KONTEKSTUALISASI HADIS – HADIS KORUPSI SEBUAH KAJIAN HADIS MAUDU’I
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teologi Islam (S.Th.I)
Muhib Rosyidi 106034001206
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul “Kontekstualisasi Hadis-Hadis Korupsi; Sebuah Kajian Hadis Maudu’i” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satau (S1) pada Jurusan Tafsir-Hadis. Jakarta, 18 Juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua merangkap anggota,
Sekretaris merangkap anggota,
Dr. Bustamin M.Si NIP. 19630701 199803 1 003
Rifqi Muhammad Fatkhi M.Ag NIP. 19770120 200312 1 003
Anggota,
Masykur Hakim MA, Ph.D NIP. 19570223 19903 1 001
Pembimbing,
Dr. Bustamin M.Si NIP.19630701 199803 1 1003
ABSTRAK “Islam sebagai agama terbesar di dunia memuliki peran penting dalam menjaga moral manusia. Ia diharapkan mampu memberikan peran aktif dalam memajukan
peradaban
dunia.
Muhammad
sebagai
pembawanya
hanya
mengatakan bahwa ia meninggalkan dua hal bagi umatnya, yakni alquran dan hadis. Di sisi lain sejarah hidupnya menjadi bagian penting dari pembentukan sejarah peradaban manusia. Peradaban yang bersih dan penuh kejujuran dari tindakan korupsi. Korupsi yang saat ini menjadi extra ordinary crime harus menjadikan Islam memiliki jawaban tersendiri dalam memberi solusi terhadapnya. Dan hadis yang menjadi gambaran kehidupan nabi menjadi penting untuk diketahui karena telah memberi jawaban solutif terhadap korupsi. Karena memang korupsi bukan barang baru untuk diatasi oleh umat islam. Sehingga bentuk kontekstualisasi hadis adalah kemutlakan pilihan dalam era yang berbeda ini, yakni era yang lebih modern dengan budaya yang berbeda, istilah yang berbeda, dan sistem hukum yang berbeda. Atau bahkan definisi korupsi yang rumit ditemukan dalam kesalahan dan kebenaran tindakan.” Kata Kunci : Muhammad, Hadis, Korupsi, Teks, dan Konteks
vii
ABSTRACT "Islam as the world's largest religion has an important role in maintaining human morality. It is expected to provide an active role in advancing world civilization. Muhammad as a prophet only says that he left two things for his people, Quran and Hadith. On the other hand the history of his life became an important part of the formation history of human civilization. Civilization is clean and full of honesty from acts of corruption. Corruption is now a crime must be extraordinary to make Islam has its own answer to give a solutions. And Hadith, that a description of the life of the prophet became important to know because it has given answers solutes against corruption. Because corruption is not new to resolved by the Islamic Ummah. So the form of contextualization of the hadith is the absoluteness of different options in this era, namely the more modern era with a different culture, different terms, and different legal systems. Or even an elaborate definition of corruption found in the error and truth of action." Keyword : Muhammad, Hadith, Corruption, Text, and Context
viii
DARTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
iii
ABSTRAK...................................................................................................
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..................................................
1
B. Rumusan, Batasan dan Identifikasi Masalah ....................
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................
9
D. Kajian Pustaka ................................................................
10
E. Metode Penelitian............................................................
12
F. Sistematika Penulisan ......................................................
14
MENENGENALI KORUPSI..............................................
16
A. Pengertian Korupsi..........................................................
16
B. Jenis dan Tipologi Korupsi..............................................
18
C. Korupsi Sebagai Problematika.........................................
26
D. Korupsi dalam Pandangan Islam .....................................
29
KONTEKSTUALISASI HADIS ..........................................
34
A. Wacana Kontekstualisasi Hadis Nabi ...............................
34
BAB II
BAB III
B. Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual Atas Sejarah Hadis 35 C. Latar Belakang Kontekstualisasi Hadis............................
39
D. Batasan-Batasan Kontekstualisasi Hadis..........................
42
xiii
BAB IV
KORUPSI DALAM PANDANGAN AS-SUNNAH ............
45
A. Macam-macam Korupsi dalam as-Sunnah........................
45
A.1. Ghulûl ......................................................................
47
a. Hadis Ghulûl Umum..................................................
48
b. Hadis Ghulûl Ghanimah............................................
49
c. Hadis Ghulûl Hadiyyah .............................................
55
d. Hadis Ghulûl al-Ardh ...............................................
59
A.2. Risywah...................................................................
60
A.3. Suht .........................................................................
62
A.4. Bai’ât al-Imâm Li ad-Dunyâ....................................
66
A.5. Jaur al-Qadhi aw al-Imâm ......................................
67
B. Hukuman Bagi Pelaku Korupsi .......................................
69
KONTEKSTUALISASI HADIS-HADIS KORUPSI........
79
A. Kontekstualisasi Hadis ....................................................
79
B. Campaign Corruption Practice .......................................
81
C. Discretionary Corruption ................................................
82
D. Illegal Corruption ...........................................................
83
E. Political Bribery .............................................................
84
F. Amanah; Sebuah Benteng Anti Korupsi ..........................
85
PENUTUP...........................................................................
89
A. Kesimpulan.....................................................................
89
B. Saran-saran......................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
93
LAMPIRAN ................................................................................................
97
BAB IV
BAB V
xiv
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim 23 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Muhammad untuk menyempurnakan pemahaman Islam kepada umatnya, selain memang hal ini pun memudahkan Muhammad untuk memahami apa yang akan disampaikan dari Tuhannya. Kehidupannya selalu menarik untuk disimak, ia tidak hanya tampil sebagai nabi yang membawa risalah Allah namun ia dijadikan Allah sebagai sebaik-baik contoh bagi seluruh umatnya dalam berbagai bidang. Ia adalah seorang guru, seorang bisnisman, seorang filosof, seorang hakim, seorang panglima perang, seorang suami, seorang ayah, dan ia adalah manusia biasa. Disini kemudian menuntut siapapun para pembaca kehidupannya untuk mencari contoh dari peran terbaik sang Nabi. Membacanya pun tak boleh dan tak bisa dari satu arah saja. Kadang ketika ia dimintai seseorang nasehat ia memerintahkan orang itu untuk tidak marah, namun kadang pula ada orang lain yang meminta nasehat padanya ia memerintahkan untuk tidak berbohong. Dua hal yang berbeda, namun Muhammad seolah memahami apa yang diperlukan oleh umatnya. Itulah Muhammad yang selalu dibimbing oleh Tuhannya. Ia hidup bukan dalam keadaan yang mudah, tentram dan sejahtera. Ia hidup dalam nuansa masyarakat dalam kegalauan akal akan Tuhan, ketertindasan, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan tentu tindakan korupsi. Sebuah tindakan yang sulit didefinisikan karena telah menjadi laten dan keharusan tindakan bagi sebagian orang. Kejahatan korporasi yang bisa merugikan jutaan orang dalam waktu puluhan atau mungkin ratusan tahun. Kejahatan yang perlu tindakan berani, iii
tegas, adil, dan jujur kalau tidak mau disebut maling teriak maling. Dan Muhammad tidaklah diam menghadapi tantangan hidup modern ini. Tindakannya untuk tidak menshalati jenazah koruptor adalah bentuk penghinaan tertinggi pada manusia yang telah menjadi bangkai tanpa penghormatan, tanpa memperdulikan apapun jasa yang pernah seseorang lakukan. Atau amal dari hasil korupsipun tidak berarti apapun sebagaimana shalat seseorang tanpa bersuci serta berbagai ancaman dan laknat nabi yang diberikan kepada pelaku korupsi. Selanjutnya respon nabi ini tidak boleh kalah dan berhenti, namun ia akan terus terjadi dan tertuang dalam berbagai pikiran umatnya untuk memahami bahwa korupsi adalah tindakan haram. Muhammad harus dihidupkan terus lewat berbagai ucapannya, selain memang perlu penyesuaian kehidupan melawan Jahiliyyah dengan tantangan modernitas. Disinilah kontekstualisasi menjadi penting, agar teks tetap terjaga dalam universalitasnya dan menjadi aplikatif dalam bentuk kontekstualisasinya. Inilah yang menjadi kegelisahan tersendiri bagi penulis dan merasa perlu menungkannya menjadi bacaan yang diharapkan bisa membuka kembali respon Muhammad dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kontekstualisasi hadis-hadis korupsi; sebuah kajian hadis maudu’i”. Di sisi lain, tulisan ini tidak hadir begitu saja namun telah banyak yang ikut berkontribusi dalam penulisan ini, maka perlu kiranya penulis menyampaikan rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama seluruh umat Muhammad di sisi Allah nanti. Amin. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa
iv
terimakasih kepada orang-orang yang tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara khusus kepada: a. Bpk. Prof. Zaenun Kamal selaku Dekan baru di fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Bpk. Dr. M. Amin Nurdin yang telah digantikannya. b. Bpk Sekaligus kanda Dr. Masri Mansoer, MA, selaku pembantu dekan II yang selalu membimbing, dan membantu adik-adiknya selaku junior di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat. c. Bpk Dr. Bustamin MA, selaku Ketua Jurusan sekaligus pembimbing skripsi yang dengan sabar, selalu mengarahkan dan membimbing penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. jazakumullah khairan katsira d. Ayah ibu tercinta Murochis dan Muntamah yang selama 10 tahun terahir tak banyak melihat anak yang satu ini tumbuh, Kakak-kakak terbaik Widati Rosyidah dan Muhammad Muhbib, kakak ipar Kasmuin dan Putri Faridha Arsiani serta “my little nephew” Zafira Liana Husna. Skripsi ini untuk kalian semua. e. Kawan-kawan KKN; Rina, Nita, Hera, Malik, Ali dan semua yang membantu dalam kegiatan itu, semoga menjadi pelajaran hidup yang berharga f. Kawan-kawan yang aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, para alumni Kanda Izza Rahman, Nur Achmad, Sudarnoto, Mas’to, Cecep, atas segala bimbingannya dan yang senior lain yang tak mungkin tersebut satu persatu, teman-teman Pimpinan Cabang 2009-2010 Welli, Iqbal, Aos, Muis, Arji, Ipul, Irma, Sarah, Rini dan Ewi, thanks for the Book. Adikadik di komisariat Ushuluddin Beni, Adik, Sifa, Zuhri, Dedi dan yang lain v
serta ahli Asrama Muamar, Mayang, Nur, Koko, Iman dan yang lain tetaplah berlatih berorganisasi, kelak kalian akan mengetahui bahwa amanah bukanlah apa yang kalian cari atau kalian inginkan, tanpi tanggung jawab dari Tuhan dan hanya kalian yang tahu. g. Kawan Relawan di Padang, Khilda yang sibuk PII di Bali, Mukhtar, Fahmi, Farhan dan yang lain. Rizki ‘ringgo’, adik-adikku rizki, Irma dan keluarga di Padang. I’ll never forget U all. h. Kawan Pondok yang di Jakarta Mas Lathif, Afnan yang sekarang di Saudi, Ipul, Figur, Dina dan yang lain semoga kita tetap bisa menjaga almamater dengan baik dan lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. i. Kawan jurusan di Tafsir-Hadis khususnya kelas A, Hasan, Khalid, Junaidi, Irfan, Azma, Firda, Mega, dan semua semoga kita tetap bisa berjuang menegakan Syiar Tajdîd dan Ta’lîm Al-Turats al-Islamy. Selanjutnya, penulis tak lupa untuk menyadari bahwa tulisan ini pastilah ada kekurangan disana-sini. Untuk itu, kiranya saran, kritikan dan berbagai sambutan yang konstruktif masih sangat penulis butuhkan guna kesempurnaan tulisan dan pengetahuan penulis. Akhirnya, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan tidak hanya sekedar jadi tuntutan kuliah ataupun etalase hiasan dinding belaka. Billâhi fî sabîlilhaq fastabiqulkhairât.. Ciputat, 25 Mei 2010 Penulis
Muhib Rosyidi vi
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
! !
B
be
!
T
te
!
Ts
te dan es
!
J
Je
!
H
h dengan garis bawah
!
Kh
ka dan ha
!
D
da
!
Dz
De dan zet
!
R
Er
!
Z
Zet
!
S
Es
!
Sy
es dan ye
!
S
es dengan garis bawah
!
D
de dengan garis bawah
!
T
te dengan garis bawah
!
Z
zet dengan garis bawah
!
‘
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
!
Gh
ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
ix
!
F
Ef
!
Q
Ki
!
K
Ka
!
L
El
!
M
Em
!
N
En
!
W
We
º!
H
Ha
!
‘
Apostrof
!
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
___ُ___
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
__َ__ و
au
a dan u
x
Vokal Panjang (Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَﺎ
â
a dengan topi di atas
ــﻲ
î
i dengan topi di atas
ـــﻮ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). xi
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
!!!!!
tarîqah
2
!!!! ! ! !!!!!!! !
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
!!! !!!!!! ! !
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xii
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Salah satu kejahatan manusia yang paling berpengaruh saat ini adalah
korupsi. Itulah yang disinyalir mampu mengisi setiap berita pada media masa di abad 21 ini, terlebih di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Kejahatan ini ternyata tidak memandang usia, waktu, bahkan agama sekalipun, sehingga kejahatan sebagai kejahatan manusia yang paling memunculkan banyak polemik seperti kasus Bank Centuri pada tahun 2010 ini. Kejahatan ini memang sungguh banyak menyisakan masalah, hingga Amin Rais1 dalam sebuah komentarnya menyamakan kasus Century itu seperti kasus Nabi Isa yang menemui kaumnya yang akan menghukum orang yang sedang berzina, lalu nabi Isa mengatakan bahwa yang boleh menghukumnya adalah yang tidak pernah melakukan dosa zina, namun yang terjadi justru semua mundur dan tidak jadi menghukum karena semua ternyata pernah melakukan hal yang sama. Kisah ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa sebagaimana korupsi ternyata tak banyak yang menyuarakan kebenaran bagi mereka yang mengetahuinya adalah karena memang yang akan menunjukkan itu bisa jadi mereka pun telah melakukan korupsi itu, maka tidaklah mungkin terlihat bahwa maling akan teriak maling.
1
Lihat tulisan Jaya Suprana, Amin Rais, Pansus dan Kisah Nabi Isa, dalam kolom Kelirumonologi, harian Seputar Indonesia; 20 Februari 2010, hal.1
1
2
Bentuk di atas adalah satu dari sebuah gunung es macam korupsi yang ada. Secara umum dalam Black’s Law Dictionary salah satu bentuk korupsi yakni penyuapan saja di artikan sebagai berikut : “any valuable thing given or promised, or any preferment, advantage, privilege or emolument, given or promised corruptly and against law as an inducement to any person acting in official or public capacity to violate or forbear for his duty, or to improperly influence his behavior in the performance of his duty”2
Bentuk pembayaran penyuapan bisa berupa uang cash, hadiah barang kekayaan (emas perhiasan, jam, lukisan, free samples, dan lain-lain), hadiah berupa pelayanan (services) (penggunaan mobil, tiket pesawat terbang, mencarikan tempat tinggal, membayar rumah, dan lain-lain), pembayaran biaya jalan-jalan dan berhibur, menyediakan beasiswa untuk anak atau saudara pihak yang disuap dan lain-lain. Walaupun penyuapan ini dianggap sebagai kriminal oleh berbagai peraturan perundangan di seluruh dunia, tetapi ia berkembang sangat luas, terutama di birokrasi negara sedang berkembang, sehingga seakanakan menjadi kepercayaan bahwa orang dapat membeli apa saja yang ia mau dan ia suka dengan uang (suap). Memang dalam bahasa latin korupsi barasal dari corruptio yang berarti penyuapan dan corrumpere yang berarti merusak. Namun dalam perjalanannya korupsi ini berkembang di masyarakat dengan berbagai istilah seperti sogok, uang tempel, uang pelicin dan sebagainya.3 Tentu pasti tidak akan ada asap tanpa api, sebagaimana pula tidak akan ada sebuah korupsi yang tanpa sebab. Dalam hal ini KPK (Komisi Pemberantasan 2
3
St. Paul, Blacks’ Law Dictionary , ed. 3, (Inggris:Mint West, 1968) hal. 250.
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta:Dzikrul Hakim, 1997) hal. 41
3
Korupsi) memberikan setidaknya sembilan penyebab terjadinya korupsi. Pertama, penegakan hukum yang tidak konsisten, dimana sering terjadi tindakan hukum hanya berjalan seperti mata pisau yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Hal ini telah banyak terjadi, khususnya di negeri ini. Kedua, penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan, terlebih jika terjadi sebuah idiom yang menggejala pada masyarakat seperti adanya anggapan bodoh jika tidak menggunakan kesempatan apapun itu bentuknya. Ketiga, langkanya lingkungan yang anti korupsi, sebagaimana kisah nabi Isa diatas bahwa seringnya dampak mengetahui korupsi sehingga hal itu akan dianggap biasa, terlebih pedoman ataupun norma hukum hanya berlaku secara formalitas belaka. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Sehingga tindakan korupsi ini memang lebih sering terjadi di negara miskin maupun berkembang. Dalam prinsipnya pendapatan yang diperoleh harus memenuhi
kebutuhan
penyelenggara
negara
dan
mampu
mendorong
penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kelima, yakni sebuah hal yang berkebalikan, kemiskinan dan keserakahan. Hal ini dianggap berkebalikan dari sisi pelakunya, dimana yang kurang mampu atau miskin akan melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi dan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi sebagai bentuk keserakahan, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keenam, budaya memberi upeti, imbalan ataupun hadiah, sekalipun hal ini adalah suatu kelumrahan dalam kehidupan sebagai bentuk ucapan terima kasih, namun hal ini pula yang sering samar menjadi bentuk korupsi karena budaya itu sendiri. Ketujuh, konsekuensi hukum yang salah, dimana keuntungan yang didapat lewat
4
korupsi lebih besar dari pada hukuman yang diterima, atau bahkan saat tertangkap misalnya bisa menyuap penegak hukum sehingga bisa mendapatkan hukuman yang seringan mungkin. Kedelapan, budaya permisif / serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila terjaadi korupsi karena seringnya terjadi. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Inilah yang nanti banyak berhubungan dengan keseluruhan penilitian yang akan diajukan. Sebagaimana bahasa Franz Magnis Suseno yang mengatakan bahwa agama telah gagal membendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Dimana agama hanya dianggap sebagai ritual ibadah saja dan tidak berhubungan sama sekali dalam bentuk peduli dalam hubungan sosial, dan menyadarkan bahwa korupsi adalah pula bentuk kejahatan dalam agama.4 Selanjutnya bagaimanakah dengan Islam? Agama yang dibawa oleh Muhammad ternyata sangat jelas menjelaskan tentang korupsi ini, bahkan dengan berbagai bentuk bahasa dan kasus korupsi. Secara jelas Allah menjelaskan dalam firman-Nya;
!! !!! !!! ! !! !!!!!! !! !!!!! ƒ !!!! ! !!! ! ƒ !!! ! !!! !!! !! !!!!! !! ! ! ! !!!ƒ !!!!! ! ! !!!! ! ! !!!! !!! !!!!! ƒ !!! ! ! !! ! ! !!!!!!!!!! !!! !!!!! !!!! !! ƒ !! !!!!! !!!!! Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188)
4
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK -Komisi Pemperantasan Korupsi- RI, tth). Hal. 23
5
Dalam ayat ini dijelaskan larangan bagi umat Islam untuk memakan harta dengan tidak halal termasuk didalamnya yakni menyuap seorang hakim maupun penguasa. Karena hal itu merupakan sebuah kecurangan yang nyata. Seorang hakim ataupun penguasa haruslah orang yang melakukan amanahnya dengan sunguh-sunguh dan ikhlas bukannya meminta balasan apalagi meminta imbalan sesuatu guna melancarkan tugasnya dan jika tidak diberi ia melalaikan tanggung jawabnya. Mengenai ayat tersebut di atas Ibnu Hâtim dari Ibnu Abbâs menyatakan bahwa ayat ini turun sehubungan dengan orang yang bernama Qais bin Abis dan Abdan bin Asywân al-Hadrami yang bertengkar masalah tanah. Qais bin Abis berusaha mendapatkan tanahnya dengan bersumpah dihadapan hakim. Ayat ini diturunkan oleh Allah swt untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang suka merampas hak orang lain dengan cara tidak benar. Namun Ibnu Talhah juga dari Ibnu Abbâs mengatakan bahwa pada ketika itu ada seorang sahabat yang memiliki harta kekayaan yang dipersengketakan. Padahal dia sebagai pemilik asli tidak memiliki saksi yang kuat, sehingga ada seseorang yang bermaksud memilikinya mengadu kepada hakim. Padahal orang itu mengerti bahwa makan harta seperti itu adalah dosa.5 Dari penjelasan asbab nuzul telah nampak bahwa memakan harta orang lain dengan cara mendekati hakim maupun penguasa guna mendapatkan sesuatu yang bukan haknya merupakan dosa tak terkecuali dengan bahasa terkini yang dikenal sebagai korupsi. Dalam ayat lain Allah menjelaskan:
5
A. Mujad Mahalli, Asbâbun Nuzûl, (Jakarta:Rajawali Press, 1989) hal.67.
6
!! ! !!!! !!! ! !!! ! ! !!!! !!! !!!!! ƒ !!! ! ! ! ! !! !!!!! ! !!!! ƒ !!! !!!!! !!!! ! ! ! ! ! !!!! !!! ! !!!!!ƒ !!! !!!!È !! !! !!!! !!!!!!!! !! !!!!!!! !! !!! !!!! Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.(QS. An-Nisa :2)
Bahkan hal ini sebenarnya merupakan kebiasaan dari orang alim bangsa Yahudi dan Nasrani dan jelas agama Islam berbeda. Sebagaimana Allah menyatakan.
!! ! !!!ƒ !!!!! ! !!!!!! ! !!! !!! ! !!!! ƒ !!!! ! !!!! ! !!!! ! ! !!!! È ! !! ! !! !!! !! ! ! !! !!!!!È !! ! !!! !!! !!! !!! !!! !! ! ! ! !!!!!!!!! !!!! !! !!!!! !!!!!!!!! ! !!! !ƒ !!!! !! ! ! !!!! !!! !ƒ ! !!! !!! !!!! !!!!!!! !!!! !! ! !! !!! ! !! !! ! !!!!!!!!!! !!!!!! !!! !! Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS. At-Taubah :34).
Sekilas dari ayat-ayat diatas memang sangat jelas bagaimana Islam berbicara tentang korupsi, terlebih hal itu sebagai wujud kebiasaan dari kaum Yahuid dan Nasrani. Kaum yang selalu digambarkan sebagai contoh kaum yang buruk di dalam al-Quran. Selanjutnya, perlu juga di telaah adalah bagaimana sunnah nabi berbicara mengenai hal ini. Sebegaimana tergambar diatas mengenai ayat-ayat al-Quran, maka sudah barang tentu korupsi dengan berbagai jenisnya pun telah terjadi pada zaman nabi Muhammad. Tentunya dengan istilah yang berbeda pula seperti ghulûl, suht, hadiah dan sebagainya, yang kesemua itu pada saat ini teridentifikasi dalam kasus korupsi. Hal ini tentu akan menimbulkan wacana baru tentang
7
problematika korupsi kontemporer pada abad modern dengan problematika pada zaman Nabi. Dengan demikian
perlulah kiranya situasi
upaya untuk
mengaktualisasikan kembali dalam wujud kontektualisasi terhadap hadis-hadis yang menyangkut korupsi. Diantara hadis tersebut ada yang berbentuk kata-kata yang dapat disepadankan dengan korupsi. Seperti risywah, yang berarti penyuapan yang merupakan bagian dari korupsi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah;
!! !! ! !!!!!! !! ! !! !!!! ! !!!!!!!! ! !!! !! !! !!!! !!! ! ! !! ! !!!!!! ! !!!!!!!!!!! ! !!!!!!!!!!!! ! !6!! ƒ !!ƒ !!!! !!! ! !! ! ƒ !!!! !! ! !!! !!!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! Artinya: Dari Qutaibah dari riwwayat Abû Awânah dari ‘Umar bin Abi Salmah dari ayahnya berkata dari Abû Hurairah berkata: Rasûlullah saw. melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang disuap dalam perkara hukum/kebijakan”.
Selain itu ada pula yang berupa tindakan sekalipun tidak menggunakan tidak menggunakan kata yang sepadan dengan korupsi namun tindakan tersebut bisa disepadankan dengan korupsi. Seperti baiâtul imâm li al-dunyâ yakni memilih pemimpin hanya demi keuntungan pribadi tanpa memperdulikan untung ruginya bagi orang lain. Sebagaimana yang diriwayatkan Abû Hurairah;
!!! !!!!!! !!!!!!! !! ! !! !!!!! ! ! ! !!!! ! ! !!! ! ! ! ! ! ! È ! !! ! ! ! !! ! ! ! ! !!! ! ! ! ! !!! !! ! !!!!! ! !! !!! ! !! ! !! !! ! !! ! !!! ! !!!!!!!!ƒ !!! ! !!É ! !!! ! ! !! !!! !!!! !!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!!!!!!! !!! !!!! !!!!!! !!!!!!!!!! !!!!!! ! ! ! !!! !!! !!!! !!!!!!!! !! !!! !! ! !!!!!Ç !!!!!! ! !!! !! !! ! ! !!! !!! 6 Al-Tirmizi mengatakan hadis ini berkedudukan sebagai hadis hasan hadis, lihat AlTirmizi, Sunan, Bab Mâ Jâ’a fî al-Rasyî wa al-Murtasyî fî al-Hukmi no. 1336, (Beirut: Dar alMa’arif, 2002) h. 560.
8
!Ê ! !!!!! !! !!!! ! !!ƒ !! ! !!!!!ƒ !Ê ! !!! ! ! !! !!!!!!! ! ! ! !!!!! ! !!! !!! !! !!!!! !! ! ! !! !!!!!!!!! ! !!ƒ !! 7
!!!!! !!! !!!! !! !!!!! ! ! !!!!!!! ! !!!!! ! ! !!!! ! !!!! !!! ! ! !!! !!
Artinya: Dari Abdân dari Hamzah dari al-a’masy dari Abû Shâlih dari Abû Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga kelompok manusia yang Allah swt tidak mau berbicara kepada mereka di hari kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa dan kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu: pertama, menusia yang memiliki kelebihan air diperjalanan yang ia menghalangi ibn al-sabîl (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya; kedua, manusia yang member bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi, jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi baiat itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi baiatnya; ketiga, manusia yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan (harga) sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli), lalu ia membenarkannya. Kemudian si pembeli jadi membelinya. Padahal si penjual tidak memberikan (tawaraan) dengan harga sekian dan sekian”.
Hal ini adalah sebagai bentuk tanggung jawab agama dalam menangani permasalahan kemanusiaan yang cukup mengakar saat ini, yakni korupsi. Dimana agama selalu ditarik sebagai pengkiat moral suatu peradaban manusia maka Islam yang dalam hal ini adalah hadis perlu menjadi filter yang solutif terhadap permasalah korupsi tersebut. Dengan berbagai latar belakang diatas, maka penulis merasa perlu untuk menunjukkan sebuah penelitian terhadap hadis-hadis nabi yang membicarakan tentang kasus-kasus yang di identikkan dengan korupsi dan berbagai aspeknya dari hadis tersebut. Terlebih memang hadis merupakan sumber primer dalam kehidupan umat Islam setelah al-Quran. Sehingga dalam penelitian ini penulis memberinya judul “KONTEKTUALISASI HADIS-HADIS KORUPSI; SEBUAH KAJIAN HADIS MAUDU’I” 7
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Man Baya‘a Rajulan lâ Yubayi‘uhu illa li alDunya, no. 7212, 808; Kitâb al-Syahâdat, Bâb al-Yamin ba‘da al-‘Asri, no. 2672, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 298; Kitab al-Musaqah, Bab Ismu man Mana‘a ibn al-Sabil min alMa’i, no. 2358 (dengan sedikit berbeda redaksi, ada tambahan ayat QS. Ali ‘Imran: 77), h. 261.
9
B.
Rumusan, Pembatasan, Dan Identifikasi Masalah Berangkat dari penjelasan diatas, maka diperlukanlah suatu rumusan
masalah guna menjaga agar penelitian ini fokus pada pembahasan dan lebih terarah. Kendati istilah korupsi belum pernah muncul –karena memang istilah ini sendiri bukan dari bahasa Arab- namun kasusnya telah muncul terlebih dahulu. Adapun penelitian ini memiliki beberapa batasan masalah sebagai berikut: 1. Memaparkan hadis-hadis nabi yang berbicara tentang korupsi dengan berbagai
aspeknya, mulai dari kasus-kasusnya serta komentar nabi
tentang korupsi. 2. Mengungkap hukuman pelaku korupsi yang tergambar dalam hadis nabi serta wacana para ulama. 3. Kontekstualisasi hadis-hadis tersebut pada kehidupan dan permasalahan saat ini. Untuk itu penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana melakukan pemahaman hadis-hadis tentang korupsi dalam bentuk kontekstualisasi terhadap permasalahan kekinian” Sedang dalam pembahasan penelitian ini akan mencoba mengindentifikasi kata yang dalam hadis nabi yang sepadan dengan tindakan korupsi. Seperti ghulûl, suht, risywah dan juga tindakan seperti baiâtul imâm li al-dunyâ dan jaur al-imâm wa al-qâdhi. C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagaimana latar belakaang yang
disuguhkan dan rumusan masalah yang diberikan penulis adalah sebagai berikut:
10
1. Untuk mengetahui hadis-hadis nabi yang berbicara seputar korupsi. 2. Untuk mendeskripsikan bagaimana kasus-kasus korupsi pada masa nabi dan berbagai aspeknya serta menyuguhkannya sebagai bentuk kepedulian Islam dalam kasus korupsi sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. 3. Menjadi upaya baru dalam bentuk kontekstualisasi hadis-hadis tentang korupsi, manjadi hal yang membumi dan mudah dicerna dalam konteks kekinian. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah; 1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran dalam pemikiran Islam khusunya dalam bidang hadis tentang korupsi yang saat ini menjadi kejahatan yang paling fenomenal. 2. Sebagai syarat memperoleh gelar Strata-1 bidang Theologi Islam pada program studi Tafsir-Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. D.
Kajian Pustaka Dalam penelitian ini tentu penulis perlu memfokuskan pada kitab-kitab
induk matan hadis, yakni al-kutûb al-sittah. Hal ini guna menemukan kasus-kasus korupsi dan berbagai aspek yang terkait dengan korupsi itu sendiri di dalam hadis nabi. Inilah yang sebenarnya menjadi fokus dari penulis untuk menemukan teksteks hadis yang berkaitan dengan intilah korupsi zaman nabi seperi ghulûl, suht, maupun risywah.
11
Selain itu penulis juga akan meneliti beberapa buku tentang korupsi seperti buku kecil berjudul “Mengenali dan Memberantas Korupsi”. Buku tersebut adalah terbitan dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Republik Indonesia. Dalam buku tersebut telah dijelaskan secara ringkas dan padat tentang definisi korupsi dan bagaimana mengidentifikasi suatu masalah hingga bisa disebut tindakan korup ataukah tidak. Selain itu buku ini memiliki sebuah keunikan tersendiri sebagai buku saku bagi semua orang yang ingin mengenal korupsi secara mudah dan ringkas. Sehingga dalam buku ini nantinya penulis mengharapkan untuk bisa menjadi penjelas bagaimanakah kasus-kasus yang terjadi pada zaman nabi yang tergambar dalam hadis nabi mampu teridentifikasi sebagai kasus korupsi. Selain buku tersebut penulis juga tentang akan meneliti beberapa buku yang terkait dengan korupsi dan Islam secara komprehensif seperti buku “Korupsi Di Negeri Kaum Beragama ; Ikhtiar Membangun Fiqih Anti Korupsi”. Buku ini dalam menurut penulis cukup mampu menjadi salah satu sumber tulisan terhadap fenomena korupsi dalam pandangan Islam secara umum dan bagaimana para ulama memandang tentang korupsi itu sendiri. Buku yang diterbitkan bersama oleh lembaga Partnership for Governance Reform in Indonesia dan juga P3M (Perhimpunan Pengembangan pesantren dan Masyarakat) ini juga telah menjabarkan bagaimana keterkaitan korupsi dan demokrasi sebagai masalah sebuah bangsa terutama Indonesia yang menggunakannya sebagai sistem kebernegaraan. Dalam hal ini korupsi memang menjadi salah satu penyakit dari demokrasi itu sendiri.
12
Pada dasarnya penelitian tentang hadis korupsi ini sudah pernah dilakukan oleh Mahfuz dalam bentuk skripsi yang ia beri judul “Takhrij Hadis Tentang Laknat Allah Bagi Pelaku Suap-Menyuap” tahun 2006 di Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah jakarta. Namun penelitian ini masih sangatlah kurang –menurut pernulis-, hal ini dikarenakan beberapa hal seperti; hanya satu hadis dan satu istilah yang ia kemukakan dalam penelitian tersebut yakni tentang risywah. Risywah atau suap adalah salah satu bentuk dari korupsi dan dalam hal ini nabi banyak menggunakan istilah lain dalam berbagai kasus korupsi seperti ghulûl, suht dan sebagainya. Kedua, penelitian tersebut hanya fokus pada kajian kritik hadis atau takhrij hadis dalam bentuk kritik matan dan sanad hadis sehingga menurut penulis penelitian itu masih sederhana dan perlu dikembangkan agar mampu manjadi sebuah perilaku kontektual dari hadis itu sendiri. Adapun dalam membedakan pembahasan ini dengan beberapa buku diatas adalah bahwa penelitian ini berusaha memahami ulang hadis-hadis tentang korupsi yang kemudian menyajikannya dalam bentuk kontekstualisasi hadis nabi. Hal inilah yang menurut penulis belum dibahas dalam berbagai buku yang pernah penulis temui. Dengan penelitian ini diharapkan memang agar hadis nabi lebih mudah difahami dalam konteks kekinian dan mampu menjadi bagian yang solutif terhadap permasalahan kemanusiaan yang kini berkembang yakni korupsi. E.
Metode Penelitian Di dalam skripsi ini penulis menggunakan tiga aspek metodologi
penelitian. Hal ini sebagai upaya pemaparan yang penulis anggap lebih
13
komprehensif dan mudah difahami. Adapun metode penelitian tersebut antara lain: 1. Metode Pengumpulan Data Penulis
mengadakan
pengumpulan
data
dengan
cara
penelitian
kepustakaan (library research) atas kitab-kitab matan hadis yang ada, kemudian buku-buku yang terkait dengan korupsi dan semua aspek yang ada disekitarnya. Di dalam penelitian kepustakaan (library research) terhadap data-data yang telah dikumpulkan, penulis mencoba meneliti data-data tersebut, menimbangnya, membandingkannya, dan kemudian penulis menawarkan solusinya sebagai sebuah bentuk tanggapan atas masalah. 2. Metode Pembahasan Adapun dalam metode pembahasan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode deskriptif terhadap hadis-hadis nabi yang terkait dengan korupsi dan segala istilah yang terkait dengannya sebagai bahasa nabi seperti ghulûl, risywah dan yang lainnya. Dari sini kemudian penulis akan mensistematisasikannya sehingga mudah difahami sebagai masing-masing kasus korupsi yang tergambar pada hadis-hadis nabi. Hal ini sebagai wujud penelitian metode pendekatan deskriptif yang diharuskan untuk mendeskripsikan masalaah yang sedang diteliti dengan cara memaparkan fakta dan data yang akurat.8 3. Metode Penulisan Sedangkan mengenai metode atau teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007. Buku ini telah 8
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) hal. 128
14
diedarkan sejak tahun 2006 oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. F.
Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini disusun secara bab perbab
guna memudahkan pemahaman terkait dengan bahasan yang di kaji. Pada bab pertama yakni bab pendahuluan, penulis perlu membahas latar belakang masalah dari kajian ini, kemudian rumusan masalah, manfaat dari pembahasan, kajian pustaka, kemudian metode peneltian dan juga sistematika penulisan dari penelitian ini. Pada bab kedua, penulis mencoba menjelaskan tentang korupsi secara umum, hal ini adalah mulai pada definisi korupsi itu sendiri, kemudian macammacam kasus korupsi yang terjadi saat ini guna menunjukkan adanya kesamaan kasus yang terjadi pula pada zaman nabi. Kemudian penulis menjelaskan tentang korupsi sebagai sebuah problematika kemanusiaan yang dalam bahasa sekarang di sebut sebagai kejahatan berdampak sistemik. Lalu di akhir bab ini penulis akan membicaraan bagaimana Islam secara umum berbicara tentang tindakan korupsi. Bab ketiga, akan membahas tentang kontekstualisasi hadis, mulai dari definisi, wacana kontekstualisasi hadis, latar belakang perlunya kontekstualisasi hadis hingga batas-batas dan metode kontekstualisasi hadis. Bab keempat, penulis mulai menyuguhkan tentang hadis-hadis yang berbicara tentang korupsi dengan berbagai isilahnya, karena memang istilah korupsi tidak pernah ada pada zaman nabi. Mulai dari istilah yang sering dipakai para ulama seperti ghulûl, risywah dan juga suht. Kemudian penulis akan mecoba memaparkan bagaimana hukuman terkait kasus korupsi ini terkait khusunya ta’zîr
15
serta hukuman yang di paparkan oleh Nabi sendiri terkait beberapa kasus korupsi yang pernah terjadi pada masa Nabi. Bab
kelima
selanjutnya
berisikan
tentang
bentuk
dan
upaya
kontekstualisasi hadis-hadis nabi tentang korupsi. Dimana setiap hadis yang pada bab sebelumnya disebutkan akan dikontekstualisasikan dengan berbagai tindakan dan kasus korupsi yang terjadi saat ini. Terakhir adalah bab keenam dari penelitian ini. Disini penulis akan mencoba memberikan beberapa kesimpulan terkait dengan korupsi dalam pandangan al-Sunnah ini dan kemudian penulis akan mencoba memberikan beberapa saran agar penelitian ini bisa berlanjut dan lebih bermanfaat pada akhirnya.
16
BAB II MENGENAL KORUPSI A.
Pengertian Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin kuno yakni “corrumpere”, yang
kemudian masuk kedalam bahasa latin modern menjadi corruptio atau corruptus. Dari bahasa Latin ini kemudian turun kedalam berbagai bahasa di Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; Belanda: corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata korupsi.1 Adapun pengertian harfiah korupsi kata ini cukup variatif. Korupsi bisa berarti busuk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral kejahatan, dan ketidakjujuran.2 Dapat pula diartikan penyelewengan atau penggelapan uang negara, perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Sedang koruptif dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat takut berkorban dan menyebabkan mereka –yang memiliki sifat tersebut- mudah ditaklukkan musuh.3 Dalam bahasa Arab istilah korupsi secara umum hanya bisa ditemui dalam kamus modern4 seperti al-Munawwir, al-Mawrid dan juga Hans Wehr. Kata yang 1
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi,( Jakarta: KPK-RI, 2006) hal. 12, lihat juga Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 4 2
S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung: Hasta, tth). Hal. 33 dan 150 3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1988), hal 462 4
Fakrur Rozi, Urgensi Hadis-Hadis Anti Korupsi dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Theologia, Vol.19, No. 2, Juli 2008 hal. 364
16
17
sebanding dengan korupsi adalah risywah, yang dimaknai uang suap5, penyuapan dan korupsi6, penyuapan (bribery), korupsi (corruption), dan ketidakjujuran (dishonesty).7 Selain itu dalam kamus bahasa Arab – Prancis, Al-Kamel, corruption disepadankan dengan kata ifsâd atau fasâd (perusakan), tahrifun nash (Penyelewengan data), risywah (suap), dan fasâdul akhlâk (kerusakan akhlak).8 Istilah korupsi seringkali disandingan dengan kata kolusi dan nepotisme yang kemudian dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tindakan ini telah menjadi masalah besar di dunia dengan menyandang istilah extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, yang dalam hal ini Transparency International
memberikan
definisi
tentang
korupsi
sebagai
perbuatan
menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.9 Dari definisi tersebut terdapat beberapa unsur korupsi atau dengan kata lain korupsi ada jika hal tersebut ada. Yakni; a. adanya pelaku atau pelaku-pelaku korupsi. b. adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku, dalam hal ini dapat berbentuk moral (aspek agama), etika (aspek profesi), maupun aturan perundang-undangan (aspek hukum).
5
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 501 6
Rohi Baalbaki, al-Mawrid: A Modern Arabic – English Dictionary, (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 2000) hal. 585 7
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Libraire du Liban, 1980)
hal. 342 8
Yusuf Muhammad Ridho, Al-Kamel; France – Arabic Dictionary, (Libanon: Maktabah Libanon 1990), hal 185 9
hal 6
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia 2003)
18
c. adanya unsur merugikan keuangan/keuangan negara atau masyarakat langsung ataupun tidak langsung serta d. adanya unsur atau tujuan kepentingan atau keuntungan pribadi/ keluarga/ golongan.10 Dengan demikian pengertian korupsi bisa dimengerti sebagai perbuatan yang dengannya menyebabkan kerugian terhadap negara atau masyarakat dan berdampak
pada
keuntungan
pribadi
maupun
golongan
dengan
cara
penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan. B.
Jenis Dan Tipologi Korupsi Dalam perkembangannya korupsi banyak terjadi dalam berbagai lini
dalam realitas kehidupan. Instrument korupsi yang menjalar ini, kemudian memunculkan prototype atau bentuk dan jenis korupsi yang begitu luas sehingga tidak mudah di hadapi sarana hukum semata. Hal ini kemudian menurut Husein Alatas memiliki 7 (tujuh) tipology, watak atau bentuk korupsi yaitu; a. Korupsi transaktif (transitive corruption), jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik atau transaksi antara pihak pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak demi tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah b. Korupsi
pengkerabatan
(nepotistic
corruption),
yakni
yang
menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman, sanak saudara ataupun golongan.
10
Igm Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perpektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2010) hal 20
19
c. Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah suatu korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasanya disertai ancaman, teror, penekanan (pressure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal yang dimilikinya. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihk ketiga untuk kemudian memudahkan langkah pihak kedua dihadapan pihak petama. d. Korupsi investif (invective corruption), yakni memberikan jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan pribadi dimasa depan dalam bentuk jabatan ataupun kemudahan dalam bekerja. e. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. Hal ini biasanya memunculkan idiom untuk merasa lebih baik korupsi lebih dulu dari orang lain atau mau dikorupsi. f. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain ataau pihak lain yang terlibat, yang lebih sering dalam bentuk penggelapan. g. Serta korupsi suportif (supportive corruption)
adalah korupsi
dukungan atau support dan tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat. Biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi.11. Dengan berbagai bentuk atau typology dari korupsi tersebut menjadi semakin kronis serta komplek dalam segala permasalahan dan realitas kehidupan,
11
Kusumah M.W, Tegaknya Supremasi Hukum, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2001). Hal. 141
20
tidak hanya pada ranah golongan maupun nasional, namun sudah menjadi masalah internasional. Dengan demikian dibutuhkan pula penjelasan tentang jenis korupsi dari segi potensinya dalam menimbulkan kerugian bagi negara maupun masyarakat. Diantaranya adalah; a.
Petit Corruption Atau yang dikenal dengan korupsi kelas teri, dengan
bentuk kasus
pelayanan publik pada seluruh lemabaga instansi. Korupsi jenis ini adalah yang paling banyak terjadi dan selalu meresahkan dan memberatkan masyarakat walaupun kadang secara tidak langsung masyarakat lebih sering melakukannya karena potensi resikonya pun kecil. Contoh perbuatan jenis ini antara lain; pengurusan KTP, SIM, surat kelakuan baik, sertifikat tanah dan bentuk pelayanan kepada masyarakat lainnya yang meminta imbalan. Disini kemudian muncul idiom bahwa public servant atau pelayanan publik tidak lagi melayani mesyarakat tetapi to be served by the public atau meminta dilayani oleh masyarakat.12 b.
Ethics in Government Corruption Pola jenis korupsi ini merupakan internal theft yang tergolong pada jenis
korupsi kelas kakap. Korupsi pada ethics in government corruption ini terjadi pada unit-unit kerja pemerintahan dalam pengelolaan uang negara, APBN, APBD maupun bea dan cukai dalam bentuk penyelewengan data dan kewenanangan yang dimiliki. Contoh yang merupakan tindakan korupsi jenis ini adalah adanya makr-up terhadap terhadap pengadaan barang atau tanpa melalui tender. Hal ini berujung pada kerugian negara yang tidak sedikit walau memang tidak secara langsung terlihat kejahatannya dimasyarakat. 12
Awaludin Djamin, Penyalahgunaan Aparatur Negara RI dalam Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti Polri 1999), hal 1
21
c.
Gurita Corruption Kata gurita yang disangkut pautkan dengan korupsi ini sempat dikenal
banyak orang kala ditulisnya buku Gurita Cikeas yang mencoba membongkar adanya korupsi pada presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono oleh George Adicondro13. Korupsi ini adalah bentuk dari destroyer economic yang paling berbahaya karena dianggap bisa menghancurkan ekonomi negara secara laten dan permanen. Bentuk korupsi ini terkait dengan sistem pelayanan publik perdagangan global yang dilakukan oleh national corporation maupun international corporation dan sering kali dimotori oleh para konglomerat hitam.14 Inilah korupsi yang paling diincar oleh para koruptor karena akan merdampak besar pada keuntungan dirinya melalui bisnis yang kolutif pada berbagai kebijakan dan juga sumber daya alam seperti pertambangan emas, timah, gas bumi dan sebagainya. Yang kemudian berdampak pada munculnya illegal logging, illegal fishing, business collusion serta perdagangan bebas seperti monopoli dan manipulasi. Selain itu terdapat pula berbagai jenis istilah korupsi modern yang harus diketahui guna menjadi wacana baru tindakan korupsi kontemporer di abad ini, diantaranya sebagai berikut;
13
George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita CIkeas; Di Balik Skandal Bank Century, (Yogjakarta; Galang Press, 2009) 14
Igm Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perpektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2010) hal 28
22
a.
Corrupt Campaign Practice15 Yakni berupa praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas maupun
keuangan negara. Dimana yang terjadi biasanya orang yang mencalonkan diri sebagai calon pemimpin kemudian memberikan sesuatu kepada calon pemilih agar pemilih tersebut bersedia memilihnya. Inilah yang kemudian dikenal sebagai politik balas budi. Sedang yang lebih bahaya lagi adalah jika ternyata pemberian yang diberikan oleh calon pemimpin tersebut adalah barang yang bukan miliknya, yakni fasilitas negara atau umum. Kampanye tidaklah dilarang jika memang berguna untuk memperkenalkan diri kepada calon pemilih, apapun jabatan yang akan diraihnya. Terlebih memang hal ini akan memudahkan bagi pemilih untuk menentukan seseorang untuk menjadi pimpinannya. Namun hal ini akan berbeda jika praktek korupsi ini terjadi, karena para pemilih memang memilihnya, disisi lain mereka akan mengatakan bahwa mereka hanyalah diberi, lalu apa jika salahnya diterima? Begitu juga para calon akan mengatakan, memberi kepada seseorang adalah ibadah, bukankah demikian? Pertama, pemberian tersebut adalah bentuk penyuapan kepada masyarakat yang dikemudian hari mereka akan merubah keputusannya bukan berdasarkan kapasitas dan kemampuan seseorang, tapi seberapa banyak para calon itu bisa memberikan sesuatu kepadanya atau membeli hak suaranya.
15
Istilah ini terdapat dalam kamus hukum pada Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: KPK-RI 2006, hal 75
23
Selain kecurangan dalam bentuk pemberian sesuatu pada penentu pilihan itu, ada juga kecurangan kampanye dalam bentuk pemalsuan data yang di kenal sebagai Election Fraud16 Yang kemudian dimaknai sebagai kecurangan yang bertalian langsung dengan pemilihan umum seperti pemalsuan calon anggota legislatif atau memberikan sesuatu kepada calon pemilih untuk mempengaruhi pilihannya. Di mana fraud berarti penipuan, yang tentu di tujukan kepada siapapun yang dapat mempermudah seseorang untuk meraih kekuasaan yang diincarnya. b.
Discretionary Corruption17 Discretionary merupakan kata sifat yang berarti dengan kebebasan untuk
menentukan atau memilih, terserah kepada kebijaksanaan seseorang18. Kemudian dalam kamus hukum di maknai sebagai tindakan korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan. Hal ini tentu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas kebijakan terhadap sesuatu, yang sebaliknya orang yang tidak memiliki otoritas kebijakan tersebut selalu menjadi korban dari tindakan korupsi tersebut.19 Kejahatan ini dalam sejarahnya dimulai ketika orang telah memiliki kebijakan atau lebih khususnya memegang kendali keuangan negara atau perusahaan. Karena merekalah yang lebih tahu kemana seharusnya keuangan 16 17
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK-RI 2006), hal 75 Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK-RI 2006), hal 75
18
Jhon M. Echols dan Hasan Sadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet 26 2007, hal 186 19
Penyelewengan ini sangat beragam, ketika seseorang memiliki otoritas dalam kewenangan namun ia tidak melakukan sesuai aturan dan hanya mementingkan keuntungan pribadi maupun golongan tentu adalah hal yang sungguh tercela.
24
negara itu diatur, namun tidak melakukan amanahnya dengan baik. Menarik sebagai contoh beberapa bulan yang lalu yakni kasus Gayus Tumbunan sebagai makelar kasus (Markus) karena telah menggelapkan uang pajak negara. Yang kemudian tindakan ini berdampak cukup buruk karena munculnya mosi ketidakmauan masyarakat untuk membayar bajak karena khawatir hanya sebagai lahan korupsi pemegang kebijakan keuangan tersebut. c.
Illegal Corruption20 Yang dimaksud dengan illegal corruption disini adalah bentuk korupsi
dengan mengacaukan bahasa dalam bidang hukum. Yang tentu tindakan ini banyak dilakukan oleh mereka para praktisi hukum, baik itu para advokat, hakim dan sebagainya. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk merubah keputusan hukum atas tindakan seseorang yang melakukan sesuatu, baik yang dari asalnya korupsi kemudian menjadi tidak maupun sebaliknya. Dimana sering terjadi pemberitaan tentang seseorang yang melakukan korupsi kemudian diganti dengan hanya melakukan kelalaian, atau adanya kesalahan prosedur, kesalahan admnistrasi yang kesemuanya berujung pada pembenaran atas tindakan yang dilakukan orang tersebut agar tidak lagi disebut sebagai pelaku korupsi. Ini adalah bentuk pengacauan terhadap intelektual yang dilakukan pula oleh para intelektual. Seorang yang mengerti hukum hendaklah menghukum seseorang sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku, namun yang seringkali terjadi adalah pengacara mencoba membela para kliennya yang minimal akan memperingan hukuman yang akan di peroleh pelaku kejahatan atau 20
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: KPK-RI 2006, hal 75
25
korupsi. Disamping itulah tugas seorang pengacara, namun yang lebih menyedihkan adalah jika memang terdapat pasal-pasal karet (undang-undang yang memiliki banyak interpretasi) pada sebuah undang-undang yang kemudian setiap kesalahan bisa mendapatkan pidana ringan maupun berat sesuai kemampuan pelaku korupsi membayar para pengacara, hakim dan para penegak hukum yang lain. d.
Political bribery21 Dimana tindakan korupsi jenis ini sering tidak dipahami oleh masyarakat
umum. Yakni bahwa korupsi ini adalah bentuk kegiatan parlemen yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang dikendalikan oleh kepentingan suatu golongan
tertentu
dengan
harapan
parlemen
membuat
aturan
yang
menguntungkan golongan tersebut. Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi kala suatu golongan atau partai politik mendominasi jumlahnya pada suatu parlemen. Tentu hal ini adalah sebagai konsekuensi terhadap pemilihan demokrasi sebagai sistem kebernegaraan, dimana keputusan selalu diambil oleh suara terbanyak. Sehingga ada sebuah guyonan demokrasi yakni jika ada 4 ulama dan 6 pencuri menentukan hukum mengambil barang orang lain dengan cara mencuri tentu hasilnya adalah diperbolehkan karena 6 suara lebih menghendaki demikian. Inilah korupsi yang sangat berbahaya bagi kemaslahatan rakyat di suatu negara. Selain ini memang disebut sebagai penyimpangan kekuasaan, inilah salah satu bentut gurita corruption pada bab sebelumnya. Dimana bentuk korupsi raksasa yang tak mudah dilawan dan menimbulkan banyak kerugian negara. Sebagai 21
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: KPK-RI 2006, hal 75
26
contoh di Indonesia, seberapa sering parlemen atau DPR membicarakan tentang kekayaan negara yang selalu dikeruk oleh negara asing, apakah ini terkait dengan siapa pemegang kekuasaan atau suara terbanyak di DPR tersebut? Sejarahlah yang akan membuktikannya. C.
Korupsi Sebagai Problematika Dalam realitas abad 21 korupsi telah menjadi extra ordinary crime yang
sangat berbahaya dan laten di mata masyarakat22. Secara nyata korupsi mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ini individu maupun masyarakat secara umum, sosial, politik, hingga birokrasi yang menjadi keseharian masyarakat terhadap pemerintah. Problematika ini tentu harus dijelaskan sebagai sebuah anti tesis terhadap pelaku korupsi yang menganggapnya sebagai perilaku yang biasa atau bahkan saling menguntungkan. a.
Problematika korupsi terhadap masyarakat dan individu Jika korupsi terjadi pada suatu masyarakat dan telah berakar menjadi
perilaku keseharian dalam suatu masyarakat, tentu hal ini akan mengakhibatkan masyarakat tersebut kacau dan tidak akan ada sistem yang mampu mengaturnya dengan baik. Hal ini terjadi karena sering kali peraturan akan dianggap hanya mementingkan siapa yang membuatnya sebagai suatu tindakan korupsi terhadap kebijakan tersebut. Dimana setiap individu dalam masyarakat akan selalu mementingkan dirinya sendirinya sebagai self interest dan terlepas dari bentuk kerjasama yang tulus.
22
Atau lebih tepatnya pada saat konvesi internasional PBB di Wina pada 7 Oktober 2003 menetapkan “Corruption” sebagai extra ordinary crime. Lihat IGM. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perpektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2010) hal. 44
27
Selain itu, masyarakat juga akan kehilangan kepercayaan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan menghilangkan sifat sosial dalam masyarakat tersebut, terlebih jika dalam kesetaraan sosial selalu memandang semua berbeda dan mementingkan pribadinya masing-masing. Di sini kemudian muncul kehilangan rasa apresiasi terhadap seseorang karena rasa ego dan muncul kedengkian dan kecurigaan dimana-mana23. Korupsi dalam masyarakat menjadi problem moral dan juga intelektual, kenapa demikian? Dalam masyarakat yang korup tidak akan terdapat nilai utama atau kemuliaan dalam masyarakat. Ini dibuktikan oleh munculnya iklim masyarakat yang tamak dan tak mau tahu kepentingan orang lain. b.
Problematika korupsi pada ekonomi dan politik Dalam tindakan korupsi, ekonomi dan politik adalah sisi yang sulit
dipisahkah. Hal ini terjadi karena pada hakekatnya setiap tindakan korupsi akan berdampak pada kesemarwutan ekonomi seseorang, baik itu individu, perusahaan maupun negara. Yang dalam hal ini tindakan korupsi seringkali dan hampir selalu melibatkan tindakan politis sebagai instrumen bahwa tindakan korupsi bisa dibenarkan.24 Korupsi
merusak
perkembangan ekonomi
suatu
bangsa.
Karena
bagaimanapun jika suatu proyek ekonomi dijalankan dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan 23
24
demi kelancaran atau
kelulusan proyek,
nepotisme dalam
Syed Husein Alatas, Korupsi; Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta;LP3ES, 1997) h. 220
Disisi lain korupsi telah menjadi musuh nomor satu bagi penyakit masyarakat karena seluruh anggaran seperti; pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur tidak lepas dari para koruptor. Dalam hal ini Amin Rais memasukan Indonesia sebagai korporatokrasi, yakni dengan mensinyalir adanya tiga pilar dalam korporatokrasi yakni; big corporation, government, dan international bank. Lihat Amin Rais, Komitmen Bersama Melawan Korupsi, Jurnal INOVASI No. 1 Th 2006 yang diterbitkan oleh UNY. Hal. 8
28
menjalankannya, serta penggelapan dalam pelaksanaannya), maka jangan pernah berharap bahwa proyek tersebut akan selesai dengan baik dan hasil yang memuaskan. Selain pertumbuhan suatu ekonomi bangsa jika segala kegiatan ekonomi beriringan dengan kegiatan korup maka akan berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat perekonomian negara juga akan berdampak pada hilangnya kepercayaan para investor dalam melaksanakan investasinya. Mereka akan berfikir dua kali untuk memberikan ivestasinya dari yang semestinya ia berikan kepada negara yang tingkat korupsinya lebih kecil. Seringkali yang terjadi adalah bentuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan agar invetasinya bisa berjalan aman dan lain-lain yang sebenarnya tidak perlu jika tingkat korupsi itu rendah. Di lain pihak, politik seringkali mencari keuntungan dalam bidang ekonomi. Yang kemudian kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghilangakan pemerintah dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata masyarakat. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya kepada pemerintah dan pemimpin tersebut dan tentu tidak akan patuh pada otoritas mereka sebagai pemimpin. Di samping itu, keadaan yang demikian akan memunculkan terjadinya instabilitas nasional dalam bidang politik maupun sosial25. Dari sini muncul berikutnya adalah pertentangan antara rakyat dan pemerintah, yang kemudian seringkali berujung pada jatuhnya kekuasaan pemerintah secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia. 25
Bagaimanapun tindakan otoriter menimbulkan ketidak terjaminnya HAM yang cenderung memunculkan ketidak harmonisan dalam kepemimpinan. Lihat. Susetiawan, Harmoni, Stabilitas Politik, dan Kritik Sosial; Kritik Sosial Dalam Wacanana Pembangunan, (Yogjakarta; UII Press, 1997) hal. 17-18
29
c.
Problematika terhadap sikap religiusitas Sejatinya tak ada agama yang menghalalkan umatnya untuk mengambil
keuntungan dari orang lain dengan cara merugikan orang lain. Dalam sikap ketuhanan yang luhur terwujud kejujuran dan keadilan yang universal baik kepada Tuhan sebagai pencipta maupun kepada manusia. Karena jika Tuhan telah dipercaya keberadaan-Nya, maka dengan sendirinya ia tidak akan melakukan kecurangan (korupsi) sebagai konsekuensi terhadap dosa yang akan dimiliki jika hal itu dilakukan. Dalam teologi manapun, Tuhan dipercaya mengetahui segala perbuatan manusia sehingga dengan tindakan korupsi ini sejatinya bisa diartikan menghilangkan keberadaan Tuhan sebagai sang maha Mengetahui26. Di sisi lain, kadang agama juga menjadi alasan kenapa kemudian tindakan korupsi muncul tidak bersamaan dengan meningkatnya keberagaman formalitas keagamaan (baca, ibadah). Yang kemudian muncul bahwa agama tak lagi mampu menjadi moral control terhadap tindakan masyarakat dan umatnya. D.
Korupsi Dalam Pandangan Islam Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn27, itulah yang selalu menjadi slogan
umat Islam dalam menjaga keharmonisan seluruh manusia. Dalam perjalannya Islam memunculkan nilai-nilai agama universal dari pembawanya yakni Muhammad. Misalnya keadilan (‘adâlah/ justice), persamaan derajat manusia (equality), kejujuran (‘amânah/ truth), toleransi (al-tasâmuh) dan lain sebagainya.
26
Secara sederhana jika memang Tuhan diformalkan sebagai yang tahu akan perbuatan manusia dan akan memberi balasan baik dan buruk perbuatan tersebut tentu manusia akan mempertimbangkan apa perbuatannya, apakah melanggar aturan Tuhan ataau tidak. Lihat Surat alZalzalah ayat 7-8 27
Kelimat ini terdapat pada ayat 107 dari surat al-Anbiya’ yang menyatakan bahwa Muhammad terutus adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.
30
Secara jelas prinsip-prinsip universalitu telah ada dalam al-Quran dan hadis yang seharusnya muncul menjadi prinsip dalam kehidupan pemeluk agama ini. Sehingga tidaklah semestinya ungkapan muncul bahwa agama sebagai religiusitas formal tidak mampu berevolusi menjadi religiusitas sosial yang bias dirasakan oleh orang lain. Terkait dengan korupsi ini Azyumardi Azra berpendapat bahwa agama ternyata tidak memiliki korelasi signifikan terhadap kecenderungan korupsi. Artinya munculnya berbagai acara formal kegamaan seringkali tidak dibarengi dengan menurunnya angka korupsi di negeri ini.28 Islam terlahir dalam ruang lingkup kehidupan Jahiliyah yang tentu bukan masyarakan yang bersih dari tindakan korupsi. Islam sebagai Agama yang mementingkan keadilan, kemudian harus menjadi kontrol masyarakat terhadap berbagai tindakan amoral. Di sini kemudian Islam memunculkan syari’at yang sebagai tujuannya (maqâshid al-syari’ah) ialah menjaga dan melindungi kemanuisaan. Perlindungan ini kemudian dikenalkan dengan 5 tujuan (almaqâshid al-khamsah), yakni; perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), perlindungan terhadap jiwa atau nyawa ( hifz al-nafs ), perlindungan terhadap akal (hifz al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz al-mâl). Disini kemudian korupsi adalah bentuk pelanggaran dalan perlindungan terhadap harta manusia (hifz al-mâl), dimana korupsi yang dimaknai sebagai penyelewengan terhadap tanggung jawab keuangan baik itu negara, perusahaan, organisasi atau apapun itu adalah bentuk pengkhianatan dan ini adalah haram hukumnya. 28
Azyumardi Azra, Kompas, Agama dan Pmberantasan Korupsi, dalam Pramono U. Thantowi, dkk. (Ed), Membasmi Kanker Korupsi, (Jakarta; Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005) hal. 244
31
Namun demikian, sesungguhnya korupsi adalah penyakit yang merusak semua tujuan hukum Islam (maqâsid syari’ah). Di mana tindakan korupsi yang merugikan dalam bidang keuangan merupakan wujud dari kerusakan moral yang berujung pada reduksi terhadap nilai agama yang ada, di mana agam tidak lagi menjadi ukuran bagi seseorang untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Di sini kemudian wujud ketidak tercapainya perlindungan terhadap agama (hifz ad-dîn). Selain itu korupsi akan berimbas pada ketidaksejahteraan orang lain yang berwujud pada kemiskinan, kelaparan. Selanjutnya perkembangan korupsi ternyata sampai kepada perubahan redaksi undang-undang yang berujung pada pembenaran terhadap tindakan korupsi, sebagai contoh seseorang yang melakukan korupsi akan berbeda dengan melakukan kelalaian dalam hukum. Sedang sesungguhnya tindakan korupsi tidak hanya merugikan pelaku sendiri namun juga keturunannya yang akan selalu diingat sebagai keturunan koruptor. Dalam al-Quran Allah mengatakan bahwa bagian dari ke-ma’sum-an para nabi adalah ketidakmungkinan mereka untuk melakukan tindakan ghulûl atau korupsi, sebagaimana ayat berikut:
!!!!! ! ƒ !!! ! ! ! ! !! !! ! !! !!!!!!ƒ !!! ! ! !! ! ! ! !!! !! ! ƒ !!! ƒ ! !!!! ! !! ! ! !!! ƒ ! !! ! !!!! ! !!! ! !!!! !! ! ! !!! !! ! ! !! !! ! !!! !ƒ ! !!! !! ! ! !! !! ! Artinya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran: 161)
Yang kemudian menjadi bagian dari sifat yang melekat pada nabi adalah sifat amanah yang berkebalikan dengan sifat khianat tersebut. Selain itu, bahwa
32
korupsi adalah merupakan hal yang bertolak belakang dengan spirit Islam tentang keadilan dan kejujuran. Bagaimanapun nilai universal yang dibawa agama Islam adalah hal mutlak yang harus diikuti dan tidak mungkin bertolak belakang dengan ajarannya sediri (baca: ajaran Islam), hal ini Allah perintahkan dalam kitabnya sebagai berikut:
!! !!! !!! ! !! !!!!!! !! !!!!! ƒ !!!! ! !!! ! ƒ !!! ! !!! !!! !! !!!!! !! ! ! ! !!!ƒ !!!!! ! ! !!!! ! ! !!!! !!! !!!!! ƒ !!! ! ! !! ! ! !!!!!!!!!! ! !!! !!!!! !!!! !! ƒ !Ê ! !!!!! !!!!! Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah; 188)
Dalam ayat ini dapat dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan tindakan korupsi tersebut yakni. Pertama, adanya larangan memakan, menggunakan dan juga memanfaatkan harta orang lain dengan cara yang tidak benar yakni diluar ketentuan yang disepakati seperi jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya. Kedua, membawa atau memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan dalam bentuk suap maupun gratifikasi yang dengannya pemberi berniat untuk merubah pendirian hakim mapun pemegang kekuasaan tersebut agar melancarkan keinginanya untuk memakan, menggunakan ataupun memiliki harta orang lain tersebut. Ketiga, yakni menjelaskan bahwa pada hakekatnya setiap pelaku korupsi pasti mengetahui bahwa tindakannya adalah salah dan berdampak dosa pada dirinya, namun hal ini sering ia tutupi dengan iming-iming keuntungan yang akan ia dapatkan nantinya.
33
Dalam sebuah riwayat bahkan nabi pernah tidak mau melakukan shalat jenazah terhadap seseorang yang kala hidupnya melakukan korupsi29. Disamping itu beliau mengatakan bahwa
sedekah dari korupsi tidaklah akan diterima
sebagaimana tidak diterimanya shalat seseorang yang tidak dalam keadaan bersuci30. Disinilah kemudian Islam tidak menghalalkan tindakan korupsi tersebut. Selain memang tindakan korupsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam seperti keadilan, amanah, dan kejujuran. Yang kemudian pada bab-bab berikutnya dari tulisan ini akan dipaparkan berbagai macam tindakan yang dapat dimasukkan dalam tindakan korupsi yang tergambar pada masa nabi. Karena bagaimanapun korupsi tidak hanya terjadi saat ini, maupun mulai dari zaman nabi, namun korupsi terjadi sejak adanya kekuasaan pada diri manusia.
29
Adapun terjemahan hadisnya adalah sebagai berikut; “Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr berkata bahwa ada seseorang bernama Kirkirah yang mengurus perbekalan Rasulullah saw. Ia mati di medan perang. Kemudian Rasulullah bersabda: “Dia (masuk) di neraka”. Para sahabat bergegas pergi melihatnya dan menemukan mantel (‘abâ’ah) yang telah digelapkannya. (lihat. Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Jihâd wa al-Sair, Bâb al-Qalîl min al-Gulûl, no. 3074 (Riyadh: Bait al-Afkar alDauliyah, 1998), h.346; Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Jihâd, Bab al-Gulûl, no. 2849 (Riyadh: Dar al-Afar Al-Dauliyah, 2004), h. 310. 30
Dari Ibn ‘Umar ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Shalat (yang dilakukan) tanpa bersuci tidak akan diterima (oleh Allah), begitu pula sedekah dari hasil gulûl, korupsi.” (Lihat. Muslim, Sahih, Kitâb al-Taharah, Bâb Wujûb al-Taharah li al-Salah, no. 224, h. 106; Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Taharah, Bâb Fardi al-Wudu’, no. 59 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 322
34
BAB III KONTEKSTUALISASI HADIS A.
Wacana Kontekstualisasi Hadis Nabi Teks selalu membawai konteks yang ada, dan hampir atau bahkan bisa
dikatakan semua teks memiliki konteksnya tersendiri karena bagaimanapun tidak ada teks yang begitu saja muncul tanpa sebuah sebab ataupun kejadian yang mengharuskan teks tersebut ada. Yang dalam hal agama tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa adanya alasan apalagi hanya untuk kesia-siaan1. Kontekstual berasal dari kata context yang berarti “menggantungkan” yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”2. Yang dalam bahasa Arab di gunakan dalam istilah3 !!!! ! !!!! !!! !!!!!!!!!!!!! dan !! !!!!
! !!! ! ! . Sehingga dalam pembahasan ini memiliki makna bahwa kontekstualisasi hadis –yang diberi imbuhan isasi- berarti penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atas segala yang disandarkan kepada nabi (yang kemudian disebut sebagai hadis) berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu disampaikan atau terjadi.
1
2
Lihat Ali Imran: 191 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 458
3
Imam Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab, (Kediri; Lembaga Pondok Pesantren al-Basyari, 1987). Hal. 216
34
35
Berbeda dengan pemahaman tekstual, bahwa tekstual adalah pemahaman terhadap sesuatu dari teks itu sendiri sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Sehingga seringkali pemahaman atau pendekatan ini terjadi pada ranah bahasa Arab itu sendiri, yang kadang menyingkirkan sebab-sebab serta situasi dan kondisi saat hadis itu muncul. B.
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual atas Sejarah Hadis Para sahabat generasi pertama dalam sejarahnya akan mendasarkan segala
fatwa atau pendapatnya kepada nash-nash al-Quran yang disampaikan nabi dan juga hadis nabi sendiri dianggap sebagai penjelasannya. Kemudian, jika mereka tidak menemukan dalam al-Quran maupun hadis nabi mereka akan melakukan ijtihad dengan membuat analogi-analogi (qiyas). Dalam pendekatan ini kemudian menggunakan rasio (ra’yu) yang tentu berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Justufikasi bagi adanya pendekatan rasio dalam bentuk ijtihad ini secara umum dijelaskan dengan adanya hadis masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus nabi menuju ke Yaman 4. Sebagaimana tergambar dalam hadis sebagai berikut:
!! !! ! ! !!!! ! ! !ƒ !!! ! !!! !!! !!!!! ! !!!! ƒ ! !! ! !!! !! !!! !! ! !! ! ! !!!! ! !!!!! ! !! ! !!!!! ! !!! ! ! ! ! !!!! !!!! !!!!!!!!!! !!!! !! !!! ! !!! !!ƒ ! !!!! !!!!!!!!!! !!!! !!! ! ƒ !!!! !!!!Æ ! !!! !!! !!! ! ! !!!! !!! ! ƒ !! !! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !!!! !! !!! ! !!! !!ƒ ! !!!! !!!!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !!! ! ! !! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !! ! ! !!!!!!!! ! !! !ƒ !! !! ! !! !!! !!!!!!!!!! !!!! !! !!! ! !!!!!! !!! ! !! ! ! !!!!! !!!!!!!! !!! ! !! !!! ! !! !! !! ! !!!!!!!! ! ! ƒ !!!! !!!!
4
Hadis ini diriwayatkan oleh Hafs bin Umar dari Syu’bah dari Abi ‘Aun dari Haris bin Amr bin Ibn Akhi al-Mughirah bin Syu’bah dari Anas. Lihat Abû Dawud, Sunân, Bâb Ijtihad Ra’yu Fî al-Qadhâ, hadis no. 3592 (Aman; Dar al-A’lam, 2003) h. 587-588
36
Namun hal ini memang tidak terjadi kepada banyakan para sahabat, karena memang ketika mereka memiliki masalah atas sesuatu mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi. Yang kemudian setelah wafatnya nabi sangat berbeda karena para sahabat saat itu telah ditinggal oleh sang masdârul hukmi sebagai pembawa risalah tuhan. Hal ini pula berpengaruh pada penerimaan para sahabat terhadap periwayatan sahabat yang lain, disini kemudian dinilai bahwa permulaan tentang kritik matan itu dimulai. Contoh yang cukup masyhur adalah terjadinya penolakan ‘Aisyah terhadap periwayatan yang menurutnya bertentangan dengan nash al-Quran. Ia menolak periwayatan ‘Umar dan Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa “mayit akan di siksa karena tangisan keluarganya”5, lantaran hadis ini dianggapnya bertentangan dengan ayat al-Quran yang berbunyi, “wa lâ taziru wâziratan wijra ukhrâ”.6 Seiring perkembangan ilmu hadis dan periwayat hadis, kemudian dirumuskanlah kriteria umum terhadap kesahihan hadis oleh para ulama hadis dengan lima syarat, hal ini menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis demi menjaga otentitas hadis. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matan hadis. Yang beraitan dengan sanad yakni a. sanad harus bersambung, b. perawi harus dabit dan c. perawi pun harus tsiqqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah keharusan tiadanya syadz dan ‘illah. Seleksi ini guna menunjukkan mana hadis yang nantinya bisa diamalkan dan tidak (ma’mûlun bih aw ghairu ma’mûlun bih). Dari sinilah kemudian para ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai sahih, 5
Hadis ini diriwayatkan oleh Abdillah bin Abi Mulaikah, Lihat Muslim, Sahih, Bâb alMayyit Yu’adzab bi Buka’I Ahlihi ‘Alaihi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) Hadis no. 1543 hal 500 6
Lihat al-Isra’ ayat 15, al-An’am; 164, Fathir; 18, Zumar; 7 dan Najm; 38
37
dhaif, hasan dan seterusnya. Yang dalam hal ini tentu yang dibahas adalah hadishadis yang tidak mutawattir, karena para ulama berpendapat bahwa hadis mutawatir sudah menjadi kesepakan untuk ma’mûlun bih. Dari beberapa seleksi itu, memunculkan pula dua macam kritik hadis, yakni kritik sanad dan kritik matan. Namun sayang, pada perkembangannya lebih banyak konsentrasi ulama tertuju pada kritik sanad, sebagaimana yang terjadi seperti Imam al-Bukhari misalnya, ia menulis dalam kitab Sahih-nya adalah bentuk dari kritik sanad, sebagaimana Ia memberi judul sebagai Jâmi’ al-Musnad al-Shahih (yakni himpunan hadis yang shahih sanadnya). Lebih sayang lagi, bahwa dewasa ini muncul anggapan bahwa penyeleksian yang dilakukan oleh Imam al- Bukhari atas hadis-hadis yang sudah dimuatnya dalam kitab tersebut telah mencakup pada kritik sanad dan kritik matan. Sehingga melakukan kritik matan terhadap hadis-hadis yang ada dalam kitab al-Bukhari dianggap tabu. Disinyalir terdapat banyak hadis yang dari segi sanad ia termasuk sahih, namun dari segi matan ia bertentangan dengan al-Quran, dari sini orang-orang seperti Ahmad Amin, Abû Rayyah7 kemudian menolaknya. Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalaam bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, mengatakan bahwa betapa pun sahihnya sanad suatu hadis, sepanjang ia bertentangan dengan al-Quran ia tidak ada artinya8.
7
Dalam hal ini Abû Rayyah menyatakan bahwa kritik yang dilakukan para sahabat terhadap periwayatan Abû Hurairah, seperti ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Thalib dan yang lain adalah bentuk dari kritik hadis yang pertama dilakukan dalam dunia Islam. lihat Abû Rayyah dalam ‘Adwa’ al-khala al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Kairo; Dar al-Ma’arif, 1980) hal. 177 8
Muhammad al-Ghazali, Terj. M. al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw. : antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung: Mizan, 1991) hal. 26
38
Dalam buku tersebut, Muhammad al-Ghazali juga mempersoalkan banyak hadis yang bertentangan dengan al-Quran dan menentang keras terhadap orangorang yang mamahami dan mengamalkannya secara tekstual. Yang kemudian dalam buku tersebut Muhammad al-Ghazali menggunakan kaidah diatas sebagai tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis. Kesahihan hadis memang tidak bisa ditentukan hanya oleh kesahihan sanad saja. Tetapi matannya pun mesti di telaah lebih lanjut guna memastikan apakah ia tidak syadz dan tidak mengandung illat’ (cacat) terhadap hadis kendati hal ini cukup sulit dilakukan. Pertama-tama matannya harus dibandingkan dengan matan yang senada yang terdapat dengan sanad-sanad yang lainnya. Bila ia merupakan satu-satunya hadis yang menggunakan matan yang berbeda, ia jelas merupakan hadis yang syadz. Kemudian, bila kandungan isinya bertentangan dengan al-Quran dan hadis-hadis lain yang senada, ia dinyatakan illat. Kegiatan inilah yang kemudian dilakukan oleh orang-orang seperti Abû Rayyah dan Muhammad al-Ghazali yang sekaligus menjadikannya sebagai salah satu kaidah dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Contoh lain dari pemahaman ini adalah terhadap hadis yang menyatakan bahwa pemimpin harus dari Quraisy sebagai berikut:
!! !!!! !È ! !!! !!!!!!!!!!! ! !! !! !!ƒ !!!! !!!!! !! !! !!!!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !! ! !!!!! ! !!! !ƒ ! !! !!!!! ! ! !!!!!! ! ! !! !!ƒ ! !!!!!!! !! !! ƒ !!!!!!! !! ! !!! !! ! !! !!!!! !! ! !!! !! ! !!! !!! !! ! 9
! !! ! !!! !!!!!!! !!! !! ! ƒ !!!! !!!!!!!!!!!!!!!!!! ! !!!! !! !ƒ ! !ƒ !!!! !!! ! !!!!!!! ! !!!!! ! ! !ƒ ! !! !!!! !! 9
. Lihat Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Bab Musnad Anas bin Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hadis no. 11859 hal. 405. Hadis ini termasuk sahih sanadnya, namun jika digunakan dengan pendekatan kontektual tentu ia tertolak. Minimal dengan dua alasan, pertama; karena ia bertentangan dengan al-Quran yang menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam Islam, dan bahwasanya nilai seseorang tidak ditentukan dari kesukuan namun dari ketaqwaan yang
39
Dengan demikian, kritik matan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual terhadap hadis nabi. C.
Latar Belakang Kontekstualisasi Hadis Dari pemahaman terhadap sejarah diatas, sering kali hadis yang termasuk
pada zanni al-wurûd menjadi sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen terhadap kekudusan agama yang berujung pada pengingkaran terhadap autentitas hadis atau sunnah tersebut. Hal inilah yang kemudian banyak dilakukan oleh banyak orientalis terhadap kajian hadis dalam Islam. Hadis dalam sejaranya dan keberadannya sendiri berbeda dengan alQuran. Bagaimanapun al-Quran dari segi redaksinya dipercaya bahwa ia disusun langsung oleh Allah swt. Malaikat Jibril adalah penyambung lidah agar sampai kepada umatnya melalui Muhammad, yang kemudian umatnya menghafalnya dan menulisnya. Sehingga tidak mengalami perubahan, bahkan Allah sendiri diyakini telah menjaga keotentikan al-Quran10. Atas dasar inilah kemudian wahyu Allah dalam al-Quran digolongkan sebagai qat’iy al-wurûd. Sedangkan berbeda dengan hadis, ia hanya berdasarkan pada hafalan dan beberapa catatan para sahabat dan tabiin. Walaupun memang biografi dari para sahabat dan tabiin tersebut telah tercatat dalam pena sejarah yang cukup jelas dan kredibel dalam pembuktian kejujuran, keadilan, ketulusan dalam membawa amanah dalam menyeleksi hadis dan periwayatannya dari generasi ke generasi selanjutnya. Di samping itu, kondisi yang stabil dalam kehidupan mereka menunjukkan bahwa pantaslah jika memang hadis atau sunnah ditempatkan pada tingkatan kedua dalam sumber hukum Islam. dimilikinya Lihat al-Hujurat: 13 . Kedua, untuk saat ini, ketika sudah terbentuk banyak negara maka hal itu tak mungkin lagi digunakan. 10
Lihat al-Hijr: 9
40
Yang kemudian menjadi persoalan adalah para internal Nabi sebagai akhirul anbiya’ yang dimaknai sebagai nabi yang membawa risalah hingga akhir zaman karena tiadanya nabi setelahnya. Ia menjadi figur kepada semua zaman, sementara itu hadis turun dalam situasi dan kondisi nabi, yang tentunya memiliki kultur yang berbeda dengan yang lain. Selain itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbâb al-wurûd yang menjelaskan status hadis apakah ia bersifat umum atau khusus. Sehingga kadang hadis difahami sebagian umatnya dengan pendekatan tektual dan sebagian lagi dengan kontekstual. Disini kemudian muncul beberapa yang melatarbelakangi perlunya pemahaman kontektual terhadap hadis nabi, diantaranya11; a. Jumlah kaum muslim yang semakin banyak dengan berbagai kultur, wilayah goegrafis, dan kondisi sosial yang berbeda adalah alasan utama sebagai permasalahn tekstualisasi hadis. Hal ini tentu karena hadis hanya muncul pada kultur, zaman, dan situasi Nabi dan tidak setelahnya. b. Dalam kenyatannya umat Islam tidak lagi menyatu dalam daulah Islamiyah, maka sebagai konsekuensi mereka harus mengikuti aturan negara masing-masing dimana mereka berbada, selain mereka memiliki budaya yang berbeda pula.
Terlebih jika jumlah kaum
muslim adalah minoritas. Sebagai contoh adalah pada negara sekuler
11
Sejatinya banyak yang menyampiakan latar belakang pentingnya kontektualisasi hadis selain memang banyak alasan lain selain yang penulis sebutkan disini. Adapun yang penulis sebutkan disini adalah pokok yang penulis anggap sangat perlu dipahami oleh pembaca hadis saat ini. contoh lain lihat, Suryadi, rekontruksi metodologis Pemahaman Hadis atau Hanim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam studi Agama yang terkumpul dalam bunga rampai Wacana Hadis Kontemporer (Yogjakarta: PT Tiara Wacana. 2002) h. 138 - 180
41
yang ektrim, maka rasanya sulit untuk melakukan ibadah qurban disana, kecuali memang memiliki komunitas muslim tersendiri. c. Dalam keputusan yang diambil nabi sendiri telah memberikan gambaran perubahan hukum yang berbeda disebabkan karena kondisi dan situasi yang berbeda. Misalnya tentang ziarah kubur yang pada awalnya nabi melarangnya karena khawatir munculnya kekufuran, namun ketika hal itu cukup difahami masyarakat maka hal itu pun diperbolehkan12. Sebagai contoh saat ini adalah perubahan hukum rokok dalam Muhammadiyah yang dulunya Mubah namun sejak tahun 2010 menjadi Haram. d. Adanya peran sahabat sebagai pewaris nabi yang paling dekat dengan Nabi
sekaligus
mengayati
dan
memahami
hadisnya
telah
mencontohkan adanya pemahaman kontekstualisasi. Seperti keputusan Umar
untuk
tidak
memotong
semua
pencuri
dalam
masa
kekhalifahannya sebagai konsekuensi terhadap konteks yang terjadi saat itu. e. Implementasi pemahaman tekstual terhadap hadis seringkali tidak sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi alasan utama Islam itu sendiri. Hal ini kemudian pemahaman kontekstual digunakan untuk menemukan ide universal dari setiap perintah tersebut. 12
Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Sulaiman bin Burdah sebagai berikut:
!!! !!! !!!!! !!!! !! !!! ! ! ! !!! ! !!! !!!! !!!!ƒ !!!!! !!!! !! ! !! ! !!! !!! !! !! !!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! ! ! ! !! !!! !! ! ! !!! ! ! !!!!! !!!!!!! !!! !!! ! Lihat; al-Tirmizi, Sunan, bâb mâ ja’a fî rukhsah fî ziarah al-kubur hadis no. 974 (Beirut: Dar alMa’arif, 2002) h. 210
42
f. Dan yang terakhir tentu adalah bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘âlamîn akan selalu difahami bahwa dengan segala ajarannya ia akan selalu sâlih li kulli zamân wa makân. D.
Batasan-Batasan Kontekstualisasi Hadis Adapun batasan yang dimaksud disini adalah batasan yang menyangkut
tema-tema hadis dan pembahasannya yang bisa dan dianggap perlu untuk ditampilkan pemahaman kontekstual terhadapnya. Secara jelas memang tidak bisa semua diambil nilai kontekstual dan hanya diamalkan nilai universalnya saja dan tidak berbentuk dalam tindakan ibadah. Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa konteskstualisasi hadis meliputi dua hal yakni; pertama, dalam bidang ibadah mahdah (murni) tidak ada kontekstualisasi. Karena jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian situasi dan kondisi maka hal tersebut akan masuk dalam bid’ah. Kedua, bidang diluar ibadah mahdah. Dengan demikian kontekstualisasi dialkukan dengan tetap berpegang pada nilai universal hadis , untuk selanjutnya dirumuskan legal specific berupa tindakan aplikatif baru yang menggantikan legal specific lamanya.13 Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa hadis diharuskan adanya kontekstualisasi guna peletakannya sebagai ajaran yang tetap bisa diajarkan dan tidak hanya sebagai tulisan yang mati. Yang selanjutnya memiliki ruang tertentu terhadap tema kontekstualisasi dari hadis-hadis sebagai berikut; a. Menyangkut hal sarana dan prasarana yang tertuang secara tekstual. Hal ini menyangkut bagaimana penggunaannya pada masa Nabi
13
M. Sa’ad Ibrahim, dalam Orisinalisitas Dan Perubahan Dalam Ajaran Islam, Jurnal At-Tahrir, Vol. 4 no. 2 Juli 2004 hal. 170
43
dengan adanya perkebangan zaman saat ini. Misalnya pada pakaian gamis yang digunakan pada budaya Arab juga penggunaan bahasa Arab. Semua itu adalah produk budaya yang tentunya setiap wilayah pun berbeda. b. Menyangkut aturan manusia sebagai individu dan biologis. Sebagaimana yang dilakukan nabi ketika makan hanya dengan tiga jari, karena konteks saat itu adalah kurma dan roti. Tentu hal ini akan sangat berbeda dengan budaya Indonesia yang makan sayur asem dan nasi. Dari sinilah selanjutnya yang diambil adalah pesan moral untuk tidak berlebihlebihan. c. Menyangkut aturan manusia sebagai makhluk sosial dalam. Yakni bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar dan juga binatang dalam wilayah kontekstual. Hal ini sejalan dengan isyarat nabi “antum a’lamu bi umûri dunyâkum”.14 d. Yang terakhir adalah mengenai sistem bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial, ekonomi, politiik dan budaya masa nabi sangat berbeda dengan kondisi saat ini di negara yang berbeda. Disisi lain memang nabi tidak mengisyararatkan bentuk pembagian wilayah seperti negara, kerajaan dan lain-lain. Dengan demikian kondisi pada masa nabi tidak bisa dijadikan parameter sosial. Adapun mengenai bagaimana proyeksi kontekstualisasi ini dilakukan, M Sa’ad Ibrahim mencoba menjelaskan dengan tiga tahapan guna mendapatkan pesan yang memang benar dari nabi dan mampu terlaksana pada kondisi yang berbeda sebagai berikut; pertama. Memahami teks-teks hadis atau sunnah untuk 14
Muslim, Sahih, bâb wujûbu imtitsali mâ qalahu syar’an duna mâ dzakarahu (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) hadis no. 4358 hal. 54
44
menemukan dan mengidentifiasi legal specific dan pesan moral dengan cara melihat konteks lingkungan awal seperti madinah, makkah sebagai bagian dari asbab al-wurûd hadis. Kedua, memahami lingkungan baru dimana teks-teks hadis itu akan digunakan atau diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya. Ketiga, jika ternyata ditemukan perbedaan-perbedaannya lebih dominan dari pada persamaan yang ditemukan maka dilakukan penyesuaian legal specific terhadap teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang teguh pada pesan moral yang dibawa teks tersebut15. Maka dengan demikian pesan nabi tetap akan bisa terlaksana dimanapun dan kapanpun berada. Sebagai konsekuensi bahwa Muhammad adalah pembawa risalan bukan bagi umat tertentu dan kondisi tertentu, namun sebaliknya Islam yang dibawa Muhammad adalah Islam yang sâlih li kulli zamân wa makân.
15
M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam, dalam Jurnal AtTahrir, vol. 4 no. 2 Juli 2004, hal. 168
45
BAB IV KORUPSI DALAM PANDANGAN HADIS A.
Macam-Macam Korupsi Dalam Hadis Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai hal ini, ada dua hal yang
harus kembali dijelaskan yakni apa itu korupsi dan apa itu hadis. Hal ini guna menjadi pembahasan bahwa korupsi memiliki ciri yang berbeda dengan tindakan kejahatan atau dosa yang lain dalam Islam, yakni al-Quran dan hadis. Karena bagaimanapun Islam memiliki aturan tentang berbagai hal dalam kehidupan manusia, termasuk didalamnya adalah hak-hak terhadap kepemilikan terhadap sesuatu. Yang kemudian penyelewengannya memiliki beberapa macam istilah seperti sariqah (pencurian), riba, risywah (penyuapan) dan sebagainya. Hadis, M. ‘Ajjaj al-Khatib menjelaskan dalam etimologi berarti yang baru dari segala sesuatu. Namun secara terminologis beliau menyebutkan bahwa hadis bisa disamakan dengan sunnah, yang keduanya memiliki arti sebagai segala sesuatu yang diambil dari nabi Muhammad saw. sebelum dan sesudah diangkat menjadi rasul. Akan tetapi bila disebut kata hadis, umumnya dipakai untuk segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan maupun ketetapan. Dengan demikian, berdasarkan keterangan ini, sunnah lebih luas pengertiannya dari pada hadis.1
1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qaridunnur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta; Gaya Media Pratama, 1998) Hal. 7-9
45
46
Sementara sunnah, sebagaimana yang di jelaskan oleh M. Mustafaa Azami2 dalam bukunya Dirâsât fî al-hadîth al-Nabawî wa Tarîkh Tadwînih bahwa kata sunnah telah dikenal sejak masa Jahiliyah. Pada saat itu mereka mengenalnya sebagai bagian dari syair-syair mereka dan memiliki arti ‘tata cara’. Sedang dalam al-Quran kata sunnah dipakai untuk arti ‘tata cara dan tradisi’. Sementara itu Nabi juga menggunakannya untuk arti yang sama. Kemudian arti ini memiliki perluasan terminologis, sebagaimana yang dipakai oleh para ulama dan orang-orang Islam dengan menambah “al” di depannya yakni dengan pengertian bahwa sunnah adalah ‘tata cara dan syariat yang dibawa oleh Rasulullah’ . Namun ini bukan berarti pengertian etimologis tidak terpakai, sebab pengertian yang belakang ini hanya dipakai dalam pengertian yang sempit yakni pada apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad. Adapun korupsi, sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa korupsi adalah “perbuatan yang dengannya menyebabkan kerugian terhadap negara atau masyarakat dan berdampak pada keuntungan pribadi maupun golongan dengan cara penyalahgunaan kewenangan atau keprcayaan”. Selanjutnya dibawah ini adalah beberapa macam istilah atau kosa kata bahasa Arab yang terpakai dalam hadis-hadis nabi. Dimana kosa kata tersebut dapat disepadankan dengan makna korupsi ataupun tindakan yang teridentifikasi menjadi korupsi.
2
M.M. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub.( Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 2 th.2000) hal. 20
47
Ghulûl ( ! !!! )3
A.1.
Ghulûl4 merupakan kata yang paling sering digunakan oleh Rosulullah dalam menyebutkan tindakan yang diidentikkan dengan korupsi, seperti pengkhianatan dan penggelapan. Ghulûl berasal dari kata ! !!! yang merupakan isim masdar dari !! !!! !!!! ! !ó!! !!!ó!! ! yang berarti mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya5. Dengan demikian bisa disamakan dengan penggelapan barang.
Hal ini berbeda dengan !!!!!
sarîqah (pencurian), dimana yang berbeda terletak pada adanya wewenang yang dimiliki oleh pelaku
! !!! (sâriq). Adapun dalam hadis nabi memakai
kata ghulûl untuk beberapa hal yang berbeda antara lain;
3
Kata ini digunakan dalam al-quran dengan beragam susunan kata seperti !! !!! pada
surat al-Imran; 161,
!!!!! pada Al-Haqah; 30 dan ! !! !!!! !!! pada al-Maidah; 64.
4
Istilah ini pada awalnya banyak terdapat dalam beberapa kitab Muhaditsin seperti alTirmizi dengan Bâb Ma Ja’a fi al-Gulûl (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) hal. 664, Ibnu Majah dengan Bâb al-Gulûl (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 2004) h. 310, dan al-Bukhari dengan Bâb al-Ghulûl, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h.346 5
Selain itu
!!
dengan tasydid berarti pula
! !!
atau khianat, yang pada awalnya kata ini
dimaknai sebagai haus yang sangat atau dalam kepanasan. Lihat. Ibn Manzur al-Iraqi, Lisanul Arab, (Beirut:Darul Fikr, tt). Hal 499. Lihat juga Muhammad Rawwas Qal’ah, Mu’jam Lughat alFuqaha, (Beirut: Dar Diyan at-Turats, tt) hal. 117
48
a.
Hadis Ghulûl Umum
!! !º !! !!!!!! ! !! !! !! ! ! !! !!! !!! ! !! ! !!!!!! ! !!!!!!!!!!! ! !! !!!! !! !!!!!!!!!!!!! ! !! 16 !! !! º ! !! º !!!!! !!!!!! ! ! !!! !!!!! ! !! !! !! !!! !! !!! ! !! !!! ! !! ! !! !!!!!! ! !!! ! !! !!! ! !!!!!! ! !!!7!!! !!!! !!! !!!!!! ! !! ! !!! !!! ! !!! !!!!!!! ! !!! !ƒ !!!! !!!! !!!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! Artinya: Dari Qutaibah bin Sa’id dari Abû ’Awânah dari Simâk bin Harb, selian itu juga dari Dari Hannâd dari Waqi’ dari Isrâil dari Simâk dari mas’ab bin Sa’ad Ibn ‘Umar ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Salat (yang dilakukan) tanpa bersuci tidak akan diterima (oleh Allah), begitu pula sedekah dari hasil ghulûl, (korupsi).”
!! !!!! !!! !!!! !! ! !!! !!!!!! ! !! !!!! !! ! !! ! ! !! !!!! !!!!!!!! ! !! !!! !!! !!! ! ! !!!!!!! ! !! 2 !! !! !!!! !!! !!! !!!! ! !! !! ƒ !! !! º !!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!! !!!! !!!! ! !! ƒ !8!!!!! ƒ !!!!! ! ! !!! !! !!!! !!! !!!!ƒ !!!! !!! !! ƒ !!!!! ! !!!! !!Æ ! ! ! !!!! ! ! !!! ! ! ƒ !!!!! !!! !!!!! ! !!! Artinya: Dari Muhammad bin Basyar dari Ibn Abi ‘Adî dari Sa’îd dari Qatâdah dari Sâlim bin Abi al-Ja’di dari Ma’dan bin Abi Thalha dari Sauban, berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang ruhnya berpisah dari jasadnya (mati) dan dia terbebas dari tiga perkara; menyimpan harta (tanpa dizakati), gulûl (korupsi), dan utang (tak dibayar), maka ia masuk surga”.
6
Pemberian nomor ini bertujuan untuk memudahkan dalam pembahasan bab berikutnya dalam penulisan skripsi ini pada kontekstualisasi hadis-hadis korupsi 7
Muslim, Sahîh, Kitâb al-Tahârah, Bâb Wujûb al-Tahârah li al-Salah, no. 224 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 106; al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Tahârah, Bâb Mâ Ja’a La Tuqbalu al-Salat bi Ghairi Tahûr, no. 1 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) ha. 17; al-Nasa’i, Sunân, Kitâb al-Tahârah, Bâb Fard al-Wudu‘, no. 139 (Beirut: Dar Ahya’ al-Turts al-islami, tt) h. 27; dan Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Tahârah, Bâb Lâ Tuqbalu al-Salat bi Ghairi Tahûr,hadis no. 271, 272, 273, 31 (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 276 8
Al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Sair, Bâb Mâ Jâ’a fi al-Ghulûl, no. 1573. Dalam riwayat al-Tirmizi lainnya (no. 1572) menggunakan redaksi berbeda, yaitu: Man mâta wa huwa barî’un min al-kibr wa al-ghulûl wa al-dain dakhala al-jannah” (Siapa saja yang mati dalam keadaan bebas dari kesombongan, korupsi, dan hutang, maka ia masuk surga). Di riwayat kedua ini menggunakan al-kibr (sombong), bukan al-kanz (menyimpan harta tanpa dizakati). (Beirut: Dar alMa’arif, 2002) hal. 664 Riwayat ini juga didukung riwayat Abû Hurairah dan Zaid ibn Khalid alJuhani. Walaupun demikian, menurut Tirmizi sendiri, riwayat yang menggunakan al-kanz lebih sahih.; diriwayatkan pula oleh Ibn Majah, Sunân, Kitâb Sadaqat, Bâb al-tasydid di al-Dain, no 2412 (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 260
49
!! !!! ƒ !! !! !! !! !!! !! ! !! !!!! !!!!! !!! ! !! ! !! ! ! ƒ !!!! !! !! !!! !!! ! ƒ !!!! !! !!!!! !! ! !! 3 !! !!!! º ! !ƒ !! ƒ !!!!! º ! !! !!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !! !! ! !! !!! !!! !! ! !! ! ! È ! !!! !! !! ! !! !!! !!! !! !!!! ! !!! !!!! !! !!! !!! ! ! !!!!!!!!! ! !! !!! !! !!!! !!!!!!! ! ƒ !!!!! !!! ! È ! !!!! !!!! !! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!! !!!! º ! ƒ !!!!!!! ! !!!!! !!!!! !!!!!! !!!!ƒ !!!!! !!! !!! !!!!!!! ! ƒ !!!!!! ! !!!!! !!!!! !!!!!!! !!! !!!!!! ! ! !!!!!! !! !º !!!! !!!!!! ! ! !!! ! !!!!!!!!!! ! !!!!!!! ! ! !!! !!!! !!!!!!! ! ƒ !!!!!! ! ! ƒ !!!!! !!!!! !!!!!! !! ƒ !!!! ! ! !!! !!! !! º !!!! !º !!!!! ! ! !!!! !!ƒ !!!!! !!!!! !!!!!!Ê !ƒ !!! !!!!!!! !!!! ! ! ! ! ƒ !!!!! ! !!! !!! !!!! !!!!!!! ! ƒ !!!!! !!! ! ƒ !! 9
!!!! !!! ! !!! !! ! !!!! !!! !!! ! !
Artinya: Diriwayatkan dari Abdul Wahhâb bin Abd al-Hakam dari Hajjâj berkata dari ibn Juraij dari ‘Utsman bin Abi Sulaiman dari ‘Ali al-Azdi dari ‘Ubaid bin ‘Umair dari ‘Abdillah ibn Hubsyi al-Khaś‘ami, bahwa Nabi saw. ditanya: “Pekerjaan apakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “Beriman tanpa keraguan di dalamnya; Berjuang tanpa kecurangan di dalamnya; dan haji yang mabrur/baik. Ditanya lagi: “Salat apakah yang paling utama?” Jawab Nabi: “Qunut (berdiri dalam salat) yang panjang”. Ditanya lagi: “Sedekah apakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “Sedekah yang sungguh-sungguh dari orang yang pas-pasan.” Ditanya lagi: “Hijrah apakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “Hijrah (berpindah) dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.” Ditanya lagi: “Jihad apakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “Jihad untuk membebaskan orang-orang musyrik (dari kemusyrikannya) dengan harta dan jiwa.” Ditanya lagi: “Mati apakah yang paling mulia?” Nabi menjawab: “Orang yang (berjuang hingga) darahnya tertumpah dan kudanya terluka.”
b. Hadis Ghulûl Ghanimah (Korupsi Dalam Harta Rampasan)
!!! ! ! ! !! ƒ !!! ! !!! ! !! ! !!!! ! ! ! ! !!! ! ! ! ! ! ! ! !!!ƒ !! ! !!!!! ! ! !!!!! ! !! ! ! !! ! !! ! !!!!! ! !! 4 !!!! ! ! ! !!!!!!! !!!!!!! ! ! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! !!!! !! !!! !!! !!! !!!!!!! ! ! !!! !!!!!!!!!! !!
9
Al-Nasa’i, Sunân, Kitâb al-Zakat, Bâb Juhd al-Muqill, no. 2523(Beirut: Dâr al-Ihya’ alTurâts al-Islamî, 2003, tt) h. 427 dan Kitâb al-Imân wa Syara’i‘ihi, Bâb Zikr Afdal al-Imân, no. 4995, h. 798 dengan lafaz yang lebih pendek.
50
!!!È ! !!!! !!!!! ! ! !!!!!!!!!! !!! ! !!!!!!!! ! !!!! !!!!!!! !!!! ! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !! !!!!!!! !!! ! ! 10!!!! !! !!! ! Artinya: Dari ‘Ali bin Abdillah dari Sufyân dari ‘Amru dari Salim bin Abi al-Ja’di dari ‘Abdullah ibn ‘Amr berkata bahwa ada seseorang bernama Kirkirah yang mengurus perbekalan Rasulullah saw. Ia mati di medan perang. Kemudian Rasulullah bersabda: “Dia (masuk) di neraka”. Para sahabat bergegas pergi melihatnya dan menemukan mantel (‘abâ’ah) yang telah digelapkannya.
!! !!!!! ! !!!!!!! !!! !!! ! !! ! !! ! !!!! ! !! ! !!!! ƒ !!!! !!!!!!!! ! !Ê ! ! !ƒ !!!! !!! ! ! !!!!!!! ! !! 5 !! !!!!!Ê ! !!!!!È ! !!!! !!!! !!!!!! ! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!!!! !!!!!!!!! ! ! !!!! !! ! !!!!!!!!!! !!!!! ! !!! ! !!!! !!!! !!!!!! !! !!!! !!!! !!!!ƒ ! !!!! !!! !!!! ! ! !!!!! !!!!! ! !!!! !!!!! ! ! !! !!!!!!! !!!!! !! !!!!! !ƒ !!!!! !!!!! !!!!! !!!!!! ! ! ! !!! ! !!!!!! ! ! !!! !!!!! !!! !!!!! !! !! ! !! !!!! ! !! ! ! !!!! !!!!! !!! !! !!!! !! !!!!!!! !!!! ! !! !!!! ! !!!!!! !!!ƒ !!!!!!!! !!!! !!!ƒ !!!!! !!!!! ! ! !!!!!! !!!!!!! !! !!! !!!!!!!! !!!! !!!! ! !ƒ !!!!!! ! !!! !! ! !!!!!!!! ! !ƒ ! !!!! !!!!!! !! ƒ !!!!!! !!!!!!! !!!!!! È ! !!! !!!! !!!!!ƒ !!!!! ! ! !!!!!!! !!!!!!!!! !!!! !! !!! ! !! ! !! !!!!!!!ƒ !!!!! !!!!ƒ !!!!! ! !!!!!! !!!!!!!! !!!!! ! ! !!! !!!! !! !!!!! ! ! !!!!!!!!!!! ! !!! !!! !!!!!!!ƒ !!!! !!!! !!! ! !!! !!! !!!!! !!!!! ƒ !! !!! ƒ !!!!! ƒ !! !!!!! É ! !!! !!!! !!!!ƒ !!!!! ! !!!!!! !!!!!!!! !!!!!!! !!!! !!!! !!! ! !!! !!!! !! !!!!! !!!!!! !!!! !! !!! !!!! ! ! ! !!!!!!! !! !! !!! !!!!!ƒ !!!!!!!!!!!!!!!! ! !!!! !!!!! !!! !!!!! !!!!!!!! È !!!! !!!!! ! !! ! !!!! ! ! !! 11
!!!!!
Artinya: Dari Muhammad bin al-‘Ala’I dari Ibn al-Mubârak dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih dari Abû Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Salah seorang nabi (terdahulu) berperang (di jalan Allah). Ia berkata kepada kaumnya: “Janganlah ikut berperang bersamaku, orang yang memiliki istri dan ia ingin sekali berhubungan intim dengannya, padahal ia belum melakukannya. Jangan pula ikut berperang, orang yang sedang membangun rumah, sedangkan ia belum selesai memasang atapnya. Jangan pula ikut, orang 10
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Jihad wa al-Sair, Bâb al-Qalil min al-Ghulûl, no. 3074, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 346; Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Jihad, Bâb alGhulûl, no. 2849, (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 2004) h. 310. 11
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb Furudul-Khumus, Bâb Qaul al-Nabi Uhillat lakum alGhanimah, no. 3124, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 351; Muslim, Sahîh, Kitâb alJihâd wa al-Sair, Bâb Tahlil al-Ghanâ’im li Hazihi al-Ummah Khassah, no. 1747 (Beirut: Dar alFikr, 2003), h. 693.
51
yang membeli (memiliki) kambing atau unta-unta yang sedang hamil tua, padahal ia menunggu kelahirannya. Kemudian nabi tersebut berperang dan mendekati sebuah negeri pada waktu Salat Asar atau sekitar waktu tersebut. Nabi itu berkata kepada Matahari, “Sesungguhnya engkau diperintahkan oleh Allah, aku pun diperintahkan juga oleh-Nya. Ya Allah, tahanlah Matahari itu untuk kami (agar tidak cepat tenggelam). Lalu Matahari tersebut ditahan sampai Allah memberi kemenangan atasnya. Kemudian sang nabi mengumpulkan ghanimah (harta rampasan perang) dan datanglah api untuk melalapnya. Rupanya, api itu tidak mau melalap. Kemudian nabi tersebut berkata: “Sungguh ada di antara kalian yang berbuat ghulûl, maka berbaiatlah (bersumpah setia) kepadaku. Setiap kabilah diwakili satu orang.” Lalu semua tangan dipegang oleh tangan nabi. Kemudian nabi itu berkata: “Ada ghulûl di antara kalian”. Kemudian mereka datang dengan membawa sebuah benda mirip kepala sapi yang terbuat dari emas. Lalu mereka meletakkan emas itu dan datanglah api lalu melalapnya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah bagi kita (umat Muhammad saw.). Allah melihat kelemahan kita, maka Allah menghalalkannya kepada kita”.
!! !!!!!! ! !! !!! ! !!!!!!!!!!!! ! !!!! ! ! !! !!!!! !!!! !!!!!! ! !! ! ! !!! !!!!!!!! !! !!!!!! ! !! 6 !!! !!!! !!!! !!!!!!!! ! ! !!!! !! ! !! !!!!! ! !! !!! !!! !!!! !! !!! !!!! !! !!! ! !! !!!!! ! !!! !!! ! !! !!!!! !!!! ! !!!!ƒ !! ! !!!!! !!!! !!!! ! ƒ !!!! !!! !!!! ƒ !!!! !!! !Ê ! !!! !!! !!ƒ !!!!!!! !! !!!! !!!!!! !!! ! !!!!! ! !!! !!!!!! !! !!! !!! !!!!! !!ƒ !! !!!!!!!!!! ! !!!! ! ! !!!!!!!! !!!!!!!!!!! !! !!!! !! !! ! !ƒ !!!! ! !!! !! !!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! ! !!! !!! !!! ! ! !!!È !!!! !ƒ ! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! ! ! !!! ! !!!! ! !!!! !!!!!!! !!!! !!!! !!!!! ! ! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!!!!! !!! ! !!!!!!!!!!!!!! !!! !!!!!!!! !!!!!!! !!ƒ !!!!! !! !!! !!! !!! !! !!! ! !!!! ƒ !!! !!! !! !! ! !! ! !!!!! ƒ !!! ! !! ! !!! ! !! !! !!! !!!! !! ! !!!! !!! ! !!! ! !! !! !!! ! Ê !ƒ !!! ! ! !!!! ! ƒ !! !!! !!!! !!! ! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! !!!! !! !!! ! ! !!! ! !!! ! ! !È !!!! !!!!! !!!!!!!!! !!! !!! !! !!! !! ! !! ! ! ! !! ! ! !!!! ! !!!!!! ! !! ! !!!!! ! !!! ! ! ! !!!!! !!!! !! ! !! ! !Æ ! ! !!!! ! ! ! !!!!! ! !! !!! ! ! 12
!! !!!!!! !!!! !!! !!! !
Artinya: Dari Abdullah bin Muhammad dari Mu’âwiyah bin ‘Umair dan Abû Ishaq dari Malik bin Anas berkata dari Tsaur dari Salim Maula Ibn Muti’ 12
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Maghâzi, Bâb Ghazwah Khaibar, no. 4234, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 472; Muslim, Sahîh, Kitâb al-Imân, Bâb Ghilazi Tahrim al-Ghulûl, no. 115 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 61; Abû Dawud, Sunan, Kitâb al-Jihâd, Bâb Fî Ta‘zim alGhulûl, no. 2711(Aman; Dar al-A’alam, 2003) h. 421; al-Nasa’i Sunân, Kitâb al-Aiman wa alNuzur, Bâb Hal Tadkhulu al-Aradun fî al-Mal iza Nazara, no. 3836, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tt) h. 602
52
dari Abû Hurairah ra. berkata: Kami telah membebaskan Khaibar dan ketika itu tidak mendapatkan ghanimah emas, perak, melainkan sapi, unta, barang-barang, dan hawâ’it (kebun-kebun). Kami pun berangkat bersama Rasulullah saw. menuju Wadi al-Qura (lembah). Di sisi beliau ada seorang budak bernama Mid‘am, hadiah seseorang dari Bani al-Dabab. Ketika budak itu menurunkan perbekalan Rasulullah, tiba-tiba ia terkena anak panah yang melesat kencang dan ia meninggal dunia. Orang-orang pun berkata: ”Enak sekali, ia mendapatkan syahâdah (mati syahid)”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Tidak, bahkan, demi Zat yang diriku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya syamlah (mantel perang) yang ia ambil (gelapkan) dari ghanimah di hari (perang) Khaibar sebelum tiba waktu pembagian telah menyalakan api neraka atasnya”. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah ini, seorang laki-laki datang menyerahkan satu atau dua tali sandal sembari berkata: “Inilah sesuatu yang aku peroleh”. Kemudian Rasulullah menyatakan: ”Satu atau dua tali sandal dari api neraka”.
!! !º !!! !º ! ! !! !!!!! ƒ ! ! !!!!!! ! !! ! !!!ƒ !!!! !!! ! !!! !!!!!! ! !! ! ! !! !!! !! ! !! !!! ! !! 7 !!!! !!! ! !! !!! ! !!!! !!!! !!!!!! !!! ! ƒ !!!!! !!!! ! ! !!! ! !! !!!! !! !!!!!!!! !! !! !!! ! !! !!!!! !!! !!!!!!! !!! ƒ !!! !!! ! !!! ! !!!! !!! ! !!! ! !!!!!!!!!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!!!!!! ! !!! !!!! !!!!! !ƒ !!!!! !!! !!! !!!! !!! !! º !!!! ! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!!!! !!! ! !!! ! !!!!!!!!!!!!! ! ! !! !! !!! ! !!! !! !! º !!!!º !!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!!È ! !!!! !!! !!!!! !! !!!! ! !!! !!!! !!!!!!! !!!!!!!! !! !!!! !! !!!!!!! ! ! ! !!!! !!!!!! !!!!! ! ƒ !!!! !!!!!! ƒ !!!!! ! ! !!! !!!!!!!! !!!!!!! !!!! !!!!!!! ! ƒ ! !!!! !!! ! ƒ !! 13
!! !!!!! ! ƒ !!!! !!!!!! ƒ !!!!! ! ! !!!!!!!!!!
Artinya: Dari Zuhair bin Harb dari Hasyim bin al-Qasim dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar dari Sima al-Hanafi abû Zumail dari Abdullah ibn ‘Abbas ‘Umar ibn alKhattab, ia berkata: “Ketika dalam perang Khaibar, sekelompok sahabat Nabi saw. menghadap dan berkata: ‘Si Fulan mati syahid, Fulan mati syahid’ hingga melalui seseorang. Merekapun berkata; “Fulan mati syahid.” Kemudian Rasulullah saw mengatakan: “Tidaklah demikian. Sungguh aku melihatnya masuk neraka karena burdah (kain selimut) atau ‘abâ’ah (mantel) yang ia gelapkan”. Selanjutnya, Rasulullah berkata: “Hai (‘Umar) Ibn al-Khattab, berangkatlah dan serukan kepada manusia bahwa tidak masuk surga selain orang beriman”. Umar berkata: “Lalu aku keluar dan menyerukan (kepada manusia) bahwa tidak masuk surga kecuali orang yang beriman”.
13
Muslim, Sahîh, Kitâb al-Imân, Bâb Ghilazi Tahrim al-Ghulûl, no. 114 (Beirut: Dar alFikr, 2003), h. 61; al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Sair, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghulûl, no. 1574, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 665.
53
!!!!!! ! ! ! ! ! ! ! !!!ƒ !! ! ! ! ! ! !!! ! ƒ !!! ! !! ! !!! ! ! !!!!! ! ! !!!! ! ! !!! ! !! ! ƒ ! !! !!!!! !!!!! ! ! ! 8 !! !! !! !!! ! !! !! !Å ! ! !!!!!!!!! !!! !!!! !!!!! !!!ƒ !! !!!!!! ! !!! !!! !!! !! !!!!!! !! !!! !!! !!! !!!! !!! ! ! ! !! !! !! !ƒ !! ! ! ! ! ! !!!ƒ !! ! !!!!! ! ! ! ! ! !! ! !!! ! !!!! ! ! ! ! !!! ! !! ! ! !!! ! ! !!! ! ƒ !!!!!! ! ! ! !!! ! ! !! !!!! !! !! !!!! !!!!! !!!!!! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !! !!! !!!!!!! !! !! ! !! ! !!! !!! ! ! ! ! ! !! ! !!! ! !!!!!!!! ƒ ! !!!! !!!!!! !!!!! !! !!! ! !! ! ƒ !!!!! !!!!!!!!! !! !!!!!!!! ! ƒ !!!!!!!! !!! !! !!!!!!! ! !!!!!! ! !!! !!!! !! !!!! !!!! !!!!!!ƒ !!!! ! !!!!!!! !!! ! !!! ! ! !!!! ! !!!! !!!!! ! !!!! ! ƒ ! !!!!!!!!!!!! !! !! !!!!! !!!!!!!!!!!!!! !!!! !! !!!!!!! !ƒ ! !ƒ !!!!!!! !!!!!! !!!!!!!! ! !!!!!!! ! ! !!! !!!! !!! ! !!! !!!!!! !!!!! ! ! ! !!!!!! ! ! ! ! ƒ !!!!! !!!! ! ! ! !!! !!!!!!!! !! !! !!!!! ! ! ! !!!! !!!! ! !! !!! ! ! !!! ! !!!ƒ ! !ƒ !!!!!!! !!!!!! !!ƒ ! !!!!!! ! !ƒ !!!! !!!!! ! ! ! !!!! !!! ! !! !!! ! ! !!! ! !! !!! !!! ! !!! ! ƒ !!!!!!!!! ! !!!!! !! !!!!!!!!ƒ ! !!!! ! !!!!! ! ! !! !! !!! !!! ! !!! ! ƒ !!!!! !!! !! !!!!! ! ! !!! !!! !!!! ! ! !!! !!! !!! ! !! ! ! ! !!!! !! ! ! !!! ! ! ! !! !!! !!! !!! !!!!! ! !!! ƒ ! !! !!! !!! ƒ ! !!! ! !!! ! !!! ! ƒ !!! ! !! ! !!!! ! ! !!! ! !!!! !!!!ƒ !!!! !!!! ! !!!! !!! !! ! ! !!! !!! ! ƒ !!!! !! !! ! ! !!! ! !!!!!!!!!!! ƒ ! ! !!! ! !!! !! ! ! !!!! ! !! ! ƒ !! !ƒ ! !ƒ !!!!!!! !!!!!! !!!! ! !ƒ ! !!!!!!! ! ƒ !!!!! ! ƒ !! !!!!! !!!!! ! ƒ ! !!!!! ! !! ! ƒ !!!!! !!!!!! ! !!! !!ƒ ! !!! !!Æ !! ! !Ê ! ! !ƒ !!!! !ƒ ! !!! !!! !!! !!!!! ! ! !!! ! !!!! ! ! !!! !!!! !! !!! ! ƒ !!!!!! !!!!!!!!!!! !!! !!!!!!! !!!!! ! !ƒ ! !!!!! ! !! !!! ! ! !!! ! !! !!! !!! !!! ! !!ƒ ! !! !!!! ! !! !!!!!!!!!!! !! ! !!!!!!!!!!! !!! ! !!ƒ ! !! !! ! !!!!!!!!!!!! ! !!!!!!!!!!! !!! ! !!!! !! ! !!!!!!!!!!! !!!!! !! !!ƒ ! !!!! !!!! ! ! !!!! ! !!!! ! !!!! !! ! !!! ! ! !! !!!!! !! !!ƒ ! !!!! ! !!!!!! !!!! ! !!!!!! ! !! !! !!! ! ƒ !! !!!! !!!!!!!!!! ƒ ! ! !! !! !!! ! !! !!!ƒ ! !!!! !!! !!! !!!!! ! ! !!! ! !!!! ! ! !!! !!!! !! !!!!!!! ! !!!!! ! !!! 14!! !!!!!! ! !!!!!!!!!!!! ƒ ! ! !! !!! !!!! ! ! !!! !!! !!!!!! ! ƒ ! ! !! !! !!! ! ƒ !! !!!!! ! !! !!!!!!!!! ƒ !! Artinya: Dari Abû Bakr bin Abi Syaibah dari Waqi’ bin Jarrah dari Syufya; juga dari Ishaq bin Ibrahim dari Yahya bin Adam dari Syufya; juga dari Abdullah bin Hasyim –dengan kalimatnya- dari Abdurrahman yakni ibn Mahdi 14
Muslim, Sahîh, Kitâb al-Jihâd wa al-Sair, Bâb Ta’mir al-Imâm al-Umarâ’ ‘ala alBu‘uś wa Wasiyyatihi iyyahum bi Adabi al-Ghazwi wa Ghairiha, no. 1731 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 688-689; Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Jihâd, Bâb Fî Du‘a’i al-Musyrikin, no. 2612 (redaksi panjang), no. 2613 (redaksi singkat) dan 2614 (dari Anas ibn Malik dengan redaksi sedikit berbeda), juz 2, (Aman; Dar al-A’alam, 2003) h. 421; al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Diyât, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Nahyi ‘ani al-Muslah, no. 1408 (dari Buraidah), (Beirut; Dar al-Ma’arif, 2002) h. 590591; dan Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Jihâd, Bâb Wasiyyat al-Imâm, no. 2857 dan 2858 (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 2004) h. 311
54
dari Alqamah dari Martsad dari Sulaiman bin Buraidah, ia berkata: Rasulullah saw. bila hendak mengutus seorang panglima pasukan atau ekspedisi, selalu mewasiatkan kebaikan secara khusus kepadanya dan pasukannya untuk bertakwa kepada Allah. Kemudian dipesankan: “Berjuanglah demi nama dan di jalan Allah. Berperanglah mengatasi (kekufuran) orang yang kafir. Berjuanglah dan janganlah bertindak ghulûl (penggelapan), janganlah berkhianat (berpaling meninggalkan medan perang), janganlah bertindak kejam terhadap musuh, serta janganlah membunuh anak-anak. Dan jika kamu bertemu musuhmu yang musyrik, ajaklah mereka kepada tiga hal. Jika mereka memenuhi salah satunya, maka terimalah perdamaian dari mereka dan cegahlah perang terhadap mereka. Kemudian ajaklah mereka pada Islam. Jika mau, terimalah mereka dan cegahlah perang. Kemudian ajaklah mereka untuk berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Jika mereka enggan, sampaikan bahwa posisi mereka seperti kaum Muslimin di pegunungan. Bagi mereka berlaku kebijaksanaan Allah seperti yang berlaku bagi kaum Mukminin. Mereka tidak berhak mendapat ghanimah atau fai, kecuali mereka ikut berjuang bersama kaum Muslimin. Jika mereka enggan, maka pungutlah jizyah (pajak) atas mereka. Namun jika mereka mau, maka terimalah perdamaian dari mereka dan cegahlah peperangan. Jika mereka enggan, mintalah pertolongan Allah dan perangilah mereka. Dan bila kamu telah berhasil mengepung penghuni benteng, lalu mereka ingin agar kamu memberikan jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kamu berikan jaminan itu, melainkan jaminanmu dan sahabat-sahabatmu. Karena sesungguhnya jaminanmu dan sahabatmu lebih ringan untuk kamu penuhi dari pada jaminan Allah dan Rasul-Nya. Dan bila kamu berhasil mengepung penghuni benteng, lalu mereka ingin agar kamu menerapkan kepada mereka kebijaksanaan Allah, maka janganlah kamu terapkan kebijaksanaan Allah atasnya, melainkan terapkanlah kebijaksanaanmu, karena kamu tidak tahu apakah kebijaksanaan Allah sesuai terhadap mereka atau tidak?”
Dari berbagai Hadis di atas menunjukkan bahwa ghulûl ghanimah adalah bentuk korupsi, hal ini karena menunjukan kesamaan dalam unsur-unsur kejahatannya. Pertama, yakni tentu menunjukkan suatu pengkhianatan atau penyelewengan kewenangan ataupun amanah yang diberikan kepada pelaku yakni bahwa pelaku mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan terhadap harta ghanimah tersebut. Kedua, hal ini kemudian menimbulkan kerugian pada negara, yang dalam hal ini adalah baitul mâl yang dianggap sebagai bagian dari sistem keuangan negara kala itu. Ketiga, tentu adalah hanya menimbulkan keuntungan
55
pribadinya dan merugikan orang lain karena mengambil sesuatu yang tentu bukan haknya. c.
Hadis Ghulûl hadiyyah (Korupsi Dalam Bentuk Hadiah
dan
Sedekah)
!! !!!!! ! !! !!! !!!! !!!! ! ! !! ! !! ! ! ! !!!! ! !! !!!ƒ !! !!!!!! ! !! ! ! !!! !!!!!!!! !! !!!!!! ! !! 8 !!! ! È ! !!!! !! ! ! ! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! ! !!! !!!! !!!!!!!! !!!!!!!! ! ! !!! ! ! !!! !!!!! !! ! !! !!!! !! !! ! !!!! !!!!! !!!! ! ! !!!!! ! ! !!! ! !!!!! ! !!! !!!!!! ! !!!!! !!!!!!! ! !!!! !! !!!!!!É ! !!!! !!!!!!!!! !!!! !È ! !!! !! !!!!!!! !!!!!!!! ! !!!! ! ƒ !!!! !!!! !!!! Ê !ƒ !!!! ! !!!! !! !!!!!!!!!! ! ! !!!! ! !!!!!!!!!! !!!!! !!!!!!!!!!! !! !!! !! !!! !!!! !!!!!!!!! !!! !!!! !!! ! !!!! !!!!! !!!!! !!Æ ! !!! ! !!!!!!!! !!!!! !!! !ƒ ! !!!!!!!! !! !! !!!!! ! !!!!!!!!!ƒ !!!!!! !!!!! . 15!!!! !!!! !!!!ƒ ! ! !!! ! !!!!! !!!!ƒ ! ! !!! ! !!!!!!!! !!!!!! ƒ !! !!!!!!! !! !! !!!! !! Artinya: Dari Abdullah bin Muhammad dari Syufyan dari al-Zuhri dari ‘Urwah bn al-Zubair dari Abi Humaid al-Sa‘idi ra., ia berkata bahwa Nabi saw. mengangkat seorang pegawai dari al-Azd, bernama Ibn al-Utbiyyah (menurut Muslim, Ibn al-Lutbiyyah) untuk mengurus sedekah (zakat). Ketika (pekerjaannya selesai), dia datang kepada Rasulullah, berkata: “Ini hasil zakat untuk engkau (baitul mâl), sedangkan yang ini dihadiahkan untukku”. Lalu Rasulullah berkata: “Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah ibunya, lalu ia menunggu apakah ia akan diberi hadiah atau tidak?” Kemudian Rasulullah pun bersada: “Demi Zat (Allah) yang diriku ada dalam kekuasaan-Nya, tidak satupun orang yang mengambil sesuatu (secara tidak sah), kecuali pasti ia akan datang pada Hari Kiamat sambil memanggul sesuatu itu di atas pundaknya. Jika itu unta, akan bersuara, atau sapi akan melenguh, atau kambing akan mengembik”. Lalu Rasulullah mengangkat tangannya hingga kami melihat bulu kedua ketiaknya seraya berkata: “Ya Allah, sudah aku sampaikan (peringatan ini), sudah aku sampaikan”, diulangi hingga tiga kali.
15
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Hibah wa Fadihâ wa al-Tahrid ‘alaihâ, Bâb Man Lam Yaqbal al-Hadiyyah li ‘Illatin, no. 2597, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 288; Kitâb al-Aimân wa al-Nuzur, Bâb Kaifa Kânat Yamîn al-Nabi, no. 6636, h. 746-747; Kitâb al-Ahkâm, Bâb Hadaya al-‘Ummâl, no. 7174, h.805. Lihat juga Muslim, Sahîh, Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrîm Hadaya al-‘Ummâl, no. 1832 (a), (b), (c), dan (d), (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) h. 734-735 (Muslim menyebutkan nama Ibn al-Lutbiyyah); Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Kharâj wa al-Imârah, Bâb Fî Hadâya al-‘Ummâl, no. 2946, (Aman; Dar al-‘A’lam, 2003) hal. 485. Semuanya dari Abû Humaid al-Sa‘idi dengan redaksi yang berdekatan.
56
!!!! !! ! !! !!!!! ! ! !! ! ! ! !!!!! ! !!! ! ! ! !!!! ! !!!! ! ! !!! ! ! ! ! !! !! !!!!! ! ! ! ! ! !! !!!!! ! !! 9 !! !!!!!!! !!!!! ! ! ! !!!! ! !!!!! !!!!ƒ !!!!! ! ! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!!!!!!! !!!!!!!!! ! ! !!!!!!! ! !!!!!! ! ! ! !!!!!!! ! !!!!!!!! !! !! !Æ ! !!!!!!!! !!!!!!! !!!!!!! !! !! !!!!!!!!ƒ !!!!!! !!!! ! ! ! !!!! !!ƒ !!! ! !!!!!!! !!!!!Æ !!!! ! !!!!!!! !!!!!!!!! !! !! ! !!! !!!!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!!! ! !!! !!!!!!! !ƒ !! !!!!!!!! ! !!! ! !! !!! ! !!!!!!! !!!!!!!! !!!! !!!!!!! !! !! ! !!! !!!!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!!!! !!! !!!!!!! !ƒ !! !!!!!!!!!! !!! ! !!!!!!!! !!! ! !!!!!!! !!!!!!!! !! !!!! !!!! !!!!!!! !! !! !!! !!!! !!!!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!!!! !!! !!!!!!! !ƒ !! !!!!!!! !!! 16!! !!!!!!!! !!!!!!! !!! !!!! !!!!! !!! !!!!!!! !ƒ !! ! Artinya: Dari Musaddad dari Yahya dari Abi Hayyan dari Abû Zur’ah dari Abû Hurairah, ia berkata: Nabi Muhammad saw. berdiri di antara kami lalu menyebutkan kasus ghulûl dan menegaskan bahwa ghulûl termasuk perkara besar. Nabi bersabda: ”Sungguh, jangan sampai aku menemukan salah satu dari kalian di Hari Kiamat membawa kambing yang mengembik di atas pundaknya, atau kuda yang meringkik. Orang yang berbuat demikian berkata (di Hari Kiamat): “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Akupun menjawab: “Aku tidak memiliki kekuasaan untuk menolongmu sedikitpun. Bukankah sudah aku sampaikan peringatanku”. Juga ada yang membawa unta mendengkur di atas pundaknya. Orang yang demikian berkata (di Hari Kiamat): “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Aku pun menjawab: “Aku tidak memiliki kekuasaan untuk menolongmu sedikitpun. Bukankah sudah aku sampaikan peringatanku kepadamu”. Juga ada yang membawa perhiasan emas/perak di atas pundaknya. Orang yang demikian nanti berkata: “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Aku pun akan berkata: “Aku tidak bisa menolongmu sedikitpun. Bukankah aku sudah menyampaikan peringatan ini”. Atau ada juga yang membawa kain-kain (selimut, mantel, dsb.) yang menyolok/ berkilauan. Orang yang demikian nanti berkata: “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”. Maka aku menjawab: “Aku tidak memiliki kekuasaan untuk menolongmu sedikitpun. Bukankah sudah aku sampaikan peringatan kepadamu”.
!! !!!!! ! ! ! ! ! ƒ !!! ! !!! ! ! ! ! ! ! !! ! ! ! ! !!! ! ! !!!!! ! ! !!!! ! ! !!! ! !! ! !!! ƒ !! ! !!!!! ! ! ! 10 !!! !!!! !!!!!!!!! !! !!!!!! !!!!!! !!!!!! !!! !!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!! !!!!!!! !!!!!! ! !!! !!ƒ !!!!! !!!! !
16
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Jihâd wa al-Sair, Bâb al-Ghulûl, no. 3073, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h.346; Muslim, Sahîh, Kitâb al-Imârah, Bâb Ghilaz Tahrim alGhulûl, no. 1831(Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 734.
57
!!!! !!!! !!!!!!!!ƒ !!! !!! !!Æ !!!! ! !!!!!!!!! ! !!!!! !!!!! !!!! !!!!! ! ! ! !! !! ! !É !! ! !!!!!!!!!ƒ !!!!!! !!!! !!!ƒ !!!! ! 17
.!! ! ! ƒ ! !!! !!!! !!!!! !!!!!! !! !!!!!!
Artinya: Dari ‘Utsman bin Abi Syaibah dari Jarir dari Mutharraf fari abi al-Jahm dari Abi Mas‘ud al-Ansari, ia berkata: Aku diutus oleh Nabi sebagai petugas (sedekah). Beliau berkata: “Berangkatlah, hai Aba Mas‘ud. Namun jangan sampai aku menemukanmu datang di Hari Kiamat dengan membawa unta di atas pundakmu yang kamu gelapkan dari hasil sedekah.” Abû Mas‘ud berkata: Kalau begitu, aku tidak jadi berangkat. Nabi pun berkata: “Jika demikian, aku tidak memaksamu”.
!! º !!!! !!! !!!! ! !!!!!!! ! !! !!! ! ƒ !!!! !!! !!! ! !!!!!! ! !!!!! !! !!!! !!! ƒ ! !!!!!!!!!!!! ! !! 11 !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !! ! !!! !!!!!! ! !! ƒ !!!!!! ! ! !!! !!!! ! ! !!! ! !!!! !!! !! !!!! !!! !!!! ! !! !!!! !!!!!! !ƒ !!!! !!!! !!! !!! !!!!! !!!!! !!!!! !! !!!!!! !! !!!! ! ! !! !! !!! ! !!!!!!!!ƒ !! !!! !!!! !!!!! !!!!!!! !! ! !!!!!! !!!º !!!!!! !!! ! !!!!!!! !!!!!!!!!!!!! ! !!!! !!! !!!!!! !È ! !!!! !!!! ! ! !!!! ! ! !!!!!!!!!!!!!!!! !!!!!!!!!!!!ƒ !!!!!! ! !!! ! !!!!º !!!!!!!!!!! !!!! !!!!!!! ! ! !!!! ! !!! !!!!!!! !!! ! !!! !!!!!!!!! !!!!!! !!!! !!!!!! !! ! !! !! !ƒ ! !ƒ !! 18
!!! ! !!!!!!! !!! ! !!!!!! !!! ! !!!!!!!!! !!!!!!!! !!!!! !! ! !!!!!!!!!!ƒ ! ! !ƒ !!!!! ! ! !! !! !!! ! !!!!!!!!ƒ !! !!! !!!! ! Artinya: Dari Abû Bakr bin Abi Syaibah dari Waqi’ bin al-Jarrah dari Isma’il bin Abi Khalid dari Qias bin Abi Hazim dari ‘Adi ibn ‘Amirah al-Kindi, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang kami beri pekerjaan lalu ia menyembunyikan jarum jahit dari kami atau yang di atas itu, maka yang demikian itu termasuk tindakan ghulûl. Ia akan datang, di Hari Kiamat dengan membawa barang itu”. Perawi berkata: Seorang laki-laki hitam, dari kaum Ansar, berdiri menghadap Nabi. Seolah aku melihatnya. Kemudian orang itu berkata: Ya Rasulallah, terimalah dariku tugas yang engkau berikan kepadaku. Lalu Nabi berkata: “Dan apa yang ada padamu itu?” Ia menjawab: Aku mendengar engkau bersabda demikian dan demikian. Nabi bersabda lagi: “Dan aku sekarang mengatakannya lagi, siapa saja dari kalian yang kami beri tugas untuk suatu pekerjaan, hendaklah ia datangkan (laporkan) semua, sedikit ataupun banyak. Apa saja yang diberikan kepadanya (olehku 17
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Kharaj wa al-Imârah, Bâb Fi Ghulûl al-Sadaqah, no. 2947(Aman; Dar A’lam, 2003) h. 485. Secara substansi hadis ini tidak bertentangan dengan semangat hadis-hadis yang lebih kuat. Karenanya, dapat dijadikan hujjah. 18
Muslim, Sahîh, Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrim Hadaya al-‘Ummâl, no. 1833(Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 735; Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Aqdiyah, Bâb Fî Hadâya al-Ummâl, no. 3581 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 586
58
sebagai upah resmi) silakan ia ambil dan apa yang dilarangnya, ia menahan diri (tidak menerimanya)”.
!! ! !! !!!! !! !!! ! !!! ƒ !!!! !! !! ! !! ! !!! !!!!!!!!!!! ! !! !!!! !!!!!!! ! ! !!! !!! !! !!!!!! ! !! 12 !! º ! ! !! º !! !!!!!!ƒ !! !!! !!!! !!!!! !!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! ! !!!! !! !!!! ! !! !!! ƒ !!!! !! ! !!19!!! !!!! !!! ! !!!! !! !!! !!!!! ! !!!!! !!!!!! ! !!!!!!ƒ !! ! ! Artinya: Dari Zaid bin Ahzam abû Thalib dari Abû ‘Ashim dari abd alWarits bin Sa’id dari Husain al-Mu’allim dari Buraidah ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Siapa saja yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan dan kami sudah memberikan rezeki (gaji) tertentu kepadanya, maka apapun yang ia ambil selain itu, maka termasuk ghulûl”.
!! !!! ! !!! ƒ !!!! ! !! ! !!! ! È ! !!!!!!! ! !! !!!!! ƒ !!!!!!!! ! !! !! !!!! !!! ! !!! !!! ! !!!!!!!!! ! !! 13 !!! !!!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! !! ! !!! !!!!!! !!! ! !!! !!!! ! ! !! ! ƒ !!!!! ! !! !!!!! !!! !!! !! ! !! !! ! !!!!!!! ! !!!! !!ƒ ! !!!!!!! !!! !!! Ê ! !ƒ ! !ƒ !!!!!! !!! !!!!!!! ! !!!! !!ƒ ! !!!!!! ! ! !!! Ê ! !ƒ ! !ƒ !!!! !!!! !!!!!!!! !!! !!! !! !!! !!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! !!!! ! !! !!!! ƒ ! !!! !!!!! !!!!!! !!!!!!!!!! ! !!!! Ê ! !ƒ ! !ƒ !!!!! ! ! ! !!20!!! ! !!! !!! !!!! !!! !!! ! !!!! !! !!! !! !!! ! !!!!! !! Artinya: Dari Musa bin Marwan al-Raqi dari al-Mu’afa dari al-auza’I dari al-Harits bin Yazi dari Zubair bin Nufair dari al-Mustaurid ibn Syaddad, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang menjadi pegawai untuk urusan kami, hendaknya ia berusaha mencari pasangan hidup (suami/istri). Jika ia belum memiliki pembantu, hendaklah ia mencari pembantu. Jika ia belum memiliki tempat tinggal, hendaklah ia berusaha mempunyai tempat tinggal.” Mustaurid berkata bahwa Abû Bakar menyatakan: Aku diberi tahu bahwa Nabi bersabda: “Siapa saja yang mengambil selain itu, maka dia termasuk pelaku ghulûl atau pencuri”.
Pada dasarnya hadiah adalah mubah menerimanya, namun dalam hal ini jika menyangkut dalam kewenangan seseorang atau diberikan kepada seseorang 19
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Kharaj, Bâb fi Arzâq al-‘Ummâl, no. 2943, (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 485 20
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Kharaj wa al-Imârah, Bâb Fî Arzaq al-‘Ummâl, no. 2945, (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 485.
59
yang memiliki kewenangan sesuatu dalam kebijakan orang banyak tentu akan mengakhibatkan adanya ketimpangan atau ketidakadailan dirinya dalam mengambil keputusan. Hal ini kemudian nabi mengaktegorikannya sebagai tindakan ghulûl atau korupsi. Contoh yang paling nyata adalah pegawai/pejabat tingkat atas yang mendapatkan bingkisan/hadiah tertentu dari bawahannya demi memperoleh keuntungan tertentu, yang dikatakan atau tidak akan berdampak berbeda dalam peberian keputusan atasan tersebut terhadap bawahan yang memberikan hadiah kepadanya dan yang tidak. Inilah yang saat ini disebut sebagai gratifikasi, sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam bab selanjutnya. d. Hadis Ghulûl al-Ard (Penggelapan Tanah) Beberapa hadis nabi bahkan menjelaskan seseorang yang mengambil tanah saudaranya secara bathil sebagai bentuk tindakan korupsi paling besar (a’dzâmu al-ghulûl). Sebagaimana hadis berikut;
!!! !!! !!! !!Ê ! !!! ! !!! ! !!! !!!! !!! !!!! ! ! !!!! !!!!!!!!!! !! !!! ! !!! !!! ! !!! ! !!! !!! ! !!!!!! ! !! 14 !!!!!!!!! !! !!! !!!!ƒ !!!!! ! ! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!, ! !!!!!! ! !! È ! !!!! !!!!!! !!!!! ! !!! ! ! !!!!! !!! Ê ! !ƒ !!!!!! !!! !!!!!! !! !!! ! !!!!! !!!!! !!!! !!! ! !!!!! !!!!! !!! !!!! ! !!!! !!!! !!! ! !!!!!!!!ƒ !!!!!! ! !!21!.! ! ! !!!! !! !!! !!!!!! ! !!!!! ! !!!! !!!!! !!! ! !!!!! !!! !!! !!!!! ! ! ! ! Artinya: Waqi’ telah menceritakan hadis kepada kami, dari Syarik, dari Abdillah bin Muhammad ibn Aqil, dari Atha’ bin Yasar dari Abdul malik alAsy’ari, ia berkata bahwa Nabi Muhammad bersabda; Ghulûl yang paling besar dalam pandangan Allah pada hari kiamat adalah sejengkal tanah yang terdapat diantara dua orang atau dua orang yang bersebelahan rumah. Keduanya membagi tanah tersebut, lalu salah satu dari keduanya mengambil satu zira (sejengkal) dari tanah sahabatnya, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh jengkal tanah.
21
Ahmad, Musnad, bâb hadis al-Asy’ari, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal 389 no. 21839, Selain itu diriwayatkan pula oleh Abi Amr dengan matan yang mirip. Lihat Ahmad, Musnad, bâb hadis Abi Amr, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal 208 no. 21822
60
A.2. Risywah (!!! ! )22
Dalambahasa Arab kata ini berasal dari !!! !!! yang memiliki arti sesuatu yang mengalir didalamnya air (seperti pipa maupun selokan)23. Yang kemudian istilah ini sering digunakan dengan arti tindakan suap menyuap. Adapun dengan tindakan ghulûl, jenis yang paling mendekati dari istilah risywah ini adalah ghulûl hadiah. Dimana tidak hanya melibatkan satu orang/ pihak melainkan melibatkan dua pihak yang saling mengetahui tentang keberadaan kecurangaan tersebut. Risywah (rasywah/ rusywah) adalah suap-menyuap untuk mempengaruhi sebuah keputusan agar menguntungkan pihak tertentu dan sebaliknya akan merugikan pihak yang lain. Al-Jurjani24 memberikan definisi tentang risywah
! ! !!! ! !!! !! !!! ! ! ! ! !! !! ! !! !!!! !!
sebagai
yakni apa saja yang dalam bentuk
pemberian untuk merubah ketentuan hukum dimana yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Sejalan dengah hal ini Ibnu Qayyim mengatakan bahwa risywah adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu atau untuk membatalan yang benar dan membenarkan yang
22
Kata ini berasal dari !!! ! , Istilah risywah telah dipakai oleh para ulama hadis seperti
pada Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Aqdiyah, Bâb Fi Karâhiyati al-Risywah, (‘Aman: Dar alA’lam, 2003), h. 586 23 24
Ibn Munzir al-Iraqi, Lisanul Arab, (Beirut:Darul Fikr, tt). Juz 14 hal 322
Ali Ibnu Muhammad al-Jurnani, Kitâb Ta’rifât, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1978) h. 116 Lihat pula Muhmammad Abd al-Rau’f, Al-Tauqîf ‘ala Muhimmati al-Ta’rîf, (Beirut: Dar alFikr, 1990) hal. 365.
61
bathil.25 Orang yang melakukan penyuapan selanjutnya disebut sebagai al-râsyi dan yang meminta atau yang menerima suap disebut sebagai al-murtasyi. Imam San’ani mengatakan dalam kitabnya Subulussalâm bahwa hukum risywah adalah haram menurut ijma’ termasuk bagi hakim dan pengurus pajak dan yang lainnya. Namun buku tersebut San’ani melanjutkan bahwa jumhur ulama memberikan pengecualian kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang tertentu atau untuk memperoleh hak dan mencegah kezaliman seseorang26. Hal ini sebenarnya sejalan dengan kaidah ushuliyyah bahwa segala ke-madarat-an untuk dihapus yang kemudian bahwa keadaan darurat yakni tiadanya jalan lain bisa menjadikan sesuatu yang asalnya haram ( menimbulkan madarat) menjadi boleh sebagaimana pembolehan makan babi ketika tiadanya makanan yang lain demi menjaga kelangsungan hidup27. Adapun hadis-hadis yang menyatakan dilarangnya risywah adalah sebagai berikut:
!!!! !! ! !! !!!!! ! ! !!!!!! ! ! ! !! !! ! ! !!! ! !! ! ! ! ! ! ! ! !!!!! ! ! !!!!! !!!!! ! ! !!!!!! !!!!! ! ! ! 15 28
!!! ƒ !!ƒ !!!! !!!! ! !! ! ƒ !!!! !!! ! !!! !!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!!!! !!!
25
Ibn Qayyim al-Jauzi, Aunul ma’bûd, Jil. 5, (Beirut:Darul Kutub al-Ilmi, tt). Hal 359
26
Imam San’ani, Subulussalâm, (Riyad: Maktabah Nazr Mustafa al-Bar, 1995). Hal 1936
27
Dalam ushul fiqh dikenal dengan kaidah !
- 1927
28
!!!! ! !!! !!!!!!!!! !!!!!!!!! !!
Al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Rasyi wa al-Murtasyi fi alHukmi, no. 1336, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 560. Dalam riwayat Abû Hurairah ini ditambah kata fi al-hukmi (dalam perkara hukum). Tirmizi juga meriwayatkan redaksi tanpa menyebut fi alhukmi, lihat Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Aqdiyah, Bâb Fî Karâhiyati al-Risywah, no. 3580 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003), h. 586; al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Rasyi
62
Artinya: Diriwayatkan dari Qutaibah dari Abû ‘Awanah dari ‘Amr bin Abi Salamah dari ayahnya dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap dalam perkara hukum/kebijakan”.
!!!!!!!!!!!! ! !! ! !ƒ !!!! ! !!! !! ! !!! !!! !! !!! !!! !!! !!!!!! ! !! !!! ! !! !!!!!! ! !!!!!! ! !! 16 !!!! ! !!! !!!! !! !!! !!!!!! !É ! !!! !! !Ê ! !!!! ! ! ! !!! !! ! !!!!! !!!! ! !!!!! !!!! ! ! ! !! ! ! ! !!!! !!! ! !!!! !!!!! !!!!!! !!!! !!!!! ! !!!!!!!!! !!!!!!!!!! !Ë !!!ƒ ! ! !!! ! !!!!!!! !!!!!! !!!! ! !!! !!!! ! ! !!!!!!!! !!!!! !!! ! !ƒ ! !!!29!!!! ! ! !!!!! ! !!! !!! !!! !!É !!!! !!ƒ !!!! !!! ! !!!! !!!!!!! !!!!! ƒ !! ƒ !!!! !! !!! !! !!!! !! !!! ! Artinya: Dari Hisyam bin ‘Umair dari Sulaim bin Muthair dari Ahli Wadi al-Qura dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. pada saat Haji Wada‘ memerintahkan (beberapa hal kepada) manusia sekaligus melarang (beberapa hal dari) mereka, kemudian Nabi saw. berkata: “Ya Allah, sudahkah aku sampaikan peringatan ini?” Mereka menjawab, “Ya Allah, benar” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Ketika Bangsa Quraisy sudah saling tikam (bermusuhan) atas dasar kekuasaan (kepemilikan) yang ada di antara mereka dan suatu pemberian (al-‘ata’) telah menjadi kebiasaan atau pemberian itu telah berubah menjadi suap, maka tinggalkanlah (jauhilah)”.
A.3. Suht (!
Suht (!
! ! )30 !!
) dalam bahasa pada awalnya disebutkan sebagai setap sesuatu
yang buruk atau haram, segala yang dihasilkan dari yang haram seperti hasil dari jual beli anjing, khamr dan babi31. Yang kemudian diartikan sebagai merusakkan,
wa al-Murtasyi fi al-Hukmi, no. 1337, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 344 . Menurut al-Tirmizi, hadis tersebut hasan sahih. dalam riwayat dari Sauban terdapat redaksi yang berdekatan: La‘anallahu al-rasyi wa al-murtasyi wa al-ra’isyi al-lazi yamsyî baina humâ (Allah melaknat penyuap, orang yang menerima dan penghubung antara keduanya) 29
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Kharaj wa al-Imârah, bâb fî karâhiyati al-iftirad fi akhir al-zaman, no. 2959 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) hal. 487 30
Kata ini terdapat dalam al-quran dalam beberapa ayat, seperti: Thaha; 61, dan Ali Imran; 42, 62 dan 63 31
Ibn Munzir al-Iraqi, Lisanul Arab, (Beirut:Darul Fikr, tt). Juz 22 hal 41- 42
63
membinasakan atau tercampurinya harta dengan barang tipuan dan haram32. sebagaimana yang tertera dalam al-quran sebagai berikut:
!ƒ ! !! ! ! ! !! ! ! ! ! !! ! !! ! ! !!!! ! ! ! !!!! ! !É ! !!! ! ƒ ! !!! ! ! ! !!!! ! !!!!!! !! ! ! ! ƒ !!! ! !!! !!! ! ! !Ê !ƒ !! ƒ !!!! ! !!!!!!!! !!! ! !ƒ !!!!!! ! !!!!! ! ! !!!!! ! ! ! !ƒ ! !! !!!!!! !! !!! ! !!! !!!! ! !! !! ! !! !! ! !!!! !!!!! Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. AlMaidah: 42)
Adapun kata ini digunakan Nabi dalam hadis sebagai berikut:
!! !! !!! !!!!! !! !! !!! !!! ! !! ! !!!! ! ! ! !! !!!! !! !!!!!!!! !! !! !!! !!! !! !!!!!!! ! !! 17 !!! !! !! !!!! ! ! ! ! ! ! !ƒ !!! ! !!!! ! !! !!!!!! ! ! !!! ! ! ! !!!! ! ! !! ! !!! !!! ! ! ! ! ! !! ! ! !! ! !!! ! ! !!!! !! ! !!!!! !!!!!!!! !!!! !! !!! !!!!!! !É ! !!! !! !Ê ! !!!! ! ! ! !!! !!!!!!!!!!! ! !!! ƒ !! ! !!!! !!!!! !! !!!ƒ !!!! ! !!! ! !!! ! !!!! !!!!!! !ƒ !!!! !!!!! !!!!!!!!!!!! !!!!!! !!!! !!!!!!!!! !!!! !!!! !ƒ !!!!!!!! ! !!!!!!!!ƒ !!!! !! !!! !!!!!! !!!! !!!!!!!! !!!! ! ! !!! !!! Ê ! ! !!!! !!!!! !!! !!! !! !!!!!! !ƒ !!!!!!!! !! !!!!!!!! ! !!! ! ! !!!! ! ! !!!!! !!!! ! È ! !!! ! !!! !!!!! !!! ! !!! !!!!!! !! ó!!! !! !!! !!!!!!!! !!!! !! !!! !! !!!!!! !ƒ !!!!!!!! !! !!!!!!!!!!! ! !!!! !!!!! !!!! !!!!!! !!!! !!!! !! ! !!!!!!! !!!! !!!!! ! ƒ !!!!! ! ! !!! !!!!!! !!!!! !!!! !! !!!!!!!!!!!!!!! !!!! ! ! !!! !!! ! !! !!!! !! ! !!! !! !!! !! !!! !!! ! !!! !!!!!! !! ! !!! !! !!! !!!!!!!! !!!! !! !!!! ! !!!!!! !ƒ !!!!!!!! !! !!!!!!! !! 33!!!!! ! !!!! !! !!! !!!! !! ƒ !!!!!!! ! !!!! !!!!!!!!!!!!! ! ƒ !!!!! !!!! ! !!! ! 32
A.W. Munawwir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal. 614 33
Muslim, Sahîh, Kitâb al-Zakah, Bâb Man Tahillu lahu al-Mas’alah, no. 1044(Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 373; Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Zakat, Bâb Mâ Tajuzu fîhi al-Mas’alah,
64
Artinya: Dari Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Sa’id keduanya dari Hammad bin Zaid dari Harun bin Riyab dari Kinanah bin Nu’aim al-‘Adawi dari Qabisah ibn Mukhariq al-Hilali. Ia berkata: “Aku memikul suatu beban/tanggungan berat. Lalu aku menghadap Rasulullah saw. untuk meminta sedekah. Kemudian Rasulullah saw. berkata: “Berdirilah (bertahanlah) kamu hingga datang sedekah (zakat) kepada kami, lalu kami akan memerintahkan engkau untuk mengurusnya”. Qabisah berkata: “Lalu Rasulullah bersabda: “Wahai Qabisah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak dihalalkan kecuali bagi tiga kelompok orang, yaitu: pertama, orang yang menanggung tanggungan/denda/hutang (sementara ia tidak dapat membayarnya), maka ia boleh meminta hingga dapat melunasinya, kemudian menahan diri untuk tidak lagi meminta-minta; kedua, orang yang tertimpa bencana/kecelakaan hingga hilang hartanya, maka ia boleh meminta hingga ia mampu bertahan hidup yang cukup; dan ketiga, orang yang tertimpa kebangkrutan/kefakiran hingga ada tiga orang berakal (sehat) yang menjadi saksi dan berkata: “Si Fulan telah tertimpa kebangkrutan/kerugian atau kefakiran”, maka halal baginya meminta hingga memenuhi kebutuhan untuk hidup atau cukup untuk hidup. Karenanya, memintaminta, selain (tiga) hal itu, wahai Qabisah, adalah suht yang dimakan oleh pelakunya secara haram.”
!! ! !!!! ! !! !!!!! ! !!! ! !!!!! ! ! ! !!!! ƒ !!! ! !!!! ! !ƒ !!! ! !!!! ! ! !!! ! !! !!!!! ! !! ! !!!!! ! ! ! 18 !! ! !! !!! ! !! !!! ! !!! !! ! !! !! !!! !!! !!!! ! !! !!!! !!!! !!!! !! !!! !!!!!! ! !! ! !!!!!!!! !!!! !!!!!! ! !! !! ! !! ! !!!! Ê ! !!!! ! ! !! !!!!!! !! ! ! !!!! ! É ! !! ! !! ! Ê ! !! ! !!! ! ! ! !! ! !!!!! !!!! !! ! ! ! ! !! ! !! !! !!! ! ! ! !!!! !!! ! ! ! !! ! ! ! !! ! ! !! ! !! ! ! !!!! !!! ! ! ! ! ! ! !! ! ! !!! ! !! ! ! !! ! !! Ê !!!! !!! ! !! !! ! ! !! !!! ! !!Ì! ! ! ! !! ! ! !!!! !!! ! ! ! ! ! !! ! ! ! ! ƒ !! ! !! ! ! ! !! ! ! ! !!!! ! ! !! ! ! !!! ! !!!! ! ! ! ƒ !! !! !! !!!!!! ! ! ƒ !!!! !! !! ! !! ! !!!!!!!!!! !! !!! ! !!! ! ! ƒ !! !! !!! !! ! !!!!! !! !! ! !! ! !! !!! ! ƒ !! ! ! !!! !!!!!!É ! !!!ƒ !!! !ƒ ! !!!!! ! !!!!! ! ƒ !!!! !ƒ ! !!!!! ! !!!! !!!!! ! !!!! !!! ! !!!! !! !!! ! !!!! ! !!!!!! ! ! !! ! !!!34!!!!!! !! !!! !!!!!!! !!!! !! !!!! ! ! !!! !!! !!!! ! !!! !! !!! !!!!!!! ! ! !! !!! !! !!! Artinya: Dari ‘Abdullah bin Abbi Ziyad al-Qatahawani al-Kufi dari ‘Ubaidillah bin Musa dari Ghalib Abû Bisyr dari Ayub bin ‘A’id al-Tha’I dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Ka‘b ibn ‘Ujrah. Ia berkata: no. 1640 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 255 ; al-Nasa’i, Sunân, Kitâb al-Zakah, Bâb al-Sadaqah li man Tahammala bi Hamalatin, no. 2576 (dengan lafaz ringkas), 2577 (sama dengan redaksi Muslim) (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tt) h. 437 34
Al-Tirmizi, Sunân, Bâb Ma Zukira fi Fadli al-Shalah, no. 614, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 279 Menurut Tirmizi sendiri, hadis ini berstatus hasan garib.
65
Rasulullah telah bersabda kepadaku: “Aku memohon perlindungan kepada Allah untukmu dari para pemimpin setelahku nanti. Siapa saja yang menutup pintupintu mereka dan membenarkan kebohongan mereka serta mendukung kezaliman mereka, maka ia bukanlah termasuk bagianku (golonganku) dan akupun bukan bagian darinya serta dia tidak masuk bersamaku ke dalam telaga (di surga). Dan siapa saja yang menutup pintu-pintu mereka atau tidak menutupnya dan tidak membenarkan kebohongan mereka serta tidak mendukung kezaliman mereka, maka ia termasuk bagianku dan akupun menjadi bagian darinya serta kelak akan masuk bersamaku ke dalam telaga (di surga). Wahai Ka‘b ibn ‘Ujrah, salat adalah bukti kebenaran. Puasa adalah perisai yang membentengi. Sedekah dapat menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Wahai Ka‘b ibn ‘Ujrah, sungguh, setiap daging yang tumbuh dari hasil suht (seperti suap, upeti), maka nerakalah tempat yang paling layak baginya.”
Pengertian dari suht ini memang berbeda-beda, namun seluruhnya mengarah kepada tindakan korupsi sebagaimana Imam Thabari yang mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat di atas bahwa suht berarti pula risywah. Hal ini beliau mengaitkannya dengan sebuah riwayat dari Ibn Mutsanna dari Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Amar al-Juhni dari Salim bin Abi al-Jadid dari Masyruq berkata: Aku bertanya kepada Abdullah tentang as-suht, maka ia menjawab; !!!!!!!! !!!!! ! ! !!!! !!!!! !!!! ! ! !!!! !! !! !! ! !! !! ! ! !!! “Suht adalah yakni seseorang yang menginginkan sesuatu kepada seseorang yang kemudian ia mengabulkannya dengan diberikannya hadiah dan ia menerimanya” yang kemudian Abdullah menyebutnya sebagai risywah atau suap demikian pula riwayat Ibrahim.35
35
Imam al-Thabari, Tafsir at-Tabari, hadis no. 11950 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005) Juz 4 h. 580, selain itu banyak pula al-Thabari menyampaikan riwayat tentang Suht sebagai al-risywah fi al-hukmi lihat h. 579 – 581
66
A.4. Baiat Al-Imâm Li Ad-Dunyâ36 Yang dimaksud baiat al-imâm li al-dunyâ yakni menyetujui atau memilih seseorang hanya demi kepentingan dunia, baik itu pribadi maupun golongan. Dimana hal ini di masukkan dalam kriteria korupsi dengan alasan bahwa keuntungan itu hanya untuk pribadi maupun golongan yang pada nantinya akan menimbulkan ke-madarat-an bagi orang banyak. Baiat bukan hanya terpaku pada pengakuan
bahwa seseorang itu pantas atau mampu untuk menjadi seorang
pemimpin atau memegang amanat. Namun lebih sering pikiran yang dibawa adalah yang penting mendapatkan keuntungan dengan persetujuan kepemimpinan seseorang tersebut. Hal ini sebagaimana yang disinggung oleh nabi dalam hadisnya sebagai berikut:
!!! !!!!!!! !! ! !! !!!!! ! !! !!!! !! !!!! ! !! ! ! È ! !!! ! !!! ! ! !! !!!! ! !! !!! !! !!!!!! ! !! 19 !! ! !! !! ! !! ! !!! ! !!!!!!!!ƒ !!! ! !!É ! !!! ! ! !! !!! !!!! !!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! !!! ! !!! !!! !! !!!!!!!!!! !!!!!!!!!! !!!!!! ! ! ! !!! !!! !!!! !!!!!!!! !! !!! !! ! !!!!!Ç ! !!!!! ! !!! !! !! ! ! !!! !!!!! !!! ! !! !! !!!! ! !!ƒ !!! !!!!! ƒ !Ê ! !!! ! ! !! !!!!!!! ! ! ! !!!!!! !!! !!! !! !!!!! !! !! !! !!!!!!!!! ! !!ƒ ! !!!!!!!!! ! ! !!! !!!!37!!!!! !!! !!!! !! !!!!! ! ! !!!!!!! ! !!!!! ! ! !!!! ! !!!! !!! ! ! !!! !!!Ê Artinya: Dari ‘Abdan dari Abi Hamzah dari al-A’mas dari Abi Shalih dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga kelompok 36
Istilah ini diambil dari Al-Bukhari yakni pada , Bâb Man Bayâ‘a Rajulan la Yubayi‘uhu illa li al-Dunyâ, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h. 809 37
Al-Bukhari, Sahîh, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Man Bayâ‘a Rajulan la Yubayi‘uhu illa li alDunyâ, no. 7212, h. 809; Kitab al-Syahâdat, Bâb al-Yamin ba‘da al-‘Asri, no. 2672, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) h.298; Kitâb al-Musaqah, Bâb Ismu man Mana‘a ibn al-Sabil min alMa’i, no. 2358 (dengan sedikit berbeda redaksi, ada tambahan ayat QS. Ali ‘Imran: 77, h. 261; Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Ijârah, Bâb Fî Man‘i al-Ma’i, no. 3474 (‘Aman: Dar al-A’lam, 2003) h. 571; al-Nasa’i, Sunân, Kitâb al-Buyu‘, Bâb al-Half al-Wajib li al-Khadi‘ah fi al-Bai‘, no. 4469 (Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tt) h. 757; dan Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Buyû’, Bâb Mâ Jâ’a fi Karahiyati al-Aiman fi al-Syara’ wa al-Bai’ no. 2207 (Riyadh: Dar al-Afkar alDauliyah, 2004) h. 219 dan Kitâb Jihâd, Bâb al-Wafa’ bi al-Bai’ah no. 3870 h. 312-313
67
manusia yang Allah swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa dan kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu: pertama, manusia yang memiliki kelebihan air di perjalanan yang. Ia menghalangi ibn al-sabîl (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya; kedua, manusia yang memberikan bai‘at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi, jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi baiat itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi baiatnya; dan ketiga, manusia yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan (harga) sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli), lalu ia membenarkannya. Kemudian si pembeli jadi membelinya. Padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.”
A.5. Jaur Al-Qâdi aw Imâm38 Yang dimaksud dengan jaur adalah !!! yang berarti menyimpang dan dalam bentuk masdarnya menjadi ! !! ! atau penyimpangan. Sehingga yang dimaksud disini adalah bentuk penyimpangan-penyimpangan para qadi (hakim) dan imâm (pimimpin) yang memiliki otoritas kebijakan atas suatu putusan. Adapun hadis yang berkenaan dengan hal tersebut adalah;
!!! ! ! ! ! !!! ! ! !!! ! ! ! !!!!!! ! ! !! ! !! ! !!!!! ! ! ! !! ! !!! ! !!! ! ! ! !! ! ! ! !! !!!!! ! ! ! 20 !!! !!!!!!! !!! !!!ƒ !!!! !!!!! ƒ !!!! !!! ! !! !!!!! !!!!!! !ƒ !!!!!! !!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! ! !!!! !! ! !! ! !!! ƒ !! ƒ !!!! !!! !!! !!! ! ƒ !!! ! ! !! ! ! ! !!!!! ! ! !!! ! ! ƒ !!!! ! ! !! ! ! !!!!! ƒ !!! ! !!! ! !!!!!!!! !39!!! !!!!!!! !!! ! !!! ! ! !! !! !! !!!!!!!! ! !!! ! ! ! !! !!!!!!! !
38
Istilah ini diambil dari bahasa Arab yang berarti pernyimpangan hakim dan pemimpin, hal ini dimasukkan dalam kategori korupsi karena mereka adalah orang yang memiliki kewenangan atau amanah sesuatu, dan sebagai definisi korupsi adalah penyelewengan amanah, kewenangan atau kebijakan. 39
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Aqdiyah, Bâb fi al-Qadhi Yukhti‘u, no. 3573 (‘Aman: Dar a-A’lam, 2003) h. 585 ; dan Ibn Majah, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb al-Hakim Yajtahidu fa Yusibu al-Haqq, no. 2315 (Riyadh: Dar al-Afkar al-Dauliyah, 1998), h. 370. Menurut Abû Dawud sendiri hadis ini sahih
68
Artinya: Dari Muhammad bin Hassan al-Samti dari Khalaf bin Khalifah dari Abi Hisyam dari Buraidah ra., dari Nabi saw. bersabda: “Qadi (hakim/pemutus perkara) ada tiga macam, yang satu masuk surga dan yang dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah qadi yang mengetahui kebenaran dan dia memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Sedangkan qadi yang mengetahui kebenaran, namun dia menyimpang darinya dalam membuat keputusan hukum, maka ia masuk neraka. Begitu juga qadi yang memutuskan perkara manusia atas dasar kebodohan (kecerobohan), maka ia masuk neraka.”
!!!!!! ! !! ! !!! !! !!!!! ! ! !!!!!! ! !! !!! !ƒ !!!! ƒ ! !!!!!!!! ! ! !!! !!! !!! !ƒ !!!! !! !!!!!! ! !! 21 !Ê ! !!! ! ! ! !!! !!!!!! !!!!!! ! !!! !!!! !!! ! !! !!!!!! !! !!! ! ! ! !!!!!! !!!! ! ! !! ! !!!! ! !! !!! !ƒ !!! ! !!! ! ! !!!40!!! !!! !! !!!!!!! !! !!!!! !! !! !!!! !!! !!!! !!!!! ! !!!! !!!!!! ! !!!!ƒ !!!! !!É ! !!!!!! !! ! !!!!! !É ! !!! !! Artinya: Dari Abd al-Qudus bin Muhammad Abû bakr al-‘Athar dari ‘Amru bin ‘Ashim dari ‘Imran al-Qathan dari Abi Ishaq al-Syaibani dari ‘Abdullah Ibn Abi Aufa, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah senantiasa bersama seorang qadi selama tidak menyeleweng/menyimpang. Jika ia menyimpang (dari kebenaran), Allah melepaskan diri darinya dan ia akan ditemani setan”.
!! !!!!!! ! !!!!!! !! !!! !!! !!! !! !!!! !!!!! !!! !!!!!!! ! !! ! ! !!! ƒ !!!!! !!!! !! !!! ! ! !!!!!!! ! !! 22 !!!!!! ! !! ! !!! !!! ! !! !!! ! ! !!!!!!! ! !! !! !Ê ! !!Ê ! ! ! ! !!! !!!!!! !!!!!! ! ! ! ƒ !!!!! !!! !!! !!!!! ! !! !! !ƒ !!!41!!! !!!! !!! !!!!!! !!!! !!!! !!! !!! ƒ !! !!! !! !!! ! ! !!!! !! !!! !!! ! ƒ !!!!! ! ƒ !!!!!! !! ! !!!!!! !É !! Artinya: Dari Muhammad bin ‘Ubadah al-Wasiti dari Yazid (Ibn Harun) dari Israil dari Muhammad bin Juhadah dari ‘Athiyah al-‘Aufa dari Abi Sa‘id alKhudri, ia berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat adil (benar, lurus) kepada sultan atau pemimpin yang menyimpang (dari kebenaran).”
!! !!! ! !!! !!! !! !!! ! !! !! !!! !!! ! ! !!!!!!! ! !! !!!! ƒ !!!! ! !! ƒ !!!! !!! !! !!!!!! ! !! 23 40
Al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Imâm al-‘Adil, no. 1330 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 558 . Menurut Tirmizi hadis ini hasan gharib. 41
Abû Dawud, Sunân, Kitâb al-Malâhim, Bâb al-Amr wa al-Nahy, no. 4344 (‘Aman: alA’lam, 2003) h. 705-706 ; al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Fitân, Bâb Mâ Jâ’a Afdalu al-Jihad Kalimat Haqq ‘inda Sultan Ja’ir, no. 2174 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 865 (dengan lafaz sedikit berbeda) ; al-Nasa’i, Sunân, Kitâb al-Bâi‘ah, Bâb Fadlu Man Takallama bi al-Haqq ‘inda Imâm Ja’ir, no. 4220 (dari Tariq ibn Syihab dengan redaksi Kalimatu haq ‘inda sultan ja’ir) (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami,tt) h. 717
69
!Ê ! !!!! !!!! !!!!!!!! ! !!!! !!!!!!! !! ! !!!!!! !!!!!!!! !! !! !!!! ! ! ! !!! !!!!! !!!!!! !!! !! !!!!! ! !!!!! ! !! ! !!! ! ! !!!!! !!!!!!!!!!!!! ! !!! !!!! !!!! !!!!!!!! !!!!!! !!!! !!! ! !!! !!! !!!!!!!! !! !!!!!!!!! ! !!!! !!! !!!!!!!!!!!!!! ! !!! 42!!! !!!! !!!!!!!!!!! !! ! Artinya: Dari ‘Ali bin Munzir al-Kufi dari Muhammad bin Fudhail dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa‘id, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah dan paling dekat tempatnya dari-Nya di Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan sesungguhnya manusia yang paling dibenci Allah dan paling jauh tempatnya dari Allah di Hari Kiamat adalah pemimpin yang menyimpang.”
B.
Hukuman Bagi Pelaku Korupsi Korupsi sebagaimana dijelaskan adalah perbuatan yang dengannya
menyebabkan kerugian terhadap negara atau masyarakat dan berdampak pada keuntungan pribadi maupun golongan dengan cara penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan. Sejalan dengan hal tersebut, Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin tentu ikut serta menjadi control bagi kehidupan manusia yang berkembang dengan peradaban zaman. Yang disinilah kemudian Islam al-Quran dan hadis sebagai sumber dalam beragama dimaknai sebagai sumber yang salih li kulli zamân wa makân. Hukum Islam selalu menjadi acuan dalam berbagama. Sistem hukum tersebut tentu adalah hal yang selalu dikembalikan kepada nas agama (al-Quran dan hadis). Pada dasarnya hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan mashlahah di dunia dan juga di akhirat. Dari faktor sumbernya bisa terbagai menjadi dua yakni: pertama, aspek Syari’ah berupa nas atau wahyu yang kebenarannya dinilai
42
Al-Tirmizi, Sunân, Kitâb al-Ahkâm, Bâb Mâ Jâ’a fi al-Imâm al-‘Adil, no. 1329 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) h. 558 ; Menurut Tirmizi, hadis ini berstatus hasan gharib.
70
mutlak. Kedua, aspek fiqh berupa aturan yang telah diinterfensi oleh pemikiran dan akal menusia yang kebenarannya bersifat nisbi43. Dalam perumusannya hukum Islam mempunyai tujuan untuk mewuudkan dan memelihara lima pokok tujuan (al-maqâshid al-khams) yakni berupa agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan, dan harta. Kelima hal tersebut wajib diwujudkan sebagai bagian untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian Islam tidak membenarkan adanya penganiayaan dan tindakan yang mengancam kemaslahatan umum maupun individu. Disinilah kemudian diperlukan adanya aturan hukum dan juga hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut. Hukuman tersebut secara sederhana dibagi menjadi dua yakni hukuman di akhirat dan hukuman di dunia. Hukuman di akhirat adalah hukuman yang akn diterima manusia nanti dengan eksekusinya adalah neraka yang jenis hukuman dan kualitasnya disamakan dengan dosa yang dilakukan di dunia. Sedang hukuman di dunia adalah hukuman yang diputuskan oleh hakim dengan lokasi tentu di dunia44. Hukuman di dunia inilah yang kemudian menjadi pembahasan dalam hukum pidana Islam. Dimana setiap kejahatan (jarîmah) memiliki hukuman di dunia untuk menjadikan jera pelakukanya dan menjadikan dia tobat dan tidak lagi melakukan perbuatn itu. Mengenai sumbernya hukuman jika telah terdapat dalam nash ia dikenal dengan hudûd, qishâs dan diat, sedang yang memang belum
43
Jaenal Arifin dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001) hal.57 44
h.227
Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992),
71
terdapat dalam nash kejelasan hukumannya (bukan hukumnya) dinamai dengan ta’zîr. Disinilah kemudian korupsi dimasukkan kedalam hukuman ta’zîr, kenapa demikian? Sebagaimana di jelaskan di awal bahwa korupsi tidak dijelaskan hukumannya dalan nas. Namun hal tersebut telah jelas kejahatannya karena memang memiliki beberapa unsur dalam kejahatan yang dilarang oleh nas yakni, perampasan hak, penyelewengan kewenangan, dan merugikan orang lain. Sehingga dalam hal ini bisa dimasukkan pada hukuman ta’zîr yang berkaitan dengan harta, kemaslahatan individu, serta kemashlahatan umum sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh Abdul Aziz Amir dalam bukunya at-Ta’zîr fi asSyari’ah al-Islamiyah.45 Selain memang ta’zîr menjadi hukuman bagi pelaku koruspi karena tiadanya
nash
yang
menjelaskan
tentang
hukuman
korupsi
tersebut,
perkembangan hukum modern seringkali harus memiliki pilihan-pilihan yang bisa disesuaikan dengan besar-kecilnya kerugian yang diakhibatkan dari tindakan korupsi tersebut. Disamping ketentuannya ditentukan oleh ulil amri yang dalam hal ini adalah pemimpin negara, undang-undang dan juga hakim. Ibn Taimiyah menyebut beberapa model hukuman jarimah ta’zîr yang pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya : “ Batas minimal hukuman ta’zir tidak dapat ditentukan, tapi intinya adalah semua hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau perbuatan dan diasingkan. Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran, menjelekakannya dan menghinakannya. Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan mewngusirnya dengan meninggalkan negerinya sehingga ia bertaubat. Sebagaimana nabi pernah mengusir tiga orang yang berpaling, mereka itu adalah 45
Abdul Aziz Amir, at-Ta’zir fi as-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Darul Fikr, tt)
72
Ka’ab bin Malik, Mararah bin Rabi’ dan Hilal bin Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah pada perang Tabuk. Maka nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka, kemudian nabi memaafkan mereka setelah turun ayat-ayat al-Quran tentang diterimanya taubat mereka. Dan kadang-kadang hukuman ta’zir berbenuk pemecatan dari dinas militer bagi prajurit yang melarikan diri dari medan perang, karena melarikan diri dari medasn perang merupakan dosa besar. Begitu pula pejabat apabila melakukan penyimpangan maka ia diasingkan”.46
Dalam konteks Indonesia sebagaimana yang dijelaskan panjang dalam Undang-Undang no. 31 tahun 1999 hukuman memang hanya berkutat pada penjara dan dengan dengan berbagai ukurannya. Namun disini penulis akan memberikan beberapa opsi lain mengenai hukuman korupsi ini, karena ia dirasa lebih dari hanya sekedar mencuri, bahkan membunuh. Inilah yang kemudian ia dijuluki sebagai extra ordinary crime yakni bentuk kejahatan luar biasa. Sehingga hukumannya pun bisa variatif tergantung pada apa dan berapa kerugian yang berikan dari tindakan korupsi tersebut. Hukuman (sanksi) dari jenis ta’zir tersebut adalah sebagai berikut: a. Sanksi fisik yakni hukuman mati atau dera Dalam pandangan fiqih, hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman mati cukup beragam pendapat. Ada yang tidak sepakat dengan adanya hukuman mati bagi ta’zir, namun banyak pula yang setuju dengan adanya ta’zir hukuman mati seperti ulama Syafi’iyah47 dan juga ulama Hanabilah semisal Ibnu Uqail. Pembolehan ini didasarkan pada adanya sebuah hadis yang mebolehkan adanya ta’zir hukuman mati bagi pelaku homoseksual. Di mana nabi menghendaki
46
A.Fathi Bahansi, al-Mas’uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1984),
h.23 47
Abd Al-Aziz Amir, at-Ta’zir Fii As-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr alArabi, 1969), hal 305 - 306
73
baik pada pelaku maupun objeknya untuk di hukum mati, sebagaimana riwayat Ibnu Abbâs sebagai berikut;
!!!! ! ! !! ! !! ! ! !!! !!! !!! !ƒ !!!! !! !!!!!! ! !! !!!!!!!! !! !! !!! ! ! !!! !!!!!!!! !! !!!!!! ! !! !! !! ! !! ! ! !!!! ! !!!!! ! !! ! !!!!! ! !!! ! ! ! !!! ! !!!! ! !!!! ! ! !!! ! ! ! !!! ƒ ! ! ! ! ! ! !!! ! ! ! ! !!! ! ! 48
!!!! !!!ƒ !! ƒ !!!! !! ! !!!ƒ !!!!!!!!ƒ !!!!!! !!!!!! !!! ! ! !! ! !!!!!!! !! ! !
Artinya: Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali an-Nufaili dari Abdul Aziz bin Muhammad bin Amru bin Abi Amr dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasul bersabda; “barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum nabi Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan objeknya”.
Selain hadis tersebut ada pula riwayat lain yang menyatakan adanya hukuman mati bagi peminum khamr yang melakukannya berulang kali, sebagai berikut;
!! !!! ! !!! !!! !! ! ! ! ! ! ! !!! !!! ! !!!!! ! ! !! ! ! ! !! !! ! !!!!! ! ! ! ! ! !!!! !! ! !!!! !!!!!! ! !! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !! ƒ !!! ! !!!!! ! !! ! ƒ !!!! !!! !! ! !! !! !ƒ !!!!!!!!! !! !! !!! !! !!! ! !! !!!! !!!! ! !! !!!!!!!! ! !! ! !!!!!!!! !!!! !!! ! !! ! ! !!!! !!!!! !!!!!!!! ! !!!!! ! !!!!!!!!!!!!!! !!! ! !!!!!! ƒ !!!!! !! ! !! !!!! !!!!!!! !!!! ! !!!! ! !!! ! ƒ !!! ! ! ! !! ƒ ! ! ! ! !!!! !!!! ! !! ! ! !! ! !! ! ! !!!!!!! ! !! ! !! ! !!! ! ! !!!! ! ! !ƒ !! 49
! ! !!!!!!!!!!!!! ! !!!! !!ƒ ! !!!! !!!!!!!! ! !!!!! !! !! !!!!!!! !!!! ƒ !!
Artinya: Dari Hannad bin As-Sari dari Abduh dari Muhammad (Ibnu Ishaq) dari Yazid bin abi Habib dari Marsad bin Abdillah al-Yazani dari Dailami al-Himyari berkata; Saya bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berat , dan kami membuat minuman dari gandum untuk menambah kekuatan kami dan menahan rasa dingin negeri kami. Rasul bertanya; ‘Apakah minuman itu memabukkan?’, 48
Abû Daud, Sunân, Bâb fî man Amila Amala Qoumi Lût, (Aman; Dar al-A’alam, 2003) hadis no. 3869 hal 38 49
Abû Daud, Sunân, Bâb fii Nahy An Musykir, (Aman; Dar al-A’alam, 2003), hadis no. 3189 hal 108
74
saya menjawab; ‘benar’, Nabi berkata: ‘kalau demikian jauhilah’, saya berkata: ‘orang-orang tidak mau meninggalkannya’, maka Rasul mengatakan; ‘Apabila mereka tidak mau meninggalkannya maka bunuhlah mereka”.
Dengan demikian, memang ta’zir hukuman mati hanya dilaksanakan pada pidana yang sangat berat dan berbahaya. Adapun sayarat-syaratnya, sebagaimana yang ditulis H.A. Djazuli dalam bukunya Fiqih Jinayah adalah sebagai berikut50: a.) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman selain hukuman mati. b.) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan di bumi. Sehingga dalam kaitannya dengan korupsi, untuk alasan pertama diatas adalah mungkin terjadi. Hal ini karena jika korupsi telah menjadi bagian dari hidup seseorang (baca. Laten) dan telah berulang kali melakukannya, maka hukuman ini bisa dilakukan. Sedang untuk alasan kedua, hal inilah yang menjadi penting karena korupsi seringkali dan bahkan selalu menimbukan kerugian bukan pada satu atau dua orang namun tetapi masyarakan banyak bahkan suatu negara. Yang kemudian alasan kedua adalah alasan yang sangat bisa dialami oleh seseorang pelaku korupsi yang memegang kebijakan tinggi dalam suatu daerah atau negara, terutama pada kasus-kasus Gurita Corruption yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya.51 Sedang terkait dengan hukuman fisik berupa dera, banyak ulama fiqih yang membahasnya dan mayoritas sepakat dengan adanya ta’zir hukuman dera. Kendati demikian hukuman dera yang dipermasalahkan sejatinya bukanlah pada 50 51
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996) hal. 191
Untuk membandingkan sanksi-sanksi yang ada dalam tulisan ini bisa di bandingkan dengan tabal tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia pada lampiran 1
75
berapa keras dan berapa kali dera yang diterima. Namun lebih pada penunjukkan tempat umum sebagai social punishment. Selain memang hukuman ini tidak dilakukan di Indonesia, namun juga pukulan atau dera dianggap tidak manusiawi dan menyalahi HAM. b. Sanksi materi berupa denda Denda yang dimaksud tentu bukan hanya sekedar mengembalikan uang atau harta hasil korupsi. Selain itu hasil dengan haruslah untuk kas umum atau negara dan bukan untuk hakim. Yang dalam hal ini Abdul Aziz Amir membaginya ke dalam tiga hal yakni penghancuran terhadap suatu benda, menggantinya dan memilikinya atau merampasnya sebagai kas negara.52 Dalam hukum pidana korupsi di Indonesia hukuman ini telah berlaku lama. Namun yang seringkali menjadi momok sebagian orang di Indonesia adalah bahwa hukum bisa dibeli. Sehingga denda yang dikenakan pada pelaku korupsi kadang bisa lebih ringan dari hanya sekedar pencemaran nama baik. c. Sanksi kemerdekaan berupa penahanan Sebagaimana hukuman denda, penahanan atau penjara telah berlaku saat ini pada pelaku korupsi. Walau demikian lamanya penahanan bisa saja dikurangi dengan berbagai macam remisi yang berlaku dan juga pasal karet. Sehingga tak jarang seorang yang mencuri emas seharga 1 juta bisa jadi lebih lama ditahanan dari pada pelaku korupsi 1 milyar. Dalam sejarah hukum Islam, memang penjara belum berlaku pada masa Nabi maupun Abû Bakar. Namun hal ini berlaku tatkala khalifah dipegang oleh
52
Abd Al-Aziz Amir, at-Ta’zir Fii As-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut:Dar al-Fikr alArabi, 1969), hal 401
76
Umar bin Khattab. Bahkan dalam sebuah riwayat menjelaskan bahwa Umar pernah membeli rumah seharga 40.000 dirham kepada Shafwan bin Umayyah yang kemudian beliau menfaatkan sebagai penjara53. Selain sanksi-sanksi diatas, nabi sendiri mengenalkan beberapa hukuman bagi pelakunya. Seperi pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa shadaqah hasil korupsi tidaklah akan diterima. Dengan redaksi hadis sebgai berikut:
!! !!!! !! ! ƒ !!!!!! ! ! ! ! ! ! ƒ !!! ! !!!! ! !!!!! ! ! !!!! ! ! !! !!!!!! ! ! !!! !!! ! !! ! !!!! ! !!!!! ! ! ! !! ! ! !! !!!!!!!! !! !! ! ! ! !!!!! !! !! !!! !! !!! ! !! ! ! !! !!! !!! ! !! ! !!!!!! ! !!!!!!!!!!! ! !!!!!!!! !! !!! ! !! !! ! !! !!!! !!!!! ! ! !! !!!!!!!! !!!!!!!!!! ! !!! !!! !!!!!! !!! !!! ! ! !!! !!!!!! !!!! !! !!!! !! 54
! !!!! !! !!!!! ! !! ! !! !!! ! !! !!!!!! ! !! !ƒ !!!! !! !!!!!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!
Artinya: Said bin Mansur, Qutaibah bin Said dan Abû Kamil al-Jahdari menceritakan kepada kami, sementara lafaz milik Said. Mereka berkata Abû Awanah telah menceritakan sebuah hadis kepada kami dari Simak bin Harb dari Mush’ab bin Sa’ad ia berkata, Abdullah Ibn Umar masuk ke ruman Ibn ‘Amir untuk menjenguknya karena sakit. Kemudian Ibn Amr berkata, “kenapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kesembuhanku, hai Ibnu Umar?”, Ibnu Umar menjawab: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Shalat tanpa bersuci tidaklah diterima sebagaimana tidak diterimanya sadaqah hasil ghulûl.
Selanjutnya adalah tentu bahwa tindakan korupsi menjadi penghalang bagi pelakunya untuk masuk surga. Sebagaimana riwayat berikut;
53
Ibn al-Qayyim al-Jauzi, at-Thurûq al-Hukmiyah fii as-Siyasah as-Syari’ah, (Kairo: Mathba’ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1953) hal. 103 54
Muslim, Sahih, Bâb Tahârah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) hadis no. 329 hal 54
77
!! !!!! !!! !!!! !! ! !!! !!!!!! ! !! !!!! !! ! !! ! ! !! !!!! !!!!!!!! ! !! !!! !!! !!! ! ! !!!!!!! ! !! !! !! ! !! ! ! !!!! ! !!!!! ! !! ! !!!!! ! !!! ! ! ! !!! ! !!!! ! !!!! !! ! ! ! !! ƒ !! ! ! !!! ! !! ! !!! !!! ! ! ! ! !! ƒ !! !!55!!! ƒ !!!! ! ! !! !! !!!! !! !!!!ƒ !!!! !! !! ƒ !!!! ! !!! !!Æ !! ! !!! ! ! !! ! ! ƒ !!!! !!! !!!! ! !!! Artinya: Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami, Ibn Abi ‘Ad telah menceritakan kepada kami, dari Said dari Qatadah, dari Salim bin Abi al-Ja’di dari Ma’dan bin abi Thalhah dari Tsauban berkata, Rasulullah bersabda; “ Siapa saja yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya sedang ia terbebas dari tiga perkara yaitu; penimbunan harta, korupsi, dan hutang niscaya ia akan masuk surga.”
Selain hukuman diatas yang bentuknya tidak terlihat oleh kasat mata di dunia, ada hukuman yang diberikan nabi sebagai bentuk social punishment yang mampu menjadi hikmah bagi semua manusia tidak hanya bagi pelaku, yakni dengan tidak bersedianya Nabi untuk menshalati jenazahnya. Sebagaimana riwayat berikut:
!! !!!! ! ! !!! !! !!! ! !! ! !!! ! !! ! !! ƒ !!! ! !!! ! !! ! ! !!!! !! !! ! !! !!! !! ! ! ! !!!!!!! ! !! !! !!! ! !!! !!! ! ! !! ! ! !! ! ƒ !!!! !!!! !! !!! !! !! ! !!! ! ! !! !!!! ! !! !!!! !! !!! !! !!! !!! ! ! !!! ! !! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !!!!!!! !!! ! !!! !! !!!!! ! ! !!! !!! !! ! !!! !! !!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !! !!!! !!!!!!! !!!! !! !!! ! !! ! !! !!! !! !!! !!!!!! !! !!! !!!!!!!!!! ! !! ! !!!!!! ! !! !!! !! !! !!!!!! !! !!!! 56
! !! ! ! ! !! ! !!! !!! !! !!! !!! ! ! !! !!!!! ! ! !!!!! ! ! !!!! !!!!!!!!! !!!
Artinya: Dari Musaddad bercerita dari Yahya bin Said dan Basyir bin Mufadhal dari Yhaya bin Said dari Muhammad bin yahya bin Hibban dari abi ‘Amrah dari Zaid bin Khalid al-Juhaini diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi meninggal dunia pada waktu peperangan Khaibar. Sahabat memberitahukan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau berkata: “Shalatkanlah kawanmu itu”. berubahlah wajah orang-orang itu karena 55
Al-Tirmidzi, Sunân, Bâb As-Sir an Rasulillah, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) hadis no. 1498, hal. 85 56
Abû Daud, Sunân, Kitâb Jihâd, (Aman; Dar al-A’alam, 2003) hadis no. 2335 hal 336, selain itu ada juga pada Al-Nasai, Sunân, Kitâb Jinayah, (Beirut: Dar Ahya’ al-Turts al-islami, tt) hadis no. 1933 hal. 49
78
mendengar (sabda) tersebut. Kemudian Rasul mengatakan bahwa temanmu itu telah melakukan ghulûl di jalan Allah”. Kamipun segera memeriksa barangbarangnya lalu kami menemukan perhiasan milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham”.
Inilah bentuk hukuman yang diberikan nabi, bahkan kepada sahabatnya sendiri. Karena bagaimanapun tindakan itu sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad tentang kejujuran dan amanat bagi seseorang.
79
BAB V KONTEKSTUALISASI HADIS-HADIS KORUPSI A.
Kontekstualisasi Hadis Korupsi Sebagaimana pada bab yang lalu disebutkan bahwa korupsi ada, disinyalir
adalah sejak adanya kekuasaan yang dimiliki manusia. Kekusasaan yang berupa kemampuan untuk melakukan kecurangan, dimana Jeremy Pope mengungkapkan bahwa korupsi dapat terjadi bila ada peluang (kemampuan) dan keinginan yang datang secara bersamaan1. Sehingga kemudian, walaupun istilah korupsi relative baru di pendengaran rakyat Indonesia, namun indakannya telah lama ada dalam budaya manusia, tidak terkecuali Indonesia. Pandangan diatas pun berlaku bagi hadis-hadis korupsi yang disampaikan oleh Nabi lewat periwayatannya oleh para ahli hadis. Di mana tindakan korupsi telah tergambar pada era Nabi dengan cukup bevariasi dengan berbagai istilah dan tindakannya. Namun demikian ada beberapa diantaranya yang tidak lagi di alami umat Islam masa kini seperti adanya ghanimah dan jihad dalam bentuk perang atau kontak fisik pada masa nabi karena tiadanya perang sebagaimana zaman nabi. Disini kemudian perlu adanya kontekstualisasi sebagai bentuk reinterpretasi terhadap hadis-hadis tersebut agar tetap menjadi norma dalam kehidupan, selain memang terjadi adanya perubahan waktu, tempat dan budaya antara zaman Nabi dan saat ini. Selain itu, tindakan korupsi yang menjadi extra ordinary crime bukan hanya berarti sebuah kejahatan besar dan berbahaya dalam tindakannya, namun
1
Lihat ikhtisar dalam Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hal. XXV
79
80
juga mnejadi extra ordinary dalam penyebarannya karena telah menjadi bagian yang hamper selalu ada dalam tiap kedudukan dan kewenangan. Sehingga dalam hal ini Jeremy Pope menganggap perlu adanya sebuah koalisi besar bagi semua negara bahwa dalam proses bernegara dan pembersihan korupsi dimana peran masyarakat sipil sangatlah penting. Pemerintah saja, sendiri, tidak akan mampu melaksanakan tugas ini – disamping seringkali yang menjadi subjek dari korupsi adalah pemerintah sendiri- , pemerintah perlu dan harus mencar dukungan dan perantara aktif dan independen dari masyarakat sipil.2 Disini kemudian, hadis sebagai sumber kedua dalam kehidupan umat Islam setelah al-quran diyakini mampu memberikan tuntunan dan solusi terhadap permasalah korupsi. Nabi sendiri, sebagaimana dalam banyak riwayat yang disebut dalam bab sebelumnya tergambar jelas perjuangannya dalam pembersihan kehidupan masyarakat kala itu agar terbebas dari korupsi. Jika terjadi tindakan tersebut, maka beliau bertindak tegas kepada pelakunya bahkan tidak segan untuk tidak menshalati jenazahnya, mengecam pelakunya dengan laknat, dan tentu menetapkan bahwa pelakunya tidak akan masuk surga. Bahkan dalam sebuah riwayat nabi tidak segan menyatakan bahwa andaikata Fatimah anak beliau mencuri, maka nabi sendirilah yang akan memotong tangannya.3 Ketegasan beliau tidak lantas hilang begitu saja setelah meninggalnya nabi Muhammad, akan tetapi ummatnyalah yang harus menjaga tradisi itu agar tetap 2
Ikhtisar Jeremy Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007) hal XXIII 3 Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah istri Nabi sebagai berikut;
!!! ! !!! !! !!!! !! ! !! ! ! !!! !!!!! ! !!!!! !!! !!!!!!!! !!!! , lihat al-Bukhari, Sahih, bab Hadis al-Ghar, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) hadis no. 3216 hal 294
81
berjalan sebagai bentuk tanggung jawab keberagamaan untuk menerapkan nilainilai agama tersebut pada setiap zamannya. Berbagai jenis tindakan korupsi hingga saat ini memang sangat bervariasi, sehingga kadang definisi korupsi sendiri menjadi rumit dipahami. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri untuk kemudian berbagai hadis korupsi pun menjadi varian yang sebenarnya memiliki nilai dan spirit yang sama dalam konteks saat ini. Hal ini pun dirasakan oleh Alatas4 dengan komentarnya seperti berikut: “ Seperti halnya semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Yang mungin ialah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut agar kita dapat memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi”
Sehingga, pembahasan tentang beberapa istilah korupsi menjadi penting agar dapat menunjukan gejala-gejalanya. Yang kemudian dalam wacana kontekstualisasi hadis, memberikan sebuah legitimasi dalam bentuk spirit terhadap legal spesific yang sama tentang pelarangan tindak pidana korupsi yang terjadi saat ini, sebagaimana berikut: B.
Corrupt Campaign Practice Kampanye selalu simaknai sebagai cara untuk memperkenalkan diri dan
menunjukkan kemampuan guna dipilih sebagai apa yang diinginkan oleh sipelaku. Dalam hal ini tentu adalah jabatan, yang kalau hal ini dilakukan untuk kebaikan dan demi kepentingan masyarakat tentu menjadi jalan jihad tersendiri. Namun tindakan ini tentu jika dilakukan dengan kecurangan akan menghasilkan yang buruk pula nantinya. Kecurangan inilah yang kemudian dianggap sebagai bentuk korupsi. 4
Syed Hussein Alatas, Korupsi Sebab, Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1997) hal. 1
82
Mengenai hal hadis nabi no. 3 dan 8 patut menjadi acuan bahwa tindakan untuk berjuang dijalan Allah hendaklah untuk tidak diikuti dengan tindakan korupsi, atau penyelewengan.
Dalam hal ini bentuk penyelewengan dari
penggelapan dana negara demi kepentingan kampanye adalah terlarang sebagamana maksud hadis tersebut. Selain itu, praktek korupsi yang terjadi pada masa kampanya adalah adanya semacam pemberian dari kepada calon pemilih yang dilakukan oleh pelaku kampanye. Hal ini tentu menjadi perntanyaan kenapa berbuat baik menunggu waktu kampanye, disini kemudian dianggap sebagai bentuk penyuapan kepada calon pemilih sebagaimana bentuk baiâtul imâm li al-dunyâ dalam hadis no. 19 dan bentuk risywah dalam hadis no. 15 dan 16. C.
Discretionary Corruption Sebagaimana telah disebutkan bahwa yang membedakan antara korupsi
dan pencurian adalah adanya kewenangan atau keuasaan untuk memiliki kebjakan pada pelaku tindakan tersebut. Sehingga korupsi jenis ini seringkali dilakukan oleh para pemimpin atau pekerja yang memiliki kewenangan tertentu. Dalan hal ini nabi menyebutnya sebagai penyimpangan atau jaur sebagaimana pada hadis no. 21, 22, dan 23. Kendati sebenarnya semua hadis yang dipaparkan pun pada hakikatnya memiliki kecenderunan yang sama terhadapa penyimpangan kewenangan seperti risywah yang tidak mungkin dilakukan kepada dan oleh orang yang tidak memiliki kewengangan apapun begitu juga pada tindakan ghulûl hadiyah dan sebagainya.
83
D.
Illegal Corruption Terjadinya tindakan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang,
terlebih mereka yang sama sekali tidak memiliki kewenangan akan sesuatu dan tidak pula banyak memahami bahasa tentang kekuasaan (baca; politik). Nabi cukup banyak mengingatkan bahwa hakim yang dalam hal ini dimaknai sebagai siapapun yang berkecimpung dalam bidang hukum. Baik jaksa, pengacara, hakim dan sebagainya hanya memiliki dua alasan untuk dikatakan benar yakni yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran itu. Hal ini sejalan dengan maksud dari hadis no. 20 dimana pengetahuan akan kebenaran (ilmu suatu hukum) tidaklah cukup untuk menjamin seseorang untuk dikatakan sebagai orang yang adil, namun harus dilengkapi dengan pemberian keputusan dengan kebenaran tersebut. Sebaliknya, keadilan tidak hanya terwujud dalam adanya keputusan yang maslahah saja, namun harus pula dilengkapi dengan pengetahuan yang akan kebenaran. Hal ini seringkali terwujud dalam kapasitas keilmuan dan pengetahuan dalam hukum, ekonomi, sosial bahkan agama sekalipun. Dalam hukum ini terjadi pada adanya undang-undang yang memiliki pasal yang tumpang tindih, dimana pada suatu pasal yang ada yang memberatkan sebuah hukuman dan adapula yang mampu memperingan hukuman. Pasal-pasal karet inilah yang biasanya menjadi celah permainan para advocate. Demikian pula yang terjadi pada mereka yang memiliki
kebijakan
ekonomi
yang
kadang
memutuskan
sesuatu
demi
menguntungkan sekelompok orang dan bukan demi kepentingan publik. Tak ketinggalan pada para ulama yang mengeluarkan ucapan yang mengandung kontroversi, contoh jika adanya seorang ulama yang memfatwakan hukum suatu
84
tindakan hanya karena titipan5 dari penguasa dan hanya menghasilkan keuntungan bagi dirinya maupun golongannya. Pada masa Nabi hal ini memang tak banyak terjadi karena Nabi adalah satu-satunya sumber hukum kala itu. Di samping hal tersebut, belum terbentuk sebuah undang-undang yang melingkupi sebuah aturan negara sehingga memang tindakan korupsi ini tidak banyak terjadi pada masa Nabi. E.
Political bribery Hal yang menjadi menarik dari tindakan ini adalah wujud demokrasi
sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang bisa diterima masyarakat. Demokrasi yang menganggap kata rakyat adalah kata Tuhan, yang berimplikasi kepada terambilknya keputusan dari suara terbanyak dari jumlah manusia. Bahkan Thomas Jefferson presiden Amerika ke-3 mengatakan bahwa demokrasi tidak lebih dari hukum rimba, di mana lima puluh satu persen orang dapat mengambil hak-hak orang lain empat puluh sembilan6. Padahal jelas Allah mengatakan bahwa ‘Hendaklah kamu memutuskan diantara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah’7. Hal yang kemudian diwanti-wanti oleh Nabi tentang pentingnya meutuskan sesuatu dengan benar.
8
Bahaya korupsi jenis ini memang terlihat paling membahayakan karena berbentuk korporasi atau korupsi berjama’ah, dimana tidak hanya melibatkan satu atau dua
5
Hal ini biasanya disebut sebagai fatwa pesanan, dimana ulama dianggap memiliki pern penting dalam memberikan pengaruh terhadap perilaku masyarakat. Disini kemudian sekelompok orang memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya. seperti keikutsertannya pada kampanye seseorang, atau memberikan status hukum pada suatu produk untuk merugikan atau menguntungkan pihak lain. 6 Fadli Noer, dalam Opini SBY Keseleo Soal Islam dan Demokrasi, Lihat Kompas 27 Februai 2010 7 Lihat al-Maidah 45 8 Lhat hadis no. 20, 21, 22, 23
85
orang, namun sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama tanpa melihat kebaikan orang banyak. Sulit dibayangkan jika ternyata zaman Nabi terjadi ghulûl secara berjamaah pada sebagaian sahabat misalnya. Bahkan dalam periwayatan hadis adanya ittishal sebagai syarat sahihnya hadis adalah demi mmfilter adanya penyimpangan berjamaah. Inilah kemudian sebenarnya tidak ada yang dalah jika sebuah negara menggunakan sistem parlemen atau perwakilan, sebagaimana Indonesia. Namun yang menjadi bahaya adalah tatkala mayoritas dari anggota parlemen tersebut adalah orang yang tidak bisa memegang amanah dan hanya mementingkan pribadi maupun golongannya. Adalah solusi yang menarik jika nabi –sebagaimana hadis no. 13- mengatakan bahwa hendaklah seseroang yang memegang amahat itu dicukupkan gajinya dan keperluannya lebih dulu agar tidak terlena dengan kenikmatan yang lain. F.
Amanah; Sebuah Benteng Anti Korupsi Sebelum mengakhiri pembahasan tentang hadis korupsi ini, tentunya
adalah hal penting untuk membahas urgensi sifat amanah dalam setiap diri manusia. Karena bagaimanapun setiap tindakan korupsi sesungguhnya adalah penyalahgunaan terhadap amanah yang diberikan padanya, atau mungkin dimuali dari bentuk penyalah gunaan amanah (abuse of trust) yang kemudian berimbas pada penyalahgunaan kewenanngan atau kekuasaan (abuse of power) baik dalam urusan pribadi maupun orang banyak. Nabi telah memberikan penjelasan tentang satu-satunya ciri para pemegang kekuasaan ataupun penegak hukum adalah mereka yang memutuskan sebuah hukum atau memberi kebijakan dan melakukan amanahnya sesuai dengan
86
tugas yang diembannya sebagai pemimpin yang masuk surga. Selain itu kejujuran dan amanah adalah nilai yang wajib dimiliki setiap muslim, tentang pentingnya hal ini nabi memberikan sebuah ciri tentang orang munafik yakni jika berbicara ia bohong, jika ia berjanji ia ingkari, dan jika dipercaya ia khianat adalah ciri seorang munafik.9 Maka pantaslah pula seorang pelaku korupsi disebut sebagai seorang munafik. Penyebutan yang cukup tegas dan lugas itulah yang menjadi pegangan setiap muslim yang diberikan amanah kepadanya. Berapa banyak orang uang berjanji manis kala kampanye dan berapa banyak yang merealisasikan janjinya tersebut, berapa tinggi pidato pelantikan seseorang kala pertama kali diberikan amanah kepadanya yang kadang sering tinggal janji. Inilah amanah yang kemudian menjadi akar kehancuran ketika ketiadaanya pada seorang pemimpin. Nabi sempat menjelaskan sebagai berikut:
!! !!! ! ! !!!!!!! ! !! !!!!! ! !! ƒ !!!! !!! !!! !!! !!!! !!! ! !! !! !! !!!!!!!!! ! !! !!!!! !!!! !! !!! ! ! !!!!!!! ! !!!! !!! ! !!!!!! !! ! !! !!!! ! !! !!! !!! !!Ê !!!! ! !! ! !! !! !! !!! ! ! !! !!! ! !! !!!!! !!!! !!! ! !! !!!!! !!! !! ! ! !!!! !!! !!!! !!!! !!!!!! !!!! ! !!!È ! !!! !!! !ƒ !!!! ! ! !!! !! !!! !!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !! !!!! !! !!!! ! ! !!!! !!!!!! ! !! ! !!!!!!!! ! ! ! ! ! ! !ƒ !!! ! !!! ! !!!!! ! ! ! !!! !! ! !!!!! ! !!!!! ! !! ! !!!!!! !!! ! !!!!! !!!!! !!! ! ! !!!! !! !!! !!! ! ! ! ! !!!! !!! !!!! !! ! !!! ! !!!! !!!!! ! ! ! ! !! !!! !! ! !! ! ! ! ! !! ! !! ƒ ! !! ! ! ! !! !! !!!! !È ! !!! ! ! !!!! !!! !!!!!!! !! !!! !!! !! !! !!!!!! !!! !!!! ! !!!!!!!!!!!È ! !!! !!! !!!! !!!! !!!!!!!!!! !!! ! 10
!.!! !!! !!!! ! !!!!!!!!! !!! !!
Artinya: Dari Muhammad bin Sinan berkata dari Fulaih; Juga dari Ibrahim bin Munzir berkata dari Muhammad bin Fulaih dari ayahnya berkata dari 9
Hadis tentang ciri orang munafik ini cukup masyhur di tengah masyarakat, lihat alBukhari, Sahih, bâb Alamat al-Munafik, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) hadis no. 23 hal 58 10 Al-Bukhari, Sahih, bâb Man Suila Ilman wa Huwa Mustaghilun fii haditsihi fa Atimma, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) hadis no. 57 hal. 103
87
Hilal bin ‘Ali dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abû Hurairah ia berkata bahwa suatau ketika Rasulullah dalam suatu majlis memberrikan pelajaran pada suatau kaum, datang kepada beliau seorang Arab dan berkata ‘Kapan kiamat akan datang?’ Rasulullah saw. terus melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata, “Rasulullah saw. mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya . Berkata sebagian yang lain, “Rasul saw. tidak mendengar”. Setelah Rasulullah saw. menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya, “Mana yang bertanya tentang Kiamat?” Berkata orang Badui itu, “Saya wahai Rasulullah saw.“ Kemudian Rasul bersabda: “jika amanah di sia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Kemudian ditanyakan bagaimana amanah di sia-siakan itu?, maka Nabi menjawab: “jika suatu perkara (amanah/pekerjaan) diserahkan kepada orang yang tidak ahli (professional), maka tunggulah kehancurannya”.
Lebih dari itu, nabi pun pernah menjelaskan adanya antara keterkaitan keimanan seseorang tentang amanah yang diembannya, sebagai berikut:
!!!! ;! !!!!! !!!! ! !!! !!!!!! ! !! ! ! !!!!!!!!!!! ! !! !!!!! ! !!!!! !!! ! ! ! !! ! ! !!!! !! !!!!!! ! 11
!.!!!! ! ! !! !! ! !!! !!! !! ! !!!!!!!!!!!! !! ! !!! !!! !!! !! !!!!! !!! !! ! !!!!! !!!!!!! !! !! !!!!!!!!!! ! Artinya: Dari Abd Samad dan Hasan bin Musa berkata dari Abû Hilal dari Qatadah dari Anas berkata: Nabi pernah berkhutbah pada kami dan berkata “tidak beriman orang yang tidak menjaga amanah, dan tidaklah beragama seseorang yang tidak menepati janjinya”.
Begitu pentingnya amanah hingga ia disejajarkan tingkat ketinggiannya pada seseorang dengan keimanan seseorang12. Atau dengan kata lain bahwa bukti keimanan seseorang bisa tergambar pada bagaimana ia mengemban sebuah amanah. Yang dalam keterkaitannya dengan korupsi bisa digambarkan sejauh mana keimanan seseorang ketika korupsi itu dilakukan. Dimana akhirnya tidaklah seseorang yang berbicara dengan kapasitas keimanan kemudian melakukan
11
Ahmad bin Hambal, Musnad, Bâb Musnad Anas bin Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hadis no. 12722 hal. 269 12 Dalam hal ini Rasul menyinggung untuk berani meluruskan dan membersihkan tindakan korupsi ini sebagai bentuk kesewenang-wenangan, bahkan Nabi mengungkapkan bahwa jihad yang paling utama adalah mengahadapi pemimpin yang menyeleweng dalam amanahnya yakni melakukan korupsi. Lihat hadis no. 23
88
tindakan korupsi maka muncul pertanyaan bahwa sudah benarkah keimanan orang tersebut? Selain berbagai bentuk kontekstualisasi di atas memang masih banyak lagi hadis-hadis korupsi tersebut bisa dikembangakan sebagaimana masih terus berkembangnya berbagai tindakan korupsi. Sehingga bentuk kontekstualisasi ini pun akan terus berjalan seiring zaman. Sebagaimana contoh penyerobotan tanah (ghulûl al-Ard ) –dala hadis no. 14- pada zaman nabi mungkin hanya berlaku bagi dua atau tiga orang saja secara bersamaan, namun hari ini bisa jadi berbagai pihak ikut terlibat mulai dari hakim, pemerintah, penggusuran oleh satpol PP, dan tentu warga yang tidak sendiri bahkan bisa satu desa.
89
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan Islam sebagai rahmatan lil’âlamîn bukanlah buta terhadap tindakan
korupsi. Selain itu, ia memiliki peta tersendiri atas tindakan para koruptor. Yakni bahwa sepenuhnya kehidupan Muhammad yang tergambar dalam hadis menjadi tolok ukur tersendiri akan berbagai tindakan korupsi yang muncul kala itu. Diantara gambaran tersebut antara lain; pentingnya jihad tanpa penyelewengan, penggelapan barang ghanimah, pendapatan kerja di luar gaji, penyerobotan tanah, memilih pemimpin untuk keuntungan pribadi, hingga penyelewengan para hakim dalam keputusannya yang tidak objektif. Punishment pun tak luput dari perhatian nabi terhadap para pelaku korupsi. Dari tidak diterimanya sedekah dari mereka dengan hasil korupsi, ancaman dalam bentuk laknat hingga jadinya korupsi penghalang bagi seseorang untuk masuk surga. Bahkan sanksi sosial yang cukup kontroversi dalam penerapannya yakni tidak bersedianya beliau untuk menshalati jenazah para pelaku korupsi. Semua itu tidak terlepas dari fungsi hadis sebagai aturan keberagamaan dan kehidupan modern setelah al-quran dalam menghindarkan diri dari segala bentuk kesesatan dan kerusakan demi terwujudnya tujuan nilai keberagamaan (maqâshid assyari’ah). Namun kenyataan yang harus diterima adalah bahwa kejadian dan gambaran diatas telah jauh dari peradaban saat ini atau tepatnya 15 abad yang lalu. Yang dengan perubahan dan perbedaan tersebut – baik diri sisi hukum, ekonomi, politik maupun budaya – hadis sebagai konsekuensi terhadap keyakinan 89
90
bahwa Muhammad adalah akhirul anbiya’ yang berarti ajarannya harus teraplikasi hingga akhir dunia nanti. Di sinilah fokus utama mengapa harus ada upaya kontekstualisasi terhadap hadis-hadis Muhammad. Sebagaimana halnya hadis-hadis korupsi yang banyak dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa segala peritiwa tersebut ada pada zaman Nabi. Yang kemudian harus tetap terjaga hingga saat ini maka kontekstualisasi bergulir pada hadis-hadis tersebut. Dimana beberapa hadis tersebut memang tak lagi mampu dan bisa terjadi seperti adanya jihad dengan peperangan (walaupun hal ini bisa saja dimunginkan) dan juga harta rampasan perang, ghanimah. Inilah bentuk kontestualisasi hadis-hadis korupsi yang secara ringkas bisa digambarkan –sebagai jawaban atas rumusan masalah yang ditujukan- sebagai berikut; pertama, mengungkap atau memaparkan hadis-hadis yang berkaitan dengan korupsi, berbagai tindakan, komentar dan hukumannya. Kedua, mengambil ruh, spirit moral dan etos tindakan yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut. Ketiga, mengungkap korupsi dan yang berkaitan dengannya saat ini. Keempat, memasukkan apa yang diambil dari hadis tersebut kedalam konteks korupsi saat ini dalam bentuk legitimasi atau respon nabi pada tindakan korupsi sebagai sarana menghidupkan ruh, spirit moral dan etos tindakan dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan kontekstualisasi inilah diharapkan bahwa hadis sebagai bagian dari sumber ajaran Islam tetap mampu menjadi penerang ditengah latennya budaya korupsi ini. Dimana tindakan korupsi ini menjadi biasa hingga pada diri setiap pelaku korupsi memiliki prinsip bahwa orang yang berada di sekelilingnya pun memiliki sikap dan niatan yang sama untuk berbuat korupsi. Bahkan ada pula
91
dari pelaku korupsi yang sudah ketahuan namun tetap bersuka ria tanpa rasa malu di depan masyarakat lain dengan membela dirinya. B.
Saran-saran Sebagai upaya pemberantasan korupsi dan juga syiar hadis sebagai sumber
ajaran Islam, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Dalam agama apapun korupsi adalah kesalahan dan tentu haram untuk dilakukan, tidak terkecuali Islam. Untuk itu kepada para cendekiawan muslim untuk kemudian memiliki spirit yang sama dalam pemberantasan korupsi dan berusaha menelurkan langkah-langkah kongkrit untuk menghentikan budaya korupsi. Setidaknya guna menghilangkan idiom bahwa perkembangan ritual keberagamaan ternyata tidak berpengaruh terhadap sedikit banyaknya korupsi dalam suatu negara, termasuk Indonesia. 2. Bagamanapun kontekstualisasi terhadap teks keagamaan adalah sebuah keharusan. Namun memang masih banyak yang perlu dikaji kembali guna menemukan nilai-nilai Islam yang lebih komprehensif dan dapat diterima oleh seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Tak terkecuali adalah hadis, karena sejatinya ia adalah gambarah hidup masa kenabian Muhammad sebagai era yang terbaik. Hal ini tidak lepas dari tuntutan perubahan zaman dan peradaban. Ini adalah tugas seluruh umat Islam, tak terkecuali UIN Sarif Hidayatullah yang diharapkan sebagai Mamba’ alUlûm al-Islamî khusunya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Tafsir-Hadis.
92
3. Besar harapan penulis untuk adanya penelitian yang lebih lanjut tentang skripsi ini guna mengembangkan wacana Hadis dari segi korupsi maupun dari segi kontekstualisasinya. Karena bagaimanapun skripsi ini pastilah jauh dari kesempurnaan. 4. Setidaknya yang kemudian menjadi pegangan dan benteng dalam membersihkan laten korupsi bagi mereka yang merasa memiliki kekuasaan dan wewenang apapun adalah untuk lebih memahami amanah yang seseorang emban, karena bagaimanapun setiap amanah akan ditanyai pertanggungjawabannya dan setiap pertanggungjawaban akan memiliki imbalan masing-masing sesuai perbuatannya.
93
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim Abu al-Husain Muslim al-Hajaj, Shahih Muslim, (Riyadh; Dar at-Thabi’ah, 2006) Abu Dawud, Sunan, (Aman; Dar al-A’alam, 2003) Aditjondro, George Junus. Membongkar Gurita CIkeas; Di Balik Skandal Bank Century, (Yogjakarta; Galang Press, 2009) Alatas, Syed Hussein. Korupsi Sebab, Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1997) Amin Rais, Komitmen Bersama Melawan Korupsi, Jurnal INOVASI, Universitas Negeri Yogyakarta No. 1 Th 2006 . Amir, Abdul Aziz. at-Ta’zir fi as-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1969) Anwar, Imam Basyari. Kamus Lengkap Indonesia-Arab, (Kediri; Lembaga Pondok Pesantren al-Basyari, 1987) Arifin, Jaenal dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001) Azami, M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub.( Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 2 th.2000) Baalbaki, Rohi. al-Mawrid: A Modern Arabic – English Dictionary, (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 2000) Bahansi, A.Fathi. al-Mas’uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1984) Al-Bukhari, Sahîh al-Musnad, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1988) 93
94
Djamin, Awaludin. Penyalahgunaan Aparatur Negara RI dalam Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti Polri 1999) Echols, Jhon M. dan Hasan Sadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet 26 2007 Fadli Noer, SBY Keseleo Soal Islam dan Demokrasi, oponi harian Kompas 27 Februai 2010 al-Ghazali, Muhammad. Terj. M. al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw. : antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung: Mizan, 1991) Hambal, Ahmad bin Musnad, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) Ibnu Majah, Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah, (Riyadh; Makatabah al-Ma’arif 1997) Ibrahim, M. Sa’ad. Orisinalisitas Dan Perubahan Dalam Ajaran Islam, Jurnal AtTahrir, Vol. 4 no. 2 Juli 2004 al-Iraqi, Ibn Manzur. Lisanul Arab, (Beirut:Darul Fikr, tt). al-Jauzi, Ibn al-Qayyim. at-Thuruq al-Hukmiyah fii as-Siyasah as-Syari’ah, (Kairo: Mathba’ah as-Sunnah al-Muhammaiyah, 1953) _______. Aunul ma’bud, Jil. 5, (Beirut:Darul Kutub al-Ilmi, tt). al-Jurnani, Ali Ibnu Muhammad. Kitab Ta’rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1978) Kusumah M.W, Tegaknya Supremasi Hukum, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2001). Mahalli, A Mujad. Asbabun Nuzul, (Jakarta:Rajawali Press, 1989)
95
Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK -Komisi Pemperantasan Korupsi- RI, tth). Mahfuz , “Takhrij Hadis Tentang Laknat Allah Bagi Pelaku Suap-Menyuap” Skripsi, 2006 Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah jakarta. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qaridunnur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta; Gaya Media Pratama, 1998) Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Muslim, Jami’u Sahîh, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003) Al-Nasa’I, Sunân, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tt) Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta:Dzikrul Hakim, 1997) Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perpektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2010) Paul, St. Blacks’ Law Dictionary , ed. 3, (Inggris:Mint West, 1968) Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) Qal’ah, Muhammad Rawwas. Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut: Dar Diyan atTurats, tt) al-Rau’f, Muhammad Abd. Al-Tauqif ‘ala Muhimmati al-Ta’rif, (Beirut: Dar alFikr, 1990) Rayyah, Abu. ‘Adwa’ al-khala al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Kairo; Dar alMa’arif, 1980)
96
Ridho, Yusuf Muhammad. Al-Kamel; France – Arabic Dictionary, (Libanon: Maktabah Libanon 1990) Rozi, Fakrur. Urgensi Hadis-Hadis Anti Korupsi dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Theologia, Vol.19, No. 2, Juli 2008 San’ani, Imam, Subulussalâm, (Riyad: Maktabah Nazr Mustafa al-Bar, 1995)
al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abi Daud, (Riyadh; Maktabah al-Ma’arif, 1434 H) Suprana, Jaya. Amin Rais, Pansus dan Kisah Nabi Isa, dalam kolom Kelirumonologi, harian Seputar Indonesia; 20 Februari 2010 Susetiawan, Harmoni, Stabilitas Politik, dan Kritik Sosial; Kritik Sosial Dalam Wacanana Pembangunan, (Yogjakarta; UII Press, 1997) Syah, Ismail Muhammad dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992) Al-Tirmizi, Sunân, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2002) Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Libraire du Liban, 1980) Wojowasito, S. dan W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung: Hasta, tth).
97
Lampiran 1 TABEL ; TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UU NO. 31 TH 1999 JO UU NO. 20 TH. 2001
Pelaku
Jenis perbuatan
Ancaman Pidana (Hukuman)
Perseorangan / korporasi
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/ orang lain/ korporasi yang dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara
Penjara Pasal 2 seumur hidup; penjara min 4 th max. 20 tah; denda min. rp. 200 juta max. 1 milyar
Perseorangan / korporasi
Menyalahgunaka n kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukan, untuk menguntungkan diri sendiri/ orang lain, yang dapat merugikan keuangan/
Penjara Pasal 3 seumur hidup; penjara min. 1 th max. 20 th; denda min. rp. 20 juta max. rp. 1 milyar
97
Dasar Hukum
Keterangan
Dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Keadaan tertentu yang memberatkan pidana yaitu apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan pada dana-dana bagi penanggulangan bahaya/ bencana, penanggulangan kerusuhan, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta penanggulangan korupsi
98
perekonomian negara Member atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/ penyelenggara negara supaya mau berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dalam jabatannya atau tidak dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. rp. 50 juta max. rp. 250 juta
Pasal 5 ayat 1
Pegawai negeri/penyelewen gan negara yang menerima pemberiaan/ janji juga pidana, dianggap menerima suap
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi keputusan perkara
Penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. rp. 150 juta max. rp. 750 juta
Pasal 6 ayat 1
Hakim yang menerima pemberian/ janji juga pidana, dianggap menerima suap
Pemborong/ ahli bangunan; penjual bahan bangunan
Melakukan atau menyerahkan bahan bangunan, secara curang, yang dapat membahayakan keamanan orang/ barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. rp. 100 juta max. rp. 350 juta
Pasal 7
Pengawas dan penerima bahan/ barang yang membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut juga pidana
Perseorangan / korporasi
Menyerahkan barang keperluan TNI atau POLRI, secara curang, yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang
99
Pegawai negeri
Menggelapkan uang atau surat berharga, atau membiarkan barang tersebut diambil/ digelapkan, atau membantu mengambil/ menggelapkan
Penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. rp. 150 juta max. rp. 750 juta
Pasal 8
Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi
Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. rp. 50 juta max. rp 250 juta
Pasal 9
Menggelapkan, menghancurkan, membiat tidak dapat dipakai/ merusak alat-alat bukti
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. rp. 100 juta max. rp 350 juta
Pasal 10
Menerima hadian atau janji karena kewenangan/ kekuasaan jabatannya
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. rp. 50 juta max. rp. 250 juta
Pasal 11
Menerima hadiah atau janji, suapaya
Penjara seumur hidup;
Pasal 12 a
Membiarkan atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan/ merusak alat bukti Pegawai negeri/ penyelenggar a negara;
Selain pegawai negeri juga dapat dipidana
Dianggap menerima suap
100
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kawajibannya
penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. 200 juta max. rp. 1 milyar
Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan jabatannya
Pasal 12 b
Hakim
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara
Pasal 12 c
Advokat
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi nasihat yang akan diberikan
Pasal 12 d
Pegawai negeri/ penyelenggar a negara
Menyalahgunaka n kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri/ orang lain (secara melawan hukum), memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan
Penjara Pasal 12 seumur e hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. 200 juta max. rp. 1 milyar
Dianggap menerima suap
101
sesuatu Meminta, menerima, memotong pembayaran seolah-olah merupakan utang
Perseorangan / korporasi
Meminta, menerima pekerjaan atau barang seolaholah hutang
Pasal 12 g
Menggunakan tanah negara (diatasnya ada hak pakai) seolah-olah sesuai peraturan perundangundangan padahal bertentangan, dan merugikan orang yang berhak
Pasal 12 h
Turut serta dalam pemborongan, perdagangan, atau persewaan padahal tugasnya mengawasi
Pasal 12 i
Dianggap menerima suap
Menerima gratifikasi karena jabatannya, yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya
Pasal 12 B
Dianggap menerima suap
Pasal 13
Dianggan menerima suap
Member hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatannya/ kedudukannya
Penjara max. 3 th; denda max. 150 juta
102
Curriculum Vitae
Nama
: Muhib Rosyidi
TTL
: Lamongan, 15 Agustus 1987
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Jl.Pendidikan 307 Rt/Rw 02/05 Blimbing kec. Paciran kab. Lamongan Jawa Timur
Alamat Sekarang
: Jl. Ibnu Sina II/36 Komplek Dosen UIN Jakarta Rt/Rw 01/06 Pisangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten
No. Telp/Hp
: 08568538518/ 08811263868
E-mail
:
[email protected]
Golongan Darah
:A
Motto Hidup
: Fastabiqul Khairat
PENDIDIKAN FORMAL o TK Aisiyah
Lamongan, 1991 – 1993
o MI Muhammadiyah 04 Blimbing
Lamongan, 1993 – 2000
o SMP Muhammadiyah 12 Sendang
Lamongan, 2000 – 2003
o MTS Al-Ishlah
Lamongan, 2000 – 2003
o MA Al-Ishlah
Lamongan, 2003 – 2006
o Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir-Hadis (2006 – 2010)
PENDIDIKAN NON FORMAL
Pelatihan Menejemen Organisasi IMM Cabang Ciputat 2007
Pelatihan Gender FaJAR & Aisiyah Cabang Ciputat 2007
Pelatihan ESQ Profesional Angkatan 4 Jakarta 2008
Pelatihan Leadership Forum Indonesia Muda FIM (Youth Indonesian Forum) angkatan 8 Padang Sumatra Barat 2010
PENGALAMAN ORGANISASI
Bendahara Umum OSIS SMP 12 Sendang 2002 - 2003
Ketua Bidang Keagamaan BESMA (Badan Eksekutif MA Al-Islhah) 2005 -2006
Ketua Umum OPPI(Organsasi Pondok Pesantren Al-Ishlah) 2005 -2006
Anggota Saka Bayangkara Polres Lamongan 2004-2005.
Ketua Asrama IMM Cabang Ciputat 2007 – 2008
Ketua Komisariat Ushuluddin dan Filsafat 2008 -2009
LO 2nd World Peace Forum Muhammadiyah – CDCC, Jakarta 2008
Sekertaris Menteri Kemahasiswaan BEM UIN Jakarta 2007-2008
Anggota Pimpinan Cabang IMM Ciputat 2008-2009
Ketua Bidang I (Keorganisasian) IMM Cabang Ciputat 2009 – 2010
Anggota FIM Forum Indonesia Muda (Youth Indonesian Forum) 2010 - sekarang
Relawan Gempa Padang-Sumatra Barat 2010