1
KINETIKA INHIBISI EKSTRAK ETANOL SELEDRI (Apium graveolens L.) DAN FRAKSINYA TERHADAP ENZIM XANTIN OKSIDASE SERTA PENENTUAN SENYAWA AKTIFNYA
NADINAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kinetika Inhibisi Ekstrak Etanol Seledri (Apium graveolens L.) dan fraksinya terhadap Enzim Xantin Oksidase serta Penentuan Senyawa Aktifnya adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan Belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Nadinah G452050081
3
ABSTRACT
NADINAH. Inhibition kinetic of Apium graveolens L. ethanol extract and its fraction on the Activity of Xanthine Oxidase Enzyme and Active Compound Determination. Under direction of DYAH ISWANTINI PRADONO and LATIFAH K. DARUSMAN. Apium graveolens is one of the traditional medicinal plants that has a potential as antigout. It has been reported that flavonoid of Apium graveolens could inhibit activity of xanthine oxidase enzyme up to 85.44 % (Ramdhani. 2004). The aim of the research was to investigate the type inhibition kinetic of Apium graveolens’s ethanol crude extract, and its the fraction kinetic of inhibition, also the determination of active compound. The result of the research showed that Apium graveolens’s 10.40% ethanol crude extract was 10.40 % (LC50 1968.19 ppm) with the yield of inhibitory power was 6.04 % until 74.01 % (100 – 2000 ppm). Inhibition kinetic of 1500 ppm crude extract caused increase of KM (0.10 mM) and unchanged of Vmax. Based on that, the type of inhibition was competitive. Purification of crude extract resulted 7 fractions and the highest activity was achieved by fraction 6 (inhibitory power was 85.08 %). The purification of crude extract caused the increasing of inhibitory power effect. Inhibition kinetic of fraction 6 (150 ppm) caused increase of KM (0.30 mM) and unchanged of Vmax. Based on that, the type of inhibition was competitive. Purification of fraction 6 resulted 6 fraction and the highest activity was achieved by fraction 5 (inhibitory power was 88.41 %). Based on analysis of LCMS and NMR, the active compound of Apium graveolens extract (fraction 5) were potential to inhibit the activity of xanthine oxidase, the active compound was 5,7dihydroxy-2-(4-hydroxyphenyl)-4H-1-benzopyran-4-one and 2,3-dihydro-6hidroxy-5-benzofuran carboxylic acid.
Keywords : Apium graveolens, flavonoid, xanthine oxidase enzyme, inhibition kinetic
4
RINGKASAN
NADINAH. Kinetika Inhibisi Ekstrak Etanol Seledri (Apium graveolens L.) dan fraksinya terhadap Enzim Xantin Oksidase serta Penentuan Senyawa Aktifnya. Dibimbing oleh DYAH ISWANTINI PRADONO dan LATIFAH K. DARUSMAN. Tumbuhan berbunga yang berpotensi sebagai tumbuhan obat di Indonesia ada sekitar 30000 spesies tumbuhan (Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2002), diantara tumbuhan yang diakui khasiatnya adalah seledri (Apium graveolens L.). Seledri (Apium graveolens L.) merupakan salah satu tumbuhan obat tradisional yang diketahui memiliki potensi sebagai obat asam urat. Telah dilaporkan bahwa flavonoid asal seledri mampu menghambat enzim xantin oksidase (enzim yang dapat mnyebabkan terjadinya asam urat) hingga 85,44 % (Rambhani 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme kinetika inhibisi yang terbentuk dari ekstrak kasar etanol dan untuk mengetahui mekanisme kinetika inhibisi hasil fraksinasinya serta penentuan senyawa aktif yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase. Sementara manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang mekanisme inhibisi ekstrak dan hasil fraksi seledri sebagai inhibitor enzim xantin oksidase serta mengetahui senyawa aktif yang berperan sebagai inhibitor enzim xantin oksidase. Metode dalam penelitian ini meliputi pembuatan ekstrak etanol seledri, uji fitokimia untuk mengetahui keberadaan senyawa metabolit sekunder, uji toksisitas (LC50), uji inhibisi (untuk mencari konsentrasi terbaik yang memiliki daya inhibisi tertinggi), fraksinasi (untuk pemurnian sampel), uji kinetika (untuk mengetahui mekanisme kinetikanya), serta penentuan struktur senyawa aktifnya menggunakan Fourir Transformation Infra Red (FT-IR) yang digunakan untuk menganalisis kualitatif keberadaan gugus fungsi senyawa yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase, High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang digunakan untuk analisis kualitatif pemurnian senyawa aktifnya, Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) untuk menentukan bobot molekul, Nuclear Magnetik Resonance (NMR) untuk menentukan strukturnya. Hasil penelitian menghasilkan ekstrak kasar etanol sebesar 10,40% (LC50 1969,18 ppm) dengan efek inhibisi 6,04 % hingga 74,01% (100-2000 ppm). Kinetika inhibisi dari ekstrak kasar etanol pada konsentrasi 1500 ppm menyebabkan peningkatan nilai KM (0,10 mM atau meningkat sebesar 134,48 %) dari 0,29 mM menjadi 0,39 mM dengan perubahan Vmax yang sangat kecil. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan inhibisi hambatan yang terjadi mengarah pada mekanisme inhibisi kompetitif. Pemurnian ekstrak kasar menghasilkan 7 fraksi dan aktivitas tertinggi dimiliki oleh fraksi 6 dengan daya inhibisi mencapai 85,08 %. Kinetika inhibisi dari fraksi 6 dengan konsentrasi 150 ppm menyebabkan peningkatan nilai KM (0,30 mM atau meningkat sebesar 203,45 %) dari 0,29 mM menjadi 0,59 mM dengan perubahan Vmax yang sangat kecil. Pemurnian fraksi 6 dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) diperoleh 6 fraksi dan dan fraksi 5 merupakan fraksi teraktif dengan daya inhibisi mencapai 88,41 %. Berdasarkan hasil analisis Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) dan Nuclear Magnetik Resonance
5
(NMR), Senyawa aktif yang berasal dari ekstrak seledri (fraksi 5) yang telah dimurnikan kembali dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang dapat menghambat enzim xantin oksidase diduga adalah senyawa 5,7dihidroksi-2-(4-hidroksipenil)-4H-1-benzopiran-4-on dan asam 2,3-dihidro-6hidroksi-5-benzofuran karboksilat. Kata-kata kunci : selederi, flavonoid, enzim xantin oksidase, kinetika inhibisi
6
© Hak Cipta Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
KINETIKA INHIBISI EKSTRAK ETANOL SELEDRI (Apium graveolens L.) DAN FRAKSINYA TERHADAP ENZIM XANTIN OKSIDASE SERTA PENENTUAN SENYAWA AKTIFNYA
NADINAH G452050081
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
8
Penguji Luar Komoisi pada Ujian Tesis Dr Djarot S Hamiseno
9
Judul Tesis
Nama NRP
: Kinetika Inhibisi Ekstrak Etanol Seledri (Apium graveolens L.) dan fraksinya terhadap Enzim Xantin Oksidase serta Penentuan Senyawa Aktifnya : Nadinah : G452050081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Dyah Iswantini Pradono. M.Agr MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kimia
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,
Tanggal Ujian : ……………
Tanggal lulus :……………
10
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kinetika Inhibisi Ekstrak Etanol Seledri (Apium graveolens L.)dan Fraksinya serta Penentuan Senyawa Aktifnya dapat diselesaikan selama 12 bulan mulai dari Mei 2007 sampai dengan Mei 2008 bertempat di Laboratorium Kimia analitik dan Pusat studi Biofarmaka IPB, laboratorium Departemen Kelautan Sukabumi dan Laboratorium Kimia LIPI serpong. Terima Kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, antara lain Ibu Dr. Dyah Iswantini Pradono, MAgr dan Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS selaku komisi pembimbing dan selaku ketua Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana IPB, serta bapak Dr. Muhammad Hanafi MSc dari LIPI Serpong yang telah membantu menganalisis struktur senyawa aktif. Terima kasih kepada Pusat Studi Biofarmaka yang telah mendanai sebagaian dari penelitian ini dan telah diikutkan dalam kegiatan riset melalui penelitian tentang penyakit asam urat. Ungkapan terima kasih juga diungkapkan khusus kepada ayahanda tercinta M.Sarimin dan ibunda tercinta Tri Payem, ayunda tercinta Titi Almi dan adikadikku tercinta, W. Mulyatno Saputra, Parno Mulyadi, M. Rezeki Farhan dan S. Ana Sahroni serta Totok Eka Suharto yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Di samping itu ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pak Eman, Laboran PSB, mbak Siti dari Laboratotium Kimia bersama, pak Hery dari Laboratorium Kelautan Sukabumi, Rahma Juwita, Ramdhan Hidayat, semua teman-teman Kimiapasca 2005 yang banyak membantu dan selalu menjaga kebersamaan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat, amin. Bogor, Agustus 2008
Nadinah
11
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 23 maret 1980 sebagai anak pertama dari lima bersaudara, anak pasangan M. Sarimin dan Tri Payem. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu, dan lulus pada tahun 2002 sebagai sarjana pendidikan. Penulis pernah bekerja di bank permata pada tahun 2003-2004 di Jakarta, dan pada tahun 2005 penulis melanjutkan studi program pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
12
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xiv PENDAHULUAN.................................................................................... Latar Belakang.............................................................................. Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian........................................................................ Hipotesis.......................................................................................
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Seledri (Apium graveolens L.)..................................................... Xantin Oxidase............................................................................. Flavonoid dan alkaloid................................................................. Gout (asam urat)........................................................................... Obat Gout...................................................................................... Kinetika Inhibisi Enzim................................................................ Penelitian tentang kinetika inhibisi enzim xantin oksidase.......... Fourir Transformation Infra Red (FT-IR)…………………........ High Performance Liquid Chromatography (HPLC)................... Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS)................ Nuclear Magnetik Resonance (NMR)..........................................
4 5 6 7 9 12 18 19 19 20 21
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian....................................................... Bahan dan Alat ............................................................................. Metode Penelitian ......................................................................... Ekstraksi Etanol ................................................................ Uji Toksisitas ekstrak terhadap Artemia Salina L ............ Uji daya inhibisi terhadap enzim xantin oksidase ............ Uji kinetika inhibisi terhadap enzim xantin oksidase........ Fraksinasi ekstrak kasar etanol.......................................... Identifikasi fraksi teraktif .................................................
22 22 22 22 23 23 24 25 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Etanol ............................................................................ Uji Fitokimia dan Uji Sitotoksin (LC50)……………………........ Daya Inhibisi Ekstrak kasar Etanol Herba terhadap Enzim Xantin Oxidase.............................................................................. Uji Kinetika Ekstrak Kasar Etanol terhadap Enzim Xantin Oksidase................................................................. Fraksinasi Ekstrak Etanol Herba Seledri....................................... Daya inhibisi hasil fraksinasi terhadap enzim xantin oksidase...................................................................
27 27 28 29 31 32
13
Kinetika inhibisi hasil fraksinasi terhadap enzim xantin oksidase.................................................................... Identifikasi Fraksi teraktif.............................................................. Analisis dengan menggunakan Fourir Transformation Infra Red (FT-IR)............................................................. Analisis dengan menggunakan Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS).......................................... Analisis dengan menggunakan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) ..........................................................
34 35 35 36 37
SIMPULAN DAN SARAN......................................................................
39
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
40
LAMPIRAN..............................................................................................
44
14
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1 Metode penentuan kinetika inhibisi enzim.................................
17
2 Fitokimia ekstrak kasar etanol ...................................................
27
3 Fitokimia hasil kromatografi .....................................................
32
4 Nilai spektrum fraksi 6...............................................................
36
5 Daya inhibisi fraksi 6 yang telah dimurnikan lagi dengan HPLC.............................................................................
36
15
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1
Pengubahan xantin menjadi asam urat..............................................
5
2
Struktur enzim xantin oksidase ........................................................
6
3
Protein dan pembentukan asam urat ................................................
9
4
Struktur allopurinol ..........................................................................
10
5
Struktur flavonoid apigenin .............................................................
11
6
Pola kinetika yang terbentuk akibat adanya inhibitor kompetitif ....
14
7
Struktur Allopurinol dan struktur xantin ..........................................
15
8
Pola kinetika yang terbentuk akibat adanya inhibitor unkompetitif............................................................
9
15
Pola kinetika yang terbentuk akibat adanya inhibitor nonkompetitif..........................................................
16
10 Daya inhibisi ekstrak kasar etanol.....................................................
29
11 Pola kinetika inhibisi ekstrak kasar etanol......................................... 30 12 Eluen terbaik (CHCl3 : MeOH = 9,5 : 0,5)........................................
31
13 Daya inhibisi hasil kromatografi........................................................
33
14 Perbandingan daya inhibisi ekstrak kasar dengan hasil kromatografi..............................................................................
34
15 Polakinetikahasilkromatografi...........................................................
35
16 Senyawa 1 : 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksipenil) -4H-1-benzopiran-4-on.....................................................................
37
17 Senyawa 2 : asam 2,3-dihidro-6-hidroksi-5-benzofuran Karboksilat.......................................................................................
37
16
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1
Diagram Alir Penenlitian............................................................
44
2
Kadar Air....................................................................................
45
3
Uji Toksisitas dan Kurva Standar Xantin...................................
46
4
Daya inhibsi ekstrak kasar etanol terhadap xantin oksidase.......
47
5
Kinetika inhibisi ekstrak kasar....................................................
49
6
Profil Pola pemisahan ekstrak etanol herba seledri pada berbagai eluen.....................................................................
51
7
Profil Spesifikasi dan pola pemisahan hasil kromatografi..........
52
8
Rendemen hasil kolom, fitokimia dan nilai toksisitas.................
53
9
Nilai toksisitas hasil fraksinasi....................................................
54
10 Daya inhibisi ekstrak hasil Fraksinasi.........................................
55
11 Kinetika hasil kolom....................................................................
56
11 Spektrum serapan FT-IR Fraksi 6 ...............................................
57
12 Spektrum analisis HPLC............................................................
58
13 Spektrum analisis LCMS.............................................................
59
14 Spektrum analisis NMR Proton...................................................
61
15 Spektrum analisis NMR Karbon..................................................
62
16 Prosedur analisis kadar air dan fitokimia.....................................
63
17
PENDAHULUAN Latar Belakang Tumbuhan berbunga yang berpotensi sebagai tumbuhan obat di Indonesia ada sekitar 30000 spesies tumbuhan (Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2002), diantara tumbuhan yang diakui khasiatnya adalah seledri (Apium graveolens L.). Seledri merupakan tanaman tegak, tahunan, tinggi 25-100 cm, batang bersegi dan beralur membujur, bunga banyak dan berwarna putih kehijauan. Dapat dibudidayakan dimana-mana dari dataran rendah sampai dataran tinggi (IPTEK 2005). Tanaman ini lebih dikenal masyarakat sebagai sayuran. Di samping hanya sekedar sebagai sayuran, seledri jauh lebih bermanfaat yakni sebagai obat penyakit, di antaranya adalah penyakit gout. Gout adalah penyakit kelainan metabolik karena adanya endapan kristal monosodium urat yang terkumpul didalam sendi sebagai akibat tingginya kadar asam urat didalam darah. Asam urat yang tinggi ini dapat menyebabkan rasa sakit pada persendian akibat respon peradangan yang ditimbulkannya dan dampak jangka panjangnya adalah meningkatnya tekanan darah, penyakit batu ginjal, hingga dapat menyebabkan cacat tubuh. Juandy (2007) melaporkan terdapat 730 kasus gout baru dari 47.150 responden selama dua belas tahun terakhir. Jumlah penderita ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan pola kehidupan masyarakat yang lebih gemar mengkonsumsi makanan tinggi protein. Data ilmiah pendukung yang mengungkap khasiat seledri sebagai biomedicine diantaranya pemakaian infus daun seledri dengan kadar 10 persen sebanyak 5 ml/kg bb menurunkan kadar asam urat darah kera (Winata dan Wilman 1988 dalam ixoranet 2007), pemberian ekstrak seledri dengan cara peras maupun refluks dapat menurunkan tekanan darah kucing (Dondokambey 1985 dalam Ixoranet 2007), efek diuresis infusa daun seledri pada tikus putih (Setiawan & Putri 2007), Dan beberapa paten diantaranya Paten (6352728 tahun 2002 dan 6576274 tahun 2003) yang berisi estrak tunggal seledri tetapi efikasi yang ditelaah adalah antiinflamasi dan Paten (P00200400339 tahun 2004) yang berisi tentang formula ekstrak gabungan seledri dan sidaguri untuk antigout. Data ilmiah lain adalah Ramdhani (2004) yang meneliti isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif seledri dalam menghambat aktivitas enzim xantin oksidase dimana dalam
18
penelitiannya disebutkan bahwa senyawa aktif yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase adalah senyawa dari golongan flavonoid. Obat-obatan asam urat yang kini beredar di masyarakat umumnya berkhasiat hanya untuk jangka waktu tertentu dan cenderung menimbulkan gejala ketergantungan (peningkatan dosis pakai) bahkan beberapa diketahui memiliki efek samping yang membahayakan hidup. Misalnya allopurinol, obat ini umum digunakan di kalangan penderita asam urat.
Walaupun murah dan efektif
meringankan rasa sakit, namun obat ini diketahui sarat dengan efek samping yang merugikan seperti sakit kepala, kebotakan, kegagalan ginjal dan hati, hingga resiko kematian (Sydpath 1999), selain itu allopurinol juga bisa menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya ruam di kulit, berkurangnya jumlah sel darah putih dan kerusakan hati (Medicastore 2007). Seledri merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat alternatif pengganti obat-obatan sintetis sejenis allopurinol.
Secara umum tumbuhan ini dikenal memiliki efek penyembuh
dengan tingkat resiko dan efek samping yang rendah dibandingkan dengan obatobatan sintetis lainnya. Penelitian yang mengungkap peran senyawa aktif seledri dalam menghambat enzim xantin oksidase untuk penyembuhan asam urat pernah dilakukan (Iswantini & Darusman 2004) dan Ramdhani (2004), tetapi penelitian tentang uji kinetika ekstrak kasar seledri dan hasil fraksinasinya yang dihubungkan dengan penyakit gout dan inhibitor enzim xantin oksidase serta penentuan senyawa aktifnya belum pernah dilakukan. Penentuan tipe kinetika inhibisi dari suatu senyawa bahan alam yang akan digunakan sebagai calon obat penting dilakukan untuk melihat mekanisme hambatan yang terjadi. Mekanisme hambatan yang terbentuk selanjutnya dapat menjelaskan kekuatan ikatan antara enzim sebagai target dan senyawa calon obat, apakah ikatan tersebut bersifat sementara (inhibisi kompetitif dan inhibisi unkompetitif) ataukah permanen (inhibisi non kompetitif). Mekanisme tipe hambatan yang terjadi umumnya mengarah pada jenis inhibisi kompetitif namun beberapa mengarah pada jenis inhibisi nonkompetitif. Beberapa senyawa alam seperti flavonoid dan senyawa polifenol dilaporkan berperan sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim xantin oksidase, diantara senyawa itu adalah teaflavin, teaflavin-3-galat, teaflavin-3-3’-digalat, (-)-epigalokatekin-3-galat, dan asam galat
19
(Jen et al. 2000), teaflavin -3,3’-digalat (Dew et al. 2005), serta apigenin-4’-O(2”-O-p-coumaroyl)- -D-glukopiranosida yang merupakan derivat apigenin (Jiao et al. 2006), begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2006) yang mengungkapkan bahwa flavonoid asal sidaguri mengarah ke inhibitor kompetitif. Sedangkan beberapa golongan flavonol meliputi jenis flavonol krisin, luteolin, kaemferol, kuersetin, mirisetin, dan isorhamnetin dilaporkan memiliki efek
hambatan
terhadap
xantin
oksidase
melalui
mekanisme
inhibitor
nonkompetitif (Nagao et al. 1997), beberapa kelompok flavonol dan polifenol asal teh seperti (-)-epikatekin, (-)-epigalokatekin, (-)-epikatekin galat (Aucump et al. 1997). Selain itu flavonoid flavonol kaemferol asal teh hijau (Park et al. 2006) dan kalkon juga mempunyai daya inhibisi yang sangat kuat terhadap enzim xantin oksidase (Beiller 1951 dalam Martin 2007) tetapi disini tidak dijelaskan tipe inhibisinya.
Tujuan Penelitian Menentukan tipe kinetika inhibisi ekstrak kasar etanol herba (daun dan batang) seledri terhadap enzim xantin oksidase, menentukan tipe kinetika inhibisi ekstrak hasil fraksinasi dan menentukan senyawa aktif yang berperan sebagai inhibitor enzim xantin oksidase.
Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang mekanisme inhibisi ekstrak dan hasil fraksi seledri sebagai inhibitor enzim xantin oksidase serta mengetahui senyawa aktif yang berperan sebagai inhibitor enzim xantin oksidase.
Hipotesis Ekstrak kasar herba (daun dan batang) seledri memiliki mekanisme inhibisi kompetitif terhadap enzim xantin oksidase, ekstrak hasil fraksinasi memiliki mekanisme inhibisi kompetitif dan senyawa aktif yang terdapat dalam seledri dapat menginhibisi enzim xantin oksidase.
20
TINJAUAN PUSTAKA Seledri (Apium graveolens leach) Seledri merupakan tanaman tegak, tahunan, tinggi 25-100 cm, batang bersegi dan beralur membujur, bunga banyak dan berwarna putih kehijauan. Dapat dibudidayakan dimana-mana dari dataran rendah sampai dataran tinggi (IPTEK 2005). Tanaman ini lebih dikenal masyarakat sebagai sayuran. Disamping hanya sekedar sebagai sayuran, seledri jauh lebih bermanfaat yakni sebagai obat penyakit. Diantara manfaat tanaman seledri sebagai obat penyakit itu adalah mengobati hipertensi, gout, diabetes, diare, mencegah stroke dan urine keruh (Sinar Harapan 2003). Selain itu akar seledri juga berkhasiat memacu enzim pencernaan dan peluruh kencing atau diuretik, buah dan bijinya sebagai pereda kejang (antipasmodik), menurunkan kadar asam urat darah, antirematik, karminatif dan sedatif serta herbanya bersifat tonik, memacu enzim pencernaan, menurunkan tekanan darah, peluruh kencing, peluruh haid, mengelurkan asam urat darah yang tinggi (Ixoranet 2007) serta seledri dapat digunakan untuk mencegah masuk angin, menghilangkan rasa mual dan sebagai pelengkap sayur. Seledri juga mengandung senyawa metabolit sekunder diantaranya herba seledri mengandung flavonoid, saponin, tanin, apiin, minyak atsiri, apigenin, kolin, vitamin A, B, C, zat pahit asparagin, apigenin dan akarnya mengandung asparagin, manit, zat pati, lendir minyak atsiri pentosa, glutamin dan tirosin serta bijinya mengandung apiin, minyak atsiri, apigenin dan alkaloid (Ixoranet 2007). Kemudian seledri juga mengandung gizi berupa air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, besi, riboflavin, nikotinamida dan asam askorbat (Ashari 1995). Data ilmiah yang mendukung tentang khasiat senyawa aktif dalam seledri. Diantaranya pemakaian infus daun seledri dengan kadar 10 persen sebanyak 5 ml/kg bb menurunkan kadar asam urat darah kera (Winata dan Wilman 1988 dalam ixoranet 2007),
pemberian ekstrak seledri dengan cara peras maupun
refluks dapat menurunkan tekanan darah kucing (Dondokambey 1985 dalam Ixoranet 2007), efek diuresis infusa daun seledri pada tikus putih (Setiawan & Putri 2007), Juga beberapa Paten diantaranya Paten (6352728 tahun 2002 dan 6576274 tahun 2003) yang berisi estrak tunggal seledri tetapi efikasi yang ditelaah
21
adalah antiinflamasi dan Paten (P00200400339 tahun 2004) yang berisi tentang formula ekstrak gabungan seledri dan sidaguri untuk antigout. Berdasarkan studi literatur juga penelitian tentang seledri yang dihubungkan dengan penyakit gout dan inhibitor enzim xantin oksidase masih sangat sedikit, diantaranya Ramdhani (2004) yang menyebutkan bahwa senyawa bioaktif seledri yang dapat menghambat aktivitas enzim xantin oksidase merupakan senyawa dari golongan flavonoid, Paten (6589573 tahun 2003) berisi tentang inhibitor enzim xantin oksidase yang diperoleh dari tanaman banaba (Lagerstroemia speciosa) serta Iswantini dan Darusman (2004), dalam penelitiannya diketahui bahwa ekstrak kasar seledri memiliki daya inhibisi terhadap enzim xantin oksidase cukup tinggi, lebih kuat dari kemampuan produk jamu komersial lainnya seperti jamu dua walet, jamu jaya asli dan jamu keju jimpe. Sementara uji kinetika inhibisi xantin oksidase pernah dilakukan tetapi menggunakan senyawa aktif sidaguri (Sida rhombifolia L.) dimana tipe kinetika awal dengan menggunakan metode Line WeaverBurk mengarah ke inhibisi kompetitif (Hidayat 2006), Sedangkan penelitian tentang
uji kinetika ekstrak kasar dan hasil fraksinasinya yang dihubungkan dengan penyakit gout dan inhibitor xantin oksidase serta penentuan senyawa aktifnya belum pernah dilakukan.
Xantin Oksidase Peristiwa timbulnya gout tak terlepas dari peran serta enzim xantin oksidase. Enzim ini mampu mengubah xantin menjadi asam urat melalui reaksi oksidasi seperti ditunjukan oleh Gambar 1 O
O
N
HN
O 2 + H 2O
H N
H 2O 2 HN
O O
N H
Xantin
N H
xantin oksidase O
N H
N H
Asam urat
Gambar 1 Pengubahan xantin menjadi asam urat (Hille 2006) Xantin oksidase (Gambar 2) merupakan suatu kompleks enzim yang terdiri dari molibdenum, FAD dan Fe2S2 sebagai pusat reaksi redoks. Enzim ini terdiri dari dua subunit identik yang saling berhadapan, memiliki 1332 residu asam amino
22
dengan bobot molekul sekitar 270000 Da.
Selain fungsi katalisis mengubah
hipoxantin menjadi xantin maupun xantin menjadi asam urat, telah ditemukan fungsi lain dari enzim ini dalam mengkatalisis reduksi nitrat dan nitrit menjadi nitrit oksida (Millar et al. 2002) dan sekaligus menyebabkan pembentukan radikal superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002).
Gambar 2 Model struktur enzim xantin oksidase (Hille 2006) Enzim xantin oksidase di dalam tubuh manusia terdapat pada hati, jika enzim ini terdapat diluar hati mengindikasikan kerusakan fungsi hati (Hille 2006).
Flavonoid dan Alkaloid Enzim xantin oksidase mengkatalisis purin menjadi asam urat. Allopurinol secara farmakologis dapat digunakan dalam mengatasi sakit gout dengan cara menginhibisi aktivitas xantin oksidase. Nakanishi (1990) melaporkan flavonoid krisin, baekeilin, isorhamnetin, dan ester asam kafeat juga tergolong efektif dalam mengatasi sakit gout. Studi invitro menunjukkan bahwa beberapa flavonoid terutama letuolin dan apigenin dapat juga bekerja sebagai inhibitor xantin oksidase dengan daya kerja yang hampir sama dengan allopurinol (Cos et al. 1998). Inhibitor xantin oksidase lain, namun dengan daya inhibisi rendah adalah antosianidin dan proantosianidin (Duke 1999),
hesperetin dan teaflavin-3,3’-
digalat juga dapat berperan sengai inhibitor enzim xantin oksidase (Dew et al. 2005), serta derivat apigenin dari palhinhaea cernua juga dapat menjadi inhibitor enzim xantin oksidase dengan daya inhibisi yang cukup tinggi (Jiao et al. 2006). Sementara itu Jen at al (2000) juga melaporkan hubungan antara struktur flavonoid dengan aktivitasnya sebagai inhibitor xantin oksidase disebabkan
23
karena adanya gugus hidroksil (gugus –OH) pada C-5 dan C-7 dan ikatan rangkap antara C-2 dan C-3. Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, berwarna jika mempunyai struktur kompleks dan bercicin aromatik. Alkaloid tumbuhan juga dipercaya sebagai obat gout yang mampu menekan dan mengurangi frekuensi serangan akut dan menghilangkan rasa nyeri dengan cara menghambat síntesis dan pelepasan leukotrien (Mycek 1997). Contoh penggunaan alkaloid secara komersial adalah kolkisin yang diisolasi dari tanaman Colchium autumnale. Materia Medika (1995) mengatakan bahwa ada golongan alkaoid dari suatu tanaman tertentu dipercaya menghambat produksi enzim xantin oksidase, senyawa kimia lainnya adalah polifenol dan flavonoid. Suatu senyawa dalam tanaman yang analog dengan purin pun dapat dimanfaatkan sebagai inhibitor bagi xantin oxidase, dan dilaporkan juga bahwa alkaloid yang terkandung dalam biji seledri mempunyai efek sedatif dan antikonsulvan pada tifus (Ixoranet 2007).
Gout (Asam Urat) Gout atau asam urat adalah salah satu bentuk penyakit artritis yang disebabkan oleh penumpukkan kristal asam urat pada sendi yang ditandai dengan pembengkakan dan biasanya menyerang pada ibu jari kaki (Bardin 2003). Secara garis besar gout termasuk ke dalam reumatik artikular bersama-sama dengan osteoartritis dan artritis reumatoid. Kadar asam urat normal dalam darah berkisar antara 25-75 µg/ml dengan volume urin yang dieksresikan per harinya antara 250 hingga 750 mg (Pachla et al. 1987). Kandungan asam urat yang tinggi dalam darah Hiperurisemia tidak mesti berakhir dengan terbentuknya gout, namun gout selalu didahului oleh hiperurisemia (Mycek et al. 2001) dan Sturrok (2000) juga melaporkan hal yang sama. Bagi wanita, konsentrasi normal asam urat berkisar antara 25-60 µg/ml, sedangkan bagi pria adalah 30-70 µg/ml (Artiss & Entwistle 1981). Bagi wanita konsentrasi asam urat di atas 60 µg/ml sudah dapat dikatakan hiperurisemia, namun tidak bagi pria selama konsentrasinya di bawah 70 µg/ml. Walaupun batasan normal hiperurisemia pada pria lebih besar dari wanita, namun pria
24
memiliki resiko terkena serangan gout jauh lebih tinggi dibanding wanita. Data rasio hiperurisemia dan gout di Jawa pada tahun 2001 antara pria dan wanita menunjukkan perbandingan 2:1 untuk kasus hiperurisemia dan 34:1 untuk kasus gout (Heryanto 2003), Juandy (2007) melaporkan terdapat 730 kasus gout baru dari 47.150 responden selama dua belas tahun terakhir. Tingginya kadar asam urat dalam darah pada penderita gout maupun hiperurisemia diakibatkan oleh faktor produksi asam urat berlebihan, obesitas, diabetes yang disertai dengan tekanan darah tinggi (Galvan et al. 1995), hal yang sama juga dilaporkan oleh Schumacher (2006) & Rematologi Amerika (2007) hingga stress tinggi (Montgomery et al. 1993) dan faktor makanan terutama protein hewani maupun nabati atau sayur-sayuran kaya purin dalam jumlah banyak (Juandy 2007). Pada kasus obesitas ataupun diabetes, sebagian besar lipid dan glukosa diubah bentuk menjadi asetil-CoA dilanjutkan dengan reaksi pembentukan α-ketoglutarat disertai pembebasan sejumlah energi dalam siklus asam sitrat. α-ketoglutarat ini kemudian bereaksi dengan asam amino dalam serangkaian reaksi dan berakhir dengan terbentuknya glutamin. Glutamin inilah yang kemudian dimetabolisir menjadi asam nukleat (basa purin). Purin yang terbentuk ini dalam keadaan normal memiliki peluang untuk membentuk asam urat (Voet & Voet 2001). Mekanisme pembentukan asam urat dari protein bermula dari degradasi diet protein menjadi asam amino. Beberapa asam amino ini selanjutnya didegradasi membentuk
glutamat.
Glutamat
yang terbentuk selanjutnya
dimetabolisir membentuk α-ketoglutarat, aspartat, dan sebagian membentuk glutamin. Ketika glutamin bereaksi dengan fosforibosil pirofosfat (PRPP, suatu gula derivatif dari ribosa-5-fosfat) maka akan terbentuk fosforibosalamin. Fosforibosalamin merupakan prekursor bagi pembentukan asam nukleat purin. Melalui serangkaian reaksi yang melibatkan penambahan asam amino glisin, glutamin, aspartat, dan koenzim N10-formil-THF (tetra hidro folat) akan terbentuk inosin monofosfat (IMP). IMP merupakan prekursor dalam sintesis purin, IMP ini yang selanjutnya diubah bentuk menjadi AMP dan GMP maupun bentuk basa bebasnya, adenin dan guanin.
Melalui mekanisme regulasi sel, purin yang
terbentuk ini selanjutnya dimetabolisir untuk beberapa keperluan diantaranya
25
sintesis senyawa berenergi tinggi seperti ATP, bahan baku dalam pelaksanaan ekspresi genetik (sintesis protein) ataupun transformasi genetik, dan beberapa purin ini dikatabolisme membentuk asam urat (Gambar 3). Ribosa-5-fosfat
PRPP + glutamin
(12 reaksi)
Sintesis Purin (inosin, adenosin, guanosin)
Protein Katabolisme Purin AMP
GMP
Adenosin
Guanosin
Inosin
Guanin
Hipoksantin IMP
Xantin
Asam Urat Gambar 3 Protein dan pembentukan asam urat (Mycek et al. 2001) Obat Gout Strategi pengobatan gout pada umumnya adalah dengan menurunkan kadar asam urat sampai di bawah titik jenuhnya. Allopurinol (Gambar 4) merupakan obat gout yang paling efektif dalam menghambat pembentukan asam urat yang dipakai masyarakat selama ini. Walaupun murah, dengan harga eceran Rp. 2700,00 per stripnya (Kimia Farma 2004), namun obat ini diketahui sangat berbahaya bila tidak digunakan dengan hati-hati. Dilaporkan telah terjadi kasus kematian sebanyak 156 jiwa dari total 600 pasien (26%) akibat mengkonsumsi allopurinol (Sydpath 1999). Penggunaan allopurinol dilaporkan dapat menjadi penyebab kejadian difusi vaskuler yang berakhir dengan kematian. Allopurinol
26
juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya ruam di kulit, berkurangnya jumlah sel darah putih dan kerusakan hati (Medicastore 2007). Selain itu, penggunaan allopurinol dapat mengakibatkan hipersensitifitas yang akan terus melemahkan respon tubuh penderita terhadap konsentrasi allopurinol, sehingga pengguna allopurinol cenderung mengalami penambahan dosis pemakaian.
Gambar 4 Struktur allopurinol (Terkeltaub 2005) Oksipurinol yang merupakan hasil penguraian allopurinol di dalam tubuh, merupakan suatu senyawa yang memiliki efek penghambatan yang sama namun lebih lama dibandingkan allopurinol dalam menghambat kerja xantin oksidase. Dilaporkan bahwa oksipurinol memiliki waktu paruh yang cukup lama, sekitar 21,2±0,4 jam, lebih lama dibandingkan allopurinol yang memiliki waktu paruh 1,3±0,1 jam (Yarindo Farmatama 2003). Efek oksipurinol ini yang kemudian diduga kuat menjadi penyebab kejadian difusi vaskuler. Melihat beragamnya efek samping yang ditimbulkan obat sintetis, sangat diperlukan obat-obatan sejenis yang memiliki khasiat yang sama dengan harga terjangkau, dan efek samping yang sesedikit mungkin. Untuk tujuan itu, maka studi pemanfaatan tumbuhan sebagai obat alternatif
harus terus dijalankan
mengingat penggunaan bahan alami sebagai sumber obat pada dasarnya jauh lebih aman dan jauh dari kemungkinannya toksik karena kandungannya yang masih lengkap walaupun pemakaiannya dalam jumlah yang besar (Sidik et al. 1995) Cos et al (1998) melaporkan bahwa beberapa senyawa flavonoid bersifat antioksidan dan dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase maupun reaksi superoksida. Kemudian dilaporkan juga senyawa flavonoid dari stereospermum personatum selain bersifat antioksidan, senyawa tersebut juga dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase (Kumar et al. 2005). Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 karbon sebagai kerangka dasarnya. Kelima
27
belas atom tersebut membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6 (Gambar 5 ). Dari susunan ini dapat dihasilkan 3 jenis struktur, yaitu flavonoid (1’B-2C),isoflavonoid (1’B3C), dan 1 neoflavonoid (1’B-4C). Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan mulai dari daun, akar kulit kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah, hingga biji (Markham 1982). Flavonoid quersetin, quersitin, miristin, dan mirisetin asal tanaman salam (Eugenia polyantha) berkhasiat dalam menghambat kerja enzim xantin oksidase (Schemeda et al. 1987). Demikian halnya dengan flavonoid chriysin, batcalein, isorhamnetin, dan ester asam kafeat juga berkhasiat dalam menghambat xantin oksidase (Nakanhisi 1990). Penelitian Cos et al (1998) flavonoid luteolin dan apigenin (Gambar 5) memiliki kemampuan menginhibisi terhadap xantin oksidase dengan kemampuan daya inhibisi mendekati allopurinol, kemudian senyawa bioaktif polifenol yang terdapat pada teh, yaitu teaflavin, teaflavin-3-galat, teaflavin-3-3’-digalat,
(-)-epigalokatekin-3-galat,
dan
asam
galat
mampu
menghambat kerja enzim xantin oksidase dalam membentuk asam urat melalui mekanisme inhibitor kompetitif (Jen et al. 2000). Aktivitas tertinggi dimiliki oleh asam galat yang mampu memberikan efek penghambatan hingga di atas 50%. Dew et al (2005) melaporkan bahwa flavonoid teaflavin-3,3’-digalat berperan sebagai penghambat enzim xantin oksidase. Selain itu juga dilaporkan bahwa derivat apigenin (yang merupakan senyawa golongan flavonoid) asal tumbuhan palhinhaea cernua juga berperan sebagai penghambat enzim xantin oxidase (Jiao et al. 2006), dimana semua penelitian di atas dilakukan secara invitro.
Gambar 5 Struktur flavonoid apigenin (Cos et al. 1998) Adanya
ikatan
rangkap
pada
flavonoid
memungkinkan
untuk
melangsungkan reaksi adisi (oksidasi oleh xantin oksidase), adanya ikatan rangkap pada atom C2 dengan C3 akan mengakibatkan posisi ring B co-planar
28
terhadap ring A sehingga lebih memudahkan dalam berinteraksi dengan enzim zantin oksidase. Selain itu adanya gugus hidroksil yang terdapat pada flavonoid turut berperan dalam memberikan efek penghambatan (Cos et al. 1998). Selain flavonoid, alkaloid tumbuhan dipercaya dapat juga berfungsi sebagai obat yang mampu menekan sekaligus mengurangi frekuensi serangan akut dan menghilangkan rasa nyeri dengan cara menghambat sintesis dan pelepasan leukotrien (Mycek et al. 2001). Materia Medika (1995) mengatakan bahwa terdapat golongan alkaoid dari suatu tanaman tertentu dipercaya menghambat produksi enzim xantin oksidase, senyawa kimia lainnya adalah polifenol dan flavonoid. Suatu senyawa dalam tanaman yang analog dengan purin pun dapat dimanfaatkan sebagai inhibitor bagi xantin oxidase, dan dilaporkan juga bahwa alkaloid yang terkandung dalam biji seledri mempunyai efek sedatif dan antikonsulvan pada tikus (Ixoranet 2007).
Kinetika Inhibisi Enzim Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel yang terdiri atas protein makromolekul dengan mekanisme kinetika yang mirip dengan katalis heterogen dengan aktivitas reaksi yang sangat spesifik. Faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, jumlah produk yang terbentuk, adanya senyawa inhibitor dan aktivator, pH, kekuatan ion, serta suhu lingkungan (Thenawijaya 1995). Reaksi enzimatis bekerja dengan urut-urutan yang terartur, enzim mengkatalis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrien, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, dan yang membuat makromolekul sel dari prekusor sederhana. Di antara sejumlah enzim yang berpartisipasi di dalam metabolisme ada yang dinamakan dengan enzim pengatur (regulasi enzim) yang dapat mengenali berbagai isyarat metabolik dan mengubah kecepatan katalitiknya sesuai dengan isyarat yang diterima. Melalui aktivitasnya, sistem enzim terkoordinasi dengan baik, menghasilkan suatu hubungan yang sesuai diantara sejumlah aktivitas metabolik yang berbeda yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (Webb 1963).
29
Mekanisme regulasi enzim dilakukan melalui kontrol ketersediaan enzim dan kontrol aktivitas enzim. Dalam kontrol ketersediaan enzim, keberadaan enzim diatur oleh sel, pengaturan kapan suatu enzim disintesis dan kapan akan didegradasi bergantung pada ketersediaaan subtrat dan produk. Proses degradasi dan síntesis enzim dapat berlangsung dalam hitungan menit (pada bakteri) hingga jam (pada organisme tingkat tinggi). Pada kontrol aktivitas, aktivitas katalitik enzim dipengaruhi oleh struktur sisi aktif tempat enzim dan subtrat berikatan. Aktivitas struktur tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme penambahan suatu molekul tertentu (efektor allosterik) atau dengan modifikasi kovalen seperti fosforilasi dan defosforilasi pada residu asam amino spesifik pada sisi aktif enzim tersebut (Voet & Voet 2001). Dalam mempelajari kinetika enzim, berbagai faktor penentu laju aktivitas dipelajari secara lebih seksama dan kondisinya diatur sedemikian rupa dengan harapan reaksi yang terjadi dapat lebih terkendali dan murni hanya diakibatkan oleh interaksi enzim-substrat. Untuk beberapa keperluan, seperti dalam mempelajari kemampuan senyawa bioaktif sebagai obat (inhibitor/aktivator enzim), terhadap lingkungan tempat reaksi enzim tersebut berlangsung ditambahkan senyawa bioaktif dengan konsentrasi tertentu dan pola kinetika yang terbentuk diperbandingkan dengan pola kinetika dasarnya (hanya interaksi enzimsubstrat) untuk melihat adanya perubahan pola kinetika (Price & Stevens 2004). Beberapa senyawa bioaktif asal tumbuhan ketika ditambahkan ke dalam sistem reaksi enzimatis dapat berperan sebagai aktivator, yang berarti dapat meningkatkan laju reaksi pembentukan produk dan beberapa justru dapat menyebabkan penurunan laju reaksi (inhibitor). Secara kimiawi, suatu inhibitor akan sulit dibedakan dari aktivator. Kedua senyawa ini dapat jelas dibedakan jika keduanya telah berinteraksi dengan enzim yang secara langsung akan mempengaruhi laju reaksinya. Ikatan inhibitor ataupun aktivator dengan enzim dapat mengubah kemampuan daya katalisatornya. Hal ini secara umum terjadi akibat adanya perubahan struktur enzim ketika suatu inhibitor ataupun aktivator berinteraksi dengannya (Boyer 1970). Mekanisme inhibisi dapat berlangsung secara kompetitif, unkompetitif atau nonkompetitif. Pada jenis inhibisi kompetitif, terjadi kompetisi antara substrat
30
dengan inhibitor dalam memperebutkan sisi aktif dari enzim (Gambar 6). Reaksi akan terjadi dan produk akan dihasilkan, walaupun enzim bereaksi dengan inhibitor. Produk yang dihasilkan dari inhitor akan berbeda jenisnya dengan produk yang dihasilkan dari subtrat. Pada jenis penghambatan ini, adanya inhibitor dapat menyebabkan perubahan nilai KM (konstanta Michaelis-Menten) menjadi lebih besar dari nilai KM semula tanpa mengubah nilai Vmax-nya (kecepatan maksimum reaksi enzimatis). Vmax pada jenis inhibisi kompetitif tetap dapat tercapai, namun membutuhkan waktu yang lebih lama dari kondisi normalnya dan untuk mempercepatnya dapat dilakukan penambahan konsentrasi substrat yang akan memperbesar peluang bagi subtrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, yang pada akhinrnya dapat membantu meningkatkan Vmax.
Gambar 6 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor kompetitif (Price & Stevens 1996) Inhibitor kompetitif, umumnya memiliki struktur yang serupa dengan subtrat. Sebagai contoh adalah allopurinol, yang strukturnya hampir sama dengan xantin atau subtrat asli (Gambar 7 ). Allopurinol dapat berikatan dengan enzim xantin oksidase pada sisi aktifnya membentuk ikatan yang terdiri dari kombinasi ikatan kovalen, elektrostatik, dan ikatan hidrogen. Allopurinol memiliki afinitas puluhan kali lebih kuat terhadap enzim xantin oksidase dibandingkan xantin. Oleh karena itu, apabila dalam lingkungan terdapat inhibitor ini bersama-sama bersama-sama dengan subtrat (xantin), maka allopurinol yang akan lebih bereaksi dengan xantin oksidase membentuk produk (oksipurinol) dibandingkan dengan subtratnya sendiri, sehingga efek penghambatan pembentukan asam urat dapat berlangsung terus selama masih terdapat allopurinol dalam lingkungan (Voet & Voet 2001).
31
Gambar 7 Struktur allopurinol dan struktur xantin (Hille 1996)
Inhibisi kompetitif oleh produk reaksi sangat bermanfaat untuk menghentikan atau menurunkan kerja enzim ketika telah terbentuk cukup produk untuk kebutuhan biokimiawi sel (salah satu bentuk regulasi / kendali metabolik). Pada jenis inhibisi unkompetitif, inhibitor terikat padsa sisi allosterik enzim setelah terbentuk komplek enzim-subtrat. Pada jenis inhibisi ini, inhibitor tidak dapat langsung berikatan dengan enzim dalam keadaan bebas, namun hanya dapat terikat jika telah terbentuk kompleks enzim-subtrat (Gambar 8 ). Dalam bentuk kompleks enzim-subtrat*inhibitor, enzim akan kehilangan sifat katalisatornya (inaktif) dan produk tidak akan terbentuk. Produk hanya akan terbentuk, jika inhibitor terlepas dari kompleks enzim-subtrat*inhibitor.
Gambar 8 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor unkompetitif (Price & Stevens 1996) Umumnya, inhibisi unkompetitif terjadi akibat adanya akumulasi produk dari reaksi enzim itu sendiri dan sangat jarang dijumpai pada reaksi enzim yang melibatkan hanya satu subtrat dan satu produk. Pola kinetika yang terbentuk akibat adanya inhibitor pada jenis inhibisi unkompeitif ini adalah terjadinya penurunan nilai KM dan Vmax dari keadaan normalnya (Voet & Voet 2001). Pada jenis inhibisi nonkompetitif, antara subtrat dan inhibitor tidak terjadi kompetisi dalam memperebutkan sisi aktif enzim. Inhibitor dan subtrat tidak memiliki kemiripan struktur. Inhibitor berikatan dengan enzim pada lokasi diluar
32
sisi aktifnya. Efek penghambatan akan terjadi karena inhibitor berikatan dengan sisi allosterik enzim, dan akan mengubah bentuk sisi aktif enzim seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Akibat dari jenis inhibisi ini adalah terjadinya penurunan Vmax tanpa mengubah nilai KM-nya (Voet & Voet 2001).
Gambar 9 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor nonkompetitif (Price & Stevens 1996) Berbeda dengan jenis inhibisi unkompetitif, pada inhibisi nonkompetitif, inhibitor dapat membentuk ikatan dengan
enzim dalam keadaan bebasnya
disamping dapat membentuk ikatan dengan kompleks enzim-subtrat. Ikatan inhibitor terhadap enzim bebas dan kompleks enzim-subtrat dapat meyebabkan terbentuknya kompleks enzim*inhibitor dan enzim-subtrat*subtrat yang bersifat tidak produktif, karena kedua kompleks ini tidak dapat membentuk produk (Gambar 7). Produk hanya akan terbentuk jika ikatan inhibitor terlepas dari kompleks enzim-subtrat*inhibitor. Reaksi sampingan yang sangat merugikan akibat pengaruh inhibitor pada jenis penghambatan ini adalah besarnya peluang bagi sisi aktif enzim untuk berubah secara permanen dari keadaan alaminya jika terbentuk komplek enzim*inhibitor dengan ikatan yang sangat kuat. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan reaktifitasnya secara permanen. Suatu senyawa aktif yang akan digunakan sebagai kandidat obat bagi penyakit kelainan metabolik (akibat aktivitas enzim), harus melalui serangkaian uji kinetika. Pengujian ini diharapkan dapat memberikan informasi tipe hambatannya. Sehingga dapat dipastikan bahwa suatu senyawa yang diisolasi tersebut benar-benar aman dan tidak akan mengubah struktur enzim secara permanen. Penentuan pola kinetika inhibisi enzim dapat ditentukan dengan menggunakan metode Michaelis-Menten, Lineweaver-Burk, Dixon, Hanes atau Eddie-Hofstee seperti terlihat pada Tabel 1.
33
Tabel 1. Metode penentuan mekanisme inhibisi enzim (Price & Stevens 1996)
Metode
Kompetitif
Nonkompetitif
Unkompetitif
Michaelis-Menten V
V Vm S Vmapp
Vm (S) V = Km + S
S+I
Vm (S) V = Km + S Vm (S) V= I I K (1+ ) + S (1+ ) Ki S M Ki
S
Vm Vmapp
S +I
S Km Kmapp
LineWeaver-Burk
V=
Vm . S
S1 <S2 Km S S/V = (1 + I/Ki) + Vm Vm S/V Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
V
Eddie-Hofstee
Km 1 1/V = (1 + I/Ki) + (1 + I/Ki) Vm 1/V Vm Km 1 1 S +I 1/Vmapp 1/V = + S Vm S Vm 1/Vm 1/S -Km = -Kmapp
Km + (S) Km 1/V = + (I) 1/ Vm (S) Vm.Ki.(S) S1 V S2 I Ki
Km + (S) Km + (S) 1/V = + (I) 1/V S1 Vm (S) Vm.Ki.(S)
-Ki
S2 S1 <S2
tg = -Kmapp tg = -Km
V = Vm.(1 + I/Ki) - Km.V/(s)
I
Nilai KM
S+I
Vmapp
V= S
Vm (S) I KM + S (1+) Ki
1/V
Km 1 1/V = + (1 + I/Ki) Vm Vm
S +I S 1/Vm -Kmapp-Km
1/Vmapp
Km 1 1 1/V = + Vm S Vm 1/S
Km + (S) (S) 1/V = + (I) Vm (S) Vm.Ki.(S) Km 1/V S1 - Ki (1 + ) S2 S S1 <S2 I Km S S/V = + (1 + I/Ki) Vm Vm
S/V Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
S/V
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
V Vm V = Vm – Km .V/(s) Vmapp
tg = -Kmapp tg = -Km
V = Vm.(1 + I/Ki) - Km.V/(s)..(1 + I/Ki) V/S
Vm
Km S S/V = (1 + I/Ki) + (1 + I/Ki) Vm Vm
V
Vm = Vmapp V = Vm – Km .V/(s)
Vm (S) V = Km + S
S
Kmapp Km
Km (1+ I ) + S Ki
Km 1 1/ 1/V = (1 + I/Ki) + Vm Vm V S+I Km 1 1 1/Vm = 1/Vmapp S 1/V = + Vm S Vm 1/S -Km -Kmapp
Dixon
Hanes
Km = Kmapp
V
V/S
Vm V = Vm – Km .V/(s) = Vmapp tg = tg -Km = -Kmapp V = Vm – Km .V/(s) . (1 + I/Ki) V/S
dan Vmax sangat sulit ditentukan secara tepat berdasarkan grafik
Michaelis-Menten, sehingga untuk mendapatkan nilai Vmaks dan KM yang lebih tepat persamaan Michaelis-Menten tersebut ditransformasikan kepersamaan Lineweaver-Burk, Dixon, Hanes atau Eddie-Hofstee. Metode Lineweaver-Burk merupakan metode awal penentuan kinetika enzim, dari persamaan ini hanya
34
diperoleh Vmaks, KM dan
(afinitas inhibitor), sementara untuk mendapatkan
konsatanta inhibitor (Ki) maka perlu dilakukan uji kinetika lanjut menggunakan metode Dixon.
Penelitian tentang kinetika inhibisi enzim xantin oksidase Beberapa senyawa baham alam seperti flavonoid telah diketahui bersifat inhibitor bagi enzim xantin oksidase dan di harapkan bermanfaat dalam pencegahan panyakit asam urat. Mekanisme tipe hambatan yang terjadi umumnya mengarah pada jenis inhibisi kompetitif namun beberapa mengarah pada jenis inhibisi nonkompetitif. Berikut beberapa penenlitian mengenai sifat inhibisi kompetitif dan nonkompetitif yang dilakukan secara invitro diantaranya flavonoid dan senyawa polifenol dilaporkan berperan sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim xantin oksidase, diantaranya adalah teaflavin, teaflavin-3-galat, teaflavin-33’-digalat, (-)-epigalokatekin-3-galat, dan asam galat (Jen et al. 2000), teaflavin 3,3’-digalat (Dew et al. 2005), serta apigenin-4’-O-(2”-O-p-coumaroyl)- -Dglukopiranosida yang merupakan derivat apigenin (Jiao et al. 2006). Sedangkan beberapa golongan flavonol meliputi jenis flavonol krisin, luteolin, kaemferol, kuersetin, mirisetin, dan isorhamnetin dilaporkan memiliki efek hambatan terhadap xantin oksidase melalui mekanisme inhibitor nonkompetitif (Nagao et al. 1997), beberapa kelompok flavonol dan polifenol asal teh seperti (-)-epikatekin, (-)-epigalokatekin, (-)-epikatekin galat (Aucump et al. 1997). Selain itu flavonoid flavonol kaemferol asal teh hijau (Park et al. 2006) dan kalkon juga mempunyai daya inhibisi yang sangat kuat terhadap enzim xantin oksidase (Beiller 1951 dalam Martin 2007) tetapi disini tidak dijelaskan tipe inhibisinya. Flavonoid mampu menghambat enzim xantin oksidase karena adanya kemiripan struktur antara flavonoid dengan xantin (subtrat). Kerja spesifik xantin oksidase terhadap xantin melalui reaksi transfer/penambahan oksigen pada atom C nomor 2 dan C nomor 8 (gambar 5) oleh asam amino pada sisi aktif enzim disertai dengan reduksi kofaktor Molibdat, dari Mo(VI) menjadi Mo(IV) (Massey et al, 1970). Besarnya kekuatan inhibisi flavonoid sangat dipengaruhi oleh besarnya kekuatan mereduksi/derajat oksidasi yang dapat dilihat dari sejumlah gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karboksi (-C=O) di dalamnya. Hasil peneletian Jen et al
35
(2000) menunjukkan bahwa kekuatan inhibisi teaflavin-3-3’-digalat>teaflavin-3galat>(-)-epigalokatekin-3-galat>teaflavin. Jiao et al (2006) juga melaporkan bahwa
gugus fungsi hidroksil dan karboksil yang terdapat pada flavonoid
mempengaruhi besarnya daya inhibisi.
Fourir Transformation Infra Red (FT-IR) FT-IR merupakan metode analisis kualitatif suatu senyawa kimia. Instrumentasi FT-IR terdiri atas sumber radiasi, sampel kompartemen, monokromator, detektor, amplifier dan rekorder (sistem pembacaan). Radiasi inframerah yang digunakan untuk analisis senyawa kimia adalah pada panjang gelombang sekitar 4000 – 670 cm-1. Panjang gelombang ini menyebabkan energi elektromagnetik radiasi inframerah gugus-gugus atom bervibrasi. Vibrasi alamiah gugus molekul yang sesuai dengan radiasi inframerah akan menyebabkan interaksi medan listrik sehingga akan terjadi perubahan-perubahan vibrasi yang menunjukan terjadinya absorpsi inframerah yang berupa puncak-puncak tertentu. Spektrum pada FT-IR dapat terbentuk dengan cara melewatkan radiasi inframerah ke sampel yang kemudian diproses melalui alat interferometer yang dibaca oleh detektor berupa sinyal. Sinyal ini
yang kemudian diubah menjadi bentuk
spektrum dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika fourir transform (Choltup at el. 1988). Metode ini dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi suatu senyawa kimia, seperti dilakukan oleh Jiao at el (2006) yang mencoba menganalisis gugus fungsi senyawa aktif yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua diperoleh serapan gugus fungsi pada panjang gelombang 3249 – 3500 cm-1 (hidroksil), 1714 & 1659 cm-1 (karbonil) serta 1586 & 1455 cm-1 (penil).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) HPLC atau kromatografi cair kinerja tinggi merupakan teknik pemisahan dan analisis kuantitatif atau kualitatif suatu senyawa. Instrumentasi HPLC terdiri atas reservoir yang berisi fase gerak, sebuah pompa untuk memompa fase gerak melalui sistem bertekanan tinggi, injektor, kolom yang merupakan tempat
36
terjadinya pemisahan, detektor yang berfungsi untuk menditeksi keberadaan senyawa dan integrator yang berfungsi untuk memperkuat pembacaan sinyal oleh detektor. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Kellner et al. 2004). Penggunan analisis kualitatif dari metode ini bertujuan untuk memurnikan suatu senyawa yang akan dianalisis lebih lanjut, seperti dilakukan oleh Park et al (2006) yang mencoba memisahkan senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase yang berasal dari teh hijau dengan menggunakan HPLC, yang kemudian senyawa aktif tersebut dianalisis lebih lanjut dan diperoleh senyawa flavonol kaemferol.
Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) LC-MS merupakan metode analisis kuantitatif yang merupakan kombinasi antara kromatografi cair dengan spektroskopi massa. Instrumentasi LC-MS terdiri atas inlet-LC, sumber ion, tekanan permukaan, Mass analyzer, detektor, instrument kontrol dan proses data. Prinsip dari metode analisis ini adalah ionisasi molekul, dimana molekul ditembak oleh radikal bermuatan positif sehingga terfragmen lebih lanjut dan terditeksi ion-ion positifnya. Kumpulan ion-ion yang dihasilkan merupakan karakteristik suatu molekul. Spektrum LC-MS dapat terbentuk dengan melewatkan sumber ion ke sampel yang kemudian diproses dengan suhu tinggi (karena sampel masih dalam bentuk cair setelah dipisahkan oleh LC) melalui suatu alat mass analyser yang kemudian dibaca oleh detektor berupa sinyal. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Willard et al. 1988). Metode ini digunakan untuk menentukan massa molekul dan
rumus
molekul yang sangat membantu dalam elusidasi struktur molekul baik organik maupun anorganik. Seperti yang dilakukan oleh Jiao at el (2006) yang menganalisis rumus molekul senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua dengan LC-MS memperoleh bobot molekul (m/z) sebesar 579,1200 dengan rumus molekul C30H27O12.
37
Nuclear Magnetik Resonance (NMR) NMR merupakan metode kualitatif yang didasarkan pada telaah absorpsi radiasi frekuensi radio oleh inti. Instrumentasi NMR terdiri atas superkondukting magnit, shimcoil-shim power supply, detektor RF, digitizer, pulse program, RF source, RF amplifier dan komputer untuk memproses data. Prinsip dari NMR adalah semua inti yang bermuatan akan mengalami spin (perputaran) pada sumbu inti dengan menghasilkan suatu dipol magnit sepanjang sumbu dengan momentum megnetik. Bila inti tersebut diletakkan dalam suatu medan magnet kuat akan mengalami rotasi atau spin pada sumbu inti dan energi unsur tersebut akan pecah menjadi 2 tingkat energi terkuantisasi atau lebih sebagai akibat sifat magnit inti tersebut. Transisi antara tingkat-tingkat energi yang terjadi karena di induksi medan magnit dapat terjadi bila mengabsorpsi radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang tepat. Lingkungan kimia dalam molekul mempengaruhi absorpsi oleh inti dalam suatu meden megnit. Spektrum nmr dapat terbentuk dengan melewatkan radiasi eletromagnetik ke sampel yang kemudian diproses melalui peralatan medan magnit sehingga dibaca oleh detektor radio frekuensi berupa sinyal. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Breitmaier 1993). Metode ini dapat digunakan dalam menentukan struktur molekul organik dan anorganik dengan tingkat akurasi yang tinggi. Seperti dilakukan oleh Jiao et al (2006) yang menganalisis struktur senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua diperoleh struktur 5,7-dihidroksi-2(4-hidroksipenil)-4H-1-benzopiran-4-on-4’-o-(2”-o-p-kumaroil)- -Dglukopiranosida.
38
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 12 bulan, mulai Mei 2007 hingga Mei 2008 bertempat di Laboratorium Kimia analitik, Pusat studi Biofarmaka IPB serta Laboratorium Departemen Kelautan Sukabumi.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel seledri asal Semarang, bufer fosfat, heksana, CHCl3, etil asetat, aseton, etanol, metanol, air, HCl, aseton, etil asetat, pelat KLT, silika gel GF254, silika gel G40-63, pereaksi Meyer, Dragendorf, dan Wagner, Artemia salina L., kertas saring, air laut, air bebas ion, aquades, xantin dari sigma, dan enzim xantin oksidase dari sigma yang berasal dari Bovin. Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, hotplate, oven, desikator, penggilingan, saringan, corong buchner, kolom gelas, rak tabung reaksi, waterbath,
pH meter, pengering beku, rotary evaporator, spektrofotometer,
autopipet, stopwatch, vorteks mixer, alat-alat gelas, spektrometer, instrumen FTIR, HPLC, LC-MS dan NMR.
Metode Penelitian Pada penelitian ini dimulai dengan pembuatan ekstrak hingga analisis NMR. Diagram alir dari penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Ekstraksi etanol Seledri kering herba (batang dan daun) diekstraksi dengan etanol dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 3 (g/v) hingga filtrat terakhir menunjukkan negatif untuk uji flavonoid, lalu disaring dan dipekatkan dengan rotavapor. Ekstrak yang didapat kemudian dikeringbekukan, dan rendemen yang diperoleh dicatat.
Rendemen tersebut lalu diuji kualitatif (Harborne 1987), diuji
sitotoksinnya terhadap Artemia Salina L. (Finney 1971), diuji daya inhibisi dan mekanisme kinetikanya terhadap xantin oksidase serta difraksinasi dengan kolom
39
silika gel untuk mendapatkan senyawa aktif yang lebih murni. Terhadap sampel seledri yang lain ditentukan kadar airnya (AOAC 1984).
Uji toksisitas ekstrak terhadap Artemia Salina L. Tahap awal uji toksisitas adalah penetasan kista Artemia Salina L. Kista Artemia Salina L. ditimbang sebanyak 50 mg kemudian dimasukkan kedalam wadah yang berisi air laut bersih dilengkapi aeroton dan dibiarkan selama 48 jam dibawah pencahayaan lampu agar menetas sempurna. Larva yang sudah menetas digunakan dalam uji sitotoksin. Dalam uji sitotoksin sebanyak 10 ekor larva Artemia Salina L. dimasukkan dalam vial yang berisi air laut lalu ditambahkan larutan ekstrak etanol (ekstrak kasar maupun hasil fraksinasi) sehingga konsentrasi akhir ekstrak menjadi 1000, 100, 10 ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah larva yang mati (Finney 1971). Pengolahan data persen mortalitas komulatif dilakukan dengan analisis probit (LC50) menggunakan program Minitab 14 pada selang kepercayaan 95 %.
Uji Daya Inhibisi Terhadap Xantin Oksidase Uji daya inhibisi ekstrak kasar maupun senyawa aktif hasil fraksinasi terhadap xantin oksidase dilakukan pada kondisi optimumnya. Kondisi optimum pengujian mengacu pada hasil penelitian Iswantini dan Darusman (2003), yaitu pada waktu inkubasi 45 menit, suhu 20 OC, pH 7,5, konsentrasi xantin oksidase 0,1 unit/ml, dan konsentrasi substrat (xantin) 0,7 mM. Ekstrak kering (ekstrak kasar maupun hasil fraksinasi) dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan variasi konsentrasi tertentu. Khusus untuk senyawa aktif seledri hasil fraksinasi, variasi konsentrasi didasarkan pada hasil uji BSLT. Selanjutnya kedalamnya ditambahkan larutan bufer kalium fosfat 50 mM pH 7,5 sampai volumenya menjadi 1,9 ml. Campuran kemudian ditambah 1 ml xantin 2,1 mM dan xantin oksidase 0,1 unit/ml sebanyak 0,1 ml lalu diinkubasi pada suhu 20°C selama 45 menit. Setelah masa diinkubasi, ke dalam campuran dengan segera ditambahkan HCl 0,58 M sebanyak 1 ml. Campuran selanjutnya diukur
40
serapannya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 262 nm untuk melihat seberapa besar sisa xantin yang tidak bereaksi dalam sampel uji. Jumlah asam urat yang terbentuk selanjutnya dibandingkan dengan jumlah xantin yang direaksikan. Dengan bantuan standar xantin, akan diketahui seberapa besar jumlah xantin dalam sampel uji yang bereaksi. Ekstrak tidak memberikan khasiat apabila jumlah asam urat yang terbentuk sama besar dengan jumlah xantin yang diberikan dan dikatakan berkhasiat apabila jumlah asam urat yang dihasilkannya lebih sedikit dari kontrol (perlakuan tanpa ekstrak). Semakin sedikit asam urat yang terbentuk, ini berarti ekstrak semakin berkhasiat dalam menghambat kerja xantin oksidase.
Uji Kinetika Awal Inhibisi Terhadap Xantin Oksidase Uji kinetika inhibisi dilakukan pada ekstrak kasar etanol herba dan hasil fraksinasinya. Prosedur uji kinetika inhibisi mirip dengan pelaksanaan uji penentuan daya inhibisi, hanya saja pada uji kinetika, konsentrasi substrat (xantin) divariasikan mulai dari 0,00 hingga 1,00 ppm dengan kenaikan interval setiap 0,05 ppm.
Sebelum uji ini dilakukan perlu diketahui terlebih dahulu pada
konsentrasi berapa ekstrak kasar ekstrak kasar etanol akar seledri dan ekstrak kasar etanol herba (daun dan batang)
memberikan hambatan maksimumnya.
Untuk itu sederetan konsentrasi ekstrak mulai dari 100, 150, 200, 300 hingga 2000 ppm akan diujikan (diuji sesuai dengan uji daya inhibisi). Ekstrak dengan konsentrasi terbaik yang kemudian dijadikan kandidat bagi pelaksanaan uji kinetika inhibisi. Dalam
pelaksanaannya,
sederetan
konsentrasi
substrat
disiapkan
(0,00; 0,05; 0,10; 0,15 s/d 1,00 mM) dan diuji sebagaimana penentuan daya inhibisi, dari sini akan diperoleh kinetika enzim xantin oksidase dalam keadaan normal. Sedangkan untuk melihat kinetika enzim akibat mendapat perlakuan ekstrak, ke dalam sederetan konsentrasi substrat yang lain ditambahkan ekstrak (konsentrasi terpilih), dan diinkubasi sesuai kondisi optimumnya, lalu dibaca serapannya pada panjang gelombang 262 nm. Data yang diperoleh kemudian dikonversi dan diinterpretasikan ke dalam persamaan Lineweaver-Burk dalam bentuk grafik. Konsentrasi xantin (substrat)
41
diubah menjadi 1/[xantin] pada sumbu X, dan kecepatan reaksi pembentukan asam urat diubah menjadi 1/kecepatan pada sumbu Y.
Selanjutnya dicari
persamaan garis yang terbentuk dan tipe hambatannya berdasarkan perpotongan garis antara kinetika enzim normal dengan kinetika enzim setelah mendapat perlakuan ekstrak kasar etanol herba (daun dan batang).
Fraksinasi Ekstrak Kasar etanol Fraksinasi dilakukan untuk memurnikan ekstrak kasar etanol herba (daun dan batang) yang didapat. Fraksinasi dilakukan pada kolom silika gel G40-63 menggunakan eluen kombinasi terbaiknya (kloroform : metanol : 9,5 : 0,5). Untuk memilih eluen terbaik dicoba dengan berbagai eluen heksana, kloroform, etil asetat, aseton, etanol, metanol dan air. Eluen tunggal dengan pemisahan terbaik kemudian dikombinasikan
satu
dengan
yang
lainnya
dengan berbagai
perbandingan. Fraksinasi dilakukan dengan maksud untuk mencari kemungkinan adanya senyawa tunggal yang memiliki daya inhibisi yang lebih baik dibandingkan ekstrak kasarnya. Elusidasi ekstrak dalam kolom silika gel dilakukan dengan eluen kombinasi terbaiknya secara gradien. Dari sini diharapkan senyawa aktif seledri dapat lebih banyak terpisah dan proses purifikasi dapat berlangsung dengan lebih cepat. Elusidasi dilakukan terhadap 10 gram ekstrak kasar etanol akar dan ekstrak kasar herba (daun dan batang) seledri yang terbagi dalam dua kali periode kolom, yaitu 5 g pada kolom berukuran 15cm x 44mm dengan laju alir dijaga konstan 10 ml/menit. Eluat hasil fraksinasi kolom ditampung setiap 5 ml, menggunakan tabung reaksi kaca, dilakukan penggabungan fraksi dengan mengacu pada nilai Rf dan kesamaan pola kromatogram menggunakan bantuan KLT analitik, dan setiap fraksi gabungan yang terbentuk dikering bekukan, dihitung rendemennya, serta diuji aktivitasnya terhadap Artemia salina L., dari hasil uji Artemia akan diperoleh informasi awal tingkat toksisitas fraksi (LC50). Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk mengetahui tingkat konsentrasi yang tepat dalam pengujian dan untuk menghindari efek toksik bagi senyawa yang akan dijadikan sebagai calon obat. Nilai LC50 yang didapat ini kemudian dijadikan acuan sebagai konsentrasi
42
maksimum yang diperkenankan dalam uji daya inhibisi terhadap xantin oksidase, serta nilai inhibisi tertinggi dijadikan sebagai acuan pada kinetika untuk mengetahui tipe kinetikanya.
Identifikasi dan Pemurnian Fraksi Teraktif Identifikasi awal fraksi teraktif (yang diperoleh dari fraksinasi tahap pertama) dilakukan dengan menggunakan analisis FT-IR dengan metode pelet KBr, yakni dengan cara mencampur 2 mg sampel dengan 200 mg KBr kemudian dipres hingga terbentuk pelet KBr yang kemudian diletakkan kedalam tempat sampel analisisnya. Sebelum dilakukan analisis kualitatif dengan HPLC maka dilakukan scanning terlebih dahulu terhadap sampel fraksi teraktif untuk mengetahui panjang gelombang (
max)
untuk. Setelah diperoleh
max,
maka dilakukan analisis
kualitatif dengan HPLC. Analisis HPLC dilakukan secara isokratik dengan menggunakan fase gerak eluen terbaik (kloroform : metanol : 9,5 : 0,5) dan fase diam kolom C18, Sementara detektor yang digunakan adalah diode array, karena detektor ini dapat menditeksi sampel pada panjang gelombang 180-700 nm. Sampel fraksi teraktif dilarutkan dengan eluen terbaik kemudian diinjekkan kedalam HPLC dengan volume injek 400 µl dan laju alir 0,60 ml/min. Kemudian masing-masing fraksi dari pemurnian HPLC ditampung dan diujikan kembali keaktivitas enzim xantin oksidase. Fraksi teraktif dari pemurnian HPLC kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui bobot molekul dan strukturnya. Penentuan bobot molekul (fraksi teraktif dari pemurnian HPLC) dianalisis dengan menggunakan Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) secara kuantitatif. Analisis ini menggunakan teknik electrospray ionisation pada energi 70 ev dengan tujuan agar diperoleh fragmentasi yang sempurna. Analisis dilakukan dengan cara melarutkan 2 mg sampel ke dalam 20 ml pelarut metanol 80%, dengan volume injek 10 µl dan laju alir 0,1 ml/min. Penentuan struktur fraksi teraktif dilakukan dengan analisis Nuclear Magnetik Resonance (NMR) yaitu HNMR dan CNMR. Analisis dilakukan dengan melarutkan 10 mg sampel kedalam 15 ml pelarut CD3OD dengan standar TMS dan pada frekuensi 500 Hz.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Etanol Estraksi etanol dilakukan terhadap tiga jenis sampel yakni 50 gram herba seledri Cipanas, 150 gram herba seledri Cipanas dan 400 gram herba seledri Semarang. Pelarut yang digunakan adalah EtOH : H2O ( 7 : 3 ), sebanyak lima kali ulangan dengan tujuan menarik semua flavonoid yang terdapat pada sampel dan diperoleh rendemen masing-masing sebesar 9,11%, 8,90% dan 10,40%. Berdasarkan analisis kadar air terhadap ketiga sampel tersebut diperoleh masingmasing 11,23%, 12,76% dan 6,08% (Lampiran 2). Menimbang serangkaian uji yang akan dilakukan maka herba semarang dipilih sebagai sampel yang akan dianalisis lebih lanjut karena rendemen ekstrak herba Semarang paling tinggi dan sampel Semarang merupakan sampel terbaik, Ramdhani (2004) juga melaporkan Sampel seledri asal Semarang merupakan sampel terbaik.
Uji Fitokimia dan Uji Sitotoksin (LC50) Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam suatu sampel bahan alam, hasil analisis fitokimia seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Fitokimia ekstrak kasar etanol No. Uji 1 2 3 4 5 6 7
Nama Uji
Hasil Pengamatan
Alkaloid Triterpenoid Steroid Kuinon Saponin Tanin Flavonoid
++ + + + -+ +++
Terjadi sedikit perbedaan dengan uji fitokimia yang dilakukan oleh Ramdhani (2004), yaitu pada uji kuinon (+) sedangkan pada penelitian Ramdhani (2004) negatif, hal ini diduga karena asal sampel yang berbeda. Sementara uji toksisitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui jumlah konsentrasi yang tepat dari suatu senyawa bioaktif sebagai calon obat. Uji toksisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji letal Consentrasi (LC50).
44
Uji ini digunakan untuk menentukan batas tingkat konsentrasi yang menyebabkan keracunan. Hasil analisis Probit diperoleh bahwa ekstrak etanol herba memiliki nilai LC50 sebesar 1969,18 ppm. Menurut Meyer (1982) senyawa yang dapat dikatakan sebagai obat dan bersifat bioaktif adalah senyawa yang memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 ppm. Berdasarkan hasil analisis nilai LC50 pada penetian ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar etanol herba seledri masih kurang berpotensi sebagai obat asam urat maupun senyawa yang bersifat sebagai bioaktivitas. Hal ini diduga dalam ekstrak kasar tersebut masih banyak sekali golongan senyawa sehingga mengakibatkan ekstrak memiliki daya bunuh kuman yang rendah. Tetapi setelah dilakukan Fraksinasi terhadap ekstrak kasar etanol kemampuan daya bunuh kumannya meningkat, hal ini dapat dilihat dari nilai LC50 pada berbagai fraksi (Lampiran 9). Nilai LC50 pada berbagai fraksi hasil kolom menunjukkan bahwa ekstrak tersebut sangat berpotensi sebagai calon obat dan bersifat bioaktivitas. Meningkatnya nilai LC50 setelah di fraksinasi menguatkan dugaan bahwa kandungan senyawa yang ada dalam esktrak tersebut semakin murni sehingga daya bunuh terhadap kuman pun semakin tinggi.
Daya Inhibisi Ekstrak kasar Etanol Herba terhadap Enzim Xantin Oksidase Analisis daya inhibisi ekstrak kasar etanol terhadap enzim xantin oksidase, dilakukan pada berbagai variasi konsentrasi dari ekstrak yang didasarkan pada nilai LC50. Variasi konsentrasi ekstrak ini bertujuan untuk mencari konsentrasi terbaik dan memiliki daya inhibisi terbaik. Konsentrasi terbaik dengan daya inhibisi tertinggi inilah yang akan digunakan untuk uji kinetika. Berdasarkan analisis daya inhibisi ekstrak kasar etanol herba seledri dapat dilihat pada Gambar 10.
45
80
74.01 67.69
Daya Inhibisi (%)
70
63.66
60
57.19
50
68 .82 66 .69
65.68 61.94
65.25 65.39
61.22
54.9
58.35 57.19
45.56 40 .67
40 29.75
30 20 11.64
10
6.04
8.20
6.47
0 100
150
200
300
400
500
600
700 8000 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000
Konsentrasi (ppm)
Gambar 10 Daya inhibisi ekstrak kasar etanol terhadap enzim xantin oksidase Pada Gambar diatas memperlihatkan peningkatan daya inhibisi yang tidak seiring dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak. Peningkatan yang tidak signifikan ini diduga adanya karakteristik komponen senyawa yang berbeda dalam sampel yang ikut terekstrak oleh etanol air. Golongan senyawa tersebut dapat berfungsi sebagai inhibitor ataupun aktivator enzim, seperti terpenoid, alkaloid (Harborne 1987) . Melihat tingginya daya inhibisi ekstrak kasar etanol tersebut (74,01%) dengan konsentrasi 1500 ppm, menunjukkkan bahwa ekstrak kasar etanol berpotensi sebagai obat asam urat maupun sebagai senyawa yang bersifat sebagai senyawa bioaktivitas, hal ini diperkuat oleh Ramdhani (2004) yang melaporkan bahwa daya inhibisi ekstrak kasar etanol seledri mencapai di atas 50 %.
Uji Kinetika Ekstrak Kasar Etanol terhadap Enzim Xantin Oksidase Pada uji kinetika ini digunakan konsentrasi ekstrak kasar 1500ppm, pemilihan konsentrasi ini didasarkan pada nilai daya inhibisinya yang besar (74,01%) dengan konsentrasi yang masih dibawah nilai LC50 nya. Berdasarkan analisis kinetika enzim menurut persamaan Michaelis Menten dan turunanya (Lineweaver- Burk) selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan hasil rataannya dapat dilihat pada Gambar 11.
46
20 0 0 1750
1500 ppm (ekstrak) R2 = 0.9115
1/(kecepatan)
1500 1250 10 00
0 ppm (normal)
750 500
R2 = 0.9033
250 0 0
1. 0526
1.1 765
1. 3333
1.5 385
1. 8182
2. 2222
2.8 571
4. 0000
6.6 667
20.0000
-250 -500
1/(xantin)
-750
Gambar 11 Pola kinetika inhibisi ekstrak kasar etanol Berdasarkan analisis grafik di atas diperoleh perubahan nilai KM yang cukup signifikan dan perubahan Vmax yang sangat kecil sekali. Pola kinetika yang terbentuk setelah penambahan ekstrak mengakibatakan peningkatan KM sebesar 0,10 mM dari 0,29 mM menjadi 0,39 mM dan penurunan Vmax sebesar 0,001 mM/Menit dari 0,0065 mM/Menit menjadi 0,0036 mM/Menit. Kecilnya perubahan Vmax diasumsikan tidak ada. Menurut Voet & Voet (2001) jenis inhibisi kompetitif adalah inhibisi dimana terjadi peningkatan nilai KM dengan Vmax yang tetap. Pada inhibisi kompetitif, inhibitor berkompetisi dengan subtrat untuk memperebutkan sisi aktif enzim dan peristiwa ini menyebabkan nilai KM menjadi lebih besar dari keadaan normalnya dengan Vmax yang relatif tetap. Maka dapat disimpulkan bahwa tipe inhibisi yang terjadi adalah tipe inhibisi kompetitif. Berdasarkan analisis ini diperoleh nilai afinitas inhibitor ( ) ekstrak kasar etanol seledri sebesar 1,4. Nilai ini diperoleh dengan membandingkan nilai KM enzim ekstrak dengan nilai KM enzim normal. Nilai
di atas menunjukkan bahwa
inhibisi kompetitif yang terjadi cukup kuat, seperti dijelaskan oleh Voet & Voet (2000) bahwa nilai afinitas inhibitor yang lebih besar dari 1 menunjukan inhibisinya cukup kuat.
47
Fraksinasi Ekstrak Etanol Herba Seledri Sebelum dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak kasar etanol, dilakukan pencarian eluen terlebih dahulu dengan menggunakan KLTa. Eluen ini berfungsi sebagai fase gerak saat fraksinasi. Eluen yang digunakan adalah heksana, kloroform, etil asetat, aseton, etanol, metanol dan air. Eluen dengan pemisahan terbaik kemudian dikombinasikan satu dengan yang lainnya dengan berbagai perbandingan. Berdasarkan analisis dengan menggunakan KLTa diperoleh eluen terbaik yang terdiri dari campuran CH3Cl : MeOH = 9,5 : 0,5 (Gambar 12). Markam (1988) menggunakan CHCl3 : MeOH sebagai eluen pada pemisahan flavonoid menggunakan penjerap silika gel berhasil dengan baik pada perbandingan 15 : 1 sampai 3 : 1.
Gambar 12 Eluen terbaik (CHCl3 : MeOH = 9,5 : 0,5) Fraksinasi ekstrak etanol dilakukan dengan menggunakan flash kolom dan dilakukan terhadap 10 gram sampel ekstrak dengan dua kali periode kolom fraksinasi, masing-masing 5 gram perkolomnya. Kolom yang digunakan adalah silikagel G40-60 berukuran 15 cm x 40 mm dengan laju alir 10 ml/unit. Fraksinasi ini bertujuan untuk memperoleh pola pemisahan yang lebih sempurna, fraksi yang di dapat akan lebih murni senyawa aktif akan lebih banyak terisolasi. Berdasarkan hasil fraksinasi diperoleh 7 fraksi gabungan. Rendemen fraksi terbesar terdapat pada fraksi 1 (22,17%) dan rendemen terkecil pada fraksi 3 (1,98%), data rendemen selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8. Ketuju fraksi tersebut kemudian dilakukan uji sitotoksan dan uji fitokimia. Secara keseluruhan nilai sitotoksan dari hasil fraksinasi sangat jauh lebih tinggi (Lampiran 8) dibanding dengan ekstrak kasarnya (1969,18 ppm). Hal ini menunjukkkan besarnya aktivitas yang dimiliki oleh ekstrak setelah melalui proses fraksinasi.
48
Sementara uji fitokimia yang dilakukan terhadap ketuju fraksi tersebut hanya uji flavonoid, hal ini mengingat jumlah sampel hasil fraksi yang terbatas, Hasil analisis fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Fitokimia hasil kromatografi No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama
Uji Flavonid
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7
+ ---++ +++ +
Terlihat bahwa fraksi 5 dan fraksi 6 positif flavonoid, hal ini menunjukkan bahwa dalam fraksi tersebut mengandung senyawa yang memungkinkan dapat mengahambat enzim xantin oksidase.
Daya inhibisi hasil fraksinasi terhadap enzim xantin oksidase Berdasarkan uji daya inhibisi fraksi hasil kolom diperoleh sederetan konsentrasi fraksi yang akan digunakan dalam pengujian. Sederetan kosentrasi ini diujikan terhadap enzim xantin oksidase, pengujian konsentrasi ini dimulai dari 50 ppm sampai 450 ppm, nilai ini didasarkan pada nialai sitotoksan dari seluruh fraksi (Lampiran 9), hasil kolom memiliki daya inhibisi yang bervariasi ( Lampiran 10). Sebagai pembanding nilai daya inhibisi antar fraksi digunakan konsentrasi 150 ppm karena konsentrasi ini terdapat pada semua fraksi kolom. Fraksi keenam mempunyai daya inhibisi paling kuat terhadap enzim xantin oksidase pada konsentrasi tersebut, di susul dengan fraksi 5 dan terakhir fraksi 1 seperti terlihat pada Gambar 13.
49
90 80
Daya Inhibisi (%)
85.08 83.92
79.91 74.44
75.45 68.69 65.53 68.41
70
62.94 57.06
60 51.88
50
42.82 38.94 38.94
40 26.88
30 20
14.08
10 0 50
150 F1
50
150 F2
150 250 350 450 F5
150 250 350 450 F6
150 250 350 450 F7
Konsentrasi (ppm)
Gambar 13 Daya inhibisi hasil kromatografi flash kolom Dibanding dengan obat sintetis allopurinol pada konsentrasi 300 ppm dengan daya inhibisi 68,07% (Iswantini, 2004), daya inhibisi fraksi 6 ternyata jauh lebih baik 79,91% atau setara dengan 39,96% pada konsentrasi 150 ppm allopurinol, sementara jika dibanding dengan ekstrak kasarnya pada konsentrasi 150 ppm fraksi 6 ternyata memiliki daya inhibisi 9,75 kali lebih kuat. hal ini memungkinkan adanya senyawa aktif dalam fraksi 6 yang berpotensi sebagai obat asam urat. Sementara peningkatan konsentrasi tidak selalu dibarengi dengan peningkatan daya inhibisinya, seperti terlihat pada fraksi 7. Gambar 14 memperlihatkan perbandingan daya inhibisi antara ekstrak kasar dengan ekstrak hasil kolom. Pada konsentrasi 150 ppm terlihat bahwa fraksinasi dapat meningkatkan daya inhibisi.
50
79.91
80
74.44
70
75.45
65.5
Daya inhibisi (%)
60 50
42.82 40.67
38.94
40 29.75
30 20
14.08 8.2
10 0 150 400 500 Ekstrak kasar
150 F1
150 F2
150 250 F5
150 250 F6
150 F7
Konsentrasi (ppm)
Gambar 14 Perbandingan daya inhibisi ekstrak kasar dengan hasil kromatografi Secara keseluruhan kekuatan daya inhibisi ekstrak hasil kolom memiliki daya inhibisi yang jauh lebih besar dibanding dengan ekstrak kasarnya pada konsentrasi 150 ppm, hal ini menunjukkan bahwa fraksinasi sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya inhibisi. Selain itu fraksinasi dengan daya inhibisi tertinggi memiliki rendemen yang cukup besar yakni urutan ketiga dari 7 fraksi yang dihasilkan. Berdasarkan data tersebut dianjurkan pemberian obat asam urat dilakukan dalam bentuk hasil fraksinasi. Untuk melihat ekstrak hasil kolom tersebut aman digunakan oleh konsumen maka perlu dilakukan uji kinetika pada fraksi 6. Selain itu juga dilakukan identifikasi terhadap fraksi 6 untuk mengetahui senyawa aktif apa yang dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase.
Kinetika inhibisi hasil fraksinasi terhadap enzim xantin oksidase Pada uji kinetika ini digunakan fraksi 6 dengan konsentrasi 150 ppm. Pemilihan fraksi dan konsentrasi ini didasarkan pada daya inhibisi dari seluruh fraksi dengan konsentrasi yang sama. Berdasarkan analisis kinetika enzim menurut persamaan Line Weaver – Burk diperoleh seperti pada gambar 15.
51
3000
150 ppm
1/(kecepatan)
2500
R2 = 0.9192 2000
1500
1000
0 ppm
R2 = 0.9033 500
0 0
1. 0 5 2 6
1. 17 6 5
1. 3 3 3 3
1. 5 3 8 5
1.8 182
2. 2 22 2
2 . 8 57 1
4 . 00 0 0
6 . 66 6 7
2 0 .0 0 0 0
1/ (xantin) -500
Gambar 15 Pola kinetika inhibisi hasil kromatografi Berdasarkan grafik diatas diperoleh nilai KM enzim normal sebesar 0,29 mM dan Vmax sebesar 0,0065 mM/menit dan KM kinetika enzim ekstrak hasil kolom sebesar 0,59 mM dan Vmax sebesar 0,0029, terjadi peningkatan nilai KM sebesar 0,29 dan
sebesar 2,02. Nilai KM dan
ini lebih tinggi dibanding dengan
nialai KM dan
ekstrak kasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya
kompetisi antara subtrat dengan inhibitor dalam memperebutkan sisi aktif enzim, selain itu karena komponen inhibitor yang semakin murni. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pola kinetika yang terjadi pada ekstrak hasil kolom adalah pola kinetika inhibisi kompetitif (Voet & Voet 2001).
Identifikasi Fraksi teraktif Analisis dengan menggunakan Fourir Transformation Infra Red (FT-IR) Analisis FT-IR dilakukan dengan metode pelet KBr. Hasil analisis fraksi 6 memberikan serapan pada panjang gelombang seperti terlihat pada Tabel 4 dan data spektrumnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
52
Tabel 4 Nilai spektrum fraksi 6 Bilangan Gelombang Puncak Serapan (cm-1) Dugaan Gugus Fungsi 3407,90 2927,54 1765,14 1464,15 1378,58 1028,18 726,33 Keterangan : * Pavia et al.
Uluran -OH fenol Uluran C-H aromatik Uluran C=O Uluran C=C aromatik Uluran C-O fenol Uluran C-O eter siklik Tekukan C-H aromatik ψ Colthup et al. υ Sudjadi
Kisaran Bilangan Gelombang (cm-1) 3650-3300 * 2926±10* 1900-1550ψ 1496-1466 & 1650-1600 1425-1350υ 1200-1150 900-675
Untuk mengetahui senyawa aktif yang lebih murni yang berperan dalam inhibisi maka dilakukan analisis pemurnian tahap keduanya menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) terhadap sampel fraksi 6. Hasil pemurnian dengan menggunakan HPLC terhadap sampel fraksi 6 memberikan 6 fraksi (Lampiran 13), yang kemudian keenam fraksi tersebut diujikan kembali pada enzim xantin oksidase (Tabel 5). Fraksi yang memberikan daya inhibisi tertinggi
(fraksi
5)
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan
Liquid
Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) dan Nuclear Magnetik Resonance (NMR). Tabel 5 Daya inhibisi fraksi yang telah dimurnikan dengan HPLC No. Aktivitas (mM/L Daya inhibisi (%) Rendemen (%) Fraksi menit) 1 2 3 4 5 6
3,50 11,67 9,55 16,49 8,83 36,97
112,66 111,29 112,32 105,58 7,78 65,31
4,60 5,76 4,90 8,05 88,41 44,69
Analisis dengan menggunakan Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) Analisis LC-MS dilakukan secara electrospray ionisation. Berdasarkan analisis LCMS sampel fraksi 5 (yang berasal dari sampel fraksi 6) terdiri atas dua senyawa dengan ( [ M + H ]+) masing-masing 270,88 g/mol dan 195,01 g/mol, data spektrumnya dapat dilihat pada Lampiran 14.
53
Analisis dengan menggunakan Nuclear Magnetik Resonance (NMR) Analisis NMR dilakukan dengan menggunakan pelarut deterium metanol dan standar TMS pada frekuensi 500 Hz. Dengan memasukkan nilai LC-MS sampel fraksi 5 ke dalam data base NMR diperoleh struktur senyawa seperti pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Gambar 16 Senyawa 1 : 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksipenil)-4H-1-benzopiran-4-on HOOC CH3 O
HO
Gambar 17 Senyawa 2 : asam 2,3-dihidro-6-hidroksi-5-benzofuran karboksilat Hasil analisis NMR proton sampel fraksi 5 memberikan puncak-puncak pada pergeseran kimia ( , ppm) sebagai berikut : Senyawa 1 : 7,91(H,s), 7,86(H, d), 7,76(H, s), 6,93(H,d), 6,92(H,d), 6,59(H,s), 6,21(H,d) Senyawa 2 : 7,78(H,d), 7,17(H,d), 6,4(H,s), 6,28(H, s), 2,82(H,sefted) Dan analisis NMR karbon memberikan puncak pada pergeseran kimia ( , ppm) sebagai berikut : Senyawa 1 :
168,8 (C, t), 156,6 (C, t), 125,6 (C, t), 115,6 (C, t), 105,0 (C, q) 97,6 (C, t), 94,9 (C, t)
Senyawa 2 :
152,0 (C, t)
132,3 (C,q)
121,5 (C, q)
Sementara spektrum analisis NMR proton dan NMR karbon masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Berdasarkan analisis NMR proton dan karbon menunjukkan tidak semua proton dan karbon pada struktur senyawa yang diperoleh dari data base NMR muncul dianalisis spektrumnya. Hal ini bisa saja memungkinan adanya tingkat kesalahan dari analisis yang didasarkan pada data base NMR, hasil analisis
54
sampel fraksi 5 dengan data base NMR memiliki 90%. sehingga dapat dikatakan senyawa yang diperoleh dari sampel fraksi 5 masih merupakan senyawa dugaan. Data base NMR juga menginformasikan senyawa 1 merupakan senyawa golongan flavonoid grop apigenin sementara senyawa 2 belum diketahui golongan senyawanya. Senyawa di atas yang diduga kuat berperan sebagai penghambat enzim xantin oksidase. Hal ini diperkuat oleh Jiao et al (2006) yang meneliti tentang senyawa aktif yang berasal dari tanaman Palhinhae cernua yang dapat menghambat enzim xantin oxidase adalah senyawa golongan flavonoid. Sementara itu untuk keperluan pengobatan asam urat sebaiknya dipilih ekstrak kasar saja, karena ditinjau dari khasiatnya ekstrak kasar juga memiliki daya inhibisi yang cukup tinggi sedangkan ditinjau dari sisi ekonomi akan jauh lebih menguntungkan.
55
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Inhibisi ekstrak kasar etanol herba seledri mengikuti kinetika inhibisi kompetitif dengan peningkatan nilai KM sebesar sebesar 134,48 % dari 0,29 mM menjadi 0,39 mM dengan perubahan Vmax yang sangat kecil. 2. Pemurnian tahap pertama dari ekstrak kasar etanol herba memberikan 7 fraksi dan fraksi ke-6 merupakan fraksi teraktifnya. Inhibisi fraksi 6 mengikuti kinetika inhibisi kompetitif dengan peningkatan nilai KM sebesar sebesar 203,45 % dari 0,29 mM menjadi 0,59 mM dengan perubahan Vmax yang sangat kecil. 3. Pemurnian sampel fraksi 6 dengan menggunakan HPLC memberikan 6 fraksi dan fraksi ke-5 merupakan fraksi teraktifnya. Senyawa aktif yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase pada fraksi 5 dari tanaman seledri diduga adalah senyawa 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksipenil)-4H-1-benzopiran-4on (yang merupakan senyawa golongan flavonoid) dan asam 2,3-dihidro-6hidroksi-5-benzofuran karboksilat. Saran Penelitian ini diharapkan dapat digunakan di industri-industi yang memproduksi obat asam urat, sehingga dapat mengurangi penderita asam urat. Namun demikian masih perlu dilakukan analisis NMR selain proton dan karbon serta FT-IR ataupun spektroskopi lainmya terhadap sampel fraksi 5 (yang berasal dari sampel fraksi 6) untuk memastikan senyawa aktif apa yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase.
56
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1984. Official Methods of Analysis. Virginia. Artiss JD, Entwistle MW. 1981. The application of a Sensitive UricasePeroxidase Couple Reaction to a Centrifugal Fast Analyser for the Determination of Uric Acid. Clin. Chim. Acta. 116(3):301-309. Ashari S. 1985. Teknologi Buah dan Sayur. Bandung : Penerbit Alumni. Aucump J, Gaspar A, Hara Y, Apostolides Z. 1997. Inhibition of Xanthine Oxidase by Caechins from tea (camelia sinensis) anticancer res. 17 : 43814386. Bodamyali TJ, Kanczler M, Millar TM, Blake DR. 2002. Free radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators In Redox Genome interactions in Health and Disease. Ed J. Fuchs, M.Podda, L.Packer. Marcel Dekker, New York. Boyer PD. 1970. The enzyme kinetic and mechanism. Academic Press. London. [BPPT] Badan Pengembangan dan Penelitian Teknologi. 2005. Teknolologi Budidaya Tanaman Pangan. Jakarta. Breitmaier. 1993. Structure elucidation by NMR in organic chemistry. New York: John Willey and Sons. Colthup NB, Daly LD, Wilberly SE. 1975. Introduction to infrared and Raman spectroscopy. 2nd edition. New York: Academic Press. Cos P et al. 1998. Structure-Activity Relationship and Classification of Flavonoids as Inhibitors of Xanthine Oxidase and superoxide Scavengers. J Nat Prod 61:71-76. Dew TP, Day AJ, Morgan MRA. 2005. Xanthine Oxidase Activity in Vitro : Effects of Food Extracts and Components. J Agric Food Chem 53:65106515. Duke JA. 1999. U.S. Departemen of Agricultural Phytochemistry and Ethnobotanical Data Base. http:/www.ars-grin.gov/duke/[tanggal 23 mei 2003] Finney D. 1971. Probit Analysis. Cambrige: Cambrige University Prss. Galvan AQ et al. 1995. Effect of Insulin on Uric Acid Exretion in Humans. Am J Physiol 268:E1-E5.
57
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung:ITB Press. Heryanto R. 2003. Biofarmaka: Definisi dan Fungsinya dalam Pengobatan Gout. Makalah pada Pelatihan Tanaman Obat dan Produksi Obat Traditional. IPB:Pusat Studi Biofarmaka. Hidayat R. 2006. Kinetika Inhibisi Flavonoid Sidaguri (Sida rhombifolia L.) terhadap Enzim Xantin Oksidase [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hille R. 2006. Structure and Function of xanthine Oxidoretuctase. Uuropean J Inorganik Chem 10: 1905-2095. Ixoranet. 2007. Herbal Seledri yang Terkandung dalam Tensicare.http://www.ixoranet.com/ixoranet/[tanggal 19 mei 2007]. Iswantini D, Darusman LT. 2004. Bioperspeksi Sidaguri (Sida rhombifolia L.) dan seledri (Avium graveolens L) : Formulasi Obat Gout dan Aktivitas Inhibisinya terhadap Xantin Oksidase. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Lingkungan. Jakarta:Kementrian Riset dan Teknologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonisia. Jen KL, Ping CC, Shoe YLS. 2000. Inhibition of xanthine oxidase and supression of intracelluler reaktive oxigen species in HL-60 cells by theaflavin-3-3digallat, (-)-epigallocathecin-3-gallate, propyl gallate. J Agric Food Chem 48:2736-2743. Jioa RH, Ge HM, Shi DA, Tan RX. 2006. An Apigenin-Derived Xanthine Oksidase Inhibitor from Palhinhae cernua. J Nat Prod 69:1089-1091 Juandy. 2007. Gout dan Diet. http://www.Kompas.Com/juandy/[tanggal 20 mei 2007]. Kellner R, Mermer JM, Otto M, Valcalcer, Widmer HM, editor. 2004. Analytical chemistry A Modern Approach to Analytical Sciences. Ed ke-2. Weeinhem: Wiley-VCH Verlag GmgH&Co.KgaA. Kimia Farma. 2003. Daftar Harga Obat Eceran. Bogor. Kumar US et al. 2006. Free-Radical-Scavanging and Xanthine Oksidase Inhibitory Constituens from Stereospermum personatun. J Nat Prod 68:1611-1621. Lehninger A. 1988. Dasar-dasar Biokimia. Thenawijaya M, penerjemah. Jakarta:Gramedia. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan K. Padmawinata. Bandung: ITB Press.
58
Martin GJ. 2007. The Inhibition Oxidase by Flavonoids and Related Compounds. J Biol Chem 41:831-834. Massey V, Komai H, Palmer G, Elion GB. 1970. J Biol Chem 245:2837-2844. Meyer BN et al. 1982. A covenien general bioassay for active plant constituen plant medica. 45:31-34. Millar TM et al. 2002. Xanthine oxidase is a peroxynitrite synthase: newly identified roles for a very old enzyme. Redox Report 7(2):65-70 Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biochemistry: A Case-Oriented Approach. Mosby:St. Louis. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar. Ed. Ke-2. Agoes A, penerjemah. Jakarta:Widya Medika. Nagao A, Seki, Kobaya SM. 1999. Inhibition of xanthine oxidase by flavonoids. Biosci.biotecnol.biochem 63: 1787-1790. Nakanishi T, Nishi M, Inada A. 1990. Two New Potent Inhibitors of Xanthine Oxidase from Leaves of Perilla frutescens Britton Var Acuta Kudo. J Chem Pharm Bull 38:1772-1774. Pachla LA, Reynolds DL, Wright DS. 1987. Review of Uric Acid Methodology. J Assoc Off Anal Chem 70: 1. Park JS, Rho HS, Kim DH, Chang IS. 2006. Enzimatic Preparation from Green Tea Seed and Its Antioxidant Activity. J Agric Food Chem 54:2951-2956. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 1996. Introduction of spectroscopy- A guide for student of organic chemistry. 2 nd Edition. Saunders College Publishing. Philadelplia. [POM] Pengawas Obat dan Makanan. 1995. Materi Medika Indonesia. Jakarta:DEPKES RI Price NC, Stevens L. 1996. Fundamental of enzymology. 2 nd Edition. New York: Oxford University Press. Ramdhani TH. 2004. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Seledri (Avium Graviolens L.) dalam Menghambat Aktivitas Enzim Xantin Oksidase [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pemgetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Setiyawan, Putri M. 2007. efek diuresis infusa daun seledri pada tikus putih [skripsi]. Surabaya. Fakultas Matematika dan Ilmu Pemgetahuan Alam, Universitas Airlangga.
59
Schemeda HG, Theoduloz C, Franco L, Ferro E. 1987. Preliminary Pharmacological Studies on Eugenia Uniflora Leaves: Xanthine Oxidase Inhibitory Activity. J Ethnoparmacol 21(2):183-186. Sidik A, Muhtadi, Subarnas A, Sumiwi SA. 1995. Uji Toksisitas Akut Talium paniculatum G. Pada Mencit. Laporan Penelitian, Bandung: Fakultas MIPA, Universitas Padjajaran. Suara Merdeka. 2001. Urine Burung Penyebab Penyakit Asam Urat?. Harian Umum Suara Merdeka 29 Oktober 2001, Jakarta. Sudjadi. 1983. Penentuan struktur senyawa organik. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sydpath. 1999. Allopurinol Monitoring with Blood Oxypurinol Levels. www. jbconline.com. Tamta HS, Klara, Mukhopadhyay AK. 2005. Biochemical Characterization of Some Piyrazolopyrimidine-Based Inhibitors of Xanthine oxidase. J Enzyme Inhibition Med Chem 20:317-324. Terkeltaub R. 2005. Update on Gout and Other Crystal-Induced Arthitides CME/CE Disclosures. California: MD University. Voet D, Voet JG. 2001. Biochemistry. New York: John Willey and Sons. Wikipedia. 2007. www.wikipedia.com. Willlard HH et al. 1988. Instrument methods of analysis. Seventh Edition. Wadworth Publishing Company. Belmont, California. Webb JL. 1963. Enzyme and Metabolic Inhibitor. New York: Academia Press. Yarindo Farmatama. 2003. Brosur Obat Allopurinol. Serang.
Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian
60
Serbuk seledri
Etanol
Diekstrak
Ekstrak kasar etanol Seledri
Uji Fitokimia
LC50
KLT
Uji Inhibisi Enzim
diperoleh eluen terbaik Kromatografi Kolom
Ekstrak kasar Dengan Daya inhibisi tertinggi pada Konsentarsi tertentu
Fraksi 1
Fraksi 2
Fraksi 3
Fraksi 4
Fraksi 5
Uji fitokimia UJI KINETIKA ENZIM
Fraksi 6
LC50
Uji Inhibisi Enzim FT-IR
UJI KINETIKA ENZIM HPLC
Fraksi 1
Lampiran 2 Kadar Air 1. Herba Semarang
Fraksi 2
Fraksi 3
Fraksi 4
Fraksi 5
NMR
LCM
61
Ulangan
1 2 3
Bobot Seledri (g) 5,0103 5,0026 5,0034
Bobot Cawan Kosong (g)
Bobot Cawan + Contoh Setelah dikeringkan (g)
24,2491 23,9342 24,8906
28,9546 28,6349 29,5914
Bobot Cawan Kosong (g)
Bobot Cawan + Contoh Setelah dikeringkan (g)
16,4332 23,3067 21,1757
19,0969 25,9719 23,8366
Bobot Cawan Kosong (g)
Bobot Cawan + Contoh Setelah dikeringkan (g)
22,7144 16,8473 20,7407
25,3342 19,4677 23,3539
Bobot Seledri Setelah dikeringkan (g) 4,7055 4,7007 4,7008
Rerata 2. Akar Cipanas
Ulangan
Bobot Seledri (g)
1 3,0006 2 3,0005 3 3,0003
Bobot Seledri Setelah dikeringkan (g) 2,6637 2,6652 2,6609
Rerata
Kadar Air (%) 6,08 6,03 6,04 6,05
Kadar Air (%)
11,23 11,17 11,31 11,25
3. Herba Cipanas
Ulangan
Bobot Seledri (g)
1 3,0004 2 3,0008 3 3,0010
Bobot Seledri Setelah dikeringkan (g) 2,6198 2,6204 2,6132
Rerata Contoh Perhitungan : Persentase kadar air = bobot awal – bobot akhir Bobot awal = Kadar air
5,0103 − 4,7055 X 100% 5,0103
= 6,08%
Lampiran 3 Uji Toksisitas dan Kurva Standar Xantin 1. Uji toksisitas
x 100 %
Kadar Air (%) 12,68 12,67 12,92 12,75
62
Ulangan 1 2 3 Rata-rata
Konsentrasi 10 100 0 1 0 1 1 1 0,33 1,33
Kontrol 3 2 2 2,67
0 0 0 0
2. Kurva Standar Xantin Kondisi Pengukuran Nama Alat T pengukuran λ maks Konsentrasi Xantin (mM
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7
: Spektrometer Double beam : 28oC : 262 nm Absorbansi Ulangan 1 Ulangan 2
0000 0,.319 0,432 0,512 0,655 0,797 0,873 0,993
0,000 0,323 0,422 0,514 0,647 0,785 0,891 0,997
Rerata
0,000 0,321 0,427 0,513 0,651 0,791 0,882 0,995
1.200
R2 = 0.9664
Absorbansi
1.000 0.800 0.600
y = 1.3095x + 0.1142
0.400 0.200 0.000 0.000
0.200
0.400
0.600
Konsentras i Xantin (mM)
Grafik hubungan absorbansi dengan konsentrasi xantin
Lampiran 4 Daya inhibsi ekstrak kasar etanol terhadap xantin oksidase
63
Kondisi Pengukuran Nama Alat T pengukuran maks Kondisi Optimum
Konsentrasi Ekstrak (ppm)
Kontrol 100 150 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000
: Spektrometer Double beam : 280 C : 262 nm : Kondisi optimum enzim xantin oksidase tercata pada konsentrasi xantin oksidase 0.1 unit/ml, konsentrasi xantin 0.7 mM, waktu inkubasi 45 menit, suhu inkubasi 200C, dan pH inkubasi 7.5.
Absorbansi Ulangan 1
Ulangan 2
0,334 0,376 0,398 0,415 0,385 0,536 0,612 0,658 0,730 0,787 0,805 0,801 0,718 0,765 0,778 0,791 0,828 0,798 0,786 0,794 0,735 0,712
0,336 0,378 0,386 0,417 0,375 0,548 0,624 0,646 0,736 0,769 0,807 0,797 0,716 0,767 0,764 0,793 0,822 0,788 0,792 0,786 0,747 0,754
Aktivitas Rataan (mM/L menit)
0,336 0,378 0,386 0,417 0,375 0,548 0,624 0,646 0,736 0,769 0,807 0,797 0,716 0,767 0,764 0,793 0,822 0,788 0,792 0,786 0,747 0,754
Daya Inhibisi Rataan (%)
11,09 110,96 108,41 104,34 110.45 82,96 70,06 64,29 50,55 42,91 38,16 39,34 53,26 44,95 45,79 40,53 30,69 40,36 41,04 40,87 49,19 50,55
Contoh Perhitungan
1. Kontrol Persamaan garis terbentuk
y = 1,3095 + 0,1142x 0,335 = 1,3095+ 0,1142x x = 0,1686 mM
Xantin total 0,7 mM Xantin yang bereaksi Lampiran 4 Lanjutan
= 0,7 - 0,1686 = 0,5314 mM
Daya Inhibisi Rataan (%)
6,04 8,20 11,64 6,47 29,75 40,67 45,56 57,19 63,66 67,69 66,69 54,90 61,94 61,22 65,68 74,01 68,82 65,25 65,39 58,35 57,19
64
Aktivitas xantin oksidase =
xantin yang bereaksi (mM) Volume enzim (L) x waktu inkubasi (menit)
Aktivitas xantin oksidase kontrol
= =
Aktivitas xantin oksidase kontrol rerata =
2. Sampel 100 ppm Persamaan garis terbentuk
0,5314 mM 1 x 10-4 L x 45menit 118,09 mM/Lmenit 1/2 (142,6859 + 142,4365)
y = 1,3095 + 0,1142x 0,377 = 1,3095 + 0,1142x x = 0,2007 mM
Xantin total 0,7 mM Xantin yang bereaksi = 0,7 - 2007 = 0,4993 mM Aktivitas xantin oksidase =
xantin yang bereaksi (mM) Volume enzim (L) x waktu inkubasi (menit)
Aktivitas xantin oksidase kontrol
= =
0,4493mM 1 x 10-4 L x 45menit 110,96 mM/Lmenit
3. Persen Inhibisi
Persen Inhibisi =
Aktivitas xantin oksidase kontrol – Aktivitas xantin oksidase sampel Aktivitas xantin oksidase kontrol 118,09 – 110,96
Persen Inhibisi = =
118,09 47,71 %
Lampiran 5 Kinetika inhibisi ekstrak kasar.
x 100 %
x 100 %
65
1.Standar Xantin Konsentrasi Xantin (ppm)
Absorbansi
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70
Ulangan 1
Ulangan 2
Rerata
0,000 0,302 0,325 0,382 0,422 0,474 0,514 0,583 0,647 0,698 0,785 0,842 0,891 0,913 0,997
0,000 0,304 0,319 0,386 0,432 0,486 0,512 0,577 0,655 0,686 0,797 0,838 0,873 0,927 0,993
0,000 0,303 0,322 0,384 0,427 0,480 0,513 0,580 0,651 0,692 0,791 0,840 0,882 0,920 0,995
1.00
R2 = 0.9587
Absorbansi
0.80
y = 1.2104x + 0.1617
0.60
0.40
0.20
0.00 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
Konsentrasi (mM)
Grafik hubungan absorbansi dengan konsentrasi xantin
Lampiran 5 Lanjutan
0.50
0.60
0.70
66
2. Standar (xantin + enzim) Konsentrasi Xantin (ppm) 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00
Absorbansi ulangan 1
ulangan 2
0,160 0,193 0,248 0,305 0,357 0,411 0,454 0,469 0,526 0,557 0,606 0,638 0,698 0,747 0,527 0,512 0,499 0,546 0,512 0,427
0,164 0,195 0,244 0,313 0,359 0,409 0,458 0,471 0,520 0,563 0,610 0,642 0,694 0,743 0,533 0,516 0,503 0,540 0,508 0,423
[Xantin] Sisa Rataan (mM)
[Xantin] Bereaksi Rataan (mM)
Kecepatan Rataan (mM/menit)
1/Kecepatan Rataan (mM/menit) -1
0,0003 0,0267 0,0700 0,1217 0,1622 0,2051 0,2431 0,2547 0,2985 0,3291 0,3687 0,3952 0,4414 0,4775 0,3043 0,2911 0,2803 0,3150 0,2878 0,2175
0,0050 0,0733 0,0804 0,0783 0,0878 0,0950 0,1069 0,1453 0,1515 0,1709 0,1813 0,2048 0,2086 0,2225 0,4457 0,5089 0,5697 0,5850 0,6622 0,7825
0,00110 0,00163 0,00179 0,00174 0,00195 0,00211 0,00237 0,00323 0,00337 0,00380 0,00403 0,00455 0,00464 0,00494 0,00900 0,01131 0,01266 0,13000 0,01472 0,01739
909,09 613,50 558,66 574,71 512,82 473,93 421,94 309,60 296,74 263,15 248,14 219,78 215,51 202,43 101,01 88,42 78,99 76,92 67,93 57,54
1/[Xantin] (mM)-1
20,0000 10,0000 6,6667 5,0000 4,0000 3,3333 2,8571 2,5000 2,2222 2,0000 1,8182 1,6667 1,5385 1,4286 1,3333 1,2500 1,1765 1,1111 1,0526 1,0000
2. Sampel (Xantin + Enzim + Ekstrak Kasar Flavonoid 200 ppm) Konsentrasi Xantin (ppm) 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00
Absorbansi ulangan 1
ulangan 2
0,197 0,243 0,303 0,362 0,421 0,471 0,525 0,573 0,624 0,665 0,702 0,747 0,802 0,810 0,721 0,704 0,712 0,698 0,733 0,783
0,193 0,247 0,305 0,360 0,417 0,475 0,521 0,575 0,626 0,669 0,698 0,751 0,804 0,814 0,723 0,702 0,714 0,692 0,737 0,787
[Xantin] Sisa Rataan (mM)
[Xantin] Bereaksi Rataan (mM)
Kecepatan Rataan (mM/menit)
1/Kecepatan Rataan (mM/menit) -1
0,0275 0,0688 0,1176 0,1647 0,2126 0,2572 0,2985 0,3406 0,3821 0,4175 0,4447 0,4852 0,5298 0,5373 0,4692 0,4472 0,4555 0,4406 0,4654 0,5195
0,0225 0,0312 0,0324 0,0353 0,0374 0,0428 0,0515 0,0594 0,0672 0,0825 0,1053 0,1148 0,1202 0,1627 0,2871 0,3528 0,3945 0,4595 0,4846 0,4850
0,00050 0,00069 0,00072 0,00079 0,00083 0,00095 0,00114 0,00132 0,00149 0,00183 0,00234 0,00255 0,00267 0,00362 0,00638 0,00784 0,00877 0,01021 0,01077 0,01078
2000,00 1449,28 1388,89 1265,82 1204,82 1052,63 877,19 757,58 671,14 546,45 427,35 392,16 374,53 276,24 156.74 127,55 114,03 97,94 94,43 92,76
1/[Xantin] (mM)-1
20,0000 10,0000 6,6667 5,0000 4,0000 3,3333 2,8571 2,5000 2,2222 2,0000 1,8182 1,6667 1,5385 1,4286 1,3333 1,2500 1,1765 1,1111 1,0526 1,0000
Catatan: penghitungan mengacu pada standar lampiran 4
Lampiran 6 Profil Pola pemisahan ekstrak etanol herba seledri pada berbagai eluen
67
1
11
2
12
3
13
4
14
5
15
1. Heksana 2. Kloroform 3. Etil asetat 4. Saeton 5. Etanol 6. Metanol 7. Etanol : Heksana 6 : 4 8. Etanol : Kloroform 4 : 6 9. Etanol : Etil Asetat 7 : 3 10. Etanol : Aseton 2:8 11. Etanol : Kloroform 3 : 7
6
6
17
7
18
8
19 20 21
9
10
22
12. Etanol : Etil Asetat 2:8 13. Etanol : Aseton 7:3 14. Metanol : Heksana 8 :2 15. Metanol : Etil Asetat 7:3 16. Metanol : Etil Asetat 4:6 17. Metanol : Aseton 6:4 18. Metanol : Asetón 3:7 19. Metanol : Kloroform 7:3 20. Metanol : Kloroform 3:7 21. Metanol : Kloroform 1:9 22. Metanol : Kloroform 0,5 : 9,5
Lampiran 7 Profil Spesifikasi dan pola pemisahan hasil kromatografi
68
Spesifikasi Kolom Ukuran Kolom Laju Alir Bobot Ekstrak Profil pola KLT 1
: 15 cm x 44 mm : 10 unit/ml : 5.00 gram
Profil pola KLT 2
Lampiran 8 Rendemen hasil kolom, fitokimia dan nilai toksisitas
69
1. Rendemen hasil kolom
1
Fraksi 1
1,6936
Persen Rendemen (%) 20,94
2
Fraksi 2
0,4437
5.,8
+ (warna kuning samar-samar & keruh) --- (negatif)
3
Fraksi 3
0,1599
1,98
--- (negatif)
4
Fraksi 4
0,0952
118
--- (negatif)
5
Fraksi 5
1,6112
19,92
6
Fraksi 6
1,6105
19,9
7
Fraksi 7
1,1053
13,6
++(warna kuning) ++ +(Warna kuning) + (warna kuning keruh)
No
Nama Fraksi
Rendemen (%)
Lampiran 9 Nilai toksisitas hasil fraksinasi
Uji Flavonoid
70
No. Fraksi Gabungan
Konsentrasi (ppm)
Jumlah Artemia Mati LC50 (ppm)* (ekor) Ulangan 1 Ulangan 2 1 2 10 3 3 1 100 -50,26 5 4 1000 10 0 1 2 100 1 2 176,78 1000 6 5 5 3 10 7 363,45 6 5 100 7 5 1000 2 4 10 429,49 6 10 10 100 9 10 1000 5 3 10 8 478,90 8 7 100 8 8 1000 0 0 10 Kontrol 0 0 100 0 0 1000 0 0 10 Ekstrak 1 1968,18 1 100 Kasar 2 3 1000 *Dihitung dengan analisis probit program Minitab 14 (α=0,05)
Konsentrasi fraksi yang akan digunakan dalam uji daya inhibisi : Fraksi 1 : 50, 150 ppm Fraksi 2 : 50, 150 ppm Fraksi 5 : 150, 250, 350, 450 ppm Fraksi 6 : 150, 250, 350, 450 ppm Fraksi 6 : 150, 250, 350, 450 ppm Fraksi 7 : 150, 250, 350, 450 ppm
Lampiran 10 Daya inhibisi ekstrak hasil Fraksinasi
71
No. Fraksi Gabungan Kontrol 1 2
5
6
7
Konsentrasi (ppm)
0 50 150 50 150 150 250 350 450 150 250 350 450 150 250 350 450
Absorbansi
Ulangan 1 0,334 0,632 0,694 0,436 0,521 0,852 0,786 0,809 0,812 0,889 0,856 0,912 0,934 0,602 0,609 0,722 0,764
Ulangan 2 0,336 0,634 0,698 0,430 0,523 0,854 0,796 0,813 0,814 0,893 0,864 0,932 0,920 0,610 0,603 0,742 0,782
Aktivitas Rataan (mM/L menit) 118,09 67,52 56,82 101,46 86,36 30,18 40,70 37,31 36,97 23,73 28,99 18,47 17,62 71,99 72,10 50,71 43,76
Catatan: penghitungan mengacu pada standar di Lampiran 2
Lampiran 11 kinetika hasil kolom
Daya Inhibisi Rataan (%)
42,82 51,88 14,08 26,88 74,44 65,53 68,41 68,69 79,91 75,45 83,92 85,08 38,94 38,93 57,06 62,94
72
1. Standar (xantin + enzim) Konsentrasi Xantin (ppm) 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00
Absorbansi ulangan 1
ulangan 2
0,160 0,193 0,248 0,305 0,357 0,411 0,454 0,469 0,526 0,557 0,606 0,638 0,698 0,747 0,527 0,512 0,499 0,546 0,512 0,427
0,164 0,195 0,244 0,313 0,359 0,409 0,458 0,471 0,520 0,563 0,610 0,642 0,694 0,743 0,533 0,516 0,503 0,540 0,508 0,423
[Xantin] Sisa Rataan (mM)
[Xantin] Bereaksi Rataan (mM)
Kecepatan Rataan (mM/menit)
1/Kecepatan Rataan (mM/menit) -1
0,0003 0,0267 0,0700 0,1217 0,1622 0,2051 0,2431 0,2547 0,2985 0,3291 0,3687 0,3952 0,4414 0,4775 0,3043 0,2911 0,2803 0,3150 0,2878 0,2175
0,0050 0,0733 0,0804 0,0783 0,0878 0,0950 0,1069 0,1453 0,1515 0,1709 0,1813 0,2048 0,2086 0,2225 0,4457 0,5089 0,5697 0,5850 0,6622 0,7825
0,00110 0,00163 0,00179 0,00174 0,00195 0,00211 0,00237 0,00323 0,00337 0,00380 0,00403 0,00455 0,00464 0,00494 0,00900 0,01131 0,01266 0,13000 0,01472 0,01739
909,09 613,50 558,66 574,71 512,82 473,93 421,94 309,60 296,74 263,15 248,14 219,78 215,51 202,43 101,01 88,42 78,99 76,92 67,93 57,54
1/[Xantin] (mM)-1
20,0000 10,0000 6,6667 5,0000 4,0000 3,3333 2,8571 2,5000 2,2222 2,0000 1,8182 1,6667 1,5385 1,4286 1,3333 1,2500 1,1765 1,1111 1,0526 1,0000
2.Sampel hasil kolom (xantin+Enzim+Ekstrak kasar seledri 1500ppm) Konsentrasi Xantin (ppm) 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0,60 0,65 0,70 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00
Absorbansi ulangan 1
ulangan 2
0,199 0,256 0,314 0,376 0,432 0,490 0,548 0,606 0,660 0,707 0,758 0,805 0,834 0,866 0,816 0,820 0,825 0,835 0,843 0,862
0,201 0,258 0,316 0,374 0,434 0,494 0,552 0,602 0,664 0,709 0,762 0,807 0,380 0,856 0,812 0.822 0270 0,833 0,845 0,864
[Xantin] Sisa Rataan (mM)
[Xantin] Bereaksi Rataan (mM)
Kecepatan Rataan (mM/menit)
1/Kecepatan Rataan (mM/menit) -1
0,0316 0,0787 0,1267 0,1762 0,2241 0,2729 0,3208 0,3654 0,4133 0,4513 0,4943 0,5323 0,5571 0,5777 0,5389 0,5447 0,5488 0,5554 0,5637 0,5794
0,0184 0,0213 0,0233 0,0238 0,0026 0,0271 0,0292 0,0346 0,0367 0,0487 0,0557 0,0677 0,0929 0,1223 0,2110 0,2553 0,3012 0,3446 0,3863 0,4206
0,00041 0,00047 0,00052 0,00053 0,00057 0,00060 0,00065 0,00077 0,00081 0,00108 0,00124 0,00150 0,00206 0,00271 0,00469 0,00567 0,00669 0,00766 0,00858 0,00934
3150,25 2127,66 1923,08 1886,79 1754,39 1666,67 1538,46 1298,70 1234,57 925,93 806,45 666,67 485,45 369,00 213,22 176,37 149,48 130,54 116,55 107,07
Catatan: penghitungan mengacu pada standar lampiran 4
Lampiran 12 Spektrum serapan FT-IR Fraksi 6 (hasil kromatografi dengan menggunkan flash kolom)
1/[Xantin] (mM)-1
20,0000 10,0000 6,6667 5,0000 4,0000 3,3333 2,8571 2,5000 2,2222 2,0000 1,8182 1,6667 1,5385 1,4286 1,3333 1,2500 1,1765 1,1111 1,0526 1,0000
73
Lampiran 13 Spektrum analisis HPLC
74
Elusi Fase gerak Kolom Detektor Suhu Volume injek Laju alir
: isokratik : kloroform : metanol : 9,5 : 0,5 : C18 : diode array : 300C : 400 µl : 0,60 ml/min
Lampiran 14 Spektrum analisis LCMS
75
B PI= >N R(2.00)= >SM 5 T 4.1
100
1096.4
90 80
% Intensity
70
T2.8
60 50 40 30 20 10 0
0
2.6
5.2
7.8
0 13.0
10.4
R etention Time (M in)
Mar i n er Sp e c / 7 4:7 8 (T / 2. 8 1:2 . 96 ) -50 :62 (T -2 .8 1 :2. 9 6) ASC [B P = 2 70 . 9 , 1 1 22 ] 2 7 0. 8 75 0
100
1122.4
90 80
% Intensity
70 60 50 40 30 20 10
29 2 . 84 3 5 3 1 4. 7 8 90 319.2
1 8 1. 0 0 88 0 99 . 0
8 4 8. 4 49 0
59 3 . 60 9 2 5 39. 4
7 59. 6
0 1 20 0. 0
9 79. 8
Ma ss (m / z )
Mar i n er Sp e c / 1 06 :1 08 (T / 4 . 04 :4. 1 2) -96 :9 9 (T -4 . 04 :4 .1 2 ) AS C [B P = 1 9 5. 0 , 16 9 5] 100
195.0124
1695.2
90 80
% Intensity
70 60 50 40 30
2 1 6. 9 7 98
20 10
41 0 . 96 2 8 1 49 . 0 50 0
0 99 . 0
2 8 4. 87 96 319.2
4 8 6. 8 56 4 5 39. 4
6 22 . 0 85 8 7 59. 6
0 1 20 0. 0
9 79. 8
Ma ss (m / z )
Mar in er Sp ec /106:108 (T /4.0 4:4.12) -96:99 (T -4.04:4.1 2) ASC =>N R (2.00)[B P = 195.0, 1687] 410.96 16
100
167. 9
90 80
% Intensity
70 60 50 388.9975
40
411.95 50
30 20
389.9821 391.0019
10 0 382. 0
384.10 67 390.6
412.93 92 396. 2336 401. 2832 399.2 Mass (m/z)
Lampiran 14 Lanjutan
405.7160 407.8
418.25 87 416.4
0 425. 0
76
Sample Vol injection 10 ul Flow rate 0.1 ml/min Eluent MeOH+Water = 80 + 20 LC-MS : Mariner Biospectrometry LC: Perkin Elmer Series 200 System ESI (Electrospray Ionisation) Positive ion mode Kolom C18 (RP 18) Ascentis Column length : 150 mm ID : 2 mm Particle size :5 m Analysis by : Puspa .D. Lotulung, Pusat Penelitian Kimia - LIPI BPI = Base Peak Intensity TIC = Total Ion Chromatogram NF = Noise Filter BC = Base Correction
Sample Seny 1 Seny 2
Rt 7.7 4.1
M+ 270.88 195.01
M+Na 292.84 216.97
Lampiran 15 Spektrum analisis NMR proton
2M
2M+Na
388.89
410.96
77
Lampiran 16 Spektrum analisis NMR karbon
78
Lampiran 17 Prosedur analisis kadar air dan fitokimia
79
1. Penentuan Kadar Air (AOAC 1984) Pinggan porselin dikeringkan pada suhu 1050C selama 30 menit. Pinggan porselin yang telah dikeringkan kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Serbuk seledri kering sebanyak 3,0 gram dimasukkan ke dalam pinggan porselin kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 1050C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dengan eksikator dan ditimbang. Serbuk seledri kering dalam cawan dikeringkan lagi selama 3 jam pada suhu 1050C, didinginkan dan ditimbang kembali. Prosedur tersebut dilakukan berulang hingga diperolah bobot yang tetap (stabil). 2. Uji Fitokimia Uji Alkaloid Ekstrak dilarutkan dalam 1 ml kloroform dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring dan filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi bertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan bagian asam nya dipisahkan dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorf yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih, coklat dan merah jingga. Uji Triterpenoid dan Steroid Ekstrak dilarutkan dalam 5 ml etanol panas (50 0C)kemudian hasilnya disaring dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan dalam lempeng tetes kemudian ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat ( uji Lieberman-Buchard). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid. Uji Saponin dan Flavonoid Ekstrak dimasukkan dalam gelas piala kemudian ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, setelah itu disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan dengan pengocokkan 10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain ditambahkan 0.5 gram serbuk magnesium, 2 ml alkohol hidrat (campuran HCL 37 % dan etanol 95 % dengan perbandingan 1 : 1 ), dan 20 ml amil alkohol kemudian dikocok dengan kuat. Terbentuknya warna merah, kuning dan jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. Uji Kuinon Ekstrak ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring. 10 ml filtrat yang dihasilkan kemudian ditambah beberapa tetes larutan larutan NaOH 1 M, terbentuknya warna merah menunjukkan adanya kuinon. Uji Tanin Ekstrak ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring. Sebagian filtrat yang diperoleh ditambah larutan besi (III) florida, terbentuknya warna hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin.
80
1 = V
K M + [S ] [S ] + VMax VMax K i [ S ]
Ki = (1 + K M /[ S ] +
Ki [S ]
K M + [S ] VMax