Lampiran 1: Metode Penelitian Mendamaikan Pusat dan Satelit Meneliti Bali di luar Bali – dalam penelitian ini mengenai identitas kebalian pada kasus komunitas Bali Nusa di Balinuraga – tidak dapat dilepaskan dari hubungan Bali di luar Bali sebagai sebuah negara satelit dan Bali sebagai negara pusat. Seperti yang dikemukakan Geertz (1959) bahwa masyarakat Bali memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya, di mana terikat dengan sistem sosial di dalamnya 272. Ikatan ini menjadi gravitasi lintasan orbit negara pusat dan satelit yang menjadikan hubungannya bersifat mengikat. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya terpumpun pada Balinuraga sebagai sebuah satelit, tetapi juga turut mengkaji Bali dan Nusa Penida secara umum. Bagaimana pun, Balinuraga sebagai satelit tidak dapat dilepaskan dan selalu berhubungan dengan pusatnya, termasuk ikatan sejarah di dalamnya. Dalam penelitian ini, dua hal yang perlu dilakukan untuk “mendamaikan pusat” agar dapat mengkaji satelit (Balinuraga) secara komprehensif adalah melakukan penelitian lapangan di Bali dan Nusa Penida, dan penelitian kepustakaan (dengan berbagai keterbatasan), khususnya kesejarahan dan hasil-hasil penelitian para peneliti Bali.
Narasi Singkat Proses Penelitian Berawal dari Sebuah Ketertarikan Berawal dari sebuah ketertarikan. Ini merupakan landasan utama yang mendorong penelitian Kampung Bali atau komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung. Bermula di tahun 1997 ketika untuk pertama kali mengunjungi Bali sebagai seorang wisatawan domestik. Saat itu penulis masih duduk di bangku SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) kelas dua. Rasa kagum dan ketertarikan mendalam atas (kebudayaan) Bali
272
Dalam kasus transmigrasi orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah), Davis (1976: 19) menyebutkan secara implisit kuatnya ikatan orang Bali terhadap tanah leluhurnya dengan menyebutkan bahwa “sebagian besar orang Bali meninggal dunia hanya beberapa kilometer dari tempat mereka lahir”.
477
semakin menguat setelah melihat langsung dan mengunjungi Bali dengan keindahan alam dan keeksotisan budayanya melalui atraksi-atraksi kesenian yang dipentaskan bagi wisatawan – meskipun apa yang dilihat dan disaksikan sebenarnya hanya sebagian kecil dari kebalian itu sendiri, namun bagi seorang anak SLTP yang belum genap dua tahun melepaskan diri dari bangku Sekolah Dasar (SD), ini merupakan sebuah pengalaman sulit dilupakan. Bagaimana tidak? Dari apa yang dibaca penulis di bangku SD dan SLTP dalam sebuah buku teks sejarah – setelah di bangku pendidikan tinggi baru menyadari bahwa sebagian (besar) buku teks sejarah tersebut, karena diandili oleh Pemerintah Orde Baru yang merupakan rezim berkuasa di saat penulis duduk di bangku SD dan SLTP, banyak terdapat pengaburan fakta sejarah, dan tampaknya semua sejarah itu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja (datar, kaku, dan statis) – bahwa Bali menjadi sebuah wilayah Hindu atau sisa (-sisa) atau warisan Kerajaan Hindu Jawa, kini (1997) dapat dilihat dan disaksikan sendiri eksistensinya sebagai sebuah paradise. Ya, Bali merupakan sebuah pulau dengan kebudayaan (dan masyarakatnya) yang sangat mengagumkan: sebuah penilaian dari seorang kelas dua SLTP. Berselang dua bulan dari tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang Bali Hindu di Lampung – mengunjungi kampungnya (biasa disebut Kampung Bali) di wilayah Lampung Selatan. Sebuah ketakjuban bagi seorang remaja bercelana pendek warna biru tua ketika melihat, ternyata, “ada Bali di Lampung”. Apa yang telah dilihat dan disaksikan di Bali, ternyata ada dan tidak jauh berbeda dengan Bali yang ada di Lampung. Masih kuat ingatan atas Bali yang belum lama dikunjungi (dan masih ada keinginan untuk kembali bertamasya ke sana), kini melihat Bali di Lampung yang identik dengan Bali di Bali. Ketika itu penulis berseloroh (selorohan anak SLTP), sebenarnya, jika hanya ingin melihat Bali, maka di Kampung Bali (di Lampung) itu sudah cukup. Berangkat dari pengalaman tersebut, sejak saat itu, penulis selalu dihantui kapankah bisa menilik lebih jauh (dan menulisnya) tentang kebalian “Orang Bali di Lampung”. Apakah ada kesempatan bagi penulis untuk meneliti dan menulisnya jika duduk di bangku perguruan tinggi? Tentu, kesempatan itu belum penulis dapatkan ketika duduk di strata satu, karena jurusan yang dipilih adalah ekonomi manajemen – tentunya,
478
memiliki keterkaitan yang relatif jauh dan menjadi naif jika dipaksakan dengan penelitian mengenai orang Bali yang kental dengan studi etnografis dihubungkan dengan manajemen. Kesempatan tersebut akhirnya baru didapatkan setelah penulis melanjutkan ke jenjang strata dua. Ketika itu penulis mendapatkan kesempatan – dengan dukungan beberapa staf pengajar Magister Studi Pembangunan, khususnya TEN yang pernah menjadi penguji penulis di strata satu dan KUT selaku pembimbing utama (saat ini KUT dan TEN menjadi promotor dan ko-promotor penulis) – untuk meneliti orang Bali di Lampung. Meskipun kesempatan tersebut telah dimanfaatkan dengan cukup baik, sebenarnya penulis sama sekali belum merasakan kepuasan batin, karena lokasi penelitian Kampung Bali berada di wilayah Lampung Tengah. Mengapa? Pandangan pertama yang menyebabkan “cinta lokasi” atas Kampung Bali di Lampung Selatan masih melekat kuat dan tidak dapat dilepaskan dari pikiran penulis. Di samping itu, apa yang telah penulis teliti dan tulis di jenjang strata dua tersebut masih banyak kekurangan. Belum ada pengalaman yang mumpuni untuk melakukan penelitian lapangan – sesuatu yang belum didapatkan di jenjang strata satu. Tekad untuk meneliti dan menulis tentang orang Bali di Lampung memantapkan penulis untuk tetap mencoba hal baru di bidang penelitian lapangan, meskipun lokasi penelitian masih belum sesuai dengan keinginan (karena ada di Lampung Tengah, bukan Lampung Selatan) dan pengetahuan yang masih sangat minim mengenai Bali. Atas dasar hasil penelitian dan tulisan di jenjang strata dua tersebut, penulis masih berkeinginan untuk menebus berbagai kekurangan atas penelitian dan tulisan sebelumnya. Kepuasan belum didapatkan, dan selalu dihinggapi berbagai pertanyaan di benak penulis, bagaimana menjadikannya lebih baik – meskipun kesempurnaan dalam sebuah penelitian dan tulisan relatif mustahil untuk diraih untuk seorang peneliti amatiran seperti penulis. Kesempatan kedua akhirnya didapatkan ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang strata tiga – sebuah kesempatan tak-tertuga karena diizinkan oleh orang tua sebagai pemberi dana untuk melanjutkan studi ke jenjang strata tiga. Melalui kesempatan kedua ini, penulis berusaha untuk mewujudkan agar bisa meneliti Kampung Bali di Lampung Selatan, sekaligus menutupi berbagai kelemahan pada penelitian dan tulisan sebelumnya – meskipun
479
rasa puas belum tercapai dan rasa penasaran tetap ada (dan cenderung semakin besar).
Menuju Lokasi Penelitian Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Kampung Bali di Lampung Selatan relatif lebih sulit, yaitu: Bagaimana, seperti apa, melalui apa dan siapa, kapan waktu yang tepat, agar penulis bisa mencapai dan masuk ke lokasi penelitian? Permasalahan utamanya adalah bagaimana mendapatkan akses dan informasi agar penulis bisa masuk ke lokasi penelitian dan menemukan informan kunci yang mumpuni. Ini menjadi ketakutan yang selalu mengganggu: Bisakah masuk ke sana, jika tidak, kapan lagi waktu yang tepat menghilangkan sebagian kecil dari rasa penasaran ini? Jika pada penelitian sebelumnya sudah memiliki akses yang tepat untuk masuk ke salah satu Kampung Bali di Lampung Tengah, maka pada penelitian ini penulis belum memiliki akses tersebut. Tekad sudah bulat, penulis harus bisa masuk ke sana, ini adalah kesempatan terakhir untuk menuntaskan keingintahuan yang menghantui sejak tahun 1997. Pintu masuk itu mulai sedikit terbuka di tahun 2007 (sepuluh tahun sejak 1997), ketika penulis berjumpa secara tidak sengaja seorang kakak kelas di bangku SMU (Sekolah Menengah Umum). Kebetulan, tempat tinggalnya tidak jauh dari lokasi penelitian yang akan menjadi lokasi penelitian. Bermula pada sebuah basa-basi, akhirnya kakak kelas tersebut – yang merupakan Jawa-Lampung pemeluk Nasrani – memberikan akses untuk masuk ke lokasi penelitian, dan mau menyediakan waktu bagi penulis agar bisa bertemu dengan seseorang sesepuh Bali melalui ayahnya yang seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang nantinya bisa menghubungkan penulis dengan sesepuh Bali lainnya di lokasi penelitian tertuju. Tri semester pertama tahun 2008 penulis berhasil menemui seorang sesepuh Bali di Lampung Selatan yang bisa menghubungkan penulis dengan sesepuh Bali yang ada di lokasi penelitian. Ketika itu, sebenarnya, penulis masih ragu dan belum bisa memutuskan apakah akan melanjutkan ke strata tiga, tetapi, pencarian ini tidak serta-merta dikarenakan untuk penelitian lanjutan, melainkan pemuasan rasa penasaran di waktu yang lalu akan Kampung Bali di Lampung Selatan – dan memang
480
pada akhirnya, menjadi sangat berguna setelah memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang strata tiga dengan melanjutkan penelitian sebelumnya.
Terbukanya Relasi Tidak ada keistimewaan khusus ketika mencari dan mendapatkan akses ke lokasi penelitian. Butuh waktu dan kesabaran agar jaringan informasi dan relasi itu benar-benar terpintal dengan rapi. Penulis hanya seorang mahasiswa biasa “non-job”, tidak mewakili satu institusi tertentu – kecuali universitas tempat penulis berstudi, yang identitas ke-Kristennannya sengaja penulis sembunyikan karena hal-hal yang sangat fundamental dan etis terkait objek penelitian. Satu pernyataan penulis yang membuat mereka (para penghubung informan kunci dan informan kunci) heran adalah bahwa penulis sangat tertarik dengan Orang Bali di Lampung. Bagaimana tidak mengherankan bagi mereka. Bagaimana mungkin, seorang (anak muda) Tionghua mempunyai ketertarikan meneliti Orang Bali di Lampung – sebuah keheranan yang penulis dapatkan pada penelitian sebelumnya. Bukankah orang Tionghua di Lampung lebih banyak berdagang, cenderung eksklusif dengan sesama Tionghuanya (sebagian memiliki relasi sosial yang baik dengan sesama non-Tionghua, sebagian lainnya tidak). Bukankah – seperti pada umumnya anak muda Tionghua di perkotaan Lampung – lebih menyibukkan diri dengan materi (mengumpulkan kekayaan), bukan mencari data seperti yang dilakukan penulis. Keironisan ini yang menyebabkan mereka menjadi lebih terbuka – dan cukup senang – bahwa ada orang lain di luar komunitasnya – terutama seorang muda Tionghua – mau mengkaji Orang Bali di Lampung, bukan mencari perlindungan mistik atau pun hal-hal yang bersifat klenik penunjang bisnis.
Kesederhanaan Pertama kali ke lokasi penelitian, penulis menggunakan mobil pribadi, karena berbagai macam pertimbangan. Kedua kali dan seterusnya, penulis menggunakan angkutan umum (bis antar kota dalam propinsi dan ojek sepeda motor) untuk ke lokasi penelitian. Tidak ada laptop atau pun perekam suara yang disertakan, kecuali sebuah kamera sederhana dan
481
seperangkat catatan saku kecil (sebuah catatan saku dan pena). Laptop atau perekam suara – berdasarkan pertimbangan dan pengalaman penulis – sedikit banyak akan menimbulkan kecanggungan yang cukup mengkhawatirkan saat melakukan wawancara. Kesederhanaan dalam penampilan273, khususnya busana dan penggunaan alat elektronik, sangat menunjang agar lebih dekat dengan mereka, dan mereka lebih mudah untuk mendekatkan diri, karena tidak ada gap teknologi yang (dapat) dianggap sebagai sebuah gap sosial dan ekonomi.
Membangun Kepercayaan Sebagai seorang asing, tentunya pertama kali tidak ada tawaran menginap atau pun menawarkan diri untuk menginap di lokasi penelitian. Penulis datang sebagai seorang peneliti dan orang asing yang tidak memiliki sebuah otoritas atau wewenang – bukan seorang pejabat, anak penjabat, menantu orang penting dari Orang Bali yang memiliki kedudukan penting, dan lain-lain, seandainya pun ada, tapi kenyataannya tidak ada, penulis pasti akan menyembunyikan identitas otoritas tersebut – yang memaksa mereka untuk mengizinkan menginap ketika datang pertama kali, dan ini bukan sesuatu yang diharapkan dan memang tidak terjadi. Relasi atau hubungan yang dekat tidak tercipta secara instan, harus ada sebuah proses yang berkesinambungan dalam proses komunikasi sampai akhirnya hubungan yang dekat itu benar-benar terbentuk secara alamiah. Ini sesuatu yang penting bagi peneliti dalam melakukan penelitian lapangan – jika bisa, hubungan itu sebaiknya dimulai dari nol, mulai dari saling mengamati dan membaca situasi-kondisi antara penulis dengan objek penelitian (penjajagan), begitu juga sebaliknya, sampai ada kesalingmengertian dan ketulusan di antara kedua-belah pihak: informasi yang diberikan “apa adanya” bukan “ada apa-apanya”. 273
Kaus lama (usang) dan celana pendek, sandal jepit, sebuah telepon seluler jadul (jaman dulu atau keluaran lama), dan ransel usang menjadi teman penampilan penulis di lokasi penelitian. Dengan penampilan seperti itu dan tujuan yang cukup nyeleneh bagi mereka (meneliti Orang Bali di Lampung) karena penulis seorang Tionghua, mereka (sambil bercanda) menyebut penulis sebagai “Cina Edan” (bisa diartikan sinting, stress, kere, atau setengah waras seperti seorang vietkong dalam Perang Vietnam, karena bukannya berdagang tapi meneliti).
482
Bagaimana pun, objek penelitian adalah sesuatu yang hidup, harus diperlakuan dengan manusiawi, bukan untuk dieksploitasi hanya untuk kebutuhan data semata. Hubungan komunikasi selalu dibina. Setidaknya setelah empat sampai lima kali kunjungan ke lokasi penelitian, rasa curiga dan saling mengawasi sudah mencair. Tawaran meningap sudah diberikan. Ini bukan berarti pada kunjungan kedua sampai keempat belum ada tawaran menginap, namun, jika jeli, tawaran menginap ada yang sekedar basa-basi, tapi ada juga yang rela hati. Tawaran yang rela hati itu ada setelah rasa kepercayaan itu muncul – sebuah kepercayaan yang tidak mungkin muncul hanya satu sampai tiga kali kunjungan. Rasa kepercayaan itu semakin menguat setelah masuk ke dalam aktivitas mereka. Seperti mengikuti dengan seksama dan terlibat dalam beberapa upacara penting yang mereka lakukan. Dalam beberapa kesempatan pada upacara tertentu dapat disaksikan kondisi trans dari beberapa peserta upacara. Sebuah pengalaman yang menegangkan ketika pertama kali melihat adegan tersebut. Untuk penelitian kualitatif, rasa kepercayaan ini mejadi sangat penting, terutama untuk mendapatkan informasi atau fakta yang sesungguhnya – khususnya hal-hal yang bersifat tidak-mengenakkan, seperti konflik atau pertentangan yang ada di internal komunitas mereka. Tanpa ada rasa kepercayaan, bisa saja, informasi yang disampaikan hanya yang baik-baik saja, cenderung datar, statis, seolaholah komunitas ini haromis (damai), tidak ada gesekan-gesekan kecil atau besar di dalamnya. Realitas ini yang sebenarnya harus ditangkap dan dicermati (ditafsirkan). Ketika rasa kepercayaan ini muncul dan tumbuh, penulis tidak lagi dianggap sebagai orang asing, tetapi sudah dianggap seperti orang dalam atau keluarga besar dalam komunitas tersebut – dengan tetap secara hatihati mencermati dan menjaga posisi independen penulis sebagai peneliti berkaca pada realitas yang ada dalam relasi hangat antar kelompok di dalam komunitas ini: tidak mencampuri permasalahan internal mereka, atau lebih tepatnya, tetap menjadi pendengar dan pengamat yang baik dan kritis. Penting pula untuk menjaga dan membina rasa kepercayaan tersebut dengan saling mengerti dan memahami karakter masyarakat yang
483
ada di lokasi penelitian. Ini menjadi sangat penting agar jangan sampai ada kesalahan kecil – karena tidak mengetahui karakteristik mereka – dapat menyinggung perasaan mereka yang berdampak pada runtuhnya rasa kepercayaan itu. Karakter tersebut ada yang bersifat relatif baik dan buruk – tergantung dari sudut pandang melihatnya – jika ini sudah diketahui dan dapat dikelola dengan baik, maka rasa percaya itu semakin kuat, bahwa penulis (mungkin) sedikit-banyak sudah tahu adat istiadat atau kebiasaan mereka, dan bersikap terbuka. Misalnya, tetap bersikap biasa-biasa saja atau cuek – seperti tidak terjadi apa-apa – jika melihat mereka (diantaranya) bermain kartu atau melihat babi yang berkeliaran bebas di jalan atau pekarangan rumah. Hal penting lainnya adalah jika bisa mengetahui asal asul klan atau leluhur mereka, sejarahnya, atau pun mengetahui (secara garis besar filosofi, bukan secara detail seperti permasalahan teknis dan prosedural) hakikat dari beberapa upacara atau ritual penting yang biasa mereka selenggarakan, dan mampu menjelaskannya secara singkat– bukan sok mengajari atau sok tahu – berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber tertulis.
Tanpa Sponsor Proses pengumpulan data – mulai dari tahap awal mencari akses masuk ke lokasi penelitian sampai akhirnya diterima di dalam komunitas tersebut – dilakukan sendiri. Penulis tidak melibatkan asisten peneliti, atau orang lain untuk menemani selama proses penelitian (pengumpulan data) di lokasi penelitian, serta menggunakan nama besar dari satu otoritas tertentu. Termasuk dana penelitian. Biaya penelitian ini mengandalkan penyisihan (tabungan yang jumlahnya relatif kecil) uang saku. Jika jumlahnya sudah cukup, maka penelitian dilakukan. Penelitian ini tidak ada sponsor dari pihak atau lembaga manapun, kecuali mengandalkan bantuan dana dari orang tua. Toh, penulis pun memang sangat tertarik dan menikmati proses penelitian ini – sebuah impian yang baru bisa terrealisasi setelah duduk di bangku pendidikan tinggi agar bisa meneliti orang Bali di Lampung. Jadi, tidak menjadi masalah jika harus berhemat untuk mengumpulkan uang penelitian agar bisa ke lokasi penelitian dan membeli sejumlah buku.
484
Untuk penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali, penulis mendapatkan bantuan dari beberapa teman sejawat, yang sedikit-banyak mengetahui akses ke daerah ini dan mau meluangkan waktu, tenaga, dan dana bagi penulis.
Pengumpulan Data Lapangan Setidaknya ada dua proses utama dalam proses pengumpulan data lapangan, yaitu observasi dan wawancara mendalam. Proses ini selalu dilakukan dengan seksama, hati-hati, dan kritis. Jangan sampai terlena dengan fatamorgana dalam sebuah “teks” yang ada di lokasi penelitian. Beberapa kali kunjungan awal, penulis lebih banyak melakukan observasi. Tujuan pentingnya adalah membaca situasi – termasuk yang tidak kalah penting adalah melihat reaksi dari objek penelitian: apakah mereka benarbenar sudah menerima penulis dengan kerelaan hati untuk melakukan proses penelitian (dan pengambilan data). Wawancara mendalam baru benar-benar tereealisasi secara maksimal setelah rasa kepercayaan itu muncul – dengan demikian, tidak ada informasi yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan, kecuali hal-hal tertentu yang secara etis harus penulis jaga. Saat wawancara mendalam, tidak ada alat perekam atau menyibukkan diri dengan dokumentasi – keduanya benar-benar sangat mengganggu jika dilakukan saat wawancara mendalam. – dan pencatatan dilakukan di malam hari. Informan menjadi merasa tidak nyaman. “Secangkir kopi dan sebatang rokok” justru jauh lebih menjadikan mereka lebih merasa nyaman bercerita dan berdiskusi serius, daripada alat perekam, laptop, telepon seluler, atau pun kamera digital. Seperti apa mereka merasa nyaman dalam bercerita dan berdiskusi: ini yang penulis ikuti. Setiap kali melakukan wawancara mendalam, penulis selalu mencermati situasi dan kondisi para informan. Hal yang paling mudah adalah dengan mencermati mimik muka. Jika mimik mukanya cerah, maka ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan wawancara mendalam – tentunya, dengan menyertakan “secangkir kopi dan sebatang rokok”. Jika mimik mukanya sedang gelap, maka penulis tidak memaksakan diri untuk melakukan wawancara mendalam. Kesabaran sangat diperlukan jika menghadapi situasi seperti ini.
485
Cross-check data atau triangulasi harus tetap dilakukan. Tidak semua informasi yang diberikan benar-benar akurat, atau terkadang, bisa saja berdasarkan atau bernuansakan perspektif pribadi (jika suasana informan sedang emosional). Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Cara sederhananya adalah dengan menggunakan mimik anak kecil yang polos, seperti tidak tahu apaapa, tetapi tetap dengan menggunakan cara yang elegan: sama sekali tidak merugikan antar pihak. Setiap kali selesai penelitian, hal yang selalu dilakukan adalah mempelajari lagi data atau pun informasi yang sudah didapatkan. Tujuannya adalah untuk mempertajam pertanyaan penelitian berikutnya, data atau pun informasi yang terlewat atau belum didapatkan. Sepertinya mustahil dalam satu waktu penelitian semua data atau pun informasi berhasil diraih dan sesuai dengan transkip wawancara yang sudah disusun dengan apik. Agar ketajaman tersebut tercapai, penulis mencermati kasuskasus riil yang ada, pelajari dengan seksama, dan kritisi. Melalui ini (kasus-kasus di lapangan) realitas dapat ditangkap capture – seperti sebuah kamera menangkap sebuah gambar atau objek bidikan, kemudian hasil cetakannya bisa diinterpretasi oleh si pembidik. Di samping itu, penulis juga melakukan perbandingan atau pun menambah ketajaman pertanyaan penelitian dengan hasil penelitian orang lain yang dinilai penad. Rangkaian proses ini terus-menerus penulis lakukan sampai benarbenar merasa puas dan cukup – butuh waktu yang lama dan kesabaran, terkadang lelah dan frustasi, sampai-sampai melewatkan beberapa agenda dari program studi. Rangkaian proses yang panjang ini yang menjadikan penulis menjadi benar-benar sendiri dan mengurung diri – dengan berbagai konsekuensi yang tidak mengenakkan atas sikap ini, seperti dinilai sombong oleh rekan-rekan sejawat, atau dinilai tidak melakukan apa-apa atau no-progress.
Penelitian Singkat di Nusa Penida, Bali Untuk melengkapi penelitian mengenai identitas Bali Lampung, penulis melakukan penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali. Ini menjadi sangat penad dikarenakan peneliti harus mengetahui tempat asal (tanah leluhur) objek penelitian yang berasal dari Nusa Penida perihal
486
identitas kebalian mereka. Penelitian ini sifatnya sebagai pelengkap yang memperkaya penelitian mengenai identitas kebalian Bali Lampung. Melaluinya melakukan cross-check bisa dilakukan atas data dan informasi yang telah terkumpul dari lokasi penelitian di Lampung mengenai Nusa Penida, Bali.
Etika Hal lain yang perlu disampaikan – meskipun terkadang sering diabaikan – adalah pengambilan gambar dan video. Setiap kali akan mengambil gambar dari sebuah objek atau kegiatan dan merekamnya dalam sebuah video, penulis mengusahakan terlebih dahulu meminta izin dari pihak bersangkutan. Meskipun mayoritas mengizinkan, namun ada juga yang tidak mengizinkan – biasanya merasa tidak nyaman jika difoto atau direkam aktivitasnya. Jika tidak diizinkan, maka penulis sama sekali tidak melakukan pengambilan gambar atau video, meskipun teknologi dari kamera yang digunakan memungkinkan untuk melakukan pengambilan secara diam-diam. Terkadang, penulis sengaja diundang untuk mengabadikan beberapa kegiatan penting dan diberi kebebasan untuk mengambil gambar dan video. Kemudian, semua foto atau pun video yang berhasil diperoleh diserahkan soft-file-nya kepada komunitas ini. Biasanya sesaat sebelum meninggalkan lokasi penelitian, penulis menyempatkan waktu untuk menggandakan file-file tersebut pada satu atau dua komputer yang ada di dalam komunitas ini. Jika di antara mereka ada yang ingin melihat, mencetak foto, atau menonton video rekaman, maka mereka bisa mendapatkannya di komputer tersebut. Oleh karena itu, setiap foto yang disertakan dalam disertasi ini turut dimiliki oleh mereka. Salah satu tujuan utamanya adalah agar masyarakat di komunitas ini percaya dan tidak curiga atas aktivitas pengambilan gambar dan video yang penulis lakukan, dan mereka bisa turut menikmati hasilnya.
Penutup Pada akhirnya proses penelitian ini, termasuk membaca dan merenung, harus diakhiri pada satu titik tertentu. Jika tidak, maka tidak ada tulisan yang berhasil (selesai) ditulis. Jika terus digali, maka data pun tidak akan ada habisnya. Dia akan selalu ada, terus ad dan selalu ada, selama si
487
objek penelitian masih hidup. Perlu ketegasan dan kerelaan hati untuk memutuskan berhenti pada titik tersebut. Rangkaian proses penelitian ini (metode penelitian) dikembangkan dan digunakan berdasarkan gaya (style) personal penulis sebagai peneliti amatir yang dalam prosesnya dilakukan banyak penyesuaian terhadap objek yang diteliti. Walaubagaimana pun sebuah metode penelitian tidak bisa dibakukan sebaku-bakunya dalam bentuk teknis yang sangat kaku dan berlaku universal untuk setiap lokasi dan objek penelitian – setiap objek dan peneliti memiliki karakteristik unik tersendiri yang tidak bisa diabaikan, dan terkadang tidak sesuai dengan buku-buku teks metode penelitian – kecuali hal-hal teknis yang bersifat umum.
Gambar 71. Penulis di Pura Kawitan (Sumber: Yulianto, 2008)
488
Gambar 72. Berbusana Adat Sesaat Selesai Mengikuti Upacara Galungan 2009 (Sumber: Yulianto, 2009)
Gambar 73. Penulis Bersama Salah Satu Keluarga Tokoh Balinuraga saat Hari Raya Galungan 2009 (Sumber: Yulianto, 2009)
489
490
Lampiran 2: Bagan Silsilah Warga Keturunan Mpu Withadarma (Sumber: Soebandi 2003) Mpu Withadarma Mpu Bhajrastawwa (Mpu Wuradharmma)
Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha) Bukbuksah
Mpu Lampita Brahmawisesa
Mpu Gnijay a
*
Mpu Sumer u
Mpu Ghana
Mpu Kutura n
Bhatari Dewi Manik Geni
Mpu Saguna
Mpu Ketek (1)
Mpu Kanada (2) Mpu Wirayadnya (3)
Mpu Bradah
Mpu Kamareka Leluhur Pasek Kayu Selem dan Keluarganya
Mpu Gandrin g
Ki Lurah KaPandéan (Leluhur Wong Bang Pandé Wesi)
Mpu Withadarmma (4)
Mpu Ragarunting (5)
Diah Ratna Manggali Menikah dengan Mpu Bhula Putra Mpu Bradah
Mpu Prateka (6) Mpu Dangka (7)
491
Keterangan: * : 1-7 : anak dari Mpu Gnijaya Brahmawisesa : Mpu Withadarma :
492
Menikah Sang Sapta Rsi (leluhur Warga Pasek) leluhur Warga Pandé Leluhur Warga Pasek dan Pandé. Sebutan lain Mpu Withadarma dalam Babad Pandé adalah Danghyang Bajra Satwa (ring Keling)
Silsilah Leluhur Pandé di Bali (Sumber: Ramayadi 2000) Dang Hyang Bajra Satwa
Dang Hyang Dwijendra Rajkrta
Dang Hyang Tanuhun
Mpu Gnijaya
Mpu Semeru
Mpu Gana
(Leluhur Pasek)
Mpu Bharadah
Mpu Kuturan
Bubuksah
Gagakaking
Mpu Brahma Wisesa
Mpu Jaya Saguna (ring Tumapel)
Mpu Brahma Kaja
Mpu Lurah KePandéan
Diah Kencana Wati
Brahma Rare Sakti
Bang Lurah KePandéan Tusan
Ki Capung Mas
Brahmana Dwala
Arya Pandé Wulung
Mpu S‟wa Saguna
Mpu Gandring
Arya Pandé Wulung
Kyayi Putih Dahi
Pandé Kamasan
Kyayi Tatasan
Kyayi Tusan
Kyayi Pandé Grondong Ki Pandé Tatasan Pandé Wana
Pandé Tonjok
Ni Pandé
Arya Danu
Ki Pandé Satwa Wangke Maong
Arya Suradnya
Ki Pandé Taman Ayun
Ki Pandé Bungbun gan
Ki Pandé Sesana
Ki Pandé Bang
Ki Pandé Anom
493
Keterangan: Kotak bergaris hitam tebal adalah garis silsilah leluhur Warga Pandé.
494
Lampiran 3: Lampung Membahas mengenai masyarakat Bali Hindu di Lampung menjadi tidak lengkap jika tidak disertakan (terlebih dahulu) gambaran umum mengenai Lampung itu sendiri. Karenanya, dalam sub-bab ini – untuk memberikan gambaran umum Lampung – penulis memberikan uraian singkat mengenai sejarah Lampung (dari masa ke masa) dan masyarakat Lampung dengan bersumberkan data sekunder274. Gambaran umum mengenai Lampung akan menjadi antara untuk membahas komunitas masyarakat Bali Hindu di Lampung (kasus masyarakat Bali Hindu Nusa Penida di Desa Balinuraga).
274
Ada pun yang menjadi acuan dalam uraian singkat (gambaran umum) mengenai Lampung sebagai berikut: Hadikusuma, Hilman. (1978), Sejarah dan Adat Istiadat Lampung, Tanjung Karang: F.H. Unila. Probonegoro, KRT. A.A. (1940), Lampung Tanah Lan Tijangipun, Jakarta: Balai Pustaka. Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas Lampung. Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Ketiga), Teluk Betung: Universitas Lampung. Sejarah Sosial Daerah Lampung Kotamadya Bandar Lampung, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984. Soebing, Abdullah A. (1983), Kedatuan di Bukit Keratuan di Muara: Catatan ringkas tentang Lampung Sebuway, Bandar Lampung: Buway Subing. Soepangat. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas Lampung. Soepangat. (1979), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Pertama), Teluk Betung: Universitas Lampung. Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Bunga Rampai Adat Budaya, No. 2 tahun 11. Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Penyusunan Sejarah dan Kebudayaan Lampung Historiografi Daerah Lampung, Tanjung Karang: Proyek Peningkatan / Pengembangan Perguruan Tinggi Unila, 1915/1916.
495
Sejarah Singkat Lampung Lampung sebagai salah satu wilayah di Nusantara memiliki masamasa yang kurang lebih sama dengan wilayah lainnya: masa pra-kolonial, kolonial, dan pasca-kolonial. Pemilahan sejarah singkat Lampung menggunakan pengelompokan tiga masa tersebut lebih ditujukan untuk mempermudah pembahasan. Terdapat tiga masa yang telah dilalui Lampung dalam perkembangan sejarahnya, yaitu (1) masa pra-kolonial atau masa kerajaan-kerajaan; (2) masa kolonial atau masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda; (3) dan terakhir, masa pasca-kolonial atau masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Lampung Masa Kerajaan-Kerajaan Kerajaan pertama di Lampung – kemudian dikenal sebagai asal mula wilayah / nama Lampung – yang termuat dalam catatan sejarah adalah Kerajaan Tulang Bawang – yang kini merupakan wilayah dari Kabupaten Tulang Bawang. Catatan sejarah ini ditulis oleh seorang pengelana asal Negeri Tiongkok yang bernama Fa-Hien (atau biasa disebut dengan nama “I Tsing”) pada pertengahan abad ke-IV masehi, yaitu pada masa kekuasaan Dinasti Han. Ketika itu Fa-Hien sedang mengadakan perjalanannya menyusuri pedalaman Sumatera dan singgah di sana untuk beberapa waktu lamanya – setelah sebelumnya mengunjungai Kerajaan Sriwijaya. Dalam perjalanan tersebut Fa-Hien mencatat bahwa kerajaan makmur penghasil lada hitam tersebut bernama To-Lang P‟o-Hwang (Bahasa Hokkian: salah satu bahasa Tiongkok yang digunakan suku Hokkian) – disebut “Tulang Bawang”. Kata “To” berarti “orang” (person) dan Lang P‟o-Hwang berarti “Lampung” (nama wilayah / daerah). Berdasarkan catatan sejarah pada pertengahan abad ke-IV inilah, nama Lampung atau wilayah Lampung dikenal. Atau dengan kata lain, wilayah Lampung sudah mulai dikenal dalam interaksinya dengan kerajaan di luar Sumatera. Kerajaan Tulang Bawang merupakan kerajaan Hindu sebelum pengaruh Budhisme masuk di kerajaan ini di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Pusat kerajaan Tulang Bawang diperkirakan berada di sekitar daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang sampai daerah Pagar Dewa. Pada masa itu, daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang dikenal sebagai pelabuhan besar yang menghubungkan wilayah Lampung
496
atau Sumatera bagian Selatan dengan daerah luar pulau. Hal ini tidak terlepas dari hasil alam daerah ini yang terkenal, lada hitam, yang menjadi salah satu komoditi ekspor utama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika daerah – berdasarkan catatan Fa-Hien – merupakan daerah yang makmur, dan pada masa-masa berikutnya menjadi daerah strategis untuk dikuasai oleh kerajaan-kerajaan lain yang lebih kuat, seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Banten. Kerajaan tetangga yang memiliki pengaruh cukup kuat di masa itu adalah Kerajaan Sriwijaya (kini berada di Provinsi Sumatera Selatan, dan ibukota kerajaannya diperkiraan berada di sekitar Sungai Musi, atau sekarang dikenal dengan Palembang, ibukota provinsi Sumatera Selatan275). Kerajaan ini berdiri di penghujung abad ke-VII atau sekitar tahun 675 Masehi, dan dikenal sebagai pusat studi penganut Budhisme yang mempunyai hubungan yang erat dengan daerah Budhisme (sebuah kompleks atau pemukiman biarawan atau biksu-biksu Budha) di Nalanda, Bihar – yang pada masanya menjadi pusat studi agama Budha di India. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, dan sebuah kerajaan Budha aliran Mahayana. Masa emas atau puncak kejayaan kerajaan ini diperkirakan pada kurun waktu 860 – 1000 Masehi. Di masa-masa ini, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dengan India, di mana selama beberapa abad perdagangan di Selat Malaka dan kepulauan di sebelah Timur hampir seluruhnya dimonopoli atau dikuasai oleh Kerajaan (Dinasti) Tiongkok yang berkuasa. Hal ini menyebabkan Kerajaan Tulang Bawang (wilayah Lampung) pada masa-masa itu berada di bawah kekuasaan dan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya. Peninggalan sejarah berupa Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil di daerah Tanggamus merupakan bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-VIII. Ini membuktikan pada masa itu Kerajaan Sriwijaya sudah berpengaruh atau memiliki kekuasaan di Lampung. Potensi alam Lampung yang menjadi salah satu ketertarikan Kerajaan Sriwijaya untuk menguasai wilayah Lampung, selain penghasil lada hitam, adalah emas dan damar. Di bidang sosial, budaya dan keagamaan pada masa kekuasaan Sriwijaya, 275
Pada tahun 1027 Kerajaan Sriwijaya diserang mendadak oleh Dinasti Chola India Selatan. Akibatnya ibukota kerajaan dipindahkan ke Jambi.
497
masyarakat Lampung didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha. Peradaban Hindu berasal dari Kerajaan Tulang Bawang sebelum berada di pengaruh Kerajaan Sriwijaya, sedangkan peradaban Budha mulai berpengaruh setelah Sriwijaya menguasai Tulang Bawang. Pasca kejatuhan Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1024 – 1025, wilayah Lampung lambat laun mulai dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang berasal dari Pulau Jawa. Upaya menghancurkan Kerajaan Sriwijaya oleh kerajaan tetangga dari Pulau Jawa dimulai pada masa kekuasaan Raja Airlangga (Erlangga) yang berpusat di Jawa Timur sekitar tahun 1006 masehi. Namun, serangan mendadak yang menghancurkan kekuasan Sriwijaya adalah serangan mendadak oleh Dinasti Chola di Sumatera dalam kurun waktu 1023-1068 masehi. Saat itu Airlangga berkoalasi dengan Dharmawangsa setelah menikahi putrinya untuk menyerang Sriwijaya. Kevakuman kekuasaan pusat (Sriwijaya) karena kejatuhannya, menyebabkan Lampung mendapatkan pengaruh lebih besar dari kerajaan tetangga di Pulau Jawa (sebelum kebangkitan dan kejayaan kerajaan Islam di Jawa). Pengaruh dari kerajaan Jawa atas wilayah Lampung mencapai puncak pada masa Kerajaan Majapahit, khususnya dikepemimpinan Patih Gajah Mada (1331-1364) yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara. Wilayah Lampung di masa berkuasanya Kerajaan Majapahit (berdiri tahun 1293 oleh Wijaya dan jatuh tahun 1527 setelah dikalahkan Kerajaan Islam Demak) merupakan bagian dari wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1365 masehi wilayah Lampung sudah secara administratif sudah tercatat sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, yaitu dengan menjadikan Lampung sebagai wilayah simpanan (reserved area) bagi kekuasaan (raja/pangeran) yang ingin membangun dan memapankan kekuasaan baru. Pencatatan ini dilakukan oleh Prapanca di dalam kitab Negarakertagama. Bukti sejarah berkuasanya Majapahit di wilayah Lampung adalah melalui arca di daerah Pugungraharjo yang diperkirakan didatangkan dari Jawa Timur, pusat Kerajaan Majapahit. Arca tersebut mirip dengan Prajnyaparamita yang merupakan lambang permaisuri Kerajaan Majapahit. Penamaan daerah-daerah di Lampung seperti Belambangan Umpu, Jabung, Kuripan, Canggu dan lain-lain, yang merupakan nama-nama daerah di Jawa Timur dari Kerajaan Majapahit, masih dapat dijumpai sampai
498
sekarang di wilayah Lampung, menjadi salah satu bukti bahwa Majapahit pernah berkuasa di Lampung. Kehancuran Kerajaan Majapahit setelah ditaklukan Kesultanan Demak pada tahun 1527 menjadi titik tolak masuknya pengaruh peradaban Islam dari Kerajaan Islam Banten. Berdasarkan Piagam Bojong diketahui bahwa Lampung mulai dikuasai Kesultanan Banten sekitar tahun 1500 sampai 1800 masehi. Keinginan Banten untuk menguasai Lampung disebabkan karena Lampung merupakan penghasil lada hitam. Sebuah komoditas perdagangan yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional pada masa itu. Untuk mendapatkan lada hitam, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang baru memulai perdagangannya di Nusantara pada tahun 1400, membelinya dari Banten dengan harga yang lebih tinggi. Setelah VOC mengetahui bahwa Banten membeli lada hitam dari Lampung dengan harga yang lebih murah, VOC berambisi mengambil alih monopoli perdagangan lada hitam yang dikuasai oleh Banten. Keinginan VOC untuk menguasai perdagangan di wilayah Lampung baru terealisasi di tahun 1682. Ketika itu Sultan Haji, anak dari Sultan Agung Tirtayasa, berhasil mengambil alih kekuasaan ayahnya dengan bantuan dari pihak VOC pada tanggal 7 April 1682. Sebagai imbalannya, berdasarkan surat perjanjian tanggal 27 Agustus 1682, Sultan Haji menyerahkan wilayah Lampung kepada VOC perihal pengawasan perdagangan rempah-rempah dan hak monopolinya. Namun, hak monopoli tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi VOC dari penjualan lada hitam. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan VOC ternyata disebabkan wilayah Lampung selama masa itu belum seutuhnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Penguasa-penguasa lokal di wilayah Lampung – “Adipati” – letaknya terpencar-pencar di desa-desa atau kota, di mana kedudukan mereka secara hirarkis tidak berada di bawah penguasaan Jenang atau Gubernur. Wakil-wakil Kesultanan Banten atau disebut Jenang pada dasarnya hanya bertanggungjawab dalam urusan perdagangan (lada hitam). Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan Banten atas Lampung terletak pada garis pantai di sekitar Selat Sunda, di mana melalui penguasaan garis pantai ini Banten dapat menguasai monopoli arus keluar masuk hasil bumi dari Lampung, khususnya lada yang menjadi komoditi ekspor bernilai tinggi. Kemudian, penguasaan VOC atas wilayah
499
Lampung tidak diakui oleh penguasa-penguasa lokal yang masih loyal terhadap Sultan Agung Tirtayasa dan masih menganggapnya sebagai raja dari Kesultanan Banten. Di bawah kekuasaan Banten, wilayah Lampung tidak hanya menjadi daerah penghasil rempah-rempah bagi perdagangan Kesultanan Banten, tapi turut pula menyebarkan pengaruh Islam kepada masyarakat Lampung. Ketika Banten memasuki wilayah Lampung, masyarakatnya masih merupakan penganut Hindu-Budha yang berasal dari kerajaan Hindu-Budha sebelumnya. Di masa kekuasaannya, Kesultanan Banten berhasil dalam menyebarkan agama Islam ke masyarakat Lampung. Meskipun penyebaran agama Islam ke wilayah Lampung diperkirakan telah dilakukan sebelum kedatangan Banten, yakni dari Sumatera Barat (Minangkabau dan Aceh).
Lampung di Masa Kolonial Bankrutnya VOC di penghujung tahun 1799 menjadi awal berkuasanya Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di wilayah Nusantara. Masa kolonial di Indonesia dimulai sejak bankrutnya VOC dan diambil alih kekuasaannya oleh pihak Kerajaan Belanda pada tahun 1800 (tanggal 1 Januari) sampai pada bulan Maret tahun 1942 ketika Pemerintahan Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat pada Pasukan Matahari Terbit, Jepang. Sebelum kebangkrutannya VOC di tahun 1668 membangun kembali pelabuhan yang ada di Manggala – sebuah pelabuhan tua yang sudah ada sejak masa Kerajaan Tulang Bawang. Pelabuhan ini cukup penting bagi VOC karena melalui pelabuhan ini pintu perdagangan rempah-rempah, khususnya lada hitam, menjadi lebih terbuka antara Lampung dan daerah tetangga. Baru setelah tahun 1751 VOC berhasil menguasai penuh kawasan pelabuhan ini. Setelah VOC bangkrut, dan kekuasaannya diambil alih Pemerintah Kolonial, di bawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) secara formal pada tanggal 22 November 1808 mengambil alih wilayah Lampung langsung di bawah Gubernur Jenderal Belanda (H.W. Daendels). Setelah sebelumnya di tahun 1807 Belanda memproklamirkan bahwa kepulauan Nusantara menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
500
Kekuasaan Pemerintah Kolonial di masa awal kekuasaannya di Lampung tidak bertahan lama, karena pada tahun 1811-1816 Pemerintahan Kolonial Inggris menguasai wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles, wilayah Lampung tidak diserahkan ke Belanda, karena Inggris menilai bahwa wilayah Lampung bukan termasuk wilayah kekuasaan Belanda. Karena itu, di masa kekuasaan Raffles, Lampung dikembalikan pengaturannya di bawah Keresidenan Banten. Setelah Inggris meninggalkan wilayah kekuasaan Belanda di Nusantara, Belanda kemudian mengambil alih kekuasaan atas wilayah Lampung. Namun, penguasaan Belanda yang kedua atas Lampung tidak berjalan mulus. Belanda harus menghadapi perlawanan dari Raden Intan , yang sebelumnya memiliki hubungan dekat dengan Pemerintah Kolonial. Perlawanan Raden Intan berakhir pada tahun 1825 ketika ia wafat. Perlawanan kemudian dilanjutkan kembali oleh putranya, Raden Imba Kusuma. Sebelumnya, di tahun 1825 Belanda pernah melakukan penangkapan terhadap Raden Intan, tapi usaha tersebut gagal total karena utusan Belanda Leliever dan pasukannya berhasil dibunuh oleh Raden Intan. Saat itu Belanda tidak dapat berbuat apa-apa karena masih harus menghadapi Perang Jawa (Perang Diponegoro: 1825-1830). Setelah Perang Jawa usai, Belanda berhasil mengatasi perlawanan putra Raden Intan, Raden Imba Kusuma, pada tahun 1834. Raden Imba Kusuma berhasil mengungsi ke daerah Lingga, namun di dalam pelariannya ia berhasil ditangkap oleh penduduk setempat dan menyerahkannya kepada Belanda untuk kemudian dibuang ke Pulau Timor. Meskipun Raden Imba Kusuma telah berhasil dikalahkan, namun perlawanan terhadap Belanda di wilayah Lampung belum sepenuhnya berhasil, karena putra Raden Imba Kusuma, Raden Intan II, tetap melakukan perlawanan. Perlawanan ini akhirnya berhasil setelah sepasukan tentara-tentara Belanda didatangkan dari Batavia untuk menumpas Raden Intan II. Kekalahan Raden Intan II diawali dengan keberhasilan Belanda menguasai Benteng Bendulu dan kemudian menjadikannya sebagai basis tentara Belanda guna menyerang benteng-benteng lainnya. Baru kemudian, pada tanggal 5 Oktober 1856, Raden Intan II berhasil ditaklukkan dengan menjebaknya untuk menghadiri sebuah pertemuan yang direkayasa Belanda. Pihak Belanda
501
setidaknya membutuhkan 39 tahun untuk menghentikan perlawanan Raden Intan berserta putra dan cucunya, yaitu sejak tahun 1817 ketika Belanda mulai menguasai kembali Lampung setelah Inggris meninggalkan wilayah Belanda sampai tahun 1856 saat Raden Intan II berhasil dikalahkan Belanda. Pasca terbunuhnya Raden Intan II, Belanda memiliki otoritas penuh terhadap wilayah Lampung. Otomatis perdagangan hasil bumi, khususnya rempah-rempah lada hitam, dikuasai penuh Belanda. Belanda pun mulai melakukan ekspansi ke tanaman-tanaman lain yang memiliki nilai jual ekspor yang tinggi, seperti kopi, karet, dan pisang manila. Pelabuhan-pelabuhan pun mulai dimatangkan fungsinya oleh Belanda, seperti Pelabunan Manggala dan Pelabuhan di Teluk Lampung. Namun, usaha Pemerintah Kolonial Belanda dari tahun 1956-1983 mengalami kegagalan yang tragis. Kali ini penyebabnya bukan disebabkan perlawanan lokal, tapi disebabkan oleh meletusnya Gunung Krakatau tahun 1983. Letusan Gunung Krakatau yang dahsyat dan disertai dengan tsunami menghancurkan infrastruktur-infrastruktur penting yang menunjang perdagangan hasil bumi Belanda. Pelabuhan penting seperti di Teluk Lampung hancur lebur akibat terjengangan tsunami, begitu pula pelabuhan di Manggala. Hancurnya pelabuhan penting di wilayah Lampung, juga terjadi pada pelabuhan-pelabuhan di daerah Banten. Otomatis pasca letusan Gunung Krakatau perdangangan kedua daerah ini terhenti total. Letusan ini turut pula memakan korban jiwa puluhan ribu jiwa, dan menghancurkan perkebunan-perkebunan rakyat dan pemerintah kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah untuk menjadikan Lampung sebagai wilayah penghasil hasil bumi andalan pasca letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Di tahun 1890 untuk pertama kalinya modal asing masuk ke Lampung setelah dilakukan persiapan di tahun 1889 dengan dibukanya perkebunan di Way Lima. Tahun 1891 pelabuhan di Teluk Lampung (Teluk Betung) mulai dioperasikan kembali setelah kehancurannya di tahun 1883. Kemudian tahun 1893 dibuka perkebunan modern di daerah Way Ratai dan tahun 1899 di Sungai Langka. Lokasi perkebunan ini letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Teluk Betung, karena alasan ekonomis dan kedekatan jarak dengan Pulau Jawa. Usaha Belanda untuk membangun perkebunan di wilayah sekitar Teluk Betung dan
502
membuka pintu masuk bagi modal asing cukup tepat. Tanah Lampung yang sebelumnya terkenal subur, menjadi semakin subur pasca letusan Gunung Krakatau karena adanya endapan dari abu vulkanis. Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa pemerintah kolonial memberanikan diri membuka perkebunan di sekitar wilayah Teluk Lampung – di samping dekat dengan pelabuhan dan lokasinya yang strategis dekat dengan Pulau Jawa. Kemudian, pada tahun 1913 jalur kereta api dari Teluk Betung menuju Palembang dibangun oleh pemerintah guna pendistribusian hasil perkebunan tersebut. Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan baru maka konsekuensi yang timbul adalah faktor tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja dari penduduk lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk membuka dan mengerjakan perkebunan-perkebunan baru. Salah satu sumber tenaga kerja yang jumlahnya tersedia cukup banyak dan mempunyai keahlian di bidang pertanian terdapat di Pulau Jawa. Di sisi lain, salah satu faktor yang menyebabkan kesejahteraan penduduk di Pulau Jawa menurun disebabkan karena mulai tingginya jumlah penduduk – selain efek dari sistem tanam paksa. Dengan kata lain, wilayah Lampung mengalami defisit tenaga kerja, sedangkan di Jawa mengalami surplus tenaga kerja. Kebijakan politik etis yang mulai dideklarasikan pada tahun 1901 oleh Ratu Belanda membuka kesempatan dan peluang untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di wilayah Lampung untuk menggarap perkebunan-perkebunan baru. Salah satu programnya adalah kolonisasi atau transmigrasi, yaitu program pemindahan penduduk dari tempat yang padat huniannya ke tempat yang tingkat huniannya jarang. Tujuan umum dari pihak pemerintah kolonial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat dan pendatang – meskipun pada masa-masa awal program ini dilaksanakan tujuan tersebut belum seutuhnya tercapai, karena transmigrasi ke Lampung sebenarnya lebih pada kebutuhan tenaga kerja untuk kepentingan bisnis perkebunan pemerintah kolonial. Akhirnya permasalahan defisit tenaga kerja ini dapat teratasi di tahun 1905, yaitu ketika program transmigrasi berhasil teralisasikan. Sebanyak 155 KK (Kepala Keluarga) berhasil ditransmigrasikan ke Lampung dari Kedu, Jawa Tengah. Para transmigran ini ditempatkan di daerah Gedong Tataan di bawah komando H.G. Heyting yang menjadi
503
asisten Residen Kedu. Transmigran pertama ini merupakan orang-orang pilihan, yaitu petani-petani terampil yang sehat dan kuat. Program transmigrasi pertama ini terbilang mahal. Pemerintah menyediakan semua biaya perjalanan, biaya hidup (uang makan), serta alat-alat kerja dan kebutuhan hidup hidup. Secara ekonomi program transmigrasi pertama ini merugikan pihak perusahaan-perusahaan Eropa, karena keinginan mereka untuk mendapatkan tenaga kerja murah tidak tercapai – meskipun tenaga kerja murah yang didapatkan berasal dari Jawa yang surplus tenaga kerja. Program transmigrasi pertama ini menjadi cikal-bakal masuknya para pendatang, khususnya dari Pulau Jawa (dan berikutnya dari Bali di tahun 1953), untuk mencari penghidupan lebih baik di Lampung. Depresi ekonomi dunia awal tahun 1930-an, pasca Perang Dunia I, telah berdampak pada perkebunan-perbebunan perusahaan Eropa di Lampung. Para pekerja terpaksa mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini memaksa pemerintah kolonial untuk membuka daerah koloni baru di daerah Lampung Tengah pada tahun 1935. Kedatangan transmigran ini jumlahnya menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, terlebih setelah di tahun yang sama (1935), Pelabuhan Panjang di daerah Teluk Betung telah dibuka. Akibatnya di tahun 1941 jumlah pendatang di Lampung, khususnya Lampung Tengah, lebih banyak daripada penduduk asli. Di tahun 1922 jumlah pendatang dari Jawa sebanyak 5.500 jiwa, delapan tahun kemudian tahun 1930 jumlahnya mencapai 33.000 jiwa, dan di akhir tahun 1941 telah mencapai 173.959 jiwa yang tersebar di berbagai proyek kolonisasi di Lampung. Pada masa kolonial ini, wilayah Lampung merupakan keresidenan dari Provinsi Sumatera. Di masa ini, Pulau Sumatera hanya terdiri dari satu provinsi saja, dan Lampung merupakan salah satu keresidenannya.
Lampung Masa Pasca-Kolonial Di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi di wilayah Lampung, kecuali penghapusan sistem atau susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan
504
kerabat276. Pergerakan kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang lebih terfokus di Pulau Jawa. Aktivis pergerakan asal Lampung pun lebih condong untuk bergabung dengan basis pejuang kemerdekaan (revolusi) di Jawa. Di awal kemerdekaan, Lampung masih berada di bawah Provinsi Sumatera dengan residennya Mr. Abbas. Kedudukan Lampung adalah sebagai keresidenan (kabupaten) bagian dari Provinsi Sumatera. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 Provinsi Sumatera Selatan terbentuk dengan Perpu Nomor 3 tanggal 14 Agustus 1950. Tanggal 12 September 1952 Lampung berada di bawah Provinsi Sumatera Selatan dengan kedudukannya sebagai Kabupaten Lampung Selatan. Kedudukan Lampung sebagai Kabupaten Lampung Selatan didasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, selanjutnya Undang-Undang Darurat Nomor 4 tahun 1956 dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957. Status Lampung berubah dari keresidenan menjadi provinsi dan terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 18 Maret 1964 berdasarkan Undang-Undang nomor 14 tahun 1964. Provinsi Lampung dengan wilayah seluas 35.376,50 km2 dipimpin oleh gubernur pertamanya Kusno Danupoyo yang menjabat selama dua tahun dari 19641966. Bila dilihat dari sejarah keterbentukannya, maka Kabupaten Lampung Selatan sebenarnya sudah ada sebelum Provinsi Lampung terbentuk – lebih tua daripada Provinsi Lampung. Setelah Provinsi Lampung terbentuk, Kabupaten Lampung Selatan tetap ada dan menjadi bagian dari Provinsi Lampung. Dengan kata lain, Kabupaten Lampung Selatan merupakan pionir terbentuknya Provinsi Lampung dari kabupaten (residen) menjadi provinsi.
276
Marga-marga yang dikenal dalam masyarakat Lampung sebelum kekuasan Pemerintah Kolonial Belanda adalah bersifat geneologis-teritorial. Di masa pemerintahan kolonial Belanda (1928), sistem ini diubah menjadi marga-marga teritorial-genealogis melalui penetapan batas-batas daerah masing-masing marga.
505
Peta 6. Wilayah Administrasi Provinsi Lampung (Sumber: geospasial.bnpb.go.id/2009/05/12...lampung)
Kehidupan sosial dan ekonomi Lampung pada masa pemerintahan Republik Indonesia sebenarnya hanya melanjutkan apa yang sudah ada di masa kolonial. Lampung tetap menjadi daerah perkebunan dan pertanian beserta industrinya. Lampung masih tetap menjadi daerah tujuan transmigrasi dari pemerintah pusat sampai program transmigrasi umum ini dihentikan pada tahun 1980. Akibat dari program transmigrasi sejak masa kolonial sampai pasca kolonial membawa dampak pada pertumbuhan jumlah penduduk Lampung. Sampai komposisi masyarakat Lampung kini lebih didominasi oleh pendatang dari Jawa yang sudah lahir dan turun temurun di Lampung. Konsekuensi logis lainnya ketika Lampung menjadi daerah tujuan transmigrasi adalah Lampung menjadi daerah dengan komposisi masyarakatnya yang majemuk. Para pendatang dari kalangan transmigran di dominasi keluarga transmigran Jawa, dan kemudian transmigran Bali. Di samping itu masih masih terdapat pendatang lain dari Sumatera Selatan, Minangkabau, Sumatera Utara, Aceh, Jawa Barat, Tionghua, dan pendatang dari wilayah lain yang jumlahnya lebih kecil seperti dari wilayah timur Indonesia. Para pendatang yang datang ke
506
Lampung tetap membawa kebudayaan dan kepercayaannya (agama) di tempat asal, sebagian sudah terjadi percampuran budaya melalui pernikahan, menjadikan Lampung semakin plural. Penduduk asli Lampung sebagian tetap bertahan dengan kebudayaan leluhurnya, sedangkan yang lain sudah membaur dengan pendatang. Pada dasarnya penduduk asli Lampung terbuka terhadap para pendatang. Ini dapat dilihat dari perjalanan sejarah masyarakat ini mulai dari pengaruh kerajaan Hindu, kerajaan Budha, kemudian percampuran Hindu-Budha, sampai terakhir di masa prakolonial mendapatkan pengaruh yang luas dari Kerajaan Islam. Lalu, kebudayaan modern (modernisasi) yang dipelopori oleh pemerintah kolonial dan dilanjutkan oleh pemerintah republik.
Gambaran Singkat Masyarakat Lampung Masyarakat Lampung diklasifikasikan menjadi dua kelompok masyarakat – berdasarkan kesukuan dan etnisitas – yaitu masyarakat Lampung Pepadun dan Saibatin. Semboyan Provinsi Lampung (terdapat pada logo Provinsi Lampung) yang berbunyi “Sang Bumi Ruwa Jurai” merupakan arti dari dua kelompok masyarakat Lampung, yaitu satu bumi Lampung atau satu wilayah Lampung – “Sang Bumi” – yang di dalamnya didiami oleh dua kelompok masyarakat atau suku – “Ruwa Jurai” – yaitu Pepadun dan Saibatin. Masyarakat Lampung Pepadun biasa disebut atau dikenal sebagai masyarakat pedalaman atau daratan. Mereka yang masuk dalam kategori masyarakat Lampung Pepadun adalah Masyarakat Abung (daerah Abung), Masyarakat Tulang Bawang (daerah Tulang Bawang), Masyarakat Pubian Telu Suku (daerah Pubian), dan masyarakat SungkayWay Kanan (daerah Way Kanan). Berbeda dengan masyarakat Pepadun, masyarakat Lampung Saibatin biasa disebut atau dikenal sebagai masyarakat pesisir, karena berdomisili di pesisir pantai timur, selatan dan barat Lampung. Masyarakat Saibatin ini terdiri dari Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat), Keratuan Melinting (Lampung Timur), Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan), Keratuan Semangka (Tanggamus), Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan), dan Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten).
507
Gambar 74. Logo Provinsi Lampung
Berdasarkan sejarah atau asal-usul leluhurnya, masyarakat Lampung (ulun Lampung (Bahasa Lampung): orang Lampung) berasal dari Sekala Brak yang terletak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. I Tsing (Fa-Hien), pengelana asal Tiongkok, pernah singgah ke daerah ini setelah mengunjungi Kerajaan Sriwijaya, di mana ia menyebutkan daerah ini “To-Lang P‟o-Hwang” atau “To-Langpohwang”. Arti lain (serupa) kata ini, selain yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, adalah orang (To) atas (Langpohwang). Kata “atas” yang dimaksudkan adalah lokasi Sekala Brak yang terletak di dataran tinggi Sekala Brak, di mana merupakan daerah (puncak) tertinggi di tanah (daerah) Lampung. Kemudian, kata “Langpohwang” ini berkembang menjadi (cikal-bakal) nama atau sebutan kata “Lampung” yang menunjukkan tempat (wilayah) Lampung. Pada mulanya negeri Sekala Brak ini merupakan penganut dinamisme yang berasal dari pengaruh ajaran Hindu Bairawa. Lambat laun pengaruh Hindu mulai hilang setelah mendapat pengaruh Islam dari empat orang penyiar agama Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat. Pengaruh Islam semakin berkembang pesat dalam masyarakat Lampung terutama setelah Banten menguasai Lampung. Masyarakat Lampung memiliki landasan atau falsafah hidup menjadi akar dari nilai-nilai budayanya seperti yang termuat dalam kitab Kuntara Raja (Khaja277) Niti. Kelima falsafah hidup tersebut adalah:
277
Khaja = Raja. “Khaja” adalah ucapan dalam dialek Lampung. Huruf “r” dibaca “kh”
508
1.
2.
3.
4.
5.
Piil-Pusanggiri (Piil-Pasenggiri): perilaku bermoral berlandaskan agama, sikap hidup, dan harga diri. Arti: malu melakukan perbuatan dan pekerjaan yang hina berdasarkan agama, dan memiliki harga tinggi (bermartabat). Juluk-Adok (Berjuluk-Beadek): berkepribadian, bernama, bergelar, dan saling menghormati serta menghargai. Arti: memiliki kepribadian yang sesuai dengan gelar adat yang disandang. Nemui-Nyimah: terbuka tangan, murah hati, dan ramah pada sesama. Arti: saling mengunjungi kerabat, saudara, dan teman guna membangun silahturahmi, serta ramah menerima tamu. Nengah-Nyampur (Nengah-Nyappur): hidup bermasyarakat (bersosialisasi dengan masyarakat), dan membuka diri dalam pergaulan. Arti: berpartisipasi aktif dalam hidup (pergaulan) bermasyarakat dan tidak individualistis. Sakai-Sambayan: gotong royong dan tolong menolong. Arti: gotong royong dan saling membantu dengan sesama anggota masyarakat lain.
Selain kelima falsafah hidup tersebut, masyarakat Lampung juga memiliki tujuh pedoman hidup yang menjadi pegangan hidup mereka, yaitu: 1. Berani menghadapi tantangan: mak nyekhai ki mak kakhai, mak nyedokh ki mak badokh. 2. Berpendirian teguh (tidak ikut arus): khatong banjikh mak kisikh, khatong bakhak mak kikhak. 3. Tekun meraih cita-cita (tidak mudah putus asa): asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jekha tilah ya kelai. 4. Memahami (menerima) perbedaan pendapat (kehendak): pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih. 5. Hasil yang diperoleh ditentukan berdasarkan kerja keras yang telah dilakukan: wat pandah wat padah, khepa ulah khiya ulih.
509
6.
7.
Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, makhi pekon mak khanggang, dan pungah dan lucah, makhi pekon mak belah. Arif dan bijaksana memecahkan masalah: wayni dang khubok, iwani dapok.
Keterbukaan masyarakat Lampung dalam menerima pendatang sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh falsafah dan pegangan hidup mereka. Meskipun, keterbukaan masyarakat Lampung terhadap para pendatang pada akhirnya mengecilkan pengaruh mereka di pentas percaturan politik lokal, khususnya di masa Orde Baru. Saat ini jumlah mereka menjadi minoritas di tanah kelahirannya sendiri, dan harus berjuang mempertahankan identitas dan kebudayaannya yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Dalam beberapa kasus kecil, terjadi gesekan antara masyarakat Lampung (penduduk lokal) dengan pendatang karena tergesernya peran mereka secara ekonomi oleh pendatang yang lebih agresif dalam melakukan aktifitas perekonomian. Di bidang kebahasaan dan kesusastraan, masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksaranya sendiri, yaitu Bahasa dan Akasara Lampung. Bahasa Lampung merupakan bahasa yang digunakan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, wilayah selatan Sumatera Selatan (perbatasan Propinsi Lampung dan Sumatera Selatan), dan pantai barat Banten. Bila diklasifikasikan, Bahasa Lampung terdiri dari dua sub-dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api (“A”) dan Dialek Abung atau Dialek Nyow (“Nyo”). Untuk Dialek Api banyak digunakan oleh masyarakat Lampung Saibatin dan beberapa masyarakat Lampung Pepadun, sedangkan Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat Lampung Pepadun278. Aksara Lampung sendiri – biasa disebut Had Lampung – merupakan bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India 278
Masyarakat Lampung Saibatin yang menggunakan Dialek Api adalah Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Teluk Betung, Semangka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya; sedangkan masyarakat Lampung Pepadun yang menggunakan Dialek Api adalah Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Penggunaan Dialek Nyow oleh masyarakat Lampung Pepadun terdapat pada masyarakat (ulun) Abung dan Tulang Bawang.
510
Selatan dan Huruf Arab. Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan konsonan, lambing, angka dan tanda baca. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut Aksara Lampung adalah “Ka-Ga-Nga” yang merupakan tiga huruf induk yang pertama berdasarkan urutannya. Huruf induk berjumlah 20 buah, dan pembacaannya dari kiri ke kanan (sama seperti pembacaan dalam Bahasa Indonesia). Seiring dengan perkembangan zaman penggunaan Bahasa Lampung di kalangan masyarakat Lampung yang majemuk semakin tertinggal – meskipun upaya pelestarian Bahasa Lampung (bahasa dan aksara) telah dilakukan dibangku pendidikan SD dan SLTP sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum muatan lokal. Masyarakat Lampung lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam interaksi dengan kelompok masyarakat lain. Dalam masyarakat Lampung sendiri terdapat beberapa bahasa yang digunakan di dalam komunitas etniknya, yaitu Bahasa Lampung, Sunda, Batak, Jawa, Bali, Melayu, Mandarin (Hokkian dan Khek), dan lain-lain. Dalam kasus penggunaan bahasa di Lampung, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang netral, karena melalui Bahasa Indonesia interaksi dan komunikasi antara etnik dapat berjalan dengan lancar. Di bidang kesenian masyarakat Lampung memiliki kesenian yang beragam, khususnya yang terkenal adalah seni tari dan kain tenun yang biasa disebut kain “Tapis” Lampung. Jenis tarian yang sering diperagakan di antaranya adalah Takarot Kataki atau Lalayang Kasiwan – biasa digunakan saat upacara kerajaan – dan Tari Tanggai. Ciri khas dari tarian ini adalah penarinya yang merupakan gadis-gadis Lampung (Muli Meghanai). Kain Tapis sendiri dalam perkembangannya dulu merupakan kain memiliki nilai-nilai sakral dan keagungan yang hanya digunakan oleh kalangan bangsawan dalam upacara-upacara adat tertentu. Saat ini Kain Tapis sudah dapat digunakan dan dimiliki oleh khalayak dan sudah diproduksi dalam jumlah besar sehingga tidak sulit untuk mendapatkannya. Seperti kain batik, Tapis pun dijadikan sebagai salah satu suvenir atau kenang-kenangan bagi turis yang berwisata ke Lampung.
511
512
Lampiran 4: Kronologis Sejarah Singkat279 400 Sebelum Masehi
:
Kerajaan Hindu Tarumanegara dan Kutai berdiri di Jawa Barat dan Kalimantan Timur.
Sebelum 929 Masehi
:
Pusat politik (pemerintahan) Jawa pindah ke Jawa Timur.
914 – 1080 1331 – 1364
: :
Pertama kali Kerajaan Hindu di Bali. Gajah Mada menjadi Perdana Menteri (Patih) Kerajaan Majapahit.
1343 1478
: :
Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Demak menjadi kerajaan Islam pertama di
1527
:
Jawa. Kesultanan Demak mengalahkan Majapahit.
1585
:
Kapal Portugis terdampar di Bali, dekat Tanjung Bukit, Jimbaran.
1597
:
Cornelis
de
Houtman
(Belanda)
dicatat
sebagai orang Eropa pertama yang pertama kali menemukan Bali. 1602
:
1619
:
VOC berdiri (dalam Belanda: Vereenigde Oost-Indische Compagnie; dalam Inggris: Duct East Indies Company). Batavia, ibukota pemerintaha Hindia Belanda, didirikan oleh Gubernur Jenderal J. P. Coen.
1778
:
1799
:
1 Januari 1800
:
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavian Society of the Arts and Sciences) didirikan. VOC (Duct East Indies Company) bangkrut. VOC gagal menjalankan kewajibannya; aset dan kekayaan VOC diambil-alih oleh Pemerintah Belanda.
1803 – 1837 1808 – 1811
: :
Perang Paderi berkecamuk di Sumatera Herman Willem Daendels (dikenal sebagai Napoleon Kecil dari Belanda, wakil kerajaan Belanda di bawah Perancis di bawah Raja Belanda Lodewijk Napoleon yang masih
279
Dirangkum dari berbagai sumber.
513
saudara Napoleon Bondaparte) memimpin 1811
:
1811 – 1817
:
Hindia Belanda. Inggris mengambil-alih Jawa. Inggris menguasai Jawa dengan dipimpin pejabat sementara Thomas Stamford Raffles. Pada masa ini perdagangan budak resmi dihapuskan – Bali mendominasi perdagangan budak masa itu di Nusantara.
1815 1825 – 1830
: :
Gunung Tambora meletus. Perang Jawa.
1830
:
cultuurstelsel atau cultivation system atau sistem tanam paksa diperkenalkan.
1846 1848
: :
Ekspedisi militer Belanda pertama ke Bali Ekspedisi militer Belanda kedua ke Bali.
1849
:
Ekspedisi militer Belanda ketiga ke Bali; Buleleng dan Jembrana takluk, dijajah di bawah pemerintahan tidak langsung.
1864 1873 – 1904
: :
Misionaris pertama datang ke Buleleng. Perang Aceh.
1882
:
Jembrana dan Buleleng dijajah di bawah pemerintahan langsung.
1883
:
Gunung Krakatau meletus.
1891
:
Misionaris Katolik mendapatkan izin resmi dari pemerintah kolonial; dan di masa ini – penghujung abad ke-19 – pemerintah kolonial secara resmi melarang kegiatan misionaris di
1896
:
Bali. Karangasem dijajah di bawah pemerintahan tidak langsung.
1901
:
Gianyar dijajah di bawah pemerintahan tidak langsung.
1901
:
Dimulainya Politik Etis (dalam Inggris: Ethical Policy, atau dalam Belanda: ethische
1902
:
politiek). Kebijakan transmigrasi dimulai (perencanaan dan persiapan).
1905
514
:
Pertama kali transmigran Jawa berhasil dipindahkan ke Lampung, Sumatera.
1906 1906 1908 1909
:
Badung takluk, dijajah di bawah pemerintahan
:
langsung. Tabanan
:
pemerintahan langsung. Klungkung takluk, dijajah
:
pemerintahan langsung. Bangli dijajah di bawah pemerintahan tidak
takluk,
dijajah
di
bawah
di
bawah
langsung. 1917
:
Gempa bumi di Bali menghancurkan purapura dan desa-desa.
1917
:
Bangli dan Gianyar pemerintahan langsung.
1920 1920
: :
Baliseering Tahap I. Kebijakan Baliseering (pemulihan
tradisi
dijajah
Bali)
atau
di
bawah
Balinisasi
dimulai,
dan
permulaan (pemicu) kembalinya “perlawanan” – debat publik panas – ke permukaan golongan Sudra Wangsa dan klan-klan (warga / soroh) – seperti pasek, Pandé, dan sesungguh – yang dicampakkan ke Sudra Wangsa terhadap legitimasi Triwangsa yang didukung pemerintah kolonial, Surya Kanta (Sudra :
Wangsa) vs Bali Adnyana (Triwangsa). Karangasem dijajah di bawah pemerintahan
1922
:
langsung. Peraturan pajak tanah baru di Bali.
1929
:
para mantan raja dianugerahi gelar dan hak istimewa kerajaa.
1929-1930
:
Resesi (depresi) ekonomi dunia dimulai pasca
1935
:
Perang Dunia I. Baliseering Tahap II.
1935
:
1938
:
1921
Transmigrasi lokal pertama di Bali masa kolonial dari Nusa Pendia dan Bali Selatan ke Jembrana, Bali Utara. Pemulihan zelfbestuur (status otonomi khusus bagi negara atau kerajaan / raja / bangsawan
18 Februari 1942
:
puri) di Bali. Jepang menduduki Bali.
515
1953
:
Pertama kali orang Bali bertransmigrasi ke Belitang, Sumatera, dengan sponsor pemerintah dari departemen transmigrasi.
14 Agustus 1958 1960
: :
Bali berstatus provinsi. Undang-undang perombakan
1962 – 1965
:
tanah (land reform) nasional ditetapkan. Hiperinflasi di Bali.
17 Maret 1963
:
Letusan pertama Gunung Agung.
16 Mei 1963 Juli – Agustus 1963
: :
Letusan kedua Gunung Agung. Transmigrasi orang Bali ke Sumatera akibat
penguasaan
letusan Gunung Agung; transmigrasi sponsor pemerintah dari KoOGA (Komando Operasi 1 Oktober 1965
:
Gunung Agung) dan transmigrasi swakarsa. Kudeta Untung (Gerakan 30 September) dan kudeta balasan Suharto.
7 Desember 1965
:
Pasukan RPKAD dan Brawijaya mendarat di Bali dari Jawa, pembantaian dimulai.
Pasca 1965
:
Pasca peristiwa berdarah di penghujung 1965 dan berkuasanya Suharto (Orde Baru), transmigrasi orang Bali ke Lampung kembali dilanjutkan, umumnya transmigrasi swakarsa.
516
Membali di Lampung memberikan sebuah gambaran bagaimana sebuah masyarakat dengan ikatan sosial yang kuat berhasil melestarikan identitas kulturalnya setelah bertransmigrasi melalui sebuah proses pembentukan identitas yang dinamis antara negara pusat dan negara satelit. Berasal dari Pulau Nusa Penida (Bali) yang tandus dan kering, kelompok transmigran Bali Nusa berhasil mendirikan sebuah benteng identitas kebaliannya di Lampung. Inilah yang dipentaskan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Nama Balinuraga adalah saripati perjuangan transmigran Bali Nusa untuk menjadikan “Bali masih ada”. Mereka telah menjadi Bali yang berbeda dibandingkan Bali di Nusa Penida atau pun Bali di Bali. Mereka tidak hanya mendapatkan legitimasi atas identitas kulturalnya dari negara pusat, tetapi juga, sebagai negara satelit yang otonom, menjadi konstrukor atas identitasnya sendiri dengan membentuk identitas resistensi dan proyek di dalam benteng identitasnya yang tertutup. Pergulatan eksistensial Bali (yang) masih ada itulah yang memberi makna dari arti “Membali di Lampung” yang menjadi judul disertasi ini. Bagaimana Balinuraga membentuk dan melestarikan identitas kebaliannya menjadi sebuah refleksi atas identitas keindonesiaan. Di satu sisi, komunitas Balinuraga dengan ikatan sosial yang kuat dengan tanah leluhurnya harus mempertahankan dan melestarikan idenitasnya dengan mendirikan benteng (identitas) tertutup, namun di sisi lain, benteng tertutup kontradiktif dengan semangat kebhineka-tunggal-ikaan. Membali di Lampung adalah situasi dilematis menjadi Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang kuat dengan tanah leluhurnya. Membali di Lampung berarti menguatkan identitas primordial yang menjadi identitas atau jadi diri yang membanggakan bagi empunya identitas, sedangkan meng-Indonesia mensyaratkan “pelemahan” identitas primordial (kesukuan) agar bisa menjadi sebuah bangsa yang satu: Bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana semangat Balinuraga ini bisa mengobarkan spirit Indonesianuraga dengan jiwa bhineka tunggal ika. Yulianto. Lahir 31 Juli 1983 di Teluk Betung, Bandar Lampung. Menyelesaikan studi strata satu di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) tahun 2005, strata dua di Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan UKSW tahun 2008, dan strata tiga di Program Pasca Sarjana Doktor Studi Pembangunan UKSW tahun 2011.