KOMBINASI METODE AKUSTIK DAN SURVEI TRAWL UNTUK MENINGKATKAN AKURASI PERHITUNGAN DENSITAS IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN TARAKAN
ASEP PRIATNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2014 Asep Priatna NRP C451110121
RINGKASAN ASEP PRIATNA. Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON dan TOTOK HESTIRIANOTO. Eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan dengan menggunakan mini trawl (pukat hela) sudah berlangsung sejak lama. Ketersediaan data dan informasi status stok berserta penyebarannya, sangat penting dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Terdapat sumber utama bias pada survei trawl, pertama trawl tidak dapat menangkap semua ikan yang berada pada jalur sapuannya, disebabkan ada ruang yang tidak tersapu oleh jaring trawl. Kedua, kesalahan sampling acak, dimana ikan tidak terdistribusi merata pada area yang diamati sehingga menghasilkan variabilitas hasil tangkapan. Identifikasi distribusi spasial sumberdaya ikan demersal sangat berguna dalam strategi penentuan posisi pengambilan contoh. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung densitas ikan hasil survei trawl yang dibandingkan dengan metode akustik, menentukan formula perhitungan densitas pada dead zone trawl, dan menganalisis keterkaitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan stok ikan demersal. Penelitian yang memadukan antara sampling trawl, akustik, dan lingkungan, telah dilakukan pada bulan Mei, Agustus, dan November 2012 di perairan Tarakan dan sekitarnya. Dari tiga trip tersebut diperoleh 60 stasiun pengambilan contoh, dengan data yang dikumpulkan dari tiap stasiun adalah komposisi jumlah dan jenis ikan demersal hasil tangkapan trawl yang dioperasikan simultan dengan metode akustik, aspek teknis operasional trawl (kedalaman, panjang warp, bukaan mulut jaring, kecepatan dan durasi towing), densitas ikan hasil akustik, tipe substrat dasar laut dan kelimpahan makrozoobentos. Hasil uji-t berpasangan pada selang kepercayaan 95% dalam membandingkan densitas ikan demersal hasil akustik dengan hasil trawl menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan, dimana densitas trawl jauh lebih rendah dibanding dengan densitas akustik. Perbedaan hasil kedua metode menunjukkan bahwa pada pengoperasian trawl dasar, ikan demersal yang berada pada jalur sapuan tidak tertangkap semuanya. Disebabkan karena tingkah laku ikan menghindari trawl yang sulit untuk diestimasi, serta faktor-faktor teknis operasional trawl yang menyebabkan munculnya dead zone pada survei trawl. Seberapa besar jumlah ikan yang tidak dapat tertangkap ditentukan oleh daya tangkap dari trawl yang digunakan. Estimasi kemampuan tangkap trawl (catchability) diperoleh berdasarkan korelasi positif antara densitas akustik dan trawl. Dari hubungan linier antar keduanya, diperoleh koefisien catchability sebesar 0,3. Nilai tersebut dapat menjadi acuan faktor koreksi nilai laju tangkap dari trawl yang digunakan dalam estimasi biomassa ikan demersal yang ada di perairan Tarakan. Sejumlah ikan yang tidak tertangkap karena dapat meloloskan diri dari trawl, atau ikan berada pada zona sapuan (catchability area) tapi tidak tertangkap karena adanya dead zone trawl sebagai akibat ketidaksempurnaan dalam pengoperasian trawl. Jumlah ikan yang tidak tertangkap tersebut diperkirakan sebanyak dua kali jumlah ikan yang tertangkap oleh trawl.
Analisis komponen utama dilakukan untuk mengidentifikasi variabelvariabel teknis yang diduga dapat mempengaruhi kinerja trawl, yaitu densitas ikan pada dead zone trawl (selisih antara densitas akustik dengan densitas trawl), kecepatan towing, durasi towing, panjang warp, pembukaan horizontal mulut jaring, bobot/jumlah biota non demersal pada codend, dan kedalaman perairan. Diperoleh bahwa variabel kecepatan dan durasi towing bukan komponen utama, sehingga keduanya tidak digunakan dalam membangun model persamaan untuk mengestimasi densitas ikan demersal pada dead zone trawl. Berdasarkan keeratan hubungan antar komponen, terdapat tiga pengelompokkan yaitu pertama, panjang warp, bukaan horizontal trawl, dan kecepatan towing. Kedua, densitas ikan pada dead zone trawl, volume biota non demersal yang terdapat pada codend, dan durasi towing. Ketiga adalah faktor kedalaman yang bebas dari parameter lainnya. Berdasarkan uji beda nyata dari keempat variabel yaitu kedalaman, panjang warp, bukaan trawl, dan biota non demersal pada cod end, terhadap densitas ikan demersal pada dead zone trawl, diperoleh bahwa hanya panjang warp dan kedalaman yang berpengaruh nyata. Artinya variabel panjang warp dan kedalaman merupakan komponen utama yang menentukan adanya dead zone trawl. Persamaan untuk mengestimasi nilai densitas ikan demersal yang terdapat pada dead zone trawl (DTDZ) adalah Log DTDZ = 1.83 + 1.07*Log Panjang Warp – 3.45*Log Kedalaman + ε. Nilai DTDZ yang relatif tinggi cenderung diperoleh saat pengoperasian trawl pada kedalaman antara 10-20 meter. Pada perairan yang bersubstrat lumpur, nilai minimum DTDZ diperoleh pada rasio 3,5 panjang warp terhadap kedalaman, sementara untuk substrat pasir pada rasio 4,5. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa semua parameter lingkungan yang diukur yaitu densitas, jenis dan ukuran ikan, kedalaman perairan, tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos memiliki peran di dalam ekosistem ikan demersal di perairan Tarakan. Analisis PCA menunjukkan bahwa faktor tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos memiliki keterkaitan langsung. Sementara keempat faktor lainnya berkorelasi secara parsial terhadap ekosistem. Distribusi spasial ikan demersal di perairan Tarakan menunjukkan bahwa komposisi penyebaran lokasi dengan densitas ikan <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3 masing-masing sebesar 67,5%, 10%, dan 22,5%. Analisis diskriminan menunjukkan bahwa, parameter kedalaman dan tipe substrat merupakan variabel diskriminan, yang mampu secara signifikan membedakan ketiga kategori densitas tersebut. Artinya kedua variabel tersebut sudah mampu secara nyata membedakan kondisi densitas sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan. Apakah lokasi tersebut mempunyai densitas ikan demersal yang rendah, sedang atau tinggi. Berdasarkan fungsi klasifikasi yang terbentuk, makin besar nilai variabel kedalaman, maka makin cenderung masuk ke kategori densitas rendah. Sementara untuk variabel tipe substrat, makin besar nilai variabel tipe substrat, makin cenderung masuk ke kategori densitas tinggi. Artinya jika semakin dalam dasar perairan, densitas ikan demersal cenderung makin rendah dan sebaliknya. Sementara semakin berlumpur dasar perairan, maka densitas ikan demersal cenderung makin tinggi. Sebaliknya, semakin berpasir dasar perairan, densitas ikan cenderung berkurang. Kata kunci: akustik, trawl, dead zone, densitas, ikan demersal, periaran Tarakan
SUMMARY ASEP PRIATNA. Combination Acoustic and Trawl Surveys for Increasing Accuracy of Demersal Fish Density Estimation in Tarakan Waters. Supervised by ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON dan TOTOK HESTIRIANOTO. The exploitation of demersal fish resources by small bottom trawlers in Tarakan waters has been occured long time ago. Data and information i.e standing stock and spatial distributions of fish were necessary for fisheries management and utilization. There were several source of bias on bottom trawl surveys. The bottom trawl was impossible caught all of fish available on catchability area, which was caused the presence of the trawl dead zone. In addition, there was a random sampling error, since fish undistributed evenly in sampling area, so that occurring the variability on catch composition. The knowledge about spatial distribution of demersal fish was necessary to decide position of trawl stations. The aims of this research are to compare demersal fish density from acoustic and bottom trawl, to determine a formula which estimated fish density on the dead zone trawl, and to analyze the relationship of environmental factors that affect to demersal fish stock. The exploratory research was combining bottom trawling, acoustic, and environmental sampling, have been carried out in May, August, and November 2012 in Tarakan waters. Total of 60 stations acoustic-trawl were collected during research. The data were collected from each stations i.e catch composition of demersal fish from trawling which operated simultaneously with acoustic method, technical aspects of trawling (depth, warp length, trawl door opening, speed and towing duration), acoustic fish density, type of bottom substrate, and abundance of macrobenthos. Paired t-test at 95% confidence interval, showed the significant difference between demersal fish density from acoustic and trawl surveys, where the trawl density was much lower than acoustic density. The density difference of both method, indicated that trawl were not caught all of demersal fish which available on the swept area during towing. Due to fish reactions to avoid the trawl, this case was difficult to estimate. The technical factors error when trawling, lead to the emergence of trawl dead zone. The volume density of demersal fish in the trawl dead zone was depended on catchability of trawl as fishing gear. The estimation of trawl catchability was obtained by positive correlation between acoustic and trawl density. The linear relationship of both density, showed that the catchability coefficient of bottom trawl which was base in Tarakan was about 0.3. The catchability coefficient could be able as correction factor of catch rate of bottom trawl to be used for estimating fish biomass in Tarakan waters. That fish were not caught, due to escape from trawl. In addition, fish were available on catchability area, but were not caught, due to the trawl dead zone during trawling. It presence as a result some error when trawl operations. The number of them was estimated two times than density of fish caught by trawl. Principal component analysis was applied to identify the technical variables that might impact the performance of trawling, i.e fish density at trawl dead zone (difference between acoustic density and trawl density), towing speed, towing duration, warp length, horizontal opening of trawl mouth, number of non demersal
catch at codend, and depth. Both of towing speed and towing duration were not the main component for trawl operation, therefore were eliminated on a model equation to estimate demersal fish density at trawl dead zone. There were three groups relationship between components, i.e warp length, horizontal opening , and towing speed. Second, fish density at trawl dead zone, volume of non demersal organisms contained at codend, and towing duration. Third was a variable depth that not depended from the other parameters. Test of significance for four variables, i.e depth, warp length, horizontal opening, non demersal biota at codend which were affect to volume density at trawl dead zone, showed that only two variable warp length and depth were significant. It means that both variable warp length and depth were the main component, that would be determine the presence of trawl dead zone. Therefore, the model equations to estimate the volume density of demersal fish at trawl dead zone (DTDZ) was DTDZ = 1.83 + 1.07*Log Warp length – 3.45*Log Depth + ε. Principal component analysis showed that all measured environmental parameters, i.e fish density, family, weight, depth, substrate and macrobenthos abundance have role in the ecosystem of demersal fish in Tarakan waters. Both of substrate and macrobenthos have a direct relationship. While the other parameters partially correlated to the ecosystem. Spatial distribution of demersal fish in Tarakan waters showed that the distribution of fish density <50, 50-100, and >100 ind/100m3 were 67,5%, 10%, and 22,5% respectivelly. Discriminant analysis showed that both depth and substrate were discriminant variable, which would be able to significantly differentiate for three density categories. That both of variable have been able to significantly distinguished the state of demersal fish density at any area in Tarakan waters. The classification function determined that increased the depth variable, the density will be more inclined into low category. While increased the substrate variable, the density will be more inclined into high category. This means that if bottom depth more increase, demersal fish density would be lower and vice versa. While getting muddy bottom, fish density tend to be higher. Conversely, fish density will getting lower in sandy bottom. Keywords: acoustic, trawl, dead zone, density, demersal fish, Tarakan waters
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMBINASI METODE AKUSTIK DAN SURVEI TRAWL UNTUK MENINGKATKAN AKURASI PERHITUNGAN DENSITAS IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN TARAKAN
ASEP PRIATNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc
Judul Tesis : Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan Nama : Asep Priatna NIM : C451110121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota
Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 8 April 2014 (4 Februari 2014)
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Tesis yang berjudul ”Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada program studi Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ari Purbayanto, Prof. Dr. Domu Simbolon, dan Dr. Totok Hestirianoto selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu penyelesaian tesis ini. Selain itu kepada Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam perbaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Prof. Ali Suman selaku Kepala BPPL berserta tim survei laut demersal yang telah memfasilitasi sehingga kegiatan penelitian ini dapat terlaksana. Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dalam pemikiran dan tenaga sehingga tesis dapat diselesaikan. Tidak dipungkiri bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, hasil dan pembahasannya tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian penulis berharap isi tesis ini dapat bermanfaat dalam metode kajian stok khususnya sumberdaya ikan demersal di Indonesia.
Bogor, Mei 2014 Asep Priatna
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Tarakan Ikan Demersal Trawl Dasar Survei Akustik Tipe Substrat Dasar Laut
6 6 7 9 11 15
3 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Pengumpulan Data Analisis Data
16 16 16 17 19
4 HASIL Perbandingan Densitas Ikan Hasil Trawl dengan Akustik Densitas Ikan Demersal pada Dead zone Survei Trawl Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Stok Sumberdaya Ikan Demersal
30 30 33 39
4 PEMBAHASAN Perbandingan Densitas Ikan Hasil Trawl dengan Akustik Densitas Ikan Demersal pada Dead zone Survei Trawl Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Stok Sumberdaya Ikan Demersal
45 45 49 53
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
56 56 56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
69
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian 2 Trawl dasar (bottom trawl) 3 Skema perhitungan tinggi mulut jaring untuk bukaan tegak rendah dan bukaan tinggi 4 Metode swept area 5 Ilustrasi bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar perairan 6 Integrator akustik dead zone 7 Diagram Sand, Silt and Clay 8 Peta lokasi penelitian 9 Ilustrasi pengoperasian trawl simultan dengan akustik 10 Posisi stasiun trawl-akustik bulan Mei, Agustus dan November 2012 11 Skema teknik pengukuran jarak antara dua warp 12 Skema perhitungan pembukaan mulut trawl 13 Pembagian kolom perairan dalam pengintegrasian echo 14 Proses pengumpulan dan analisis data untuk tujuan pertama dan kedua 15 Proses pengumpulan dan analisis data untuk tujuan ketiga 16 Distribusi vertikal densitas ikan demersal (n/m3) terhadap dasar perairan pada waktu pengoperasian trawl selama penelitian 17 Kurva regresi linier antara nilai log densitas trawl dengan log-densitas akustik terkoreksi dead zone dan log-densitas akustik tidak terkoreksi dead zone 18 Regresi log-linier densitas trawl dengan densitas akustik 19 Diagram korelasi antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap masingmasing variabel teknis trawl 20 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F2 21 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan substrat pasir (kanan) 22 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap rasio panjang warp/kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan substrat pasir (kanan) 23 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap kedalaman (kiri) dan terhadap rasio warp/kedalaman (kanan) 24 Diagram korelasi antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap masingmasing variabel ekosistem 25 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F 26 Peta territorial centroid masing-masing kategori densitas ikan
5 9 10 11 14 14 15 16 17 17 18 19 21 28 29 31
31 32 35 36 38
38 39 40 41 44
DAFTAR TABEL 1 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran 2 Setting Parameter EY60 pada waktu akuisisi data akustik 3 Parameter regresi antara data akustik dengan data trawl untuk masingmasing layer relatif terhadap dasar perairan 4 Nilai statistik uji-t antara densitas akustik (n/m3) dan trawl (n/m3) 5 Rata-rata densitas dead zone trawl tiap trip dan perlakuan 6 Uji-t beda rata-rata densitas dead zone trawl antar dua trip 7 Matrik korelasi antar variabel 8 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen 9 Korelasi antara variabel dan faktor bersama 10 Uji-t dari empat variabel yang digunakan pada regresi 11 Koefisien variabel pada persamaan regresi 12 Tabel ANOVA untuk persamaan regresi model-2 13 Matrik korelasi antar variabel 14 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen 15 Korelasi antara variabel dan faktor bersama 16 Test statistik Wilk's L terhadap masing-masing variabel 17 Variabel yang membentuk fungsi diskriminan 18 Nilai akar ciri, persentase diskriminan, dan koefisien korelasi 19 Korelasi antara variabel bebas dengan fungsi diskriminan 20 Tingkat ketepatan pengklasifikasian besarnya densitas ikan demersal
15 18 30 32 33 33 34 34 34 37 37 38 39 40 40 42 42 43 43 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Aspek teknis operasional trawl Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan trawl Densitas ikan demersal dan kondisi lingkungan tiap stasiun trawl Contoh perhitungan tinggi backstep zone tiap stasiun akustik-trawl Uji-t terhadap densitas akustik-trawl pada masing-masing stasiun Desain dan spesifikasi jaring trawl dasar di Tarakan Wahana penelitian dan proses pengumpulan data
63 64 65 66 66 67 68
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak dua dekade terakhir ini sumberdaya ikan di Selat Makasar telah mengalami tekanan penangkapan. Peningkatan eksploitasi ikan demersal dan udang di pantai timur Kalimantan termasuk di perairan Tarakan sudah berlangsung sejak lama. Eksplotasi udang dan ikan demersal cenderung meningkat dengan beroperasinya metode penangkapan baru, yaitu mini trawl (pukat hela) dari kelas ukuran dibawah 30 GT yang berpangkalan di berbagai tempat dan beroperasi di perairan pantai. Informasi dari berbagai kegiatan menunjukkan bahwa armada penangkapan jenis mini trawl telah mencapai lebih dari 1000 unit yang berpangkalan di pantai Timur Kalimantan dengan daerah penangkapan telah menjangkau seluruh bagian perairan sampai dengan perairan dangkal dan terkonsentrasi di lokasi yang padat kelimpahan (Sadhotomo 2004). Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal di perairan Tarakan, harus disertai dengan suatu manajemen pengelolaan yang merupakan faktor terpenting dalam keberlanjutan eksploitasi sumberdaya ikan di perairan tersebut. Salah satu syarat agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan baik, adalah ketersediaan data dan informasi status stok yang akurat dan dapat dipercaya khususnya mengenai densitas ikan demersal yang cukup potensial di perairan tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang status stok ikan demersal di wilayah pantai timur Kalimantan seperti di perairan Tarakan sangat penting untuk dilaksanakan. Selain banyak dari jenis ikan ini yang bernilai ekonomis tinggi, juga tersebar di seluruh perairan Indonesia, seperti perairan Tarakan di Timur Kalimantan (DKP 2010). Ketersediaan data mengenai status stok dan penyebaran sumberdaya ikan demersal yang akurat dan dapat dipercaya merupakan informasi dasar yang sangat penting dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Kondisi kepadatan dan penyebaran stok ikan demersal di wilayah perairan Tarakan sudah seharusnya dilakukan, mengingat daerah ini merupakan salah satu sentra perikanan trawl demersal. Walaupun aktivitas perikanan trawl demersal di lokasi penelitian termasuk skala kecil, namun diharapkan dapat menjadi sampling site bagi sentra perikanan trawl di wilayah perairan lainnya. Teknik-teknik yang banyak digunakan dalam pendugaan stok di antaranya adalah metode operasi trawl dan metode akustik. Hidroakustik memiliki beberapa kelebihan untuk mengukur bias pada metode sapuan trawl dasar, mengingat bahwa seluruh kolom air disampling terus menerus, termasuk di atas headrope trawl tersebut. Oleh karena itu secara potensial ada manfaat substansial yang bisa didapat dengan menggabungkan dua metode tersebut untuk meningkatkan presisi dan akurasi dalam estimasi secara keseluruhan (McQuinn et al. 2005). Gabungan trawl dan hidroakustik selama survei penelitian untuk meningkatkan akurasi estimasi biomassa ikan bukanlah hal yang baru, beberapa penelitian diantaranya oleh Bez et al. (2007), yang melakukan perbandingan data akustik yang didapatkan bersamaan pada saat operasi trawl. Informasi sumberdaya ikan yang didapatkan melalui survei insitu akan memberikan manfaat yang lebih ketika survei tersebut dilakukan secara periodik
2 pada waktu yang berbeda dan berkelanjutan. Agar dapat dilakukan perbandingan yang baik antara survei satu dengan survei berikutnya, dibutuhkan konsistensi metode yang digunakan. Konsistensi metode yang harus diperhatikan meliputi skema sampling yang dilakukan untuk perolehan data, pemrosesan data dan analisis data, karena sekecil apapun perubahan baik itu dari segi sampling maupun pemrosesan dan analisis data yang dilakukan akan memberikan pengaruh terhadap data yang dihasilkan (Shevelev et al. 1998).
Perumusan Masalah Penggunaan trawl dasar sebagai sarana penelitian untuk menghitung potensi sumberdaya ikan demersal atau pendugaan stok dengan metode swept area sudah lama digunakan. Dalam survei dengan metode swept area, kemampuan tangkap (catchability) trawl serta kemampuan ikan untuk melolosakan diri (escapement factor) dari alat tangkap trawl dapat diestimasi. Perhitungan dapat dilakukan dengan pengoperasian trawl dasar simultan dengan pengoperasian hidroakustik. Penggunaan dua metode tersebut diharapkan akan mengungkapkan keuntungankeuntungan yang dapat diperoleh dan sekaligus juga kelemahan-kelemahan yang mungkin akan muncul (Shevelev et al. 1998), sehingga akan saling melengkapi dan meningkatkan akurasi dan presisi dalam estimasi status stok sumberdaya ikan di suatu perairan (Bez et al. 2007). Reaksi penghindaran ikan sebagai tingkah laku dalam merespon datangnya kapal maupun trawl, merupakan variabel yang sulit diukur. Tingkah laku alami seperti distribusi horizontal dan vertikal, reaksi penghindaran terhadap kapal dan trawl, mengindikasikan adanya perbedaan nilai kelimpahan ikan hasil pengukuran akustik dengan hasil trawl. Perbedaan nilai keduanya dapat mengestimasi seberapa besar ikan yang tidak dapat tertangkap oleh trawl. Perbandingan yang digunakan tidak lepas dari beberapa asumsi, mengingat begitu kompleksnya komponen-komponen dalam sistem integrasi kedua metode akustik-trawl. Pengetahuan detail tentang keterbatasan metodologi akan berguna ketika mencoba untuk mengukur dan berusaha untuk mengurangi bias dalam estimasi stok. Ada dua sumber utama yang mengakibatkan tidak akuratnya estimasi kelimpahan ikan demersal dengan survei trawl, pertama adalah kesalahan pengukuran, merupakan kesalahan sistematik atau bias yang timbul karena trawl tidak menangkap semua ikan yang tersedia pada jalur sapuannya, dimana efisiensi trawl atau "catchability" kurang dari satu. Kedua adalah kesalahan sampling, yang berkaitan dengan variabilitas spasial distribusi ikan (Grosslein dan Laurec 1982). Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui seberapa besar dan faktor-faktor penyebab dari kedua jenis kesalahan tersebut, guna memaksimalkan efisiensi desain survei trawl juga untuk meningkatkan akurasi dalam perhitungan tentang perubahan biomassa ikan. Pada pengoperasian trawl, sejumlah ikan yang tersedia pada jalur sapuan (catchability area) tidak akan tertangkap semuanya. Secara teknis, ini berarti bahwa ada ruang atau area yang tidak tersapu oleh jaring trawl (dead zone trawl), sehingga ikan yang berada pada deadzone trawl tidak dapat tertangkap. Melalui integrasi metode akustik dan trawl yang dioperasikan secara simultan, jumlah ikan yang berada pada dead zone trawl dapat diestimasi. Selain itu, melalui
3 pengukuran aspek teknis operasional trawl seperti kedalaman, panjang warp, bukaan trawl, kecepatan towing, durasi towing, kecepatan arus, dan kecepatan angin dapat diidentifikasi mengenai faktor-faktor teknis yang menyebabkan dead zone pada survey trawl. Pengetahuan mengenai faktor penyebab dead zone tersebut, akan bermanfaat dalam efisiensi teknis serta perbaikan metode pada pengoprasian trawl. Jenis kesalahan kedua adalah kesalahan sampling acak atau ragam. Nilai kepadatan stok ikan demersal yang diperoleh merupakan jumlah biomassa dari sumberdaya ikan terhadap luasan area yang diamati. Perolehan nilai kepadatan stok tersebut belum mencerminkan kondisi penyebaran sumberdaya ikan yang sebenarnya. Fakta bahwa ikan tidak terdistribusi secara merata melainkan membentuk rumpun-rumpun tertentu (shoal) menurut ruang dan waktu, yang menghasilkan variabilitas tinggi pada hasil tangkapan. Pola distribusi spasial ikan demersal terutama dipengaruhi oleh kedalaman suatu perairan. Selain itu dipengaruhi juga oleh tipe dasar dan kandungan substrat perairan, yang berfungsi menentukan densitas organisme lain seperti bentos sebagai sumber makanan ikan demersal (Hutabarat 2000). Analisis terhadap sebaran spasial berguna untuk mengetahui pola agregasi dari sumberdaya ikan di suatu perairan yang diamati sehingga dapat diprediksi keberadaan sebenarnya di alam. Pengetahuan distribusi spasial ikan tersebut sangat berguna dalam teknik dan strategi sampling dalam hal penentuan posisi stasiun trawl. Begitu kompleksnya berbagai faktor yang dapat menyebabkan bias dalam pengukuran kelimpahan ikan demersal dengan metode swept area, menuntut adanya suatu pengembangan metode dalam upaya mengurangi bias tersebut. Suatu sistem penelitian eksplorasi antara survei trawl, akustik, serta lingkungan biotik/abiotik yang dilakukan secara simultan, merupakan solusi yang dapat menghasilkan berbagai informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi perhitungan kelimpahan sumberdaya ikan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan adalah untuk: 1) Membandingkan densitas ikan demersal hasil survei trawl dengan akustik 2) Menentukan formula perhitungan densitas ikan demersal pada dead zone survei trawl 3) Menganalisis keterkaitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi densitas sumberdaya ikan demersal
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1) Informasi tentang kondisi dan distribusi stok sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan, yang berguna untuk menentukan karakteristik daerah penangkapan yang sesuai dalam usaha pemanfaatannya.
4 2) Pengembangan metode dalam upaya meningkatkan akurasi perhitungan dalam estimasi kelimpahan sumberdaya ikan demersal, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan perikanan trawl demersal secara berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian Sebagai upaya dalam meningkatkan akurasi perhitungan stok ikan demersal, dilakukan dengan pendekatan terpadu antara sampling trawl, akustik, dan lingkungan. Untuk memecahkan masalah bias dalam estimasi densitas ikan demersal sebagai akibat kesalahan pengukuran dalam estimasi kelimpahan dengan survei trawl, adalah dengan kombinasi metode swept area berdasarkan trawl yang simultan dengan akustik. Berdasarkan metode swept area akan diperoleh informasi nilai estimasi densitas relatif, standing stok, dan komposisi jenis ikan yang menghuni perairan. Hasil analisis terhadap perbedaan nilai densitas dari kedua metode dapat digunakan untuk mengkaji kemampuan tangkap (catchability) alat tangkap trawl yang digunakan. Perbedaan hasil pengukuran densitas ikan demersal hasil akustik dengan hasil trawl, mengindikasikan bahwa target ikan demersal yang berada pada jalur penangkapan (catchability area) tidak dapat tertangkap semuanya karena berada pada area yang tidak tersapu oleh jaring trawl (dead zone trawl). Selain estimasi terhadap besarnya densitas ikan demersal yang berada pada dead zone trawl, melalui integrasi kedua metode, faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya dead zone pada pengoprasian trawl dapat pula diidentifikasi. Melalui analisis hubungan faktor-faktor oseanografi dengan densitas ikan, dapat diketahui distribusi spasial sumberdaya ikan demersal. Keberadaan ikan di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Parameterparameter lingkungan yang dikaji adalah faktor kedalaman perairan, tipe substrat, dan makrozobentos, yang merupakan faktor paling berpengaruh terhadap penyebaran ikan demersal. Selain untuk pola penyebaran, kajian lingkungan juga digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesalahan sampling dalam penentuan posisi stasiun trawl secara stratified random sampling. Berikut batasan-batasan mengenai ruang lingkup dalam penelitian ini: 1) Trawl yang digunakan adalah jenis mini trawl dengan target utama adalah ikan demersal yang umum digunakan pada usaha skala kecil, dengan nama lokal adalah pukat hela; 2) Perikanan trawl skala kecil adalah kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan kapal ikan yang ukurannya kurang dari 30 GT; 3) Sumberdaya ikan demersal adalah berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya yang sebagian besar hidupnya menggunakan habitat dasar perairan; 4) Densitas ikan demersal adalah jumlah ikan demersal dalam suatu volume perairan tertentu, yang dinyatakan dalam satuan ekor/m3; 5) Akustik adalah suatu metode aplikasi echo target, yang digunakan untuk mengukur densitas ikan demersal secara langsung dan real time, yang ditempatkan tepat di bawah kapal dan jauh di depan trawl; 6) Catchability adalah kemampuan menangkap dari trawl yang digunakan terhadap ikan demersal yang berada pada area catchability
5 7) Area catchability adalah ruang yang tersedia pada jalur penangkapan selama proses penarikan jaring trawl; 8) Dead zone trawl adalah ruang atau area yang tidak tersapu selama proses penarikan jaring trawl; 9) Aspek teknis trawl adalah faktor-faktor yang berperan dalam suatu sistem operasi trawl, seperti kedalaman, panjang warp, kecepatan dan durasi towing; 10) Faktor lingkungan adalah parameter-parameter lingkungan pada habitat ikan demersal yang berpengaruh terhadap densitas maupun penyebarannya. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan suatu perbaikan metode untuk memecahkan permasalahan dalam meningkatkan akurasi perhitungan estimasi stok sumberdaya ikan demersal. Bagan alir kajian estimasi densitas ikan demersal menggunakan kombinasi metode akustik dan survei trawl di Perairan Tarakan dapat dilihat pada Gambar 1. Mengembangkan metode untuk meningkatkan akurasi perhitungan dalam pengkajian stok ikan demersal
Permasalahan utama
Informasi yang akurat sangat diperlukan dalam pengkajian stok ikan demersal
Informasi lingkungan yang berpengaruh terhadap SDI demersal masih terbatas
Saran pemecahan • pengkajian densitas dan biomassa ikan demersal • pengkajian kemampuan tangkap trawl • pengkajian pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap distribusi ikan demersal
Pemecahan masalah: pendekatan terpadu antara metode swept area, akustik, oseanografi
Trawl
Oseanografi
Hidroakustik
• Komposisi jenis hasil tangkapan • Densitas-trawl
Densitas-akustik
Biotik
• catchability • densitas pada dead zone trawl
• Kepadatan stok • Biomassa
• benthos
Abiotik
• Kedalaman • Tipe substrat
Hasil • Analisis perbedaan densitas ikan demersal hasil trawl dengan akustik • Formula perhitungan densitas ikan demersal pada dead zone survey trawl • Keteraitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan stok SDI
Gambar 1 Bagan alir kajian estimasi densitas ikan demersal menggunakan kombinasi metode akustik dan survei trawl
6
TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Tarakan Tiga kegiatan perikanan tangkap yang dominan (dalam jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan) terdapat di Kota Tarakan yaitu perikanan pukat tarik, perikanan tugu dan perikanan kelong. Pukat tarik (mini trawl) adalah alat tangkap ikan jenis jaring penangkap berbentuk kantong yang dilengkapi dengan sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board). Target penangkapannya (main catch) adalah udang dan ikan dasar (demersal). Pengoperasian alat tangkap ditarik melayang di atas dasar perairan oleh 1 (satu) buah kapal motor. Pada alat tangkap kelong (setnet) dan tugu (trapnet) hasil tangkapan utamanya yang dominan adalah ikan-ikan demersal dan udang. Alat tangkap tugu banyak terdapat pada wilayah timur laut perairan kota Tarakan, yang merupakan alat tangkap yang memanfaatkan ruaya ikan dalam proses penangkapannya. Alat tangkap kelong tersebar disepanjang pesisir pulau Tarakan, terutama pesisir barat. Target tangkapan (main catch) dari alat tangkap pukat tarik adalah udang dan ikan nomei, dengan spesifikasi alat seperti trawl (fishand shrimp trawl). Target tangkapan tugu adalah udang dan ikan demersal lainnya (economic fishes), demikian juga pada alat tangkap kelong. Hasil tangkapan sampingan pada ketiga jenis alat tangkap ikan tersebut diindikasikan terjadi karena alat tangkap tersebut memiliki spesifikasi (mesh size) pada bagian kantong yang sangat kecil sehingga tidak selektif terhadap ukuran ikan dan spesies (Firdaus 2005). Penelitian yang dilakukan Firdaus (2010) tentang hasil tangkapan dan laju tangkap secara kuantitatif yang menggambarkan komposisi hasil tangkapan dan nilai laju tangkap dari ketiga unit perikanan pukat tarik (mini trawl), tugu (trapnet) dan kelong (setnet) di Perairan Tarakan, menunjukkan bahwa dalam operasi penangkapan pukat tarik memiliki 2 (dua) target tangkapan, yaitu ikan pepija (nomei hc) dan udang (shrimp) dalam 2 (dua) musim penangkapannya. Ikan nomei juga menjadi target tangkapan pada pengoperasian perikanan tugu (trapnet) dan ikan-ikan pelagis kecil di sekitar pantai dan muara menjadi tangkapan utama perikanan kelong (setnet). Pengoperasian pukat tarik dengan target tangkapan ikan nomei memiliki nilai laju tangkap sebesar 16,1 kg/jam dan pada perikanan tugu memiliki nilai laju tangkapan sebesar 1,67 kg/jam. Nilai laju tangkap dari pengoperasian kelong sebesar 5,39 kg/hari dan pukat tarik dengan udang sebagai target tangkapan memiliki nilai laju tangkap sebesar 2,05 kg/jam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL 2012), status kekayaan jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Tarakan tercatat 86 spesies yang tergolong dalam 45 famili. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai base line data untuk dijadikan sebagai pembanding dengan perairan yang sama atau di perairan lain. Hasil penelitian di sekitar perairan yang berdekatan seperti Bulungan, Tarakan dan Nunukan pada bulan Agustus (Mulyadi et al. 2005) memperlihatkan kekayaan jenisnya relatif rendah (31 famili, 45 genus), tetapi di Selat Makasar lebih tinggi mencapai 175 spesies dari 59 famili (BPPL 2011). Perbedaan jumlah kekayaan jenis pada masing-masing perairan dapat terjadi, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan
7 luasan daerah yang disurvei, perbedaan waktu pelaksanaan atau tingkat ketajaman identifikasi spesies. Komposisi hasil tangkapan ikan demersal di Tarakan berbeda berdasarkan musim yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat hasil tangkapan didominasi oleh moa/belut laut, tenggiri, kakap merah (Lutjanus boutton), bawal putih, kerapu, kakap baramudi, pari, hiu, otek/manyung, dan kakap hitam sedangkan pada musim timur adalah 10 besar yang dominan adalah tenggiri, kerapu, moa/belut laut, kakap baramudi, otek/manyung, merah/Lutjanus boutton, pari, kakap hitam, senangin, bawal putih. Komposisi jenis ikan yang tertangkap tampak tidak berbeda di antara tiga trip penangkapan, indikasi tersebut menunjukkan bahwa musim angin (moonson) tidak berpengaruh. Kelompok ikan yang mendominasi umumnya adalah ikan peperek(famili Leiognathidae) dan kelompok ikan gulama (famili Scianidae). Memperhatikan variasi laju tangkap tiap musim, menujukkan bahwa musim angin berpengaruh terhadap bobot hasil tangkapan maupun distribusi secara horisontal. Hal tersebut diduga ada kaitannya dengan kondisi lingkungan, karena masingmasing memiliki karakteristik massa air yang berbeda. Laju tangkap tinggi cenderung terjadi pada musim selatan (Agustus), dimana kondisi salinitas dan suhu air tampak relatif tinggi (31,5‰ dan 29 oC), dibandingkan pada musim peralihan, bulan Mei (suhu 28,8 oC, salinitas 28,5‰) maupun musim utara bulan Nopember (suhu 28,5 oC, salinitas 29,5 ‰).
Ikan Demersal Habitat dan Penyebaran Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat perairan dengan ciri utama adalah : memiliki aktifitas yang relatif rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan ikan pelagis (Aoyama 1973 dalam Badrudin et al. 1998). Jenis ini banyak dijumpai di dekat perairan muara sungai yang merupakan daerah yang sangat subur secara ekologis, karena terjadi penumpukan zat hara dari daratan (Jasman 2001). Umumnya ikan demersal mengelompok pada perairan yang bersubstrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, karang dan karang berpasir. Hampir semua perairan sampai dengan kedalaman 100 meter dengan permukaan dasar relatif rata, jenis substrat lumpur dan lumpur berpasir serta sedikit berkarang merupakan daerah penyebaran yang potensial untuk penangkapan ikan demersal. Menurut Badrudin et al. (2004) pola sebaran ikan kurisi (Nemipteridae) kepadatan stoknya makin tinggi dengan makin dalamnya perairan. Ikan kurisi cenderung mengelompok pada perairan yang lebih dalam. Ikan beloso (Synodontidae) sebarannya makin tinggi dengan makin dalamnya perairan. Ikan kuniran (Mullidae) merupakan jenis ikan lepas pantai. Ikan layur (Trichiuridae) cenderung menggerombol di perairan dangkal pada kedalaman 10 – 20 m. Ikan peperek(Leiognathidae) merupakan ikan yang menggerombol di perairan dangkal. Biota lain yang hidup di dasar dekat perairan meliputi jenis Crustacea (udang, rajungan, kepiting) dan jenis Mollusca (cumi-cumi, sotong, gurita, tiram, simping,
8 remis dan kerang dasar) dan binatang lainnya (teripang, binatang laut). (Dwiponggo 1983 dalam Mulyadi et al. 2001). Menurut Laevastu dan Hayes (1987) pada umumnya ikan demersal melewatkan waktu siang di dasar perairan dan menyebar pada kolom air, hal ini dilakukan untuk menghindari konsentrasi pytoplankton yang pada waktu siang hari mengeluarkan zat beracun. Substrat dasar sangat mempengaruhi kelimpahan populasi ikan demersal. Dibanding sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil, tetapi banyak dari jenis ikan ini yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan demersal tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan Sunda dan Laut Arafura dengan kecenderungan kepadatan atau sediaan potensi tinggi di daerah pantai. Daerah penangkapan ikan demersal di Indonesia cukup luas, antara lain meliputi hampir seluruh perairan Paparan Sunda yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Juga di Paparan Sahul yang mencakup Laut Arafura yaitu sekitar Dolak, Tembaga Pura, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Selain itu di perairan pantai barat Sumatera mulai dari Aceh Barat, pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kesemuanya merupakan daerah penangkapan yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Akibat aktifitas yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan relatif rendah dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Sehingga terdapat asumsi bahwa apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali, maka mortalitas penangkapan (fishing mortality) meningkat dua kali (Wigan 1998). Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies, akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears) ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu (trap) dan lain sebagainya. Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis species dimana komposisi hasil tangkapan masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain. Faktor Lingkungan Suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan demersal tidak bersifat sendirisendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi kepadatan biomassa ikan demersal (Ridho et al. 2004). Ruaya ikan demersal tidak didasarkan pada pengaruh suhu, salinitas atau makanan, tetapi untuk berpijah (Efendi 2002). Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan ikan demersal yang baik. Contoh dari
9 perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan serta Paparan Sahul). Yusof (2002) menyatakan bahwa perbedaan jumlah hasil tangkapan diperoleh pada kedalaman yang berbeda. Hasil penelitiannya di perairan Peninsular Malaysia yaitu pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m, hasil tangkapan pada kedalaman 5-18 m tertangkap 62–89 spesies sementara pada kedalaman lebih dari 18 m diperoleh jumlah spesies yang lebih banyak yaitu 154-191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%), dan Synodontidae (3,18%). Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al. 1989 vide Suharto 1999). Hasil penelitian Masrikat (2009) menunjukkan bahwa ikan demersal tertangkap dengan jumlah individu terbanyak ditemukan pada lokasi dengan dasar perairan lumpur berpasir. Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ada dua kelompok dari scorpaeniformes yang melimpah di daerah tropis, biasanya pada substrat dasar perairan yang berpasir. Sciaenidae menyukai daerah substrat yang berlumpur dan ikan snapper menyukai daerah yang berbatu-batu. Faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan yaitu pepeperek(leiognathus splendens), biji nangka (Upeneus sulphureus), kurisi (Nemipterus japanicus), pepeperek(Leiognathus bindus) dan beloso (Saurida longimanus) (Pujiyati 2008).
Trawl Dasar Trawl dasar (bottom trawl) merupakan jaring yang berbentuk kerucut dengan mulut terbuka lebar yang ditahan oleh pemberat pada tali ris bawah dan pelampung pada tali ris atas (Gambar 2). Pada waktu kapal bergerak, mulut jaring akan dipertahankan untuk tetap terbuka oleh kedua buah otter board (berbahan kayu atau besi) yang dipasang pada warp secara seimbang sehingga cenderung untuk berpencar. Kedua otter board dihubungkan ke bagian jaring dengan bridles, dari otter board disambung ke kapal dengan tali penarik (warp). Bridles ini bisa mencapai panjang 200 meter dan dapat menyapu dasar perairan yang luas, menakut-nakuti ikan dan menggiringnya ke muka jaring hingga meningkatkan efektifitas jaring (Sparre dan Venema 1999).
Gambar 2 Trawl dasar (bottom trawl) (sumber: Sparre and Venema 1999)
10 Prinsip dasar dari metode penangkapan ikan dengan trawl adalah menyaring air dengan jaring agar ikan yang berada di dalam kolom air tersebut tersaring, sehingga ikan tersebut terkumpul dibagian kantong jaring. Jaring ditarik dengan menggunakan kapal motor, arah dan kecepatannya sama dengan kecepatan kapal. Kecepatan menarik jaring disesuaikan dengan kecepatan renang ikan hasil tangkapan. Mulut jaring diusahakan membuka seluas mungkin, ditarik dengan kecepatan tertentu pada selang waktu tertentu, menempuh suatu lintasan dengan harapan mendapatkan sejumlah hasil tangkapan tertentu (Ayodhyoa dan Baskoro 1996). Trawl merupakan alat tangkap yang bersifat aktif, artinya alat ini dalam pengoperasiannya mengejar sasaran. Alat ini juga bersifat non selektif, karena selain ikan demersal yang tertangkap, terdapat juga jenis ikan pelagis yang diduga tertangkap pada saat jaring sedang hauling. Disamping itu berbagai ukuran ikan dapat tertangkap. Oleh karena karakter dan efektivitasnya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan demersal maka trawl dasar secara luas telah dipergunakan untuk memonitor stok ikan demersal di suatu wilayah perairan, khususnya untuk mengetahui indeks kelimpahannya (Spare dan Venema 1999). Bukaan horizontal mulut trawl Pembukaan mulut jaring ke samping (horizontal net opening) atau biasa disebut dengan lebar mulut jaring trawl. Selama towing, bukaan ini sangat bervariasi tergantung pada kecepatan towing, kondisi cuaca, keadaan dasar perairan, arus, warp, sudut yang dibentuk wire terhadap otter board, serta desain trawl itu sendiri (Fridman 1986). Menurut FAO (1993) bukaan kesamping trawl adalah sebesar h x X2, dimana h adalah panjang ris atas, X2 adalah koefisien. Koefisien untuk kawasan Asia Tenggara berkisar antara 0,4-0,66 (FAO, 1993). Paully (1983) menyarankan nilai pendekatan X2=0,5. Sparre and Venema (1992) menganjurkan untuk memperkirakan besarnya bukaan trawl adalah dengan cara mengukur beda sudut bukaan warp pada gallows. Bukaan vertikal mulut trawl Skema perhitungan tinggi mulut jaring (vertical opening) disajikan pada Gambar 3 (FAO 1990). S
S
Vo
Vo
HR
HR
a
a
N
N
Gambar 3 Skema perhitungan tinggi mulut jaring untuk trawl bukaan tegak rendah (kiri) dan bukaan tinggi (kanan)
11 Untuk trawl dasar 2 panel dengan bukaan tegak rendah vertical opening dapat dihitung dengan persamaan (FAO 1990): VO = 2 x N x a x 0,05 sampai 0,06 ……………………. (1) Sementara trawl dasar 4 panel dengan bukaan tinggi vertical opening dapat dihitung dengan persamaan (FAO 1990): VO = 2 x N x a x 0,06 sampai 0,07 ……………………. (2) dimana: Vo = bukaan vertikal mulut jaring N = lebar dihitung menurut jumlah mata bagian depan jaring a = lebar mata dihitung dalam meter pada tiap-tiap bagian jaring Metode Swept area Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan dengan cara menyapu suatu area perairan yang akan diduga stoknya dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar (bottom trawl). Alat ini memiliki selektivitas yang rendah sehingga daya tangkapnya tinggi (Aziz 1989). Metode ini digunakan untuk menghitung rata-rata hasil tangkapan per satuan upaya atau per satuan luas dan dikenal dengan indeks kelimpahan stok. Indeks ini kemudian diubah dalam satuan ukuran absolut dari biomassa. Biomassa dihitung dengan melakukan beberapa dugaan terhadap hal-hal yang dianggap kritis. Berkaitan dengan dilakukannya pendugaan, mungkin ditemukan adanya kekurang telitian (Tampubolon 1991). Pada penentuan besarnya stok dengan metode swept area digunakan asumsi, yaitu (1) terdapat hubungan yang proporsional antara hasil tangkapan per satuan upaya dengan kepadatan stok (upaya penangkapan konstan), (2) rata-rata kepadatan stok dari bagian yang diteliti menyebar merata di seluruh daerah survei. Pada prinsipnya, metode ini memperoleh hasil tangkapan per satuan luas (kg/m2) atau volume (kg/m3) sebagai ukuran kelimpahan stok sumberdaya ikan demersal. Hasil tangkapan per satuan waktu dikonversi menjadi hasil tangkapan per satuan luas, melalui luas sapuan jaring per satuan waktu (Gambar 4).
Gambar 4 Metode swept area (sumber: Sparre and Venema 1999)
Survei Akustik Target Strength Target strength (TS) adalah ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu target untuk memantulkan gelombang suara yang datang mengenainya. Kekuatan pantulan gema (echo) dari ikan atau target lainnya umumnya disebut target strength (Ehrenberg 1983). Nilai TS individu ikan bergantung pada ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transducer, keberadaan gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang,
12 kekenyalan kulit dan distribusi sirip ekor) walaupun pengaruh elemen terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak berbeda jauh dari air sebagai medium hidup. TS dapat didefinisikan dalam rumusan intensity target strength atau energi target strength. Formulasi intensitas target strength (intensity target strength) adalah sebagai berikut: r TSi = 10 log ……………………………..… (3) dimana: TSi = Target strength intensity Ir = Intensitas suara pantulan pada satu meter dari target Ii = Intensitas suara yang mengenai target Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering cross section (σbs) dari sinyal target yang kembali, hubungan antara TS dan σbs dinyatakan dalam bentuk: TS = 10 log(σbs) ……………………………….. (4) Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai TS adalah ukuran ikan. Untuk spesies yang sama, pada umumnya makin besar ukuran ikan, makin besar nilai TS-nya. Secara akustik, ukuran panjang ikan (L) berhubungan dengan scattering crossection (σbs) menurut persamaan σbs = aL2 yang dengan demikian hubungan antara target strength (TS) dan L menjadi sebagai berikut TS = 20 log(L) + A ………………………..…… (5) di mana A adalah nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) yang bergantung pada jenis spesies ikan. Khusus untuk ikan-ikan yang mempunyai gelembung renang (bladder fish), hubungan linear tersebut sudah banyak diteliti dan diuji kebenarannya (MacLennan dan Simmonds 2005), akan tetapi untuk ikan-ikan yang tidak mempunyai gelembung renang (bladderless fish) masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam kenyataannya nilai 20 log L dalam persamaan di atas juga bervariasi karena sangat tergantung dari spesies ikan dan faktor-faktor instrumen yang digunakan. Dengan mengetahui nilai A tersebut sebenarnya secara kasar dapat membedakan spesies ikan. Namun untuk mengetahui spesies ikan yang sebenarnya, selain memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi echogram, juga perlu verifikasi dengan alat penangkapan ikan, underwater camera/video camera dan sebagainya. Pada hubungan TS dan L untuk ikan demersal seperti cod, haddock dan redfish, Jakobsen et al. (1997) dan Hjellvik et al. (2003) menggunakan persamaan: TS = 20 log(L) - 68 ………………………..…… (6) Integrasi Echo Metode Integrasi echo (Echo Integration, EI) telah lama digunakan untuk memperkirakan kelimpahan ikan. Perhitungan densitas ikan dilakukan dengan mengintegrasikan echo yang berasal dari kelompok-kelompok ikan yang terdeteksi. Kelompok ikan tersebut dianggap membentuk suatu lapisan perairan dengan tebal perairan sesuai dengan ketebalan kelompok ikan. Lapisan perairan ini merupakan bidang-bidang datar dan integrasi echo dilakukan untuk bidang datar berlapis-lapis dan berturut-turut hingga seluruh volume perairan yang dibentuk kelompok ikan terintegrasi secara keseluruhan (Simmonds dan MacLennan 2005). Metode EI merupakan teknik yang efisien dan dapat dipercaya untuk pendugaan stok ikan, karena itu berlaku untuk setiap pola distribusi ikan,
13 schooling, ikan yang tersebar, atau berlapis-lapis, dan mudah diimplementasikan oleh program komputer terkini. Secara historis, integrator pada split beam echo sounder melakukan integrasi dengan arah vertikal dalam lapisan-lapisan perairan dan merata-ratakan secara horizontal sepanjang alur pelayaran. Namun, pada prinsipnya, rata-rata horisontal sangat penting dan lebih baik untuk dilakukan terlebih dahulu. Teknologi komputer digital telah memungkinkan urutan integrasi, dan dapat merata-rata berdasarkan ping untuk setiap sampel data berkecepatan tinggi (Furusawa 2011). Berbeda dari echo integrator analog, berkat teknologi digital yang sangat maju, saat ini integrasi atau rata-rata echo, pertama dibuat berdasarkan ping dan kedua berdasarkan jarak. Sv rata-rata <Sv> dari proses integrasi untuk setiap sel (rw × J) diperoleh dengan persamaan (Furusawa 2011): …………...…...…. (7) dimana: r ke r + rw = kisaran lapisan integrasi j = indeks ping J = periode integrasi Sv = raw Sv dengan rata-rata tersebut, maka ada kemungkinan untuk mengasumsikan bahwa distribusikan schooling ikan yang sangat besar dan homogen dapat diamati. Dead zone akustik di dekat dasar perairan Akustik dead zone adalah zona di dekat dasar perairan dimana ikan tidak dapat di deteksi secara akustik yang disebabkan oleh efek aditif dari volume zona yang tidak tercakup (unsample zone) oleh bim akustik (Ona and Mitson 1996). Pada konteks akustik pulsa tunggal, dasar perairan merupakan variabel kedalaman dengan perubahan kontur skala kecil dan berbagai tingkat kekasarannya. Pantulan echo dari ikan biasanya mempunyai amplitudo lebih kecil dari echo dasar perairan, dan ketika posisi ikan sangat dekat dengan dasar perairan, echo keduanya secara efektif untuk bersatu, dimana tidak ada pemisahan antar kedua echo tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam estimasi kelimpahan total dari agregasi ikan di dekat dasar laut, terdapat keterbatasan deteksi maupun diskriminasi untuk ikan pada zona tersebut. Hal ini memerlukan studi dari faktor-faktor yang secara unik mempengaruhi pulsa akustik dan echo ketika ikan dan dasar perairan saling berdekatan satu sama lain. Pada survei untuk mengestimasi kelimpahan ikan demersal, sangat penting untuk mengetahui faktor lain yang berpengaruh pada sampling di daerah dekat dasar perairan. Proses estimasi membutuhkan pengetahuan tentang faktor koreksi yang harus diterapkan untuk mengkompensasi jarak aman (backstep) dan acoustic dead zone melalui intervensi manual untuk memulai integrasi echo. Hasil tangkapan trawl dasar dengan kelimpahan yang cukup besar, yang diperoleh setelah terlebih dahulu mengkoreksi rekaman dasar laut “clean bottom recordings” pada echogram terutama di perairan dangkal, dapat meyakinkan bahwa pada akustik dead zone terdapat sejumlah ikan yang tetap tidak terdeteksi oleh echosounder (ICES 1995).
14 Kondisi ikan di dekat dasar perairan hubungannya dengan akustik dead zone dilustrasikan pada Gambar 5 (Ona and Mitson 1996). Gambar 5 merupakan ilustrasi yang menunjukkan bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar perairan. Objek nomor 1 sampai 7 merupakan bagian lintasan ikan dengan ketinggian dorsi-ventral fh. Posisi ikan ditempatkan pada posisi strategis untuk menggambarkan beberapa faktor yang terjadi ketika mendeteksi ikan dekat dasar perairan. Selain itu berguna dalam integrasi echo selanjutnya. Posisi ikan 1, 2, dan 3 menyentuh dasar perairan, dan jelas hanya ikan-1 yang akan terdeteksi, meskipun echo-nya tidak akan selesai dipisahkan dari echo dasar laut. Untuk ikan 6 dan 7, wavefront telah melalui sebagian dari mereka, pada saat itu sumbu bim akustik (acoustic beam axis) menyentuh dasar laut. Pada posisi ikan tersebut, maka yang akan dipantulkan hanya echo secara parsial. Ikan nomor 4 dan 5 akan tampak berada pada dasar perairan karena berada pada kisaran yang sama seperti dasar laut. Setelah wavefront pada sumbu akustik mengenai dasar laut, mungkin tidak banyak ikan yang terdeteksi, sehingga ikan 2 dan 3 akan tertingal karena berada di acoustic dead zone (ADZ).
Gambar 5 Ilustrasi bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar perairan yang terdapat ikan pada berbagai posisi terhadap bim akustik Mitson (1983) mengambil pendekatan yang sederhana dan menyimpulkan bahwa pasti ada dead zone, dimana ketinggiannya didefinisikan sebesar cτ/2 di atas dasar laut, di mana c adalah kecepatan perambatan gelombang dalam meter/detik dan τ adalah durasi pulsa yang ditransmisikan dalam detik. Ona dan Mitson (1996) mendefinisikan integrator dead zone terdiri tiga zona (Gambar 6). Acoustic dead zone (ADZ) adalah zona dimana echo ikan yang lemah melebur di dalam echo dasar laut yang kuat. Backstep zone (BSZ) adalah zona yang diatur manual untuk menghilangkan celah echo dasar laut yang masuk dalam integrasi. Partial integration zone (PIZ) sebagai zona dimana echo ikan tidak sepenuhnya terintegrasi. Jumlah ketiga zona disebut integrator dead zone (IDZ).
Gambar 6 Integrator akustik dead zone (Ona and Mitson 1996)
15 Integrasi echo ikan di dekat dasar laut belum tentu mudah karena gangguan (interference) dari kuatnya gema dasar laut. Alasan utama dari kesulitan tersebut adalah ikan yang terasosiasi di dalam IDZ tersebut. Kasus akustik dead zone tersebut telah lama dibahas serta beberapa metode pemecahan telah dikemukakan. Furusawa (2011) mengemukakan bahwa keberadaan dead zone tersebut tidak begitu parah seperti yang telah ditekankan. Diperlukan pemahaman yang benar tentang zona ini, misalnya pada unsample zone yang dapat diukur, yang sebelumnya membingungkan untuk masalah dead zone.
Tipe Substrat Dasar Laut Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dapat diklasifikasikan yaitu lumpur (mud), pasir (sand) dan kerikil (gravel) (Poerbondono dan Djunasjah 2005). Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah untuk menentukan klasifikasi sedimen. Tabel 1 merupakan klasifikasi berdasarkan ukuran partikelnya menurut Dale dan William (1989). Tabel 1 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran
Jenis Partikel Boulder (batu besar) Cobble (batu kecil) Pebble (batu kerikil) Granule (butir) Sand (pasir) Silt (Lumpur) Clay (tanah liat)
Diameter Partikel (mm) > 256 64 – 256 4 – 64 2–4 0,062 – 2 0,004 – 0,062 < 0,004
Karakteristik sedimen dapat menentukan morfologi fungsional, tingkah laku dan kendali terhadap distribusi bentos. Adaptasi terhadap tipe substrat akan menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme terhadap suhu, salinitas dan faktor kimia kimia lainnya (Hutabarat dan Stewart 2000). Klasifikasi sedimen dilakukan menggunakan diagram pasir, lumpur dan tanah liat (Gambar 7).
Gambar 7 Diagram sand, silt and clay (Blott dan Kenneth 2001)
16
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Survei eksplorasi yang terdiri dari operasi trawl dasar yang simultan dengan deteksi hidroakustik telah dilaksanakan pada bulan Mei, Agustus, dan November 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Tarakan dan sekitarnya (Gambar 8) yang merupakan daerah operasi penangkapan (fishing ground) ikan demersal dan udang oleh trawl dasar (pukat tarik/pukat hela). Data dan informasi yang digunakan pada penyusunan tesis ini adalah hasil survei yang merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Perikanan Laut, dengan judul “Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP 716-Laut Sulawesi dan WPP 712-Laut Jawa”, dimana penulis terlibat di dalam kegiatan tersebut. 3.6° P. Baru
P. Bunyu 3.5°
Lintang utara
3.4° P. Tarakan
3.3°
3.2°
3.1°
3° 117°
117.1°
117.2°
117.3°
117.4°
117.5°
117.6°
117.7°
117.8°
117.9°
118°
Bujur timur
Gambar 8 Peta lokasi penelitian
Alat dan bahan Peralatan dan bahan yang digunakan selama penelitian diantaranya adalah 1) Armada pukat hela milik nelayan setempat berukuran 20 GT sebagai wahana penelitian, beserta jaring trawl dasar (pukat hela) untuk menangkap ikan demersal. 2) Perangkat akustik SIMRAD EY-60, frekuensi transducer 120 KHz untuk akuisisi data akustik dan kedalaman, dilengkapi dengan GPS untuk menentukan posisi kapal dan target ikan. 3) Van veen grab, untuk mengambil sampel substrat dasar dan benthos 4) Ayakan, digunakan untuk menyaring benthos dari substrat dasar perairan dengan ukuran mata saringan 500 µm (no.35). 5) Timbangan, untuk mengukur bobot tiap jenis hasil tangkapan trawl
17 6) Inclinometer, untuk mengukur sudut kemiringan warp 7) Meteran, mengukur panjang antar blok pada buritan dan jarak antar warp.
Prosedur Pengumpulan data Hasil tangkapan trawl Sistem trawl dasar digunakan untuk mengumpulkan data tangkapan ikan demersal, rata-rata waktu penarikan jaring (towing) adalah 1 jam dengan rata-rata kecepatan 3 knot untuk tiap stasiunnya. Setiap proses pengoperasian trawl tersebut simultan dengan akuisisi data akustik (Gambar 9).
Gambar 9 Ilustrasi pengoperasian trawl simultan dengan akustik Pada survei bulan Mei, Agustus, dan November 2012 masing-masing telah diperoleh sebanyak 21, 20, dan 21 stasiun trawl-akustik (Gambar 10). Biota hasil tangkapan tiap stasiun trawl disortir, ditimbang, dan ditabulasi berdasarkan jenisnya. Identifikasi jenis ikan berdasarkan referensi Kailola dan Trap (1984). 3.6° P. Baru
P. Bunyu 3.5°
3.4° P. Tarakan
3.3°
3.2°
3.1°
Keterangan: Mei Agustus November
3° 117.3°
117.4°
117.5°
117.6°
117.7°
117.8°
117.9°
118°
118.1°
Bujur timur
Gambar 10 Posisi stasiun trawl-akustik bulan Mei, Agustus dan November 2012
18 Bukaan mulut trawl Teknik pengukuran bukaan horizontal mulut jaring dengan mengukur panjang tali penarik (warp) pada setiap towing (AB), mengukur jarak antara dua warp pada posisi antar dua blok (A-AI), dan mengukur jarak antara dua warp pada posisi 1 meter dari blok (A2-A4), skema teknik pengukuran jarak antara dua warp disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Skema teknik pengukuran jarak dua warp (sumber: Suharto 1999) Akustik Akuisisi data akustik adalah simultan dengan pengoperasian trawl, sehingga lintasan perekaman data akustik akan sama dengan posisi dan jarak selama towing (Gambar 9). Pengumpulan data akustik-trawl dimulai dari perairan Juata Laut (perairan Tarakan bagian Utara) menuju ke arah timur dan selanjutnya ke arah selatan (Gambar 10). Area penelitian secara spesifik dibagi menjadi 3, yaitu perairan Juata laut, sebelah timur, dan sebelah selatan Pulau Tarakan. Distribusi area penelitian tersebut terkait dengan daerah penangkapan untuk masing-masing jenis ikan demersal oleh nelayan setempat yaitu armada pukat hela. Perekaman data menggunakan sofware ER60. Tabel 2 adalah pengaturan parameter-parameter sistem akustik pada waktu akuisisi data. Tabel 2 Setting Parameter EY60 pada waktu akuisisi data akustik Parameter Frequency Pulse Duration Power transmit Sound speed Absorption Coef.
Nilai 120 KHz 0.512 ms 50 watt 1545 m/s 38.52 dB/km
Parameter lingkungan Faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan keberadaan ikan demersal meliputi tipe substrat dasar, kelimpahan makrozoobenthos, serta kedalaman perairan. Pengambilan sampel substrat dan benthos untuk masing-masing stasiun, dilakukan pada setiap akhir pengoperasian trawl atau saat hauling, menggunakan Van veen grab berukuran 20 x 20 cm2. Untuk benthos, sampel substrat disaring menggunakan ayakan 500 µm. Tiap sampel dari masing-masing stasiun ditampung dalam botol sampel 100 ml dan diawetkan dengan formalin 4%. Sementara informasi kedalaman perairan tiap stasiun trawl diperoleh deteksi echosounder yang tercatat secara otomatis bersama dengan data akustik.
19 Analisis Data Volume saringan trawl Perhitungan estimasi volume saringan trawl adalah dengan mengalikan luasan area yang disapu (swept area) dengan tinggi bukaan mulut jaring trawl. Perhitungan dilakukan untuk setiap stasiun trawl, yang kemungkinan besar akan terjadi perbedaan nilai volume pada masing-masing stasiun. Volume air yang tersaring (m3) digunakan untuk menentukan nilai densitas ikan tiap stasiun trawl (kg/m3). Teknik pengukuran bukaan horizontal mulut jaring memanfaatkan persamaan trigonometri. Pembukaan mulut jaring ke samping (horizontal opening) dihitung dengan mengasumsikan bahwa jaring trawl berbentuk bangun kerucut pada saat dioperasikan (Gambar 12).
Gambar 12 Skema perhitungan pembukaan mulut jaring ke samping Bukaan mulut jaring dihitung dengan (Tampubolon dan Monintja 1995): BB’ = (HB-AI)/2 Sin α = BB’/AB = CC’/AC CG = (2 x CC’) + AI DF/CG = DE/CE DF = (DE/CE) x CG ……….……...…………… (8) dimana: AI = jarak antara dua blok HB = jarak antara dua warp, diukur 1 meter dari blok ke arah jaring AC = panjang warp CD = panjang net pendant + otter pendant DEF = panjang tali ris atas CG = jarak antara dua otterboard DF = bukaan horizontal mulut jaring Luas area yang tersapu oleh trawl dihitung dengan (Pauly et al. 1996): A = DF x V x t ………..……….…..…..……….. (9) dimana : A = luas area yang disapu oleh trawl (m²) DF = bukaan horizontal mulut jaring (m) V = kecepatan kapal (m/detik) t = waktu penarikan trawl (detik)
20 Jaring trawl yang digunakan pada penelitian ini adalah trawl dasar 2 panel dengan bukaan tegak rendah, sehingga bukaan vertikal (vertical opening) dapat dihitung dengan persamaan (FAO 1990): VO = 2 x N x a x 0,05 ……………..………… (10) Volume air yang tersaring dihitung dengan persamaan (Mustofa, 2004): Va = A x Vo ……………………...…..…...….. (11) dimana : Va = Volume air yang tersaring (m³) A = luas sapuan jaring trawl (m2) Vo = bukaan vertikal dari mulut jaring (m) Hasil tangkapan trawl Data hasil operasi trawl diolah dengan persamaan-persamaan pada metode swept area untuk mendapatkan densitas dalam jumlah individu ikan per satuan volume (jumlah individu/m3). Jenis ikan yang memiliki presentasi jumlah individu paling tinggi dianggap sebagai jenis yang mendominasi. Pada jenis ikan yang dominan tersebut dilakukan pengukuran panjang dan bobot tiap individu, data tersebut digunakan untuk verifikasi data akustik. Selain itu juga dicari frekuensi kemunculan spesies di seluruh stasiun yang memiliki kemunculan lebih dari 50% dari jumlah stasiun trawl. Data akustik Mengingat posisi trawl berada jauh di belakang kapal dengan jarak yang bervariasi tergantung pada kedalaman dasar laut. Oleh karena itu, data akustik yang dianalisis dari masing-masing stasiun trawl adalah echogram yang sesuai dengan jarak towing mulai dari posisi trawl sampai di dasar sampai dengan posisi trawl mulai diangkat (houling). Posisi GPS dan waktu dari posisi awal dan akhir towing dicatat. Kedalaman perairan tiap stasiun trawl berdasarkan echogram di estimasi dari rata-rata kedalaman setiap ping akustik dan dikoreksi (ditambah dengan kedalaman permukaan transducer) 1 meter. Perbedaan jarak horizontal antara kapal dengan trawl diestimasi secara geometrik berdasarkan panjang warp dan kedalaman periaran (Wallace dan West 2006) yaitu: (warp2 – kedalaman2)1/2 ………………….…… (12) Data akustik dianalisis (scrutinize) dengan menggunakan software Echoview versi 4.8. Nilai TS, Sv, dan NASC diintegrasi berdasarkan jarak. ESDU (elementary sampling distance unit) setiap 100 meter (Mello et al. 2009). Ketinggian acoustic dead zone (ADZ) atau backstep zone (BSZ) dari dasar laut diestimasi menggunakan persamaan teori yang dikemukakan oleh Ona dan Mitson (1996): ……………… (13) dimana: dek,i = rata-rata kedalaman perairan (m) pada ESDU ke-i c = kecepatan suara = 1545.32 m/s τ = durasi pulsa = 0.512 ms θ = 3,5o
21 Penetapan BSZ bertujuan untuk meminimalkan integrasi echo dari dasar laut. Batas BSZ (offset) dipastikan tidak memotong dasar laut, untuk mendapatkan nilai integrasi yang akurat karena jumlah sekecil apapun integrasi dasar laut dapat meningkatkan backscatter echo ikan (von Szalay et al. 2007). Berdasarkan metode yang dipakai oleh Aglen (1996), dimana data akustik digunakan untuk menduga respon atau reaksi vertikal ikan demersal selama penelitian berlangsung. Kolom perairan dibagi 5 layer dengan interval 1 meter. Layer pertama dimulai dari kedalaman BSZ sampai 1 meter diatasnya, dan seterusnya (Gambar 13). Permukaan ESDU
ESDU
Ikan semi demersal
Ikan jauh dari dasar
Head rope
Ikan dekat dasar BSZ Dasar laut
Gambar 13 Pembagian kolom perairan dalam pengintegrasian echo akustik Nilai densitas ikan secara akustik diperoleh dengan mengintegrasikan tiap layer dari masing-masing stasiun trawl untuk melihat distribusi sebaran ikan relatif terhadap dasar perairan (Mello et al. 2009). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan masing-masing layer terhadap densitas hasil tangkapan ikan demersal. Densitas akustik masing-masing layer sebagai variabel bebas, sementara hasil tangkapan sebagai variabel tak bebas. Selanjutnya layer yang digunakan adalah kolom perairan yang memilki korelasi signifikan terhadap hasil tangkapan (P-value < 0,05). Korelasi yang signifikan antar kedua variabel menunjukkan bahwa kolom perairan tersebut termasuk dalam area jelajah ikan demersal. Keberadaan ikan sebagai respon gerak vertikal, diestimasi dengan membandingkan koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan regresi tiap layer (von Szalay et al. 2007). Jumlah ikan pada ADZ diestimasi dengan asumsi bahwa densitas ikan pada zona tersebut adalah sama dan tergantung pada kondisi ikan pada lapisan tipis tepat diatas ADZ-nya, yang mana pada kolom perairan ini memungkinkan untuk dilakukan estimasi densitas ikan secara akustik. Asumsi tersebut mungkin masih konservatif, mengingat densitas ikan demersal diduga dapat menyebar vertikal lebih tinggi lagi dari dasar periaran (von Szalay et al. 2007). Estimasi nilai Nautical Area Scattering Coeficient (NASC) pada ADZ masing-masing stasiun, diperoleh dengan mengekstrapolasi nilai SV pada kolom perairan diatas ADZ terhadap ketinggian backstep (Kloser et al. 1996). NASCi = 10Svi/10 x BSZi x 1852 x 4π ………………….. (14) Selanjutnya, integrasi data akustik dilakukan pada kolom perairan mulai dari batas backstep sampai ketinggian 2,5 meter (estimasi tinggi headrope berdasarkan persamaan 10) dari dasar. Ini bertujuan untuk memperoleh densitas ikan demersal
22 yang sinkron dengan tinggi bukaan vertikal trawl, sehingga densitas akustik (DA) dan trawl (DT) dapat dibandingkan. Perbandingan Densitas Akustik dan Trawl Nilai densitas ikan secara akustik diperoleh dengan persamaan MacLennan dan Simmonds (2005) sebagai berikut: TSi = 10 log σbsi ……………….…...………. (15) ρA = NASC/ σbs ……………..…….………. (16) ρV = ρA x r ………….…………….………. (17) dimana: TSi = target strength ikan ke-i σbsi = backscattering crossection ikan ke-i NASC = Nautical area scattering coefficient (m2/nmi2) r = tinggi kolom perairan (m) ρA = area densitas (n/nmi2) ρV = volume densitas (n/m3) Densitas akustik terkoreksi ADZ adalah nilai densitas akustik (DA) dari dasar sampai 2,5 meter (tinggi headrope), yaitu gabungan densitas akustik pada dead zone (DADZ) dengan densitas akustik pada layer dari backstep sampai ketinggian 2,5 meter (Mello et al. 2009). Sebelum analisis perbandingan DA dan DT, terlebih dahulu dilakukan pengujian korelasi data akustik dan trawl. Hubungan antara data trawl dan akustik diuji dengan menggunakan regresi linier sederhana, yaitu nilai transformasi-log DA dengan nilai transformasi-log DT. Transformasi-log data bertujuan agar data terdistribusi normal dan untuk mengurangi pengaruh data pencilan (outlier) (Mello et al. 2009, vonSzalay et al. 2009, Hjellvik et al. 2003, Doray et al. 2010). Statistik uji-t berpasangan (paired samples t-test) digunakan untuk menguji perbedaan antara densitas ikan demersal hasil survei trawl (DA) dengan hasil survei akustik (DT) pada setiap data dari stasiun pengambilan contoh, dengan hipotesis yaitu: H0 = perbedaan densitas ikan demersal sebelum perlakuan (DA) dengan sesudah perlakuan (DT) tidak signifikan H1 = perbedaan densitas ikan demersal sebelum perlakuan (DA) dengan sesudah perlakuan (DT) signifikan Uji-t berpasangan digunakan karena pengukuran dua metode yaitu akustik maupun trawl dilakukan pada objek yang sama yaitu ikan demersal. Pengukuran densitas ikan demersal dengan akustik dilakukan sebelum diberi perlakuan lain yaitu pengoperasian trawl. Kemampuan tangkap trawl Perbandingan nilai densitas dari kedua metode, yaitu akustik dan trawl, dapat digunakan untuk estimasi koefisien kemampuan menangkap dari trawl yang digunakan (catchability) dengan formula yang dikembangkan oleh Kotwicki et al. (2013), yaitu: ……..…….……. (18)
23 dimana: SA,BTi = NASC trawl SAi = NASC akustik yang belum terkoreksi Di = NASC akustik pada ADZ b = ketinggian BSZ (offset) EFH = ketinggian headrope rq = catchability εi e = galat sisa Dengan modifikasi nilai densitas dan transfomasi-log maka diperoleh persamaan linier untuk mendapatkan nilai catchability trawl, yaitu: log DT = a + b log DA + ε ………......…..………. (19) dimana: DT = densitas ikan hasil trawl DA = densitas ikan hasil akustik yang sudah terkoreksi DADZ a = intercept (diabaikan bila nilainya tidak signifikan) b = catchability ε = galat, yaitu sisa densitas ikan pada area sapuan trawl, tapi tidak dapat tertangkap akibat faktor-faktor lain yang belum dapat dijelaskan pada penelitian ini. Estimasi densitas ikan pada deadzone survei trawl Diasumsikan bahwa densitas akustik (DA) merupakan ketersediaan sumberdaya ikan demersal pada jalur trawl. Namun, terdapat faktor-faktor yang tidak terkontrol dan sifatnya acak yang sangat mempengaruhi hasil survei akustik maupun trawl di suatu perairan. Maka pada suatu sistem pengamatan yang terintegrasi antara kedua metode tersebut dapat terbangun model untuk mengestimasi densitas ikan demersal pada dead zone yang tidak dapat tertangkap oleh trawl (DTDZ) sebagai berikut: DA1 + DADZ = DT + DTDZ + ε ……..………..…….. (20) DA = DT + DTDZ + ε ……...…………..………..….. (21) DTDZ = DA - DT - ε ……...…..…………....……….. (22) DTDZ = |C| - ε ………...………………………..….. (23) dimana: DA1 = densitas hasil akustik yang belum terkoreksi ADZ DADZ = densitas pada ADZ DA = densitas hasil akustik yang terkoreksi ADZ DT = densitas hasil tangkapan trawl DTDZ = densitas pada dead zone survei trawl |C| = densitas pada dead zone survei trawl (nilai mutlak selisih antara DA dan DT ε = galat, yaitu sisa densitas ikan pada area sapuan trawl, tapi tidak dapat tertangkap akibat faktor-faktor lain yang belum dapat dijelaskan pada penelitian ini. Untuk menetapkan apakah nilai volume densitas ikan pada dead zone survei trawl (DTDZ) merupakah perbedaan selisih |C| atau rasio (Y) antar DA dengan DT, maka dilakukan uji-t (independent t-test) terhadap beda rata-rata (DTDZ) dari masing-masing kombinasi bulan pengamatan. Selain itu pengujian tersebut juga
24 bertujuan untuk mengetahui apakah nilai DTDZ merupakan populasi yang saling bebas dari ketiga trip yang dilaksanakan. Kondisi data yang saling bebas untuk variabel tak bebas merupakan asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis regresi yang akan digunakan untuk menjawab beberapa tujuan pada penelitian ini. Pada kondisi data yang saling bebas diharapkan tidak memiliki ragam yang sama dan terdapat perbedaan rata-rata densitas. Hipotesis untuk kedua masalah ini adalah: Hipotesis 1: H0 = kedua trip memiliki ragam yang sama H1 = kedua trip tidak memiliki ragam yang sama Hipotesis 2: H0 = kedua trip memiliki rata-rata densitas yang sama H1 = kedua trip tidak memiliki rata-rata densitas yang sama Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan ikan demersal dengan trawl dasar diantaranya adalah faktor tingkah laku ikan (kecepatan renang, letak kedalaman), faktor teknis (kecepatan towing, durasi towing, panjang warp, dimensi pembukaan mulut jaring, bobot/jumlah biota non demersal pada codend), serta faktor lingkungan (kedalaman perairan, arus, angin). Faktor-faktor keberhasilan tersebut sekaligus juga merupakan faktor kegagalan yang merupakan sumber bias. Volume bias tersebut diestimasi sebagai densitas ikan pada dead zone survei trawl. Komponen utama survei trawl Analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) digunakan untuk mendekatkan data atau variabel-variabel dalam suatu sistem densitas ikan pada dead zone survei trawl. Pada penelitian ini variabel-variabel survei trawl yang diukur yaitu densitas pada dead zone trawl |C|, kecepatan towing (X1), durasi towing (X2), panjang warp (X3), pembukaan horizontal mulut jaring (X4), bobot/jumlah biota non demersal pada codend (X5), dan kedalaman (X6) pada pengelompokan atau pembentukan suatu variabel baru berdasarkan adanya keeratan hubungan atau ketergantungan antar dimensi pembentuk faktor. Data yang dianalisis dalam PCA dinyatakan dalam bentuk matrik berukuran 57 x 7 (57 stasiun pengamatan dan 7 variabel), direduksi ke dalam matrik yang berukuran lebih kecil dan mengandung sejumlah 57 pengukuran pada k komponen utama, sehingga matrik yang terbentuk berukuran 57 x k (57 stasiun pengamatan dan k komponen utama atau faktor). Jumlah faktor yang terbentuk sebanyak 7 (variabel asal), dan n faktor yang memenuhi kriteria. Penentuan banyaknya faktor atau komponen yang dilibatkan dalam analisis lanjutan tergantung pada struktur datanya dan hasil analisis faktor dengan komponen ragam (eigenvalue) yang lebih besar dari 1 (Hair et al. 1998). Batas minimal keragaman total data yang diterangkan oleh faktor bersama atau komponen utama bersama adalah ≥ 60%. Apabila korelasi antara faktor yang terbentuk dengan variabel yang digunakan memiliki nilai mutlak ≥ 0,5 atau dapat diuji dengan uji t, dan apabila variabel menunjukkan signifikan berarti variabel Xi tersebut sahih untuk dijadikan sebagai anggota faktor yang bersangkutan. Analisis PCA merupakan tahap awal untuk menentukan parameter (variabel) apa saja yang berperan nyata terhadap hasil tangkapan ikan demersal pada sistem
25 trawl yang digunakan pada penelitian ini. Hipotesis awal terhadap kesignifikanan variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut: Hipotesis 1: H0 = korelasi antar variabel tidak signifikan H1 = setidaknya terdapat satu korelasi antar variabel yang signifikan Selain itu, PCA dapat melihat hubungan atau saling ketergantungan antar variabel berdasarkan kedekatan atau sudut (ecluidean) yang dibentuk antar keduanya dalam satu sumbu faktor. Setelah terbentuk faktor pada analisis PCA, akan diperoleh suatu hipotesis baru yang akan digunakan sebagai hipotesis awal pada analisis selanjutnya. Variabel baru tersebut tanpa kolinieritas ganda antar variabel bebas Xi sebagai inputan dalam membangun analisis regresi, uji t, uji F, atau ANOVA antara variabel-variabel |C|, X1, X2, X3, X4,X5, dan X6. Setelah terbentuk komposisi baru untuk komponen utama sistem trawl hasil PCA, uji-t digunakan untuk menguji kesignifikanan dari sejumlah variabel hasil PCA terhadap densitas pada deadzone trawl |C| dengan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 2: H0 = koefisien variabel ke-i tidak signifikan H1 = koefisien variabel ke-i signifikan Persamaan densitas pada dead zone trawl Persamaan untuk mengestimasi densitas ikan pada dead zone survei trawl dimodelkan dengan hubungan linier antara densitas pada dead zone survei trawl |C| dengan faktor-faktor operasional trawl yang terdapat pada penelitian ini. Perolehan nilai |C| dapat dijadikan sebagai nilai koreksi terhadap hasil tangkapan trawl dalam estimasi stok sumberdaya ikan demersal dengan metode swept area. Uji bersama atau uji-F (ANOVA) digunakan untuk menguji model regresi terhadap variabel penyusunnya, dengan hipotesis berikut: H0 = model linier antara densitas pada deadzone trawl dengan variabel-variabel teknis trawl tidak signifikan H1 = model linier antara densitas pada deadzone trawl dengan variabel-variabel teknis trawl signifikan Model densitas pada dead zone survei trawl adalah sebagai berikut: |C| = b0+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6 …...................(24) dimana: |C| = nilai mutlak selisih antara DA dan DT b0 = intercept b1, b2, … , b6 = koefisien masing-masing variabel X1 = kecepatan towing (m/s) X4 = pembukaan horizontal mulut jaring (m) X2 = durasi towing (menit) X5 = bobot/jumlah biota pada codend (kg) X3 = panjang warp (m) X6 = kedalaman (m) Model akhir volume densitas ikan pada dead zone survei trawl adalah: DTDZ = b0+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6 - ε ……...….. (25) ε adalah galat sisa, yaitu densitas ikan pada area sapuan trawl, tapi tidak dapat tertangkap akibat faktor-faktor lain yang tidak diukur pada penelitian ini seperti kecepatan dan kedalaman renang ikan, arus, dan angin.
26 Klasifikasi jenis substrat Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri dari pasir berukuran 2 mm - 50 μ, lumpur berukuran 50 µ - 2 µ dan liat berukuran kurang dari 2 µ. Klasifikasi metode analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Contoh substrat diambil dari lapangan dan diperkirakan beratnya pada waktu kering minimal 100 gram basah. 2) Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 oC sampai benar benar kering (± 24 jam). 3) Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4) Berat asal kering contoh ditimbang dengan berat 10 gram. 5) Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% 100 ml dan didiamkan selama semalam, setelah itu contoh substrat dimasak untuk menghilangkan bahan organik. 6) Contoh substrat kemudian diayak dengan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm2). 7) Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir. 8) Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh yang dalam keadaan cair ditambahkan larutan Na2P2O7 . 10H2O untuk selanjutnya dianalisis untuk mengetahui substrat lumpur dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. 9) Untuk menentukan fraksi lumpur, larutan didiamkan selama 1 – 15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 3,5 sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya. Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, maka dilakukan pengklasifikasian dengan menggunakan diagram segitiga tekstur sand, silt and clay (Blott dan Kenneth 2001). Kelimpahan Makrozoobenthos Sampel benthos dicacah menggunakan mikroskop binokuler, kemudian diidentifikasi. Komposisi jenis tiap stasiun trawl ditabulasi untuk dianalisis guna memperoleh nilai kelimpahan dan indeks kaeanekaragaman hayati (indeks keanekaragaman, dominasi dan keseragaman jenis) yang mengacu pada referensi Ludwig dan Reynold (1988). Kepadatan makrozoobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobenthos per satuan luas (m2). Contoh makrozoobenthos yang telah diidentifikasi dihitung kepadatannya dengan rumus sebagai berikut (Krebs 1989). K = (10000 x a) / b …….……….................... (26) dimana: K = Kepadatan makrozoobenthos (individu/m2) a = Jumlah makrozoobenthos (individu) b = Luas bukaan Van veen grab (cm2) Keterkaitan faktor-faktor lingkungan dengan densitas ikan Seperti pada analisis survei trawl, sebagai tahap awal, analisis PCA digunakan untuk membentuk kombinasi variabel baru antar variabel bebas
27 ekosistem ikan demersal yaitu densitas ikan, jenis (famili) ikan dominan hasil tangkapan, tipe substrat dasar laut, kelimpahan makrozoobentos, kedalaman perairan, dan ukuran bobot ikan. Metode ini digunakan untuk menentukan faktor lingkungan apa saja yang berpengaruh nyata didalam ekosistem ikan demersal di perairan Tarakan, juga ketekaitan antar faktor lingkungan satu dengan yang lainnya. Hipotesis awal terhadap kesignifikanan variabel-variabel tersebut adalah: H0 = korelasi antar variabel tidak signifikan H1 = setidaknya terdapat satu korelasi antar variabel yang signifikan Setelah terbentuk faktor, akan diperoleh suatu hipotesis baru atau inputan yang akan digunakan sebagai hipotesis awal pada analisis selanjutnya yaitu analisis diskriminan. Pada prinsipnya PCA menggunakan pengukuran jarak ecluidean (sudut), yaitu jumlah kuadrat perbedaan antara individu-individu (baris) untuk variabel (kolom) yang sesuai. Semakin kecil jarak ecluidean antar dua individu maka semakin mirip karateristiknya dan sebaliknya. Parameter utama densitas ikan demersal Analisis diskriminan (discrimant analysis, DA) digunakan untuk membuat model yang dapat menunjukkan perbedaan (diskriminasi) antar isi variabel tak bebas (densitas ikan). Pada analisis diskriminan, variabel tak bebas selalu data kategori. Oleh karena itu, perlu dibuat kategori terhadap nilai densitas ikan. Djamali dan Darsono (2005) menyatakan kisaran kepadatan ikan karang (ekor/m3) 1-5 adalah sangat jarang, 5-10 (jarang), 10-20 (cukup melimpah), 20-50 (melimpah), dan >50 (sangat melimpah). Menurut distribusi spasialnya, ikan karang dan ikan demersal adalah sama-sama menempati lokasi di dekat dasar perairan, namun berbeda secara habitat dan tipe makanan. Berdasarkan hal itu, penulis memodifikasi pembagian klasifikasi besarnya densitas ikan demersal kedalam tiga kategori yaitu densitas <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3. Selain itu pembagian 3 kategori tersebut bertujuan untuk lebih menyederhanakan jumlah fungsi diskriminan yang terbentuk dalam metode analisis dikriminasi. Pada analisis diskriminan untuk 3 kategori, akan terbentuk dua fungsi diskriminan, dengan kriteria fungsi diskriminan-1 untuk memilah mana yang masuk ke kategori densitas <50 ekor/100m3 atau pada 50-100 ekor/100m3, sementara fungsi diskriminan-2 untuk memilah mana yang masuk ke kategori 50100 ekor/100m3 atau >100 ekor/100m3. Sehingga akan terbentuk 2 sumbu saja, yaitu sumbu fungsi diskriminan-1 (x) dan sumbu fungsi diskriminan-2 (y) sesuai dengan tujuan pada penelitian ini. Sebelum analisis diskriminan, perbedaan rata-rata masing-masing rasio faktor lingkungan diuji untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelima variabel (jenis ikan, tipe substrat, kelimpahan makrozoobentos, kedalaman perairan, dan bobot ikan) mampu membedakan ketiga kategori densitas tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian signifikansi variabel diskriminan terhadap ketiga kategori densitas tersebut adalah dengan uji multivariat, di mana kelima rasio faktor lingkungan diuji secara bersama-sama dengan menggunakan Wilk's L test statistics. Untuk menguji signifikansi nilai Wilk's L dapat dikonversikan kedalam nilai F, dengan hipotesis: H0 = rasio lima variabel dari ketiga kelompok densitas adalah sama H1 = setidaknya ada satu rasio lima variabel dari ketiga kelompok densitas yang tidak sama
28 Perlakuan terhadap data Pada statistika parametrik seperti analisis regresi dan ordinasi (PCA dan DA) ada beberapa hal yang harus diperhatikan, terkait asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dan bagaimana kontribusi setiap variabel dalam sebuah sistem. Salah satu asumsi yang selalu menjadi syarat dalam analisis statistika parametrik adalah distribusi data yang harus menyebar secara normal. Asumsi distribusi normal pada statistik multivariat penting untuk menguji signifikansi dari variabel. Normalisasi data secara multivariat, akan mempengaruhi valid tidaknya uji signifikansi dan hasil klasifikasi Pada kenyataannya, asumsi ini sangat sulit untuk dipenuhi terutama untuk data-data biotik maupun abiotik hasil pengukuran secara insitu yang masingmasing memiliki satuan pengukuran yang berbeda, seperti variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini (Fletcher et al. 2005). Untuk memenuhi asumsi kenormalan data, cara yang dapat dilakukan adalah dengan mentransformasikan data ke dalam bentuk logaritma. Analisis PCA ataupun DA yang didasarkan pada data yang sudah dinormalisasi, disebut analisis berbasis korelasi. Hal penting lain yang diperhatikan sebelum analisis multivariat adalah mereduksi data pencilan (outlier) yang akan berpengaruh terhadap hasil regresi dan ordinasi. Reduksi dilakukan sebelum transformasi dan normalisasi. Survei terpadu
Trawl
Hasil tangkapan
Akustik
Kecepatan, durasi, warp, non demersal
Bukaan mulut
DT (n/m3)
Kedalaman
NASC, TS
DA (n/m3) transformasi-log
uji-t berpasangan
uji-t
Perbandingan
DTDZ = DA-DT
PCA
tidak signifikan signifikan koefisien catch ability ≈ 1
regresi linier Log DT=a+b log DA
Komponen utama sistem trawl uji-t, regresi, anova
koefisien catchability < 1
Model DTDZ
Selesai
Gambar 14 Proses pengumpulan dan analisis data untuk menjawab tujuan pertama dan kedua
29 Survei terpadu
Trawl
Jenis ikan
Akustik
Ukuran ikan
Kedalaman
Densitas ikan
Oseanografi
Kelimpahan makrobentos
tipe substrat
PCA
Komponen utama ekosistem ikan demersal
tidak ada
ada
komponen utama vs kategori densitas analisis diskriminan variabel diskriminan
Fungsi diskriminan
Fungsi klasifikasi
Selesai
Gambar 15 Proses pengumpulan dan analisis data untuk tujuan ketiga
30
HASIL Perbandingan densitas ikan demersal hasil trawl dengan akustik Sebanyak 62 stasiun pengamatan telah diperoleh selama penelitian yang dibagi dalam tiga trip yaitu bulan Mei, Agustus, dan November 2012. Hanya 57 data akustik-trawl yang dapat dianalisis, sementara dari 5 stasiun lainnya tidak dapat digunakan. Hal ini disebabkan salah satu variabel baik data akustik ataupun data trawl tidak dapat dianalisis. Data akustik yang tidak dapat dianalisis yaitu stasiun Mei-3 dan November-1, sementara data yang disebabkan trawl gagal yaitu staiun Mei-11, Agustus-4 dan 6 (Lampiran 1). Koreksi dead zone akustik Koreksi nilai densitas yang terdapat pada lapisan dead zone akustik (ADZ) diperlukan karena pada lapisan tersebut merupakan habitat ikan demersal. Sementara ikan demersal pada ADZ tidak dapat terdeteksi langsung secara akustik akibat bentuk artefak bim akustik serta pengaruh pantulan dasar laut yang lebih besar dibanding pantulan ikan itu sendiri (Ona and Mitson 1996). Integrasi akustik untuk masing-masing layer (Tabel 3) mulai dari dasar perairan sampai ketinggian 5 meter memiliki korelasi yang signifikan (P-value < 0,05) terhadap hasil tangkapan ikan demersal oleh trawl dasar yang digunakan. Selain itu hubungan regresi linier dari masing-masing layer mulai dari dasar laut sampai ketinggian 5 meter terhadap hasil tangkapan memiliki nilai koefisien regresi (a dan b) yang relatif sama. Ini berarti masing-masing layer memiliki korelasi yang sama terhadap hasil tangkapan. Diperoleh bahwa nilai R2 dari masing-masing layer cenderung konstan. Tabel 3 Parameter regresi antara data akustik (x) dengan data trawl (y) untuk masing-masing layer relatif terhadap dasar perairan
Parameter Statistik a b R2 P
0 - 2,5 0.30 -1.74 0.41 0.00
Strata kedalaman (m) BSZ - 2,5 BSZ - 1 1 - 2 2-3 0.28 0.28 0.28 0.26 -1.65 -1.68 -1.71 -1.73 0.38 0.33 0.39 0.40 0.00 0.00 0.00 0.00
3-4 0.25 -1.76 0.40 0.00
4-5 0.23 -1.79 0.38 0.00
Berdasarkan adanya korelasi tersebut dan hasil pengamatan akustik, sekaligus mengindikasikan bahwa ikan demersal di lokasi penelitian terdistribusi sampai kedalaman 5 meter dari dasar laut (Gambar 16). Oleh karena itu, nilai nautical area scattering coefficient (NASC) pada dead zone akustik (ADZ) diperoleh dengan mengekstrapolasi nilai volume backscattering strength (sV) pada lapisan 5 meter di atas ADZ terhadap ketinggian ADZ (atau backstep zone, BSZ) untuk masing-masing stasiun trawl (Kloser et al. 1996). Hasil perhitungan dengan persamaan 13, diperoleh rata-rata ketinggian BSZ dari seluruh stasiun pengambilan sampel akustik (DZt,i) adalah 25 cm (Lampiran 4).
31
Gambar 16 Distribusi vertikal densitas ikan demersal (n/m3) terhadap dasar perairan pada waktu pengoperasian trawl selama penelitian
-3.0
-3.0
-2.5
-2.5
-2.0
-2.0
Log Densitas Trawl
Log Densitas Trawl
Korelasi data akustik dan trawl Perbandingan densitas ikan demersal hasil akustik (DA) yang telah dikoreksi oleh densitas pada ADZ dengan DA yang tidak dikoreksi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari koreksi ADZ. Gambar 17 menunjukkan bahwa dari kedua uji regresi linier antara data akustik yang terkoreksi DZ dengan yang tidak dikoreksi DZ, memiliki nilai a (slope) yang hampir sama yaitu 0,30 dan 0,28 serta nilai b (intercept) -1,74 dan -1,65, dengan perbedaan koefisien determinasi (R2) yang sangat kecil yaitu 0,41 dan 0,38. Koreksi dead zone terhadap data akustik hanya meningkatkan koefisien determinasi sebesar 3% saja.
-1.5 -1.0 y = 0.302x - 1.740 R² = 0.413
-0.5 0.0
-1.5 -1.0 y = 0.284x - 1.653 R² = 0.376
-0.5 0.0
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Log Densitas Akustik
-1.5
-2.0
-2.5
1.0
0.0
-1.0
-2.0
-3.0
Log Densitas Akustik
Gambar 17 Kurva regresi linier antara nilai log densitas trawl dengan log-densitas akustik terkoreksi dead zone (kiri) dan log-densitas akustik tidak terkoreksi dead zone (kanan) Berdasarkan 50 stasiun akustik-trawl, diperoleh nilai tengah densitas ikan demersal hasil akustik (DA) adalah 81.446 ekor per volume towing dan densitas hasil trawl (DT) sebesar 2.595 ekor per volume towing (Tabel 4), dimana rata-rata volume air yang tersaring pada setiap towing sekitar 134.324 m3. Hasil uji-t berpasangan pada selang kepercayaan 95% terhadap DA dan DT menunjukkan bahwa nilai thitung (4,63) > t0.05/2 (2,01) dan signifikansi (p-value < 0,05), sehingga keputusan dari hipotesis H0 ditolak. Jadi penurunan densitas ikan demersal hasil trawl terhadap hasil akustik adalah signifikan. Perbedaan nilai rata-rata DA dengan DT (ekor per volume towing) berada pada kisaran 44.606 < x < 113.095, hasil perhitungan uji-t disajikan pada Lampiran 5.
32 Perbedaan DA dan DT yang sangat signifikan pada setiap stasiun trawlakustik tersebut menunjukkan bahwa pada pengoperasian trawl dasar, ikan demersal yang berada pada jalur sapuan tidak tertangkap semuanya yang menunjukkan adanya dead zone pada survei trawl. Seberapa besar jumlah ikan yang tidak dapat tertangkap ditentukan oleh kemampuan menangkap dari alat tangkap trawl yang digunakan. Tabel 4 Statistik uji-t antara densitas akustik (jumlah individu/volume towing) dan trawl (jumlah individu/volume towing)
DA DT Beda
Jumlah stasiun
Nilai tengah
50 50 50
81446 2595 78851
Signifikansi t-hitung
0.00
4.63
db
t0.05/2
49
2.01
Kemampuan tangkap trawl Estimasi kemampuan menangkap dari trawl (catchability) diperoleh berdasarkan adanya korelasi positif antara data densitas akustik (DA) dan trawl (DT). Gambar 18 menunjukkan hasil regresi linier nilai densitas dari kedua metode akustik dan trawl, yaitu: log DT = 1,93 + 0.30 log DA + ε …………………. (27) dimana: DT = densitas ikan hasil trawl DA = densitas ikan hasil akustik yang sudah terkoreksi DADZ a = intercept (diabaikan bila nilainya tidak signifikan) b = catchability ε = galat, yaitu ikan yang berada pada area sapuan trawl tapi tidak tertangkap
Densitas trawl (n/volume towing)
Regressio n 95% C I 95% PI
10000
S R- Sq R- Sq(adj )
0.293157 41.4% 40.2%
1000
Log DT = 1.93 + 0.30 Log DA 100 1000
10000
100000
Densitas akustik (n/volume towing)
Gambar 18 Regresi log-linier densitas trawl dengan densitas akustik Bentuk persamaan regresi adalah log-linier, sehingga nilai intercept yang diperoleh sangat kecil (1,93) dan memungkinkan untuk diabaikan. Koefisien catchability dari trawl dasar yang digunakan selama penelitian diperoleh sebesar 0,3. Densitas ikan demersal yang tidak tertangkap jumlahnya lebih besar yaitu sekitar 70% dibanding yang tertangkap yaitu 30% dari jumlah ikan yang berada pada jalur sapuan trawl tersebut. Hal ini disebabkan ikan dapat meloloskan diri dari trawl atau akibat adanya dead zone trawl sebagai faktor teknis pada pengoperasian trawl.
33 Densitas ikan demersal pada dead zone survei trawl Nilai densitas pada dead zone trawl Sebelum analisis uji-t (independent t-test) terhadap beda rata-rata (DTDZ) dari masing-masing kombinasi waktu pengamatan, dilakukan identifikasi perlakuan terhadap data densitas akutik (DA) dengan densitas trawl (DT) (Tabel 5). Nilai rata-rata densitas ikan pada setiap perlakukan menunjukkan bahwa DA lebih besar dari DT. Hal ini menegaskan bahwa ikan demersal yang tersedia pada jalur sapuan (swept area) tidak tertangkap semua oleh trawl atau ada dead zone pada pengoperasian trawl tersebut. Nilai Simpangan baku menunjukkan bahwa DTDZ bervariasi untuk masingmasing stasiun trawl pada setiap waktu pengamatan. Disebabkan karena kinerja trawl dipengaruhi oleh kondisi fisik perairan yang berbeda, juga kondisi kelimpahan sumberdaya ikan demersal yang bervariasi pada tiap stasiun trawl. Hal ini yang menyebabkan koefisien kemampuan tangkap trawl (catchability) bervariasi menurut ruang dan waktu. Tabel 5 Rata-rata densitas dead zone trawl tiap trip dan perlakuan Trip 1 2 3 1 2 3
Bulan
Perlakuan
Pengurangan Mei Akustik-Trawl Agustus Akustik-Trawl November Akustik-Trawl Rasio Mei Akustik:Trawl Agustus Akustik:Trawl November Akustik:Trawl
Kode
Jumlah stasiun
rata-rata DA (log)
rata-rata DT (log)
rata-rata simpangan perlakuan baku
C1 C2 C3
17 17 16
4.30 4.11 4.72
3.19 3.15 3.42
1.11 0.97 1.29
0.94 0.92 0.76
Y1 Y2 Y3
17 17 16
4.20 4.48 4.39
3.12 3.33 3.33
1.35 1.35 1.32
0.66 0.67 0.66
Nilai yang signifikan diperoleh pada perbandingan rata-rata |C| antara trip Agustus dan November, maka tolak H0. Jadi nilai |C| kedua trip tidak memiliki ragam yang sama. Nilai t-hitung (2,46) > t-tabel (2,04) juga tolak H0. Jadi nilai |C| kedua trip tidak memiliki rata-rata densitas yang sama (Tabel 6). Oleh karena itu, DTDZ merupakan selisih antara densitas akustik terkoreksi (DA) dengan densitas hasil tangkapan trawl (DT). Penolakan hipotesis H1 pada perlakuan C1 vs C2 dan C1 vs C3, bahwa data menunjukkan telah ada perubahan pada karakteristik populasi yang dihipotesiskan. Tabel 6 Uji t-student beda rata-rata densitas dead zone trawl antar dua trip
Kombinasi Perlakuan C1 vs C2 C1 vs C3 C2 vs C3 Y1 vs Y2 Y1 vs Y3 Y2 vs Y3
Uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (t0,05/2) T-hitung Sig. Derajat bebas T-tabel 0.30 0.77 27 2.05 -1.97 0.06 24 2.06 -2.46 0.02 31 2.04 0.74 0.47 27 2.05 -1.10 0.28 28 2.05 -1.94 0.06 32 2.04
34 Aspek teknis sistem trawl Keeratan hubungan antar variabel-variabel sistem trawl hasil analisis PCA (Principal Component Analysis) terhadap 57 stasiun akustik-trawl dapat dilihat pada matrik korelasi (Tabel 7). Matrik korelasi menunjukkan sebagian besar koefisien korelasi antar variabel yang terlibat pada hasil tangkapan trawl adalah < 0,5. Namun identifikasi PCA secara keseluruhan, dengan melihat nilai KMO yang diperoleh sebesar 0,57 dan signifikansi < 0,05, sehingga semua parameter hasil pengukuran layak untuk analisis komponen. Pada beberapa analisis PCA, nilai Kaiser Meyer Olking statistic (KMO) ≥ 0,5 dan Bartlett's test signifikan (p < 0,05). Tabel 7 Matrik korelasi antar variabel Variabel |C| Kecepatan Durasi Warp Bukaan Codend Kedalaman
|C| 1 -0.09 0.21 -0.08 -0.22 0.57 -0.75
Keceptan Durasi Warp Bukaan Codend Kedalaman 1 -0.16 0.24 0.11 -0.04 0.16
1 -0.06 -0.04 0.20 -0.18
1 0.36 -0.41 0.38
1 -0.06 0.15
1 -0.68
1
Nilai yang dicetak tebal adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Jumlah faktor bersama yang terbentuk adalah sebanyak variabel penyusunnya yaitu sebanyak 7 faktor bersama. Berdasarkan nilai akar ciri (eigenvalue) untuk komponen yang ≥ 1, maka terbentuk 3 faktor bersama yaitu F1, F2 dan F3 dengan persentase kumulatif keragaman sebesar 70,98% (Tabel 8). Tabel 8 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen Akar ciri Nilai % Keragaman % Kumulatif
F1 2.70 38.61 38.61
F2 1.23 17.64 56.25
Komponen F3 F4 1.03 0.83 14.73 11.86 70.98 82.84
F5 0.75 10.67 93.50
F6 0.30 4.24 97.74
Nilai komponen faktor merupakan korelasi antara faktor yang terbentuk dengan variabel yang digunakan. Variabel dengan nilai mutlak ≥0,5 pada salah satu komponen faktornya adalah anggota faktor yang terbentuk dan sebaliknya. Tabel 9 Korelasi antara variabel dan faktor bersama yang terbentuk Variabel |C| Kecepatan Durasi Warp Bukaan Codend Kedalaman
Komponen sebelum rotasi F1 F2 F3 -0.79 0.36 -0.03 0.28 0.52 -0.58 0.74 -0.34 0.09 0.21 0.55 0.59 0.36 0.62 0.28 -0.81 0.24 -0.13 0.89 -0.21 0.08
Komponen setelah rotasi F1 F2 F3 0.86 -0.01 -0.08 0.74 0.05 0.36 -0.76 0.25 0.19 -0.26 0.79 0.09 -0.08 0.76 -0.01 0.84 -0.14 -0.03 -0.89 0.19 0.10
35 Parameter kecepatan towing dan panjang warp memiliki dua nilai mutlak komponen faktor ≥0,5 (Tabel 9). Maka dilakukan rotasi orthogonal terhadap nilai komponen faktornya, agar tiap variabel hanya memiliki satu nilai kompoen faktor yang ≥0,5. Setelah dirotasi, ditemukan dua parameter yang bukan anggota faktor bersama yaitu kecepatan dan durasi towing karena nilai mutlak komponen faktor <0,5 pada faktor F1 dan F2. Sehingga kedua komponen tersebut tidak digunakan dalam membangun model atau persamaan untuk mengestimasi densitas ikan demersal pada dead zone survei trawl. Hanya faktor F1 dan F2 yang digunakan untuk melihat korelasi, karena persentase kumulatif ragam dari kombinasi F1-F2 paling tinggi dibanding F1-F3 atau F2-F3 (Tabel 8). Pada diagram korelasi biplot antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap masing-masing variabel yang digunakan (Gambar 19), dapat terlihat ada tidaknya pengaruh suatu komponen berdasarkan jaraknya terhadap titik pusat. Terlihat bahwa komponen kecepatan dan durasi towing memiliki jarak <0,5 berarti bukan komponen utama. Keputusan dari hipotesis-1 mengenai kesignifikanan korelasi antar variabelvariabel pada sistem trawl adalah tolak H0, karena terdapat korelasi yang signifikan pada beberapa variabel yaitu |C|, warp, bukaan, cod end, dan kedalaman. Sementara variabel kecepatan dan durasi towing tidak signifikan (Tabel 9 dan Gambar 19). Diperoleh komposisi baru dari variabel-variabel yang berpengaruh terhadap sistem trawl, yang semula 7 menjadi 5 variabel. Selain dapat mengidentifikasi komponen-komponen utama yang berperan pada sistem trawl, diagram PCA (Gambar 19) juga dapat menunjukkan keeratan atau ketergantungan antar komponen satu dengan lainnya berdasarkan kedekatan sudut dan arah antar komponen. Terdapat tiga pengelompokkan yang saling berhubungan langsung satu sama lain. Pertama, panjang warp, bukaan horizontal trawl, dan kecepatan towing. Kedua, densitas ikan pada dead zone trawl, volume biota non demersal yang terdapat pada codend, dan durasi towing. Ketiga adalah faktor kedalaman yang benar-benar bebas dari parameter lainnya. Faktor bersama (ragam kumulatif = 54.51 %) 1
Warp
Komponen Faktor-2 (ragam=20.36 %)
0.75
Bukaan trawl
0.5
Kec. Towing 0.25
Durasi towing
Kedalaman
|C |
0
Biota non demersal pada Cod end
-0.25
-0.5
-0.75
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
Komponen Faktor-1 (ragam=34.15 %)
Gambar 19 Korelasi antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap masing-masing variabel teknis trawl.
36
Skor Faktor-2 (ragam=20,36%)
Penyebaran stasiun akustik-trawl berdasarkan nilai skornya terhadap faktor1 maupun faktor-2, menunjukkan bahwa terdapat tiga pengelompokkan stasiun hasil pengamatan yang berperan terhadap nilai faktor dari variabel |C| dan jumlah biota non demersal pada codend (Gambar 20). Kelompok-1 berlokasi di selat Juata, yaitu stasiun November-3 dengan nilai |C| yang lebih besar dibanding stasiun lain di sekitarnya, yang disertai dengan jumlah biota non demersal pada codend yang lebih besar dari pada stasiun lain disekitarnya yaitu pada stasiun Mei-1 dan 4, serta Agustus-19 dan 20. Kelompok-2 yaitu disebelah timur Pulau Tarakan, yaitu stasiun Mei-15, November-4, 5, dan 7 dengan nilai |C| yang yang lebih besar dibanding stasiun lain di sekitarnya, yang disertai dengan jumlah biota non demersal pada codend yang lebih besar dari pada stasiun lain disekitarnya yaitu pada stasiun Mei-7, Agustus-17, November-5. Kelompok-3 yaitu disebelah tenggara Pulau Tarakan, yaitu stasiun Mei-13 dan November-13 dengan nilai |C| yang lebih besar dibanding stasiun lain di sekitarnya, yang disertai dengan jumlah biota non demersal pada codend yang lebih besar dari pada stasiun lain disekitarnya yaitu pada stasiun Agustus-11. Kelompok-4 yaitu disebelah selatan Pulau Tarakan, yaitu stasiun November-15, 20 dan 21 dengan nilai |C| yang lebih besar dibanding stasiun lain di sekitarnya, yang disertai dengan jumlah biota non demersal pada codend yang lebih besar dari pada stasiun lain disekitarnya yaitu pada stasiun Mei-9 dan 10. Stasiun akustik-trawl yang paling berpengaruh terhadap besarnya nilai skor dari variabel bukaan mulut trawl dan panjang warp adalah stasiun Agustus-5, 14, dan 16 yang memiliki bukaan mulut trawl lebih besar dibanding stasiun lain di sekitarnya, dan disertai dengan panjang warp yang lebih dari pada stasiun lain disekitarnya pula yaitu pada stasiun November-7, 18, dan 19. Untuk variabel kedalaman yang memang bebas dari variabel lainnya, nilai skor variabel kedalaman terutama di pengaruhi oleh nilai kedalaman perairan pada stasiun Mei-12 dan 14, Agustus-13 dan 14, serta November-8,11,12,16 dan 17 yang lebih dalam yaitu antara 30-50 meter dibanding stasiun lain di sekitarnya. Stasiun pengamatan tersebut berada di perairan Tarakan sebelah tenggara.
Gambar 20 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F2 Sementara tidak terdapat pengelompokkan untuk variabel kecepatan dan durasi towing. Meskipun kedua variabel saling berkorelasi kuat (Gambar 19),
37 namun keduanya bukan termasuk dalam komponen utama. Sehingga penyebaran nilai skor kedua variabel tersebut terhadap faktor F1 dan F2 relatif merata, mengingat faktor kecepatan dan durasi towing adalah relatif konstan untuk setiap stasiun akustik trawl. Komponen utama dead zone trawl Tabel 10 merupakan hasil uji kesignifikanan dari keempat variabel (kedalaman, panjang warp, bukaan trawl, dan biota non demersal pada cod end) terhadap densitas ikan demersal pada dead zone trawl. Hasil uji-t pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa hanya panjang warp dan kedalaman yang berpengaruh nyata, dimana t-hitung mutlak > t-tabel (2,01) juga signifikan (Pvalue < 0,05). Sementara volume biota non demersal pada codend, kecepatan dan durasi towing tidak berpengaruh nyata (t-hitung < t-tabel) dan tidak signifikan (pvalue > 0,05). Tabel 10 Uji-t student dari empat variabel yang digunakan pada regresi
Variabel Kec. Towing Durasi Warp Cod end Kedalaman
Koefisien 0.00 0.69 1.20 0.27 -2.97
Std. deviasi 0.00 0.99 0.42 0.19 0.48
t
Sig.
0.70 2.86 1.43 -6.15
0.49 0.01 0.16 < 0.001
Atas
Batas bawah
-1.30 0.36 -0.11 -3.94
2.68 2.04 0.65 -2.00
Model persamaan densitas pada dead zone trawl Tersisa 2 variabel yang berpengaruh nyata terhadap |C|, yaitu panjang warp dan kedalaman. Berdasarkan metode stepwise pada regersi linier, yaitu memasukkan satu persatu dari kedua variabel tersebut, diperoleh dua persamaan regresi yaitu regresi dengan 1 variabel (kedalaman) dengan nilai R² = 0.57 dan 2 variabel yaitu panjang warp dan kedalaman (R² = 0.62). Nilai koefisien masingmasing variabel bebas pada Tabel 11. Tabel 11 Koefisien variabel pada persamaan regresi Variabel Intercept Warp Kedalaman
Koefisien 1.83 1.07 -3.45
Std. deviasi 0.80 0.41 0.38
t
Sig.
2.28 2.59 -9.02
0.03 0.01 < 0.001
Batas atas bawah 0.22 3.43 0.24 1.89 -4.22 -2.68
Kedua persamaan regresi telah memenuhi asumsi-asumsi yang disyaratkan untuk suatu regresi linier, dimana nilai sisaan (residual) terdistribusi normal, ragam homogen, nilai |C| saling bebas, nilai VIF panjang warp dan kedalaman sebesar 1,47 dan 1,93 yang berarti tidak ada korelasi antar kedua variabel tersebut, serta tidak terdapat autokorelasi dimana nilai Durbin-Watson statistic 1,47. Diputuskan model persamaan regresi ke-2 yang akan digunakan, karena memiliki koefisien determinasi (R²) lebih besar dengan jumlah variabel lebih banyak dibanding model-1. Hasil uji-F atau ANOVA (Tabel 12) diperoleh nilai F-
38 hitung (41,10) > F-tabel(2;51;0,05) (3,18), maka tolak H0 yang berarti model linier antara densitas pada dead zone trawl dengan panjang warp dan kedalaman signifikan. Tabel 12 Tabel ANOVA untuk persamaan regresi model-2
Sumber keragaman Regresi Galat Total
Derajat bebas 2 51 53
Jumlah kuadrat 25.86 16.04 41.90
Kuadrat tengah 12.93 0.32
Fhitung 41.10
Signifikan < 0.0001
Persamaan untuk mengestimasi nilai densitas ikan demersal yang terdapat pada dead zone surve trawl |C| adalah persamaan log-linier sebagai berikut: Log |C| = 1.83 + 1.07*Log Panjang Warp – 3.45*Log Kedalaman ……….…. (28) sehingga persamaan akhir untuk estimasi densitas ikan demersal yang terdapat pada dead zone survei trawl (DTDZ) adalah Log DTDZ = 1.83 + 1.07*Log Panjang Warp – 3.45*Log Kedalaman + ε …… (29) Secara umum, nilai densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) yang relatif tinggi diperoleh pada kedalaman antara 10-20 meter dibanding pengoperasian trawl pada perairan lainnya yang lebih dalam (Gambar 21 dan 23 kiri) baik itu waktu pengoperasian trawl pada perairan yang bersubstrat lumpur maupun pasir. 600 140 500
DTDZ (ekor/100m 3 )
DTDZ (ekor/100m 3 )
120 100 80 60 40
400 300 200 100
20 0
0 0
10
20
30
40
50
60
0
10
20
Kedalaman (m)
30
40
50
Kedalaman (m)
Gambar 21 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan pasir (kanan) 600 140 500 DTDZ (ekor/100m 3 )
DTDZ (ekor/100m 3 )
120 100 80 60 40
400 300 200 100
20 0
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Rasio warp/kedalaman
9
10
11
12
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rasio warp/kedalaman
Gambar 22 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap rasio panjang warp/kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan pasir (kanan)
13
39
600
600
500
500 DTDZ (ekor/100m 3 )
DTDZ (ekor/100m 3 )
Pada pengoperasian trawl di perairan yang bersubstrat lumpur, nilai minimum DTDZ diperoleh pada penggunaan panjang warp 3,5 kali kedalaman periaran. Sementara untuk perairan dengan substrat pasir diperoleh pada rasio 4,5 panjang warp terhadap kedalaman (Gambar 22). Secara umum, nilai minimum DTDZ diperoleh pada rasio 4 kali panjang warp terhadap kedalaman perairan, baik pada perairan yang bersubstrat lumpur maupun pasir (Gambar 23 kanan).
400 300 200 100
400 300 200 100
0
0 0
10
20
30
40
50
60
0
1
2
3
Kedalaman (m)
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Rasio warp/kedalaman
Gambar 23 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap kedalaman (kiri) dan rasio warp/kedalaman (kanan)
Pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap stok sumberdaya ikan demersal Komponen utama ekosistem ikan demersal Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan pada 40 stasiun akustik-trawl, diperoleh beberapa komponen yang terdapat di dalam ekosistem ikan demersal di perairan Tarakan. Parameter-parameter tersebut meliputi densitas ikan, jenis (famili) ikan dominan hasil tangkapan, tipe substrat dasar laut, kelimpahan makrozoobentos, kedalaman perairan, dan ukuran bobot ikan. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa keeratan hubungan antar variabel yang digunakan dapat dilihat pada matrik korelasi. Sebagian besar koefisien korelasi antar variabel yang terlibat dalam kondisi stok ikan demersal adalah < 0,5 (Tabel 13), namun nilai KMO diperoleh sebesar 0,51 dengan signifikansi < 0,05 sehingga semua parameter hasil pengukuran layak untuk analisis komponen. Tabel 13 Matrik korelasi antar variabel Variabel Densitas Jenis Substrat Bentos Kedalaman Ukuran
Densitas 1.00 0.07 -0.45 -0.31 -0.69 0.30
Jenis
Substrat
Bentos
Kedalaman
Ukuran
1.00 -0.21 -0.28 -0.08 -0.43
1.00 0.44 0.08 0.08
1.00 0.07 0.09
1.00 -0.49
1.00
Nilai yang dicetak tebal signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Berdasarkan nilai akar ciri (eigenvalue) untuk komponen yang > 1 (Tabel 14), maka terbentuk 2 faktor bersama yaitu F1 dan F2 dengan persentase
40 kumulatif keragaman sebesar 66,21% dan sisanya 33,79% terdiri atas 4 faktor bersama lainnya. Tabel 14 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen
Akar ciri Nilai % Keragaman % Kumulatif
F1 2.19 36.57 36.57
Komponen F3 F4 0.88 0.59 14.59 9.76 80.80 90.56
F2 1.78 29.65 66.21
F5 0.38 6.41 96.97
F6 0.18 3.03 100.00
Rotasi orthogonal terhadap nilai komponen faktor dilakukan karena parameter kelimpahan makrozoobentos memiliki nilai mutlak komponen ≥ 0,5 pada kedua faktornya. Koefisien korelasi tiap variabel mempunyai nilai mutlak ≥ 0,5 pada salah satu komponen faktornya (Tabel 15). Berarti semua variabel merupakan anggota faktor yang terbentuk (F1 dan F2). Tabel 15 Korelasi antara variabel dengan faktor bersama F1 dan F2 Komponen sebelum rotasi F1 F2 0.90 0.10 0.20 -0.70 -0.59 0.48 -0.52 0.54 -0.76 -0.40 0.39 0.78
Variabel Densitas Famili Tipe Substrat Makrozoobentos Kedalaman Ukuran ikan
Komponen setelah rotasi F1 F2 0.83 -0.37 -0.18 -0.70 -0.26 0.71 -0.17 0.73 -0.86 0.04 0.73 0.48
Komponen lingkungan yang memiliki keterkaitan langsung satu sama lain adalah tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos dengan sudut (ecluidean) antar keduanya sangat dekat dibanding komponen lainnya. Sementara keempat faktor lingkungan lainnya yaitu densitas, kedalaman, jenis dan ukuran ikan berkorelasi secara parsial terhadap kondisi ekosistem ikan demersal (Gambar 24). Faktor bersama (ragam kumulatif = 66.21 %) 1
Komponen Faktor-2 (ragam=31.43 %)
0.75
Tipe substrat
Makro zoobentos Bobot ikan
0.5
0.25
Kedalaman 0
-0.25
Densitas
-0.5
Jenis ikan
-0.75
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
Komponen Faktor-1 (ragam=34.78 %)
Gambar 24 Korelasi komponen faktor F1 dan F2 terhadap variabel ekosistem
41 Keputusan dari hipotesis-1 adalah tolak H0, karena terdapat korelasi yang signifikan antar variabel tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos. Semua parameter lingkungan hasil pengukuran merupakan komponen utama pada ekosistem ikan demersal dimana semuanya berjarak > 0,5 dari titik pusat. Oleh karena itu, semua komponen akan digunakan pada analisis keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan densitas ikan demersal. Penyebaran stasiun akustik-trawl-substrat berdasarkan nilai skornya terhadap faktor-1 maupun faktor-2, menunjukkan bahwa terdapat lima kelompok berdasarkan nilai-nilai variabel yang mendominasi terhadap masing-masing stasiun tersebut (Gambar 25). Kelompok-1 didominasi oleh hasil pengukuran pada bulan November, yaitu terdiri dari stasiun November-2,3,5,6,7,13,15,18 yang memiliki nilai densitas ikan yang lebih besar dibanding stasiun lainnya. Kelompok-2 terdiri dari stasiun November 8,10,12, dan 16 dengan dominasi jenis ikan peperek (Leiognatidae) lebih tinggi dibanding stasiun lainnya. Kelompok-3 terdiri dari stasiun Agustus-1,2,3,5,10, dan 19, serta Mei-6 dan 8 dengan ukuran bobot ikan yang menghuni area tersebut lebih besar dibanding stasiun lainnya. Kelompok-4 adalah stasiun Mei-12 serta November 11 dan 17 yang memiliki kedalaman lebih besar dibanding stasiun lain disekitarnya. Kelompok-5 adalah stasiun Agustus-8,12,13,14, dan 15 dengan kelimpahan makrozoobenthos lebih tinggi dibanding stasiun lainnya, yang berada di lokasi bersubstrat dasar lumpur. Faktor bersama (ragam kumulatif=66,21%)
2.5
3 1
Skor Faktor-2 (ragam=31,43%)
2 1.5 13 0.5
15 12 14 14 8 16 11 17
1 18
12 -0.5
8 5196 10 11 20 9 2
19 8 12 10 16
-1.5
18
17 14 7 3 132 9 15 5 6
-2.5 -3
-2
-1
0
1
2
3
Skor Faktor-1 (ragam=34,78%)
Gambar 25 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F2 Komponen utama densitas ikan demersal Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnnya, bahwa analisis PCA dapat mengidentifikasi komponen-komponen utama dari faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap kondisi sumberdaya ikan demersal. Analisis berikutnya adalah mengidentifikasi sekelompok faktor lingkungan (variabel) yaitu jenis ikan dominan hasil tangkapan, tipe substrat dasar laut, kelimpahan makrozoobentos, kedalaman perairan, dan ukuran bobot ikan yang dapat menjadi pembeda terbaik terhadap kondisi kelimpahan ikan demersal pada setiap lokasi pengambilan contoh. Berdasarkan pengukuran parameter lingkungan pada 40 stasiun akustiktrawl, diperoleh distribusi kategori besarnya densitas ikan seperti yang telah
42 ditetapkan yaitu <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3 masing-masing sebanyak 27 (67,5%), 4 (10%), dan 9 (22,5%) stasiun pengukuran (Lampiran 3). a. Variabel diskriminan Pada analisis diskriminan, variabel diskriminan adalah variabel (faktorfaktor lingkungan) yang memberikan diskriminasi terbaik dalam membedakan kategori densitas ikan demersal yang <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3. Hasil uji statistik Wilk's L untuk menilai sampai seberapa jauh (signifikan) kelima variabel ekosistem mampu membedakan ketiga kelompok densitas ikan tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Dari kelima variabel yang diukur, hanya tiga variabel yang berbeda secara signifikan (sig.<0,05) pada tingkat kepercayaan 95% yaitu faktor tipe substat, kelimpahan makrozoobentos dan kedalaman perairan. Hal ini berarti besarnya densitas ikan demersal secara signifikan dipengaruhi oleh ketiga faktor lingkungan tersebut. Semakin kecil nilai Wilk's L (lambda) maka semakin besar probabilitas hipotesis nol ditolak (tidak ada perbedaan rata-rata populasi). Tabel 16 Test statistik Wilk's L terhadap masing-masing variabel Variabel Jenis ikan Tipe substrat Makrozoobentos Kedalaman Bobot ikan
Lambda 0.89 0.68 0.84 0.76 0.96
F 2.32 8.89 3.44 5.93 0.84
db1 2 2 2 2 2
db2 37 37 37 37 37
Sig. 0.11 0.00 0.04 0.01 0.44
Namun demikian, tidak menjamin apakah tiga variabel tersebut akan dimasukkan pada fungsi diskriminan. Untuk itu, dilakukan analisis diskriminan dengan tetap menyertakan seluruh variabel yang ada. Kelima variabel diproses secara bersama-sama menggunakan proses bertahap (stepwise). Tabel 17 adalah nilai F setiap variabel untuk mengetahui faktor mana yang paling berbeda (paling jauh jaraknya) dan mana yang paling dekat dengan faktor lainnya. Ternyata hanya dua variabel yang dapat digunakan untuk membentuk fungsi diskriminan, yakni variabel tipe substrat dan kedalaman (Sig.<0,05), sedangkan variabel kelimpahan makrozoobentos ternyata tidak masuk dalam fungsi diskriminan. Keputusan dari hipotesis mengenai adanya variabel yang mampu secara signifikan membedakan ketiga kategori densitas adalah tolak H0, karena kedua rasio variabel tipe substrat serta kedalaman mampu membedakan ketiga kategori densitas tersebut. Tabel 17 Variabel yang membentuk fungsi diskriminan Step 1 2
Variabel Tipe substrat Kedalaman
F 8.89 7.39
df1 2 4
df2 37 72
Sig. 0.00 0.00
b. Perbedaan antar kategori densitas ikan Pada analisis diskriminan untuk 3 kategori, akan terbentuk dua fungsi diskriminan, dengan kriteria fungsi diskriminan-1 untuk memilah mana yang
43 masuk ke kategori densitas <50 ekor/100m3 atau 50-100 ekor/100m3, sementara fungsi diskriminan-2 untuk memilah mana yang masuk ke kategori densitas 50100 ekor/100m3 atau >100 ekor/100m3. Nilai Square Canonical Correlation (CR2) mengukur keeratan hubungan antara skor diskriminan dengan kategori densitas. CR2 identik dengan R2 pada regresi yaitu mengukur seberapa kuat fungsi diskriminan. Pada fungsi-1, nilai CR adalah 0,74 atau CR2 sebesar 0,54 (Tabel 18). Jadi, sebesar 54% variasi antara kategori densitas <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3 dapat dijelaskan oleh variabel diskriminan rasio kedalaman dan tipe substrat. Tabel 18 Nilai akar ciri, persentase diskriminan, dan koefisien korelasi
Fungsi F1 F2
Akar ciri 1.19 0.35
Diskriminan (%) 77.51 22.50
Kumulatif % 77.51 100.00
CR 0.74 0.51
Uji Wilk's L pada kedua fungsi F1 dan F2 untuk semua variabel secara bersama-sama, diperoleh nilai signifikan <0.05 pada tingkat kepercayaan 95%. Berarti fungsi diskriminan yang terbentuk adalah signifikan, dimana nilai rata-rata skor diskriminan untuk ketiga kategori densitas adalah berbeda secara nyata. Dengan demikian, kedua fungsi diskriminan digunakan secara bersama-sama untuk interpretasi selanjutnya. c. Fungsi diskriminan Tujuan kedua analisis diskriminan adalah membentuk fungsi baru (Z) dimana variabel baru Z memberikan maksimum kemampuan untuk membedakan antara tiga kategori densitas. Fungsi baru ini disebut linear discriminant function atau sering disingkat discriminant function. Proyeksi suatu titik pada discriminant function (atau nilai dari variabel baru Z) disebut discriminant score. Struktur matrik menjelaskan korelasi antara variabel bebas dengan dua fungsi diskriminan yang terbentuk (Tabel 19), atau kontribusi setiap variabel untuk membentuk fungsi diskriminan. Korelasi variabel kedalaman dengan F1 lebih besar daripada korelasi dengan F2, sehingga variabel kedalaman berperan dalam fungsi diskriminan-1, sementara korelasi variabel tipe substrat dengan F2 lebih besar daripada korelasi dengan F1, variabel ini berperan dalam fungsi diskriminan-2. Tabel 19 Korelasi antara variabel bebas dengan fungsi diskriminan Variabel Tipe substrat Kedalaman
F1 -0.68 0.83*
F2 0.74* 0.56
Persamaan fungsi diskriminan yang terbentuk merupakan kombinasi linear dari rasio faktor tipe substrat dan kedalaman untuk densitas ikan demersal, yaitu : Log Z-1 = -6,89 + 3,54 Log kedalaman + 5,34 Log Tipe Substrat ………...... (30) Log Z-2 = -3,47 + 3,84 Log kedalaman – 3,57 Log Tipe Substrat ………….. (31)
44 d. Fungsi klasifikasi Peta territorial berguna untuk menentukan penempatan sebuah data pada salah satu kategori densitas. Peta territorial pada dasarnya memetakan batas-batas setiap kategori berdasar sumbu X (fungsi diskriminan-1) dan sumbu Y (fungsi diskriminan-2), sehingga dengan melihat koordinat sebuah hasil pengukuran, dapat menentukan kondisi perairan tersebut berada di kategori densitas tertentu. Centroid adalah nilai rata-rata dari fungsi skor Z dari setiap pengukuran yang ada pada kategori densitas. Kegunaan centroid pada dasarnya untuk mengetahui bagaimana penyebaran data dari tiap kategori densitas, dan bagaimana kedekatan antar-centroid dari masing-masing kategori (Gambar 26). Faktor bersama (ragam kumulatif = 100.00 %) 2
Diskriminan Faktor-2 (ragam=22.50 %)
1 < 50 > 100 0 -3
-2
-1
0
1
2
50-100 -1
-2
-3
Diskriminan Faktor-1 (ragam=77.50 %)
Gambar 26 Peta territorial centroid masing-masing kategori densitas ikan Interpretasi fungsi klasifikasi menghubungkan korelasi antara variabel bebas terhadap fungsi diskriminan (Tabel 19) dengan plot territorial centroid ( Gambar 26), dimana kategori densitas ikan <50 ekor/100m3 jelas berbeda dengan densitas ikan >100 ekor/100m3 menurut variabel kedalaman, karena koordinat sumbu X untuk variabel kedalaman adalah 0,83 yang lebih dekat dengan kategori densitas ikan <50 ekor/100m3, karena keduanya positif, maka makin besar nilai variabel kedalaman, makin cenderung masuk ke kategori densitas yang lebih rendah. Sementara untuk variabel tipe substrat, nilai sumbu Y positif (0,74) dekat dengan kategori densitas >100 ekor/100m3, maka makin besar nilai variabel tipe substrat, makin cenderung masuk ke kategori densitas yang lebih tinggi. e. Komposisi anggota tiap kategori densitas Ketiga kategori densitas dapat diklasifikasikan secara nyata berdasarkan rasio kedua faktor lingkungan yaitu kedalaman dan tipe substrat. Kelompok densitas ikan <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3 dapat dipisahkan dengan tingkat ketepatan masing-masing 63%, 75%, dan 100% (Tabel 20). Seluruh pengamatan telah diklasifikasikan secara benar dengan ketepatan 79,32%, atau sebanyak 79,32% dari 40 data hasil pengukuran telah dikelompokkan pada kategori densitas yang sesuai dengan data semula. Hasil pengklasifikasian seluruh stasiun pengambilan contoh disajikan pada Lampiran 3. Maka fungsi diskriminan dan
45 peta teritori yang telah terbentuk, cukup layak digunakan untuk membedakan ketiga kategori densitas ikan demersal di lokasi penelitian. Tabel 20 Tingkat ketepatan pengklasifikasian besarnya densitas ikan demersal Kategori <50 50-100 >100 Total
<50 8.40 0.00 0.00 8.40
50-100 3.95 10.00 0.00 13.95
>100 0.99 3.33 13.33 17.65
Total 13.33 13.33 13.33 40.00
% Ketepatan 62.96% 75.00% 100.00% 79.32%
PEMBAHASAN Perbandingan densitas ikan demersal hasil trawl dengan akustik Integrasi antara metode akustik-trawl dengan mengoperasikan keduanya secara simultan pada target yang sama yaitu ikan demersal, memungkinkan untuk membandingkan hasil pengukuran antar kedua metode tersebut. Berdasarkan perbandingan secara langsung antara densitas akustik (DA) dan trawl (DT), uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup besar dari hasil kedua metode tersebut. Perbandingan antara DA dan DT tersebut tidak lepas dari beberapa asumsi, mengingat begitu kompleksnya komponen-komponen dalam suatu sistem integrasi kedua metode akustik-trawl. Variabilitas hasil pengukuran densitas ikan selama survei akustik akibat siklus harian ikan, sulit untuk diamati secara kuantitatif dari kumpulan data survei tunggal karena sinyal pantulan akustik terutama tergantung pada variabilitas spasial dan atau migrasi horisontal ikan (Fréon et al. 1993). Asumsi bahwa segala bias sebagai akibat migrasi harian ikan mungkin dapat diabaikan, sehingga memungkinkan untuk membandingkan DA dengan DT (Mello and Rose 2009). Koreksi dead zone akustik Selama survei akustik-trawl dilakukan di perairan Tarakan, ikan demersal dapat terdistribusi secara vertikal sampai kedalaman 5 meter dari dasar perairan. Oleh karena sifat distribusi tersebut, ikan demersal senantiasa berada pada kolom atau jalur sapuan trawl yang digunakan selama penelitian. Dengan asumsi segala bias akibat migrasi harian mungkin dapat diabaikan, sehingga dengan kondisi demikian memungkinkan untuk membandingkan densitas ikan demersal hasil trawl (DT) dengan akusik (DA) (Mello and Rose 2009). Koreksi dead zone data akustik dilakukan untuk menguji apakah terdapat peningkatan secara subtansi korelasi data akustik terhadap data trawl. Hasil menunjukkan bahwa korelasi antara data akustik dan trawl secara substansi tidak mengalami peningkatan yang signifikan dengan dilakukannya koreksi terhadap ikan pada dead zone akustik (ADZ) yang tidak dapat terdeteksi secara akustik. Rendahnya kontribusi densitas ikan demersal yang berada pada ADZ disebabkan karena dasar perairan pada setiap stasiun trawl di lokasi penelitian hampir rata, meskipun ada perubahan kontur kedalaman namun dengan gradien
46 yang sangat kecil. Sehingga dapat meminimalkan ketebalan lapisan ADZ (backstep zone, BSZ), dimana rata-rata BSZ sekitar 25 cm. Pada lapisan ADZ yang relatif tipis tersebut tidak ada jenis biota yang perlu dipertimbangkan didalam perhitungan nilai densitas ikan pada ADZ. Berdasarkan komposisi jenis hasil tangkapan, biota pada lapisan ADZ kurang berkontribusi terhadap nilai backscatter akustik karena tidak memiliki gelembung renang seperti ikan sebelah, udang, dan sebagian besar invertebrata (von Szalay et al. 2007). Selain itu biota pada ADZ tersebut tidak cukup melimpah untuk setiap stasiun trawl. Korelasi data akustik dan trawl Rendahnya korelasi antara data akustik dan trawl hasil penelitian ini kiranya dapat dijustifikasi oleh hasil penelitian lain yang serupa. Penelitian von Szalay et al. (2007) di Laut Bering meyebutkan bahwa korelasi data akustik-trawl cukup baik (r2=0,62) untuk ikan walleye pollock, dengan korelasi tertinggi diperoleh pada ketebalan layer 2,4 meter dari dasar laut (tinggi headrope). Korelasi semakin meningkat dengan bertambahnya ketinggian diatas headrope meskipun kenaikkannya tidak terlalu signifikan. Sementara hampir tidak ada korelasi (r2=0,02) data akustik-trawl untuk jenis ikan Pacific cod. Penelitian Hjellvik et al. (2007) di Laut Barents memperoleh hasil untuk ikan haddock dan cod nilai r2 mulai dari hampir tidak ada korelasi (0,01) menjadi 0,53. Nilai tertinggi diperoleh dalam 2 tahun terakhir dari 6 tahun dilakukannnya penelitian terhadap species yang sama. Beare et al. (2004) bahkan memperoleh nilai korelasi yang lebih rendah untuk ikan haddock dan saithe (Pollachius virens) di Laut Utara (r2=0,06-0,12), di Laut Barents lebih tinggi (r2=0,30-0,64). Aglen (1996) memperoleh korelasi yang rendah untuk ikan haddock, cod, dan saithe (r2=0,05-0,45) pada kolom periaran dari dasar laut sampai tinggi headrope, namun nilai korelasi lebih tinggi untuk integrasi dari tinggi headrope sampai ketinggian 10-30 meter (r2=0,11-0,86). Nilai korelasi yang lebih tinggi juga diperoleh dari beberapa penelitian lainnya yaitu 0,40 untuk ikan cod dan 0,64 untuk ikan haddock di Laut Barents (Godø et al. 2004). Pada suatu komunitas di Laut Barents yang jenisnya didominasi oleh cod dan haddock, diperoleh nilai korelasi akustik-trawl sebesar 0,62 (Ona et al., 1991), dan 0,69 untuk rockfishes di Teluk Alaska (Krieger et al. 2001). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran densitas ikan demersal dari integrasi kedua metode akustik dan trawl. Pertama, arah arus dasar perairan yang kadang tidak sejajar dengan arah towing, sehingga posisi jaring trawl ada kalanya tidak tepat dibelakang kapal (Engas et al. 2000). Kedua, ketika ikan demersal berada pada ADZ atau sangat dekat dengan dasar laut, jaring trawl dapat menangkap ikan tetapi yang echosounder tidak dapat mendeteksinya karena pengaruh pantulan echo dasar laut yang sangat kuat dan bersatu dengan echo dari ikan tersebut. Hal ini tidak akan menjadi masalah jika proporsi populasi ikan di ADZ bervariasi secara spasial maupun temporal (von Szalay et al. 2007). Ketiga, dimungkinkan ketidaktelitian dalam penggunaan asumsi dalam mengkoreksi densitas pada ADZ, bahwa densitas ikan pada sedikit kolom perairan tepat di atas ADZ sama dengan densitas ikan di ADZ itu sendiri. Faktanya bahwa hasil penelitian tidak menunjukkan peningkatan yang substansial terhadap korelasi antara trawl dan data akustik ketika mengoreksi ikan di ADZ.
47 Keempat, adalah faktor yang paling mendasar bagi integrasi kedua metode di perairan tropis yang memilki multispesies. Sejatinya, echotraces (bentuk dan warna echo akustik) dan target strength (TS) ikan tunggal dapat digunakan untuk memisahkan nilai Sv dari species target terhadap species lainnya maupun dasar laut. Namun nyatanya, sulit untuk memisahkan nilai Sv antar species (Hjellvik et al. 2007). Terlebih bagi perikanan demersal yang multi spesies dan tercampur dengan komposisi jenis yang sama sepanjang waktu. Dalam kasus tersebut, proporsi bobot hasil tangkapan yang dominan antar ikan demersal digunakan untuk memisahkan nilai SA. Oleh karena itu, tidak semua hasil estimasi densitas akustik dan trawl saling bebas satu sama lain. Kemampuan tangkap trawl Korelasi positif antara DA dan DT serta perbedaan nilai densitas antara keduanya, dapat digunakan untuk mengestimasi kemampuan menangkap (catchability) dari trawl yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan hubungan linier antara DA dan DT, diperoleh koefisien catchability dari trawl dasar/pukat hela yang berbasis dan beroperasi di perairan Tarakan adalah sebesar 0,3. Nilai tersebut dapat menjadi acuan faktor koreksi nilai laju tangkap dari trawl yang digunakan dalam estimasi biomassa ikan demersal yang ada di perairan Tarakan. Artinya status stok ikan demersal yang terdapat di perairan Tarakan, diestimasi sekitar tiga kali lipat dari rata-rata hasil estimasi stok dengan menggunakan metode swept area pada penelitian ini. Densitas ikan demersal yang tidak tertangkap jumlahnya lebih besar dibanding jumlah yang tertangkap oleh trawl tersebut. Berdasarkan korelasi antara DA dan DT serta koefisien catchability yang diperoleh, maka jumlah ikan yang tidak tertangkap diperkirakan sebanyak dua kali jumlah ikan yang tertangkap oleh trawl. Ikan yang tidak tertangkap tersebut berada pada dead zone trawl (DTDZ). Jumlah ikan pada DTDZ yang diakibatkan oleh faktor teknis pada pengoperasian trawl dapat diestimasi dengan persamaan 28. Reaksi penghindaran ikan terhadap trawl merupakan variabel yang sulit diukur, sehingga jumlah ikan pada DTDZ yang disebabkan oleh faktor tersebut belum dapat diestimasi, yang merupakan galat sisa pada persamaan 28. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi catchability dari suatu alat tangkap trawl diantaranya adalah tingkah laku alami seperti distribusi horizontal dan vertikal dari spesies target, tingkah laku ikan menghadapi datangnya trawl atau disekitar mulut trawl, dan selektivitas trawl itu sendiri (Walsh 1996). Berdasarkan beberapa hasil kajian menyatakan bahwa catchability bervariasi menurut ruang dan waktu. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa ada keterbatasan dalam aplikasi dari koefisien catchability yang diperoleh. Sehingga penggunaan koefisien catchability sebagai konstanta pada lokasi yang berbeda dengan kapasitas unit penangkapan trawl yang berbeda pula perlu dipertimbangkan kembali. Perhitungan laju hasil tangkapan trawl yaitu rata-rata hasil tangkapan tiap towing, dapat dianggap proporsional terhadap kepadatan stok di alam, jika faktorfaktor seperti distribusi vertikal-horizontal, tingkah laku terhadap trawl, dan kinerja trawl adalah konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, dalam jangka waktu tertentu diasumsikan bahwa seleksi ukuran dan jenis ikan, kinerja trawl,
48 laju tangkap, ketiganya konstan pada berbagai kondisi. Akibatnya, jika dalam kajian stok ada asumsi yang tidak valid maka estimasi akan bias. Beberapa hasil penelitian terkini tentang stok sumberdaya ikan demersal dengan metode swept area pada area yang berdekatan dengan lokasi penelitian ini menunjukkan fluktuasi laju tangkap trawl. Prihatiningsih et al. (2012), menyebutkan bahwa menurut waktu pengamatan, laju tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal di perairan Selat Makassar pada musim Timur lebih tinggi daripada musim peralihan. Nilai kepadatan stok tersebut, lebih rendah 3-4 kali dari hasil yang diperoleh tahun 2004-2005 di perairan yang sama (BRPL 2005) dan di perairan yang berbeda yaitu di perairan Aru (Wedjatmiko et al., 2009). Hal ini menunjukkan adanya penurunan stok ikan demersal di perairan Selat Makassar, dibandingkan dengan di perairan utara Jawa Tengah pada kedalaman lebih dari 20 meter nilainya lebih tinggi yaitu sebesar 0,8 ton/km2 (Sumiono 2002). Perbedaan-perbedaan nilai laju tangkap tersebut disebabkan oleh kinerja trawl yang digunakan, kondisi stok sumberdaya dan kondisi lingkungan perairan pada saat dilakukannya penelitian. Selain itu, koefisien daya tangkap dari trawl umumnya menggunakan konstanta Shindo (1973) yaitu sebesar 0,5 yang biasa digunakan di perairan Asia Tenggara. Oleh karena itu, pengukuran catchability sangat diperlukan dalam setiap kajian stok sumberdaya ikan demersal, mengingat hasil estimasi sangat ditentukan oleh efisiensi trawl yang digunakan, kondisi stok sumberdaya dan lingkungan yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, tujuan utama selama survei trawl adalah untuk meminimalkan bias dan variabilitas dalam pengambilan sampel dengan menstandardisasi semua aspek operasional dan mempertahankan konstanta catchability. Karena pada umumnya hasil kajian stok merupakan perkiraan dari indeks kelimpahan relatif, sehingga bias yang proporsional dapat diterima asalkan tetap konstan (Walsh 1996). Ada dua sumber utama kesalahan dalam estimasi kelimpahan pada survei trawl, yaitu kesalahan pengukuran, berkaitan dengan efisiensi trawl atau catchability, dan kesalahan sampling, berkaitan dengan variabilitas spasial distribusi ikan (Grosslein dan Laurec 1982). Kesalahan pertama digambarkan sebagai kesalahan sistematik atau bias yang timbul karena trawl tidak menangkap setiap ikan di jalurnya, dimana efisiensi dari trawl atau catchability kurang dari satu. Catchability didefinisikan sebagai rasio jumlah ikan yang tertangkap terhadap jumlah ikan yang tersedia di area sapuan trawl. Akibatnya rata-rata hasil tangkapan per hauling berdasarkan satuan luas menjadi bias, dalam arti bahwa hal itu hanya mewakili sebagian dari kepadatan absolut suatu spesies yang tergantung pada catchability spesies tertentu terhadap trawl tersebut. Koefisien catchability bervariasi antara spesies yang berbeda, dengan demikian ada bias relatif yang berbeda terhadap kepadatan absolut untuk setiap spesies. Jenis kesalahan kedua adalah kesalahan sampling acak atau varians, adalah fakta bahwa ikan tidak terdistribusi secara merata melainkan membentuk rumpunrumpun tertentu (shoal) menurut ruang dan waktu, yang menghasilkan variabilitas tinggi pada hasil tangkapan bahkan dengan ulangan pada stasiun yang sama. Jumlah penangkapan (trawling) meningkatkan keragaman dari rata-rata sampel dan meningkatkan presisi, namun karena sifat dari distribusi ikan, jumlah hasil tangkapan yang sangat besar diperlukan untuk mencapai presisi tinggi.
49 Selain kesalahan sampling acak, penting untuk diingat bahwa cakupan sampling dapat mengakibatkan bias yang besar, jika terdapat area yang signifikan dari wilayah stok tapi tidak dapat di trawl. Dalam keadaan seperti itu, densitas ikan umum diekstrapolasi berdasarkan daerah yang tersampling. Hal ini jelas dapat mengakibatkan bias, dan bias dapat bervariasi dari tahun ke tahun jika kepadatan relatif dari populasi atau komposisi dalam area yang dapat atau tidak dapat tersurvei mengalami perubahan. Persamaan linier yang mengungkapkan koefisien catchability trawl di perairan Tarakan, menunjukkan bahwa catchability sejatinya bervariasi dalam ruang dan waktu karena berdasar pada densitas ikan demersal yang dipengaruhi oleh variabel lingkungan. Namun, ada kemungkinan bahwa variabel lingkungan yang mempengaruhi pola distribusi dan tingkah laku ikan tersebut berpengaruh secara tidak langsung terhadap catchability. Godø dan Wespestad (1993) menyatakan bahwa pola distribusi ikan akibat kondisi survei atau dampak lingkungan terhadap catchability berbeda dari tahun ke tahun. Terlepas dari upaya menstandarisasi effort, beberapa survei trawl menunjukkan bahwa sangat sulit untuk mencapai catchability yang konstan berdasarkan ruang dan waktu (Stauffer 2004). Pada sebagian survei insitu, catchability suatu alat tangkap sulit untuk diketahui, tetapi dapat pula diasumsikan tetap dalam ruang dan waktu (Kimura dan Somerton 2006) karena data survei insitu sering dianggap lebih valid daripada data statistik perikanan tangkap (Harley et al. 2001).
Densitas ikan demersal pada dead zone survei trawl Nilai densitas pada dead zone trawl Perbedaan yang cukup signifikan antara densitas akustik (DA) dan densitas trawl (DT) menunjukan bahwa ikan demersal yang berada pada jalur sapuan banyak yang tidak tertangkap oleh trawl yang digunakan. Bahwa ada ruang atau faktor dimana ikan tidak dapat tertangkap oleh jaring trawl dasar, dalam hal ini disebut dead zone survei trawl (TDZ). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya bahwa prosentase jumlah ikan demersal yang tidak tertangkap oleh jaring trawl yang berbasis dan beroperasi di perairan Tarakan relatif cukup besar. Pada suatu sistem trawl, bekerja gaya-gaya yang sangat kompleks dan saling berhubungan antar komponen mulai dari kapal sampai codend. Gaya tarik kapal bergerak pada warp, beban kerja yang diterima kapal kadangkala menyebabkan gerak kapal yang tidak stabil, demikian pula kapal sendiri terkena oleh gaya-gaya luar (arus, angin, gelombang). Selama towing mulut jaring diharapkan terbuka maksimal serta bergerak horizontal pada dasar ataupun pada suatu depth tertentu. Gaya tarik yang berubah-ubah, resistance yang berubah-ubah dan lain sebagainya, menyebabkan jaring naik turun ataupun bergerak ke kanan dan ke kiri. Selain itu, warp terlalu pendek pada kecepatan lebih besar dari batas tertentu akan menyebabkan jaring bergerak naik ke atas (tidak mencapai dasar), warp terlalu panjang dengan kecepatan dibawah batas tertentu akan menyebabkan jaring mengeruk lumpur. Besarnya nilai densitas ikan demersal pada dead zone trawl ini dapat diukur dengan pendekatan integrasi dua metode akustik-trawl. Estimasi jumlah ikan
50 demersal pada dead zone trawl merupakan selisih densitas yang terdeteksi oleh akustik yang berada jauh didepan trawl dengan densitas yang tertangkap oleh trawl itu sendiri. Sejumlah ikan pada dead zone trawl disebabkan oleh reaksi penghindaran ikan dalam upaya meloloskan diri dari trawl, dan juga ketidaksempunaan dalam teknis pengoperasian trawl itu sendiri. Perhitungan densitas ikan pada dead zone trawl hanya didasarkan pada faktor-faktor teknis, sementara jumlah ikan yang dapat menghindari trawl belum dapat diukur karena keterbatasan teknologi dan perangkat yang digunakan pada penelitian ini. Berbagai reaksi ikan terhadap kapal atau trawl dapat mengganggu distribusi ikan dalam skala lokal Respon ikan terhadap kedua sumber suara tersebut dimungkinkan sebagai variabel fungsi lingkungan (Michalsen et al. 1996). Telah lama diketahui bahwa ikan dapat menghindari kapal yang mendekat akibat suara (noise) yang merambat pada kolom air sebagai stimulus utama. Tingkah laku penghindaran ikan tersebut merupakan salah satu sumber bias dalam survei perikanan. Reaksi ikan terhadap kapal yang mendekati merupakan suatu variabel dan sulit untuk diprediksi (De Robertis et al. 2012). Di dalam suatu sistem trawl dasar, proses dimana ikan memasuki dan tertahan di dalam jaring, melibatkan rangkaian yang kompleks dari tingkah laku ikan dalam merespon kapal dan berbagai komponen alat tangkap trawl. Proses penangkapan ikan dimulai dari atas kapal, di mana ikan awalnya mendeteksi dan merespon suara berfrekuensi rendah yang dihasilkan oleh kapal, warp, otter board, dan jaring trawl. Kombinasi dari suara tersebut menghasilkan pancaran suara bawah air dengan ciri yang sangat spesifik untuk setiap kapal dan operasi trawl (Winger et al. 2010). Ona dan Godo (1990) menyatakan bahwa awal reaksi penghindaran ikan terhadap kapal teramati pada kedalaman kurang dari 200 m. Sementara pada kedalaman lebih dari itu, reaksi tidak signifikan. Suara kapal selama towing dapat menyebabkan reaksi penghindaran pada ikan demersal. Selai itu kavitasi propeller adalah sumber utama noise yang menyebabkan gerakan horisontal dan vertikal ikan di depan trawl tersebut. Penghindaran terhadap kapal trawl akan mempengaruhi selektivitasnya secara substansi, terutama pada kondisi sumberdaya ikan merupakan spesies tercampur dan berbagai kelas ukuran dengan kapasitas renang dan tingkah laku yang berbeda. Aspek teknis sistem trawl Hingga saat ini trawl dasar merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap kelompok ikan demersal. Dalam pengoperasian trawl banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Parameter-parameter seperti densitas ikan demersal pada dead zone trawl, kecepatan dan durasi towing, panjang warp yang gunakan, bukaan mulut trawl, jumlah biota selain ikan demersal pada codend, serta kedalaman laut, merupakan faktor-faktor yang berperan dalam keberhasilan penangkapan ikan demersal oleh trawl dasar pada umumnya dan unit penangkapan trawl di Tarakan khususnya. Idealnnya, terdapat saling ketergantungan antar parameter yang akan menentukan keberhasilan proses penangkapan. Berdasarkan serangkaian komponen-komponen yang membentuk sistem trawl yang beroperasi di perairan Tarakan, ternyata faktor kecepatan dan durasi towing tidak berpengaruh nyata atau bukan merupakan komponen utama terhadap
51 besarnya jumlah tangkapan. Artinya bahwa perubahan pada salah satu atau kedua variabel sekaligus yaitu kecepatan kapal dan/atau durasi towing tidak akan berpengaruh nyata terhadap laju hasil tangkapan. Selain itu, pada kedua variabel tersebut diperlakukan secara konstan atau tidak ada variasi perlakuan baik itu kecepatan maupun durasi towing. Pada penelitian ini, rata-rata kecepatan towing adalah 3 knot dan rata-rata durasi towing 1 jam untuk setiap stasiunnya. Faktor kecepatan kapal sangat menentukan keberhasilan operasional jaring trawl dasar. Kalau kapal terlalu cepat, bagian mulut trawl bisa terbalik atau melayang. Sedangkan kalau kapal terlalu pelan, trawl bisa membenam kelumpur dan akhirnya akan mengurangi bukaan jaring (Wudianto dan Barus 1993). Sejatinya bukan seberapa cepat trawl dasar dapat ditarik selama towing untuk berusaha menangkap ikan demersal yang berada di depannya. Efektivitas trawl dasar tercapai bila ditarik pada kecepatan yang tepat sehingga jaring dapat membentuk konfigurasi yang benar di dasar perairan. Kecepatan tarik trawl (towing speed) berkisar antara 3-5 knots (Anonim 1989). Kecepatan penarikan ini sangat berpengaruh terhadap bukaan mulut trawl. Ketika kecepatan tinggi, maka area antar papan sewakan (otter board) menyempit dan mengakibatkan mengecilnya luasan area yang disapu (Friedman 1986). Idealnya semakin lama waktu yang digunakan saat towing akan semakin meningkatkan hasil tangkapan sampai mencapai jumlah tangkapan maksimal pada codend (FAO 1993). Namun, tidak demikian untuk trawl di periaran Tarakan. Lamanya waktu towing tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena kelimpahan sumberdaya ikan demersal yang sudah sedikit karena sudah lebih tangkap (Mulyadi et al. 2005). Pada sistem trawl dasar di Tarakan, terdapat tiga pengelompokkan berdasarkan komponen-komponen yang saling berkorelasi langsung atau tergantung satu sama lainnya. Pertama adalah faktor panjang warp, bukaan mulut trawl, dan kecepatan towing. Keterkaitan antara kecepatan towing dan bukaan mulut trawl telah dijelaskan sebelumnya. Pembukaan mulut jaring trawl ke samping (horizontal net opening) biasa disebut dengan lebar mulut jaring trawl. Lebar mulut trawl bervariasi untuk setiap stasiunnya (Lampiran 1), karena dipengaruhi oleh bukaan otter board yang terbentuk oleh panjang serta sudut kemiringan warp yang berbeda-beda yang digunakan untuk masing-masing stasiun trawl. Variasi nilai bukaan mulut trawl tersebut tentunya akan berbeda, lebih dinamis, dan lebih tepat dibandingkan dengan koefisien Sindo dimana bukaan horizontal mulut trawl adalah sebesar 5060% panjang Head Rope trawl yang digunakan (Budiarti dan Mahiswara 2010). Walaupun bukan hanya panjang warp dan kecepatan yang berpengaruh terhadap lebar mulut trawl. Selama towing, lebar mulut trawl sangat bervariasi tergantung pada kondisi cuaca, keadaan dasar perairan, arus, serta disain trawl itu sendiri (Fridman 1986). Penentuan secara tepat besarnya bukaan diperlukan pengamatan langsung pada alat yang dioperasikan di dasar perairan dengan menggunakan underwater camera atau alat akustik net sounder (Nomura 1975). Pengelompokkan kedua adalah komponen densitas ikan pada dead zone trawl, volume biota non demersal yang terdapat pada codend, dan durasi towing. Semakin lama waktu yang digunakan saat towing, maka akan semakin membuka peluang meningkatnya dead zone trawl akibat semakin meningkatnya volume biota non demersal (ubur-ubur, kerang-kerangan dan lain-lain ) yang masuk pada
52 codend hingga tak mungkin diisi ikan lagi. Kemungkinan tersebut terjadi karena kelimpahan sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan yang relatif sedikit, seperti yang telah disebutkan sebelumnnya. Namun dalam operasional trawl secara utuh, faktor durasi towing dan volume biota non demersal pada codend tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya densitas ikan pada dead zone trawl. Ketiga adalah faktor kedalaman yang benar-benar bebas dari parameter lainnya. Komponen utama dead zone trawl Kemampuan tangkap (catchability) yang relatif rendah dari unit penangkapan trawl yang berbasis di Tarakan, merupakan salah satu masalah dalam estimasi stok sumberdaya ikan demersal. Koefisien catchability tersebut berbanding lurus dengan densitas ikan demersal pada dead zone trawl yang dapat dihitung melalui pendekatan metode akustik-trawl yang terintegrasi. Berdasarkan parameter-parameter teknis operasional trawl yang diukur pada penelitian ini, hanya kedalaman perairan dan panjang warp yang dapat berpengaruh secara nyata terhadap besarnya densitas ikan demersal pada dead zone trawl. Sejatinya kedua komponen tersebut terutama faktor kedalaman merupakan faktor utama yang harus diperhatikan karena sangat menentukan kinerja dari alat tangkap trawl yang akhirnya menentukan keberhasilan penangkapan (Friedman 1986). Walaupun dalam pengoperasian trawl banyak faktor yang perlu dipertimbangkan terkait dengan target penangkapan baik itu faktor teknis mapun non teknis (alam). Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa faktor kedalaman, panjang warp dan bukaan mulut trawl berada pada kuadran yang sama. Hal ini membuktikan bahwa terdapat keterkaitan satu sama lain. Informasi kedalaman perairan akan menentukan panjang warp yang digunakan dan bukan sebaliknya. Panjang warp akan menentukan kinerja papan sewakan (otter board) yang berfungsi sebagai pembuka bagian mulut jaring trawl (Friedman 1986). Berdasarkan hubungan antara kedalaman dengan panjang warp yang digunakan, aspek operasional trawl sudah dilakukan dengan baik dimana rata-rata panjang warp yang digunakan adalah 5 kali kedalaman perairan pada tiap stasiun (Lampiran 1). Menurut Sadhori (1985), panjang warp yang digunakan dalam pengoperasian trawl umumnya berkisar antara 3-5 kali kedalaman. Besarnya sudut PCA yang membentuk jarak antar komponen kedalaman dan panjang warp, mengindikasikan rendahnya korelasi antar keduanya. Artinya pada masing-masing stasiun trawl, panjang warp tidak disesuaikan terhadap adanya perubahan kedalaman. Jika pada saat towing terjadi penambahan kedalaman maka panjang warp harus ditambah, sebaliknya jika kedalamannya semakin dangkal maka warp harus ditarik kembali sesuai dengan kedalaman. Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa begitu besarnya nilai densitas ikan demersal pada dead zone survei trawl di lokasi penelitian. Model persamaan densitas pada dead zone trawl Komponen kedalaman dan panjang warp sebagai faktor yang menentukan besarnya densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) di perairan Tarakan, dapat membangun model linier yang dapat memprediksi DTDZ. Koefisien determinasi (R2) model sebesar 0,62 menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut sudah cukup (Usman dan Purnomo (2006) dan mampu menjelaskan 62% besarnya
53 DTDZ. Sementara 38% lainnya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat pada model. Selain kedalaman dan panjang warp yang terdapat pada model, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi DTDZ. Pengaruh dari faktorfaktor tersebut cukup besar (38%) sehingga model DTDZ yang dihasilkan belum maksimal. Pengaruh dari faktor yang belum teridentifikasi tersebut dapat berkorelasi positif maupun negatif terhadap nilai DTDZ. Faktor angin dan arus merupakan parameter lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kemantapan posisi jaring trawl (Sadhori 1985). Keikutsertaan dua parameter tersebut akan dapat meningkatkan keterandalan model DTDZ, karena semakin banyak variabel yang digunakan dalam membangun model maka cenderung akan meningkatkan nilai determinasi variabel-variabel tersebut terhadap DTDZ tentu dengan memperhatikan keakuratan variabel tersebut. Selama penarikan jaring (towing), bagian depan jaring (mulut jaring, sayap, otter board) tidak senantiasa menempel ke dasar. Adanya arus, gerak tarikan dan kontur dasar menjadikan adanya ruang antara dasar perairan dengan trawl. Arah dan kecepatan arus di dasar periaran akan sangat berpengaruh terhadap performa trawl yang sedang di hela. Selama towing, hendaknya trawl di tarik dengan mempertahankan arah terhadap datangnya arus. Selain pengaruh terhadap jaring, arus mempengaruhi pergerakan ikan yang biasanya bergerak melawan arah arus sehingga mulut jaring harus menentang pergerakan dari ikan. Sementara arah angin akan mempengaruhi pergerakan kapal pada saat towing. Arah haluan kapal akan membentuk sudut terhadap warp yang berpengaruh terhadap bukaan mulut trawl. Selama towing arah haluan senantiasa dipertahankan lurus terhadap warp. Model DTDZ yang terbentuk dapat diinterpretasikan sebagai berikut, jika terjadi perubahan pada kedalaman satu satuan sedangkan panjang warp konstan, maka DTDZ akan berubah sebesar -3,5 satuan. Artinya volume DTDZ akan berkurang 3,5 satuan, karena semakin dalam dasar laut sementara panjang warp konstan maka jarak horizontal antara trawl dengan kapal akan semakin dekat. Sehingga ruang gerak ikan untuk menghindari trawl akan semakin sempit, yang memungkinkan ikan dapat tertangkap lebih banyak. Begitu juga jika terjadi perubahan pada panjang warp sebesar satu satuan dan kedalaman tetap, maka akan mengakibatkan perubahan DTDZ sebesar 1 satuan. Artinya volume DTDZ akan bertambah 1 satuan, karena semakin panjang warp sementara dasar laut konstan maka jarak horizontal antara trawl dengan kapal akan semakin jauh. Sehingga ruang gerak ikan didepan trawl akan semakin lapang, yang memungkinkan ikan lebih leluasa untuk menghindari jaring trawl.
Pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap stok sumberdaya ikan demersal Komponen utama ekosistem ikan demersal Semua parameter lingkungan hasil pengukuran dalam penelitian ini yaitu densitas, jenis dan ukuran ikan, kedalaman perairan, tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos memiliki peran didalam ekosistem ikan demersal di perairan Tarakan. Analisis PCA menunjukkan bahwa faktor tipe substrat dan kelimpahan
54 makrozoobentos memiliki keterkaitan langsung. Sementara keempat faktor lainnya berkorelasi secara parsial terhadap ekosistem. Distribusi atau sebaran ikan demersal sangat dibatasi oleh kedalaman perairan, karena tiap jenis ikan hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan air, karena semakin dalam suatu perairan akan semakin besar tekanan yang diterima. Menurut Widodo (1980), kedalaman suatu perairan merupakan salah satu faktor terpenting yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan demersal. Ikan demersal mempunyai aktifitas rendah, ruayanya tidak jauh dan gerombolannya tidak terlalu besar. Pola penyebaran ikan demersal juga dipengaruhi oleh dasar perairan yang berfungsi menentukan densitas organisme lain yang merupakan makanan ikan dan menentukan tingkat kesuburan perairan karena alga dan bentos mampu mendukung tingkat produktifitas primer tertentu terhadap perairan tersebut (Hutabarat 2000). Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahanbahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat dasar perairan, karena banyak mengambil makanan di substrat dasar perairan. Makanan ikan demersal berupa bentos, moluska maupun biota kecil lainnya. Komponen utama densitas ikan demersal Pada ekosistem perikanan demersal di perairan Tarakan, terdapat dua faktor lingkungan yaitu kedalaman perairan dan tipe substrat sebagai faktor pembeda (diskriminan) terhadap kelimpahan ikan demersal. Kedua parameter lingkungan tersebut merupakan faktor pembeda terbaik terhadap kondisi kelimpahan ikan demersal, dibanding parameter lingkungan lainnya yang diukur pada penelitian ini seperti jenis ikan, kelimpahan makrozoobenthos, dan ukuran ikan. Dengan kata lain, parameter kedalaman perairan disusul oleh tipe substrat dasar laut sudah mampu secara nyata membedakan kondisi densitas sumberdaya ikan demersal di suatu lokasi di perairan Tarakan. Apakah lokasi tersebut mempunyai densitas ikan demersal yang rendah, sedang atau tinggi. Hasil pengukuran densitas ikan demersal di perairan Tarakan menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya sudah dalam tingkat kritis. Rata-rata densitas akustik ikan demersal hanya 1 ekor/m3 bahkan bila menggunakan trawl dasar diprediksi nilai densitasnya hanya sekitar sepertiganya. Rendahnya densitas tersebut akibat tekanan penangkapan yang cukup tinggi terutama oleh aktivitas perikanan trawl (lampara dasar), seiring dengan berkembangnya alat tangkap trawl dan modifikasinya di pantai timur Kalimantan (Sumiono dan Djamali 2006). Pada periode 2000-2004, tingkat eksploitasi tinggi di Tarakan telah diinformasikan Mulyadi et al. (2005), ditandai dengan selalu meningkatnya jumlah unit alat tangkap trawl yang beroperasi setiap tahunnya, bahkan indikasi tersebut berlangsung hingga saat ini. Dalam hubungannya dengan parameter lingkungan, penulis mengklasifikasikan densitas ikan demersal di periaran Tarakan kedalaman tiga kategori yaitu densitas ikan <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3, walaupun secara umum kondisi sumberdayanya sudah dalam kondisi kritis. Terbentuk dua fungsi
55 diskriminan yang secara bersama-sama dapat mengklasifikasikan observasi di masa datang ke dalam satu dari tiga kategori densitas tersebut. Berdasarkan fungsi diskriminan yang terbentuk maka jika semakin dalam dasar perairan, densitas ikan demersal cenderung makin rendah dan sebaliknya. Sementara semakin berlumpur dasar perairan, maka densitas ikan demersal cenderung makin tinggi. Sebaliknya, semakin berpasir dasar perairan, densitas ikan cenderung berkurang. Hasil penelitian Prihatiningsih et al (2012) mengenai stok sumberdaya ikan demersal dengan metode swept area di periaran selat Makassar menyatakan bahwa semakin dalam suatu perairan semakin rendah kepadatan stok ikan demersal. Komposisi jenis ikan demersal yang tertangkap merupakan representatif komunitas ikan pada habitat perairan dangkal dekat pantai, yang pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al. 1989 vide Suharto 1999). Hasil tangkapan dengan densitas yang relatif tinggi dijumpai pada perairan yang relatif dangkal dan berlumpur, hasil tangkapan didominasi oleh kelompok ikan peperek (Leiognathidae) dan ikan gulama (Scianidae) (Lampiran 2). Spesies ikan peperek yang paling mendominasi adalah Leiognathus splendens, merupakan indikator perairan in-shore di sekitar pantai (Losse 1981). Ukuran ikan yang mendominasi hasil tangkapan umumnya relatif kecil (<100-150 gram/ekor) dan bernilai ekonomis rendah, meskipun volume yang tertangkap cukup banyak, seringkali nelayan membuangnya kembali ke laut. Tipe substrat di lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur (lampiran 3) seperti halnya tipe substrat di perairan Selat Makassar pada umumnya. Tingginya laju tangkap ikan peperek (Leiognathidae) di perairan Selat Makassar diduga karena ikan tersebut hidup di substrat lumpur berpasir (Prihatiningsih et al 2012). Selain itu, ikan peperek memiliki pertumbuhan dan rekrutmen tinggi yaitu berumur pendek hanya sampai 2 tahun (Pauly 1980) dan fekunditas berkisar 9.899-180.553 butir telur dengan tipe pemijahan secara bertahap (partial spawner) di mana waktu pemijahan panjang dan terus menerus (Saadah 2000). Wedjatmiko et al (2007) menyatakan bahwa berdasarkan sebaran atau hasil tangkapan, ikan peperek hampir dijumpai di setiap stasiun trawl. Sebaran ikan peperek terdapat disemua wilayah perairan dengan laju tangkap yang hampir merata, kecuali di perairan Nunukan dan Tarakan dengan jumlah relatif lebih tinggi. Ikan peperek di selat Makassar terdistribusi pada kisaran kedalaman 6-68 meter. Semakin dalam perairan maka densitas ikan peperek semakin sedikit. Di selat Makassar, ikan peperek banyak tertangkap pada kedalaman periaran 10-40 meter, dan yang tertinggi hasil tangkapan adlaah pada kedalaman 21-30 meter. Sebagian besar hasil tangkapan trawl di beberapa wilayah perairan Indonesia yang padat penangkapan selalu memperlihatkan ikan peperek mendominasi hasil tangkapan seperti di Laut Jawa (BRPL 2005), Selatan Kalimantan (Sutarto et al. 2007), perairan Aru (Badruddin dan Karyana 1993; BRPL 2001) dan Aceh (BRPL 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan peperek memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan selalu bertahan walaupun sering tertangkap dalam volume yang banyak. Selain itu, fenomena berlimpahnya hasil tangkapan yang bukan menjadi target, mengindikasikan struktur komunitasnya telah berubah akibat pengaruh tekanan eksploitasi (Naamin 1984).
56
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara nilai densitas ikan demersal hasil pengamatan akustik dengan hasil tangkapan jaring trawl. Hasil pendugaan stok ikan demersal dengan metode swept area ternyata belum proporsional terhadap kondisi sumberdaya yang terdapat di perairan Tarakan. Hubungan linier keduanya menunjukkan bahwa kemampuan tangkap (catchability) dari trawl yang berbasis di Tarakan relatif rendah yaitu sebesar 0,3. Nilai tersebut dapat menjadi acuan faktor koreksi dari nilai laju tangkap trawl dalam mengestimasi status stok yang ada di perairan Tarakan. Terlepas dari faktor-faktor non teknis yang juga dapat mempengaruhi kinerja operasi trawl di Tarakan, ternyata kesesuaian antara penggunaan panjang warp terhadap kedalaman perairan menjadi sumber utama adanya deadzone trawl yang meyebabkan sejumlah ikan pada area tersebut tidak dapat tertangkap. Rasio ideal panjang warp dari trawl yang digunakan selama penelitian terhadap kedalaman adalah 4:1 yang menghasilkan densitas ikan paling minimum pada dead zone trawl. Sebaran spasial kelimpahan sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan dapat diidentifikasi secara langsung, yaitu berdasarkan kedalaman dan tipe substrat dasar lautnya. Densitas yang tinggi terdapat di lokasi yang lebih dangkal dan lebih berlumpur yang didominasi jenis ikan peperek (family Leiognathidae) dan ikan gulamah (family Scianidae). Terlepas dari keunggulan dan kelemahan survei akustik maupun trawl, integrasi antar keduanya dapat digunakan dalam upaya meningkatkan akurasi estimasi stok khususnya ikan demersal, serta dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi sumber bias dalam pengambilan contoh. Oleh karena itu, integrasi kedua metode tersebut dapat menjadi referensi/prosedur baku dalam setiap kajian stok, dengan tetap melakukan perbaikan-perbaikan dan standarisasi dalam pengumpulan data atau variabel-variabel yang diperlukan.
Saran Berdasarkan konsep variabilitas catchability terhadap ruang dan waktu, penelitian serupa tetap harus dipertahankan dalam setiap survei kajian stok khususnya sumberdaya ikan demersal. Penelitian lanjutan hendaknya melengkapi pengukuran variabel lingkungan lainnya seperti arus, angin, suhu dan salinitas. Selain itu, dilengkapi dengan perangkat yang akan meningkatkan akurasi pengukuran, seperti net sounder dan under water camera. Pengambilan contoh disarankan untuk dilakukan lebih banyak dan kontinyu, guna meningkatkan nilai korelasi antara densitas ikan hasil survei akustik dan trawl serta dapat melahirkan catchability yang lebih berarti untuk kajian stok. Selama survei pengkajian stok ikan, pengukuran data lingkungan penting untuk dilakukan, mengingat informasi keterkaitan variabilitas lingkungan dengan kondisi sumberdaya ikan sangat berguna dalam menentukan desain pengambilan contoh. Perbedaan karakteristik lingkungan perairan terhadap kondisi distribusi
57 spasial ikan demersal, menuntut agar pengambilan contoh dilakukan dengan memperhatikan strata kedalaman (stratified random sampling), dimana rasio penggunaan panjang warp terhadap kedalaman adalah 3,5:1 di lokasi yang bersubstrat lumpur dan 4,5:1 di lokasi dengan tipe dasar perairan pasir.
DAFTAR PUSTAKA Aglen A. 1996. Impact of fish distribution and species composition on the relationship between acoustic and swept-area estimates of fish density. ICES J. Mar. Sci. 53:501-505. Anonim. 1989. Transcript of Lectures Trawling Gear Methods. OFCF, Tokyo. 91 hal. Ayodhyoa dan Baskoro MS. 1996. Trawl, Telaah Aspek Teknis. Diskusi Ilmiah: Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE Indonesia dan “Permasalahan Pukat Harimau” di Indonesia. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 20 hal. Aziz KA. 1989. Dinamika Populasi Ikan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 88hal. Badrudin. 2004. Dinamika Sumber Perikanan Tangkap. Makalah Direktorat Sumber Daya Ikan, Jakarta. Badrudin, Tampubolon GH, Iskandar PS, Raharjo P. Basuki R. 1998. Sumber Daya Ikan Demersal dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perikanan Indonesia. Komnaskajiskan, Dirjen Perikanan, P2O-LIPI, BPPL, LAPAN, BPPT, FPIK-IPB. Jakarta. Hlm. 139-155. Beare DJ, Reid DG, Greig T, Bez N, Hjellvik V, Godø OR, Bouleau M, van der Kooij J, Neville S, Mackinson S. 2004. Positive relationships between bottom trawl and acoustic data. ICES CM. 24:1-15. Bez N, Reid D, Neville S, Vérin Y, Hjellvik V, Gerritsen HD. 2007. Acoustic data collected during and between bottom trawl stations: consistency and common trends. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 64(1):166-180. Blott JS dan Kenneth P. 2001. Gradistat: A Grain Size Distribution and Statistics Package for The Analysis of Unconsolidated Sediments. Royal Holloway University of London. Boer M, Aziz KA, Widodo J, Djamali A, Ghofar A, Kurnia R. 2001. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 44 hal. [BPPL] Balai Penelitian Perikanan Laut. 2011. Penelitian Penelitian Stok dan Pengusahaan Sumberdaya Udang Penaid dan Krustasea Lainnya di WPP Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone. Laporan Akhir Tahun 2011. Jakarta (ID): Balai Penelitian Perikanan Laut. 145p. [BPPL]. Balai Penelitian Perikanan Laut. 2012. Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP 716-Laut Sulawesi dan WPP 712-Laut Jawa. Laporan Akhir Tahun 2012. Jakarta (ID): Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. 292p. [BRPL]. Balai Riset Perikanan Laut. 2001. Kajian sumberdaya ikan di Perairan Laut Arafura. Laporan survei tahun 2001. Jakarta (ID): Balai Riset Perikanan Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. 86 hal
58 [BRPL]. Balai Riset Perikanan Laut. 2005. Riset Pengkajian Stok, Life History dan Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan demersal dan Udang penaeid di Laut Cina selatan, Laut Jawa dan Selat Makasar. Laporan Akhir Tahun 2005. Jakarta (ID): Balai Riset Perikanan Laut. [BRPL]. Balai Riset Perikanan Laut. 2006. Pengkajian Stok Sumberdaya ikan demersal di perairan Banda Aceh pasca Tsunami. Laporan Teknis Intern. Jakarta (ID): Balai Riset perikanan Laut. Budiarti TW, Mahiswara. 2010. Analisis Bukaan Mulut Jaring Trawl Dasar pada Kapal Riset Bawal Putih. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16(4):323331. Dale EI, William JW. 1989. Oceanography: An Introduction. 3th Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmart. De Robertis A, Handegard NO. 2012. Fish avoidance of research vessels and the efficacy of noise-reduced vessels: a review. ICES Journal of Marine Science. doi:10.1093/icesjms/fss155. Djamali A, Darsono P. 2005. Petunjuk teknis lapangan untuk penelitian ikan karang di ekosistem terumbu karang. Materi khusus. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. LIPI. Jakarta. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan. 2010. Laporan Tahunan 2010. Tarakan (ID): Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan. Dwiponggo A, Badrudin, Nugroho D, Yono S. 1989. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Demersal. Dirjen Perikanan, Puslitbangkan, Puslitbang Oseanologi, Jakarta. Efendi. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta. Ehrenberg JE. 1983. A review of in-situ target strength estimation techniques. FAO Fisheries Report. 300:85-90. Fletcher D, Mackenzie D, Villouta E. 2005. Modelling skewed data with many zeros: A simple approach combining ordinary and logistic regression. Environmental and Ecological Statistics. 12:45-54. Firdaus M. 2005. Kajian Keberlanjutan Perikanan Pukat Tarik (Dragged Gear on Shrimp) di Kota Tarakan Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Firdaus M. 2010. Hasil Tangkapan dan Laju Tangkap Unit Penangkapan Pukat Tarik, Tugu, dan Kelong. Makara Teknologi. 14(1):22-28. Fréon P, Soria M, Mullon C, Gerlotto F. 1993. Diurnal variation in fish density estimate during acoustic surveis in relation to spatial distribution and avoidance reaction. Aquat. Living Resour. 6:221-234. Friedman AI. 1986. Calculation for fishing gear design. Translated From Russian By PJG. Carothers. FAO, Rome. 153-189. Furusawa M. 2011. Echo Integration Near The Seabed. Journal of Marine Science and Technology. 19(3): 259-266. Godø OR, Hjellvik V, Greig T, Beare D. 2004. Can subjective evaluation of echograms improve correlation between bottom trawl and acoustic densities? ICES CM. 23:1-11. Godø OR, Wespestad VG. 1993. Monitoring changes in abundance of gadoids with varying availability to trawl and acoustic surveis. ICES J. Mar. Sci. 50:3951. doi:10.1006/jmsc.1993.1005.
59
Grosslein MD, Laurec A. 1982. Bottom trawl surveis: design, operation and analysis. CECAF/ECAF Series/81/22 (En). Rome-FAO. 25p. Hair JF, Tatham RL, Anderson RE, Black W. 1998. Multivariate data analysis. (Fifth Ed.) Prentice-Hall:London. Harley SJ, Myers RA, Dunn A. 2001. Is catch-per-unit-effort proportional to abundance? Can. J. Fish. Aquat. Sci. 58(9):1760-1772. doi:10.1139/f01-112. Hjellvik V, Michalsen K, Aglen A, Nakken O. 2003. An attempt at estimating the effective fishing height of the bottom trawl using acoustic survei recordings. ICES Journal of Marine Science. 60:967-979. Hjellvik V, Tjøstheim D, Godø OR. 2007. Can the precision of bottom trawl indices be increased by using simultaneously collected acoustic data? The Barents Sea experience. Canadian Journal Fish Aquatic Science. 64:1390-1402. Hutabarat S. 2000. Produktifitas Perairan dan Plankton. Universitas Diponegoro Semarang. Hutabarat S, Stewart ME. 2000. Pengantar Oseanografi. Jakarta. [ICES] International Council for the Exploration of the Sea. 1995. Underwater Noise of Research Vessels: Review and Recommendations. Cooperative Research Report No. 209. Ed. by R. B. Mitson. International Council for the Exploration of the Sea. 60 pp. Jakobsen T, Korsbrekke K, Mehl S, Nakken O. 1997. Norwegian combined acoustic and bottom trawl surveis for demersal fish in the Barents Sea during winter. ICES CM. 17:1-25. Jasman T. 2001. Dampak Perikanan Bundes Terhadap Kelestarian Stock Ikan di Perairan Kota Tegal [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Kailola PJ, Tarp TG. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. Australian Development Assistance Beureau. Directorate General of Fisheries-Indonesia. German Agency for Technical Cooperation. Kimura DK, Somerton DA. 2006. Review of statistical aspects of survei sampling for marine fisheries. Rev. Fish. Sci. 14:245-283. doi:10.1080. Kloser RJ. 1996. Improved precision of acoustic surveis of benthopelagic fish by means of a deep towed transducer. ICES Journal of Marine Science. 53:407413. Kloser RJ, Koslow JA, Williams A. 1996. Acoustic Assessment of the Biomass of a Spawning Aggregation of Orange Roughy (Hoplostethus atlanticus, Collet) off South-eastern Australia, 1990-93. Marine and Freshwater Research. 47:1015-24. Kotwicki S, Robertis AD, Ianelli JN, Punt AE, Horne JK. 2013. Combining bottom trawl and acoustic data to model acoustic dead zone correction and bottom trawl efficiency parameters for semipelagic species. Canadian Journal Fish Aquatic Science. 70:208-219. Krieger K, Heifetz J, Ito D. 2001. Rockfish assessed acoustically and compared to bottom-trawl catch rates. Alaska Fishery Research Bulletin. 8(1):71-77. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Pub. New York. Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheriesn Oceanography and Ecology. Fishing News Books Limited. London. Longhurst AR, Pauly D. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, INC. London. 407 p.
60 Losse GF. 1981. Final report 0f the Indonesian German demersal fisheries project 1973-1979. Special report. Contribution of Demersal Fish Project. No. 8. Marine Fisheries Research Report. RIMF-GTZ. 45 p. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, A Primer on Methods and Computing. John Wiley and Sons, Inc. New York. 337p. MacLennan DN, Simmonds EJ. 2005. Fisheries Acoustics. London. Chapman & Hall. Masrikat J. 2009. Kajian Standing Stock Ikan Pelagis Kecil dan Demersal serta Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Laut Cina Selatan, Perairan Indonesia [Disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. McQuinn IH, Simard Y, Stroud TWF, Beaulieu JL, Walsh SJ. 2005. An adaptive, integrated ‘‘acoustic-trawl’’ survei design for Atlantic cod (Gadus morhua) with estimation of the acoustic and trawl dead zones. ICES Journal of Marine Science. 62:93-106. Mello LGS, Rose GA. 2009. The acoustic dead zone: theoretical vs empirical estimates, and its effect on density measurements of semi-demersal fish. ICES Journal of Marine Science. 66:1364-1369. Michalsen K, Godø OR, Fern¨o A. 1996. Diel variation in the catchability of gadoids and its influence on the reliability of abundance estimates. ICES J. Mar. Sci. 53:389-395. Mitson RB. 1983. Acoustic Detection and Estimation of Fish near the Seabed and Surface. FAO Fisheries Technical Reports. 300:24-37. Mulyadi E, Saptoyo, Nuryadi, Tofani A. 2005. Identifikasi Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Perbatasan Timur Kalimantan. Laporan Teknis Intern, BPPI Semarang. Mulyadi E, Widodo, Yunanda T, Madrah L. 2001. Identifikasi Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Perikanan Demersal di Selat Tioro Sulawesi Tenggara. BPPI Semarang. Naamin N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ona E, Godo OR. 1990. Fish reaction to trawling noise: the significance for trawl sampling. Rapp. P.v. Riun. Cons. int. Explor. Mer. 189:159-166. Ona E, Mitson RB. 1996. Acoustic sampling and signal processing near the seabed: the dead zone revisited. ICES Journal of Marine Science. 53:677-690. Ona E, Pennington M, Vølstad JH. 1991. Using acoustics to improve the precision of bottom-trawl indices of abundance. ICES C.M. 13:11p. Pauly D. 1980 The use of pseudo catch-curve for the estimation of mortality rates in Leiognathus splendens (Pisces: Leiognathidae) in Western Indonesian Waters. Meeresforschung. 28(1):56-60. Pauly D, Martosubroto P, Saeger J. 1996. The Mutiara 4 Surveys in the Java and South China Seas, November 1974 to July 1976. Pauly D, Martosubroto P, editor. Terjemahan dari The Fish Resources of Western Indonesia. DGF-T2ICLARM. 47-54. Pujiyati S. 2008. Pendekatan metode hidroakustik untuk pendugaan klasifikasi tipe substrat dasar perairan dan hubungannya dengan komunitas ikan demersal [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
61
Poerbondono, Djunasjah E. 2005. Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama. Bandung. Prihatiningsih, Suprapto, Wedjatmiko. 2012. Komposisi dan penyebaran ikan demersal di perairan selat Makassar. Bunga Rampai BPPL: Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan Selat Makassar-Teluk Bone-Laut Flores-Laut Banda. Editor: Ali Suman, Wudianto, Bambang Sumiono. IPB Press. hal:45-59. Ridho MR, Kaswadji RF, Jaya I, Nurhakim S. 2004. Distribusi sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11(2):123-128. Saadah. 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sadhori S. 1985. Teknik Penangkapan Ikan. PT. Angkasa, Bandung. Sadhotomo B. 2004. Riset bioekologi ikan pelagis kecil dan demersal di periaran Laut Flores, Selat Makassar, dan Sekitarnya. Laporan Tahunan Internal. Balai Riset perikanan Laut. Jakarta. Shevelev MS, Mamylov VS, Ratushny SV, Gavrilov EN. 1998. Technique of Russian bottom trawl and acoustic surveis of the barents sea and how to improve them. NAFO Scientific Council Studies. 31:13-19. Shindo S. 1973. General review of the trawl fishery and the demersal fish stocks of the South China Sea. FAO Fish. Tech. Pap. (120):49 pp. Simmonds J, MacLennan D. 2005. Fisheries Acoustics: Theory and Practice, 2nd edition. Blackwell, Oxford. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p. Stauffer, G. 2004. NOAA protocols for groundfish bottom trawl surveys of the Nation's fishery resources. US Dep. Comer. NOAA. Tech. Memo. NMFSF/SPO-65. Suharto. 1999. Studi Tentang Kemampuan Tangkap Trawl Dasar dan Hubungan nya dengan Kepadatan Ikan Dasar di Perairan Labuan Maringgai [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 129 hal. Sumiono B, Sudjianto, Soselisa Y, Murtoyo TS. 2002. Laju tangkap, komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (4) Sumiono B, Djamali A. 2006. Pemanfaatan sumberdaya udang dan ikan demersal di perairan perbatasan Nunukan-Tawau, Kalimantan Timur. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Ekosistem Terumbu Karang Sapa Segajah dan Ekosistem Muara Kalimantan Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UnMul-Bappeda Pemprov Kalimantan Timur-PRPT-P2O LIPI:130-147. Sutarto, Budiman, Joko S dan Eris M. 2007. Kajian Sumber daya ikan demersal di perairan Selatan Kalimantan. Laporan Teknis Intern BBPPI Semarang. Tampubolon GP. 1991. Status Penangkapan Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Indonesia. Universitas Diponegoro. Semarang. Tampubolon GP, Monintja DR. 1995. Pendugaan Stok Ikan Demersal dengan Metode Sweept Area. Cruise Sandipati Bahari. 12p. Usman H, Purnomo SA. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 200-201.
62
von Szalay PG, Somerton DA, Kotwicki S. 2007. Correlating trawl and acoustic data in the eastern Bering Sea: A first step toward improving biomass estimates of walleye pollock (Theragra chalcogramma) and Pacific cod (Gadus macrocephalus)?. Fisheries Research. 86:77-83. Wallace JR, West CW. 2006. Measurements of distance fished during the trawl retrieval period. Fisheries Research. 77:285-292. Walsh SJ. 1996. Efficiency of Bottom Sampling Trawls in Deriving Survei Abundance Indices. NAFO Science Council Studies. 28:9-24. Wedjatmiko, Ernawati T, Sukarniaty. 2007. Komposisi Jenis dan Distribusi Ikan Petek (Leiognathidae) di Periaran Selat Makassar. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13(1):53-60. Wedjatmiko, Wijopriono, Suprapto. 2009. Populasi ikan demersal di perairan Aru, Propinsi Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (3). Widodo J. 1980. Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal di Laut Jawa di Luar Kedalaman 20 Meter [Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor. 160hal. Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan ke II. 252 hal. Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta, LIPI. 251 halaman. Wigan M. 1998. The Last of The Hunter Gatherers (Fisheries Crisis at Sea). Swan Hill Press. London. 270 p. Winger PD, Eayrs S, Glass CW. 2010. Fish Behavior near Bottom Trawls (Chapter 4). Part Two: Fish Behavior near Fishing Gears during Capture Processes. Behavior of Marine Fishes Capture Processes and Conservation Challenges. Blackwell Publishing Ltd. 67-104pp. Wudianto, Barus HR. 1993. Penangkapan Udang Laut Dalam Dengan Beam Trawl. Jurnal Penelitian Peikanan Laut. 77:92-106. Yusof S. 2002. Demersal fish stock assessment in the inshore of the east coast of Peninsular Malaysia. Thirteenth trawl survei of the coastal waters of east coast of Peninsular Malaysia (April-June 2001). Ministry of Agriculture Malaysia. 138p.
63 Lampiran 1 Aspek teknis operasional trawl Trip
Trawl
Kedalaman (m)
Backstep (m)
Warp (m)
Bukaan trawl (m)
Durasi towing (mnt)
Kecepatan Towing (m/s)
Jarak towing (m)
Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
17.9 14.0 25.8 14.6 16.0 10.3 13.1 13.0 11.2 10.4 33.0 46.5 10.7 40.4 8.4 26.1 31.7 34.0 11.9 15.0 24.8
0.25 0.24 0.27 0.24 0.24 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.29 0.33 0.23 0.31 0.22 0.27 0.28 0.29 0.23 0.24 0.27
75 90 90 90 90 45 45 30 30 45 75 90 75 135 75 135 135 135 60 90 60
9.6 14.3 5.5 15.7 16.7 7.2 5.7 9.4 6.4 7.9 0.0 8.3 7.2 5.8 7.0 12.0 9.0 12.2 8.8 15.6 6.4
58 64 14 32 67 65 60 65 56 68 20 62 64 35 71 40 63 39 38 63 61
1.6 1.9 1.4 1.6 1.9 2.3 1.7 1.2 1.6 1.4 2.2 2.4 1.5 2.1 1.9 1.9 1.9 1.8 1.9 1.5 1.1
3672 5054 746 2079 5595 7084 4048 2702 3723 3784 3784 6709 4516 3398 5786 3396 5373 2968 3144 3563 2258
Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt Agt
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
19.9 15.7 13.8 16.3 15.1 21.9 30.1 30.6 9.6 12.4 10.2 25.1 51.1 34.3 24.4 14.3 12.8 21.6 16.0 14.8
0.25 0.24 0.24 0.24 0.24 0.26 0.28 0.28 0.22 0.23 0.23 0.27 0.34 0.29 0.26 0.24 0.23 0.26 0.24 0.24
90 90 90 90 90 90 90 135 135 135 135 135 135 135 135 135 135 135 135 90
12.7 15.7 14.6 20.3 20.3 19.9 18.0 20.3 11.1 11.2 15.8 14.6 14.8 16.8 10.0 18.6 10.9 13.4 18.6 19.9
33 55 56 52 53 56 59 59 59 59 57 64 61 57 55 57 56 24 63 59
2.0 2.1 1.6 1.5 2.1 2.4 1.8 1.9 2.1 1.6 1.9 2.0 1.8 1.1 1.8 1.8 1.8 2.1 1.7 2.0
2980 5217 3572 3001 5208 6407 4651 4917 5584 3897 4869 5665 4695 2025 4238 4410 4476 2338 4695 5395
Keterangan
error
unsucces
unsucces unsucces
64 Lampiran 1 Aspek teknis operasional trawl (lanjutan) Trip
Trawl
Kedalaman (m)
Backstep (m)
Warp (m)
Bukaan trawl (m)
Durasi towing (menit)
Kec. Towing (m/s)
Jarak towing (m)
Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
20.5 14.7 14.0 11.2 12.2 11.9 14.8 37.0 33.7 28.6 44.7 41.7 14.5 19.0 13.3 38.4 45.0 20.2 30.6 11.7 13.0
0.25 0.24 0.24 0.23 0.23 0.23 0.24 0.30 0.29 0.28 0.32 0.31 0.24 0.25 0.23 0.30 0.32 0.25 0.28 0.23 0.23
90 108 144 144 144 144 162 144 144 144 144 144 144 162 286 286 162 162 162 162 162
11.5 10.9 11.5 10.9 10.2 9.5 10.2 11.3 11.2 12.3 12.2 12.3 11.2 11.2 11.2 12.3 12.3 11.2 11.2 10.1 9.4
58 77 57 60 61 56 52 52 52 60 62 68 60 55 59 57 61 58 55 74 58
1.8 1.4 1.6 2.2 1.9 1.7 1.8 2.2 2.0 2.0 2.1 2.0 1.9 2.3 1.4 1.8 1.8 2.0 1.5 1.7 1.5
4614 4058 3639 6214 5165 4114 3953 5357 4685 5609 5946 6131 5028 5909 3333 4550 4898 5322 3413 5537 3339
Keterangan
error
Lampiran 2 Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan trawl Mei Famili Scianidae Leiognathidae Harpadontidae Ariidae Gerreidae Polynemidae Mullidae Cynoglossidae Ephippidae Haemulidae
% 43 38.8 6.4 3 1.7 1.2 1 0.8 0.6 0.6
Agustus Famili Leiognathidae Scianidae Apogonidae Mullidae Harpadontidae Gerreidae Polynemidae Tetraodontidae Trichyuridae Ephippidae
% 86.7 4.5 2 1.9 1.1 1.1 0.6 0.3 0.3 0.3
November Famili Leiognathidae Scianidae Mullidae Apogonidae Harpadontidae Gerreidae Ariidae Nemipteridae Cynoglossidae Ephippidae
% 63.3 20.2 3 2.8 2.5 1.4 1.3 0.9 0.8 0.6
65 Lampiran 3 Densitas ikan demersal dan kondisi lingkungan tiap stasiun trawl Makrozoo bentos (ind/m2)
Kedalaman (m)
W rata(gram)
Densitas (n/m3)
Kategori densitas
225
17.86
5.53
8.00
< 50
Berlumpur
1
14.01
11.21
12.0
< 50
Berlumpur
775
10.35
13.26
64.0
50-100
Sciaenidae
Berlumpur
175
13.03
33.52
11.0
< 50
9
Sciaenidae
Pasir
25
11.23
14.29
32.0
< 50
12
Leiognathidae
Berlumpur
25
46.45
3.64
1.00
< 50
Leiognathidae
Berlumpur
100
40.36
21.00
1.00
< 50
Leiognathidae
Lumpur Berpasir
450
26.07
5.36
2.00
< 50
Harpadontidae
Berlumpur
25
19.90
85.40
35.0
< 50
Harpadontidae
Berlumpur
250
15.66
20.49
23.0
< 50
3
Harpadontidae
Lumpur Berpasir
1600
13.78
92.54
33.0
< 50
Agt
5
Sciaenidae
Pasir berlumpur
650
15.10
38.34
6.00
< 50
Agt
8
Leiognathidae
Berlumpur
850
30.64
6.78
4.00
< 50
Agt
9
Leiognathidae
Berlumpur
25
9.61
8.20
15.0
< 50
Agt
10
Sciaenidae
Berlumpur
250
12.40
11.49
61.0
50-100
Agt
11
Leiognathidae
Berlumpur
200
10.16
6.01
17.0
< 50
Agt
12
Leiognathidae
Berlumpur
1800
25.07
5.93
0.00
< 50
Agt
13
Apogonidae
Berlumpur
875
51.11
4.05
1.00
< 50
Agt
14
Apogonidae
Lumpur Berpasir
1025
34.35
4.34
2.00
< 50
Agt
15
Apogonidae
Berlumpur
875
24.40
3.76
2.00
< 50
Agt
17
Leiognathidae
Pasir berlumpur
650
12.75
9.09
131
> 100
Agt
18
Sciaenidae
Berlumpur
25
21.63
6.06
7.00
< 50
Agt
19
Sciaenidae
Berlumpur
250
15.98
18.45
87.0
50-100
Agt
20
Leiognathidae
Berlumpur
250
14.76
6.49
42.0
< 50
Nov
2
Sciaenidae
Pasir berlumpur
1
14.74
12.07
108
> 100
Nov
3
Leiognathidae
Pasir berlumpur
125
13.96
6.56
152
> 100
Nov
5
Leiognathidae
Pasir berlumpur
1
12.16
6.99
367
> 100
Trip
Stasiun Trawl
Famili Dominan
Tipe substrat
Mei
1
Sciaenidae
Berlumpur
Mei
2
Sciaenidae
Mei
6
Sciaenidae
Mei
8
Mei Mei Mei
14
Mei
16
Agt
1
Agt
2
Agt
Nov
6
Leiognathidae
Pasir
1
11.93
11.67
211
> 100
Nov
7
Leiognathidae
Pasir berlumpur
200
14.79
7.02
144
> 100
Nov
8
Leiognathidae
Pasir berlumpur
75
36.99
5.45
9.00
< 50
Nov
10
Leiognathidae
Pasir berlumpur
1
28.58
5.00
1.00
< 50
Nov
11
Apogonidae
Pasir berlumpur
125
44.74
3.52
3.00
< 50
Nov
12
Leiognathidae
Pasir berlumpur
25
41.70
3.17
10.0
< 50
Nov
13
Leiognathidae
Pasir berlumpur
25
14.53
8.38
250
> 100
Nov
14
Leiognathidae
Pasir berlumpur
50
19.03
16.88
62.0
50-100
Nov
15
Sciaenidae
Pasir
25
13.27
11.11
179
> 100
Nov
16
Leiognathidae
Pasir berlumpur
1
38.35
5.62
6.00
< 50
Nov
17
Apogonidae
Pasir berlumpur
225
45.02
3.84
8.00
< 50
Nov
18
Leiognathidae
Pasir berlumpur
1
20.22
6.02
109
> 100
Nov
19
Apogonidae
Pasir berlumpur
25
30.59
4.21
27.0
< 50
66 Lampiran 4 Contoh perhitungan tinggi backstep zone tiap stasiun akustik-trawl menggunakan persamaan Ona and Mitson (1996) Trip Trawl Mei 1 Mei 2 Mei 3 Mei 4 Mei 5
dek,i 16.9 13.0 24.8 13.6 15.0
dek,i + 1 m 17.9 14.0 25.8 14.6 16.0
θ (7,5o/2) 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5
tan θ 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
θ2 12.25 12.25 12.25 12.25 12.25
c (m/s) 1545.32 1545.32 1545.32 1545.32 1545.32
τ (ms) 0.512 0.512 0.512 0.512 0.512
DZt,i (m) 0.25 0.24 0.27 0.24 0.24
Agt Agt Agt Agt Agt
1 2 3 4 5
18.9 14.7 12.8 15.3 14.1
19.9 15.7 13.8 16.3 15.1
3.5 3.5 3.5 3.5 3.5
0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
12.25 12.25 12.25 12.25 12.25
1545.28 1545.28 1545.28 1545.28 1545.28
0.512 0.512 0.512 0.512 0.512
0.25 0.24 0.24 0.24 0.24
Nov Nov Nov Nov Nov
1 2 3 4 5
19.5 13.7 13.0 10.2 11.2
20.5 14.7 14.0 11.2 12.2
3.5 3.5 3.5 3.5 3.5
0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
12.25 12.25 12.25 12.25 12.25
1545.32 1545.32 1545.32 1545.32 1545.32
0.512 0.512 0.512 0.512 0.512
0.25 0.24 0.24 0.23 0.23
Lampiran 5 Hasil perhitungan uji-t terhadap densitas akustik-trawl pada masing masing stasiun menggunakan program Minitab 14. ————— 1/13/2014 12:37:31 AM —————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Paired T-Test and CI: akustik, trawl Paired T for akustik - trawl
akustik trawl Difference
N 50 50 50
Mean 81446.2 2595.0 78851.1
StDev 121733.5 2602.9 120496.7
SE Mean 17215.7 368.1 17040.8
95% CI for mean difference: (44606.4, 113095.9) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 4.63 0.000
P-Value =
67 Lampiran 6 Desain dan spesifikasi jaring trawl dasar di Tarakan 1,20 m 90 #
d/9 5,5 m
6,5 m
# 1 ½”
11,5m
6m 6m 3m 300 #
3m 270 #
d/9 # 1 ½” 9m
75 #
75 #
d/15
d/15
# 1 ¼”
# 1 ¼”
d/18
d/18
# 1 ¼”
# 1 ¼”
3,5 m
1,5 m
Nama lokal Head Rope Ground Rope Sayap jaring Badan jaring Kantong jaring Otter board
: : : : : : :
pukat hela, lampara dasar 26 meter 28 meter panjang 11,5 m (diameter mata jaring 1,5 inch) panjang 9 m (diamter mata jaring 1,5 inch) panjang 5 m (diameter mata jaring 1,25 inchi) bahan kayu 1,5 x 0,8 m
68 Lampiran 7 Wahana penelitian dan proses pengumpulan data Kapal mini trawl
Setting jaring trawl
Akustik (Echosunder EY-60)
Sortir dan pengukuran hasil tangkapan
Pengukuran sudut warp
Pengambilan substrat dasar laut
69
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dilahirkan di Sumedang pada tanggal 26 Januari 1979 dari pasangan Bapak Nana Maryudin dan Ibu Enok Rokayah. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1986 masuk di SD Negeri Ciuyah II kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Cimalaka pada tahun 1991 dan tahun 1994 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 1 Sumedang. Pada tahun 1997-2002 penulis menempuh pendidikan (S1) di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 sampai sekarang bekerja sebagai peneliti bidang sumberdaya dan lingkungan di Balai Penelitian Perikanan Laut, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama tahun 20112014, penulis melanjutkan studi program pascasarjana (S2) di Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Publikasi yang berkaitan dengan tesis ini yaitu Pendekatan survei akustik untuk menganalisis kemampuan tangkap trawl yang berbasis di Tarakan, yang diterbitkan pada Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) volume 20 No.1 Maret 2014.