20
TINJAUAN PUSTAKA Seledri (Apium graveolens leach) Seledri merupakan tanaman tegak, tahunan, tinggi 25-100 cm, batang bersegi dan beralur membujur, bunga banyak dan berwarna putih kehijauan. Dapat dibudidayakan dimana-mana dari dataran rendah sampai dataran tinggi (IPTEK 2005). Tanaman ini lebih dikenal masyarakat sebagai sayuran. Disamping hanya sekedar sebagai sayuran, seledri jauh lebih bermanfaat yakni sebagai obat penyakit. Diantara manfaat tanaman seledri sebagai obat penyakit itu adalah mengobati hipertensi, gout, diabetes, diare, mencegah stroke dan urine keruh (Sinar Harapan 2003). Selain itu akar seledri juga berkhasiat memacu enzim pencernaan dan peluruh kencing atau diuretik, buah dan bijinya sebagai pereda kejang (antipasmodik), menurunkan kadar asam urat darah, antirematik, karminatif dan sedatif serta herbanya bersifat tonik, memacu enzim pencernaan, menurunkan tekanan darah, peluruh kencing, peluruh haid, mengelurkan asam urat darah yang tinggi (Ixoranet 2007) serta seledri dapat digunakan untuk mencegah masuk angin, menghilangkan rasa mual dan sebagai pelengkap sayur. Seledri juga mengandung senyawa metabolit sekunder diantaranya herba seledri mengandung flavonoid, saponin, tanin, apiin, minyak atsiri, apigenin, kolin, vitamin A, B, C, zat pahit asparagin, apigenin dan akarnya mengandung asparagin, manit, zat pati, lendir minyak atsiri pentosa, glutamin dan tirosin serta bijinya mengandung apiin, minyak atsiri, apigenin dan alkaloid (Ixoranet 2007). Kemudian seledri juga mengandung gizi berupa air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, besi, riboflavin, nikotinamida dan asam askorbat (Ashari 1995). Data ilmiah yang mendukung tentang khasiat senyawa aktif dalam seledri. Diantaranya pemakaian infus daun seledri dengan kadar 10 persen sebanyak 5 ml/kg bb menurunkan kadar asam urat darah kera (Winata dan Wilman 1988 dalam ixoranet 2007),
pemberian ekstrak seledri dengan cara peras maupun
refluks dapat menurunkan tekanan darah kucing (Dondokambey 1985 dalam Ixoranet 2007), efek diuresis infusa daun seledri pada tikus putih (Setiawan & Putri 2007), Juga beberapa Paten diantaranya Paten (6352728 tahun 2002 dan 6576274 tahun 2003) yang berisi estrak tunggal seledri tetapi efikasi yang ditelaah
21
adalah antiinflamasi dan Paten (P00200400339 tahun 2004) yang berisi tentang formula ekstrak gabungan seledri dan sidaguri untuk antigout. Berdasarkan studi literatur juga penelitian tentang seledri yang dihubungkan dengan penyakit gout dan inhibitor enzim xantin oksidase masih sangat sedikit, diantaranya Ramdhani (2004) yang menyebutkan bahwa senyawa bioaktif seledri yang dapat menghambat aktivitas enzim xantin oksidase merupakan senyawa dari golongan flavonoid, Paten (6589573 tahun 2003) berisi tentang inhibitor enzim xantin oksidase yang diperoleh dari tanaman banaba (Lagerstroemia speciosa) serta Iswantini dan Darusman (2004), dalam penelitiannya diketahui bahwa ekstrak kasar seledri memiliki daya inhibisi terhadap enzim xantin oksidase cukup tinggi, lebih kuat dari kemampuan produk jamu komersial lainnya seperti jamu dua walet, jamu jaya asli dan jamu keju jimpe. Sementara uji kinetika inhibisi xantin oksidase pernah dilakukan tetapi menggunakan senyawa aktif sidaguri (Sida rhombifolia L.) dimana tipe kinetika awal dengan menggunakan metode Line WeaverBurk mengarah ke inhibisi kompetitif (Hidayat 2006), Sedangkan penelitian tentang
uji kinetika ekstrak kasar dan hasil fraksinasinya yang dihubungkan dengan penyakit gout dan inhibitor xantin oksidase serta penentuan senyawa aktifnya belum pernah dilakukan.
Xantin Oksidase Peristiwa timbulnya gout tak terlepas dari peran serta enzim xantin oksidase. Enzim ini mampu mengubah xantin menjadi asam urat melalui reaksi oksidasi seperti ditunjukan oleh Gambar 1 O
O
N
HN
O 2 + H 2O
H N
H 2O 2 HN
O O
N H
Xantin
N H
xantin oksidase O
N H
N H
Asam urat
Gambar 1 Pengubahan xantin menjadi asam urat (Hille 2006) Xantin oksidase (Gambar 2) merupakan suatu kompleks enzim yang terdiri dari molibdenum, FAD dan Fe2S2 sebagai pusat reaksi redoks. Enzim ini terdiri dari dua subunit identik yang saling berhadapan, memiliki 1332 residu asam amino
22
dengan bobot molekul sekitar 270000 Da.
Selain fungsi katalisis mengubah
hipoxantin menjadi xantin maupun xantin menjadi asam urat, telah ditemukan fungsi lain dari enzim ini dalam mengkatalisis reduksi nitrat dan nitrit menjadi nitrit oksida (Millar et al. 2002) dan sekaligus menyebabkan pembentukan radikal superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002).
Gambar 2 Model struktur enzim xantin oksidase (Hille 2006) Enzim xantin oksidase di dalam tubuh manusia terdapat pada hati, jika enzim ini terdapat diluar hati mengindikasikan kerusakan fungsi hati (Hille 2006).
Flavonoid dan Alkaloid Enzim xantin oksidase mengkatalisis purin menjadi asam urat. Allopurinol secara farmakologis dapat digunakan dalam mengatasi sakit gout dengan cara menginhibisi aktivitas xantin oksidase. Nakanishi (1990) melaporkan flavonoid krisin, baekeilin, isorhamnetin, dan ester asam kafeat juga tergolong efektif dalam mengatasi sakit gout. Studi invitro menunjukkan bahwa beberapa flavonoid terutama letuolin dan apigenin dapat juga bekerja sebagai inhibitor xantin oksidase dengan daya kerja yang hampir sama dengan allopurinol (Cos et al. 1998). Inhibitor xantin oksidase lain, namun dengan daya inhibisi rendah adalah antosianidin dan proantosianidin (Duke 1999),
hesperetin dan teaflavin-3,3’-
digalat juga dapat berperan sengai inhibitor enzim xantin oksidase (Dew et al. 2005), serta derivat apigenin dari palhinhaea cernua juga dapat menjadi inhibitor enzim xantin oksidase dengan daya inhibisi yang cukup tinggi (Jiao et al. 2006). Sementara itu Jen at al (2000) juga melaporkan hubungan antara struktur flavonoid dengan aktivitasnya sebagai inhibitor xantin oksidase disebabkan
23
karena adanya gugus hidroksil (gugus –OH) pada C-5 dan C-7 dan ikatan rangkap antara C-2 dan C-3. Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, berwarna jika mempunyai struktur kompleks dan bercicin aromatik. Alkaloid tumbuhan juga dipercaya sebagai obat gout yang mampu menekan dan mengurangi frekuensi serangan akut dan menghilangkan rasa nyeri dengan cara menghambat síntesis dan pelepasan leukotrien (Mycek 1997). Contoh penggunaan alkaloid secara komersial adalah kolkisin yang diisolasi dari tanaman Colchium autumnale. Materia Medika (1995) mengatakan bahwa ada golongan alkaoid dari suatu tanaman tertentu dipercaya menghambat produksi enzim xantin oksidase, senyawa kimia lainnya adalah polifenol dan flavonoid. Suatu senyawa dalam tanaman yang analog dengan purin pun dapat dimanfaatkan sebagai inhibitor bagi xantin oxidase, dan dilaporkan juga bahwa alkaloid yang terkandung dalam biji seledri mempunyai efek sedatif dan antikonsulvan pada tifus (Ixoranet 2007).
Gout (Asam Urat) Gout atau asam urat adalah salah satu bentuk penyakit artritis yang disebabkan oleh penumpukkan kristal asam urat pada sendi yang ditandai dengan pembengkakan dan biasanya menyerang pada ibu jari kaki (Bardin 2003). Secara garis besar gout termasuk ke dalam reumatik artikular bersama-sama dengan osteoartritis dan artritis reumatoid. Kadar asam urat normal dalam darah berkisar antara 25-75 µg/ml dengan volume urin yang dieksresikan per harinya antara 250 hingga 750 mg (Pachla et al. 1987). Kandungan asam urat yang tinggi dalam darah Hiperurisemia tidak mesti berakhir dengan terbentuknya gout, namun gout selalu didahului oleh hiperurisemia (Mycek et al. 2001) dan Sturrok (2000) juga melaporkan hal yang sama. Bagi wanita, konsentrasi normal asam urat berkisar antara 25-60 µg/ml, sedangkan bagi pria adalah 30-70 µg/ml (Artiss & Entwistle 1981). Bagi wanita konsentrasi asam urat di atas 60 µg/ml sudah dapat dikatakan hiperurisemia, namun tidak bagi pria selama konsentrasinya di bawah 70 µg/ml. Walaupun batasan normal hiperurisemia pada pria lebih besar dari wanita, namun pria
24
memiliki resiko terkena serangan gout jauh lebih tinggi dibanding wanita. Data rasio hiperurisemia dan gout di Jawa pada tahun 2001 antara pria dan wanita menunjukkan perbandingan 2:1 untuk kasus hiperurisemia dan 34:1 untuk kasus gout (Heryanto 2003), Juandy (2007) melaporkan terdapat 730 kasus gout baru dari 47.150 responden selama dua belas tahun terakhir. Tingginya kadar asam urat dalam darah pada penderita gout maupun hiperurisemia diakibatkan oleh faktor produksi asam urat berlebihan, obesitas, diabetes yang disertai dengan tekanan darah tinggi (Galvan et al. 1995), hal yang sama juga dilaporkan oleh Schumacher (2006) & Rematologi Amerika (2007) hingga stress tinggi (Montgomery et al. 1993) dan faktor makanan terutama protein hewani maupun nabati atau sayur-sayuran kaya purin dalam jumlah banyak (Juandy 2007). Pada kasus obesitas ataupun diabetes, sebagian besar lipid dan glukosa diubah bentuk menjadi asetil-CoA dilanjutkan dengan reaksi pembentukan α-ketoglutarat disertai pembebasan sejumlah energi dalam siklus asam sitrat. α-ketoglutarat ini kemudian bereaksi dengan asam amino dalam serangkaian reaksi dan berakhir dengan terbentuknya glutamin. Glutamin inilah yang kemudian dimetabolisir menjadi asam nukleat (basa purin). Purin yang terbentuk ini dalam keadaan normal memiliki peluang untuk membentuk asam urat (Voet & Voet 2001). Mekanisme pembentukan asam urat dari protein bermula dari degradasi diet protein menjadi asam amino. Beberapa asam amino ini selanjutnya didegradasi membentuk
glutamat.
Glutamat
yang terbentuk selanjutnya
dimetabolisir membentuk α-ketoglutarat, aspartat, dan sebagian membentuk glutamin. Ketika glutamin bereaksi dengan fosforibosil pirofosfat (PRPP, suatu gula derivatif dari ribosa-5-fosfat) maka akan terbentuk fosforibosalamin. Fosforibosalamin merupakan prekursor bagi pembentukan asam nukleat purin. Melalui serangkaian reaksi yang melibatkan penambahan asam amino glisin, glutamin, aspartat, dan koenzim N10-formil-THF (tetra hidro folat) akan terbentuk inosin monofosfat (IMP). IMP merupakan prekursor dalam sintesis purin, IMP ini yang selanjutnya diubah bentuk menjadi AMP dan GMP maupun bentuk basa bebasnya, adenin dan guanin.
Melalui mekanisme regulasi sel, purin yang
terbentuk ini selanjutnya dimetabolisir untuk beberapa keperluan diantaranya
25
sintesis senyawa berenergi tinggi seperti ATP, bahan baku dalam pelaksanaan ekspresi genetik (sintesis protein) ataupun transformasi genetik, dan beberapa purin ini dikatabolisme membentuk asam urat (Gambar 3). Ribosa-5-fosfat
PRPP + glutamin
(12 reaksi)
Sintesis Purin (inosin, adenosin, guanosin)
Protein Katabolisme Purin AMP
GMP
Adenosin
Guanosin
Inosin
Guanin
Hipoksantin IMP
Xantin
Asam Urat Gambar 3 Protein dan pembentukan asam urat (Mycek et al. 2001) Obat Gout Strategi pengobatan gout pada umumnya adalah dengan menurunkan kadar asam urat sampai di bawah titik jenuhnya. Allopurinol (Gambar 4) merupakan obat gout yang paling efektif dalam menghambat pembentukan asam urat yang dipakai masyarakat selama ini. Walaupun murah, dengan harga eceran Rp. 2700,00 per stripnya (Kimia Farma 2004), namun obat ini diketahui sangat berbahaya bila tidak digunakan dengan hati-hati. Dilaporkan telah terjadi kasus kematian sebanyak 156 jiwa dari total 600 pasien (26%) akibat mengkonsumsi allopurinol (Sydpath 1999). Penggunaan allopurinol dilaporkan dapat menjadi penyebab kejadian difusi vaskuler yang berakhir dengan kematian. Allopurinol
26
juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya ruam di kulit, berkurangnya jumlah sel darah putih dan kerusakan hati (Medicastore 2007). Selain itu, penggunaan allopurinol dapat mengakibatkan hipersensitifitas yang akan terus melemahkan respon tubuh penderita terhadap konsentrasi allopurinol, sehingga pengguna allopurinol cenderung mengalami penambahan dosis pemakaian.
Gambar 4 Struktur allopurinol (Terkeltaub 2005) Oksipurinol yang merupakan hasil penguraian allopurinol di dalam tubuh, merupakan suatu senyawa yang memiliki efek penghambatan yang sama namun lebih lama dibandingkan allopurinol dalam menghambat kerja xantin oksidase. Dilaporkan bahwa oksipurinol memiliki waktu paruh yang cukup lama, sekitar 21,2±0,4 jam, lebih lama dibandingkan allopurinol yang memiliki waktu paruh 1,3±0,1 jam (Yarindo Farmatama 2003). Efek oksipurinol ini yang kemudian diduga kuat menjadi penyebab kejadian difusi vaskuler. Melihat beragamnya efek samping yang ditimbulkan obat sintetis, sangat diperlukan obat-obatan sejenis yang memiliki khasiat yang sama dengan harga terjangkau, dan efek samping yang sesedikit mungkin. Untuk tujuan itu, maka studi pemanfaatan tumbuhan sebagai obat alternatif
harus terus dijalankan
mengingat penggunaan bahan alami sebagai sumber obat pada dasarnya jauh lebih aman dan jauh dari kemungkinannya toksik karena kandungannya yang masih lengkap walaupun pemakaiannya dalam jumlah yang besar (Sidik et al. 1995) Cos et al (1998) melaporkan bahwa beberapa senyawa flavonoid bersifat antioksidan dan dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase maupun reaksi superoksida. Kemudian dilaporkan juga senyawa flavonoid dari stereospermum personatum selain bersifat antioksidan, senyawa tersebut juga dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase (Kumar et al. 2005). Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 karbon sebagai kerangka dasarnya. Kelima
27
belas atom tersebut membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6 (Gambar 5 ). Dari susunan ini dapat dihasilkan 3 jenis struktur, yaitu flavonoid (1’B-2C),isoflavonoid (1’B3C), dan 1 neoflavonoid (1’B-4C). Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan mulai dari daun, akar kulit kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah, hingga biji (Markham 1982). Flavonoid quersetin, quersitin, miristin, dan mirisetin asal tanaman salam (Eugenia polyantha) berkhasiat dalam menghambat kerja enzim xantin oksidase (Schemeda et al. 1987). Demikian halnya dengan flavonoid chriysin, batcalein, isorhamnetin, dan ester asam kafeat juga berkhasiat dalam menghambat xantin oksidase (Nakanhisi 1990). Penelitian Cos et al (1998) flavonoid luteolin dan apigenin (Gambar 5) memiliki kemampuan menginhibisi terhadap xantin oksidase dengan kemampuan daya inhibisi mendekati allopurinol, kemudian senyawa bioaktif polifenol yang terdapat pada teh, yaitu teaflavin, teaflavin-3-galat, teaflavin-3-3’-digalat,
(-)-epigalokatekin-3-galat,
dan
asam
galat
mampu
menghambat kerja enzim xantin oksidase dalam membentuk asam urat melalui mekanisme inhibitor kompetitif (Jen et al. 2000). Aktivitas tertinggi dimiliki oleh asam galat yang mampu memberikan efek penghambatan hingga di atas 50%. Dew et al (2005) melaporkan bahwa flavonoid teaflavin-3,3’-digalat berperan sebagai penghambat enzim xantin oksidase. Selain itu juga dilaporkan bahwa derivat apigenin (yang merupakan senyawa golongan flavonoid) asal tumbuhan palhinhaea cernua juga berperan sebagai penghambat enzim xantin oxidase (Jiao et al. 2006), dimana semua penelitian di atas dilakukan secara invitro.
Gambar 5 Struktur flavonoid apigenin (Cos et al. 1998) Adanya
ikatan
rangkap
pada
flavonoid
memungkinkan
untuk
melangsungkan reaksi adisi (oksidasi oleh xantin oksidase), adanya ikatan rangkap pada atom C2 dengan C3 akan mengakibatkan posisi ring B co-planar
28
terhadap ring A sehingga lebih memudahkan dalam berinteraksi dengan enzim zantin oksidase. Selain itu adanya gugus hidroksil yang terdapat pada flavonoid turut berperan dalam memberikan efek penghambatan (Cos et al. 1998). Selain flavonoid, alkaloid tumbuhan dipercaya dapat juga berfungsi sebagai obat yang mampu menekan sekaligus mengurangi frekuensi serangan akut dan menghilangkan rasa nyeri dengan cara menghambat sintesis dan pelepasan leukotrien (Mycek et al. 2001). Materia Medika (1995) mengatakan bahwa terdapat golongan alkaoid dari suatu tanaman tertentu dipercaya menghambat produksi enzim xantin oksidase, senyawa kimia lainnya adalah polifenol dan flavonoid. Suatu senyawa dalam tanaman yang analog dengan purin pun dapat dimanfaatkan sebagai inhibitor bagi xantin oxidase, dan dilaporkan juga bahwa alkaloid yang terkandung dalam biji seledri mempunyai efek sedatif dan antikonsulvan pada tikus (Ixoranet 2007).
Kinetika Inhibisi Enzim Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel yang terdiri atas protein makromolekul dengan mekanisme kinetika yang mirip dengan katalis heterogen dengan aktivitas reaksi yang sangat spesifik. Faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, jumlah produk yang terbentuk, adanya senyawa inhibitor dan aktivator, pH, kekuatan ion, serta suhu lingkungan (Thenawijaya 1995). Reaksi enzimatis bekerja dengan urut-urutan yang terartur, enzim mengkatalis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrien, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, dan yang membuat makromolekul sel dari prekusor sederhana. Di antara sejumlah enzim yang berpartisipasi di dalam metabolisme ada yang dinamakan dengan enzim pengatur (regulasi enzim) yang dapat mengenali berbagai isyarat metabolik dan mengubah kecepatan katalitiknya sesuai dengan isyarat yang diterima. Melalui aktivitasnya, sistem enzim terkoordinasi dengan baik, menghasilkan suatu hubungan yang sesuai diantara sejumlah aktivitas metabolik yang berbeda yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (Webb 1963).
29
Mekanisme regulasi enzim dilakukan melalui kontrol ketersediaan enzim dan kontrol aktivitas enzim. Dalam kontrol ketersediaan enzim, keberadaan enzim diatur oleh sel, pengaturan kapan suatu enzim disintesis dan kapan akan didegradasi bergantung pada ketersediaaan subtrat dan produk. Proses degradasi dan síntesis enzim dapat berlangsung dalam hitungan menit (pada bakteri) hingga jam (pada organisme tingkat tinggi). Pada kontrol aktivitas, aktivitas katalitik enzim dipengaruhi oleh struktur sisi aktif tempat enzim dan subtrat berikatan. Aktivitas struktur tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme penambahan suatu molekul tertentu (efektor allosterik) atau dengan modifikasi kovalen seperti fosforilasi dan defosforilasi pada residu asam amino spesifik pada sisi aktif enzim tersebut (Voet & Voet 2001). Dalam mempelajari kinetika enzim, berbagai faktor penentu laju aktivitas dipelajari secara lebih seksama dan kondisinya diatur sedemikian rupa dengan harapan reaksi yang terjadi dapat lebih terkendali dan murni hanya diakibatkan oleh interaksi enzim-substrat. Untuk beberapa keperluan, seperti dalam mempelajari kemampuan senyawa bioaktif sebagai obat (inhibitor/aktivator enzim), terhadap lingkungan tempat reaksi enzim tersebut berlangsung ditambahkan senyawa bioaktif dengan konsentrasi tertentu dan pola kinetika yang terbentuk diperbandingkan dengan pola kinetika dasarnya (hanya interaksi enzimsubstrat) untuk melihat adanya perubahan pola kinetika (Price & Stevens 2004). Beberapa senyawa bioaktif asal tumbuhan ketika ditambahkan ke dalam sistem reaksi enzimatis dapat berperan sebagai aktivator, yang berarti dapat meningkatkan laju reaksi pembentukan produk dan beberapa justru dapat menyebabkan penurunan laju reaksi (inhibitor). Secara kimiawi, suatu inhibitor akan sulit dibedakan dari aktivator. Kedua senyawa ini dapat jelas dibedakan jika keduanya telah berinteraksi dengan enzim yang secara langsung akan mempengaruhi laju reaksinya. Ikatan inhibitor ataupun aktivator dengan enzim dapat mengubah kemampuan daya katalisatornya. Hal ini secara umum terjadi akibat adanya perubahan struktur enzim ketika suatu inhibitor ataupun aktivator berinteraksi dengannya (Boyer 1970). Mekanisme inhibisi dapat berlangsung secara kompetitif, unkompetitif atau nonkompetitif. Pada jenis inhibisi kompetitif, terjadi kompetisi antara substrat
30
dengan inhibitor dalam memperebutkan sisi aktif dari enzim (Gambar 6). Reaksi akan terjadi dan produk akan dihasilkan, walaupun enzim bereaksi dengan inhibitor. Produk yang dihasilkan dari inhitor akan berbeda jenisnya dengan produk yang dihasilkan dari subtrat. Pada jenis penghambatan ini, adanya inhibitor dapat menyebabkan perubahan nilai KM (konstanta Michaelis-Menten) menjadi lebih besar dari nilai KM semula tanpa mengubah nilai Vmax-nya (kecepatan maksimum reaksi enzimatis). Vmax pada jenis inhibisi kompetitif tetap dapat tercapai, namun membutuhkan waktu yang lebih lama dari kondisi normalnya dan untuk mempercepatnya dapat dilakukan penambahan konsentrasi substrat yang akan memperbesar peluang bagi subtrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, yang pada akhinrnya dapat membantu meningkatkan Vmax.
Gambar 6 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor kompetitif (Price & Stevens 1996) Inhibitor kompetitif, umumnya memiliki struktur yang serupa dengan subtrat. Sebagai contoh adalah allopurinol, yang strukturnya hampir sama dengan xantin atau subtrat asli (Gambar 7 ). Allopurinol dapat berikatan dengan enzim xantin oksidase pada sisi aktifnya membentuk ikatan yang terdiri dari kombinasi ikatan kovalen, elektrostatik, dan ikatan hidrogen. Allopurinol memiliki afinitas puluhan kali lebih kuat terhadap enzim xantin oksidase dibandingkan xantin. Oleh karena itu, apabila dalam lingkungan terdapat inhibitor ini bersama-sama bersama-sama dengan subtrat (xantin), maka allopurinol yang akan lebih bereaksi dengan xantin oksidase membentuk produk (oksipurinol) dibandingkan dengan subtratnya sendiri, sehingga efek penghambatan pembentukan asam urat dapat berlangsung terus selama masih terdapat allopurinol dalam lingkungan (Voet & Voet 2001).
31
Gambar 7 Struktur allopurinol dan struktur xantin (Hille 1996)
Inhibisi kompetitif oleh produk reaksi sangat bermanfaat untuk menghentikan atau menurunkan kerja enzim ketika telah terbentuk cukup produk untuk kebutuhan biokimiawi sel (salah satu bentuk regulasi / kendali metabolik). Pada jenis inhibisi unkompetitif, inhibitor terikat padsa sisi allosterik enzim setelah terbentuk komplek enzim-subtrat. Pada jenis inhibisi ini, inhibitor tidak dapat langsung berikatan dengan enzim dalam keadaan bebas, namun hanya dapat terikat jika telah terbentuk kompleks enzim-subtrat (Gambar 8 ). Dalam bentuk kompleks enzim-subtrat*inhibitor, enzim akan kehilangan sifat katalisatornya (inaktif) dan produk tidak akan terbentuk. Produk hanya akan terbentuk, jika inhibitor terlepas dari kompleks enzim-subtrat*inhibitor.
Gambar 8 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor unkompetitif (Price & Stevens 1996) Umumnya, inhibisi unkompetitif terjadi akibat adanya akumulasi produk dari reaksi enzim itu sendiri dan sangat jarang dijumpai pada reaksi enzim yang melibatkan hanya satu subtrat dan satu produk. Pola kinetika yang terbentuk akibat adanya inhibitor pada jenis inhibisi unkompeitif ini adalah terjadinya penurunan nilai KM dan Vmax dari keadaan normalnya (Voet & Voet 2001). Pada jenis inhibisi nonkompetitif, antara subtrat dan inhibitor tidak terjadi kompetisi dalam memperebutkan sisi aktif enzim. Inhibitor dan subtrat tidak memiliki kemiripan struktur. Inhibitor berikatan dengan enzim pada lokasi diluar
32
sisi aktifnya. Efek penghambatan akan terjadi karena inhibitor berikatan dengan sisi allosterik enzim, dan akan mengubah bentuk sisi aktif enzim seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Akibat dari jenis inhibisi ini adalah terjadinya penurunan Vmax tanpa mengubah nilai KM-nya (Voet & Voet 2001).
Gambar 9 Pola kinetika inhibisi yang terbentuk akibat adanya inhibitor nonkompetitif (Price & Stevens 1996) Berbeda dengan jenis inhibisi unkompetitif, pada inhibisi nonkompetitif, inhibitor dapat membentuk ikatan dengan
enzim dalam keadaan bebasnya
disamping dapat membentuk ikatan dengan kompleks enzim-subtrat. Ikatan inhibitor terhadap enzim bebas dan kompleks enzim-subtrat dapat meyebabkan terbentuknya kompleks enzim*inhibitor dan enzim-subtrat*subtrat yang bersifat tidak produktif, karena kedua kompleks ini tidak dapat membentuk produk (Gambar 7). Produk hanya akan terbentuk jika ikatan inhibitor terlepas dari kompleks enzim-subtrat*inhibitor. Reaksi sampingan yang sangat merugikan akibat pengaruh inhibitor pada jenis penghambatan ini adalah besarnya peluang bagi sisi aktif enzim untuk berubah secara permanen dari keadaan alaminya jika terbentuk komplek enzim*inhibitor dengan ikatan yang sangat kuat. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan reaktifitasnya secara permanen. Suatu senyawa aktif yang akan digunakan sebagai kandidat obat bagi penyakit kelainan metabolik (akibat aktivitas enzim), harus melalui serangkaian uji kinetika. Pengujian ini diharapkan dapat memberikan informasi tipe hambatannya. Sehingga dapat dipastikan bahwa suatu senyawa yang diisolasi tersebut benar-benar aman dan tidak akan mengubah struktur enzim secara permanen. Penentuan pola kinetika inhibisi enzim dapat ditentukan dengan menggunakan metode Michaelis-Menten, Lineweaver-Burk, Dixon, Hanes atau Eddie-Hofstee seperti terlihat pada Tabel 1.
33
Tabel 1. Metode penentuan mekanisme inhibisi enzim (Price & Stevens 1996)
Metode
Kompetitif
Nonkompetitif
Unkompetitif
Michaelis-Menten V
V Vm S Vmapp
Vm (S) V = Km + S
S+I
Vm (S) V = Km + S Vm (S) V= I I K (1+ ) + S (1+ ) Ki S M Ki
S
Vm Vmapp
S +I
S Km Kmapp
LineWeaver-Burk
V=
Vm . S
S1 <S2 Km S S/V = (1 + I/Ki) + Vm Vm S/V Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
V
Eddie-Hofstee
Km 1 1/V = (1 + I/Ki) + (1 + I/Ki) Vm 1/V Vm Km 1 1 S +I 1/Vmapp 1/V = + S Vm S Vm 1/Vm 1/S -Km = -Kmapp
Km + (S) Km 1/V = + (I) 1/ Vm (S) Vm.Ki.(S) S1 V S2 I Ki
Km + (S) Km + (S) 1/V = + (I) 1/V S1 Vm (S) Vm.Ki.(S)
-Ki
S2 S1 <S2
tg = -Kmapp tg = -Km
V = Vm.(1 + I/Ki) - Km.V/(s)
I
Nilai KM
S+I
Vmapp
V= S
Vm (S) I KM + S (1+) Ki
1/V
Km 1 1/V = + (1 + I/Ki) Vm Vm
S +I S 1/Vm -Kmapp-Km
1/Vmapp
Km 1 1 1/V = + Vm S Vm 1/S
Km + (S) (S) 1/V = + (I) Vm (S) Vm.Ki.(S) Km 1/V S1 - Ki (1 + ) S2 S S1 <S2 I Km S S/V = + (1 + I/Ki) Vm Vm
S/V Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Kmapp (1 + I/Ki) Vmapp
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
S/V
Km S S/V = + Vm Vm Km Vm S
V Vm V = Vm – Km .V/(s) Vmapp
tg = -Kmapp tg = -Km
V = Vm.(1 + I/Ki) - Km.V/(s)..(1 + I/Ki) V/S
Vm
Km S S/V = (1 + I/Ki) + (1 + I/Ki) Vm Vm
V
Vm = Vmapp V = Vm – Km .V/(s)
Vm (S) V = Km + S
S
Kmapp Km
Km (1+ I ) + S Ki
Km 1 1/ 1/V = (1 + I/Ki) + Vm Vm V S+I Km 1 1 1/Vm = 1/Vmapp S 1/V = + Vm S Vm 1/S -Km -Kmapp
Dixon
Hanes
Km = Kmapp
V
V/S
Vm V = Vm – Km .V/(s) = Vmapp tg = tg -Km = -Kmapp V = Vm – Km .V/(s) . (1 + I/Ki) V/S
dan Vmax sangat sulit ditentukan secara tepat berdasarkan grafik
Michaelis-Menten, sehingga untuk mendapatkan nilai Vmaks dan KM yang lebih tepat persamaan Michaelis-Menten tersebut ditransformasikan kepersamaan Lineweaver-Burk, Dixon, Hanes atau Eddie-Hofstee. Metode Lineweaver-Burk merupakan metode awal penentuan kinetika enzim, dari persamaan ini hanya
34
diperoleh Vmaks, KM dan
(afinitas inhibitor), sementara untuk mendapatkan
konsatanta inhibitor (Ki) maka perlu dilakukan uji kinetika lanjut menggunakan metode Dixon.
Penelitian tentang kinetika inhibisi enzim xantin oksidase Beberapa senyawa baham alam seperti flavonoid telah diketahui bersifat inhibitor bagi enzim xantin oksidase dan di harapkan bermanfaat dalam pencegahan panyakit asam urat. Mekanisme tipe hambatan yang terjadi umumnya mengarah pada jenis inhibisi kompetitif namun beberapa mengarah pada jenis inhibisi nonkompetitif. Berikut beberapa penenlitian mengenai sifat inhibisi kompetitif dan nonkompetitif yang dilakukan secara invitro diantaranya flavonoid dan senyawa polifenol dilaporkan berperan sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim xantin oksidase, diantaranya adalah teaflavin, teaflavin-3-galat, teaflavin-33’-digalat, (-)-epigalokatekin-3-galat, dan asam galat (Jen et al. 2000), teaflavin 3,3’-digalat (Dew et al. 2005), serta apigenin-4’-O-(2”-O-p-coumaroyl)- -Dglukopiranosida yang merupakan derivat apigenin (Jiao et al. 2006). Sedangkan beberapa golongan flavonol meliputi jenis flavonol krisin, luteolin, kaemferol, kuersetin, mirisetin, dan isorhamnetin dilaporkan memiliki efek hambatan terhadap xantin oksidase melalui mekanisme inhibitor nonkompetitif (Nagao et al. 1997), beberapa kelompok flavonol dan polifenol asal teh seperti (-)-epikatekin, (-)-epigalokatekin, (-)-epikatekin galat (Aucump et al. 1997). Selain itu flavonoid flavonol kaemferol asal teh hijau (Park et al. 2006) dan kalkon juga mempunyai daya inhibisi yang sangat kuat terhadap enzim xantin oksidase (Beiller 1951 dalam Martin 2007) tetapi disini tidak dijelaskan tipe inhibisinya. Flavonoid mampu menghambat enzim xantin oksidase karena adanya kemiripan struktur antara flavonoid dengan xantin (subtrat). Kerja spesifik xantin oksidase terhadap xantin melalui reaksi transfer/penambahan oksigen pada atom C nomor 2 dan C nomor 8 (gambar 5) oleh asam amino pada sisi aktif enzim disertai dengan reduksi kofaktor Molibdat, dari Mo(VI) menjadi Mo(IV) (Massey et al, 1970). Besarnya kekuatan inhibisi flavonoid sangat dipengaruhi oleh besarnya kekuatan mereduksi/derajat oksidasi yang dapat dilihat dari sejumlah gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karboksi (-C=O) di dalamnya. Hasil peneletian Jen et al
35
(2000) menunjukkan bahwa kekuatan inhibisi teaflavin-3-3’-digalat>teaflavin-3galat>(-)-epigalokatekin-3-galat>teaflavin. Jiao et al (2006) juga melaporkan bahwa
gugus fungsi hidroksil dan karboksil yang terdapat pada flavonoid
mempengaruhi besarnya daya inhibisi.
Fourir Transformation Infra Red (FT-IR) FT-IR merupakan metode analisis kualitatif suatu senyawa kimia. Instrumentasi FT-IR terdiri atas sumber radiasi, sampel kompartemen, monokromator, detektor, amplifier dan rekorder (sistem pembacaan). Radiasi inframerah yang digunakan untuk analisis senyawa kimia adalah pada panjang gelombang sekitar 4000 – 670 cm-1. Panjang gelombang ini menyebabkan energi elektromagnetik radiasi inframerah gugus-gugus atom bervibrasi. Vibrasi alamiah gugus molekul yang sesuai dengan radiasi inframerah akan menyebabkan interaksi medan listrik sehingga akan terjadi perubahan-perubahan vibrasi yang menunjukan terjadinya absorpsi inframerah yang berupa puncak-puncak tertentu. Spektrum pada FT-IR dapat terbentuk dengan cara melewatkan radiasi inframerah ke sampel yang kemudian diproses melalui alat interferometer yang dibaca oleh detektor berupa sinyal. Sinyal ini
yang kemudian diubah menjadi bentuk
spektrum dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika fourir transform (Choltup at el. 1988). Metode ini dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi suatu senyawa kimia, seperti dilakukan oleh Jiao at el (2006) yang mencoba menganalisis gugus fungsi senyawa aktif yang berperan dalam menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua diperoleh serapan gugus fungsi pada panjang gelombang 3249 – 3500 cm-1 (hidroksil), 1714 & 1659 cm-1 (karbonil) serta 1586 & 1455 cm-1 (penil).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) HPLC atau kromatografi cair kinerja tinggi merupakan teknik pemisahan dan analisis kuantitatif atau kualitatif suatu senyawa. Instrumentasi HPLC terdiri atas reservoir yang berisi fase gerak, sebuah pompa untuk memompa fase gerak melalui sistem bertekanan tinggi, injektor, kolom yang merupakan tempat
36
terjadinya pemisahan, detektor yang berfungsi untuk menditeksi keberadaan senyawa dan integrator yang berfungsi untuk memperkuat pembacaan sinyal oleh detektor. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Kellner et al. 2004). Penggunan analisis kualitatif dari metode ini bertujuan untuk memurnikan suatu senyawa yang akan dianalisis lebih lanjut, seperti dilakukan oleh Park et al (2006) yang mencoba memisahkan senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase yang berasal dari teh hijau dengan menggunakan HPLC, yang kemudian senyawa aktif tersebut dianalisis lebih lanjut dan diperoleh senyawa flavonol kaemferol.
Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) LC-MS merupakan metode analisis kuantitatif yang merupakan kombinasi antara kromatografi cair dengan spektroskopi massa. Instrumentasi LC-MS terdiri atas inlet-LC, sumber ion, tekanan permukaan, Mass analyzer, detektor, instrument kontrol dan proses data. Prinsip dari metode analisis ini adalah ionisasi molekul, dimana molekul ditembak oleh radikal bermuatan positif sehingga terfragmen lebih lanjut dan terditeksi ion-ion positifnya. Kumpulan ion-ion yang dihasilkan merupakan karakteristik suatu molekul. Spektrum LC-MS dapat terbentuk dengan melewatkan sumber ion ke sampel yang kemudian diproses dengan suhu tinggi (karena sampel masih dalam bentuk cair setelah dipisahkan oleh LC) melalui suatu alat mass analyser yang kemudian dibaca oleh detektor berupa sinyal. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Willard et al. 1988). Metode ini digunakan untuk menentukan massa molekul dan
rumus
molekul yang sangat membantu dalam elusidasi struktur molekul baik organik maupun anorganik. Seperti yang dilakukan oleh Jiao at el (2006) yang menganalisis rumus molekul senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua dengan LC-MS memperoleh bobot molekul (m/z) sebesar 579,1200 dengan rumus molekul C30H27O12.
37
Nuclear Magnetik Resonance (NMR) NMR merupakan metode kualitatif yang didasarkan pada telaah absorpsi radiasi frekuensi radio oleh inti. Instrumentasi NMR terdiri atas superkondukting magnit, shimcoil-shim power supply, detektor RF, digitizer, pulse program, RF source, RF amplifier dan komputer untuk memproses data. Prinsip dari NMR adalah semua inti yang bermuatan akan mengalami spin (perputaran) pada sumbu inti dengan menghasilkan suatu dipol magnit sepanjang sumbu dengan momentum megnetik. Bila inti tersebut diletakkan dalam suatu medan magnet kuat akan mengalami rotasi atau spin pada sumbu inti dan energi unsur tersebut akan pecah menjadi 2 tingkat energi terkuantisasi atau lebih sebagai akibat sifat magnit inti tersebut. Transisi antara tingkat-tingkat energi yang terjadi karena di induksi medan magnit dapat terjadi bila mengabsorpsi radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang tepat. Lingkungan kimia dalam molekul mempengaruhi absorpsi oleh inti dalam suatu meden megnit. Spektrum nmr dapat terbentuk dengan melewatkan radiasi eletromagnetik ke sampel yang kemudian diproses melalui peralatan medan magnit sehingga dibaca oleh detektor radio frekuensi berupa sinyal. Sinyal ini yang kemudian diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer (Breitmaier 1993). Metode ini dapat digunakan dalam menentukan struktur molekul organik dan anorganik dengan tingkat akurasi yang tinggi. Seperti dilakukan oleh Jiao et al (2006) yang menganalisis struktur senyawa aktif yang dapat menghambat enzim xantin oksidase dari palhinhaea cernua diperoleh struktur 5,7-dihidroksi-2(4-hidroksipenil)-4H-1-benzopiran-4-on-4’-o-(2”-o-p-kumaroil)- -Dglukopiranosida.