i
KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ANEMON LAUT (Stichodactyla gigantea)
FITRIE HARDYANTI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
ii
RINGKASAN
FITRIE HARDYANTI. Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea). Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan NURJANAH. Pemanfaatan biota laut di Indonesia saat ini masih pada budidaya ikan dan pangan, sedangkan dalam bidang medis dan pengobatan masih jarang dilakukan. Salah satu inverterbarata laut yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis serta ekologis adalah anemon laut (Stichodactyla gigantea). Anemon laut sangat populer sebagai hewan pengisi akuarium dan bahan makanan laut (seafood). Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung berbagai zat yang berpotensi dalam bidang biomedis dan obat-obatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut yaitu uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktivitasnya. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam bahan pangan saat ini adalah antioksidan sintetik. Pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumber daya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat-obatan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran tubuh yang menghasilkan aktivitas antioksidan, kandungan gizi, komponen bioaktif dari ekstrak terbaik, dan tingkat kesegaran yang menghasilkan aktivitas antioksidan. Pada penelitian ini dibagi 3 tahap yaitu identifikasi dan pengambilan sampel, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi ekstraksi senyawa bioaktif dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh. Penelitian utama meliputi analisis proksimat, uji fitokimia ekstrak terbaik, dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran. Pengujian antoksidan dilakukan dengan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Karakteristik anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang berasal dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dibagi menjadi 3 ukuran yaitu kecil, sedang dan besar. Rendemen ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh kecil, sedang dan besar memiliki nilai sebesar 2,83%; 4,40% dan 5,45%. Hasil aktivitas antioksidan dengan ukuran tubuh berbeda memiliki nilai IC50 tertinggi pada anemon laut ukuran besar dengan IC 50 sebesar 916,94 ppm. Anemon laut memiliki kadar air 83,61%, abu 3,43%, abu tidak larut asam 0,75%, lemak 0,58%, protein 0,4% dan karbohidrat 11,23%. Komponen anemon laut mengandung komponen alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, dan saponin. Anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda meliputi anemon laut ukuran tubuh besar segar dan mati. Penentuan tingkat kesegaran terbaik dengan uji antioksidan metode DPPH menunjukkan bahwa anemon laut dengan tingkat kesegaran paling segar memberikan efek antioksidan tertinggi dengan nilai IC 50 sebesar 916,94 ppm, sedangkan nilai IC 50 anemon laut mati sebesar 2.316,91 ppm. Ekstrak kasar anemon laut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan vitamin C yang memiliki nilai IC 50 sebesar 1,95 ppm.
ii
iii
KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ANEMON LAUT (Stichodactyla gigantea)
FITRIE HARDYANTI C34070024
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)
Nama
:
NRP
: C34070024
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Fitrie Hardyanti
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Dr, Ir. Nurjanah, MS NIP. 1959 1013 1986 01 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal lulus : ...........................
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Fitrie Hardyanti C34070024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada: 1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan sangat membangun bagi penulis. 3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan. 5. Kedua orang tua tercinta dan adik, untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas. 6. Keluarga besar Pusat Studi Biofarmaka (Mba Ina, Mas Endy, Bu Nunung, Mba Wiwit), Bu Emma dan Mba Silvi yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di laboratorium. 7. Tim antioksidan (Nabila, Dita, Fipo, Ria, Aan) yang telah melakukan penelitian bersama dan selalu saling membantu. 8. Anjar, Komeng, Vickar, Oji, Rudi, Hendra, Apip, Zara, Jati, Sendy, Ricky, Adi, Cencen, Ikma, Dihart, Yuli, Rika, dan sahabat-sahabat THP 44 atas
v
semangat, bantuan dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 9. Keluarga besar Fisheries Diving Club (FDC-IPB) khususnya diklat 25 (Iqbal, Opik, Sukma, Hedra, Pustika, Muti, Fadil, Ami, Silvia, Dian, Ratih, Herbeth, Luki, James, Apoy) atas suka duka, persahabatan dan kekeluargaannya selama ini. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2011
Fitrie Hardyanti C34070024
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 9 Mei 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ir. Soeharto dan Eko Pudjowati. Penulis memiliki satu orang saudari yaitu Ekky Hartanty. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Tunas Jaka Sampurna Bekasi (1993-1994), SD Tunas Jaka Sampurna Bekasi (1995-2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 109 Jakarta Timur (2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 71 Jakarta Timur (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota dan ketua divisi Pubdok serta anggota divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) di klub selam Fisheries Diving Club (FDC). Penulis aktif sebagai asisten praktikum Teknik Observasi Bawah Air (2009-2010), asisten praktikum Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan (2010-2011) dan asisten praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010-2011). Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil dan Dr. Ir. Nurjanah, MS.
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Tujuan........................................................................................................... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 4 2.1 2.2 2.3 2.4
Deskripsi dan Klasifikasi Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) ............. 4 Metabolit Sekunder ..................................................................................... 6 Ekstraksi Senyawa Bioaktif ........................................................................ 7 Antioksidan ................................................................................................. 9 2.4.1 Sumber antioksidan............................................................................ 9 2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan .......................................................... 10 2.4.3 Uji Aktivitas Antioksidan ................................................................ 11 2.5 Senyawa Fitokimia .................................................................................... 13 2.5.1 Alkaloid ........................................................................................... 13 2.5.2 Steroid / Triterpenoid ....................................................................... 13 2.5.3 Flavonoid ......................................................................................... 14 2.5.4 Saponin ............................................................................................ 15 2.5.5 Fenol hidrokuinon ............................................................................ 15 2.5.6 Tanin ................................................................................................ 16 3 METODOLOGI ............................................................................................... 17 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 17 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................................... 17 3.3 Metode Penelitian ...................................................................................... 18 3.3.1 Identifikasi dan pengambilan sampel .............................................. 19 3.3.2 Penelitian pendahuluan .................................................................... 19 3.3.3 Penelitian utama ............................................................................... 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 27 4.1 Karakteristik Bahan Baku ......................................................................... 27 4.2 Penelitian Pendahuluan ............................................................................. 28 4.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif .............................................................. 28 4.2.2 Aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh ............................. 31 4.3 Penelitian Utama ....................................................................................... 33 4.3.1 Kandungan gizi anemon laut (Stichodactyla gigantea) ................... 33 4.3.2 Senyawa fitokimia ........................................................................... 36 4.3.3 Aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran ...................... 41
vii
viii
5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 46 5.1 Kesimpulan................................................................................................ 46 5.2 Saran .......................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 47
viii
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1 Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) ...................................................... 4 2 Anatomi anemon. ......................................................................................... 5 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan ....... 12 4 Diagram alir proses ekstraksi anemon laut ................................................ 20 5 Anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka .......................... 27 6 Diagram batang rendemen anemon laut ..................................................... 30 7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut ........................................... 32 8 Grafik hubungan konsentrasi vitamin C dengan persen inhibisinya: n=2. 42 9 Grafik hubungan antara ekstrak anemon laut dengan rata-rata persen inhibisinya ( ) anemon segar, ( ) anemon mati; n=2.............................. 44 10 Nilai rata-rata IC50 anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda .......... 44
ix
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ......................................... 17 2 Hasil uji proksimat anemon laut ................................................................. 34 3 Hasil uji fikomia hasil ektrak kasar terbaik anemon laut ............................ 37
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Lokasi pengambilan sampel anemon air ..................................................... 54 2 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ......................... 54 3 Foto ekstrak kasar anemon laut ................................................................... 58 4 Data rendemen ekstrak kasar anemon laut .................................................. 59 5 Perubahan warna ekstrak setelah penambahan DPPH dalam microplate ... 60 6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50 ......................................... 61 7 Perhitungan analisis proksimat anemon laut ............................................... 65
xi
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemanfaatan biota laut di Indonesia saat ini masih tergolong belum optimal. Pemanfaatan kekayaan laut Indonesia selama ini masih pada budidaya ikan dan sejenisnya sebagai pangan sedangkan dalam bidang medis dan pengobatan masih jarang dilakukan. Biota laut memiliki potensi sebagai bahan dasar industri farmasi, kosmetika, bioenergi, dan industri lainnya di Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai nilai ekonomi sebesar 40 miliar dollar AS per tahun (Dahuri 2004). Organisme laut terutama yang berasal dari ekosistem terumbu karang telah menjadi sumber yang menarik bagi bahan kimia alam, karena organisme ini menyediakan metabolit sekunder/senyawa bioaktif dalam proporsi yang besar. Invertebrata laut dengan keanekaragaman spesies yang tinggi di terumbu karang kaya dengan metabolit sekunder dan menjadi target khusus dalam pencarian komponen bioaktif. Salah satu invertebrata laut yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis serta ekologis adalah anemon laut. Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari Filum Cnidaria. Biota ini dijadikan sebagai hewan pengisi akuarium yang sangat indah dan menarik karena memiliki bentuk tubuh yang menyerupai bunga beraneka warna. Anemon laut sangat populer sebagai bahan makanan laut (seafood), terutama di luar negeri antara lain Perancis, Jepang, Korea dan Kepulauan Pasifik bagian Timur dan penduduk Kepulauan Seribu. Cara mengolah anemon laut untuk dapat dimakan adalah terlebih dahulu anemon tersebut dilumuri dengan abu dapur agar kulit arinya terkupas dan lendirnya berkurang. Jenis-jenis anemon yang biasa dimakan oleh masyarakat di Indonesia adalah Marga Stoicactis (Actinaria), yaitu anemon karpet (Stichodactyla gigantea) (Nybakken 1988). Anemon laut karpet merupakan salah satu spesies anemon yang ditemukan melimpah di Indonesia, antara lain di Teluk Jakarta dengan kepadatan yang cukup tinggi (Dunn 1981). Pemanfaatan anemon laut saat ini masih terbatas untuk akuaskap dan beberapa untuk makanan laut. Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung peptida, protein, fosfolipid, fosfolipase, glikoprotein, sterol,
2
bioaktif amin dan karbohidrat, yang berpotensi dalam bidang biomedis dan pengembangan obat-obatan (Bayazit 2009). Kajian yang lebih mendalam mengenai anemon laut bagi kesehatan manusia masih belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan pengujian ilmiah lebih lanjut terhadap anemon laut. Pengujian ilmiah yang perlu dilakukan khususnya uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktifnya. Antioksidan adalah zat yang dapat memperlambat dan mencegah terjadinya proses oksidasi (Tamat et al. 2007). Konsumsi antioksidan dalam jumlah yang memadai dapat menurunkan penyakit degeneratif, yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, osteoporosis, dan lain-lain. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan juga dapat meningkatkan status imunologis dan dapat menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan. Kecukupan asupan antioksidan secara optimal diperlukan pada semua kelompok umur (Winarsi 2007). Antioksidan yang paling umum digunakan dalam bahan pangan adalah antioksidan sintetik misalnya BHA (butylated hdroxyanisol), BHT (butylated hidroxytoluene), PG (propil galat), dan TBHQ (tert-butil hidroxy quinon). Beberapa studi yang dilakukan oleh Lu dan Foo (2002) diacu dalam Jin Heo et al. (2005) melaporkan bahwa adanya hubungan terbalik antara asupan makanan yang kaya antioksidan dengan penyakit pada manusia. Penggunaan antioksidan sintetik dalam bahan pangan yang berlebihan dapat menyebabkan mutagenetik
dan
karsinogenetik
(Darmawan
2009).
Oleh
karena
itu,
pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumberdaya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat. 1.2 Tujuan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya komponen antioksidan pada anemon laut (Stichodactyla gigantea) melalui ekstraksi tunggal, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain: 1) Menentukan ukuran tubuh anemon laut yang dapat menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan terbaik. 2) Menentukan kandungan zat gizi (lemak, protein, abu, dan karbohidrat) dari anemon laut.
3
3) Menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada anemon laut dari ekstrak terbaik melalui uji fitokimia. 4)
Menentukan tingkat kesegaran anemon laut yang dapat menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan terbaik.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari Filum Cnidaria. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama, yaitu Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Klasifikasi anemon laut yang digunakan dalam penelitian menurut Kaestner (1967) : Filum
: Cnidaria
Kelas
: Anthozoa
Ordo
: Actinaria
Sub Ordo
: Myantheae
Famili
: Stichodactylidae
Genus
: Stichodactyla
Spesies
: Stichodactyla gigantea
Anemon laut merupakan salah satu anggota Kelas Anthozoa yang bentuk tubuhnya bervariasi dengan kombinasi warna yang indah dipandang. Hidupnya soliter dan tidak mempunyai percabangan. Anemon laut mempunyai tentakel yang berisi udara (hollow tentacle). Biasanya disela-sela tentakel itu merupakan tempat yang ideal bagi ikan-ikan hias (Hadi dan Sumadiyo 1992). Bentuk anemon laut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) Sumber : Collin & Arneson (1995)
5
Secara garis besar struktur tubuh anemon terdiri atas oral disc, coloum dan pedal disk. Oral disc adalah bagian teratas anemon. Pada oral disc terdapat mulut yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekeliling mulut terdapat tentakel yang berfungsi untuk menangkap makanan. Di tentakel terdapat sel knidosit atau sel penyengat yang menjadi ciri khas Filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi untuk menyengat mangsa. Pencernaan dimulai dari mulut kemudian dilanjutkan dengan stomodaeum yang langsung menghubungkannya dengan coelenteron atau rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat mesenteri filament yang berfungsi sebagai usus.
Basal
disk
merupakan
bagian
yang
menempel
pada
substrat
(Fautin dan Mariscal 1991). Anatomi anemon laut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Anatomi anemon. Sumber : Fautin dan Mariscal (1991).
Reproduksi anemon terjadi secara seksual dan aseksual. Nybakken (1988) menyatakan bahwa proses reproduksi seksual dimulai dengan gametogenesis, yaitu pembentukan calon gamet sampai gamet matang. Gamet yang matang dilepaskan dalam bentuk larva planula. Planula yang dilepaskan akan berenang bebas dalam perairan. Bila planula telah menemukan tempat yang cocok, maka planula akan menempel pada substrat untuk menetap dan berkembang. Reproduksi aseksual dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas baru yang
6
tumbuh di permukaan bagian bawah atau pada bagian sisi melekat sampai mencapai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh menjadi individu baru. Pembentukan tunas dapat dilakukan secara intertentakular dan ekstratentakular. Pertunasan intertentakular merupakan pembentukan individu baru di dalam individu lama. Sedangkan pertunasan ekstratentakular adalah pembentukan individu baru di luar. Berdasarkan makanannya, anemon dikelompokkan menjadi dua, yaitu fishers dan particle feeders. Kelompok pertama biasanya memakan ikan-ikan kecil, crustacea dan plankton. Mangsa akan disengat oleh nematoksis kemudian dijerat oleh tentakel kemudian dibawa ke mulut. Pada anemon yang bersimbiosis dengan ikan Amphiprion, ikan ini akan membantu anemon memotong-motong makanannya dan membantu anemon untuk memasukan makanannya ke mulut anemon. Sedangkan kelompok kedua memperoleh makanan menggunakan mucus. Partikel akan menempel pada mucus kemudian akan dibawa ke mulut dengan menggunakan
silia
yang
ada
di
seluruh
permukaan
tubuhnya
(Haefelfinger dan Thenius 1974). Hadi dan Sumadiyo (1992) menyatakan bahwa anemon mampu makan dalam jumlah yang sangat banyak, tetapi bila makanannya sedikit atau jarang anemon akan melipat diri sehingga ukuran tubuhnya menyusut. Bila anemon mengkerut akan terlihat seperti bola dengan sedikit tentakel tersembul keluar. 2.2 Metabolit Sekunder Proses sintesis substansi kimia dan degradasi organisme dengan sistem enzimatik disebut metabolisme. Jalur-jalur biosintetik digunakan oleh semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang esensial untuk kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa hasil biosintetik turunan dari metabolit primer yang umumnya diproduksi oleh organisme yang berguna untuk pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan organisme lain, sedangkan substansi yang dihasilkan oleh organisme melalui
metabolisme
dasar
serta
digunakan
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan organisme yang bersangkutan disebut dengan metabolit primer (Herbert 1995).
7
Perbedaan kondisi lingkungan misalnya tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, tekanan dan struktur tubuh yang berbeda dengan organisme darat memungkinkan organisme laut menghasilkan metabolit yang mempunyai struktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktivitasnya (Muniarsih 2005). Selain itu dinyatakan pula bahwa disamping kompetisi secara spasial, beberapa faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa bioaktif sehingga dapat dikatakan bahwa organisme laut yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin yang lebih tinggi daripada organisme yang ditumbuhkan pada substrat buatan (Handojo 2006). Organisme laut khususnya invertebrata laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut, mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Metabolit sekunder bagi invertebrata laut berperan membantu dalam pencarian makanan, pengenalan dengan populasinya, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang sesuai (Harper et al. 2001). Metabolit sekunder juga berperan dalam pengaturan dan sinkronisasi siklus reproduksi, serta pemberi sinyal jika ada predator yang membahayakan (Muniarsih 2005). Invertebrata laut merupakan produsen senyawa bioaktif terbesar diantara biota lainnya. Menurut Khatab et al. (2008), senyawa bioaktif adalah senyawa kimia aktif yang dihasilkan oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder. Biota yang kaya dengan senyawa bioaktif adalah spons, cnidaria, bryozoa, tunicates, dan alga. Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif dalam obat dari berbagai penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan antikanker (Muniarsih 2005). 2.3 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya larut, titik didih, sifat
8
toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar 2003). Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen-komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan, dan sublimasi. Metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aqueous phase dan organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Houghton dan Raman 1998). Pada proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel dan akan masuk ke dalam rongga sehingga komponen bioaktif akan larut. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan komponen bioaktif di dalam sel dengan di luar sel maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali hingga terjadi keseimbangan antara larutan di luar dengan di dalam sel (Nur dan Adijuwana 1989). Pelarut agar cepat terpisah harus menggunakan pelarut yang mempunyai berat jenis yang berbeda, yaitu yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 1 atau kurang dari 1 (Winarno et al. 1973). Kelarutan zat di dalam pelarut-pelarut tergantung dari ikatannya yaitu polar atau non polar. Zat yang polar contohnya air, sedangkan non polar yaitu karbontetrakhlorida. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam pelarut non polar (Winarno et al. 1973). Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida. Pelarut non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987).
9
Metanol merupakan senyawa polar yang disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu mengekstrak komponen polar juga dapat mengekstrak komponen nonpolar seperti lilin dan lemak (Houghton dan Raman 1998). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut antara lain kondisi alamiah senyawa yang diekstrak, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, lama waktu ekstrak, kondisi dan waktu penyimpanan, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harbone 1987). 2.4 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginteraksi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). Antioksidan sangat bermanfaat baik untuk mempertahankan mutu produk pangan maupun untuk kesehatan tubuh. Antioksidan dalam tubuh akan menggangu mekanisme kerja pembentukan radikal bebas dan juga akan menghambat oksidasi atau reaksi rantai radikal bebas, sehingga berbagai penyakit degeneratif, misalnya katarak, kanker dan proses penuaan dapat dihambat dengan antioksidan, baik yang diperoleh dari luar maupun melalui metabolisme tubuh (Niwa 1997). 2.4.1 Sumber antioksidan Antioksidan berdasarkan sumbernya digolongkan menjadi antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Ada lima antioksidan yang diijinkan untuk makanan dan penggunaannya tersebar luas di seluruh dunia, yaitu butylated hdroxyanisol (BHA), butylated hidroxytoluene (BHT), propil galat, tert-butil hidroxy quinon (TBHQ) dan tokoferol (vitamin E). Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991 diacu dalam Trilaksani 2003).
10
Antioksidan alami lebih dipercaya dibandingkan dengan antioksidan sintetik karena beberapa kelebihannya, yaitu relatif lebih aman, tidak toksik dan tidak memberikan efek samping. Umumnya antioksidan sintetik dapat menyebabkan mutasi, bersifat karsinogenik dan efek patogenik (Niwa 1997). Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavonol, flavon, katekin dan flavonon), derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt 1992). Komponen antioksidan di alam mempunyai struktur kimia yang berbedabeda, umumnya sebagai asam amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol. Senyawa antioksida alami digolongkan sebagai komponen fenolik, protein, komponen nitrogen, karotenoid, dan komponen lain seperti vitamin C, keton dan glikosida (Winarno 2008). 2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan Antioksidan bereaksi melalui pemberian senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal, pembersihan ion logam katalitik, pembersihan radikal bebas yang berfungsi sebagai inisiator, misal hidroksil, peroksil, alkoksil, pemutus rantai reaksi yang diinisiasi oleh radikal bebas dan peredam reaksi serta pembersih singlet oksigen (Pratt 1992). Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer (pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul atioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO˙) dan radikal turunan antioksidan tersebut (A˙)
11
lebih stabil dibanding radikal lipida, atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD), butylated hdroxyanisol (BHA), butylated hidroxytoluene (BHT), dan tokoferol. Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen relatif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya (Winarsi 2007). Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme, seperti mengikat ion metal, memecah hidroperoksida ke bentuk-bentuk nonradikal, menyerap radiasi ultraviolet atau mendeaktifkan
singlet
oksigen.
Antioksidan
sekunder
juga
berfungsi
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autoksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan sekunder adalah asam askorbat (vitamin C), vitamin E, beta karoten, asam urat, bilirubin dan albumin, asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan garam sodiumnya, dilauril tiopropionat (Winarno 2008). Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand, baik gugus non basa maupun basa (Winarsi 2007). 2.4.3 Uji Aktivitas Antioksidan Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah menggunakan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
dalam
(Molyneux 2004).
pelarut
etanol
pada
panjang
gelombang
520
nm
12
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH banyak dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya membutuhkan sedikit sampel (Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji ini bergantung pada struktur kimia dan antioksidan. Pengurangan radikal DPPH bergantung pada jumlah grup hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga metode ini memberikan sebuah indikasi dari ketergantungan struktural kemampuan antioksidan dari antioksidan biologis (Vattem dan Shetty 2006). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Antoksidan akan mendonorkan proton atau hidrogen kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrazin) (Wikanta et al. 2005). Hal ini dapat dilukiskan dalam persamaan berikut: DPPH˙ + Radikal bebas
AH Antioksidan
DPPH-H Netral
+ A˙ Radikal bebas
baru,
stabil, tidak reaktif
Warna ungu
Warna kuning
Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)
Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel yang
13
dibutuhkan untuk menghambat 50 % radikal bebas DPPH (Andayani 2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC 50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004). 2.5 Senyawa Fitokimia Fitokimia adalah senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan pada tubuh manusia. Fitokimia mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Pada tumbuhan terdapat senyawa kimia bermolekul kecil yang penyebarannya terbatas dan sering disebut sebagai metabolit sekunder (Sirait 2007). Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). 2.5.1 Alkaloid Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung cincin heterosiklik disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan turunan dari asam amino (Harborne 1987). Alkaloid umumnya tanpa warna, bersifat optis aktif, dan sebagian besar berbentuk kristal hanya sedikit yang berupa cairan. Alkaloid banyak ditemukan pada bagian tumbuhan yaitu biji, daun, ranting, serat kayu. Alkaloid terakumulasi pada jaringan yang tumbuh aktif yakni epidermis, hipodermis, dan kelenjar lateks. Fungsi alkaloid pada tumbuhan belum dapat dinyatakan dengan pasti akan tetapi beberapa senyawa berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga (Suradikusumah 1989). 2.5.2 Steroid / Triterpenoid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
14
asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Triterpenoid terbagi menjadi empat golongan senyawa berupa triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir disebut triterpenoid esensial atau steroid yang umumnya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida (Sirait 2007). Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, misalnya sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). 2.5.3 Flavonoid Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987). Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan flavon yang
15
terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). 2.5.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah dideteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratoriun menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), dan sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007). 2.5.5 Fenol hidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987). Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Iso prenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989).
16
Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987). 2.5.6 Tanin Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat
logam
berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Shut 2002).
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011. Sampel anemon laut (Stichodactyla gigantea) diambil disekitar kawasan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta (Lampiran 1). Proses preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku. Analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan abu tidak larut asam) dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Proses ekstraksi, analisis aktivitas antioksidan dan uji fitokimia dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka (PSB), Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian pendahuluan, pengambilan sampel, uji proksimat, ekstraksi dan evaporasi, uji DPPH, dan uji komponen fitokimia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian Tahapan Alat Bahan 1. Pengambilan sampel Alat snorkling Anemon laut Palu Pahat Plastik Cool box Keranjang plastik 2. Uji Proksimat Oven n-heksana p.a. Kapas bebas lemak Akuades Cawan porselan Kjeltab jenis selenium Desikator H2SO4 p.a. pekat Tanur pengabuan H3BO3 (asam borat) Labu kjehdal Destilator Kertas saring Whatman 42 Gegep Alumunium foil
18
Tabel 1 Lanjutan 3. Ekstraksi
4. Uji DPPH
5. Uji Fitokimia
Blender Gelas ukur Orbital shaker Kertas saring Whatman 42 Corong kaca Gelas piala Botol kaca Sudip Rotar vaccum evaporator Kapas bebas lemak Tabung reaksi Pipet mikro Kapas bebas lemak Elisa reader Microplate Multipipette Labu takar Botol kaca Gelas ukur Kompor listrik Tabung reaksi Pipet Sudip Gegep Penangas air
Metanol
Ekstrak metanol anemon Etanol Kristal DPPH Vitamin C
H2SO4 pekat Kloroform Serbuk magnesium Amil alkohol HCl 2N Etanol 70 % Pereaksi Wagner Pereaksi Meyer Pereaksi Dragendroff FeCl3
3.3 Metode Penelitian Rangkaian kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi identifikasi dan pengambilan sampel anemon laut, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan meliputi ekstraksi senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh yang mengandung aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (1,1diphenyl-2-picrylhydrazil). Tahap penelitian utama berupa analisis kandungan gizi anemon laut, uji fitokimia, dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan tingkat kesegaran yang berbeda dengan uji antioksidan metode DPPH.
19
3.3.1 Identifikasi dan pengambilan sampel Penelitian diawali dengan pengambilan sampel anemon laut pada tanggal 20 Februari 2011 pukul 16.00 WIB. Sampel anemon laut diambil menggunakan pahat dan palu dengan cara memahat sekeliling tempat menempelnya agar anemon tidak lepas dari substratnya sehingga anemon tidak merasa terganggu. Anemon yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam keranjang plastik untuk dibawa ke daratan. Pengambilan sampel anemon laut ini dilakukan pada kedalaman 0,5 m – 1 m. Ukuran anemon yang diambil dibagi menjadi 3 katagori yaitu ukuran kecil (kurang dari 10 cm, berat 140-160 gram), sedang (10-25 cm, berat 200-315 gram), besar (lebih dari 25 cm, berat 500-700 gram). Ukuran ini merupakan ukuran diameter tubuh dari anemon laut. Tingkat kesegaran anemon dibedakan menjadi 2 jenis yaitu anemon segar dan anemon mati. Anemon segar memiliki ciri-ciri yaitu tidak adanya mucus yang keluar, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi mesenterial filaments yang normal, sedangkan anemon mati memiliki ciri-ciri seperti cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments. Spesies anemon laut ini kemudian diidentifikasi dengan melihat penampakan, bentuk tentakel, warna tubuh dan disesuaikan dengan buku identifikasi yang berjudul Tropical Pasific Invertebrte (Collin dan Arnesson 1995). 3.3.2 Penelitian pendahuluan Tahap penelitian pendahuluan meliputi ekstrak senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH. Tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan ukuran tubuh terbaik yang menghasilkan ekstrak dengan sifat antioksidan yang paling tinggi. 3.3.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif (Pramadhany 2006) Ekstraksi komponen antioksidan dilakukan dengan menghasilkan ekstrak kasar terlebih dahulu. Komponen antioksidan diperoleh melalui ekstraksi tunggal dengan menggunakan pelarut metanol. Sampel anemon laut yang berbeda ukuran (kecil, sedang dan besar) dan tingkat kesegaran (segar dan mati), masing-masing
20
sebanyak 50 gram dihancurkan sampai halus dengan blender kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Pelarut metanol ditambahkan sampai terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:3 (w/v). Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil untuk mencegah penguapan dari pelarut. Sampel dimaserasi dengan menggunakan orbital shaker selama 2 x 24 jam. Hasil larutan maserasi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 42 untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtrat yang didapat dievaporasi pada suhu 37 oC. Ekstrak kasar yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol ekstrak yang akan digunakan untuk dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Salazar-Aranda et al. 2009) dan uji komponen fitokimia secara kualitatif (Harborne 1987). Proses esktraksi dapat dilihat pada Gambar 4. Anemon laut
Ukuran
Tingkat kesegaran
berbeda
berbeda Pencacahan Penimbangan(50 (50g)* Penimbangan g)*
Maserasi 2 x 24 dengan Maserasi 2x jam 24 jam metanol 150 ml (w/v)* dengan metanol 150 ml (w/v)* Penyaringan
Filtrat
Residu
Evaporasi Evaporasi
Ekstrak Ekstrak kasar kasar alir proses ekstraksi anemon laut Gambar 4 Diagram (Sumber: Pramadhany 2006 yang dimodifikasi*)
21
aktivitas antioksidan 3.3.2.2 Uji (Salazar-Aranda et al. 2009)
dengan
metode
DPPH
Ekstrak kasar anemon laut dari hasil ekstraksi tunggal menggunakan pelarut metanol dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi yang berbeda. Ekstrak kasar ukuran tubuh kecil dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 4.000, 2.000, 1.000, 500, 250, 125, 62,5, dan 31,25 ppm. Ekstrak kasar ukuran tubuh besar dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 800, 600. 400, 200 ppm. Perhitungan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 2. Larutan DPPH yang digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol 1 mM. Kemudian sampel dan pembanding dipindahkan ke dalam microplate sebanyak 100 µl menggunakan pipet mikro dan ditambahkan 100 µl DPPH. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan Elisa Reader. Aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut: % inhibisi=
absorbansi blanko-absorbansi sampel x 100% absorbansi blanko
Nilai konsentrasi dan hambatan ekstrak diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linier. Persamaan garis yang diperoleh dalam bentuk y = b(x) + a digunakan untuk mencari nilai IC (inhibitor concentration), dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50 %. 3.3.3 Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi dari anemon laut, menentukan tingkat kesegaran terbaik yang dapat menghasilkan ekstrak dengan sifat antioksidan yang paling tinggi dan mengetahui komponen bioaktif dari ekstrak terbaik dengan uji fitokimia. 3.3.3.1 Analisis proksimat Sampel anemon laut basah dihaluskan kemudian dilakukan pengujian proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan terhadap anemon laut meliputi uji
22
kadar air, uji kadar abu, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet, dan uji kadar protein menggunakan metode kjeldahl. 1) Analisis kadar air (AOAC 2005) Penentuan kadar air didasarkan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama ± 30 menit pada suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-102 oC selama 6 jam dan kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus: % Kadar air = B - C x 100% B–A Keterangan:
A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan anemon laut (gram) C = Berat cawan dengan anemon laut setelah dikeringkan (gram)
2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik (diarangkan) sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) ± 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: % Kadar abu =
Berat abu x 100% Berat sampel
3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Anemon laut seberat 2 gram (W1) diletakkan di atas kapas bebas lemak lalu dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat kosongnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak berupa n-heksana sebanyak 150 ml. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
23
destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik dan direfluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah itu labu dimasukkan ke dalam desikator hingga beratnya konstan lalu ditimbang (W3). Perhitungan kadar lemak pada anemon laut: % Kadar Lemak = W3-W2 W1
x 100%
Keterangan : W1 = Berat sampel anemon laut (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 4) Analisis kadar protein (AOAC 1980) Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran ini dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel anemon laut ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan 7 g K2SO4 kjeltab 0,005 g jenis HgO, 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan selama 10 menit di ruang asam. Sampel didestruksi pada suhu 410 0C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan aquades 50 hingga 70 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : % N=
ml HCl-ml blanko ×N HCl×14,007 mg contoh×faktor koreksi alat*
*) Faktor koreksi alat
= 2,5
×100%
24
% Kadar Protein= % N×faktor konversi* *) Faktor Konversi = 6,25
5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000 (BSN 2000) Abu bekas pengukuran kadar abu total dilarutkan dengan penambahan 25 ml HCl 10%. Larutan tersebut kemudian dipanaskan selama 5 menit dan larutan disaring dengan kertas saring bebas abu. Larutan yang sudah disaring tersebut kemudian dicuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kertas saring lalu dikeringkan dengan oven dan setelah kering kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya. Cawan porselen berisi kertas saring tersebut kemudian dibakar dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600 0C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya. Kadar abu tidak larut asam dengan rumus: Kadar abu tidak larut asam (%) =
Berat abu (g) × 100% Berat sampel awal (g)
3.3.3.2 Uji komponen fitokimia (Harborne 1987) Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar anemon laut masing-masing perlakuan. Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,dan tanin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1987). a) Uji alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2 dengan 0,50 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,50 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,80 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan
25
ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,30 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga. b) Uji steroid/triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau. c) Uji flavonoid Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. d) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3) Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl 3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru. e) Tanin Sejumlah sampel ditambahkan FeCl 3 kemudian campuran dihomogenkan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran. f) Uji Saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. 3.3.3.3 Uji aktivitas antioksidan (Salazar-Aranda et al. 2009)
dengan
metode
DPPH
Uji antioksidan dengan metode DPPH pada penelitian pendahuluan akan menghasilkan satu ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut. Ekstrak terbaik tersebut kemudian dimodifikasi dengan diberi perlakuan pada tingkat
26
kesegaran yang berbeda yaitu kondisi segar dan mati. Ekstrak yang didapat dari tingkat kesegaran yang berbeda tersebut diuji dengan DPPH kembali. Metode pengujian DPPH yang digunakan sama dengan pengujian pada tahap penelitian pendahuluan. Pembanding yang digunakan adalah vitamin C dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 ppm. Ekstrak yang mempunyai sifat antioksidan terbaik selanjutnya digunakan pada uji fitokimia untuk lebih mengetahui komponen bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak tersebut.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Anemon laut merupakan salah satu anggota Kelas Anthozoa yang bentuk tubuhnya bervariasi dengan kombinasi warna yang indah dipandang. Bentuk tubuh anemon seperti bunga sehingga juga disebut mawar laut. Hidupnya soliter dan tidak mempunyai percabangan dan mempunyai tentakel yang berisi udara. Biasanya di sela-sela tentakel ini merupakan tempat yang ideal bagi ikanikan hias (Hadi dan Sumadiyo 1992). Morfologi anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka Anemon laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tentakel berwarna coklat, tentakel berukuran besar dan pendek, bentuk tubuh menyerupai karpet, serta melekat pada substrat perairan. Keping mulut bentuknya datar, melingkar, kadang-kadang mengkerut dan dilengkapi dengan tentakel. Lubang mulut terletak pada daerah yang lunak. Tentakel mengandung nematoksis, jumlahnya barvariasi dan umumnya menutupi oral disk. Jumlah tentakel biasanya merupakan kelipatan dari enam dan tersusun dalam dua deret lingkaran yang paling dalam. Kelipatan yang dimaksud adalah 6 tentakel pertama (paling dalam
28
dan paling tua), 6 bagian tentakel kedua, 12 bagian tentakel ketiga, 24 bagian tentakel keempat dan seterusnya (Collin dan Arnesson 1995). 4.2 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi ektraksi senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut dengan metode DPPH yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama. Hasil ekstraksi anemon laut (Stichodactyla gigantea) dinyatakan dalam persentase rendemen. 4.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif Tahap ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel anemon laut. Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi penghancuran sampel sampai menjadi halus, maserasi dengan pelarut, penyaringan dan evaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2009), metode ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan metode ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah metanol (pelarut polar). Metanol merupakan pelarut alkohol paling sederhana yang dapat membentuk ikatan hidrogen dan dapat bercampur dengan air hingga kelarutan tak terhingga, sehingga metanol sering digunakan sebagai
pelarut
dalam
proses
isolasi
senyawa-senyawa
organik
(Fessenden dan Fessenden 1986). Disamping itu, metanol juga dapat melarutkan alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, glikosida serta beberapa senyawa non polar seperti lilin, minyak dan lemak (Harborne 1987). Kondisi sampel pada saat akan dipreparasi adalah masih hidup, sehingga ekstraksi yang dilakukan adalah terhadap sampel segar. Sampel dihancurkan menggunakan blender hingga menjadi pasta halus. Ukuran partikel yang kecil
29
diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan memecah sel-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan diekstrak dapat cepat keluar dari bahan. Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dengan pelarut dengan perbandingan 1:3 (w/v). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak ekstrak kasar yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian penambahan
pelarut
tidak
akan
menambah
hasil
ekstraksi
(Houghton dan Raman 1998). Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 2 x 24 jam. Waktu maserasi dilakukan lebih lama agar dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak kasar dari anemon laut ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil
ekstrak
kasar
yaitu
lama
waktu
ekstraksi
(Darusman et al. 1995). Proses maserasi dilakukan dengan pengadukan menggunakan orbital shaker. Hal ini bertujuan agar terjadi tumbukan antara partikel yang dapat memperbesar kemungkinan pengikatan dan pemecahan sel sehingga komponen bioaktif dapat keluar dari jaringan dan larut dalam pelarut. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel anemon laut dari pelarut yang telah mengandung bahan aktif, sedangkan evaporasi dilakukan untuk memisahkan pelarut dari senyawa bioaktif yang terikat pada suhu 37 °C. Penggunaan suhu vacum rotary evaporator dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (30-40 °C) bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa bioaktif (Harborne 1987). Proses evaporasi dari filtrat anemon laut dengan ukuran tubuh yang berbeda menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang hampir sama. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta kental dan memiliki bau yang khas. Ekstrak kasar anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil ekstraksi dari ketiga kelompok ukuran tubuh anemon ini menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Perbedaan ukuran tubuh mempengaruhi hasil ekstrak kasar rendemen anemon laut. Nilai rendemen ekstrak ini merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah
30
sampel awal yang diekstrak dan dinyatakan dalam persen. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing ukuran disajikan pada Gambar 6. Data rendemen ekstrak anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 4. 6
5,45
Rendemen (%)
5
4,4
4 3
2,83
2 1 0 Kecil
Sedang
Besar
Gambar 6 Diagram batang rendemen anemon laut Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ekstrak anemon laut adalah ekstrak dengan ukuran tubuh besar, yaitu sebesar 5,45% dan ekstrak terkecil adalah ekstrak dengan ukuran tubuh kecil, yaitu sebesar 2,83%, sedangkan ekstrak dengan ukuran tubuh sedang yang dihasilkan sebesar 4,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam ekstrak adalah anemon laut dengan ukuran tubuh besar. Semakin besar rendemennya dapat diasumsikan banyaknya kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada sampel tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nurhayati et al. (2009) bahwa nilai rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya. Anemon laut dengan ukuran tubuh besar memiliki rendemen yang tinggi dikarenakan adanya hasil metabolit sekunder pada hewan yang telah dewasa (lebih besar) sehingga komponen bioaktif lebih banyak terekstrak pada anemon ukuran besar. Anemon laut menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi
31
organisme. Sementara itu, metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolit primer sudah terpenuhi dan bukanlah senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi (Handojo 2006). Perbedaan rendemen ekstrak kasar yang diperoleh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah pelarut yang digunakan dan jenis pelarut yang digunakan (Salamah et al. 2008). 4.2.2 Aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak anemon laut dengan tingkat ukuran yang berbeda dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH. Prinsip kerja dari metode ini yaitu berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Selain itu radikal bebas DPPH juga stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar yaitu metanol dan etanol (Molyneux 2004). Metode DPPH ini dipilih karena metode ini sederhana, mudah, waktu pengujian singkat dan sampel yang digunakan sedikit serta tidak membutuhkan banyak reagen (Juniarti et al. 2009). Pengujian antioksidan dengan DPPH akan menghasilkan nilai IC 50 (Inhibitor Concentration) yang menyatakan seberapa besar konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas (DPPH) sebanyak 50%. Perhitungan nilai IC50 diperoleh dari penghambatan radikal bebas pada berbagai konsentrasi ekstrak. Larutan ekstrak diencerkan dengan etanol ditambah dengan DPPH. Warna awal larutan DPPH adalah ungu gelap. Penambahan ekstrak yang mempunyai sifat antioksidan akan menghasilkan perubahan warna menjadi kuning cerah. Perubahan warna ekstrak anemon laut setelah penambahan DPPH dapat dilhat pada Lampiran 5.
32
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH, yang
ditandai
dengan
perubahan warna
ungu
menjadi
kuning
pucat
(Molyneux 2004). Larutan tersebut kemudian dilihat intensitas warnanya menggunakan Elisa Reader yang akan menghasilkan nilai absorbansi. Nilai absorbansi tersebut yang digunakan untuk menghasilkan persen penghambatan yang dapat ditampilkan dalam bentuk kurva untuk menghasilkan suatu nilai IC 50. Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil perhitungan uji antioksidan dengan metode DPPH dapat dilihat pada Lampiran 6. 2,500 2,073.13
Rata-rata IC50 (ppm)
2,000 1,505.31
1,500 916.94
1,000 500 0
kecil
sedang
besar
Gambar 7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut menunjukkan bahwa ekstrak metanol pada ukuran kecil dapat menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50% pada konsentrasi 916,94 ppm, ekstrak ukuran sedang pada konsentrasi 1,505,31 ppm, dan ekstrak ukuran besar pada konsentrasi 2,073,13 ppm. Hasil terbaik adalah ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh besar karena menghasilkan
nilai IC50 paling kecil. Hal ini sesuai dengan
Molyneux (2004) yang menyebutkan bahwa sifat antioksidan lebih baik bila nilai IC50 lebih kecil. Hasil ini selanjutnya digunakan pada penelitian utama untuk memperoleh ekstrak yang lebih baik dengan ukuran tubuh yang besar.
33
Hasil dari Gambar 7 memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan semakin besar ukuran tubuh anemon makan semakin kecil nilai IC50. Pertumbuhan anemon ditandai dengan perubahan ukuran tubuh yang semakin besar sehingga ketika anemon telah mencapai ukuran maksimalnya maka pertumbuhan telah berhenti. Di fase stasionernya ini, anemon tidak lagi menghasilkan metabolit primer untuk pertumbuhan melainkan menghasilkan metabolit sekunder sebagai respon terhadap lingkungannya seperti sistem pertahanan diri. Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi atau strategi adaptasi lingkungan (fungsi penting dalam ekologi) (Muniarsih 2005). Metabolit sekunder inilah yang kemudian menghasilkan senyawa bioaktif melalui jalur biosintetiknya dan diantaranya ada yang bersifat sebagai antioksidan. Hasil ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah karena memiliki nilai IC 50 lebih besar dari 200 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan. 4.3 Penelitian Utama Penelitian utama yang dilakukan berupa penentuan kandungan gizi dari anemon laut, penentuan komponen bioaktif dengan uji fitokimia, dan penentuan ekstrak terbaik dari hasil penelitian pendahuluan yang dilanjutkan dengan perlakuan tingkat kesegaran yang berbeda dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH. 4.3.1 Kandungan gizi anemon laut (Stichodactyla gigantea) Kandungan gizi pada anemon laut dapat ditentukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis kimia untuk mengindentifikasi kandungan nutrisi seperti kandungan air, protein, karbohidrat, lemak dan abu pada suatu bahan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai
34
penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya. Analisis proksimat yang dilakukan pada anemon laut meliputi uji kadar air, abu, abu tidak larut asam, protein, lemak sedangkan karbohidrat dihitung dengan by difference. Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan karena habitat anemon laut hidup di perairan yang dangkal dengan substrat pasir, lumpur, atau campuran dari keduanya. Oleh karena itu, adanya dugaan bahwa anemon laut mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam lumpur atau pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Hasil analisis proksimat anemon laut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji proksimat anemon laut Parameter Kadar air Lemak Protein Kadar abu Kadar abu tidak larut asam Karbohidrat
Anemon laut (%) 83,61 0,58 0,4 3,43 0,75 11,23
Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh kepada penampakan, tekstur serta cita rasa. Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam anemon laut. Kadar air berpengaruh terhadap keawetan suatu bahan. Apabila kadar air tinggi maka bahan tersebut akan cepat mengalami penurunan mutu. Hal ini dikarenakan kandungan air mempengaruhi penampakan, karakteristik maupun daya awet suatu bahan yang mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang sehingga mempercepat kebusukan (Winarno 2008). Hasil analisa kadar air pada anemon laut menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung pada anemon laut sebesar 83,61%. Kandungan air yang tinggi tersebut dapat disebabkan karena habitat anemon laut seluruh hidupnya terdapat di perairan. Selain itu, anemon laut merupakan hewan berongga sehingga hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi oleh air. Jika bandingkan dengan kadar air dari ubur-ubur segar sebesar 87,50% (Aji 2011) maka hasil kadar air ini tidak jauh berbeda.
35
Lemak merupakan zat yang penting dan merupakan sumber energi yang lebih efektif bagi tubuh dibandingkan karbohidrat dan protein. Lemak memberi cira rasa dan memperbaiki tekstur pada makanan juga sebagai sumber pelarut bagi vitamin A, D, E dan K. Selain itu, lemak merupakan cadangan makanan dalam tubuh, karena kelebihan karbihidrat diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Winarno 2008). Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Kadar lemak yang diperoleh dari uji proksimat anemon laut adalah sebesar 0,58%. Hasil ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak dari ubur-ubur segar sebesar 2,03% (Aji 2011). Perbedaan kadar lemak ini diduga karena pengaruh beberapa faktor yaitu umur, ukuran, dan habitat. Lemak akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak untuk berkembang biak. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies dan antar individu dalam satu spesies (Suzuki 1981). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Budiyanto 2002). Protein merupakan makromolekul yang dibentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Selain itu, protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang dan ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam yaitu besi dan tembaga (Winarno 2008). Kandungan protein yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar 0,4% sangatlah rendah jika dibandingkan dengan kandungan protein ubur-ubur segar yaitu sebesar 5,31% (Aji 2011). Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Kadar abu yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar
36
3,43%. Kadar abu ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu ubur-ubur segar sebesar 1,76% (Aji 2011). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup didalamnya. Selain itu juga, masing masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbansi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing masing bahan (Susanto 2010). Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Hasil uji kadar abu tidak larut asam pada anemon laut sebesar 0,75%. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses penanganan dan pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003). Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hewan dan manusia. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah terjadinya pemecahan protein yang berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008). Kadar karbohidrat pada anemon laut sebesar 11,23%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat dari ubur-ubur segar sebesar 3,40% (Aji 2011). Karbohidrat yang tinggi dapat disebabkan adanya perbedaan kandungan air yang terdapat pada bahan. Penurunan kadar air yang terdapat pada bahan akan diikuti oleh peningkatan kandungan gizi lainnya secara proporsional. Selain itu, kadar karbohidrat yang tinggi juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan di alam. 4.3.2 Senyawa fitokimia Ekstrak terbaik hasil ekstraksi anemon laut adalah ekstrak dengan ukuran tubuh besar diuji fitokimia untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terdapat dalam tubuhnya. Senyawa bioaktif adalah senyawa aktif yang dihasilkan oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder (Khatab et al. 2008). Anemon laut menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk
37
menghadapi serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi, dan mencegah sengatan sinar ultra violet (Harper et al. 2001). Uji fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologisnya. Alasan dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat pada suatu bahan yang mempunyai efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diiuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, tanin, dan saponin. Pemilihan pelarut perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Ekstraksi dengan pelarut metanol mampu mengekstrak senywa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid dan tanin (Harborne 1987). Metanol merupakan pelarut polar, namun dapat juga mengekstrak senyawasenyawa
yang
bersifat
nonpolar
seperti
lilin
dan
lemak
(Houghton dan Raman 1998). Hasil uji fitokimia dari ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh besar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji fikomia hasil ektrak kasar terbaik anemon laut Standar (warna) Uji Fitokimia Anemon laut besar Alkaloid a. Dragendroff ++ Endapan merah atau jingga b. Meyer + Endapan putih kekuningan c. Wagner ++ Endapan coklat Perubahan dari merah menjadi Steroid ++ biru/hijau Perubahan dari merah menjadi Triterpenoid ++ biru/hijau Lapisan amil alkohol Flavonoid + berwarna merah/kuning/hijau Fenol hidrokuinon ++ Warna hijau atau hijau biru Perubahan warna dari hijau Tanin menjadi biru hingga hitam Saponin ++ Terbentuk busa Keterangan: +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, -tidak terdeteksi
38
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar terbaik anemon laut dengan ukuran tubuh besar mengandung senyawa kimia yang merupakan golongan alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan saponin. Diantara organisme yang hidup di laut bangsa Cnidaria termasuk organisme penghasil komponen bioaktif yang terbesar. Menurut Baker (2001), anemon laut menghasilkan 26 asam amino (peptida dan alkaloid) sebesar 60%, 13 isoprenoid
(terpenoid,
steroid,
karotenoid,
hidrokuinon)
sebesar
30%,
2 acetogenin (asam lemak, polifenol, prostaglandins), dan 2 turunan asam nukleat. Selain anemon laut, salah satu organisme yang termasuk dalam bangsa Cnidaria yang kaya akan senyawa kimia adalah karang lunak (soft coral). Elyakov dan Stonik (2003) melaporkan bahwa karang lunak menghasilkan beberapa dari golongan senyawa hasil metabolit sekunder seperti alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid, fenol, saponin dan peptida. Alkaloid
pada
umumnya
mencakup senyawa
bersifat
basa
yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid banyak yang mempunyai kegiatan fisiologis sehingga secara luas digunakan dalam bidang pengobatan (Harbone 1987). Alkaloid memiliki efek farmakologi sebagai analgesik (pereda nyeri) dan anestesi (pembius) (Hardiningtyas 2009). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar anemon laut ukuran besar mengandung senyawa alkaloid. Hanani et al. (2005) menyatakan bahwa senyawa kimia dalam spons yang mempunyai aktivitas antioksidan secara kualitatif dan lanjutan yaitu alkaloid. Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari golongan fenolat, flavonoid dan alkaloid, yang merupakan senyawa-senyawa polar (Suratmo 2009). Steroid/triterpenoid
pada
ekstrak
anemon
laut
terdekteksi
dengan
terbentuknya warna biru-hijau pada larutan. Triterpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan (Sirait 2007). Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa
39
tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif. Steroid merupakan golongan golongan senyawa triterpenoid. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu, lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harbone 1987). Beberapa steroid, seperti fukosterol, diisolasi dari sumber daya hayati laut bersifat non toksik dan mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong
aktivitas
antidiabetes.
Selain
itu,
sterol
dapat
mengurangi
kecenderungan pembentukan dan penumpukan lemak yang berlebihan dalam hati (Bhakuni dan Rawat 2005). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol yang larut dalam air. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar anemon laut ukuran besar mengandung komponen flavonoid walaupun tergolong lemah, yakni dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol. Flavonoid dapat digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi (Chen dan Blumberg 2007). Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon (Pratt dan Hudson 1990). Flavonoid diketahui sebagai antioksidan yang baik karena mempunyai sedikitnya dua gugus hidroksil pada posisi orto dan para (Winarno1996). Senyawa flavonoid pada umumnya bersifat aromatik, sehingga dapat menyerap spektrum ultraviolet (UV) secara intensif. Gugus fungsi pada senyawa flavonoid dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas hidroksi (OH) sehingga tidak mengoksidasi lemak, protein, dan DNA dalam sel. Kemampuan flavonoid dalam menangkap radikal bebas 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin E (Harborne 1987). Mekanisme antioksidan oleh flavonoid sendiri sebelumnya masih belum terlalu jelas. Namun
40
secara umum, antioksidan mempunyai struktur inti yang sama, yaitu cincin benzen tidak jenuh disertai gugus hidroksil (-OH), asam amino (-NH2), ataupun hidrogen (-H). Gugus-gugus inilah yang bertugas untuk berikatan dengan radikal bebas sehingga menghasilkan komponen yang tidak reaktif lagi (Winarno 1996). Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987). Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon,
naftokuinon,
antrakuinon,
dan
kuinon
isoprenoid
(Suradikusumah 1989). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar mengandung komponen fenol hidrokuinon. Hal ini ditandai dengan adanya warna hijau atau hijau biru pada ekstrak anemon laut. Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga. Selain itu, dengan mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, anti-inflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol (Chen dan Blumberg 2007). Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur (Shut 2002). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar tidak mengandung komponen ini. Ini dapat terlihat dari hasil uji yang menunjukkan hasil yang negatif. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Saponin termasuk golongan triterpenoid yang mempunyai kerangka karbon berdasarkan isoprena. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, dan sering mempunyai titik lebur tinggi (Harborne 1987). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar mengandung komponen saponin. Hal ini ditandai dengan terbentuknya busa pada ekstrak anemon laut. Saponin bersifat toksik terhadap
41
ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007). Selain itu, saponin merupakan golongan senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol (Zoblowics et al. 2002). 4.3.3 Aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran Perlakuan yang dilakukan pada tahap penelitian utama adalah tingkat kesegaran yang berbeda dengan ukuran tubuh anemon yang didasarkan pada hasil penelitian pendahulun. Ukuran terbaik hasil dari penelitian pendahuluan adalah anemon dengan ukuran tubuh besar. Tingkat kesegaran yang digunakan pada tahap ini adalah anemon dalam keadaan segar dan anemon dalam keadaan mati. Anemon dalam keadaan segar dalam penelitian ini adalah anemon dalam keadaan segar atau hidup langsung dihaluskan kemudian diekstrak untuk mendapatkan rendemennya. Anemon dalam keadaan segar memiliki ciri-ciri fisik seperti tidak adanya mucus yang keluar, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi mesenterial filaments yang normal (tidak mengembung pada bagian mulut). Anemon dalam keadaan mati yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon hidup dengan ukuran tubuh besar yang didiamkan tanpa air selama 2-3 hari hingga tubuhnya menunjukkan tanda kematian yakni tidak bergerak dan menunjukkan ciri-ciri fisik seperti cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mengakibatkan kematian. Setelah itu, anemon tersebut dihaluskan kemudian dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak kasarnya. Proses ekstraksi yang digunakan untuk anemon mati sama seperti yang dilakukan pada penelitian pendahuluan yakni ekstraksi tunggal dengan pelarut metanol. Rendemen ekstrak yang diperoleh dari anemon mati sebesar 5,05% dan anemon segar sebesar 5,45%. Ekstrak anemon laut mati kemudian di uji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metode uji DPPH seperti yang dilakukan pada penelitian
pendahuluan. Data yang dihasilkan berupa nilai IC50 yang
menunjukkan reduksi radikal bebas (DPPH) oleh ekstrak sebesar 50%. Hasil
42
antioksidan anemon segar dan mati dibandingkan dengan permbanding dari antioksidan alami lainnya yaitu vitamin C. Vitamin C dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Vitamin C merupakan vitamin yang penting dalam diet manusia. Vitamin ini banyak ditemukan pada jaringan tanaman. Vitamin C berbentuk kristal putih, merupakan suatu asam organik dan terasa asam, tetapi tidak berbau. Vitamin C (asam askorbat) merupakan salah satu antioksidan yang larut dalam air. Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Antioksidan vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan segera berubah menjadi askorbat dan dehidroaskorbat (Lesser 2006). Kebutuhan vitamin C yang dianjurkan adalah sebesar 30-60 mg per hari. Pengujian aktvitas antioksidan terhadap vitamin C yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) memiliki nilai IC50 sebesar 3,81 ppm, sedangkan pada penelitian ini dihasilkan nilai IC50 sebesar 1,95 ppm. Hasil ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh vitamin C sangat tinggi. Pengujian antioksidan vitamin C menghasilkan hubungan antara konsentrasi vitamin C dan
% Inhibisi
persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 8. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 7.209x + 36.04 R² = 0.800
0
2
4
6
8
10
Konsentrasi (ppm) Gambar 8 Grafik hubungan konsentrasi vitamin C dengan persen inhibisinya; n=2 Aktivitas antioksidan ekstrak anemon laut dinyatakan dengan presentase penghambatan (% inhibisi) dan nilai IC50. Sampel ekstrak anemon besar segar dan mati dibuat menjadi 4 konsentrasi yaitu 200, 400, 600 dan 800 ppm diiukur nilai
43
absorbansinya menggunakan Elisa Reader. Presentase penghambatan adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan
dengan
konsentrasi
suatu
bahan.
Hubungan
persentase
penghambatan dengan konsentrasi ekstrak kasar anemon laut disajikan pada
% Inhibisi
Gambar 9. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 0.048x + 5.987 R² = 0.958
y = 0.023x - 3.289 R² = 0.961
0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi (ppm) Gambar 9 Grafik hubungan antara ekstrak anemon laut dengan rata-rata persen inhibisnya ( ) anemon segar, ( ) anemon mati; n=2 Gambar 9 menunjukkan hubungan antara ekstrak daging dan jeroan anemon laut dengan persen inhibisinya. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas terendah terdapat pada konsentrasi 200 ppm, yaitu 17,41% untuk ekstrak anemon besar segar dan 2,41% untuk ekstrak anemon besar mati. Ratarata kemampuan menghambat radikal bebas tertinggi terdapat pada konsentrasi 800 ppm, yaitu 46,79% untuk ekstrak anemon besar segar dan 15,79% untuk ekstrak anemon besar mati. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasinya maka semakin tinggi pula tingkat penghambatan suatu bahan terhadap aktivitas radikal bebas. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) yang menyatakan bahwa penghambatan ekstrak terhadap aktivitas radikal bebas meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Nilai IC50 merupakan parameter konsentrasi dari senyawa antioksidan yang dapat menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Secara spesifik suatu
44
senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC 50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar anemon laut dari tingkat kesegaran yang berbeda, dapat dilihat pada Gambar 10.
Rata-rata IC50 (ppm)
2,500
2,316.91
2,000 1,500 1,000
916,94
500 0 Segar
Mati
Gambar 10 Nilai rata-rata IC50 anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi pada anemon laut terdapat pada ekstrak kasar anemon segar dengan nilai IC50 sebesar 916,94% yang menunjukkan 50% radikal bebas DPPH dapat dihambat aktivitasnya pada konsentrasi 916,94 ppm. Aktivitas antioksidan terendah anemon laut terdapat pada ekstrak anemon mati dengan nilai IC50 sebesar 2.316,91% yang menunjukkan 50% radikal bebas DPPH dapat dihambat aktivitasnya pada konsentrasi 2.316,91 ppm. Aktivitas antioksidan menunjukkan hasil yang berbeda antara anemon segar dengan anemon mati. Adanya dugaan senyawa bioaktif yang terdapat anemon mati hilang atau berkurang seiiring dengan adanya proses penguraian atau pembusukan dari anemon laut. Hal ini dapat dikarenakan ketika anemon laut memasuki fase kematian maka fungsi dari bagian tubuh anemon tidak lagi melakukan proses metabolisme baik metabolisme primer maupun sekunder. Dari data yang dihasilkan dapat dilihat bahwa semakin segar kondisi anemon laut maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi.
45
Aktivitas antioksidan kedua ekstrak kasar anemon laut dapat digolongkan lemah, karena nilai IC50 lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Aktivitas antioksidan ini jauh berbeda dengan antioksidan alami viamin C karena ekstrak anemon laut yang digunakan pada pengujian masih berupa ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi karena memiliki komponen bioaktif yang merupakan senyawa yang mengandung aktivitas antioksidan, yaitu alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan fenol hidrokuinon. Perbedaan kondisi lingkungan seperti tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, dapat juga memungkinkan anemon laut menghasilkan metabolit yang mempunyai sruktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktifitasnya (Muniarsih 2005). Senyawa bioaktif anemon laut berbeda baik intra spesies maupun inter spesiesnya. Faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa biokatif sehingga dapat dikatakan bahwa anemon laut yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin atau hasil metabolit sekunder yang lebih tinggi daripada anemon laut yang ditumbuhkan pada lingkungan buatan contoh di dalam akuarium (Dykens et al. 1992) . Kelemahan dari antioksidan diantaranya adalah sifatnya yang mudah rusak bila terpapar oksigen, cahaya, suhu tinggi dan pengeringan. Penggunaan bahan pelarut yang tidak tepat dapat merusak aktivitas antioksidan yang ada. Jan et al. (2001) diacu dalam Suryaningrum et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan pelarut yang sama dapat memberikan hasil yang sangat berbeda walaupun partikel dan stabilitas substrat yang diekstraksi hampir sama.
46
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil ekstraksi tunggal anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang berasal dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dengan ukuran tubuh yang berbeda menggunakan pelarut polar (metanol) menghasilkan rendemen ekstrak ukuran tubuh kecil sebesar 2,83%, ukuran tubuh sedang sebesar 4,40%, dan ukuran tubuh besar sebesar 5,45%. Hasil pengujian dengan metode DPPH menunjukkan bahwa ukuran tubuh anemon laut besar merupakan ekstrak terbaik yang menghasilkan nilai IC50 sebesar 916,94 ppm. Anemon laut dalam bentuk segar mengandung air yang tinggi (83,61%), lemak (0,58%), protein (0,4%), karbohidrat (11,23%), abu (3,43%) dan abu tidak larut asam (0,75%). Ekstrak kasar anemon laut terdekteksi mengandung beberapa komponen bioaktif yaitu alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan saponin. Penentuan tingkat kesegaran terbaik dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH menunjukkan bahwa anemon laut dengan tingkat kesegaran paling segar memberikan efek antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 916,94 ppm. Ekstrak kasar anemon laut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan vitamin C. 5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak kasar, pengujian aktivitas antioksidan ekstrak murni, dan penentuan komponen bioaktif pada ekstrak murni. Selain itu perlu adanya analisis lanjutan mengenai toksin yang terdapat pada anemon laut dan ekstraksi komponen bioaktif menggunakan ekstraksi bertingkat.
DAFTAR PUSTAKA
Aji DU. 2011. Profil asam lemak ubur-ubur (Aurelia aurita) sebagai sumber bahan baku hasil perairan kaya manfaat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia. Andayani. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum Lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi.13(1). [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. ___________________________________________. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Atmadja WS. 1982. Inventarisasi Sumber Daya Hayati Laut. Jurnal Oseana.7: 1621. Baker BJ. 2001. Marine Chemical Ecology. America: CRC Press. Basmal J, Syarifuddin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap mutu kappa-karagenan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(5): 95-103. Bayazit V. 2009. Cytotoxic Evaluation of Some Marine Chemicals. Journal of Fisheries and Hydrobiology. 4(1) :1-16. Bhakuni DS dan Rawat DS. 2005. Bioactive Marine Natural Products. India: Anamaya Publishers. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. SNI-01-3836-2000. Teh Kering dalam Kemasan. Jakarta : Dewan Standardisasi Nasional. Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar Muhammadiyah Malang.
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Chen CYO, Blumberg JB. 2007. Phytochemical composition of nuts. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 17(S1): 329-332 Collin PL, Arnesson. 1995. Tropical Pacific Invertebrate. California: Coral Reef Press.
48
Dahuri R. 2004. Industri Bioteknologi Perairan dan Kemakmuran Bangsa. Kompas. Gedia Press : Jakarta. Darmawan F. 2009. Jahe Sebagai Antioksidan. http://www.scribd.com/doc/ 42639438/makalah-kimia-FIRMAN. [30 Januari 2011] Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga karang, dan ganggang di perairan P. Pari Kepulauan Seribu [laporan penelitian]. Dunn DF. 1981. The Clownfish Sea Anemon : Stichodactylidae (Coelenterata : Actiniaria) and Orther Sea Anemon Symbiotic with Pomacentrid Fishes. The American Philosophical Society. Vol 71 (1). Dykens JA, Shick M, Benoit C. 1992. Oxygen radical production in the sea anemone Anthopleura elegantissima and its endosymbiotic algae. J. Exp. Biol. 168:219-241. Elyakov GB, Stonik VA. 2003. Marine bioorganic chemistry as the base of marine biotechnology. Chem Bull .52(1):1-19. Fang Y, Yang S, WU G . 2002. Free Radicals, Antioxidant, and Nutrion. J Nutrition. 18: 872-879 Fautin DG, Mariscal RN. 1991. Cnidaria : Anthozoa in F. W. Harrison dan J. A. Westfall ( Editor ), Microscopic Anatomy of Invertebrates, Volume 2 : Placozoa, Porifera, Cnidaria and Ctenopora. Wiley-Liss, Inc. xiii+436. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Cetakan ketiga. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Organic chemistry, third edition. Gordon MH. 1990. The mechanism of anioxidant activity in vitro. di dalam :BJF Hudson (ed). Food antioxidants. London: Elsevier App; Sci. Hadi N, Sumadiyo. 1992. Anemon Laut ( Coelenterata, Actiniaria ) Manfaat dan Bahayanya. Jurnal Oseana. 18: 168-175. Haefelfinger HR, Thenius E. 1974. The Coelenterates in Grzimek B. ( editor ), Animal Life Encyclopedia. New York : Von Nostrand Reinhold Company. p:176-230. Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3): 127-133.
49
Handojo KK. 2006. Distribusi dan preferensi habitat spons kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Harborne JB. 1987. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and Hall. Hardiningtyas SD. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak Sarcophyton sp. yang difragmentasi tidak difragmentasi di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Harper MK, Bugni TS, Copp BR, James JD, Lindsay BS, Richardson AD, Schnabel PC, Tasdemir D, Van Wagoner FM, Verbitski SM, Ireland CM. 2001. Introduction to the chemical ecology of marine natural products. Di dalam : McClintock JB, Baker BJ, editor. Marine Chemical Ecology. USA: CRC Press. Herbert RB. 1995. The Biosynthesis of Secondary Metabolites. Ed ke-2. New York: Chapman and Hall. Hidajat B. 2005.Penggunaan antioksidan pada anak. http://antioxidantcentre.co,id [30 Januari 2011]. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractination of Natural Extract: Methods of Extraction and Sample Clean-up. London: Chapman and Hall Ltd. Jin Heo S, Heui Cha S, Wan Lee K, Somi K. 2005. Antioxidant activities Chlorophyta and Phaeophyta from Jeju Island. Journal of Biotechnology. 20(3): 251-260. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1 diphenyl-2pycrylhidrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Jurnal Sains 13(1): 50-54. Kaestner A. 1967. Invertebrate Zoologi, vol.1. New York: Interscience Publishers. p : 45-106. Kannan A, Hettiarachchy N, Arayan S. 2009. Colon and breas anti-cancer effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The open Bioactive Coumpounds Journal. 2: 17-20 Ketaren S. 1986. Pengnatar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia. UI Press.
50
Khatab RMA, Ali AE, El-Nomary B, Temraz TA. 2008. Screening for antibacterial and antifungal activities some selected marine organisms of the Suez Canal and Red Sea. Egypt J Exp Biol (Zool) 4(8): 223-228. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press. Lesser MP. 2006. Oxidative stress in marine environments: biochemistry and physiological ecology. Physiol. 68:253-78. Messerli SM, Greenberg RM. 2006. Cnidarian Toxins Acting on Voltage-Gated Ion Channels. Marine Drugs. 4: 70-81 Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioksidan activity. Songklanakarin J Sci Technol. 26(2):211-219. Muniarsih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri hewan laut tak bertulang belakang. Oseana. 30(2): 19-27. Niwa Y. 1997. Radikal bebas Mengundang Maut. Tokyo: Personal Care Co. Ltd Nur MA, Adijuwana HA. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Nurhayati T, Aryanti D, Nurjanah. 2009. Kajian awal potensi ekstrak spons sebagai antioksidan. Jurnal Kelautan Nasional. 2:43-51. Nyibakken JW. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pine SH, Hendrickson JB, Cram DJ, Hammond GS. 1998. Kimia Organik 2. Joedodibroto R, Pubo SW, Hadiwidjojo, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Organic Chemistry 2. Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea obtusa) [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pramadhany WW. 2006. Penapisan komponen antioksidan dari spons asal Pulau Bonerte, Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidant not exploited comercially. BJF Hudson, editor. Food Antioxidant. London: Elvisier Applied Science. Pratt DE. 1992. Natural Antioxidant From Plant Material. Di dalam : Huang MT, Ho CT, Lee CY (ads). Phenolic compounds in food and their effect on health II. Washington DC: American Chemical Society.
51
Salazar-Alanda R, Perez-Lopes L , Joel L, Noemi W. 2009. Antimicrobial and antioxidant activities of plants from Northeast of Mexico. Sucursal Tecnol´ogico. 1: 1-6. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132. Santoso J, Rany M, Sugeng HS. 2010. Aktivitas antioksidan ekstrak metanol, etil asetat dan heksana rumput laut hijau (Caulerpa lentillifera). Ilmu Kelautan.1:1-10. Sirait. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB. Shut IR. 2002. Tanin. http://www.usu.ac.id [17 Mei 2011] Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Surai PF. 2002. Natural Antioxidants in Avian Nutrition and Reproduction. Nothingham : University Press. Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai antioksidan. http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_205 _1.pdf. [17 Oktober 2011]. Susanto IS. 2010. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif pada keong mas (Pomacea cancliculata Lamarck) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum Th D, Wikanta T, Kristiana H. 2006. Uji aktivitas senyawa antioksidan dari rumput laut Halymenia harveyana dan Eucheuma cottonii. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 1:1. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. London: Applied Science Publisher LTD. Tamat RS, Wikanta T, Maulina LS. 2007. Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Senyawa Bioaktif dari Ekstrak Rumput Laut Hijau (Ulva reticula Forsskal). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 5(1): 31-36. Trilaksani W. 2003. Antioksidan: jenis, sumber, mekanisme kerja dan peran terhadap kesehatan [makalah]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
52
Vattem DA, Shetty K, 2006. Biochemical Markers for Antioxidant Functionality. Di dalam : Shetty K, Paliyath G, Pometo AL, Levin RE, editor. Functional Foods and biotechnology. Boca Raton: CRC Press. Hlm 229-251. Wikanta T, Januar HI, Nursid M. 2005. Uji aktivitas antioksidan, toksisitas dan sitotoksisitas ekstrak alga merah Rhodymenia palmata. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(4):41-49. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1973. Ekstraksi, dan Kromatografi, Elektrophoresis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian Winarno FG.1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
_________. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. Zoblowics RM, Hoogland RE, Wagner SC. 2002. Effect of saponin on the growth and activity of Rhizophere bacteria. Di dalam: Naidu AS, editor. Natural Food Antimicrobial Systems. USA: CRC Press.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel anemon air
P. Pramuka
55
Lampiran 2 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya a. DPPH 0,00013 M sebanyak 25 ml (Mr = 394 g/mol) m 1.000 × Mr V m 1.000 0,00013 M = × 394 g/mol 250 ml
Konsentrasi =
= 1,3 gram DPPH sebanyak 1, 3 gram ditambahkan etanol sampai 25 ml b. Standar Vitamin C 80 ppm sebanyak 40 mg Stok Vitamin C 80 ppm = 0,5 mg x
1L 40 mg
x
1.000 ml 1L
= 12,5 ml Vitamin C 80 ppm sebanyak 40 mg ditambahkan etanol hingga 12,5 ml c. Larutan ekstrak anemon kecil 10 mg 1 ml
x
1000 ml 1L
= 10.000 ppm
Ekstrak 10.000 ppm sebanyak 10 mg ditambahkan etanol sampai 1 ml
Ekstrak 4.000 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 4000 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 4.000 ppm 10.000 ppm
= 80 µl
80 µl ekstrak 4.000 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 2000 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 2.000 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 2.000 ppm 10.000 ppm
= 40 µl
40 µl ekstrak 2000 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 1.000 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 1000 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 1.000 ppm 10.000 ppm
= 20 µl
20 µl ekstrak 1000 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 500 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 500 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 500ppm 10.000 ppm
= 10 µl
56
10 µl ekstrak 500 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 250 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 250 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 250 ppm
= 5 µl
10.000 ppm
5 µl ekstrak 250 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 125 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 125 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 125 ppm
= 2,5 µl
10.000 ppm
2,5 µl ekstrak 125 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 62,5 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 62,5 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 62,5 ppm
= 1,25 µl
10.000 ppm
1,25 µl ekstrak 62,5 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
Ekstrak 31,25 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 200 µl x 31,25 ppm = V2 x 10.000 ppm =
200 µl x 31,25 ppm 10.000 ppm
= 0,625 µl
0,625 µl ekstrak 31,25 ppm ditambah etanol hingga 200 µl
d. Larutan ekstrak anemon sedang dan besar 0,0017 g 1,7 ml
x
100 ml 1L
x
1000 mg 1g
= 1000 ppm
Ekstrak 1000 ppm sebanyak 1,7 mg ditambahkan etanol sampai 1 ml
Ekstrak 800 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 100 µl x 800 ppm = V2 x 1000 ppm =
100 µl x 800 ppm 1000 ppm
= 80 µl
80 µl ekstrak 800 ppm ditambah etanol hingga 100 µl
Ekstrak 600 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 100 µl x 600 ppm = V2 x 1.000 ppm =
100 µl x600ppm 1.000 ppm
= 60 µl
60 µl ekstrak 600 ppm ditambah etanol hingga 100 µl
57
Ekstrak 400 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 100 µl x 400 ppm = V2 x 1.000 ppm =
100 µl x 400 ppm 1.000 ppm
= 40 µl
40 µl ekstrak 400 ppm ditambah etanol hingga 100 µl
Ekstrak 200 ppm = V1 x M1 = V2 X M2 = 100 µl x 200 ppm = V2 x 1.000 ppm =
100 µl x 200 ppm 1.000 ppm
= 20 µl
20 µl ekstrak 200 ppm ditambah etanol hingga 100 µl
58
Lampiran 3 Foto ekstrak kasar anemon laut
59
Lampiran 4 Data rendemen ekstrak kasar anemon laut Jenis Pelarut Kecil Segar Sedang Segar Besar Segar
Besar Mati
Ulangan 1
Berat Sampel Kering (g) 50
Berat Ekstrak (g)
Rendemen(%)
1,37
2,75
2
50
1,46
2,92
1
50
2,17
4,34
2
50
2,33
4,47
1
50
3,03
6,06
2
50
2,42
4,84
1
50
2,47
4,94
2
50
2,58
5,15
a. Ekstrak kecil segar % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
% Rendemen rata-rata
=
1,37 gram 50 gram 1,46 gram 50 gram
× 100% = 2,75% × 100% = 2,92%
2,75 %+ 2,92 4 % 2
= 2,83%
b. Ekstrak sedang segar % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
% Rendemen rata-rata
=
2,17 gram 50 gram 2,33 gram 50 gram
× 100% = 4,34% × 100% = 4,47%
4,34 %+4,47 % 2
= 4,40%
c. Ekstrak besar segar % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
% Rendemen rata-rata
=
3,03 gram 50 gram 2,42 gram 50 gram
× 100% = 6,06% × 100% = 4,84%
6,06 %+4,84 % 2
= 5,45%
d. Ekstrak besar mati % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
% Rendemen rata-rata
=
2,47 gram 50 gram 2,58 gram 50 gram
× 100% = 4,94% × 100% = 5,15%
4,9408%+5,1558% 2
= 5,05%
Rata-rata (%) 2,83 4,40 5,45 5,05
60
Lampiran 5 Perubahan warna ekstrak setelah penambahan DPPH dalam microplate
(sebelum)
(sesudah)
61
Lampiran 6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50 a) Persen inhibisi dan IC50 pada vitamin C Sampel Blanko
Vitamin C
Konsentrasi A (ppm) 0 0,405 2 0,234
% inhibisi
Persamaan regresi linier
IC50 (ppm)
y= 7,209(x) + 36,04
1,94
42,222
4
0,107
73,580
6
0,054
86,667
8
0,057
85,926
1) Persen inhibisi
Vitamin C 2 ppm =
Vitamin C 4 ppm =
Vitamin C 6 ppm =
Vitamin C 8 ppm =
0,405−0,234 0,405 0,405−0,107 0,405 0,405−0,054 0,405 0,405−0,057 0,405
𝑥 100% = 42,222% 𝑥 100% = 73,580% 𝑥 100% = 86,667% 𝑥 100% = 85,926%
2) IC50 y = 7,209(x) + 36,04 50 = 7,209(x) + 36,04 13,96 = 7,209(x) x = 1,94 IC50 untuk vitamin C adalah 1,94ppm b) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon kecil segar Ekstrak Anemon Kecil Segar Konsentrasi (ppm)
Ulangan 1 A
Blanko (A) 4.000 2.000 1.000 500 250 125 62,5 31,25
Ulangan 2 % inh
A
% inh
0,024 0,259 0,288 0,298 0,325 0,341 0,368 0,375
94,074 36,049 28,889 26,419 19,753 15,802 9,136 7,407
0,405 0,099 0,187 0,236 0,302 0,309 0,333 0,341 0,238
75,555 53,827 41,728 25,432 23,704 17,778 15,802 41,235
62
Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon kecil segar Konsentrasi (ppm) 4.000 2.000 1.000 500 250 125 62,5 31,25
Sampel
Kecil segar
% inhibisi 84,815 44,938 35,309 25,926 21,728 16,790 12,469 24,321
Persamaan regresi linier
IC50 (ppm)
y = 0,016(x) + 16,83
2.073,13
IC50 ekstrak anemon kecil segar y = 0,016(x) + 16,83 50 = 0,016(x) + 16,83 33,17 = 0,016(x) x = 2.073,13 IC50 untuk ekstrak anemon kecil segar adalah 2.073,13 ppm c) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon sedang segar Ekstrak Anemon Sedang Segar Konsentrasi (ppm) Blanko (A) 800 600 400 200
Ulangan 1 A
% inh
0,348 0,37 0,405 0,428
23,684 18,859 11,184 6,140
A
Ulangan 2 % inh
0,456 0,321 0,377 0,407 0,437
29,605 17,325 10,746 4,167
Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon Sedang segar Sampel Sedang segar
Konsentrasi (ppm) 800
% inhibisi
Persamaan regresi linier
IC50 (ppm)
46,790
600
31,728
400 200
23,951 17,407
y = 0,035(x) – 2,686
IC50 ekstrak anemon sedang segar y = 0,035(x) – 2,686 50 = 0,035(x) – 2,686 52,686 = 0,035(x) x = 1.505,31 IC50 untuk ekstrak anemon sedang segar adalah 1.505,31 ppm
1.505,31
63
d) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon besar segar Ekstrak Anemon Besar Segar Konsentrasi (ppm) Blanko (A) 800 600 400 200
Ulangan 1 A
% inh
0,196 0,284 0,309 0,333
51,605 29,876 23,704 17,778
Ulangan 2 % inh
A 0,405 0,235 0,269 0,307 0,336
41,975 33,580 24,198 17,037
Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon besar segar Sampel Besar segar
Konsentrasi (ppm) 800 600 400 200
% inhibisi
Persamaan regresi linier
46,790 31,728 23,951 17,407
y = 0,048(x) + 5,987
IC50 (ppm)
916,94
IC50 ekstrak anemon besar segar y = 0,048 (x) + 5,987 50 = 0,048 (x) + 5,987 44,013 = 0,048 (x) = 916,94 x IC50 untuk ekstrak anemon sedang segar adalah 916,94 ppm e) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon besar mati Ekstrak Anemon Besar Mati Konsentrasi (ppm) A Blanko (A) 800 600 400 200
Ulangan 1 % inh
A
Ulangan 2 % inh
0,456 0,382 0,4 0,439 0,448
16,228 12,280 3,728 1,754
0,386 0,408 0,433 0,442
15,351 10,526 5,044 3,070
Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon besar mati Sampel Besar mati
Konsentrasi (ppm) 800 600 400 200
% inhibisi 15,789 11,404 4,385 2,412
Persamaan regresi linier
IC50 (ppm)
y= 0,023(x) – 3,289
2.316,91
64
IC50 ekstrak anemon besar mati y = 0,023(x) – 3,289 50 = 0,023(x) – 3,289 53,289 = 0,023(x) x = 2.316,91 IC50 untuk ekstrak anemon besar mati adalah 2.316,91 ppm
65
Lampiran 7 Perhitungan analisis proksimat anemon laut a. Kadar air 29,48−25,23 gram
% Kadar air U1
= (29,48−24,42) gram × 100% = 83,99%
% Kadar air U2
= (32,28−27,21) gram × 100% = 83,23%
32,28−28,06 gram
% Kadar air rata-rata
=
83,99% + 83,23% 2
= 83,61%
b. Kadar abu 0,18 gram
% Kadar abu U1
= 5,24 gram × 100% = 3,44%
% Kadar abu U2
=
0,18 gram 5,29 gram
% Kadar abu rata-rata =
× 100% = 3,42%
3,44 % + 3,42 % 2
= 3,43%
c. Kadar protein % Kadar protein
1,40−0 ml x 0,1022 N x 14,007x 6,25
=
1,25 g x 1000 x 2,5
× 100% = 0,4%
d. Kadar lemak % Kadar lemak
0,03 gram
= 5,15 gram × 100% = 0,58%
e. Kadar abu tidak larut asam =
0,04 gram 5,29 gram
× 100% = 0,75%
f. Kadar karbohidrat (by difference) % Kadar karbohidrat
= 100% - (83,61+3,43+0,4+0,58+0,75)% = 11,23%