KONSEP POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM (TELAAH HADIS TENTANG LARANGAN POLIGAMI)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: RIF’ATUL MUNAWAROH NIM 211 11 021
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015 i
ii
iii
iv
MOTTO
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah SWT”
“Ojo rumongso iso, nanging isoho rumongso” (M. Chazim)
“Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tunai. Karena curahan hujan tidak memilih-milih apakah pohon apel atau hanya semak belukar” (Wira Sagala)
“ Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Q.S. Al-Baqarah: 269)
“Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya” (Sabda Nabi SAW)
“..kaki yang akan berjalan lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih banyak, mata yang akanmenatap lebih lama, leher yang akan lebih sering melihat keatas,lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras, serta mulut yang akan selalu berdoa..” -5 cm
v
PERSEMBAHAN
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah,Tuhanmulah yang maha mulia Yang mengajarkan manusia dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang diketahuinya (QS.Al-‘Alaq 1-5) Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?(QS.ArRahman:13) Ya Kariim, Waktu yang telah ku jalani dengan jalan hidup yang telah menjadi takdirku, sedih, bahagia, dan bertemu dengan orang-orang yang banyak mempberikan inspirasi, semangat, dukungan, dan sejuta pengalam bagiku, memberikan warnawarni kehidupan di hidupku. Aku bersujud kepadaMu, engkau yang telah menghendakiku sampai di penghujung awal perjuanganku. Segala puji bagi Engkau Ya Karim. Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillahirabbil’alamin.. Sujud syukur ku persembahkan kepada Engkau Tuhan yang Maha Agung, Maha Bijaksana nan Maha Tinggi, Maha Adil nan Maha Penyayang, atas takdirMu kepadaku sehingga engkau jadikan hambamu manusia yang senantiasa berfikir, berilmu, beriman dan bersabar dalam menjaladi kehidupan di dunia ini. Semoga keberhasilan ini mendajdi suatu langkah awal bagi hambamu untuk meraih cita-citaku. Amiin. Lantunan Alfatihah dan sholawat teriring dalam doaku, dalam syukur yang tiada terkira. Terima kasihku untukmu. Kupersembahkan karya kecil ini untuk vi
ibunda dan ayah tercinta, yang tiada pernah hentinya selama ini memberikanku semangat, doa dan dorongan serta nasehat tak lupa juga kasih dan sayang, pengorbanan yang tak akan pernah tergantikan hingga aku selalu termotivasi untuk kuat menjalani segala rintangan. Ibu.. ayah.. terimalah kado ini sebagai bukti kecil keseriusanku untuk membalas segala pengorbananmu yang ikhlas tanpa kenal lelah. Maafkanlah ananda yang masih saja menyusahkanmu Ibu.. Ayah.. Terimakasih untukmu.. Ibu (JUNDARIYAH).. Ayah (AHMAD SUMIDIN).. ananda selalu menyayangimu. Dalam setiap langkahku aku berusaha mewujudkan harapan-harapan yang kalian impikan didiriku, meski belum semuanya kucapai, ‘insyaallah dengan dukungan kalian dan atas doa dan restu kalian semua mimpi itu akan terjawab dimasa yang akan datang, dimasa yang penuh dengan kehangatan dan kedamaian nanti. Untuk itu kupersembahkan ungkapan terimakasihku kepada: Kakakku (Muhammad Khabib) dan adikku (Muhammad Zakaria Abdul Latif). Kepada teman-teman seperjuanganku khususnya rekan-rekan AS “11” yang tak bisa tersebutkan satu persatu. Terimakasih yang tiada tara kepada sahabat setiaku forever (Mb Fajar, Mb Khusnul, Mb Pipit, Fadilah, Mb Ana, Mb Sofa, Mujiati, Munziroh) syukran sangat atas supportnya baik secara materiil maupun moril. Kepada
sahabat-sahabat bidikmisi IAIN Salatiga khususnya
angkatan 2011, kenangan kita tak akan pernah kulupakan sobat. Kepada temanteman santri pondok Edimancoro, khususnya adik-adikku di kamar 10 (Dek Hida, Dek Tika, Dek Rizki) yang bersama-sama dalam tempat tinggal yang telah dirasa vii
suka duka kita lalui. Kepada teman-teman lingkup kecilku JQH al-Furqan, PMII Komisariat Djoko Tingkir, AlHidmah Kampus Kota Salatiga, GEMAK, IPNUIPPNU Kab Semarang, IPNU-IPPNU Kec. Sumowono, dan teman-temanku semuanya di IAIN Salatiga yang tak dapat tersebutkan satu persatu, terimaksih telah mengisi hari-hariku memberikan banyak warna-warni di kehidupanku. Terakhir, untuk seseorang yang masih dalam misteri yang dijanjikan Ilahi yang siapapun itu, terimakasih telah menjadi baik dan bertahan disana. Akhir kata, semoga skripsi ini memberi banyak kemanfaatan. Jika hidup bisa kuceritakan kutuangkan dalam kertas, maka entah berapa banya lembar yang dibutuhkan hanya untnuk mengucapkan terimakasih.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.. Pada tempatnya yang pertama dan utuma di hati ini, penulis panjatkan puji dan rasa syukur yang tiada tara kepada Ilahi Rabbi Allah SWT. Kemudian shalawat serta salam-Nya mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada pangkuan baginda Rasulullah SAW. beserta keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang masih turut dengan ajarannya. Aaamiin. Berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhsiyyah yang berjudul : “Konsep Poligami dalam Hukum Islam (Telaah Hadis tentang Larangan Poligami)”. Kelancaran proses penulisan skripsi ini berkat bimbingan, arahan, dan petunjuk serta kerja sama dari berbagai pihak, baik pada tahap persiapan, penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mencucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya khususnya kepada Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa ikhlas memberikan bantuan baik moril maupun meteriil dorongan sampai terselesainya studi. Ucapan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga. ix
3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari’ah Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar dan baik. 4. Bapak Syukrn Ma’mun, S.HI., M.Si selaku Ketua Jurusan S1 Ahwal AlSyakhsiyyah di IAIN Salatiga. 5. Bapak Dr. M. Irfan Helmy, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan. 6. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan. 7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun. 8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Edimancoro, terutama Romo K.H Mahfud Ridwan Lc, yang selalu mendoakan santrinya untuk meraih keberhasilan dalam menuntut ilmu, baik dalam keadaan apapun maupun dimanapun. 9. Ustad Slamet yang dengan sabar mengajari penulis dalam memahami kitab kuning sebagai referensi penulis.
x
10. Sahabat-sahabatku tercinta Mb Fajar, Mb Khusnul, Mb Pipit, Dek Hida, Dek Tika, Mb Ana, Mb Sofa, Mujiati, Munziroh, Fadilah, Aini, Nurul, Irinna, Rosa, Indah, Isna yang selalu mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini. 11. Teman-teman Jurusan S1 Ahwal al-Syakhsiyyah angkatan 2011 di IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga. 12. Kepada segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam kesempatan yang terbatas ini. Mudah-mudahan amalan mereka diterima di sisi Allah sebagai manifestasi ibadah kepada-Nya. Aaamiin. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan demi enaknya penulisan skripsi ini dibaca dan dipahami. Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Aaamiin.
Salatiga, 5 September 2015
Penulis,
xi
ABSTRAK
Munawaroh, Rif’atul. 2015. Konsep Poligami dalam Hukum Islam (Telaah Hadis tentang Larangan Poligami). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan. S1 Ahwal alSyakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Irfan Helmy, M.Ag. Kata kunci : Takhrij, Hadis, Poligami, Matan, Sanad Poligami merupakan suatu fenomena yang telah dari dahulu diperbincangkan. Dalam al-Qur’an telah disebutkan hukum dar poligami adalah boleh dengan syarat adil, namun penulis menemukan hadis yang memuat larangan adanya poligami. Penulis disini mengkaji hadis tersebut dengan cara mentakhrijnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep poligami dalam fiqh islam? (2) Bagaimana bunyi matan hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? (3) Bagaimana kredibilitas para periwayat hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? (4) Bagaimana telaah matan hadis tentang larangan poligami?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian pustaka dengan menggunakan metode takhrij hadis. Dalam penelitian ini menggunakan metode takhrij hadis bi al-lafdzi yaitu penelusuran pertama melalui kata/lafal matan hadis baik dari permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kamus al-Mu’jam al-mufahras li alfadz alhadisan-Nabawi yang disusun oleh A.j. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid sebagai sumber data primer dan juga kitab-kitab rijal hadis. Serta data sekunder yaitu literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama : Pada dasarnya, sesuai nash dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 yang juga sering dijadikan sandaran bagi para ulama dalam menentukan hukum poligami adalah boleh. Bahkan boleh menikahi sampai dengan empat wanita namun dengan syarat sang suami bisa berlaku adil. Dalam kitabnya Wahbah Zuhailli yang diberi judul alFiqh al Islam Wa Adillatuhu bahwa boleh melakukan praktik poligami dengan syarat adil baik dzahir maupun batin. Kedua : Setelah dilakukan proses telaah sanad, hadis riwayat Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Imam Ahmad sepakat bahwa hadis tersebut berpredikat hadis yang shahih. Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi telah dikatakan bahwa hadis tersebut Hasanun shahihun. Berbeda pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang termasuk shahih sanadnya dan gharib matannya. Ketiga : Dalam analisa redaksi matan hadis, hadis tersebut menggunakan periwayatan bi al-Ma’na. Sedangkan dalam analisa matan hadis menginformasian bahwa berdasarkan penelusuran asbab al wurud ditemukan bahwa hadis tersebut bukanlah hadis larangan poligami yang bisa dijadikan sandaran hukum melarang adanya praktik poligami, akan tetapi hadis tersebut hanyalah sebuah bentuk kasih sayang dari ayah kepada putrinya. Dapat juga dikatakan sebagai bentuk kecemburuan dan ketakutan akan tersakiti hati putrinya. xii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
NOTA PEMBIMBING........................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN......................................
iv
HALAMAN MOTTO…………..………………………………………………
v
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................
vi
KATA PENGANTAR.........................................................................................
ix
ABSTRAK...........................................................................................................
xii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Rumusan Masalah……………………………………………...
4
C. Tujuan Penelitian.........................................................................
5
D. Kegunaan Penelitian....................................................................
5
E. Metode Penelitian........................................................................
7
F. Penegasan Istilah.........................................................................
11
G. Tinjauan Pustaka.........................................................................
14
H. Sistematika Penulisan..................................................................
17
TINJAUAN UMUM TAKHRIJ HADIS DAN KONSEP POLIGAMI SERTA HUKUMNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Tinjauan Sanad dan Matan Hadis dalam Kajian Takhrij Hadis...
19
1. Studi Sanad………………………………………………….
21
2. Studi Matan…………………………………………………
25
B. Poligami dalam Perspektif Hukum Islam....................................
28
1. Makna dan Konsep Poligami dalam Hukum Islam.…...……
28
2. Hukum Poligami dalam Perspektif Hukum Islam.…………
29
3. Rukun dan Syarat Adil……………………………………...
37
xiii
4. Sebab Kecenderungan Terjadinya Poligami.…...………….. BAB III
BAB IV
BAB V
39
TELAAH MATAN HADIS A. Kompilasi dan Arti Matan Hadis.................................................
44
1. Redaksi dan Arti Matan Hadis………………….…………..
44
2. Analisis Redaksi Matan Hadis…..………………………….
48
B. Keabsahan Matan Hadis…………..............................................
50
1. Asbab al-Wurud (Sebab Turunnya Hadis)………………….
50
2. Kandungan Hukum…………………………………………
52
TELAAH SANAD HADIS A. Redaksi Hadis tentang Larangan Poligami…..………………...
58
1. Shahih Bukhari…………………………………………….
58
2. Shahih Muslim……………………………………………..
58
3. Sunan Tirmidzi…………………………………………….
58
4. Sunan Ibnu Majah………………………………………….
59
5. Sunan Abu Daud…………………………………………..
59
6. Musnad Imam Ahmad……………………………………..
59
B. Kajian Kuantitas Sanad……………...........................................
60
C. Telaah Kualitas Sanad…………………………………………
64
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….
81
B. Rekomendasi…………………………………………………..
83
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
85
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan manusia yang didominasi kaum laki-laki atas perempuan sudah menjadi akar sejarah yang cukup panjang. Dalam tatanan tersebut, perempuan dijadikan sebagai the second human being (manusia kelas kedua),yang berada dibawah laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. Dan berakibat, perempuan hanya di tempatkan di ranah dalam saja, sedangkan laki-laki berada di ranah public. Mereka menggaggap bahwa poligami merupakan syariat dan dianjurkan dalam Islam. Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai istri 700 orang. Akan tetapi setelah Islam datang Nabi Muhammad SAW membatasi umatnya untuk mempunyai istri empat dan selebihnya diceraikan. Wacana dan praktek tentang poligami itu sendiri banyak menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro terhadap poligami sebagian besar menyatakan bahwa poligami adalah termasuk sunnah dalam Islam, 1
sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan beristri lebih dari satu. Sedangkan bagi mereka yang kontra lebih menekankan pada aspek kesetaraan posisi perempuan dan adapula yang menganut terhadap salah satu perkataan atau hadis Rasulullah SAW yang berbunyi :
ِ ِ ِ َع ِن المسوِر بْ ِن م ْخرمة ر لم َ ،ُض َي اهللُ َع ْنه ُ َس ِم ْع:قال َ ت َر ُس ْو ُل اهلل ُْ َ َ ََ َ صلى اهللُ َعلَْيه َو َس ِ ِ الم ِغ ْي َرة ا ْستَاذَنُ ْونِي فِي أَ ْن يَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم َ إِن بَنِ ْي ه: َو ُه َو َعلَى المنبر،يَ ُق ْو ُل ُ شام ب ِن ٍ ِ إِال أَ ْن يُ ِريْ َد اب ِن أبِي طَال، ثم الَ آذَن، ثُم الَ آذَن، فَ ََل آ َذن،ب ٍ َِعلَي ب ِن أَبِي طَال ب أن ْ ِ ِ ِ .آذاها َ ويُ ْؤذيْنِي َما،فإنما ه َي بضعة مني يَ ِريْ بُنِي َما أ ََرابِ َها َ ْيطْلُ َق ابْنَتَي َوي َ ،نكح ابْ نَتَ ُه ْم .)(رواه البخاري ومسلم “Dari al-Miswar bin Makhramah berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda di atas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. Mereka penolak poligami yang dimaksud disini adalah kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai bentuk penindasan atau bentuk tindakan deskriminatif atas perempuan. Mereka menggunakan hadis tersebut sebagai suatu dasar penolakan (http://www.inpasonline.com/new/poligami-dalam-pandangan-liberal-danulama/, diakses pada 18 September 2015, 08.15).
2
Padahal Allah telah berfirman dalam Al-qur’an Surat Annisa’ : 3 yang berbunyi:
ِ ِ ِ ِ ث َوُرَٰبَ َع َ َِّس ِاء َمثنَ َٰى َوثُ َٰل َ ََوإِن خفتُم أ اَال تُقسطُواْ في ٱليَ َٰتَ َم َٰى فَٱنك ُحواْ َما ط َ اب لَ ُكم ِّم َن ٱلن ِ ِ ِ ٣ ْك أَدنَ َٰى أ اَال تَعُولُوا َ َِيمنُ ُكم َٰذَل ََٰ فَِإن خفتُم أ اَال تَعدلُواْ فَ َوَٰح َد ًة أَو َما َملَ َكت أ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebi hdekat kepada tidak berbuat aniaya”. Walaupun pada dasarnya Islam menganut asas monogami, menikah
hanya dengan satu istri saja, akan lebih menjamin suami tidak berbuat aniaya, namun dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, poligami memang dibolehkan akan tetapi poligami tersebut diperoleh dengan ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran Islam merupakan pengecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak (Basyir, 2000: 39). Maka, poligami bukanlah suatu perbuatan yang dilarang akan tetapi lebih kepada anjuran untuk tidak dikerjakan. Sebagaimana halnya dalam hukum positif, berdasarkan UU Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun wanita (vide Pasal 3 (1) UU No 1/1974). Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agaman dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh orang-orang yang bersangkutan,
3
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan, vide Pasal 3 (2), Pasal 4 (1) dan (2), dan Pasal 5 (1) dan (2) (Zuhdi, 1994: 11). Dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif pun poligami tidak dilarang secara mutlak. Akan tetapi, mengenai hadis Rasulullah yang melarang terjadinya poligami, membuat penulis ingin menelusuri dan mengklarifikasi lebih lanjut akan hadis yang dijadikan pedoman larangan adanya poligami tersebut.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis ingin
mengadakan penelitian kajian poligami dengan fokus studi takhrij hadis. Adapun hadis yang penulis takhrij adalah hadis yang melarang adanya praktek poligami yang bersumber dari beberapa kitab hadis. Penulis memberikan judul pada penelitian ini yaitu : “Konsep Poligami dalam Hukum Islam (Telaah Hadis Tentang Larangan Poligami)”. B. Rumusan Masalah Adapun pokok-pokok permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep poligami dalam fiqh islam? 2. Bagaimana bunyi matan hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? 3. Bagaimana kredibilitas para periwayat hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? 4. Bagaimana telaah matan hadis tentang larangan poligami?
4
C. Tujuan Penelitian Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut diatas, maka perlu dirumuskan tujuan dalam penelitian ini. Adapun tujuan tersebut yaitu: 1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep larangan/ kebolehan poligami dalam kitab fiqh Islam. 2. Mengetahui dan mengkaji kitab-kitab hadis
yang memuat hadis
tentang larangan poligami serta mempelajari dan memahami sebab munculnya hadis tentang larangan poligami, dimana dan kapankah hadis tersebut muncul serta bagaimana keadaan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. 3. Menelaah sanad hadis tentang larangan poligami dalam rangka penentuan kredibilitas para periwayat hadis dan otensitas matan hadis. 4. Mengetahui telaah matan hadis yang dijadikan dasar larangan poligami, kemudian ditarik kesimpulannya dapat atau tidaknya hadis tersebut dijadikan pedoman hukum. D. Kegunaan Penelitian Selain tujuan, adapula kegunaan dari hasil penelitian ini yakni sebagai berikut: 1. Kegunaan secara teoritis Adapun kegunaan secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan kajian pustaka khususnya bagi para pengkaji hadis. b. Sebagai sumbangan pemikirian untuk pembaca yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut di bidang telaah hadis. c. Memberikan wawasan yang lebih luas kepada umat Islam mengenai matan hadis serta memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum munakahat. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi: a.
Peneliti Sebagai wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti ketiaka telah terjun dan berperan aktif di masyarakat serta sebagai salah satu syarat untuk memperleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di fakultas Syariáh dan Ekonomi Islam Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah.
b.
Lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang perkawinan Sebagai tambahan referensi untuk memberikan informasi dan memberikan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat khususnya bagi pasangan suami istri yang ingin poligami sesuai dengan kaidah dan hukum dalam fiqh Islam sehingga tidak akan terjadi salah konsep dan menjadikan ketidakharmonisan suatu hubungan. 6
c.
Masyarakat Sebagai bahan pengetahuan dan pertimbangan bagi masyarakat umumnya dan khususnya kepada suami istri serta orang tua yang mendidik anaknya agar tidak terjadi salah konsep dan menjadikan tidak harmonisnya keluarga.
E. Metode Penelitian Pengguanaan metode penelitian merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang berlaku agar hasil penemuan tersebut diakui oleh komunitas ilmuan terkait karena memiliki nilai ilmiah dibidangnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Library Research atau penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut Zed (2004: 1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya”.
7
2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Maksud dari deskriptif-analitis adalah menjelaskan data-data yang diteliti kemudian menganalisisnya dengan konsentrasi studi takhrij hadis. Adapun objek penelitian ini adalah Hadis dengan matan larangan berpoligami. 3. Pendekatan Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini, yakni: 1. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum, dan sejarah munculnya hukum (Soekanto dan Mamudji, 1995: 13-14). Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan, maka penulis menelaah kitab-kitab hadis sebagai sumber hukum Islam yang berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan larangan berpoligami, juga mengenai sejarah munculnya hadis tersebut. 2. Pendekatan Takhrij Hadis, yaitu pendekatan dengan menggunakan data-data berupa hadis yang dijadikan dasar hukum larangan berpoligami dari kitab-kitab hadis untuk kemudian dilakukan pelacakan biografi rawi sanad hadis dan analisis matan dengan maksud menemukan status hadist tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Takhrij Hadis bi al-lafdzi, yaitu penelusuran pertama melalui kata/lafal matan hadis baik dari 8
permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kamus al-Mu’jam al-mufahras li alfadz al-hadisan-Nabawi yang disusun oleh A.j. Wensinck dan kawankawannya sebanyak 8 jilid. 4. Pengumpulan data Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian mencakup sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer diperoleh dari kitab-kitab hadis yang memuat masalah tentang poligami dan kitab yang memuat biografi para rawi. b. Sumber data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut (Soemitro, 1990: 53). Dalam hal ini yang penulis gunakan menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku dan informasi dari berbagai media mengenai poligami, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, KHI dan media lainnya. 5. Langkah-langkah Penelitian Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Menentukan hadis, dalam hal ini adalah hadis tentang larangan berpoligami.
9
b) Mencari potongan hadis tersebut di dalam kamus hadis Mu’jam Mufahras li alfadh al hadis Nabawi karya Wensinc dan Muhammad Fuad Abdul Baqi. c) Petunjuk dari kamus hadis tersebut kemudian diteruskan dengan mencari di dalam kitab-kitab aslinya. d) Setelah ditemukan hadis yang dimaksud dalam kitab-kitab maka dibuatlah bagan sanad. e) Mengadakan penelitian / telaah otensitas sanad dengan memakai kitab-kitab yang berhubungan dengan Rijalul Hadis. f) Menentukan kualitas para rawi hadis berdasarkan telaah sanad. g) Menelaah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada untuk mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan matan hadis. h) Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadis untuk menentukan bisa atau tidaknya hadis tersebut menjadi pegangan hukum. i) Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadis tersebut agar dapat diketahui kepastian hukum mengenai masalah poligami (Zuhri, 2011: 149-160). 6. Analisa Data Setelah semua data diperoleh, maka penulis menganalisa untuk mengetahui otensitas atau shahih tidaknya hadis yang digunakan sebagai landasan pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu 10
dilarang dengan cara menelaah sanad hadisnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Setelah itu, penulis juga menelaah matan hadis dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan hadis antara jalur periwayatan satu dengan jalur periwayatan yang lainnya. Selain itu, dengan data yang ada penulis telah berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadis tentang larangan poligami tersebut, bagaimana keadaan waktu itu dan apakah hadis tersebut bisa dijadikan pedoman dilarangnya poligami bagi umat Islam. Adapun prosedur penelitian yang penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian yang telah tertera di atas. Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan menggunkan metode analisa takhrij hadis, maka penulis harus menelaah hadis terkait dalam kitab-kitab hadis yang telah diakui oleh dunia Islam. Dalam penelitian ini, penulis juga memaparkan permasalahan penelitian ini diantaranya adalah poligami menurut fiqh Islam, bagaimana konsep pologami itu sendiri beserta hukumnya. F. Penegasan Istilah Supaya tidak terjadi kerancuan dan kesalahan penafsiran istilah yang digunakan serta agar terdapat kejelasan pengertian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penegasan istilah yaitu sebagai berikut: 1. Konsep
: pengertian; pendapat atau paham; rancangan 11
(cita-cita dsb) yang telah ada dalam pikiran (Purwadharminta, 2006: 611) 2. Poligami
: mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang
sama
(Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan, 1988: 693). 3. Hukum Islam
: Hukum berarti peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untk orang banyak (Purwadharminta, 1985: 363), sedangkan Islam adalah Agama yang diajarkan
oleh
Nabi
Muhammad
(Purwadharminta, 2006: 454). Adapun Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan njadmei bagian dari agama islam (Ali, 1998: 37). 4. Hadis
: Menurut bahasa artinya adalah yang baru, berita, pesan keagamaan, pembicaraan. Dalam istilah al-hadist berarti pembicaraan yang dirwayatkan dari Nabi SAW, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, tindakan atau taqrir, atau pembiaran Nabi SAW (Zuhri, 2003: 1).
5. Sanad
: Menurut bahasa artinya bagian tanah yang tinggi, atau puncak bukit, sandaran, tempat bersandar yang menjadi sandaran. Sedangkan 12
arti sanad yang berkembang dalam ilmu hadis yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Kemudian istilah sanad yang masyhur dalam ilmu hadis yaitu orang-orang yang dilalui berita hadis dari sumber yang pertama sampai dengan penerima hadis yang terakhir (Zuhri, 2003: 10). 6. Matan
: Menurut bahasa artinya sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis, matan ialah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam AlSuyuti yang dikutip oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri hadis
yaitu
“lafadz-lafadz
hadis
yang
membentuk pengertian atau makna” (Zuhri, 2003: 149-150). 7. Takhrij
: Menurut bahasa yaitu mengeluarkan, melatih, meneliti, menghadapkan (Zuhri, 2003: 149-150). Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan hadis dalam arti menelusuri hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis yang membicarakan masalah terkait.
Pada
kegiatan
inilah
dilakukan
penelusuran hadis dalam berbagai kitab sumber 13
asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan beserta sanadnya. G. Tinjauan Pustaka Penelitian/skripsi yang membahas tentang poligami bukanlah penulis yang satu-satunya dan pertama meneliti, telah banyak penelitian terdahulu yang membahas tentang poligami. Walaupun demikian skripsi ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian/skripsi lain atau penelitian yang sama dengan lainnya, karena penulis lebih menitik beratkan pada subtansi takhrijnya. Untuk
mendukung penelaahan
yang komprehensif
penulis
menelusuri hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan topik yang dikaji berupa skripsi dan karya ilmiah, diantaranya: Pertama, artikel dari Jamilah, Minda Sari Nur. 2012. Poligami Dalam tinjauan Sejarah. Dalam artikelnya menunjukkan bahwa: 1. Tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Karena faktanya praktek poligami telah ada dan dipraktekkan oleh kaum-kaum terdahulu jauh sebelum adanya agama Islam, bahkan sudah menjadi budaya yang lebih parah bagi mereka kaum non-Islam. 2. Islam memperbolehkan poligami, meletakkan sebuah sistem berpoligami yang
berkeadilan,
bermoral
dan
manusiawi.
3.
Untuk
konteks
kekinian,poligami pada dasarnya pelanggaran terhadap integritas dalam institusi perkawinan, karena institusi perkawinan pada dasarnya dibangun
14
oleh dua orang yang ingin membina kehidupan bersama dimulai dengan niat yang tulus, cinta dan adanya janji sakral yang harus dihormati. Kedua, Penelitian dari Wartini, Atik. 2013. Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-undangan. Hasil dari penelitian tersebut adalah 1. Perbedaan posisi status poligami dalam perspektif Undang-Undang baik itu di Indonesia, Malaysia, Negara-negara yang mayoritas Islam di Asia maupun Afrika. 2. Poligami dalam tinjauan fiqh boleh jika memenuhi dua persyaratan yaitu mampu dalam segi materi dan adil selain itu ada sebabsebab tertentu yang diperbolehkan poligami, yaitu sesab khusus dan umum yang secara garis besarnya mengacu pada dhorurat, hajat dan kemaslahatan. Ketiga
Nizar,
Muhammad.
2008.
Variasi
Alasan
Suami
Mengajukan Izin Poligami (Studi Putusan Di PA Sleman Tahun 2007). Skripsi tersebut menerangkan bahwa ada beberapa alasan yang menjadikan suami mengajukan izin poligami, beberapa alasan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni alasan-alasan yang tidak terdapat dalam Undang-undang dan alasan-alasan yang terdapat dalam Undang-undang. Pertimbangan hakim yang digunakan adalah pemenuhan terhadap syarat baik kumulatif maupun alternatif. Keempat, skripsi dari Hasan, M. Targhibul. 2012. Permohonan Ijin Poligami
(Studi
Penetapan
Pengadilan
Agama
Salatiga
No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL). Dalam skripsi tersebut menerangkan bahwa dalam memutuskan ijin poligami dalam putusan tersebut ternyata hakim 15
menggunakan kompilasi hukum Islam (KHI). Karena dalam penerapan KHI tersebut baik dalam persidangannya sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Kelima, skripsi dari Nugroho, Bibi. 2006. Kriteria Keadilan Poligami (Studi Analisis tentang Putusan Pengadilan Agama di Salatiga). Dalam skripsi tersebut menyebutkan bahwa kriterian keadilan poligami dalam Alqur’an lebih ditekankan pada pembolehan dengan syarat sang suami bias adil terhadap istru-istrinya kelak. Kemudian dalam Undangundang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, kriteria keadilan poligami lebih ditekankan pada pembolehan jika ada izin dari Pengadilan Agama, ada persetujuan dari istri dan ada jaminan dapat memenuhi kebutuhan istri-istri beserta anak-anaknya kelak dengan kepastian bias berlaku adil. Dari berbagai tinjauan pustaka yang penulis utarakan, tentu berbeda dengan skripsi yang penulis bahas. Dalam skripsi penulis, dijelaskan bagaimana konsep poligami, dilarang atau dibolehkan menurut fiqh Islam. Namun penulis lebih menekankan kepada bagian takhrij hadis larangan poligami, bagaimana sebab munculnya hadis larangan poligami, serta bagaimana status hukum yang terkandung dalam hadis larangan poligami, apakah shahih dan patut untuk dijadikan pedoman, ataukah sebaliknya. Selain itu dijelaskan pula kredibilitas para sanad dari hadis tentang larangan poligami. Dengan demikian, penulis yakin bahwa belum ada penelitian dan/ pembahasan yang sama seperti penulis. 16
H. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penjelasan skripsi tentang telaah hadis larangan poligami ini perlu adanya sistematika penulisan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi dan tugas akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkahlangkah penelitian, analisis data dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Pustaka yang menguraikan tentang telaah hadis yang meliputi studi sanad dan studi matan serta membahas masalah konsep poligami dalam perspektif fiqh Islam, kebolehan atau larangan poligami. BAB III Telaah matan hadis, pembahasan pada bab ini meliputi kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al wurud, kandungan hukum dan kesimpulan dari keseluruhan pada bab ketiga ini. BAB IV Pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari skripsi ini. Pembahasan dalam bab ini yaitu tentang rangkaian sanad dan tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, dan kesimpulan dari keseluruhan pada bab keempat ini. BAB V Penutup, Merupakan bagian terakhir penulisan skripsi ini. Pada bab ini berisikan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil 17
penelitian telaah hadis tentang larangan poligami, serta berisi rekomendasi penulis terhadap seluruh civitas dan akademika lembaga kampus STAIN Salatiga khususnya rekomendasi terhadap program studi Ahwal AlSyakhsiyyah (AS).
18
BAB II TINJAUAN UMUM TAKHRIJ HADIS DAN KONSEP POLIGAMI SERTA HUKUMNYA DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM
A. Tinjauan Sanad dan Matan Hadis dalam Kajian Takhrij Hadis Dalam al-Qur’an dan Hadis, telah banyak dijelaskan baik secara tersurat maupun tersirat bahwa Hadis merupakan sumber hukum / tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an. Namun, dalam hal penulisan dan kodifikasinya sangat berbeda. Penulisan al-Qur’an telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW secara terarah dan teratur, sedangkan mengenai pembukuan / kodifikasi hadis dilarang dan tidak direstui oleh Rasulullah sendiri. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran Rasulluh SAW terhadap al-Qur’an, takut penulisannya akan tercampur dengan hadis (Abdurrahman dan Sumarna, 2013:1-6). Kendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, namun ditilik dalam fakta sejarah bahwa di masa sahabat belum ada kegiatan tersebut secara resmi yang diprakarsai oleh pemerintah. Ketika kholifah Umar bin Khottob misalnya, beliau telah berfikiran untuk membukukan hadis, akan tetapi setelah meminta pendapat kepada para sahabat untuk membukukan hadis dan beristikhoroh tentang kegiatan tersebut selama sebulan, akhirnya kholifah Umar membatalkan rencana itu (Zuhri, 2011: 51). Dalam perkembangan selanjutnya, pembukuan hadis secara resmi diprakarsai oleh kholifah Umar bin Abdul Aziz, dengan dilatarbelakangi 19
oleh kekhawatiran akan hilangnya hadis Nabi bersama dengan gugurnya para ulama penghafal hadis. Maka, sekiranya rencana itu tidak dilakukan akan sulit mengetahui apakah itu sebuah hadis atau bukan. Karena diketahui bahwa hadis pernah menjadi lahan strategis untuk dipalsukan, baik demi kepentingan politik ataupun perbedaan madzhab serta cinta terhadap kebaikan dan bodohnya agama. Dengan demikian, keberhati-hatian para ulama hadis sangat dibutuhkan sehingga membuat mereka tidak merasa cukup dengan mengetahui dan mencermati matan. Karena, banyak hadis yang tidak mudah dipisahkan, yang palsu dari yang otentik dengan hanya melihat matan saja. Itu sebabnya, para ulama berkepentingan juga memeriksa pembawa (periwayat) hadis itu sendiri selain mencermati matannya. Banyak hal yang dilakukan para ulama hadis menyelamatkannya dari kepalsuan (Zuhri, 2011:67-81). Menurut Muhadditsin, makna Takhrij sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Mahmud at-Thuhan (1996 : 37-38) dalam kitabnya yang berjudul Ushulut Takhrij wad Dirasah al-Asanid, adalah: 1. Menampakkan
hadis
kepada
manusia
dengan
menyebutkan
sumbernya, atau Perawi sanad mengeluarkan hadis dari jalurnya. 2. Mengeluarkan hadis dari kitab-kitab dan riwayatnya. 3. Penunjuk sumber hadis yang asli dan menisbatkan kepadanya. Sedangkan menurut istilah, takhrij adalah petunjuk kepada tempat hadis dengan sumbernya yang asli, dikeluarkan dengan sanadnya 20
kemudian menjelaskan kedudukannya ketika dibutuhkan. Dengan kata lain, takhrij dilakukan dengan cara meneliti keadaan matan dan sanad hadis. Maksud dari cara ini adalah meneliti keadaan dan sifat hadis, kemudian membahas sumber hadis tersebut dengan jalan mengetahui keadaan dan sifatnya dalam matan atau sanad atau sanad dan matan secara bersamaan. 1. Studi Sanad Studi sanad adalah mempelajari mata rantai perawi dalam sanad, dengan merujuk kepada kitab biografi mereka. Dan mempelajari para perawi yang shahih dan dha’if serta sebabnya, mempelajari sanad yang bersambung dan terputus, mempelajari kelahiran dan wafat mereka. Juga mengetahui sahabat dan tabi’in untuk membedakan antara Mursal dan Maushul, al-Mauquf dan al-Maqthu’. Dan lainnya yang bersandar pada ilmu Ushul Jarh dan Ta’dil. Sanad secara bahasa berarti al-Mu’tamad yaitu yang diperpegangi (yang kuat)/ yang bisa dijadikan pegangan. Sedangkan menurut istilah sanad adalah mata rantai perawi yang kemudian berlanjut kepada matan. Dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim bersandar pada sanad dalam meriwayatkan hadis dan khabar. Dengan demikian maka akan membutuhkan ilmu Jarh wa Ta’dil dan biografi para perawi dalam pembahasan sanad (at-Thuhan, 1416 H: 138-139). Kebutuhan
terhadap
ilmu
Jarh
wa
Ta’dil
adalah
untuk
menghukumi para perawi, dan mengetahui tingkatan hadis. Tidak 21
mungkin bisa mempelajari sanad kecuali telah mengetahui kaidah Jarh dan Ta’dil (yang dijadikan sandaran para ulama’), mengetahui syarat perawi yang diterima, mengetahui cara menetapkan keadilan dan ke-dhabith-an seseorang, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasan ini. a. Syarat diterimanya perawi Menurut jumhur Ulama’ hadis, syarat diterimanya perawi ada dua: 1) Al-‘Adalah (adil), yaitu perawi yang harus muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya. 2) Adh-Dhabit, yaitu perawi yang tidak jelek hafalannya, tidak banyak salah, tidak menyelisihi tsiqqah, tidak banyak raguragu dan tidak banyak lalai. b. Hal-hal ditetapkannya keadilan Keadilan ditetapkan dengan salah satu hal berikut: 1) Pernyataan orang yang adil, atau Ulama’ Jarh dan Ta’dil, atau salah satu dari mereka dalam kitab Jarh wa Ta’dilnya. 2) Dengan kepopuleran dan kemasyhurannya. Menurut madzhab Ibnu Abdil Bar dalam menetapkan keadilan yaitu setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal bahwa ia perhatian terhadap ilmu maka ia telah menyandang sifat adil, hingga jelas Jarhnya (cacatnya), dan kita tidak perlu menanyakan keadilannya. c. Ke-dhabith-an perawi
22
Perawi yang dhabith dapat diketahui melalui kesesuaiannya dengan perawi tsiqqah. Dan tidak terlalu berepengaruh bila ia kadang menyelisihi, namun bila sering menyelisihi maka akan mencacati ke-dhabith-annya. d. Diterimanya Jarh dan Ta’dil 1) Ta’dil dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebabsebabnya, karena sebab-sebabnya banyak sehingga sulit dijelaskan. Sedangkan Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebanya karena tidak sulit dijelaskan. 2) Jarh dan Ta’dil diterima walaupun dari satu orang dari ahli Jarh dan Ta’dil, walaupun dia budak ataupun wanita. 3) Bila berkumpul antara Jarh dan Ta’dil pada satu orang, maka didahulukan Jarh daripada Ta’dil bila Jarh dijelaskan. e. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil serta tingkatannya 1) Tingkatan Jarh dan lafadz-lafadznya a) Lafadz yang menunjukkan lunak, contoh: Fulan layinul hadis. b) Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan hujjah, contoh: Fulan laa yuhtaj bih. c) Lafadz yang menunjukkan tidak dapat ditulis hadisnya, contoh: Fulan laa yuktab hadisuhu. d) Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, contoh: Fulan muttahamun bil kadzb. 23
e) Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau semacamnya, contoh: Fulan kadzdzab. f) Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghoh dalam perbuatan dusta, contoh: Fulan akdzaba an-nas. 2) Hukum masing-masing tingkatan a) Dua
tingkatan
yang
pertama,
maka
hadis
yang
diriwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah, namun ditulis untuk pelajaran. b) Empat tingkatan terakhir hadis-hadis mereka tidak bisa dijadikan hujjah, tidak ditulis dan tidak dijadikan pelajaran. 3) Tingkatan Ta’dil dan lafadz-lafadznya a) Lafadz yang menunjukkan mubalaghoh, contoh: Fulanun atsbata. b) Lafadz yang memeperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqqah, contoh: Tsiqotun tsiqotun. c) Ungkapan yang menunjukkan ke-tsiqqah-an, contoh: Tsiqotun atau hujjah. d) Lafadz yang menunjukkan Ta’dil, contoh: Shaduqun. e) Lafadz yang tidak menunjukkan ke-tsiqqah-an, contoh: Fulanun syaikhun. f) Lafadz yang mendekati adanya Jarh, contoh: Fulan shalihul hadis. 4) Hukum masing-masing tingkatan 24
a) Untuk tiga tingkatan pertama, bisa dijadikan hujjah. b) Untuk tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, namun hadisnya ditulis dan dijadikan ujian. c) Tingkatan keenam tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap ditulis untuk pelajaran bukan ujian (at-Thuhan, 1416 H: 135-146). 2. Studi Matan Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan meurut istilah, matan ialah perkataan terakhir dari sanad (at-Thuhan, 1416 H: 135). Dalam bukunya Sohari Sahrani (2010: 132) diterangkan bahwa ath-Thibi mendefinisikan matan dengan:
ِ الْ َف ِ ْاظ الْح ِدي ث الَتِى تَتَ َق اوِم َها َم َعا نِيا ْه َ
“lafadz-lafadz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu (Ajjaj al-Khathib, t.t.: 31).” Studi matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh muhadditsin, jika dibandingkan dengan studi sanad hadis. Tindakan tersebut bukan tanpa alasan, menurut mereka bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis nabi kalau tidak silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad SAW). Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadis apabila tidak ditemukan rangkaian perawi kepada Rasulullah. Begitu pula sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadis yang baik, jika matannya tidak dapat 25
dipertanggungjawabkan keabsahannya (Bustamin dan Salam, 2004: 59-60). Hendaknya diketahui, bahwa antara sanad dan matan tidak mesti ada hubungannya, yakni: a. Kalau sanad sudah sah, belum tentu matannya turut sah; begitu pula b. Kalau sanad dha’if, belum tentu matannya pun turut dha’if (Hassan, 1994:375). Dalam hal ini, kriteria keabsahan (keshahihan) matan hadis menurut muhadditsin nampaknya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang dihadapinya. Dari berbagai kriteria yang dimiliki oleh muhadditsin, disimpulkan Bustamin dan Salam dalam bukunya metodologi kritik hadis (2004: 62-64) yaitu definisi keshahihan hadis menurut muhadditsin adalah sebagai berikut : pertama, sanadnya shahih (penentuan keshahihan sanad hadis didahului dengan kegiatan takhrij hadis dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadis); kedua, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang shahih; ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; keempat, sejalan dengan alur akal sehat; kelima, tidak bertentangan dengan sejarah; keenam, susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.
26
Berkaitan dengan matan, sebagai disebutkan bahwa salah satu syarat hadis shahih adalah tidak syadz, dan tidak bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat, seperti bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqqah. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi para peneliti ntuk menghadapkan hadis yang sedang ditelitinya dengan dalil-dalil lain, seperti juga menelusuri jalur lain. Lebih jauh juga peneliti akan menyingkap dan menjelasakan isi ajaran yang terkandung di dalam hadis tersebut. Karena itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan antara lain: a. Ilmu Gharib al-Hadis Menurut ulama hadis, ilmu ini menyingkap apa yang tersembunyi dalam lafadz hadis. Mengetahui kosa kata hadis sangatlah membantu memahami kandungan hadis itu sendiri. Walaupun sebenarnya, kata-kata yang digunakan oleh nabi SAW tidaklah asing bagi para sahabat, kendati beliau menggunakan kata kiasan. Tetapi kita sadari bahwa bahasa Arab itu berkembang sesuai dengan pengalamannya berdialog dengan masyarakat luar Arab dan generasi-generasi sesudahnya.
27
b. Asbab Wurud al-Hadis Sesuai dengan namanya, ilmu ini menyingkap sebab-sebab timbulnya hadis. Kalau di dalam al-Qur’an dikenal dengan ilmu Asbab al-Nuzul. Terkadang, ada hadis yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan (Zuhri, 2011: 135-145). B. Poligami Dalam Perspektif Fiqh Islam 1. Makna dan Konsep Poligami Dalam Islam Salah satu bentuk suatu perkawinan yang sering kali menjadi perbincangan dan perdebatan dalam masyarakat adalah beristri lebih dari seorang atau sering dikatakan dengan sebutan istilah poligami. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam kurun waktu yang sama. Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Dalam realitas sosiologis masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan di kalangan masyarakat karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang menjanjikan kedamaian (Mulia, 2007: 43-44). Sedangkan poligami menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang ulama ahli tafsir sekaligus ahli fiqh (hukum Islam) yang menjadi rujukan otoritatif, yang dalam bukunya yang berjudul Perempuan (..dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama samapai Bias Baru..) (2014: 180-184) beliau menerangkan 28
bahwa merujuk pada Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 4, poligami itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya poligami. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu. Dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang amat sangat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan. 2. Hukum Poligami dalam Perspektif Fiqh Islam Poligami adalah pintu emergency, karena persoalan yang emergency pula, tentu terlepas dari revisi PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Karena, jika bicara tentang undang-undang, buka hanya PP No. 10 dan No. 45 tersebut, tapi juga ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang sebenarnya telah menyatakan secara jelas perkawinan menganut prinsip monogami berlaku tidak hanya bagi Pegawai Negeri Sipil atau TNI. Hanya sosialisasi UU tersebut belum begitu bagus dan menyeluruh (Fahmie, 2007: 53). Namun demikian, dalam beberapa buku-buku ilmiah yang ditulis oleh ahli-ahli yang pandai, dikatakan bahwa al-Qur’an mengizinkan orang menikah dengan empat orang wanita, dan mengambil gundik sebanyak-banyaknya, asal mampu memeliharanya (Wibisono, 1980: 35).
29
Begitu pula dalam kitab Fiqhussunnah karyanya Sayyid Sabiq, secara tersirat bahwa poligami diperbolehkan. Dalam kitabnya dijelaskan bahwa seorang laki-laki haram memadu lebih dari empat orang
perempuan, sebab empat perempuan itu sudah cukup, dan
melebihi dari empat ini berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah bagi kemashlahatan hidup suami dan istri (Sabiq, 1980:164). Menurut Madzhab Ahl al-Sunnah dalam kitab Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (2004: 6667) menerangkan bahwa bagi kaum laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita lebih dari empat dalam satu waktu. Jika kaum lakilaki ingin menikah lagi maka ia harus menceraikan salah satu istrinya terlebih dahulu dengan ketentuan menyempurnakan masa ‘iddah terlebih dahulu, setelah itu boleh menikah sesuai yang ia inginkan. Karena sesungguhnya dalam nash al-Qur’an telah dijelaskan pula bahwa kaum laki-laki tidak diperkenankan menikahi lebih dari empat wanita. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
ِ ْوإِ ْن ِخ ْفتُم أَال تُ ْق ِسطُوا ِِف الْيتَامى فَان اب لَ ُك ْم ط ا م ا و ح ك َ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ ِمن النِّس اع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال تَ ْع ِدلُوا ب ر و الث ث و ن ث م اء ُ ْ َ َ َُ َ َ ََ َ َ ِ ِ ك أ َْد ََن أَال تَ ُعولُوا َ ت أ َْْيَانُ ُك ْم َذل ْ فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu 30
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Muhammad Nasib Ar-Rifa’I menafsirkan ayat tersebut yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (1989: 650) bahwa yang dimaksud dengan kalimat “dua, tiga, atau empat” yakni, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jika kamu mau nikahilah dua wanita, tiga atau empat. Sunnah Rasulullah
SAW
yang
menerangkan
informasi
dari
Allah
menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh, selain Rasulullah SAW, menikah lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu kekhususan untuk Rasulullah SAW. Mengenai pembatasan empat tersebut, Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Malik dalam kitab al-Muwattha’, an-Nasa’I dan Daruquthni dalam masingmasing kitab sunannya.
ِ ِ ِ َ َاَ ان النابِي صلاى اهلل َعلَ ْي ِه وسلام ق َسلَ َم َوتَ ْحتَهُ َع ْش ُر ْ ال لغَْي ََلن بْ ِن اَُميا َة الثا َقفى َوقَ ْد أ َ ّ ُ َ ََ ِ ٍ .نه ان اَ ْربَ ًعا َوفَا ِر ْق َسِا ُئرُه ان ُ إِ ْختَ ْر م: نِ ْس َوة
Artinya
:”bahwa Nabi berkata keada Ghailan bin Umayyah AtTsaqofiyang masuk Islam, adahal ia punya sepuluh istri. Be;iau bersabda kepadanya:”pilihlah empat orang di antara mereka, dan ceraikanlah orang yang lainnya.”
31
Diperkuat dengan sabda Nabi dalam kitab Abu Daud dari Harist bin Qais, ia berkata:
ِ َ ِت ذَال ِ ت و ِع ْن ِدي ثَم ال َ صلاى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلا َم فَ َق ُ ان نِ ْس َوةٍ فَ َذ َك ْر َ ك للنابِ ِّي َ ْ َ ُ اَ ْسلَ ْم ِ .نه ان اَ ْربَ ًعا ُ إِ ْختَ ْر م
Artinya
:”saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. maka sabda beliau:”pilihlah empat orang di antara mereka.”
Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari wanita-wanita yang lain itu, kalau perlu, kamu dapat menggabung dalam saat yang sama (dua, tiga atau empat) tetapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal cinta, bila menghimpun lebih dari seorang istri, maka nikahi seorang saja atau nikahilah hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencakup satu orang istri adalah lebih dekat dari berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka. Ayat tersebut menggunkan kata “tuqsithu” dan “ta’dilu” yang keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang mempersamakan maknanya dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa kata tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan
32
yang membuat keduanya senang. Sedangkan adil adalah berlaku adil terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak (Shihab, 2002: 407). Menurut Ahmad Mustofa al-Maraghi tertuang dalam kitabnya yang berjudul Tafsir al-Maraghi (1974: 325) menyatakan bahwa berlaku adil dalam hal ini hanya selagi masih bisa dilakukan oleh kemampuan manusia, seperti memberi rumah yang sama, pakaian yang sama dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang istri, tidak terhadap istri-istri yang lainnya. Tetapi beliau tidak mengistimewakannya dengan sesuatu, melebihi yang lain, kecuali berdasarkan kerelaan dan izin mereka. Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa hendaknya kalian mencukupkan hanya dengan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senanglah dengan wanita yang kamu sukai dari hambahamba wanita, karena tidak ada kewajiban berbuat adil diantara mereka. Tetapi mereka hanya berhak mendapat kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku dikalangan mereka. Memilih seorang istri atau mengambil gundik itu lebih menghindari perbuatan zina dan aniaya. Dapat diambil kesimpulan bahwa menjuhi perbuatan zalim adalah dasar disyariatkannya hukum perkawinan. Dalam hal ini terkandung pengertian yang menunjukkan persyaratan adil dan wajib 33
melaksanakannya, dan berbuat adil memanglah sangat sulit untuk diwujudkan (al-Maraghi, 1974: 324-325). Sebagaimana Firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 129:
ِ ولَن تَست ِطيعوا أَ ْن تَع ِدلُوا ب ْي الن صتُ ْم فَال ْ ِّساء َولَ ْو َحَر ُ َْ ْ َ َ ََْ ْ ِ ِ صلِ ُحوا َوتَتَّ ُقوا َ ََتيلُوا ُك َّل الْ َمْي ِل فَتَ َذ ُر ْ ُوها َكالْ ُم َعلَّ َقة َوإِ ْن ت ِفَِإ َّن اللَّه َكا َن َغ ُفورا ر يما ح َ ً َ ً
Artinya:”dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menerangkan tentang penguatan syarat keadilan, yang mana tidak boleh jatuh dalam satu istri saja sedang yang lain seperti terkatung-katung. Secara logika, sebelum melakukan poligami terlebih dahulu dinilai kemampuan materinya, dan melakukan perhitungan secara matang. Sehingga ayat ini dijadikan sebagai pedoman sekaligus suatu peringatan bagi mereka yang mempunyai kehendak yang berkobar-kobar. Maka tidak boleh melakukan praktik poligami jika belum bisa memenuhi syarat adil (Zuhaili, 2004: 6680).
Selain itu, kalau ayat ini dikaji secara tekstual, hukum poligami dapat ditoleransi jika suami bisa berbuat adil. Mayoritas ulama’ berpendapat
bahwa
adil
hanya
dalam
kebutuhan
materi.
Sementaradalam masalah materi, perlakuan adil tersebut bisa ditolerir. 34
Ayat 129 ini merupakan penjelasan dari ayat 3. Dengan begiatu, kebolehan beristri lebih dari satu harus dikaitkan dengan syarat adil tidaknya suami. Namun itu hanya dalam tataran teori. Pada tataran praktis, syarat itu sangat sulit terwujud. Perlakuan tidak adil tersebut pasti terjadi diantara para istri. Maka, seolah-olah agama sengaja memasang syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi, agar manusia tidak sembarangan melakukan poligami (Yasid, 2005: 351-353). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. tentang seorang suami yang berpoligami harus adil:
, فَ يَ ْع ِد ُل,صلاى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يَ ْق ِس َم ْ شةَ رضي اهلل عنها قَال َ َِع ْن َعائ َ َكا َن رسول اهلل: َت , َرَواهُ األ َْربَ َعة.ك ُ ِك َوَال أ َْمل ُ ِ فَ ََل تَلُ ْمنِ ْي فِ ْي َما تَ ْمل, ك ُ ِ اَللا ُه ام َه َذا قَ ْس ِم ْي فِ ْي َما أ َْمل: َويَ ُق ْو ُل ِِ ِ ول,وص ِّحهُ ابن ِحباا َن والْحاكِم َُك ْن َر َج َع الت ْارمذ ْي إِ ْر َسالَه َ َ َُ َ َ ُ Artinya
:” dari A’isyah r.a., dia berkata, “Rasulullah SAW.
membagi giliran istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda,’Ya Allah inilah
pembagianku
terhadap
sesuatu
yang
aku
berkuasa
melakukannya dan janganlah engkau mencela aku terhadap sesuatu yang engkau berkuasa namun aku tidak berkuasa.” (H.R al-Arba’ah, dan Ibnu Hibban, dan hakim menilai hadis ini shahih, tetapi Tirmidzi lebih kuat menilainya mursal) Hadis ini diriayatkan oleh Abu Daud (2134), Nasa’I (1764), Ibn Majah (1971), Ahmad (6/144), Ibn Hibban (10/5) dan Hakim (2/187) dengan perawi yang terpercaya dan sanad yang baik. Bukhari menilai 35
hadis ini mursal dalam al-ilal al-kabir (2/488), begitu pula Tirmidzi dan Abu Zur’ah dalam al-ilal (1279) karya Abu Hatim. Hadis ini menekankan bahwa wajib berlaku adil terhadap para istri dalam perkawinan poligami (Mardani, 2012:270). Dapat dinyatakan bahwa, kebolehan poligami hanya merupakan solusi ketika tujuan perkawinan sudah tidak terpenuhi. Poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang akan mengumbar hawa nafsu, apalagi dijadikan sebagai cita-cita hidup. Pada saat Nabi mempraktikkan poligami, meskipun dengan segala kelemahannya, Allah SWT tetap memberikan dukungan dan motivasi. Sudah tentu tujuan beliau bukanlah untuk mengumbar birahi. Akan tetapi ada tujuan kemaslahatan yang diharapkan. Dengan demikian, asalkan ada tujuan kemaslahatan, disamping itu kesejahteraan dan kerukunan rumah tangga terpenuhi, tidak sampai menimbulkan terlantarnya istri kedua dan
selanjutnya,
juga
anak-anaknya,
maka
poligami
diperbolehkan,bisa di amini. Bahasa lainnya pintu poligami tertutup, tapi tidak terkunci (Yasid, 2005: 355).
3. Rukun dan Syarat Adil Telah kita tahu bahwasanya rukun dan syarat dari pernikahan pertama yang ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam, juga menjadi rukun pernikahan yang kedua dan selanjutnya atau poligami. Sebab, keduanya termasuk pernikahan yang disyari’atkan dalam Islam. Maka, 36
jika seseorang ingin melakukan poligami, maka harus memenuhi persayaratan dan rukun pernikahan, diatambah dengan syarat yang disebutkan oleh para Ulama, yakni: a. Jumlah istri yang paling banyak adalah empat. Sebagaimana yang telah dijelasakan sebelumnya, Allah SWT memperbolehkan adanya poligami dengan batasan hanya empat istri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat anNisa’: 4. Juga hadis dari Nabi SAW tentang kisah Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi. b. Bisa berbuat dan berlaku adil bagi para istri. Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. Adapun adil diantara para istri dalam bahasa syari’at adalah menyamakan para istri dalam hal mabit (bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan diatas adalah fardhu atau wajib. Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil tentang syarat kedua ini jelas sekali dari firman Allah SWT surat an-Nisa’:129 yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Yang dimaksud Allah SWt adalah adil yang tidak dimampui dan tidak disanggupi dilakukan oleh sorang kebutuahhamba karena bukan hamba yang mengusahakannya, 37
namun semata-mata pemberian Allah SWT yaitu adil dalam masalah cinta dan kecondongan hati. Oleh karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut adalah kalian tidak akan sanggup berlaku adil dalam menyamakan rasa cinta dan kecondongan hati, sebab hal itu bukanlah hasil usaha kalian walaupun kalian bersungguh-sungguh untuk menyamakan cinta di antara para istri mereka. c. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta. Kemampuan jasmani disini dijelaskan bahwa sang suami harus mempunyai dan bisa memenuhi kebutuhan pernikahan. Dalam hal kemampuan materi dalam pernikahan mencakup makanan, minuman dan tempat tinggal. Dengan demikian suali dituntut bisa bertanggung jawab memberikan kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istri lebih dari satu, maka tidak halal baginya menikah lagi. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam hal kebutuhan
primer
bagi
sang
istri
(http://www.inpasonline.com/new/poligami-dalam-pandanganliberal-dan-ulama/, diakses pada 18 September 2015, 08.15). 4. Sebab Kecenderungan Terjadinya Poligami Orang yang mengambil keputusan melakukan poligami, biasanya ada kecenderungan dalam hidup. Seharmonis apapun, pasti ada sebabnya yang membuat dirinya menganmbil keputusan poligami. 38
Baik itu sebabnya dari pihak suami maupun karena pihak istri. Dalam kitab al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili (2004: 6669-6670), menerangkan ada beberapa sebab terjadinya suami melakukan poligami, antara lain: a) Istri mandul atau mengidap suatu penyakit Bila seorang suami mempunyai seorang istri yang mandul, sedangkan ia menginginkan seorang anak. Maka termasuk kemaslahatan sang istri dan kemaslahatan mereka (suami istri), hendaknya sang suami menetapkan istri pertamanya, kemudian menikahi wanita lain. Terlebih lagi jika status sang suami sebagai orang terpandang dan memiliki kekayaan, misalnya seorang raja atau amir (al-Maraghi, 1974: 326-327). Atau jika sang istri telah lama mengidap penyakit yang parah, walaupun istri tidak berbuat nusyuz dan akhlak serta tingkah lakunya baik, akan tetapi sang suami mengharapkan seorang anak maka tidak tertutup hukum jika sang suami menikah lagi. Namun demikian tetap dengan syarat sang suami bisa adil nantinya. Sebab lain yang memungkinkan seorang suami melakukan poligami adalah karena istri nusuz (durhaka) kepada suami. Sehingga suami merasa tidak dihormati, ia tidak mendapati apa yang diinginkan istrinya, sehingga mengambil keputusan poligami. Namun agama telah mengajarkan, Firmah Alah SWT: 39
ِ وزا أَو إِعراضا فَ ََل جنَاح َعلَي ِهما أَن ي ِِ صل َحا ُ ُٱمرأَةٌ َخافَت ِمن بَعلِ َها ن ًش ُ َ ُ َ َ َ َوإن ِ ُٱلش اح وإِن ت ِ ِ ُّ صلحا َو ْحسنُواْ َوتَتا ُقوا ُ بَينَ ُه َما ُ ٱلص َ ُّ س ُ لح َخير َوأُحض َرت ٱألَن ُف ِ ٨٢١ عملُو َن َخبِيرا َ َفَِإ ان ٱللاهَ َكا َن ب َما ت
Artinya :” Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarbenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. An-Nisa’:128). b) Bila sang istri telah tua, dan mencapai umur yai’sah (tidak haid) lagi. Terkadang dalam suatu pernikahan, umur sang suami dan sang istri terpaut agak jauh. Dan jika sang istri telah tua dan mencapai umur yai’sah (tidak haid) lagi, sedangkan dalam pernikahan belum ataupun telah dikaruniai anak dan sang suami mengharapkan anak lagi, maka boleh menikah lagi jika sang suami mampu memberikan nafkah lebih dari seorang istri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya, termasuk pendidikan mereka (al-Maraghi, 1993: 327).
c) Bila sang suami mendapat kapabilitas yang lebih. Maksudnya adalah bila sang suami tidak cukup hanya beistri seorang, demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami, sedang sang istri kebalikannya. Atau bisa juga 40
karena masa haid sang istri, umpamanya terlalu panjang, hingga memakan waktu sebagian besar dari bulannya. Sehingga kini posisi suami dihadakan pada dua alternatif. Terkadang ia harus menikah lagi atau akan terjerumus dalam perbuatan zina yang akibatnya menyia-nyiakan agama, harta benda, dan kesehatannya. Akibatnya lebih berbahaya bagi sang istri jika dibandingkan dengan sang suami menikah lagi dan memadunya dengan istri lain yang disertai dengan keadilan sang suami terhadap semuanya, sebagaimana yang menjaadi syarat dibolehkannya poligami dalam Islam (al-Maraghi, 1974: 327). Dalam buku Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mushthafa alMaraghi (1974: 327), terdapat satu lagi sebab kecenderungan terjadinya poligami, yakni bila dari hasil sensus kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dalam suatu negara, dengan perbandingan yang mencolok. Hal itu bisa terjadi setelah suatu negara
baru
saja
mengalami
peperangan
yang
banyak
menewaskan kaum pria. Dalam keadaan yang seperti itu, tidak ada sarana yang lain bagi wanita dalam mencari kasab, kecuali hanya dengan menjual diri (kehormatannya) akibatnya jelas akan membuat wanita itu hidup sengsara, karena ia harus menjamin nafkah diri dan anak-anaknya yang telah kehilangan seorang ayah sebagai penanggung kebutuhan mereka. Terlebih lagi jika hal itu
41
terjadi seteah melahirkan dan dalam masa penyusuan, sungguh mengharukan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq (1980: 181-182), Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu, harus ada badan yang memperhatikan janda-janda para syuhada’ ini. Tak ada jalan yang baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan mengawini mereka, di samping juga untuk menggantikan jiwa yang telah tiada. Hal ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memperbanyak keturunan dan poligami merupakan salah satu faktor memperbanyak jumlah ini. Demikian adalah alasan yang terjadi di masa dahulu. Di masa sekarang pun alasan yang sering di angkat dalam perbincangan
masalah
poligami
adalah
kelebihan
jumlah
perempuan atas laki-laki. Argumen yang sering disampaikan berkaitan dengan jumlah perempuan bahwa apabila jumlah perempuan usia kawin lebih besar daripada jumlah laki-laki usia kawin,
maka
melarang
poligami
sama
artinya
dengan
mengkhianati kemanusiaan dan memperkosa hak perempuan. Jika hanya perkawinan monogami yang dianggap sah, padahal jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki, maka sekelompok perempuan akan terlantar tanpa suami dan akan terus kehilangan 42
hak untuk hidup berkeluarga. Dalam kondisi demikian, poligami harus dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang belum menikah sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum perempuan yang telah menikah (Mulia, 2007: 53-54). Dengan demikian, ringkasnya adalah boleh melakukan praktik poligami jika dalam keadaan terpaksa, atau karena suatu kebutuhan, atau adanya suatu halangan, atau pula demi mengabulkan kemaslahatan syariat. Namun dengan catatan pula, sang
suami
harus
bisa
diperbolehkannya poligami.
43
berlaku
adil,
sebagai
syarat
BAB III TELAAH MATAN HADIS
A. Kompilasi Dan Arti Matan Hadis 1. Redaksi Dan Arti Matan Hadis Hadis tentang larangan poligami yang penulis kaji, setelah dicari dalam CD room Hadis Sharif dan diteliti dalam kitab aslinya, penulis mendapatkan redaksi hadis tersebut dalam 6 kitab dari kutub at-tis’ah yakni terdapat dalam kitab: a. Shahih Bukhori (Hadis ke 5230 bab 110)
ال َ َث َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن َم ْخ َرَمةَ ق ُ َح ادثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح ادثَنَا اللاْي ِ َ ت رس ِ ول َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر إِ ان بَنِي ُ صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يَ ُق َ ول اللاه ُ َ ُ َسم ْع ِ ِ ٍ ِاستَأْ َذنُوا فِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَال ب فَ ََل َ ِه ْ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ٍ ِآ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَال ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي َويَ ْن ِك َح ال َ َض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آ َذ َاها َه َك َذا ق ْ َابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َما ِه َي ب
Artinya: “Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibnu Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Makhramah berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda diatas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. Begitulah Nabi Bersabda” (al-Bukhari, 1992:489 juz 5).
44
b. Shahih Muslim (Hadis ke 2449 No 93 Bab 15)
ٍ ح ادثَنَا أَحم ُد بن َعب ِد اللا ِه ب ِن يونُس وقُتَ يبةُ بن س ِع ِ يد كِ ََل ُهما َعن اللاْي ث بْ ِن ْ ُْ َْ ْ َ َ ُ ْ َْ َ َ ُ ْ َ ث َح ادثَنَا َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن عُبَ ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ُملَْي َك َة َ ََس ْع ٍد ق ٌ س َح ادثَنَا لَْي َ ُال ابْ ُن يُون ِ َ الْ ُقر ِش ُّي التاي ِم ُّي أَ ان ال ِْمسور بن م ْخرمةَ ح ادثَهُ أَناهُ س ِمع رس ُصلاى اللاه ْ َ ول اللاه َُ َ َ َ ََ َ َ ْ َ َ ْ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ استَأْ َذنُوني أَ ْن ُ َعلَْيه َو َسلا َم َعلَى الْم ْنبَ ِر َو ُه َو يَ ُق َ ول إِ ان بَني ه ْ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ٍ ِيُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَال ب فَ ََل آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن ٍ ِب ابْ ُن أَبِي طَال ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َما ابْ نَتِي لَ ُه ْم إِاال أَ ْن يُ ِح ا ض َعةٌ ِمنِّي يَ ِريبُنِي َما َرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها ْ َب Artinya:“Ahmad bin Abdullah bin Yunus bercerita kepada kita, dan Qutaibah bin Sa’id keduanya berkata dari Lais bin Sa’id, Ibnu Yunus berkata Lais bercerita kepada kita, Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Qurasiyy At-Taimiyy bercerita kepadaku sesungguhnya al-Miswar bin Mukhromah bercerita kepadanya sesungghunya ia mendengar Rasulullah SAW diatas mimbar dan beliau bersabda:”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan kepada mereka, sekali lagi tidak akan mengizinkan kepada mereka, sungguh tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga” (Muslim, 1992: 110 juz 3).
c. Sunan Tirmidzi (Hadis ke 3867 Bab 61)
ال َ َث َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َك َة َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن َم ْخ َرَمةَ ق ُ َح ادثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح ادثَنَا اللاْي ش ِام بْ ِن ُ صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يَ ُق َ ول َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر إِ ان بَنِي ِه ُ َس ِم ْع َ ت النابِ اي ِ ِ ٍ ِاستَأْ َذنُونِي فِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَال ب فَ ََل آ َذ ُن ثُ ام َال ْ ال ُْمغ َيرة ٍ ِآذَ ُن ثُ ام َال آذَ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَال ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْنَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم ِ يث َ َض َعةٌ ِمنِّي يَ ِريبُنِي َما َرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها ق ٌ يسى َه َذا َح ِد ْ َفَِإنا َها ب َ ال أَبُو ع 45
ِ حسن يح َوقَ ْد َرَواهُ َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن ٌ صح َ ٌَ َ َم ْخ َرَم َة نَ ْح َو َه َذا
Artinya: “Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibn Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah berkata, aku mendengar bahwa nabi bersabda: :”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga” (Abu ‘Isa berkata hadis ini Hasan Shahih dan sebagaimana Amr bin Dinar dari Ibn Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah) (Tirmidzi, 209: 655 juz 5). d. Sunan Ibnu Majjah (Hadis ke 1998 Bab 56)
ٍ ح ادثَنَا أَحم ُد بن يونُس وقُتَ يبةُ بن س ِع ث َ َيد ال َْم ْعنَى ق ُ َح َم ُد َح ادثَنَا اللاْي ْ ال أ َ ُ ْ َْ َ َ ُ ُ ْ َ ْ َ َح ادثَنِي َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن عُبَ ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ الْ ُق َر ِش ُّي الت ْاي ِم ُّي أَ ان ال ِْم ْس َوَر بْ َن ِ َ م ْخرمةَ ح ادثَهُ أَناهُ س ِمع رس ول إِ ان ُ صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق َ ول اللاه َُ َ َ َ ََ َ ِ ِ ٍ ِاستَأْ َذنُونِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْ نَتَ ُه ْم ِم ْن َعلِ ِّي بْ ِن أَبِي طَال ب َ بَنِي ِه ْ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ٍ ِفَ ََل آ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَال ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي ض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آ َذ َاها ْ ََويَ ْن ِك َح ابْ نَتَ ُه ْم فَِإنا َما ابْ نَتِي ب ِ اْل ْخبار فِي ح ِد َح َم َد ْ يث أ َ ُ َ ِْ َو
Artinya: “Ahmad bin Yunus bercerita kepada kita dan Qutaibah bin Sa’id al-Ma’na Ahmad berkata Lais menceritakan kepada kita, Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah alQarasiyy at-Tamiyy sesungghunya al-Miswar bin Mukhromah berkata kepadanya sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW diatas mimbar bersabda: :”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin alMughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi 46
Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”(dan dikabarkan dalam hadis Ahmad (Ibnu Majah, 207: 643 Juz 1). e. Sunan Abu Daud (Hadis ke 2071 Bab 56/6)
ِ ٍ ث بْ ُن َس ْع ٍد َع ْن َع ْب ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ُّ ص ِر ُ ي َح ادثَنَا اللاْي ْ يسى بْ ُن َح اماد ال ِْم َ َح ادثَنَا ع ِ َ ت رس ِ َ َملَْي َكةَ َعن ال ِْمسوِر بْ ِن م ْخرمةَ ق صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َ ول اللاه ُ َ ُ ال َسم ْع ََ َ ُ َْ ْ ِ ِ استَأْ َذنُونِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم ُ َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق َ ول إِ ان بَنِي ِه ْ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ٍ َِعلِ اي بْ َن أَبِي طَال ب فَ ََل آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم إِاال أَ ْن يُ ِري َد ٍ َِعلِ ُّي بْ ُن أَبِي طَال ض َعةٌ ِمنِّي يَ ِريبُنِي ْ َب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْنَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َما ِه َي ب َما َرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها Artinya: “’Isa bin Hammad al-Misriyy bercerita kepada kita, Lais bin Sa’id bercerita kepada kita dari Abdillah bin Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukromah berkata aku mendengar Rasulullah SAW dan beliau diatas mimbar, bersabda:” Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan kepada mereka, sekali lagi tidak akan mengizinkan kepada mereka, sungguh tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga” (Abu Daud, 1996:92 juz 2). f. Musnad Imam Ahmad (Hadis no 18164)
ِ اشم بن الْ َق ِ ال َح ادثَنِي َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن َ َث يَ ْعنِي ابْ َن َس ْع ٍد ق ُ اس ِم َح ادثَنَا اللاْي ُ ْ ُ َح ادثَنَا َه ِ َ ت رس ِ َ َعُب ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ملَْي َكةَ َع ِن ال ِْمسوِر بْ ِن م ْخرمةَ ق صلاى َ ول اللاه َ ُ َ ُ ال َسم ْع ََ َ ُ َْ ِ ِ استَأْ َذنُونِي ُ اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق َ ول إِ ان بَنِي ِه ْ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة
47
ٍ ِفِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَال ال َال آذَ ُن ثُ ام َ َب فَ ََل آذَ ُن لَ ُه ْم ثُ ام ق ض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها َ َق ْ َال َال آذَ ُن فَِإنا َما ابْنَتِي ب
Artinya: “ Hasyim bin Qasim bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita yakni Ibn Abi Sa’id berkata Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah bercerita kepadaku dari alMiswar bin Mukhromah berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW dan beliau diatas meimbar, bersabda: “Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin alMughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan kepada mereka, sekali lagi nabi bersabda tidak akan aku izinkan kepada mereka, kemudian Nabi bersabda lagi sungguh tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga” (Imam Ahmad, 1978: 328 Jilid 4). 2. Analisis Redaksi Matan Hadis Dari tampilan matan di atas, terlihat bahwa hadis tersebut diriwayatkan dengan metode periwayatan bi al-ma’na. Perbedaan matan dalam tiap-tiap periwayatan nampak pada beberapa kata/lafadz yang digaris bawahi. Pada redaksi hadis yang dimiliki oleh Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad, sama-sama menggunakan lafadz
استَأْذَنُونِي. ْ
Sedangkan redaksi hadis yang dimiliki oleh Bukhari
menggunakan lafadz استَأْذَنُوا ْ Penggunaan kalimat yang digunakan oleh Bukhari, Tirmidzi dan Abu Daud, sama-sama menggunakan kalimat 48
ال َال َ َفَ ََل آذَ ُن لَ ُه ْم ثُ ام ق
ال َال آذَ ُن َ َآذَ ُن ثُ ام ق. Sedangkan Muslim, Ibnu Majah dan Imam Ahmad menambahkan kata
ََلُ ْمdalam kalimat tersebut sehingga menjadi فَ ََل
آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم. Penggunaan kata “mau” dalam redaksi hadis Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah, sama-sama menggunakan lafadz
أَ ْن يُ ِري َد.
Sedangkan dalam redaksi hadis Muslim menggunakan lafadz
ِ ب ّ أَ ْن يُح
. Dan hanya pada redaksi Imam Ahmad tidak mengatakan keduanya. Dalam redaksi Bukhari dan Ibnu Majah menggunakan lafadz
ِه َي
فَِإنا َما
sedangkan Muslim, Abu Daud dan Abu Daud dalam redaksinya
menggunakan lafadz ابْ نَتِي
فَِإنا َما. Berbeda pula dengan redaksi Tirmidzi
yang tidak menggunakan lafadz keduanya akan tetapi menggunakan lafadz فَِإنا َها. Perbedaan redaksi matan hadis di atas terdapat pula dalam bagian terakhir, yang mana redaksi yang dimiliki oleh Bukhari, Abu Daud dan Imam Ahmad menggunakan lafadz
49
َما أ ََرابَ َها.
Sedangkan dalam
matan hadis yang dimiliki oleh Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah menggunkan lafadz
ما َرابَ َها. َ
Perbedaan dan penambahan matan ataupun pengurangan lafadz matan yang dijabarkan di atas, tidak menimbulkan kerancuan pemaknaan dan perubahan subtansi mana yang terkandung dalam hadis. Sehingga, perubahan-perubahan tersebut bisa diterima sebagai konsekuensi dari hadis periwayatan bi al-Ma’na. B. Keabasahan Matan Hadis 1. Asbab al-Wurud (Sebab turunnya hadis) Dalam kitab terjemahan Fathul Baari jilid 25 yang ditulis oleh al-Hafidz bin Ibn Hajar al-Asqalani (2013: 767) ternyata disebutkan bahwa hadis ini terdapat dalam bab pembelaan seseorang terhadap anak wanitanya dalam hal kecemburuan dan keadilan, bukan terdapat dalam bab larangan menikah lebih dari satu. Maksud bab ini adalah dalam rangka menolak kecemburuan darinya dan meminta perlakuan adil terhadapnya. Hadist ini turun bersamaan dengan hadis yang membahas tentang ketetapan seperlima harta rampasan perang dan keutamaankeutamaan, melalui riwayat az-Zuhri, dari Ali bin al-Husain bin Ali, dari al-Miswar, dan ditambahkan pada pembahasan tentang seperlima rampasan perang, kisah tentang pedang Nabi SAW. Itu pula latar belakang al-Miswar menceritakan hadis ini kepada Ali bin al-Husain
50
bin. Ia sudah menyebutkan persoalan tentang pedang di tempat itu. Hanya saja masih heran terhadap al-Miswar, bagaimana ia begitu fanatik terhadap Ali bin al-Husain, hingga ia berkata, “sekiranya pedang diberikan padanya niscaya ia tidak akan menyerahkan kepada siapapun hingga nyawanya melayang,”. Hal ini ia lakukan untuk menghormati Ali bin al-Husain sebagai cucu Fatimah, secara ia berhujjah dengan hadis ini. Akan tetapi ia tidak menjaga perasaan Ali bin al-Husain karena konteks hadis ini terdapat hal yang tidak membuat Ali senang, karena secara dzahir menurunkan derajat kakeknya (Ali bin Abu Thalib) yang hendak meminang putri Abu Jahal, untuk dimadukan dengan Fatimah, sampai Nabi SAW harus turun tangan dan mengingkarinya. Bahkan menurut al-Asqalani lebih heran lagi terhadap alMiswar, bagaimana ia hendak mengorbankan dirinya untuk anak Fatimah sendiri, maksudnya ketika Ali ditimpa cobaan hingga membawa kepada pembunuhannya di tangan para penguasa dzalim. Hanya saja, mungkin sikapnya dapat di legitimasi bahwa ketika Ali keluar menuju Irak, al-Miswar dan penduduk Hijaz tak menduga peristiwa akan berlangsung seperti itu. Pada pembahasan tentang ketetapan seperlima rampasan perang sudah disebutkan letak kesesuaian antara kisah pedang dan pinangan. 2. Kandungan Hukum
51
Setelah mengetahui bagaimana kondisi dan sebab-sebab diturunkannya hadis tersebut, kemudian kita mengkaji bagaimana kandungan hukum yang terdapat dalam hadis tersebut sehingga tidak adanya salah pemahaman di kemudian hari. Ada beberapa kandungan hukum yang tersirat dalam hadis tersebut. Namun terlebih dahulu kita mengkaji satu persatu kalimat yang ada dalam hadis sehingga mudah untk memahami kandungan hukumnya.
ِ َ ت رس ِ صلاى اللاهُ عَلَْي ِه َو َسلا َم َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر َ ول اللاه ُ َ ُ ( َسم ْعAku mendengar Rasulullah SAW bersabda sementara beliau diatas mimbar). Pada saat itu Rasulullah bersabda atau berkhutbah dan beliau berada diatas mimbar.
ِش ِام ب ِن الْم ِغيرة ِ ِ ْ َ ( إِ ان بَني هsesungguhnya Bani Hisyam bin alَ ُ Mughirah). Dalam riwayat Muslim disebutkan, Hasyim bin alMughirah, tetapi yang benar adalah Hisyam karena ia adalah kakek dari wanita yang dipinang.
استَأْذَنُوا ْ (Mereka minta izin). Dalam riwayat selain Bukhori disebutkan, استَأْ َذنُونِي ْ (Mereka minta izin kepadaku).
ٍ ِ( فِي أَ ْن يُ ْن ِك ُحوا ابْ نَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَالuntuk menikahkan putri ب mereka dengan Ali bin Abi Tholib). Demikian dalam riwayat Ibn Abi
52
Mulaikah, bahwa sebab khutbah adalah permintaan izin bani Hisyam bin al-Mughirah.
( فَ ََل آ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُن ثُ ام َال آ َذ ُنKetahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan). Beliau mengulanginya untuk memberikan penegasan. Di dalamnya tersirat bahwa hadis tersebut mengisyaratkan larangan itu berlaku selamanya. Seakan-akan beliau SAW menghapus makna majaz, karena bila hanya sekali masih mungkin timbul anggapan bahwa akan berlaku di masa tertentu. Maka beliau melanjutkan , “kemudian aku tidak mengizinkan”, yakni setelah berlalu masa itu, aku tidak mengizinkan pula, dan begitulah selamanya. Di sini juga terdapat isyarat kepada keterangan pada hadis, bahwa bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin. Adapun bani Hisyam adalah paman-paman anak wanita Abu Jahal, karena nama Abu Jahal adalah Abu Al Hakam Amr bin Hisyam bin Al-Mughirah. Kedua saudaranya al-Harits bin alHisyam dan Salamah bin al-Hisyam, telah memeluk Islam pada waktu peristiwa penaklukan Makkah dan memperbaiki Islam mereka. Diantara mereka yang juga disebut bani Hisyam bin al-Mughirah adalah Ikrimah bin Abu Jahal bin Hisyam. Dia telah memeluk Islam dan memperbaiki keIslamannya. Mengenai nama wanita yang dipinang terdapat penjelasannya dalam “Bab Penyebutan Menantumenantu Nabi SAW”, pada pembahasan tentang keutamaan. Dikatakan, wanita ini dinikahi Itab bin Usaid bin Abi al-Ish. 53
ٍ ِ( إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَالkecuali kalau Ali ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي َويَ ْن ِك َح ابْ نَتَ ُه ْم bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka). Hal ini dipahami bahwa sebagian orang yang benci Ali menyebarkan isu bahwa Ali bertekad melakukannya. Jika tidak, maka tidak boleh ada dugaan bahwa dia tetap melangsungkan pinangan setelah ia meminta saran Nabi, dan beliau melarangnya. Ibni at-Tin mengatakan bahwa pandangan paling shahih terhadap
kisah
ini
bahwa
Nabi
SAW
mengharamkan
Ali
mengumpulkan antara putrinya dengan anak wanita Abu Jahal. Beliau SAW beralasan bahwa yang demikian menyakiti dirinya. Padahal menyakiti diri beliau SAW adalah haram. Makna sabdanya, ‘aku tdak mengharamkan yang halal’, yakni ia halal bagi Ali sekiranya tidak ada Fatimah di sisinya. Adapun mengumpulkan keduanya yang berakibat menyakiti Nabi SAW dengan sebab Fatimah merasa tersakiti karenanya, maka itu tidak diperbolehkan. Ulama
selainnya
mengklaim
bahwa
redaksi
riwayat
mengindikasikan bahwa yang demikian itu adalah halal bagi Ali. Namun, Nabi SAW melarangnya untuk menjaga perasaan Fatimah, dan Ali RA pun menerimanya sebagai bentuk komitmen terhadap perintah Nabi SAW. dengan demikian bahwa terlalu jauh jika dikatakan termasuk kekhususan Nabi SAW untuk tidak memadukan putri-putrinya.
Mungkin
juga
alaihassalam. 54
demikian
khusu
bagi
Fatimah
ض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آ َذ َاها ْ َ( فَِإنا َما ابْ نَتِي بKetahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga). Dengan demikian tersirat bahwa sekiranya Fatimah meridhai hal itu, maka tak terhalang bagi Ali RA menikahi wanita yang dipinangnya atau wanita lainnya. Kandungan hukum atau pelajaran yang dapat diambil adalah: a) Larangan menyakiti siapa yang karenanya Nabi SAW tersakiti, sebab menyakiti nabi SAW adalah haram menurut kesepakatan. Sementara Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa apa yang menyakiti Fatimah adalah menyakiti beliau, maka semua orang yang melakukan terhadap Fatimah dan ia menyakitinya, berati orang itu juga menyakiti Nabi SAW. Tidak ada suatu yang lebih menyakitkan Fatimah selain pembunuhan anaknya. Oleh karena itu, setelah ada yang melakukan penelitian ternyata orangorang yang melakukan perbuatan itu disegerakan siksanya di dunia, dan disediakan baginya adzab yang lebih pedih di akhirat. b) Dalil bagi mereka yang merapkan kaidah menuju kerusakan, karena menikah lebih dari satu adalah halal bagi laki-laki selama tidak melebihi empat orang. Meski hadis ini dilarang dilakukan, karena dampaknya di masa yang akan datang. c) Cacat leluhur tetap mengikut pada keturunannya, berdasarkan sabdanya, “anak wanita musuh Allah”, karena di dalamnya 55
terdapat asumsi bahwa sifat tersebut memiliki pengaruh kepada pelarangan. Padahal wanita yang dipinang Ali tersebut telah masuk Islam. d) Jika kecemburuan dikhawatirkan menimbulkan fitnah pada agama seorang wanita, maka walinya harus berusaha menghilangkannya, sama seperti hukum pada wanita durhaka tehadap suaminya. Akan tetapi, pernyataan ini dapat ditinjau kembali. Mungkin dapat dimasukkan syarat, yaitu wanita yang akan dimadu tidak lagi memiliki orang-orang yang mampu menghibur dan meringankan bebannya (seperti dahulu). Dari sini diperoleh jawaban bagi yang mempertanyakan alasan pengkhususan Fatimah akan hal itu. Padahal cemburu terhadap Nabi lebih kuat menimbulkan fitnah dalam agama. Kesimpulannya Fatimah saat itu tidak lagi memiliki orang-orang yang bisa menghiburnya dan meringankan bebannya, seperti ibu atau saudara wanita (al-Asqalani, 2013: 767-776).
56
BAB IV TELAAH SANAD HADIS
A. Redaksi Hadis tentang Larangan Poligami Hadis tentang larangan poligami ini terdapat dalam beberapa jalur periwayatan. Adapun redaksi hadis dari masing-masing periwayatan adalah: g. Shahih Bukhori
ال ث َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن َم ْخ َرَم َة قَ َ َح ادثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح ادثَنَا اللاْي ُ ت رس َ ِ ِ ش ِام صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يَ ُق ُ ول َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر إِ ان بَنِي ِه َ ول اللاه َ َسم ْع ُ َ ُ ِ ِ استَأْ َذنُوا فِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْ نَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَالِ ٍ ب فَ ََل آ َذ ُن ثُ ام َال بْ ِن ال ُْمغ َيرة ْ آذَ ُن ثُ ام َال آذَ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَالِ ٍ ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْنَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َما ال ض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها َه َك َذا قَ َ ِه َي بَ ْ
h. Shahih Muslim
ح ادثَنَا أَحم ُد بن َعب ِد اللا ِه ب ِن يونُس وقُتَ يبةُ بن س ِع ٍ يد كِ ََل ُهما َعن اللاْي ِ ث بْ ِن َس ْع ٍد َْ ُْ ْ َ ْ ْ ُ َ َ َْ ْ ُ َ َ ث َح ادثَنَا َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن عُبَ ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ الْ ُق َر ِش ُّي قَ َ س َح ادثَنَا لَْي ٌ ال ابْ ُن يُونُ َ التاي ِم ُّي أَ ان ال ِْمسور بن م ْخرمةَ ح ادثَهُ أَناهُ س ِمع رس َ ِ صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم ْ ول اللاه َ َ َ َُ ْ َ َ ْ َ َ ََ َ ِ ِ استَأْذَنُونِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر َو ُه َو يَ ُق ُ ول إِ ان بَنِي ِه َ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ْ َعلِ اي بْ َن أَبِي طَالِ ٍ ب ب فَ ََل آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آ َذ ُن لَ ُه ْم إِاال أَ ْن يُ ِح ا ابْ ُن أَبِي طَالِ ٍ ض َعةٌ ِمنِّي يَ ِريبُنِي َما ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْنَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َما ابْ نَتِي بَ ْ َرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آ َذ َاها
i. Sunan Tirmidzi
ال ث َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن َم ْخ َرَم َة قَ َ َح ادثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح ادثَنَا اللاْي ُ ش ِام بْ ِن صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يَ ُق ُ ول َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر إِ ان بَنِي ِه َ َس ِم ْع ُ ت النابِ اي َ 57
ِ ِ استَأْذَنُونِي فِي أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَالِ ٍ ب فَ ََل آذَ ُن ثُ ام َال آذَ ُن ال ُْمغ َيرة ْ ثُ ام َال آذَ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَالِ ٍ ض َعةٌ ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْنَتِي َويَ ْن ِك َح ابْنَتَ ُه ْم فَِإنا َها بَ ْ ِ يث حسن ِ ِ يح ِمنِّي يَ ِريبُنِي َما َرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها قَ َ صح ٌ يسى َه َذا َحد ٌ َ َ ٌ َ ال أَبُو ع َ َوقَ ْد َرَواهُ َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر َع ْن ابْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ َع ْن ال ِْم ْس َوِر بْ ِن َم ْخ َرَم َة نَ ْح َو َه َذا
j. Sunan Ibnu Majjah
ح ادثَنَا أَحم ُد بن يونُس وقُتَ يبةُ بن س ِع ٍ ث َح ادثَنِي يد ال َْم ْعنَى قَ َ َح َم ُد َح ادثَنَا اللاْي ُ ال أ ْ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َْ ْ ُ َ َ َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن ُعبَ ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ُملَْي َكةَ الْ ُق َر ِش ُّي الت ْاي ِم ُّي أَ ان ال ِْم ْس َوَر بْ َن َم ْخ َرَمةَ َح ادثَهُ أَناهُ س ِمع رس َ ِ ش ِام بْ ِن صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق ُ ول إِ ان بَنِي ِه َ ول اللاه َ َ َ َُ ِ ِ استَأْذَنُونِي أَ ْن يُ ْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم ِم ْن َعلِ ِّي بْ ِن أَبِي طَالِ ٍ ب فَ ََل آذَ ُن ثُ ام َال آذَ ُن ال ُْمغ َيرة ْ ثُ ام َال آذَ ُن إِاال أَ ْن يُ ِري َد ابْ ُن أَبِي طَالِ ٍ ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي َويَ ْن ِك َح ابْ نَتَ ُه ْم فَِإنا َما ابْ نَتِي ب ْ ِ ِِ ِ اْل ْخبار فِي ح ِد ِ َح َم َد يث أ ْ َ َ ض َعةٌ منِّي يُ ِريبُني َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤذيني َما آ َذ َاها َو ِْ َ ُ
k. Sunan Abu Daud
ِ ٍ ث بْ ُن َس ْع ٍد َع ْن َع ْب ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ص ِر ُّ ي َح ادثَنَا اللاْي ُ يسى بْ ُن َح اماد ال ِْم ْ َح ادثَنَا ع َ ت رس َ ِ ملَْي َك َة َعن ال ِْمسوِر بْ ِن م ْخرم َة قَ َ ِ صلاى اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َو ُه َو ول اللاه َ ال َسم ْع ُ َ ُ َ ََ ُ ْ َْ ِ ِ ِ ِ ِ استَأْ َذنُونِي أَ ْن يُ ْنك ُحوا ابْ نَتَ ُه ْم َعل اي َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق ُ ول إِ ان بَنِي ه َ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ْ بْ َن أَبِي طَالِ ٍ ب فَ ََل آذَ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آذَ ُن لَ ُه ْم ثُ ام َال آذَ ُن لَ ُه ْم إِاال أَ ْن يُ ِري َد َعلِ ُّي بْ ُن أَبِي طَالِ ٍ ض َعةٌ ِمنِّي يَ ِريبُنِي َما َرابَ َها ب أَ ْن يُطَلِّ َق ابْ نَتِي َويَ ْن ِك َح ابْ نَتَ ُه ْم فَِإنا َما ِه َي بَ ْ َويُ ْؤ ِذينِي َما آذَ َاها
l. Musnad Imam Ahmad
اشم بن الْ َق ِ ِ ال َح ادثَنِي َع ْب ُد اللا ِه بْ ُن ث يَ ْعنِي ابْ َن َس ْع ٍد قَ َ اس ِم َح ادثَنَا اللاْي ُ َح ادثَنَا َه ُ ْ ُ ت رس َ ِ عُب ْي ِد اللا ِه بْ ِن أَبِي ملَْي َك َة َع ِن ال ِْمسوِر بْ ِن م ْخرم َة قَ َ ِ صلاى ول اللاه َ َ ال َسم ْع ُ َ ُ َ ََ ُ َْ ِ ِ استَأْ َذنُونِي فِي اللاهُ َعلَْي ِه َو َسلا َم َو ُه َو َعلَى ال ِْم ْنبَ ِر يَ ُق ُ ول إِ ان بَنِي ِه َ ش ِام بْ ِن ال ُْمغ َيرة ْ أَ ْن يُْن ِك ُحوا ابْنَتَ ُه ْم َعلِ اي بْ َن أَبِي طَالِ ٍ ال َال ال َال آ َذ ُن ثُ ام قَ َ ب فَ ََل آ َذ ُن لَ ُه ْم ثُ ام قَ َ ض َعةٌ ِمنِّي يُ ِريبُنِي َما أ ََرابَ َها َويُ ْؤ ِذينِي َما آ َذ َاها آ َذ ُن فَِإنا َما ابْ نَتِي بَ ْ 58
B. Kajian Kuantitas Sanad Hadis tentang larangan poligami setelah diteliti dalam CD room hadis sharif dan dicari di dalam kitab aslinya, ditemukan dalam berbagai jalur periwayatan diantaranya adalah jalur Bukhari di dalam bab pembelaan seseorang terhadap anak wanitanya dalam hal kecemburuan dan keadilan, jalur Muslim di dalam kitab fadhilahnya para sahabat bab fadhilah Fatimah putri Nabi SAW, jalur at-Tirmidzi di dalam kitab manaqib bab fadhilah Fatimah RA, jalur Ibnu Majah di dalam bab alghairah (kecemburuan), jalur Abu Daud di dalam bab mengenai apa yang dimakruhkan jika mengumpulkan beberapa wanita, dan jalur Imam Ahmad terdapat di dalam bab orang-orang Islam terdahulu. Sebelum peniliti membuat bagan, alangkah lebih jelasnya peneliti memaparkan sanad dari berbagai jalur, diantaranya: 1. Jalur periwayatan Bukhari
Nabi Muhammad SAW Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat) Ibnu Abi Mulaikah (Tabi'in) Al-Laits (Tabi'it Tabi'in) Qutaibah (Tabi't Tabi'it Tabi'in)
2. Jalur periwayatan Muslim
59
Nabi Muhammad SAW Al-Miswar bin Mukhramah Ibnu ABi Mulaikah Al-Laits Qutaibah dan Ahmad bin Yunus 3. Jalur periwayatan Tirmidzi
Nabi Muhammad SAW Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat) Ibnu ABi Mulaikah (Tabi'in) Al-Laits (Tabi't Tabi'in) Qutaibah (Tabi't Tabi'it Tabi'in) 4. Jalur perwayatan Ibnu Majah Nabi Muhammad SAW Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat) Ibnu ABi Mulaikah (Tabi'in) Al-Laits (Tabi't Tabi'in) Qutaibah dan Ahmad bin Yunus (Tabi't Tabi'it Tabi'in)
60
5. Jalur periwayatan Abu Daud Nabi Muhammad SAW
Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat) Ibnu ABi Mulaikah (Tabi'in) Al-Laits (Tabi'it Tabi'in) 'Isa bin Khammad (Tabi'it Tabi'it Tabi'in) 6. Jalur periwayatan Ahmad
Nabi Muhammad SAW Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat) Ibnu ABi Mulaikah (Tabi'in) Al-Laits (Tabi't Tabi'in) Hasyim bin Al-Qasim (Tabi'it Tabi'it Tabi'in) Jika dilihat dari jalur-jalur sanad periwayatan tersebut, banyak dari beberapa yang memang hampir sama sanad perawinya. Walaupun demikian peliti harus melacak kredibilitas masing masing perawi untuk mengetahui apakah hadis tersebut termasuk hadis shahih, hasan, maudhu’ atau
yang lainnya. Untuk lebih memperjelas sanad atau jalur
periwayatannya, peneliti membuat bagan yang selengkapnya bisa dilihat dalam bagan berikut ini:
61
Nabi Muhammad SAW
Ibnu Abi Mulaikah (Tabi’in)
Bukhari
Qutaibah
Al-Laits (Tabi’it Tabi’in)
Ahmad bin Yunus
Muslim
Tirmidzi
(Tabi’it Tabi’it tabi’in)
Al-Miswar bin Mukhramah (Sahabat)
Bagan 4.1 Kompilasi Jalur Periwayatan Hadis
Abu Daud
‘Isa bin Khammad
Ibnu Majah
Hasyim bin Al-Qasim
Ahmad
62
C. Telaah Kualitas Sanad Setelah ditemukan dalam berbagai jalur periwayatan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai profil dan riwayat hidup masing-masing para perawi hadis. Sumber penulisan riwayat hidup perawi diambil dari kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Imam Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqolaniy (2010: 92-661). Berikut profil dan riwayat hidup para perawi: 1. Al-Miswar bin Mukhramah Nama lengkap beliau adalah al-Miswar bin Mukhramah bin Naufal bin Uhaib bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, Az-Zuhri. Ibunya bernama as-Syifa binti ‘Auf, saudara perempuan dari ‘Abd ar-Rahman bin Auf. Karena beliau adalah generasi sahabat, maka tidak dipungkiri bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, beliau juga mempunyai guru dan meriwayatkan hadis dari mereka, diantaranya adalah dari ayahnya, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar, Umar bin Khattab, ‘Amr bin ‘Auf, Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, al-Mughirah, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, al-Mughirah bin Su’ban dan lain sebagainya. Dan murid Beliau atau yang pernah meriwayatkan dari Beliau adalah putrinya yaitu Ummu bakr, Marwan bin al-Hakim, ‘Auf bin athThufail, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Said bin al-Musaib, ‘Abdullah bin Hunain, ‘Abdullah bin Abi Mulaikah, ‘Ali bin al-Husain,
63
Urwah bin al-Zubair, ‘Amr bin Dinar, Muawiyah bin Abi Sofyan, dan lainnya. Pandangan para Ulama tentang beliau adalah beliau mempunyai umur yang panjang. Menurut Amr bin Ali, al-Miswar dilahirkan di Makkah setelah Nabi Hijrah pada tahun yang kedua, pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Beliau ke Madinah dan wafat di bulan Rabiul akhir pada tahun ke-64. Maka tidak diragukan lagi bahwa al-Miswar adalah generasi sahabat dan bertemu dengan Nabi. Dari beberapa riwayat, tidak ada yang mengatakan ada jarh pada al-Miswar (alAsqalaniy, 2010: 378-379). 2.
‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah Nama lengkap beliau adalah Zuhair bin ‘Abdullah bin Jud’an bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Taim bin Murrah al-Qurasyiy at-Taimiy. Dikatakan oleh Abu Ahmad bahwa Abi Mulaikah adalah seorang qadhi bagi ‘Abdullah bin az-Zubair dan seorang mua’adzin baginya. Beliau pernah meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat antara lain ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin al-Saib alMahzumiy, al-Miswar bin Mukhramah, Abi Mahdzurah, Asma’, A’isyah, Ummu Salamah, ‘Uqbah bin al-Haris, Thalhah bin ‘Ubaidillah (dikatakan pula bahwa beliau tidak meriwayatkan darinya), ‘Usman bin ‘Affan, Hummaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, al-Qasim bin Muhammad, ‘Ibbad bin ‘Abdullah bin az-Zubair, ‘Urwah bin az-Zubair, ‘Alqamah bin Waqash, kumpulan dari mereka, ‘Ubaidillah bin Abi 64
Yazid, dan yang meninggal sebelumnya yaitu ‘Ubaid bin Abi Maryam al-Makiy, ‘Abdurrahman bin Alqamah bin Waqash, Muhammad bin Qais bin Mukhramah, al-Miswar bin Mukhramah Yahya bin Hakim bin Shofwan bin Umayyah, Ya’la bin Mamlak, Abi Makhdhurah, dari kakeknya Abi Mulaikah, Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq, Asma’ binti ‘Abdurrahman bin Abi Bakar ash-Shidiq. Selain itu beliau juga meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Beberapa yang meriwayatkan dari beliau adalah putranya yaitu Yahya, putra saudara perempuannya yaitu ‘Abdurrahman bin Abi Bakr, ‘Atha’ bin Abi Rabah yaitu orang yang selalu bersamanya, Hummaid at-Thawil. Selain itu, beliau juga mempunyai murid yang pernah meriwayatkan hadis dari beliau, yaitu diantaranya adalah ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’, ‘Amr bin Dinar, Abu at-Tayyah, Ayub, Jarir bin Hazim, ‘Usman bin Abi al-Aswad, Abu Yunus hatim bin Abi Shaghirah, Habib bin al-Syahid, ‘Abdullah bin ‘Usman al-Khutsaim, Ibnu Juraih, ‘Abdul Wahid bin Aiman, ‘Ubaidillah bin al-Akhnas, Abu al-‘Umais alMas’udiy, ‘Umar bin Sa’id bin Abi Husain, Yazid bin ibrahim atTustariy, Nafi’ bin ‘Umar al-Juma’iy, Abu Hilal al-Rasabiy, al-Laits, ‘Imran bin Anas al-Makiy, dan lainnya. Pandangan para Ulama’ tentang beliau adalah menurut Abu Zur’ah dan Abu Hatim, Abi Mulaikah adalah seorang perawi yang tsiqqah. Menurut Bukhari, Abi Mulaikah meninggal pada tahun ke-117. Didalam Bukhari dikatakan bahwa Abi Mulaikah pernah bertemu 65
dengan 30 Sahabat. Menurut Ibn Sa’id ada beberapa perawi yang tergolong perawi tsiqqah, salah satunya yaitu ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Abi Mulaikah. Oleh al-‘Ajali mengatakan bahwa Abi Mulaikah adalah ahli Makah, termasuk golongan Tabi’in dan tsiqqah. Ibnu Hibban berkata dalam pandangan ketsiqqahannya Abi Mulaikah bahwa benar karena Abi Mulaikah bertemu 80 dari sahabat nabi, meninggal tahun 17 M (menurut Ibn Qani’ 18 M). jika dilihat dari beberapa pandangan dan pendapat para ulama tentang beliau, maka tidak diragukan lagi akan hadisnya (al-Asqalaniy, 2010: 78). 3. Al-Laits Nama lengkap beliau adalah al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahman al-Fahmi yang mendapat julukan Abu al-Harits. Beliau adalah guru besar di negeri Mesir. Ia dilahirkan di Qarqansyad pada tahun 94 H beliau adalah orang kaya dan dermawan. Beliau wafat pada tahun 175 H. Beliau pernah belajar dan meriwayatkan hadis dari beberapa tabi’in dan para perawi diantaranya adalah Nafi’, Ibnu Abi Mulaikah, Yazid bin Abi Habib, Yahya bin Sa’id al-Anshariy dan saudara laki-lakinya, Ibnu ‘Ajlan, az-Zuhry, Hisyam bin ‘Urwah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Bukair bin al-Asyj, al-Harits bin Ya’qub, Abi ‘Aqil Zahrah bin Ma’bad, Sa’id al-Maqburi, ‘Abdurrahman bin al-Qasim, Qatadah, ‘Ubaidillah bin Umar, Musa bin ‘Ali bin Rabah, Yazid bin al-Had, Abi az-Zubair al-Makki, Ibrahim bin Abi ‘Ablah, Ayub Bin Musa, Ibrahim bin 66
Nasyith, Ja’far bin Rabi’ah, ‘Ubaidillah bin Abi Ja’far, Abi Qabil, Hakim bin ‘Abdullah bin Qais, Hunain bin Abi Hakim, al-Hasan bin Tsauban, Kholid bin Yazid al-Misriy, dan beberapa perawi yang lain. Tidak hanya berhenti pada beliau, namun hadis-hadis dari beliau banyak orang yang meriwayatkan. Beberapa diantaranya adalah muridmurid beliau seperti Syu’aib, Muhammad bin ‘Ajlan, Hisyam bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah, Husyaim bin Basyir, Qais bin ar-Rabi’, ‘Atthaf bin Khalid, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Wahbi, Marwan bin Muhammad, Abu an-Nadhr, al-Walid bin Muslim, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad, Yunus bin Muhammad bin al-Muaddib, Yahya bin Ishaq, ‘Ali bin Nashr, Abu Salamah al-Khuza’iy, al-Hasan bin Sawar, Hujain bin alMutsanna, ‘Abdullah nim Nafi’ al-Shaigh, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakim, Muhammad bin al-Haris bin Rasyid al-Misriy, dan beberapa yang lainnya. Selain itu, ada pula Hajjaj bin Muhammad, Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid, Asyhab bin ‘Abdul ‘Aziz, Daud bin Manshur, Sa’id bin Sulaiman, Adam bin Abi ‘Ibas, Sa’id bin Abi Maryam, Sa’id bin Syurahbil, ‘Abdullah bin Yusuf at-Tinisiy, ‘Abdullah bin Yazid alMaqraiy, Yahya bin ‘Abdullah bin Bukair, al-Qasim bin Katsir alIskandaraniy, Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus, Qutaibah bin Sa’id, Muhammad bin al-Harits bin Rasyid al-Mishriy, ‘Isa bin Khammad bin Zughbah dan yang lainnya. Imam Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadis darinya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Asy-Syafi’I, Sufyan ats-Tsauri, al67
Ajli dan kebanyakan para ulama menganggapnya tsiqqah. Imam Syafi’I pernah mengatakan bahwa al-Laits lebih ahli daripada Malik dalam hal fiqh. Imam Malik sendiri setiap kali menyebutkan dalam kitabnya bahwa “telah diceritakan kepadaku oleh orang ahli ilmu”, dan yang dimaksudkan adalah al-Laits bin Sa’ad. Banyak para ulama yang berpandangan dan mengatakan bahwa alLaits bin Sa’ad adalah shuduq dan tsiqqah. Ulama yang berpadangan demikian antara lain yaitu Ibnu Khirasy, Abu Zur’ah, Ya’qub bin Syaibah, Yahya bin Bukair dan ‘Amr bin ‘Ali. Sedangkan menurut Harun bin Sa’id bahwa al-Laits bin Sa’ad mempunyai pengetahuan ilmu yang luas. Menurut Ibn al-Madiniy bahwa al-Laits adalah tsiqqah subutun. menurut pandangan al-‘Ajali bahwa al-Laits adalah seorang ahli Mesir yang tsiqqah. Pandangan an-Nasa’I pun demikian, bahwa alLaits adalah tsiqqah. Dan beberapa pandangan ulama tidak ditemukan ada jarh pada al-Laits. Al-Laits sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa beliau selalu menjauhi tadlis dalam periwayatannya. Para ulama telah menetapkan bahwa sanad paling shahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib. Al-Laits lahir pada tahun 92 H dan wafat pada tahun 176 H/ 177 H, dan qaul yang pertama yang dibenarkan. (al-Asqalaniy, 2010: 92-96). 4. ‘Isa Bin Khammad
68
Nama lengkap beliau adalah ‘Isa bin Khammad bin Muslim bin ‘Abdullah at-Tajibiy. Beliau mendapat julukan Abu Musa dari Mesir. Beliau adalah saudara laki-laki dari Ahmad bin Khammad dan beliau adalah penguasa dari Bani Sa’ad. ‘Isa Bin Khammad adalah seorang tabi’it tabi’in. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari beberapa tabi’in dan beberapa gurunya, antara lain yaitu al-Laits bin Sa’ad, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Risydin bin Sa’ad, Sa’id bin Zakariya bin al-Adam, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim dan perawi tsiqqah lainnya. Selain guru dari ‘Isa Bin Khammad, beliau juga mempunyai murid yang sering meriwayatkan hadis dari beliau yaitu diantaranya yang mempunyai kitab hadis yakni Muslim, Abu Daud, an-Nasai, dan Ibnu Mjjah. Selain itu, beliau juga mempunyai murid diantaranya adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakim, al-Bujairi, Abu Hatim, ‘Abdan al-Ahwazi, Abu Zur’ah, anak saudara laki-lakinya yaitu Muhammad bin Ahmad bin Khammad bin Zughbah, Baqi bin Makhlad, al-Ma’muri, Abu al-Laits ‘Asim bin Razah, Ahmad bin Abdul Warits bin jarir al-‘Asal, Abu Bakr bin Abi Daud, Muhammad bin al-Hasan bin Qutaibah, Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman alBaghandi,Musa bin Sahl Abu ‘Imran al-Jauni, Ahmad bin ‘Isa alWasa’, Muhammad bin al-Hasan bin Qutaibah al-Asqalaniy, dan yang lainnya.
69
Banyak pendapat dan pandangan ulama mengenai beliau adalah bahwa ‘isa bin Khammad adalah seorang tsiqqah.
Beberapa yang
mengatakan demikian adalah Abu Hatim, An-Nasa’I, dan begitu pula menurut Ibnu Hibban karena beliau menyebutkan ‘Isa bin Khammad dalam kitabnya ats-Tsiqqah. Menurtu Abu Daud dan ad-Daruquthni, ‘Isa bin Khammad Laa ba’tsa bih. Menurut Ibnu Yunus, ‘Isa bin Khammad meninggal pada bulan dzulhijjah tahun 248 H. Sedangkan menurut Ibnu Hibban terdapat sedikit perbedaan, yaitu beliau wafat pada tahun 249 H (al-Asqalaniy, 2010: 527-528). 5. Hasyim Bin Al-Qasim Nama lengkap beliau adalah Hasyim bin al-Qasim bin Muslim bin Miqsam al-Laitsi al-Baghdadi. Beliau berasal dari Khurasan, keturunan bani Laits bin Kinanah. Menurut at-Tamimi, Hasyin bin alQasim mempunyai laqab (julukan) Kaisar. Beliau adalah putra dari Abi Bakr bin Abi an-Nadhr. Beliau sering meriwayatkan hadis dari beberapa guru beliau, diantaranya adalah ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Hariz bin ‘Ustman, Waraqa’bin Umar, ‘Abdurrahman bin Tsauban, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar, Zuhair bin Mu’awiyah, Sulaiman, ‘Abdullah alAsyja’I, ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah al-Majisun, al-Laits, Abi Ja’far ar-Razi, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Dzi’b, Abi Sa’id Muhammad bin Muslim bin Abi Al-Wadhah al-Muaddib, Murja bin Raja’, Najih bin Abi Ma’syar al-madaniy, Waraqa’ bin ‘Umar al70
Yasykariy, al-Walid bin Jamil, Abi Ishaq al-Asyja’iy, Abi Ja’far arRaziy, Abi ‘Aqil ats-Tsaqafiy, Abi ‘Aqil, Abi Malik an-Nakha’iy dan yang lainnya. Selain guru dari beliau, beliau juga mempunyai murid yang sering meriwayatkan hadis dari beliau, yakni Abu Bakr bin Abi an-Nadhr, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawiyah, ‘Ali bin al-Madiniy, Yahya bin Ma’in, ‘Abdullah bin Muhammad al-Musnadi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Abu Khaitsamah, Harun al-Hamal, Mahmud bin Ghailan, ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Sallam ath-Tharsusiy, ‘Amr anNaqd, Muhammad bin Rafi’ an-Naisaburiy, Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Munadi, Makhlad bin Malik al-Jamal, Ya’qub bin Syaibah as-Sadusiy, Ibrahim bin ya’qub al-Juzjaniy, Ahmad bin Khalil al-Burjulaniy, dan lain sebagainya. Pandangan para ulama mengenai beliau adalah perawi yang tsiqqah, menurut ‘Usman bin Sa’ad ad-Daramiy. Begitu pula menurut ‘Ali bin al-Madiniy, Muhammad bin Sa’ad dan Hatim bahwa beliau adalah perawi yang tsiqqah. Beliau lahir pada tahun 134 H menurut ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan wafat pada tahun 207 H menurut riwayat al-Harits bin Abi Usamah (al-Asqalaniy, 2010: 378379). 6. Qutaibah Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin ‘Abdillah al-Tsaqafiy, beliau mendapat julukan Abu Raja’ 71
al-Baghlaniy. Baghlan adalah salah satu desa dari Qura Balkh. Menurut Abu Ahmad bin ‘Adi, nama Qutaibah adalah sebuah laqab dan nama aslinya adalah yahya. Sedangkan menurut Abu ‘Abdullah bin Mandah, nama asli Qutaibah adala ‘Ali. Adapula yang berkata bahwa Qutaibah adalah saudara laki-laki dari Qudaid bin Sa’id. Beliau banyak berguru dalam bidang hadis. Beberapa guru yang pernah beliau riwayatkan hadisnya adalah dengan Ibrahim bin Sa’id al-Madaniy, Ishaq bin ‘Isa a-Qusairi bin Bintu Daud bin Abi Hindun, Malik, al-Laits, Ibnu Lahi’ah, Risydin bin Sa’id, Daud bin ‘Abdurrahman al-‘Aththar, Khalaf bin Khalifah, ‘Abdurrahman bin Abi al-Mawal, Bakr bin Mudhar, Mufadhdhal bin Fadhalah, ‘Abdul Waris bin Sa’id, Khammad bin Zaid, ‘Abdulah bin Zaid bin Aslam, ‘Abdul ‘Aziz al-Daruwardhi, Ismail bin Abi Uwais, Isma’il bin Ja’far,Ismail bin ‘Ulayyah, Abi Dhamrah Anas bin ‘Iyadh, Khalid bin Ziyad at-Tirmidziy, Khalid bin ‘Abdullah al-Wasithiy, Rifa’ah bin Yahya az-Zuraqiy, Salim bin Nuh, Sa’id bin Sulaiman al-Wasithiy, Shafyan bin ‘Isa az-Zuhriy, Abi Zubaid ‘Abtsar bin al-Qasim, ‘Abdullah bin Idris, ‘Abdullah bin al-Mubarok, ‘Umar bin Harun alBalkhiy, ‘Amr bin Muhammad al-‘Anqaziy, dan lainnya. Selain berguru, beliau juga pernah mempunyai murid yang meriwayatkan hadis dari beliau. Diantara murid-murid beliau adalah perkumpulan para imam kecuali imam Ibnu Majah, Ibrahim bin Ishaq al-Harbiy, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Sa’id ad-Daramiy dalam 72
rijal dari hadis riwayat Tirmidzi. Dalam rijal hadis riwayat an-Nasa’I beliau mempunyai murid Ahmad bin Sayyad al-Marwaziy, Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Bassyar an-Nasa’I, Abu Hamd Ahmad bin Qudamah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Furaqad al-Balkhiy, Abu Muhammad Ishaq bin Ibrahim bin Isma’il al-Busti al-Qadhi, Abu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Nasr al-Busti an-Naisaburiy, Ishaq bin Abi ‘Imran al-Asfaradiniy as-Syafi’iy, Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabiy, dan lainnya. Dalam rijal hadis riwayat Ibnu Majah, beliau mempunyai beberapa murid diantaranya adalah Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, ‘Abbas bin Abdul ‘Adzim al-‘Anbariy, ‘Abdullah bin Ahmad bin Syibbawaih al-Marwaziy, ‘Abdullah bin azZubair al-Humaidiy, dan yang meninggal sebelum beliau seperti ‘Abdan bin Muhammad bin ‘Isa al-Marwaziy al-Hafidz, Abu Zur’ah ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Karim ar-Raziy, dan lainnya. Serta yang lainnya yang pernah meriwayatkan hadis dari beliau adalah Musa bin Harun bin ‘Abdullah al-Hammal, ayahnya yaitu Harun bin ‘Abdullah al-Hammal, Yahya bin ‘Abdul Humaid al-Himmaniy dan yang mati sebelumnya, Yahya bin Ma’in dan yang maati sebelumnya, Ya’qub bin Syaibah as-Sadusiy, dan Yusuf bin Musa al-Qaththan. Pandangan para ulama tentang Qutaibah adalah salah satunya menurut riwayat Ahmad bin Abi Khaitsamah mengatakan bahwa Qutaibah adalah tsiqqah. Ditambahkan oleh riwayat an-Nasa’I bahwa beliau shuduq, begitu pula menurut Ibn Khirasy. Menurut Abu Daud, 73
Qutaibah datang ke Baghdad ketika berumur 16 tahun yang kemudian disusul oleh Ahmad dan Yahya. Dan setelah diteliti tentang sejarah hidupnya, tidak ada ulama ynag meriwayatkan ada jarh dalam diri dan kehidupan Qutaibah. Dengan demikian Qutaibah dapat dikatakan sebagai perawi yang tsiqqah dan shuduq. Tidak diragukan lagi hadis yang dibawa oleh Qutaibah (al-Asqalani, 2010: 661-663). 7. Ahmad bun Yunus Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin ‘Abdullah bin Yunus bin ‘Abdullah bin Qais at-Tamimiy al-Yarbu’iy. Julukan beliau adalah Abu ‘Abdillah al-Kufi. Nasab beliau kepada kakeknya, dan beliau adalah anak dari ‘Abdillah bin Ahmad bin Yunus. Ahmad bin Yunus adalah seorang yang haus akan ilmu. Beliau memiliki banyak guru terutama dalam bidang hadis. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya, antara lain Ibrahim bin Sa’id, dan Israil bin Yunus, Ismail bin ‘Ayasy, Al-Hasan bin Shalih al-haiy, Hafs bin Ghiyats, Zaidah bin Qudamah ats-Tsaqafi, Zuhair bin Muawiyah al-Ju’fi, ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, ‘Asim bin Muhammad, Ibnu Abi Zannad, al-Laits, Malik, ‘Ashim bin Umar bin Zaid bin ‘Abdullah bin Umar bin al-Khattab, ‘Abdurrahman bin Zanad, ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun, Fudhai bin ‘Iyadh, Qais bin ar-Rabi’ al-Asadi, Laits bin Sa’d alMisriy, Malik bin Anas, Muhammad bin Rasyid al-Ma’huliy, dan lainnya. 74
Selain beberapa guru, Ahmad bin Yunus juga mempunyai banyak murid yang meriwayatkan hadis beliau. Diantara para murid beliau yang meriwayatkan hadis darinya adalah diantaranya Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hajjaj bin asy-Sya’ir, ‘Abd bin Humaid, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Sha’iqah, Yusuf bin Musa, al-Harits bin Abi Usamah, Isma’il Sammuwaih, Ishaq al-Harbiy, Sa’id bin Marwan al-Baghdadi Nazil Naisaburi, al-‘Abas bin al-Fadhl al-Ashfathiy, Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin an-Nu’man bin ‘Abd as-Salam al-Ashfahaniy, alBaqun, ‘Abd bin Humaid al-Kasyiy, Yusuf bin Musa bin Rasyid alQaththan, dan yang lainnya. Pandangan ulama tentang beliau diantara yaitu dalam riwayat alFadhl bin Ziyad al Qaththan disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus adalah seorang Syeikh al-Islam, Guru agama Islam. Menurut Abu Hatim dalam riwayat Sufyan ats-Tsauri dikatakan bahwa Ahmad bin Yunus tsiqqah muttaqin. Oleh an-Nasa’I menerangkan bahwa Ahmad bin Yunus perawi yang tsiqqah. Menurut keterangan Bukhari bahwa Ahmad bin Yunus meninggal di Kuffah pada buan Rabiul akhir tahun 217 M malam Jum’at dan beliau tengah berumur 94 tahun, sebagaimana ynag diriwayatkan oleh al-Baqun (al-Asqalaniy, 2010: 91-92).
75
Berdasarkan penelusuran sanad yang dilakukan, dari keenam jalur isnad diatas dapat dipastikan sanadnya bersambung. Hal tersebut terbukti dengan adanya tahun wafat dari masing-masing perawi. Kalaupun ada beberapa riwayat hadis yang perawinya terpaut jauh umurnya, tahdzib attahdzib menginformasikan tentang pertemuan mereka. Terlebih ada jumhurul ulama yang berependapat bahwa seseorang yang menerima hadis sewaktu kecil atau anak-anak baik dia itu belum atau sudah baligh, muslim atau non muslim diterima periwayatannya jika hadis tersebut disampaikan ketika ia telah baligh atau dewasa dan beragama Islam dan bertaubat. Namun dalam periwayatan ini tidak ada yang demikian. Berikut kesimpulannya: 1. Kesimpulan dari jalur riwayat Shahih Bukhari Melihat bagan sanad riwayat Bukhari di atas, menginformasikan bahwa hadis tersebut shahih lidzatihi, mengingat bahwa sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, dari seorang rawi kepada yang lain, karena Bukhari mendengar dari Qutaibah, Qutaibah mendengar dari al-Laits, al-Laits mendengar dari Abi Mulaikah, Abi Mulaikah mendengar dari al-Miswar bin Mukhramah, al-Miswar bin Mukhramah ini mendengar pula dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, rawi-rawi tersebut semua bersifat adil, dhabit dan tsiqqah. Serta hadis tersebut tidak menyalahi hadis yang derajatnya lebih kuat dan tidak ada hal-hal lain yang menyebabkan hadis tersebut tercela. Maka, hadis tersebut memenuhi kriteria hadis shahih. 76
Lebih lanjut, hadis tersebut mempunyai satu sanad dan tidak ada sanad yang menyendiri, maka hadis tersebut termasuk dari klasifikasi hadis yang musnad. Bukan termasuk hadis dalam klasifikasi gharib karena perawi terakhir yaitu Qutaibah, ada 2 perawi yang mengikuti riwayat beliau, sehingga tidak menimbulkan kesendirian sanad. Sedangkan, bila ditinjau dari segi matannya ditemukan adanya penyendirian, yakni matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berbeda dengan matan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Abu Daud. Di mana
ِ ُاستَأْذَن dalam hadis riwayat Bukhari bukan kata ون ْ seperti riwayat Imam yang lainnya, melainkan lafadz
استَأْذَنُوا ْ
yang beliau riwayatkan. Oleh
karena itu, maka hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bisa disebut musnad pada sandnya dan gharib pada matannya. 2. Kesimpulan dari jalur riwayat Muslim Setelah ditelusuri, bagan sanadnya bersambung dilihat dari informasi yang terdapat dalam tahdzib at tahdzib mengenai semua perawinya. Yaitu Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus mendengar dari Qutaibah, qutaibah mendengar dari al-Laits, al-Laits mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Ibn Abi Mulaikah, ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Ibn Abi Mulaikah mendengar dari al-Miswar bin Mukhramah, al-Miswar bin Mukhramah mendengar dari Nabi Muhammad SAW. Semua para perawinya tsiqqah dan shuduq serta 77
tidak diragukan lagi ke-dhabitannya. Dengan demikian, hadis tersebut termasuk hadis yang shahih. Lebih lanjut, hadis tersebut mempunyai satu sanad tersendiri terhitung dari tabi’it tabi’it tabiin dalam meriwayatkannya, maka hadis tersebut hadis gharib. Dengan klasifikasi hadis al-Fardun-Nisbi. 3. Kesimpulan dari jalur riwayat Tirmidzi Sebagaimana dalam riwayat Bukhari dan Muslim, hadis yang sama diriwayatkan oleh Tirmidzi dan hadis tersebut dikatakan shahih karena sanadnya bersambung. Yaitu dari Qutaibah mendengar dari al-Laits, al-Laits mendengar dari Abi Mulaikah, Abi Mulaikah mendengar dari al-Miswar bin Mukhramah, al-Miswar bin al-Mukhramah mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Semua perawinya tergolong tsiqqah dan dhabit serta tidak mempunyai jarh. Namun jika lebih lanjut, dalam riwayat Tirmidzi ini disebutkan adanya riwayat dari ‘Abdullah bin Dinar dari Abi Mulaikah bukan oleh Qutaibah dari Abi Mulaikah sehingga Tirmidzi menyebutkan bahwa hadis tersebut Hasan Shahih. 4. Kesimpulan dari jalur riwayat Abu Daud Sama halnya dari hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, sanad dari hadis tersebut bersambung dan semua perawinya tsiqqah, dhabit dan tidak ada cela, sehingga hadis tersebut dikatakan shahih. Tidak ada sanad yang tersendiri, maka tidak pula dikatakan hadis gharib.
78
5. Kesimpulan dari jalur riwayat Ibnu Majah Seperti riwayat beberapa imam sebelumnya, hadis yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah dikatakan shahih karena memenuhi syarat sebagai hadis shahih. Sanadnya bersambung dari ‘Isa bin Khammad mendengar dari al-Laits, al-Laits mendengar dari Abi Mulaikah, Abi Mulaikah mendengar dari al-Miswar bin Mukhramah, dan al-Miswar bin Mukhramah mendengar langsung dari Rasulullah SAW. 6. Kesimpulan dari jalur riwayat Ahmad Tidak berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam sebelumnya, hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad tersebut tergolong hadis shahih dikarenakan memiliki syarat hadis shahih. Sanadnya bersambung dari Hisyam bin al-Qasim mendengar dari alLaits dan seterusnya sampai kepada Rasulullah SAW.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengungkap nilai hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum larangan poligami, bersumber dari kitab hadis kutubus tis’ah. Tujuan umumnya adalah mengungkap hukum poligami menurut hukum fiqh Islam. Dalam bab-bab sebelumnya, telah dipaparkan jawaban atas semua rumusan masalah penelitian, berdasarkan analisis dari beberapa bahan pustaka yang relevan. Dari keseluruhan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada dasarnya, sesuai nash dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 yang juga sering dijadikan sandaran bagi para ulama dalam menentukan hukum poligami adalah boleh. Bahkan boleh menikahi sampai dengan empat wanita namun dengan syarat sang suami bisa berlaku adil. Dalam kitabnya Wahbah Zuhailli yang diberi judul al-Fiqh al Islam Wa Adillatuhu bahwa boleh melakukan praktik poligami dengan syarat adil baik dzahir maupun batin. Dan jika sang suami telah mempunyai 4 orang istri tapi ingin menikah lagi maka sang suami harus menceraikan dahulu salah satu dari 4 istri tersebut, sehingga hanya memiliki 3 orang istri. Dalam hal keadilan Allah SWT menegasakan dalam firmanNya
80
surat an-Nisa’ ayat 129, bila belum bisa memenuhi syarat adil maka dilarang poligami. 2. Bunyi hadis tentang larangan poligami terdapat dalam 6 kitab yaitu Sahih Muslim, Sahih Bukhari, Suan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Suanan Ibnu Majah dan Musnad Imam Ahmad. Dalam analisa redaksi matan hadis dari berbagai jalur periwayatan tersebut, hadis tersebut menggunakan periwayatan bi al-Ma’na. 3. Sedangkan dalam analisa matan hadis menginformasian bahwa berdasarkan penelusuran asbab al wurud ditemukan bahwa hadis tersebut bukanlah hadis larangan poligami yang bisa dijadikan sandaran hukum melarang adanya praktik poligami, akan tetapi hadis tersebut hanyalah sebuah bentuk kasih sayang dari ayah kepada putrinya. Dapat juga dikatakan sebagai bentuk kecemburuan dan ketakutan akan tersakiti hati putrinya. Kandungan hukum dari matan hadis tersebut adalah Larangan menyakiti siapa yang karenanya Nabi SAW tersakiti, sebab menyakiti nabi SAW adalah haram menurut kesepakatan. Sementara Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa apa yang menyakiti Fatimah adalah menyakiti beliau, maka semua orang yang melakukan terhadap Fatimah dan ia menyakitinya, berati orang itu juga menyakiti Nabi SAW. Sebab kecenderungan yang membolehkan praktik poligami hanyalah jika dalam keadaan terpaksa seperti sang istri yang mandul atau mengidap penyakit yang sangat parah, sang istri telah mencapai umur ya’isah sedangkan sang suami 81
sangat ingin memiliki anak lagi, dan bila sang suami memiliki kapabilitas seksual yang lebih dibandingkan pada umumnya, sehingga ditakutkan akan terjerumus dalam perbuatan yang terlarang. 4. Setelah dilakukan proses telaah sanad, hadis riwayat Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Imam Ahmad sepakat bahwa hadis tersebut berpredikat hadis yang shahih karena kitab tahdzib at tahdzib menginformasikan biografi para perawi memenuhi kriteria tsiqqah, dhabit dan tidak ada cela serta sanad dari masing-masing jalur periwayatan
itu
bersambung.
Sedangkan
dalam
hadis
yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi berbeda dari Imam Imam sebelumnya yang mengatakan hadis tersebut shahih, namun dalam haids tersebut telah dikatakan bahwa hadis tersebut Hasanun shahihun. Berbeda pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, walaupun hadisnya berpredikat shahih namun matannya bersifat gharib karena matannya berbeda satu kata dari hadis riwayat Imam yang lainnya. Maka hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk shahih sanadnya dan gharib matannya. B. Rekomendasi Dalam kajian telaah hadis ini, peneliti sama sekali tidak bermaksud menetapkan kepastian hukum dari hadis tersebut, melainkan mengetahui bagaimana kandungan hukum yang sekiranya dapat peneliti ketahui. Hal ini dalam artian bahwa, masih dibukanya pintu bagi peneliti untuk mengkaji secara kritis studi teaah hadis tentang poligami dari sisi yang 82
berbeda. Sehubungan dengan itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat dibutuhkan oleh peneliti dari semua pihak, sangat peneliti nantikan, demi sempurnanya pengetahun dan tujuan penetapan syari’at, khususnya dalam kajian hukum poligami. Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang mempunyai wewengan dalam masalah ini diharapkan dapat memperjelas hukumnya dari berbagai sisi. Sehingga jika ada seseorang yang ingin memperturutkan hawa nafsunya dengan mencarai berbagai dalil yang menghalalkannya dapat ditekan. Karena, dengan adanya kejelasan sebuah aturan dan hukum diharapkan ketentraman, kesejahteraan, keterlindungan dan ketertiban serta keamanan sosial dapat tercapai. Akhir kata, hanya kepada Sang Maha segalanya yakni Allah SWT peneliti memohon petunjuk dan bimbingan dalam mempelajari ayatayatnya, baik yang tersurat maupun tersirat. Waalahul muafiq ila aqwamith thariq.. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
83
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, M dan Sumarna, Elan. 2013. Metode kritik Hadis. Bandung : PT REMAJA ROSDAARYA. Ahmad. 1978. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut : Dar al-Fikr. Ali, Muhammad Daud. 1998. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Cara hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1974. Tafsir al-Maraghi, Juz IV. Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi. Al-Qur’anul Al-Karim. 2010. Mushaf Al-Azhar AlQur’an dan Terjemah. Bandung: Hilal. Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. 1989. Kemudahan dari Allah : Ringkasan tafsir Ibnu Katsir/penerj. Syihabuddin. Jakarta : Gema Insani Press. Ash Shiddiegy, M. Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: NV Bulan bintang. At-Thuhan, Mahmud. 1416. Ushulut Takhrij wad Dirasah al-Asanid. Madinah alMunawwaroh: -. At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah. 1992. Sunan at-tirmidzi, Juz 5. Dar alKutub al-‘Ilmiyah. Basyir, Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Bustamin dan Slama, M Isa H. 2004. Metodologi kritik hadis. Jakarta : PT grafindo Persada. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT Balai ustaka. Cet I. Fahmie, Anshori. 2007. Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?. Depok: Pustaka Iman. Hasan, M. Targhibul. 2012. Pemohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga : Fakultas Hukum STAIN Salatiga. Hassan, A. Qadir. 1994. Ilmu Mushthalah Hadis, Cet VI. Bandung: cv. Diponegoro. 84
Ibnu Hajar Al Asqalany, Abi al-Fadhl bi ‘Ali. Tahdzib at tahdzib. Kairo : Dar alHadits. Ibnu Hajar Al Asqalany, Al Imam Al Hafizh. 2013. Fathul Baari 25 : Shahih Bukhari/ Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalany, penerj. Amiruddin. Jakarta : Pustaka Azzam. Mardani. 2012. Hadis Ahkam. Depok: PT Rajagrafindo Persada. Muhammad, al-Hafidz Abi ‘Abdullah. 1996. Ibnu Majah, Juz I. Dar al-Kutub al‘Ilmiyah. Muhammad, Imam Abi Abdillah. 1992. Shahih Bukhari, Juz 5. Beirut : Dar alKutub al-‘Ilmiyah. Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Muslim, Imam Abi Husain. 2011. Shahih Muslim, Juz 4 Ed. 3. Beirut : Dar alKutub al-‘Ilmiyah. Nizar, Muhammad. 2008. Variasi Alasan Suami Mengajukan Izin Poligami (Studi Putusan di PA Seleman Tahun 2007). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga : Fakultas Hukum STAIN Salatiga. Nugroho, Bibi. 2006. Kriteria Keadilan Poligami (Studi Analisis tentang Putusan Pengadilan Agama di Salatiga. Salatiga : Fakultas Hukum STAIN Salatiga. Nuruddin’ itr. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: Dar al-Fikr Damaskus. Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunnah 6. Bandng: PT Alma’arif. Sahrani, Sohar. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia. Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-misbah: pesan, kesan, dan kesaksian alQur’an. Jakarta : Lentera Hati. Shihab, M. Quraish. 2014. Perempuan ..dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama samapai Bias Baru… Cet IX. Tangerang: Lentera Hati. Soekanto, Soeryono dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Cet IV. Jakarta: PT Raja Pers. 85
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cet 4. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sulaiman, Imam al-Hafidz Abi Daud. 1996. Sunan Abu Daud, Juz 2. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Wibisono, Yusuf. 1980. Monogami atau Poligami Masalah Sepanjang Masa. Jakarta: Bulan Bintang. Yasid, Abu. 2005. Fiqh Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zuhaili, Wahbah. 2004. Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Mesir : Dar al- Fikr. Zuhdi, Masjfuk. 1994. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. Zuhri, Muh. 2011. Hadis Nabi dan Telaah Historis dan Metodologis. Cet.III. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. (http://www.inpasonline.com/new/poligami-dalam-pandangan-liberal-dan-ulama/, diakses pada 18 September 2015, 08.15).
86
BIOGRAFI PENULIS
Nama
: Rif’atul Munawaroh
Tempat, Tanggal Lahir
: Kab. Semarang, 19 September 1993
Alamat
: Kalidukuh Rt 01/03 Desa Losari Kec. Sumowono
Email
:
[email protected]
Contact person
: 0857 4026 7420
Riwayat Pendidikan 1999 – 2000
: RA Perwanida III Losari
2000 – 2005
: MI Nuril Huda Losari
2005 – 2008
: MTS Nuril Huda Losari
2008 – 2011
: MAN Suruh
2011 – Sekarang
: IAN Salatiga
87