Aplikasi Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System) untuk Eksplorasi Densitas Ikan di suatu Perairan dengan Ekosistem Pulau Hollanda Arief Kusuma (C552140101)
Sistem Akustik Bim Terbagi ((Split Beam Acoustic System) Sistem hidroakustik dibagi menjadi dua yaitu sistem aktif dan sistem pasif. Sistem aktif memancarkan gelombang suara melalui transmitter dan menerimanya kembali melalui receiver sedangkan sistem pasif hanya menerima gelombang suara di perairan dengan menggunakan receiver. Salah satu instrumen akustik aktif ialah echosounder. Echosounder merupakan salah satu jenis sonar yang bim akustiknya mengarah ke vertikal bawah dimana pengiriman dan penerimaan gelombang akustik dilakukan pada satu transducer (Simmonds dan MacLennan, 2005; BenoitBird dan Lawson, 2015). Saat ini echosounder sudah berkembang pesat. Saat ini sudah diproduksi bermacam-macam jenis echosounder mulai dari Single Beam Echosounder, Dual Beam Echosounder, Multi Beam Echosounder, dan Split Beam Echosounder (Gambar 1). Masing-masing echosounder memiliki frekuensi kerja yang berbeda-beda sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh produsen. Echosounder ini dapat ditempatkan pada berbagai wahana (Gambar 2).
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 1. Contoh Echosounder (a) Single Beam Echosounder ; (b) Dual Beam Echosounder; (c) Multi Beam Echosounder; (d) Split Beam Echosounder
Gambar 2. Wahana yang dapat digunakan untuk meletakkan echosounder Split Beam Echosounder sebagai salah satu jenis echosounder memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan Single Beam Echosounder dan Dual Beam Echosounder dan lebih murah harganya dibandingkan dengan Multi Beam Echosounder. Alasan inilah yang menyebabkan Split Beam Echosounder menjadi pilihan yang tepat untuk digunakan dalam eksplorasi densitas ikan yang diharapkan dapat digunakan dalam estimasi stok ikan untuk mendukung manajemen perikanan tangkap berbasis ekosistem.
Split Beam Echosounder dibagi menjadi empat kuadran pada permukaan transducer sehingga posisi target dapat diketahui dalam tiga dimensi (Gambar 3). Instrumen ini mengukur perbedaan perbedaan fase echo dan amplitudo antar bagiannya. Split beam echosounder mampu mendeteksi dasar perairan, gerombolan ikan hingga arah gerak target ikan tunggal. Split Beam Echosounder juga diaplikasikan pada bidang hidrografi dalam pengukuran kedalaman yang akurat (MacLennan et.al., 2004, Benoit-Bird dan Lawson, 2015).
Gambar 3. Ilustrasi Split Beam Echosounder
Split Beam Echosounder Simrad ES380 merupakan Split Beam Echosounder yang pertama kali diproduksi pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1985 Split Beam Echosounder versi scientific Simrad ES400 dan Simrad ES470 dikeluarkan dan telah digunakan untuk pengukuran target strength insitu dan analisis survey distribusi ukuran ikan (Brede et.al., 1990).
Beberapa contoh produk Split Beam Echosounder ialah Simrad EK60 yang bekerja pada frekuensi 18, 38, 120, dan 120 kHz dengan lebar beam tiap bagian sebesar 7º kecuali pada frekuensi 18 kHz dimana lebar beamnya sebesar 11º (Scoulding et.al., 2015), Simrad EK500 38 kHz dengan lebar beam 7,1º (MacLennan et.al., 2004), dan Biosonix Split-Beam DTX Echosounder yang bekerja pada frekuensi 200 kHz dengan sudut setengah beam 6,5º (Pollom dan Rose, 2015).
Penggunaan Split Beam Echosounder harus memperhitungkan frekuensi kerja dan daya yang dihasilkan oleh transducer. Hal ini dikarenakan adanya faktor absorpsi gelombang suara di laut. Split Beam Echosounder dengan bentuk transducer yang
besar, fekuensi kerja yang rendah, dan daya transmit yang maksimum akan memberikan jangkauan observasi yang maksimum. Jarak observasi Split Beam Echosounder pada tiap frekuensi dan daya diberikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Jarak Observasi Split Beam Echosounder (Simrad, 2006) Split Beam Echosounder menggunakan teknik interferometri dari informasi fase dan amplitudo pada kuadran transducer yang berdekatan untuk memperoleh nilai target strength (Gambar 5). Perbedaan fase echo ialah sebuah fungsi dari bilangan gelombang akustik (k), jarak antara “pusat massa akustik” dari kuadran yang berdekatan dan sudut target relatif terhadap sumbu bim akustik dari transducer tersebut. Keempat kuadran berfungsi sebagai transmitter dan mengirimkan sinyal secara bersamaan saat transducer ini menerima sinyal hambur balik dimana membentuk empat bim dengan dua bim tegak lurus dengan yang lainnya (Chu, 2011).
Gambar 5. Prinsip Kerja Split Beam Echosounder (Simmonds dan MacLennan, 2005) Sistem Akustik Perairan Dangkal Perairan dangkal dapat dibagi menjadi dua area yaitu estuari dan perairan lepas pantai (coastal area). Kedua area ini memiliki peranan penting pada kehidupan manusia dan merupakan area perairan yang paling produktif serta ekonomis di dunia (Samedy et.al., 2015).
Eksplorasi perairan dangkal menjadi sangat menarik dikarenakan karakteristik perairannya yaang sangat khas. Lingkungan perairan dangkal sangat berbeda dengan perairan laut dalam. Kondisi batas (boundary condition), profil kecepatan suara, inhomogenitas medium, dan banyak faktor lain yang berbeda antara perairan dangkal dan laut dalam. Medium perairan dangkal lebih rumit pengaplikasiannya dibandingkan dengan perairan laut dalam serta lebih kaya akan fenomena yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi. Perairan dangkal merupakan habitat utama bagi sebagian besar kehidupan biota laut. Derau yang dihasilkan dari biota laut seperti gerombolan ikan menjadi lebih dominan dan hal ini harus dipertimbangkan dalam pendeteksian menggunakan sistem akustik.
Katsnelson et al. (2012) menyampaikan dua perbedaan antara perairan dangkal dan laut dalam yaitu (1) perbedaan dalam kekuatan reverberasi dan atenuasi; dan (2) efek akustik tiga dimensi lebih kuat di perairan dangkal dibandingkan dengan di laut dalam. Di perairan dangkal batas antara permukaan dan dasar sangat dekat sehingga hambur balik, reverberasi, dan atenuasi dasar perairan lebih menonjol. Pada laut dalam efek akustik tiga dimensi hanya diperuntukkan pada pencarian gunung laut dan pulau. Pada perairan dangkal terdapat shelf slope, shelf break, dan canyon yang memiliki efek tiga dimensi yang signifikan.
Eksplorasi Densitas Ikan Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan daerah yang menarik untuk diteliti karena tiap perairan memiliki karakteristiknya tersendiri yang perlu untuk digali lebih lanjut. Estimasi densitas ikan perlu dilakukan untuk mengetahui stok ikan yang berada di perairan Indonesia. Informasi ini penting untuk mendukung manajemen perikanan tangkap yang berbasis ekosistem (Bird dan Lawson, 2015).
Eksplorasi menggunakan sistem akustik merupakan cara terbaik untuk mengetahui densitas ikan karena sistem akustik bersifat non-invasif dan non-ekstraktif. Arah penelitian saat ini sudah mencapai identifikasi target spesies yang spesifik untuk mengestimasi biomassa secara akurat (Bird dan Lawson, 2015).
Estimasi biomassa ikan dan pola tingkah laku ikan pada split beam echosounder didekati dari nilai target strength tiap individu ikan (Bertrand et.al., 1999, Scoulding et.al., 2015). Melvin dan Cochrane (2014) telah melakukan pengukuran dengan menggunakan Split Beam Echosounder dimana hasilnya dapat dilihat pada Gambar 6. Dari gambar ini dapat diketahui gerombolan ikan dan ikan individu dimana gerombolan ikan memberikan nilai hambur balik yang lebih kuat dibandingkan dengan ikan individu. Dari Split Beam Echosounder juga dapat dilihat zona konvergen dan turbulensi permukaan.
Gambar 6. Hasil Echogram dari pengamatan selama 30 menit dari Simrad EK 60 Split Beam Echosounder pada 27 November 2008. Desain Survei Menggunakan Split Beam Echosounder Pada Perairan Dangkal Metode survei estimasi kelimpahan ikan menggunakan akustik memiliki kesamaan dengan metode survei lain yang digunakan dalam penelitian perikanan. Metode ini membutuhkan koleksi data dari area yang dihuni oleh spesies yang ingin diketahui kelimpahannya, analisa akustik, dan catatan lain untuk memberikan informasi yang dibutuhkan mengenai populasi pada area yang disurvei (Simmonds dan MacLennan, 2005).
Survei estimasi kelimpahan ikan terkadang dibatasi oleh waktu dan biaya. Pada prakteknya, survei akustik ini hanya memberikan proporsi yang kecil informasi akustik dari area luas yang disurvei. Oleh karena itu perlu diperhitungkan sebuah desain survei yang representatif untuk mengetahui distribusi ikan pada area survei yang luas. Desain survei ini dirancang menggunakan prosedur berikut ini (Simmonds dan MacLennan, 2005): 1. Definisikan wilayah geografis dari area yang akan disurvei. Jika survei ini dimaksudkan untuk menggunakan strategi adaptif maka perlu diputuskan prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam menyesuaikan cakupan selama survei. 2. Perkirakan sumber daya yang diperlukan untuk survei yang memadai dari daerah yang ditetapkan, terutama yang waktu survei kapal dalam kaitannya dengan kepadatan sampling.
3. Kalkulasi waktu yang tersedia untuk survei dan buatlah kegiatan sampingan seperti memancing untuk menghilangkan kepenatan. 4. Tentukan strategi sampling dan tipe jalur survei kapalnya. 5. Masukkan jalur survei ke dalam peta sehingga dapat dipastikan area yang disampling mewakili seluruh area yang akan disurvei. Prosedur di atas akan mempermudah analisa data dan akan memberikan hasil yang memuaskan.
a. Area Geografis Area yang akan disurvei perlu diketahui secara jelas. Sebagai contoh di Indonesia ialah Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Raja Ampat. Kedua kepulauan ini memiliki karakteristik yang berbeda. Kepulauan Mentawai berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan terdiri dari pulau-pulau besar (Gambar 7). Sedangkan Kepulauan Raja Ampat memiliki karakteristik dimana pulau-pulaunya didominasi pulau-pulau kecil dan berada di antara selat-selat (Gambar 8). Desain survei pada dua kepulauan ini akan berbeda.
Gambar 7. Area Geografis Kepulauan Mentawai
Gambar 8. Area Geografis Kepulauan Raja Ampat b. Jalur Survei Setelah area survei diketahui maka perlu dibuatkan jalur survei. Jalur ini harus memperhatikan waktu dan biaya yang dibutuhkan/disediakan pada saat survei. jalur survei dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu (a) paralel sistematik, (b) zig-zag sistematik, (c) desain random penuh, (d) desain random yang ditambahkan dengan satu transek yang berada pada interval yang sama (Gambar 9).
Dalam penentuan jalur survei harus diperhitungkan beberapa hal seperti fitur geografis seperti pulau dan garis pantai, keperluan intensitas sampling yang berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan perilaku migrasi dari ikan yang akan diestimasi kelimpahannya. Pada dua kepulauan yang dijadikan contoh yaitu Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Raja Ampat memiliki jalur survei yang berbeda. Pada Kepulauan Mentawai jalur survei paralel sistematik lebih cocok karena areanya yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Penghalang berupa pulau-pulau kecil jarang ditemukan. Bentuk jalur surveinya diberikan pada Gambar 10. Kepulauan Raja Ampat lebih cocok menggunakan jalur survei tipe paralel dikarenakan daerah yang didominasi oleh pulau-pulau kecil yang berada di
sekitar pulau besar. Bentuk jalur survei yang dibuat untuk mengetahui estimasi kelimpahan ikan di Kepulauan Raja Ampat diberikan pada Gambar 11.
Darat
Gambar 9. Empat Jenis Jalur Survei (Simmonds dan MacLennan, 2005)
Gambar 10. Desain Survei Estimasi Kelimpahan Ikan di Kepulauan Mentawai
Gambar 11. Desain Survei Estimasi Kelimpahan Ikan di Kepulauan Raja Ampat
c. Waktu Survei Waktu survei menjadi faktor yang penting untuk diperhitungkan dalam melakukan survei. Waktu survei ini dikalkulasi tidak hanya dari waktu perjalanan kapal saat melakukan pendataan tapi juga dari waktu bongkar muat kapal, waktu perjalanan dari titik keberangkatan hingga area survei, waktu kalibrasi instrumen akustik, memancing untuk mengidentifikasi echo trace, dan waktu pengambilan data pada stasiun pengukuran hidrografi (Simmonds dan MacLennan, 2005).
Waktu survei dari jalur yang dibuat pada Kepulauan Mentawai (Gambar 10) dan Kepulauan Raja Ampat (Gambar 11) perlu diestimasi agar dapat diketahui jumlah hari survei. Dari jalur yang dibuat maka dibutuhkan waktu 60 hari untuk menyelesaikan semua jalur survei baik di Kepulauan Mentawai maupun di Kepulauan Raja Ampat. Waktu survei ini diestimasi dengan asumsi kecepatan kapal konstan pada 7 knot. Kalibrasi Split Beam Echosounder
Salah satu kunci agar memperoleh informasi akustik yang dapat diulang dan dapat dihitung (repeatable and quantifiable) ialah performa Split Beam Echosounder. Salah satu cara agar data akustik ini valid ialah kalibrasi bola sphere standar (Foote et.al., 1987 dalam Watkins et.al., 2015). Jika transducer ditempatkan pada bagian bawah kapal maka bola sphere diletakkan pada bagian bawah kapal dengan menggunakan tiga tali nilon dimana tali pertama dan kedua diletakkan pada sisi samping kapal dan tali ketiga diletakkan di bagian belakang kapal (Gambar 12). Tiap tali dibantu mesin derek untuk mengatur panjang tali pembantu ini agar bola sphere berada tepat di bawah echosounder (Simmonds dan MacLennan, 2005).
Ketika transducer digunakan secara portabel atau digunakan dengan cara ditarik maka kalibrasi dilakukan dengan membuat rangka segitiga yang diletakkan di atas transducer (Gambar 13). Bola sphere diikatkan pada tiga tali pembantu yang dihubungkan pada rangka segitiga. Rangka, bola dan transducer diturunkan ke dalam air hingga kedalaman normal pada saat dilakukan kalibrasi. Tiga tali pembantu ini dapat diatur agar bola sphere dapat berada di bawah transducer.
Gambar 12. Kalibrasi Echosounder yang ditempatkan pada kapal.
Gambar 13. Pengaturan bola sphere pada transducer portabel dengan menggunakan rangka segitiga Kalibrasi intrumen akustik harus dilaksanakan dengan penuh perhatian. Kalibrasi ini harus menggunakan peralatan yang bisa diukur akurasinya dan menggunakan prosedur yang telah dijelaskan di atas. Hasil kalibrasi yang salah akan memberikan data yang salah dan pada akhirnya data ini tidak dapat digunakan (garbage in garbage out). Hasil yang diperoleh akan memiliki bias yang tinggi. Simmonds dan MacLennan (2005) menyampaikan bahwa kalibrasi yang baik akan menentukan performa sistem integrasi ehosounder sebesar 7%. Tujuan kalibrasi ini ialah untuk memperoleh akurasi baik dan konsisten.
Analisa Data Split Beam Echosounder Setelah kalibrasi dilakukan maka split beam echosounder dapat digunakan untuk merekam data akustik. Hasil perekaman split beam echosounder dapat dilihat pada Gambar 6. Melvin dan Cochrane (2014) menyampaikan bahwa ada kerancuan hasil antara gerombolan ikan dengan turbulensi permukaan. Kerancuan ini timbul karena nilai hambur balik yang mirip antara kedua fitur ini. Selain itu, split beam echosounder mampu melihat fenomena zona konvergen yang disebabkan percampuran air permukaan bersalinitas rendah dan gelembung udara.
Selain melihat hasil echogramnya, data Split Beam Echosounder juga dapat diplotkan secara tiga dimensi (bujur, lintang, dan kedalaman). Plot tiga dimensi ini menggunakan data echogram sebagai data dasar untuk dilakukan plot tiga dimensi. Hasilnya seperti pada Gambar 14. Hasil ini bisa menjadi dasar untuk menginterpolasi area yang tidak terekam pada saat survei.
Gambar 14. Plot tiga dimensi hasil echogram (Melvin dan Cochrane, 2014)
PENUTUP Split Beam Echosounder merupakan instrumen akustik yang memberikan hasil terbaik dibandingkan single beam echosounder dan dual beam echosounder. Intstrumen ini mampu mendeteksi ikan individu dan gerombolan ikan. Kemampuan yang baik dari split beam echosounder ini akan menjadi sia-sia jika alat ini tidak dikalibrasi secara baik. Kalibrasi ini harus dilakukan secara baik sebelum survei dilaksanakan. Setelah kalibrasi dilakukan maka survei dapat dilakukan sesuai dengan survei desain yang telah dibuat. Hasil perekaman berupa echogram digunakan untuk melihat objek yang berada di kolom maupun di dasar perairan. Hasil ini kemudian dianalisa sesuai dengan kebutuhan peneliti.
DAFTAR PUSTAKA Katsnelson B., Petnikov V., Lynch J. 2012. Fundamentals of Shallow Water Acoustics. Springer : New York (US). Simmonds E.J., MacLennan D. 2005. Fisheries acoustics: theory and practice (rev. ed). Oxford (UK) : Blackwell Science. MacLennan D.N., Copland P.J., Armstrong E., and Simmonds E.J. 2004. Experiments on the discrimination of fish and seabed echoes. ICES Journal of Marine Science, 61:201-210. doi:10.1016/j.icesjms.2003.09.005. Scoulding B., Chu D., Ona E., Fernandes P.G. 2015. Target strengths of two abundant mesopelagic fish species. J. Acoust. Soc. Am.137(2) : 989–1000. doi:10.1121/1.4906177. Pollom R.A., Rose G.A. (2015) Size-Based Hydroacoustic Measures of WithinSeason Fish Abundance in a Boreal Freshwater Ecosystem. PLOS ONE 10(4): e0124799. doi:10.1371/journal.pone.0124799 Brede R., Kristensen F.H., Solli H., and Ona E. 1990. Target tracking with a splitbeam echo sounder. - Rapp. P.-v. Rkun. Cons. int. Explor. Mer, 189: 254263. Bird K.J.B, Lawson G.L. 2015. Ecological Insights from Pelagic Habitats Acquired Using Active Acoustic Techniques (Review in Advance first posted online on October 28, 2015). Annu. Rev. Mar. Sci. 2016. 8:21.1–21.28. doi:10.1146/annurev-marine-122414-034001 Simrad. 2006. Simrad ES60 Fish finding echo sounder Reference manual. http://www.simrad.com/www/01/NOKBG0397.nsf/AllWeb/476DD263FD 01A618C12570D100630F2B/$file/160970ah_es60_reference_manual_eng lish.pdf?OpenElement Chu D. 2011. TECHNOLOGY EVOLUTION AND ADVANCES IN FISHERIES ACOUSTICS. Journal of Marine Science and Technology 19 (3) : 245-252. http://jmst.ntou.edu.tw/marine/19-3/245-252.pdf Bertrand A., Josse E., and Masse´ J. 1999. In situ acoustic target-strength measurement of bigeye (Thunnus obesus) and yellowfin tuna (Thunnus albacares)by coupling split-beam echosounder observations and sonic tracking. ICES Journal of Marine Science 56: 51–60. Melvin G.D., Cochrane N.A. 2014. Multibeam Acoustic Detection of Fish and Water Column Targets at High-Flow Sites. Estuaries and Coasts. DOI:10.1007/s12237-014-9828-z Watkins J.L., Reid K., Ramm D., Zhao X.Y., Cox M., Skaret G., Fielding S., Wang X.L., Niklitschek E. 2015. The Use of Fishing Vessels to Provide Acoustic Data on the Distribution and Abundance of Antarctic Krill and Other Pelagic Species. Fish. Res. (2015). DOI:10.1016/j.fishres.2015.07.013