KUALITAS HIDUP REMAJA TUNADAKSA MUSCULUS SKELETAL SYSTEM
Dorothea Andra Dhesna Aquarista Chr. Hari Soetjiningsih Ratriana Y.E Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa pencarian identitas dan kebebasan. Begitu pula yang diharapkan terjadi pada remaja dengan tunadaksa Musculus Skeletal System. Akan tetapi keterbatasan fisik yang dimiliki oleh remaja tunadaksa Musculus Skeletal System dapat menimbulkan berbagai persoalan. Persoalan- persoalan tersebut seringkali memengaruhi penilaian mereka mengenai kualitas hidup yang dimiliki. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendeskripsikan gambaran kualitas hidup yang dipersepsikan oleh remaja penderita tunadaksa Musculus Skeletal System. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pengambilan datanya menggunakan teknik wawancara dan observasi. Partisipan dalam penelitian ini merupakan 2 orang remaja (10- 22 tahun) yang menderita tunadaksa Musculus Skeletal System. Karakteristik lain dari partisipan penelitian adalah dapat berkomunikasi dengan lancar dan tidak memiliki kelainan fungsi yang lain (tuna ganda). Adapun kualitas hidup partisipan dilihat sejak partisipan memasuki usia remaja sampai dengan saat ini. Hasil penelitian menunjukkan partisipan memiliki gambaran kualitas hidup yang baik berdasarkan empat dimensi kualitas hidup. Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah lebih menggali faktor- faktor yang memengaruhi kualitas hidup partisipan, dan menggunakan partisipan dengan rentang usia yang tidak terpaut jauh.
Kata Kunci : Kualitas Hidup, Remaja, Musculus Skeletal System
ABSTRACT
Adolescent is the period when the teenagers are seeking their identities and freedom. It is hoped that this period can also happen smoothly on the teenagers with Musculus Skeletal System disability. However, physical disability of those teenagers can create some problems which influence their values toward quality of life. Therefore, this study is aimed to describe the conceptions of life quality apprehended by the teenagers who have Musculus Skeletal System. This study uses qualitative method in which interview and observation are applied as procedures of data collection. Participants of the study are two teenagers (age 10- 22) who have Musculus Skeletal System disability. Participants can communicate normally and do not have other abnormalities (in this case; double disabilities). The life quality of the participants was seen from the beginning of adolescent until recently. The study results that according to 4 quality of life dimensions, the participants have good conceptions of life quality. Some suggestions for the next study are to dig deeper about the factors affecting participants’ quality of life, and to use participants whose ages are not much different.
Key words: Quality of Life, Teenagers, Musculus Skeletal System
1
PENDAHULUAN Setiap
orang
ingin
dilahirkan
dalam keadaan fisik yang
normal dan
sempurna, akan tetapi tidak semua mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan atau kelainan. Mereka yang memiliki kecacatan fisik, biasa disebut tunadaksa. Tunadaksa sendiri dibagi menjadi 2 kelompok besar oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa, yaitu kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan kelainan pada sistem otot dan
rangka
(Musculus
Skeletal
System). Musculus Skeletal System berarti
penggolongan anak tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan
anggota tubuh yang mengalami
kelainan, antara lain: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang (Mangunsong, 1998). Tunadaksa jenis ini dibagi menjadi dua, yaitu (1) Poliomylitis biasanya penderita polio yang mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah, dan (2) Muscle Dystrophy anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot yang sifatnya progresif, semakin hari semakin parah. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Aspek fisik pada
penderita
Musculus Skeletal
ketidaksempurnaan. Kondisi
tersebut
System memiliki
menyebabkan
ruang
keterbatasan atau gerak
kehidupan
penderita Musculus Skeletal System juga akan sangat terbatas. Menurut Piaget (dalam Somantri, 2006), anak tersebut tidak mampu memperoleh skema baru dalam beradaptasi dengan suatu laju perkembangan yang normal. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara anak-anak normal dan anak-anak tunadaksa musculus skeletal system menjadi lebih jelas dengan bertambah besarnya anak tersebut. Kesenjangan ini akan semakin nampak pada masa remaja dimana anak mengalami masa
2
pertumbuhan dan masa perkembangan baik fisik maupun psikis. Memasuki masa remaja adalah sekitar usia 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (dalam Santrock, 2007). Dalam Santrock (2007) dikatakan bahwa remaja merupakan masa pencarian identitas dan kebebasan. Proses pencarian identitas atau jati diri ini memerlukan
kemandirian, yang merupakan tugas perkembangan yang harus
dicapai oleh setiap remaja. Begitu pula dengan remaja penyandang musculus skeletal system. Remaja Musculus Skeletal System diharapkan dapat menemukan jati diri dan kebebasan sebagai individu. Namun adanya keterbatasan yang dimiliki, seringkali membuat remaja musculus skeletal system menjadi malu dan takut terhadap dunia luar. Hal ini bertambah besar dengan adanya pandangan masyarakat yang hanya melihat kekurangan dalam diri remaja penderita musculus skeletal system. Masyarakat cenderung memandang sebelah mata remaja dengan musculus skeletal system. Bahkan tidak jarang mereka dikucilkan dari lingkungan masyarakat. Keterbatasan fisik yang dimiliki serta anggapan negatif dan perlakuan buruk yang diterima dari masyarakat dapat menjadikan tunadaksa musculus skeletal system, khususnya yang berada pada masa remaja, semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka benarbenar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial dan tidak dapat merawat diri sendiri. Hal-hal inilah yang pada akhirnya memengaruhi penilaian mereka mengenai kualitas hidup yang dimiliki. Menurut World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL, 1997), kualitas hidup merupakan persepsi subjektif individu mengenai posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal dan
3
hubungannya terhadap tujuan, harapan, standar dan kepedulian seseorang selama hidupnya. Secara umum, terdapat 4 dimensi kualitas hidup menurut WHOQOL- BREF, yaitu: kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan
medis,
energi
dan
kelelahan,
mobilitas,
adanya
rasa
nyeri
dan
ketidaknyamanan, waktu tidur dan istirahat, serta kapasitas kerja seseorang. Untuk dimensi psikologis, kualitas hidup seseorang meliputi gambaran seseorang tentang dirinya, perasaan negatif, perasaan positif, harga diri, kepercayaan yang dianut atau agama, serta proses kognitif. Dimensi hubungan sosial terdiri atas 3 item, yaitu hubungan personal, dukungan sosial, dan aktivitas seksual. Sedangkan pada dimensi lingkungan, kualitas hidup seseorang mencakup sumber pendapatan, kebebasan dan keamanan, kepedulian sosial akan kesehatan, lingkungan tempat tinggal, kesempatan untuk mendapat pengetahuan dan informasi baru, peluang untuk melakukan rekreasi, kondisi lingkungan fisik, dan transportasi. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup menurut Raeburn dan Rootman (dalam Renwick & Brown, 1996), antara lain: kontrol hidup, kesempatan, sumber daya, sistem dukungan (support system), keterampilan, kejadian dalam hidup (life event), perubahan politik dan perubahan lingkungan. Carr dan Higginson (dalam Kusumawardhani, 2012) menyatakan bahwa kualitas hidup merupakan suatu konstruk yang bersifat individual. Berdasarkan hal ini, komponen objektif dari kualitas hidup tidak memengaruhi kualitas hidup itu sendiri secara langsung melainkan diperantarai oleh persepsi individu. Karena sifatnya yang subjektif tersebut, maka kualitas hidup menarik untuk diteliti lebih mendalam.
4
Penelitian tentang kualitas hidup pernah dilakukan oleh Van der Beek dkk. (2012). Dalam penelitian yang dilakukan pada penderita neuromuskular, dikemukakan bahwa stigma diri merupakan prediktor terkuat yang memengaruhi rendahnya kualitas hidup jika dibandingkan dengan keadaan sebenarnya. Penelitian lain mengenai kualitas hidup juga pernah dilakukan oleh Kusumawardhani (2012). Dalam penelitian yang dilakukan pada penyandang skoliosis tersebut, diketahui bahwa penyandang skoliosis pada wanita usia dewasa muda memiliki kualitas hidup yang tinggi, dan hubungan sosial merupakan aspek yang memberikan sumbangan tertinggi terhadap kualitas hidup para penyandang skoliosis pada wanita usia dewasa muda. Dari berbagai penjelasan menurut para ahli, penulis beranggapan bahwa penderita Musculus Skeletal System dapat melakukan komunikasi dengan baik karena tidak seperti Cerebral Palsy, Musculus Skeletal System tidak memiliki masalah lain terkait dengan disfungsi otak. Akan tetapi, dengan gerak yang terbatas, penderita Musculus Skeletal System akan mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hal tersebut pada akhirnya memengaruhi kualitas hidup individu yang bersangkutan. Seperti yang dikatakan oleh Pangkahila (2007), bila muncul kemunduran berbagai
fungsi tubuh pada diri seseorang, baik karena penyakit maupun proses
penuaan yang dibiarkan, maka kualitas hidup pun menurun. Dipilihnya
penderita
Musculus Skeletal System yang berada
partisipan
pada
masa
remaja
sebagai
dikarenakan usia remaja merupakan usia penting dalam pencarian identitas, dan pada usia ini seseorang sudah dapat mempersepsikan baik atau buruknya kondisi yang dimiliki.
5
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk menggali lebih dalam gambaran kualitas hidup yang dipersepsikan remaja tunadaksa Musculus Skeletal System. METODE Subjek Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan mengenai kualitas hidup yang dipersepsikan oleh remaja penderita tunadaksa Musculus Skeletal System, maka karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah 2 orang remaja (10-22 tahun) yang menderita tunadaksa Musculus Skeletal System dominan dan dapat berkomunikasi dengan lancar. Karakteristik lainnya adalah tidak memiliki kelainan fungsi yang lain (tuna ganda). Inisial nama
T
A
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat/ tanggal lahir
Bogor, 21 April 1994
Kudus, 13 Juli 2001
Pendidikan
SMA
SMP
Usia
20 tahun
13 tahun
Agama
Islam
Islam
Alamat
Depok
Kudus
Anak ke
2 dari 2 bersaudara
3 dari 3 bersaudara
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan penelitian kualitatif. Sedangkan teknik yang digunakan untuk menentukan partisipan penelitian adalah purposive. Untuk memeroleh gambaran kualitas hidup yang dipersepsikan oleh partisipan, penelitian
6
dilakukan dengan menggunakan dimensi
kualitas hidup dari World Health
Organization Quality Of Life- BREF. Adapun kualitas hidup partisipan dilihat sejak partisipan memasuki usia remaja sampai dengan usianya saat ini. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara dan observasi. Kriteria Keabsahan Data Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini, menggunakan teknik Triangulasi Sumber dengan narasumber psikolog yayasan tempat kedua partisipan bersekolah. HASIL PENELITIAN Partisipan penelitian berjumlah dua orang, satu remaja laki-laki berusia 20 tahun, dan satu remaja perempuan berusia 13 tahun. Kedua partisipan merupakan siswa di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Solo, dan tinggal di asrama yayasan tersebut. Partisipan pertama adalah T, yang merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Ia menderita musculus skeletal system sejak kecil. Sehari-hari, partisipan harus menggunakan kursi roda karena kakinya tidak dapat digunakan untuk menopang tubuhnya. Kakak partisipan yang memiliki perbedaan usia 10 tahun darinya, memiliki kondisi fisik normal. Begitupun dengan kedua orangtuanya. Hubungan partisipan dengan orangtua dan saudaranya sangat dekat. Orangtua dan saudara partisipan tinggal di Depok, Jawa Barat. Sedangkan partisipan tinggal di asrama yayasan tempatnya bersekolah sejak tahun 2004. Meskipun jarang bertemu dengan keluarga, namun partisipan rutin bertukar kabar melalui telepon maupun pesan singkat.
7
Saat ini partisipan tidak memiliki kendala dalam melakukan aktivitas meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya. Ia melakukan kegiatan secara mandiri karena sudah terbiasa hidup di lingkungan asrama yang menuntut kemandirian. Selain mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, partisipan juga tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler perkusi. Partisipan merasa enjoy dengan kondisinya dan tetap beraktivitas sebagaimana orang-orang dengan kondisi fisik yang normal. Sikap enjoy tersebut disampaikannya dalam wawancara, ”Kalau aku sih enjoy. Habisnya kenapa ya, aku pikir kan emang apa, orang itu semua sama. Nggak ada yang beda. Orang bisa jalan tapi otaknya nggak jalan, sama aja kan. Jadi sama sih, enjoy-enjoy aja. (tertawa) Semua sama..” Sejak kecil partisipan mengaku didorong oleh orangtua untuk bergaul dengan teman-teman seusianya yang memiliki kondisi fisik normal. Orangtua partisipan tidak pernah malu atau menyembunyikan partisipan karena kondisi fisiknya. Oleh karena itu, di usia remaja, partisipan memiliki banyak teman dan pergaulan yang luas. Temanteman partisipan tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah dan asrama dengan kondisi fisik serupa dengannya, tetapi juga dari luar yang memiliki kondisi fisik normal. Bersama teman-temannya dari luar lingkungan sekolah dan asrama, partisipan sering menikmati konser musik dan menonton pertandingan sepakbola di stadion. Partisipan kedua adalah A yang juga merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya sudah bekerja, bahkan kakak pertama sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kedua orangtua partisipan sudah pensiun dan tinggal di Kudus. Sama halnya dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak dapat berjalan dengan normal karena kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Sehari-hari partisipan menggunakan kursi roda untuk dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kondisi tersebut berbeda
8
dengan orangtua dan kedua saudara partisipan yang memiliki fisik normal. Partisipan bersekolah dan tinggal di asrama YPAC sejak tahun ajaran baru 2014. Meskipun baru beberapa bulan berada di lingkungan asrama, partisipan sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan asrama. Partisipan memiliki banyak teman di sekolah dan asrama, namun tidak seperti partisipan pertama, ia tidak memiliki teman dari luar. Di lingkungan tempat tinggalnya di Kudus, partisipan memiliki beberapa teman dekat. Teman-temannya tersebut dapat menerima kondisi partisipan dengan baik. Akan tetapi diakui oleh partisipan, ada pula beberapa teman yang tidak bersedia bermain dengannya dan sering memberi cacian atau ejekan. Cacian dan ejekan sering diterima partisipan saat usianya masih anak-anak. Teman-teman menjauhi partisipan karena kondisinya yang berbeda dari mereka. Selain itu, partisipan sedih ketika melihat teman-teman sebayanya dapat berlari dan naik sepeda, berbeda dengan dirinya. Karena hal-hal tersebut, di usia anak-anak, partisipan merasa minder dan putus asa, namun orangtua selalu menenangkannya dengan memberi pengertian dan nasehat. Orangtua mengatakan pada partisipan bahwa kehidupan partisipan harus terus berjalan dan masih banyak orang yang mau berteman dengannya. Setelah menerima
pengertian dan nasehat
tersebut, partisipan dapat mulai
menghilangkan perasaan minder dan putus asa yang dimilikinya. Diakui partisipan, perasaan minder dan putus asa yang pernah dimilikinya semakin hilang ketika ia memasuki masa remaja dan mengenal teman-teman dengan kondisi fisik yang serupa dengannya. Kesehatan fisik (physical health) yang dimiliki kedua partisipan tidak jauh berbeda dari individu lain dengan kondisi fisik normal. Meskipun tidak dapat berjalan dan harus menggunakan kursi roda untuk membantu pergerakannya, kedua partisipan
9
tetap memiliki tenaga untuk dapat melakukan banyak aktivitas, baik di dalam maupun di luar kegiatan sekolah. Kedua partisipan juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sore hari. Partisipan pertama mengikuti ekstrakurikuler perkusi, sedangkan partisipan kedua mengikuti teater. Banyaknya kegiatan yang dilakukan tidak jarang membuat kedua pertisipan kelelahan, namun keduanya mengatakan bahwa rasa lelah akan hilang ketika sudah beristirahat. Di asrama, keduanya memiliki waktu kosong untuk beristirahat setelah kegiatan sekolah, yaitu pada jam 12 hingga jam 3 sore. Baik partisipan pertama maupun partisipan kedua merasa puas dengan waktu istirahat yang mereka miliki tersebut. Banyak orang beranggapan bahwa penyandang tunadaksa bergantung pada obat dan bantuan medis, namun tidak bagi kedua partisipan. Mereka tidak bergantung pada obat dan bantuan medis, dalam hal ini fisioterapi. Selain itu, partisipan pertama tidak merasakan adanya rasa sakit maupun ketidaknyamanan di bagian tubuhnya. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua dalam beberapa hari terakhir sebelum dilakukan wawancara kedua, sempat merasakan sakit di bagian pinggang. Akan tetapi rasa sakit tersebut tidak terlalu sering muncul dan tidak begitu mengganggu. Hal ini disampaikan pada peneliti saat wawancara kedua berlangsung. “Ehm.. baik-baik aja mbak, cuma kadang-kadang sekarang sih mulai sakit di bagian pinggang. Yaa.. nggak terlalu sakit juga sih. Kadang-kadang.. Enggak... Karena.... kecapekan mungkin”. Secara psikologis (psychological) kedua partisipan, menunjukkan adanya perasaan positif. Perasaan positif tersebut terlihat ketika kedua partisipan menganggap kehidupannya berarti dan menyenangkan. Keduanya merasa kondisi fisik yang mereka miliki memberi pengalaman tersendiri yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Adanya perasaan positif pada kedua partisipan dapat menghilangkan rasa minder dan
10
putus asa, seperti yang sempat dimiliki oleh partisipan kedua. Dalam diri partisipan pertama, tidak pernah muncul rasa minder dan putus asa karena menurutnya, ia sama dengan orang lain, yang membuatnya berbeda hanya pada fisik. Hal lain yang muncul dalam diri kedua partisipan adalah semangat untuk meraih cita-cita. Ada harapan dalam diri kedua partisipan untuk dapat memiliki masa depan yang lebih baik dan menjadi orang sukses yang mampu mendirikan usaha sendiri. Oleh karena itu, kedua partisipan bersemangat untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Kedua partisipan juga menunjukkan adanya harga diri, dimana mereka tidak ingin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Keduanya ingin orang lain melihat mereka atas siapa diri mereka, bukan melihat fisik. Hal tersebut seperti disampaikan oleh partisipan pertama, “Jangan anggap aku tuh beda, cuman aku tuh ya udah, T.. Seorang T, ya T. Jangan.. eh T yang orangnya ini. Enggak.. Itu lho T yang misalnya, pinter ini.. ini.. Gitu. Iya dong.. Dari keahliannya.” Dalam kaitannya dengan proses kognitif, kedua partisipan mengaku dapat mengingat materi yang disampaikan oleh pengajar dan dapat berkonsentrasi dalam pelajaran. Selain itu, partisipan pertama memiliki prestasi dari mengikuti beberapa lomba. Partisipan ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba sains dan IT, dan berhasil meraih juara. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua belum memiliki kesempatan untuk mewakili sekolah berkaitan dengan keikutsertaannya dalam lomba. Dalam kehidupannya, kedua partisipan tidak dapat lepas dari hubungan sosial (social relationships) dengan orang-orang sekitar. Hubungan sosial ditandai dengan adanya relasi dengan orang lain, baik orangtua, teman, pengajar, pengurus asrama, maupun orang-orang di sekitarnya. Orang-orang tersebut diakui oleh kedua partisipan
11
memberikan bantuan dan dukungan bagi partisipan, mereka juga dapat menerima kekurangan yang dimiliki oleh kedua partisipan. Menurut kedua partisipan, bantuan dan dukungan yang mereka terima bukanlah bantuan yang membuatnya manja atau bergantung pada orang lain, melainkan bantuan dan dukungan yang mendorongnya untuk dapat mengembangkan diri dan mengoptimalkan kemampuan. Berkaitan dengan Lingkungan (environment), kedua partisipan memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya. Partisipan pertama merasa aman ketika harus berpergian seorang diri karena masyarakat di Solo cenderung menganggap kaum difabel sama dengan orang normal. Sedangkan partisipan kedua mengaku kurangnya rasa aman pada saat keluar asrama atau berpergian seorang diri, terlebih di malam hari. Ia mengaku pernah “digodain” bapak-bapak di depan asrama ketika keluar untuk membeli makanan. Ketika berpergian, partisipan pertama beberapa kali menggunakan transportasi umum. Menurutnya sarana transportasi umum yang biasa ia gunakan untuk berpergian, seperti Trans Batik Solo, sudah cukup nyaman bagi penyandang difabel karena menyediakan tempat khusus untuk pengguna kursi roda. Sedangkan partisipan kedua belum pernah menggunakan transportasi umum ketika remaja. Terakhir kali menggunakan transportasi umum adalah ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari lingkungan tempat tinggal, lingkungan asrama dirasa cukup nyaman bagi kedua partisipan. Akan tetapi kedua partisipan mengaku adanya kekurangan dalam hal kebersihan di kamar mandi. Tinggal di asrama bukan berarti menutup kemungkinan bagi kedua partisipan untuk memeroleh informasi dari luar. Keduanya tetap dapat mengikuti informasi dan perkembangan terbaru melalui situs berita online yang dapat diakses dari handphone maupun menyaksikan siaran berita di televisi. Di waktu luang, kedua partisipan juga
12
memiliki
kesempatan
untuk
refreshing.
Partisipan
pertama
mengaku
sering
menggunakan waktu luangnya untuk menikmati konser musik atau menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion. Partisipan dapat pergi ke acara-acara tersebut setelah diberi ijin oleh pengurus asrama. Biasanya, partisipan pergi dengan teman-temannya dari luar sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut diakui partisipan dapat menghilangkan kejenuhan dan menjauhkannya dari stress. Hal berbeda disampaikan oleh partisipan kedua yang lebih memilih tinggal di asrama dengan teman-teman. Secara keseluruhan, proses pengambilan data berjalan baik dan lancar. Peneliti selalu menyesuaikan jadwal kedua partisipan terlebih dahulu, sebelum datang ke asrama untuk melakukan wawancara. Sepanjang proses pengambilan data berlangsung, terlihat bahwa partisipan pertama dapat lebih akrab dengan peneliti. Sejak pertemuan pertama, partisipan sudah bersifat terbuka dan menceritakan banyak hal tanpa rasa malu. Sedangkan partisipan kedua masih malu-malu dan lebih pendiam. Dari hasil triangulasi sumber, dikatakan oleh psikolog yayasan tempat kedua partisipan bersekolah bahwa kedua partisipan merupakan individu yang supel, ceria dan mudah dekat dengan orang lain. Menurut sumber, baik partisipan pertama maupun partisipan kedua tidak pernah menunjukkan perasaan minder, putus asa, maupun menarik diri. Keduanya adalah anak-anak dengan kepercayaan diri yang baik. PEMBAHASAN Fokus penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kualitas hidup yang dipersepsikan oleh remaja tunadaksa Musculus Skeletal System. Musculus Skeletal System itu sendiri berarti penggolongan tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan
anggota tubuh yang
mengalami kelainan, antara lain: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang
13
(Mangunsong, 1998). Kedua partisipan memiliki kelainan fisik pada anggota geraknya. Adanya keterbatasan fisik pada anggota gerak tersebut pada akhirnya memengaruhi penilaian keduanya mengenai kualitas hidup yang dimiliki. Kualitas hidup sendiri didefinisikan sebagai persepsi
subjektif
individu
mengenai
posisinya dalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal dan hubungannya terhadap tujuan, harapan, standar dan kepedulian seseorang selama hidupnya (WHOQOL, 1997). Kesehatan fisik yang dimiliki kedua partisipan tidak jauh berbeda dari individu lain dengan kondisi fisik normal. Keduanya memiliki fisik yang sehat dan prima sehingga dapat dapat melakukan berbagai kegiatan, baik yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di sekolah, maupun di luar itu. Mereka juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah di sore hari. Partisipan pertama tergabung dalam kegiatan perkusi, sedangkan partisipan kedua mengikuti kegiatan teater. Keduanya merasa senang dan enjoy dalam menjalani kegiatan sehari-hari, terutama kegiatan ekstrakurikuler yang memang menjadi salah satu hobi mereka. Meskipun dengan keterbatasan fisik, kedua partisipan mengaku memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan kegiatannya sehari-hari. Mereka melakukan semuanya secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian tersebut dimiliki oleh partisipan sejak kecil karena orangtua tidak pernah bersikap memanjakan. Keduanya mengaku dilatih untuk dapat mengurus diri mereka sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Setelah tinggal di asrama, kemandirian tersebut semakin bertambah. Kondisi yang jauh dari orangtua, serta aturan asrama yang mengharuskan siswanya untuk dapat hidup mandiri menjadikan kedua partisipan semakin mampu untuk menjadi individu yang mandiri. Hal-hal kecil seperti mencuci piring yang mereka pakai, mandi, hingga membersihkan
14
tempat tidur mereka lakukan dengan senang hati dan tanpa kesulitan yang berarti. Meskipun tidak semua hal dapat mereka lakukan tanpa bantuan orang lain, namun mereka berusaha melakukannya secara maksimal. Untuk hal-hal lain yang sulit mereka lakukan dengan keterbatasan yang mereka miliki, keduanya mendapat bantuan dari pengurus asrama, maupun dari teman-teman lain yang dapat bergerak dengan lebih leluasa. Dengan kondisi kaki yang tidak dapat digunakan untuk berjalan, ruang gerak kedua partisipan juga akan terbatas. Keduanya harus menggunakan kursi roda untuk dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Meskipun demikian, partisipan pertama merasa tidak mengalami kesulitan karena setiap bagian di sekolah dan asrama dapat dilewati kursi roda. Di luar asrama pun ia dapat menggunakan jalan yang tidak memiliki anak tangga, sehingga dapat dilalui pengguna kursi roda. Kondisi yang sama terjadi pada partisipan kedua saat berada di sekolah dan asrama, namun partisipan memiliki ruang gerak yang lebih terbatas ketika berada di rumahnya di Kudus. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kursi roda, sehingga partisipan harus “ngesot” untuk dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Menurut partisipan, orangtuanya merasa bahwa partisipan belum terlalu membutuhkan kursi roda. Kondisi ini juga berdampak pada terbatasnya kemampuan bersosialisasi partisipan, karena tidak adanya kursi roda menyebabkan partisipan hanya dapat berada di sekitar rumah dan tidak dapat mengenal lingkungan yang lebih luas. Ini sejalan dengan pendapat Piaget (dalam Somantri, 2006) yang menyatakan bahwa individu dengan keterbatasan gerak tidak mampu memperoleh skema baru dalam beradaptasi dengan suatu laju perkembangan yang normal. Banyak orang berpikir bahwa individu dengan keterbatasan fisik seperti Musculus Skeletal System akan bergantung pada obat dan bantuan medis, dalam hal ini
15
fisioterapi. Mengenai hal tersebut, kedua partisipan mengaku tidak memiliki ketergantungan. Mereka hanya mengonsumsi obat ketika merasa pusing, flu, dan penyakit-penyakit ringan lain yang juga sering dialami oleh orang-orang pada umumnya. Lebih jauh diungkapkan oleh partisipan pertama bahwa saat berusia anakanak, ia sering mendapat fisioterapi untuk melatih perkembangan otot, namun seiring dengan pertambahan usia, fisioterapi tersebut sudah tidak diberikan. Tanpa adanya obat maupun fisioterapi, kedua partisipan tidak mengalami gangguan terkait kesehatannya.. Seperti individu lain, kedua partisipan mengalami kelelahan ketika melakukan terlalu banyak kegiatan, namun kelelahan tersebut hilang setelah mereka beristirahat. Selain kelelahan, individu dengan keterbatasan fisik biasanya mengalami rasa sakit atau nyeri pada bagian tubuhnya. Hal tersebut dialami oleh partisipan kedua beberapa hari terakhir sebelum dilakukannya wawancara kedua. Menurut partisipan, ia merasakan nyeri di bagian pinggang. Akan tetapi, rasa nyeri hanya muncul sesekali dan dirasa tidak terlalu mengganggu. Berbeda dengan partisipan kedua, partisipan pertama tidak merasakan nyeri atau sakit di bagian tubuhnya. Selebihnya, kedua partisipan tidak memiliki masalah yang berarti terkait dengan kondisi kesehatan. Mereka puas dengan waktu istirahat dan tidur yang mereka miliki, serta makanan sehat yang disediakan di asrama. Waktu istirahat atau tidur yang cukup dan makanan sehat tersebut diyakini oleh kedua partisipan sebagai kunci kesehatan mereka. Dalam kesehariannya, partisipan juga memiliki kegiatan di sekolah pada pagi hingga siang hari. Selama proses belajar mengajar di sekolah, partisipan pertama mengaku dapat berkonsentrasi dan memiliki daya ingat yang cukup baik. Begitu juga dengan partisipan kedua. Meskipun demikian, keduanya merasa kurang puas dengan hasil belajar mereka. Mereka ingin dapat melakukan lebih baik lagi. Beberapa prestasi
16
pernah dikecap oleh partisipan, seperti yang diungkapkan oleh partisipan pertama. Saat duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, partisipan pertama sudah ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba sains tingkat provinsi dan meraih juara dua. Memasuki usia remaja, partisipan mulai tergabung dalam kegiatan organisasi siswa (OSIS). Melihat kinerja partisipan yang memuaskan, pada tahun 2013, sekolah kembali mengirim
partisipan
untuk
mewakili
sekolah
dalam
lomba
IT.
Partisipan
mempersiapkan diri sungguh-sungguh sebelum lomba berlangsung, dan berkat kesungguhannya tersebut, ia meraih juara dua. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengaku belum pernah mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Hal ini karena partisipan kedua terhitung baru beberapa bulan masuk ke yayasan, sehingga belum memiliki kesempatan untuk mengikuti lomba. Kondisi kesehatan kedua partisipan yang tidak jauh berbeda dengan individu normal dan banyaknya kegiatan yang dapat dilakukan, membuat keduanya memiliki gambaran tentang kehidupan yang berarti dan menyenangkan. Menurut mereka, keterbatasan fisik yang mereka miliki memberi pengalaman tersendiri yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Keduanya juga beranggapan bahwa dengan keterbatasan fisik, bukan berarti mereka tidak lebih baik dari orang-orang dengan kondisi fisik yang normal. Pikiran yang positif ini dapat memberi sumbangan bagi partisipan dalam mempersepsikan kualitas hidupnya. Selain pikiran yang positif, adanya perasaan negatif juga memengaruhi penilaian seseorang mengenai kualitas hidupnya. Pada saat anak-anak, partisipan kedua sempat memiliki perasaan negatif. Partisipan merasakan minder dan putus asa karena diejek dan dijauhi oleh beberapa teman yang memiliki kondisi fisik normal. Partisipan juga sempat merasa sedih ketika melihat teman-teman sebayanya dapat naik sepeda dan berlari,
17
sedangkan ia tidak. Ketika perasaan negatif tersebut muncul, partisipan akan menangis dan putus asa, namun berkat pengertian serta nasehat dari ibunya, partisipan akhirnya dapat menerima keterbatasannya. Menginjak usia remaja, terlebih lagi ketika mulai bersekolah di YPAC, partisipan mulai meninggalkan rasa minder dan putus asa. Ia mulai mengenal dan dekat dengan teman-teman dengan kondisi serupa. Hal tersebut membuatnya mampu menerima keterbatasan yang dimiliki. Kondisi yang dialami oleh partisipan kedua tidak sama dengan partisipan pertama. Partisipan pertama mengaku tidak merasakan minder dan putus asa. Partisipan merasa bahwa ia sama saja dengan orang lain, hanya berbeda dalam kondisi fisik, dan kondisi tersebut bukan alasan untuk menyesali kekurangan atau bahkan merasa minder dan putus asa. Baik partisipan pertama maupun partisipan kedua juga menunjukkan adanya harga diri dimana mereka tidak ingin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Keduanya ingin orang lain melihat mereka atas siapa diri mereka, bukan melihat fisik. Hal lain yang muncul dalam diri kedua partisipan adalah adanya harapan untuk memiliki masa depan yang baik. Keduanya ingin berwirausaha dan membantu orang sekitar. Selain itu, kedua partisipan ingin membuat orangtua mereka bangga. Untuk memenuhi harapan tersebut, kedua partisipan berusaha belajar dengan rajin mulai dari usianya sekarang. Dalam kehidupannya, kedua partisipan tidak dapat lepas dari hubungan sosial dengan orang-orang sekitar. Dukungan sosial yang diberikan orang-orang sekitar sangat penting bagi setiap orang, tanpa terkecuali bagi partisipan. Dengan keterbatasan yang dimiliki, dukungan yang dibutuhkan oleh kedua partisipan akan semakin besar. Partisipan pertama dan kedua mendapat bantuan dan dukungan dari orangtua, saudara, dan teman-teman. Dukungan sosial juga mereka terima dari guru-guru, psikolog,
18
maupun pengurus asrama tempat mereka tinggal. Partisipan pertama mengaku orangtua tidak pernah menyembunyikannya. Partisipan selalu didorong untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebaya, begitu juga yang terjadi pada partisipan kedua. Seperti dikatakan sebelumnya, orangtua selalu membesarkan hati partisipan ketika ia merasa sedih, minder, dan putus asa dengan kondisinya. Sikap orangtua kedua partisipan tersebut berbeda dengan yang disampaikan Sanusi (2011). Menurut Sanusi keterbatasan yang dimiliki anak-anak tunadaksa menjadikan mereka saat ini masih dianggap beban oleh keluarga, bahkan masih ada di antara mereka yang dianggap aib sehingga sering disembunyikan. Selain orangtua, teman sebaya juga dirasa memberikan dukungan bagi kedua partisipan. Dengan keterbatasan fisik mereka, akan sangat sulit mendapat perlakuan menyenangkan dari teman sebaya. Diakui oleh kedua partisipan bahwa ada beberapa teman yang tidak mau bergaul dengan mereka dan sering memberi ejekan, namun lebih banyak lagi teman yang bersedia menerima keterbatasan yang dimiliki keduanya dan menunjukkan sikap bersahabat. Partisipan pertama misalnya, ia sering menghabiskan waktu luang bersama teman-teman dari luar lingkungan sekolah. Menurutnya, temantemannya tersebut sering memberikan bantuan ketika ia mengalami kesulitan. Begitupula ketika partisipan mendapat ejekan atau perlakuan buruk dari masyarakat, teman-temannya akan langsung menjawab ejekan tersebut dan menegur orang yang sudah mengejek partisipan. Seperti ketika partisipan pertama dan teman-temannya berada di sebuah pusat perbelanjaan. Teman-teman partisipan menegur seorang ibu hamil karena merasa tersinggung dengan sikap ibu hamil tersebut yang mengusap perut sambil mengucapkan “amit-amit”. Dukungan lain diberikan oleh teman-teman ketika mengetahui minat partisipan yang begitu besar dalam bidang seni. Teman-teman
19
partisipan memberi saran dan dorongan agar partisipan melanjutkan ke sekolah seni setelah lulus SMA nanti. Tidak jauh berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua juga diberi dukungan oleh teman-temannya untuk dapat melakukan kegiatan yang memang menjadi hobinya. Selain itu, teman-teman juga menjadi tempat berbagi cerita partisipan mengenai cita-citanya. Dukungan dari teman memang memberi pengaruh bagi kehidupan kedua partisipan. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan Sullivan (dalam Haryanto, 2009) bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk
kesejahteraan
dan
perkembangan
anak
dan
remaja.
Mengenai
kesejahteraan, Sullivan menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih sayang (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual. Bukan hanya dari orangtua dan teman-teman, dukungan juga diterima dari pengajar, psikolog, maupun pengurus asrama. Kondisi kedua partisipan yang jauh dari keluarga menjadikan mereka dekat dengan pengajar, psikolog, dan pengurus asrama. Mereka sudah seperti keluarga kedua bagi partisipan. Menurut kedua partisipan, mereka sering memberi nasehat ketika partisipan melakukan kesalahan. Ketika partisipan sedang sakit pun, pengurus asrama akan memberikan perhatian. Sama halnya yang dilakukan orangtua sendiri, pengurus asrama juga pernah memarahi kedua partisipan, seperti saat partisipan kedua lupa mencuci piring yang habis ia gunakan untuk makan. Adanya dukungan sosial ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Raeburn dan Rootman (1994), dimana salah satu faktor yang memiliki peranan penting dalam kualitas hidup yaitu support system atau sistem dukungan (dalam Renwick & Brown,
20
1996). Dikatakan pula bahwa pengaruh dari kualitas hidup anak-anak penyandang cacat sangat tergantung pada bagaimana individu-individu lain memperlakukan mereka. Berkaitan dengan lingkungan, kedua partisipan memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya. Keduanya ikut menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Menurut kedua partisipan, lingkungan asrama dirasa nyaman dan bersih. Hanya saja masih ada kekurangan di bagian kamar mandi. Dikatakan oleh kedua partisipan bahwa kamar mandi asrama memang tidak setiap hari dibersihkan, karena petugas khusus yang biasa membersihkan hanya datang beberapa hari sekali. Selain lingkungan asrama, kedua partisipan juga peduli pada sarana atau tempat umum yang tersedia di sekitar tempat tinggal mereka. Keduanya merasa puas dengan aksebilitas yang disediakan bagi penyandang difabel seperti mereka. Sekarang ini pemerintah sudah menyediakan layanan publik yang dapat digunakan oleh penyandang difabel, seperti tempat khusus untuk kursi roda di Bus Trans Batik Solo, eskalator yang didesain tanpa anak tangga, dan sebagainya. Tempat atau sarana umum yang dilengkapi dengan aksebilitas bagi penyandang difabel, membuat mereka nyaman dan memiliki kemudahan untuk menggunakan atau datang ke tempat tersebut. Mall Solo Paragon misalnya, menurut partisipan pertama, ia dapat mengunjungi tempat tersebut karena menyediakan eskalator yang landai tanpa anak tangga sehingga memungkinkan untuk dilalui kursi roda. Untuk transportasi, partisipan berpendapat bahwa mereka senang dengan perhatian pemerintah yang sudah mulai menyediakan akses bagi penyandang tunadaksa. Mereka dapat naik bus Trans Batik Solo yang dilengkapi dengan tempat kosong untuk kursi roda. Akan tetapi tidak semua alat transportasi dilengkapi akses bagi mereka. Menurut partisipan pertama, ia merasa sungkan untuk menggunakan bus-bus yang tidak dilengkapi aksebilitas, karena akan merepotkan dan mengganggu penumpang lain. Jadi mereka
21
lebih sering menggunakan motor untuk berpergian. Partisipan pertama biasanya pergi bersama teman-teman yang memiliki kondisi fisik normal, sehingga ia mendapat bantuan saat harus naik ataupun turun dari motor. Sama halnya dengan partisipan pertama, partisipan kedua juga biasa pulang ke rumahnya di Kudus dengan motor. Kakak partisipan biasa menjemputnya 2 bulan sekali untuk pulang ke Kudus. Meskipun masih dibawah pengawasan orangtua, namun kedua partisipan mengaku senang diberi kebebasan. Keduanya diberi kebebasan untuk bergaul dengan teman-teman di sekitar, bebas melakukan kegiatan yang mereka sukai, dan masih banyak kebebasan lain yang mereka miliki. Dengan kebebasan tersebut, partisipan pertama tumbuh menjadi individu yang suka mencoba hal-hal baru. Disampaikan oleh partisipan pertama bahwa ia merasa aman ketika harus bepergian seorang diri karena masyarakat di Solo cenderung menganggap kaum difabel sama dengan orang normal. Selain itu, partisipan pertama merasa aman karena ia sudah terbiasa bergaul secara luas dengan orang-orang di luar asrama. Sedangkan partisipan kedua mengaku tidak merasa aman terlebih di malam hari karena pernah “digodain” ketika pergi membeli makanan di luar asrama. Bagi partisipan kedua yang adalah perempuan kondisi tersebut membuatnya tidak nyaman. Partisipan pertama juga memiliki kesempatan untuk refreshing bersama teman-temannya. Partisipan merasa memiliki kebebasan dan sering menggunakan waktu luangnya untuk menikmati konser musik atau menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion. Kegiatan-kegiatan tersebut diakui partisipan dapat menghilangkan kejenuhan dan menjauhkannya dari stress. Partisipan mengatakan bahwa konser yang ia datangi menyediakan tempat khusus bagi penonton dengan kursi roda, seperti konser band Slank, dan konser reggae. Untuk konser musik yang lain, partisipan tidak terlalu mengerti mengenai perlakuan khusus bagi penyandang difabel
22
sepertinya. Partisipan pergi ke tempat-tempat tersebut tidak sendirian. Ia pergi bersama teman-teman dengan kondisi fisik normal yang berasal dari luar lingkungan sekolah. Kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada partisipan kedua. Ia tidak memiliki kesempatan untuk refreshing, Diakui oleh partisipan, sejak kecil orangtua juga tidak mengajaknya untuk berlibur bersama karena sibuk bekerja. Selain itu, partisipan harus digendong ketika pergi ke manapun karena tidak memiliki kursi roda sehingga ia merasa kasihan pada orangtua yang harus menggendongnya ke manapun ketika berpergian. Sekarang ketika partisipan mencapai usia remaja, orangtuanya sudah semakin tua, sehingga kesempatan untuk pergi bersama-sama itu semakin sulit terealisasikan. Partisipan mengaku hanya pergi menikmati waktu luang ketika hari Minggu di Solo Car Free Day (CFD)
bersama teman-teman asrama yang lain.
Meskipun demikian, partisipan tidak merasa kebebasannya hilang. Partisipan mengaku hal tersebut bukan masalah yang berarti baginya karena pada dasarnya ia merupakan anak ”rumahan”. Tinggal di asrama bukan berarti menutup kemungkinan bagi kedua partisipan untuk memeroleh informasi dari luar. Keduanya tetap dapat mengikuti informasi dan perkembangan terbaru melalui situs berita online yang dapat diakses dari handphone maupun menyaksikan siaran berita di televisi. Sama halnya dengan individu lain seusianya, kedua partisipan juga memiliki akun sosial media seperti facebook. Keduanya juga mengaku sering membuka portal berita online melalui opera mini di handphone mereka. Menurut kedua partisipan, informasi dan pengetahuan yang mereka dapat sudah cukup menambah pengetahuan akan dunia luar.
23
Peneliti menemukan faktor usia turut memberikan sumbangan bagi kedua partisipan dalam mempersepsikan kualitas hidupnya. Partisipan pertama berada pada masa remaja akhir, sehingga cenderung memiliki pikiran yang lebih matang. Hal tersebut menjadikan partisipan pertama lebih dapat menerima keterbatasan yang dimiliki serta dapat lebih dewasa menyikapi perlakuan yang diterima dari orang lain. Sedangkan partisipan kedua berada pada masa remaja awal yang masih mengalami kebingungan dalam pencarian identitas. Partisipan cenderung masih mudah terpengaruh dengan penilaian dan perlakuan yang diterima dari orang di sekitarnya. Berdasarkan pengertian kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQOL (1997), hasil wawancara dan observasi menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki kualitas
hidup
yang
baik.
Mereka
menganggap
kehidupannya
berarti
dan
menyenangkan. Terlepas dari beberapa persoalan yang muncul, kedua partisipan merasa semua itu sebagai pengalaman yang menjadikan kehidupannya berbeda dari yang dimiliki oleh orang lain. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, gambaran kualitas hidup yang dipersepsikan remaja tunadaksa Musculus Skeletal System adalah sebagai berikut: 1.
Kedua partisipan merasa sehat dan tidak memiliki masalah berarti terkait dengan keterbatasan fisik yang dimiliki
2.
Partisipan menggambarkan kehidupannya menyenangkan dan berarti. Dengan keterbatasan fisik, kedua partisipan dapat tetap mengambil pelajaran dari kondisi tersebut.
3.
Tidak adanya rasa minder maupun putus asa setelah memasuki masa remaja.
24
4.
Kedua partisipan memperoleh dukungan dari orang- orang di sekitarnya. Dukungan tersebut mendorong partisipan untuk dapat mengembangkan diri dan mengoptimalkan kemampuan
5.
Lingkungan tempat tinggal yang kental dengan sistem nilai dan budaya Solo membuat kedua partisipan nyaman karena tidak membedakan kaum difabel. Berdasarkan penelitian sudah dilakukan, beberapa saran bagi beberapa pihak
terkait antara lain: 1.
Bagi remaja dengan tunadaksa Musculus Skeletal System : Memiliki kekurangan fisik memang menjadikan seseorang merasa rendah diri, minder, putus asa, bahkan tidak jarang seseorang tidak dapat menerima dirinya. Terutama di masa remaja yang merupakan masa pencarian identitas dan jati diri. Akan tetapi, jika remaja dengan Musculus Skeletal System mampu untuk menerima kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan, remaja Musculus Skeletal System dapat berprestasi dan meraih kesuksesan lebih dari orang lain dengan kondisi fisik normal. Terlebih jika dilengkapi dengan niat dan usaha serta kerja keras.
2.
Bagi masyarakat Individu dengan keterbatasan fisik memiliki talenta dan dapat berprestasi sama halnya dengan individu lain yang memiliki kondisi fisik normal. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak mengucilkan dan memberi stigma pada individu dengan keterbatasan fisik, melainkan memberi dukungan dan penerimaan.
3.
Bagi pemerintah Diharapkan pemerintah dapat memberikan perhatian untuk penyandang difabel, khususnya tunadaksa Musculus Skeletal System dengan meningkatkan penyediaan
25
sarana publik yang dapat digunakan oleh penyandang tunadaksa Musculus Skeletal System. 4.
Bagi peneliti selanjutnya : a.
Penulis merekomendasikan agar peneliti selanjutnya dapat menggali lebih dalam faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup sehingga menghasilkan informasi yang lebih luas
b.
Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan partisipan dengan rentang usia yang tidak terpaut jauh
26
DAFTAR PUSTAKA
Dimsdale, J. E. (1995). Quality of life in behavioral medicine research. New Jersey: Lawrence Exlbaum Associates Publishers. Haryanto.
(2009). Karakteristik Remaja. Tersedia di http://belajarpsikologi.com/karakteristik-remaja/ tanggal 20 Oktober 2014
Hendriani, W. (2011). Dukungan orangtua sebagai determinan sosial bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus. Skripsi (tidak diterbitkan). Tersedia di http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtuasebagai-determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/ tanggal 24 Mei 2013 Hurlock, E. B. (1992). Psikologi suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kusumawardhani, B. S. (2012). Kualitas hidup penyandang skoliosis pada wanita usia dewasa muda. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Depok: LPSP3 UI. Moleong, L.J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Monks, F.J., Haditono, S.R., Knoers, A.M.P. (2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Papalia, D. E., et. al. (2008). Human development (psikologi perkembangan). Alih Bahasa: A.K. Anwar. Jakarta: Prenada Media Group Patton, Q.M. (2002) Qualitative research and evaluation metode. (3nd ed.). California: Sage Publication, Inc. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (Edisi 3). Depok: LPSP3. Rahayuningsih, E. (2012). Analisis kualitas hidup penderita kusta di puskesmas kedaung wetan kota Tangerang. Thesis (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Biostatistika Universitas Indonesia. Rapley, M. (2003). Quality of life research. SAGE Publications. Renwick, R, & Brown, I. (1996). Quality of life health promotion and rehabilitation. California: SAGE Publications, Inc.
27
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak (Vol.11). Jakarta: Erlangga. Sarwono, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta: UMM Persada. Sehanz,
N. (2012). Teori kualitas hidup. Tersedia di http://sehansnza.blogspot.com/2012/05/teori-kualitas-hidup.html tanggal 22 Mei 2013
Somantri, S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama. Sugiyono.(2012). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sunusi, M. (2011). Anak cacat perlu pelayanan dan pendidikan khusus. Tersedia di http://makmursunusi.blogspot.com/2011/01/anak-cacat-perlu-pelayanandan.html tanggal 22 Mei 2013 The WHOQOL Group. (1997). Measuring quality of life. Geneva: WHO. Van der Beek, K.M., Bos, Isaac., Middel, Berrie., & Wynia, Klaske. (2013). Experienced stigmatization reduced quality of life of patients with a neuromuscular disease: a cross-sectional study. Clinical Rehabilitation: SAGE Publications. Widyanti, S. (2013). Pengertian dan jenis anak berkebutuhan khusus. Tersedia di http://suswidyanti.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-jenis-anakberkebutuhan.html tanggal 25 Mei 2013 Wikipedia.
(2013). Anak berkebutuhan khusus. Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus tanggal 16 Mei 2013
Yin, R. (1994) Case study research design & method. London: Sage Publication.