perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA (BP3) JAWA TENGAH DALAM PERLINDUNGAN CANDI-CANDI DI JAWA TENGAH
SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi
Disusun Oleh : REHELA RAVITA SARI D 0106088
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xi
ABSTRAK ........................................................................................................
xii
ABSTRACT ..................................................................................................... xiii BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................................
9
C. Tujuan ..........................................................................................
9
D. Manfaat .......................................................................................
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
11
A. Kinerja .........................................................................................
11
B. Perlindungan ................................................................................
25
C. Candi ...........................................................................................
37
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
D.
digilib.uns.ac.id
Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah .............................................................................
49
Kerangka Berfikir ....................................................................
50
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................
53
E.
A.
Jenis Penelitian .........................................................................
53
B.
Lokasi Penelitian ......................................................................
54
C.
Sumber Data..............................................................................
54
D.
Teknik Pengumpulan Data........................................................
55
E.
Teknik Pengambilan Sampel ....................................................
57
F.
Validitas Data ...........................................................................
58
G.
Analisis Data ............................................................................
59
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................
62
A. Gambaran Umum Bp3 Jawa Tengah .......................................
62
B. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah .............................................................................
78
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja ......... 124 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 133 D. Kesimpulan .............................................................................. 133 E.
Saran ........................................................................................ 135
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Rehela Ravita Sari, D0106088, “Kinerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah.” Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 138 halaman. Perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah yang kaya akan nilai penting bertujuan untuk mencegah dan menghindarkannya dari kerusakan oleh faktor alam maupun manusia. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi pemerintah yang bertugas melaksanakan perlindungan terhadap candi-candi yang berada di Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, serta mengetahui faktor yang mendukung dan faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif yang, menggunakan data primer yang didapat melalui wawancara dan observasi, serta data sekunder berupa buku, peraturan perundangan, data statistik, dan laporan kegiatan. Validitas data diuji menggunakan teknik triangulasi data. Teknik analisis data menggunakan model interaktif yang mencakup reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Secara umum kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah baik. Dari segi produktivitas, kegiatan perlindungan dilakukan dengan penuh pertimbangan, fleksibel, berdasarkan skala prioritas walaupun masih terkesan kurang memperhatikan candi di lokasi terpencil. Dari segi responsivitas, BP3 Jawa Tengah menerima dengan baik aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat website dan pameran, tetapi kurang menanggapi keluhan dari satpam dan juru pelihara candi. Dari segi akuntabilitas, BP3 Jawa Tengah telah membuat LAKIP dan laporan realisasi anggaran. Faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah kepedulian masyarakat sekitar candi serta LSM di bidang budaya. Sedangkan faktor penghambatnya adalah keterbatasan dana, wilayah kerja yang luas, partisipasi minim dari pemerintah kabupaten/kota, dan ancaman kolektor.
commit to user
xii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya, tidak hanya kaya akan sumber daya alam saja, tetapi juga kaya akan sumber daya budaya baik yang bersifat tangible maupun yang intangible. Dalam www.wikipedia.org disebutkan bahwa bangsa Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat panjang dari zaman prasejarah hingga zaman sejarah. Zaman prasejarah dimulai sekitar 1,7 juta tahun yang lalu berdasarkan penemuan “manusia Jawa”. Sedangkan periode sejarah dapat dibagi menjadi lima era yaitu era Pra-Kolonial, era Kolonial, era Kemerdekaan Awal, era Orde Baru, dan era Reformasi. Selama kurun waktu tersebut tentunya banyak ditinggalkan jejak-jejak peradaban baik yang bersifat benda maupun tak benda. Dari situ kita dapat memperoleh gambaran tentang bagaimana kehidupan masa lalu, diantaranya tentang teknologi, seni, kepercayaan, kondisi pemerintahan, mata pencaharian masyarakat pada waktu tersebut. Peninggalan berupa tak benda contohnya adalah tari-tarian, upacara adat, bahasa. Sedangkan peninggalan berupa benda diantaranya adalah fosil manusia purba, kapak batu, candi, keraton, benteng, stasiun kereta api. Dalam pasal 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar commit to user Budaya, terkandung pengertian bahwa benda peninggalan sejarah dan
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
purbakala yang memiliki nilai penting bagi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan digolongkan sebagai benda cagar budaya (BCB). BCB memiliki nilai penting yang dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu: 1. Nilai Penting Informatif/Ilmu Pengetahuan BCB dikatakan memiliki nilai penting ilmu pengetahuan karena tiga hal. Pertama, BCB merupakan data untuk merekonstruksi aspek-aspek kebudayaan masyarakat masa lampau yang antara lain tentang ideologi, ekonomi, sosial, teknologi, seni. Kedua, BCB merupakan sumber inspirasi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Ketiga, BCB dapat menjadi wahana pendidikan. 2. Nilai Penting Asosiatif BCB dapat dikatakan mempunyai nilai penting asosiatif karena tiga hal. Pertama, BCB merupakan mata rantai pemahaman terhadap sejarah dan jatidiri bangsa. Kedua, BCB adalah legitimation of action, yang artinya adalah dasar legitimasi untuk suatu tujuan yang terkait dengan kesatuan etnis, wilayah, kekerabtan. Ketiga, BCB dapat berguna untuk mewujudkan social solidarity and integration atau solidaritas sosial dan integritas masyarakat. 3. Nilai Penting Estetika BCB memiliki nilai penting estetika karena dua hal. Pertama, BCB merupakan wujud dan bukti hasil pencapaian cita rasa seni yang commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, BCB menjadi sumber inspirasi pengembangan hasil seni pada masa sekarang. 4. Nilai Penting Ekonomi BCB memiliki nilai penting ekonomi karena dua hal. Pertama, BCB dapat dikembangkan dan dikelola sebagai aset budaya dan pariwisata yang bernilai ekonomi. Kedua, BCB merupakan kekayaan budaya daerah yang potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu jenis BCB yang memiliki nilai penting bagi pengembangan sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah candi. Dari candi kita dapat belajar banyak hal, misalnya tentang teknik pembuatan, arsitektur, seni manik-manik atau perhiasan yang terdapat pada arca, nilai-nilai luhur, cerita dari relief candi, filosofi dari bangunan candi. J. A. Sonjaya dalam sebuah artikel yang berjudul ‘candi untuk masa depan’ menuliskan bahwa dari candi kita dapat belajar banyak hal, salah satunya tentang konsep pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika. Artikel tersebut menjelaskan
tentang konsep pluralisme masa lampau
yang dapat dilihat pada kompleks candi Prambanan yang bercorak Hindu dan kompleks candi Sewu yang bercorak Budha. Kedua candi ini berbeda ideologi namun berada di lokasi yang sama dan saling berdampingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa leluhur kita sudah jauh lebih dahulu mengenal konsep pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, dimana mereka tetap bersatu dalam jalinan sosial-kenegaraan walaupun berbeda keyakinan. commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain memiliki nilai penting seperti dijelaskan di atas, candi juga dapat membangkitkan
rasa
kebanggaan nasional,
contohnya adalah candi
Borobudur. Candi Borobudur merupakan monumen Budha terbesar di dunia yang terdiri dari sepuluh tingkat. Candi ini sangat megah, dimana dalam Rusdi (2010:42-43) disebutkan bahwa Borobudur memiliki luas bangunan 15.129 m2, memiliki relief yang merupakan rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel. Apabila dijumlahkan, panjang relief itu dapat mencapai 3km. Selain itu, Borobudur juga memiliki 504 buah arca. Candi Borobudur memang merupakan hasil karya masa lalu, tetapi kemegahannya tidak kalah oleh bangunan-bangunan masa kini sehingga sampai sekarang masih tetap menjadi kebanggaan bangsa Indonesia serta umat Budha di seluruh dunia. Salah satu daerah di Indonesia yang banyak memiliki candi adalah Jawa Tengah. Sampai sekarang ini setidaknya telah ditemukan 64 candi di Jawa Tengah (lihat lampiran). Sayangnya, candi-candi yang menyimpan banyak nilai penting itu keberadaannya tidak lepas dari ancaman kerusakan, baik yang ditimbulkan oleh alam maupun yang ditimbulkan oleh manusia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor alam antara lain ketuaan, pelapukan, bencana alam seperti gunung meletus, lahar dingin, tanah longsor, gempa, dan tsunami. Contohnya adalah gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 lalu yang mengakibatkan candi-candi terutama di daerah Prambanan seperti candi Sewu, Plaosan, Sojiwan dan lainnya mengalami kerusakan cukup parah. commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan ancaman kerusakan BCB yang diakibatkan oleh faktor manusia adalah pencurian, pemalsuan, pembangunan yang tidak memperhatikan keberadaan BCB, dan kelalaian dalam pemeliharaan BCB. Candi di Jawa Tengah dapat dikatakan sering mengalami pencurian arca, kala, relief, serta beberapa bagian candi lainnya. Kasus pencurian yang menimpa candi-candi di Jawa Tengah selama tahun 1990-2009 dapat dilihat pada tabel I.1 di bawah ini: Tabel I.1 Kasus Perusakan Candi-Candi di Jawa Tengah Tahun 1990-2009 No 1. 2. 3. 4.
Tanggal 15-01-1990 02-02-1990 08-02-1990 12-04-1990
5. 6.
Nama Benda Arca Batu Relief Kala Arca Naga - Batu Candi - Kemuncak 04-05-1990 Arca Ganesha 07-05-1990 Arca Makara
7. 8. 9. 10.
14-06-1990 28-06-1990 11-07-1990 13-07-1990
Arca Kudhu Arca Kudhu Yoni Makara
11. 13-08-1990 Arca Kala 12. 13. 14. 15. 16.
04-10-1990 03-11-1990 04-12-1990 15-12-1990 17-12-1990
Jmlh 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1
Arca Budha 1 Arca 1 Arca Nyai Gumuk 1 Arca Batu 1 - Arca Kepala Manusia 4 - Arca Berbentuk commit to user Setengah
Lokasi Candi Selogriyo Candi Ngawen Candi Pengilon Candi Gondosuli
Koordinasi Polres Magelang Polres Magelang Polres Kendal Polres Temanggung
Candi Umbul Candi Gedong Songo Candi Bima Candi Bima Candi Gumeng Candi Gedong Songo Candi Gedong Songo Candi Mendut Candi Ceto Candi Ceto Candi Pringapus Candi Ceto
Polres Magelang Polres Salatiga Polres Banjarnegara Polres Banjarnegara Polres Magelang Polres Salatiga Polres Salatiga Polres Magelang Polres Karanganyar Polres Karanganyar Polres Temanggung Polres Karanganyar
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
22. 26-07-1994
Manusia Arca Berbentuk Kemaluan Arca Berbentuk Manusia Berdiri Arca Eyang Agni Arca Sabdopalon Arca Porno Arca Ganeca Relief Candi Lumbung Arca Manusia Duduk Bersila Kala Batu Relief (gambar Kepala Ular) Batu Antefik
23. 24-01-2000
Relief Arca
1
24. 25-02-2000
Relief Arca
1
25. 12-06-2000 26. Juli 2000 27. 30-08-2003 28. 21-02-2007
Arca Kudu Arca Brahmana Arca Kudu Kala Pipi Tangga
1 1 1 1
17. 18-12-1990 18. 20-12-1990 19. 27-12-1990 20. 01-05-1991 21. 20-03-1993 -
29. 23-11-2009 - Kepala Arca Dhyani Bodhisatva - Kepala Arca Dhyani Buddha 30. Antefik 31. 06-12-2009 Kepala Arca Buddha
Candi Ceto
Polres Karanganyar
1 1
Candi Umbul Candi Lumbung
Polres Magelang Polres Magelang
1
Candi Ceto
Polres Karanganyar
Candi Dukuh
Polres Semarang
Candi Gedong Songo Candi Plaosan Lor Candi Plosan Lor Candi Bima Candi Parikesit Candi Bima Candi Plaosan Lor Candi Plaosan Lor
Polsek Ambarawa
Candi Losari Candi Plaosan Lor
Polsek Salam Polres Klaten
3
2 2
Polsek Prambanan Polsek Prambanan Polsek Banjarnegara Polres Wonosobo Polsek Batur Polsek Prambanan Polsek Prambanan
2
4 1
Sumber:BP3 Jawa Tengah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
Dari tabel I.1 di atas dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 1990-2009 telah terjadi 31 kasus pencurian terhadap bagian-bagian candi. Bila diamati lebih lanjut, pencurian paling marak terjadi pada tahun 1990 yaitu sebanyak 19 kasus. Kemudian turun drastis pada tahun 1991 sampai beberapa tahun sesudahnya dimana kasus pencurian tiap tahunnya paling banyak adalah satu kasus. Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan dikeluarkannya UndangUndang tentang BCB pada tahun 1992. Namun, pada tahun 2000 pencurian kembali meningkat, yakni sebanyak empat kasus. Hal itu mungkin dikarenakan stabilitas nasional yang sedang terganggu karena jatuhnya rezim orde baru dan digantikan oleh era reformasi. Angka pencurian tersebut di atas memang terlihat kecil, akan tetapi bila tiap tahun terus terjadi maka dihawatirkan kelestarian candi akan terancam dan nilai pentingnya dapat berkurang bahkan hilang. Hal tersebut mengingat benda yang dicuri merupakan benda yang sangat terbatas jumlahnya, bernilai, langka dan tidak dapat diperbarui lagi karena memiliki nilai arkeologis tersendiri. Dihawatirkan, generasi yang akan datang tidak akan dapat mengambil nilai penting dari candi. Salah satu dampaknya adalah kesadaran jati diri bangsa akan memudar sehingga mereka akan menjadi generasi yang tidak menghargai bangsanya sendiri. Apalagi sekarang ini arus globalisasi semakin kuat dan teknologi komunikasi semakin maju, dimana dalam kondisi tersebut interaksi budaya antar bangsa menjadi tak terkendali. Bangsa Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, suka gotong royong, saling menghormati, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
akan berubah menjadi bangsa yang individualis, penuh kebebasan, suka kekerasan, mudah tercerai berai, dan tidak peduli terhadap sesama. Karena hal itulah maka upaya perlindungan terhadap candi sangat penting untuk dilakukan. Disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, bahwa semua BCB, termasuk candi didalamnya, dikuasai oleh Negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap upaya pelestarian BCB, yang terdiri dari kegiatan perlindungan, pemugaran, pemeliharaan, inventarisasi dan dokumentasi BCB. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bertugas menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja Provinsi Jawa Tengah. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi yang bertugas melestarian BCB dan situs di Jawa Tengah. Kegiatan pelestarian itu salah satunya adalah kegiatan perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah. Keutuhan candi-candi di Jawa Tengah akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap candi-candi tersebut. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penelitian dengan judul “kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah” ini dilakukan. Karena pencapaian kinerja juga commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipengaruhi faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka penelitian ini juga akan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana hasil yang telah dicapai, mengungkap apa saja masalah yang terjadi dalam upaya perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, faktor apa saja yang mendukung dan faktor apa yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah tersebut. Dengan begitu, akan dapat ditentukan langkah penanganan yang tepat untuk mengatasi hambatan yang ada serta upaya peningkatan kinerja dapat lebih terarah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah? 2. Apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah? C.
Tujuan 1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah. 2. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghamabat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candicandi di Jawa Tengah.
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat 1. Teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah serta faktor pendorong maupun faktor penghambatnya. 2. Praktis, yaitu dapat memberikan masukan pada BP3 Jateng agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam hal perlindungan candi-candi di Jawa Tengah pada waktu yang akan datang.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja Berikut ini akan dijelaskan beberapa konsep terkait kinerja, yaitu pengertian kinerja, penilaian dan indikator kinerja, serta faktor-faktor yang memengaruhi kinerja. 1. Pengertian Kinerja Kinerja berasal dari kata “to performance” dan menurut The Scibner Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Kanada tahun 1979 dalam Widodo (2008: 77-78), kinerja diartikan sebagai berikut : a. To do or carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan). b. To discharge or fulfill; as a vow (memenuhi atau menjalankan kewajiban atau nadzar). c. To execute or complete an undertaking (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab). d. To do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin). Hampir sama dengan pengertian di atas, dalam kamus Illustrated Oxford Dictionary (1998:606) dalam Keban (2004:191-192), performance diistilahkan sebagai “the execution or fulfillment of a duty” (pelaksanaan commit to user atau pencapaian dari suatu tugas).
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bernadin dan Russel (1993:378) dalam Ruky (2002:15) juga memberikan definisi tentang performance sebagai berikut: “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih sebagai berikut: “kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsifungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”. Teresa Curristene (2005:129) juga memberikan definisi tentang kinerja seperti di bawah ini: “Performance means the yield or result of activities carried out in relation to the purpose being pursued. Its objective is to strengthen the degree to which government achieve their purposes” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka artinya kurang lebih seperti di bawah ini: “Kinerja berarti hasil atau hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan tujuan yang dikejar. Tujuannya adalah untuk memperkuat sejauh mana pemerintah mencapai tujuan-tujuan mereka” Sementara menurut Surat Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia NOMOR: 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman
Penyusunan
Pelaporan
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah halaman 10, kinerja instansi pemerintah didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strateji instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dari berbagai macam pengertian kinerja yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh sebuah organisasi dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Baik atau buruknya kinerja sebuah organisasi tentunya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Widodo (2001:79) berpendapat bahwa kinerja lembaga (organisasi) salah satunya ditentukan oleh kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi. Sebaliknya, kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi ditentukan oleh struktur, peralatan, dan keuangan yang dimiliki oleh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa antara sumber daya manusia (SDM) dengan organisasi saling berkaitan dan berpengaruh dalam hal pencapaian kinerja. Apabila kinerja karyawan (SDM) sebagai pelaku organisasi baik, tetapi tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, maka dimungkinkan tujuan organisasi tidak tercapai dengan baik dan artinya kinerja organisasi tersebut buruk. Hampir sama dengan yang disampaikan oleh Widodo di atas, Soesilo (2000:22-12-22-13) dalam Tangkilisan (2007:180-181) mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi. b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi. c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal. d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja. e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi. Atmosoeprapto
(2001:11-19)
dalam
Tangkilisan
(2007:181-182)
menyampaikan pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Beliau membedakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri, yang terdiri dari: a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi. b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan. Faktor ekstenal merupakan faktor yang berasal dari luar organisasi, yang terdiri dari: a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan memengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal. b. Faktor
ekonomi,
yaitu
tingkat
perkembangan
ekonomi
yang
berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar. c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang memengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi dapat berasal dari dalam organisasi itu sendiri (internal) maupun dari luar organisasi tersebut (eksternal). Yang termasuk faktor internal antara lain adalah: struktur organisasi, tujuan organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi manajemen, sarana prasarana, keuangan (dana), budaya organisasi. Sedangkan yang atermasuk faktor eksternal antara lain adalah: faktor ekonomi, faktor politik, dam faktor sosial.
commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Penilaian Kinerja dan Indikator Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan penilaian kinerja serta apa yang dimaksud dengan indikator kinerja itu. Larry D. Stout dalam Bastian (2001) dalam Tangkilisan (2007:174) mengemukakan
bahwa
pengukuran/penilaian
kinerja
organisasi
merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses. Sedangkan Widodo (2008:95) berpendapat bahwa pengukuran kinerja merupakan aktivitas menilai pencapaian hasil kerja yang dicapai oleh organisasi, dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dari dua pendapat diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa ataupun proses, berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Mahmudi (2005:12) berpendapat tentang manfaat dari penilaian kinerja, bahwa pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik.
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain sebagai alat untuk menilai kesuksesan organisasi, penilaian kinerja memiliki manfaat lain sebagaimana diungkapkan oleh Bastian dalam Tangkilisan (2007:174) seperti di bawah ini: a. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi b. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan c. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi Manfaat dari dilakukannya penilain kinerja adalah kita dapat mengetahui
bagaimana
kinerja
sebuah
organisasi.
Manfaat
dari
mengetahui bagaimana kinerja suatu organisasi pemerintah adalah sebagaimana disampaikan oleh Teresa Curristine (2005:129) di bawah ini: “Performance information is important for governments in assessing and improving policies: (1) in managerial analysis, direction and control of public services; (2) in budgetary analysis; (3) in parliamentary oversight of the executive; (4) for public accountability the general duty on governments to disclose and take responsibility for their decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya seperti di bawah ini: “Informasi/keterangan mengenai kinerja penting bagi pemerintah dalam menilai dan memperbaiki kebijakan: (1) di bidang analisis pengelolaan, petunjuk dan kontrol pelayanan publik; (2) dalam analisis anggaran; (3) dalam pengawasan parlemen terhadap eksekutif; (4) untuk akuntabilitas publik-tugas umum pemerintah untuk memperlihatkan dan bertanggungjawab atas keputusan mereka” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, akan dapat ditentukan secara tepat langkah apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja tentunya berdasarkan pada indikator-indikator tertentu. Indikator kinerja menurut Bastian (2001:33) dalam Tangkilisan (2007:175) adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator berikut ini: a. Indikator masukan (inputs) Merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumberdaya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya. b. Indikator keluaran (outputs) Merupakan sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik. c. Indikator hasil (outcomes) Merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). d. Indikator manfaat (benefit) Merupakan sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. e. Indikator dampak (impacts) Merupakan pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
Berbeda dengan pendapat di atas, Levine dkk. (1990) dalam Dwiyanto (1995) dalam Tangkilisan (2007:170-171) berpendapat bahwa ada tiga konsep yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yaitu: a. Responsivitas (responsivveness) Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik. b. Responsibilitas (responsibility) Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prnsip yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan organisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. c. Akuntabilitas (accountability) Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat politik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik. Sedangkan Dwiyanto dkk. (2002:48-49) dalam Tangkilisan (2007:176178) mengemukakan empat macam ukuran dari tingkat kinerja suatu organisasi publik yang sedikit berbeda dengan pendapat Levinne di atas, yakni seperti di bawah ini: a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tungkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas kemudian dirasa terlalu sempit dan General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. b. Orientasi Layanan Kepada Pelanggan Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. c. Responsivitas Responsivitas
adalah
kemampuan
organisasi
untuk
mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas
yang
rendah
ditunjukkan
dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. d. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
pemerintah seperti penerapan target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Salim dan Woodward (1992) dalam Ratminto (2007:174) berpendapat bahwa indikator untuk menilai kinerja adalah sebagai berikut: a. Economy atau ekonomis, adalah penggunaan sumber daya yang sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik. c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan. Ratminto dan Atik (2005:174) berpendapat bahwa indikator-indikator kinerja sangat bervariasi. Akan tetapi, dari sekian banyak indikator tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil. Pengelompokan indikator berdasarkan dua sudut pandang di atas dapat dilihat dalam tabel II.1 di bawah ini: commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel II.1 Perbandingan Indikator Pelayanan Publik
Pakar McDonald & Lawton (1997): Salim & Woodward (1992):
Berorientasi hasil · Efficiency · Effectiveness · Economy · Eficiency · Effectiveness · Equity
Levine (1990):
Zeithaml, Pasuraman & Berry (1990):
· Tangibles
Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Standar Pelayanan Publik Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Asas Pelayanan Publik
· Waktu peyelesaian · Biaya pelayanan · Produk pelayanan
Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Prinsip Pelayanan Publik
· Ketepatan waktu · Akurasi
Gibson, Ivancevich & Donnely (1990)
Indikator Berorientasi proses
· · · · · · · · · · · · · · · ·
· Kepuasan commit to user · Efisiensi
· · · · · · · · · · · ·
Responsivitas Responsibilitas Akuntabilitas Reliability Responsiveness Assurance Empathy Prosedur pelayanan Sarana dan prasarana Kompetensi petugas pemberi layanan Transparansi Akuntabilitas Kondisional Partisipatif Kesamaan hak Keseimbangan hak dan kewajiban Kesederhanaan Kejelasan Keamanan Keterbukaan Tanggung jawab Kelengkapan sarana dan prasarana Kenyamanan Kedisiplinan Kesopanan dan keramahan Kemudahan akses Perkembangan Keadaptasian
perpustakaan.uns.ac.id
· Produksi Sumber: Ratminto dan Atik (2007:178-179)
24 digilib.uns.ac.id
· Kelangsungan hidup
Behn (2003), Hatry (1999), Halachmi (2002a), Halachmi (2002b) dalam Marc Holzer dan Kathryn Kloby (2005:1-2) menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian kinerja, yaitu seperti di bawah ini: “Two approaches to measuring and improving government performance are evident in the literature. First, there are those that emphasize the purpose, techniques and utility of performance measurement as a tool for increasing productivity. ... The second approach to measuring performance is addressed by a body of literature providing the argument that citizen inclusion in measuring the performance of government adds value to process and better informs policy decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah seperti di bawah ini: “Dua pendekatan untuk mengukur dan meningkatkan kinerja pemerintah adalah jelas dalam literatur. Pertama, ada yang menekankan tujuan, teknik dan kegunaan pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas. ... Pendekatan kedua untuk mengukur kinerja ditujukan oleh badan literatur memberikan argumen bahwa warga inklusi dalam mengukur kinerja pemerintah menambah nilai proses dan lebih baik menginformasikan keputusan kebijakan” Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja. Pertama, pendekatan dari sisi hasil yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada hasil seperti efektivitas, produktivitas, efisiensi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan dari sisi proses yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada proses seperti responsivitas, akuntabilitas, responsibilitas, dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa indikator yang dipakai untuk menilai kinerja cukup banyak. Akan tetapi dari sekian banyak indikator tersebut tidak semuanya cocok apabila digunakan untuk melakukan penilaian kinerja. Hal tersebut dikarenakan setiap organisasi mempunyai tujuan, bidang kerja, jenis pelayanan (langsung dan tidak langsung), dan kegiatan yang berbeda. Dalam penelitian ini penulis ingin menilai kinerja dari dua segi, yaitu dari segi hasil dan dari segi proses. Dari segi hasil, indikator yang dipilih adalah produktivitas. Sedangkan dari segi proses, indikator yang dipilih adalah responsivitas dan akuntabilitas. B. Perlindungan Karena candi merupakan BCB, maka perlindungan yang diterapkan sesuai atau mengacu pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No:063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, perlindungan didefinisikan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan, dan penertiban. Atmosudiro (2004:12) berpendapat bahwa perlindungan BCB dan situs dapat dilakukan melalui dua cara yaitu perlindungan hukum serta perlindungan fisik. Perlindungan secara hukum dimaksudkan agar setiap commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tindakan
mempunyai
landasan
yang
legal
hingga
dapat
dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Sedangkan perlindungan secara fisik diterapkan baik pada BCB maupun pada lingkungan sekitar BCB. Dalam
Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs, kegiatan dalam rangka perlindungan BCB dan situs diatur dalam pasal 23-25. Kegiatan tersebut adalah: 1. Perizinan Perizinan berasal dari kata izin yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:447) adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang); persetujuan; membolehkan. Perizinan BCB dapat diartikan sebagai tindakan mengabulkan atau tidak mengabulkan segala kegiatan yang berkaitan dengan BCB dan situs. Perizinan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 23-38. a. Lingkup perizinan BCB dan situs Lingkup perizinan BCB dijelaskan pada pasal 23 ayat (1) dimana perizinan tersebut meliputi tiga hal. Pertama: izin membawa BCB ke luar wilayah Republik Indonesia. Kedua, izin membawa BCB antar daerah. Ketiga, izin pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan. Selanjutnya pada ayat (2) menjelaskan bahwa jenis BCB yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
dimaksud di atas meliputi BCB milik Negara maupun perorangan, BCB buatan manusia maupun buatan alam, BCB bergerak maupun tida bergerak. b. Izin membawa BCB Izin membawa BCB diatur dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2). Pada ayat (1), disebutkan bahwa perizinan pembawaan BCB antar daerah hanya terhadap BCB bergerak dan hanya berlaku untuk tujuan berpindah tetap (selamanya) karena kepentingan mengikuti pemilik, beralihnya pemilikan, perlindungan dan pelestarian, pertukaran informasi keagamaan dan kebudayan (adat). Pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa permohonan izin pembawaan BCB antar daerah dianggap pendaftaran BCB. c. Izin memanfaatkan BCB Izin memanfaatkan BCB diatur dalam pasal 33 serta pasal 34 ayat (1) dan (2). Dalam pasal 33 dijelaskan bahwa fungsi pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidkan, ilmu pengetahuan dan/atau kebudayaan meliputi pendayagunaan menurut jenis kebendaan atas benda cagar budaya, bergerak dan tidak bergerak. Pada pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa pendayagunaan BCB bergerak dapat berfungsi sebagai sarana pameran, penelitian, pengembangan IPTEK, serta perkenalan informasi keagamaan dan kebudayaan (kesenian dan adat istiadat). Sedangkan pada pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pendayagunaan BCB tidak bergerak termasuk situs commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat berfungsi sebagai sarana upacara keagamaan, acara pertunjukan, kegiatan
sosial/kemasyarakatan,
kunjungan
wisatawan,
kegiatan
pendidikan, penelitian/survei, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Penyelamatan Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, penyelamatan diartikan sebagai upaya darurat ataupun terencana untuk melindungi benda cagar budaya dan situs dari ancaman kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan. Penyelamatan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 39-47. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan BCB adalah sebagai berikut: a. Ekskavasi Pengertian ekskavasi terdapat pada pasal 39 ayat (3) yaitu kegiatan penggalian yang mengguanakan metode dan teknik arkeologis sebagaimana kegiatan ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan ekskavasi arkeologi pada umumnya. Dalam pasal 39 ayat (1) dijelaskan tentang tujuan ekskavasi penyelamatan, yaitu untuk menghimpun data secara vertikal yang berhubungan dengan BCB dan/atau situs yang terancam kelestariannya baik akibat ulah manusia maupun yang disebabkan oleh aktivitas lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
ayat (2) dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa hasil dari kegiatan ekskavasi dijadikan dasar untuk menentukan langkah kebijakan lebih lanjut dalam upaya penyelamatan dan pelestariannya. b. Studi Analisis Dampak Lingkungan Menurut pasal 41 ayat (1), kegiatan studi analisis mengenai dampak lingkungan ditujukan khusus terhadap BCB dan/atau situs yang terkena rencana pembangunan (renbang). Hal ini sangat penting artinya dan sangat diperlukan bagi proses penentuan keputusan/kebijakan untuk suatu usaha atau kegiatan, sehingga keamanan dan kelestarian BCB dan/atau situs dapat terus terjamin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. c. Pemberian Hadiah Menurut pasal 43 ayat (1), kegiatan pemberian hadiah temuan merupakan salah satu upaya penyelamatan BCB dengan cara memberikan hadiah/imbalan kepada penemu/pemilik BCB serta pemberian ganti rugi/pembebasan tanah kepada pemilik atau yang menguasai lahan situs. Ada empat hal yang perlu diketahui terkait kegiatan pemberian hadiah ini. Pertama, pada ayat (2) dijelaskan bahwa hadiah temuan atau imbalan jasa serta ganti rugi pembebasan tanah lahan situs yang diberikan dapat berupa sejumlah uang atau sertifikat penghargaan. Kedua, pada ayat (3) dijelaskan bahwa terhadap BCB yang telah diberi hadiah temuan/imbalan jasa kepada penemu, menjadi milik negara dan ditempatan di museum. Ketiga, pada ayat (4) commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dijelaskan juga bahwa terhadap lahan yang telah diganti rugi atau tanahnya telah dibebaskan ditetapkan sebagai situs yang dikuasai oleh negara. d. Pemindahan BCB Menurut pasal 44 ayat (1), pemindahan BCB merupakan salah satu upaya penyelamatan terhadap BCB yang mengalami ancaman atau diduga akan mengalami kerusakan atau kemusnahan akibat ulah manusia atau yang diakibatkan oleh aktifitas lingkungan alam atau sekitarnya. e. Pemintakatan Pemintakatan menurut pasal 46 ayat (1) adalah salah satu upaya perlindungan terhadap BCB dan/atau situs dengan cara menetapkan lahan peruntukan terhadap situs, yang terdiri atas mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Peruntukan masingmasing mintakat dijelaskan dalam ayat (2) seperti dibawah ini: 1) Mintakat inti, adalah lahan yang merupakan batas asli situs, lahan yang mengandung potensi BCB. Penentuan batas untuk mintakat inti didasarkan pada tiga hal. Pertama, batas asli yaitu batas asli keberadaan BCB. Kedua, batas geotopografis yaitu batas-batas yang mengikuti bentangan alam misalnya lereng, sungai, lembah, dan sebagainya. Ketiga, batas kelayakan pandang, yaitu batas dimana pengunjung dapat mengapreasikan bentuk atau nilai BCB. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
2) Mintakat Penyangga berfungsi sebagai penyangga (bumper) untuk pengaman mintakat inti dari situs dan BCB. Idealnya, pada mintakat penyangga ini lahan telah steril dari BCB. Untuk itu, dalam penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang perlu dilakukan ekskavasi dalam bentuk test pit. Selain itu, penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang dapat mengancam kelestarian situs dan BCB. 3) Mintakat pengembangan, merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pengembangan pemanfaatan serta sebagai lahan pembangunan fasilitas situs. f. Studi Nominasi Warisan Budaya Dunia Menurut pasal 47 ayat (1), kegiatan studi nominasi warisan buadaya dunia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap BCB dan/atau situs yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri, dan dengan jumlah yang sangat terbatas sehingga memiliki nilai yang bertaraf internasional. Dalam pasal (2) dijelaskan bahwa kegiatan studi nominasi dilakukan untuk menghimpun data-data penunjang guna memenuhi kriteria dan persyaratan yang tercantum dalam standard nominasi warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. 3. Pengamanan Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Budaya dan Situs, pengamanan diartikan sebagai upaya perlindungan benda cagar budaya dan situs dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau kondisi alam yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya dan situs. Pengamanan BCB diatur dalam pasal 48 ayat (1), yaitu pengamanan dilakukan dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan karena perbuatan manusia, yang antara lain berupa pencurian; pengerusakan dan pencemaran; penyelundupan keluar wilayah Indonesia; penggalian dan penyelaman liar. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa permasalahan pengamanan dan penertiban BCB pada dasarnya dapat dilihat pada dua masalah pokok, yaitu yang disebabkan oleh perbuatan yang ditimbulkan manusia dan yang disebabkan oleh faktor alam. Langkah-langkah prosedur pengamanan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 51 meliputi kegiatan-kegiatan upaya pencegahan (preventif) maupun upaya penanganan (represif), baik yang berupa data, sarana, prasarana, koordinasi, maupun lainnya semuanya meliputi kegiatan pendataan pengamanan, dengan cara menjaring informasi melalui laporan lisan maupun tertulis. Kegiatan pengamanan BCB meliputi: a. Pengawasan dan Penertiban commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk BCB bergerak, dilakukan pengawasan lalu lintas keberadaan BCB dimana menurut pasal 52 ayat (1), pengawasan lalu lintas keberadaan BCB ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi peredaran dan pemanfaatan BCB secara ilegal pada masyarakat. Sedangkan untuk BCB tidak bergerak dan situs, langkah penertibannya seperti yang dijelaskan dalam pasal 52 ayat (2), yakni berupa pengaturan pemanfaatan BCB, situs, lingkungan, kawasan, dan pengembangannya termasukdi dalamnya kegiatan pemintakatan (zooning), yaitu penentuan batas BCB dan situs sesuai peruntukannya. b. Pemasangan Poster atau Pamflet Salah satu langkah pengamanan terhadap BCB adalah dengan memasang poster/pamflet jenis BCB dimana menurut pasal 53 pemasangannya dilakukan di tempat-tempat strategis, sarana angkutan tertentu, berisi himbauan, ajakan, larangan, dan sebagainya. c. Pengamanan Lokasi BCB Dalam pasal 54, pengamana lokasi BCB dilakukan melalui: 1) Sistem jaringan informasi pengamanan agar tidak terjadi pelanggaran atau kejahatan, yaitu melalui kesadaran masyarakat (siskamtibmas swakarsa) 2) Komunikasi untuk memudahkan hubungan antara para petugas pelaksana di lapangan dengan pihak yang terkait atau yang berwenang. commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pemasangan papan informasi pengamanan yang berupa informasi tulisan untuk memberikan penerangan yang bersifat larangan, ajakan, apresiasi, pesan, dan petunjuk pada lokasi atau situs. 4) Pengadaan pos jaga bagi petugas pengamanan yang berfungsi sebagai tempat pemantauan lokasi situs. 5) Pemagaran sebagai pembatas lokasi situs 6) Pengadaan lampu penerangan untuk memantau lokasi situs pada malam hari 7) Monitoring petugas pengamanan untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh petugas pengaman pada lokasi situs baik pada malam hari maupun siang. d. Peningkatan Koordinasi Pengamanan Dalam pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa peningkatan koordinasi pengamanan dengan instansi atau pihak yang terkait dilakukan melaui kerja sama dalam pelaksanaan dan seminar-seminar dalam rangka menyamakan persepsi dan tindak pengamanan terhadap BCB. e. Penambahan Jumlah dan Kualitas Satuan Organisasi Pengaman Menurut pasal 55 ayat (2), peningkatan jumlah dan kualitas satuan organisasi pengaman berupa penambahan sumber daya manusia yang berkualitas kesamaptaan Polri (PPNS dan Satpam) yang berfungsi melakukan tugas di lapangan dan operasional untuk menghadapi kasuskasus pelanggaran dan kejahatan. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Peningkatan pengaman Pasal 55 menyebutkan bahwa pengaman BCB dan situs dapat melalui peningkatan tindakan pengamanan dalam menangani kasus-kasus yang telah terjadi, baik tindak pelanggaran maupun tindak kejahatan terhadap kelestarian BCB, bekerja sama dengan pihak Polri dan pihak yang berwenang dalam memutuskan perkara. Perlindungan
terhadap
BCB
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
melestarikannya agar tetap bisa dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia dan memperkuat jati diri bangsa. Perlindungan terhadap BCB merupakan salah satu tugas pokok dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Hal tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, dimana Balai Peninggalan Purbakala
(BP3)
perlindungan,
mempunyai
pemugaran,
tugas
dokumentasi,
melaksanakan bimbingan
dan
pemeliharaan, penyuluhan,
penyelidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs, termasuk yang berada di lapangan maupun tersimpan di ruangan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan perlindungan memerlukan beragam pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, kegiatan perlindungan juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait, bukan hanya oleh pemerintah saja. Hal ini sebagaimana terdapat pada Charter For The commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Protection and Management Of The Archeological Heritage (1990) oleh International Council on Monument and Sites (ICOMOS) sebagai berikut: “The protection of this heritage cannot be based upon the application of archaeological techniques alone. It requires a wider basis of professional and scientific knowledge and skills. Some elements of the archaeological heritage are components of architectural structures and in such cases must be protected in accordance with the criteria for the protection of such structures laid down in the 1966 Venice Charter on the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. Other elements of the archaeological heritage constitute part of the living traditions of indigenous peoples, and for such sites and monuments the participation of local cultural groups is essential for their protection and preservation. For these and other reasons the protection of the archaeological heritage must be based upon effective collaboration between professionals from many disciplines. It also requires the co-operation of government authorities, academic researchers, private or public enterprise, and the general public.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih adalah sebagai berikut: “Perlindungan terhadap heritage tidak dapat didasarkan pada penerapan teknik arkeologi saja. Ini membutuhkan dasar dari profesional dan pengetahuan ilmiah serta keterampilan yang lebih luas. Beberapa elemen dari warisan arkeologi merupakan komponen dari struktur arsitektural dan dalam kasus-kasus seperti itu harus dilindungi sesuai dengan kriteria perlindungan struktur seperti diatur dalam Piagam Venesia tahun 1966 tentang Konservasi dan Restorasi Monumen dan Situs. Elemen lain dari warisan arkeologi merupakan bagian dari tradisi hidup penduduk asli, dan untuk situs dan monumen tersebut partisipasi kelompok budaya lokal penting untuk perlindungan dan pelestarian situs dan monumen tersebut. Untuk alasan ini dan alasan-alasan lainnya, perlindungan terhadap warisan arkeologi harus didasarkan pada kolaborasi efektif antara para profesional dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini juga memerlukan kerjasama dari pemerintah yang berkuasa, peneliti akademis, perusahaan pribadi atau publik, dan masyarakat umum. Dari apa yang dituliskan di atas dapat kita ketahui bahwa BCB yang merupakan warisan arkeologi, perlindungan terhadapnya tidak dapat sematamata hanya berdasar pada kaidah ilmu arkeologi saja, tetapi juga memerlukan commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disiplin ilmu lain seperti teknik, arsitektur, geologi, dan sebagainya. Selain itu, perlindungan hendaknya melibatkan berbagai pihak terkait seperti masyarakat adat atau masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah, serta masyarakat luas. Jika pada ulasan di atas hanya melihat perlindungan dari aspek perlindungan BCB saja, Eisuke Tanaka berpandangan lain seperti tertulis di bawah ini: “However, the idea of protection does not simply mean objects considered cultural property from destruction. The notion of protection is also used to denote protecting the owner’s right to control cultural property. What is often at stake in cultural property debates (e.g. disputes over repatriation) is where and by whom such objects should be protected, and who can decide where such objects are protected and displayed. This provokes rivalry between different claimants for the ownership of cultural property at international, national and local levels” Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: “Namun, gagasan perlindungan tidak hanya berarti menjaga benda dianggap harta budaya dari kehancuran. Gagasan perlindungan ini juga digunakan untuk menunjukkan melindungi hak pemilik untuk mengontrol kekayaan budaya. Apa yang sering dipertaruhkan dalam perdebatan properti budaya (sengketa misalnya lebih dari repatriasi) adalah dimana dan oleh siapa objek tersebut harus dilindungi, dan siapa yang bisa menentukan dimana benda tersebut dilindungi dan ditampilkan. Hal ini menimbulkan persaingan antara pengadu yang berbeda untuk kepemilikan budaya properti di tingkat internasional, nasional, dan lokal” C. Candi Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dua hal. Pertama, sekilas tentang candi yang mencakup pengertian candi, struktur bangunan, tujuan pembuatan, dan langgam candi. Kedua, candi sebagai BCB yang mencakup pengertian BCB, kewajiban terhadap BCB, dan larangan terhadap BCB. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Sekilas Tentang Candi Indonesia pantas mendapat julukan ”Negeri Seribu Candi” karena banyak candi yang bertebaran di Indonesia, yaitu dengan pusatnya di Pulau Jawa (www.hurahura.wordpress.com). Definisi tentang candi disampaikan oleh Soekmono (1996) dalam www.wikipedia.com yakni sebagai berikut: "Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan." Rusdi (2010:18) menjelaskan bahwa kata ‘candi’ biasanya mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi suatu bangunan. Fungsi bengunan yang dimaksud antara lain adalah sebagai tempat ibadah, pusat pengajaran agama, tempat penyimpanan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayamnya para dewa, petirtaan (pemandian), dan gapura. Walaupun fungsi dari bangunan candi cukup beragam, namun secara umum fungsi-fungsi itu tidak terlepas dari kegiatan keagamaan, khususnya untuk agama Hindu dan Budha. Menurut www.wikipedia.com, struktur bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian yaitu: a. Kaki candi: bagian dasar Sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20) b. Tubuh candi: terdapat kamar–kamar tempat arca atau patung commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Atap candi: berbentuk limasan, bermahkota stupa, lingga, ratna atau wajra Menurut sumber yang sama, apabila dilihat dari tujuan pembuatannya, candi terbagi menjadi tiga macam yaitu: a. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Plaosan (Jawa Tengah) b. Candi Wanua/Watak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahandi (Tulung Agung, Jawa Timur), Candi Gebang (Yogya), Candi Pringapus (Temanggung, Jawa Tengah). c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,raja Singhasari),
Candi
Jajaghu
(Pendharmaan
Wisnuwardhana,raja
Singhasari), Candi Ngrimbi (pendharmaan Tribuanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk),Candi Tegawangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker). Masih
menurut
sumber
yang
sama,
dijelaskan
juga
bahwa
pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selatan. Dalam kitab Manasara tidak hanya berisi patokan-patokan membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota/desa, dan lain-lain. Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai (terutama di dekat pertemuan 2 buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah,dsb. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Opak dan sungai Progo. Bila kita berbicara masalah candi di Jawa, tentunya tidak lepas dari pembahasan mengenai kapan dan oleh siapa candi itu dibuat. Menurut Rusdi (2010:13-14), pada awal abad ke-8 telah berdiri kerajaan besar yang bernama Mataram Kuno, yang berpusat di Jawa Tengah. Kemudian, pada abad ke-10 pusat kerajaan ini berpindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno pernah diperintah oleh dua wangsa (dinasti), yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama Budha. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rusdi (2010:23-24) menambahkan bahwa candi-candi yang terletak Jawa Tengah wilayah utara, umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, dimana candi-candi tersebut adalah candi Hindu. Candi-candi ini biasanya bentuk bangunannya lebih sederhana. Selain itu umumnya candi ini dibangun dalam satu kelompok dengan pola yang sama dimana candi induk terletak di tengah dikelilingi oleh candi Perwara (pendamping). Sedangkan untuk candi-candi yang berada di wilayah Jawa Tengah Selatan, umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra dan candi-candi tersebut adalah candi Budha. Umumnya, candi-candi ini bangunannya megah dan sarat dengan hiasan. Lain lagi dengan candi yang berada di Jawa Timur yang umumnya memiliki usia yang lebih muda dibanding dengan candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta.Hal ini karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintah kerajaan-kerajaan penerus Mataram Kuno, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, Majapahit. Selain itu bangunan candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada candi tersebut dibangun pada pemerintahan kerajaan apa. Sebagai contoh, candi yang dibuat pada masa kerajaan Singasari dibuat dari bahan batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (HinduBuddha). Sedangkan candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bahan bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
Soetarno (2007:6) menyebutkan ciri-ciri Candi Langgam Jawa Tengah sebagai berikut: a. Bentuk bangunannya tambun b. Atapnya nyata berundak-undak c. Puncaknya berbentuk ratna atau stupa d. Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara e. Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis f. Letak candi di tengah halaman g. Kebanyakan menghadap ke timur h. Kebanyakan terbuat dari batu andesit Sedangkan untuk ciri-ciri candi langgam Jawa Timur, Soetarno (2007:122) menjelaskan seperti di bawah ini: a. Bentuk bangunan ramping b. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan c. Puncaknya berbentuk kubus d. Makara tidak ada, dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala e. Letak candi di bagian belakang halaman f. Kebanyakan menghadap ke barat g. Kebanyakan terbuat dari bata Masih berkaitan dengan langgam candi, Soekmono (1973) dalam www.wikipedia.com menjelaskan bahwa berdasarkan langgam seni atau gaya arsitekturnya, candi di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua yaitu commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Sedangkan untuk candicandi yang berada di Bali, Kalimantan, dan Sumatra dikategorikan menganut langgam Jawa Timur. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel II.2 di bawah ini: Tabel II.2 Langgam Candi di Indonesia Bagian dari Candi Bentuk Bangunan
Langgam Jawa Tengah Cenderung tambun
Langgam Jawa Timur Cenderung
tinggi
dan
ramping Atap
Jelas
menunjukkan Atapnya
merupakan
undakan, terdiri atas tiga kesatuan
tingkatan.
tingkatan
Undakan-undakan yang
sangat
kecil banyak
membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Kemuncak
Stupa
(candi
Buddha), Kubus
(candi
Hindu),
Ratna atau Vajra (candi terkadang Dagoba yang Hindu)
berbentuk tabung (candi Buddha)
Gawang pintu dan hiasan Gaya relung
Kala-Makara; Hanya
kepala Kala dengan mulut tengah
kepala
Kala
menyeringai
menganga tanpa rahang lengkap dengan rahang bawah terletak di atas bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan pintu, Makara tidak ada Makara ganda di masingmasing sisi pintu Relief
Ukiran lebih tinggi dan Ukiran
lebih
rendah
menonjol dengan gambar (tipis) commit to user
dan
kurang
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bergaya naturalis
menonjol,
gambar
bergaya seperti wayang Bali Tata letak dan lokasi Mandala candi utama
konsentris, Linear,
asimetris,
simetris, formal; dengan mengikuti
topografi
candi utama terletak tepat (penampang ketinggian) di
tengah
kompleks
halaman lokasi; candi, utama
dengan
candi
terletak
di
dikelilingi jajaran candi- belakang, paling jauh dari candi perwara yang lebih pintu
masuk,
kecil dalam barisan yang seringkali rapi
terletak
dan di
tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama
Arah hadap bangunan
Bahan bangunan
Kebanyakan menghadap Kebanyakan menghadap ke timur
ke barat
Kebanyakan batu andesit
Kebanyakan
batu
merah Sumber: www.wikipedia.com Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa antara langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur memiliki perbedaan pada bagian-bagian candi yang dapat kita lihat dengan jelas. Untuk langgam Jawa Tengah sendiri sebenarnya masih dikelompokkan lagi menjadi langgam Jawa Tengah Utara dan langgam Jawa Tengah selatan. Pada langgam Jawa Tengah Utara, ukiran candi lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit. Candi commit to user yang termasuk pada langgam Jawa Tengah Utara ini contohnya adalah
bata
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
candi Gunung Wukir, candi Badut, kompleks candi Gedong Songo dan kompleks candi Dieng. Sedangkan langgam Jawa Tengah Selatan, ukirannya lebih banyak dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur. Candi yang termasuk dalam langgam Jawa Tengah Selatan ini contohnya adalah candi Borobudur, candi Mendut, candi Plaosan dan candi Sewu. Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah. 2. Candi sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) Candi merupakan salah satu jenis benda cagar budaya. Oleh karena itu, selain memahami tentang candi kita juga harus mengetahui beberapa hal terkait BCB, yaitu tentang pengertian BCB, kewajiban dan larangan terhadapnya. Hal itu penting karena hal-hal yang merupakan kewajiban terhadap BCB maupun larangan terhadapnya akan berlaku pula pada sebuah candi. Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa benda cagar budaya adalah: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dari pengertian di atas, dapat kita ketahui dua hal: pertama, bahwa BCB ternyata bukan hanya benda buatan manusia saja, tetapi bisa juga benda alam yang memang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan. Kedua, BCB dapat digolongkan menjadi BCB bergerak dan BCB tidak bergerak. BCB bergerak maksudnya adalah BCB yang mudah dipindahkan atau dibawa, contohnya keris, arca, kitab kuno. Sedangkan BCB tidak bergerak adalah BCB yang tidak mudah dipindahkan apalagi dibawa, contohnya candi, benteng, goa. Benda cagar budaya (BCB) secara umum disebut dengan warisan arkeologi. ICOMOS mendefinisikan warisan arkeologi sebagai berkut: “The "archaeological heritage" is that part of the material heritage in respect of which archaeological methods provide primary information. It comprises all vestiges of human existence and consists of places relating to all manifestations of human activity, abandoned structures, and remains of all kinds (including subterranean and underwater sites), together with all the portable cultural material associated with them.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang commit to user lebih adalah sebagai berikut:
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Warisan arkeologi adalah bagian dari warisan/peninggalan arkeologi yang dari metode arkeologi menghasilkan informasi primer. Ini terdiri dari semua sisa keberadaan manusia dan terdiri dari tempat-tempat yang berkaitan dengan semua manifestasi dari aktivitas manusia, struktur yang ditinggalkan, dan sisa-sisa segala jenis (termasuk situs di bawah tanah dan bawah air), berikut dengan semua material budaya yang portabe/mudah dibawa yang terkait dengan mereka.” Melihat nilai penting BCB, jumlahnya yang terbatas, sifatnya yang tidak dapat diperbarui dan digantikan, dan tingkat kerawanan yang tinggi, maka dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang BCB diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan BCB, salah satunya adalah tentang kewajiban dan larangan terhadap BCB. Kewajiban yang harus dilakukan seseorang terhadap BCB adalah sebagai berikut ini: a. Kewajiban melapor Kewajiban melapor ini berlaku bagi setiap orang yang: pertama, menemukan atau mengetahui ditemukannya BCB atau benda yang diduga BCB (pasal 10 ayat (1)). Kedua, BCB yang dikuasai/dimiliki hilang atau rusak (pasal 9). b. Kewajiban mendaftarkan BCB, meliputi: pertama, pendaftaran BCB yang dimiliki/dikuasainya. Kedua, pengalihan hak dan pemindahan BCB (pasal 8 ayat (1)). c. Kewajiban melindungi dan memelihara BCB Sedangkan larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap BCB adalah seperti di bawah ini: commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Larangan Mutlak Larangan mutlak adalah larangan yang tidak boleh dilanggar apapun kondisinya. Larangan mulak terhadap BCB ada pada pasal 15 ayat (1) UU Benda Cagar Budaya, dimana setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Kegiatan yang dinilai dapat merusak BCB adalah seperti kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari BCB. Sedangkan kegiatan yang dinilai dapat merusak situs adalah seperti kegiatan mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs. b. Larangan Bersyarat Larangan
bersyarat
adalah
larangan
yang
berubah
menjadi
diperbolehkan apabila ada izin dari pemerintah. Larangan tersebut tertulis pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya antara lain: 1) Mencari BCB, benda yang diduga sebagai BCB, benda berharga yang
tidak
diketahui
pemiliknya
dengan
cara
penggalian,
penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah. Izin pencarian hanya diberikan untuk kepentingan
penelitian,
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
penyelamatan dan/atau pelestarian BCB (Pasal 12). 2) Membawa BCB ke luar wilayah Indonesia (pasal 15 ayat (2a)). Seseorang hanya dapat melakukannya apabila telah mendapat izin commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari menteri. Izin ini hanya diberikan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sosial/budaya. 3) Memindahkan BCB dari daerah satu ke daerah yang lain (pasal 15 ayat (2b)). Pemindahan diizinkan kalau tidak menghilangkan ataupun mengurangi nilai sejarah dan fungsi pemanfaatannya. 4) Mengambil atau memindahkan BCB, baik sebagian maupun seluruhnya kecuali untuk penyelamatan dalam keadaan darurat (pasal 15 ayat (2c)). 5) Mengubah bentuk dan/atau warna BCB serta memugarnya (pasal 15 ayat (2d)). 6) Memisahkan sebagian BCB dari kesatuannya (pasal 15 ayat (2e)). 7) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan BCB (pasal 15 ayat (2f)). Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat memiliki izin usaha perdagangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, pedagang juga harus melaporkan secara berkala BCB tertentu yang diperjualbelikan. 8) Memanfaatkan BCB dengan cara penggandaan (pasal 23 ayat (23)) D. Kinerja BP3 Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah Dari penjelasan di atas, kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah adalah hasil kerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan terhadap candi-candi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
berada di wilayah kerjanya dengan tujuan untuk mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan candi di wilayah Jawa Tengah. E. Kerangka Berpikir Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, benda cagar budaya dan situs perlu untuk dilindungi. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Candi merupakan salah satu jenis BCB tidak bergerak yang menyimpan banyak nilai penting. Kita dapat belajar banyak hal dari candi, misalnya arsitektur, bangunan, seni, nilai-nilai luhur serta filosofi kehidupan. Sampai sekarang, keberadaan candi masih terancam oleh kerusakan baik itu karena alam maupun karena manusia. Dengan dilakukannya perlindungan pada candi, ancaman kerusakan pada candi dapat diminimalisir sehingga candi dapat diambil manfaatnya sampai masa yang akan datang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja Propinsi Jawa Tengah yang secara langsung bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Salah satu tugas dari BP3 Jawa commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tengah adalah melakukan perlindungan terhadap BCB dan situs yang berada di seluruh wilayah Jawa Tengah, dalam hal ini termasuk melindungi candi juga. Kegiatan Perlindungan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah meliputi kegiatan pengamanan dan penyelamatan. Pencapaian hasil kerja (kinerja) yang baik dalam hal perlindungan akan mendukung kelestarian candi sehingga akan bisa terus dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pengembangan sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, upacara keagamaan, acara pertunjukan, dan pariwisata. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam kegiatan perlindungan ini akan dinilai berdasarkan indikator produktivitas, responsivitas, dan akuntabilitas, serta melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut. Dengan dilakukan penilaian terhadap kinerja, akan diketahui sejauh mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi yang berada di Jawa Tengah, apakah telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan atau belum. Selain itu, dapat diketahui juga faktor apa saja yang mendukung serta faktor apa saja yang menghambat BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan. Model kerangka berfikir dalam penelitian ini digambarkan seperti gambar II.1 di bawah ini:
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar II.1 Model Kerangka Berpikir “Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan candi di Jawa Tengah” Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candicandi di Jawa Tengah · Produktivitas · Responsivitas · Akuntabilitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi · faktor internal · faktor eksternal
commit to user
Terwujudnya pelestarian dan pemanfaatan candicandi di Jawa Tengah
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian menurut Sugiyono (2006:1) merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel, validitas data, dan analisis data. A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah diskriptif kualitatif. Menurut Susanto (2006:16), penelitian
diskripif
merupakan
jenis
penelitian
yang
berusaha
menggambarkan secara terperinci terhadap gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam permasalahan yang diteliti, sehingga hanya merupakan penyingkapan fakta. Menurut Sutopo (2002:48) penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan analisis
kualitatifnya.
Dengan
kata
lain
penelitian
kualitatif
lebih
mementingkan makna, tidak ditentukan oleh kuantitasnya, tetapi lebih ditentukan oleh proses terjadinya jumlah (dalalm bentuk angka) dan cara memandang atau perspektifnya. Pada penelitian ini akan dilakukan pencarian data yang berupa kata-kata dalam susunan kalimat atau gambar yang berlanjut pada analisis data untuk memberikan gambaran yang senyatanya tentang permasalahan yang ada. to user Dalam penelitian ini penuliscommit berupaya menggambarkan bagaimana kinerja
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah melalui data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari pada sekedar angka. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di BP3 Jawa Tengah yang beralamat di Jl. Manisrenggo Km.1, Prambanan, Klaten, dengan fokus penelitian pada perlindungan candi-candi. Pertimbangan yang mendasari peneliti mengambil lokasi penelitian tersebut adalah karena: 1. BP3 Jawa tengah merupakan instansi pemerintah yang berwenang dan bertanggungjawab dalam hal perlindungan candi-candi di wilayah Jawa Tengah. 2. Di Jawa Tengah banyak ditemukan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram Kuno, dan kemungkinan masih ada candi-candi yang masih terkubur dalam tanah. C. Sumber Data Sumber data memegang peranan sangat penting dalam sebuah penelitian. Semenarik apapun suatu permasalahan apabila sumber datanya tidak tersedia, maka tetap saja masalah tersebut tidak bisa diteliti. Dalam Sutopo (2002:49) disebutkan bahwa ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh.
commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber data primer Menurut Sugiyono (2006:156), sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Yang termasuk sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Dalam wawancara, pihak yang akan diwawancarai adalah: a. Kepala Pokja Perlindungan BP3 Jawa Tengah b. Kasubpokja Pengamanan BP3 Jawa Tengah c. Kasubpokja Penyelamatan Bp3 Jawa Tengah d. Satpam dan Juru Pelihara candi e. Masyarakat 2. Sumber data sekunder Menururt Sugiyono (2006:156), sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Yang termasuk sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen yang berbentuk buku, data statistik, peraturan perundangan, dan laporan kegiatan. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memeroleh data atau informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Wawancara Menurut Moleong (2009:186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur. Sugiyono (2002:160) menjelaskan bahwa wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Penulis memilih menggunakan wawancara tidak terstruktur karena dengan teknik ini akan didapat informasi yang lebih mendalam. Dalam wawancara, penulis belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu, peneliti lebih banyak mendengarkan dan menganalisis jawaban dari responden tersebut baru kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada satu tujuan. 2. Observasi Menurut Sutopo (2006:64), teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda, serta rekaman gambar. Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan pendengaran secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Dalam commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi berperan pasif, dimana teknik tersebut dapat dilakukan secara formal maupun informal. 3. Dokumentasi Menurut
Susanto
(2006:136),
teknik
pengumpulan
data
dengan
dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumendokumen. Keuntungan menggunakan dokumentasi ialah biayanya relatif murah, waktu dan tenaga lebih efisien. Sedangkan kelemahannya ialah data yang diambil dari dokumen cenderung sudah lama dan kadang salah cetak, meka peneliti ikut salah pula mengambil datanya. E. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Menurut Sutopo (2002:56), dalam purposive sampling peneliti memiliki kecenderungan untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Jadi dalam penelitian ini sampel diarahkan pada informan yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Sedangkan snowball sampling menurut Susanto (2006:121) adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Jadi penarikan sampel dilakukan melalui beberapa tahap, ibarat bola salju yang bila menggelinding, makin lama makin besar.
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Validitas Data Menurut
Sutopo
(2002:77-78),
data
yang
telah
berhasil
digali,
dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Ketepatan data tersebut tidak hanya tergantung dari ketepatan memilih sumber data dan teknik pengumpulannya, tetapi juga diperlukan teknik pengembangan validitas datanya. Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Trianggulasi menurut Sutopo (2002:78) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan bagi peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, pengembangan validitas dilakukan melalui teknik trianggulasi data (trianggulasi sumber). Dalam Sutopo (2002:79), trianggulasi data atau sumber memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Patton dalam Moleong (2009:330) mengatakan bahwa triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dari lima langkah di atas, langkah yang diterapkan dalam triangulasi data pada penelitian ini adalah langkah nomor 1, 4, dan 5. G. Analisis Data Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis data model interaktif. Miles dan Huberman dalam Sutopo (2002:91) berpendapat bahwa tiga komponen utama dalam proses analisis data adalah: 1. Reduksi data Sotopo (2002:91) menyebutkan bahwa reduksi data sebagai komponen pertama
dalam
analisis
yang
merupakan
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Reduksi data merupakan bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan. 2. Sajian data Menurut Sutopo (2002:92), sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Selain dalam bentuk narasi, Sutopo (2002:92commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
93) suga menambahkan bahwa sajian data juga dapat berbentuk matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, juga tabel sebagai pendukung narasinya. Semua itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuk yang lebih kompak. 3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi Sutopo (2002:93) menjelaskan bahwa dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataanpernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Simpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Masih menurut sumber yang sama, disebutkan pula bahwa simpulan perlu diverifikasi agar bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran, data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat pikiran kedua yang timbul melintas pada peneliti pada waktu menulis sajian data dengan melihat kembali sebentar pada catatan lapangan. Pada model analisis interaktif, Sutopo (2002:96) menyatakan bahwa reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data. Untuk lebih jelasnya, proses analisis data dengan model interaktif ini dapat dilihat pada gambar III.1 sebagai berikut : Gambar III.1 Model Analisis Interaktif
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/ verifikasi Sumber: Sutopo (2002:96)
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum BP3 Jawa Tengah 1. Sejarah BP3 Jawa Tengah Balai
Pelestarian
Peninggalan
Purbakala
(BP3)
Jawa
Tengah
merupakan salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT) dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sejarah terbentuknya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) bermula dari didirikannya Lembaga Kebudayaan pertama di Indonesia pada tahun 1878 oleh kaum terpelajar di Jakarta yang waktu itu diberi nama “Bataviaash Genootschap van kunsten en wetenchapen”. Mulai tahun 1882 kegiatan kepurbakalaan ditangani oleh
“Comisie tot
het
Opsporen
Verzamelen
en
Bewaen
van
Oudheidkundigde Voorwerpen” dimana pada waktu itu mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang penelitian, observasi, penggambaran, ekskavasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, dan pemugaran bangunan kuno di Indonesia. Pada Tahun 1885, muncul lembaga swasta bernama “Archeologische Vereeniging” yang dipimpin oleh Ir. J. Wijzerman dan lembaga ini menjalankan tugasnya hingga tahun 1902. Setelah itu muncul lembaga baru lagi yang bernama ”Commisise in Nederlandsch-Indie voor commit to user Oudheidkundige Onderzoenk op Java en Madoera” yang mana lembaga ini
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diketuai oleh Dr. J.LA. Brandes dan bertugas menangani benda-benda purbakala di wilayah Jawa dan Madura. Pada tahun 1913, komisi ini berganti nama menjadi “Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” dan dipimpin oleh N.J Krom sampai dengan tahun 1926, kemudian digantikan oleh F.D.K Bosch. Memasuki tahun 1913, komisi ini mengeluarkan undang-undang tentang penanganan peninggalan purbakala yaitu “Monumenten Ordonatie Staatsblad” No.238 tahun 1931. Dengan adanya undang-undang tersebut maka pengawasan dan perlindungan terhadap peninggalan purbakala mempunyai kepastian hukum. Nama Oudheidkundigde Dienst berubah menjadi Jawatan Perbakala pada tahun 1936, dan dipimpin oleh Dr. W. F. Stutterheim.
Beberapa
bidang
baru
juga
dikembangkan,
seperti
keramologi, sejarah kesenian, dan arkeologi kimia. Pada tanggal 18 Maret 1942, Jepang mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari Belanda dan sejak itu pula Kantor Jawatan Purbakala diambil alik oleh Jepang dan berubah namanya menjadi Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala. Pada Juli 1947, Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala kembali diambil alih oleh Belanda dan dipimpin oleh Prof. Dr. A. J Bernet Kempers. Pada tahun 1951, nama kantor tersebut berubah menjadi Dinas Purbakala yang untuk pertamakalinya dipimpin oleh putra bangsa bernama Drs. Soekmono, kemudian berubah lagi menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Memasuki tahun 1975, LPPN dipecah menjadi dua instansi yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (pus. P3N) dan Direktorat Sejarah
dan
Purbakala
(DSP).
DSP
dipimpin
oleh
Dra.
Uka
Tjandrasasmita dan bertugas melakukan perlindungan benda-benda peninggalan Sejarah dan Purbakala. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 200/O/1978, maka tugas dan fungsi kantor cabang diubah menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala sebagai Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
yang
bertanggungjawab
kepada
Direktur
Jenderal
Kebudayaan. Setelah sekian lama menggunakan undang-undang yang merupakan produk warisan belanda, akhirnya diberlakukanlah Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan PP No.10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU RI No.5 th.1992. Keduanya ini menggantikan Monumenten Ordonatie Staatsblad No. 238 tahun 1931. Berdasarkan SK Kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata No. KEP-06/BP Budpar/2002, nama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala diganti dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Meskipun lembaga purbakala telah berulang kali berganti nama, akan tetapi lingkup kerjanya tetap sama yaitu bidang kepurbakalaan. Sampai sekarang ini jumlah BP3 di Indonesia ada 8 buah yang salah satunya berada di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Jl. Manisrenggo Km.1 Prambanan, 57454. commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Visi dan Misi BP3 Jawa Tengah yang merupakan pengampu pelestarian dan pemanfaatan BCB di Jawa Tengah mempunyai visi sebagai berikut: “Terwujudnya Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Purbakala di Wilayah Jawa Tengah” Untuk mewujudkan visi di atas, maka dirumuskan misi BP3 Jawa Tengah tahun 2005-2009 sebagai berikut: a. Meningkatkan pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala b. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pemahaman sejarah dan purbakala c. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam
pelestarian
dan
pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala 3. Susunan Organisasi dan Uraian Tugas BP3 Jawa Tengah Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, maka susunan organisasi BP3 Jawa Tengah terdiri sebagai berikut: a. Kepala BP3 Jawa Tengah Dalam pelaksanaan tugasnya, dibantu oleh sub bagian tat usaha dan seksi pelestarian dan pemanfaatan. b. Sub-bagian Tata Usaha Sub Bagian Tata Usaha berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala. Tugas dari Sub Bagian Tata Usaha yaitu: commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Melakukan pengaturan urusan keuangan; 2) Melakukan pengaturan urusan kepegawaian; 3) Melakukan pengaturan urusan perlengkapan; 4) Melakukan pengaturan urusan tata usaha dan rumah tangga balai pelestarian. Dalam melaksanakan tugasnya, Sub Bagian Tata Usaha membawahi 2 (dua) penanggung jawab, yaitu penanggung jawab administrasi dan penanggung jawab keuangan/ perlengkapan/rumah tangga. Setiap penanggung jawab membawahi sub urusan. Penanggung jawab administrasi membawahi urusan kepegawaian, urusan tata warkat, dan urusan pelaporan/humas; penanggung jawab keuangan/ perlengkapan/ rumah tangga membawahi urusan keuangan, dan perlengkapan/ logistik dan rumah tangga. Dalam menjalankan tugasnya, Sub Bagian Tata Usaha memiliki fungsi: 1) Penyelengaraan pengelolaan administrasi umum untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. 2) Koordinasi kegiatan administrasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
c. Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala. Tugas dari Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan yaitu: 1) Melakukan dokumentasi peninggalan benda purbakala; 2) Melakukan perlindungan peninggalan benda purbakala; 3) Melakukan pemugaran peninggalan benda purbakala; 4) Melakukan konservasi peninggalan benda purbakala; 5) Melakukan penyidikan peninggalan benda purbakala Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan menyelanggarakan fungsi: 1) Penyelengaraan pengelolaan kegiatan teknis pelestarian dan pemafaatan peninggalan benda purbakala sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. 2) Koordinasi kegiatan teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan dibantu oleh 5 Kelompok Kerja dan 2 Unit. Setiap kelompok kerja dipimpin oleh seorang Kepala Kelompok Kerja yang dibantu oleh Kepala Sub Kelompok dan staff, sementara untuk setiap Unit dipimpin oleh seorang Kepala Unit yang dibantu oleh Kepala Sub Unit dan staff. Kelompok Kerja tersebut terdiri dari: commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Kelompok Kerja Perlindungan Kelompok Kerja Perlindungan mempunyai tugas antara lain: a) Merencanakan kegiatan perlindungan cagar budaya di Jawa Tengah. b) Bertanggungjawab terhadap kegiatan perlindungan BCB di Jawa Tengah meliputi ekskavasi atau penyelamatan, pengamanan. c) Bertanggungjawab
terhadap
karyawan
pada
kelompok
perlindungan. d) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan perlindungan. e) Membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan perlindungan. f) Bekerjasama dengan kelompok lain di lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. g) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Untuk
melaksanakan
tugas-tugas
tersebut,
Kelompok
Kerja
Perlindungan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja pengamanan, Sub Kelompok Kerja penyelamatan, dan Sub Kelompok Kerja Bawah Air. a) Sub Kelompok Kerja Pengamanan Sub Kelompok Kerja Pengamanan memiliti tugas antara lain: · Membuat rencana kegiatan pengamanan. · Melaksanakan purbakala.
pengadaan rumah commit to user
jaga
pada
situs-situs
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
· Melaksanakan pemasangan papan pengumuman pada situs yang
berisi
larangan,
ajakan,
apresiasi,
petunjuk
dan
keterangan. · Melaksanakan pendataan dan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran peraturan perundangan yang ada. · Pembentukan dan mengatur satpam Penjarpala yang bertugas untuk mengamankan situs purbakala dari gangguan atau perbuatan manusia, sesuai dengan kewenangannya. · Pembentukan PPNS. · Melaksanakan koordinasi perlindungan dan pengamanan BCB antar instansi terkait. · Menangani tindakan terhadap pelaporan tentang terjadinya pencurian BCB. · Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan · Bertanggung jawab kepada Kapokja Perlindungan. b) Sub Kelompok Kerja Penyelamatan Sub Kelompok Kerja Penyelamatan memiliki tugas antara lain: · Membuat rencana kegiatan penyelamatan. · Melaksanakan ekskavasi penyelamatan terhadap situs cagar budaya yang terancam bahaya.
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
· Melaksanakan pemindahan BCB dari tempat yang dianggap rawan, yang diperkirakan akan mengalami ancaman kerusakan atau kemusnahan. · Memberi ganti rugi atau hadiah temuan/pembelian BCB yang perlu dimiliki negara. · Melaksanakan
penyelamatan
terhadap
situs
tempat
ditemukannnya BCB. · Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan. · Bertanggungjawab kepada Kapokja Perlindungan. c) Sub Kelompok Kerja Bawah Air Sub Kelompok Kerja Bawah Air memiliki tugas antara lain: · Membuat rencana kegiatan pengamanan, pelestarian, dan penelitian peninggalan arkeologi yang berada di bawah air · Pengendalian temuan BCB di bawah air atau situs kapal karam · Menyusun, merencanakan, dan melaksanakan program kerja Subpokja bawah air · Membuat laporan pertanggungjwaban kegiatan · Bertanggung jawab kepada Kapokja Perlindungan 2) Kelompok Kerja Pemugaran Kelompok Kerja Pemugaran memiliki tugas antara lain:
commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Mengawasi/mengarahkan
dan
koordinasi
tugas
Kasubpok
Pemugaran. Penggambaran dan perencanaan pengukuran serta koordinator Administrasi. b) Koordinasi program dengan kelompok lain. c) Evaluasi hasil kegiatan d) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah Untuk
melaksanakan
tugas-tugas
tersebut,
Kelompok
Kerja
Pemugaran dibantu oleh Sub Kelompok Kerja Pemugaran dan Sub Kelompok Kerja Perencanaan. 3) Kelompok Kerja Pemeliharaan Kelompok Kerja Pemeliharaan memiliki tugas: a) Merencanakan kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya di Jawa Tengah. b) Bertanggung jawab terhadap kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya di Jawa Tengah, meliputi perawatan dan konservasi. c) Bertanggung Jawab terhadap karyawan pada Kelompok Kerja Pemeliharaan. d) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pemeliharaan. e) Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan pemeliharaan. f) Bekerja sama dengan kelompok kerja lain di Lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g) Bertanggung jawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Untuk
melaksanakan
tugas-tugas
tersebut,
Kelompok
Kerja
Pemeliharaan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja Perawatan dan Sub Kelompok Kerja Konservasi. 4) Kelompok Kerja Registrasi dan Penetapan Kelompok Kerja Registrasi dan Penetapan memiliki tugas yaitu: a) Mengawasi/mengarahkan dan koordinasi tugas
koordinator
Registrasi dan Penetapan. b) Koordinasi program dengan kelompok lain. c) Melaporkan hasil kegiatan kepada kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan. d) Evaluasi hasil kegiatan. Untuk
melaksanakan
tugas-tugas
tersebut,
Kelompok
Kerja
Registrasi dan Penetapan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja Registrasi dan Sub Kelompok Kerja Penetapan. 5) Kelompok Kerja Pemanfaatan. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Kelompok Kerja pemanfaatan dibantu oleh: a) Sub Kelompok Kerja Koleksi, memiliki tugas: · Pengelolaan Koleksi BCB · Pelestarian Koleksi BCB · Penyebaran Informasi commit Koleksi to user BCB
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
· Koleksi Buku Perpustakaan b) Sub Kelompok Kerja Publikasi, memilki tugas: · Penyebaran informasi pelestarian BCB · Apresiasi Budaya lewat media elektronika (televisi dan radio) · Apresiasi Budaya lewat media cetak · Penulisan artikel untuk Website · Kliping Berita Koran Selain lima program di atas, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan juga dibantu oleh dua unit yaitu: 1) Unit Sewu Unit Sewu dipimpin oleh Ketua Unit yang memiliki tugas sebagai berikut: a) Mengawasi /mengarahkan tugas sub unit Pemugaran dan sub unit Pemeliharaan. b) Menyusun program kerja tahunan Unit Candi Sewu. c) Koordinasi program kerja dengan program lain. d) Melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaan kepada kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan. e) Membina tenaga lapangan pemugaran maupun juru pelihara. f) Evaluasi hasil kegiatan Unit Candi Sewu. g) Bertanggung jawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unit Sewu terdiri dari Sub Unit Pemugaran dan Sub Unit Pemeliharaan. 2) Unit Museum Prasejarah Sangiran Unit Museum Prasejarah Sangiran dipimpin oleh Ketua Unit yang memiliki tugas sebagai berikut: a) Pengamanan, penyelamatan, penertiban, perawatan, pengawetan, analisis,
penyajian,
bimbingan/edukasi,
dokumentasi,
dan
publikasi benda-benda purbakala baik yang bergerak maupun tidak bergerak yang berada di Situs Manusia Purba Sangiran. b) Menyusun program kerja tahunan Unit Museum Prasejarah Sangiran. c) Koordinasi program kerja dengan kelompok kerja lain. d) Melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaan kepada kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan. e) Membina tenaga teknis museum dan tenaga konservasi. f) Evaluasi hasil kegiatan Unit Museum Prasejarah Sangiran. g) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Sedangkan struktur organisasi dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini:
commit to user
75
Gambar IV.1 Struktur Organisasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Keadaan Pegawai BP3 Jawa Tengah Untuk menjalankan tugasnya, BP3 Jawa Tengah didukung oleh sumber daya manusia atau pegawai yang jumlah keseluruhannya berjumlah 499 orang, terdiri dari 408 PNS, 35 CPNS, dan 56 honor lepas. Dari jumlah keseluruhan pegawai sebanyak 499 orang, sebanyak 436 memiliki tingkat pendidikan yang beragam, mulai dari lulusan S2, D.IV/S.1, D.III, SLTA, SLTP, dan SD. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel IV.1 di bawah ini: Tabel IV.1 Data Jumlah Pegawai BP3 Jawa Tengah Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan S2 D.IV/S.1 D.III SLTA SLTP SD Jumlah Sumber: BP3 Jawa Tengah
Jumlah 2 28 3 182 159 62 436
Prosentase 0,5% 6,4% 0,7% 41,7% 36,5% 14,2% 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal para pegawai BP3 Jawa Tengah paling banyak adalah SMA, kemudian SLTP lalu disusul oleh SD. Sangat sedikit yang menempuh jenjang pendidikan di atas dari SMA. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pegawai BP3 Jawa Tengah adalah pegawai teknis lapangan yang bertugas daerahdaerah.
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pegawai teknis lapangan tersebut diantaranya adalah satpam sejumlah 99 orang, juru pelihara sejumlah 214 orang, penyetel batu candi, pekerja pemugaran dan lain sebagainya. Dari jumlah satpam dan juru pelihara saja sudah mencapai 313 orang, belum lagi jumlah pekerja lain seperti penyetel batu candi dan pemugaran. Menurut penulis, pekerjaan di atas tidak menuntut seseorang untuk memiliki jenjang pendidikan tinggi agar dapat bekerja pada bidang tersebut. Lain halnya dengan pekerjaan lain seperti arkeolog ataupun arsitek yang menuntut seseorang memiliki jenjang pendidikan tinggi di bidangnya agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut. Sedangkan untuk pegawai PNS dan CPNS yang jumlahnya 443, terdiri dari berbagai golongan mulai golongan I, II, III, dan IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel IV.2 di bawah ini: Tabel IV.2 Data Jumlah Pegawai BP3 Jawa Tengah Berdasarkan Golongan No
Golongan
A 1. I 23 2. II 151 3. III 20 4. IV 2 Jumlah Sumber: BP3 Jawa Tengah
Keterangan B C 0 70 27 71 35 4 1 0
D 0 30 9 0
Jumlah 93 279 68 3 443
Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa pegawai yang bekerja di BP3 Jawa Tengah paling banyak memiliki golongan II yaitu sebanyak 279 commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang. Sedangkan yang paing sedikit adalah golongan IV, yaitu sebanyak 3 orang. B. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah Penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa, ataupun proses, berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja organisasi publik maka dapat diketahui masalah-masalah apa saja yang dihadapi dalam pelaksanakan pelayanan pada masyarakat sehingga langkah perbaikan dapat dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Pada bagian ini akan dibahas tentang Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah. Penilaian kinerja yang dilakukan menggunakan
tiga
indikator
yaitu
produktivitas,
responsivitas,
dan
akuntabilitas. Selain itu juga akan dibahas mengenai faktor pendukung maupun faktor penghambat yang dialami BP3 Jawa Tengah dalam kegiatan perlindungan BCB dan situs. Pada tinjauan pustaka yang telah penulis bahas di awal, disebutkan bahwa kegiatan perlindungan BCB dan situs dilakukan melalui perizinan, pengamanan, dan penyelamatan. Karena BP3 Jawa Tengah memandang kegiatan perizinan lebih condong ke arah pemanfaatan, maka tentang perizinan tidak penulis bahas di sini. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi hanya akan penulis nilai dari dua kegiatan perlindungan yang dilaksanakan, yaitu pengamanan dan penyelamatan. Karena kegiatan commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlindungan yang dilakukan tiap tahun tidak sama dan kadang bersifat insidentil, maka penulis membatasi penelitian ini pada kegiatan perlindungan candi tahun 2008-2009. 1. Produktivitas Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output, dengan kata lain adalah perbandingan sejauh mana upaya yang dilakukan dengan hasil yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Dalam penelitian ini, konsep produktivitas dipahami sebagai sejauh mana upaya yang dilakukan BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah dan bagaimana hasil yang diperoleh. Produktivitas BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan perlindungan Candi di Jawa Tengah dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan dalam rangka melaksanakan pengamanan dan penyelamatan terhadap candi selama tahun 2008-2009 sebagaimana dijabarkan seperti dibawah ini: a. Pengamanan Pengamanan merupakan upaya perlindungan benda BCB dan situs dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau kondisi alam yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya dan situs. Kegiatan pengamanan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah selama tahun 2008 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut:
commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Memasang Papan Pembudayaan dan Pemasyarakatan Papan pembudayaan dan pemasyarakatan merupakan papanpapan yang berisi larangan melakukan hal-hal tertentu terhadap candi, serta ajakan untuk ikut serta melestarikan candi. Papan larangan dipasang dengan tujuan agar masyarakat tahu bahwa candi juga merupakan BCB. Oleh karena itu, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan seperti merusak, mengambil, memindahkan, mengubah bentuk dan lain sebagainya sebagaimana terdapat pada UU No.5 Tahun 1992 pasal 15 ayat (1) dan (2). Bagi yang
melakukan
larangan tersebut akan dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 26. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Pak Deny selaku Kasubpokja Pengamanan: “Papan larangan berisi tentang hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan pada BCB, serta sanksinya hukum yang berlaku sesuai dengan UU BCB” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Sedangkan papan apresiasi berisi tentang himbauan-himbauan untuk ikut melestarikan candi, memberikan pengertian pada masyarakat tentang nilai penting candi sehingga masyarakat juga mau untuk melestarikan dan menjaganya. Terkait papan apresiasi, disampaikan oleh Pak Deny sebagai berikut: “papan apresiasi itu isinya himbauan pada masyarakat bahwa BCB itu warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan...” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tentang petugas yang memasang papan larangan, Sumaryono selaku juru pelihara candi Selogriyo di Magelang memberikan keterangan sebagai berikut: “nek rusak nggih lapor teng mriko (BP3 Jawa Tengah), mengkeh diparingi terus ken masang” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Setelah di konfirmasikan pada BP3 Jawa Tengah, Pak Deny menjelaskan sebagai berikut: “itu untuk tahun-tahun yang lama mbak. Kalo sekarang ini kita yang kesana, kan sekalian kontrol sama kasih pembinaan ke jupelnya. Paling tidak seminggu itu tiga kali kita kontrol ke daerah-daerah, milihnya secara acak” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemasangan papan larangan pada beberapa tahun yang lalu terkadang masih dikerjakan oleh juru pelihara dengan cara juru pelihara
datang
ke
kantor
BP3
Jawa
Tengah
kemudian
membawanya untuk dipasang. Sedangkan tahun-tahun sekarang ini sudah dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah sendiri bersamaan dengan dilakukannya kontrol dan pembinaan pada juru pelihara candi setempat. Papan larangan biasanya di pasang di tempat terbuka yang setiap harinya terkena hujan dan terik matahari yang dapat pengakibatkan pelapukan atau lunturnya tulisan pada papan tersebut. Oleh karena itu selain memasang, BP3 Jawa Tengah juga melakukan commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penggantian berkala pada papan larangan tersebut. Hal ini seperti disampaikan oleh Pak Deny: “Setiap 3 sampai 4 tahun sekali akan kita ganti. Itu juga melihat dimana papan itu di pasang, di dataran tinggi, dataran rendah atau pesisir pantai. Kalau di dataran rendah ya bisa awet. Tapi kalau di dataran tinggi yang banyak unsur sulfurnya atau di daerah pesisir yang banyak kandungan garamnya ya baru sebentar saja sudah keropos besinya. Untuk mengatasinya, biasanya untuk daerah-daerah tersebut kita pakai papan dari kayu jati agar lebih awet.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa lamanya penggantian papan ditentukan oleh dimana papan itu di pasang. BP3 Jawa Tengah juga telah menyesuaikan bahan untuk membuat papan tersebut agar awet. Papan larangan untuk untuk candi yang berada di dataran rendah biasanya memakai bahan besi atau seng. Sedangkan untuk candi yang berada di daerah pesisir atau dataran tinggi yang unsur sulfur atau belerangnya tinggi maka papan dibuat dengan bahan kayu jati. 2) Pemagaran Kegiatan pemagaran dilakukan dengan tujuan untuk memberi batasan lokasi situs. Selain itu, pagar juga berfungsi untuk mencegah orang masuk sembarangan tanpa ijin. Setelah dilakukan pensertifikatan tanah candi, biasanya akan diikuti dengan kegiatan pemasangan pagar. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Pak Deny: “Setelah tanah disertifikatkan, commit to user pemagaran”
maka
akan
dilakukan
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(hasil wawancara 21 Maret 2011) Sama halnya dengan papan larangan, dalam jangka waktu tertentu pagar juga akan mengalami kerusakan misalnya akibat karat dan mengharuskannya untuk diganti. Oleh karena itu, selain dilakukan kegiatan pemagaran juga dilakukan kegiatan perbaikan pagar. Kegiatan pemagaran yang dilakukan pada tahun 2008 adalah pemagaran candi Ngawen tahap I. Sedangkan kegiatan perbaikan pagar meliputi perbaikan pagar BRC candi Gondosuli tahap I, perbaikan pagar BRC candi Pendem Sengi, perbaikan pagar BRC candi Selogriyo tahap I. Untuk tahun 2009, perbaikan pagar meliputi kegiatan perbaikan pagar candi Bongkotan, kegiatan perbaikan pagar candi Gondosuli tahap II, kegiatan perbaikan pagar candi Gunungsari, kegiatan perbaikan pagar candi Karangnongko, kegiatan perbaikan pagar candi Sewu, kegiatan perbaikan pagar candi Sojiwan tahap I. Dari beberapa candi yang penulis kunjungi, penulis mendapati jenis pagar yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dari gambar IV.2 di bawah ini:
commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar IV.2 Pagar candi Ceto, candi Plaosan Lor, candi Selogriyo
Pagar Candi Ceto
Pagar Candi Plaosan Lor
Pagar Candi Selogriyo
Dari gambar diatas, terlihat adanya perbedaan jenis pagar yang dipasang pada candi yang satu dengan candi yang lain. Pagar pada candi Ceto adalah jenis pagar kawat duri. Pagar pada candi Plaosan adalah jenis pagar teralis dan pada candi Selogriyo memakai pagar jenis BRC. Setelah dikonfirmasikan, diperoleh jawaban dari Pak Deny seperti di bawah ini: “Kalau yang pagar kawat duri dan teralis itu pagar yang lama mbak. Sekarang ini kita pakainya pagar BRC karena lebih murah, mudah masangnya, dan tidak mengganggu pemandangan. Kita masang pagar itu selain melihat dari sisi keamanannya juga mempertimbangkan dari sisi estetikanya. Sebisa mungkin pagar itu tidak terlihat dan disamarkan, agar tidak mengganggu pemandangan candi” (hasil wawancara 5 April 2011) commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sekarang ini dalam memasang pagar pada candi, BP3 Jawa Tengah cenderung memilih menggunakan pagar BRC karena memiliki beberapa keunggulan yaitu murah, mudah memasangnya, tidak mengganggu pemandangan. 3) Membuat pos jaga Pos jaga merupakan markas bagi para satpam yang bertugas mengamankan candi dari perbuatan yang dapat membahayakan kelestarian candi. Selain itu, pos jaga juga merupakan sarana untuk mengawasi atau memantau lingkungan candi serta menjadi tempat sementara untuk mengamankan benda-benda temuan. Pada tahun 2008 dan tahun 2009 tidak dilakukan pembuatan pos jaga, tetapi hanya perbaikan saja. Kegiatan perbaikan pos jaga pada tahun 2008 dilaksanakan di candi Sewu. Sedangkan pada tahun 2009, kegiatan perbaikan pos jaga dilaksanakan di candi Bubrah, candi Dukuh, candi Tengaran, candi Plaosan, candi Gedong I kompleks candi Gedong Songo. Sampai sekarang ini, belum semua candi di Jawa Tengah memiliki pos jaga. Setelah hal tersebut ditanyakan ke Pokja Pengaman, alasannya adalah seperti disampaikan oleh Pak Deny: “Kalau candi itu udah ada satpamnya, nanti kita bangun pos jaga. ...Beberapa candi di daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari hasil wawancara di atas, dapat kita ketahui bahwa hanya candi yang memiliki satpam yang akan diprioritaskan diberi pos jaga, sedangkan candi yang hanya dijaga oleh juru pelihara sejauh ini belum dibangun pos jaga, meskipun ada pengecualian misalnya pada candi Ceto. Candi tersebut memiliki banyak juru pelihara tapi tidak memiliki satpam. Namun begitu, tetap ada pos jaga. Hal tersebut mungkin karena mempertimbangkan candi Ceto lumayan besar dan memiliki banyak arca dan relief, serta sering dikunjungi wisatawan. Meskipun begitu, tetap saja lebih banyak candi yang berada di daerah terpencil yang belum memiliki pos jaga. Tidak adanya pos jaga beserta satpam mungkin karena kebanyakan candi di lokasi terpencil pada umumnya kecil, minim arca dan relief, serta jarang dikunjungi wisatawan. Akan tetapi, candi walaupun itu kecil tidak boleh diremehkan karena setiap candi pasti memiliki keistimewaan sendiri dan sudah semestinya untuk tahun yang akan datang pengamanan candi di lokasi terpencil lebih diperhatikan. Kembali lagi ke permasalahan pos jaga yang apabila dilihat fungsinya sebagai markas para satpam yang bertugas mengamankan candi serta sarana untuk mengawasi atau memantau lingkungan candi, rasanya pos jaga tidak dibutuhkan oleh juru pelihara. Hal tersebut karena melihat tugas juru pelihara adalah membersihkan commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan merawat candi, bukan menjaga candi siang dan malam sebagaimana yang dilakukan oleh satpam. Akan tetapi, pada kenyataan dilapangan penulis menemukan juru pelihara yang merangkap tugas sebagai satpam, salah satunya adalah
di
candi
Selogriyo,
sebagaimana
penuturan
Bapak
Sumaryono selaku Juru Pelihara candi Selogriyo: “Kulo niki jupel (juru pelihara), nggih ngrangkep satpam” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Maksudnya adalah Bapak Sumaryono sebenarnya adalah juru pelihara candi Selogriyo, tapi juga merangkap tugas sebagai satpam. Tentang juru pelihara yang tugasnya merangkap sebagai satpam memang pernah disinggung oleh Pak Sugeng Widodo selaku Kapokja Perlindungan yakni sebagai berikut: “Akan tetapi walaupun tidak ada satpam, di sana tetap ditempatkan juru pelihara, biasanya diambil dari penduduk sekitar. Juru pelihara tugasnya merawat, memelihara, melakukan antisipasi dini apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada candi” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Hal senada juga disampaikan oleh pak Deny: “Beberapa daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya. Tapi meskipun begitu, masih ada jupel (juru pelihara.red) yang merangkap satpam. Jadi selain melakukan pemeliharaan, juga mengamankan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat kita simpulkan bahwa juru pelihara selain bertugas melakukan pemeliharaan ternyata juga bertugas mengamankan candi meskipun porsi tugas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
pengamanan yang dilakukan tidak seperti satpam. Akan tetapi, melihat tugas pengamanan yang dia kerjakan pastinya dia juga membutuhkan keberadaan pos jaga untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Bapak Sumaryono di bawah ini: “yo sing baku niku nggih pos jaga niku. Nek dalane rodo apek, sore nek niliki mriku (candi) mandeke kan ning pos jaga, mboten teng warung. Mriki niki kan warung” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Maksud Bapak Sumaryono di atas adalah yang baku atau penting dan dibutuhkan itu adalah pos jaga. Jadi kalau jalannya bagus dan sore hari ingin menengok keadaan candi, singgahnya di pos jaga, bukan di warung. Menanggapi hal tersebut, Pak Deny memberikan keterangan sebagai berikut: “idealnya itu semua candi ada pos jaganya. Jupel yang merangkap satpam pastinya juga butuh karena mereka juga bertugas mengamankan. Tapi kan itu gak bisa langsung karena anggaran kita juga terbatas. Harus dilakukan step by step. Itu sudah kita programkan, jadi untuk kedepannya tetap diupayakan tiap candi itu ada pos jaganya. Kita dalam menyusun kegiatan itu juga melihat skala prioritas” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari apa yang disampaikan Pak Deny di atas, dapat kita tangkap maksudnya bahwa sebenarnya BP3 juga mengharapkan setiap candi itu memiliki pos jaga agar pengamanan candi dapat berjalan lebih baik. Akan tetapi, dana yang turun dari pusat setiap tahun jumlahnya terbatas dan tidak menutup kemungkinan ada kegiatan commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain yang dirasa lebih mendesak untuk dilakukan. Mungkin itulah yang menyebabkan belum semua candi memiliki pos jaga dan meskipun demikian, BP3 Jawa Tengah akan terus mengupayakan keberadaan pos jaga pada setiap candi. 4) Menempatkan Satpam Satpam
merupakan
orang
yang
bertugas
khusus
untuk
mengamankan candi dari hal-hal yang dapat merusak kelestarian candi yang dijaganya. Yang membedakan satpam dengan juru pelihara
adalah
satpam
diwajibkan
memiliki
kemampuan
kesamaptaan polri, sedangkan juru pelihara tidak. Oleh karena itu, satpam yang bekerja di BP3 Jawa Tengah setidaknya pernah mengikuti pendidikan dalam hal pengamanan, sebagaimana disampaikan oleh Bapak Sugeng Widodo: “Terkait kemampuan satpam, untuk satpam yang lama yakni angkatan 80-an sebagian sudah mengikuti pendidikan. Sedangkan untuk satpam yang baru-baru ini, mereka mengikuti pendidikan sendiri” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Hal yang sama juga dikatakan oleh Her Dwiyanto, Satpam di candi Plaosan Lor yakni sebagai berikut: “Pernah mbak, ikut pendidikan di Manggala Pratama Service Security selama 1,5 bulan. Itu ikut sendiri, bukan dari kantor. Selain itu pernah juga dikirim untuk mengikui diklat pengamanan di Prambanan dan Borobudur” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa satpam di BP3 Jawa Tengah memang memiliki kemampuan kesamaptaan dimana commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemampuan tersebut didapat dari mengikuti pendidikan serta diklat. Untuk satpam angkatan 80-an pendidikannya masih ditanggung oleh BP3 Jawa Tengah sedangkan untuk satpam yang angkatan baru-baru ini sudah mengikuti pendidikan secara mandiri. Selain mengikuti pendidikan, satpam juga diberi pembinaan rutin dari Polsek dan Polres setempat setiap bulannya, serta diberi pelatihan beladiri setiap hari Jum’at. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Deny: “Setiap jum’at kita adakan latihan bela diri bagi satpam-satpam yang baru. Selain itu setiap tanggal 2 juga ada pembinaan dari Polres dan Polsek setempat.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang sama juga dikatakan oleh Her Dwiyanto, satpam candi Plaosan, sebagai berikut: “Tiap tanggal dua ada pengarahan dari Polsek Prambanan dan Polres Klaten. Isinya ya paling PBB, terus mengingatkan kita agar selalu waspada, diajarkan bela diri Polri juga. ...iya, setiap jum’at juga dilatih bela diri buat satpam baru” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Selain mengikuti pendidikan serta mendapat pembinaan rutin, satpam juga dilengkapi dengan peralatan pendukung seperti senter dan HT. Karena tugasnya mengamankan candi baik siang maupun malam, maka jumlah satpam yang ada pada satu lokasi candi dibagi menjadi beberapa regu dan kemudian diatur waktu tugasnya untuk berjaga pada shift pagi atau shift malam.
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sampai sekarang ini, BP3 Jawa Tengah telah mempekerjakan 99 satpam yang 81 diantaranya bertugas di beberapa candi di Jawa Tengah sebagaimana terlihat pada tabel IV.3 di bawah ini: Tabel IV.3 Tabel Jumlah Satpam BP3 Jawa Tengah Yang Bertugas di Candi-Candi Seluruh Jawa Tengah No
Nama Candi
Alamat
1.
Kompleks Candi Dieng - Arjuna - Srikandi - Puntadewa - Sembadra - Semar - Sentyaki - Petruk - Antareja - Nakula Sadewa - Nalagareng - Gatutkaca - Bima - Dwarawati - Pari Kesit Sukuh Sewu Plaosan Lor Plaosan Kidul Gana Sojiwan
Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Brejo, Ngargoyoso, Karanganyar Bener, Bugisan, Prambanan Plaosan, Bugisan, Prambanan Plaosan, Bugisan, Prambanan Bener, Bugisan, Prambanan Sojiwan, Kebondalem Kidul, Prambanan 8. Ngawen Ngawen, Muntilan 9. Mendut Mendut, Mungkid, Magelang 10. Gunung Wukir Muntilan 11. Dukuh Rowoboni, Banyubiru, Kab. Semarang commit to user 12. Kompleks Candi Candi, Ambarawa, Kab. Semarang
Jumlah Satpam PNS Kontrak 6 1
2 14 14 6 6 9
4 4 -
2 3 2 1
1 2 -
2
1
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gedong Songo 13. Candi Pringapus
Pringapus, Temanggung Jumlah
1 68
Sumber: Pokja Perlindungan BP3 Jawa Tengah Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa baru 13 candi saja yang dijaga oleh satpam.
Apabila dibandingkan
dengan jumlah
keseluruhan candi di seluruh Jawa Tengah yang menurut data dari BP3 Jawa Tengah adalah 64 candi (lihat lampiran), maka dapat dikatakan bahwa baru sekitar 20% saja candi di Jawa Tengah yang telah dijaga oleh satpam. Melihat kenyataan di atas, tentu timbul pertanyaan tentang bagaimana tingkat keamanan sebagian besar candi lainnya yang tidak dijaga oleh satpam. Menanggapi hal tersebut, Pak Deny memberikan pernyataan sebagai berikut: “Beberapa daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya. Tapi meskipun begitu, masih ada jupel (juru pelihara.red) yang merangkap satpam. Jadi selain melakukan pemeliharaan, juga mengamankan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan Pak Deny di atas dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun candi tidak dijaga oleh satpam, masih ada juru pelihara yang juga bertugas merangkap satpam dan berarti tugasnya selain melakukan pemeliharaan adalah mengamankan candi juga. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa juru pelihara tidak memiliki pengetahuan khusus tentang pengamanan yang setara dengan satpam. Selain itu juru pelihara juga tidak menjaga candi full time sebagaimana satpam. Terlebih lagi juru pelihara juga tidak commit to user
13
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengikuti pembinaan tiap bulan serta latihan bela diri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Bapak Sumaryono sebagai berikut: “Asline niku jam 7.30-15.30. Ning kulo biasane mriki nggih jamjam 8.00 enjing, wong mangkeh biasane ngantos jam 17.00 sonten. Kadang nggih ngantos jam 18.00. ...nek dalu nggih mboten wonteng sing jogo mbak. Ning kulo kadang nggih tilem mriki, biasane pas hari besar kan wonten dangdutan teng mriki. Nopo kadang pas wonten tiang tilem mriki, kulo nggih mesti tilem mriki. Pokoke nunggoni ngantos tiangipun wangsul. ...Nek sing pemeliharaan niku mboten, tapi nek sing keamanan dididik saking polres nganu to, polsek klaten niko” (hasil wawancara 23 Maret 2011) Dari hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa menurut peraturan juru pelihara bertugas dari pukul 07.30-15.30 WIB. Pada candi Selogriyo, juru peliharanya bekerja sampai dengan pukul 18.00 WIB. Walaupun begitu, setelah jam tersebut tidak ada lagi yang menjaga candi. Kalaupun juru pelihara tidur di candi, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu dan sangat jarang. Selain itu, juru pelihara juga tidak diwajibkan mengikuti pembinaan yang diadakan tiap tanggal dua. Dari hasil wawancara di atas, penulis melihat bahwa waktu malam hari inilah yang menjadi saat paling rawan terhadap kemungkinan
terjadinya
tindak
pencurian.
Apalagi
melihat
banyaknya jumlah candi yang terletak di daerah terpencil dan jauh dari pemukiman warga dan belum dijaga oleh satpam. Oleh karena itu penulis merasa pengamanan pada candi khususnya yang berada di daerah terpencil masih sangat kurang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
Terkait banyaknya candi yang belum dijaga oleh satpam, Pak Sugeng Widodo memberikan tanggapan sebagai berikut: “Belum semua candi dilakukan pengamanan (penempatan satpam.red). Namun untuk kedepannya akan tetap diupayakan pengamanan” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Terkait upaya untuk menambah jumlah satpam yang bertugas di candi-candi juga disampaikan oleh Pak Deny, yakni sebagai berikut: “Tiap tahun akan ada penambahan jumlah satpam kontrak yang baru dan akan terus dilakukan sampai tercukupi jumlah yang kami butuhkan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Selain mengenai minimnya jumlah candi yang telah dijaga satpam, dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa jumlah satpam yang menjaga candi itu berbeda-beda antara candi yang satu dengan yang lain. Penulis mengamati bahwa candi yang berada di daerah yang dekat dengan kantor BP3 Jawa Tengah yakni Prambanan, cenderung memiliki jumlah satpam yang lebih besar dibanding dengan candi yang berada di daerah yang jauh dari Prambanan. Ternyata BP3 Jawa Tengah memiliki pertimbangan tersendiri dalam menentukan candi mana saja yang akan mendapat prioritas untuk dijaga satpam dan berapa jumlah satpam yang ditugaskan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo: “...mempertimbangkan kondisi candi dan tingkat kerawanannya. Kalau candi yang tinggal fondasinya saja, maka tingkat kerawanannya tidak begitu tinggi. Selain itu juga melihat banyak tidaknya terdapat benda-benda berharga yang mudah dibawa seperti arca” to user (hasil wawancaracommit 7 Februari 2011)
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan yang dipakai untuk menentukan perlu tidaknya sebuah candi diberi satpam adalah dengan melihat kondisi candi tersebut, apakah masih utuh, apakah masih banyak BCB bergeraknya. Kalau candinya masih utuh dan banyak terdapat BCB bergerak seperti arca, kala, relief, makara, lingga-yoni dan sebagainya maka candi tersebut akan mendapat prioritas untuk ditempatkan satpam disana. Berbeda dengan pendapat di atas, Pak Deny lebih melihat kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar candi sebagai pertimbangan terkait perlu dan tidaknya sebuah candi diberi satpam. Pernyataan pak Deny tersebut adalah sebagai berikut: “Antara candi yang berada di atas bukit maupun yang berada dekat dengan perkampungan penduduk memiliki tingkat kerawanannya sendiri-sendiri. Candi yang berada di atas bukit yang lokasinya terpencil dan penduduknya masih jarang, tingkat kerawanannya bisa saja tinggi karena sepi dan tidak ada listrik. Akibatnya kan gelap karena tidak ada lampu. Kalau candi yang berada di dekat perkampungan penduduk, ya lihat dulu penduduknya seperti apa. Peduli tidak dengan keberadaan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak selalu candi yang berada di atas bukit itu rawan dan tidak selalu juga candi yang berada dekat dengan perkampungan masyarakat itu aman. Semua itu sangat dipengaruhi bagaimana tingkat kepedulian masyarakat terhadap candi itu, apakah ikut menjaga keamanannya atau malah tidak mempedulikan candi tersebut. commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menanggapi
anggapan
penulis
tentang
candi
di
sekitar
Prambanan yang memiliki satpam lebih banyak dibanding daerah lain, Pak Deny memberikan tanggapan sebagai berikut: “...daerah Prambanan khususnya, merupakan pusatnya koleksi Mataram Lama (Hindu-Budha) di Jawa Tengah. Banyak arca yang bagus-bagus dan masih lengkap. Candi-candi di daerah Prambanan sepertinya sudah terkenal kaya akan arca yang bagus-bagus, apalagi di Plaosan itu banyak sekali arcanya. Karena sudah terkenal bagus kan mesti banyak yang ngincar. Selain itu di Jogja kan juga banyak sekali art shop, bisa jadi disana juga banyak terdapat kolektor. Oleh karena itu memang disini (Prambanan) sengaja kita kuati.” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa di daerah Prambanan memang banyak sekali terdapat candi dimana candicandi disana umumnya megah, kaya akan arca, relief dan bendabenda lain yang menjadi incaran para kolektor. Dengan begitu, candi-candi di Prambanan dapat dikatakan tingkat kerawanannya tinggi dan wajar apabila satpam yang menjaga candi-candi di daerah tersebut berjumlah banyak. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan yang dipakai oleh BP3 Jawa Tengah dalam menilai perlu tidaknya sebuah candi diberi satpam adalah melihat pada dua hal. Pertama adalah kondisi candi yaitu keutuhan dan jumlah BCB bergerak di dalamnya. Kedua adalah bagaimana tingkat kepedulian masyarakat yang berada paling dekat dengan lokasi candi tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
b. Penyelamatan Penyelamatan merupakan upaya darurat ataupun terencana untuk melindungi BCB dan situs dari ancaman kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan. Kegiatan penyelamatan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah selama tahun 2008 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut: 1) Pemintakatan/Zoonasi Pemintakatan adalah salah satu upaya penyelamatan terhadap situs candi dengan cara menetapkan lahan peruntukan terhadap situs, yang terdiri atas mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Pemintakatan sebenarnya merupakan metode perencanaan dalam penggunaan tanah. Tujuan dilakukan pemintakatan adalah sebagaimana disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo sebagai berikut: “Penyelamatan yang kaitannya dengan manusia yaitu dengan zoonasi. Agar dalam perkembangan pemukiman atau fasilitas lain, tidak akan mengganggu candi. Bila pemintakatan tidak dilakukan, dihawatirkan akan terjadi keterlanjuran” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Dari pernyataan Pak Sugeng Widodo di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah candi itu perlu dilakukan pemintakatan yakni mengatur peruntukan lahan di sekitar candi. Pada waktu yang akan datang, dimungkinkan akan lebih banyak lagi candi yang dikembangkan untuk pariwisata. Hal tersebut akan mendorong dibangunnya fasilitas-fasilitas pendukung di sekitar candi, misalnya toilet, tempat parkir, rumah makan, penginapan, toko souvenir dan commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagainya. Atau bisa jadi lebih banyak lagi rumah-rumah warga yang dibangun di wilayah sekitar candi. Apabila lahan candi dan sekitarnya tidak di atur peruntukannya, maka pembangunan-pembangunan seperti di atas bisa saja mengancam
kelestarian
candi.
Pembangunan
yang
dapat
mengancam kelestarian candi contohnya adalah mendirikan bangunan permanen sangat dekat dengan candi, padahal pada lokasi tersebut masih diduga terdapat bagian candi yang belum ditemukan. Seperti yang telah disebutkan dalam bab tinjauan pustaka di atas, sistem pemintakatan terdiri dari mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Pada mintakat inti, hanya ada candi dan bangunan yang merupakan fasilitas pendukung seperti pos jaga dan barak kerja bila candi tersebut dalam proses pemugaran. Pada mintakat penyangga, hanya boleh ada toilet dan tempat ibadah. Sedangkan pada mintakat pengembangan, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata dan kepentingan lainnya. Pada tahun 2008, pemintakatan dilakukan di candi Ceto. Sedangkan pada tahun 2009, pemintakatan dilakukan di candi Ngempon, dan kompleks candi Sengi (candi Asu, candi Pendem, dan candi Lumbung). Hasil dari kegiatan pemintakatan akan digunakan sebagai rambu-rambu atau tata aturan dalam hal pengembangan sehingga pemanfaatannya tetap berbasis pada pelestarian.
commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Agar lebih jelas, penulis mengambil contoh hasil pemintakatan pada candi Asu, salah satu candi pada kompleks candi Sengi. Hasil pemintakatan candi Asu tersebut penulis dapat dari laporan hasil pemintakatan Kompleks Candi Sengi. Pemintakatan Kebudayaan
ini
dan
dilatarbelakangi Pariwisata
oleh
Kabupaten
rencana
Dinas
Magelang
untuk
mengembangkan kompleks candi Sengi sebagai tempat pariwisata karena dinilai lokasinya memiliki posona pedesaan yang khas, serta akan digabungkan dalam paket wisata lereng gunung merapi atau Ketep pass.
Dari pemintakatan yang dilakukan oleh BP3 Jawa
Tengah, diperoleh hasil sebagai berikut: a) Mintakat Inti Lokasi ini dilengkapi dengan kawat beduri yang dikamuflase dengan pohon yang mengelilingi candi. Di dalam pagar dilengkapi dengan pos keamanan dan pertamanan. b) Mintakat Penyangga Mintakat penyangga merupakan areal persawahan. Penentuan berdasarkan
aspek
arkeologis,
geotopografis
lingkungan
sehingga diperoleh batas sisi utara, timur, selatan berjarak 20 meter dari candi. Sedangkan sisi barat dibatasi jalan desa menuju Tlatar.
commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Mintakat Pengembangan Pada mintakat pengembangan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
agama,
sosial,
pendidikan,
pariwisata
dan
kebudayaan. Dari penjabaran di atas tentang kegiatan pemintakatan, dapat disimpulkan
bahwa
kegiatan
pemintakatan
bertujuan
untuk
mengatur peruntukan lahan situs agar pembangunan yang terjadi tidak mengganggu kelestariannya. Selain itu, kegiatan pemintakatan ini diprioritaskan pada candi yang akan dikembangkan sebagai tempat wisata oleh Dinas Pariwisata setempat seperti candi Ceto dan kompleks candi Sengi. 2) Pembebasan dan Pensertifikatan Tanah Pembebasan dan Pensertifikatan tanah merupakan upaya yang dilakukan untuk merubah hak kepemilikan tanah tempat dimana candi berada dari milik perseorangan/kelompok menjadi milik negara, dengan jalan membeli tanah tersebut dari pemilik tanah. Pembelian tanah sangat penting dilakukan. Hal itu mengingat pembuatan pagar dan pos jaga baru akan dilakukan setelah dilakukan pensertifikatan tanah. Selain itu, pemilik tanah memiliki hak untuk membangun bangunan baik itu sementara atau permanen di atas tanahnya tersebut. Oleh karena itu, dengan dilakukannya pembelian tanah dan kemudian mensertifikatkannya, maka kegiatan commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengamanan, penyelamatan dan sebagainya akan lebih mudah dilakukan karena tanah tersebut sudah dimiliki oleh negara. Pada tahun 2008, dilakukan pembebasan dan pensertifikatan tanah di candi Sojiwan. Pada waktu itu BP3 Jawa Tengah membeli tanah kas desa. Hal tersebut sebagaimana dejelaskan oleh Pak Tunggul, warga desa setempat sebagai berikut: “itu beli tanah kas desa mbak. Jadi urusane BP3, kelurahan sama kabupaten. Tidak membeli tanah dari warga, tanah kas desa semua itu mbak” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah dimana candi Sojiwan sekarang ini berdiri adalah tanah kas desa. Yang dimaksud dengan tanah kas desa adalah tanah dimana warga tersebut
boleh
menggunakannya,
tetapi
tidak
boleh
memperjualbelikannya. Karena tanah tersebut milik desa, maka transaksi jula beli dilakukan antara pihak BP3 Jawa Tengah, pihak Kelurahan dan Kabupaten setempat. 2. Responsivitas Responsivitas merupakan kemampuan organisasi dalam mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dalam penelitian ini menggambarkan sejauh mana kemampuan BP3 Jawa Tengah dalam menyusun program dan kegiatan perlindungan terhadap BCB dan situs commit user terutama candi, yang sesuai dengantokebutuhan dan aspirasi masyarakat.
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini, penulis menilai responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi melalui tiga aspek. Pertama, bagaimana BP3 Jawa Tengah menerima, menanggapi dan menindaklanjuti laporan maupun saran dari masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang dilakukan. Kedua, bagaimana BP3 Jawa Tengah menanggapi dan menindaklanjuti laporan serta masukan dari satpam dan juru pelihara candi. Ketiga, bagaimana BP3 Jawa Tengah membangun komunikasi eksternal yakni komunikasi dengan masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang akan dilaksanakan. Pembahasan responsivitas disini akan dimulai dari aspek pertama yaitu bagaimana BP3 Jawa Tengah menerima, menanggapi dan menindaklanjuti laporan maupun saran dari masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang dilakukan. BP3
Jawa
Tengah
merupakan
organisasi
publik
yang
menyelenggarakan pelayanan tidak langsung kepada masyarakat, yakni dalam bidang pelestarian BCB dan Situs di Jawa Tengah. Sebagai organisasi publik yang bertugas melayani masyarakat, tentunya BP3 Jawa Tengah juga akan terbuka terhadap aspirasi masyarakat baik itu masukan atau saran maupun laporan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Deny sebagai berikut: “Aspirasi dari masyarakat akan kita terima dengan baik. Nanti kami pertimbangkan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa BP3 menyambut baik terhadap aspirasi dari masyarakat. Aspirasi masyarakat kepada BP3 Jawa Tengah
bisa
disampaiakan
melalui
beberapa
cara
sebagaimana
disampaikan oelah Pak Junawan sebagai berikut: “Media untuk menyalurkan aspirasi masyarakat ya bisa lewat website kita di www.purbakala.jawatengah.go.id, lewat pameran kepurbakalaan juga. Saat pameran kan biasanya kita membuka semacam layanan konsumen gitu mbak. Laporan yang datang biasanya tentang situs yang rusak, penemuan BCB di sana sudah ditinjau belum pak, saya menemukan BCB Pak lalu bagaimana” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang sama juga disampaikan oleh Pak Putu, staf Pokja Pemanfaatan yang juga bertugas mengelola website BP3 Jawa Tengah, yakni sebagai berikut: “iya mbak, lewat website juga bisa. Yang masuk ke sini tu biasanya laporan penemuan BCB. Kalau ada laporan kayak gitu nanti kita teruskan ke bagian perlindungan supaya ditindaklanjuti” (hasil wawancara 5 April 2011) Saat penulis mencoba megakses alamat website yang disebutkan, terbukti bahwa melalui website tersebut kita dapat menyampaikan aspirasi dan nantinya aspirasi tersebut akan ditampilkan pada website tersebut. Aspirasi yang disampaikan melalui website BP3 Jawa Tengah tersebut salah satunya seperti yang disampaiakan oleh Cah Ndesa yang menanyakan kapan candi yang berada di daerahnya yaitu di Mangunsuko, dekat kali Senowo akan digali lagi. Hal tersebut dikarenakan candi itu ditemukan pada tahun 80-an, akan tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan penggalian/ekskavasi lebih lanjut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
Salah satu hal yang disayangkan dari website ini adalah penulis tidak menemukan feedback atau tanggapan dari pihak BP3 Jawa Tengah terkait aspirasi yang disampaikan tersebut. Padahal feedback tersebut menurut penulis sangat penting, dimana dengan diberikannya sebuah tanggapan maka paling tidak masyarakat akan merasa aspirasi mereka telah didengar. Terkait tindak lanjut yang dilakukan BP3 Jawa Tengah terhadap laporan seperti di atas disampaikan oleh Pak Junawan selaku Kasubpokja Penyelamatan sebagai berikut: “Kalau ada laporan, biasanya kita meninjau langsung ke lapangan kemudian melakukan diskusi dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan bagaimana penanganan selanjutnya. Yang diajak diskusi bisanya ya para arkeolog, ahli arsitektur, ahli geologi, ahli lingkungan dan sebagainya” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 responsiv terhadap laporan dari masyarakat terkait penemuan BCB serta situs yang mengalami kerusakan, karena BP3 Jawa Tengah akan segera melakukan langkah awal yakni peninjauan ke lokasi serta diskusi dengan pihak terkait mengenai bagaimana penanganannya. Untuk penanganan selanjutnya, mungkin memang ada beberapa candi yang terkesan diabaikan, yakni hanya ditinjau tetapi tidak dilakukan langkah penanganan setelahnya. Hal tersebut mungkin dikarenakan banyaknya permasalahan terkait candi yang harus ditangani, dan dalam penanganannya dilakukan secara bertahap berdasarkan skala prioritas. Selain melalui website dan pameran, penulis melihat ada media lain user yang sebenarnya potensialcommit untuk to menyalurkan aspirasi masyarakat, yaitu
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui buku tamu. Hampir semua candi memiliki buku tamu karena buku tersebut berfungsi unutk mencatat berapa jumlah pengunjung sebuah candi dan dari mana saja asalnya. Salah satu pengunjung candi yang pernah menuangkan aspirasinya lewat buku tamu adalah Wijna, seseorang yang memiliki ketertarikan besar terhadap candi dan telah mendatangi hampir seluruh candi yang ada di Jawa Tengah dan sekitarnya. Wijna sendiri memiliki sebuah blog yang beralamat di http://mblusuk.com, yang berisi pengalamannya mendatangi candi-candi di Jawa Tengah dan sekitarnya. Menurut Wijna, dia pernah menuliskan aspirasinya dalam buku tamu, yaitu seperti di bawah ini: “Adapun yang berkaitan dengan candi semisal kurangnya panduan keberadaan candi, informasi latar-belakang candi, petugas-petugas yang kurang ramah, dan masih banyak lainnya. Biasanya uneg-uneg itu aku tulis di bukutamu. ..menurutku masih kurang. Terutama untuk candi-candi yang aksesnya jauh dan tidak berdampak pada kehidupan warga, semisal bukan obyek pariwisata atau difungsikan sebagai tempat ibadah. Beberapa candi nampak kurang terawat, yah mungkin perawatannya berjangka beberapa tahun sekali. Selain itu keterbatasan personil di lapangan seperti satpam, juru rawat, atau juru kunci dan juga shift jaga malam, sepertinya membuat candi rentan akan kerusakan.” (hasil wawancara 20 Mei 2011) Pernyataan di atas membuktikan bahwa buku tamu memang potensial digunakan sebagai media penyampaian aspirasi masyarakat terhadap BP3 Jawa Tengah. Akan tetapi sayangnya sampai sekarang aspirasi yang tertulis dalam buku tamu belum mendapat perhatian besar. Satpam atau juru pelihara candi sepertinya hanya bertugas melaporkan jumlah pengunjung candi serta catatan tentang pelaksanaan tugas mereka. commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Aspirasi tidak hanya berupa laporan, tetapi dapat juga berupa saran atau masukan. Terkait masukan dari masyarakat atau LSM, terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan yang dilakukan, dikatakan bahwa selama ini belum pernah ada masukan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Deny di bawah ini: “LSM dan masyarakat belum pernah ada komplain atau masukan tentang kegiatan perlindungan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Pernyataan Pak Deny tersebut diperkuat oleh pernyataan Pak Junawan seperti di bawah ini: “sejauh ini belum pernah ada. Yang ada biasanya tentang laporan penemuan BCB atau bila BCB hilang atau rusak” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari petikan dua pernyataan di atas memperlihatkan bahwa selama ini memang belum ada masukan atau saran tentang kegiatan perlindungan yang dilaksanakan oleh BP3 Jawa Tengah. Penulis melihat bahwa tidak adanya masukan atau saran dari pihak di luar BP3 Jawa Tengah ini karena dua kemungkinan. Pertama, mungkin BP3 Jawa Tengah kurang membuka diri atau kurang melibatkan masyarakat dalam kegiatan perlindungan, sehingga masyarakat kurang mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan untuk melindungi candi. Hampir semuanya dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah sendiri, padahal tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan ini banyak. commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua, mungkin masyarakat yang kurang peduli dengan keberadaan BCB, dalam hal ini adalah candi. Ketidak pedulian tersebut mungkin disebabkan karena masyarakat belum mengetahui betapa besar nilai penting dari candi. Ketidaktahuan masyarakat ini penyebabnya adalah isu tentang budaya khususnya candi kurang gencar diberitakan atau disorot oleh media. Media cetak maupun elektronik hanya dipenuhi oleh berita seputar politik, terorisme, korupsi, dan sebagainya. Akibatnya, hanya sedikit dari masyarakat yang tahu tentang BCB, nilai pentingnya, siapa yang
bertugas
melakukan
perlindungan
dan
bagaimana
bentuk
perlindungan terhadap BCB tersebut. Apabila seandainya ada masukan atau saran dari masyarakat, tindak lanjut yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah seperti disampaikan oleh Pak Deny seperti di bawah ini: “Apabila itu tidak sinkron dengan program BP3 ya tidak kami pakai. Maksudnya sinkron dengan program BP3 itu adalah usulan-usulan tersebut memang termasuk kegiatan-kegiatan BP3 dalam hal perlindungan. Misalnya ada usulan, Pak mbok candi sana itu dikasih lampu dikasih pagar. Tempatnya kan rawan pak” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa apabila ada masukan dari masyarakat yang mana masukan tersebut merupakan kegiatan yang juga sering dilakukan BP3 dalam rangka melindungi candi, maka BP3 akan responsiv karena akan ditindaklanjuti. Tindak lanjutnya misalnya dengan mempertimbangkan saran tadi untuk dimasukkan dalam kegiatan perlindungan pada tahun selanjutnya. Sementara tentang usulan yang commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berseberangan dengan kegiatan BP3 atau hal-hal tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya, maka sikap BP3 terlihat kurang responsif. Disini penulis berpendapat bahwa apabila hal ini terus terjadi, dihawatirkan kegiatan perlindungan yang dilakukan dari waktu ke waktu akan begitu-begitu saja. Padahal modus kejahatan di luar sana setiap saat selalu berkembang. Selain itu, wacana yang berkembang di luar terkait perlindungan candi yang walaupun tidak secara langsung ditujukan kepada BP3 Jawa Tengah hendaknya juga diperhatikan. Misalnya saja wacana tentang
pemasangan
CCTV
di
candi
Borobudur
(http://koran.republika.co.id). Candi Borobudur dalam pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB). BP3 Jawa Tengah sebagai organisasi yang juga bertugas mengelola candi sebaiknya juga mengikuti cara tersebut, yakni merencanakan pemasangan CCTV pada candi, khususnya pada candi yang besar dan tingkat kerawanannya tinggi. Memasang CCTV sepertinya akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menambah jumlah satpam pada sebuah candi. Setelah membahas aspek pertama, penulis akan membahas aspek kedua dalam penilaian responsivitas yaitu bagaimana BP3 Jawa Tengah menanggapi dan menindaklanjuti laporan serta masukan dari satpam dan juru pelihara candi. Hal ini juga penting untuk diamati karena melihat posisi penting satpam dan juru pelihara yakni sebagi ujung tombak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
kegiatan perlindungan yang dilakukan. Satpam maupun
109 digilib.uns.ac.id
juru pelihara
adalah orang yang tahu persis bagaimana keadaan candi yang dijaganya. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa kegiatan perlindungan akan dapat berjalan dengan baik apabila BP3 Jawa Tengah memperhatikan aspirasi dari para satpam dan juru pelihara yang bertugas di lapangan, baik itu berupa laporan maupun masukan. Terkait adanya laporan dari satpam maupun juru pelihara pernah disampaikan oleh Pak Deny seperti di bawah ini: “Kalau ada laporan, biasanya langsung meninjau ke lokasi seketika itu juga. Waktu itu pernah pada tengah malam ada laporan dari satpam yang bertugas di Gedong Songo bahwa telah terjadi pencurian. Ya saat itu juga saya mengendarai mobil sendiri ke Gedong Songo, dari rumah saya di Klaten” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Terkait penyampaian laporan ke BP3 Jawa Tengah, Her Dwiyanto selaku satpam di Candi Plaosan Lor memberikan keterangan sebagai berikut: “Waktu tau kalau ternyata dua kepala arca itu dicuri, kita langsung mengamankan lokasi dan langsung lapor kantor. Saat itu langsung datang, tidak berselang lama” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa BP3 Jawa Tengah sangat responsif dalam menanggapi adanya laporan pencurian BCB di candi. Untuk tindak lanjut terhadap pencurian itu adalah sebagaimana disampaikan Pak Deny dibawah ini: “Langkah pertama kita meninjau ke lokasi, meminta keterangan pada satpam yang berjaga saat itu. Setelah itu kita lapor Polsek setempat. ...Setelah ada kejadian pencurian itu kita lakukan evaluasi. Jadi, setiap commit to user pengecekan aset terlebih dahulu. mau pergantian shift akan dilakukan
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nanti kalau ada yang hilang kan ketahuan, itu hilangnya pas regu mana yang sedang jaga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Tentang dilakukannya evaluasi dan perubahan pengamanan setelah terjadinya pencurian dua kepala arca Buddha di candi Plaosan Lor juga disampaikan oleh Her Dwiyanto, satpam di candi Plaosan yakni sebagai berikut: “Setelah kejadian itu ya ada perubahan. Kita yang tadinya bertugas selama 6 jam sekarang jadi 12 jam. Selain itu kita juga mengisi buku mutasi setiap mau pergantian shift regu jaga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam menanggapi laporan tentang pencurian BCB di candi sangat baik. Selain segera meninjau ke lokasi dan berkoordinisi dengan satuan kepolisian setempat, BP3 Jawa Tengah juga melakukan evaluasi terkait kelemahan pada sistem pengamanan yang selama ini dilakukan. Setelah itu, dilakukan perbaikan sistem pengamanan untuk mencegah terjadinya hal serupa di kemudian hari. Selain laporan pencurian, ada juga masukan yang disampaikan satpam dan jupel pada BP3 Jawa Tengah terkait masalah atau keterbatasan yang dihadapi di lapangan. Hal ini sebagaimana disampaikan Pak Deny sebagai berikut: “keluhan itu pasti ada, paling masalah seragam, lampu mati, dan peningkatan kesejahteraan. Tiap tahun itu kita udah melakukan pengadaan seragam, tikar, batu baterai, sampai mantel” (hasil wawancara 5 April 2011) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
Selain itu, masukan pada BP3 Jawa Tengah terkait masalah pengamanan misalnya, pernah disampaikan oleh satpam candi Plaosan Lor seperti dibawah ini: “HT jumlahnya masih kurang, cuma ada dua. Tapi kita terus usaha sendiri mbak, ngadain arisan HT. Ya inisiatif dari kita sendiri karena yang namanya satpam itu kan butuh HT. Kalau ada apa-apa bisa cepet menghubungi yang lain , sekali pencet saja bisa. Kalau pake HP kan ribet mbak, gak bisa cepet. Lampu ya ada, tapi cuma di dekat-dekat pagar saja. Jadi untuk lokasi tengah itu ya gelap. Ya harusnya di lokasi tengah itu ada lampu-lampu spot. Pos jaga masih kurang kalau melihat luasnya candi seperti ini. Disini ada dua pos jaga dan satu warekeet. Paling tidak disana (utara) ada pos jaga satu lagi. Kalau pos jaga yang itu (timur) jarang digunakan karena menurut kami kurang strategis. ...paling tidak dipasang kran air sama dibangun toilet karena biasanya disini yang kita pakai jaga. Kan ini dekat pintu masuk. Kita kalau mau buang air harus berjalan jauh dulu ke warekeet ujung sana, kalau tidak ya numpang di rumah-rumah penduduk situ. Selain itu pengunjung juga banyak yang menanyakan dimana kamar mandi. ...satpam yang sebelum saya pernah mengeluhkan hal itu, saya juga pernah menyampaikan waktu habis ada kejadian kemalingan arca itu. Tapi ya sampai sekarang belum dibangun-bangun juga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Pak Sumaryono, juru pelihara yang merangkap satpam di candi Selogriyo seperti di bawah ini: “Pun usul, mbok didamelne pos jaga, WC, kalih kulo nyuwun HT. Teng mriki seringe mboten wonten sinyal. Nek wonten nopo-nopo ben gampang nek ngabari adik kulo (jupel candi selogriyo juga). ...yo sing baku niku nggih pos jaga niku. Nek dalane rodo apek, sore nek niliki mriku mandeke kan ning pos jaga, mboten teng warung. Mriki niki kan warung. Kalih niku, nek wonten pengunjung kulo ndadak wira-wiri marani setunggal-setunggal. Nek wonten pos jaga kan mangkeh pengunjung niku mandeke teng pos jaga rumuyin, ngisi buku tamu sak derenge. Mriki nek dalu peteng, mboten wonten listrik. Kulo ndek mbiyen pernah ndamel dinamo kincir air, ning lampune niku murupe kirang padhang, wong kaline miline cilik.” (hasil wawancara 23 Maret 2011) Dari dua petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa ternyata to user di lapangan masih menemukan satpam dan juru pelihara commit yang bertugas
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
banyak kendala. Menurut dua informan di atas, hal tersebut juga pernah disampaikan pada pihak BP3 Jawa Tengah akan tetapi belum mendapat tindak lanjut. Apabila diamati, kendala yang dihadapi dalam masalah pengamanan adalah sama yaitu masalah fasilitas pendukung pengamanan yang antara lain adalah HT, pos jaga, lampu penerangan, serta toilet. Padahal alat-alat tersebut sangatlah penting untuk menunjang pengamanan. HT merupakan
alat
komunikasi
khusus
untuk
mempermudah
komunikasi antar satpam. Pos jaga merupakan markas satpam untuk melakukan pemantauan terhadap lingkungan. Lampu penerangan sangat penting untuk membantu mengawasi lokasi candi pada malam hari. Lampu yang tidak terang akan menyulitkan petugas melakukan pengawasan. Toilet juga sangat dibutuhkan. Walaupun bukan merupakan sarana penunjang keamanan, keberadaan toilet juga berpengaruh terhadap kegiatan pengamanan. Apabila tidak ada toilet, satpam atau juru pelihara harus meninggalkan lokasi yang dijaga selama beberapa waktu hanya untuk buang air dan hal tersebut akan melemahkan pengamanan. Masukan satpam dan juru pelihara di atas sebenarnya menyangkut halhal yang penting dan sangat berpengaruh dalam kegiatan pengamanan yang dilakukan. Akan tetapi sayangnya pihak BP3 Jawa Tengah kurang rsponsif terhadap hal ini. Setelah dikonfirmasikan pada Pak Deny, alasannya adalah sebagai berikut: “kalau pos jaga (di Plaosan Lor) sudah cukup jumlahnya, ada dua pos to user jaga dan satu warekeet.commit Memang yang sebelah utara itu kurang bagus.
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
Harusnya bangunannya separuhnya kaca bukan tembok semua kayak gitu, jadi bisa mudah melihat sekitarnya. Kalau di selogriyo itu ada warekeet, agak di bawah letaknya. Bisa itu dipake pos jaga” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat perbedaan antara BP3 Jawa Tengah dengan satpam dan juru pelihara selaku petugas lapangan terkait penilaian cukup atau tidaknya fasilitas pendukung pengamanan pada candi yang dijaganya. Pihak BP3 Jawa Tengah merasa fasilitas yang ada sudah cukup, akan tetapi satpam dan juru pelihara yang bertugas di lapangan masih merasa kurang sehingga akan memberikan hambatan bagi pelaksanaan tugas mereka. Setelah membahas dua aspek di atas, selanjutnya akan dibahas aspek ketiga dalam penilaian responsivitas yaitu membangun komunikasi eksternal yakni dengan masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang akan dilaksanakan. Dalam kegiatan perlindungan yang dilakukan, BP3 Jawa Tengah juga selalu membuka kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh pak Deny sebagai berikut: “Kita menerapkan konsep pelestarian berwawasan masyarakat, yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pelestarian” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan pelestarian yang di dalamnya termasuk juga ada kegiatan perlindungan, juga akan melibatkan masyarakat baik dalam proses perencanaan kegiatan maupun dalam pelaksanaannya. Dengan melibatkan masyarakat baik pada to user taraf perencanaan kegiatancommit maupun pelaksanaannya, sama artinya dengan
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
BP3 Jawa Tengah telah menjalin komunikasi secara eksternal yaitu dengan masyarakat. Dengan begitu, BP3 Jawa Tengah dapat mengetahui bagaimana keinginan masyarakat dalam kegiatan perlindungan yang dilaksanakan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan perlindungan terlihat dalam beberapa kegiatan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah yaitu dalam hal pengamanan lokasi candi, pemintakatan/zoonasi, pemindahan candi, pembebasan dan pensertifikatan tanah candi. Dalam hal pengamanan lokasi candi, BP3 memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam mengamankan lokasi candi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo sebagai berikut: “Seperti di candi Sojiwan, masyarakatnya ikut menjaga. Apabila ada hal yang dapat merugikan candi, masyarakat akan langsung mengambil langkah antisipasi. Selama ini, secara tidak langsung masyarakat juga ikut mengamankan” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Pernyataan Pak Sugeng Widodo di atas didukung oleh pernyataan Pak Sumardi selaku satpam di candi Sojiwan yakni sebagai berikut: “iya mbak, kalau malam ada beberapa warga yang ikut ngumpul disini. Biasanya ya jam 8 ato 12 sudah pada pulang. Tapi kadang ya ada yang ikut tidur sini, paling satu dua orang. Selain itu di baliknya candi, ndak kelihatan kalau dari sini, kan ada tempat duduk yang sering dipake nongkrong anak muda. Walaupun di luar pagar, tapi secara tidak langsung mereka juga ikut mengawasi” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah juga memperbolehkan masyarakat turut serta membantu mengamankan lokasi commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
candi. Dari situ juga dapat di lihat bahwa masyarakat di sekitar candi Sojiwan tersebut peduli dengan keberadaan candi. Sedangkan
dalam
hal
pemintakatan/zoonasi,
dalam
proses
penentuannya juga melibatkan masyarakat sekitar candi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo yakni sebagai berikut: “Dalam menentukan zoonasi, masyarakat setempat Biasanya Lurah atau Kepala Desa yang mewakili hadir” (hasil wawancara 7 Februari 2011)
dilibatkan.
Selain itu, responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam pemintakatan juga dapat dilihat dari salah satu metode yang dipakai dalam kegiatan pemintakatan, yaitu wawancara. Wawancara dilakukan dengan perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, juru pelihara dan satpam candi, serta penduduk sekitar. Wawancara ini salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana dampak candi bagai masyarakat sekitar serta bagaimana keinginan penduduk terhadap situs yang ada si sekitar mereka. Pelibatan masyarakat dalam penentuan zoonasi ini penting mengingat penetapan zoonasi terutama pada candi yang berada dekat dengan perkampungan warga akan berpengaruh terhadap kebebasan warga sekitar candi terutama dalam mendirikan bangunan. Melalui pelibatan ini diharapkan masyarakat dapat mengeluarkan pendapat apabila ada hal-hal yang kurang mereka setujui. Selain itu, diharapkan juga agar masyarakat tahu sampai mana saja batasan mintakat/zoonasi pada candi tersebut sehingga mereka tahu dimana tempat yang boleh atau tidak boleh mendirikan bangunan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
Sedangkan dalam hal pemindahan candi, komunikasi eksternal yang dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah adalah dengan menjaring masukan dari berbagai golongan lewat diskusi-diskusi. Rencana pemindahan candi yang dimaksud adalah pada candi Selogriyo yang mengalami longsor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pak Sugeng Widodo sebagai berikut: “Melihat lokasi candi yang rawan longsor, muncul perdebatan dari para ahli tentang bagaimana penanganan pada candi tersebut, apakah akan dipindahkan ke lokasi lain yang lebih aman ataukah akan disitu saja. Tapi kemudian diambil kesepakatan bahwa candi dikembalikan ke posisi semula, kemudian dibuat talud yang baru untuk mengantisipasi longsor lagi. Alasan tidak dipindahkan karena apabila dipindahkan maka filosofinya akan berubah. Tentunya nenek moyang kita waktu bikin candi itu tidak asal tapi penuh pertimbangan seperti menentukan arah hadap, lokasinya, mungkin juga ketinggiannya” (hasil wawancara 7 Fenruari 2011) Hal senada juga diungkapkan oleh Pak Junawan yakni sebagai berikut: “Pemindahan candi pernah dilakukan, yaitu di candi Selogriyo. Saat itu kami menggelar diskusi, mungki sampai 10 kali lebih untuk membicarakan masalah itu. Bagaimana bila ditinjau dari sisi arkeologi, dari sisi budaya, dari segi geologi, teknik dan lain sebagainya memungkinkan apa tidak. Bahkan perdebatan itu sangat lama, mungkin sampai ganti tahun baru diperoleh kesepakatan penanganannya” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari kedua pernyataan di atas, terlihat bahwa dalam pengambilan keputusan dalam hal penanganan candi Selogriyo yang longsor tidak ditentukan oleh BP3 Jawa Tengah saja, akan tetapi melibatkan berbagai pihak yang berkompeten di bidangnya seperti arkeolog, budayawan, ahli geologi dan sebagainya. Setelah ditemukan kesepakatan, baru kemudian ditentukan penanganannya. Hal ini membuktikan bahwa BP3 Jawa Tengah telah membangun komunikasi keluar, yakni dengan para ahli terkait. commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan untuk kegiatan pembebasan dan pensertifikatan tanah candi, pelibatan masyarakat yang dilakukan adalah dengan tetap melibatkan pemilik tanah dalam penentuan harga, dengan kata lain adalah masih ada sistem tawar menawar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pak Junawan sebagai berikut: “Ya ada tawar menawar. Kita dalam membeli akan mengikuti harga dari pasaran. Justru malah masyarakat itu akan menaikkan harga tanah mereka pas tau tanahnya akan dibeli Negara. Oleh karena itu, bisanya pas kita membuat rencana anggaran, harga akan kita naikkan karena biasanya begitulah yang terjadi di lapangan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak BP3 Jawa Tengah dalam membeli tanah tetap melihat harga di pasaran dan masyarakatlah yang biasanya menaikkan harga menjadi lebih tinggi dari harga tanah di pasaran. Jadi, walaupun Negara yang membeli bukan berarti harga tanah tersebut akan ditentukan sepihak yakni oleh negara saja dan pemilik tanah tersebut mau tidak mau harus menjualnya dengan harga rendah.
Aspirasi
pemilik
tanah
dalam
penentuan
harga
masih
diperhitungkan disini. 3. Akuntabilitas Akuntabilitas dalam penyelanggaraan pelayanan publik adalah sebuah ukuran yang menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.
commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akuntabilitas BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi dapat dinilai dari
seberapa besar
kebijakan
dan
kegiatan
perlindungan
yang
dilaksanakan tersebut dipertanggungjawabkan kepada pejabat di atasnya atau yang lebih tinggi. BP3 Jawa Tengah merupakan UPT (Unit Pelayanan Teknis) yang menangani bidang kepurbakalaan di Jawa Tengah, berada dibawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Oleh karena itu, semua kegiatan yang diselenggarakan harus dipertanggungjawabkan langsung kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Pertanggungjawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Hal ini seperti disampaikan oleh Wardiyah, staff bagian perencanaan BP3 Jawa Tengah seperti berikut: “...kita bertanggungjawabnya ke Direktur Sejarah dan Purbakala. Setiap tahun kita bikin LAKIP dan dikirim kesana. Biasanya diserahkan setiap awal tahun, ya bulan-bulan Januari biasanya.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah telah melaksanakan pertanggungjawaban kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala yang dituangkan dalam bentuk LAKIP yang dibuat setiap tahun dan diserahkan pada awal tahun. Tentang proses pembuatan LAKIP, disampaikan oleh Wardiyah sebagai berikut: “Setiap selesai pelaksanaan kegiatan, tiap pokja akan membuat laporan dan diserahkan kesini. Dari laporan-laporan tersebut nanti kita susun menjadi LAKIP yang kemudian diserahkan kepada Kepala BP3 Jawa Tengah. Setelah itu baru dikirim ke pusat” (hasil wawancara 21 Maret 2011) commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari wawancara di atas, dapat diketahui bahwa LAKIP disusun berdasarkan laporan kegiatan tiap pokja. Dari laporan tersebut dapat diketahui kegiatan apa saja yang dilakukan tiap bulannya, sehingga dalam satu tahun akan dapat diketahui sejauh mana pencapaian terhadap rencana kegiatan tahunan yang telah dibuat untuk tahun tersebut. LAKIP merupakan dokumen yang berisi gambaran perwujudan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP) yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga. LAKIP merupakan bentuk akuntabilitas publik secara vertikal dimana seluruh organisasi publik wajib untuk membuatnya. Oleh karena itu, agar tercipta keseragaman maka dalam pembuatannya juga mengacu pada sebuah pedoman yaitu SK Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang formatnya seperti di bawah ini: IKHTISAR EKSEKUTIF Pada bagian ini disajikan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategis serta sejauh mana instansi pemerintah mencapai tujuan dan sasaran utama tersebut, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pencapaiannya. Disebutkan pula langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut dan langkah antisipatif untuk menanggulangi kendala yang mungkin akan terjadi pada tahun mendatang. commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. PENDAHULUAN Pada bagian ini dijelaskan hal-hal umum tentang instansi serta uraian singkat mengenai mandat apa yang dibebankan kepada instansi (gambaran umum tupoksi). II. RENCANA STRATEJIK Pada bab ini disajikan gambaran singkat mengenai: Rencana stratejik dan Rencana kinerja. Pada awal bab ini disajikan gambaran secara singkat sasaran yang ingin diraih pada tahun yang bersangkutan serta bagaimana kaitannya dengan visi dan misi instansi. Rencana Stratejik Uraian singkat tentang rencana stratejik instansi, mulai dari visi, misi, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program instansi. Rencana Kerja Disajikan rencana kerja pada tahun yang bersangkutan, terutama menyangkut kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai sasaran sesuai dengan program pada tahun tersebut, dan indikator keberhasilan pencapaiannya. III. AKUNTABILITAS KINERJA Pada bagian ini disajikan uraian hasil pengukuran kinerja, evaluasi dan
analisis
menguraikan
akuntabilitas
kinerja,
secara sistematis
termasuk
keberhasilan
di dan
dalamnya kegagalan,
hambatan, kendala, dan permasalahan yang dihadapi serta langkahcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
langkah antisipatif yang akan diambil. Selain itu dilaporkan pula akuntabilitas keuangan dengan cara menyajikan alokasi dan realisasi anggaran bagi pelaksanaan tupoksi dan fungsi-fungsi lainnya, termasuk analisis tentang capaian indikator kinerja efisiensi. IV. PENUTUP Mengemukakan tinjauan secara umum tentang keberhasilan dan kegagalan, permasalahan dan kendala utama yang berkaitan dengan kinerja instansi yang bersangkutan serta strateji pemecahan masalah yang akan dilaksanakan di tahun mendatang. LAMPIRAN-LAMPIRAN Setiap bentuk penjelasan lebih lanjut, perhitungan-perhitungan, gambar, dan aspek pendukung seperti SDM, sarana prasarana, metode, dan aspek lain dan data yang relevan, hendaknya tidak diuraikan dalam badan laporan, tetapi dimuat dalam lampiran. Keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan dan perundang-undangan tertentu yang merupakan kebijakan yang ditetapkan dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran perlu dilampirkan. Jika jumlah lampiran cukup banyak, hendaknya dibuat daftar lampiran, daftar gambar, dan daftar label secukupnya. Sedangkan acuan yang digunakan BP3 Jawa Tengah dalam membuat LAKIP adalah seperti yang disampaikan Pak Gatot selaku Kepala Urusan Perencanaaan dan Evaluasi sebagai berikut: commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“biasanya tu sekitar bulan November Desember kita dapat surat edaran dari biro renkum (perencanaan dan hukum) kementerian Budpar” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan LAKIP, BP3 Jawa Tengah tidak berpedoman pada Pedoman Penyusunan LAKIP seperti di atas, tetapi mengacu pada surat edaran dari Biro Perencanaan dan Hukum Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada saat penulis membandingkan format LAKIP BP3 Jawa Tengah dengan format pada pedoman penyusunan LAKIP di atas, formatnya memang sudah benar dan sesuai dengan format di atas. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan pada isinya. Pada LAKIP BP3 Jawa Tengah, tidak terdapat adanya akuntabilitas keuangan, termasuk juga cara menyajikan alokasi dan realisasi anggaran bagi pelaksanaan tupoksi dan fungsi-fungsi lainnya, termasuk analisis tentang capaian indikator kinerja efisiensi. Setelah hal ini dikroscekkan pada pihak BP3 Jawa tengah, Pak Gatot memberikan penjelasan sebagai berikut: “o, kalau yang ini biasanya kita lampirkan. Biasanya kita menyertakan dua mbak, LAKIP sama dokumen laporan realisasi anggaran” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait alokasi dan realisasi anggaran ternyata dibuat terpisah dengan LAKIP. Perbedaan lain selain itu adalah tentang indikator kinerja yang dipakai. Pada pedoman penyusunan LAKIP yang dikeluarkan oleh LAN, dalam indikator kinerja commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kegiatan mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Akan tetapi pada LAKIP yang BP3 Jawa Tengah buat, indikator kegiatannya hanya sampai pada tingkat output saja, misalnya berapa jumlah candi yang dipugar, berapa kali mengadakan pameran, berapa kali dilakukan perbaikan pagar dan sebagainya. Setelah dikroscekkan pada BP3 Jawa Tengah, Pak Gatot memberikan penjelasan seperti di bawah ini: “...indikator kinerja itu pernah mengalami perubahan, dari tahun 2005-2009 itu paling tidak sudah 3 kali. Ada versi yang bilang bahwa di unit eselon III atau UPT seperti BP3, indikator kinerja hanya berhenti pada output, artinya kita hanya bicara soal kuantitas. Jadi berapa dipugar, berapa dipasang pagar, berapa peserta pameran. Kan cuma gitu. Versi yang kedua adalah indikator kinerja kita harus sampai ke tingkat outcome. Intinya seberapa besar pemahaman, berapa prosentase penurunan, efeknya ke masyarakat. ...dan indikator kinerja yang dipakai di instansi di atas kita (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata) kebanyakan juga pakai output. Jadi indikator kinerja yang kita pakai ya sampai output saja” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan indikator kinerja kegiatan yang dipakai BP3 Jawa Tengah hanya sampai pada output (hasil) saja. Pertama, karena indikator kinerja yang dipakai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata itu sering berubah sehingga dinilai cukup menyulitkan BP3 Jawa Tengah. Kedua, karena dari atas memang masih ada perdebatan tentang peyusunan indikator kinerja kegiatan cukup sampai output saja atau harus lebih. Ketiga, karena BP3 Jawa Tengah berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, maka bentuk LAKIP termasuk juga indikator commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
kinerja kegiatan yang dipakai juga sama dengan yang dipakai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yaitu sampai pada output saja. Penyusunan LAKIP yang dilakukan BP3 Jawa Tengah ternyata belum mencakup semua kegiatan yang dilakukan. Kegiatan rutin khususnya yang belum dapat masuk dalam LAKIP. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pak Gatot yaitu: “kegiatan yang dilakukan kan ada dua, kegiatan yang rutin sama kegiatan yang terkait tugas dan fungsi. Di LAKIP, yang rutin itu gak bakal keliatan. Kalau kita mengikuti indikator kinerja dari pusat, akan banyak aktivitas yang sifatnya lokal itu ndak akan kelihatan. Misalnya kegiatan yang sifatnya pendampingan, penilaian dampak rencana pembangunan. Itu secara realita kita melakukan dan memang dibutuhkan. Frekuensinya dalam satu tahun itu amat tinggi, tapi indikator kinerja gak ada yang mewadahi itu. Kalau kita ikuti indikator kinerja dari pusat, maka akan kelihatan tidak balance sama anggaran yang kita pakai” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pemaparan hasil wawancara terkait indikator akuntabilitas di atas dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah telah berusaha membuat LAKIP sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada instansi pemerintah yang berada di atasnya terkait kegiatan yang dilakukan. Namun, dalam proses pembuatannya BP3 Jawa Tengah banyak mengalami hambatan yang apabila dilihat memang hambatan tersebut datangnya dari luar. C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja Pencapaian kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat berasal dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi. Hal-hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong maupun faktor penghambat terhadap kegiatan perlindungan yang dilaksanakan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
Dibawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal-hal apa saja yang menjadi pendorong maupun hal-hal apa saja yang menjadi penghambat BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kaegiatan perlindungan candi di Jawa Tengah. 1. Faktor Pendukung Dalam upaya perlindungan terhadap candi yang dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah, peneliti mengamati bahwa dukungan dari masyarakat merupakan faktor pendukung yang paling berpengaruh terhadap kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi. Masyarakat di sini dikelompokkan menjadi 2, yakni masyarakat sekitar candi, dan LSM kebudayaan. a. Masyarakat Sekitar Candi Kepedulian masyarakat terhadap candi, terutama masyarakat yang berada di dekatnya sangatlah berpengaruh terhadap tingkat keamanan candi tersebut. Masyarakat umumnya sudah paham bahwa candi merupakan BCB yang dilindungi oleh negara. Masyarakat juga mengerti bahwa di dalam candi terdapat benda-benda kuno bernilai jual tinggi yang menjadi incaran kolektor dan pencuri. Oleh karena itu, biasanya masyarakat peduli dengan candi tersebut dan akan melakukan antisipasi apabila mengetahui hal-hal yang dapat merusak candi tersebut. Akan tetapi perlu kita ketahui juga bahwa tingkat kepedulian masyarakat itu ternyata berbeda-beda. Ada yang bentuk kepeduliannya sebatas pada tidak melakukan hal yang dapat commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merusak candi. Ada yang kepeduliannya dengan melakukan langkah antisipasi bila melihat hal-hal atau orang yang dicurigai memiliki niat buruk terhadap candi. Kemudian ada yang kepeduliannya dengan sering berkumpul di dekat candi sekaligus mengawasi dan mengamankannya. Tingkat kepedulian yang tinggi dari masyarakat sekitar candi dapat kita lihat di candi Sojiwan, Prambanan. Candi Sojiwan dapat dikatakan berada di tengah perkampungan warga karena pada saat penulis berkunjung ke candi tersebut, penulis mengamati bahwa candi Sojiwan dikelilingi
oleh
rumah-rumah
penduduk.
Tentang
kepedulian
masyarakat terhadap candi, ditunjukkan dengan adanya beberapa warga yang pada malam hari ikut berjaga. Hal ini seperti disampaikan oleh Pak Sumardi sebagaimana telah ditulis di atas yang menyatakan bahwa pada malam hari biasanya ada warga yang berkumpul di candi dan biasanya sampai jam 8 malam atau 12 malam. Bahkan terkadang ada yang sampai ikut tidur disana menemani satpam. Selain itu disebutkan juga bahwa banyak anak muda yang suka berkumpul duduk-duduk di luar pagar dekat candi sekaligus ikut mengawasi candi. Selain di candi Sojiwan, tingkat kepedulian masyarakat sekitar pada candi juga dapat dilihat di candi Ceto, Karanganyar. Candi ini sampai sekarang masih sering digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Orang yang beribadah di tempat ini adalah masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu. Selain itu banyak juga masyarakat commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari luar daerah seperti Surabaya, Jakarta dan daerah lainnya yang datang untuk beribadah. Lokasi candi Ceto yang berada di dekat perkampungan masyarakat desa dimana masyarakatnya mayoritas beragama hindu membuat candi tersebut lebih aman. Hal tersebut karena candi tersebut merupakan tempat ibadah bagi mereka dan oleh karenanya masyarakat tersebut merasa memiliki dan akan ikut menjaganya. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Pak Cipto selaku Juru Pelihara candi Ceto sebagai berikut: “masyarakat mriki katah sing agamane Hindu, dadose nggih melu njogo candi. Mriki aman mbak, menawi wonten nopo-nopo mengkeh dicegat ndalan, ngebel mriko, mriko, mriko pun ketemu barange. Dalane kan mung setunggal. Kalih sing ngandapngandap mriko pun akrab sedoyo, pun gadah nomer hapene. Nek kalih polsek-polsek sekitar nggih pun gadah nomere” (hasil wawancara 12 Maret 2011) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang mendukung keamanan candi Ceto adalah karena berada di lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, dan candi tersebut masih digunakan sebagai tempat ibadah. Selain itu, masyarakat sekitarnya juga sangat kompak dalam menjaga candi dan koordinasi yang terjalin antar masyarakat juga baik. Disamping itu, jupel dan masyarakat juga sudah berhubungan dekat dengan polsek setempat sehingga apabila terjadi pencurian di candi maka akan cepat diambil langkah penanganannya. b. LSM Budaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
LSM yang bergerak dalam bidang budaya jumlahnya cukup banyak diantaranya MADYA, Ratu Shima, dan sebagainya. Keberadaan LSM tersebut juga memberikan dampak positif bagi perlindungan candi karena LSM tersebut akan ikut memantau kondisi BCB dan Situs termasuk juga candi. Apabila ada candi yang mengalami kerusakan, ada menemuan BCB, ada kasus pencurian dan hal-hal lain terkait BCB dan Situs, mereka akan melaporkan ke pihak BP3 Jawa Tengah. BP3 Jawa Tengah memiliki wilayah kerja yang sangat luas dan oleh sebab itu akan sulit untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di daerah, kaitannya dengan BCB dan situs. Dengan adanya laporanlaporan dari LSM ini, maka apabila terjadi kerusakan, pencurian atau penemuan BCB akan cepat diketahui oleh BP3 Jawa Tengah dan dapat segera dilakukan penanganan. 2. Faktor Penghambat Selain ada hal-hal yang mendukung kegiatan perlindunagn yang dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah, ternyata ada juga hal-hal yang menghalangi atau menghambat kegiatan perlindungan yang dilakukan. Hal-hal yang dapat menghambat tersebut akan dijabarkan di bawah ini: a. Dana Dana merupakan salah satu faktor terpenting dan sangat berpengaruh terhadap kegiatan perlindungan yang dilaksanakan. Pemasangan papan larangan, pagar dan pos jaga membutuhkan dana. Untuk membayar gaji satpam dan juru pelihara juga butuh dana. Untuk commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membebaskan dan mensertifikatkan tanah juga perlu dana yang tidak sedikit. Disini dapat kita lihat bagaimana pentingnya dana dalam kegiatan perlindungan yang dilakukan dan semua membutuhkan dana. Padahal bila kita lihat, jumlah candi di Jawa Tengah sangat banyak. Selain itu, BCB dan situs di Jawa Tengah bukan hanya candi saja, banyak jenis BCB lainnya yang juga perlu dilestarikan. Sedangkan kegiatan pelestarian tidak hanya dilakukan dengan perlindungan saja, tetapi masih ada kegiatan lain seperti pemeliharaan, pemugaran dan lainnya. Oleh karena itu, dana yang turun dari pemerintah pusat akan dibagi-bagi dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan hanya sedikit dari dana tersebut yang akan masuk ke dalam kegiatan perlindungan pada candi. Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kegiatan perlindungan dalam pelaksanaannya seringkali terbentur masalah dana. Dampaknya
adalah
kita
masih
melihat
banyak
candi
yang
perlindungannya masih sangat kurang sehingga akan rawan terhadap tindak kejahatan kepadanya. b. Wilayah Kerja yang Luas Wilayah kerja BP3 Jawa Tengah adalah seluruh wilayah Jawa Tengah yang terdiri dari 35 Kabupaten dan Kota. Dengan begitu, candi yang menjadi obyek kegiatan perlindungan yang dilakukan adalah seluruh candi yang tersebar di 35 Kabupaten dan Kota tersebut dan sebagian besar berada di daerah terpencil. Luasnya wilayah kerja dan commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
banyaknya
candi
yang
harus
dilindungi
menjadikan
kegiatan
perlindungan yang dilakukan tidak bisa meksimal. Lokasi candi yang jauh dan terpencil seringkali menyebabkan pengawasannya menjadi minim. Komunikasi antara BP3 Jawa Tengah dengan satpam atau juru pelihara candi juga sangat jarang dilakukan, yaitu setiap tanggal dua atau mungkin saat ada kunjungan dari BP3 Jawa Tengah saja. Hal tersebut tentu saja akan berbeda dengan candi yang lokasinya tidak jauh dengan kantor BP3 Jawa Tengah. Candi-candi tersebut cenderung akan lebih diperhatikan karena jarak yang dekat dan dengan begitu apabila ada permasalahan akan langsung dapat ditangani. c. Dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota Selama ini campur tangan pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam kegiatan perlindungan candi bisa dikatakan masih sangat kurang. Hampir seluruh kegiatan perlindungan terhadap candi yang meliputi pemasangan pagar, pos jaga, lampu dan sebagainya diupayakan oleh BP3 Jawa Tengah, baik dalam hal SDM pelaksananya maupun dananya. Hal itu mungkin karena pengelolaan BCB yang di atur dalam UU No.5 tahun 1992 tentang BCB masih bersifat sentralistis atau terpusat. Hal-hal yang akan diberlakukan terhadap candi harus diberitahukan dahulu kepada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah pada BP3 Jawa Tengah sebagai wakilnya di daerah. Semua tergantung pada persetujuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
dari BP3 Jawa Tengah. Dengan begitu, pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas pada candi-candi yang ada di daerahnya. Selain itu apabila nantinya daerah dimungkinkan untuk mengelola candi di daerahnya secara mandiri, daerah tersebut belum tentu memiliki SDM yang dibutuhkan dalam pengelolaan candi seperti ahli arkeologi, arsitektur, dan sebagainya. Apabila terjadi hal-hal terhadap candi, tentunya daerah tidak akan mampu melakukan penanganan yang tepat karena tidak memiliki SDM yang berkompeten di bidangnya. Alasan lain adalah melihat komitmen tiap-tiap daerah untuk melestarikan BCB itu berbeda-beda. Ada yang sungguh-sungguh melestarikannya, ada pula yang hanya membiarkannya. Biasanya itu tergantung dari bagaimana ketertarikan yang dimiliki Kepala Derah. Apabila Kepala Daerah tersebut tertarik dalam bidang ekonomi, maka program-programnya seputar kegiatan pembangunan ekonomi saja. Apabila Kepala Daerah tertarik dalam bidang pendidikan, maka programnya akan diarahkan untuk pengembangan pendidikan. Apabila Kepala Daerahnya tertarik dalam bidang kebudayaan, baru pada kondisi itu akan banyak program yang berkaitan dengan pengembangan kebudayaan, pelestarian BC dan situs di daerahnya. Hal-hal itulah yang mungkin menjadikan pengelolaan BCB sampai sekarang masih diselenggarakan oleh pemerintah pusat yaitu BP3 Jawa Tengah. Seandainya semua daerah telah berkewajiban dan punya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
komitmen dalam urusan kebudayaan serta punya SDM yang memadai, maka perlindungan terhadap candi otomatis juga akan berjalan lebih baik. Dengan kondisi sekarang dimana beban yang ditanggung BP3 Jawa Tengah sangat besar, maka tindakan perlindungan yang dilakukan tidak akan dapat optimal. Berbeda bila beban itu dibagi pada masingmasing daerah, beban yang ditanggung akan lebih ringan dan perlindungan yang dilaksanakan dapat lebih optimal. d. Kolektor BCB Berbagai upaya telah dilakukan BP3 Jawa Tengah untuk melindungi candi baik dari kerusakan oleh alam maupun oleh manusia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, BP3 Jawa Tengah masih harus berhadapan dengan kolektor yang senantiasa mengincar keberadaan arca dan benda berharga lainnya di dalam candi. Kasus pencurian BCB biasanya tidaklah sesederhana kasus pencurian motor. Diduga ada semacam jaringan internasional yang mencuri BCB dan menjualnya pada kolektor dengan harga sangat tinggi. BCB yang hilang tiba-tiba berada luar negeri dan siap untuk dilelang. Oleh karena itu, wajar apabila penanganan kasus pencurian BCB akan banyak menyita tenaga, pikiran dan waktu. Bahkan, hal tersebut dapat saja menghambat kegiatan BP3 Jawa Tengah yang lain. Seringkali dalam kasus pencurian BCB yang dapat tertangkap hanya commit to user
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencuri atau pengepulnya saja. Untuk jaringan pencurian BCB tersebut masih belum dapat dilacak hingga saat ini.
commit to user
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian kinerja melalui tiga indikator yang digunakan, seperti di bawah ini: 1. Produktivitas Dalam hal melaksanakan perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, produktivitas BP3 Jawa Tengah adalah baik. Hal tersebut dikarenakan kegiatan perlindungan yang dihasilkan didasari oleh pertimbangan yang matang dan berdasarkan pada skala prioritas, serta memaksimalkan sumberdaya yang ada. Dalam melakukan pemasangan papan larangan dan pagar, BP3 Jawa Tengah telah mempertimbangkannya dari segi bahan, estetika, keawetan, serta harga. Dalam hal membangun pos jaga, menempatkan satpam serta melakukan pemintakatan, BP3 Jawa Tengah mendahulukan candi yang sekiranya memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Selain itu dalam melakukan pengamanan pada candi di lokasi terpencil yang belum memiliki satpam, BP3 Jawa Tengah memaksimalkan sumberdaya yang ada yakni juru pelihara candi tersebut untuk merangkap tugas sebagai satpam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
2. Responsivitas Responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan perlindungan pada candi-candi di Jawa Tengah adalah cukup baik. Hal tersebut karena BP3 Jawa Tengah telah memiliki website dimana melalui website itu masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka. Sayangnya, BP3 Jawa Tengah belum memberikan respon atau tanggapan terhadap aspirasi tersebut. Selain itu, setiap ada laporan dari masyarakat terkait penemuan atau kerusakan BCB akan segera dilakukan peninjauan. Tidak hanya itu, dalam melaksanakan pemintakatan BP3 Jawa Tengah juga selalu melibatkan masyarakat sekitar candi untuk dimintai pendapatnya. Sedangkan terkait masukan masyarakat terkait pelaksanaan kegiatan perlindungan, sepertinya BP3 Jawa Tengah belum dapat menjaring masukan itu. Untuk masalah komunikasi antara BP3 Jawa Tengah dengan petugas ujung tombak di lapangan yakni satpam dan juru pelihara, sepertinya masih kurang. Hal itu karena melihat masih adanya perbedaan pandangan tentang cukup atau tidaknya fasilitas penunjang keamanan pada lokasi candi. 3. Akuntabilitas Akuntabilitas BP3 Jawa Tengah terhadap kegiatan perlindungan yang telah dilakukan adalah baik. BP3 Jawa Tengah telah melaksanakan pertanggungjawaban kegiatan melalui LAKIP kepada kepada instansi di atasnya yakni Direktorat Sejarah dan Purbakala. Akan tetapi dalam pelaksanaanya mengalami hambatan yang disebabkan oleh indikator commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kinerja yang digunakan untuk menyusun sebuah LAKIP sering berubah. Peubahan tersebut merupakan keputusan dari pemerintah pusat, yakni Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dimana BP3 Jawa Tengah sebagai UPT kementerian tersebut harus mengikuti perubahan tersebut. Selain itu, banyak kegiatan yang sifatnya rutin belum dapat dimasukkan ke dalam LAKIP. Walaupun begitu, BP3 Jawa Tengah terus membuat LAKIP dengan segenap kemampuan yang ada. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, dimana faktor-faktor tersebut dapat mendukung kinerja ataupun sebaliknya. Faktor-faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah adalah masyarakat sekitar candi yang peduli terhadap keberadaan candi, contohnya adalah masyarakat sekitar candi Ceto dan Sojiwan. Selain itu LSM yang bergerak di bidang budaya juga turut mendukung karena biasanya LSM tersebut akan ikut memantau kondisi candi. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi di Jawa Tengah adalah jumlah dana yang terbatas, wilayah kerja yang luas meliputi seluruh Jawa Tengah, kurangnya dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, dan ancaman dari kolektor BCB. B. Saran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
137 digilib.uns.ac.id
Dari kesimpulan di atas, peulis akan menyampaikan beberapa saran dengan harapan dapat ikut membantu BP3 Jawa Tengah dalam meningkatkan kinerjanya pada waktu yang akan datang. Saran tersebut adalah seperti di bawah ini: 1. Dalam penyusunan kegiatan perlindungan, hendaknya pada waktu yang akan datang BP3 Jawa Tengah tidak melupakan candi-candi yang berada di lokasi terpencil. Sekecil apapun candi itu, tetaplah memiliki keistimewaan sendiri yang bisa jadi tidak dimiliki oleh candi besar sekalipun. 2. Sebaiknya BP3 Jawa Tengah lebih mengembangkan websitenya agar dapat menyerap lebih banyak aspirasi masyarakat. BP3 Jawa Tengah harus berusaha memberikan tanggapan atas setiap aspirasi masyarakat yang masuk, sebagai bentuk penghargaan atas kepedulian masyarakat atas candi. Hal lain yang harus dioptimalkan adalah penggunaan buku tamu agar tidak hanya berfungsi untuk mencatat jumlah pengunjung saja, tetapi dapat digunakan sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat. Hal tersebut juga harus disertai himbauan kepada satpam dan juru pelihara supaya melaporkan apabila ada aspirasi masyarakat yang tertulis di buku tamu. Selain itu, BP3 Jawa Tengah sebaiknya lebih intens menjalin komunikasi dengan petugas di lapangan seperti satpam dan juru pelihara. Bagaimanapun juga, mereka adalah petugas lapangan yang mengetahui secara pasti bagaimana kondisi yang ada serta apa saja hal-hal yang sangat commit to user dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pengamanan.
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Akan lebih baik lagi kalau BP3 Jawa Tengah dalam pemenuhan saranaprasarana perlindungan tidak hanya bergantung pada dana dari pusat saja. Misalnya tentang arisan HT di candi Plaosan Lor yang diikuti oleh para satpam, bisa saja lingkup arisan itu dibuat lebih besar lagi sehingga membuka peluang bagi para satpam maupun juru pelihara yang bertugas di candi lain yang berminat agar dapat ikut. 4. Selama ini sepertinya tidak ada wadah atau bagi orang-orang yang menaruh minat atau kepedulian besar pada candi. Padahal bisa jadi jumlahnya besar, tetapi orang-orang tersebut sulit menyalurkan minatnya tersebut. Dengan dibuatnya sebuah komunitas atau organisasi pecinta candi misalnya, organisasi tersebut akan ikut membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami candi. Nantinya komunitas ini dapat bekerjasama dengan BP3 Jawa Tengah dan dapat berbagi tugas. Bisa saja komunitas ini mendapat tugas menggalang dana untuk pembangunan fasilitas penunjang kegiatan perlindungan candi, dan mengkampanyekan pada masyarakat tentang nilai penting candi.
commit to user