Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
KONSEP ARSITEKTUR BALI APLIKASINYA PADA BANGUNAN PURI Rachmat Budihardjo Mahasiswa Program Doktor Arsitektur – Universitas Parahyangan, Bandung ABSTRAK. Arsitektur Bali yang kita kenal sampai dengan saat kini adalah merupakan arsitektur vernakuler yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakatnya dalam perkembangan kepariwisataan di Bali. Salah satu dampak kepariwisataan adalah terjadinya perubahan status sosial yang lebih baik pada sebagian masyarakat (termasuk keluarga Puri) dan berakibat pada perubahan setting tata ruang dan tata bangunan (arsitektural) sesuai dengan tingkat perkembangan kebutuhan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Puri yang pada masa lampau merupakan pusat pemerintahan dan aktivitas masyarakat di sekitarnya juga sekaligus menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya eksistensinya sampai dengan saat kini masih ada termasuk komposisi masyarakat Bali yang dibedakan menurut kasta masih juga bertahan ditengah-tengah perubahan jaman. Studi mengenai Puri yang ditelusuri sejak awal (masa lampau), saat sekarang dan upaya menjaga eksistensinya untuk masa yang akan datang tentunya akan menjadi topik yang urgen dan menarik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan bidang sosial, budaya dan arsitektur
copyright
Kata Kunci: Arsitektur Bali, Bangunan Puri ABSTRACT. Balinese architecture that we know nowadays is a vernacular architecture that grows and develops in the middle of the society in the development of tourism in Bali. One of the impacts of tourism is the change of social status to be better one on some part of community (including family of Puri). This change will affect to the changes of setting layout and building layout (architectural) referring to the development needs for the present and the future. Puri which in the past was the center of government and community activities in the surrounding area and also become a place for the royal family, their existence still remain the same, including the composition of the people of Bali which are differentiated by caste still survive in the middle of changing times. A study of Puri has been traced from the beginning (of the past), the present and the efforts to maintain its existence for the foreseeable future will certainly be an urgent topic and interesting for the development of science, particularly in relation to social,cultural and architectural. Keywords: Balinese Architecture, Building of Puri 17
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
KEBUDAYAAN DAN PERMUKIMAN Mempelajari masalah kebudayaan pada hakekatnya adalah mempelajari hubungan antara manusia, baik selaku individu maupun kelompok dengan lingkungan alam di sekitarnya. Manusia, kebudayaan dan lingkungan merupakan tiga faktor yang saling berhubungan secara integral. Lingkungan tempat manusia hidup selain berupa lingkungan alam juga berupa lingkungan sosial budaya. Pengertian Kebudayaan Kebudayaan merupakan pola perilaku yang disebut collective ideas and costums, termasuk di dalamnya adalah sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan yang mengatur perilaku sosial dalam masyarakat (Murdock, 1969 : 114). Dalam kaitannya dengan cara hidup masyarakat (sosial) disebutkan bahwa kebudayaan menunjuk pada sistem ide milik bersama, rencana konseptual yang mendasari cara hidup individu. Kebudayaan menunjuk pada apa yang dipelajari oleh manusia. Aturan-aturan atau ide-ide yang dimiliki bersama oleh bagian terbesar anggota masyarakat itu membimbing pola-pola perilaku yang menjadi ciri khas satuan sosialnya (Kessing & Kessing, 1971 : 21).
copyright
Wujud kebudayaan dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu : cultural system yang berupa sistem nilai, norma-norma dan tata aturan; social system yang berupa kompleks aktivitas dan physical system yang berupa benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1982 : 186-187). Ke-tiga wujud kebudayaan tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang akan selalu mencari keseimbangan. Dengan demikian lingkungan permukiman sebagai lingkungan binaan manusia, proses dan komponen penyusunannya tidak dapat terlepas dari masalah kondisi sosial. Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari ketiga wujud tersebut. Masyarakat dan Kebudayaan Masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang terorganisasi, hidup dan bekerjasama, yang berinteraksi dan berintegrasi dalam suatu wadah untuk mencapai tujuan bersama. Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua konsep, satu dengan yang lain bersifat saling tergantung. Dengan demikian sukar untuk membicarakan salah satu dari padanya tanpa menghubungkannya dengan yang lain. Istilah yang tepat untuk menyebutkannya adalah sosial budaya (Foster, 1973 : 11)
18
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Ciri-ciri sosial budaya dapat disebutkan : bentuk-bentuk sosial budaya itu dipelajari; sistem sosial budaya berintegrasi, berfungsi dan bermakna; semua sistem sosial budaya itu terus menerus mengalami perubahan; setiap kebudayaan memiliki sistem nilai; dan bentukbentuk kebudayaan serta perilaku berpangkal tolak pada orientasi kognitif (Mulyono, 1991 : 13-17) Permukiman Sebagai Wujud Kebudayaan Bentuk tatanan fisik lingkungan permukiman (hunian) dapat dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri dari spatial system, physical system dan stylistic system (Habraken, 1979 : 37). Spatial system berkaitan dengan organisasi ruang yang mencakup hubungan ruang, orientasi, pola hubungan ruang dan sebagainya. Physical system meliputi penggunaan system konstruksi dan penggunaan material, sedangkan stylistic system merupakan kesatuan yang mewujudkan bentuk meliputi : bentuk facade, bentuk pintu, jendela, serta unsur-unsur ragam hias baik di dalam maupun di luar bangunan.
copyright
Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia, serta pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya (Snyder, 1984 : 39). Lingkungan permukiman tradisional merupakan suatu tatanan kehidupan dalam batas tertentu yang terdiri dari susunan ruang dan kelompok hunian yang terbentuk secara konvensional dengan dilandasi kaidah (tata cara) masyarakat yang telah mentradisi. Hal ini biasa disebut dengan istilah vernacular, yaitu merupakan perwujudan hasil karya secara turun temurun dari seluruh lapisan masyarakat dalam batas-batas teritorial tertentu (Rapoport, 1969 : 72). Bentuk-bentuk rumah merupakan pencerminan nilai sosial budaya masyarakatnya. Kondisi fisik lingkungan, kondisi sosial ekonomi, penerimaan teknologi, pemakaian material dan tata aturan yang berkaitan dengan religious merupakan faktorfaktor ikutan. Perkembangan Budaya Permukiman Perkembangan mengandung makna kesejarahan karena di dalamnya menyangkut konsep tentang waktu. Dengan demikian perkembangan dimaksudkan sebagai suatu kondisi yang
19
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
membandingkan objek dari waktu yang berbeda mulai dari waktu yang lampau, sekarang dan waktu yang akan datang (kemudian). Lingkungan permukiman sebagai suatu wujud arsitektur dipandang tidak hanya sebagai objek material atau wujud fisik kebudayaan saja, tetapi di dalamnya terkandung wujud immaterial (non fisik) atau wujud ideal masyarakat. Dengan demikian studi dalam bidang arsitektur haruslah mencakup ke-dua wujud tersebut dan sekaligus juga memahami keterkaitannya. Wujud fisik dalam arsitektur tidak terpisahkan dari ruang. Wujud fisik hadir di dalam ruang dan membatasi ruang, sebaliknya ruang tergambarkan dalam wujud fisik (Habraken, 1979 : 4-5, 16) Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam studi mengenai perkembangan dan perubahan dari suatu setting permukiman akan mencakup unsur fisik atau material dan unsur spatialnya yang dapat dilihat secara total maupun parsial. Hal ini tentunya akan berkaitan dengan aspek bentuk, organisasi, komposisi, dimensi, proporsi dan sebagainya.
copyright
Kebudayaan masyarakat selalu berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan yang terajdi dalam dimensi waktu akan berpengaruh terhadap objek (arsitektur) yang berada dalam satu kesatuan ekologi. Dalam kerangka pandangan seperti itu, dimensi waktu pada dasarnya menjadi hal yang begitu penting pada setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi pada suatu kondisi yang tertentu (Porphyrios, 1981 : 101-104) Dalam kaitannya dengan konteks perubahan budaya, lingkungan permukiman yang merupakan suatu lingkungan binaan (environment), perubahannya tidaklah berlangsung spontan dan menyeluruh. Perubahan itu sendiri tergantung pada kedudukan elemen lingkungan tersebut dalam suatu sistem budaya, apakah sebagai core element atau peripheral element (Rapoport, 1983 : 261-262). Hal ini mengakibatkan keberagaman karakteristik perubahan lingkungan sesuai dengan tingkat perubahan budaya yang terjadi. Kekuatan yang paling dominan dalam menentukan perkembangan lingkungan adalah kekuatan ekonomi, maupun aspek lain tidaklah kecil pengaruhnya terhadap perubahan tersebut (Aldo Rosi, 1982 : 139-140) Proses perubahan fisik tersebut dapat berjalan secara organik atau tanpa perencanaan (melalui proses informal) atau melalui perencanaan (proses formal) dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Beberapa hal yang dapat digambarkan dalam proses perubahan lingkungan secara organis (Christopher Alexander, 1987 : 14) antara lain : (1) Terjadinya perubahan sedikit demi sedikit (evolusi); (2) Tidak 20
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut akan berakhir, tergantung dari latar belakang proses terjadinya; (3) Proses terjadinya perubahan secara komprehensif dan berkesinambungan; (4) Perubahan yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi masyarakatnya. Proses perubahan dan perkembangan budaya yang terjadi dalam masyarakat disebabkan adanya interaksi sosial dengan budaya lain. Singgungan dan benturan nilai-nilai akan terjadi sehingga akan menyebabkan terjadinya akulturasi kebudayaan (Haviland, 1985 : 263). Perubahan nilai budaya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh dua faktor yaitu : kemantapan dan ketahanan dalam mengatasi pergeseran nilai, kekuatan dan intensitas pengaruh budaya lain dalam proses interaksi sosial yang terjadi, kondisi tersebut akan mempegaruhi tingkat perubahan budaya (akulturasi) yang terjadi seperti : substitusi, sinkretisme, adisi, orijinasi, dekulturisasi atau bahkan rejeksi atau penolakan budaya yang datang dari luar lingkungannya.
copyright
Mengamati dan mempelajari fenomena perubahan dan perkembangan tentang pola-pola permukiman merupakan penelusuran hubungan antara manusia dengan lingkungannya (Man Environmental Studies). Bagaimana dialog tersebut berlangsung, dalam arti bagaimana lingkungan dimanfaatkan manusia dan bagaimana memanipulasi lingkungannya merupakan objek yang akan diamati. Untuk dapat mengamati perubahan lingkungan fisik (Zeisel, 1981 : 89-105) dapat dilakukan dengan pendekatan penelusuran jejak fisik (observing physical traces) dengan cara mengamati : a. Hasil / Sisa Pemakaian (Product Use) Mengamati bagaimana manusia menggunakan lingkungan hunian (permukiman) dengan mencari jejak / sisa-sisa atau hasil samping dari suatu aktivitas terhadap lingkungan fisik. b. Pengolahan (Adapatation For Use) Menunjukkan adanya perubahan lingkungan oleh pemakai sehingga menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan meliputi : penambahan atau pengurangan bentuk atau ruang, penambahan yang sifatnya memisahkan, melarang atau mencegah terjadinya aktivitas dan menghubungkan dua sisi yang dibuat untuk mendekatkan komunikasi atau sirkulasi. c. Ungkapan pribadi dan umum (Display Of Self and Public Massages) Mengamati penggunaan unsur / elemen fisik sebagai bentuk simbol-simbol yang dipakai untuk membedakan terhadap objek, display of self bersifat personal (personal identity), sedangkan public massages bersifat pengungkapan identitas kelompok (collective identity). 21
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
SOSIAL-BUDAYA ORANG BALI Masyarakat Bali sampai saat kini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : masyarakat Bali Asli atau Bali Age / Bali Mula, tinggal di daerah pegunungan ; dan masyarakat Bali Dataran, merupakan bagian terbesar dari suku bangsa Bali secara garis keturunan berasal dari Majapahit. Sistem Kekerabatan Keluarga batih pada masyarakat Bali disebut dengan istilah kuren, terbentuk akibat perkawinan monogami maupun poligami. Ada dua bentuk keluarga batih, yaitu : keluarga batih monogami yang mempunyai struktur satu suami, satu istri dan anak-anak; keluarga batih poligami terdiri dari satu suami, beberapa istri dan anak-anak. Dalam keluarga batih tersebut berlaku sistem patrilinial. Pada umumnya apabila terjadi suatu perkawinan maka pihak wanita akan diajak tinggal bersama-sama dalam keluarga pihak lelaki, apabila terjadi peristiwa yang sebaliknya dimana pihak lelaki tinggal dalam lingkungan keluarga pihak istri disebut nyentana.
copyright
Keluarga luas di dalam masyarakat Bali disebut dengan istilah pakurenan, yang terbentuk akibat perkawinan dari seseorang atau sejumlah anak dari satu keluarga inti dan menetap bersama-sama dengan orang tua mereka. Satu keluarga luas selalu terdiri lebih dari satu keluarga inti, tetapi selalu merupakan satu kesatuan sosial. Pada masyarakat Bali, kelompok kekerabatan ini terutama dari golongan kasta Brahmana dan Ksatriya biasanya tinggal bersama-sama di dalam suatu pekarangan tempat tinggal. Tempat tinggal mereka pada umumnya memiliki pekarangan yang lebih luas dan besar dari kasta Sudra. Kelompok kekerabatan yang berbentuk klan kecil disebut dadia. Struktur keluarga pada masyarakat Bali berbeda-beda di berbagai tempat. Di desa-desa pegunungan, orangorang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal tidak lagi mendirikan pemujaan leluhur pada masing-masing tempat tinggalnya. Hal ini berbeda dengan apa yang dapat dilihat pada orang-orang yang tinggal di daerah dataran. Orang-orang tunggal dadia yang hidup secara neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan yang bernama Kemulan Taksu pada masing-masing tempat tinggalnya.
22
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Strata Sosial Sistem strata sosial pada masyarakat Bali terjadi karena adanya beberapa faktor seperti : keaslian, senoritas, keturunan dan kekuasaan yang berlangsung sejak masa lampau (Rivai, 1981 : 60-74). Sifat keaslian sebagai dasar terjadinya pelapisan sosial sering terlihat dalam masyarakat yang hidup dari bercocok tanam secara menetap. Dalam masyarakat seperti itu, keturunan penduduk asli sering dianggap sebagai lapisan tertinggi. Pada masyarakat Bali, penduduk asli pada suatu desa merupakan lapisan tertinggi yang memiliki sejumlah hak dan kewajiban yang tertuang dalam awig-awig desa / hukum adat yang membedakannya dengan golongan penduduk pendatang. Semakin tradisional orientasi suatu komunitas akan semakin tampak jelas dasar senioritas sebagai dasar pelapisan sosial. Dalam sistem kehidupan seperti itu, golongan tua-tua desa merupakan golongan yang menjadi panutan dan pusat orientasi dalam masalah adat dan yang berperan dalam memutuskannya melalui musyawarah (rapat) yang dihadiri keseluruhan warga.
copyright
Keturunan sebagai dasar pelapisan sosial pada masyarakat Bali, tampak dalam sistem kasta. Dasar ini merupakan hasil proses akulturasi sistem kasta yang berasal dari ajaran agama Hindu di India dengan sistem kekerabatan orang Bali asli yang berdasarkan prinsip patrilinial. Kedudukan orang Bali dalam suatu kasta tertentu dintentukan secara langsung melalui kasta ayahnya. Sistem pelapisan menurut kasta di Bali dapat dibedakan menjadi : kasta Brahmana yaitu golongan orang yang mendalami bidang agama; kasta Ksatriya yaitu golongan orang memegang kekuasaan dalam sistem pemerintahan; kasta Weisya yaitu golongan pedagang dan kasta Sudra yaitu golongan masyarakat kebanyakan yang mengabdikan diri pada pekerjaan bidang pertanian, nelayan, peternakan dan sebagainya. Kasta terakhir merupakan golongan mayoritas dengan populasi lebih dari 90% yang sering disebut jaba wangsa, sedangkan ketiga golongan kasta yang lainnya merupakan golongan minoritas sering disebut dengan tri wangsa. Kekuasaan juga merupakan suatu dasar penting dalam ssstem pelapisan sosial masyarakat Bali pada masa lalu. Fenomena ini sangat jelas tatkala di Bali berkembang sistem pemerintahan kerajaan. Dalam sistem tersebut, keluarga raja dan para kerabat dekatnya dikatagorikan sebagai golongan bengsawan, lapisan tertinggi yang dilengkapi dengan berbagai ciri khusus yang secara jelas dan tajam membedakannya dari golongan lain yang berada pada jenjang pelapisan yang lebih rendah.
23
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
Bersumber pada kekuasaan yang sering mempunyai implikasi politik, sosial dan ekonomi, kaum bangsawan sebagai lapisan tertinggi sering menjadi pusat orientasi dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Masyarakat banyak (rakyat) sebagai golongan yang menempati lapisan terbawah dalam banyak segi kehidupannya bersifat tergantung pada golongan atas. Tanah-tanah sawah milik para bangsawan sebagian besar dikerjakan oleh rakyat dengan menganut sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan pekerja dari hasil panen yang diperolehnya. Komunitas Masyarakat Bali Bentuk komunitas kecil atau kesatuan hidup setempat yang terpenting pada masyarakat Bali adalah Desa. Dalam pandangan orang Bali, desa memiliki dua pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas. Desa adat merupakan satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan berbagai kegiatan upacara dan sosial yang ditata dalam system budaya dan desa dinas merupakan satu kesatuan wilayah administratif.
copyright
Dalam kehidupan masyarakat Bali, ke-dua komunitas ini pada hakekatnya menangani bidang-bidang tertentu. Desa adat menangani bidang adat dan agama, sedangkan desa dinas menangani bidang administrasi pemerintahan formal atau kedinasan serta bidang pembangunan. Pemimpin desa dinas disebut dengan perbekel, sedangkan pimpinan desa adat disebut bendesa. Desa adat di Bali memiliki aturan adat istiadat tersendiri yang tertuang dalam awig-awig desa, yaitu tata aturan hukum yang dipergunakan dan disepakati pada suatu desa tertentu yang mungkin saja akan berbeda dengan desa yang lain (desa-kala-patra). Aturan-aturan yang tertera dalam awig-awig desa dijadikan pedoman dalam mengatur segala peri kehidupan warga desa yang disertai dengan sangsi-sangsi tertentu bagi yang melanggarnya. Konsepsi desa adat tertuang dalam tri hita karana, yang berarti tiga syarat mutlak yang harus dimiliki oleh desa adat yaitu : Kahyangan Tiga, yaitu adanya tiga buah pura yang menjadi pemujaan warga desa (pura desa / pura bale agung, pura puseh dan pura dalem); Krama Desa yaitu seluruh warga desa dengan pasangan suami istri (kuren) sebagai warga inti; dan Palemahan Desa yaitu tanah-tanah milik desa yang merupakan tempat bermukim (pawongan) dan tempat bekerja yang berupa area persawahan, ladang dan perkebunan.
24
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Disamping itu ada beberapa wujud lain sebagai sarana pelengkap seperti bale banjar fungsinya sebagai tempat pertemuan warga desa; bale wantilan yang berfungsi sebagai tempat untuk aktivitas perayaan ataupun pementasan; bale kul-kul yang berfungsi untuk penyimpanan kentongan besar yang dibunyikan pada periode tertentu untuk mengumpulkan warga desa; dan setra (kuburan) yang mutlak diperlukan bagi setiap desa adat. Penataan masing-masing fungsi bangunan pada setiap desa diatur menurut hasta kosala-kosali. Tata letak masing-masing bangunan dalam suatu desa diatur mengikuti tata aturan hastakosali. Pada umumnya mempunyai pola pempatan agung atau perempatan agung yang merupakan daerah persimpangan jalan utama desa sebagai pusatnya dengan diletakkannya bangunan dengan fungsi utama seperti : puri, pasar, lapangan, bale banjar dan wantilan dengan prinsip penempatannya berdasarkan sumbu bumi (kaja-kelod) dan sumbu matahari (kangin-kauh) yang membedakannya menjadi daerah utama-madya-nista.
copyright
Dalam kenyataannya ada beberapa macam pola desa yang disesuaikan dengan kondisi geografis, ekologis dan sistem kemasyarakatan sesuai dengan faham dan pandangan hidup orang Bali. Desa-Kala-Patra yang memungkinkan terbentuknya corak desa yang bervariasi sesuai dengan lokasi, waktu serta tata aturan yang berlaku. Secara umum beberapa variasi pola desa terdiri dari pola linier, pola pempatan agung dan gabungan dari ke-dua pola tersebut. Organisasi Sosial Dalam komunitas masyarakat desa di Bali terdapat tiga bentuk organisasi sosial yang cukup penting peranannya yaitu : sekeha, subak dan banjar. Ke-tiga bentuk organisasi tersebut dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan masyarakat desa. Sekeha merupakan suatu perkumpulan atau kesatuan sosial yang mempunyai tujuan khusus (tertentu). Dasar keanggotaannya adalah suka rela. Ikatan suatu sekeha terbina oleh adanya tujuan bersama dan norma-norma yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Eksistensi sekeha bisa permanen maupun sementara. Beberapa contoh sekeha diantaranya : sekeha memula, sekeha manyi, sekeha tera-teruni, sekeha gong, sekeha beleganjur, sekeha barong, sekeha ngeraabin, sekeha legong dan lain sebagainya. Subak merupakan organisasi sosial para pemilik ataupun penggarap sawah yang menerima air dari suatu sistem irigasi. Kegiatannya adalah di bidang pertanian baik berkaitan dengan bidang ekonomi ataupun spiritual. Pimpinan organiasi subak pada tingkat 25
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
banjar disebut klian subak yang dibantu oleh sinoman sebagai juru bicara (pemberi informasi), sedangkan pimpinan subak untuk tingkat desa disebut pekaseh dan pada tingkat kecamatan disebut sedahan agung. Banjar merupakan kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah dalam suatu desa. Pada umumnya desa-desa di Bali memiliki banjar adat yang dipimpin oleh klian adat mengurusi bidang adat dan agama; dan banjar dinas yang dipimpin oleh klian dinas yang mengurusi bidang administrasi dan pembangunan. Tujuan dari banjar adalah menciptakan suatu kerjasama diantara anggota masyarakat desa dalam beragam aktivitas kehidupan seperti upacara keagamaan, perkawinan, kematian, ngaben, piodalan, membangun rumah dan sebagainya. Keanggotaan banjar bersifat wajib bagi masyarakat yang tinggal dalam wilayah territorial banjar, terutama adalah bagi mereka yang sudah berumah tangga / menikah.
copyright
KONSEP ARSITEKTUR BALI Paham Dasar Agama Hindu
Arsitektur Bali perwujudannya dilandasi dan dilatarbelakangi oleh ajaran agama Hindu yang meresap ke dalam tatanan kehidupan masyarakat, menyangkut segala aspek kehidupan seperti filosofi, etika dan ritual. Ke-tiga kerangka dasar agama Hindu adalah : tatwa (falsafah), tata susila (etika) dan ritual (upacara). Pengaruh agama Hindu menghasilkan corak budaya, integrasi sosial dan sistem pengendalian masyarakat yang unik. Moksartam Jagadhita adalah tujuan akhir kehidupan masyarakat Bali. Untuk maksudmaksud tersebutlah segala aktivitas dilakukan. Segala usaha merupakan tahap-tahap untuk mendekatkan diri dengan tujuan hidup, misalnya : beryadnya, sembahyang, termasuk juga usaha dalam bidang sosial ekonomi. Kehidupan bermasyarakat tidaklah dapat dilepaskan pengaruhnya dari tujuan tersebut, sehingga timbul bentuk kehidupan rumah tangga (kuren), banjar dan desa seperti sekarang ini. Salah satu kepercayaan di dalam agama Hindu yang terpenting adalah Panca Sradha, meliputi lima unsur dasar yang mendasari kepercayaan, yaitu : a. Widhi Sradha. Suatu kepercayaan akan adanya satu Tuhan Ida Sang Hyang Widhi berwujud Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Whisnu dan Syiwa. b. Atma Sradha. Suatu kepercayaan akan adanya atma (jiwa) dalam setiap makhluk hidup
26
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
c. Karmapala Sradha. Suatu kepercayaan akan adanya hukum sebab-akibat dari segala perbuatan yang dilakukan selama menjalani masa kehidupan di dunia. d. Punarbhawa Sradha.Suatu kepercayaan akan adanya proses kelahiran kembali e. Moksa Sradha. Suatu kepercayaan akan adanya kebahagiaan abadi / kekal, yakni kembalinya atma kepada paramaatma yang berarti kebebasan jiwa dari lingkaran proses kelahiran kembali. Salah satu wujud pengaruh kepercayaan agama Hindu yang begitu meresap dalam kehidupan masyarakat Bali dapat dilihat pada konsepsi dan aktivitas upacara keagamaan yang dilakukan oleh kelompok kerabat ataupun komunitas (banjar). Seluruh jenis upacara keagamaan di Bali dapat digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca Yadnya, yaitu : a. Manusa Yadnya. Suatu rangkaian upacara untuk memperingati daur hidup mulai dari masa anak-anak sampai dewasa b. Pitra Yadnya. Suatu upacara yang ditujukan bagi roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai upacara penyucian roh leluhur c. Dewa Yadnya. Merupakan upacara pada pura besar maupun pura keluarga d. Rsi Yadnya. Merupakan upacara yang berhubungan dengan pentahbisan Pedanda sebagai pemimpin keagamaan e. Butha Yadnya. Merupakan upacara yang ditujukan bagi bhuta atau kala yaitu roh-roh di dekitar manusia yang dapat mengganggu dan menghalangi dalam proses kehidupan manusia
copyright
Di dalam ajaran agama Hindu terdapat ajaran bahwasannya manusia hendaknya menyelaraskan dirinya dengan alam. Pandangan ini menghendaki dua macam kemenangan dalam proses kehidupan, yaitu kemenangan lahiriah dan batiniah. Alam semesta terwujud dari lima unsur yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu apah (zat cair), teja (sinar), bayu (udara), pertiwi (zat padat / tanah) dan akasa (ether). Dari sinilah timbulnya suatu pandangan bahwa Bhuana Agung (makro kosmos) dan Bhuana Alit (mikro kosmos) mempunyai sumber yang sama, yaitu Panca Mahabhuta. Dalam agama Hindu, manusia senantiasa diajarkan bagaimana menciptakan balance cosmology (keseimbangan dan keselarasan terhadap keduanya). Secara ringkas paham dasar agama Hindu yang begitu meresap dalam kehidupan masyarakat Bali dapat digambarkan dalam bentuk diagram yang menjelaskan tentang tujuan kehidupan untuk mencapai Moksha yang diwujudkan dalam beberapa bentuk kegiatan upacara (yadnya) dan fase-fase kehidupan mulai dari fase Brahmacari (saat 27
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
mencari dan mengembangkan kebenaran / dharma), fase Gryhasta (saat berumah tangga dan membina keluarga yang dilandasi ajaran kebenaran, fase Wanaprasta (saat untuk merefleksikan / meditasi terkait dengan segala amal perbuatan yang telah dilakukan) dan fase Bhiksuka (saat manusia kembali kepada Sang Hyang Widhi).
copyright Gambar 1. Paham Dasar Agama Hindu Sumber : Robi Sularto,
Rwa Bhineda Konsep perpaduan antara dua kekuatan di sekitar manusia. Hal ini yang mendasari terjadinya pembagian menjadi dua, seperti : baik & buruk, laki-laki & perempuan, siang & malam, dan sebagainya. Menciptakan keselarasan dengan cara menyatukan antara unsur purusha (akasa) dan pradhana (pertiwi) dapat mewujudkan bibit kehidupan. Dalam kaitannya dengan wujud arsitektur adalah tercapainya suatu wujud bawa (benda) maurip (hidup).
28
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Tri Hita Karana Tri Hita Karana memiliki makna tiga unsur sebagai penyebab kebaikan yang terdiri dari atma (roh/jiwa), prana (tenaga) dan angga (jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos yang besar (bhuana agung) sampai yang paling kecil (bhuana alit). Dalam alam semesta jiwa adalah Paramaatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah kekuatan alam dan jasad adalah Panca Maha bhuta. Dalam lingkup permukiman desa, jiwa adalah parahyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (warga desa) dan jasad adalah palemahan (wilayah teritorial desa). Pada rumah tinggal, jiwa adalah sanggah/pamerajan (area suci/pura keluarga), tenaga adalah penghuni (anggota keluarga) dan jasad adalah pekarangan, sedangkan dalam konteks manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira (tubuh manusia).
copyright Tabel 1. Konsep Tri Hita Karana Dalam Susunan Kosmos
UNSUR Alam Semesta (Bhuwana Agung) Desa Banjar Rumah Manusia (Bhuwana Alit)
ATMA (JIWA) Paramaatman (Tuhan Yang Maha Esa) Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem) Parahyangan (Pura Banjar) Pamerajan / Sanggah Atman (jiwa manusia)
PRANA (TENAGA) Kekuatan yang menggerakkan alam
ANGGA (FISIK) Unsur-Unsur Panca Mahabhuta
Pawongan (warga desa)
Palemahan (wilayah desa)
Pawongan (warga banjar) Anggota Keluarga
Palemahan (wilayah banjar) Pekarangan Rumah Badan / Tubuh Manusia
Sabda Bayu Idep
Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008 Tri Angga dan Tri Loka Tri Angga memiliki arti tiga bagian dalam tubuh manusia yang terdiri dari utama angga (kepala), madya angga (badan) dan nista angga (kaki). Konsep Tri Angga dalam Bhuana Agung disebut dengan Tri Loka atau Tri Mandala. Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang besar (makro) sampai yang terkecil (mikro). Bila dianggap secara vertikal, maka aplikasi konsep tersebut terdiri dari utama berada pada posisi teratas / sakral, madya posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.
29
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
Tabel 2. Konsep Tri Angga / Tri Loka Dalam Susunan Kosmos UNSUR Alam Semesta (Bhuwana Agung) Wilayah Desa (Perumahan) Rumah Tinggal Bangunan Manusia (Bhuwana Alit) Masa / Waktu
UTAMA ANGGA
MADYA ANGGA
NISTA ANGGA
Swah Loka
Bhuah Loka
Bhur Loka
Gunung
Dataran
Laut
Kahyangan Tiga
Permukiman
Setra / Kuburan
Sanggah/Pamerajan Atap
Tegak Umah Tiang / Dinding
Tebe Lantai/Bebaturan
Kepala
Badan
Kaki
Masa Yang Akan Datang (Wartamana)
Masa Sekarang (Nagata)
Masa Lalu (Atita)
Sumber : Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008
copyright Gambar 2. Tri Angga Pada Ruang Makro dan Mikro Sumber : Robi Sularto
30
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Nawa Sanga / Sanga Mandala Nawa Sanga / Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada arsitektur Bali. Konsep Nawa Sanga adalah merupakan penggabungan dari konsep orientasi sumbu bumi dan sumbu ritual / sumbu matahari. Orientasi berdasarkan sumbu bumi membagi tiga zona yang terdiri dari : daerah tinggi / gunung (utama) disebut dengan Kaja, daratan (madya) dan laut (nista) disebut dengan Kelod. Sedangkan orientasi sumbu ritual/matahari membagi menjadi tiga zona yang terdiri dari : arah terbitnya matahari di timur (utama) disebut dengan Kangin, transisi arah timur – barat (madya) dan arah terbenamnya matahari di Barat (nista) disebut dengan Kauh. Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan konsep sumbu ritual/matahari (Kangin-Kauh) inilah yang menghasilkan konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar pada delapan arah mata angin dengan satu pada bagian tengah yang menjaga keseimbangan alam semesta.
copyright Gambar 3. Konsepsi Nawa Sanga / Sanga Mandala Sumber : Buku Pameran Arsitektur, PKB 1993
31
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
Konsep Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam tata letak bangunan dan alokasi kegiatannya, seperti kegiatan utama yang memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah Utama ning Utama, kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nista ning Nista, sedangkan kegiatan diantara ke-duanya diletakkan di tengah atau dikenal dengan daerah Madya ning Madya. ARSITEKTUR PURI DI BALI Puri merupakan salah satu wujud permukiman pada arsitektur Bali. Pola permukiman berkembang setelah datangnya para Arya dari kerajaan Majapahit. Bangunan rumah tinggal merupakan unit-unit bangunan yang diatur dan dikelompokkan dalam satu kesatuan banjar, sebagai suatu wujud lingkungan komunitas terkecil yang terdapat pada suatu desa di Bali.
copyright
Struktur pola menetap atau permukiman (pawongan) adalah merupakan simbolisasi dari Tribhuana, yaitu halaman luar yang disebut lebuh adalah simbol dari alam bhuta (kekuatan jahat); halaman tengah yang disebut natah adalah simbol alam dimana manusia berada dan halaman sakral/dalam yang disebut Kahyangan/Parahyangan adalah simbol dimana kekuatan baik (dewa-dewa) berada. Ke-tiga wujud alam tersebut merupakan makrokosmos, sedangkan alam yang diciptakan manusia dan dimana ia berada disebut mikrokosmos. Tujuan dari perwujudannya adalah terciptanya keselarasan diantara keduanya. Konsepsi Rwa-Bhinedha diterapkan dengan membedakan bagian luwanan, merupakan bagian atas yang senantiasa berorientasi ke arah gunung (kaja) dan teben yang berorientasi kea rah laut (kelod). Tingkat-tingkatan kasta, status sosial dan peran individu dalam masyarakat merupakan faktor-faktor yang membedakan wujud rumah di Bali. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada luas pekarangan, susunan ruang, type bangunan, fungsi, bentuk dan material yang digunakan yang diatur dalam Hasta Kosala Kosali (Gelebet, 1986 : 35-40). Menurut sistem kasta dapat dibedakan beberapa wujud rumah tinggal, yaitu : Puri, Gria, Jero dan Umah. Puri adalah tempat tinggal kasta Ksatriya yang memegang kendali dan kekuasaan dalam pemerintahan (Raja); Gria adalah tempat tinggal kasta Brahmana yang berperan dalambidang spiritual keagamaan; Jero adalah tempat tinggal kasta Weisya; dan umah adalah tempat tinggal kasta Sudra.
32
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
Pengertian dan Fungsi Puri Puri berasal dari akar kata “Pur” yang berarti benteng yang dibatasi oleh tembok yang tebal dan tinggi. Puri adalah suatu kumpulan unit-unit bangunan (kompleks) dengan segala kelengkapannya yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan di Bali. Pada jaman kerajaan di Bali, seorang raja tidak mempunyai kantor secara khusus di luar lingkungan puri, fungsi puri tidak terbatas hanya sebagai tempat tinggal raja beserta keluarganya saja melainkan mencakup fungsi-fungsi yang lebih luas lagi seperti pusat pemerintahan, pusat aktivitas seni budaya, pusat belajar agama (pesantian) dan kadang-kadang pada saat ada tamu yang berkunjung, puri juga dijadikan sebagai tempat tinggal sementara untuk menginap bagi tamu-tamu keluarga raja.
copyright
Raja beserta keluarganya yang tinggal di Puri bertugas menjalankan proses pemerintahan seperti menyusun peraturan dan kebijaksanaan, rapat-rapat penting, menerima tamu dan sebagainya. Selain itu, puri juga sekaligus merupakan tempat tinggal dengan berbagai ragam kegiatan rumah tangga diantaranya menyiapkan makanan, menyelenggarakan upacara adat dan keagamaan; dan lain sebaginya (Buku Pesta Kesenian Bali, 1993) Pada mulanya keraton-keraton di Bali bernama Pura, seperti yang dapat dilihat pada jaman keemasan kerajaan di Bali pada abad ke enam belas. Dengan mengambil bentuk dan wujud keraton seperti keraton Majapahit, nama-nama keratonnya antara lain : Linggarsa Pura di Samprangan, Suweca Pura di daerah Gelgel dan Semara Pura di Klungkung. Istilah Puri yang merujuk pada suatu keraton terjadi setelah beberapa keturunan dinasti Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Klungkung. Maksud perubahan istilah tersebut adalah untuk membedakan istilah Pura yang difungsikan untuk untuk bangunan suci (parahyangan) dan puri sebagai istana/keraton. Tata Letak Puri Puri pada umumnya menempati lokasi Kaja-Kangin pada suatu sudut persimpangan jalan yang merupakan pusat aktivitas masyarakat. Pertemuan dua ruas jalan utama tersebut dinamakan dengan pola Pempatan Agung / Catus Patha. Pada area pusat tersebut selain puri juga terdapat lapangan dengan pohon beringin; pasar; bale banjar dan wantilan.
33
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
copyright Gambar 4. Pempatan Agung Sebagai Pusat Desa Sumber : Eko Budihardjo, 1986
Tata Bangunan
Unit-unit bangunan dalam puri dapat dibedakan menurut pembagian zoning berdasarkan pembagian Sembilan yang disebut dengan Nawa Sanga / Sanga Mandala. Untuk pembatas pada masing-masing zona dibuatlah tembok pagar dari bahan batu bata dengan ukuran yang besar dan tinggi yang disebut dengan penyengker. Masing-masing zona dihubungkan dengan pintu masuk yang disebut kori. Secara garis besar bagian-bagian puri dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : ancak saji merupakan bagian terluar; rangki dan semanggen pada bagian tengah; dan pamerajan agung pada bagian dalam. Pada bagian ancak saji yang merupakan bagian terluar terdapat bangunan bale tegeh atau bale tajuk, bale penangkilan dan bale gong. Fungsi bale tegeh adalah sebagai tempat berkumpulnya anggota kerajaan pada waktu diadakan prosesi perarakan dalam suatu perayaan. Pembatas pada bagian ini berupa dinding transparan (tembus pandang) dengan pintu masuk berupa candi bentar yang terdapat pada dua sisi. Pada bagian semanggen terdapat bale semanggen (C2) atau disebut juga bale layon yang berfungsi sebagai tempat jenasah. Dalam keadaan sehari-hari bagian ini difungsikan untuk menerima tamu-tamu dan tempat para keluarga raja melakukan pelatihan kesenian. Pada pelataran dapur (C3)
34
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
terdapat beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan seperti jineng/gelebeg dan paon. Pelataran saren/rangki di dalam puri dapat dibedakan menjadi pelataran saren kauh, saren agung (rangki) dan saren kangin. Sebagai pusatnya adalah pelataran saren agung (B2). Pelataran ini dibagi menjadi dua bagian yaitu pelataran rangki dan saren agung. Pelataran rangki berfungsi untuk menerima masyarakat dan keluarga dekat. Bagian ini juga dihubungkan dengan pintu masuk yang menuju pada bagian jaba tengah pamerajan agung. Pada bagian saren agung terdapat bale ukiran atau saren agung yang berfungsi sebagai tempat tinggal raja. Sesuai dengan nama dan fungsinya, maka bangunan ini sengaja dibuat lebih megah baik dari segi bentuk, bahan dan ornamen bila dibandingkan dengan bangunan yang lainnya. Pada pelataran saren kauh terdapat beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal beberapa saudara-saudara raja yang lebih muda dan pada pelataran saren kangin terdapat beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal beberapa anggota kerajaan yang sudah berusia lanjut. Pada kedua bagian pelataran ini masing-masing memiliki sanggah/pamerajan yang berfungsi sebagai area bangunan suci.
copyright
Pelataran pamerajan agung dibagi menjadi tiga bagian yaitu : jaba sisi (luar), jaba tengah dan jeroan. Fungsi pelataran ini adalah untuk area bangunan suci atau area parahyangan. Pada bagian jaba sisi dipergunakan tembok pembatas yang transparan dengan candi bentar sebagai pintu masuknya, sedangkan pintu masuk dengan wujud kori agung diletakkan pada bagian jaba tengah. Pada bagian jaba sisi (A3) terdapat bale kambang yang dikelilingi kolam, berfungsi untuk tempat meditasi. Pada bagian jaba tengah (A2) terdapat beberapa bangunan yang berfungsi untuk menempatkan berbagai peralatan dan sesaji untuk perlengkapan upacara keagamaan. Pada bagian jeroan (A1) terdapat beberapa bangunan dalam bentuk pelinggih, meru dan padmasana yang merupakan tipologi bangunan suci.
35
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
copyright Gambar 5. Konsep Nawa Sanga Pada Bangunan Puri Sumber : Robi Sularto, Eko Budihardjo, 1986
Studi Kasus : Beberapa Objek Puri Di Bali
Untuk studi kasus akan diajukan beberapa objek bangunan puri diantaranya : Puri Agung Gianyar, Puri Agung Karangasem, Puri Ubud dan Puri Kendran. Pemilihan objek dilakukan secara acak yang terdiri dua buah Puri Agung yaitu : Puri Agung Gianyar dan Puri Agung Karangasem yang merupakan dua buah Puri dari keseluruhan delapan buah Puri induk di Bali yang secara administratif terletak pada masing-masing kabupaten di propinsi Bali. Sedangkan dua objek Puri yang lain yaitu Puri Ubud dan Puri Kendran secara administratif saat kini berada di kabupaten Gianyar, namun secara kesejarahan belum tentu berhubungan secara langsung dengan Puri Agung Gianyar. Secara geografis Puri Ubud terletak pada pengembangan kawasan kepariwisataan dan Puri Kendran terletak di kecamatan Tegallalang yang merupakan pengembangan kawasan pertanian. Dengan adanya beberapa perbedaan ini diduga juga berpengaruh pada perbedaan-perbedaan fungsi dan perwujudannya secara arsitektural baik sejak awal keberadaannya, saat sekarang ini maupun eksistensi dan upaya pengembangannya untuk masa yang akan datang.
36
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
a. Puri Agung Gianyar
copyright Gambar 6. Puri Agung Gianyar (Sumber : Observasi lapangan)
Puri Agung Gianyar terletak di pusat kota Gianyar yang juga adalah pusat kerajaan pada zaman dulu. Berdasarkan tata letaknya, Puri Agung Gianyar berada pada area KajaKangin (Timur Laut) pada persimpangan jalan (Pempatan Agung), disekitarnya saat kini terdapat beberapa fungsi diantaranya lapangan arah Tenggara, Bencingah pada arah Barat laut, dan Kantor Pemerintahan pada arah Barat Daya. Kompleks Puri dibagi-bagi menjadi beberapa bagian pekarangan yang jumlahnya sangat banyak, sehingga perwujudan berdasarkan konsep Nawa Sanga tidak begitu jelas. Pada masing-masing pekarangan terdapat beberapa unit bangunan yang ditata sebagian besar dengan orientasi ke arah Natah. b. Puri Ubud Puri Ubud terletak di pusat kota kecamatan Ubud yang juga adalah pusat kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Gianyar pada zaman dulu. Berdasarkan tata letaknya, Puri Ubud berada pada area Kaja-Kangin (Timur Laut) pada persimpangan jalan (Pempatan Agung), disekitarnya saat kini terdapat beberapa fungsi diantaranya pasar, 37
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
wantilan, fungsi pelayanan pariwisata : homestay, restaurant, art shop, money changer, bank dan kompleks pertokoan. Kompleks Puri dibagi-bagi menjadi beberapa bagian pekarangan yang jumlahnya 12 buah, sehingga perwujudan mirip / menyerupai konsep Nawa Sanga. Pada masing-masing pekarangan terdapat beberapa unit bangunan yang ditata sebagian besar dengan orientasi ke arah Natah.
copyright Gambar 7. Puri Ubud (Sumber : Observasi lapangan) c. Puri Kendran Puri Kendran terletak di desa Kendran, kecamatan Tegallalang, kabupaten Gianyar. Pada lokasi ini sebagian besar areanya berupa sawah dengan irigasi yang baik dan penduduknya adalah petani. Berdasarkan tata letaknya, Puri Kendran berada pada area Kaja-Kangin (Timur Laut) pada persimpangan jalan (Pempatan Agung), disekitarnya saat kini terdapat beberapa fungsi diantaranya lapangan arah Tenggara, Bencingah pada arah Barat laut, dan Bale Banjar pada arah Barat Daya. Kompleks Puri dibagi-bagi menjadi beberapa bagian pekarangan yang jumlahnya 10 buah, sehingga perwujudan mendekati konsep Nawa Sanga. Pada masing-masing pekarangan terdapat beberapa unit bangunan yang ditata sebagian besar dengan orientasi ke arah Natah. 38
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
copyright Gambar 8. Puri Kendran (Sumber : Observasi lapangan)
d. Puri Agung Karangasem Puri Agung Karangasem terletak di kota Amlapura yang merupakan ibukota kabupaten Karangasem, juga adalah pusat kerajaan pada zaman dulu. Berdasarkan tata letaknya, Puri Agung Karangasem tidak berada pada area Kaja-Kangin (Timur Laut) dan tidak diletakkan pada persimpangan jalan (Pempatan Agung), disekitarnya saat kini terdapat beberapa fungsi diantaranya lapangan, Puri Gede Karangasem dan lingkungan permukiman rumah-rumah penduduk. Kompleks Puri dibagi-bagi menjadi beberapa bagian pekarangan yang jumlahnya sangat banyak, sehingga perwujudan berdasarkan konsep Nawa Sanga tidak begitu jelas. Pada masing-masing pekarangan terdapat beberapa unit bangunan yang ditata sebagian besar dengan orientasi ke arah Natah. Pada Puri Agung Karangasem ditemukan adanya beberapa pengaruh dari luar diantaranya adalah pengaruh Cina sangat Nampak pada motif-motif ukiran kayu dan beberapa unit bangunan dengan cina style; dan pengaruh Eropa melalui penggunaan besi cor sebagai tiang penyangga
39
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
bangunan dan beberapa bangunan diantaranya bentuk Kori Agung dan Bale Maskerdam yang merupakan Bale Kambang.
copyright Gambar 9. Puri Agung Karangasem (Sumber : Observasi lapangan)
40
Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri (Rachmat Budihardjo)
KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya Pada Bangunan Puri didapatkan beberapa hasil kesimpulan. Pada masyarakat Bali dapat ditemukan adanya hubungan yang saling berintegrasi dan berinteraksi antara sosial-budaya-agama yang diejawantahkan pada kehidupan sehari-hari baik dalam konteks relasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Puri adalah merupakan type bangunan tempat tinggal bagi kasta Ksatriya disamping bangunan hunian yang lain seperti Gria, Jero dan Umah. Fungsinya selain untuk tempat tinggal raja beserta keluarganya juga sebagai pusat pemerintahan dan pusat aktivitas masyarakat di sekitarnya. Perwujudan arsitektur Bali pada dasarnya diupayakan secara konsisten melalui beberapa konsep diantaranya : Rwa-Bhineda, Tri Hita Karana, Tri Angga, dan Nawa Sanga yang keseluruhannya diatur dalam Hasta kosala-kosali.
copyright
Tidak selamanya dengan mudah ditemukan aplikasi konsepsi arsitektur Bali pada beberapa contoh kasus bangunan Puri yang dipilih. Studi yang terfokus pada terjadinya perbedaan-perbedaan dalam penerapan konsep arsitektur Bali pada bangunan Puri diharapkan dapat mengungkapkan latar belakang dasar pemikiran bagi kelangsungan Puri baik pada saat kini maupun yang akan datang. DAFTAR REFERENSI Abu, Rivai. (1980). Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali. Denpasar : Depdikbud. Behrend, Timothy Earl. (1982). Keraton and Cosmos in Traditional Java. Thesis, University of Wisconsin. Budihardjo, Eko. (1986). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Budihardjo, Sf.Rachmat. (1997). Konservasi Puri-Puri Di Bali. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Teknik – Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Budihardjo, Sf.Rachmat. (1994). Perubahan Fungsi dan Tata Ruang Puri Di Bali (Suatu Kajian Sejarah Sosial). Thesis Program Pasca Sarjana, Program Studi Perancangan Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Covarubias, Miguel. (1973). Island of Bali. London : KPI Limited. Dumarcay, Jaques. (1991). The Palaces of Saouth East Asia Architecture and Costoms. Singapore : Oxford University Press. 41
NALARs Volume 12 No 1 Januari 2013 : 17-42
Dwijendra, Nagakan Ketut Acwin. (2008). Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Udayana University Press dan CV.Bali Media Adhikarsa, Denpasar (Bali). Dwijendra, Nagakan Ketut Acwin. (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta Kosala-Kosali. Udayana University Press dan CV.Bali Media Adhikarsa, Denpasar (Bali). Eisenmen, Fred B. (1981). Bali Sekala and Niskala. Singapore : Periplus Edition. Geertz, Clifford. (1977). Form and Variation in Balinese Village Structure. American Anthropologist Vol.61 No.6. Geertz, Hildred. (1991). State and Society in Bali. Leiden : KITLV. Gelebet, I Nyoman, et.al. (1986/87). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar : Depdikbud. Gesick, Lorraine. (1989). Pusat, Simbol dan Hirarkhi Kekuasaan. Jakarta : Yayasan Obor. Hobart, Mark. (1976). The Legitimacy of Nature in Balinense Conception of Space. London : University of London. Kagami, Haruya. (1988). Balinese Traditional Architecture in Process. Japan : Nippon Printing. Laksono, P.M. (1985). Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta : Gama Press. Mangunwijaya, YB. (1988). Wasthu Citra. Jakarta : Gramedia. Ngoerah, I Gusti Ngoerah Gde et.al. (1981). Arsitektur Tradisional Bali. Makassar : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin. Parimin, Ardi Pardiman. (1986). Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village. Japan : Thesis Tokyo University. Patra, I Made Susila. (1985). Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Adat Bali. Jakarta : Balai Pustaka. Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture. New York : Engelwood Cliffs. Saliya, Yuswadi. (1975). Spatial Concept in Balinese Traditional Architecture Its Possible For Further Development . Thesis, Hawaii University. Sastrowardoyo, Robi Sularto. (1987). Traditional Architecture of Bali. Bali : Makalah Aga Khan Award. Tjahyono, Gunawan, et-al. (1998). Indonesian Heritage Architecture. Singapore : Archipelago Press. Wiryomartono, A.Bagoes P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Bina Kota Di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
copyright
42