Komitmen Hidup Positif dan Resistensi Multilevel dalam Subkultur Straight Edge (Studi Kasus Straight Edge Jakarta)
Chandraditya Kusuma, Indera R.I Pattinasarany
Program Sarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini mendiskusikan tentang subkultur straight edge, terutama budaya, serta resistensi yang dimilikinya. Straight edge merupakan subkultur dengan warna gaya hidup positif yang berkembang di skena punk dan anak muda yang hedonis di Amerika Serikat era 80-an. Sepanjang sejarah straight edge telah berubah dari lagu hardcore punk berdurasi 49 detik, menjadi sebuah subkultur yang muncul di berbagai komunitas underground di seluruh dunia. Mengambil studi kasus straight edge Jakarta dan menggunakan metode kualitatif, skripsi ini berusaha untuk melihat bagaimana subkultur straight edge dimaknai oleh individu dan kelompoknya, serta bagaimana secara kolektif straight edge meresistensi budaya hedonis dari punk dan anak muda secara umum. Tulisan ini memaparkan bagaimana straight edge sebagai subkultur menampilkan komitmen hidup positif dalam gaya hidupnya serta resistensi dalam berbagai level yang berbeda-beda. Positive Life Commitment and Multilevel Resistance in Straight Edge Subculture (A Case Study of Jakarta’s Straight Edge) ABSTRACT This writing discusses about the straight edge subculture, mainly focused on its culture and the resistance that it expressed. Straight edge is a subculture with a thick shade of positive lifestyle that emerge inside the American punk and youth hedonic culture of the 80’s. Throughout its history, straight edge has shifted from a 49 seconds hardcore punk song to a subculture that emerge inside underground communities around the world. The obviously seen cultural difference between straight edge and its parent culture makes the case very attractive. With taking Jakarta’s own straight edge scene as the case study and using qualitative method, the research figures what is the culture of the straight edge and how the devotee give a resistance to the hedonic youth and punk culture. This writings describe how straight edge as a subculture express a positive lifestyle commitment and its resistance to the hedonic culture on multiple level. Keyword:
culture, cultural resistance, subculture, symbol, punk, underground, jakarta, music
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Pendahuluan Punk merupakan konsep yang kompleks, dan sehari-hari digunakan dalam berbagai cara. Mendeskripsikan kelompok orang, genre musik, gaya berpakaian, perilaku, dan lain sebagainya. Bahkan Fransiska Titiwening (2001) menjelaskan dalam studinya tentang identitas punk akan banyaknya klaim dari punker sendiri mengenai identitas mereka. Sebelum tumbuh dan berkembangnya era punk rock yang ditandai dengan munculnya band-band seperti Ramones di New York, Amerika Serikat; Sex Pistols dan The Clash di London, Inggris; atau The Saints di Brisbane, Australia, kata ‘punk’ telah digunakan sebelumnya. Melalui drama The Merry Wives of Windsor (1602) dan Measure for Measure (1623), William Shakespeare pernah menggunakannya untuk menggambarkan seorang prostitusi, pelacur, atau wanita murahan. Dalam konteks musik, Dave Marsh, seorang kritikus musik rock pertama kali menggunakan terminologi punk (dalam gabungan kata: punk-rock) dalam Creem sebuah majalah musik pada tahun 1971. Awalnya punk hadir sebagai media untuk menyatakan sesuatu yang ada di pikiran, seperti yang dituliskan oleh Ian Youngs di edisi online BBC News, “... punk was less a musical genre than a state of mind”1. Dalam perkembangannya punk berkembang dan berfusi menjadi berbagai bentuk. Bagi penggiatnya, punk dan hardcore bukanlah sekedar musik yang mereka dengarkan dan mainkan. Gaya hidup lain seperti skateboard, konsumsi tembakau, alkohol, drugs, dan seks bebas menjadi identik bagi mereka yang dekat dengan musik punk dan hardcore. Pada tahun 1980, Minor Threat menulis lagu berjudul “Straight edge”, sebuah judul yang kelak menjadi nama dari sebuah subkultur yang bernama sama. Filosofi dasar dari subkultur ini adalah obat-obatan dan alkohol merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan dan harus ditolak. Pada perkembangannya seorang straight edge menolak untuk mengkonsumsi alkohol, narkoba, rokok, dan seks yang tidak bertanggung jawab. Hadirnya subkultur straight edge dan filosofinya sebenarnya memberikan sisi kontras dari tanggapan masyarakat tentang mereka yang ada di komunitas underground selama ini. Straight edge yang berkembang dari ‘sekedar’ personal beliefs menjadi sebuah gerakan menyebabkan tumbuhnya gerakan-gerakan ini di luar Amerika (Haenfler 2006). Persebaran ini akhirnya tiba dan berkembang di Indonesia. Hal ini dapat diidentifikasi dengan adanya gig-gig (acara musik) hardcore yang menampilkan band-band yang merupakan band 1
Ian Youngs merupakan seorang penulis musik yang berbasis di Inggris. Dalam tulisannya ia membahas sejarah singkat dari punk http://news.bbc.co.uk/2/hi/entertainment/2601493.stm
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
band straight edge atau memiliki personil straight edge. Diantaranya yang sudah terkenal adalah Straight Answer, Brave Heart, Final Attack dan Thinking Straight. Dari beberapa band yang disebutkan diatas, ada yang telah eksis dari sekitar pertengahan tahun 90-an, hal ini menandakan bahwa straight edge telah hadir di Indonesia disekitar masa itu. Walaupun punk dan underground2 kini semakin membesar secara volume, pada umumnya citra mereka di mata media massa, pemerintah, dan dalam tanggapan masyarakat umum di Indonesia hampir selalu berkonotasi negatif. Rusuh, perusak, hingga berandalan adalah kata-kata yang dalam konsepsi masyarakat Indonesia cenderung sinonim dengan punk. Kesan-kesan ini semua juga hadir tanpa dasar yang jelas. Pada konser Metallica tahun 1993, polisi menginvasi venue dan memukul keluar penonton-penonton yang mereka cap sebagai ‘antek-antek PKI’ (MacFayden dan Dunn, 2008). 18 tahun setelahnya, Punk di Aceh ditangkap, digunduli, dan dipaksa “membersihkan diri” atas nama agama3. Kejadian tahun 2011 ini sekali lagi membuktikan bagaimana posisi underground dan punk di masyarakat Indonesia yang termarjinal secara budaya. Studi mengenai straight edge ini peneliti lihat sebagai sebuah alternatif jalan bagi masyarakat Indonesia untuk mencoba membangun kembali persepsi mereka terhadap punk, komunitas underground, dan mereka yang berbeda pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa straight edge walaupun memiliki warna musik yang sama dengan punk, memiliki orientasi yang berbeda dalam menjalani dan memahami gaya hidup mereka. Hal ini merupakan sesuatu yang bisa disebut baru dan mencerahkan dalam pandangan umum mengenai punk. Dengan melihat praktik dan teks yang signifikan, penelitian ini mencoba untuk menjawab bagaimana subkultur straight edge dimaknai di Jakarta oleh kelompoknya sendiri. Penelitian ini juga mencoba untuk melihat apakah straight edge menunjukkan resistensi terhadap gaya hidup bebas sebagai budaya dominan punk dan anak muda perkotaan.
2
“The underground is essentially a practice, a cultural philosophy of music that exists outside of the mainstream” (Graham: 2010) – secara umum underground bisa merujuk ke psychedelic di 60-‐an, punk-‐rock 70-‐ an, grunge 90-‐an, atau hip-‐hop di awal 2000. Akan tetapi dalam konteks ini peneliti merefer pada musik-‐musik keras kontemporer seperti punk, metal dan derivasinya. 3 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/272844-‐kisah-‐anak-‐punk-‐aceh-‐dibina-‐polisi
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Tinjauan Teoritis Tinjauan teoritis ini terdiri dari dua bagian tertentu, yang pertama adalah review dari literatur-literatur sebelumnya yang terkait. Serta yang kedua adalah pemaparan kerangka konseptual yang akan digunakan dalam penelitian ini. Bagi peneliti, tiap-tiap studi memiliki manfaat-manfaat tertentu bagi penelitian ini. Penelitian Haenfler (2006) dan Wilis (1993), memiliki manfaat tersendiri mengenai gambaran Straight edge di negeri kelahirannya, serta bagaimana seorang peneliti melihat fenomena ini secara sosiologis. Penelitian Thompson (2004) memberikan gambaran mengenai budaya skena-skena besar punk di Amerika Serikat serta munculnya hedonism dalam kelompok punk. Sedangkan, penelitian Karib (2007) memberikan gambaran akan lingkup penelitian yang akan diambil peneliti secara umum, yaitu komunitas underground di Indonesia. Penelitian Karib, walaupun tidak terfokus pada komunitas straight edge dan hardcore di Jakarta, tetap memberikan sedikit gambaran bagaimana komunitas hardcore di Indonesia yang mulai tumbuh dan berkembang di awal dan pertengahan dekade 90-an (1990-2000). Untuk menggambarkan fenomena yang terjadi, konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah mengenai budaya, subkultur, resistensi budaya, serta proses rekonstruksi dan representasi identitas. Dengan menggunakan konsep-konsep yang akan dijelaskan dibawah, peneliti berharap untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian dengan sistematis dan memiliki relevansi sosiologis. Budaya atau culture dalam bahasa Inggris merupakan salah satu kata yang paling rumit (Storey, 1993). Dalam penelitian ini, penulis melihat budaya menggunakan logika strukturalisme dimana makna dari budaya didapatkan dengan melihat proses penanda dan petanda yang ada. Penanda dan petanda ini dilihat dalam tiga level utama yang didasari oleh deskripsi dari Raymond Williams dan Koentjaraningrat yang kurang lebih seragam. Budaya yang disebutkan oleh Koentjaraningrat disebutkan berada pada tiga level, yang pertama adalah level gagasan, kedua kompleks aktivitas/praktik, dan ketiga adalah benda atau dalam penelitian ini disebut sebagai teks. Kedua, konsep yang digunakan adalah mengenai subkultur dan resistensi pada subkultur. Menurut Gelder (2005, 1), subkultur merupakan sekelompok orang yang terepresentasi sebagai kelompok yang tidak normatif (secara umum) dan/atau marjinal dalam kepentingan dan praktek mereka, melalui siapa diri mereka, apa yang mereka lakukan, dan
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
dimana mereka melakukannya. Mereka merepresentasikan diri mereka dalam cara tertentu karena biasanya mereka sadar akan perbedaan yang dimiliki, meratapinya, menikmatinya, dan mengeksploitasi perbedaan tersebut. Dalam penjelasan lain, subkultur juga merupakan suatu sub-set budaya yang walaupun memiliki aktivitas, nilai, material artefacts, dan teritori tertentu tetap memiliki ikatan dengan parent culture nya (Hall & Jefferson, 1975). Unsur resistensi terhadap budaya umum merupakan bagian penting dari konsepsi subkultur yang akan digunakan peneliti. Subkultur merupakan sebuah kelompok yang melakukan resistensi terhadap budaya dominan melalui style; bagi Hebdige style merupakan alat bagi subkultur untuk mengkomunikasikan resistensi (Hebdige, 1979). Resistensi dalam subkultur menurut Haenfler (2004) juga bekerja dalam berbagai tataran. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, Dengan penggunaan pendekatan kualitatif penelitian ini akan mencoba menginterpretasikan data dengan memberikan arti terhadap data yang diperoleh (Neuman, 2006, h. 148). Dengan pendekatan ini peneliti akan mencoba untuk memahami dan memaparkan nilai-nilai dari straight edge serta bagaimana nilai-nilai tersebut diraih dan dipraktikkan oleh straight edge di Jakarta. Menggunakan klasifikasi dari Neumann penelitian ini tergolong sebagai basic research (berdasarkan manfaat), deskriptif (berdasarkan tujuan), studi kasus (berdasarkan dimensi waktu), dan field research (berdasarkan teknik pengumpulan data). Dalam penelitian ini, sesuai dengan prinsip pendekatan kualitatif, yang menjadi instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Untuk meningkatkan kualitas penelitian, peneliti yang bukan merupakan bagian dari kelompok/penganut budaya ini (outsiders) perlu untuk memperdalam pengetahuan tentang straight edge, secara nilai-nilai umum serta budaya disekitarnya seperti musik hardcore serta band-band dan tokoh berpengaruhnya. Dalam konteks penelitian ini, yang menjadi site penelitian adalah komunitas straight edge Jakarta. Dalam hal ini bukanlah komunitas yang fix atau terstruktur dan terorganisir, namun komunitas yang didalamnya terdiri dari individu-individu yang mempraktikkan suatu budaya yang sama, yaitu straight edge. Selain itu, definisi Jakarta disini juga tidaklah kaku seperti batas-batas wilayah yang tegas akan tetapi cair sehingga memungkinkan apabila seorang informan merupakan seseorang yang tinggal di kota Depok, Bogor, atau kota lain yang memiliki kultur straight edge yang tidak berbeda dari Jakarta.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan informan-informan yang setidaknya terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama dari informan ini adalah seseorang yang secara de facto tinggal di Jakarta atau kota sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang mengklaim dirinya straight edge serta mengetahui tumbuh dan berkembangnya straight edge di Indonesia semenjak pertengahan tahun 90-an, serta akan menjadi nilai tambah apabila informan tipe pertama ini juga telah mengklaim dirinya sebagai straight edge semenjak medio itu. Sedangkan tipe kedua adalah seseorang yang secara de facto tinggal di Jakarta dan sekitarnya serta merupakan orang yang telah mengklaim diri sebagai straight edge minimal dua sampai sepuluh tahun belakangan. Utamanya, kedua tipe ini dipilih karena range usia diantaranya mampu menghindari bias-bias waktu dalam penelitian ini. Selain itu, tipe informan yang pertama dipilih terutama karena pengetahuannya mengenai sejarah straight edge yang diyakini dapat lebih dalam. Sedangkan, informan tipe kedua juga memiliki signifikansi sendiri yaitu sebagai straight edge yang pengalaman beridentitas straight edge nya masih baru sehingga dapat memberikan fakta yang lebih detail mengenai pengalaman-pengalamannya. Dari 49 Detik: Hidup Positif sebagai Budaya Straight Edge Straight edge merupakan fenomena yang unik. Hanya dimulai dari lagu sesingkat 49 detik, tanpa organisasi formal, norma tertulis, atau pemimpin dan penggagas gerakan yang resmi, straight edge telah menjadi identitas atau pilihan hidup bagi ribuan anak muda dunia (Smith, 2008). Dalam penelitian ini peneliti memilih untuk memilih melihat straight edge sebagai budaya dibanding sekedar lifestyle. Hal ini didorong oleh konsep budaya yang lebih komprehensif (praktik, teks, dan ide) dibanding lifestyle yang hanya berkutat pada konsep praktik. Dalam penjelasan bagian budaya straight edge ini peneliti akan menggunakan lirik lagu dari Minor Threat (Straight Edge - 1981) yang merupakan teks utama dalam berkembangnya subkultur straight edge. Hasil analisis dari teks ini akan dibantu dengan analisis praktik dari straight edgers untuk menemukan ide utama dari budaya straight edge. Pada tahun 1981, skena hardcore punk di Amerika Serikat sedang menanjak ke masa keemasan setelah beberapa tahun sebelumnya tumbuh melalui dentuman dari band seperti Black Flag dan Dead Kennedy’s. Punk seakan-akan melawan segalanya yang ada di kehidupan anak muda dan kehidupan sosial pada umumnya. Mereka menolak representasi politik yang dianggap fasis, intoleran, tidak adil, dan sebagainya; serta menolak jeratan kapitalisasi ekonomi. Akan tetapi ada satu hal dalam budaya punk saat itu, mereka tidak
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
menolak budaya narkoba, alkohol, tembakau, dan seks bebas yang sedang booming di masyarakat Amerika Serikat. Menurut Haenfler (2005), straight edge merupakan kumpulan anak punk yang setuju dengan mentalitas punk yang “mempertanyakan segala hal”, energi yang mentah, gaya yang agresif, dan sikap Do-It-Yourself; akan tetapi tidak tertarik dengan mantra “no future” dan hedonisme yang ditampilkan dalam scene. Thompson (2004) juga menyampaikan bahwa straight edge merupakan suatu budaya punk yang lebih tertarik atau dalam revisi peneliti, juga tertarik dengan politik dari tubuh sendiri daripada/disamping politik berkaitan dengan kepemerintahan dan perekonomian secara umum. Dari segelintir orang yang merasa bahwa hedonisme dalam skena punk adalah sesuatu yang tidak menarik dari mereka. Ian MacKaye menjadi yang pertama untuk menyampaikan ide ini ke publik. MacKaye merupakan pria kelahiran Washington, D.C. pada April 1962. Melalui Dischord Records yang didirikan sendiri, MacKaye dan kawannya, Nelson merilis album self-titled4 mereka dalam band Minor Threat. Bersama Bad Brains, Minor Threat merupakan band yang paling berpengaruh bagi skena DC hardcore. Walaupun tidak pernah mengklaim diri, MacKaye belakangan terkenal sebagai seorang yang paling mungkin dianggap sebagai founder dari kultur straight edge. Pada umurnya yang belum genap 20 tahun di tahun 1981, melalui album self-titled yang menandakan kemunculan Minor Threat di skena hardcore punk, MacKaye menulis sebuah lagu berjudul ‘Straight edge’. Rekaman yang hanya berdurasi 49 detik ini merupakan ungkapan ekspresinya akan skena DC hardcore dan hardcore punk atau punk yang secara umum hedonis, atau diliputi oleh mereka yang menikmati mengkonsumsi alkohol, narkoba, rokok, dan seks bebas secara berlebihan. Lagu dari Minor Threat tersebut juga bisa dibilang sebagai dokumen paling berpengaruh dalam budaya straight edge di kemudian hari. Peneliti percaya, untuk melihat budaya secara straight edge secara keseluruhan maka sangat diperlukan untuk memahami inti lagu ‘Straight edge’ dari Minor Threat. Hal ini disebabkan, ‘Straight edge’ merupakan dokumen pertama dan terpenting yang mencantumkan label straight edge di dalamnya. Untuk itu, dalam paragraf dibawah, peneliti akan melihat makna dari kata-kata yang disampaikan dalam lirik lagu ‘Straight edge’ (1981) oleh Minor Threat.
4
Album yang dinamakan sama dengan nama band/artis. (contoh: album “Minor Threat” oleh artis “Minor Threat”)
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
“I'm a person just like you But I've got better things to do Than sit around and fuck my head Hang out with the living dead Snort white shit up my nose Pass out at the shows I don't even think about speed That's something I just don't need I've got the straight edge I'm a person just like you But I've got better things to do Than sit around and smoke dope 'Cause I know I can cope Laugh at the thought of eating ludes Laugh at the thought of sniffing glue Always gonna keep in touch Never want to use a crutch I’ve got the straight edge” Minor Threat – Straight edge (1981)
Dari lagu straight edge sendiri, penulis melihat dua nilai penting yang merupakan inti dari ide straight edge. Pertama adalah hidup positif. Dalam lirik ‘Straight edge’, kita dapat lihat bagaimana mayoritas dari lagu tersebut menggambarkan penolakan MacKaye terhadap berbagai jenis narkoba, alkohol, atau kondisi karena efek-efek tersebut. Kedua, adalah glorifikasi dari hidup positif tersebut. Hidup positif dalam artian absen dari konsumsi substansi merupakan ciri dari straight edge, tapi satu hal yang mendistingsi straight edge dari perilaku atau kondisi hidup positif yang sama adalah glorifikasi. Seperti dalam lirik straight edge, setelah berkali-kali menyatakan keabstainannya dalam berbagai perilaku hidup negative khas punk rock saat itu, MacKaye selalu mengakhiri dua bagian dari lagunya dengan teriakan yang berwarna bangga; “I’ve got the straight edge”. Dalam bagian selanjutnya, peneliti akan menggambarkan secara lebih spesifik lagi mengenai tiap-tiap nilai inti dari straight edge ini. Straight edge memiliki sebuah benang merah yang sudah di tanamkan disaat kata ‘straight edge’ muncul, lewat lagu ‘Straight edge’ dan ‘Out of Step’ dari Minor Threat. Lagu ‘straight edge’ merupakan semacam dokumen utama mengenai straight edge. Melalui lagu tersebut selain kemunculan label ‘straight edge’ salah satu pesan yang tertanam jelas adalah hidup positif. Dari lirik tersebut hidup positif yang dimaksud adalah abstainsi dari penggunaan narkoba, dan alkohol. Dari lirik ‘Straight edge’ kita bisa melihat istilah-istilah kondisi ataupun barang yang didalam lagu tersebut ditolak oleh MacKaye seperti dope, snort white shit, the living dead, sniffing glue, crutch, dan eating ludes. Penolakan tersebut merupakan bentuk gaya hidup positif yang peneliti maksud. Dan dalam perjalanan straight edge sejauh ini, tidak pernah ada yang menawar kurang lebihnya narkoba dan alkohol. Inilah
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
yang peneliti maksud sebagai inti ide dari straight edge. Suatu nilai yang tidak bisa ditawartawar. Anda bisa menawar tingkat militansi, kedekatan dengan skena, isu seksualitas, gender, dan hal lain, akan tetapi tidak mengenai alkohol dan narkoba. Sebagai tambahan dari nilai anti konsumsi alkohol dan narkoba yang ada di lagu ‘straight edge’, straight edgers di seluruh dunia (setidaknya mayoritas yang sangat besar) pasti akan setuju bahwa dua syarat utama menjadi straight edge adalah untuk abstain dari konsumsi tembakau atau rokok dan memiliki perilaku seks bertanggung jawab. ‘Pasal-pasal’ lanjutan ini muncul dari pandangan dan komintmen MacKaye mengenai hidupnya yang juga disampaikan melalui sebuah lagu. Lagu ini walaupun muncul dari album yang berbeda, yaitu di album In My Eyes (1981) namun di rilis bersamaan dengan album self-titled Minor Threat. Dalam lagu Out of Step, MacKaye meneriakkan bait yang terkenal dan juga menginspirasi straight edge di masa depan yaitu: “I don’t smoke, I don’t drink, I don’t fuck, at least I can fucking think”. Dari sinilah konsepsi hidup positif straight edge yang juga merupakan nilai inti dari budaya ini terlengkapi. “Iya emang nggak ada bukunya juga gitu . . . nggak perlu kartu anggota ya tapi kalo lo ngerokok dan lo klaim diri lo straight edge ya aneh” “…..berarti mungkin yang merasa berhak mengklaim dirinya straight edge mungkin yang orang-orang yang tidak melakukan hal-hal itu [rokok, alkohol, narkoba, dan perilaku seks bebas] aja” (Wawancara dengan Aca Answer, 18 Maret 2013)
Dengan lirik dari lagu ‘Straight edge’ dan komplementer lirik dari lagu ‘Out of Step’, straight edge sebagai budaya telah memiliki nilai inti. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya suatu suara atau gerakan yang cukup besar yang menganggap bahwa nilai inti ini bisa diganggu gugat. Abstain dari konsumsi tembakau, alkohol, narkoba, dan perilaku seks bebas/tidak bertanggung jawab seakan-akan menjadi harga mati dari konsep nilai straight edge. Abstain dari keempat unsur tadi bisa dianggap setara dengan ibadah dalam agama, sesuatu yang wajib dan riil wujudnya. Satu hal yang menjadi distingsi antara individu straight edge dengan individu yang hidup positif lainnya adalah label. Dalam kasus straight edge, label itu tidak disematkan oleh orang lain. Anda harus mengklaim diri anda straight edge baru anda bisa dikategorikan sebagai straight edge. Seseorang bisa saja mengklaim orang lain, karena hidup positif, sebagai straight edge. Akan tetapi selama orang tersebut tidak pernah mengklaim dirinya sebagai straight edge, akan menjadi janggal untuk menganggapnya sebagai straight edge.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Semenjak pertama kali label ‘straight edge’ keluar lewat lagu ‘Straight edge’ dari Minor Threat, straight edge merupakan sesuatu yang disampaikan oleh individunya. Bukan orang lain. Melalui lagunya, MacKaye bertele-tele menjelaskan tentang identitasnya, abstainsi nya dari konsumsi berbagai jenis narkoba, alkohol, dan gaya hidup negatif. Setelah itu di akhir dari bagian lagu, ia selalu akan menyampaikan “I’ve got the straight edge!” dengan keras dan warna yang bangga. Individu-individu straight edge baik mereka yang ada di dalam band atau pun tidak. Seringkali menampilkan identitas mereka. Klaim akan identitas straight edge tidak berhenti pada titik dimana ia mengucap pada diri sendiri “saya straight edge” atau semacamnya. Akan tetapi, klaim ini terus berlanjut dalam berbagai bentuk dan cara. Bagi mereka yang ada di dalam band, lirik-lirik lagu menjadi suatu hal yang umum dilakukan, misalnya tentu ‘Straight edge’ oleh Minor Threat, lalu ‘True Till Death’ oleh Chain of Strength, ‘Forever’ oleh Throwdown, dan masih banyak lagi. Bagi mereka yang tidak di dalam band penggunaan tshirt dengan tulisan seperti ‘Straight edge’, ‘PMA All Day’5, ‘True Till Death’, ‘It’s Ok Not To Smoke’, It’s Ok Not To Drink’, ‘One Life Drug Free’, ‘Drug Free Youth’ atau melakukan X’es up diwaktu acara/gig. Bagi semua straight edge, glorifikasi dari komitmen hidup positif merupakan hal yang pasti mereka lakukan, bagaimanapun bentuknya, atau walaupun tidak diakui secara langsung. Karena mengklaim diri sebagai straight edge sendiri sudah merupakan bentuk dari glorifikasi dari straight edge.
Gambar 1: T-‐shirt, di jual di Here To Stay, Jakarta Sumber: http://twitter.com/heretostayjkt
5
Merujuk pada konsep Positive Mental Attitude yang dikembangkan dan disuarakan oleh Toby Morse, vokalis band hardcore dari Amerika Serikat, H2o.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
X’es up merupakan istilah yang menggambarkan kondisi dimana seseorang menuliskan atau menggambar X hitam di punggung tangannya. X merupakan simbol glorifikasi komitmen hidup positif yang paling menonjol dari straight edge. X kini merupakan simbol straight edge yang paling umum, semacam penanda dari kata straight edge. Kini selain digunakan dengan digambar di tangan, X juga menjadi simbol yang umum untuk membentuk istilah singkatan/abreviasi dari straight edge yaitu sXe/SXE/SxE. Dewasa ini merupakan
suatu
yang
umum
apabila
kita
menggunakan
singkatan
sXe
untuk
menggambarkan kata straight edge. Selain itu, X juga digunakan untuk menyebut nama seseorang, sekelompok orang, atau band yang berafiliasi dengan straight edge. Misalnya adalah band x Tyrant x, atau di Indonesia, Brave Heart seringkali menampilkan nama mereka dengan bentuk xBRAVE HEARTx. Individu juga seringkali menggunakan x, misalnya adalah x(nama)x atau bentuk lain seperti x(nama)x(nama)x atau (nama)x(nama). X sendiri tentu tidak berdiri tanpa makna yang spesifik. Sejarah X muncul dari skena Washington pada awal 80-an. Saat itu pemiliki bar terancam untuk mengalami tindakan legal dari pemerintah apabila mereka tertangkap menjual alkohol kepada anak-anak dibawah umur. Akan tetapi, dengan skena hardcore saat itu yang mendorong untuk dilakukannya acara-acara musik untuk semua umur, atau all ages. Bar-bar mulai menyiasati dengan memberi tanda X di tangan anak-anak dibawah umur untuk masuk ke dalam acara. Dengan tanda X ditangan berarti anak-anak dibawah umur tidak akan dilayani untuk memberi alkohol (Lahickey, 1997, h. 990 dalam Haenfler, 2005). Pada perkembangannya bagi para straight edge, walaupun tidak selalu dan tidak wajib, tanda X ini tetap digunakan di tangan mereka saat mereka memasuki acara-acara musik bahkan saat umur mereka sudah melebih batas minimal umur legal membeli alkohol. Hal ini menjadi semacam tanda bahwa mereka tidak hanya tidak boleh minum, akan tetapi juga tidak mau dan bangga.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Hidup Positif + Glorifikasi Komitmen Hidup Positif
Abstain gaya hidup bebas, menata penampilan, perilaku bangga, dsb.
“minor threat – straight edge”,simbol X, true till death, be true and stay alive, dsb.
Gambar 2: Konsepsi Budaya Straight Edge – Dinamika antara ide, praktik, dan teks
Subkultur Straight Edge: Ekspresi Resistensi Multi-level “You have to remember that in the late 70s there was no such thing as a group of people who didn’t drink or do drugs, everyone got stoned.... ‘Straight edge’ was only one of our songs. It was cool that people were into it, but we got much more of a reaction from the people that were against it” “anda harus ingat, bahwa di akhir 70-an tidak ada sekelompok orang-orang yang tidak minum [alkohol] dan tidak mengkonsumsi narkoba, semua orang teler. . . ‘Straight edge’ hanyalah salah satu lagu kita [Minor Threat]. Bagus bahwa orang-orang tertarik dengan ide itu, akan tetapi kita lebih banyak mendapat reaksi dari orang yang menentang hal tersebut” Ian McKaye, di Alternative Press History of Punk (1996)
Sebagai sebuah subkultur, straight edge merupakan suatu budaya yang lahir melalui dua parent culture yang bertolak belakang dengan nilai dari budaya straight edge. Punk dan anak muda. Apa yang diyakini sebagai budaya dari straight edge merupakan sesuatu yang sangat jauh dari norma umum dimana mereka berada. Punk seperti dijelaskan dalam bab ke empat dalam penelitian ini, memiliki budaya hedonis seperti minum-minum, narkoba, rokok, dan seks bebas yang sangat tinggi. Ian MacKaye dalam wawancaranya diatas menjelaskan bagaimana kondisi komunitas punk dimasanya, dan bagaimana orang-orang merespons lagu ‘Straight edge’ pada masa itu. Lagu tersebut bahkan kini direkognisi sebagai sebuah karya yang merupakan katalis dari budaya straight edge.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Budaya negatif dalam punk. Menurut Stacy Thompson, mungkin merupakan satusatunya unsur budaya umum yang tidak di resisten oleh punk yang identik dengan resistensi mereka terhadap budaya masyarakat pada umumnya, terutama secara sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Nihilisme dalam punk juga tercermin dalam catatan-catatan populer seperti meninggalnya pasangan selebritis punk terkemuka Sid Vicious dan Nancy Spungen karena konsumsi narkoba yang berlebihan. Kini straight edge masih eksis lebih dari 30 tahun setelah lagu ‘Straight edge’ di rilis dan ide straight edge disampaikan oleh Ian MacKaye melalui skena underground di Washington, D.C. dan Amerika Serikat pada umumnya. Akan tetapi, satu yang juga tidak berubah adalah budaya minum-minum, narkoba, rokok, dan seks bebas yang menjamur di komunitas punk atau kebudayaan anak muda pada umumnya. Industri bir, minuman keras lainnya, serta rokok tetap hidup di Indonesia dan dunia secara umum, dan konsumen dan target mudah terbesar dalam industri ini adalah anak muda (Fraenkel 2011). Kultur ini juga bisa diidentifikasi melalui bagaimana ramainya klub malam, bar, pub, dengan anak muda di dalamnya. Di Jakarta hal ini juga bukanlah sesuatu yang asing apabila kita menengkok betapa ramainya daerah Kemang, Jalan Jaksa, atau klub-klub malam yang menjamur di ibukota. Seperti di skena-skena sebelumnya di Amerika Serikat atau Inggris, dalam komunitas punk di Jakarta sendiri, minum-minuman keras, narkoba, dan semacamnya juga bukanlah hal yang asing. Seperti yang dijelaskan dalam pemaparan mengenai identitas straight edge. Mereka yang tergabung dalam subkultur ini memiliki makna subyektif masing-masing akan menjadi straight edge. Hal ini merupakan apa yang disampaikan Haenfler sebagai subyektifitas dari resistensi suatu subkultur. Dalam temuan peneliti, straight edgers memiliki berbagai level resistensi yang berbeda-beda. Salah satu pembeda utama dalam resistensi straight edge adalah pada ranah kolektif dan individu. Resistensi dalam straight edge bekerja pada ranah kolektif, akan tetapi juga terbuka kemungkinan bahwa seorang straight edge memaknai straight edge secara individual. Hal ini terjadi karena perbedaan pemaknaan straight edge yang dilakukan oleh penganutnya. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti akan mencoba memaparkan bagaimana resistensi terlihat pada straight edge dan bagaimana straight edge dianggap sebagai self life orientation atau dalam bahasa Haenfler, resistensi yang bekerja dalam diri sendiri
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Resistensi pada straight edge pertama-tama dapat dilihat melalui style. Straight edge hidup sebagai kelompok penikmat musik underground yang hidup positif, dan di skala yang lebih besar juga sebagai anak muda yang hidup positif. Sebagai subkultur, straight edge bukanlah sebuah kelompok yang hanya sekedar menyadari dan meratapi perbedaan mereka dengan dominasi budaya yang ada. Akan tetapi, yang membedakan mereka dengan individuindividu lain yang tak bereaksi, straight edge menikmati dan mengeksploitasi perbedaan tersebut. Sebagai contoh, straight edge bukanlah kelompok yang sekedar menerima perbedaan dan posisi mereka sebagai budaya yang abnormal, akan tetapi mereka mencoba untuk menikmati abnormalitasan tersebut dan mengeksploitasinya dengan berbagai ekspresi yang mereka tampilkan. “. . . terkadang masih banyak tanggepan miring soal straight edge itu. Karna, banyak anggepan, anggepan orang tuh yang.. ‘ah lu.. apa sih lu ga ngerokok. Apa sih lu ga minum. Lu itu udah tua, udah umur segini.’ Ya, masih banyak yang nganggepnya gitu. Kalo gua, justru, gua bangga disini karna gaya hidup gua, gua tetep bisa, bisa.. senengseneng kayak, sama kayak orang yang ngerokok dan alkohol di gigs tapi gua bisa nikmatin itu tanpa menikmati alkohol dan tanpa di bawah pengaruh itu.” (Wawancara dengan Gilang Madok, 18 April 2013)
Kita dapat melihat dua hal penting dari pernyataan Gilang Madok diatas, yang pertama adalah mengenai bagaimana budaya straight edge masih merupakan budaya yang termarjinal dalam praktiknya di dalam parent culture nya. Selain itu kita juga dapat melihat bagaimana straight edge sebagai sebuah subkultur dipraktikkan dengan bangga atau dalam kata lain anggotanya mau untuk mengeksploitasi perbedaan diantara mereka dengan norma umum di parent culture straight edge. Madok tetap bangga menjadi straight edge walaupun merasa bahwa terkadang masih ada tanggapan-tanggapan yang miring mengenai praktik budaya straight edge dimana tidak merokok dan sebagainya dianggap sebagai suatu yang tidak umum. Ia tidak merespon perbedaan budaya straight edge yang dia praktikkan dengan norma umum dengan menjadi minder atau tidak percaya diri. Sebaliknya ia malah merasa bangga dan merayakan perbedaan itu. Hal inilah yang menjadi dasar resistensi melalui gaya menurut Hebdige (1979). Hebdige dalam The Meaning of Style (1979) menyampaikan bagaimana subkultur merupakan sebuah kelompok yang meresistensi budaya mainstream (dalam konteks penelitian ini parent culture straight edge) melalui apa yang ia sebut style. Dalam pemaparan Hebdige, style sendiri dapat dilihat dalam beberapa tipe yaitu cara berpakaian atau fashion, lalu perilaku dan tindakan verbal. Melalui tiga hal ini kita akan melihat bagaimana straight edge sebagai subkultur melakukan resistensi dari budaya umum yang ada dalam parent
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
culture straight edge. Style dalam subkultur seperti straight edge bukan saja berfungsi sebagai ekspresi tubuh semata akan tetapi juga menjelaskan perangkat nilai dan perilaku yang tertanam di kebudayaan subkultur tersebut. Dimana perbedaan yang ada antara nilai dari subkultur dan kebudayaan dominan di transformasi menjadi rangkaian ekspresi resistensi oleh apa yang disebut Hebdige sebagai style tadi. Dalam penjelasan-penjelasan dibawah peneliti akan membahas satu persatu tipe perilaku resistensi tersebut dan melihat bagaimana makna dari style yang disampaikan oleh straight edge menggambarkan resistensi budaya secara kolektif. Berbicara mengenai fashion yang digunakan dalam straight edge tentu hal yang paling identik dengan penampilan dari straight edge adalah simbol X yang digunakan di tangan, dan belakangan juga dicetak di baju, stiker, dan berbagai medium lainnya. Walaupun fashion berpakaian straight edge terus berubah dari waktu ke waktu, dari punk look, sporty look, army look, dan masih ada beberapa lagi, X tetap tidak menghilang dari subkultur ini. Dari era old school, Youth Crew, Metalcore, New School, atau apapun penggunaan X tidak pernah hilang dalam perkembangan tren dan fashion dalam budaya ini. X bisa dibilang merupakan simbol fashion yang paling relevan ketika kita berbicara mengenai straight edge. “[tentang tujuan mengenakan atribut-atribut bernuansa straight edge]sebenernya bukan tujuan sih. Emm, itu pride gua sendiri. Menurut gua. kebanggaan. kebanggaan gua sendiri karna ya.. gua, gua bisa nunjukkin kalo.. ‘ini loh jalan hidup gua’ tanpa harus, ngumpetngumpet. ngumpet-ngumpet. Diem-diem. . .” (Wawancara dengan Gilang Madok, 18 April 2013)
Berpakaian atau berpenampilan sebagai straight edge sekali lagi perlu ditekankan merupakan bentuk pernyataan yang cukup gamblang dari seorang straight edge. Mereka dengan fashion nya mencoba untuk menyatakan kepada dunia bahwa mereka yang hidup di dalam budaya yang mengagungkan konsumsi rokok, narkoba, alkohol, dan seks bebas tetap bangga untuk menjadi seorang straight edge dengan budaya yang sama sekali berbeda. Gilang Madok misalnya, ia mengaku bahwa dengan mengenakan baju-baju bernuansa straight edge yang ia miliki, atau mencoret X ditangannya merupakan semacam kebanggaan bagi diri sendiri. Ia ingin menyatakan bahwa budaya straight edge merupakan jalan hidupnya, dan ia bangga memilih jalan hidup itu walaupun harus berbeda dengan budaya yang ada pada parent culture straight edge.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Menurut Dodie, sebenarnya tidak ada syarat tertulis untuk menjadi straight edge. Tapi syarat dasar sebagai straight edge yang jelas adalah untuk tidak merokok, minum alkohol, mengkonsumsi narkoba, dan yang terakhir adalah untuk tidak melakukan free sex atau promiscuous sex. (Wawancara dengan Dodie Sadath, 16 Mei 2012)
Saat ditanya dalam wawancara mengenai apa yang harus dilakukan untuk menjadi straight edge, Dodie Sadath mengaku bahwa untuk menjadi straight edge seseorang hanya perlu untuk menghindari konsumsi-konsumsi hal yang disebutkan di atas. Dalam kata lain kita juga bisa melihat bagaimana menjadi straight edge sejatinya lebih berkenaan dengan praktik-praktik tidak melakukan daripada praktik-praktik melakukan. Walaupun beberapa argumentasi menambahkan mendengarkan musik hardcore atau aktif dalam scene misalnya sebagai syarat, akan tetapi lebih banyak yang menganggap bahwa straight edge tidak pernah memiliki peraturan yang jelas mengenai itu. Dengan perilaku/demeanour yang absen dari konsumsi rokok, alkohol, narkoba, dan seks bebas yang marak dalam parent culture straight edge, seorang straight edge memberikan pernyataan tersendiri akan pandangan mereka terhadap gaya hidup bebas yang ada di punk dan kehidupan anak muda pada umumnya. Walaupun tidak melakukan tindakan pro-aktif yang mencolok, straight edge menunjukkan eksistensi pandangan mereka dengan eksis di parent culture punk atau anak muda dan tidak melakukan tindakan yang dianggap konform di budaya yang lebih besar tersebut. Seperti yang disampaikan Aca, walaupun apa yang ia lakukan (tidak lakukan) dianggap aneh oleh banyak orang, akan tetapi ia tetap melakukan hal tersebut karena itulah yang ia percaya. “cuma, intinya gua, gua mengklaim diri gua sebagai straight edge karna gua seneng, seneng, seneng suka-suka kayak mereka.. kayak.. kayak.. di gigs. macem-macem tapi, gua nggak suka cara, yang.. ngerokok atau macem-macem gitu.” (Wawancara dengan Gilang Madok, 18 April 2013)
Bentuk terakhir dari resistensi straight edge terhadap budaya punk dan anak muda pada umumnya yang dominan adalah melalui aksi verbal atau vernacular. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana straight edge merupakan identitas yang di klaim oleh individu-individunya. Tanpa klaim bahwa mereka memutuskan menjadi straight edge, akan hilang distingsi yang jelas antara individu yang straight edge dan individu lain yang memang melakukan gaya hidup positif yang mirip dengan straight edge tetapi berada di parent culture yang menerima atau memang tidak memberikan perlawanan simbolis akan parent culture nya.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Dengan pandangan subyektif yang beragam dalam memaknai straight edge maka wajar apabila dalam beberapa individu straight edge resistensi yang pada tataran kelompok disampaikan diatas tidak terlalu terlihat. Dari data yang didapat di lapangan, straight edge tidak hanya berwarna resisten secara kolektif, akan tetapi juga ada warna kontemplasi yang lebih melihat straight edge sebagai alat orientasi hidup pribadi. Berbeda dengan sebagai kolektif yang begitu mengekspresikan resistensi, straight edge juga memiliki fungsi sebagai alat untuk menjadi orientasi hidup atau kontrol bagi diri untuk menjadi lebih baik. “Ooh gitu, kalau gw bilang, gini ya, biasanya yg permisif tuh orang yg udah lumayan dalemin..itu seperjalanan waktu hidup lo.. Cuma yang die hard2, katanya, biasanya young bloods, darah muda. Cuman ya gatau. Kalau menurut gw permisif ya biasa2 jg kok.” (Wawancara dengan Aca Answer, 12 Maret 2013)
Dalam wawancaranya di atas Aca menunjukkan posisinya sebagai seorang straight edge. Ia menjelaskan bagaimana ia melihat dirinya dan beberapa individu melihat straight edge tidak harus selalu bertentangan dan meresistensi parent culture mereka. Menurut Aca, menjadi straight edge tidak menutup kemungkinan agar seseorang bisa menjadi permisif dalam berinteraksi dengan sesama anak muda lain atau punk yang tidak sejalan pemikirannya, terutama mengenai politik tubuh. Seperti dalam penuturan Aca, dewasa ini juga banyak ditemui mereka yang straight edge tetapi mampu bergaul atau berinteraksi dengan nonstraight edge, tanpa menunjukkan resistensi mereka dengan cara apapun. Straight edge yang permisif bukanlah berarti seseorang tidak memahami makna dari straight edge sendiri. Malah dari pernyataan Aca diatas kita dapat melihat bagaimana ada persepsi dari mereka yang sudah lama menjadi straight edge, bahwa semakin tua atau semakin mendalami seseorang menjadi straight edge maka akan hilang ego seseorang untuk menunjukkan resistensi mereka secara menggebu-gebu. Bagi Aca misalnya, straight edge adalah sesuatu yang dalam bahasanya “buat gue aja” atau untuk kepentingannya sendiri. Mmmm, kalo menurut gw sih disini seiring sekarang-sekarang juga sih. Tapi dari dulu sih, straight edge itu pilihan pribadi, jadi lo ga perlu jadi orang yang ngomong lo lebih keren kalo lo jadi straight edge. Atau lo harus jadi straight edge segala macem. Buat gw pribadi sih, straight edge tuh ya karena lo mau aja. Pilihan lo aja. Lo ga akan lebih keren kalo jadi straight edge menurut gw, sama kalo lo ngerokok ga jadi lebih keren juga. Sama aja buat gw. (Wawancara dengan Aca Answer, 12 Maret 2013)
Dalam pernyataannya diatas Aca menunjukkan kepermisifan dari straight edge. Kepermisifan dari straight edge menunjukkan dalam ruang interaksi antara straight edge dan non-straight edge terkadang juga tidak akan terjadi resistensi. Tidak hanya seperti yang
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
digambarkan dalam pemaparan awal mengenai resistensi, seorang straight edge juga dapat menjadi pasif dalam interaksinya. Menurut Aca, straight edge merupakan sebuah pilihan pribadi yang bukan diperuntukkan untuk ruang interaksi antara straight edge dan non-straight edge. Baginya straight edge lebih berfungsi kedalam diri sendiri, sebagai sesuatu yang reflektif ke dalam diri sendiri. “[tentang makna straight edge] Ya buat diri gue sendiri aja. Ya udah buat gue sendiri aja dan yang lain mungkin bisa dibaca di internet lah atau apa. Karena gue nyari apa ya identitas yang cocok buat gue tuh apa dan itu straight edge ternyata.[tentang manfaat straight edge] Emm, gue lebih menghargai hidup dan tubuh gua. Ya temen temen ada sih temen yang mati DO (maksudnya OD-over dosis) di umur yang 27, 28 gitu [menggambarkan ketidakinginanya menjadi seperti itu]..” (Wawancara dengan Randyka Wijaya, 4 April 2013)
Dalam pernyataannya diatas Randyka juga menegaskan fakta bahwa terkadang straight edge merupakan sebatas pilihan pribadi dan untuk diri sendiri. Sehingga resistensi dalam straight edge juga tidak selalu keluar. Dengan menjadi straight edge Randyka tidak semerta-merta menjadi seseorang yang menyebarkan kepercayaannya kepada orang-orang lain disekitarnya. Bagi Randyka dan beberapa straight edge lain, straight edge merupakan sebuah pilihan yang sifatnya lebih kedalam daripada keluar untuk berinteraksi dan resistens dengan budaya lain. Dari pernyataan Randyka diatas bisa dicermati hal lain yang menunjukkan sifat straight edge sebagai self life orientation. Straight edge dilihat oleh Randyka misalnya sebagai sesuatu yang membuatnya lebih menghargai dirinya dan tubuhnya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Thompson (2004) sebagai the politics of the body atau politik tubuh. Apa yang disampaikan oleh Randyka menunjukkan bahwa menjadi straight edge juga mendorong seseorang untuk tidak hanya melakukan resistensi yang umum terlihat atau ada pada tataran kolektif. Akan tetapi, straight edge juga melakukan resistensi pada level individual. “Karena gua juga ga tergoda. Ya cuma ya menurut gua pegangan aja sih. yang namanya orang kan pasti bakal ada ingin cicip kan. ya kayak ya ini udah gua kaya gini. Ya udah gitu.. [tentang manfaat straight edge] Motivasi diri kayaknya sih. Kontrol aja. dan menatanya dengan ama itu aja.. jadi gue kayak jadi kayak bisa mengontrol perilaku gue gitu deh.. “ (Wawancara dengan Toro Elmar, 12 April 2013)
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Randyka sebelumnya, Toro melihat straight edge sebagai motivasi dan kontrol untuk dirinya. Toro tidak menyebutkan atau menunjukkan unsur resistensi straight edge dalam pernyataannya. Baginya straight edge
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
dapat dipahami sebagai sesuatu yang mengkontrol dan memotivasi dirinya untuk hidup lebih positif. Toro mengaku bahwa dengan menjadi straight edge, ia akan mengingatkan dirinya sendiri akan nilai hidup positif serta komitmen yang ia buat dengan dirinya sendiri untuk hidup positif. Sebagai anggota dari subkultur straight edge, seseorang bisa merenungkan nilai-nilai identitasnya kedalam dirinya sendiri. Dengan demikikan, individu akan melakukan usahausaha untuk merawat tubuhnya misalnya, atau menghargai penggunaan organ-organ di dalam tubuhnya. Hal ini tentu tidak akan menjadi sesuatu yang langsung dapat dilihat sebagai resisten di dalam interaksi straight edge dengan punk atau anak muda perkotaan lainnya. Akan tetapi straight edge sebagai self life orientation juga dapat memberikan perlawanan kepada sesuatu yang sifatnya personal. Kesimpulan Dengan melihat praktik sehari-hari dan teks-teks berpengaruh, straight edge merupakan sebuah subkultur yang lahir dari budaya punk dan anak muda yang memiliki gagasan hidup positif. Gagasan hidup positif dalam straight edge terletak pada common rules dalam subkultur yang melarang penggunaan tembakau, alkohol, narkoba, dan seks tidak bertanggung jawab. Warna dalam subkultur straight edge yang mencolok lainnya adalah glorifikasi komitmen hidup positif yang tercermin dalam berbagai media. Resistensi dalam straight edge di Jakarta sangatlah beragam dan cenderung individual. Bagi beberapa individu straight edge sebagai subkultur tidak dipahami dan dipraktekkan dalam kerangka resistensi, tetapi lebih berorientasi sebagai self life orientation. Akibat dari konteks kemunculan subkultur yang berbeda dengan di Amerika Serikat, straight edge Jakarta cenderung memiliki diversitas resistensi yang tinggi. Pertama, walaupun kekuatannya terbatas adalah resistensi secara kolektif dengan menunjukkan gaya mereka. Resistensi ini cenderung bersifat mikro dimana pengaruhnya terarah kepada sebaya dan sesama punk. Kedua dan yang lebih utama adalah resistensi atau kontemplasi yang bersifat individual. Straight edge cenderung dilihat sebagai sebuah self life orientation dimana dampaknya bersifat untuk pribadi. Dalam straight edge Jakarta, straight edge terlihat memiliki resistensi yang aktif dalam berbagai lapisan.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Referensi: Buku Arnold, David. 1970. Subcultures. Berkeley: The Glendessary Press. Bryman, Alan. 2001. Social Research Methods. USA: Oxford University Press. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Second Edition. London: SAGE Publication Inc Gelder, Ken. 2005. The Subcultures Reader. London/New York: Routledge. Gelder, Ken. 2007. Subcultures: Cultural Histories and Social Practice. New York: Routledge. Haenfler, Ross. 2005. Straight Edge: Clean Living Youth, Hardcore Punk, and Social Change. New Jersey: Rutgers University Press. Hall, Stuart & Jefferson. 1975. Resistance Through Rituals. Birmingham: Routledge. Hebdige, Dick. 1979. Subculture: The Meaning of Style. London/New York: Routledge.. Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kuhn, Gabriel. 2009. Sober Living For The Revolution: Hardcore Punk, Straight Edge, and Radical Politics. Oakland: PM Press. Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Storey, John. 1993. Cultural Theory and Popular Culture. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf Campus 400. Sulaeman, Munandar. 2005. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama. Thompson, E.P. 1980. The Making of English Working Class. Harmondsworth: Penguin Books. Thompson, Stacy. 2004. Punk Productions: Unfinished Business. New York: State University of New York Press.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Williams, Raymond. 1965. The Long Revolution. Penguin. Harmondsworth: 1965 dalam Storey (1993) Internet Arenas, N. 1996. The AP history of punk, Part X. A.P Alternative Press 11 (100): 30-32, November. dalam Irwin, D (1999) Betterday Zine. http://betterdayzine.blogspot.com Cooper, Ryan. A Brief History of Punk Rock. About.com. http://punkmusic.about.com/od/punk101/a/punkhistory2.htm Graham, Stephen. 2010. Where is the underground?. Journal of Music. http://journalofmusic.com/focus/where-underground Youngs, Ian. 2002. A Brief History of Punk. BBC NEWS. http://news.bbc.co.uk/2/hi/entertainment/2601493.stm.
Jurnal, Skripsi, dan Karya Ilmiah Hadi, Ahmad F. 2008. Perkembangan Musik Punk di Amerika Serikat tahun 1974-1980. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Haenfler, Ross. 2004. Collective Identity in The Straight Edge Movement: How Diffuse Movements Foster Commitment, Encourage Individualized Participation, and Promote Cultural Change. The Sociological Quarterly, Vol.45, Issue 4. The Midwest Sociological Society. Haenfler, Ross. 2004. Rethinking Subcultural Resistance: Core Values of the Straight Edge Movement. Sage Publications. Journal of The Contemporary Etnography 2004; 33; 406. Karib, Fathun. 2007. Kesadaran Kolektif dan Identitas dalam Komunitas Punk Jakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Irwin, D. 1999. The Straight Edge Subculture: Examining The Youths’ Drug Free Way. Journal of Drug Issue #29. SAGE.
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013
Titiwening, Fransiska. 2001. Punk, Punker, Ngepunk: Masalah Identitas dalam Metodologi Antropologi. Depok: Universitas Indonesia. Willlis, Susan. 1993. Hardcore: Subculture American Style. Critical Inquiry Vol 19 No 2. Chicago: University Chicago Press. Audiovisual Fraenkel, Jim. 2011 Vanguard: Sex, Lies, and Ciggarettes. USA: Vanguard. Smith, David S. 2008. National Geographic: Inside Straight Edge. USA: National Geographic. McFadyen, Scot. dan Dunn, Sam. 2008. Global Metal. Bergen: Seville Pictures
Subkultur straight…, Chandraditya Kusuma, FISIP UI, 2013