TESIS ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RSUP SANGLAH DENPASAR
I MADE DOMY ASTIKA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RSUP SANGLAH DENPASAR
I MADE DOMY ASTIKA NIM 0914068201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE DOMY ASTIKA NIM 0914068201
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 APRIL 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, SpS(K) NIP 195902151985102001
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) NIP 195610101983121001
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 17 April 1014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana no. : 951/UN.14.4/HK/2014
Ketua
: Prof. Dr. dr. A.A. Raka sudewi, SpS (K)
Sekretaris
: Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)
Anggota
: 1. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 2. dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K) 3. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar dokter spesialis saraf Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), pembimbing utama penelitian dan Dr. dr. Thomas Eko Purwata selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) MKes, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. I Wayan Sutarga, MPH atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kepala Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Wayan Kondra, Sp.S(K), Ketua Litbang Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), atas segala dorongan, bimbingan dan saran yang sangat berarti bagi penulis selama mengikuti pendidikan ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada Kepala Divisi Tropik Bagian/ SMF Ilmu penyakit Dalam FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr. dr. Ketut Tuti Parwati Merati, Sp.PD(KPTI), yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dilaksanakannya penelitian ini di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K), dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, MSc, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S yang telah memberikan segala arahan, dorongan, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan ini. Ungkapan terimakasih penulis tujukan kepada dr. Ni Ketut Ayu Sudiariani, Sp.S atas dorangan, motivasi dan doa spiritualnya selama saya mengikuti pendidikan. Ungkapan terimakasih penulis tujukan kepada dr. Dewa Ngurah Satriawan, dr. Yoanes, dr Ni Putu Witari, dr IGN Putra Martin Widanta, dr Ni Md Yuli Artini, dr Khristi Handayani, dr Ernesta P. Ginting dan seluruh teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada seluruh peserta PPDS I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini, tenaga paramedis dan non medis di bangsal dan poliklinik penyakit Saraf RSUP Sanglah, tenaga paramedis dan non medis di poliklinik VCT RSUP Sanglah atas jalinan kerjasama, bantuan dan dorongan semangat selama penulis melaksanakan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh pasien HIV dan keluarganya atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan penelitian ini. Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada kedua orangtua yang saya cintai, I Wayan Suatra dan Ni Wayan Dastri; ayah dan ibu mertua yang saya hormati, Drs. I Nyoman Sutjahya, Ida Ayu Rupini, Spd; istri dan anak-anak tersayang, Pande Dwi Intan Cahyani, S.H., Ni Putu Ardhia Pramesti Putri Astika dan I Made Dwi Pramastha Putra Astika, yang telah memberikan semangat dan dorongan baik material maupun moral dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan ini. Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalu melimpahkan karunia-NYA kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri dan selembut air dalam melayani orang lain (Gede Prama)
ABSTRAK ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR Neuropati perifer adalah komplikasi neurologi yang paling sering dijumpai pada pasien dengan HIV/AIDS. Angka CD4 nadir yang rendah diduga berperan terhadap timbulnya kejadian nyeri neuropatik pada penderita HIV. Angka CD4 nadir yang rendah menunjukkan adanya viral load yang tinggi. Penyebab utama terjadinya nyeri neuropatik adalah kerusakan saraf tepi karena virus itu sendiri melalui sistem imunitas atau karena obat ARV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui CD4 nadir rendah sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap 66 penderita HIV yang menjalani pengobatan di poliklinik VCT RSUP Sanglah selama bulan Nopember 2013 sampai Januari 2014. Subyek yang memenuhi kriteria eligibilitas dikelompokkan sebagai kasus dan kontrol masing-masing berjumlah 33 orang. Nyeri neuropatik pada penderita HIV dinilai dengan Skala nyeri LANSS. Seluruh data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 for windows. Data karakteristik dianalisis secara deskriptif. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%. Hasil analisis data didapatkan penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 yang mengalami nyeri neuropatik sebanyak 27orang (81,8%) dengan karakteristik umur terbanyak pada kelompok ≥ 30 tahun yaitu 81,8% dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (57,6%), sebagian besar ditemukan pada stadium HIV tinggi (stadium III dan IV) yaitu 90,9%. Lama menderita HIV ≤ 1 th sebanyak 75,8%, lama terapi ARV ≤ 6 bulan sebanyak 63,6% dan tinggi badan < 170 cm sebanyak 72,7%. Pada analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara CD4 nadir ≤ 200 dengan nyeri neuropatik pada penderita HIV (p<0,001) dengan OR 7,88; IK 95% (2,5324,47). Dapat disimpulkan bahwa CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah. Kata Kunci : HIV, CD4 nadir rendah, nyeri neuropatik
ABSTRACT
LOW NADIR CD4 ≤ 200 CELL/µl AS RISK FACTOR FOR NEUROPATHIC PAIN IN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS PATIENT AT SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR Peripheral neuropathy is a common neurological complication seen in patient with HIV/AIDS. Low nadir CD4 presumably causes neuropathic pain in HIV patient. Low nadir CD4 corelates to high viral load. Main cause of neuropathic pain is peripheral nerve damage caused by the virus itself through immune system or ARV therapy. This study was aimed at testing that low nadir CD4 was a risk factor for neuropathic pain on HIV patient at Sanglah General Hospital Denpasar. This was a case control study enrolled in 66 HIV patients admitted to VCT clinic at Sanglah General Hospital in December 2013 until February 2014. Eligible patients categorized as case and control group, each of which included 33 patients. LANSS pain scale was applied to measure neuropathic pain in HIV patients. All data analyzed with SPSS 16.0 for Windows. Characteristic data analyzed by descriptive method. Bivariate analysis for independent and dependent variable was performed using Chi square test. Level of significance described using Odds Ratio, with significance level α = 5%. There was 27 (81,8%) HIV patient with nadir CD4 ≤ 200 who had neuropathic pain,with the most affected ones are patients ≥ 30 years old (81,8%) and mostly female (57,6%). High stage HIV (stage III and IV) patients were 90,9%, duration infected with HIV ≤ 1 years was 75,8%, duration on ARV treatment ≤ 6 months was 63,6%, and body height < 170 cm was 72,7%. In bivariate analyze, there was significant relationship between nadir CD4 ≤ 200 and incidence of neuropathic pain on HIV patients (p<0,001) with OR 7,88; CI 95% (2,53-24,47). In conclusion, nadir CD4 ≤ 200 cell/ µl was a risk factor for neropathic pain in HIV patients at Sanglah General Hospital Denpasar. Keywords : HIV, low nadir CD4, neuropathic pain
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………………………………………………………
i
PRASYARAT GELAR ………………………………………………….
ii
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………….............
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………..
iv
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….
v
ABSTRAK ……………………………………………………………….
viii
ABSTRACT ……………………………………………………………..
ix
DAFTAR ISI…………………………………………………..................
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
xiii
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………
xiv
DAFTAR TABEL………………………………………………………
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………....
xviii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...
1
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................
7
1.4.1
Manfaat ilmiah .........................................................
7
1.4.2
Manfaat praktis ........................................................
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA.......................................................................
9
2.1 Neuropati Sensorik HIV ............................................................
9
2.3.1 Definisi ...................................................................
9
2.3.2 Gambaran klinis ......................................................
10
2.3.3 Gambaran patologi .................................................
11
2.2 Patofisiologi Neuropati Sensorik HIV ......................................
13
2.2.1 Aktivasi makrofag ..................................................
13
2.2.2 Peranan gp120 ........................................................
14
2.3 Patofisiologi Nyeri pada Neuropati Sensorik HIV....................
15
2.4 Angka CD4 Sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropatik ..............
18
2.5 Penilaian Nyeri Neuropatik Pada Penderita HIV ....................
25
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS……..
27
3.1 Kerangka Berpikir......................................................................
27
3.2 Konsep .......................................................................................
29
3.3 Hipotesis Penelitian ...................................................................
30
BAB IV METODE PENELITIAN ..............................................................
31
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................
31
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................
32
4.3 Ruang Lingkup Penelitian..........................................................
32
4.4.Populasi dan Sampel Penelitian .................................................
32
4.4.1 Populasi target...........................................................
32
4.4.2 Populasi terjangkau ...................................................
32
4.4.3 Kriteria sampel ..........................................................
32
4.4.3.1 Kriteria kasus ............................................
32
4.4.3.2 Kriteria kontrol...........................................
33
4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol ............
33
4.4.4 Besar sampel .............................................................
33
4.4.5 Teknik pengambilan sampel .....................................
34
4.5 Variabel Penelitian.....................................................................
34
4.6 Definisi Operasional Variabel....................................................
34
4.7 Alat Pengumpul Data .................................................................
36
4.8 Prosedur Penelitian ....................................................................
37
4.9 Pengolahan dan Analisa Data ....................................................
38
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………..
39
5.1 Uji Normalitas……... …………………………………………..
39
5.2 Karakteristik Demografi……………………...…………………... 40
5.3 Hubungan antara CD4 nadir rendah dengan Nyeri Neuropatik pada penderita HIV……………………………………………. 43 BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………………... 44 6.1 Karakteristik Demografi…………………………………………... 44 6.2 Hubungan antara Angka CD4 nadir dengan Gangguan Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV………………………………….
49
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………
55
7.1 Simpulan…………………………………………………………. 55 7.2 Saran……………………………………………………………... 55 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
57
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………….
66
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1
Tipe Neuropati Pada Penderita HIV/AIDS ..........................
10
Gambar 2.2
Ganglion Radiks Dorsalis Pada DSP....................................
12
Gambar 2.3
Patogenesis Kerusakan Saraf Perifer oleh HIV....................
15
Gambar 2.4
Model Hipotetik Patogenesis Nyeri pada DSP.....................
18
Gambar 2.5
Jumlah CD4, Viral Load dan Perjalanan Infeksi HIV..........
20
Gambar 2.6
Jalur Ekstrisik dan Intrinsik Apoptosis Sel Limfosit CD4 ...
21
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Berpikir.....................................................
27
Gambar 3.2
Konsep Penelitian.................................................................
29
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol.......................
31
Gambar 4.2
Bagan Alur Penelitian ..........................................................
37
DAFTAR SINGKATAN
ADCC
:
Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity
AIDS
:
Acquired Immune Deficiency Syndrome
ALLRT
:
ACTG Longitudinal Linked Randomized trials
APAF
:
Apoptotic Protease Activating Factor
ARV
:
Anti Retroviral
BAX
:
BCL2 Associated X Protein
BCL-2
:
B Cell Lymphoma Protein 2
BPNS
:
Brief Peripheral Neuropathy Screening
Caspase
:
Cysteinyl Aspartic Acid Protease
CCR5
:
CC Chemokine Receptor 5
CTL
:
Cytotoxic T Lymphocyte
CXCR4
:
CXC Chemokine Receptor 4
CD4
:
Cluster of Differentiation 4
ddC
:
Zalcitabine
ddI
:
Didanosine
d4T
:
Stavudine
DNA
:
Deoxyribo Nucleic Acid
DRG
:
Dorsal Root Ganglion
DSP
:
Distal Sensory Polineuropathy
EMG
:
Electromyographi
FADD
:
Fas-Associated Death Domain
FasL
:
Fas Ligand
gp120
:
glycoprotein120
HAART
:
Highly Active Anti-retroviral Theraphy
HAD
:
HIV Associated Dementia
HAND
:
HIV-Associated Neurocognitive Disorder
HIV
:
Human Immunodeficiency Virus
HIV-SN
:
HIV Associated Sensory Neuropathy
HOPS
:
HIV Outpatient Study
IASP
:
International Association for the Study of Pain
Kca
:
Calcium-Activated Potassium
LANSS
:
Leed Assessment of Neuropathic Symptoms and Sign
MACS
:
Multicenter AIDS Cohort Study
MND
:
Mild Neurocognitive Disorder
mtDNA
:
mitochondrial DNA
Nef
:
The Negative Effector
NRTI
:
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NNRTI
:
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
PGP 9.5
:
Protein Gene Product 9.5
PTPC
:
Permeability Transition Pore Complex
PY
:
Person years
RANTES
:
Regulated on Activation, Normal T cells Expressed and Secreted
RCT
:
Randomized clinical trial
RNA
:
Ribonucleic Acid
SPNS
:
Subjective Peripheral Neuropathy Screen
SSP
:
Susunan Saraf Pusat
Tat
:
The Transactivator of Transcription
TCR
:
T Cell Receptor
3TC
:
Lamivudine
TNF-α
:
Tumor Necrosis Factor Alpha
VCT
:
Voluntary Counseling and Testing
Vpr
:
Viral protein R
WHO
:
World Health Organization
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 5.1
Uji Normalitas………………………………..
39
Tabel 5.2
Karakteristik Demografi……………………..
42
Tabel 5.3
Analisis Bivariat CD4 nadir rendah sebagai faktor risiko nyeri neuropatik……………….
43
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian .......................
66
Lampiran 2
Kuisioner Penelitian ............................................................
68
Lampiran 3
Skala Nyeri LANSS ............................................................
70
Lampiran 4
Keterangan Kelaikan Etik....................................................
73
Lampiran 5
Surat Ijin dari RSUP Sanglah ..............................................
74
Lampiran 6
Daftar sampel penelitian…………………………………..
75
Lampiran 7
Analisis SPSS 16 .................................................................
81
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) telah menjadi epidemi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Departemen Kesehatan RI melaporkan jumlah kasus acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) secara kumulatif pada 33 propinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia hingga 31 Desember 2012 sebanyak 39.434 kasus dengan 3.541 kasus di antaranya merupakan kasus baru, sedangkan sejak 1 April 1987 jumlah kasus kumulatif HIV sebanyak 92.251 dengan 15.572 kasus baru, sedangkan jumlah kematian sebanyak 7.293 kasus. Angka kumulatif kasus AIDS nasional adalah 16,59 per 100.000 penduduk dan Bali menempati urutan kedua yaitu 4,6 kali angka nasional. Untuk propinsi Bali kota Denpasar menempati urutan pertama dengan jumlah kumulatif kasus AIDS 1.292 dan HIV sebanyak 1.319 kasus (Depkes, 2012). Susunan saraf pusat (SSP) dan perifer dapat mengalami gangguan/kerusakan pada fase awal maupun lanjut akibat infeksi HIV. Konsekuensi neurologis infeksi HIV dapat dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder. Komplikasi neurologis primer mencakup dimensia pada usia dewasa, ensefalopati pada anak, mielopati yang berhubungan HIV dan polineuropati perifer distal. Kelainan sekunder disebabkan oleh infeksi oportunistik akibat imunosupresi oleh virus HIV. Komplikasi pada SSP
berupa gangguan fungsi kognitif pada penderita HIV sering terjadi (Verma dkk, 2004; Gonzales-Duarte dkk, 2006). Insiden HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) paling berat yaitu HIV-associated dementia (HAD) mengalami penurunan setelah digunakannya antiretroviral (ARV) sedangkan prevalensi gangguan neurokognitif ringan berupa Mild Neurocognitive Disorder (MND) semakin meningkat yaitu berkisar 51,5% (Robertson dkk, 2009; Ciccarelli dkk, 2010). Sedangkan HIV associated sensory neuropathy (HIV-SN), merupakan komplikasi pada sistem saraf perifer yang sering terjadi (Keswani dkk, 2002). Virus HIV terdiri dari dua tipe, HIV-1 dan HIV-2, dan infeksi pada manusia terutama adalah HIV-1. HIV-1 adalah virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984. HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat tahun 1986 (Nasronudin, 2007). Pasien dengan HIV-1 positif sering mengalami komplikasi sistem saraf, baik pusat maupun perifer yaitu sekitar 35-63%. Neuropati perifer merupakan bentuk komplikasi neurologis tersering dari infeksi HIV-1(Verma dkk, 2004; Nicholas dkk, 2007). Sekitar 30-60% infeksi HIV-1 mengalami neuropati perifer secara klinis dan bahkan pada otopsi orang yang meninggal dengan AIDS terdapat bukti kelainan saraf perifer sampai mendekati 100% (Ferrari dkk, 2006; Kamerman dkk, 2012).
Nyeri, rasa seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta hiperalgesia merupakan gambaran Distal sensory polineuropathy (DSP) tipe painful (gejala sensoris positif) sedangkan rasa tebal dan hipoalgesia merupakan gambaran DSP tipe painless (gejala sensoris negatif). DSP dapat juga terjadi bersamaan dengan bentuk gangguan neurologis terkait HIV-1 lainnya seperti mielopati dan demensia. Meski kondisi ini tidak membahayakan nyawa, tetapi secara bermakna dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Verma dkk, 2004). Patofisiologi neuropati HIV-1 belum diketahui dengan pasti.
Toksisitas
protein virus HIV-1, respon imun terhadap virus dan kerusakan mitokondria akibat pemakaian obat antiretroviral khususnya nucleoside reverse trancriptase inhibitor (NRTI) semuanya berpotensi neurotoksik. Ketiga faktor ini baik secara sendiri maupun kombinasi merupakan mediator terpenting untuk terjadinya neuropati HIV (Gonzales-Duarte dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012). Pemeriksaan penunjang neuropati antara lain adalah electromyografi (EMG), biopsi saraf suralis, punch skin biopsies yang dikatakan mudah, valid dan secara diagnosis dikatakan berguna namun bersifat invasif (Cherry dan Wesselingh, 2003). Pemeriksaan neurofisiologi rutin tidak dapat menyediakan petunjuk yang bermakna untuk diagnosis neuropati ini. Studi konduksi saraf sensorik biasanya dikerjakan untuk dapat
mengevaluasi polineuropati serabut saraf diameter besar yang
berselubung mielin, tetapi hasilnya sering normal pada small fiber neuropathy. Biopsi kulit untuk menentukan densitas serat saraf intraepidermal saat ini menjadi tes
diagnostik yang reliabel untuk pasien dengan small fiber sensory neuropathy. Penurunan densitas serabut saraf intraepidermal berhubungan dengan meningkatnya nyeri neuropatik, menurunnya angka CD4, dan peningkatan viral load plasma pada neuropati HIV (Polydefkis dkk, 2002). Alat diagnostik yang tidak bersifat invasif adalah skala nyeri Leed Assessment of Neuropathic Symptoms and Sign (LANSS) yang bermanfaat memberikan informasi pada kondisi klinis dan membantu membedakan nyeri nosiseptif dengan nyeri neuropatik berdasarkan gambaran sensorik dan pemeriksaan bedside, dan memberikan informasi yang cepat (Martinez-Lavin dkk, 2003). Skala nyeri LANSS merupakan alat untuk menilai nyeri neuropatik yang memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu 80% (Bennet, 2001). Penanda imunosupresi tingkat lanjut seperti viral load plasma HIV yang tinggi dan menurunnya limfosit cluster of differentiation 4 (CD4) yang mengenai hampir sepertiga pasien yang terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan kejadian neuropati HIV. Hal ini sering terjadi sebelum penggunaan highly active antiretroviral theraphy (HAART). Usia tua juga dapat meningkatkan risiko nyeri neuropatik (Pettersen dkk, 2006; Nakamoto dkk, 2010). Usia berbanding lurus dengan viral load yang lebih tinggi. Usia juga berhubungan dengan gangguan imun berupa penurunan angka CD4, penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap patogen (Keswani dkk, 2005). Morgello dkk. (2004) menjelaskan bahwa kejadian neuropati didapatkan lebih banyak laki-laki
dibandingkan wanita. Nyeri neuropatik juga sering terjadi pada HIV stadium lanjut. Semakin meningkatnya stadium HIV sering diikuti oleh infeksi oportunistik yang menunjukkan rendahnya kadar CD4 dan meningkatnya viral load. Nyeri neuropatik juga sering ditemukan pada penderita dengan jumlah sel CD4 yang mencapai kadar <50 sel/µl (Smyth dkk, 2007). Meningkatnya tinggi badan (p=0,001) secara independen dikaitkan dengan kejadian neuropati. Tinggi badan dengan cut offs ≥ 170 cm diprediksi dapat mengalami neuropati HIV (Cherry dkk, 2009). Penelitian yang dilakukan Imran dkk. (2005) di RSCM Jakarta terhadap 72 pasien dengan infeksi HIV-1 dengan usia antara 21-45 tahun diperoleh bukti adanya DSP secara klinis maupun elektrodiagnostik terjadi pada 20,8% pasien. Kondisi ini berhubungan signifikan dengan angka CD4 rendah (p=0,002). Penelitian mengenai hubungan antara jumlah CD4 dengan derajat DSP pada penderita HIV/AIDS dengan menggunakan Subjective Peripheral Neuropathy Screen (SPNS) dilakukan
di
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan
jejaringnya mulai bulan September sampai dengan Desember 2012. Dengan uji chisquare didapatkan hubungan yang bermakna pada jumlah CD4 terhadap derajat klinis DSP (p < 0,05), dan disimpulkan bahwa makin rendah jumlah CD4 (< 200 sel/µl) makin berat derajat klinis DSP yang dialami oleh penderita HIV/AIDS (Sompa dkk, 2012).
Perkiraan yang akurat mengenai insiden neuropati perifer yang simptomatik yang berhubungan dengan pemakaian NRTI masih terbatas, tetapi diperkirakan memiliki rentang antara 10-50% setelah 1 tahun penggunaan ARV dan lebih dari 50% setelah 2 tahun terpapar terhadap obat-obatan NRTI yang lebih neurotoksik (Kalianpur dan Hulgan, 2009). Satu studi potong lintang pasien AIDS yang menjalani rawat inap di rumah sakit umum San Fransisco pada awal tahun 1980-an menunjukkan bahwa 13 dari 37 pasien (35%) menunjukkan bukti DSP secara klinis maupun elekrofisiologis. Data insiden dari Multicenter AIDS Cohort Study (MACS) pada era sebelum penggunaan HAART memperkirakan insiden tahunan neuropati HIV sebesar 7% pada penderita dengan CD4 < 200 sel/µl. Namun seberapa rendah angka CD4 nadir sebagai faktor risiko nyeri neuropatik masih kontroversial karena Evans dkk. (2011) mendapatkan kejadian DSP simptomatik pada penderita HIV sebanyak 70,3% dengan CD4 >200 sel/µl, sedangkan Oshinaike dkk. (2012) menyatakan jumlah sel CD4 yang rendah tidak berhubungan dengan peningkatan risiko nyeri neuropatik. Lebih dari 34% anak-anak yang terinfeksi HIV-1 mengalami DSP walaupun terdapat kecenderungan tidak separah penderita dewasa (Keswani dkk, 2002; MacArthur dkk, 2005). Rekomendasi pemberian ARV pada penderita HIV dengan angka CD4 < 200 sel/µl menyebabkan terjadinya peningkatan angka CD4 current. Pemberian ARV menyebabkan peningkatan angka CD4 sehingga angka CD4 saat ini (CD4 current) kurang berguna sebagai biomarker klinis untuk menentukan status kelainan
neurologis. Angka CD4 terendah yang pernah terjadi (CD4 nadir) mungkin dapat sebagai suatu marker penting yang menunjukkan keparahan penyakit yang terjadi sebelumnya (Valcour dkk, 2006). Sampai saat ini belum didapatkan penelitian tentang hubungan antara angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl terhadap nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah, Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Apakah angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl merupakan faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV ? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat ilmiah Untuk mendapatkan data mengenai angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl
meningkatkan risiko nyeri neuropatik pada komunitas penderita HIV di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4.2
Manfaat praktis Dengan mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl sebagai faktor
risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi dini dan
penatalaksanaan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya nyeri
neuropatik dan komplikasi lebih lanjut pada penderita HIV.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Neuropati Sensorik HIV 2.1.1 Definisi Neuropati HIV merupakan komplikasi pada sistem saraf perifer dengan bentuk yang paling sering terjadi adalah DSP. DSP merupakan neuropati sensorik tipe aksonal terutama mengenai serabut saraf kecil (small fiber) dan sebagian besar ditandai oleh gejala sensorik, mencakup nyeri yang timbul bisa secara spontan ataupun provokasi dengan penyebab subakut maupun kronis yang biasanya berkembang selama stadium lanjut dari AIDS. DSP dengan gejala nyeri menjadi lebih sering ditemukan pada imunosupresi tingkat lanjut dan meningkatnya replikasi virus disamping penggunaan kombinasi dideoxynukleosida (Pardo dkk, 2001; Luciano dkk, 2003). Neuropati perifer pada HIV dapat terjadi dalam beberapa bentuk, dan dapat dibedakan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan. Selain DSP bentuk neuropati lainnya dapat berupa mononeuropati yang hanya mengenai satu ekstremitas. Mononeuropati multipel mengenai saraf secara multipel dalam bentuk yang asimetris, keterlibatan pleksus brakhialis, atau keterlibatan seluruh tubuh seperti yang terlihat pada inflammatory demyelinating polyneuropathy yang juga dikenal sebagai sindrom Guillain-Barre (Gonzales-Duarte, 2006).
Gambar 2.1. Tipe Neuropati pada Penderita HIV/AIDS (Gonzales-Duarte, 2006) 2.1.2 Gambaran klinis Gambaran klinis DSP dengan gejala sensoris positif berupa rasa nyeri. Nyeri terjadi secara bilateral dengan onset yang terjadi secara perlahan dan sering digambarkan sebagai rasa kesemutan dan sensasi seperti rasa terbakar pada ekstremitas bawah secara simetris terutama pada telapak kaki, sering memberat pada malam hari atau setelah berjalan tanpa kelemahan otot-otot yang bermakna. Pasien juga sering mengalami hiperalgesia dan alodinia (Abrams dkk, 2007). Kaki peka terhadap sentuhan, memakai sepatu terasa nyeri dan gaya berjalan menjadi antalgic. Keterlibatan ekstremitas atas mengikuti seiring bertambahnya progresifitas penyakit (distribusi sarung tangan dan kaos kaki). Pemeriksaan neurologis menunjukkan menurunnya refleks tendon khususnya ankle, menurunnya sensasi tusukan dan peningkatan ambang vibrasi ektremitas bawah. DSP merupakan diagnosis klinis,
tetapi pada pasien dengan infeksi HIV-1 stadium lanjut, penentuan densitas serabut saraf epidermal berkorelasi dengan tingkat keparahan DSP secara klinis dan elektrofisiologis (Gonzales-Duarte, 2006; Acharjee dkk, 2011; Smith, 2011). Neuropati sensorik yang secara klinis dan fenotip tidak bisa dibedakan (indistinguishable) dengan DSP dapat pula disebabkan oleh obat antiretroviral golongan NRTI. Daftar obat-obatan
yang paling sering menyebabkan neuropati
adalah sebagai berikut: Zalcitabine (ddC), Stavudine (d4T), Didanosine (ddI), dan Lamivudin (3TC). Neuropati nukleosida dapat terjadi 4-6 minggu setelah dimulainya terapi ARV (Williams dkk, 2002; Brew dan Tomlinson, 2004; Pettersen dkk, 2006) . 2.1.3 Gambaran patologi Degenerasi aksonal serabut sensorik yang length-dependent, mengenai serabut saraf yang berselubung atau tanpa selubung mielin merupakan karakteristik DSP. DSP ditandai oleh degenerasi bagian distal dari akson yang panjang. Serabut saraf kecil dan besar yang berselubung mielin, serta khususnya serabut saraf yang tidak berselubung mielin jumlahnya berkurang serta berkurangnya densitas saraf intraepidermal (Keswani dkk, 2006; Hoke dkk, 2009). Kelainan yang serupa dapat ditemukan pada diabetes dan amiloidosis dimana terutama melibatkan serabut saraf kecil dan dikelompokkan ke dalam kategori small fiber neuropathy. Biopsi Skin punch menunjukkan denervasi epidermal, gambaran khas small fiber neuropathy (Polydefkis dkk, 2002). Gambaran patologis DSP sesuai dengan tanda dying back neuropathy, dengan degenerasi traktus gracilis rostral dan distal terminal akson
perifernya. Perubahan neuropatologis yang jelas pada DSP meliputi infiltrat limfosit yang mengalami inflamasi dan makrofag yang teraktivasi, dengan pengecatan imunokimia menunjukkan adanya sitokin inflamatori seperti tumor necrosis factor (TNF-α), interferon-γ dan interleukin-6 (Keswani dkk, 2002; Mc Arthur dkk, 2005; Zhu dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012). Studi imunopatologis pada DSP telah menunjukkan adanya aktivasi makrofag yang jelas disertai
pelepasan sitokin inflamatori lokal pada daerah akson yang
mengalami degenerasi. Terjadi juga penurunan jumlah neuron pada ganglion radik dorsalis dan peningkatan jumlah nodul Nageotte. Nodul Nageotte merupakan hasil dari akumulasi sel satelit, sel Schwann, dan makrofag teraktivasi di daerah ganglion radiks dorsalis (DRG) yang mengalami proses degenerasi (Authier dan Gheradi, 2003). Gambaran patologis DSP dapat dilihat pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Ganglion Radiks Dorsalis pada DSP (McArthur dkk, 2005) Kiri: gambaran fotomikrograf menunjukkan neuron sensorik ukuran besar pada ganglion radik dorsal dan infiltrasi sel radang. Tengah: hilangnya neuron (panah) dan inflamasi. Kanan: pewarnaan CD68 menunjukkan aktivasi dan infiltrasi makrofag
2.2 Patofisiologi Neuropati Sensorik HIV 2.2.1 Aktivasi makrofag Makrofag memegang peranan penting pada patogenesis terjadinya DSP. Aktivasi makrofag sebenarnya belum diketahui pasti penyebabnya. Ada 2 hipotesis yang menjelaskan hal ini. Teori pertama menjelaskan terjadinya degenerasi aksonal distal yang ringan akibat defisiensi nutrisi, paparan alkohol, penyalahgunaan obat atau faktor nonspesifik lainnya. Kerusakan aksonal dalam bentuk degenerasi Wallerian ini akan mengakibatkan rekrutmen makrofag ke lokasi kerusakan. Pada infeksi HIV-1 ditemukan hiperaktivitas dari makrofag yang menyebabkan inflamasi multifokal di serabut saraf dan DRG. Teori kedua menyatakan monosit teraktivasi yang bersirkulasi dan sitokin proinflamatori memasuki DRG dan serabut saraf tepi dalam jumlah yang berlebihan melalui kebocoran blood-nerve barrier. Reaksi inflamasi lebih lanjut diakibatkan oleh sel-sel ini melalui pelepasan sitokin dan kemokin diikuti kerusakan aksonal dan DRG. Teori ketiga menyatakan pelepasan protein HIV-1 yang neurotoksik yaitu gp120 dan Tat memegang peranan penting untuk terjadinya degenerasi aksonal dalam bentuk dying back (Keswani dkk, 2002; 2006).
2.2.2 Peranan gp120 Glikoprotein gp120 mampu mengeksitasi neuron DRG dengan memobilisasi ion kalsium dan menurunkan ambang rangsang pembentukan potensial aksi, gp120 juga mampu menyebabkan neurotoksisitas langsung (Keswani dkk, 2003). Mekanisme neurotoksisitas langsung akan
terjadi
jika
gp120
langsung
dipaparkan pada akson (Melli dkk, 2006). Glikoprotein gp120 akan berikatan dengan reseptor kemokin aksonal yaitu CXC Chemokine
Receptor 4 (CXCR4)/ CC
Chemokine Receptor 5 (CCR5) dan menginduksi degenerasi akson (Hoke dkk, 2009). Paparan gp120 terhadap neuron memicu neurotoksisitas dengan menyebabkan kerusakan mitokondria akibat depolarisasi membran, degenerasi neural, pelepasan sitokrom C mitokondria neuronal, dan fragmentasi DNA inti yang tergantung pada caspase-3 (Wallace dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012). Mekanisme neurotoksisitas tidak langsung melibatkan sel makrofag dan sel Schwann di DRG (Melli dkk, 2006). Ikatan gp120 dengan reseptor CXCR4/CCR5 di makrofag akan membuka kanal Calcium-activated potassium (KCa), klorida, dan kalsium. Masuknya ion melalui kanal spesifik akan menginduksi sekresi produk makrofag berupa sitokin proinflamatori menyebabkan toksisitas neuron. Sedangkan interaksi gp120 terhadap CXCR4 di sel Schwann dengan menghasilkan kemokin beta dan Regulated on Activation, Normal T cells Expressed and Secreted ( RANTES). RANTES akan berikatan dengan reseptor kemokin CCR5 di neuron dan menginduksi
peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNFα). Peningkatan TNFα menghasilkan proses kematian neuron sensorik melalui apoptosis. Degenerasi aksonal secara parsial dihambat oleh inhibitor caspase dan berpotensi sebagai terapi di masa mendatang (Liu dkk, 2000; Ahr dkk, 2004; Cornblath dan Hoke, 2006; Kamerman dkk, 2012).
Gambar 2.3 Patogenesis Kerusakan Saraf Perifer oleh HIV (Kamerman dkk, 2012)
2. 3 Patofisiologi Nyeri pada Neuropati Sensorik HIV Terjadinya degenerasi traktus gracilis rostral dan akson sensorik distal menunjukkan dugaan bahwa proses patologis primer DSP terjadi pada tingkat DRG. Selain nyeri gangguan vibrasi dan numbness juga sering ditemukan. Hal ini menunjukkan berbagai populasi neuronal juga terkena. Respon inflamasi terjadi di
DRG diduga mengalami gangguan diikuti degenerasi neuronal bentuk dying back. Proses ini belum menerangkan mengapa pada DSP nyeri merupakan gambaran utama DSP (Brew dan Tomlinson, 2004). Terdapat dua teori utama yang menjelaskan mekanisme nyeri pada DSP. Teori pertama atau hipotesis perifer menduga nyeri terjadi akibat aktivitas spontan serabut C (nosiseptif/nyeri) setelah kerusakan serabut sekitarnya. Adanya gambaran makrofag yang mengalami inflamasi pada DSP diduga
akan terjadi
pelepasan
sitokin proinflamatori yang mensensitisasi serabut saraf. TNF-α di DRG meningkat pada aktivasi makrofag ini. Pada model binatang yang diberi injeksi TNF-α kedalam saraf skiatik menunjukkan sensitisasi dan menghasilkan nyeri neuropatik. Teori kedua yang disebut juga dengan hipotesis sentral menyatakan terjadi perubahan ekspresi dan fungsi kanal ion natrium dan kalsium di DRG sehingga menghasilkan respon abnormal berupa nyeri setelah kerusakan serabut saraf perifer. Remodeling sentral di kornu dorsalis dari medulla spinalis diperkirakan memainkan peranan penting dalam proses nyeri neuropatik. Beberapa penelitian pada model binatang telah menunjukkan bahwa kerusakan saraf perifer menyebabkan terjadinya serangkaian sprouting
serabut Aβ di sentral terminal dan pembentukan kontak
sinaptik baru di luar zona terminalnya ke lamina II kornu dorsalis, area yang secara normal menerima input nosiseptif dari serabut tak bermielin. Plastisitas dan organisasi serabut ini pada kornu dorsalis kemungkinan dimodulasi oleh beberapa
faktor, termasuk induksi growth factor, reseptor growth factor, dan sitokin (Keswani dkk, 2002). Temuan pada percobaan binatang juga mendapatkan hasil bahwa paparan glikoprotein gp120 pada saraf skiatik maupun injeksi intratekal dapat menginduksi nyeri. Neuron DRG mengekspresikan reseptor kemokin, termasuk CXCR4 dan CCR5, yang merupakan koreseptor penting protein membran HIV. Kemokin dan glikoprotein gp120 juga menimbulkan efek eksitatorik pada neuron nosiseptor DRG dan memicu pelepasan substansi P. Kemokin dan gp120 juga menyebabkan allodinia setelah disuntikkan pada model binatang tikus. Hasil ini menyediakan bukti bahwa kemokin dan gp120 dapat menimbulkan efek nyeri melalui aksi langsung pada reseptor kemokin yang diekspresikan oleh neuron nosiseptif (Oh dkk, 2001). Makrofag yang terinfeksi HIV banyak terdapat pada DRG pasien dengan DSP. Sel ini mampu mempertahankan paparan gp120 dalam bentuk partikel solubel maupun virion lengkap karena berperan sebagai reservoir pada infeksi HIV, sehingga selama infeksi HIV berlangsung, gp120 dalam kadar yang signifikan akan ditemukan pada DRG (Keswani dkk, 2005).
Gambar 2.4 Model Hipotetik Patogenesis Nyeri pada DSP (McArthur dkk, 2005). Kerusakan serabut saraf perifer akibat inflamasi multifokal dan produk sekresi makrofag teraktivasi menimbulkan aktivitas spontan serabut nosiseptif (sensitisasi perifer). Respon inflamasi yang menyimpang di DRG mengakibatkan perubahan kanal natrium dan kalsium menyebabkan impuls ektopik. Remodeling sentral di kornu dorsalis akibat sprouting serabut A dan pembentukan sinaptik dengan serabut penghantar nyeri di lamina II, yang mempertahankan nyeri neuropatik (sensitisasi sentral) (McArthur dkk, 2005). 2.4 Angka CD4 Sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropatik CD4 merupakan bagian dari limfosit T yang disebut juga sel T helper. Konsensus internasional mengelompokkan antibodi dalam berbagai cluster of differentiation (CD) sesuai dengan antigen permukaan yang dideteksi. Limfosit CD4
merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Virus mengalami replikasi dan meninggalkan CD4 yang hancur, selanjutnya mencari dan menginfeksi CD4 yang baru sehingga jumlah CD4 dalam tubuh semakin rendah. Jumlah CD4 normal berkisar antara 500-1500 sel/µl (> 29% limfosit total) dan CD4 < 200 sel/µl (<14%) berisiko untuk mendapatkan infeksi oportunistik (Kresno, 2001). Angka CD4 akan menurun sejalan dengan perkembangan penyakit AIDS. Hal ini menandakan perkembangan penyakit dan memburuknya kemampuan sistem imun. Sejak fase awal infeksi HIV, sel limfosit T CD4 telah menjadi target utama infeksi dan efek sitopatik langsung HIV akan menghancurkan sel limfosit CD4. Penurunan jumlah sel limfosit CD4 merupakan marker imunologis yang berarti bertambahnya imunodefisiensi. Sejalan dengan itu viral load yang ditandai dengan meningkatnya titer HIV-RNA menunjukkan proses penyakit yang semakin parah, termasuk reaksi inflamasi dan imunologis. Berbagai mediator inflamasi yang dilepaskan selama infeksi HIV seperti IL-1β, IL-2, TNF-α dan IFN-∂, sehingga kadarnya meningkat dalam darah serta berpengaruh terhadap peningkatan kadar ROS yang dapat merusak merusak sistem saraf, baik pusat maupun perifer. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa angka CD4 yang rendah, viral load plasma HIV-1 yang tinggi, penyakit stadium lanjut dan bertambahnya usia berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DSP. Berkurangnya angka CD4 juga dapat meningkatkan risiko DSP simtomatik. (Schifitto dkk, 2002; Simpson dkk, 2006; Nasronudin, 2007).
Gambar 2.5 Jumlah CD4, Viral Load dan Perjalanan Infeksi HIV (Depkes, 2009) Penurunan jumlah limfosit CD4 bisa juga proses apoptosis. Proses apoptosis limfosit T CD4 terjadi melalui 3 jalur yaitu pertama melalui jalur ekstrinsik (death receptor mediated pathway), kedua jalur intrinsik (mitochondria mediated pathway) dan ketiga melalui sitolisis oleh sel killer dan antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) (Ahr dkk, 2004; Nasronudin, 2007). Protein utama virus HIV yang mempengaruhi kematian sel adalah the envelope glycoprotein 120 (gp120), the negative effector (Nef), the transactivator of transcription (Tat), dan viral protein R (Vpr). Pada jalur ekstrinsik HIV menggunakan CD4 pada permukaan sel T serta CCR5 dan CXCR4 sebagai ko-reseptor untuk masuknya virus dan meningkatkan Fasligand (FASL) pada sel ini. Protein nef yang terlarut berinteraksi langsung dengan CXCR4 untuk menginduksi apoptosis. Protein nef eksogen secara langsung menstimuli komplek TCR-CD3 dan meningkatkan ekspresi FAS/FASL pada
permukaan sel serta menghambat protein anti apoptosis famili Bcl-2. Seperti halnya protein endogen nef, Tat meningkatkan jalur FAS/FASL dan secara langsung mengaktivasi caspase 8. Pada jalur intrinsik, Tat dan vpr menghambat famili BCL-2 serta meningkatkan terjadinya disfungsi mitokondria dan pengeluaran sitokrom C yang menyebabkan terbentuknya formasi apoptosome. Vpr juga menyebabkan tertahannya siklus sel pada fase G2 (Fevrier, 2011).
Gambar 2.6 Jalur Ekstrinsik dan Intriksik Apoptosis Sel Limfosit CD4 (Fevrier, 2011). TCR: T cell receptor; CTL: cytotoxic T lymphocyte; FasL: Fas Ligand; FADD: Fas-associated Death Domain; Caspase: cysteinyl aspartic acid protease; BCL-2: B cell lymphoma protein 2; BCL-X: BCL-2 like1; BAX: BCL2 associated X protein; APAF: Apoptotic protease activating factor; PTPC: Permeability transition pore complex
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan melalui stadium klinis menurut Word Health Organization (WHO). Stadium klinis I dapat berupa asimptomatis atau limfadenopati persistent generalisata. Stadium klinis II dapat berupa penurunan berat badan < 10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi mukokutaneus minor, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir dan infeksi berulang pada saluran pernafasan atas. Stadium klinis III dapat berupa penurunan berat badan > 10%, diare kronis > 1 bulan, demam dengan penyebab tidak jelas > 1 bulan, kandidiasis oris dan infeksi bakterial berat. Stadium klinis IV berupa HIV wasting syndrome, ensefalitis toksoplasmosis dan berbagai penyakit akibat infeksi oprtunistik lainnya. Berkurangnya angka CD4 terjadi pada HIV stadium lanjut dan terjadi berbagai infeksi oportunistik seperti pneumonia pneumokistik karinii, infeksi sitomegalovirus, infeksi virus herpes serta berbagai jenis malignansi termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma Kaposi (Nasronudin, 2007). Pada era sebelum HAART kondisi nyeri neuropatik semakin meningkat dan sering didapatkan bersamaan dengan adanya infeksi Mycobacterium avium complex yang secara khas sering terjadi pada infeksi stadium lanjut dengan angka CD4 mencapai <50 sel/µl (Symth, 2007). Pemakaian HAART menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penderita HIV dengan usia lebih tua akibat bertambahnya survival. Usia tua berhubungan dengan proses perburukan yang cepat menuju stadium AIDS baik pada penderita tanpa HAART maupun pemakai HAART. Oleh Karena itu pemakaian HAART dengan kadar CD4 lebih tinggi tampaknya lebih bermanfaat pada penderita HIV usia tua dibandingkan dengan usia yang lebih muda (Li dkk, 2011). Tinggi badan secara
biologis merupakan faktor predisposisi terjadinya neuropati pada HIV. Tinggi badan juga dilaporkan mempengaruhi berbagai neuropati lainnya. Saraf sensorik perifer memerlukan dukungan energi tinggi yang tergantung pada proses transport aktif senyawa penting yang turun dari DRG. Hal ini mungkin sangat rentan bagi individu dengan tinggi badan yang lebih tinggi (Cherry dkk, 2009). Pada analisis regresi logistik, faktor non obat yang secara signifikan merupakan faktor resiko terjadinya DSP adalah usia lebih dari 40 tahun (adjusted odds ratio [aOR], 1.17), diabetes mellitus (aOR, 1.79), ras kulit putih (aOR, 1.33), jumlah sel limfosit CD4 nadir < 50 sel/µl pada saat pertama pengukuran (aOR, 1.64), jumlah sel limfosit CD4 50-199 sel/µl (aOR, 1.40) dan viral load > 10.000 copies/µl pada saat pertama pengukuran (aOR, 1.44). Walaupun penggunaan awal didanosine, stavudine (40 mg b.i.d), nevirapine, atau 4 protesae inhibitor dihubungkan dengan terjadinya DSP (OR untuk keempat pengobatan 1.41), kekuatan hubungan menurun seiring dengan berlanjutnya pemakaian obat (Lichtenstein dkk, 2005; Cornblath dan Hoke, 2006). Usia juga berhubungan dengan gangguan imun berupa penurunan angka CD4, penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap patogen. Kondisi perancu dapat berupa defisiensi makro dan mikronutrisi, penggunaan vitamin B6 berlebihan, neuropati sensorimotor herediter, neuropati jebakan (karpal, kubital, dan tarsal), penggunaan alkohol kronik dan uremia juga merupakan faktor risiko DSP. Studi kohort menunjukkan bahwa peningkatan kadar
trigliserida (odds ratio = 1.4, p = 0.01) dan diabetes mellitus tipe 2 (odds ratio = 1.4, p = 0.01) merupakan faktor risiko terjadinya DSP (Keswani dkk, 2005; Ances dkk, 2009; Banerjee dkk, 2011). Moore dkk. (2000) sebelumnya melaporkan bahwa risiko DSP meningkat pada pemakaian gabungan obat antiretroviral dibanding penggunaan obat tunggal. Penggunaan antiretroviral golongan NRTI terutama stavudin dan didanosin dianggap meningkatkan kejadian DSP (Smyth dkk, 2007). Delta trial untuk mengetahui insiden neuropati perifer pada pemberian zidovudin sendiri atau kombinasi dengan didanosine atau zalcitabine menunjukkan bahwa penderita dengan CD4 < 150 sel/µl memiliki resiko relatif untuk terjadinya neuropati perifer sebesar 2.27 jika dibandingkan dengan CD4 ≥ 350 ( 95% CI 1.553.44) dan penderita yang berusia 35 tahun atau lebih memiliki resiko 2 kali lipat untuk terjadinya DSP. Sedangkan untuk jenis kelamin tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0.57) (Arenas-Pinto dkk, 2008). Stavudine (d4T) dapat mengakibatkan neuropati sensorik yang dose limiting dan berhubungan dengan dosis serta durasi penggunaan d4T. Dosis tinggi d4T berhubungan dengan neuropati pada lebih dari 70% pasien, dengan risiko tinggi pada pasien yang mengalami imunosupresi. Penghentian d4T menyebabkan gejala neuropati membaik (Cherry dan Wesselingh, 2003).
2.5 Penilaian Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV Pemeriksaan elektrofisiologi mungkin menunjukkan polineuropati sensorik tipe aksonal yang length dependent, tetapi pada fase awal penyakit sering menunjukkan temuan normal pada sekitar 20% kasus. Terdapat penurunan amplitudo potensial aksi motorik dan sensorik dengan kecepatan hantar saraf normal atau sedikit menurun, sedangkan EMG menunjukkan berkurangnya rekrutmen dengan komponen signifikan potensial polifasik selama kontraksi volunter maksimal pada otot kaki distal. Temuan pemeriksaan elektrofisiologi ini sesuai dengan DSP terutama akibat kerusakan fungsi sensorik tipe aksonal (Brew dan Tomlinson, 2004; McArthur dkk, 2005; Keswani dkk, 2005). Pemeriksaan biopsi kulit dengan teknik Punch Skin Biopsies telah menjadi alat yang berguna untuk mengevaluasi kejadian neuropati pada HIV. Pertama kali digunakan oleh Bolton dan Dyck untuk mengevaluasi neuropati sensorik. Pengenalan terkini analisis serabut saraf intraepidermal adalah dengan menggunakan tehknik imunohistokimia dan memakai penanda protein gene product 9.5 (PGP 9.5) yang merupakan suatu ubiquitin hidrolase neuronal. Studi ini memungkinkan untuk memeriksa epidermis yang di persarafi oleh serabut saraf kaliber kecil C dan serabut saraf A∂ (Pardo dkk, 2001). Prediksi positif biopsi kulit untuk mendiagnosis small fiber neuropathy diperkirakan mempunyai nilai spesifisitas antara 93% sampai 97% dan sensitivitas antara 69% sampai 82% Biopsi saraf suralis telah lama digunakan sebagai diagnosis histopatologis pada sebagian besar kasus neuropati perifer tetapi
memiliki keterbatasan. Hal ini merupakan prosedur yang invasif dan memiliki resiko yang potensial seperti nyeri dan hilangnya sensorik bagian distal tempat biopsi (Lauria dan Lombardi, 2007). LANSS merupakan suatu alat yang digunakan untuk menilai ada/tidaknya nyeri neuropatik pada penderita dan tidak bersifat invasif. Pada penelitian ini digunakan skala nyeri LANSS untuk memeriksa pasien HIV yang mengalami DSP yang mengalami nyeri neuropatik. LANSS terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item pemeriksaan disfungsi sensoris. Pada skala nyeri LANSS skor 12 atau lebih diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan skor dibawah 12 diklasifikasikan sebagai nyeri nosiseptik (Bennet, 2001; Martinez-Lavin dkk, 2003). LANSS sudah dilakukan tes realibilitas di Indonesia dan dinyatakan reliabel/dapat dipercaya dengan kappa coefficient agreement adalah 0.76 (Widyadharma dkk, 2008). Instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk menilai nyeri neuropatik adalah Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ) dengan sensitifitas 66% dan spesifitas 74%, Douleur Neuropathique en 4 questions (DN4) dengan sensitifitas 83% dan spesifitas 90% dan painDETECT dengan sensitifitas 85% dan spesifitas 80% namun belum dilakukan uji reliabilitas di Indonesia (Bennett dkk, 2007).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir
Infeksi HIV primer Respon Imun Penurunan limfosit CD4
Peningkatan viral load Protein virus Gp120 dan Tat pada saraf perifer
Neurotoksisitas langsung (Protein virus)
Neurotoksisitas tidak langsung (Neuroinflamasi)
Sel Akson Neuronal
Makrofag dan Sel Schwan perineuronal
Sindrom Metabolik - Diabetes Mellitus tipe 2 - Hipertrigliseridemia
Degenerasi Akson Neuronal dan DRG
Nyeri neuropatik
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir
Sitokin proinflamatori TNF-α, IL-1β,
Infeksi HIV primer ditandai dengan sejumlah efek pada sistem imun host. Terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4 dan peningkatan viral load. CD4 yang rendah mencerminkan tingginya viral load serta rendahnya sistem imun penderita HIV. Pelepasan protein viral HIV-1 yang neurotoksik (gp120 dan Tat) memegang peranan penting untuk terjadinya degenerasi aksonal saraf perifer dalam bentuk dying back, dan gp120 mampu menyebabkan neurotoksisitas langsung. Kerusakan saraf inisial diperkirakan akibat induksi dari gp120 yang berikatan dengan mielin. Pada infeksi HIV-1 juga ditemukan
hiperaktivitas dari makrofag yang
menyebabkan inflamasi multifokal di serabut saraf dan DRG. Kerusakan aksonal dalam bentuk degenerasi Wallerian ini akan mengakibatkan rekrutmen makrofag ke lokasi kerusakan. Mekanisme neurotoksisitas tidak langsung terutama melalui aktivasi reseptor kemokin di makrofag dan sel Schwan perineuronal. Ikatan gp120 dengan reseptor CXCR4 di makrofag akan membuka kanal Calcium-activated potassium (KCa), klorida, dan kalsium. Masuknya ion melalui kanal spesifik akan menginduksi sekresi produk makrofag berupa sitokin proinflamasi memasuki DRG dan serabut saraf tepi dalam jumlah yang berlebihan melalui kebocoran blood-nerve barrier dan menyebabkan toksisitas neuron. Risiko nyeri neuropatik meningkat pada diabetes mellitus tipe 2 dan hipertrigliseridemia. Keduanya meningkatkan resiko nyeri neuropatik pada populasi dengan HIV walaupun mekanismenya belum jelas.
3.2 Konsep
Penderita HIV
Hipertrigliseridemia Diabetes mellitus Neuropati jebakan Penggunaan alkohol Uremia
Angka CD4 Nadir Rendah ≤ 200 sel/µl
Stadium HIV Lama pengobatan ARV
Nyeri neuropatik
Gambar 3.2 Konsep Penelitian Keterangan: = ditampilkan sebagai karakteristik sampel = dikendalikan pada tahap rancangan penelitian = variabel yang akan diteliti
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian sebagai berikut: 1. Nyeri neuropatik dapat terjadi pada penderita HIV. Perlu diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi nyeri neuropatik pada penderita HIV. Angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl merupakan faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV. 2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya nyeri neuropatik pada penderita HIV, antara lain stadium HIV dan lama pengobatan ARV yang selanjutnya ditampilkan sebagai karakteristik sampel. Faktor risiko lainnya yaitu hipertrigliseridemia , diabetes mellitus, neuropati jebakan, penggunaan alkohol, dan uremia dikendalikan pada tahap rancangan penelitian.
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: Angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl meningkatkan risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah 200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV.
CD4 nadir ≤ 200 sel/µl Nyeri Neuropatik (+) (Kasus) CD4 nadir > 200 sel/µl HIV (+) CD4 nadir ≤ 200 sel/µl Nyeri Neuropatik (-) (Kontrol) CD4 nadir > 200 sel/µl
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
≤
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di poliklinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) RSUP Sanglah. Waktu penelitian dimulai dari bulan Nopember 2013 sampai Januari 2014. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk ruang lingkup faktor risiko 4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1
Populasi target Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita HIV.
4.4.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita HIV positif yang menjalani pengobatan di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar periode Nopember 2013 – Januari 2014. 4.4.3 Kriteria sampel Semua penderita HIV positif yang menjalani pengobatan di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.4.3.1 Kriteria kasus Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Penderita HIV positif dengan nyeri neuropatik. 2. Penderita berusia 18-40 tahun. 3. Penderita memiliki angka CD4 nadir. 4. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent).
4.4.3.2 Kriteria kontrol 1. Penderita HIV positif tanpa nyeri neuropatik. 2. Penderita berusia 18-40 tahun. 3. Penderita memiliki angka CD4 nadir. 4. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent). 4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol Kriteria eksklusi penelitian ini adalah: 1. Penderita sedang dalam pengobatan ARV > 12 bulan. 2. Penderita dengan penurunan kesadaran. 3. Memiliki
faktor
risiko
nyeri
neuropatik
seperti:
diabetes
hipertrigliseridemia, neuropati jebakan, penggunaan alkohol, uremia. 4. Tidak mampu melakukan fungsi sehari-hari secara independen. 4.4.4 Besar sampel Besar sampel (n) ditetapkan berdasarkan rumus (Dahlan, 2009) : n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)² (P1-P2)² α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96 : kesalahan tipe II, ditetapkan 80% sehingga Z = 0,842 P : proporsi total = ½ (P1+P2) P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
mellitus,
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti Q1 : 1- P1
Q2 : 1- P2
Proporsi nyeri neuropatik pada penderita HIV dengan angka CD4 rendah adalah 0,2 (Imran dkk, 2005). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 = 33. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 33 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 66 orang. 4.4.5 Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random jenis consecutive yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. 4.5 Variabel Penelitian Variabel tergantung adalah nyeri neuropatik. Variabel bebas adalah angka CD4 nadir rendah Variabel pengganggu adalah stadium HIV dan lama pengobatan ARV 4.6 Definisi operasional variabel 1.
HIV (+) adalah penderita dengan gejala klinis infeksi HIV dan hasil pemeriksaan serologis HIV menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan HIV dilakukan dengan rapid test dan penderita dinyatakan HIV (+) bila didapatkan hasil reaktif pada pemeriksaan rapid test tersebut (Depkes, 2009).
2.
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang ditimbulkan atau disebabkan oleh lesi atau gangguan primer pada susunan saraf (Konsensus Nasional 1 Pokdi Nyeri
PERDOSSI, 2011). Adanya nyeri neuropatik menggunakan skala nyeri LANSS. Terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item pemeriksaan disfungsi sensoris. Skor 12 atau lebih diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan skor dibawah 12 diklasifikasikan sebagai nyeri nosiseptik (Martinez-Lavin dkk, 2003). Data menggunakan skala nominal (dikotom). 3.
Angka CD4 adalah jumlah sel CD4 dalam tiap mikroliter serum darah penderita HIV (Depkes, 2009). Pemeriksaan angka CD4 dilakukan di laboratorium RSUP Sanglah Denpasar menggunakan reagen BD FACS count reagen kit dengan alat BD FACS count.
4.
Angka CD4 nadir adalah angka CD4 paling rendah yang pernah dicapai oleh penderita HIV. Angka CD4 nadir dibagi menjadi 2 kelompok yaitu < 200 sel/µl dan > 200 sel/µl (Lichtenstein dkk, 2005). Angka CD4 nadir rendah bila pada pemeriksaan angka CD4 didapatkan angka CD4 nadir < 200 sel/µl dan angka CD4 nadir tinggi bila pada pemeriksaan angka CD4 didapatkan angka CD4 nadir > 200 sel/µl. Data menggunakan skala nominal (dikotom).
5.
Umur ditentukan berdasarkan tanggal lahir yang tertera pada KTP, dibagi dalam 2 kelompok yaitu < 30 tahun dan > 30 tahun (Arenas-Pinto dkk, 2008). Data menggunakan skala nominal (dikotom).
6.
Stadium HIV ditentukan berdasarkan stadium yang ditetapkan oleh WHO, yaitu (1) stadium 1, (2) stadium 2, (3) stadium 3, dan (4) stadium 4 dan dibedakan menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu stadium rendah (stadium 1 dan 2) dan stadium tinggi (stadium 3 dan 4) (Depkes, 2009).
7.
Lama pengobatan ARV adalah waktu sejak penderita mulai meminum obat ARV, dibedakan menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu < 6 bulan dan 7 bulan - 12 bulan (Forna, 2007).
8.
Tinggi badan ditentukan dengan melakukan pengukuran memakai alat ukur dibagi dalam 2 kelompok menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu ≥ 170 cm dan < 170 cm (Cherry dkk, 2009).
9.
Penyakit seperti hipertrigliseridemia, diabetes mellitus, neuropati jebakan, penggunaan
alkohol
dan
uremia
ditentukan
berdasarkan
anamnesis,
heteroanamnesis dan catatan medis. 4.7 Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data berupa formulir pengumpulan data yang memuat tentang karakteristik sampel dan pemeriksaan gangguan nyeri neuropatik berupa skala nyeri LANSS. a. Karakteristik penderita ditelusuri dari catatan medik. b. Pemeriksaan gangguan nyeri neuropatik dengan tes , antara lain : 1. Skala Nyeri LANSS. Terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item pemeriksaan disfungsi sensoris. Uji reliabilitas dilakukan oleh Widyadharma dkk untuk mengetahui nyeri neuropatik pada pasien NIDDM. Skala nyeri LANSS
dalam bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai instrumen
pemeriksaan yang reliabel/dapat dipercaya dengan
kappa coefficient
agreement adalah 0.76 (Widyadharma dkk, 2008). Dibedakan menggunakan skala nominal (dikotomi) : ya / tidak.
4.8 Prosedur Penelitian Penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner. Data yang diperoleh ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian. Populasi target: penderita HIV Populasi terjangkau: penderita HIV yang rawat jalan di poliklinik VCT RSUP Sanglah
Kriteria inklusi dan eksklusi eksklusi Skala Nyeri LANSS Nyeri Neuropatik (+)
CD4 nadir ≤ 200
CD4 nadir > 200
Nyeri Neuropatik (-)
CD4 nadir ≤ 200
Analisis Data
Laporan Hasil
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
CD4 nadir > 200
4.9 Pengolahan dan Analisis Data Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif untuk mengetahui frekuensi dan persentase karakteristik pada kelompok kasus dan kontrol. 2. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dengan confidence interval (CI) 95%. Seluruh data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Normalitas Uji normalitas terhadap variabel penelitian dilakukan sebelum uji statistik untuk mengetahui distribusi variabel penelitian. Sampel pada penelitian ini berjumlah lebih dari 50 orang, maka uji normalitas yang dipergunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Dahlan, 2009). Didapatkan hasil bahwa karakteristik yang berdistribusi normal adalah tinggi badan (p=0,058) dan yang tidak berdistribusi normal adalah umur (p=0,005), lama pengobatan HIV (p=0,002), angka CD4 nadir (p=0,002) dan stadium HIV (p=0,000)(Tabel 5.1). Hal ini disebabkan karena sampel menggunakan variabel katagorik sehingga walaupun distribusi sampel pada penelitian ini tidak normal, uji hipotesis yang digunakan adalah Chi-square (komparatif tidak berpasangan dengan variabel katagorik)(Dahlan, 2009). Tabel 5.1 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Umur subyek penelitian
.134
66
.005
.939
66
.003
Lama pengobatan HIV
.143
66
.002
.920
66
.000
Tinggi badan subyek
.107
66
.058
.962
66
.041
Angka CD 4 Nadir
.143
66
.002
.912
66
.000
Stadium HIV WHO
.388
66
.000
.669
66
.000
5.2 Karakteristik Demografi Penelitian ini dilakukan terhadap 66 orang penderita HIV yang menjalani rawat jalan di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dari bulan November 2013 sampai dengan Januari 2014. Subyek yang mengalami nyeri neuropatik dikelompokkan sebagai kasus dan subyek tanpa nyeri neuropatik sebagai kontrol masing-masing sebanyak 33 orang. Karakteristik demografi subyek penelitian disajikan pada tabel 5.2. Pada kelompok umur, persentase subyek penelitian yang memiliki umur ≥ 30 tahun lebih banyak yaitu 81,8%, sedangkan pada kelompok kontrol persentase subyek penelitian yang memiliki umur ≥ 30 tahun sebanyak 75,8%. Subyek penelitian pada kelompok kasus lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 57,6% dan jumlah yang sama didapatkan pada kelompok kontrol. Sebagian besar subyek penelitian berstatus menikah yaitu pada kelompok kasus 78,8% dan pada kelompok kontrol 60,6%. Seluruh subyek menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi dengan persentase paling banyak berpendidikan SMA yaitu 51,5% pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Latar belakang pekerjaan yang dimiliki subyek penelitian beranekaragam mulai dari PNS sampai ibu rumah tangga dimana persentase yang terbanyak untuk kelompok kasus adalah lain- lain (ibu rumah tangga, polisi, dan tidak bekerja dengan nilai total sebanyak 36,4% sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebagai pegawai swasta (42,4%). Faktor risiko penularan paling banyak adalah
mereka yang memiliki pasangan
heteroseksual yaitu 51,5% pada kelompok kasus dan 48,5% pada kelompok kontrol. Pada lama menderita HIV secara karakteristik didapatkan hasil yang hampir sama. Persentase
jumlah subyek penelitian yang menderita HIV ≤ 1tahun yaitu 75,8% sedangkan pada kelompok kontrol subyek yang menderita HIV ≤ 1 tahun 72,7%. Sebagian besar subyek penelitian pada kelompok kasus ditemukan pada stadium tinggi (stadium III dan IV)
yaitu 90,9% sedangkan
HIV
pada kelompok kontrol
ditemukan juga pada HIV stadium tinggi (stadium III dan IV) yaitu 54,5%. Pada kelompok kasus jumlah subyek yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 87,9% sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 90,9 %. Pada kelompok kasus sebagian besar subyek mendapat terapi ≤ 6 bulan yaitu sebanyak 63,6%. Begitu juga pada kelompok kontrol sebagian besar subyek mendapat terapi ARV ≤ 6 bulan yaitu sebanyak 66,7% . Pada kelompok kasus lebih banyak didapatkan tinggi badan < 170 cm yaitu sebanyak 72,7%, demikian juga halnya pada kelompok kontrol yaitu 78,8%.
Tabel 5.2 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian
Karakteristik
Umur (tahun) < 30 th ≥ 30 th Jenis Kelamin Laki Perempuan Status pernikahan Menikah Tidak menikah Pendidikan SD SMP SMA Diploma/PT Pekerjaan PNS Swasta Wiraswasta Buruh/Tani Lain-lain Cara penularan IDU Heteroseksual Homoseksual Pasangan heteroseksual Biseksual Stadium HIV WHO Stadium rendah (I & II) Stadium tinggi (III & IV Lama menderita (tahun) ≤ 1th > 1 th Terapi ARV Ya Tidak Lama Terapi ARV (bulan) ≤ 6 bulan 7- 12 bulan Tinggi badan (cm) ≥ 170 < 170
Kasus (n=33)
Kontrol (n=33)
6 (18,2%) 27 (81,8%)
8 (24,2%) 25 (75,8%)
14 (42,4%) 19 (57,6%)
14 (42,4%) 19 (57,6%)
26 (78,8%) 7 (21,2%)
20 (60,6%) 13 (39,4%)
6 (18,2%) 6 (18,2%) 17 (51,5%) 4 (12,1%)
5 (15,2%) 7 (21,2%) 17 (51,5%) 4 (12,1%)
2 (6,1%) 7 (21,2%) 10 (30,3%) 2 (6,1%) 12 (36,4%)
0 14 (42,4%) 6 (18,2%) 2 (6,1%) 11 (33,3%)
0 14 (42,4%) 2 (6,1%) 17 (51,5%) 0
1 (3,0%) 12 (36,4%) 2 (6,1%) 16 (48,5%) 2 (6,1%)
3 (9,1%) 30 (90,9%)
15 (45,5%) 18 (54,5%)
25 (75,8%) 8 (24,2%)
24 (72,7%) 9 (27,3%)
29 (87,9%) 4 (12,1%)
30 (90,9%) 3 (9,1%)
21 (63,6%) 12 (36,4%)
22 (66,7%) 11 (33,3%)
9 (27,3%) 24 (72,7%)
7 (21,2%) 26 (78,8%)
p
0,004
0,609
5.3 Hubungan antara CD4 nadir rendah dengan Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV Hubungan antara CD4 nadir rendah sebagai variabel bebas dengan nyeri neuropatik sebagai variabel tergantung dinilai dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis untuk variabel tergantung berskala katagorikal dan variabel bebas berskala pengukuran katagorikal yang tidak berpasangan digunakan uji Chi-Square. Didapatkan nilai Odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) < 0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Analisis Bivariat CD4 nadir rendah sebagai Faktor risiko Nyeri Neuropatik
CD4 nadir rendah
≤ 200 > 200
Kasus n (%) 27 (81,8%) 6 (18,2%)
Kontrol n (%) 12 (36,4%) 21 (63,6%)
OR IK 95% 7,88 (2,53-24,47)
p <0,001*
*bermakna secara statistik Penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 sel/µl yang mengalami nyeri neuropatik didapatkan sebanyak 27 orang (81,8%) dan tidak nyeri neuropatik sebanyak 12 orang (36,4%) dengan OR 7,88; IK 95% (2,53-24,47). Terdapat hubungan bermakna antara CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl dengan nyeri neuropatik pada penderita HIV (p<0,001).
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Demografi Penderita HIV yang mengalami gangguan nyeri neuropatik pada penelitian ini terbanyak berumur ≥ 30 tahun (81,8%). Karakteristik subyek pada penelitian yang dilakukan Evans dkk. (2011) terhadap 116 penderita HIV berusia 18-60 tahun didapatkan bahwa gangguan nyeri neuropatik terbanyak pada umur lebih dari 30 tahun yaitu sebesar 86%. Hasil yang sama didapatkan pada penelitian Giubellan dkk. (2014) yaitu kejadian nyeri neuropatik pada penderita HIV mempunyai rerata umur adalah 31,54 tahun dengan simpang baku 14,64, sedangkan Konchalard dkk. (2007) mendapatkan rerata 38,7 tahun dengan simpangan baku 8,8. Jumlah penderita HIV dengan usia lebih tua semakin banyak akibat pemakaian HAART dan bertambahnya survival. Usia berbanding lurus dengan viral load yang lebih tinggi, penurunan angka CD4, penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap patogen (Keswani dkk, 2005). Individu usia 50 tahun atau lebih juga terjadi peningkatan frekuensi DSP simtomatik yang signifikan dibandingkan usia lebih muda terutama berhubungan dengan hilangnya sensasi vibrasi dan meningkatnya keparahan gangguan sensasi tusukan (Watters dkk, 2004). Pada penelitian ini diperoleh subyek yang mengalami gangguan nyeri neuropatik terbanyak adalah perempuan (57,6%) dengan perbandingan 1,4:1. Penelitian lain juga menemukan nyeri neuropatik lebih banyak pada perempuan dengan perbandingan 10:7 (Konchalard dkk, 2007). Temuan berbeda ditemukan pada laporan Depkes bahwa sampai dengan 31 Desember 2009 penderita HIV lebih banyak laki-laki dibanding perempuan
dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Demikian juga halnya Morgello dkk. (2004) menemukan bahwa nyeri neuropatik lebih tinggi pada laki yaitu 58%. Sebagian besar subjek penelitian yang mengalami gangguan nyeri neuropatik terinfeksi HIV melalui hubungan seksual dengan pasangannya (pasangan heteroseksual) yaitu sebanyak 51,5%, sedangkan data Depkes sampai 31 Desember 2009 melaporkan bahwa cara penularan kasus AIDS paling banyak terjadi secara heteroseksual (50,3%). Lebih besarnya jumlah subyek perempuan dibandingkan laki-laki pada penelitian ini karena selama periode Nopember-Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 sebagian besar penderita HIV yang berkunjung ke poli VCT RSUP Sanglah yang mengalami nyeri neuropatik berjenis kelamin perempuan dengan status sudah menikah. Penyakit HIV ini ditularkan melalui hubungan seksual oleh suaminya dan beberapa pasien juga melaporkan suaminya yang telah meninggal karena komplikasi penyakit HIV-AIDS yang dideritanya. Sebagian besar subyek penelitian yang nyeri neuropatik ditemukan pada stadium HIV tinggi (stadium III dan IV) yaitu 90,9%. Nyeri neuropatik lebih sering terjadi pada HIV stadium lanjut. Pada stadium lanjut sering terjadi infeksi oportunistik dan daya tahan tubuh yang rendah akibat tingginya viral load dan rendahnya sel CD4 (Smyth dkk, 2007). Menurut Ferrari dkk. (2006) DSP ini dapat juga terjadi pada setiap stadium dari HIV/AIDS tergantung rendahnya sel CD4, dan > 90% mengalami nyeri neuropatik seperti dikemukakan Ballantyne dkk, (2010) pada jurnal International Association for the Study of Pain (IASP). Hubungan antara nyeri neuropatik dengan HIV stadium lanjut konsisten dengan data in vitro dan in vivo yang menunjukkan kerusakan langsung maupun tidak langsung serabut saraf tepi dan ganglion radik dorsal oleh protein virus HIV yang dimurnikan dan model percobaan infeksi HIV pada binatang kucing dan kera (Kamerman dkk, 2012). Hipotesis lainnya juga menduga
bahwa defisiensi nutrisi, alkohol,
zat toksik lainnya atau akibat HIV itu sendiri dapat
menyebabkan kerusakan aksonal dan menarik makrofag yang hiperaktif. Sitokin yang dikeluarkan oleh sel ini lebih bersifat toksik terhadap sel saraf (Lichtenstein dkk, 2005 ). Prosentase jumlah subyek penelitian yang menderita HIV ≤ 1tahun yaitu 75,8% sedangkan pada kelompok kontrol subyek yang menderita HIV ≤ 1 tahun 72,7%. Pada kelompok kasus jumlah subyek yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 87,9% sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 90,9 % dan sebagian besar subyek mendapat terapi ARV ≤ 6 bulan namun tidak satupun pasien menggunakan obat stavudin, didanosin atau zalcitabine. Faktor obat yang secara independen berhubungan dengan terjadinya nyeri neuropatik pada pemakaian obat lebih dari setahun adalah didanosin, dosis stavudin yang lebih tinggi (40 mg b.i.d), atau zalcitabine. Untuk pasien yang tidak mengalami DSP pada tahun pertama pemakaian obat, obat-obatan ini (kecuali regimen yang mengandung efavirens dan stavudin dosis tinggi) akan mempunyai hubungan yang negatif untuk terjadinya DSP setelah setahun pemakaian obat dan tidak terdapat hubungan antara insiden DSP dan peningkatan lama pemakaian obat (Lichtenstein dkk, 2005). Perubahan mitokondria yang prominen terlihat sehubungan dengan penggunaan NRTI, dan diperkirakan mendasari terjadinya neuropati akibat terapi ARV. Mitokondria mengandung enzim DNA polimerase yang esensial dalam pembentukan DNA mitokondria. Mekanisme kerja NRTI terhadap HIV adalah menghambat enzim reverse transcriptase, enzim yang berperan sebagai DNA polimerase viral. NRTI dalam aksinya juga dapat menghambat enzim polimerase DNA, mengakibatkan gangguan pembentukan rantai DNA mitokondria yang berperan penting pada proses fosforilasi oksidatif. Akibatnya terjadi deplesi energi yang dibutuhkan jaringan (Cherry dan Wesselingh, 2003).
Pada penelitian ini sebagian besar subyek penelitian yang mengalami nyeri neuropatik tinggi badannya < 170 cm (72,7%). Hasil penelitian yang berbeda didapatkan oleh Cherry dkk. (2009) pada program skrining terhadap 3 studi kohort di Jakarta, Kualalumpur dan Melbourne menyatakan bahwa tinggi badan dengan cut offs ≥ 170 cm secara signifikan merupakan faktor risiko indipenden untuk terjadinya nyeri neuropatik (p=0,001). Tinggi badan dengan cut offs 170 cm juga dikatakan mempunyai sensitivitas 61% dan spesifisitas 58% untuk prevalensi neuropati HIV. Hal ini karena penelitian dilakukan di negara barat dengan subyek penelitian yang sebagian besar memiliki tinggi badan > 170 cm sedangkan di Indonesia sebagian besar subyek penelitian memiliki tinggi badan < 170 cm dan pada penelitian ini sedikit jumlah subyek penelitian yang mempunyai tinggi badan > 170 cm. Tinggi badan juga dilaporkan mempengaruhi berbagai neuropati lainnya. Saraf sensorik perifer memerlukan dukungan energi tinggi yang tergantung pada proses transport aktif senyawa penting yang turun dari DRG. Hal ini mungkin sangat rentan bagi individu dengan tinggi badan yang lebih tinggi. Pada penelitian ini didapatkan angka CD4 nadir pada penderita nyeri neuropatik sebagian besar ≤ 200 sel/µl (81,8%). Lichtenstein dkk. (2005) menemukan bahwa angka CD4 nadir < 200 sel/µl (50–199 cells/mm) dan viral load > 10.000 copies/ml (p=0,005) merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian neuropati HIV (p=0,018). Pada penelitian ini juga didapatkan angka CD4 nadir < 50 sel/µl sebagai faktor risiko yang signifikan terjadinya nyeri neuropatik pada penderita HIV yang tidak mendapatkan ARV (p=0.002). Pada penelitian lainnya oleh Konchalard dkk. (2010) mendapatkan rerata angka CD4 nadir yang merupakan faktor risiko signifikan terhadap kejadian neuropati HIV adalah 96 dengan simpangan baku 107 sel/µl (p=0.010). Nakamoto dkk. (2012) pada penelitiannya
yang terbaru mendapatkan bahwa angka CD4 nadir yang merupakan faktor risiko signifikan terhadap kejadian neuropati HIV adalah < 100 sel/µl (p=0.03). Sejak fase awal infeksi HIV, CD4 telah menjadi target
utama infeksi dan efek sitopatik langsung HIV akan
menghancurkan CD4. Penurunan jumlah CD4 berarti bertambahnya imunodefisiensi. Sejalan dengan itu viral load yang ditandai dengan meningkatnya titer HIV-RNA menunjukkan kondisi imunosupresi yang berat, proses penyakit yang semakin parah dan rentan terhadap infeksi oportunistik, termasuk juga reaksi inflamasi dan imunologis yang merusak sistem saraf, baik pusat maupun perifer (Devadas dkk, 2005). Banyak penelitian telah membuktikan bahwa angka CD4 .yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya nyeri neuropatik. Schifitto dkk. (2002) dan Simpson dkk. (2006) membuktikan bahwa berkurangnya angka CD4 meningkatkan risiko terjadinya nyeri neuropatik.
6.2 Hubungan antara Angka CD4 Nadir Rendah dengan Gangguan Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV Angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl pada penelitian ini merupakan faktor risiko gangguan nyeri neuropatik (OR 7,88; IK 95% (2,53-24,47) yang bermakna secara statistik (p<0.001). Artinya bahwa penderita HIV yang memiliki sel CD4 nadir ≤ 200 sel/ µl mempunyai risiko terjadinya nyeri neuropatik 7,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita HIV yang memiliki sel CD4 > 200 sel/ µl. Penelitian ini menggunakan nilai cut off angka CD4 nadir rendah adalah < 200 sel/ µl. Beberapa penelitian sebelum era HAART seperti Barohn dkk. (1993) studi crosssectional tahun 1985-1989 (798 subyek penelitian), So dkk. (1987) studi cross sectional tahun 1987(37 subyek penelitian) dan Wooley dkk. (1997) studi cross sectional tahun
1993(94 subyek subyek penelitian) mendapatkan angka prevalensi neuropati HIV secara berturut-turut sebesar 1,5%, 35%, dan 14%. Faktor- faktor yang berhubungan neuropati HIV adalah penyakit HIV stadium lanjut yang ditandai oleh adanya infeksi Mycobacterium avium complex dan penurunan sel CD4 <300 sel/ µl (Ballantyne dkk, 2010). Pengamatan kohort observasional insiden neuropati perifer pada studi
HIV
Outpatient Study (HOPS) terhadap 1969 subyek yang mulai menggunakan HAART dari bulan Maret 1993 sampai bulan September 2006. Analisis univariat menyatakan CD4 nadir yang rendah meningkatkan kejadian neuropati perifer pada HIV. Angka insiden neuropati perifer 5,69 per 100 person years (PY) pada angka CD4 < 50 sel/ µl (p<0,001) dan 4,04 per 100 PY pada angka CD4 < 200 sel/ µl (p=0,023)
(Lichnenstein dkk, 2008).
Cherry dkk. (2006) juga menyatakan faktor non obat yang secara signifikan berhubungan dengan neuropati HIV adalah usia 40 tahun, diabetes mellitus, ras kulit putih, CD4 nadir 50 sel/ µl dan kadar plasma virus HIV >10.000 copies/µl. Studi cross sectional untuk menentukan prevalensi neuropati HIV dan faktor risikonya pada rumah sakit umum Douala, Kamerun antara 1 Juli sampai dengan 31 desember 2011 dengan dengan menggunakan Brief Peripheral Neuropathy Screening (BPNS), dari total 295 pasien terdapat 21% mengalami neuropati HIV. Jumlah CD4 yang rendah dengan median 153 ( dengan rentang 80-280) memiliki hubungan yang kuat dengan terjadinya neuropati HIV dengan (p=0,003; aOR 2.5; IK95% 1.3-4.6)(Luma dkk, 2012). Nakamoto dkk. (2010) menemukan bahwa angka CD4 nadir dan usia juga merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap insiden nyeri neuropatik pada era HAART sedangkan Petersen dkk. (2006) juga menemukan bahwa selain CD4 nadir dan usia, faktor
tingginya viral load, konsumsi alkohol, dan pemakaian NRTI atau protease inhibitor merupakan faktor risiko terjadinya nyeri neuropatik. Hubungan antara CD4 nadir dengan insiden dan prevalensi kasus nyeri neuropatik kemungkinan karena hasil kerusakan sistem saraf tepi yang terjadi ketika plasma viral load HIV lebih tinggi dan sel CD4 jumlahnya lebih rendah.
CD4 nadir yang rendah merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
terjadinya nyeri neuropatik [hazard ratio (HR) =0.79; p=0,03; IK95% 0,64-0,97]. Penelitian The CHARTER Study oleh Ellis. dkk (2010) juga menyatakan bahwa angka CD4 nadir rendah merupakan faktor risiko terjadinya nyeri neuropatik pada HIV (p<0,001; aOR 1.16; IK95% 1.08-1.24). Sompa dkk. (2012) melakukan penelitian cross sectional, pada pasien yang didiagnosis HIV-AIDS di unit rawat jalan dan rawat inap RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan jejaringnya yang dilaksanakan mulai September sampai Desember 2012. Pada 62 responden dengan DSP klinis, 45 diantaranya memiliki jumlah CD4 < 200 sel/µl (72,6%) dan 17 lainnya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/ µl. Responden dengan DSP subklinis sebanyak 11 orang, 8 diantaranya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/µl (72,7%) dan 3 lainnya (27,3%) memiliki jumlah CD4 < 200 sel/ µl. Nilai probabilitas menunjukkan p= 0,006 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah CD4 dengan derajat nyeri neuropatik. Angka CD4 nadir dikatakan sebagai marker yang ireversibel akibat terjadinya perubahan inflamasi di jaringan saraf perifer. Perubahan ini berkaitan dengan kerusakan sistem imun akibat HIV sehingga terjadi disfungsi limfosit yang menimbulkan kerusakan jaringan saraf perifer. Fungsi jaringan saraf perifer lebih dipengaruhi oleh supresi imun sistemik dan dengan terapi ARV kemampuan jaringan saraf perifer dapat meningkat namun pemulihannya tidak terjadi pada semua individu yang menjalani terapi.
Penurunan angka CD4 nadir dibawah 100 sel/µl akan mempengaruhi terjadinya nyeri neuropatik dan outcome neurologi. Kemungkinan kondisi imunokompromais memfasilitasi masuknya virus dan terjadinya kerusakan sel saraf perifer. Gangguan nyeri neuropatik pada subyek makin memberat dengan menurunnya angka CD4 nadir. Temuan berbeda Oshinaike dkk. (2012) saat melakukan studi cross sectional dengan mempergunakan BPNS terhadap 323 pasien dengan infeksi HIV (142 pasien mendapat HAART dan 181 tanpa HAART untuk menentukan neuropati sensorik HIV. Pada kelompok pemakai HAART prevalensi neuropati HIV adalah 43,2% sedangkan pada kelompok tanpa HAART sebesar 36,5%. Nilai rerata sel CD4 pada kelompok HAART adalah 246±152,2 dan 189,7±150 pada kelompok tanpa HAART (p=0,001). Pada analisis multivariat, faktor risiko independent yang dapat meningkatkan neuropati sensoris HIV adalah bertambahnya usia (p=0,03) dan pemakaian stavudin (p=0,00). Jenis kelamin (p=0,99), tinggi badan (p=0.07), penggunaan HAART (p=0,50) lama penggunaan HAART (p=0,10) dan jumlah sel CD4 (p=0,12) yang rendah tidak berhubungan dengan peningkatan risiko neuropati HIV. Evans dkk. (2011) melakukan penelitian terhadap 2141 subyek penelitian dari Januari 2000 sampai Juni 2007. Subyek penelitian yang ikut ambil bagian diseleksi dari ACTG Longitudinal Linked Randomized trials (ALLRT), sebuah studi metaanalisis dengan peserta secara prospektif diikutkan dalam randomized clinical trial (RCT) dari terapi kombinasi antiretrovirus. Penilaian neuropati HIV menggunakan BPNS. Sebelum penggunaan kombinasi ART prevalensi neuropati perifer dan neuropati perifer simptomatik IK95% adalah 22,6% (19,0-26,4) dan 4,3% (2,7-6,4) dan nilai rerata sel CD4 236 sel/ µl dengan simpangan baku 199. Tanda dari neuropati perifer menetap walaupun telah dilakukan
kontrol terhadap virus HIV dan perbaikan fungsi sistem imun dengan pemberian awal kombinasi obat antiretrovirus. Beberapa studi pada masa penggunaan HAART menunjukkan kurangnya hubungan antara nyeri neuropatik dan derajat imunosupresi, termasuk jumlah sel CD4 yang rendah dan viral load.
Neuropati HIV bukan hanya disebabkan oleh kedua faktor tersebut diatas.
Morgello dkk. (2004) menduga bahwa perbedaan pada penemuan ini mungkin
karena
populasi pasien yang berbeda. Pada era HAART rekonstitusi sistem imun memperberat gejala DSP seperti pada penyakit kelainan rekonstitusi sistem imun lainnya. Mungkin juga bahwa kondisi perancu tidak tergantung pada status virus atau imunologis seperti misalnya ART yang bersifat neurotoksik, diabetes mellitus dan obat lainnya atau penggunaan zat menjadi hal yang lebih penting terhadap pathogenesis DSP pada era HAART. Alasan lainnya mungkin mencakup adanya sisa kerusakan sel aksonal walaupun dengan perbaikan fungsi sistem imun, kelainan rekonstitusi sistem imun atau dengan adanya kelainan lain yang menyebabkan kerusakan sel saraf seperti defisiensi zat nutrisi atau vitamin. Begitu juga hubungan antara nyeri neuropatik dengan jumlah sel CD4 nadir yang lebih tinggi menduga bahwa fungsi sistem imun yang dapat memberikan kontribusi terhadap stimulasi nyeri. Selain pemakaian HAART, genotip subyek penelitian juga dikatakan berhubungan dengan risiko neuropati HIV pada penderita HIV yang menggunakan HAART. Konsisten dengan mekanisme pathogenesis neuropati HIV, hubungan lainnya juga mencakup haplogrup mitokondria dan gen-gen yang berhubungan dengan inflamasi. Hubungan dengan polimorphisme gen hemokromatosis juga telah dilaporkan (Oshinaike dkk, 2012)
Kelemahan pada penelitian ini adalah sulit membedakan secara pasti apakah nyeri neuropatik disebabkan oleh CD4 nadir yang rendah atau ARV atau faktor lainnya seperti defisiensi vitamin B12 serta belum dilakukan pemeriksaan viral load untuk menentukan status imun penderita HIV. Penelitian ini juga hanya mengetahui salah satu faktor risiko terjadinya nyeri neuropatik pada penderita HIV. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap faktor risiko lainnya yang mungkin menjadi faktor risiko seperti umur, stadium HIV dan lama pengobatan ARV.
Perlu juga dilakukan punch biopsi untuk membandingkan dan
mengkonfirmasi hasil penelitian. Biopsi kulit dengan teknik Punch Skin Biopsies telah digunakan untuk mengidentifikasi penurunan densitas serabut saraf tak bermielin pada neuropati sensorik HIV.
Polydefkis dk. (2002) menemukan bahwa penurunan densitas
serabut saraf intraepidermal berhubungan dengan meningkatnya nyeri neuropatik, menurunnya angka CD4, dan peningkatan viral load plasma pada neuropati sensorik HIV. Terhadap kemungkinan adanya penyakit pengganggu seperti hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, neuropati jebakan, penggunaan alkohol, dan uremia sudah dilakukan eleminasi melalui kriteria eksklusi untuk mengatasi keterbatasan akibat tidak dilakukannya pemeriksaan punch biopsi.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut : 1. CD4 nadir ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah. 2. Penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 sel/ µl mempunyai risiko terjadinya nyeri neuropatik 7,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita HIV dengan CD4 > 200 sel/µl.
7.2 Saran Sebagai saran dalam hasil penelitian ini : 1. Penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl perlu pemberian terapi ARV tanpa efek samping neuropati untuk meningkatkan kadar CD4 sehingga dapat mengurangi terjadinya nyeri neuropatik. 2. Penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl yang menderita nyeri neuropatik perlu pemberian terapi medikamentosa berupa obat-obat anti nyeri neuropatik. 3. Perlu dilakukan evaluasi pada setiap penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl yang belum mengalami nyeri neuropatik.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda untuk menentukan faktor risiko lainnya, atau dengan pemeriksaan neuropati dengan punch skin biopsy.
baku standar
DAFTAR PUSTAKA Abrams, D.I., Jay, C.A., Shade, S.B., Vizoso, H., Reda, H., Press, S., Kelly, M.E., Rowbotham, M.C., Petersen, K.L., 2007. Cannabis in painful HIV-associated sensory neuropathy, A randomized placebo-controlled trial, Neurology, 68: 515-521. Acharjee, S.,
Zhu, Y., Maingat, F., Pardo, C., Ballanyi, K., Hollenberg,
M.D., Power, C., 2011. Proteinase-activated receptor-1 mediates dorsal root ganglion neuronal degeneration in HIV/AIDS. Brain , 134; 3209–3221. Ahr, B., Robert-Hebmann, V., Devaux, C., Biard-Piechaczyk, 2004. Apoptosis of uninfected cells induced by HIV envelope glycoproteins, Retrovirology, 1:1-12. Ances, B.M., Vaida, F.,
Rosario, D., Marquie-Beck, J.,
Ellis, R.J.,
Simpson, D.M., Clifford, D.B., McArthur, J.C., Grant, I., McCutchan, J.A., 2009. Role of metabolic syndrome components in HIV-associated sensory neuropathy, AIDS, 23:2317–2322. Arenas-Pinto, A., Bhaskaran, K., Dunn, D., Weller, I.V.D., 2008. The Risk of Developing Peripheral Neuropathy Induced by Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Decreases Over Time: Evidence from The Delta Trial. Antiviral Therapy ; 13:289–295. Authier, F.J., Gheraldi, R.K., 2003. Peripheral Neuropathies in HIV-infected Patients in the Era of HAART, Brain Pathol, 13:223-228. Ballantyne, J.C., Cousins, M.J., Giamberardini, M.A., McGrath, P.A., Rajagopal, M.R., Smith, M.T., Sommer, C., Wittink, H.M., 2010. Painful HIVAssociated Neuropathy, IASP; 18(3):1-8. Banerjeea, S., McCutchanb, J.A., Ancesc, B.M., Deutschd, R., Riggsd, P.K., Way, L., Ellisa, R.J., 2011. Hypertriglyceridemia in combination antiretroviraltreated HIV-positive individuals: potential impact on HIV sensory polyneuropathy, AIDS, 25:F1–F6.
Bennett, M., 2001. The LANSS Pain Scale : The Leeds assessment of neuropathic pain symtoms and sign, Pain, 92: 147-157. Bennett, M.I., Attal, N, Backonja, M.M Baron, R, Bouhassira, D, Freynhagen, R, Scholz, J., Tolle, T.R., Wittchen, H., Jensen, T.S. 2007. Using screening tools to identify neuropathic pain. Pain; 127 ;199–203 Brew, B.J., Tomlinson, S.E., 2004. HIV neuropathy: time for new therapies, Drug Discovery Today, 1(2):171-176. Cherry, C.L., Wesselingh, S.L., 2003. Nucleoside analogues and HIV: the combined cost to mitochondria, Journal of Antimicrobial Chemotheraphy, 51: 10911093. Cherry, C.L., Skolasky, R.L., Lal, L., Creighton, J., Hauer, P., Raman, S.P., Moore, R., Carter, K., Thomas, D., Ebenezer, G.J., Wesselingh, S.L., McArthur, J.C. 2006. Antiretroviral Use and Other Risk for HIV-associated Neuropathies in an International Cohort. Neurology ; 66 : 867–873. Cherry, C.L., Affandi, J.S., Imran, D., Yunihastuti, D., Smyth, K., Vanar, S., Kamarulzaman, A.,
Price, P., 2009. Age and height predict neuropathy risk in
patients with HIV prescribed stavudine, Neurology ;73:315–320. Ciccarelli N., Fabbiani M., GiambenedettoD., Fanti I., Colafigli M., Bracciale L., Tamburrini E., Cauda R., De Luca A., Silveri M.C. 2010. Persistence and Progression of HIV-associated Neurocognitive Disorder. Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections. San francisco Cornblath, D.R., Hoke, A., 2006. Recent advances in HIV neuropathy, Curr Opin Neurol, 19:446-450. Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta. Edisi kedua. Departemen Kesehatan RI. 2009. Saat memulai terapi ARV pada Odha dewasa dan remaja. Dalam : Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Edisi kedua. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2012. Laporan triwulan situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2012. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Devadas, K., Lal, R.B., Dhawan, S., 2005. Immunology of HIV-1. In: Gendelman, H.E., Grant, I., Everall, I.P., Lipton, S., Swindels, S. (eds). The Neurology of AIDS, 2nd ed, Oxford University Press, New York. Pp 29-47. Ellis, R.J., Rosario, D., Clifford, D.B., McArthur, J.C., Simpson, D., Alexander, T., Gelman, B.B., Vaida, F., Collier, A., Marra, C.M., Ances, B., Atkinson, J.H., Dworkin, R.H., Morgello, S., Grant, I., 2010. Continued High Prevalence and Adverse Clinical Impact of Human Immunodeficiency VirusAssociated Sensory Neuropathy in the Era of Combination Antiretroviral Therapy. The CHARTER Study. Arch Neurol, 67(5):552-558. Evans, S.R., Ellis, R.J., Chen, H., Yeh, T., Lee, A.J., Schifitto, G., Wu, K., Bosch, R.J., McArthur, J.C., David M. Simpson, D.M.,
David B. Clifford,
D.B., 2011. Peripheral neuropathy in HIV: prevalence and risk factors, AIDS , 25:919–928. Ferrari,S., Vento, S., Monaco, S., Cavallaro, T., Cainelli, F., Rizutto, N., Temesgen,
Z.,
2006.
Human
Imunodefficiency
Virus-Associated
Periferal
Neuropathies, Mayo Clinic Proceeding, 81(2): 213-291. Fevrier, M., Dorgham, K., Rebollo, A., 2011. CD4+ T Cell Depletion in Human Imunodefficiency Virus (HIV) Infection: Role of Apoptosis, Viruses, 3: 586612. Forna, F., Liechty, C.A., Solberg, P., Asiimwe, F., Were, W., Mermin, J., Behumbiize, P., Tong, T., Brooks, J.T., Weidle, P.J. 2007. Clinical Toxicity of Highly Active Antiretroviral Therapy in a Home-based AIDS Care Program in Rural Uganda. J. Acquir. Immune Defic. Syndr ; 44 : 456–462. Giubelan, L.I., Cupsa, A., Dumitrescu, F., Niculescu, I., Stoian., A.C., 2014. Considerations About Risk Factors for Peripheral Neuropathies in Romanian HIVInfected Patients, Current Health Sciences Journal, 40(1):42-46
Gonzales-Duarte, A., Cikurel, K., Simpson, D.M.,
2007. Managing HIV
Peripheral Neuropathy, Current HIV/AIDS Report, 4:114-18. Gonzales-Duarte, A., Cikurel, K., Simpson, D.M., 2006. Selected Neurologic complication of HIV and Antiretroviral therapy, The PRN Notebook, 11(2) : 24-29. Hoke, A., Morris, M., Haughey, N.J., 2009. GPI-1046 protects dorsal root ganglia from gp120-induced axonal injury by modulating store-operated calcium entry, J Peripher Nerv Syst, 14(1): 27–35. Imran, D., Wibowo, B.S., Jannis, J., 2005. Polineuropati Simetrik Distal pada HIV, Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI-SMF Saraf RSUPNCM Jakarta Kallianpur, A.R., Hulgan, T., 2009. Pharmacogenetics of nucleoside reversetranscriptase inhibitor associated peripheral neuropathy, Pharmacogenomics. 2009 April ; 10(4): 623–637. Kamerman, P.R., , Moss, P.J., Weber, J.,. Wallace, V.C.J., Rice, A.S.C., and Wenlong Huang, W., 2012. Pathogenesis of HIV-associated sensory neuropathy: evidence from in vivo and in vitro experimental models, Journal of the Peripheral Nervous System 17:19–31. Kelompok Studi Nyeri. 2011. Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri neuropatik.
Purwata, T.E., Suryamiharja, A., Surhajanti, I., Yudiyanta., editors.
Konsensus Nasional 1. PERDOSSI. Keswani, S.C., Jack, C., Zhou, C., Hoke, A., 2006. Establishment of a Rodent Model of HIV –Associated Sensory Neuropathy, The Journal of Neuroscience, 26(40): 10299-10304. Keswani, S.C., Luciano, C., Pardo, C., Cherry, C.L., Hoke, A., McArthur, J.C., 2005. The spectrum of peripheral neuropathies in AIDS. In: In: Gendelman, H.E., Grant, I., Everall, I.P., Lipton, S., Swindels, S. (eds). The Neurology of AIDS, 2nd ed, Oxford University Press, New York. pp 423-443. Keswani, S.C., Plooey, M., Pardo, C.A., Grifin, J.W., McArthur, J.C., Hoke, A., 2003. Schwann Cell Chemokine Receptors Mediate HIV-1 gp120 Toxicity to Sensory Neurons, Ann Neurol, 54:287-296.
Keswani, S.C., Pardo, C.A., Cherry, C.L., Hoke, A., MacArthur, J.C., 2002. HIV-associated neurophaties, AIDS, 16: 2105-2117. Konchalard,
K.,
Wangphonpattanasiri,
K.
2007.
Clinical
and
Electrophysiologic Evaluation of Peripheral Neuropathy in a Group of HIV-Infected Patients in Thailand. J Med Assoc Thai ; 90 (4): 774-81. Kresno, S.B., 2001. Uji Serologi Infeksi HIV. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. pp.369-377. Lauria, G., Lombardi, R., 2007. Skin biopsy : a new tool for diagnosing peripheral neuropthy, BMJ, 334:1159-62 Li, X.,
Margolick, J., Jamieson, B., Rinaldo, C.,
Phair, J , Jacobson, L.,
2011. CD4+ T-cell counts and plasma HIV-1 RNA levels beyond 5 years of highly active antiretroviral therapy (HAART), J Acquir Immune Defic Syndr, 57(5): 421– 428. Lichtenstein, K.A., Armon, C., Baron, A., Moorman, A.C., Wood, K.C., Holmberg, S.D., 2005. Modification of the Incidence of Drug-Associated Symmetrical Peripheral Neuropathy by Host and Disease Factors in the HIV Outpatient Study Cohort, Clinical Infectious Diseases, 40:148–57. Lichtenstein, K.A., Carl Armon, C., Buchacz, K., Chmiel, J.S., Moorman, A.C., Wood, K.C., Holmberg, S.D., Brooks, J.T., 2008. Initiation of Antiretroviral Therapy at CD4 Cell Counts ≥ 350 Cells/mm3 Does Not Increase Incidence or Risk of Peripheral Neuropathy, Anemia, or Renal Insufficiency, J Acquir Immune Defic Syndr, 47:27–35. Liu, Q., Williams, D.A., McManus, C., Baribaud, F., Doms, R.W., Schols, D., De Clercq, E., Kotlikoff, M.I., Collman, R.G., Freedman, B.D., 2000, HIV-1 gp120 and chemokines activate ion channels in primary macrophages through CCR5 and CXCR4 stimulation, PNAS, 97(9): 4832-4837. Luciano, C.A., Pardo, C.A., McArthur, J.C., 2003. Recent development in the HIV neuropathies, Lippincott & Wilkins, Current Opinion in Neurology, 16:403-409.
Luma, H.N, Tchaleu, B.C.N, Doualla, M.S, Temfack, E, Sopouassi, V.N.K, 4, Mapoure, Y.N, Djientcheu, V. 2012. HIV-associated sensory neuropathy in HIV-1 infected patients at the Douala General Hospital in Cameroon: a cross-sectional study. AIDS Research and Therapy 9:35 Martinez-Lavin, M., Lopez, S., Medina, M., Nava, A., 2003. Use of the Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs Ouestionare in Patients With Fibromialgia, Semin Arthritis Rheum, 32: 407-411. McArthur, J.C., Brew, B.J., Nath, A., 2005. Neurological Complications of HIV infection, Lancet Neurol, 4:543-55. Melli, G., Keswani, S.C., Fischer, A., Chen, W., Hoke, A., 2006. Spatially distinct and functionally independent mechanisms of axonal degeneration in a model of HIV-associated sensory neuropathy, Brain , 129: 1330–1338. Moore, R.D., Wong, W.E., Keruly, J.C., McArthur, J.C., 2000. Incidence of neuropathy in HIV-infected patients on monotherapy versus those on combination therapy with didanosine, stavudin and hydroxyurea, AIDS, 14:273-278. Morgello, S, Estanislao L, Simpson, D, Geraci, A, DiRocco, A, Gerits, P, Ryan, E, Yakoushina, T, Khan, S, Mahboob, R, Naseer, M, Dorfman, D, Sharp, V. 2004. HIV-Associated Distal Sensory Polyneuropathy in the Era of Highly Active Antiretroviral Therapy. Arch Neurol.61:546-551 Nakamoto, B.K., McMurtray, A., Davis, J., Valcour, V., Watters, M.R., Shiramizu, B., Chow, D.C., Kallianpur, K., Shikuma, C.M., 2010. Incident Neuropathy in HIV-Infected Patients on HAART, Aids
Research
And Human
Retroviruses, 26( 7): 759-765. Nasronudin, 2007. Dasar Virologi dan Infeksi HIV, Dalam: Barakbah, J., Soewandojo, E., Suharto, Hadi, U., Astuti, W.D., (editor), HIV dan AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 1-9.
Nicholas, P.K., Mauceri, L., Ciampa, A.S., Corless, I.B., Raymond, N., Barry, D.J., Ros, A.V., 2007. Distal Sensory Polyneuropathy in the Context of HIV/AIDS, JANAC, 18(4):32-40. Oh S.B., Tran, P.B., Gillard, S.E., Hurley, R.W., Hammond, D.L., Miller, R.J., 2001. Chemokines and Glycoprotein120 Produce Pain Hypersensitivity by Directly Exciting Primary Nociceptive Neurons, The Journal of Neuroscience, 21(14):5027-5035. Oshinaike, O., Akinbami, A., Ojo, O., Ogbera, A., Okubadejo, N., Ojini, F., Danesi, M. 2012. Influence of Age and Neurotoxic HAART Use on Frequency of HIV Sensory Neuropathy AIDS Research and Treatment. Pardo, C.A., McArthur, J.C., Griffin, J.W., 2001. HIV Neuropathy : Insight in The pathology of HIV peripheral nerve disease, Journal of the Peripheral Nervous System, 6: 21-27. Pettersen, J.A., Jones, G., Worthington, C., Krentz, H.B., Keppler, O.T., Hoke, A Gill, M.J.,
Power, C., 2006.
Sensory Neuropathy in Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Patients: Protease Inhibitor–Mediated Neurotoxicity, Ann Neurol, 59:816–824. Ploydefkis, M., Yiannoutsos, C.T., Cohen, B.A., Hollander, H., Schifitto, G., Clifford, D.B., Simpson, D.M., Katzenstein, D., Shriver, S., Hauer, P., Brown, A., Haidich, A.B., Moo, L., McArthur, J.C., 2002. Reduced intraepidermal nerve fiber density in HIV-associated sensory neuropathy, Neurology, 58: 115-119. Robertson,K., Liner, J.,Heaton, R. 2009. Neuropsycological Assessment of HIV-Infected Populations in International Settings. Neuropsychol Rev;19:232-249 Schifitto, G., McDermott, M.P., McArthur, J.C., Marder, K., Sacktor, N., Epstein, L., Kieburtz, K., 2002. Incidence of and risk factors for HIV-associated distal sensory polyneuropathy, Neurology, 58: 1764-1768. Simpson, D.M., Kitch, D., Evans, S.R., McArthur, J.C., Asmuth, D.M., Cohen, B., Goodkin, K., Gerchenson, M., So, Y., Marra, C.M., Diaz-Arrastia, R., Shiver, S., Millar, L., Clifford, D.B., and the ACTG A5117 Study Group, 2006. HIV
neuropathy natural history cohort study: Assessment measures and risk factors, Neurology, 66:1679-1687. Smith, H.S., 2011. Treatment Consideration in Painful HIV-Related Neuropathy, Pain Physician, 14: 505-524. Smyth, K., Affandi, J.S., Bowtell-Harris, C., Mijch, A.M., Watson, K., Woolley, I.J., Price, P., Wesselingh, S.L., Cherry, C.L., 2007. Prevalence of and risk factors for HIV-associated neuropathy in Melbourne, Australia 1993-2006, HIV Medicine, 8:367-373. Sompa,A.W., Kaelan, C., Goysal, Y., 2012. Hubungan Jumlah CD4 Dengan Derajat Distal Symmetrical
Polyneuropathy (DSP) Pada Penderita HIV-AIDS,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar Valcour V., Yee P., Williams A.E., Shiramizu B., Watters M., Selnes O., Paul R., Shikuma C., Sacktor N. 2006. Lowest ever CD4 lymphocyte count (CD4 nadir) as a predictor of current cognitive and neurological status in HIV- 1 infection—The Hawaii Aging with HIV Cohort. J Neurovirol;12(5):387-391 Verma, S., Estanislao, L., Mintz, L., Simpson, D., 2004. Controlling Neuropathic Pain in HIV, Current HIV/AIDS Reports, 1:136-141. Wallace, V.C.J., Blackbeard, J., Segerdahl, A.R., Hasnie, F., Pheby, T., McMahon, S.B., Rice, A.S.C., 2007. Characterization of rodent models of HIVgp120 and anti-retroviral-associated neuropathic pain, Brain, 130: 2688-2702. Watters, M.R., Poff, P.W., Shiramizu, B.T., Holck, P.S., Fast, K.M.S., Shikuma, C.M., Valcour, V.G., 2004. Symptomatic distal sensory polyneuropathy in HIV after age 50, Neurology, 62:1378-1383. Widyadharma, E., Yudiyanta., 2008. Uji Reliabilitas Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) Scale pada Penderita Diabetes Melitus tipe II. CPD Neurodiabetes. Yogyakarta Williams, D., Geraci, A., Simpson, D.M., 2002. AIDS and AIDS-treatment Neuropathies, Current Pain and Headache Reports, 6:125-130.
Zhu, Y., Antony, J.M., Martinez, J.A., Glerum, D.M., Brussee, V., Ahmet Hoke, A., Zochodne, D., Power, C., 2007. Didanosine causes sensory neuropathy in an HIV/AIDS animal model: impaired mitochondrial and neurotrophic factor gene expression, Brain, 130: 2011-2023.
Lampiran 1. Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian INFORMASI PASIEN Penulis mengharapkan partisipasi bapak/ibu/Saudara dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. I Made Domy Astika. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ul sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV. Secara keseluruhan 33 pasien HIV dengan nyeri neuropatik (kasus) dan 33 pasien HIV tanpa nyeri neuropatik (kontrol) yang datang ke poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar, termasuk Bapak/Ibu/ Saudara akan berperan serta pada penelitian ini. Dengarkan dengan seksama informasi yang penulis berikan sebelum Bapak/Ibu/ Saudara memutuskan akan ikut serta berpartisipasi ataupun tidak. Jika ada hal yang belum dimengerti, mohon bertanya kepada penulis. Bila Bapak/Ibu/ Saudara telah menyetujui sebagai partisipan, penulis mengharapkan kesediaannya untuk dilakukan wawancara sesuai kuesioner. Penelitian ini dikerjakan oleh peneliti atau petugas yang telah dilatih oleh peneliti, nantinya akan dilakukan penilaian nyeri neuropatik saat pemeriksaan di poliklinik VCT RSUP sanglah. Tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh Bapak/Ibu/ Saudara untuk penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan akan disimpan dalam data komputer tanpa mencantumkan nama Bapak/Ibu/ Saudara dan hanya diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menyertakan identitas Bapak/Ibu/ Saudara. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini, dapat ditanyakan langsung kepada peneliti : dr. I Made Domy Astika, No. Telp : 081338525057
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:
Telah membaca dengan seksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti, serta bersedia ikut serta dalam penelitian ini.
Menyetujui
Peneliti/ Petugas
Pasien
(
Yang memberikan penjelasan
)
(
)
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian LEMBAR PENGUMPULAN DATA ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RSUP SANGLAH DENPASAR NOPEMBER 2013 – JANUARI 2014 No. ID
No. 1.
Tanggal Pemeriksaan Pemeriksa
2. 3. 4. 5. 6.
No. Rekam Medik Nama Umur Alamat Jenis Kelamin
7.
Status perkawinan
8.
Pendidikan
9.
Pekerjaan
10.
Cara Penularan
11. 12.
Waktu sejak diagnosis HIV Lama Menderita HIV
1. 2.
Laki-laki Perempuan Kawin Tidak Kawin Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademi/Diploma/PT Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Buruh/Tani Lain-lain IDU Heteroseksual Homoseksual Biseksual Tatto Transfusi Pasangan heteroseks Pasangan IVDU Multiple risk
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
[ ]
< 1 tahun
(1)
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
13.
Stadium HIV WHO
14.
Terapi ARV
15.
Lama pengobatan ARV
16.
Tinggi badan
16. 17.
Pemeriksaan Laboratorium Angka CD4 nadir Angka CD4 nadir
21.
Pemeriksaan Penunjang Skala Nyeri LANSS
> 1 tahun Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Ya Tidak < 6 bulan 7-12 bulan < 170 cm ≥ 170 cm ≤ 200 sel/mm3 > 200 sel/mm3 < 12 ≥ 12
(2) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (tgl
(1) (2) (1) (2)
[ ]
[ ] [ ] [ ] )
[ ] [ ]
Lampiran 3.
Skala Nyeri LANSS Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs
Nama:_____________________________________________________Tanggal__________ ___________
Skala nyeri ini dapat membantu untuk menentukan saraf yang membawa rangsang nyeri anda bekerja normal atau tidak. Hal ini penting untuk menentukan apakah terapi yang berbeda diperlukan untuk mengatasi nyeri anda A. KUESIONER NYERI Pikirkan bagaimana nyeri yang anda rasakan dalam 1 minggu terakhir Nyatakan gambaran nyeri seperti apa yang paling cocok untuk nyeri anda 1. Apakah nyeri yang anda rasakan seperti suatu perasaan aneh, perasaan tidak menyenangkan pada kulit? Perkataan seperti tertusuk jarum atau pin, kesemutan (kebas) mungkin menggambarkan perasaan ini. a. Tidak – Nyeri yang saya rasakan tidak seperti itu.........................................................................(0) b. Ya – Saya agak sering merasakan sensasi seperti itu.........................................................................(5) 2.
Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di daerah nyeri terlihat berbeda dari normal? Perkataan seperti kulit terlihat merah, atau merah jambu mungkin menggambarkan keadaannya. a. Tidak – Nyeri saya tidak menyebabkan perubahan warna di kulit......................................................................(0) b. Ya – Saya menemukan bahwa nyeri saya menyebabkan kulit saya berbeda dari normal...........................................................(5)
3.
Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di daerah yang terkena secara abnormal sensitif terhadap rabaan? Merasakan sensasi tidak nyaman saat kulit diraba secara halus, atau merasakan nyeri saat memakai pakaian ketat mungkin dapat menggambarkan sensitifitas yang abnormal. a. Tidak – Nyeri saya tidak menyebabkan kulit di daerah tersebut sensitif abnormal………………………………………..(0) b. Ya – Kulit di daerah itu tampaknya sensitif abnormal saat disentuh...............................................................(3)
4.
Apakah nyeri anda datang secara tiba-tiba/mendadak dan memuncak tanpa alasan yang jelas saat anda sedang diam? Perkataan seperti tersengat listrik menggambarkan sensasi ini. a. Tidak – Nyeri saya tidak terasa seperti ini.........................................................................(0) b. Ya - Saya sering merasakan sensasi seperti ini.........................................................................(2)
5.
Apakah nyeri anda terasa seperti seolah-olah suhu kulit di daerah nyeri berubah abnormal? Perkataan seperti rasa panas dan terbakar menggambarkan sensasi ini. a. Tidak – Saya tidak merasakan sensasi ini........................................................................(0) b. Ya – Saya sering merasakan sensasi ini........................................................................(1)
B. PEMERIKSAAN SENSORIK Sensitivitas kulit dapat diperiksa dengan membandingkan area nyeri dengan daerah kontralateralnya atau daerah di dekatnya yang tidak terasa nyeri untuk adanya alodinia dan perubahan ambang rangsang tusukan. 1.
ALODINIA Periksa respon terhadap sentuhan halus dengan menggunakan kapas sepanjang area tidak nyeri lalu di area nyeri. Jika pada area tidak nyeri terasa sensasi normal, tetapi nyeri atau perasaan tidak nyaman di area nyeri, maka alodinia ada. a. Tidak – sensasi pada kedua area normal..................................................................... .(0) b. Ya – alodinia hanya pada daerah nyeri..........................................................................(5)
2.
PERUBAHAN AMBANG RANGSANG TUSUKAN Tentukan ambang rangsang tusukan dengan menggunakan jarum suntik no 23 yang terpasang pada syringe 2 ml yang ditempatkan secara lembut di kulit pada area tidak nyeri dan area nyeri. Jika terasa tajam pada area tidak nyeri, tetapi sensasi berbeda di area nyeri, misalnya sensasi tumpul (peningkatan ambang rangsang tusukan) atau sensasi sangat nyeri (penurunan ambang rangsang tusukan, maka terjadi perubahan ambang rangsang tusukan.
Jika tidak terasa sensasi tajam pada kedua area, ulangi pemeriksaan dengan menambah tambah jarum sedikit tekanan pada jarum. a. Tidak – Sensasi di kedua area sama............................................................................(0) b. Ya – terjadi perubahan ambang rangsang tusukan di area nyeri............................................................................(3) Skor Total: Jumlahkan keseluruhan skor pada kuesioner nyeri dan pemeriksaan sensorik untuk mendapatkan total skor Skor Total (maksimum 24) Jika skor <12, mekanisme neuropatik tampaknya tidak berperan pada nyeri yang dirasakan pasien Jika skor ≥12, mekanisme neuropatik tampaknya berperan pada nyeri yang dirasakan pasien.
LAMPIRAN 4. Keterangan Kelaikan Etik
LAMPIRAN 5. Surat Ijin dari RSUP Sanglah
LAMPIRAN 6. DAFTAR SAMPEL PENELITIAN No
Nama
Umur
Jenis
Status
Pendidikan
(tahun)
Kelamin
Nikah
SMA
1
NKS
34
P
2
IWD
34
L
Kawin Tidak kawin
3
I GN AP
31
L
Kawin
PT
4 5 6
STR I NM IDR
36 39 32
L L P
Kawin Kawin Kawin
SMP SMA SMA
7
AT
34
L
Kawin
SMA
8
RA
35
P
PT
9
TF
27
L
10
NKS
33
P
11
PUW
25
L
12 13 14 15 16 17 18 19 20
PS NND IWS NWS I MAA NKW NKWi AS KE N
27 38 40 23 32 39 24 40 32
L P L P L P P P P
21 22
IGS HaR
22 38
L P
23 24
KD IKH
37 39
L L
Kawin Tidak kawin Tidak kawin Tidak kawin Tidak kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Tidak kawin Kawin Tidak kawin Kawin
SMP
Diploma
Pekerjaan
Pegawai Swasta Pegawai Swasta Pegawai Negeri Pegawai Swasta Buruh IRT Pegawai Swasta Pegawai Negeri Wiraswasta
SMA
Tidakbekerja
PT
Tidakbekerja
SMA SD SMP SMP SMP SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMP SD
Wiraswasta IRT Wiraswasta Buruh Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta IRT Wiraswasta Pegawai Swasta IRT Pegawai Swasta Wiraswasta
25 26 27 28
IKS NNA Am NWDP
34 40 33 38
L P P P
Kawin Kawin Kawin Kawin Tidak kawin
SMA SD SD SMP
29
CH
23
L
30
LI f
30
P
SD
L P
Kawin Tidak kawin Tidak kawin Kawin Kawin Tidak kawin Kawin
31
YD
25
P
32 33 34
NKAr DAW IMW
34 25 33
P p L
35 36
32 38
37
AGJ NMS Ni Nyoman Ciri
23
P
Kawin
SD
38 39 40 41
NWW IT AR NMLW
40 25 30 26
P P L P
Kawin Kawin Kawin Kawin
SMP SMA SD SMA
42
AI
34
P
Kawin
SMP
43 44
IWEM NKH
39 28
L P
SMA SMP
45
IwS
35
L
46
IMS
33
L
Kawin Kawin Tidak kawin Tidak kawin
47 48
NKYP NNS
40 40
P P
SMA SMA
49 50 51
IAU Yun GJ
19 34 30
L P L
Kawin Kawin Tidak kawin Kawin Tidak
SMA
SMA PT SMA SD SMP SMA
SMA SMA
SMA Diploma SMA
Pegawai Swasta IRT IRT Wiraswasta Pegawai Swasta Pegawai Swasta Wiraswasta Pegawai Swasta IRT Tani Pegawai Swasta IRT IRT Pegawai Swasta IRT Tani IRT Pegawai Swasta Pegawai Swasta IRT Pegawai Swasta Pegawai Swasta Pegawai Swasta Wiraswasta Tidakbekerja Wiraswasta Pegawai
52
NNWi
34
L
53
NPSM
36
P
54
IWB
32
L
55
Pr
40
L
56
RI
33
P
57
SF
34
L
58
BBR
33
L
59 60 61 62 63 64 65 66
FR EV NKSP LP NWWA NLPA NNK IPS
25 30 32 30 40 35 36 33
L P P P P P P L
kawin Kawin
SMA
Swasta IRT Pegawai Swasta Pegawai Swasta
SMA
Wiraswasta
SMP PT
Tidakbekerja Pegawai Swasta
PT
Tidakbekerja
SMA SMP SD SMA SMA SMA SD SMA
Wiraswasta Tidakbekerja IRT IRT Wiraswasta Wiraswasta IRT Polisi
SD
Kawin Tidak kawin Tidak kawin Tidak kawin
SMA
Kawin Tidak kawin Tidak kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin
No
Nama
Cara Penularan
Lama
Stadium
ARV
HIV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
NKS IWD I GN AP STR I NM IDR AT RA TF NKS PUW PS NND IWS NWS I MAA NKW NKWi AS KE N IGS HaR KD IKH IKS NNA Am NWDP CH LI f YD NKAr DAW IMW AGJ
Pasangan heteroseks Heteroseksual Heteroseksual Heteroseksual Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Heteroseksual Homoseksual Homoseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Heteroseksual Heteroseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Homoseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Heteroseksual
6 7 13 6 12 11 37 6 10 9 15 8 8 10 19 30 6 15 6 6 6 6 6 6 6 10 14 6 12 13 7 6 7 6 11
Lama ARV (tahun)
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4 1 2 2 1 1 1 4 3
Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
5 0 10 3 0 10 9 4 10 1 2 2 7 5 11 11 5 11 3 4 4 1 1 0 2 9 10 6 8 10 6 3 1 1 10
No 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Nama NMS Ni Nyoman Ciri NWW IT AR NMLW AI IWEM NKH IwS IMS NKYP NNS IAU Yun GJ NNWi NPSM IWB Pr RI SF BBR FR EV NKSP LP NWWA NLPA NNK IPS
Cara Penularan
Lama Stadium ARV HIV Pasangan heteroseks 6 3 Tidak Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks IDU Heteroseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Heteroseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual Biseksual Heteroseksual Heteroseksual Biseksual Homoseksual Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Pasangan heteroseks Heteroseksual
6 14 27 6 9 53 6 9 7 9 6 6 7 13 6 7 8 8 7 13 15 16 8 6 7 8 8 6 25 7
2 4 1 4 3 3 2 1 2 1 1 3 4 4 4 4 4 2 2 4 4 4 4 4 3 1 4 4 4 1
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya
Lama ARV (tahun) 0 5 11 3 4 8 11 5 9 0 7 7 0 5 10 2 1 5 5 5 2 4 11 5 5 2 7 5 0 11 3
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama
NKS IWD I GN AP STR I NM IDR AT RA TF NKS PUW PS NND IWS NWS I MAA NKW NKWi AS KE N IGS HaR KD IKH IKS NNA Am NWDP CH LI f YD NKAr DAW IMW AGJ
Tinggi
CD4
Nyeri
Badan (cm)
nadir
Neuropatik
160 165 160 160 165 152 170 159 172 155 168 170 160 170 153 177 160 155 165 150 167 150 160 165 178 150 150 160 167 162 169 162 155 164 170
4 6 8 6 4 57 14 99 15 2 10 4 17 95 30 50 76 51 130 121 38 47 47 12 81 11 65 266 244 507 293 247 283 310 292
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
LANSS
24 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 0 0 0 0 0 0 0 0
No 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Nama NMS Ni Nyoman Ciri NWW IT AR NMLW AI IWEM NKH IwS IMS NKYP NNS IAU Yun GJ NNWi NPSM IWB Pr RI SF BBR FR EV NKSP LP NWWA NLPA NNK IPS
Tinggi Badan (cm) 170
CD4 nadir 309
Nyeri Neuropatik Tidak
LANSS
161 153 165 170 155 156 160 160 162 170 152 165 164 165 165 155 153 172 165 163 165 170 171 147 160 150 170 160 150 170
234 291 274 233 251 256 294 293 273 349 339 279 20 151 22 103 174 176 179 31 50 165 119 146 211 208 237 391 204 244
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 14 14 14 14 14
0
LAMPIRAN 7. ANALISIS SPSS Lampiran 7.1 Umur subyek penelitian (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
22
1
3.0
3.0
3.0
23
1
3.0
3.0
6.1
24
1
3.0
3.0
9.1
25
1
3.0
3.0
12.1
27
2
6.1
6.1
18.2
30
1
3.0
3.0
21.2
31
1
3.0
3.0
24.2
32
4
12.1
12.1
36.4
33
3
9.1
9.1
45.5
34
4
12.1
12.1
57.6
35
2
6.1
6.1
63.6
36
2
6.1
6.1
69.7
37
1
3.0
3.0
72.7
38
2
6.1
6.1
78.8
39
3
9.1
9.1
87.9
40
4
12.1
12.1
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.2 Umur subyek penelitian (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
19
1
3.0
3.0
3.0
23
2
6.1
6.1
9.1
25
4
12.1
12.1
21.2
28
1
3.0
3.0
24.2
30
4
12.1
12.1
36.4
32
2
6.1
6.1
42.4
33
4
12.1
12.1
54.5
34
5
15.2
15.2
69.7
35
1
3.0
3.0
72.7
36
2
6.1
6.1
78.8
38
2
6.1
6.1
84.8
39
1
3.0
3.0
87.9
40
4
12.1
12.1
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.3 Umur subyek penelitian (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
<30
6
18.2
18.2
18.2
=>30
27
81.8
81.8
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.4 Umur subyek penelitian (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
<30
8
24.2
24.2
24.2
=>30
25
75.8
75.8
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.5 Jenis kelamin subyek (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Laki-laki
14
42.4
42.4
42.4
Perempuan
19
57.6
57.6
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.6 Jenis kelamin subyek (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Laki-laki
14
42.4
42.4
42.4
Perempuan
19
57.6
57.6
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.7 Status pernikahan (Kasus) Frequency Valid
Nikah Belum menikah Total
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
26
78.8
78.8
78.8
7
21.2
21.2
100.0
33
100.0
100.0
Lampiran 7.8 Status pernikahan (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Nikah
20
60.6
60.6
60.6
Belum menikah
13
39.4
39.4
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.9 Status pendidikan (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
SD
6
18.2
18.2
18.2
SMP
6
18.2
18.2
36.4
SMA
17
51.5
51.5
87.9
4
12.1
12.1
100.0
33
100.0
100.0
Akademi/Diploma/PT Total
Lampiran 7.10 Status pendidikan (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
SD
5
15.2
15.2
15.2
SMP
7
21.2
21.2
36.4
SMA
17
51.5
51.5
87.9
4
12.1
12.1
100.0
33
100.0
100.0
Akademi/Diploma/PT Total
Lampiran 7.11 Jenis pekerjaan subyek (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pegawai Negeri
2
6.1
6.1
6.1
Pegawai Swasta
7
21.2
21.2
27.3
Wiraswasta
10
30.3
30.3
57.6
Buruh/Tani
2
6.1
6.1
63.6
Lain-lain
12
36.4
36.4
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.12 Jenis pekerjaan subyek (Kontrol) Frequency Valid
Pegawai Swasta
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
14
42.4
42.4
42.4
Wiraswasta
6
18.2
18.2
60.6
Buruh/Tani
2
6.1
6.1
66.7
Lain-lain
11
33.3
33.3
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.13 Cara penularan HIV (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Heteroseksual
14
42.4
42.4
42.4
Homoseksual
2
6.1
6.1
48.5
Pasangan heteroseksual
17
51.5
51.5
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.14 Cara penularan HIV (Kontrol) Frequency Valid
IDU
Percent
Valid Percent
1
3.0
3.0
3.0
Heteroseksual
12
36.4
36.4
39.4
Homoseksual
2
6.1
6.1
45.5
Biseksual
2
6.1
6.1
51.5
Pasangan heteroseksual
16
48.5
48.5
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.15 Lama menderita HIV (Kasus) Frequency Valid
Cumulative Percent
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
> 1 tahun
8
24.2
24.2
24.2
=< 1 tahun
25
75.8
75.8
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.16 Lama menderita HIV (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
> 1 tahun
9
27.3
27.3
27.3
=< 1 tahun
24
72.7
72.7
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.17 Stadium HIV WHO (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Stadium 4
29
87.9
87.9
87.9
Stadium 3
1
3.0
3.0
90.9
Stadium 1
3
9.1
9.1
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.18 Stadium HIV WHO (Kasus) Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Rendah
3
9.1
9.1
9.1
Tinggi
30
90.9
90.9
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.19 Stadium HIV WHO (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Stadium 4
13
39.4
39.4
39.4
Stadium 3
5
15.2
15.2
54.5
Stadium 2
7
21.2
21.2
75.8
Stadium 1
8
24.2
24.2
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.20 Stadium HIV WHO (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Rendah
15
45.5
45.5
45.5
Tinggi
18
54.5
54.5
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.21 Konsumsi ARV (Kasus) Frequency Valid
Ya
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
29
87.9
87.9
87.9
Tidak
4
12.1
12.1
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.22 Konsumsi ARV (Kontrol) Frequency Valid
Ya
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
30
90.9
90.9
90.9
Tidak
3
9.1
9.1
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.23 Lama pengobatan HIV (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
6-11 bulan
12
36.4
36.4
36.4
< 6 bulan
21
63.6
63.6
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.24 Lama pengobatan HIV (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
6-11 bulan
11
33.3
33.3
33.3
< 6 bulan
22
66.7
66.7
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.25 Tinggi badan subyek (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
=> 170 cm
9
27.3
27.3
27.3
< 170 cm
24
72.7
72.7
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.26 Tinggi badan subyek (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
=> 170 cm
7
21.2
21.2
21.2
< 170 cm
26
78.8
78.8
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.27 Angka CD 4 Nadir (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
3.0
3.0
3.0
4
3
9.1
9.1
12.1
6
2
6.1
6.1
18.2
8
1
3.0
3.0
21.2
10
1
3.0
3.0
24.2
11
1
3.0
3.0
27.3
12
1
3.0
3.0
30.3
14
1
3.0
3.0
33.3
15
1
3.0
3.0
36.4
17
1
3.0
3.0
39.4
30
1
3.0
3.0
42.4
38
1
3.0
3.0
45.5
47
2
6.1
6.1
51.5
50
1
3.0
3.0
54.5
51
1
3.0
3.0
57.6
57
1
3.0
3.0
60.6
65
1
3.0
3.0
63.6
76
1
3.0
3.0
66.7
81
1
3.0
3.0
69.7
95
1
3.0
3.0
72.7
99
1
3.0
3.0
75.8
121
1
3.0
3.0
78.8
130
1
3.0
3.0
81.8
204
1
3.0
3.0
84.8
208
1
3.0
3.0
87.9
211
1
3.0
3.0
90.9
237
1
3.0
3.0
93.9
244
1
3.0
3.0
97.0
391
1
3.0
3.0
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.28 Angka CD 4 Nadir (Kasus) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
=<200
27
81.8
81.8
81.8
>200
6
18.2
18.2
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.29 Angka CD 4 Nadir (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
20
1
3.0
3.0
3.0
22
1
3.0
3.0
6.1
31
1
3.0
3.0
9.1
50
1
3.0
3.0
12.1
103
1
3.0
3.0
15.2
119
1
3.0
3.0
18.2
146
1
3.0
3.0
21.2
151
1
3.0
3.0
24.2
165
1
3.0
3.0
27.3
174
1
3.0
3.0
30.3
176
1
3.0
3.0
33.3
179
1
3.0
3.0
36.4
233
1
3.0
3.0
39.4
234
1
3.0
3.0
42.4
244
1
3.0
3.0
45.5
247
1
3.0
3.0
48.5
251
1
3.0
3.0
51.5
256
1
3.0
3.0
54.5
266
1
3.0
3.0
57.6
273
1
3.0
3.0
60.6
274
1
3.0
3.0
63.6
279
1
3.0
3.0
66.7
283
1
3.0
3.0
69.7
291
1
3.0
3.0
72.7
292
1
3.0
3.0
75.8
293
2
6.1
6.1
81.8
294
1
3.0
3.0
84.8
309
1
3.0
3.0
87.9
310
1
3.0
3.0
90.9
339
1
3.0
3.0
93.9
349
1
3.0
3.0
97.0
507
1
3.0
3.0
100.0
33
100.0
100.0
Total
Lampiran 7.30 Angka CD 4 Nadir (Kontrol) Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
=<200
12
36.4
36.4
36.4
>200
21
63.6
63.6
100.0
Total
33
100.0
100.0
Lampiran 7.31 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Umur subyek penelitian
.134
66
.005
.939
66
.003
Lama pengobatan HIV
.143
66
.002
.920
66
.000
Tinggi badan subyek
.107
66
.058
.962
66
.041
Angka CD 4 Nadir
.143
66
.002
.912
66
.000
Stadium HIV WHO
.388
66
.000
.669
66
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Lampiran 7.32 Nyeri neuropatik * Angka CD 4 Nadir Crosstabulation Angka CD 4 Nadir =<200 nyeri neuropatik
ya
Count Expected Count
tidak
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
>200
Total
27
6
33
19.5
13.5
33.0
12
21
33
19.5
13.5
33.0
39
27
66
39.0
27.0
66.0
Lampiran 7.33 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
Pearson Chi-Square
14.103a
1
.000
Continuity Correctionb
12.285
1
.000
Likelihood Ratio
14.746
1
.000
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
.000
Linear-by-Linear Association
13.889
N of Valid Cases
66
1
.000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Angka CD 4 Nadir (=<200 / >200)
7.875
2.534
24.472
For cohort nyeri neuropatik = ya
3.115
1.492
6.504
.396
.237
.660
For cohort nyeri neuropatik = tidak N of Valid Cases
66
.000