Lakon sebagai Media Transformasi Penyampaian Pesan Sosial dalam Pertunjukan Wayang Orang Andi Wicaksono Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jl. Suryodiningratan No. 8, Yogyakarta Tlp. (0274) 419791, E-mail:
[email protected] Volume 12 Nomor 2, Oktober 2012: 77-90
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menjelaskan transformasi isu aktual dalam manyarakat tentang ide dan gagasan dalam pe-nyanggit-an lakon. Penelitian dilakukan dengan cara pembacaan pertunjukan lakon “Sêsaji Raja Suya” sajian Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya menggunakan teori bangunan lakon wayang. Sanggit lakon yang ditemukan dikaitkan dengan konteks masyarakat saat ini untuk menunjukkan transformasi isu aktual di masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sanggit lakon yang disajikan berbeda dengan sanggit lakon pada umumnya. Dalam sanggit tersebut terdapat pesan sosial tentang wacana pemilu. Sanggit beserta bentuk pertunjukannya merupakan sebuah bentuk kreatif seniman dalam menangkap gejalagejala dan perubahan sosiokultural agar pertunjukannya diterima oleh masyarakat. Dalam menyikapi selera seni masyarakat sekarang, pertunjukan ini menunjukkan adanya pencarian format pertunjukan yang sesuai, namun tidak meninggalkan konsep tradisi di dalamnya. Hadirnya Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya yang tergolong baru menunjukkan geliat perkembangan wayang orang dalam upaya menghidupkan kembali kesenian tersebut. Kata kunci: sanggit, lakon, transformasi, wayang orang
ABSTRACT Study of Lakon as the Transformation Media of Conveying Social Message in the Current Wayang Orang Show. The purpose of this research is to explain how the current popular issues within society become the insight and idea in creating a lakon, and giving information about the current development in wayang orang shows. The research is carried out by the method of reading the show of lakon “Sêsaji Raja Suya” brought by Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya, using the structural theory of lakon wayang. After the sanggit lakon acquired, it is then being related to the context of the current society to show the transformation of today’s social issues in the society. The research result shows that the sanggit lakon presented is different from the sanggit lakon generally. The sanggit and the form of the show itself are the creative-form of the artist to capture the socio-cultural signals and changes to make the show well-received by the society as the audience. In response to the current society’s trends of art, the show indicates that there is a search for the appropriate format of show without leaving the traditional concept within. The existence of the newly-established Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya indicates the rising development of wayang orang in the hope of reviving the art form. Keywords: sanggit, lakon, transformation, wayang orang
77
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
Pendahuluan Kesenian wayang masih menunjukkan perkembangannya yang dinamis. Salah satu fenomena yang perlu diapresiasi bersama adalah perkembangan wayang orang saat ini. Berdasarkan catatan sejarah dan penelitian-penelitian sebelumnya, perkembangan wayang orang menunjukkan kelesuannya di Yogyakarta. Di tengah kehidupan yang modern dengan arus globalisasi, pertunjukan wayang orang menjadi sangat langka. Akan tetapi, fenomena menunjukkan bahwa sampai pertengahan tahun 2012 ini di Yogyakarta menunjukkan adanya geliat perkembangan seni wayang orang. Hal tesebut ditunjukkan dengan munculnya Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya. Fenomena kemunculan Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya dengan sederet pementasan lakon-nya, menarik untuk dikaji dan menggelitik keingintahuan mengenai bentuk pertunjukan wayang orang dewasa ini. Salah satu pementasan yang diamati ialah lakon “Sêsaji Raja Suya” yang dipentaskan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pergelarannya menarik untuk dikaji karena menggabungkan dua gaya wayang orang, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, serta penyajian sanggit lakon yang berbeda pada umumnya dan termuat sebuah pesan sosial yang disampaikan aktual dengan kondisi masyarakat saat ini. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana bentuk pertunjukan Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya? Bagaimanakah sanggit lakon yang disajikan? Apa pesan yang disampaikan dalam sanggit tersebut? Mengapa sanggit tersebut dimunculkan? Lakon merupakan media dalang dalam menyampaikan gagasan dan pesan (Wahyudi, 2011: 648). Pesan-pesan tersebut dapat bersifat individual ataupun kolektif, yang dibangun menjadi sebuah lakon. Gagasan berupa sistem nilai atau ideologi, tetapi dapat juga berupa persoalan realitas hidup dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, muncul sanggit-sanggit yang bervariasi dalam satu lakon yang sama. Sanggit lakon tersebut merupakan cerminan seniman dalam kemampuan menangkap gejala-gejala perubahan sosiokultural masyarakat yang menjadi inspirasi dalam berke78
senian sehingga tidak jarang bentuk pertunjukan juga mengalami perubahan menyesuaikan selera seni masyarakatnya. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, pembacaan dilakukan terhadap pertunjukan lakon “Sêsaji Raja Suya” sajian Paguyuban Panca Budaya. Untuk mempermudah pembacaan, dilakukan perekaman audiovisual yang kemudian diubah ke dalam bentuk naskah dramatik lengkap dengan pembagian adegan, tokoh-tokoh yang ada, tempat kejadian beserta dialog, narasi, sulukan, dan teks tambahan yang menguraikan deskripsi pementasan atau dalam pedalangan lazim disebut dengan caking pakêliran. Setelah itu, dilakukan analisis menggunakan teori bangunan lakon wayang untuk mendapatkan pola bangunan lakon dan jalinan peristiwa. Setelah hal tersebut didapatkan, dianalisis kembali dengan konsep sambung-rapêt dalam memahami struktur dramatik wayang (Wahyudi, 2011: 109-110). Hasil temuan kemudian dianalisis secara kontekstual. Munurut Ahimsa Putra (1998: 24), pendekatan kontekstual dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial budaya dengan melihat keterkaitan fenomena tersebut dengan fenomenafenomena lain dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurutnya, kesenian sebagai suatu gejala sosial yang muncul dalam konteks tertentu dapat dihubungkan atau memiliki hubungan dengan fenomena lain di tengah masyarakat. Seni dapat dikaitkan dengan aktifitas politik, ekologi, dan berbagai perubahan yang sedang terjadi. Pendekatan kontekstual ini digunakan untuk mendapatkan jawaban perihal latar belakang bentuk pertunjukan wayang orang lakon “Sêsaji Raja Suya” dan latar belakang dimunculkannya sanggit yang disajikan. Pelacakannya menggunakan teori transformasi budaya sumber dan budaya target oleh Patrice Pavis. Pavis dalam teorinya menjelaskan proses pemindahan bentuk sebuah fenomena budaya yang diangkat sebagai ide gagasan penciptaan oleh seniman menjadi sebuah pertunjukan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat penikmat. Adapun urutan tahap pemindahan tersebut adalah tahap pertama, identifikasi gagasan budaya sumber; tahap kedua, observasi bentuk artistik dan konkretisasi tekstual; tahap ketiga, perspektif
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
seniman dengan konkretisasi dramaturgis; tahap keempat, konkretisasi pemanggungan; dan tahap kelima, konkretisasi resepsi penonton budaya target. Dalam penelitian ini, dilakukan penganalisisan secara terbalik, yaitu dari tahap kelima menuju tahap pertama. Perkembangan Wayang Orang Kesenian wayang wong atau juga disebut wayang orang, menurut penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya (Hersapandi, 1999: 15) merupakan bentuk reinaissance wayang wwang yang telah ada dan berkembang di zaman Majapahit. Dikatakan demikian karena, bentuk kesenian tersebut mengalami kemunduran sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit yang digantikan oleh kekuasaan baru yang bercorak Islam yaitu zaman Demak, Pajang, Mataram Islam hingga Mataran Kartasura yang kesemuanya tidak ditemukan datadata tentang keberadaan wayang orang. Barulah pada zaman Mataran Kartasura pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dengan ditandainya perjanjian Giyanti tahun 1755, serta perjanjian Salatiga tahun 1757 yang membagi Kasunanan Surakarta menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, kesenian wayang orang mulai muncul kembali (Hersapandi, 1999: 16-19). Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I di Kasultanan Yogyakarta tahun 1755-1795 dan Sri Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran tahun 1757-1795, diciptakan kembali wayang orang secara bersamaan sebagai salah satu atribut kebesaran keraton. Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I, diciptakan wayang orang gaya Yogyakarta dengan lakon yang digubah yaitu lakon “Gandawardaya”. Kehadiran wayang orang di keraton Kasultanan Yogyakarta dengan digubahnya lakon “Gandawardaya” dilatarbelakangi oleh keinginan dan tujuan sultan untuk menanamkan jiwa kepahlawanan dan jiwa satria berdasarkan epos Mahabarata (Soedarsono, 2000: 41). Wayang orang gaya Yogyakarta disebutkan dalam catatan J. Groneman, menunjukkan perkembangannya pada masa Sri Sultan Hamengkubuwana VII ta-
hun 1877-1921, yang menggelar pementasan salah satunya menyajikan lakon “Pêrgiwa” selama empat hari empat malam. Pada perkembangannya, wayang orang gaya Yogyakarta mencapai puncak kegemilangannya pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII tahun 1921-1939. Pada saat pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, digelar pertunjukan wayang orang sebanyak lima belas lakon. Pertunjukan tersebut digelar secara besarbesaran dengan melibatkan penari, penabuh gamelan, vokalis serta petugas stage yang jumlahnya hingga delapan ratus orang. Salah satu pertunjukan yang digelar selama empat hari adalah lakon ”Samba Sêbit” tahun 1925. Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, kostum dalam wayang orang digubah dengan atribut yang mengacu pada wayang kulit (Soedarsono, 2000: 68) Pertunjukan wayang orang gaya Yogyakarta mencapai masa gemilang karena Sri Sultan adalah seorang pelindung dan pecinta wayang orang. Masa gemilang wayang orang gaya Yogyakarta berlangsung sampai pada pecah Perang Dunia II tahun 1939. Setelah itu, pertunjukannya mengalami kemunduran dan kelesuan (Soedarsono, 2000:57). Di lingkungan keraton, saat ini pertunjukan wayang orang hanya disajikan setiap hari Minggu di bangsal Sri Manganti yang pertunjukannya hanyalah cuplikan sebagai paket wisata. Di Surakarta, tepatnya Kadipaten Mangkunegaran, Sri Mangkunegara I yang berkuasa pada tahun 1757-1795 menciptakan wayang orang gaya Surakarta. Lakon yang digubah dan dipentaskan ialah lakon “Wijanarka”. Digubahnya lakon “Wijanarka” beserta pementasan wayang orang dilatarbelakangi oleh keinginan Sri Mangkunegara I untuk menanamkan jiwa kepahlawanan dan semangat berjuang berjiwa kesatria sebagaimana tokoh-tokoh wayang, karena pada saat itu pemerintahan kolonial Belanda mencampuri kehidupan pemerintahan keraton (Hersapandi, 1999:21). Perkembangan wayang orang di Istana Mangkunegaran berlanjut hingga masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV tahun 18531881. Perkembangan wayang orang gaya Surakarta mencapai puncak kegemilangannya pada masa 79
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
pemerintahan Sri Mangkunegara V. Hal tersebut ditandai dengan adanya penyempurnaan dan standardisasi atribut busana wayang orang yang mengacu pada atribut busana wayang kulit dan tokoh Bima di Candi Sukuh. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara VI tahun 1896-1916, wayang orang di Puri Mangkunegaran mengalami kemunduran karena dilanda krisis ekonomi. Salah satu kebijakannya dalam bidang kesenian adalah mengurangi aktivitas dan pementasan kesenian, salah satunya adalah wayang orang. Pada saat wayang orang di Puri Mangkunegaran mengalami kemunduran, wayang orang di lingkup puri diboyong keluar oleh salah satu pedagang kaya, yaitu Gan Kam (Rustopo, 2007:112). Oleh Gan Kam, wayang orang dikemas menjadi wayang orang panggung. Penggarapannya menunjukkan keberadaan wayang orang berkembang di luar keraton. Tata panggung pementasan menggunakan prosenium dan tata cahaya. Penyesuaian gerak tari juga dilakukan. Pada pementasannya, penonton dikenai biaya karcis masuk. Pada saat itu, mulai bermunculan grup wayang orang yang dibentuk oleh pedagang-pedagang China yang kaya yang mau menghidupi wayang orang. Akhirnya wayang orang menjadi komoditas bisnis yang menjanjikan dan menjadi seni komersial. Pada saat Sri Susuhunan Paku Buwana X bertahta, dengan bantuan R.A.A Sastradiningrat membentuk wayang orang panggung komersial yang ditempatkan di Taman Sriwedari yang merupakan tempat khusus yang dibangun raja untuk rekreasi. Pada perkembangan berikutnya, wayang orang panggung yang justru berkembang di luar keraton menjadi seni pertunjukan yang sangat populer di tengah masyarakat. Banyak grup wayang orang yang melakukan pementasan, dan masyarakat selalu menanti pementasan tersebut. Salah satunya adalah Wayang Orang Panggung Sriwedari yang sampai pada akhir Orde Lama mengalami masa kegemilangan. Puncak kegemilangannya pada tahun 1960-an, bahkan Wayang Orang Sriwedari menjadi salah satu seni pertunjukan favorit presiden Indonesia pertama. Akan tetapi, setelah adanya peristiwa 60-an lebih-lebih pada masa Orde Baru, perkembangan wayang orang Sriwedari mengalami kemunduran. Hingga saat ini perkembangannya 80
sangatlah memprihatinkan. Pementasan hanya dapat dipertahankan sekadar sebagai pentas rutin demi usaha bertahannya wayang orang panggung saat ini. Perkembangan wayang orang dapat dikatakan hidup tidak mati pun enggan. Munculnya Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya Pada saat ini di tengah kehidupan yang modern dengan arus globalisasi keberadaan wayang orang menjadi sangat langka untuk dijumpai. Akan tetapi, nampaknya pada saat ini Yogyakarta menunjukkan adanya geliat perkembangan seni wayang orang dalam upaya menghidupkan kembali kesenian tersebut. Hal tesebut ditunjukkan dengan munculnya Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya. Berdasarkan wawancara dengan pimpinan paguyuban, yaitu Agus Setyawan, Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya Pertama kali terbentuk pada bulan November. Terbentuknya paguyuban dilatarbelakangi oleh semangat kebersamaan dan kesadaran rasa memiliki kesenian Jawa khususnya kesenian wayang orang. Kesadaran tersebut muncul karena rasa kepedulian akan kelangsungan dan perkembangan wayang orang dewasa ini sehingga dibentuknya paguyuban ini dalam berkreativitas seni berjuang untuk tidak berorientasi pada segi finansial. Semua didasarkan pada kecintaan terhadap seni yang telah menjiwa dalam diri pelaku seni yang tergabung di dalamnya. Nama Panca Budaya memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Panca Budaya berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu panca yang berarti bilangan lima dan budaya yang artinya sama dengan arti kata budaya dalam bahasa Indonesia. Kesatuan dua kata tersebut bermakna lima daerah yang berbudaya Jawa di Provinsi Yogyakarta, yakni empat kabupaten: Bantul, Sleman, Gunung kidul, dan Kulon Progo, serta satu Kotamadya Yogyakarta yang semua tergabung dalam satu paguyuban, dengan pelaku seni yang ada di dalamnya merupakan perwakilan dari daerah-daerah tersebut. Dalam menjalankan agenda pentasnya, Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Konsep pertunjukan yang dibawakan adalah konsep wayang orang panggung yang telah berkembang sebelumnya. Akan tetapi, dalam mencari identitas dan ciri khasnya, pertunjukan ini menggabungkan dua kebudayaan besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Sebagai contoh nyata, dalam pementasannya terdapat unsur-unsur yang mencerminkan percampuran dua budaya tersebut, misalnya bentuk tari gagahan bergaya Yogyakarta, sedangkan tari alusan bergaya Surakarta. Hal lain dapat dijumpai misal pada atribut kostum yang digunakah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat, khususnya di kabupaten-kabupaten karena selama ini pementasan lebih berorientasi di kota. Lebih lanjut dijelaskan oleh Agus Setyawan bahwa pada dasarnya masyarakat di kabupaten juga memiliki hak untuk dapat melihat pementasan yang terukur dan berkualitas. Oleh sebab itu, dalam pementasannya, PWOPB selalu berusaha memenuhi hal tersebut. Dalam perjalanannya, PWOPB selalu dinantikan pementasannya. Hal ini ditunjukkan dengan mulai dimasukkannya pementasan ini ke dalam agenda-agenda daerah misalnya rasulan dan mêrti désa. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan apresiasi dan mempertahankan eksistensinya, PWOPB berkomitmen untuk menggarap pertunjukannya dengan berpijak pada pakêm yang ada. Apabila terlena dengan garap-garap baru yang keluar dari konsep tradisi, takutnya tergelincir dan justru akan merusak keadiluhungan kesenian wayang yang telah diakui oleh dunia. Selain itu, Mahabarata dan Ramayana Jawa telah tertanam dan menjadi bagian dari kehidupan orang Jawa, maka tidak perlu diubah karena akan merusak konstruksi budaya yang ada. Mereka harus melihat seperti apa yang mereka pahami. PWOPB menyadari bahwa produkproduk tawa tidak langgeng, bersifat hanya sesaat digemari dan setelah bosan akan ditinggalkan. Porsi dhagêlan dan bintang tamu selalu diusahakan untuk seimbang demi kualitas pertunjukan yang disajikan. Lebih lanjut, Tukiran, sutradara dalam PWOPB, menjelaskan bahwa PWOPB berusaha untuk nut ing jaman, menyesuaikan zaman, yang artinya mengadaptasikan diri dengan keadaan sosiokultural masyarakat yang ada saat ini.
Sanggit Lakon “Sêsaji Raja Suya” Pertunjukan wayang selalu mencakup teks lakon dan pertunjukannya (Wahyudi, 2011: 106-107). Oleh karena itu, langkah yang dilakukan dalam penelitian ini ialah membaca pertunjukan wayang orang lakon “Sêsaji Raja Suya” yang dipentaskan. Oleh karena pembacaan pertunjukan memerlukan ketelian dan waktu yang intensif, langkah awal dilakukan perekaman secara audiovisual. Perekaman audiovisual dilakukan dengan alasan bahwa pertunjukan yang disajikan bersifat fenomenal, hanya sekali pada waktu itu saja. Apabila pertunjukan kembali dipentaskan, bukanlah menjadi pertunjukan yang sama, namun sudah merupakan pertunjukan yang berbeda lagi. Oleh karena itu, perekaman dilakukan agar pembacaan pertunjukan dapat dilakukan secara mendalam dan berulang-ulang agar hasil yang diperoleh benar-benar cermat. Langkah selanjutnya ialah mengubah rekaman audiovisual ke dalam bentuk naskah dramatik lakon yang di dalamnya terdapat pembagian adegan, tokoh-tokoh yang ada, tempat kejadian beserta dialog, narasi, sulukan, dan teks tambahan yang menguraikan deskripsi pementasan atau dalam pedalangan lazim disebut dengan caking pakêliran. Penulis melakukan pembacaan mengenai bangunan lakon “Sêsaji Raja Suya” menggunakan teori bangunan lakon wayang kulit purwa dan dramaturginya dengan teori dramaturgi wayang. Teori ini digunakan karena pertunjukan wayang orang mengacu pada pertunjukan wayang kulit purwa (Soedarsono, 2000: 68). Pembacaan mengenai bangunan lakon dilakukan karena kecurigaan peneliti bahwa sanggit menunjukkan perbedaannya, yakni tidak lazim dijumpai pada sanggit-sanggit lakon “Sêsaji Raja Suya” pada umumnya, misalnya pada rekaman pertunjukan lakon “Sêsaji Raja Suya” Ki Mudjoko dan naskah pakêliran jangkêp lakon “Sêsaji Raja Suya” karya Sarwanto (1991). 1. Pola Bangunan Lakon “Sêsaji Raja Suya” Lakon wayang tradisional memiliki pola bangunan yang telah dibakukan secara konvensional, yaitu disusun secara hirarkis dalam struktur-struktur yang terbagi ke dalam pathêt, 81
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
jêjêr, dan adegan (Hadiprayitna, 1990:44). Dalam satu lakon dibagi menjadi tiga kategori yang didasarkan pathêt yaitu pathêt nêm, pathêt sanga, dan pathêt manyura. Dalam tiga kategori waktu tersebut, terdapat pembagian level di bawahnya lagi, yaitu levelisasi peristiwa yang disebut jêjêr yang masih terbagi lagi menjadi beberapa adegan. Lebih lanjut, Wahyudi (2011: 114) menyebutkan bahwa jêjêr adalah rangkaian adegan secara sintagmatig yang kategorisasinya didasarkan pada tiga persoalan, yaitu (1) tempat peristiwa terjadi masih berada dalam satu “wilayah” teritorial, (2) pokok permasalahan masih berada dalam satu topik, dan (3) khusus untuk pergantian jêjêr I ke jêjêr II ditandai dengan Suluk Pathêt Kêdhu pada pertunjukan Gaya Surakarta ataupun Suluk Plêcung Wêtah untuk pakeliran Ngayogyakarta. Lebih lanjut dijelaskan oleh Wahyudi (2011) bahwa masih memungkinkan adanya penandaan pengelompokan jêjêr ke dalam pathêt yang digunakan berdasarkan iringan dan sulukan (Mudjanattistomo, 1977: 166, 210-252). Dalam teks lakon “Sêsaji Raja Suya” ditemukan bahwa bangunan lakon ini dibangun ke dalam tiga pathêt, yaitu pathêt nêm, pathêt sanga, dan pathêt manyura. Pada pathêt nêm hanya terdapat satu jêjêr dengan empat adegan, yaitu adegan prolog, adegan Pêsanggrahan Giri Bang, Budhalan Prajurit, dan Alun-Alun Magada. Dalam rangkaian peristiwa ini ditemukan pola bangunan lakon yang menunjukkan keberadaannya dalam lingkup satu jêjêr. Prolog melukiskan kekejaman Prabu Jarasandha dengan membunuh ayahnya dan kulit dijadikan tambur, kemudian menjadi raja di Magada menggantikan Prabu Briyadata. Kekejaman Prabu Jarasandha yang dinilai sebagai sosok raja yang buruk menyebabkan adanya peristiwa yang terdapat pada adegan kedua, yaitu persekutuan raja sèwu nêgara untuk melakukan penolakan dengan niat Prabu Jarasandha untuk menjadi raja diraja dengan tumbal raja sèwu nêgara. Penolakan tersebut menyebabkan adanya pergerakan peristiwa menuju adegan ketiga, yaitu pemberangkatan pasukan perang raja sèwu nêgara dan adegan keempat, yaitu peristiwa pe82
nyerangan raja sèwu negara ke Negara Magada. Pada adegan ketiga, Prabu Jarasandha diserang oleh raja sèwu negara. Penyerangan tersebut justru menguntungkan Prabu Jarasandha untuk menaklukkan raja sèwu negara. Raja sèwu negara yang telah berhasil ditaklukkan kemudian dipenjara dan dipersiapkan sebagai tumbal Sêsaji Kala Lodra yang dalam teks lakon menunjukkan istilah Sêsaji Raja Diyu. Prabu Jarasandha memerintahkan Prabu Hamsa untuk menaklukkan Negara Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura. Berangkatlah ia menuju Ngamarta. Dalam peristiwa ini, pergerakan peristiwa terputus dengan pergantian pathêt nêm ke pathêt sanga dengan ditandai pembawaan lagon pathêt sanga. Dengan demikian, rangkaian tersebut merupakan satu rangkaian jêjêr karena pokok permasalahan atau topiknya adalah sama, yaitu keberadaan Prabu Jarasandha untuk mewujudkan Sêsaji Kala Lodra. Selain itu, meskipun berlainan teritorial antara pêsanggrahan Giri Bang dengan Magada dengan pokok masalah yang sama, tidak dijumpai pembawaan Suluk Pathêt Kêdhu atau Suluk Plêcung Wêtah sebagai tanda khusus untuk pergantian jêjêr I ke jêjêr II. Oleh karena itu, rangkaian peristiwa tersebut merupakan satu rangkaian jêjêr pada pathêt nem. Pada pathêt sanga terdapat satu jêjêr dengan lima adegan, yaitu Adegan Tengah Hutan, Persidangan Agung Negara Ngamarta, Alun-Alun Negara Ngamarta, Adegan Tepi Hutan Triniti, dan Adegan Kêdhaton Negara Magada. Pathêt sanga ditunjukkan dengan pembawaan Lagon Pathêt Sanga oleh dalang. Peristiwa yang terdapat pada adegan kelima, yaitu Adegan Tengah Hutan menunjukkan perbedaan topik dengan adegan sebelumnya, yaitu adegan keempat. Adegan kelima ini menceritakan perjalanan pulang Raden Janaka dari Pertapan Talkandha untuk menemui Resi Bhisma dalam tugas menyampaikan undangan mengenai akan dilangsungkannya upacara Sêsaji Raja Suya. Dalam perjalanannya, Raden Janaka dihadang oleh barisan raksasa Negara Magada, namun hal itu dapat diatasi. Oleh karena itu, terjadilah pergerakan peristiwa dari adegan kelima menuju adegan keenam, yaitu Persidangan Agung Negara Ngamarta.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Adegan keenam menceritakan niat Prabu Puntadewa untuk mengadakan Sêsaji Raja Suya. Dalam peristiwa tersebut Prabu Kresna menjabarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak lama dari itu, datanglah Prabu Hamsa yang diutus Prabu Jarasandha untuk menaklukkan Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura. Hal tersebut ditentang keras oleh Prabu Baladewa. Prabu Baladewa menendang Prabu Hamsa keluar dari persidangan. Prabu Kresna mengajak Raden Werkudara dan Raden Janaka untuk membebaskan raja sèwu negara sebagai pemenuhan syarat Sêsaji Raja Suya dan melawan angkara murka Prabu Jarasandha. Peristiwa tersebut menyebabkan adanya pergerakan peristiwa dari adegan keenam menuju adegan ketujuh dan kedelapan. Pada adegan ketujuh diceritakan peperangan Raden Samba dan Patih Pragota melawan Prabu Hamsa yang dibantu Prabu Dhimbaka. Prabu Hamsa dan Dhimbaka mati diadu kumba oleh Prabu Baladewa. Pada adegan ketujuh, peristiwa menunjukkan perjalanan Prabu Kresna, Raden Werkudara, dan Janaka menuju Negara Magada telah sampai di Hutan Triniti. Atas perintah Prabu Kresna, Raden Janaka memanah tambur pusaka dengan panah Wulan Tumanggal sehingga sukma Prabu Briyadata terbebas. Setelah memecahkan tambur, ketiganya menyamar menjadi Brahmana agar mempermudah masuk ke kota raja. Peristiwa tersebut menyebabkan adanya peristiwa dari adegan ketujuh menuju adegan kedelapan, yaitu Kêdhaton Negara Magada. Peristiwa di Kêdhaton Negara Magada menunjukkan Prabu Jarasandha terkejut dengan kedatangan Prabu Kresna, Raden Werkudara, dan Janaka yang menyamar sebagai brahmana. Prabu Kresna mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu untuk membebaskan raja sèwu negara dan menyirnakan angkara murka Prabu Jarasandha. Prabu Jarasandha marah dan perang tanding terjadi antara Prabu Jarasandha dan Raden Werkudara. Prabu Jarasandha dapat dikalahkan. Peristiwa ini menyebabkan pergerakan peristiwa menuju adegan kesembilan, namun karena masuknya adegan kesembilan ditandai dengan iringan pathêt manyura dan lagon ma-
nyura, telah terjadi perpindahan pathêt. Adegan kesembilan tidak lagi masuk dalam tataran pathêt sanga. Oleh karena itu, rangkaian peristiwa dari adegan kelima hingga kedelapan merupakan rangkaian peristiwa dalam satu tataran pathêt sanga, serta dalam lingkup satu jêjêr karena memiliki topik yang sama. Topik tersebut ialah upaya untuk mewujudkan Sêsaji Raja Suya. Dalam urutan jêjêr yang ada, jêjêr pada pathêt sanga Lakon Sêsaji Raja Suya sajian Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya ini merupakan jêjêr kedua dalam lakon. Hal ini menjadi sangat tidak lazim dengan konvensi yang ada dalam bangunan lakon wayang karena jêjêr kedua dalam lakon ini terletak di pathêt sanga, tidak di pathêtnêm yang ditandai dengan pembawaan Suluk Pathêt Kêdhu atau Suluk Plêcung Wêtah sebagai tanda khusus untuk pergantian jêjêr I ke jêjêr II. Akan tetapi, demikianlah yang didapatkan dalam bangunan lakon Sêsaji Raja Suya ini. Pathêt Manyura terdapat satu jêjêr dengan satu adegan, yaitu Persidangan Agung Negara Ngamarta, yang merupakan adegan kesembilan. Adegan ini menunjukkan peristiwa Prabu Puntadewa beserta saudara dan Prabu Kresna menerima kedatangan Resi Bhisma dalam rangkaian pelaksanaan upacara Sêsaji Raja Suya yang akan berlangsung. Sekonyong-konyong datanglah Prabu Supala yang tidak menerima pemberian penghormatan kepada Prabu Kresna dan ia memaki-maki Prabu Kresna. Prabu Supala akhirnya tewas di tangan Prabu Kresna karena kesalahannya yang telah genap seratus. Setelah itu upacara Sêsaji Raja Suya dimulai dengan dikidungkannya Bagawat Gita oleh para brahmana yang dipimpin oleh Resi Bhisma. Selesailah seluruh rangkaian peristiwa dalam lakon “Sêsaji Raja Suya”. Adegan kesembilan ini merupakan satu adegan yang sekaligus merupakan satu jêjêr dalam satu tataran pathêt manyura. Hal tersebut dikarenakan tidak ditemukannya pergerakan peristiwa lagi yang menunjukkan pergantian territorial. Topiknya satu, yaitu pelaksanaan Sêsaji Raja Suya dan wilayah pathêt ditunjukkan dengan iringan pathêt manyura dan lagon manyura untuk mengawali adegan kesembilan. Rangkaian 83
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
jêjêr yang ada pada lakon “Sêsaji Raja Suya” sajian PWOPB berkedudukan sebagai jêjêr ketiga dalam lakon yang disajikan. Dalam pembacaan yang dilakukan ini didapatkan beberapa hal yang tidak lazim dijumpai dalam lakon Sêsaji Raja Suya pada umumnya. Hal tersebut ialah, pertama adanya adegan Prabu Briyadata yang bercengkerama dengan kedua istrinya di telaga sehingga melahirkan Prabu Jarasandha yang sléwah. Pada umumnya, kelahiran Prabu Jarasandha karena adanya pembagian pêlêm pêrtangga jiwa oleh Prabu Briyadata untuk kedua istrinya. Kedua, peristiwa ditaklukkannya raja sèwu nêgara oleh Prabu Jarasandha dengan lantaran penyerangan yang dilakukan raja sèwu nêgara karena tidak menerima keinginan Prabu Jarasandha untuk mewujudkan Sêsaji Kala Lodra. Pada umumnya fenomena lakon yang ada hanya menceritakan Prabu Jarasandha telah menaklukkan raja sèwu nêgara sehingga permasalahan yang dimunculkan hanya pada lingkup empat negara, yaitu Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura dengan Magada. Ketiga, penyebutan Sêsaji Raja Diyu tidak lazim digunakan karena pada umumnya disebut Sêsaji Kala Lodra. Selain itu, penyebutan panah yang digunakan Raden Janaka untuk memecah tambur adalah Kyai Wulan Tumanggal. Hal ini tidak lazim karena satu-satunya panah Raden Janaka yang bermata panah wulan tumanggal, bulan sabit ialah Kyai Pasopati. Kyai Pasopati baru dimiliki oleh Raden Janaka setelah ia bertapa di Gunung Indrakila. Panah tersebut digunakan untuk mengalahkan raja bangsa Gandarwa bernama Prabu Niwatakawaca (tinjau lakon “Arjuna Wiwaha” atau “Begawan Ciptaning”). Dalam lakon “Sêsaji Raja Suya” pada umumnya, kematian Prabu Hamsa dan Dhimbaka tidak di adu kumba, tetapi mati bunuh diri dengan menceburkan diri ke samudera, karena syarat terkabulnya Sêsaji Raja Suya adalah tidak ada pertumpahan darah. Ketidaklaziman yang keempat ialah tidak dijumpainya jêjêr kedua pada tataran pathêt nêm dengan ditunjukkannya tidak ada pembawaan Suluk Pathêt Kêdhu atau Suluk Plêcung Wêtah sebagai tanda khusus untuk pergantian jêjêr I ke jêjêr II. Jêjêr kedua berada di tataran pathêt 84
sanga sangatlah tidak lazim. Kelima, lakon yang disajikan memiliki bobot pathêt sanga yang lebih panjang dengan ditunjukkan perbandingan pembagian adegan yang lebih banyak di tataran pathêt sanga. Pada umumnya lakon wayang dawa ngarêp atau dawa mburi, yang maksudnya perbandingan pembagian adegan lebih banyak bagian awal, yakni pada tataran pathêt nêm atau lebih banyak bagian akhir, yaitu pada tataran pathêt manyura. Hasil temuan tersebut kemudian dianalisis struktur dramatiknya untuk memperoleh sanggit dan pesan yang diramu oleh sutradara. 2. Sanggit dan Pesan yang Terkandung dalam Struktur Dramatik Pemahaman dramaturgi wayang mengacu pada rumusan dramaturgi wayang yang berpijak pada konsep sambung-rapêt dan grêgêt-sahut. Rumusan dramaturgi wayang tersebut mengikuti pandangan George Kernodle (1978) yang membagi unsur-unsur pokok wayang ke dalam dua kategori, yaitu struktur dramatik dan tekstur dramatik (Wahyudi, 2011: 107). Konsep sambung-rapêt dalam lakon wayang yang dirumuskan memiliki arti jalinan antarperistiwa dalam lakon wayang yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Jalinan peristiwa dan persoalan yang ada di dalam adegan ataupun antaradegan harus bergerak secara logis sesuai dengan tema lakon. Pergerakan cerita dalam lakon wayang dilaksanakan oleh tokoh juga ditentukan oleh setting. Dengan demikian, hal yang berkenaan dengan sambung-rapêt ialah unsur dalam teks lakon yang meliputi alur, tokoh, tema, dan setting. Mengacu pada George Kernodle, Wahyudi (2011: 107).mengasosiasikan bahwa sambung-rapêt merupakan relasi antara alur, tokoh, dan tema sehingga relasi tersebut yang disebut sebagai struktur dramatik wayang. Berpijak pada teori tersebut, hasil pembacaan sturktur dramatik lakon “Sêsaji Raja Suya” didapatkan sebagai berikut: a. Alur Dramatik Lakon “Sêsaji Raja Suya” Kisah berawal dari peristiwa Prabu Briyadata yang tengah memadu kasih
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
dengan kedua permaisurinya di tengah telaga, kemudian melahirkan putra yang separuh badan dari masing-masing rahim permaisurinya. Bayi tersebut hidup menjadi manusia yang utuh, namun sléwah bernama Jarasandha. Malu dengan aib tersebut, Jarasandha membunuh ayahnya sendiri. Pelukisan suasana dari tenang menjadi tegang dengan kematian Prabu Briyadata dikuliti dibuat tambur diiringi sampak, maka tegangan dramatik naik (gambar 1). Peristiwa berlanjut di pêsanggrahan Giri Bang, para raja sèwu negara berkumpul untuk menyatukan kekuatan kemudian menyerang Negara Magada karena tidak setuju dengan keinginan Prabu Jarasandha. Raja sèwu negara memberangkatkan pasukan menuju Negara Magada. Pelukisan suasana agung menjadi rampak bergembira dengan iringan Ladrang untuk berkumpulnya para raja dan budhalan Jongkèng untuk keberangkatan pasukan perang pada adegan budhalan. Tegangan dramatik naik secara perlahan. Prabu Jarasandha berserta Prabu Hamsa dan Dhimbaka bersiaga menyongsong kedatangan raja sèwu negara. Perang terjadi dengan kekalahan raja sèwu negara karena ditabuhnya tambur pusaka oleh Prabu Jarasandha. Raja sèwu negara tertawan, Prabu Hamsa diperintahkan untuk berangkat menaklukan Negara Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura. Pelukisan suasana tegang dan semakin tegang dengan iringan playon untuk kedatangan raja sèwu negara di Alun-Alun Magada dan sampak untuk mengiringi peperangan. Tegangan dramatik semakin naik (Gambar 1). Peristiwa berlanjut pada tataran pathêt sanga, perjalanan Raden Janaka pulang dari Pertapan Talkandha menuju Negara Ngamarta. Suasana dilukiskan tenang dan sedih dengan pembawaan Lagon Sanga oleh dhalang dilanjutkan iringan kêtawang. Para raksasa bersiaga dan berjaga di tengah hutan dengan suasana yang dilukiskan adalah heboh, iringan yang digunakan lancaran. Raden Janaka dihadang oleh Ditya Kala Sindhung Riwut. Panakawan menggoda Ditya Kala
Gambar 1. 'ƌĂĮŬWĞƌŐĞƌĂŬĂŶdĂŶŐŐĂƌĂŵĂƟŬ>ĂŬŽŶ ͞^ġƐĂũŝZĂũĂ^ƵLJĂ͟
Sindhung Riwut. Terjadi adegan humor, maka tegangan dramatik yang dibangun dari tegang turun menjadi gembira, lucu. Tegangan dramatik dinaikkan dan semakin naik dengan peperangan raksasa melawan Raden Janaka yang diiringi sampak. Raden Janaka melanjutkan perjalanan. Persidangan agung Negara Ngamarta, suasana persidangan agung. Isi persidangan tentang upacara Sêsaji Raja Suya. Tegangan dramatik naik dengan kedatangan Prabu Hamsa untuk menaklukkan Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura. Suasana semakin tegang dan tegangan dramatik mencapai puncak tertinggi dengan kematian Prabu Hamsa dan Dhimbaka oleh Prabu Baladewa. Tegangan dramatik sedikit turun dengan peristiwa yang berlangsung di Hutan Triniti. Raden Janaka memanah tambur, kemudian tambur menjadi pecah. Pada peristiwa tersebut suasana tegang, tegangan dramatik naik yang kemudian turun dengan suara Prabu Briyadata berterima kasih telah disempunakan kematiannya. Peristiwa berlanjut di kêdhaton Magada dengan suasana yang agung menggunakan iringan ketawang para putri menari. Prabu Jarasandha terkejut dengan kedatangan Prabu Kresna, Raden Werkudara, dan Janaka dengan iringan playon, maka suasana menjadi tegang. Tegangan dramatik menjadi terus naik dengan klimaks kematian Prabu Jarasandha yang diiringi sampak. Peristiwa kembali berlanjut pada persidangan agung Negara Ngamarta pada tataran pathêt manyura yang menceritakan pelaksanaan Sêsaji Raja Suya. Pada rangkaian 85
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
peristiwa ini, tegangan dramatik yang dibangun semakin tegang dengan titik tegangan dramatik yang tertinggi pada saat kematian Prabu Supala. Setelah itu, upacara Sêsaji Raja Suya dilaksanakan dengan dibawakannya kidung Bagawat Gita oleh para Brahmana. Tegangan dramatik berangsur-angsur turun ke titik nol. Pertunjukan selesai. Dengan demikian, dapat disimpulkan meskipun terdapat adegan prolog di awal, alur yang digunakan adalah alur linear. Peristiwa yang disajikan berurutan dan berkesinambungan dari tahap awal ke akhir. b. Setting Pada lakon yang disajikan, terdapat tiga setting yang berbeda, yang tidak lazim dijumpai pada lakon Sêsaji Raja Suya pada umumnya. Setting tersebut adalah telaga di awal cerita yang melukiskan Prabu Briyadata memadu kasih bersama kedua istrinya, setting pêsanggrahan Giri Bang yang menceritakan persekutuan raja sèwu nêgara untuk menyerang Prabu Jarasandha, dan setting Hutan Triniti tempat tambur pusaka yang lazimnya bersetting di puncak Gunung Satyaka. c. Penokohan Dalam wayang lazimnya tidak ada penggolongan tokoh utama dan tokoh pembantu, ataupun pembagian tokoh antagonis dan protagonis. Hal ini dikarenakan dalam wayang semua tokoh dipandang penting dan memiliki kapasitas masing-masing dan saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam lakon ini, Prabu Jarasandha adalah tokoh yang sering disebut dan menjadi bahan pembicaraan di setiap peristiwa terkait dengan cita-citanya mengadakan sêsaji kurban manusia yang mendapat tentangan di berbagai pihak. Tokoh Puntadewa juga memiliki kapasitasnya karena keinginannya untuk mengadakan Sêsaji Raja Suya memicu serangkaian peristiwa yang terjadi dalam lakon. (1) Prabu Jarasandha Dalam pembacaan terhadap serangkaian peristiwa dalam lakon, Prabu Jarasandha muncul sebagai tokoh yang berkeinginan keras, otoriter, dan kejam. 86
Hal tersebut sebagaimana yang dilukiskan pada adegan prolog. Ia membunuh ayahnya dan pada adegan pêsanggrahan Giri Bang di mana para raja sèwu nêgara memandang Prabu Jarasandha adalah tokoh yang mengumbar angkara murka, yang akan menjadikan raja sèwu negara sebagai kurban darah demi terwujudnya cita-citanya. Karakter tokoh ini juga tercermin di setiap dialog dan adegan pada pathêt nem, terlihat dengan ditunjukkannya serangkaian peristiwa yang terjadi dalam lakon. (2) Prabu Puntadewa Prabu Puntadewa hanya keluar saat adegan persidangan agung, itu saja satu adegan di pathêt sanga dan satu adegan di pathêt manyura. Keputusannya untuk melaksanakan Sêsaji Raja Suya memicu serangkaian peristiwa yang berorientasi mendukung niatan tersebut. Berdasarkan serangkaian serangkaian peristiwa yang terjadi, Prabu Puntadewa muncul sebagai tokoh yang jujur dan berwatak pandhita. Hal tersebut tercermin dalam serangkaian peristiwa dan dialog yang kesemuanya menunjukkan upaya dan parstisipasi dukungan tokoh lainnya untuk mewujudakan cita-cita Prabu Puntadewa. Karakter tersebut ditegaskan dengan keberhasilan Prabu Puntadewa melaksanakan Sêsaji Raja Suya karena salah satu syarat yang telah terpenuhi, yaitu berjiwa jujur dan brahmana, serta persyaratan dukungan dari raja sèwu negara yang mendukung sêsaji raja suya. d. Tema Tema yang diangkat dalam lakon “Sêsaji Raja Suya” adalah “Figur Pemimpin yang Terpilih”. Dalam memilih pemimpin, diharapkan memilih pemimpin yang jujur, adil, dan dapat mengayomi. Pemimpin yang bersifat jujur, adil, dan mengayomi itulah yang nantinya pantas memimpin dan didukung oleh segenap pihak dan rakyat. Hal tersebut salah satunya ditegaskan dengan cuplikan dialog dalam pathêt sanga adegan kedua berikut:
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Menit ke (16.40) SRI DHENTA: Kula ngêmpalakên para kadang raja punika, mbotên sarujuk manawi para kadang raja sowan manungkul wontên ing Nagari Magada, ngatên nggih yayi prabu. Menit ke (17.02) KIJING WAHANA: Lêrês, tumindakipun Prabu Jarasandha punika namung badhé ngumbar dhatêng kamurkan, rak ngatên. Menit ke (17.11) SIDA MUKTI: Lêrês, mila pancèn ugi kula sarujuk kaliyan paduka sêdaya, amargi mênapa kita sêdaya punika ugi salah sawijinging naréndra, dadi yèn milih pangayoman aja mung sakêpénaké dhéwé kudu milih sing bênêr lan sing jujur rak ngatên. Menit ke (17.35) TEGA LELANA: Awit saking punika, tiyang gêsang punika ga-dhah hak lan kuwajiban piyambakpiyambak, kanggé nêmtokakên sintên ingkang dados panunggulé para raja, rak nggih makatên yayi prabu sêdaya kêmawon. Menit ke (17.45) PARA RAJA SÈWU: Nggih.., punika nêmbé lêrês. Tatanan ingkang jujur, adil lan cêtha. Transformasi Pesan Sosial Sanggit dan Pertunjukkan Dalam pertunjukannya, sajian lakon tersirat ajaran moral, spiritual serta penyampaian pesanpesan pendidikan, penerangan, politik, kemanusiaan, hiburan dan pesan-pesan lainnya yang terkait dengan kehidupan manusia (Soetarno dan Sarwanto, 2010: 282-337). Pertunjukan wayang mampu menyesuaikan dirinya dengan atmosfer sosiokultural masyarakat pada zamannya. Oleh karena itu, sanggit-sanggit lakon yang bervariasi bermunculan seiring dengan tumbuh suburnya seni
pertunjukan wayang seiring dengan dinamisnya perubahan sosiokultural masyarakat. Berpijak pada uraian tersebut, keberadaan sanggit lakon dalam pertunjukan ini tidak luput dari hal yang sebagaimana telah diuraikan. Latar belakang dimunculkannya sanggit yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dilacak dengan teori transformasi budaya sumber ke budaya target Patrice Pavice (1992: 185). Pelacakannya dilakukan dengan penganalisan keadaan masyarakat saat ini dengan pendekatan konkretisasi resepsi budaya terget, analisis bentuk pertunjukan dengan pendekatan konkretisasi bentuk pemanggungan, konkretisasi dramaturgis berdasarkan perspekstif seniman yang juga memerhatikan konkretisasi tekstual dalam lingkup artistik budaya sumber, yang tahap akhir melacak tentang identifikasi budaya sumber. Keadaan masyarakat saat ini ditempatkan sebagai target objek audiens penikmat pertunjukan yang disajikan. Oleh karena itu, keadaan sosiokultural masyarakat ke dalam teori Pavis, oleh peneliti ditempatkan sebagai budaya target. Pada lingkup masyarakat Yogyakarta, Yogyakarta yang kental dengan budaya Jawa juga memiliki banyaknya individu pendatang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Individu pendatang tersebut baik sebagai pelajar, mahasiswa, pedagang, seniman, maupun turis yang membawa latar budaya masing-masing sehingga semakin menambah corak kehidupan Yogyakarta dalam segi perkembangan kebudayaan yang dinamis seiring dengan interaksi dan perubahan sosial yang terjadi. Hal ini menyebabkan masyarakat Yogyakarta memiliki selera seni yang bervariasi. Selain itu, masyarakat Yogyakarta yang bersifat dinamis, tentunya akan selalu berinteraksi dengan berbagai isu yang berkait-
Gambar 2. 'ƌĂĮŬWĞƌŐĞƌĂŬĂŶdĂŶŐŐĂƌĂŵĂƟŬ>ĂŬŽŶ ͞^ġƐĂũŝZĂũĂ^ƵLJĂ͟
87
Andi Wicaksono, Lakon sebagai Media Transformasi Pesan Sosial
an dengan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, social, dan budaya. Melihat bentuk pertunjukan yang disajikan, terdapat dua budaya besar yang diakulturasikan ke dalamnya. Dua budaya tersebut ialah Surakarta dan Yogyakarta. Hal tersebut dilihat dari bentuk pertunjukannya yang menggabungkan unsurunsur pertunjukan wayang orang gaya Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai contoh penggunaan bentuk gerak tari Yogyakarta untuk karakter gagahan, dan bentuk gerak tari Surakarta untuk karakter alusan. Tata rias dan beberapa atribut busana juga nampak penggunaan dua gaya tersebut. Dalam segi iringan, garap iringan juga tidak luput dari perhatian. Ini adalah salah satu bentuk modifikasi pertunjukan yang disajikan. Konsep pementasanya menggunakan konsep wayang orang panggung dengan panggung pementasan prosenium lengkap dengan tata cahaya properti artistik yang mendukung hidupnya peristiwa dalam lakon yang disajikan dan menarik perhatian penonton untuk menikmati. Penari yang sekaligus pemeran tokoh yang diceritakan adalah orang yang profesional dalam bidangnya termasuk pendukung lainnya demi terwujudnya gagasan dalam penggarapan dapat terwujud. Kehadiran bintang tamu juga merupakan salah satu bentuk menarik simpati audiens penikmat pertunjukan. Lakon yang dikemas dipentaskan dalam waktu tiga jam dimaksudkan agar pertunjukan tidak menjemukan karena aktivitas masyarakat saat ini yang begitu padat sehingga menuntut efisiensi waktu. Yang dilakukan Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya dengan bentuk pertunjukannya tersebut merupakan bentuk cara dalam transformasi gagasan ke dalam konkretisasi panggung dengan melakukan pendekatan garap tradisi dan modern yang dimodifikasi tanpa menghilangkan bentuk tradisinya. Membaca teks lakon yang disajikan, terdapat muatan pesan mengenai kehati-hatian masyarakat dalam memilih figur pemimpin. Di dalamnya terdapat sebuah tawaran mengenai figur pemimpin yang ideal menurut pandangan orang Jawa yang dicerminkan dalam tokoh Prabu Puntadewa dalam wayang. Hal ini sejalan dengan salah satu isu yang tengah hangat di tengah masyarakat, yakni persiapan pemilian umum. Dalam hal ini, masyarakat diajak untuk jeli dan cermat dalam menyikapinya 88
dalam rangka menyongsong pemilu. Nampaknya, Tukiran sebagai sutradara dan penata naskah serta Widodo selaku penata tari, Eko Purnomo selaku penata iringan bersama Agus Ley-Loor selaku art director mampu membaca keadaan tersebut serta mampu membaca selera seni masyarakat saat ini. Nampaknya, PWOPB melakukan penyesuaian identifikasi budaya sumber berdasarakan observasi seniman, serta mempertimbangkan beragam konteks sosial, politik, ekonomi yang berkembang. Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan pula cita rasa penonton dan penilaian objektif terhadap nilai budaya yang tengah berkembang di masyarakat yang disuguhi pertunjukannya. Mencermati para pelaku seni yang tergabung dalam Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya ditempatkan dalam identifikasi gagasan budaya sumber dalam teori Pavis pada penelitian ini. Para pelaku yang terlibat di dalamnya memiliki latar belakang yang heterogen karena masing-masing berasal dari latar belakang daerah yang berbeda. Oleh karena itu, interaksi di dalamnya tentu melibatkan percampuran kebudayaan dalam proses seni yang dilakukan. Para pelaku yang heterogen latar budayanya tersebut mewakili sifat heterogen masyarakat Yogyakarta pada umumnya yang terdiri dari masyarakat Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Kotamadya Yogyakarta serta masyarakat pendatang yang singgah sementara waktu atau yang menetap di Yogyakarta. Dengan demikian, secara tidak langsung keheterogenan pelaku yang terlibat di dalamnya dapat memahami, menyesuaikan, dan melayani selera masyarakat Yogyakarta yang diaktualisasikan dalam pertunjukan yang disajikan. Dengan demikian, sajian pertunjukan wayang orang lakon “Sêsaji Raja Suya” dapat diterima oleh masyarakat penikmatnya, dapat tersampai pesan yang dikandung di dalamnya sebagai sebuah kritik sosial yang perlu dipertimbangkan, serta mewujudkan harapan dapat lestari kesenian wayang orang saat ini. Munculnya sanggit lakon “Sêsaji Raja Suya” merupakan bentuk kreatif dari para senimannya dalam kemampuan menangkap gejala-gejala dan perubahan sosiokultural masyarakat yang disuguhi pertunjukan mereka. Apa yang mereka dapatkan di tengah masyarakat kemudian mereka jadikan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
inspirasi dalam berkesenian, dengan memerhatikan karakterisasi budaya yang ada dalam paguyuban itu sendiri. Simpulan Keberadaan Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya merupakan wujud nyata dalam upaya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap perkembangan kesenian wayang orang dewasa ini. Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya dalam sajian pertunjukannya merupakan salah satu proses yang dilalui dalam pencarian format pertunjukan yang dapat menyesuaikan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat. Berkembangnya wayang orang saat ini tentunya menjadi harapan bersama sebagai masyarakat Yogyakarta yang istimewa ini. Sanggit lakon yang disajikan terselip pesan kepada masyarakat atas isu yang tengah berkembang saat ini, salah satunya adalah pemilu. Terlepas dari lakon sebagai wadah penyampaian gagasan dan pesan, penyanggitan lakon “Sêsaji Raja Suya” yang dilakukan tersebut merusak makna ritual di dalamnya atau tidak masih perlu dilakukan penelitian lanjut demi berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya wayang. Hal ini dikarenakan mengingat pada dasarnya wayang dan pertunjukannya merupakan sebuah prosesi ritual yang bersifat religi. Satu lakon adalah satu episode dari ratusan episode yang berangkaian, satu berubah tentu akan merusak jalinan yang ada. Akan tetapi, apa pun yang disampaikan dalam pertunjukannya, wayang perlu selalu diapresiasi bersama demi berlangsungnya kehidupan seni dan kesenian.
Kepustakaan Hadiprayitna, Kasidi. 1990. “Ragam Lakon dalam Sastra Pewayangan”. [Laporan Penelitian]. Yogyakarta: Balai Penelitian ISI Yogyakarta. Hersapandi. 1999. Wayang Wong Sri Wedari dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Mudjanattistomo. 1979. Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Habirandha. Pavis, Patrice. 1992. “Theatre at the Crossroads of Culture”. Terj. Loren Kueger. London: Routledge. Putra, Heddi Sri Ahimsa. 1998. “Sebagai Teks dalam Konteks Seni dalam Kajian Antropologi Budaya”, dalam Jurnal Seni Vol. VI/01-Mei, 1998: 18-29. Rustopo. 2007. Menjadi Jawa Orang-Orang Tiong Hoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta. Yogyakarta: Yayasan Nabil. Sarwanto. 1991. Pakem Pedhalangan Lampahan Sêsaji Raja Suya. Sukoharjo: CV Cenderawasih. Soedarsono. 1999. Masa Gemilng dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Tarawang. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Surakarta: CV Cenderawasih. Wahyudi, Aris. 2011. “Bima dan Drona dalam Lakon Dewa Ruci, Ditinjau dari Analisis Strukturalisme Levi-Strauss”. [Desertasi]. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Ucapan Terima Kasih
Informan
Penelitian ini dibiayai dengan dana penelitian BPP-DN. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. A.M. Hermien Kusmayati, S.S.T., S.U. yang telah memberi kesempatan dan rekomendasi peneliti sehingga memperoleh dana BPP-DN.
Agus Setyawan (52 tahun). Pimpinan Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya, tinggal di Gedongkiwa, Yogyakarta. Tukiran (50 tahun). Sutradara Lakon Sesaji Raja Suya Paguyuban Wayang Orang Panca Budaya, tinggal di Karangkajen, Yogyakarta.
89