KONSEP SYARIAH DALAM MENGELOLA BISNIS PERTANIAN
Makalah
Diajukan sebagai Pengganti Ujian Akhir Ekonomi Manajerial Syariah (EMS)
Dosen : Dr. Yulizar D. Sanrego.
Disusun oleh: Fajar Adi (NPM : P.056132123-14EK)
Magister Manajemen Syariah Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor Februari 2014
I.
1.1.
Pendahuluan
Latar Belakang Indonesia memiliki potensi ekonomi dari bidang pertanian yang sangat
besar. Hal ini karena Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng dan iklim), dari 188,2 juta hektar total daratan Indonesia, lahan yang sesuai untuk pertanian adalah seluas 100,7 juta hektar, yaitu 24,5 juta hektar sesuai untuk lahan basah (sawah), 25,3 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman semusim, dan 50,9 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Namun, potensi yang besar tersebut tidak dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sebagai negara agraris, Indonesia mengimport beras, sayur-sayuran dan buah-buahan dalam jumlah yang sangat besar. Pada tahun 2011, Indonesia mengimpor beras sebanyak 800.000 ton (bisniskeuangan.kompas.com, 2014). Untuk sayur-sayuran, tahun 2010 Indonesia mengimpor tomat sebanyak 10.429 ton, bawang merah 64.247 ton, bawang putih 367.007 ton, cabe 18.358 ton dan kentang 50.384 ton dan sayuran lainnya mencapai 266.436 ton (bisniskeuangan.kompas.com, 2014). Untuk impor buahbuahan, pada tahun 2010 mencapai 601.965 ton dengan nilai 591,68 juta dolar AS (Medanbisnisdaily.com, 2014). Hal tersebut diperparah dengan kondisi semakin menurunnya minat untuk bertani di Indonesia. Jumlah petani pada 2011 turun 2,16 juta orang dan bila dilihat usia petani saat ini sudah didominasi dengan rentang usia 55-60 tahun (Bisnis.com, 2014). Dari data tersebut kondisi pertanian sangat mengkhwatirkan dan perlu adanya para penerus atau regenerasi. Tetapi pada saat sekarang ini sudah sangat sedikit para pemuda yang memilih bidang pertanian sebagai sumber mata pencaharian mereka (Maheka, 2011). Balitbang Pertanian dalam Bachrein (2006) mengatakan bahwa usaha tani haruslah dipandang sebagai suatu komersial yang otonom, berorientasi pasar dan bertujuan untuk meraih hasil usaha (laba). Oleh karena itu, petani adalah Manajer yang bebas dalam mengelola usaha taninya.
1
Menurut Sørensen et al (2010), manajer pertanian haruslah dapat mengelola keuangan, memesan input produksi, mengelola pembayaran gaji/upah para staf/operator, dan mengelola peralatan dan lahan agar dapat memproduksi produk pertanian dan menjualnya ke konsumen. Dalam diagram dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Situasi saat ini dilihat dari sudut pandang manajer pertanian dan aktivitas sistem pertanian untuk produksi tanaman. (Sumber : Sørensen et al., 2010 : p. 43)
Dari Gambar 1. diatas dapat dilihat bahwa manajer pertanian harus menjalankan konsep manajemen bisnis dalam mengelola bisnis pertanian. Febianto (2010) mengatakan bahwa dalam setiap kegiatan proses manajemen bisnis, ada beberapa aspek Syariah yang harus diperhatikan. Kegiatan-kegiatan yang meliputi: Keuangan, Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Manajemen Operasi, harus mengikuti aturan Syariah, disebut Fiqh Muamalah.
2
Lebih lanjut Febianto (2010) menyebutkan bahwa Fiqh Muamalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia dan semua tindakan mereka dan interkoneksi (kegiatan apa pun diizinkan kecuali ada ketentuan yang melarangnya). Senada dengan pendapat tersebut, Muhammad (2009) dalam penelitiannya yang berjudul ”Label Halal dan Spritualitas Bisnis” menyimpulkan bahwa nilai fundamental dalam bisnis yang sering terabaikan adalah nilai spiritual. Lantaran pelaku bisnis terjebak pada adigium, bahwa wilayah bisnis dan agama adalah wilayah yang berbeda. Demikian juga dengan bisnis pertanian, merupakan suatu usaha yang tidak lepas dari etika dan moral bisnis. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian yang lebih spesifik tentang konsep Islam (syariah) dalam mengelola bisnis pertanian. Sehingga berdasarkan berbagai uraian diatas, maka disusunlah makalah ini dengan judul : ”Konsep Syariah Dalam Mengelola Bisnis Pertanian”.
1.2.
Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa saja konsep syariah yang dapat
digunakan dalam mengelola bisnis pertanian, di lihat dari aspek-aspek fungsi manajemen bisnis, yaitu aspek keuangan, pekerja (SDM) dan produksi.
1.3.
Ruang Lingkup Penulisan Tulisan ini dibatasi dengan ruang lingkup sebagai berikut : 1. Aspek-aspek fungsi manajemen bisnis dibatasi hanya pada pengelolaan keuangan, pekerja (SDM) dan produksi dan dikaji secara spesifik dengan konsep syariah. 2. Aspek pemasaran tidak dikaji dalam tulisan ini, karena secara spesifik pemasaran syariah merupakan isu yang sedang berkembang saat ini dan sesuatu yang menarik dikaji secara khusus. 3. Pada aspek pengelolaan keuangan dengan konsep syariah, dibatasi hanya pada proses untuk mendapatkan pembiayaan usaha.
3
II.
2.1.
Tinjauan Pustaka
Konsep Syariah Istilah ”Syariah” digunakan untuk menunjukkan penggunaan sistem Islami
dalam melakukan aktivitas ekonomi. Pemberian label “Syariah” pada suatu entitas bisnis, bukan hanya sekedar klaim pihak pengelola semata, karena “Syariah” oleh para ahli hukum Islam, diartikan sebagai “seperangkat peraturan atau ketentuan dari Allah untuk manusia yang disampaikan melalui Rasul-Nya” (Al-Sahdili dalam P3EI UII, 2013). Bisnis yang didirikan sesuai syar‟i bertujuan untuk mencapai Falah sebagai tujuan hidup setiap insan Muslim. Sehingga dalam berbagai aktivitas pengelolaan bisnis secara Syariah tidak hanya memandang aspek materil, namun justru lebih ditekankan pada aspek spiritual. Dalam konteks duniawi, Falah merupakan konsep yang multi dimensi dan memiliki implikasi pada aspek perilaku individual atau mikro dan perilaku kolektif atau makro (Khan dalam P3EI UII, 2013). Maslahah merupakan tujuan antara untuk mencapai Falah. Menurut P3EI UII (2013) Mashlahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Menurut As-Syatibi dalam P3EI UII (2013), mashlahah dasar kehidupan manusia terdiri dari 5 (lima) hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual („aql), keluarga dan keturunan (nash) dan harta (maal).
2.2.
Konsep Syariah Dalam Mengelola Bisnis Febianto (2010) menyimpulkan bahwa bisnis Islam dapat didefinisikan
sebagai segala macam kegiatan bisnis yang tidak terbatas (dalam hal kuantitas) kepemilikan barang atau jasa termasuk keuntungan, tetapi dapat terbatas dalam hal cara mendapatkan dan cara penggunaan (sesuai dengan hukum Syariah Islam). Bisnis Islam yang dikendalikan oleh hukum Syariah cukup jauh berbeda dengan bisnis non-Islam, dalam hal cara untuk mendapatkan kekayaan dan bagaimana menggunakannya.
4
Antonio (2007) mengatakan bahwa Rasulullah SAW merupakan seorang pelaku bisnis yang sangat berhasil di zamannya. Ada dua prinsip utama yang patut dicontoh dari perjalanan bisnis beliau. Pertama, ternyata uang bukanlah modal utama dalam berbisnis. Kedua, modal utama dalam usaha adalah membangun kepercayaan dan dapat dipercaya (al-amin).
2.3.
Bisnis Pertanian Pertanian mempunyai arti yang strategis dalam perekonomian nasional,
karena menyediakan kebutuhan paling esensial bagi kehidupan ialah bahan pangan (Purwanto et al, 2010). Sedangkan wirausaha adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk mengadakan produk baru, mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Sembara, 2009). Safarudin dan Faizaty (2010) menuturkan bahwa kewirausahaan juga diharapkan tidak hanya mampu memanfaatkan keberadaan sumber daya yang ada di sektor pertanian, namun juga mampu memberikan nilai tambah (value added). Kewirausahaan berbasis pertanian inilah yang disebut Agricultural Entrepreneur. Menurut Herman et al. (2008), sektor pertanian hingga kini masih menjadi andalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walaupun terjadi krisis ekonomi, sektor pertanian telah terbukti menunjukkan pertumbuhan yang positif dibanding sektor yang lain. Oleh karena itu, sektor pertanian tetap menjanjikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama para petani.
5
III.
3.1.
Pembahasan
Konsep Syariah Islam dalam mengelola Keuangan pada Bisnis Pertanian Dalam mengelola keuangan, secara sederhana adalah bagaimana
mengelola dana yang masuk dan dana yang akan digunakan. Untuk mengelola dana yang akan masuk, tidak terlepas dari pembiayaan dari pihak luar. Menurut Beik dan Hafiduddin (2008) salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh sektor pertanian di Indonesia, bila ditinjau dari kegiatan manajemen keuangan yaitu ketersediaan kredit (pembiayaan). Salah satu akad yang dapat digunakan untuk pembiayaan sektor pertanian adalah akad salam. Menurut Sabiq (2009), Bai‟ Salam merupakan bentuk jual beli sesuatu dalam tanggungan yang dijelaskan dengan harga yang dibayar dimuka. Ulama fiqh menyebutnya dengan istilah bai‟u al-mahâwij, karena Bai‟ Salam termasuk jenis jual beli yang tidak nyata dan atas dasar tuntutan kebutuhan orang yang bertransaksi. Bagi yang memiliki uang, dia membutuhkan pembelian barang. Sementara orang yang memiliki barang, dia membutuhkan uang sebelum barang tersebut ada ditangannya, untuk dibelanjakannya baik untuk dirinya sendiri dan bagi tanamannya sampai panen. Untuk orang yang membeli disebut muslim atau rabbu as-silm. Sementara pembeli disebut muslam ilaih. Barang yang dijual dinamakan muslam fûh. Dan, alat penukarnya disebut dengan ra‟su as-salam. Lebih lanjut Sabiq (2009) menyatakan bahwa pemberlakuan salam didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan ijma’.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] Ayat 282 :
Artinya : ”Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang hendak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
6
Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda : ”Barangsiapa melakukan salaf, hendaknya dia melakukannya dengan takaran tertentu, dan batas waktu yang diketahui”. Menurut Kaleem (2008) kontrak Bai‟ Salam sepenuhnya telah dapat
diterima oleh perbankan modern. Masalah dapat diselesaikan melalui kontrak Salam paralel dimana bank masuk ke dalam dua kontrak yang terpisah - pertama dengan penjual dan kedua dengan pembeli komoditas. Kerjanya sebagai penengah antara kedua pihak. Satu-satunya syarat adalah bahwa kontrak-kontrak dengan kedua pihak harus sepenuhnya independen satu sama lain. Kaleem (2008) mengusulkan 2 (dua) model dari salam untuk pembiayaan sektor pertanian dibawah perbankan Islam (syariah), yaitu: 1. Model 1. Bank Islam menunjuk perantara (middleman) sebagai agen dari pihak bank. Perantara mengidentifikasi petani potensial dari daerahnya. Pinjaman tersebut hanya diberikan kepada petani apabila ada rekomendasi dan jaminan pribadi dari pihak perantara. Bank memberikan kredit langsung ke petani dan juga mengembangkan sistem umpan balik langsung untuk memantau tanaman. Bank juga dapat menuntut jaminan pribadi dari para petani (bila diperlukan). Pada waktu panen, perantara juga bertanggung jawab untuk mengumpulkan tanaman dari petani, menjual di pasar dan mengembalikan saham bank sebagai perjanjian. 2. Model 2. Bank Islam dan pabrik (penggilingan) melakukan akad Deminishing
Musyarakah.
Kemudian
pabrik
(penggilingan)
mengidentifikasi petani potensial dilingkungan mereka dan memberikan merekomendasikan kepada petani agar mendapatkan pinjaman dari bank. Bank memberikan kredit langsung ke petani dan juga mengembangkan sistem umpan balik langsung untuk memantau tanaman. Bank juga dapat menuntut jaminan pribadi dari para petani (bila diperlukan) dan juga bertanggung jawab untuk mengangkut hasil panen ke pabrik. Setelah hasil panen telah diterima oleh bank-pabrik maka pabrik akan memberikan pembagian hasil kepada bank sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah diperjanjikan.
7
Gambar 2.a. Model 1 Skema Salam.
Gambar 2.b. Model 2 Skema Salam.
(Sumber : Kaleem, 2008 : p.13)
(Sumber : Kaleem, 2008 : p.14)
Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang JUAL BELI SALAM adalah sebagai berikut: Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran: 1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Kedua : Ketentuan tentang Barang: 1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3. Penyerahannya dilakukan kemudian. 4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
8
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel: Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya: 1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. 2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. 3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon). 4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga. 5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki 2 (dua) pilihan yaitu : (a) membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya, dan (b) menunggu sampai barang tersedia. Kelima : Pembatalan Kontrak: Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak. Keenam : Perselisihan: Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.2.
Konsep Syariah Islam dalam Mengelola Pekerja pada Bisnis Pertanian Aqd al-ijarah adalah prinsip syariah Islam untuk kontrak kerja pribadi
(Azid, 2008). Sabiq (2009) menyebutkan bahwa kata ijarah berasal dari kata ajr yang berarti imbalan. Dalam syariat, yang dimaksud dengan ijarah adalah akad untuk mendapatkan manfaat sebagai imbalan. Ijarah (penyewaan) disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ ulama.
9
Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf [43] Ayat : 32
Artinya : ”apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang
lain
beberapa
derajat,
agar
sebahagian
mereka
dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Hadits, Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda : ”Berilah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering”.
Ijma’ para ulama, atas diberlakukannya penyewaan ini, seluruh umat sudah sepakat. Dan jika ada ulama yang mengingkarinya, maka hal itu tidak memiliki dasar. Jalil dan Sabri (2007) menyatakan bahwa Mugharasah (berbagi-tanam),
ini adalah jenis kemitraan pertanian dimana tanah dan tanaman disumbangkan oleh satu pihak dan pekerjaan penanaman disediakan oleh pihak lain. Menurut AAOFI, Usmani dalam Jalil dan Sabri (2007) ’joint commercial enterprise‟ ('patungan perusahaan komersial') atau kesepakatan bersama oleh dua atau lebih orang untuk berkontribusi pada modal kemitraan dan berbagi dalam keuntungan atau kerugian (profit or loss) merupakan kontrak kemitraan (contract partnership).
10
3.3
Konsep Syariah Islam dalam Mengelola Produksi pada Bisnis Pertanian Heizer dan Render (2008) menyatakan bahwa Manajemen Operasi
(produksi) merupakan sekumpulan aktivitas yang menciptakan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output. Konsep syariah dalam mengelola input dalam bisnis pertanian, yaitu : 1. Pupuk Ada dua pilihan untuk mengelola input berupa pupuk dalam pertanian, yaitu pertanian dengan menggunakan pupuk organik dan pupuk anorganik. Scialabba dan Hattam (2003) menyebutkan bahwa pertanian organik
(organic
agriculture)
didefinisikan
sebagai
proses
yang
menggunakan metode yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dari tahapan produksi pertanian. Oleh karena itu, konsep syariah sangat diperhatikan dalam pertanian organik ini, karena sangat memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Allah SWT. menciptakan bumi dan seisinya mempunyai suatu tujuan tertentu. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ad-Dukhan [44] Ayat 38-39 :
Artinya : “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (38); Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (39)”.
2. Alat-alat Pertanian (Equipment) Bai‟ al-murabahah merupakan jual beli dengan harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang diketahui (Sabiq, 2009). Jadi alat-alat pertanian oleh petani dibeli melalui lembaga keuangan syariah dengan aqd bai‟ al-murabahah. Omar dan Iqbal dalam Kholis (2008) menemukan bahwa salah satu aplikasi keuangan syariah yang paling poluler adalah murabahah. Tamkin dalam Kholis (2008) menjelaskan bahwa dalam
11
literatur fiqh, legalitas bai‟ al-murabahah tidak dipertanyakan lagi oleh para ahli hukum. Sedangkan konsep syariah Islam untuk penyewaan alat pertanian adalah ijarah. Menurut Bakhtiari (2009), ijarah be sharte tamlik (lease purchase) adalah mode pembiayaan dari perbankan syariah dengan membeli properti atau aset lain yang dibutuhkan oleh perusahaan (pengusaha) dan menyewakan aset tersebut kepada mereka. Harga dari aset ditentukan pada dasar cost-plus. Jadi dengan aqd al-ijarah be sharte tamlik, petani dapat menyewa alat pertanian dari lembaga keuangan syariah, dengan janji dari pihak penyewa (lembaga keuangan syariah) bahwa aset (alat pertanian) tersebut dapat ditransfer kepemilikannya dari pihak yang menyewakan kepada penyewa (petani), dengan syarat masingmasing aqd harus independen. 3. Lahan Pertanian (Field) Sabiq
(2009)
menyatakan
bahwa,
dalam
konsep
Islam,
menyewakan (al-ijarah) tanah hukumnya boleh. Tanah yang disewakan harus dijelaskan peruntukkannya, apakah untuk pertanian atau dibangun (di atasnya) suatu bangunan. Jika penyewaan tanah diperuntukkan pertanian, maka harus ada penjelasan mengenai tanaman apa yang akan ditanami di atas tanah tersebut, kecuali jika pemilik tanah mengizinkan kepada penyewa untuk menanam apapun yang diinginkannya. Pemilik tanah yang tidak memiliki kemampuan mengelola pertanian, maka sebaiknya bekerja sama dengan pengusaha tani yang memiliki kemampuan mengelola pertanian. Menurut Sabiq (2009) ditinjau dari sisi kebahasaan, muzara‟ah berarti kerja sama untuk menggarap tanah dengan imbalan dari apa yang dihasilkan oleh tanah yang digarapnya. Pengertian muzara‟ah dalam pembahasan ini adalah pemberian hak untuk menanami tanah yang dimiliki kepada orang lain dengan syarat bahwa dia akan mendapatkan apa yang dihasilkan dari tanahnya, baik setengah, sepertiga atau lebih banyak dan lebih sedikit dari hasil yang diperolehnya, sesuai kesepakatan bersama antara orang memiliki tanah dan yang menggarapnya.
12
IV.
4.1.
Penutup
Kesimpulan Berdasarkan Pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan konsep syariah
dalam mengelola bisnis pertanian adalah sebagai berikut : 1. Pada aspek pengelolaan keuangan, pembiayaan atau pendanaan bisnis pertanian dengan konsep syariah dapat menggunakan akad Salam. 2. Pada aspek pengelolaan pekerja, dengan konsep syariah maka dapat menerapkan upah (ujrah) yang adil bagi pekerja dan dengan menerapkan prinsip bagi hasil dengan pekerja (profit and loss sharing). 3. Pada aspek produksi, input dalam proses produksi adalah dengan menggunakan pupuk organik, pengadaan alat dan mesin pertanian dengan akad bai‟ murabahah dan untuk pengadaan lahan (bila tidak memiliki lahan sendiri) dapat dengan akad ijarah (sewa lahan) atau dengan akad muzara‟ah (bagi hasil tanah garapan).
4.2.
Saran Berdasarkan Pembahasan dan Kesimpulan diatas, maka saran dari makalah
ini adalah sebagai berikut : 1. Dalam mengelola bisnis, khususnya bisnis pertanian, agar meraih tujuan Falah melalui pencapaian mashlahah yaitu mendapatkan manfaat (keuntungan dunia) dan berkah (keuntungan akhirat) dari hasil usaha, maka sebaiknya dalam mengelola bisnis pertanian dapat menggunakan konsep syariah. 2. Pada penulisan berikutnya disarankan untuk menambahkan aspek Pemasaran, sebagai salah satu fungsi manajemen. Aspek Pemasaran belum menjadi bagian dalam penulisan makalah ini karena, konsep pemasaran syariah masih menjadi topik yang menarik untuk dikaji secara khusus.
13
Daftar Pustaka Antonio, Syafii Muhammad. 2007. Muhammad SAW – The Super Leader Super Manager. Prophetic Leadership and Management Centre. Jakarta. p.96. Azid, Toseef. 2008. Appraisal of the Status on Research on Labor Economics in The Islamic Framework. Bahauddin Zakariya University, Multan. Pakistan. Bachrein, Saeful. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2 : 109-130. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis : Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Bakhtiari, Sadegh. 2009. Islamic Microfinance, Providing Credit to the Poor : a Case Study of Iran. International Economics Studies Vol. 34. No.1. pp. 99107. Beik, Irfan Syauqi dan Didin Hafiduddin. 2008. Enhancing The Role of Sukuk on Agriculture Sector Financing in Indonesia : Proposed Model. Islamic Research and Training Institute- Islamic Development Bank. Saudi Arabia. Bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/07/17260926/Beras.Impor.Thailand.ak an.Masuk.Oktober. Diakses pada tanggal 5 Februari 2014. Bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/05/08/17023953/Impor.Sayuran.Meningk at. Diakses pada tanggal 5 Februari 2014. Bisnis.com/articles/jumlah-petani-turun-2-16-orang. Diakses pada tanggal 5 Februari 2014. Febianto, Irawan. 2010. Shariah Compliant Model of Business Entities. Faculty of Economic University of Padjadjaran. Bandung. Heizer, Jay dan Barry Render. 2008. Operation Management. 9th edition, Prentice Hall. Herman et al. 2008. Kapasitas Petani dalam Mewujudkan Keberhasilan Usaha Pertanian : Kasus Petani Sayuran di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang Provinisi Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan vol. 4 No. 1. ISSN : 1858-2664. Institut Pertanian Bogor.
14
Jalil, Abdullah dan Hisham Sabri. 2007. Islamic Equity Financing For SMEs Development. Fakulti Ekonomi Muamalat Kolej Universiti Islam. Malaysia. Kaleem, Ahmad. 2008. Application of Islamic Banking Instrument (Bay‟ Salam) For Agriculture Financing in Pakistan. Islamic Finance for Micro and Medium Enterprises. Islamic Research and Training Institute- Islamic Development Bank. Saudi Arabia. Kholis, Nur. 2008. Murabahah Mode Of Financing For Micro And Medium Sized Enterprises: A Case Study Of Baitul Mal Wattamwil (BMT), Yogyakarta, Indonesia. Islamic Finance for Micro and Medium Enterprise. Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank dan Centre for Islamic Banking, Finance and Management Universiti Brunei Darussalam. Maheka, Lusiana Kurnia. 2011. Dampak Keberadaan Pasar Induk “Puspa Agro” terhadap Social Ekonomi Keluarga Tani Sayur dan Buah di Desa Jemundo Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya. Medanbisnisdaily.com/news/read/2011/08/10/49804/indonesia_kebanjiran_buah_i mpor/#.Tx-ffmU_lww. Diakses pada tanggal 5 Februari 2014. Muhammad. 2009. Label Halal dan Spiritualitas Bisnis : Interpretasi atas Bisnis Home Industry. Jornal Salam Volume 12 No. 2. Purwanto et al. 2010. Visi Pertanian Indonesia 2030. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. 2013. Ekonomi Islam. Raja Grafindo. Jakarta. Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah Jilid 5. Cakrawala Publishing. Jakarta. Scialabba, Nadia El-hage dan Caroline Hattam. 2003. Organic Agriculture, Environment and Food Security. FAO. Roma Sembara. 2009. Analisis Penurunan Minat terhadap Bidang Studi Pertanian dengan Konsep Kewirausahaan Berbasis Agribisnis sebagai Alternasif Solusi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sørensen et al. 2010. Conceptual Model of a Future Farm Management Information System. Computer and Electronics in Agriculture 72(2010) 37-47. Elsevier Allright reserved.
15