“KONSUMEN KRITIS”
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Nama : Slamet Hadi Prasetyo NIM : 11.11.4650 KELOMPOK : C JURUSAN : 11-S1.TI-01 DOSEN : Drs. Tahajudin Sudibyo
“KONSUMEN KRITIS”
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
2011/2012
Disusun oleh
Nama : Slamet Hadi Prasetyo NIM : 11.11.4650 KELOMPOK : C JURUSAN : 11-S1.TI-01 DOSEN : Drs. Tahajudin Sudibyo
A. Abstrak Pelaku usaha merupakan yang paling penting dalam berlangsungnya kegiatan ekonomi yang sehat dan aman, baik mengenai kualitas, mutu, bahan-bahan utama, serta bahan pelengkap barang/atau jasa. Evaluasi pascapembelian akan menjadi hal yang wajib dilakukan, pasalnya tidak semua konsumen akan menyampaikan keluhan maupun kritik dan saran. Buruk jika konsumen yang tidak puas langsung berpaling ke pelaku usaha lain, dan akan lebih buruk lagi jika konsumen tersebut mengajak rekan-rekannya untuk berpaling. Untuk itu pelaku usaha harus melakukan pemulihan/perbaikan dan sangat penting bagi pelaku usaha memahami enam buah dimensi respon organisasi yang dihipotesiskan mempengaruhi kepuasan menyeluruh dari konsumen yang mengeluh dan juga mempengaruhi aktivitas word-of-mouth serta keinginan untuk membeli ulang. Respon organisasi tersebut adalah timeliness(kecepatan merespon), apology(permintaan maaf), redress(perbaikan),
facilitation(pemfasilitasan),
credibility(kredibilitas),
dan
attentiveness(perhatian). Konsumen merupakan mata rantai terakhir dalam perekonomian, oleh karena itu barang/atau jasa yang diterima dari pelaku usaha haruslah baik. Dampak negatif akan ditanggung konsumen jika para pelaku usaha lalai untuk melindungi keamanan dan kesehatan konsumennya. Untuk itu sebagai konsumen yang baik hendaklah memahami hakhak konsumen, serta tujuan di buatnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen(UUPK). Negara telah mengatur dalam melakukan kegiatan perekonomian agar terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta Pancasila. Namun tidaklah cukup untuk menghindari ketidakadilan dalam perekonomian, perlu kesadaran dari kedua belah pihak dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen. Bahwa sebagai makhluk sosial tidak cukup hanya memuaskan kepentingan pribadi saja, perlu juga untuk menjaga kebaikan yang lain dalam bidang perekonomian maupun aspek kehidupan lainnya. Menjadi konsumen yang kritis rupanya menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan perekonomian yang baik. Keluhan, saran, kritik, maupun cacian dari konsumen yang kritis merupakan bentuk reaksi yang sebenarnya sangat positif bagi pelaku usaha. Karena dari itulah perbaikan untuk mencapai kepuasan konsumen akan terjadi, dengan tujuan mulia yaitu mensejahterakan masyarakat.
B. Latar belakang Seringkali kita mendapati konsumen menyia-nyiakan kesempatan menyampaikan keluhan, kritik, dan saran kepada pedagang/penjual/organisasi ketika mendapati produk barang/jasa yang ia terima tidak sesuai dengan harga yang ia bayar. Meskipun barang yang diterima benar wujudnya namun terkadang pelayanan, jumlah, ataupun takaran produk tersebut tidak memuaskan dan tidak sesuai dengan kesepakatan. Sebuah contoh kasus ketika pedagang tidak merasa bahwa ia telah curang karena tidak memenuhi syarat kelayakan pada timbangan yang ia gunakan, seringkali ia lalai untuk “ menera “ timbangan yang ia gunakan sehari-hari untuk melayani pelanggannya. Padahal jelas sekali hukumnya ketika seorang pedagang mengurangi jumlah atau takaran pada barang yang ia niagakan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Merupakan tanggung jawab sebagai pelaku bisnis(pedagang) untuk menjaga mutu serta kelayakan dari apa yang ia jual belikan, baik disadari maupun tidak disadari. Sangat disayangkan lagi ketika sang pembeli dengan santainya berkata “ Itu sudah biasa “, besar kemungkinan sang pedagang akan berkata “ Lha wong, yang beli juga oke-oke saja ”. Yang akan terjadi adalah tidak adanya kesadaran terhadap para pedagang untuk meningkatkan mutu dan kualitas barang dan jasa yang ia tawarkan, ketidakadilan terhadap konsumen terus terjadi dan akan cenderung meningkat. Kasus lain sudah lama terjadi namun baru di awal Oktober 2011 ini diungkap, penipuan terhadap pengguna telepon genggam. Dengan rayuan hadiah atau hal-hal yang seolah-olah menguntungkan bagi pengguna provider telepon genggam, tak sadar bahwa pulsa yang ia miliki telah berkurang dengan sendirinya tanpa penjelasan lengkap dari sang penyedia jasa melalui telepon genggam tersebut. Sudah bertahun-tahun lamanya kasus penipuan serta pengambilan pulsa oleh penyedia jasa lewat telepon genggam yang tanpa sosialisasi terlebih dahulu ini terjadi. Karena jumlah pulsa yang terpotong hanya bernilai uang lima digit kebawah para pengguna telepon genggam enggan untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang. Seandainya saja tidak ada laporan atas kejadian yang sudah termasuk kedalam tindak kriminal tersebut berlanjut, maka sesungguhnya kita telah jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Lebih berbahaya ketika barang yang kita beli adalah makanan, sementara banyak penjaja makanan yang kurang mengutamakan kesehatan pelanggannya. Bahan-bahan kimia banyak dipergunakan dalam mengolah makanan yang mereka produksi, beberapa diantaranya menggunakan melebihi batas aman konsumsi dan beberapa lagi menggunakan bahan kimia yang tidak seharusnya dipergunakan dalam mengolah makanan. Media telah banyak menginformasikan tentang bahan-bahan kimia yang berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan, para penjaja makanan pun ikut memberikan andil dalam memberikan rahasia dapur produksi mereka. Namun itu saja tidak cukup untuk memberikan rasa aman bagi konsumen, pemerintah melalui badan POM selalu menghimbau untuk waspada dalam memilih makanan untuk dikonsumsi. Karena dalam meraup keuntungan seringkali para pedagang masih memilih untuk mendapatkan untung lebih banyak tanpa mementingkan kesehatan pelanggannya. C. Rumusan masalah “Pekewuh” atau merasa tidak enak ketika ingin menyampaikan keluhan dengan alasan menghindari ketersinggungan sudah menjadi adat bagi orang jawa. Apakah hal ini baik? Tentu saja tidak, apalagi bila berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup seharihari. Ada saatnya sebagai konsumen harus menyampaikan apapun itu yang berkaitan dengan produk barang/jasa yang telah dibeli. Negara telah mengatur di dalam undang-undang perlindungan konsumen, mengenai hak-hak sebagai konsumen. Namun mengapa kasus-kasus seperti di jabarkan dalam latar belakang masih saja sering terjadi? Mungkinkah karena sumber daya manusia di Indonesia masih sangat rendah, atau mungkin juga karena pola pikir yang telah terbentuk pada masyarakat bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Terlepas dari semua pertanyaan-pertanyaan diatas, negara perlu lebih keras lagi untuk mensosialisasikan tentang hak-hak konsumen seperti yang tertuang dalam undangundang perlindungan konsumen. Melalui media-media yang saat ini mudah di akses oleh seluruh bangsa Indonesia, seperti televisi, radio, internet, surat kabar, serta berbagai bentuk media lainnya. Namun nampaknya semua tanggung jawab tentang perlindungan konsumen itu tidak begitu saja diserahkan semua kepada pemerintah. Sebagai warga negara yang baik
hendaknya ikut berpartisipasi untuk mensosialisasikan ini, agar tercapainya tujuan mulia bangsa Indonesia yang tertuang dalam sila-sila Pancasila. D. Pendekatan Perdagangan terjadi setelah di buatnya uang sebagai alat tukar, setelah sebelumnya manusia menggunakan sistem barter atau tukar menukar barang untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan kebutuhan. Pada jaman dahulu ketika sistem barter masih dipergunakan, tukar menukar barang sangat mementingkan kepuasan di antara para penukar barang. Namun tentu saja banyak kelemahan dengan sistem barter, maka dari itu dibuatlah alat penukar barang. Dalam perkembangannya alat tukar yang saat ini disebut uang, menjadi benda yang sangat berharga. Manusia sangat bergantung pada keberadaan uang, bisa dipastikan seseorang yang memiliki banyak uang akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dibandingkan dengan yang hanya memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali. Mulailah manusia untuk mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Beberapa orang tidak memiliki hati yang peka sehingga akhirnya menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, meskipun tidak sedikit pula yang menggunakan cara-cara yang bijak, baik, dan benar dalam memperoleh benda berharga bernama uang tersebut. Maka dari itu manusia sebagai konsumen haruslah selektif dalam membeli barang maupun jasa, dan jika kemudian mendapatkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan maka hendaklah menghadapinya dengan bijak. E. Pembahasan 1. Pelaku usaha Dalam undang-undang perlindungan konsumen yang dimaksud Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam melaksanakan kegiatannya pelaku usaha harus selalu melakukan evaluasi, terutama evaluasi setelah
konsumen
pascapembelian.
melakukan
pembelian
atau
disini
disebut
dengan
evaluasi
Hasil evaluasi pascapembelian adalah kepuasan atau ketidakpuasan. Oleh karena itu kepuasan dapat didefinisikan sebagai evaluasi pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi/melebihi harapan (Engel et.al., 1995, 210, jilid 2). Definisi ini didasari oleh model diskonfirmasi harapan dari Richard L. Oliver (Engel et.al., 210, jilid 2; Rust & Oliver, 1994). Adanya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap suatu produk/jasa akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya (Kotler, 2000). Apabila konsumen puas, kemungkinan besar dia akan membeli produk/jasa yang sama. Konsumen yang puas juga cenderung akan memberikan referensi (word of mouth) yang baik terhadap prospek (calon konsumen) yang dikenalnya.
Dan sebaliknya, konsumen yang tidak puas akan
mengembalikan produk, mengeluh, menceritakan pengalaman buruknya terhadap organisasi, atau secara ekstrim akan mengajukan gugatan terhadap organisasi. UU N0. 8/1999 tentang perlindungan konsumen (efektif sejak 20 April 2000) memungkinkan hal tersebut. Akan tetapi yang paling berbahaya adalah, konsumen “tidak” melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam mereka menghukum organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain. Organisasi yang mereka pandang akan memberikan kepuasan kepada mereka. Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya.
Dan
organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak puas (Kotler, 2000). Oleh karena itu apabila ada konsumen yang mengeluh, situasi ini memberi kesempatan kepada organisasi untuk melakukan pemulihan jasa (service recovery). Barlow (2000) menyatakan bahwa keluhan adalah hadiah dari pelanggan, bukan ancaman. Pada saat ini pemulihan jasa telah menjadi komponen utama dari keseluruhan pemberian jasa (overall service delivery). Konsumen yang mengeluh bisa berubah menjadi pelanggan yang loyal apabila organisasi dapat menangani keluhan tersebut dengan baik (Cannie, 1994). Respon organisasi tehadap keluhan akan dievalusi oleh pelanggan, hasilnya adalah kepuasan dan ketidakpuasan terhadap penanganan keluhan.
Dan kepuasan atau
ketidakpuasan tersebut akan dapat mempengaruhi keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (repurchase intentions).
Selain itu pengalaman pelanggan dalam
mengadopsi produk mungkin akan diceriterakan kepada orang lain (word-of-mouth likelihood). Dan isi ceritera tersebut bisa bersifat positif atau negatif (word-of-mouth
valence). Dan aktivitas word-of-mouth tersebut akan mempengaruhi keinginan pelanggan untuk membeli ulang, sebab komitmen pelanggan tersebut akan mempengaruhi sikapnya di masa yang akan datang (Cialdini, 1993). Oleh karena itu penelitian mengenai pengaruh respon organisasi terhadap sikap konsumen pascakonsumsi akan menghasilkan suatu pengetahuan yang lebih baik terhadap apa yang diinginkan dan diharapkan oleh konsumen. Terlebih lagi studi terhadap topik ini masih sangat terbatas (Davidow, 2000). Ada enam buah dimensi respon organisasi yang dihipotesiskan mempengaruhi kepuasan menyeluruh dari konsumen yang mengeluh dan juga mempengaruhi aktivitas word-of-mouth serta keinginan untuk membeli ulang. Respon organisasi tersebut adalah timeliness, apology, redress, facilitation, credibility, dan attentiveness. a. Kecepatan Merespon (Timeliness) Konsumen yang mengeluh mengevaluasi respon organisasi berdasarkan kecepatan organisasi dalam merespon keluhan mereka. Conlon dan Murray (Davidow, 2000) melaporkan bahwa kecepatan respon memiliki hubungan positif dengan keinginan untuk membeli ulang. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Technical Assistance Research Program (TARP, 1986) menemukan bahwa kecepatan respon berpengaruh pada kepuasan pelanggan. J.L. Martin juga memperlihatkan bahwa kecepatan respon juga berpengaruh pada turunnya jumlah word-of-mouth yang negatif (Davidow, 2000). b. Permintaan Maaf (Apology) Konsumen mengharapkan permintaan maaf dan hal ini seharusnya selalu dilakukan apabila pelanggan mengeluh (Jenks, 1993). Permintaan maat dapat dipertimbangkan sebagai kompensasi psikologis terhadap pelanggan. Menurut Goodman, Malech, dan Boyd (1987), permintaan maaf bukanlah suatu ungkapan bahwa organisasi telah bersalah, tetapi lebih sebagai sebuah indikasi bahwa organisasi memperhatikan keluhan konsumen secara serius dan akan menangani keluhan tersebut sebaik-baiknya. Ketidakpuasan dapat disebabkan oleh sesuatu yang bersifat psikologis sebagaimana ketidakpuasan juga dapat disebabkan oleh sesuatu yang bersifat fisik.
Dengan demikian konsumen bisa merasa
rugi/menderita karena sebab yang bersifat psikologis, seperti halnya kerugian yang sifatnya finansial (Andreasen, 1988). Barlow (2000) mengatakan bahwa
kerugian psikologis tersebut akan lebih terekam dalam ingatan konsumen dari pada kerugian finansial. Oleh karena itu permintaan maaf seharusnya lebih dipikirkan sebagai kompensasi psikologis yang dapat membantu konsumen memperbaiki keseimbangan. Keseimbangan antara perasaan merasa menderita dengan kompensasi yang sepadan. c. Perbaikan (Redress) Salah satu respon yang diharapkan konsumen ketika mereka memiliki masalah adalah perbaikan/penggantian yang adil. Hal ini berhubungan dengan “actual outcome” yang diterima oleh pelanggan dari organisasi. Dengan demikian konsumen yang mengeluh akan mengevaluasi tanggapan organisasi berdasarkan perbandingan antara “actual outcome” yang diterima dengan masalah yang muncul/dihadapi. Dengan demikian, tanggapan konsumen yang mengeluh merupakan suatu analisis “biaya/manfaat” (Day, 1984). Ketika menentukan tipe dari kompensasi, perlu diingat bahwa tidak semua biaya adalah “physical costs”, ada biaya-biaya yang lain, misalnya: biaya ekonomi dan biaya sosial. Gilly dan Gelb (1982) melaporkan adanya hubungan yang positif antara perbaikan dengan kepuasan-penanganan-keluhan.
Sementara
Conlon
dan
Muray
(1996)
memperlihatkan bahwa perbaikan memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan dankeinginan untuk membeli ulangs. Blodgett, Wakefield, dan Barness (1985) menemukan bahwa level perbaikan yang lebih tinggi dapat mengurangi aktivitas negatif word-of-mouth. d. Pemfasilitasan (Facilitation) Dimensi ini merujuk kepada kebijakan, prosedur, dan “tools” yang digunakan organisasi untuk mendukung keluhan pelanggan. Pemfasilitasan akan membuat keluhan pelanggan didengar oleh organisasi, tetapi tidak menjamin munculnya sebuah tanggapan yang menyenangkan (favorable) bagi konsumen yang mengeluh. Organisasi mempunyai kesempatan yang lebih baik agar konsumen tetap
setia
dengan
cara
memberi
semangat
kepada
mereka
untuk
mengekspresikan keluhan mereka sehingga organisasi memiliki kesempatan untuk melakukan recovery. Hal ini lebih baik dari pada mengasumsikan bahwa konsumen tidak mengeluh dan sudah puas (Spreng, Harreel, & Mackoy, 1995). Telepon “toll-free”, garansi, prosedur keluhan yang tidak menjengkelkan adalah
contoh beberapa cara yang dapat membuat konsumen berani untuk mengekspresikan keluhannya.
Semakin positif persepsi pelanggan pada
ketanggapan (responsiveness) organisasi terhadap keluhan, makin besar kemungkinan Pemfasilitasan
seorang memiliki
konsumen hubungan
berani positif
mengekspresikan dengan
keluhannya.
kepuasan
terhadap
penanganan keluhan (Goodwin & Ross, 1992) dan dengan keinginan untuk melakukan pembelian ulang (Fornel & Wernerfelt, 1988).
Selain itu
pemfasilitasan juga mengurangi aktivitas word-of-mouth negatif.
e. Kredibilitas (Credibility) Kredibilitas merujuk kepada keinginan organisasi untuk menyikapi bahwa konsumen telah mendapat masalah. Organisasi dievaluasi tidak hanya oleh tanggapan organisasi terhadap keluhan tetapi juga penjelasan/perhitungan mengenai masalah yang telah dihadapi konsumen dan juga apa yang akan dilakukan organisasi untuk mencegah agar kejadian yang sama tidak terjadi di masa depan (Morris, 1988). Menurut Lewis (dalam Davidow, 2000) tindakan yang diambil untuk memperbaiki masalah berkorelasi tinggi dengan keinginan untuk membeli ulang.
Kredibilitas mempunyai dampak positif terhadap
kepuasan pada penangan keluhan (Davidow. 2000). Sementara Conlon dan Muray (1996) melaporkan bahwa kredibilitas memiliki dampak positif terhadap kepuasan penangan keluhan dan keinginan membeli ulang. Lewis (dalam Davidow, 2000) memperlihatkan bahwa kredibilitas dapat menurunkan aktivitas word-of-mouth.
f. Perhatian (Attentiveness) Perhatian merujuk pada interaksi antara wakil organisasi dengan konsumen yang mengeluh.
Perhatian merupakan sebuah dimensi yang komples karena
tergantung pada kepercayaan pada orang, bukan kepercayaan pada prosedur. Komunikasi antara konsumen dengan organisasi merupakan sebuah konstruksi kunci pda kebanyakan situasi manajemen keluhan. Dan interaksi antara wakil organisasi dengan konsumen yang mengeluh dapat meningkatkan/mengurangi kepuasan konsumen (Davidow, 2000). Contoh isi dari dimensi ini adalah:
perhatian dan penghormatan terhadap konsumen yang mengeluh,), empati pada situasi
yang
dihadapi
konsumen
yang
mengeluh,
keinginan
untuk
mendengarkan, dan usaha-usaha ekstra yang dilakukan wakil organisasi (Davidow, 2000). Usaha ekstra tersebut merupakan pernyataan kuat pada konsumen bahwa wakil organisasi ingin menolong pelanggan (Davidow, 2000). Interaksi
antara
pekerja
jasa
dengan
konsumen
dapat
membangun/menghancurkan pengalaman-pengalaman jasa (service experience) yang dialami konsumen (Testa, et.al., 1998). Dengan demikian perhatian harus difokuskan pada interaksi antara wakil organisasi dengan konsumen yang mengeluh. Wakil organisasi adalah seharusnya adalah orang yang kompeten dan mendapat pelatihan yang memadai untuk menangani keluhan pelanggan (Barlow, 2000). Goodwin dan Ross (1989) melaporkan bahwa perhatian memiliki efek positif terhadap kepuasan penanganan keluhan dan keinginan untuk membeli ulang. Selain itu perhatian juga dapat menurunkan aktivitas word-ofmouth serta menaikkan keinginan untuk membeli ulang (Davidow, 2000). 2. konsumen Dalam undang-undang perlindungan konsumen, yang dimaksud Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen berada pada mata rantai terakhir dari perdagangan, oleh karena itu baik buruknya suatu barang/jasa akan ditanggung oleh konsumen. Maka sangat penting menjadi konsumen yang kritis baik mengenai harga, kualitas, mutu, serta kehalalan bagi yang muslim. Di dalam undang-undang perlindungan konsumen juga tertulis bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Apabila sebagai konsumen telah mendapati yang tidak sesuai dengan asas tersebut di atas, maka konsumen perlu mengetahui hak-hak sebagai konsumen. Hak konsumen menurut undang-undang perlindungan konsumen antara lain: a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak –hak konsumen diatas merupakan salah satu perwujudan dan bagian dari hak asasi manusia, bahwa konsumen tidak dapat dijauhkan dengan hak-hak asasinya karena konsumen juga manusia.Hak azasi manusia adalah hak dan kebebasan dasar yang dimiliki setiap orang. Contoh hak dan kebebasan ini adalah hak sebagai warga negara dan hak politik, hak untuk hidup dan bebas dari penindasan, hak untuk bebas menyampaikan pendapat, serta kesetaraan hak di depan hukum. Hak ekonomi, sosial dan budaya termasuk hak untuk ikut berperan serta dalam budaya, hak untuk memperoleh makanan, hak untuk bekerja dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Ada hak azasi lain yang juga penting seperti hak atas lingkungan hidup yang baik atau sebagai bagian dari hak ekonomi, hak untuk berpartisipasi dalam mengatur pola pengelolaan SDA. “Semua orang lahir bebas dan setara dalam kedudukan dan hak. Mereka punya akal dan ahlak/kesadaran dan harus berinteraksi dengan sesama dalam jiwa persaudaraan. (All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood).”(Bukan hanya laba, Godwin Limberg Ramses dkk.,29,2009). Namun kenyataan yang ada pada masyarakat Indonesia saat ini adalah cenderung acuh, akan kesadaran untuk menyampaikan keluhan, sarana atau apapun itu yang
berhubungan dengan aktifitas ekonomi. Untuk itu negara membentuk undang-undang perlindungan konsumen dengan tujuan seperti yang terdapat dalam rumusan konsiderans UUPK(undang-undang perlindungan konsumen), yaitu : a) Mewujudkan demokrasi ekonomi; b) Mendorong diversifikasi produk barang dan/atau jasa sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era globalisasi serta menjamin ketersediaannya; c) Globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat luas serta kepastian mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa; d) Peningkatan harkat dan martabat konsumen melalui hukum untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu perekonomian yang sehat.
Meninjau dari uraian tentang hak-hak serta tujuan yang tercantum dalam UUPK, maka sebagai tindak lanjut atas ketidakadilan yang diterima konsumen adalah menyampaikan keluhan, saran kritik kepada pelaku usaha. Dengan demikian tidak ada kesalahpahaman yang berlanjut. Hal ini juga dimaksudkan agar sebagai konsumen yang bijaksana dapat memilih barang/jasa yang akan dibelinya. Badan POM telah membuka web di www.POM.com dengan maksud menjalin hubungan yang baik antara warga Indonesia dalam hal ini yang dimaksud adalah konsumen. Berbagai aturan, serta pengetahuan tentang bahan-bahan makanan yang tidak baik dikonsumsi secara berlebihan terlampir dalam web tersebut. Meskipun demikian tentu saja belum cukup untuk mencegah dan membersihkan makanan siap saji yang jumlah dan jenisnya tidak sedikit bebas dari bahan-bahan berbahaya. Sosialisasi tentang bahaya bahan-bahan makanan berbahaya harus di adakan secara terus menerus, bukan dengan maksud untuk menghancurkan para pengusaha makanan, namun lebih mengedepankan kesehatan masyarakat sebagai konsumen. Kesadaran konsumen sendiri pun ternyata butuh perhatian lebih dalam lagi, pasalnya meskipun konsumen telah banyak mengerti tentang zat-zat berbahaya juga ciri-ciri makanan yang tidak layak konsumsi pun masih banyak yang tetap acuh dan tetap saja tidak peduli akan kesehatan diri sendiri. Ironis tetapi memang benar terjadi, sebagian beralasan karena tak ada makanan pengganti lain yang sama enak rasanya. Sebagian lagi karena faktor ekonomi yang lemah,
sehingga tidak memungkinkan baginya untuk membeli yang lebih aman dan sehat. Lalu pada akhirnya mereka yang tidak peduli ini akan menyalahkan ke pihak penjual bahkan pemerintah sebagai pengawas. Kepribadian, pola pikir, serta adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya sangat mempengaruhi akibat seperti kerugian yang diterima konsumen namun tidak ada tindak lanjut lebih dalam terhadap penyelesaian kasus-kasus tersebut. Sementara pemerintah dengan dibantu media telah berusaha dengan segala cara mengajarkan nilainilai yang baik dalam menjalankan perekonomian. Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha esa(sila pertama Pancasila) sebenarnya telah mengajarkan masyarakt Indonesia untuk berbuat baik dalam segala hal, termasuk pula dalam kegiatan perekonoian. Ada timbal balik yang baik antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan salah satu tujuan utamanya. Dengan demikian terwujudlah kemanusiaan yang adil dan beradab(sila kedua), agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur sesuai yang tertera dalam Pancasila sila keempat.
F. Kesimpulan dan saran Masyarakat yang bermartabat adalah yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, untuk kemudian di wujudkan kedalam setiap aspek kehidupan. Sebagai pelaku usaha yang baik hendaklah menjaga konsumen sebagai pelanggannya, dari kualitas barang/jasa yang menjadi komoditasnya, sampai kesehatan dan keamanan konsumen. Konsumen yang bijaksana adalah konsumen yang kritis, tehadap barang/jasa yang akan dibeli untuk kemudian akan di gunakan sebagai pemenuh kebutuhan. Kritis dalam memilih kualitas, mutu, serta juga mementingkan keamanan serta kesehatan diri sendiri. Kesadaran yang tinggi akan kesehatan serta keamanan konsumen, bukan hanya tanggung jawab negara maupun pelaku usaha tetapi juga tanggung jawab diri sendiri sebagai konsumen. Sebagai warga negara yang baik, saling memberikan info terhadap sesama konsumen terhadap barang/jasa yang tidak layak atau tidak baik adalah sangat penting. Karena sebagai makhluk sosial lah manusia akhirnya mendapatkan tanggung jawab ini.
G. Referensi 1. Darus, Mariam. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta, 1980. 2. Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. 3. Limberg, Godwin., Ramses Iwan, Moira Moeliono, Yayan Indriatmo, Agus Mulyana dan Nugroho Adi Utomo. Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009. 4. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. 5. Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. 6. Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, Yogyakarta: Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009. 7. Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Tarawang Pers, 2001. 8. Patrick,
Purwahid,
Dasar-Dasar
Hukum
Perikatan
(Perikatan
yang
dariPerjanjian dan Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994. 9. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta, Grasindo: 2000. 10. Udang-Undang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia no 8, 1999.
Lahir