KONSEP, SEJARAH DAN FILOSOFIS PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) 1. Konsep Integrasi Dalam dunia pendidikan banyak konsep yang bisa digunakan untuk memaknai istilah pendidikan integrasi. Istilah integrasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu integrate. Dalam buku The Contemprorary English – Indonesian Dictionary (Peter Salim, 2005), istilah integrate (vt) integrated, integrating, integrates diterjemahkan menjadi menggabungkan; menyatupadukan; mengintegrasikan; sedangkan integrated (adj) diterjemahkan menjadi dapat bergaul dengan orang dari berbagai suku dengan dasar yang sama; terpadu. Sub Direktorat PSLB (1992:3) memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal dalam satu kelas. Barbara Clark dalam Mulyono Abdurahman (1996:100) memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang berupaya mengoptimalkan fungsi kognitif, afektif, fisik dan intuitif secara terintegrasi. S.A. Bratanata (1974) mengemukakan bahwa pendidikan integrasi adalah pendidikan bagi anak-anak berkelainan yang diterima bersama-sam dengan anak normal dan diselenggarakan di sekolah biasa. Unicef information mengemukakan bahwa “An innovative programme in Indonesia called “Sekolah Integrasi” or integrated school, is managing on small but growing scale to introduce blind children in to ordinary primary schools and give them change of normal education” (Darodjat Natanegara, 1980). Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa di Indonesia terdapat inovasi program pendidikan yang dikenal dengan “sekolah integrasi” atau sekolah integrasi yang sedang dirintis pada sebuah daerah kecil tetapi berkembang dengan baik. Tujuan program ini adalah untuk memasukkan anakanak tunanetra ke sekolah-sekolah dasar biasa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pendidikan biasa atau pendidikan untuk anakanak normal. Sedangkan Dwidjosumarto (1996:68) mengungkapkan bahwa system pendidikan integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak luar biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Selain istilah di atas dalam pendidikan kebutuhan khusus dikenal juga istilah mainstreaming. Mainstreaming berasal dari kata mainstream yang berarti masyarakat umum, konsep dasar mainstreaming ini pada hakikatnya sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara Skandinavia, seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia (Sunardi). Istilah mainstreaming muncul dan menjadi popular di Amerika Serikat, setelah pertama kali diperkenalkan oleh Bengt Nirje dari Swedia pada tahun 1969 (Reynolds dan Birch, 1988). Mainstreaming merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Mainstreaming muncul karena adanya gerakan normalisasi. Reynolds and Birch (1988), mengartikan mainstreaming sebagai penyediaan pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus untuk anakanak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah atau kelas umum. Mulyono Abdurahman menafsirkan pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang berupaya mengintegrasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal; mengintegrasikan pendidikan khusus dengan pendidikan pada umumnya; mengintegrasikan dan mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi jasmani dan intuisi; mengintegrasikan manusia makhluk individual sekaligus sebagai makhluk sosial; mengintegrasikan apa yang dipelajari anak di sekolah dengan tugas mereka di masa depan; dan mengintegrasikan antara pandangan hidup (Pancasila), agama, ilmu dan seni. Dari beberapa pemaknaan tentang pendidikan integrasi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan integrasi adalah memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Hanya ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh anak berkebutuhan khusus, dalam pendidikan integrasi anak-anak penyandang cacat yang mengikuti kelas khusus atau sekolah khusus dipindah ke sekolah reguler ketika mereka dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Mereka dididik dalam seting terpisah agar di kemudian hari dapat mengikuti pembelajaran di kelas reguler. Penempatan mereka sering berdasarkan keberfungsiannya atau pengetahuannya tidak berdasarkan usianya, sehingga ada kemungkinan anak berumur sembilan tahun duduk di kelas satu sekolah reguler.
Adapun jenis program pendidikan integrasi pada dasarnya ada tiga, yaitu: integrasi lokasi fisik, integrasi dalam aspek sosial, dan
integrasi
fungsional atau integrasi penuh. a. Integrasi lokasi fisik; penyelenggaraan ini di mana ABK mendapatkan pelayanan khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan kurikulum PLB tetapi lokasi gedung berada dalam satu areal dengan sekolah umum, atau dengan perkataan lain SLB dan sekolah biasa menempati suatu lokasi yang sama, akan tetapi kurikulum dan program pendidikannnya berbeda, sehingga kontak antara ABK dan anak normal tidak diatur dan tidak dilakukan dengan suatu program tertentu. Namun kontak antara anak normal dengan ABK dapat ditingkatkan dengan membuat perencanaan yang baik dan matang, baik dalam penampungan maupun dalam penempatan ABK tersebut, sehingga keterpaduan dapat berjalan lebih efektif. b. Integrasi dalam aspek sosial; dimaksudkan bahwa tidak semua kegiatan dalam proses belajar mengajar melibatkan ABK, mereka dilibatkan dalam kegiatan tertentu saja, misalnya dalam kegiatan bermain, berolah raga, bernyanyi, makan, rekreasi dan sebagainya, sehingga dari segi kurikulum sebagian menggunakan kurikulum SLB dan sebagian lagi menggunakan kurikulum sekolah umum. Hal ini terjadi mengingat pertimbangan kondisi dan kemampuan ABK. Oleh karena itu program pendidikan ini sering juga dikategorikan sebagai program pendidikan integrasi sebagian. c. Integrasi fungsional atau integrasi penuh; di dalam program ini termasuk integrasi lokasi dan sosial, di mana ABK
dan normal mengarah pada
aktivitas bersama dalam seluruh kegiatan atau proses belajar mengajar. Artinya mereka menggunakan kurikulum yang sama, guru dan kelas yang sama pula. Integrasi jenis ini sering disebut sebagai integrasi penuh. Dalam hal-hal tertentu ABK mendapat bimbingan apabila mendapat kesulitan yang berkaitan dengan kecacatannya, seperti membaca, menulis Braille, pemahaman geometri bagi anak tunanetra, bimbingan komunikasi total atau bahasa isyarat bagi anak tunarungu, bina bicara dan fisio terapi bagi anak tunadaksa dan sebagainya.
Program pendidikan integrasi fungsional ini merupakan bentuk pengintegrasian yang paling mendekati kewajaran, di mana ABK dan anak normal dengan usia sebaya secara bersama-sama menjadi murid pada satu sekolah biasa (reguler) dengan full time dan full kegiatan dari kegiatan sekolah dan mereka secara bersama pula mendapat pelayanan yang sama dari guru kelas yang bersangkutan tanpa dibeda-bedakan. Sekolah biasa yang digunakan
untuk
menyelenggarakan
program
pendidikan
integrasi
fungsional atau integrasi penuh dituntut mampu memberikan pelayanan secara menyeluruh. Untuk itu perlu disusun perencanaan kelas maupun program pembelajaran secara teliti dan memperhatikan kemampuan anak masing-masing, sehingga anak dapat belajar dengan baik.
Kata kunci:
Integrasi, mainstreang, integrasi lokasi fisik, integrasi dalam aspek sosail, integrasi fungsional/penuh 2. Sejarah Pendidikan Integrasi Pendidikan integrasi pertama muncul dan berkembang di Amerika Serikat, yang lebih dikenal dengan mainstreaming. Oleh karena itu yang mendasari munculnya konsep mainstreaming tidak terlepas dari kondisi masyarakat Amerika Serikat. Reynolds & Birch (1988) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan munculnya mainstreaming di Amerika Serikat, yaitu faktor eksternal dan factor internal. a. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dimaksud disini yaitu faktor-faktor yang secara tidak langsung berkaitan dengan pendidikan tetapi mempengaruhi munculnya mainstreaming. Faktor eksternal ini dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu: 1) Undang-undang yang menjamin hak-hak individu dengan kebebasan pribadi dan persamaan kesempatan. 2) Faktor filosofis, ditandai oleh adanya prinsip normalisasi yang beranggapan bahwa layanan pendidikan, perawatan, bimbingan, rekreasi, perumahan, pekerjaan atau layanan kemanusiaan yang lain untuk penyandang cacat harus menjamin nilai peran sosial mereka dan
disediakan dalam lingkungan sehari-hari yang normal (Flynn & Nitsch, 1980; Nirje, 1969; Wolfensberger, 1972, 1983 dalam Reynolds & Birch, 1988). 3) Faktor sosial dan ekonomi. Program-program pendidikan khusus telah tumbuh dengan cepat dan menjadi mahal. Tetapi jika ada programprogram yang diabaikan dalam jangka waktu yang panjang akan mahal juga. Disamping itu pertumbuhan pendidikan khusus juga memiliki satu masalah yaitu definisi dari berbagai kategori keluarbiasaan yang tidak digambarkan atau diobservasi dengan hati-hati. Sistem dan kategori yang digunakan pada struktur program khusus untuk anak-anak mengganggu para pendidik secara intelektual dan moral. Proses pengembalian orangorang cacat yang ada di institusi/panti ke masyarakat menghabiskan dana yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan masalah politik dan ekonomi. 4) Pengaruh yang keempat adalah adanya kemungkinan yang menjadi dasar masa depan untuk semua anak yaitu pengembangan pengetahuan secara subtansi untuk perbaikan pendidikan yang berdasarkan pada hasil penelitian tentang sekolah yang efefktif dan pengajaran yang efefktif. Hasil-hasil penelitian ini memberi dasar pada kesimpulan bahwa ada kemungkinan suatu negosiasi ulang tentang hubungan kerjasama antara pendidikan khusus dan pendidikan umum. 5) Pengaruh eksternal kelima adalah adanya pembelaan dari orang-orang cacat dan kelurganya. Pada saat iru banyak orang-orang cacat yang telah masuk universitas, yang menolak secara agresif tentang labelling dan segregasi. Mereka bekerja untuk orang cacat supaya dihormati dan memiliki kesempatan penuh untuk masuk dan berpartisipasi dalam masyarakat umum (mainstream institution).
Kelima factor eksternal tersebut menghasilkan lima perubahan spesifik, yaitu:
1. Berbagai keputusan yudisial yang menekankan pada hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan yang tepat dalam lingkungan yang tidak terbatas (least restrictive enviroment). 2. Pengesahan hokum federal berkenaan dengan pendidikan khusu yaitu Public Law (PL) 94 – 142 tentang pendidikan untuk semua anak cacat (Education for handicapped children) pada tahun 1975, kemudian paa tahun 1986 muncul undang-undang tentang pendidikan dini untuk semua anak usia 3 – 5 tahun (PL 99 – 457), juga dibuat insentif untuk menyediakan pendidikan khusus untuk anak-anak cacat dari lahir sampai usia dua tahun. Inilah puncak kemenangan penyandang cacat untuk memperoleh layanan pendidikan yang tepat, dan pokok-pokok yang termuat dalam undang-undang tersebut kemudian menjadi prinsip utama konsep mainstreaming, yaitu: a) Zero reject. Sekolah harus menyediakan pendidikan yang tepat untuk semua anak-anak cacat. b) Non-discriminatory evaluation. Klasifikasi dan rancangan (planning) pendidikan harus dijalani dengan prosedur yang menjamin keadilan untuk semua. c) Individualized educational program (IEP). Rancangan pendidikan harus eksplisit dan khusus, berdasarkan pada kebutuhn anak cacat tersebut. d) Least restrictive environment untuk perluasan pendidikan yang tepat, anak-anak cacat harus dididik dengan anak-anak yang tidak cacat. e)
Parent participation. Adanya jaminan keterlibatan atau partisipasi kedua orang tua dalam membuat keputusan untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Ini termasuk hak orang tua untuk berbicara tentang anak mereka sebelum ada asesmen khusus yang dibuat untuk mengidentifikasi kecacatannya dan rancangan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
3. Melarang dengan sungguh-sungguh untuk mengeluarkan, mengusir atau menolak anak dari sekolah umum.
4. Kembalinya para penyandang cacat dari institusi/panti ke masyarakat umum atau sekolah-sekolah terdekat. 5. Penolakan untuk menerapkan system klasifiksi anak dalam layanan pendidikan khusus.
b. Faktor Internal Faktor internal yang dimaksud adalah faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Peningkatan fleksibilitas tentang kurikulum dan struktur kelas lebih memungkinkan interaksi antara program pendidikan umum dan pendidikan khusus. Fleksibilitas ini memungkinkan anak untuk saling menyesuaikan satu sama lain. Semua anak yang ada pada kelas yang sama tidak harus mengerjakan pekerjaan yang sama atau pada tingkatan yang sama dan waktu yang sama. Fakta hasil penelitian memperlihatkan bahwa baik program segregasi atau terpisah sering tidak bekerja baik, sehingga masih menguntungkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus apabila belajar dengan anak-anak lain di kelas biasa. Berikut beberapa ilustrasi tentang factor internal: 1) Perkembangan dalam teknologi dan metodologi pendidikan membuat pendidikan khusus lebih mudah dilaksanakan. Inovasi yang dapat digunakan oleh pendidik ini diantaranya: tape atau video recorder, pengajaran adaptif dan berprograma, kalkulator, team teaching, penggunaan alat peraga, tenaga sukarela, computer, kaca pembesar, amplifier, pengajaran individual, kurikulum dan penilaian acuan criteria, pengajaran kooperatif, konsultasi antara guru dengan guru, tutor teman sebaya. Semua inovasi itu semakin memberi peluang bagi pendidikan khusus di sekolah biasa. 2) Anak-anak yang semula dianggap tidak mungkin dididik di sekolah biasa ternyata berhasil dengan program pembelajaran yang sama. Pada awalnya dengan berbagai alasan anak-anak berkebutuhan khusus tidak diterima/ditolak masuk di sekolah biasa. Beberapa alasan diantaranya karena lingkungan fisik sekolah atau anggapan bahwa kemampuan anak tidak
memungkinkan untuk belajar
di sekolah
biasa.
Dengan
rekomendasi dari berbagai fihak, seperti organisasi profesi, orang tua ataupun pemerintah, sekolah tidak menolak lagi anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus ternyata mampu belajar di kelas biasa walaupun dengan kurikulum yang berbeda/disesuaikan. 3) Batas antara pendidikan khusus dan pendidikan umum telah dijembatani, kebijakan dan pelaksanaan mainstreaming terus tumbuh. Prosedur rujukan – testing – klasifikasi – penempatan yang digunakan pada masa lalu
dan
mengakibatkan
anak-anak
berkebutuhan
khusus
ditarik/dikeluarkan dari kelas biasa dan sekolah umum, kemudian ditempatkan di sekolah khusus menjadi tidak disukai. Sekarang banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang menerima layanan pendidikan khusus di sekolah umum. 4) Dukungan secara tidak langsung adalah meningkatnya guru-guru pendidikan khusus termasuk termasuk team teaching dan hubungan konsultatif dengan orang tau dan guru-guru lainnya. Dengan semakin kecilnya jumlah anak-anak berkebutuhan khusus yang yang butuh layanan di luar kelas biasa, tenga ahli semakin dimungkinkan untuk bekerja di dalam kelas biasa. Guru pendidikan khusus bekerjasama dalam tim dengan guru-guru biasa dalam kegiatan asesmen, menyusun program pengajaran untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan mengajar anakanak berkebutuhan khsusus. Lebih banyak gurur yang melakukan pembelajaran individual dan memanfaatkan bantuan dari guru-guru pendidikan khusus, psikolog sekolah dan lainnya untuk mencegah masalah yang miuncul dan mengajar anak yang memerlukan bantuan dengan sangat berstruktur. 5) Pengakuan bahwa secara umum banyak persamaan antara pendidikan khusus dan pendidikan umum adaptif. Pendidikan kebutuhan khusus telah mengalami perubahan yang sangat besar dari definisi paling awal tentang pendidikan khusus sebagai “pendidikan yang tidak dapat diselenggarakan di kelas biasa” (NSEE, 1949 dalam Reynold dan Birch, 1988) sampai yang terbaru tentang “pendidikan umum yang diadaptasi yang membuat pendidikan/sekolah umum lebih inklusif ” (U.S.
Congress, 1983 dalam Reynold dan Birch, 1988). Perubahan besar inilah yang membawa ekspektasi pada para tenaga professional lain dan orang tua. Pendidikan adaptasi berarti bahwa pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan siswa juga harus adaptif untuk memenuhi kebutuhan diri mereka dan lingkungan yang semakin kompleks.
Baik factor eksternal maupun factor internal mempunyai pengaruh yang sama yaitu – the inclusion of more children who have special needs into the mainstream of school, family, and community live – maksudnya lebih banyak anak yang mempunyai kebutuhan khusus masuk (inclusion) ke dalam kehidupan sekolah umum, keluarga masyarakat (Reynold dan Birch, 1988). Walaupun paparan di atas lebih banyak mengungkap tentang mainstreaming tetapi harus dipahami bahwa konsep sekolah integrasi tidak sam dengan konsep mainstreaming. Konsep mainstreaming muncul karena gerakan normalisasi. Normalisasi tidak berarti membuat ABK menjadi normal, normalisasi memiliki makna penyediaan pola dan kehidupan sehari-hari untuk ABK sedekat mungkin dengan pola dan kondisi masyarakat umum. Konsep mainstreaming menghendaki agar pendidikan bagi ABK kembali ke jalur induknya, yaitu sekolah umum (biasa) dengan layanan pendidikan khusus. Adapun sekolah integrasi merupakan salah satu bentuk mainstreaming, atau dengan perkataan lain, konsep mainstreaming jauh lebih luas dari pada konsep sekolah integrasi. Keluasan pengertian mainstreaming dapat dilihat secara lebih jelas pada rentangan kemungkinan penyedian layanan pendidikan (service delivery). Secara garis besar, rentangan penyediaan layanan pendidikan dimulai dari yang paling terbatas (the most restrictive), yaitu pembelajaran di tempat khusus seperti rumah sakit atau di rumah, sampai yang paling tidak terbatas (the least restrictive), yaitu kelas biasa tanpa tambahan bimbingan khusus (Deno, 1970). Dari pengertian mainstreaming di atas jelas bahwa layanan pendidikan bagi ABK tidak harus selalu di sekolah atau kelas biasa. Penempatan seorang ABK dilakukan berdasarkan potensi dan kelemahan anak, tetapi pada prinsipnya,
seorang anak harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak terbatas. Itulah sebabnya, konsep mainstreaming sering dianggap identik dengan konsep The Least Restrictive Environment (LRE). Paparan di atas adalah tentang latar belakang munculnya pendidikan integrasi di negara barat khususnya Amerika. Bagaimana di Indonesia? Indonesia memiliki hukum yang memayungi pendidikan untuk semua anak tanpa memandang ras, suku atau lainnya. Undang-undang Dasar 45 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pengajaran. Ini menyiratkan bahwa semua warga negara Indonesia tidak terkecuali mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengajaran, termasuk anak-anak berkebuthan khusus. Disamping itu ada undang-undang no 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 menjelaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisisk dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Penyelenggaraan pendidikan luar biasa kemudian dirinci dallam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Tetapi meskipun telah ada payung hukum yang mengatur tentang pendidikan berkebutuhan khusus, penyediaan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tidak selancar layanan pendidikan untuk anak-anak pada umumnya. Sebenarnya layanan pendidikan untuk ABK telah ada sejak zaman penjajahan yang dipelopori oleh para sosiawan Belanda yaitu dalam bentuk kursus atau sekolah khusus sesuai dengan kecacatan. Sekolah khusus untuk setiap jenis kecacatan ini atau yang lazim disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) sampai saat ini masih terus digunakan, tetapi jumlahnya jauh dari cukup, dan penyelenggaraannya lebih banyak oleh Swasta (Yayasanyayasan). Untuk menyediakan layanan bagi anak berkebutuhan khusus dengan mengandalkan system sekolah khusus sesuai dengan kecacatannya (SLB) sepertinya tidak dapat dilakukan karena ada beberapa hambatan. Pertama faktor geologis. Di dalam Peraturan Pemerintah ditegaskan bahwa untuk mendirikan SLB sekurang-kurangnya harus memiliki murid lima orang. Dengan model SLB yang ada, untuk menemukan anak dengan kecacatan
yang sama merupakan suatu hal yang sulit, karena akan meliputi wilayah yang luas, ada kemungkinan dari beberapa desa. Untuk menemukan anak yang mengalami ketunanetraan yang memiliki umur yang sama dalam setahun ada kemungkinan dari beberapa desa, atau mungkin kecamatan. Ini berarti hanya ada satu SLB dengan satu jenis kecacatan untuk beberapa wilayah desa atau kecamatan. Ini akan menjadi masalah bagi sebagian murid untuk datang ke sekolah setiap hari, karena letak sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Hambatan yang kedua adalah faktor sosial-ekonomi. Akibat letak geografis antara tempat tinggal anak dengan letak sekolah yang jauh, maka akan menjadi hambatan untuk orang tua terutama orang tua yang keadaan ekonominya lemah, untuk antar jemput anaknya ke sekolah setiap hari. Disamping waktu yang tersita juga biaya yang dikeluarkan untuk ongkos antar jemput juga tidak sedikit, ini menjadi beban bagi orang tua. Untuk menitipkan anaknya di asrama juga suatu hal yang tidak mungkin juga karena akan menambah beban sosial-ekonomi. Hambatan ketiga berkaitan dengan biaya pengadaan dan penyelenggaraan sekolah. jika menggunakan perkiraan Depsos bahwa anak usis sekolah yang belum terlayani di sekolah ada 700.000 orang, dengan berdasarkan ketentuan bahwa setiap mendirikan sekolah harus ada sekurang-kurangnya lima murid dalam satu kelas atau tiga puluh murid dalam satu sekolah maka perlukan lebih dari 20.000 sekolah baru, lengkap dengan guru dan fasilitas belajarnya. Ini merupakan cost yang mahal untuk pemerintah, sekalipun penyelenggaraan SLB diserahkan kepada swasta tetapi lebih dari 60% guru yang ada di sekolah swasta yang tersebar di negeri ini adalah pegawai negeri sipil yang dipekerjakan yang digaji oleh negara. Dengan demikian kemungkinan untuk mendirikan sekolah khusus (SLB) untuk semua anak berkebutuhan khusus yang ada sangat kecil. Masih banyak hambatan yang berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini, selain hambatan-hambatan yang telah diuraikan di atas, ada juga hambatan yang datang dari sikap orang tua dalam menerima keadaan anaknya. Masih banyak orang tua yang rejected atau over
protective terhadap anaknya sehingga tidak mengijinkan anak mereka untuk sekolah di sekolah khusus. Melihat hambatan yang ada dalam upaya menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tahun 1981, setelah meresmikan SLB Tunanetra Pembina Tingkat Nasional, Presiden Suharto mengintruksikan pembangunan SLB baru di setiap kota/kabupaten yang belum membpunyai SLB sama sekali. Ada 209 sekolah baru dibangun atas dana Inpres tahun 1982-1984 yang berada di 200 kabupaten/kotamadya. Sekolah ini dinamakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang menampung semua jenis kecacatan. (Sunardi). Sebenarnya langkah maju Indonesia dalam upaya meningkatkan layanan pendidikan untuk ABK sudah ada sejak diawalinya penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Hellen Keller International Incorporated (HKI, Inc.) di New Yorrk, USA pada tanggal 8 September 1977 berupa Perintisan Pelaksanaan Program Terpadu bagi Anak Tunanetra. Dalam rangka mewujudkan ini telah ditatar 33 orang guru tamatan SGPLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi Anak Tunanetra di Sekolah Terpadu (tahun 1979 – 1980). Pada tahun 1984 perintisan/ujicoba dilakukan oleh Balitbang Depdikbud di beberapa kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, hasil ujicoba dinyatakan berhasil. Pada tahun yang sama Depdikbut menerbitkan Buku Petunjuk Pedoman Pelaksanaan SDLB, terutama untuk anak-anak usia 7 – 12 tahun, dalam rangka penuntasan wajib belajar enam tahun. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Itulah awal pendidikan terpadu secara formal di Indonesia.
Kata kunci: factor eksternal, factor internal, normalisasi, zero reject, nondiscriminatory evaluation, individualized educational program, least restrictive environment, parent participation