. ACHMAR MALLAWA, DEA. 2) 1) 2)
Disampaikan pada Lokakarya AgendaPenelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006 Staf pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar I. PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan ekosistim khas tropis yang tersebar pada lintang
tidak jauh dari ekuator karena memerlukan persyaratan temperatur yang panas. Ekosistim terumbu karang ditemukan hampir diseluruh perairan Indonesia dari belahan barat Propinsi Aceh hingga belahan timur di Propinsi Papua, dan paling banyak ditemukan di perairan NTT, Maluku, Sulawesi, Kepulauan Mentawai, Riau, Bangka-Belitung dan kepulauan Natuna. Terumbu karang merupakan ekosistim yang sangat indah dan memiliki keaneka ragaman yang sangat tinggi. Terumbu karang tidak saja penting bagi ribuan pulaupulau kecil sebagai pondasi, asal dan pelindung , tetapi juga penting bagi pulaupulau besar menyediakan lapangan kerja, keamanan dan aktivitas budaya kepada penduduk dari masyarakat pantai pada banyak negara tropis.
Suharsono (1996)
menjelaskan bahwa terumbu karang memiliki berbagai fungsi antara lain : gudang keaneka-ragaman hayati biota laut; tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, tempat memijah, daerah asuhan dan tempat berlindung hewan laut; tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik yang merupakan tingkat produktivitas yang sangat tinggi; tempat sumber makanan dan obat-obatan, pelindung pantai dari hempasan ombak, sumber bahan konstruksi, tempat kegiatan budidaya perikanan dan penangkapan ikan, daerah rekreasi, sarana penelitian dan pendidikan; dan lainnya. Walaupun terumbu karang dapat memberi kan mamfaat yang besar dalam berbagai hal, tetapi kenyataannya terjadi degradasi terumbu yang meluas diberbagai tempat dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Menurut Djamali dkk (1998) dari total 6.800 km2 luas terumbu karang yang ada di beberapa wilayah perairan di Indonesia, terumbu karang dalam kondisi sangat baik berkisar 0,00 – 14,29 %, kondisi baik berkisar 14,81 – 48,28 %, kondisi sedang berkisar 13,33 – 60,00 %, dan dalam kondisi buruk/jelek berkisar13,79 – 60,00 %.
Selanjutnya
dikatakan bahwa untuk wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Flores, terumbu
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
1/16
karang sangat baik sebesar 14,28 %, baik sebesar 20,00 %, sedang sebesar 24,29 % dan buruk/jelek sebesar 41,60 %. Tandipayuk (2006) yang melakukan penelitian di perairan Pulau-pulau Sembilan mendapatkan bahwa tutupan dasar terumbu karang di perairan ini didominasi oleh karang mati dengan penutupan rata-rata 49,59 % (20,00 – 70,00 %), di mana kerusakan karang tersebut utamanya sebagia akibat telah berlangsungnya aktivitas pemamfaatan karang yang tidak ramah lingkungan selain kerusakan oleh faktor alami. Soedarma dkk (2005) menjelaskan bahwa secara umum terjadinya degradasi terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthropogenic causes) dan akibat alam (natural causes).
Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu
karang antara lain : (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metoda yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5) Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan, (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Sedang kan degradasi terumbu karang oleh faktor alam antara lain : pemanasan global (Global warming), bencana alam seperti angin taufan (storm), gempa tektonik (earth quake), banjir (floods), dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina dan lain sebagainya. Untuk menjaga potensi perikanan terumbu Karang (ikan karang komsusi sebesar 75.875 ton per tahun dan ikan hias karang sebesar 1,5 milyar individu) dan memperbaiki kondisi terumbu karang maka sangat diperlukan suatu strategi pengelolaan terumbu karang, di mana oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), penanganan perikanan karang merupakan prioritas global (Global Priority). Untuk keperluan tersebut, data base dan informasi tentang terumbu Karang sangat diharapkan ketersediannya, yang tentunya dapat diadakan melalui penelitian/penkajian secara terpadu dan berkesinambungan. Alur pikir pentingnya penelitian dalam hubungannya dengan pengelolaan terumbu Karang seperti disajikan pada Gambar 1.
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
2/16
Masyarakat Pengguna
Pemamfaatan Rasional (Rational Utilization)
Sumberdaya Perikanan Terumbu Karang (Potensi)
Konservasi (Conservation)
UNCLOS CCRF Masy.peduli lingk.
Pengelolaan (Management)
Bagaimana ? .mengembangkan industri perikanan dan dampaknya .mengeksloitasi dgn benar .mengelola sumberdaya .mengkorservasi sbd dll
DATA DAN INFORMASI AKURAT
Penelitian dan Pengkajian
Aspek Biologi Biological Consideration
Aspek Fisik Physical Consederations
Aspek Sos-Eko. Socio-Economic Considerations
Aspek Budaya Cultural Consederation
Gambar 1 : Alur pikir pentingnya penelitian
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
3/16
II PENGELOLAAN TERUMBU KARANG 2.1 Pendekatan Pengelolaan Ada dua hal yang mengakibatkan kurang berhasilnya pengelolaan terumbu karang yaitu (1) lemahnya perencanaan pengelolaan dan (2) kurang berhasilnya implementasi rencana pengelolaan yang telah dicanangkan. Pengembangan model rencana pengelolaan perlindungan terumbu karang membutuhkan pengetahuan dan pengertian mendalam tentang karakter fisik dan biologi dari area yang dimaksud dan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan pemamfaatan oleh manusia masa lalu, sekarang dan yang akan datang, namum kadang pengambilan keputusan sering didasarkan pada pengetahuan dan pengertian yang tidak lengkap. Menurut beberapa ahli, unsur utama yang harus diperhitungkan dalam perencanaan pengelolaan dan implementasi pengelolaan adalah
pemamfaatan
terumbu karang oleh manusia yaitu : (1) pengambilan langsung (extractive uses of coral reefs) meliputi bahan makanan (food productions) antara lain :ikan, penyu, lobters, kima, kerang , rumput laut; bahan hiasan (ornaments) antara lain : coral, shells, ikan hias aquarium; materi bangunan dan industri (building and industrial materials) antara lain pengambilan karang untuk pembuatan kapur dan ponasi bangunan; (2) Pemamfaatan non pengambilan langsung (non-extractive uses of coral reefs) meliputi : pengembangan rekreasi dan tourisme, pendidikan, penelitian, pemecah ombak dan pelabuhan, tempat pembuangan limbah dan lain-lain. Menurut Kenchington et.al (1988) dalam tulisannya “ Man’s threat to coral reefs” bahwa pemamfaatan terumbu karang oleh manusia dengan mengambil semuanya dan tidak terkontrol merupakan ancaman terhadap terumbu karang. Penangkapan dan pengumpulan komunitas karang dan terumbu karang dapat sebagai penyebab utama kerusakan struktur fisik dan komunitas ekologi terumbu karang. Hal buruk lain dari
kelakuan manusia yang memberi dampak terhadap terumbu karang adalah
melalui efek bahan pencemar yang dihasilkan.
Pembuangan bahan kimia atau
modifikasi biochemis atau kondisi fisik perairan disekitar terumbu karang dapat mempengaruhi beberapa kondisi fisiologi bagi semua organisme yang hidup di terumbu karang. Menurut World Conservation Strategy, untuk memperkecil kerusakan terumbu karang dan atau memulihkan kondisi terumbu karang yang telah mengalami
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
4/16
kerusakan ada lima pendekatan utama untuk managemen konservasi yang dapat diterapkan yaitu : (1) Zonasi (Zoning), menentukan untuk semua atau sebagian sebagai area pengelolaan, penggunaan tujuan khusus dan masuk, meliputi : Zona Preservasi (Preservation Zone), semua dilarang masuk kecuali untuk tujuan pengamatan penelitian, area ini biasa dicanangkan untuk sumber genetika, Zona Penelitian Ilmiah (Scientific Research Zone), manusia boleh masuk untuk penelitian yang diperbolehkan, Wilderness Zone, asses masuk dibatasi, tidak boleh menangkap, memburu dan mengumpulkan, Zona Taman Nasional (National Park Zone), manusia bebas masuk tetapi tidak untuk berburu, menangkap atau mengumpulkan
organisme,
Zona
Rekreasi
(Recreational
Zone),
Zona
Pemamfaatan Umum (General Use Zone), di mana aktivitas komersial, rekreasi dan mencari kehidupan diperbolehkan dengan kemungkinan mengadakan aturan untuk memungkinkan pengendalian atau perlindungan area yang sensitive; (2) Penutupan Priodik (Periodic Closure), dapat berupa penutupan singkat selama sebagian waktu dalam setahun, misalnya waktu pemijahan beberapa jenis ikan atau organisme terumbu karang lainnya, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk pemulihan habitat yang rusak oleh manusia atau faktor lainnya; (3) Pembatasan Hasil (Yield Contraints), determinasi tingkat penangkapan yang diperbolehkan untuk ikan atau biota laut lainnya, yang bisa meliputi monitoring hasil atau pelarangan penangkapan setelah beberapa tangkapan telah tercapai atau pembatasan jumlah individu atau jumlah dan kapasitas kapal yang diperbolehkan menangkap di area. (4) Pembatasan Peralatan (Equipment Constraints), pelarangan bahan peledak, racun dan teknik penangkapan lainnya yang merusak secara fisik, penentuan mata jaring yang membuat ikan kecil hidup sampai umur pemijahan, pelarangan penggunaan jenis jangkar yang sangat merusak terumbu; (5) Pembatasan dampak ( Impact Limitations), menentukan tingkat bahan pencemar yang diperbolehkan, menentukan jumlah penyelaman, pekerja terumbu, hanya ukuran kapal kecil yang diperbolehkan.
2.2 Evaluasi Kebutuhan Pengelolaan Untuk evaluasi kebutuhan pengelolaan konservasi untuk berbagai areal terumbu karang dua issu utama yang harus diperhatikan : (1) Kecukupan dari proses saat ini, untuk mengontrol pengaruh negatif oleh manusia:
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
5/16
. Untuk saat ini, . Untuk yang akan datang (dengan populasi meningkat, dengan penggunaan yang berubah secara lokal, perubahan penggunaan secara eksternal (2) Perluasan kegiatan pemamfaatan sekarang merusak ? Untuk persiapan ke pengelolaan konservasi, issu ekonomi, lingkungan dan budaya harus dievaluasi yang bisa dilakukan melalui bentuk-bentuk pertanyaan terhadap terumbu karang yang akan dikelola. Ketika pertanyaan telah dibuat, maka opsi management dengan mudah didapatkan.
Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dapat sebagai berikut: . Aspek Ekonomi (Economic Considerations) - Apakah area tersebut penting sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup ? . oleh masyarakat lokal untuk : makanan, materials dll., - Apakah area penting untuk mendapatkan produk untuk dijual atau diperdagangkan ? . dijual pasar lokal, pasar nasional, pasar internasional, - Apakah area penting untuk rekreasi dan turisme . Aspek Lingkungan (Environmental Considerations) - Apakah lingkungan perairan pantai penting untuk hal-hal untuk . stabilitas fisik garis pantai, . sektor ekonomi, . penggunaan untuk budaya - Apakah area tersebut mewakili kawasan khas . lokal, nasional atau internasional - Apakah area penting untuk mempertahankan . stok dari fauna atau flora, termasuk telah dimamfaatkan saat ini atau yang potensil . sumber genetika . keindahan . identitas budaya - Apakah ada gejala nyata kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hal-hal . sedimentasi yang berasal dari hutan, konstruksi, pertanian, pembukaan lahan dan pertambangan, . kelebihan tangkap
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
6/16
. eutrifikasi akibat pembuangan limbah . modifikasi sirkulasi air, . kontaminasi oleh minyak, pestisida, bahan kimia, limbah nuklir, . pengumpulan coral, kekerangan, ikan hias, dan lainnya, . turisme dan penggunaan rekreasi . Aspek Budaya (Cultural Considerations) Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam rangka pengelolaan sesuatu area : - Apakah area tersebut penting untuk : . tradisional akses, penggunaan dan kepemilikan, . penggunaan saat ini untuk kepentingan sosial dan budaya, . untuk kepentingan keagamaan, - Efek apa yang akan ditimbulkan oleh pengelolaan secara : . nasional, . terhadap masyarakat yang berada dekat area, - Apakah ada sumber alternatif atau produk subtitusi bagi sumberdaya diarea tersebut, - Dan lain-lain
2.3 Tujuan Pengelolaan dan Pemamfaatan Saat Ini. Untuk mendapatkan issu-issu penelitian strategis maka tujuan pengelolaan dan pemamfaatan suatu area perlu diketahui. Secara umum tujuan pemamfaatan dan pengelolaan sebagai berikut : . Budaya dan Sosial (Cultural and Social) i.e : . Preservasi untuk lingkungan yang tidak rusak, . Proteksi keindahan, histotik, biologi atau taman geologi nasional, . Provisi untuk penggunaan tradisional. . Ekonomi dan Sosial (Economic and Social) i.e : . Untuk pemenuhan kebutuhan, . Pengembangan regional, . Pertumbuhan ekonomi, . Perdagangan regional, nasional atau internasional, . Sumber devisa,
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
7/16
. Perikanan dan turisme, . Pertambangan, . Kesenangan dan rekreasi . Biologi (Biological) i.e : . Keanekaragaman spesies, . Proteksi habitat kritis untuk spesies dilindungi atau spesies ekonomis penting, . Mempertahankan produktivitas biologi . Dan lain-lain Sulthan (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan terumbu Karang secara terpadu dan berkelanjutan mempunyai tujuan sebagai berikut : 1) Tujuan Sosial, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat dan stakeholders mengenai pentingnya pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan, 2) Tujuan Konservasi Ekologi, yaitu melindungi dan memelihara ekosistim terumbu
karang
untuk
menjamin
pemamfaatan
secara
optimal
dan
berkelanjutan, 3) Tujuan Ekonomi, yaitu meningkatkan pemamfaatan ekosistim terumbu karang secara efisisien dan berkelanjutan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan stakeholder dan pembangunan ekonomi, 4) Tujuan Kelembagaan, yaitu menciptakan sistim dan mekanisme kelembagaan yang professional, efektif dan efisien dalam merencanakan dan mengelola terumbu karang secara terpadu dan optimal Soedharma (2005) menyatakan bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencapai sasaran pengelolaan terumbu karang antara lain : (1) meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat, (2) Pemberdayaan masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan, (3) Peningkatan kerjasam sektoral, (4) pengurangan degradasi secara terus menerus dan (5) Pengumpulan data ilmiah untuk dapat menunjang pengelolaan seperti : Potensi, diversitas, serta terciptanya pengelolaan berbasis masyarakat.
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
8/16
III. ISSU-ISSU PENELITIAN Issu-issu penelitian yang akan dan seharusnya dilakukan dalam rangka menunjang program pengelolaan terumbu karang yang telah dicanangkan secara nasional dan internasioal sebaiknya dijabarkan untuk menjawab permasalahan perikanan terumbu karang dan tujuan pengelolaan terumbu karang. 3.1 Issu Penelitian Tahap Perencanaan (Investigation For Planning) Pengembangan rencana pengelolaan konservasi membutuhkan pengetahuan dan informasi tentang karakter fisik dan biologi untuk area tersebut dan faktor sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan potensi pemamfaatan masa laut, sekarang dan yang akan datang. Investigasi untuk perencanaan dan pengelolaan meliputi pengumpulan data yang secara langsung dapat digunakan di dalam pengambilan keputusan untuk keperluan pengelolaan, atau dengan kata lain penelitian yang dilakukan berbasis masalah (problem oriented). Penggunaan teknis sains dan metoda untuk menyimpulkan hasil suatu studi sangat diharapkan. Dari berbagai aspek yang perlu diperhatikan, aspek fisik, biologi, sosioekonomi dan budaya adalah aspek-aspek utama.
Untuk mengetahui issu-issu
penelitian yang mana seharusnya dilakukan, maka sangat penting membuat pertanyaan (kumpulan kondisi dan masalah) yang akan dijawab oleh hasil studi. Selain itu, dengan mudah dapat mengalokasikan dana, waktu dan sumberdaya yang dibutuhkan. Aspek fisik (Physical Considerations) Aspek fisik adalah salah satu faktor yang perlu diketahui sebelum membuat perencanaan pengelolaan yang meliputi : • bagaimana kondisi geologi area pengelolaan (reefs, shoals, cays, islands, mangrove ) • bagaimana kondisi oseanografis area pengelolaan (arus, gelombang, pasang surut) • apakah kondisi fisik dan hidro-oseanografis wilayah pengelolaan saat ini telah tersedia (dalam bentuk peta, charts, aerial photograph, satellite imagery), • dan lain-lain.
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
9/16
Aspek Biologi (Biological Considerations) • jenis komunitas biologi yang ada ? (identifikasi species, distribusi, kelimpahan, komposisi, dinamika populasi dan lain-lain), • bagaimana kondisi komunitas biologi (perubahan menurut waktu, indikasi kerusakan nyata, indikasi pemamfaatan lebih atau eksploitasi lebih), • apakah ada dalam wilayah pengelolaan mempunyai
fungsi khusus bagi
komunitas biologi atau berperanan terhadap life history / life cycle (lokasi feeding dan breeding ikan-ikan yang hampir punah/dilindungi, ikan-ikan penting menurut budaya, ikan-ikan ekonomis penting dan lain-lain). • dan lain-lain pengamatan. Aspek Sosial-Ekonomi (Socio-economic Considerations) • Apa yang diketahui tentang penggunaan area pengelolaan (siapa, mengapa, kapan, bagian apa yang digunakan, apa pengaruh penggunaan ?), • Apa saja prospek dari pengelolaan untuk penggunaan yang akan datang ?, • Bagaimana kemungkinan pengaruh pengrusakan, sosialdan ekonomi diperkeci melalui perencanaan pengelolaan ? • Potensi konflik apa saja yang ada saat ini dan akan datang antar pengguna atau yang akan bermaksud menggunakan area tersebut ? (lokal, nasional, internasional), • Apakah keperluan lokal lebih banyak dari keperluan nasional ?, • Apakah keperluan internasional lebih banyak dari keperluan lokal dan nasional, Cakupan analisis ekonomi tergantung kepada jenis management yang akan dilakukan. Apabila pendekatan ditekankan kepada perlindungan reserve, hal utama yang dibutuhkan adalah pengenalan tentang pengguna yang akan dipindahkan dan konsekwensi pemindah an tersebut harus dianalisis, jika perlu beberapa bentuk kompensasi dtawarkan.
Untuk pengelolaan terumbu karang dalam skala besar
mencakup beberapa zona dengan beberapa tujuan, analisis yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan. Aspek Budaya (Cultural Considerations) • Apa yang diketahui tentang pemakaian tradisional area ? (siapa memiliki apa, apakah cara pemamfaatan ada yang bersifat berkelanjutan, apakah cara tradisional merusak),
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
10/16
• Apakah pemakai-pemakai tradisional mempunyai pengetahuan khusus tentang : flora dan fauna yang ada di area, musim pemijahan, lokasi pemijahan, pergerakan arus dan pengaruhnya, dan informasi yang relevan lainnya), • Apakah pemakai menggunakan peralatan moderen (kapal, mesin tempel, mesin dalam, bahan peledak dan lainnya; apakah semua ini merubah konsep-konsep pemamfaatan tradisional ? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan
kegiatan
survey, pengumpulan data secara regular melalui penelitian yang terencana dengan baik.
3.2 Issu penelitian tahap monitoring (Monitoring Investigations) Tujuan utama skema pengelolaan adalah mempertahankan kesehatan ekologi (Ecological Healt ) terumbu Karang dan mempertahankan hasil lestari (Sustainable Yields) dari organisme yang dipanen (Fishing and Collecting). Monitoring kondisi dari terumbu Karang adalah salah satu aspek penting dari proses pengelolaan. Tujuan dari monitoring adalah melakukan deteksi perubahan nyata dari kondisi yang hasil dapat menjelaskan apakah normal atau optimum, beberapa perubahan dapat dijadikan petunjuk kondisi stress pada terumbu karang. Tanda-tanda stress harus dideteksi lebih awal untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Kondisi fisik, kimia dan biologi dapat digunakan untuk deteksi stress pada terumbu karang, tergantung kepada tipe stress, tetapi
yang paling banyak
digunakan adalah penggunaan komponen biologi, antara lain melalui identifikasi organisme indikator. Tanda-tanda negatif kondisi terumbu karang dapat diketahui melalui : Umum, • kematian yang nyata (ikan muda, dan atau dewasa), • penurunan nyata pertumbuhan (panjang dan atu berat) pada ikan matang gonad, • pemunculan tanda-tanda penyakit, • perubahan dari proses reproduksi, • penurunan nyata dari stok • ada atau tidak adanya organisme khusus atau faktor • perubahan kebiasan makan dan cara makan Tambahan untuk organisme benthic (seperti coral dan algae) • penurunan nyata tingkat penutupan,
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
11/16
• penurunan nyata keanekaragaman, • perubahan kelimpahan atau kelimpahan relatif dari spesies, Tambahan untuk organisme bergerak (mobile organism) • perubahan tingkah laku (matang, territorial, migrasi, agressi dsb) • menghilang dari daerah sebelumnya sebagai tempat atau normal territories 3.3 Topik-topik penelitian Secara garis besar aktivitas penelitian yang dapat dilakukan tentang terumbu karang atau yang berhubungan dengan pengelolaan terumbu karang dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yaitu : 1) Penelitian akademis (Academic Research) Penelitian yang termasuk didalamnya antara lain : penelitian tentang aspek tingkah laku (specific behavioral), aspek fisiologi (physiological aspect), dan aspek ekologi (ecological aspect) dari organisme terumbu karang dan komunitas yang berasosiasi dengan terumbu karang, 2) Penelitian terapan (Applied Research) Penelitian
yang
termasuk
didalamnya
antara
lain
:
penelitian
yang
mendeterminasi kebutuhan pengelolaan, penelitian yang mendeterminasi tipe atau bentuk pengelolaan, dan penelitian yang menunjang pelaksanaan pengelolaan, 3) Penelitian pemamfaatan terumbu Karang non perikanan (Biomedical Research, Biotechnological Research) Penelitian yang termasuk didalamnya antara lain : mendeterminasi senyawasenyawa yang berasal dari coral reef untuk dunia kedokteran, industri farmasi, industri pertanian, dan industri lainnya. COREMAP phase II mencanangkan dilakukannya penelitian terumbu karang dan monitoring yang komponennya antara lain : inventarisasi perikanan (nelayan, kapal, alat
tangkap,
dan
managemen
pengembangan
perikanan,
pengembangan
pengelolaan yang berkelanjutan, penguatan kelembagaan, peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan sebagainya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka topik-topik penelitian strategis yang dapat dilakukan antara lain :
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
12/16
Aspek biologi . Identifikasi spesies dan deskripsi komunitas (biota dominant, spesies ekonomis penting, sedentary species, spesies dilindungi dll), . Biologi populasi dan dinamika populasi (spesies dilindungi, spesies ekonomis penting, sedentary spesies termasuk biota non ikan), . Biologi reproduksi (spesies dilindungi, spesies ekonomis penting, sedentary spesies . Dan lain-lain (contoh penelitian biologi perikanan disajikan pada Tabel 1) Aspek fisik . Identifikasi struktur geologi, . Identifikasi umum kondisi terumbu (jenis, luasan, coral cover, distribusi dan kelimpahan relatif spesies sedentaire), . Analisis hidrologi dan hidrometrik area (pasang surut, beda pasang, gelombang, pasang rencana, arus dan kecepatan arus, moving salinity dll), . Analisis kualitas air perairan . Analisis pencemaran dan sedimentasi (sumber pencemaran dan sedimentasi) . Dan lain-lain Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya . Identifikasi kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat pengguna terumbu karang . Kajian prospek pengelolaan untuk penggunaan yang akan datang, . Kajian dampak ekonomi dan sosial terhadap penerapan pengelolaan, . Kajian tentang praktek-praktek budaya oleh masyarakat terhadap kelestarian ekosistim terumbu karang, . Identifikasi kegiatan-kegiatan pemamfaatan sumberdaya terumbu karang, . Identifikasi kegiatan pemamfaatan tidak langsung sumberdaya terumbu karang, . Kajian sosial-ekonomi industri perikanan, . Kajian lembaga mikro keuangan usaha perikanan, . Kajian karakteristik sosial-ekonomi nelayan, . Kajian ekonomi pemamfaatan terumbu karang untuk aktivitas turisme, . Kajian tata niaga dan peluang-peluang pemasaran komoditas perikanan,
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
13/16
. Kajian pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan inplementasi program, Dan lain-lain, Aspek perikanan Perikanan Tangkap . Kajian potensi sumberdaya (ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang konsumsi, dan non ikan) dan upaya optimum, . Kajian rona industri perikanan tangkap dan potensi pengembangannya, . Kajian ramah lingkungan teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan . Pemetaan daerah penangkapan ikan, . Kajian cara-cara pemamfaatan sumberdaya terumbu karang oleh masyarakat, . Kajian pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap (pelabuhan perikanan, pabrik es, cold storage, pasar higinies dan lain-lain), . Analisis potensi wilayah pesisir dan potensi pengembangannya, . Dan lain-lain Perikanan Budidaya . Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut, . Analisis kesesuaian perairan untuk budidaya sistim karamba apung, . Kajian tingkat teknologi perikanan budidaya saat ini dan peluang pengembangan, . Kajian peluang-peluang pengembangan budidaya, . Studi kelayakan pengembangan pembenihan (ikan dan udang), . Dan lain-lain Aspek hukum dan kelembagaan . Identifikasi tipe konflik dan area konflik, . Identifikasi cara-cara illegal pemamfaatan sumberdaya, . Kajian efektivitas kelembagaan saat untuk mengatasi permasalahan, . Kajian kesesuaian perdes dan perda atas aturan yang diatasnya, . Kajian model kelembagaan yang efektif, . Kajian aturan pengelolaan (perdes) menurut desa, . Dan lain-lain
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
14/16
IV. PENUTUP Issu-issu strategis penelitian perikanan dan kelautan yang dicanangkan dan aktivitas penelitian yang akan dilakukan hendaknya menunjang sasaran strategis program pengelolaan terumbu karang dan tujuan pengelolaan terumbu karang. Aktivitas penelitian yang dilakukan seharusnya menuju kepada pemberdayaan masyarakat (community enpowerment), pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (community-based coral reefs management), dan pengembangan masyarakat (community development). Tipe dan program pengelolaan yang baik harus didukung oleh kajian dan penelitian aspek biologi, aspek hidro-oseanografis, aspek fisik, aspek sosio-ekonomibudaya dan aspek hukum dan kelembagaan.
DAFTAR BACAAN Bengen G.D., 2005. Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional, Makassar. Komisi Nasional Penkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Editor J.Widodo dkk. Jakarta. Pratikto, W.A., 2005. Strategi Kebijakan Pengelolaan Kelautan, Pesisir dan PulauPulau Kecil Dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional, Makassar. Soedharma, D., 2005. Strategi Pengelolaan Ekosistim Terumbu Karang dan Mangrove Untuk Menunjang Kestabilan Ekosistim Bahari di Perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makalah Seminar Nasional, Makassar. Sulthan, M., 2004, Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate. Desertasi, Prog.Pasca Sarjana IPB, Bogor. Tandipayuk, L., 2006. Kajian Pemamfaatan Sumberdaya Perikanan Terumbu Karang Berkelanjutan di Perairan Pulau-Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, Desertasi, Program Pasca Sarjana Univ.Hasanuddin, Makassar. UNESCO, 1988. Coral Reef Management Handbook. Edit. By R.A Kenchington and Hudson, B.E.T, Jakarta. UNESCO/COMAR/BGRMPA, 1986. The Application og Digital Remote Sensing Techniques in Coral Reef, Oseanographic and Estuarines Studies. Edited by Claasen D.R., Report on a regional workshop, Townsville, Australia.
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
15/16
Lampiran 1 : Pendugaan populasi dan stock assessment yang diperlukan pada berbagai Tingkat pemanfaatan
No
Pemamfaatan Sumberdaya
Hasil Tangkapan
1
Eksplorasi, uji coba Rendah penangkapan
2
Penangkapan ber kembang pada stok yang sangat mengun tungkan Penangkapan intensif Pada MPS dan mulai Pada stok kurang me nguntungkan Penangkapan intensif untuk semua jenis ikan yang dapat di pasarkan Pengelolaan sumber daya lengkap (dapat mengikuti periode kelebihan tangkap)
3
4
5
Studi Biologi Relevan Deskripsi umum stok utama (taxonomi dan distribusi) Kajian lebih detail tentang life history Ikan-ikan bernilai ekonomis
Moderate dan meningkat di stok bernilai ekonomis Moderate Dinamika populasi sampai tinggi dari MPS, pada MPS identifikasi Interaksi antar stok
Tinggi dan kemungkinan menurun dari stok tersedia
Dinamika populasi untuk semua stok, studi interkasi dan struktur ekosistim
Tinggi
Studi ekosistim dan dinamika populasi
Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
Aktivitas Pendugaan Stok Pendugaan stok dari stok utama
Analisis potensi (MSY) dari ikan bernilai ekonomis
Pembuatan kurva tangkapan MPS, dan upaya untuk pencapaian MSY dan OSP etc) Y/R dan kurva tangkapan untuk semua stok, dugaan interaksi utama Melihat pengaruh pengelolaan terhdp stok
16/16
ILLEGAL FISHING DAN ALTERNATIF SOLUSINYA *) Oleh Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc1 *)
Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006
1)
Staf pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRAK Kerusakan terumbu karang terutama disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan, baik yang legal terlebih lagi yang illegal. Upaya-upaya penelitian untuk mendapatkan alat penangkap ikan alternatif telah dikaji. Beberapa alternatif peket teknologi penangkapan ikan yang ramah terhadap terumbu karang, antara lain alat bantu SFS, lampu bawah air, rumpon dan terumbu buatan. Penggunaan beberapa alternatif alat bantu tersebut diharapkan mampu menurunkan tekanan pengrusakan terumbu karang terutama di wilayah proyek COREMAP sehingga sasaran proyek dapat dicapai. Penelitian kaji tindak perlu dilakukan dalam rangka penerapan paket teknologi yang sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi. PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis. Meskipun terumbu karang banyak ditemukan di berbagai perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Dibandingkan dengan negara tropis lain, Indonesia memiliki keunggulan alam tersendiri berupa tempat “megabiodiversity” bahkan termasuk paling kaya keanekaragamaan hayatinya, dalam arti tidak tertandingi oleh negara-negara di kawasan sub tropis, dan negara-negara maju dibelahan bumi bagian utara maupun selatan (Kusumaatmaja, 2001). Pemanfaatan
sumberdaya
terumbu
karang
oleh
sebagian
besar
masyarakat nelayan di daerah pesisir dewasa ini menuju pada suatu pola degradasi lingkungan berupa kerusakan habitat karena menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, bahan peledak dan zat kimia beracun untuk mengeksploitasi berbagai spesies ikan atau organisme lain yang memiliki nilai ekonomis penting.
Hal tersebut lebih diperparah lagi akibat permintaan
eksportir ikan hidup yang harganya sangat menggiurkan.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
1/17
Menurut Sugandhy (2000) hanya sekitar 7 % kondisi terumbu karang yang masih sangat baik dan 61 % telah rusak. cakupannya untuk wilayah
Hal tersebut lebih diperkecil lagi
Indonesia bagian timur prosentase penutupannya
yang menunjukkan kondisi memuaskan 9,80 %, dalam kondisi baik 35,29 %, dalam kondisi sedang 25,49 % dan 29,42 % dalam kondisi rusak. Penggunaan alat tangkap yang efektif dan selektif seperti jaring insang dasar telah lama digunakan oleh sebagian masyarakat nelayan di daerah pesisir, tetapi untuk meningkatkan efektifitas kerja alat tersebut, yakni mempercepat proses terjeratnya
ikan, nelayan menggunakan berbagai alat bantu yang
berdampak negatif terhadap habitat atau ekosistem terumbu karang untuk memaksa ikan-ikan keluar dari tempat persembunyiannya, sebab alat tangkap jaring insang dasar ini bersifat pasif.
Sebagai contoh, misalnya nelayan
menggunakan besi atau benda-benda keras lainnya untuk mengusir ikan-ikan dari tempat persembunyiannya pada lubang-lubang karang.
Permasalahan Lapangan Ikan-ikan karang selama ini dieksploitasi dengan cara-cara yang merusak terumbu karang, seperti : bahan peledak, bahan kimia, dan jaring tetapi dengan mengusir ikan sambil memukulkan bambu ke daerah karang. Akibat kegiatan eksploitasi yanr merusak tersebut Sugandhy (2000) melaporkan sekitar 61% areal terumbu karang di Indoensia sudah dalam kondisi rusak, dan hanya sisa sekitar 7% dalam kondisi sangat baik.
McManus et al (1997) melaporkan
kerusakan terumbu karang di Philipina akibat bahan peledak, cianida dan jangkar kapal berturut-turut sebesar 19%, 8% dan 0,25% pertahun. Penggunaan alat penangkap ikan yang merusak lingkungan seperti bahan peledak dan cianida dilakukan oleh nelayan mengingat sampai saat ini belum ada alat penangkap ikan yang efektif digunakan di daerah terumbu karang. Penggunaan alat tangkap gill net di sekitar terumbu karang sangat beresiko tinggi, karena kalau tersangkut sedikit saja di karang, jaring akan robek. Pada kenyataannya memang sangat sulit menempatkan alat penangkap ikan di daerah terumbu karang.
Sebagai alternatifnya, maka alat penangkap ikan dipasang
diluar daerah terumbu karang dan tidak berhubungan langsung dengan terumbu. Akan tetapi perlu dicari cara supaya ikan-ikan yang berada di daerah terumbu
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
2/17
karang terusik dari tempatnya dan lari ke arah jaring sehingga ikan-ikan tertangkap. Prinsip inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Prinsip seperti ini sudah pernah digunakan di Jepang (Akamatsu et al, 1996) untuk mengusir singa laut dari memangsa ikan hasil tangkapan jaring. Produksi alat tangkap sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain : alat bantu, sumberdaya ikan yang ada, tingkat teknologi yang digunakan, dan kondisi habitat (dalam hal ini terumbu karang) dimana ikan hidup.
Hasil
penelitian Kamil dkk. (2003) menunjukkan bahwa hasil tangkapan rata-rata gill net di daerah terumbu karang sekitar 3,5 kg per trip tanpa alat bantu, dengan alat bantu sebesar 4,7 kg per trip.
Penangkapan dengan Alat Bantu Pengejutan Ikan (Fish Frightening) Dalam prakteknya mengejuti ikan dengan jalan memukuli air, memukulmukul dinding perahu ataupun dengan terikan-teriakan telah tersebar luas dan umum dilakukan orang. Taktik seperti ini terutama dimanfaatkan pada berbagai usaha penangkapan yang sifatnya menghalau ikan ke arah alat penangkapan yang dikenal sebagai “driving fisheries” (Gunarso, 1985).
Lebih lanjut
dikemukakan bahwa pada usaha penangkapan berbagai jenis ikan karang seperti misalnya jenis ikan ekor kuning (Caesio sp) di Indonesia, alat penangkap yang umum dipakai adalah muroami dengan alat bantu yang dikenal sebagai “elot”, yaitu penggiring yang berupa tali dengan di bawahnya diberi pemberat dari gelang-gelang besi untuk mengejuti ikan agar mereka lari ke arah jaring ataupun memaksa mereka untuk meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka pada karang-karang. Ommanney (1982) mengatakan, memang ada beberapa jenis ikan yang sangat peka getaran, yang timbul akibat gerakan air, jenis-jenis ikan tersebut dapat menangkap getaran akibat gerakan baling-baling kapal dari jarak jauh ; langkah kaki di tanggul sungai yang menggetarkan tanah secara betapapun perlahannya dan mengakibatkan beriaknya air sudah cukup mengganggu ikan trout.
Karakteristik dan Sifat Ekologi Ikan Karang Menurut Iskandar dan Mawardi (1997) keberadaan ikan-ikan pada terumbu karang ternyata mempunyai perbedaan spesies antara siang dan malam
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
3/17
hari, ikan-ikan karang yang aktif siang hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan diurnal, sedangkan yang aktif malam hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan nocturnal. Pada malam hari ikan-ikan diurnal berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh species nocturnal yang tidak terlihat di siang hari. Meskipun secara ekologi sama dengan spesies diurnal tertentu. Sedangkan Hobson (1968) dalam Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa semua spesies nocturnal adalah predator. Laevestu dan Hayes (- ) mengemukakan bahwa umumnya karakteristik ikan karang pada waktu siang hari berada dekat dasar perairan, beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang di atas termoklin pada waktu sore hari. Kemudian turun ke dasar atau lapisan yang lebih dalam pada waktu matahari terbit. Sedangkan menurut Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa pada ikan-ikan nokturnal sama halnya dengan ikan-ikan diurnal, hanya saja mereka memulai aktivitasnya saat hari mulai gelap. Ikan-ikan ini pada umumnya dapat digolongkan sebagai ikan soliter atau lebih senang beraktivitas sendirisendiri dibandingkan berkelompok. Dikatakan juga aktivitas ikan nokturnal tidak seaktif ikan-ikan diurnal. Gerakannya lambat cenderung diam, dan arah pergerakannya tidak melingkupi area yang luas dibandingkan dengan ikan diurnal. Dari segi ekologi jenis-jenis ikan karang diartikan sebagai jenis ikan yang habitatnya terutama berada dilapisan dekat dasar laut. Ikan-ikan ini mempunyai sifat ekologi antara lain: (1)
Kemampuan beradaptasi dengan faktor-faktor
kedalaman perairan pada umumnya tinggi, hal ini terlihat dari penyebaran berbagai jenis ikan tertentu yang hidup mulai dari kedalaman beberapa meter sampai ratusan meter. (2) Gerombolannya lebih kecil dibandingkan ikan-ikan pelagis bahkan sebagian besar bersifat soliter. (3) Habitat utamanya dilapisan dekat dasar laut, meskipun beberapa jenis diantaranya dapat hidup dilapisan atas perairan.
4)
Kecepatan pertumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan
ikan-ikan pelagis dan umurnya untuk mencapai tingkat dewasa juga sangat lambat. (5) Aktivitas rendah dan daerah ruayanya sempit. (6)
Komunitasnya
sangat kompleks (Nikolsky, 1985).
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
4/17
Hasil Penelitian yang Telah Dilakukan Alat bantu pengejut ikan sudah dilakukan oleh Kamil dkk. (2003) dengan membandingkannya dengan cara tradisional yang digunakan nelayan. Hasilnya secara kuantitas jauh lebih banyak tangkapan yang menggunakan alat bantu dari pada tanpa alat bantu.
Dari 16 trip penangkapan diperoleh rata-rata 4,7 kg
dibandingkan dengan tanpa alat bantu 3,5 kg pada malam hari.
Sedangkan
pada siang hari diperoleh hasil yang lebih besar yaitu 10,1 kg pada alat bantu dan 4,8 kg tanpa alat bantu. memuaskan.
Pada malam hari,
hasilnya kurang begitu
Ada beberapa kendala yang dihadapi pada malam hari, yaitu
pandangan terbatas sehingga jaring dipasang di daerah terumbu karang yang mengakibatkan robeknya sebagian jaring sehingga hasil tangkapan berkurang. Kemungkinan lain diduga bahwa pada malam hari ikan-ikan karang cenderung aktif, sehingga kurang terpengaruh oleh frekunsi suara yang diterapkan (Kamil dkk., 2003). Penelitian yang telah dilakukan menggunakan frekunsi suara 17 kHz dan volume suara yang dihasilkan 10 dB (pengukuran didarat). Sedangkan penelitian di Jepang (Akamatsu et al, 1996) untuk mengusir singa laut menggunakan kisaran kekuatan suara antara 145 – 210 dB, dan frekuensi berkisar antara 1 sampai 28 kHz. Karena ikan dan singa laut sangat berjauhan kekerabatannya, maka dalam penelitian ini akan mengembangkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menguji beberapa kisaran frekuensi dan kekuatan suara untuk memdapatkan reaksi ikan yang optimal. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip dasar penelitian ini sudah diinformasikan oleh beberapa peneliti terdahulu, akan tetapi aplikasi seperti penelitian yang direncanakan belum ada. bertanggungjawab,
penelitian
ini
sangat
Ditinjau dari segi perikanan mendukung
terutama
terhadap
lingkungan, namun terhadap sumberdaya ikan, tentunya sangat tergantung dari alat penangkap ikan yang digunakan nelayan. Walaupun dalam penelitian ini juga dirancang alat tangkap yang selektif, keberlanjutan sumberdaya tergantung dari pengawasan di lapangan.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
5/17
Alat Bantu Bunyi Pengejut Ikan untuk Daerah Karang Alat bantu bunyi ini tergolong jenis alat yang baru sehingga untuk memudahkan penyebutan atau pengenalannya secara luas diperlukan istilah baku/permanen.
Oleh karena itu kami memberikan istilah “Sound Frequency
Shock” yang bermakna bunyi pengejut ikan, bagi alat bantu bunyi ini dan untuk selanjutnya disebut S.F.S.
C
C LS
R
c C
C
IC 1
IC 2
R
R
R
C C
C
C
Gambar 1. Skema Alat S.F.S Alat ini terdiri dari seperangkat peralatan elektronika sebagai input dan loud speaker berukuran 8 Ohm sebagai output. Loud speaker tersebut telah dimodifikasi sehingga menjadi kedap air. Sumber tegangan berasal dari accu berkekuatan 12 Volt. Skema S.F.S dan sistim kerjanya secara skematik dapat dilihat pada diagram converter berikut (Gambar 1). Alat ini mampu menghasilkan bunyi sebesar 33.000 Hz, dengan kekuatan volume sebesar 10 dB Prinsip kerja S.F.S ini adalah bunyi yang dikeluarkan dirambatkan melalui medium cair dengan kecepatan perambatannya 5 kali lebih besar dibandingkan dengan medium perambatan di udara, yaitu sebesar 1500 m/dt. Hal ini disebabkan karena partikel-partikel pada medium cair lebih rapat atau saling terkait,
sehingga
suatu
getaran
mempengaruhi partikel yang lain.
yang
menyentuh
satu
partikel
akan
Berdasarkan sudut pandang teoritis maka
dapat dipahami bahwa semakin renggang kerapatan partikel sebuah medium
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
6/17
maka kecepatan perambatan suatu getaran/bunyi semakin lambat, sebagaimana yang terajadi pada ruang hampa. Hasil penelitian dengan perlakukan menggunakan alat bantu SFS dan tanpa alat bantu menunjukkan bahwa hasil tangkapan gillnet nyata lebih banyak pada alat bantu dibandingkan dengan tanpa lat bantu (Iqbal, 2003). Perbandingan Jumlah Hasil Tangkapan antara SFS dengan tanpa SFS Hasil penelitian Iqbal (2003) dengan alat bantu SFS diperoleh hasil tangkapan sebanyak 12 jenis dengan total berat 75,9 kg, sementara yang tanpa alat bantu hanya 8 jenis dengan berat 56,6 kg. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan No.
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tanda-tanda batu Kakatua Biji Nangka Kerapu Karang Sikuda Pisang-pisang Jenaha Kerapu lumpur Betedace Ikan merah Lingkis Kerapu balong Total
Tanpa Alat Bantu Jml (ekor) Berat (kg) 32 13,5 29 13,5 19 9,5 11 4,6 11 5,6 9 5,7 7 2,5 6 1,8
124
56,6
Dengan Alat Bantu Jml (ekor) Berat (kg) 49 19,2 18 7,6 9 3,9 10 4,4 11 8,2 14 5,4 32 13 5 2,7 10 4,6 7 2,5 8 3,9 2 0,5 175 75,9
Tabel 1 menunjukkan jumlah hasil tangkapan yang menggunakan alat bantu SFS jauh lebih besar dari pada tanpa alat bantu, baik dari segi jenis ikan, jumlah ikan maupun berat hasil tangkapan. Lampu Banyak faktor yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha perikanan light fishing diantaranya adalah : peman-tulan, penyerapan, refraction, extinction, peristiwa lainnya dari cahaya yang dihasilkan oleh lampu yang mengenai permukaan perairan (Ayodhyoa, 1976).
Tak kalah pentingnya adalah faktor
disain, tata letak lampu dan penentuan lokasi dan faktor kesesuaian alat dengan Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
7/17
kondisi lingkungan perairan (Hela dan Laevastu, 1970).
Dalam hal ini harus
diusahakan agar warna lampu yang berbeda dan tata letaknya tidak mengganggu peristiwa berkumpulnya ikan pada sumber cahaya, yang mana ikan akan berkumpul karena peristiwa phototaxis atau adanya makanan yang terlihat oleh ikan. Takayama
(1957)
dalam
Basuki
(1976)
mengemukakan
bahwa
berkumpulnya atau tertariknya ikan terhadap cahaya bukan saja karena sifat phototaxis positif, juga karena adanya faktor ekologi dari mahluk hidup lainnya. Pada peristiwa phototaxis positif, ikan-ikan akan bergerak menuju sumber cahaya, sedang pada phototaxis negatif ikan-ikan akan memberikan reaksi sebaliknya. Selanjutnya dikatakan oleh (Gunarso, 1985) bahwa cahaya bagi ikan digunakan sebagai indikator adanya makanan. Secara teoritis dikatakan pula bahwa berkumpulnya ikan pada cahaya juga dipengaruhi oleh jumlah terang yang terjadi di dalam air (light intensity, brightness, lux) akibat penyinaran oleh warna lampu yang berbeda terhadap ikan, demikian pula yang menyangkut persoalan fisika, kimia dan biologi, seperti peristiwa merambatnya cahaya kedalam air, pengaturan warna cahaya kedalam perairan, gelombang, kekeruhan dan kecepatan arus. Mekanisme berkumpulnya ikan pada cahaya (lampu) belum diketahui dengan jelas, namun diduga bahwa ikan-ikan akan terangsang oleh cahaya karena adanya faktor kesesuaian intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh ikan (Verheyen, 1959).
Sementara itu von Brandt (1964) menyatakan bahwa
penyebab lain tertariknya ikan terhadap cahaya didasari oleh disorientasi penglihatan ikan.
Ikan-ikan mempunyai kemampuan untuk melihat pada
intensitas cahaya sampai ra-tusan ribu lux pada siang hari sampai pada keadaan yang hampir gelap sama sekali (Gunarso, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya intensitas cahaya yang dapat diadaptasi oleh ikan sangat bervariasi tergantung pada jenis ikannya, sedang intensitas cahaya yang sudah dapat dideteksi ikan sekitar 0,01 - 0,001 lux. Scharfe (1955) mengatakan bahwa suatu lampu yang dapat diindera oleh mata manusia hanya sampai pada kedalaman 15 meter, sedangkan ikan dapat mendeteksi sampai pada kedalaman 28 meter. Selanjutnya Zusser (1958) mengatakan bahwa ikan-ikan mem-punyai intensitas cahaya optimum untuk aktifitasnya. Di-tambahkan pula bahwa ikan yang dalam
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
8/17
keadaan lapar lebih mudah tertarik pada cahaya dibadingkan dengan ikan-ikan yang dalam keadaan kenyang. Kegunaan cahaya terhadap tingkah laku ikan dan ke-tersediaan makanan telah banyak dilakukan pada berbagai metode penangkapan ikan di negara maju. Mengingat
per-airan
Indonesia
adalah
perairan
tropis,
dimana
nilai
transparansinya tinggi (sekitar 20 - 35 m) (Ayodhyoa, 1976), sebagai akibatnya adalah bahwa cahaya yang diguna-kan akan menembus jauh pada suatu kedalaman tertentu. Hal ini pula yang mengakibatkan ikan-ikan yang berada pada lapisan tersebut akan terangsang oleh cahaya dan diharapkan akan dapat tertarik ke catchable area. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Metusalach dan Najamuddin (1989) menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan lampu neon dalam air nyata jauh lebih baik dari pada lampu petromaks. Hal ini sejalan dengan pernyataan Subani (1972) bahwa sumber cahaya (lampu) yang ditempatkan dalam air akan memberikan hasil tangkapan yang lebih baik dibandingkan jika ditempatkan di atas permukaan air. Keunggulan lampu neon dalam air yang didapatkan dalam penelitian tersebut, tidak hanya meliputi aspek teknis saja, tetapi juga aspek finansialnya. Dari segi teknis, ternyata penggunaan lampu neon dalam air membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat untuk mengumpulkan dan memadatkan ikan di sekitar lampu, serta jumlah hasil tangkapannya jauh lebih tinggi dibadingkan dengan penggunaan lampu petromaks.
Demikian pula dengan efisiensi waktu kerja,
terdapat perbedaan waktu yang cukup besar karena dengan menggunakan lampu neon, dapat dilakukan operasi penangkapan ikan sampai tiga kali dalam satu malam, sedangkan dengan lampu petromaks rata-rata dapat dilakukan sekali saja. Dari segi finansialnya ditemukan bahwa penggunaan lampu neon dalam
air
membutuhkan
biaya
operasional
alat
(seperduapuluh) dari penggunaan lampu petromaks.
bantu
hampir
1/20
Sementara pendapatan
pada lampu neon ternyata juga hampir dua kali lipat dari hasil yang diperoleh pada penggunaan lampu petromaks. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Metusalach dan Najamuddin (1989) menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan lampu neon dalam air nyata jauh lebih baik dari pada lampu petromaks
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
9/17
Hasil penelitian Najamuddin dkk. (1993) menunjukkan bahwa kekuatan lampu neon dalam air berpengaruh sangat nyata terhadap hasil tangkapan purse seine. Hasil tangkapan yang menggunakan lampu 40 W dan 50 W nyata lebih banyak dari pada lampu 30 W. Selain itu faktor oceanografi yang diamati (arus dan suhu) mempunyai korelasi yang nyata dengan hasil tangkapan, sedangkan salinitas tidak nyata korelasinya. Hasil penelitian Najamuddin dkk. (1994) menunjukkan bahwa warna lampu neon dalam air berpengaruh sangat nyata ter-hadap hasil tangkapan purse seine.
Hasil tangkapan yang menggunakan warna lampu kuning dan
R
Lo
s on u su w Ka t
lig o as sp tre llig er D sp ec . ap Sa te r rd us in sp el la . lo ng ic ep s Se Sa la rd rs in el p. la fim br ia ta
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 sp .
Fish number (kg)
merah nyata lebih banyak dari pada lampu warna biru.
Red Yellow Blue
Fish species Gambar 2. Perbandingan jumlah hasil & jenis ikan hasil tangkapan pada warna lampu berbeda. Powe ace merupakan batterei kering, mempunyai ukuran yang relatif lebih kecil dan lebih ringan dibandingkan dengan accu. Selain itu power ace juga sudah dilengkapi dengan rangkaian khusus yang memungkinkan alat tersebut di charge langsung pada sumber arus AC 220 volt. Berdasarkan data teknis, alat tersebut dapat dipakai selama 10 hari terus menerus dalam sekali ckarge
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
10/17
(sumber : Data tehnis power ace). Hasil tangkapan purse seine dengan alat
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
R as tre llig
Lo lig
ae na Sp hy r
o er sp br ac hy so m D a ec ap te Sa ru rd s in sp el . la Se lo la ng rc ic ru ep m s en op th Sa al rd m us in el la fim br ia ta
Dry battery Wet battery
sp
Fish number (kg)
bantu power ace lebih banyak dibandingkan dengan accu (Najamuddin, 2000).
Fish species Gambar 3.
Perbandingan jumlah dan jenis ikan hasil tangkapan pada jenis baterei yang berbeda.
Irwan (2000) menggunakan lampu halogen warna kuning 2 buah, masingmasing berkekuatan 100 W, ditempatkan di atas air. Jumlah ikan yang diperoleh cukup memuaskan. Namun demikian, karena tidak ada pembanding, sehingga sulit untuk disimpulkan.
Akan tetapi pada prinsipnya, lampu halogen yang
ditempatkan di atas permukaan air dapat digunakan sebagai alat bantu pengumpul ikan. Hasil
tangkapan
purse
seine
lampu
400-500
kg
di
Bulukumba
(Najamuddin, 1995; 1997), 425 kg (Erniyanti, 1997), di Jeneponto 412 kg (Saranga, 1998).
Rumpon Rumpon adalah suatu bangunan yang menyerupai popohonan yang dipasang pada suatu tempat di tengah laut.
Rumpon terdiri dari empat
komponen utama yaitu pelampung, tali jangkar, tali pengikat, atraktor dan Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
11/17
pemberat (jangkar). Pada pelampung diikatkan daun kelapa atau daun lontar yang dimaksudkan agar ikan-ikan berlindung di sekitar daun-daunan tersebut. Makin banyak daun akan semakin baik, namun perlu diperhitungkan beban yang akan diterima oleh pelampung dan jangkar (Monintja, 1993). Rumpon mempunyai fungsi biologis dan ekologis.
Fungsi biologisnya
adalah sebagai tempat berlindung ikan terhadap pemangsa, tempat mencari makan, tempat pemusatan ikan umpan, tempat yang aman terhadap arus kuat, titik acuan untuk metamorfosis dan tempat gelap dimana plankton lebih mudah terlihat. Sedangkan fungsi ekonomi antara lain menghemat waktu dan biaya operasional penangkapan, meningkatkan hasil tangkapan perunit usaha dan komoditas sasaran mudah untuk ditangkap, meningkatkan nilai hasil tangkapan ditinjau dari komposisi jenis dan ukuran, dan dapat meningkatkan faktor keselamatan bagi perikanan pantai skala kecil (Puslitbang Perikanan, 1992; Monintja, 1993). Rumpon dapat menarik perhatian ikan-ikan pelagis karena pada rumpon tercipta kondisi yang sesuai untuk aktivitas hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu memanfaatkan tingkah laku ikan itu sendiri, dimana ikan-ikan pelagis kecil umumnya tertarik pada benda-benda terapung dan hidup bergorombol, baik diantara jenisnya sendiri maupun diantara jenis ikan lainnya (Puslitbang Perikanan, 1992). Rumpon telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan pole and line di perarian Maluku dan Irian. Kontruksi rumpon untuk purse seine agak berbeda dengan pole ang line, dimana harus dilengkapi dengan pelampung untuk mengikat rumpon dapat dilepas pada saat operasi penangkapan ikan (Monintja, 1993). Rumpon terbuat dari bambu sebagai pelampung, daun kelapa atau daun lontar sebagai pemikat ikan, dan batu sebagai pemberat digunakan di daerah Tarowang, Kabupaten Jeneponto. Jumlah bambu yang digunakan 15 batang, panjang masing-masing sekitar 15 m dengan diameter rata-rata sekitar 15 cm. Bahan pemikat terdiri dari daun kelapa atau daun lontar dengan jumlah 90 pelepah (Arsyad, 1999). Hasil tangkapan dengan bahan pemikat daun lontar lebih banyak dari pada daun kelapa.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
12/17
Di daerah Tanru Sampe, Kabupaten Jeneponto, konstruksi rumpon yang mereka gunakan lebih sederhana dengan hanya menggunakan bambu 2 buah sebagai pelampung.
Sebagai pemikat digunakan daun kelapa sebanyak 180
pelepah, yang diikatkan merata pada 3 untaian tali (Saranga, 1998). Hasil tangkapan purse seine rumpon di Tanru Sampe rata-rata 315,5 kg (Arsyad, 1999); di Batam 375,2 kg (Saranga, 1998), di Bulukumba 641 kg (Erniyanti, 1997).
Terumbu Buatan Terumbu karang sebagai suatu ekosistem alami, memiliki mfungsi dan peranan yang penting bagi kehidupan hayati laut dan bagi kehidupan masyarakat komunitas pantai.
Selama ini terumbu karang dimanfaatkan secara semena-
mena menggunakan teknik pemanfaatan yang merusak dengan bahan-bahan kimia, peledak dan ditambang untuk berbegai keperluan.
Luas keseluruhan
terumbu karang Indenesia sekitar 7500 km2, pada saat ini diperkirakan sekitar 60% mengalami kerusakan, 33% masih bagus dan sisanya 7% sangat bagus (Puslitbang Perikanan, 1994).
Dengan demikian maka kondisi
sekarang ini
dapat di prediksi luasan terumbu karang yang masih bagus tentunya akan semakin menurun, mengingat penggunaan
alat-alat illegal masih terus
digunakan. Batasan terumbu buatan, adalah struktur atau kerangka yang sengaja dipasangkan ke dalam laut yang ditujukan sebagai tempat berlindung dan habitat bagi organisme laut, atau sebagai pelindung pantai. Fungsi utama dari terumbu buatan adalah : 1. Menarik dan mengumpulkan organisme (ikan dan non-ikan) sehingga lebih mudah dan efisien upaya penangkapannya; dan berguna juga sebagai wisata bahari; 2. Melindungi organisme kecil, anakan ikan dan ikan muda terhadap pemanenan dan penangkapan yang lebih dini; 3. Melindungi kawasan asuhan terhadap cara-cara pemanfaatan dan penangkapan yang bersifat merusak;
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
13/17
4. Dalam jangka panjang, meningkatkan produktivitas alami melalui cara suplai habitat baru bagi ikan dan organisme yang menempel permanen atau organisme sesil, dan juga menyediakan substrat bagi pertumbuhan berbagai jenis biota yang akan merupakan sumber makanan bagi ikan. Salah satu alternatif
dalam upaya meningkatkan eksploitasi sumberdaya
ekosistem terumbu karang tanpa menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya tersebut adalah pembuatan habitat terumbu buatan. Terumbu buatan ((Artificial reefs) merupakan tempat pemijahan, tempat mencari makan dan tempat berlindung yang baik bagi semua jenis biota laut. Pengembangan terumbu buatan memiliki dampak positif, yakni untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sebagai akibat terciptanya habitat baru dan sebagai pelindung fisik lingkungan pantai serta sarana wisata bawah laut (Kerr, 1992). Keberhasilan pengembangan terumbu buatan pada masyarakat pesisr dapat memberikan mata pencarian bagi masyarakat yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Terumbu buatan yang terbuat dari ban mobil bekas dapat digunakan sebagai daerah penangkapan yang cukup potensil setelah dipasang sekitar 1 bulan (Yusran, 1997). Saat ini penggunaan ban mobil bekas tidak dianjurkan lagi, mengingat ban tersebut mengandung senyawa kimia yang dapat merusak karang di sekitarnya. Sebagai penggantinya dapat digunakan dari bahan beton. Hasil penelitian Yulianto (1998), dimana membandingkan hasil tangkapan trammel net di sekitar terumbu buatan beton dan ban bekas di perairan Teluk Bone, Kabupaten Wajo, dimana di sekitar lebih banyak dari pada ban. Terumbu buatan beton, berbentuk kubus, lobang dari samping, dan disusun beberapa lapis di dalam air. PENGEMBANGAN Nelayan yang menggunakan lampu petromaks sebagai alat bantu, masih banyak, terutama nelayan purse seine dan sebagian bagan.
Mereka adalah
sasaran aplikasi teknologi lampu bawah air ini. Namun demikian, paket teknologi lampu bawah air ini, masih perlu disempurnakan konstruksinya, sehingga dapat dipakai langsung oleh nelayan kecil di lapangan.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
14/17
Untuk nelayan yang beroperasi pada siang hari, penggunaan
rumpon
merupakan alternatif yang terbaik. Dari pada memburu gerombolan ikan yang tidak jelas arahnya, menghabiskan bahan bakar yang banyak, setelah ditemukan ikan belum tentu dapat ditangkap, karena cenderung menghindar dari alat tangkap. Ikan yang berada di sekitar rumpon, cenderung lebih tenang, sehingga lebih mudah ditangkap, dan biaya operasi untuk mencari ikan tidak terlalu besar. Terumbu karang merupakan daerah penangkapan yang cukup potensil. Tidak ada satupun alat tangkap yang dioperasikan di daerah terumbu karang yang tidak merusaknya. Akan tetapi tingkat kerusakan karang pada masingmasing alat berbeda-beda. Untuk menjaga kerusakan terumbu karang, salah satu alternatif solusi yang ditawarkan adalah dengan memasang terumbu buatan di sekitar terumbu karang, dengan harapan ikan-ikan dari terumbu karang sebagian berpindah ke terumbu buatan. Selanjutnya alat tangkap dioperasikan di sekitar terumbu buatan. Dalam pelaksanaan di lapangan, dapat dilakukan modifikasi dengan kombinasi antara satu alat bantu dengan alat bantu lainnya, seperti antara rumpon dan lampu, antara rumpon dan terumbu buatan. Kombinasi tersebut akan menambah daya pikat, dan memungkinkan hasil yang diperoleh lebih banyak.
Penutup SFS, lampu, rumpon dan terumbu buatan hanyalah sebagai alat bantu dalam mengarahkan (mengusir/menarik) ikan ke arah jaring, sehingga ikan-ikan terperangkap pada jaring. Keramahan alat terhadap terumbu karang tergantung dari bagaimana nelayan menempatkan jaring di sekitar terumbu karang atau di atas terumbu karang.
Ukuran mata jaring juga sangat menentukan tingkat
selektivitas alat tangkap. Kaji tindak paket teknologi tersebut perlu dilakukan di lapangan untuk dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi.
DAFTAR PUSTAKA Akamatsu, T., Nakamura, K., Miroi, H., and Watanabe, M. 1996. Effects of Underwater Sounds on Escape Behaviour of Steller Sea Lions. Fisheries Science, 62(4) : 503-510.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
15/17
Andriani, 1995. Penguat Audio Sistem Ketetapan Tinggi (HI–FI), Penerbit Carya Remadja, Bandung. Arimoto, T., Choi, SJ., and Choi, Y.G. 1999. Trends and Perspectives for Fishing Technology Research Towards the Sustainable Development. In Proceeding of 5th International Symposium on Efficient Application and Preservation of Marine Biological Resources. OSU National University, Japan. Pp 135-144. Charles, A.T. 1994. Towards Sustainability: The Fishery Experience. Ecological economics, 11: 201-211. ----------------. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. London. 370 p. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. LISPI. Jakarta. 145 hal. FAO. 1995a. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department. 24 p. (Online) (http://fao/fisheries/code, diakses 9 Juli 2002). Haliapina, 1995. Struktur Komunitas, Komposisi Jenis dan Ukuran Ikan Karang Yang Tertangkap Dengan Alat Mini Muro – Ami (Salibu) Berdasarkan Daerah Penangkapan di Daerah Barru. Makassar. Ikawati, dkk., 2001. Terumbu Karang di Indonesia, Penerbit Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Iskandar, B. H. dan Mawardi W., 1997. Studi Perbandingan Keberadaan IkanIkan Karang Nokturnal dan Diurnal Tujuan Penagkapan di Terumbu Karang Pulau Pari Jakarta Utara. Buletin PSP. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jennings, S., E.M. Grandcourt, N.V.C. Polunin. 1995. The effects of fishing on the diversity, biomass and trophic structure of Seychelles’ reef fish communities. Coral reef 14: 225-235. Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. Impacts of fishing on tropical reef ecosystems. Ambio Vol 25 No. 1: 44-49. Jennings, S., S. S. Marshall & N.V.C. Polunin. 1996. Seychelles’ marine protected areas: Comparative structure and status of reef fish communities. Biological Conservation 75: 201-209. Kaparang, F.E., Y. Matsuno, Y. Yamanaka, and S. Fujieda. 1998. Studies on Underwater Sounds Produced by Yellowtail Seriola quinqueradiata and Amberjack Seriola dumerili in Net Pens at Culture Grounds in Middle Kagoshima Bay. Fisheries Science, 64(3) : 353-358.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
16/17
MCMANUS, J.W., & R.B. REYES, JR. 1997. Effects of some destructive fishing methods on coral cover and potential rates of recovery. Environmental management Vol. 21 No. 1: 69-78. Monintja, D. 1992. Study on the development of rumpon as fish aggregation device in Indonesia. Buletin MARITEK, Vol. 3 No. 2. Oktober 1993. Special issue. Najamuddin dan A. Assir, 1993. Studi Penggunaan Lampu Neon dalam Air dengan Daya yang Berbeda pada Perikanan Purse Seine di Laut Flores, Sulawesi Selatan. Buletin Torani 3 (3): 74-88. Najamuddin, Natsir Nessa, Mahfud Palo, Muh. Yusran, Metusalach dan Andi Assir. 1994. Studi Penggunaan Lampu Neon dalam Air dengan Warna yang Berbeda pada Perikanan Purse Seine di Laut Flores, Sulawesi Selatan. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan II(7) : 68 - 84. Sugandhy, A. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Kata Pengantar Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Lingkungan Alam/Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup BAPEDAL. Penerbit Djambatan. Jakarta. 118 hal. Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Penerbit Djambatan. Wagiyo, K. 1996. Ekosistem terumbu karang buatan untuk meningkatkan sumberdaya hayati dan diversifikasi usaha masyarakat. Kumpulan Makalah Seminar Maritim Indonesia 1996. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bekerja sama dengan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Jakarta. Hal 103-117.
Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006
17/17
DATABASE INFORMASI PENELITIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 1) oleh Dr. Mukti Zainuddin, SPi, MSc.2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September 2006 2) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
DEFINISI DAN RUANG LINGKUP Database dapat didefinisikan sebagai kumpulan data yang saling terkait dan dirancang untuk menyatukan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga atau organisasi (McFadden). Database ini mempunyai dua indikator penting yaitu integrated (terpadu) dan shared (mudah diakses dan digunakan).
Sedangkan Database Management
System (DBMS) adalah sebuah intermediasi antara program-program aplikasi oleh pengguna dan database yang ada. Pengguna menggunakan program aplikasi dan membutuhkan software untuk memproses data dalam DBMS environment dan kemudian menyimpan atau mengakses data (Gambar 1). Jadi secara sederhana database merupakan kumpulan data persistent yang digunakan oleh sistem-sistem aplikasi dari berbagai pengguna tertentu. MENGAPA DATABASE PENTING Dalam pola pandang sistem, DBMS mempunyai beberapa keuntungan dalam penggunaannya, antara lain: meniadakan atau mengurangi duplikasi data (Reduce redundancy), mempertahankan konsistensi data (Maintain consistency), mempermudah data sharing (Data sharing), standar data dapat diberdayakan atau di update (Standars can be enforced), menjamin keamanan data (Provide security of the data), menjaga integritas data (Maintain integrity) dan menjaga independensi data (Data independency).
Sedangkan keterbatasannya antara lain:
sistem pengolahan datanya yang rumit dan lebih kompleks untuk sistem pengembangannya.
1/6
Gambar 1. Gambaran sederhana ruang lingkup database (website)
APLIKASI DATABASE DALAM BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN Pentingnya database bagi sistem informasi kelautan dan perikanan Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Database telah menjadi issu sentral dalam pemberdayaan sistem informasi perikanan di negara kita. Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan kita yang cukup besar diperlukan adanya sistem data yang sistematis, lengkap dan terpadu seperti data 2/6
perikanan tangkap dan data lingkungan laut.
Data tersebut dapat
digunakan untuk mempelajari secara efektif berapa besar potensi stok ikan yang kita miliki, dimana stok ikan tersebut bisa ditangkap dan kapan musim ikan tersebut akan berlimpah. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat signifikan dan memerlukan respon yang tepat yang antara lain dapat kita jawab dengan membangun sistem database secara berkala, berdaya guna dan berkelanjutan. Dengan demikian banyak masalah dalam bidang perikanan dan kelautan yang dapat diatasi dengan keandalan sisten database tersebut misalnya perkiraan ruang dan waktu untuk menangkap ikan komersial penting, indikasi awal fenomena alam seperti tsunami dan El Ñino dan La Ñina serta polusi air. Hal ini dapat kita jelaskan dengan dengan kemampuan database yang handal. Aplikasi penggunaan database dalam menginvestigasi daerah potensial untuk menangkap ikan albacore tuna dan bagaimana melacak rute migrasi ikan tersebut, diurai secara sistematis dalam analysis diagram alir berikut ini (Gambar 2).
Ada dua database yang digunakan yaitu
fisheries database (Database perikanan tuna seperti posisi penangkapan, hasil tangkapan, jumlah kapal yang dioperasikan dll, Gambar 3) dan satellite database (data lingkungan yang diperoleh dari citra seperti suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a dan perbedaan tinggi permukaan laut).
Kedua database tersebut dikombinasikan untu mendapatkan
kondisi lingkungan yang disukai ikan tuna.
Dengan menggunakan
software GIS (system informasi geografi), daerah potensial ikan tuna dapat dideteksi dari indikator lingkungan yang suitable (cocok) dengan menggunakan peta prediksi sederhana dan peta kontur.
Kemudian
daerah itu diperjelas (Enhancement) menggunakan peta peluang (Environmental probability map) dari gabungan faktor-faktor lingkungan dan data perikanan. Potensial habitat ini selanjutnya diuji menggunakan model statistik untuk memastikan dan memprediksi daerah penangkapan yang produktif.
Dan, dari hubungan kelimpahan ikan dengan indikator
faktor lingkungan yang sesuai digunakan untuk mensimulasikan jalur migrasi ikan tuna dengan basis database dari suhu lingkungan. Inilah 3/6
gambaran analysis potensi habitat ikan tuna atau daerah pengakapan ikan berikut migrasinya dapat ditentukan dengan menggunakan kedua database tersebut.
Gambar 2. Analysis diagram alir pada penggunaan database dalam bidang kelautan dan perikanan
4/6
Gambar 3. Salah satu contoh database perikanan tuna longline di Jepang (JAFIC database). PERKEMBANGAN SISTEM DATABASE Aplikasi database dalam bidang perikanan dan kelautan telah mengalami banyak kemajuan yang bisa kita lihat dan akses lewat internet (Gambar 4). Dibawah ini ada dua sampel, bagaimana database informasi perikanan global dapat diakses. Sebagai contoh FIGIS (fisheries global information system) menyediakan berbagai informasi seperti statistik perikanan, peta sebaran ikan menurut spesies, issue dan topik perikanan aktual, budidaya, perikanan laut dan teknologi penangkapan. Data ini tersedia kapan dan dimana saja kita perlukan. FAO juga menyediakan data dan informasi penting tentang bagaimana profil perikanan di suatu Negara dapat dipilih dengan mudah melalui situsnya (Gambar 4). Dengan kemajuan sistem komputer termasuk software pengolahan data dan berbagai
program
pendukung
memungkinkan
kita
untuk
dapat
membangun sistem database. Semua fakta yang ada ini mengarah pada sebuah pertanyaan tentang apakah kita sudah memiliki sistem database yang handal? Nah mari kita pikirkan bersama.
5/6
Gambar 4. Database dan system informasi yang tersedia melalui internet (website).
6/6
PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BERKELANJUTAN DAN BERBASIS MASYARAKAT *) Oleh Prof. Dr.Ir. Achmar Mallawa, DEA.**)
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki potensi
sumberdaya
ikan
yang
sangat
besar
dan
memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana perairan Indonesia memiliki 27,2 % dari seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di dunia yang meliputi 12,0 % mammalia, 23,8 % amphibia, 31,8 % reptilia, 44,7 % ikan, 40,0 % molluska dan 8,6 % rumput laut. Potensi sumberdaya ikan meliputi : SDI pelagis besar, SDI pelagis kecil, sumberdaya udang peneid dan krustasea lainnya, SDI demersal, sumberdaya moluska dan teripang, sumberdaya cumi-cumi, sumberdaya benih alam komersial, sumberdaya karang, sumber daya ikan konsumsi perairan karang, sumberdaya ikan hias, sumberdaya penyu laut, sumberdaya mammalia laut, dan sumberdaya rumput laut. Menurut data tahun 2004, kondisi sumberdaya ikan untuk perairan laut adalah sebagai berikut : potensi lestari (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 ton/tahun atau 80 % dari MSY, dan produksi tahunan sebesar 4,7 juta ton atau 73,4 % dari MSY, sedang untuk perairan umum yang berupa danau, waduk, sungai dan genangan air lainnya seluas 54 juta ha memiliki potensi perkiraan 800- 900 ribu ton/tahun, dan produksi tahunan saat ini sebesar 325 ton atau 35 % dari potensi). Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan Indonesia
pemerintah
melalui Departemen Kelautan dan Perikanan
mencanangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
*)
Disajikan pada lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006 **) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS, Makassar.
1/31
II. KONDISI AKTUAL SUMBERDAYA IKAN 2.1 Jenis Sumberdaya Ikan Konsumsi dan Status Pemanfaatan a. Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Jenis-jenis ikan pelagis besar yang terdapat diperairan Indonesia antara lain : ikan tuna besar yang meliputi : mandidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii), tuna ekor panjang (Thunnus tonggol), jenis ikan pedang/setuhuk yang meliputi : ikan pedang (Xipias gladius), setuhuk biru (Makaira mazara), setuhuk hitam (Makaira indica), setuhuk loreng (Teptapturus audax), ikan layaran (Istiophorus platypterus), jenis tuna kecil meliputi : ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan jenis ikan tongkol yang terdiri atas Euthynnus affinis, Auxis thazard, dan Auxis rochei, jenis ikan cucut yang meliputi : Sphyrna sp, Carcharhinus longimanus, C.brachyurus dan lain-lain. Ikan pelagis besar tersebar dihampir semua wilayah pengelolaan perikanan di mana tingkat pemanfaatan berbeda-beda antar perairan. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (2005), bahwa beberapa wilayah pengelolaan antara lain Selat Malaka, Laut Jawa, Samudera Pasifik telah mengalami over exploited di lain beberapa wilayah pengelolaan antara lain Laut China Selatan, Laut Flores, Laut Banda Laut Seram, Lautan Hindia masih pada tingkatan under exploited (Lampiran 1). b. Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama di perairan dekat pantai, di daerah di mana terjadi proses penaikan massa air (up welling) dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan.
Sumberdaya ini dapat
membentuk biomassa yang sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Jenis-jenis ikan yang masuk dalam kategori sumberdaya ikan pelagis antara lain : ikan layang (Decapterus spp), teri (Stelopohorus spp), lemuru 2/31
(Sardinella
sardinella.),
tembang
(Sardinella
longiceps),
kembung
(Rastrelliger spp), ikan terbang (Cypsilurus spp) dan lain-lain. Penyebaran ikan pelagis kecil meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia, namun dominansi ikan pelagis tertentu pada perairan tertentu dapat terjadi.
Data statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan di
perairan Samudera Hindia didominasi ikan layang, sebaliknya di perairan Sumatera Barat dan Teluk hasil tangkapan didominasi ikan teri. Wilayah-wilayah pengelolaan yang status pengusahaannya sudah mengalami lebih tangkap (over exploited, > 100 % dari MSY) adalah Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Banda.
Enam wilayah-wilayah lainnya
masih rendah (< 50 %) kecuali Selat Makassar. c. Sumberdaya Ikan Demersal Sumberdaya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktiviktas berbeda menurut perairan. Di laut Jawa (Badrudin dkk. 1998) misalnya terdapat kurang lebih 100 jenis ikan demersal ekonomis penting yang termasuk kedalam 20 famili. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan
(Lutjanidae),
manyung
(Ariidae),
gerot-gerot
(Pomadasyidae), kurisi (Nemipteridae), beloso (Synodontidae), kuniran (Mullidae), layur (Trichiuridae), pepetek ( Leiognathidae), dan bawal putih (Stromateidae). Dari 9 wilayah pengelolaan sumberdaya ikan demersal, 5 wilayah pengelolaan telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, 3 wilayah pengelolaan masih tangkapan rendah (under exploited) yaitu Laut China Selatan, Laut Seram dan Samudera Pasifik, dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. d. Sumberdaya Udang Peneid dan Jenis Krustasea Lainnya Sumberdaya udang dan krustasea lainnya merupakan komoditas ekspor sektor perikanan. Karena udang dan krustase lainnya merupakan jenis-jenis
sasaran
(target
species)
yang
cukup
penting
usaha
penangkapan di laut, maka pemanfaatannya di daerah padat nelayan umumnya sudah tinggi atau lebih tangkap (over exploited). 3/31
Jenis udang peneid dan krustasea lainnya yang banyak diekploitasi di Indonesia antara lain : udang peneid (50 jenis) yaitu : udang putih (Penaeus merguiensis), udang jerbung (P. indicus), udang windu (P. monodon), udang bago (P. semisulcatus), udang dogol (Metapenaeus monoceros), udang api-api (M. eboracencis) dan lain-lain; jenis udang karang (5 jenis) yaitu : udang Kendal (Panulirus versicolor), udang pasir/pantung (P.homarus), udang jaka/batu (P.penicillatus), udang cemara/mutiara (P. ornatus), udang jarak (P. polyphagus), udang bunga (P.longiceps) dan lainnya; kepiting bakau yaitu : Scylla serrata, S. oceania, S.transqueberica; jenis rajungan yaitu : Portunus pelagicus, P.hastatoides, P.trilobatus, P. tenuipes, P. gracilimanus, P. sanguinolentus dan lainnya. Untuk udang peneid, semua perairan di 9 wilayah pengelolaan sudah mengalami lebih tangkap (over exploited), kecuali laut Banda yang tidak ada datanya, sedang untuk udang karang (lobster), ada 5 wilayah pengelolaan yang telah lebih tangkap yaitu : Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Arafura dan 4 wilayah pengelolaan yang under exploited yaitu : Laut Banda, Laut Seram, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia, sedang untuk kepiting bakau dan kepiting rajungan belum data secara nasional atau perwilayah pengelolaan namun dari beberapa penelitian lokal memperlihat bahwa kedua sumberdaya tersebut telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited). Penyebaran udang peneid dan udang Karang di Indonesia disajikan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. e. Sumberdaya Ikan Karang Konsumsi Sumberdaya ikan karang konsumsi termasuk komoditas perikanan yang banyak diminta baik oleh pasar dalam negeri maupun luar negeri. Karena permintaannya yang terus meningkat dan harganya yang cukup tinggi mendorong nelayan untuk melakukan penangkapan dengan cara legal maupun illegal yang mengakibatkan kualitas dan
kuantitas
sumberdaya tersebut terus menurun. Jenis ikan karang konsumsi yang banyak dieksplotasi antara lain famili Caesiodidae meliputi : ikan ekor 4/31
kuning (Caesio erytrogaster), pisang-pisang (C. chrysozomus); famili Labridae yaitu ikan napoleon (Cheillinus undulatus), famili Serranidae meliputi : kerapu (Epinephelus tauvina, E.malabaricus, E.microdon, E.fuscoguttatus
),
sunu
(Plectropomus
leopardus),
kerapu
tikus
(P.altivelis), famili Lutjanidae meliputi : Kakap (Lutjanus kasmira, L.altifrontalis,
L.johni,
L.bigutatus,
L.fulviflama,
L.decussates,
L.
argentimaculatus), famili Lethrinidae meliputi : lencam (Lethtrinus lentjam dan L.harax) dan famili Siganidae meliputi : baronang (Siganus javus, S.virgatus, S.canaliculatus). Dari 9 wilayah pengelolaan, 4 wilayah telah mengalami kelebihan tangkap yaitu perairan Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Arafura, dan Samudera Hindia, satu wilayah eksplotasi penuh (fully exploited) yaitu Laut Flores dan 4 wilayah kurang tangkap (under exploited) yaitu perairan Laut China Selatan, Laut Banda, Laut Seram dan Samudera Pasifik. f. Sumberdaya Cumi-Cumi Cumi-cumi secara taxonomi termasuk ke dalam Chepalopoda, adalah salah satu sumber daya non ikan yang cukup penting dalam perikanan Indonesia.
Cumi-cumi tercatat dapat ditangkap di seluruh perairan
Indonesia mulai dari Paparan Sunda, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura. Jenis cumi-cumi yang banyak tertangkap adalah Loligo edulis, jenis lain yang juga terdapat di perairan Indonesia antara lain : L. sinensis, L. duvaucelii, L. singhalensis, philippinensis.
L.
ujii,
Sepiteuthis
lessoniana,
dan Nototodarus
Potensi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan 28.255
ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan sekitar 75 % MSY. Walaupun tingkat pemanfaatan rata-rata masih di bawah MSY, tetapi 8 wilayah pengelolaan yang telah mengalami kelebihan tangkap dan hanya 2 wilayah pengelolaan yang kurang tangkap yaitu Laut Seram dan Laut Arafura.
5/31
2.2 Sumberdaya Ikan Non Konsumsi a. Sumberdaya Ikan Hias Perairan
pantai
tropis
merupakan
tempat
yang
baik
untuk
pertumbuhan karang, dan karang merupakan tempat hidup bagi sebagian besar ikan hias laut. Kvalvagnaes (dalam Djamali, 1998) memperkirakan bahwa perairan Indonesia merupakan daerah terkaya akan jenis-jenis ikan hias lautnya dibandingkan dengan beberapa negara penghasil ikan hias lainnya, di mana Indonesia memiliki lebih kurang 253 jenis ikan hias laut. Menurut hasil pengamatan di beberapa perairan di Indonesia, ikan hias laut Indonesia di dominasi oleh 4 famili yaitu , famili Pomacanthidae meliputi : enjiel ungu (Centropyge argi), enjiel BK (C.bicolor), enjiel hitam (C.melas), enjiel abu-abu (Curoliki sp) dan lain-lain, famili Labridae meliputi : bajing laut (Bodianus bilunulatus), anjing laut (Bodianus sp), keling daun ( Cheilio enermis), keling mutiara (Coris sp) dan lainnya, famili Acanthuridae meliputi : butana kuning (Acanthurus caeruleus), butana kasur (A.lineatus) dan lainnya, famili Chaetodontidae meliputi : Kepe-kepe gajah (Chaetodon lunula), kepe-kepe bulan (C.unimaculatus), kepe-kepe pyramid (Hemithaurichthyes polylepis) dan lainnya, famili Scorpaenidae meliputi : skorpio kembang (Dendrochirus zebra), skorpio gajah (Nemapterois blocellata), skorpio biting (Pterois antenata), skorpio radiata (P.radiata) dan sebagainya. Potensi ikan hias di Indonesia diperkirakan 1,5 milyar ekor yang tersebar dalam 9 wilayah pengelolaan di mana 5 wilayah pengelolaan memiliki potensi lebih besar dari 200 juta ekor yaitu L. Flores, Teluk Tomini dan Laut Halmahera dan Laut Banda. b. Sumberdaya Benih Alam Komersial Sumberdaya benih alam memegang peranan penting pada kegiatan Budidaya di Indonesia khususnya budidaya laut, di mana kelangsungan usahanya tergantung dari pasokan benih alam .
Habitat dan sebaran
benih ikan alami tergantung pada sebaran induk. Jenis-jenis benih alami yang banyak dijumpai antara lain, ikan sidat dari marga Anguilla meliputi : Anguilla ancentralis, A. celebensis, A. borneonsis, dan A.mossambica; ikan kakap putih, ikan kerapu, ikan bandeng dan ikan baronang. Belum 6/31
ada data yang akurat mengenai potensi dan status pemanfaatan benih alam, namun penyebaran benih alami dan induk udang disajikan pada Lampiran 3. 2.3 Sumberdaya Karang Indonesia Sumberdaya karang memiliki nilai dan arti yang penting dari segi ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu sumberdaya karang banyak
memberi manfaat bagi organisme laut, yaitu sebagai tempat tinggal sementara atau tetap (temporary or permanent home stay), tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), tempat
berlindung
bagi
hewan
laut
dan
sebagainya;
tempat
berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara cepat sehingga produktivitasnya tinggi dan berbagai fungsi lainnya. Terumbu karang dicirikan oleh saling ketergantungan dari tumbuhan dan hewan, dan perputaran yang cepat dan efisien nutrien. Menurut Djamali dkk (1998), bahwa terumbu karang di perairan Indonesia terdiri dari 12 suku , 52 marga dengan jumlah jenis yang sangat banyak.
Sebaran karang di
Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, Laut Flores dan Laut Banda. Selain itu terdapat pula di Kepulauan Seribu, bagian barat Sumatera sampai kepulau Weh, Kepulauan Riau,
Pulau Bangka dan
Belitung, Kepulauan Karimunjawa, Teluk Lampung, Bali, Lombok, NTT, Biak, Teluk Cenrawasih serta Kepulauan Maluku (Lampiran 5) Menurut Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (1998), potensi sumberdaya Karang di Indonesia mengalami penurunan yang nyata dari tahun ketahun. Djamali dkk ( 1998) menjelaskan bahwa dari total 6.800 km2 luas terumbu karang di
Indonesia kondisi terumbu karang menurut
perairannya bervariasi, yaitu terumbu karang kondisi baik (0,00 – 14,29 %), baik (14,81–48,28%), sedang (13,33- 60,00 %), dan buruk/jelek (13,79 – 60,00 %). Selanjutnya dikatakan bahwa terumbu karang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores seluas 1.078 km2 memiliki kondisi sebagai berikut : kondisi sangat baik (14,28 %), baik (20,00 %), sedang 7/31
(24,29 %) dan buruk/jelek (41,60 %).
Tandipayuk (2006) berdasarkan
penelitian karang di perairan Pulau-pulau Sembilan Kabupaten Sinjai menjelaskan bahwa terumbu karang di daerah ini didominasi oleh karang mati dengan tingkat penutupan rata-rata 49,59 % (20,00-70,00 %). 2.4 Potensi Sumberdaya Ikan di Selat Makassar dan Laut Flores (WWP IV) Potensi sumberdaya ikan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores cukup tinggi dan didominasi oleh potensi ikan pelagis kecil yaitu sekitar 65,12 % dari perkiraan potensi yang ada (Lampiran 6).
III. PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN 3.1 Pengertian Pengelolaan Perikanan/SDI Pengelolaan sumberdaya ikan merupakan suatu aspek yang sangat menonjol disektor perikanan dan ketidak mampuan dalam pengelolaan sumberdaya ikan/sumberdaya perikanan dapat berakibat menurunnya pendapatan sector perikanan yang berasal dari sumber yang ada. Mengingat pengelolaan sumberdaya ikan mempunyai cakupan yang luas dan pengalaman kita dalam bidang pengelolaan juga masih terbatas, maka diperlukan suatu kesamaan dalam mengartikan istilah pengelolaan perikanan/sumberdaya ikan itu sendiri.
Kata “pengelolaan” yang kita
pakai adalah terjemahan dari kata “management” yang dalam ilmu administrasi dijelaskan bahwa unsur pokok dari
managemen adalah
meliputi P.O.A.C (Planning. Organizing, Actuating, Controlling). inipun ada dalam “fisheries
Unsur
managemen” namun lebih luas dan
prosesnya sendiri cukup panjang.
Dalam Guideline no.4 CCRF
pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai berikut : Pengelolaan Perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi
sumber
dan
implementasinya
(dengan
enforcement
bila
diperlukan), dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. 8/31
Dalam pengelolaan SDI diperlukan adanya beberapa batasan yang perlu mendapat perhatian antara lain : (1) besaran daerah pengelolaan, (2) siapa pengelolanya dan (3) bagaimana cara pengelolaannya.
3.2 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Pengertian pengelolaan SDI berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana SDI yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, di mana aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang aktifitas penangkapan yang
bersifat
ekonomi/komersial,
tetapi
menganjurkan
dengan
persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih SDI (MSY), sehingga generasi mendatang tetap memiliki asset sumberdaya alam (SDI) yang sama atau lebih banyak dari generasi saat ini. Bengen (2005) mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Berkelanjutan
secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan pengelolaan SDI dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistim, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keaneka ragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan SDI dapat berkesinambungan.
Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa
kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil,
mobilitas
pemberdayaan
sosial,
kohesi
masyarakat,
sosial,
identitas
partisipasi
sosial,
dan
masyarakat,
pengembangan
kelembagaan Sedang
keberlanjutan
secara
ekonomi
berarti
bahwa
kegiatan
pengelolaan SDI harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan SDI serta investasi secara efisien. 9/31
Keterlibatan pengguna (users) dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah hal yang sangat penting di mana dari pengalaman di beberapa tempat bahwa tidak ada program pengelolaan yang sukses tanpa melibatkan pengguna. Pengguna harus mengambil bagian pada semua fase pengembangan rencana pengelolaan dan implementasi program pengelolaan. Keterlibatan pemakai (users) dan orang-orang berpotensi memakainya (potential users) dan lainnya yanmg mempunyai pengaruh besar
dalam
implementasi
rencana
pengelolaan
harus
secara
konfrehensif, tidak hanya dengan pemasukan ide melalui pertemuan terbatas tetapi dengan kontak yang intensif di mana berbagai tingkatan proses perencanaan dan kebijakan yang diambil tergantung kepada keterlibatan stakeholders yang meliputi : penentuan tujuan (setting of goals), survei sumberdaya (surveying resources), pendugaan pemakaian sumberdaya (assessing resource use), review pra rencana alternatif (reviewing pre-plan alternatives), review draft rencana (reviewing of the draft plan), implementasi rencana (plan implementation), revisi rencana yang akan ditetapkan (revision of an enacted plan).
Keterlibatan
stakeholders dapat ditempuh melalui proses PRA (participatory research approach) sebagai berikut : Di dalam investigasi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan akan dilakukan Pendekatan Partisipatif (Participatory Research Approach) yaitu hasil yang didapatkan sebelum difinalkan akan disosialisasikan dan partisipasi masyarakat untuk mendengar dan membahas dengan seluruh pihak terkait (Stakeholders).
Kegiatan
partisipasi masyarakat meliputi: (a) pertemuan konsultasi dengan masyarakat (Public Consultation Meeting, PCM), (b) pembahasan antar kelompok (Focus Group Discussion, FGD), dan (c) Survei wawancara semi tersusun (SSIS). Juga perlu dilakukan pembahasan-pembahasan di tingkat pengambil keputusan daerah
terhadap konsepsi, strategi dan skenario bagi
penyusunan rencana pengelolaan SDI. Kegiatan Perencanaan Partisipatif Pengelolaan SDI untuk menghasilkan model rencana pengelolaan 10/31
berbasis masyarakat (community based management) seperti disajikan pada Lampiran 1. Nikijuluw
(1994)
menjelaskan
bahwa
pengelolaan
berbasis
masyarakat (Community Based Management, CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam sperti ekosistim terumbu Karang, sumberdaya perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya, sementara Carter (1996) mendefinisikannya Community-Based Resource Management sebagai : “A strategy for achieving a people-centered development where the focus of decision making regard to the sustainable use of natural resources in area lies with the people in the communities of that area” (Suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pengambilan keputusan tentang keberlanjutan sumberdaya dalam pemanfaatannya di daerah tersebut berada ditangan masyarakat). Model penngelolaan yang berbasis masyarakat memberikan beberapa keuntungan namun juga
memiliki beberapa kelemahan
(Bengen, 2005) Keuntungan CBM sumberdaya perikanan/SDI : • mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan SDI, • mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, • mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, • mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan ekonomis, • responsive dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, • masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, Kelemahan CBM sumberdaya perikanan/SDI : • hanya dapat diterapkan dengan baik pada masyarakat yang kondisi strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang tidak luas
11/31
• tingkat
pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
lingkungan, • terjadinya kesukaran dalam implementasi karena kurang mendapat dukungan, • hanya efektif pada kawasan pengelolaan yang batas geografisnya jelas dan terbatas, • rentan terhadap intervensi luar atau peledakan permintaan SDI dan jasa lingkungan. Model CBM sumberdaya ikan dapat dikembangkan menuju Model KoManagement (Co-Management) untuk menutupi kelemahan seperti yang diuraikan di atas dengan menambahkan beberapa prasyarat sebagai berikut : • masyarakat harus diberi hak dan kewajiban secara jelas (tipe SDP yang akan dikelola, wilayah, waktu dan cara pengelolaan), • dalam implementasi pengelolaan, hukum adat dan hukum ulayat serta kebiasaan lokal tidak boleh dikesampingkan dan kalau perlu diintergrasikan dalam rencana, • perlu mempertimbangkan kecenderungan masa lalu, saat sekarang, dan yang akan datang dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDI oleh masyarakat, • rencana strategi pengelolaan harus mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat,
3.2 Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Indonesia a. Landasan Hukum Pengelolaan SDI Undang-undang dan peraturan peraturan yang menjadi landasan hukum dalam melakukan pengelolaan sumberdaya ikan antara lain : .
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33
yang menyatakan bahwa tanah, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat,
12/31
. Konvensi Hukum Laut (United Nation Convention of Law of the Sea, UNCLOS) tahun 1982 pasal 61 yaitu negara pantai berkewajiban diantaranya : memastikan tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan; menjamin MSY; menjaga agar jangan terjadi akibat negatif dari cara penangkapan tertentu terhadap jenis- jenis kehidupan laut lainnya, dan sebagainya. . United Nation Fish Stock Agreement oleh FAO tahun 1995 yang mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (Distant Water Fishing State, DWFS) wajib : menerapkan pendekatan kehati-hatian; mempelajari akibat dari penangkapan ikan; menggunakan upaya-upaya konservasi dan managemen; melindungi kategori stok target; melindungi keanekaragaman organisme; menghindari penangkapan ikan dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih; memperhatikan
kepentingan
nelayan
kecil;
melaksanakan
upaya
konservasi dan managemen melalui observasi, kontrol dan pemantauan yang efektif, dan lain-lain. . Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) oleh FAO tahun 1995 tentang pengelolaan perikanan bertanggung jawab mengamanahkan antara
lain
:
negara
pengguna
SDI
harus
menjaga
SDI
dan
lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap dengan cara yang bertanggung jawab; negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih; kebijakan pengelolaan SDI harus berdasarkan bukti ilmiah ternaik yang tersedia; pelaksanaan pengelolaan (precautionary
SDI
harus
approach);
menerapkan
pendekatan
pengembangan
dan
kehati-hatian
penerapan
alat
penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan; perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis; negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan. . Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan antara lain : (1) Bab I psl 1 ayat 7 : pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, 13/31
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan inplementasi serta penegakan hukum dari peraturan per undang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati ; (2) Bab IV pasal 6 ayat 1 menyatakan, pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan RI dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan,
ayat
2
bahwa
pengelolaan
perikanan
untuk
kepentingan
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. .
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, “hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya dalam hal
pemanfaatan
sumberdaya
alam,
dan
sumberdaya
lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. b. Tujuan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tujuan dari pengelolaan SDI di Indonesia sesuai dengan tujuan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan
azas
manfaat,
keadilan,
kemitraan,
pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan : • meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan skala kecil, • meningkatkan penerimaan dan devisa negara, • mendorong perluasan dan kesempatan kerja, • meningkat ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, • mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, • meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, 14/31
• meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, • mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal dan, • menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
c. Wilayah Pengelolaan Sumberdaya Ikan Wilayah pengelolaan perikanan/SDI Republik Indonesia tertuang UU no.31 tahun 2004 tentang perikanan Bab III pasal 5 meliputi : (1) perairan Indonesia (territory waters), (2) ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia), (3) perairan pedalaman (inland waters) meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan di wilayah RI. Pengelolaan SDI di luar wilayah pengelolaan perikanan RI seperti yang
dimaksud
di
atas
diselenggarakan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Dalam rangka pengelolaan SDI, perairan Indonesia dibagi menjadi 9 Wlayah Pengelolaan Perikanan (WWP) yaitu : (1) Selat Malaka, (2) Laut China Selatan (Laut Natuna dan Selat Karimata), (3) Laut Jawa, (4) Selat Makassar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Arafura, (7) Laut Seram dan Teluk Tomini, (8) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (9) Samudera Hindia Pembagian wilayah pengelolaan perikanan dan wilayahnya disajikan di Lampiran 2.
15/31
d. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan
sumberdaya
ikan
di
dalam
wilayah
pengelolaan
perikanan RI dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Selain itu pengelolaan perikanan yang berhubungan dengan penangkapan ikan harus mempertimbangkan hukum adat/dan atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan secara baik dan benar maka perlu dilakukan langkah-langkah sesuai Bab III pasal 7 UU nomor 32 tahun 2004 sebagai berikut : • penyusunan rencana pengelolaan sumber daya ikan, komponen penting dari rencana pengelolaan SDI antara lain : jurisdiksi, tujuan pengelolaan, status sumberdaya ikan dan perikanannya, riset dan kajian stok, MCS, konsultasi stakeholders dll, • penentuan potensi dan alokasi sumberdaya ikan, • penentuan dan pengaturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, • penentuan jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan, • penentuan jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, • penentuan daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan, • penetapan
persyaratan
atau
standar
prosedur
operasional
penangkapan ikan, • penetapan sistim pemantauan kapal perikanan, • penentuan jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budidaya, • pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya, • rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya, • penentuan ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap, • penentuan suaka perikanan,
16/31
• penentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah RI, dan • penentuan jenis-jenis ikan yang dilindungi.
3.3 Pengelolaan Berkelanjutan.
Terumbu
Karang
Secara
Terpadu
dan
a. Visi dan Tujuan Pengelelolaan Visi pengelolaan terumbu Karang yaitu : terumbu karang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang harus dikelola dengan bijaksana, terpadu dan berkelanjutan dengan memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat dan stakeholders guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dan pengguna (users) secara berkelanjutan (sustainable). Untuk mewujudkan visi tersebut maka ada empat tujuan pokok pengelolaan terumbu karang yaitu : • Tujuan Sosial, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat dan stakeholders mengenai pentingnya pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan, • Tujuan Konservasi Ekologi, yaitu melindungi dan memelihara ekosistim terumbu karang untuk menjamin pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, • Tujuan Ekonomi, yaitu meningkatkan pemanfaatan ekosistim terumbu karang secara efisien dan berkelanjutan dan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan stakeholders, serta pembangunan ekonomi, • Tujuan Kelembagaan, yaitu menciptakan sistim dan mekanisme kelembagaan
yang
professional,
efektif
dan
efisien
dalam
merencanakan dan mengelola terumbu karang secara terpadu dan optimal.
17/31
b. Prinsip-Prinsip dan Kebijakan Pengelolaan
Pengelolaan terumbu karang disusun berdasarkan prinsip-prinsip meliputi : .
Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu
karang, . Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional .
Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan non formal untuk
mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang secara optimal, .
Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan
berkesinambungan, . Mencari pendekatan pengelolaan secara kooporatif antara semua pihak terkait, . Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan, . Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang, . Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan otonomi daerah, Kebijakan pengelolaan terumbu karang sebagai penjabaran konsep pengelolaan terumbu karang adalah sebagai berikut : .
Mengupayakan pelestarian, perlindungan dan peningkatan kondisi
terumbu karang bagi kepentingan masyarakat pengguna (users), .
Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas daerah dalam menyusun
dan implementasi program-program pengelolaan, . Menyusun rencana tata ruang dan pengelolaan wilayah dalam rangka menjamin fungsi ekologis terumbu Karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan, . Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders mulai dari perencanan, implementasi, MCS dan penegakan hukum, 18/31
. Memperbanyak kegiatan-kegiatan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan sosial budaya setempat dan kelestarian terumbu karang untuk kesejahteraan masyarakat . Mengembangkan IPTEK, penelitian, SIM, pendidikan dan pelatihan berbasis masyarakat dan internasional,
c. Opsi Pengelolaan Menurut UNESCO (1988) bahwa untuk mempertahankan fungsi dari ekjosistim terumbu karang, khusus produktivitasnya yang tinggi telah dicanangkan suatu strategi pengelolaan terumbu karang dan telah menjadi prioritas dunia yang dikenal dengan : World Conservational Strategy.
Di dalam strategi tersebut disebutkan bahwa ada lima
pendekatan dasar pengelolaan konservasi (Five Basic Approaches To Conservational Management) yaitu : 1) Zonasi (Zoning) Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan khusus penggunan and izin masuk yang meliputi : . Preservation Zone (Zona Perlindungan), tidak ada akses bagi orang untuk memasuki area tersebut selain dari pengamatan penelitian yang diperbolehkan, area diperuntukkan sebagai sumber genetic (genetic pool), . Scientific Research Zone (Zona Penelitian Ilmiah), di mana manusia diperbolehkan masuk hanya untuk tujuan penelitian yang diizinkan, . Wilderness Zone (Zona Taman Laut), di mana izin masuk manusia dibatasi, tetapi tidak diperbolehkan untuk berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan, . National Park Zone (Zona Taman Nasional), dengan tingkat manusia masuk tinggi tetapi tidak untuk berburu, penangkapan dan pengumpulan, . Recreational Zone (Zona Rekreasi), dengan tingkat manusia masuk tinggi
dan
kontrol
tingkat
pemburuan,
penangkapan
ikan
dan
pengumpulan, .
General Use Zone (Zona Penggunaan Umum), di mana kegiatan
komersil, rekreasi dan mata pencaharian lainnya diperbolehkan dengan 19/31
kemungkinan pengadaan aturan untuk pengendalian jangka panjang atau melindungi area yang lebih sensitive 2) Penutupan Secara Periodik (Periodic Closure) Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang rusak oleh manusia atau faktor alam lainnya, 3) Pembatasan Hasil (Yield Constraints) Determinasi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan untuk ikan produk laut lainnya, hal ini bisa seperti : .
memonitor hasil dan pelarangan penangkapan setelah beberapa
tangkapan telah di dapat atau, . membatasi jumlah individu atau jumlah and kapasitas kapal yang diperbolehkan menangkap di area yang dimaksud. 4) Pembatasan Peralatan (Equipment Constraints) .
Pelarangan bahan peledak, racun and teknik penangkapan dan
panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang, . Penentuan ukuran mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap mijah, .
Pelarangan penggunaan jangkar dengan design tertentu yang
sangat merusak, 5) Pengurangan dampak (Impact Limitations) . Penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan, . Penentuan jumlah penyelam, reef-walkers, jumlah kapal ukuran kecil diperbolehkan . Dan lain-lain
d. Implementasi Rencana Pengelolaan Implementasi rencana pengelolaan adalah tugas paling kritis dari pengelolaan. Tanpa implementasi yang efektif dapat menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap sumberdaya perlindungan. pengelolaan adalah dokumen yang
Rencana
didalamnya terkandung hak dan 20/31
kewajiban pengguna dan finalti bagi yang tidak mematuhinya. Rencana didasarkan pada assumsi atau pendugaan bahwa apabila aktivitas manusia dapat dikendalikan sesuai keinginan, tujuan dari rencana akan dapat tercapai. Ada lima hal kritis di dalam implementasi rencana dari hari ke hari sehingga perlu perhatian khusus : .
Pendidikan (Education), bagaimana meyakinkan pengguna dan
stakeholders bahwa apa yang akan dilakukan menurut rencana pengelolaan adalah untuk kebaikan dan keuntungan mereka, dan hak dan tanggung jawab mereka.
Program pendidikan harus dirancang secara
hati-hati demi menemukan tujuan khusus dan pesan khusus untuk setiap kelompok atau peserta, sebagai contoh : pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat umum harus berbeda dengan pesan yang akan disampaikan
kepada
nelayan,
operasional
turisme,
dan
pegawai
pemerintah seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Target grup dan jenis pesan yang disampaikan Target Group General Public
Local Fishermen
Tourist Operator
Other Government Agencies
Message Keadaan lingkungan terumbu karang, Pentingnya melindungi area terumbu Keuntungan ekonomi via pengelolaan, Ketentuan khusus rencana pengelolaan yang berkaitan dengan penangkapan ikan Aktivitas turisme yang disarankan pada area terumbu, Keuntungan khusus untuk turisme dari rencana pengelolaan, Perlindungan terumbu alami melalui konservasi memberi faedah ke turisme Bagaimana mereka berinteraksi dalam perencanan dan mengisi tanggung jawab mereka
21/31
. Pelatihan (Training), untuk meyakinkan bahwa semua yang terlibat dalam
implementasi
mengerti
rencana
dan
telah
dilatih
untuk
melaksanakan tugas mereka berdasarkan itu. Untuk menjadi lebih efektif, semua orang yang berhubungan dengan pengelolaan harus mengetahui apa yang mereka seharusnya kerjakan,
dan mengerti mengapa itu
penting dilakukan. Sejumlah program pelatihan khusus harus dirancang untuk memenuhi tugas dan fungsi dari top management dan pengambil keputusan, pengawas pengelolaan, staf lapang, tenaga sukarela dan sebagainya. Topik-topik yang akan diberikan dalam pelatihan mencakup : sasaran dan tujuan rencana, sumberdaya hayati dan ekosistim area, karakter sosial-ekonomi area dan pengguna, issu-issu lingkungan di area pengelolaan, latar belakang budaya dan tradisi penduduk di area, tugas khusus dan bagaimana menjalankannya, rantai komando, prosedur dalam kondisi darurat dan lain-lain. . Pengawasan (Surveillance) Pengawasan harus menghasilkan rekaman dari penggunaan area pengelolaan dan pelanggaran nyata dari rencana pengelolaan. Rekaman tersebut dapat digunakan dasar untuk operasi penegakan hukum dan memungkinkan efektifnya rencana dan implementasinya dapat dianalis kembali. . Penegakan hukum (Enforcement) Catatan pelanggaran harus diikuti oleh pendapat dan saran
atau
melalui penuntutan untuk menerapkan aspek hukum yang telah ada dalam rencana dan aturan-aturan. . Pemantauan (Monitoring) Program pemantauan harus menghitung menurut selang waktu tertentu kondisi lingkungan pada beberapa lokasi area pengelolaan. Aspek yang akan dipantau harus dipilih secara teliti untuk menghindari pengambilan data massif dan berulang.
Data yang diambil harus
menjawab apakah tujuan yang dicanangkan dalam rencana pengelolaan berhasil dengan baik, sebagai contoh seperti disajikan pada Tabel 2.
22/31
Tabel 2. Tujuan pengelolaan dan tipe data pemantauan Tujuan Pengelolaan
Monitor
Mempertahankan keberlanjutan Hasil tangkapan, usaha panen ikan (hasil tangkapan) penangkapan, populasi ikan, dan rata-rata ukuran ikan pada area terpilih Mempertahankan atau memulihkan Penutupan karang dan kondisi Karang keanekaragaman pada area terpilih . Melihat kembali rencana (Plan Review) Sesuatu rencana direfleksikan oleh pengetahuan dari situasi yang terjadi pda saat persiapan perencanaan.
Implementasi dari rencana
secara teori mempertahankan atau merubah suatu situasi ke situasi yang diprediksi dan diinginkan oleh perencana.
Pengalaman sepertinya
memperlihatkan bahwa walaupun beberapa tujuan dapat tercapai, tetapi lainnya tidak. Plan review harus mencakup topik-topik sebagai berikut : . Apakah semua tujuan telah tercapai ?, . Apakah tujuan-tujuan masih sesuai ? . Apakah para pengguna mematuhi rencana ? .
Apakah ada indikasi berdasarkan
hasil penelitian ilmiah atau
pengalaman pengelolaan, secara lokal atau di mana saja, bahwa sebagian atau seluruh rencana harus dimodifikasi. Apabila review mengindikasikan bahwa rencana harus direvisi atau implementasi rencana baru, maka prosedur perencanaannya harus kembali ke awal proses.
IV. PENUTUP .
Potensi sumberdaya ikan di Indonesia cukup tinggi hanya saja
pemanfaatannya tidak merata
baik antar kelompok SDI yang berbeda
dalam satu wilayah pengelolaan perikanan, maupun antar kelompok SDI yang sama dalam wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan yang sungguh-sungguh sesuai yang diperintahkan oleh undang-undang nasional dan peraturan-peraturan internsional,
23/31
. Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan hendaknya berdasarkan azas
manfaat,
keadilan,
kemitraan,
pemerataan,
keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan, . Pengelolaan sumber daya ikan dilaksanakan bertujuan : meningkatkan taraf hidup nelayan kecil/pembudidaya ikan skala kecil; mendorong perluasan dan kesempatan kerja, mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal; meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; meningkatkan ketersediaan dan konsumsi protein hewani, . Pengelolaan sumberdaya ikan dapat menjadi efektif dan efisien apabila melibatkan users dan stakeholders lainnya di dalam proses perencanaan, implementasi, monitoring, surveillance dan sebagainya . Model pengelolaan sumberdaya ikan yang akan dilakukan pada suatu hendaknya mengacu kepada aspek biologi (biological considerations), aspek fisik (physical considerations), aspek ekonomi (economical considerations), aspek budaya dan kearifan lokal (cultural considerations), . Model atau tipe pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan pada suatu areal perairan hendaknya selalu dievaluasi, apa berhasil, apa gagal, apa perlu direvisi, apa perlu diganti, dan harus berdasarkan kajian-kajian ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G., 2005. Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Disajikan pada Seminar Makassar Maritime Meeting, Makassar. Cacaud, P., 2001. Review of Legal Issues and Preliminary Draft Fisheries Law. FAO-Indonesia Technical Cooperation Programme, RomeJakarta. Carter, R.W., 1988. Coastal Environment : An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastlines. Acad. Press Inc. San Diego, USA. Djalal, H., 2003. Indonesia dan Perjanjian Perikanan Internasional. Program Kerjasama Teknik FAO-Indonesia, Bantuan Dalam Perundang-Undangan Kelautan, Makassar.
24/31
Djamali, A dan H. Mubarak, 1998. Sumberdaya Ikan Konsumsi Perairan Karang in Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok SDI Laut ,LIPI, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, 2004. Strategi Akselerasi Pengembangan Perikanan Tangkap Dalam Mendukung Gerbang Mina Bahari, Makalah, Makassar. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, 2005. Pemacuan Stok Ikan Dalam Upaya Peningkatan Produksi Perikanan Tangkap, Makalah Seminar, Makassar. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, 2005. Undang-Undang RI nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, 2006. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Dalam Rangka Pengelolaan Perikanan Yang Bertanggung Jawab Sebagai Upaya Penanggulangan Konflik Nelayan. Makalah Seminar, Makassar. Gillett, R., 2001. Revising Fisheries Legislation in Indonesia : Fisheries Management, FAO-Indonesia Technical Cooperation Programme. Rome-Jakarta. Martosubroto, P., 2001. Pengelolaan Perikanan : Tinjauan Singkat Dalam Kaitannya Dengan Peraturan Perundangan. Makalah, FAO-DGCF Regional Workshop on Fisheries Legislation, Makassar. Nikijuluw, V.P.H., 2002. P3R, Jakarta.
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Poramoy, R.S and M.J. Williams, 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries : A Policy Brief, ICLARM, Manila Pratikto, W.A., 2005. Strategi Kebijakan Pengelolaan Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar, Makassar. Tandipayuk, L.S., 2006. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Terumbu Karang Berkelanjutan di Perairan Pulau-Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Desertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Soedharma, D., 2005. Strategi Pengelolaan Ekosistim Terumbu Karang dan Mangrove Untuk Menunjang Kestabilan Ekosistim Bahari di Perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makalah Seminar, Makassar. Sulthan, M., 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate. Desertasi, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. UNESCO, 1986. The Application Of Digital Remote Sensing Techniques in Coral Reefs, Oceanographic and Estuarine Studies. Unesco Report In Marine Sciencis Workshop, Townsville, Australia. UNESCO, 1988. Coral Reef Management Handbook. Editors : R.A. Kenchington and B.E.T, Hudson, Townsville, Australia
25/31
Lampiran 1. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di 9 WPP N o 1
2
3
4
5
6
7
KELOMPOK SBD IKAN Pelagis Besar Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Pelagis Kecil Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Ikan Demersal Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Udang Peneid Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Ikan Karang Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Lobster Potensi JTB Produksi Pemanfaatan Cumi-cumi Potensi JTB Produksi Pemanfaatan
Jawa
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN L Flores Banda Seram Pasifik
Malaka
China S
Arafura
27,7 22,1 36,2 OE
66,1 52,9 35,2 UE
55,0 44,0 137,8 OE
193,6 154,9 85,1 UE
104,1 83,3 29,1 UE
106,5 85,2 37,5 UE
175,3 140,2 153,4 OE
50,9 40,7 34,6 UE
366,2 293,0 188,3 UE
147,3 117,8 132.7 OE
621,5 497,2 205,5 UE
340,0 272,0 507,5 OE
605,4 484,4 333,4 UE
132,0 105,6 146,5 OE
379,4 303,6 119,4 UE
364,8 307,8 62,5 UE
468,7 374,9 12,3 UE
526,6 421,3 26,6 UE
82,4 66,9 146,3 OE
334,8 267,8 54,7 UE
375,2 300,2 334,9 OE
87,2 69,8 167,4 OE
9,3 7,6 43,2 OE
88,8 71,1 32,1 UE
54,9 43,9 15,3 UE
202,3 161,9 156,6 FE
135,1 108,1 134,8 OE
11,4 9,1 49,5 OE
10,0 8,0 70,5 OE
11,4 9,1 52,8 OE
4,8 3,8 36,9 OE
-
0,9 0,7 1,1 OE
2,5 2,0 2,2 OE
43,1 34,5 36,7 OE
10,7 8,6 10,2 OE
5,0 4,0 21,5 OE
21,6 17,3 7,9 UE
9,5 7,6 45,2 OE
34,1 27,3 24,1 FE
32,1 25,7 6,2 UE
12,5 10,0 4,6 UE
14,5 11,6 2,2 UE
3,1 2,5 22,6 OE
12,9 10,3 19,4 OE
0,4 0,3 0,9 OE
0,4 0,3 1,2 OE
0,5 0,4 0,9 OE
0,7 0,5 0,7 OE
0,4 0,3 0,7 OE
0,3 0,2 0,0 UE
0,4 0,3 0,0 UE
0,1 0,1 0,2 OE
1,6 1,3 0,2 UE
1,9 1,5 3,2 OE
2,7 2,2 4,9 OE
5,0 4,0 12,1 OE
3,9 3,1 6,0 OE
0,1 0,08 3,5 OE
7,1 5,7 2,9 UE
0,5 0,4 1,5 OE
3,4 2,7 0,3 UE
3,8 3,0 6,3 OE
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, DKP (2005) Keterangan : Potensi, JTB dan produksi dalam 103 ton/tahun OE = over eksploited, UE = under exploited, FE = fully exploited
Lampiran 2 . Kegiatan Perencanaan Partisipatif Pengelolaan SDI No Tipe 1. Public Consultation Meeting (PCM)
2.
Focus Group Discussion (FGD) dan SSIS
Metoda/Peserta 1. Pihak pemerintah dan non pemerintah, 2. Model pertemuan lokakarya untuk membahas dan menjaring informasi dan ide, 3. Satu kali selama studi. 1. FGD, peserta bervariasi, sebagian besar kelompok non pemerintah, SSIS, individu dari berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, 2.FGD, Diskusi kelompok tidak resmi, SSIS, wawancara semi tersusun yang berkaitan erat dengan topik-topik khusus, 3. FGD akan disesuaikan dengan jumlah kabupaten. 26/31
Hindia
Lampiran 3. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia
27/31
Lampiran 4. Peta penyebaran sumberdaya udang penaeid di Indonesia
28/31
Lampiran 5. Peta penyebaran udang Karang di Indonesia
29/31
Lampiran 6. Peta penyebaran sumberdaya Karang di Indonesia
30/31
Lampiran 7. Potensi SDI di Selat Makassar dan Laut Flores No
Kelompok Potensi Sumberdaya (ribu ton) 1 Pelagis Besar 193,64 2 Pelagis Kecil 605.44 3 Demersal 87.70 4 Ikan Karang Konsumsi 34,10 5 Udang Peneaid 4,80 6 Lobster 0,70 7 Cumi-cumi 3,88 TOTAL 929,72 Sumber : Dirjen Tangkap, DKP, 2005
Produksi Pemanfaatan (ribu ton) (%) 85,10 43,96 333,35 55,06 87,20 > 100 24,15 70,70 4,80 > 100 0,65 92,86 3,88 > 100 655,45 70,50
31/31
Lampiran 2. Jadwal acara lokakarya agenda Penelitian Ha ri
Jam
Materi
Pemateri
I
08.00-08.30 08.30-09.00
Regitrasi peserta Pembukaan
09.00-10.00
Arahan Agenda Penelitian COREMAP II Perencanaan penelitian kelautan dan perikanan Issu strategis penelitian perikanan dan kelautan ISHOMA Pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dan berbasis masyarakat Penangkapan ikan illegal dan alternatifnya
Panitia Kadis Perikanan Dra. Nurul Dhewani, MS
10.00-11.00
11.00-12.00
12.00-13.00 13.00-14.00
14.00-15.00
15.00-15.30 15.30-16.30
II
16.30-17.30
Istirahat Database informasi penelitian kelautan dan perikanan Aplikasi Sistem informasi geografis dalam penelitian perikanan dan kelautan
08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-12.00 12.00-13.00 13.00-15.00 15.00-15.30 15.30-16.30 16.30-17.00
Diskusi Istirahat Diskusi ISHOMA Sidang pleno Istirahat Perumusan hasil pleno Penutup
48
Moderator/ Notulen A. Asni A. Asni
Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Achmar Mallawa, DEA.
Mirwan
Prof.Dr.Ir. Achmar Mallawa, DEA.
Asep, SPi
Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc.
Mirwan
Dr.Ir. Mukti Zainuddin, M.Sc. Dr.Ir. Mukti Zainuddin, M.Sc.
A. Asni
Tim Pengarah
A. Asni
Tim Pengarah
Mirwan
Tim Pengarah
Asep
Tim Pengarah Koordinator CRITC
A. Asni Mirwan
Ghurdi, SPi
Asep
Lampiran 3. Peserta Lokakarya DAFTAR PESERTA LOKAKARYA AGENDA PENELITIAN No
N a m a
Asal/ Utusan
1.
Muhrianto Syahrully
UNISMUH
2.
Ardi Arifin
Bontosikuyu (CF)
3.
Irmawati, M., S.Pi.
SMK1 Benteng
4.
Mastam, S.Pi.
Litbang Selayar
5.
Moh. Romlah
Bappeda
6.
Suardi
Tomas Desa Buki
7.
A. Agung
Pasimarannu
8.
Suaide
KAKABIA
9.
Zainal Yasni
Desa Parak
10.
Ammi Daeng
Dinas Kelautan
11.
Nasruddin. T.
Seto Pasimarannu
12.
Sahlang
TNL Taka Bonerate
13.
M. Ady Yusran
Taka Bonerate 2 (seto)
14.
St. Syamsuarti
Staf PMU
15.
Supratman
Seto Pasimarannu
16.
Andi Dewantara
Bappeda
17.
Aswar
LP2MT
18.
Abd. Rajab
Pasimasunggu
19.
M. Ruslang
Pasimasunggu
20.
Nur Alim
Pasimarannu
49
Lampiran 4. Dokumentasi pelaksanaan lokakarya
Gambar 1. Peserta lokakarya agenda penelitian pada berbagai momen
50
Gambar 2. Dra. Nurul Dhewani sedang menyampaikan materi
Gambar 3. Prof. Achmar Mallawa sedang menyampaikan materi
Gambar 4. Dr. Mukti Zainuddin sedang menyampaikan materi
Gambar 5. Dr. Najamuddin sedang menyampaikan materi
51
Gambar 6. Acara diskusi dipandu Ir. Andi Asni didampingi Narasumber
Gambar 7. Peserta asyik mengikuti kegiatan diskusi
Gambar 8. Koordinator CRITC sedang asyik memantau pelaksanaan lokakarya
Gambar 9. Peserta asyik mengikuti kegiatan diskusi
52