KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh Widodo NIM : 21111039
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
MOTTO
خيركم من تعلم القران وعلمه (Rasulullah saw)
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ORANG YANG SELALU MENEBAR KEBAIKAN DAN MEMBERI MANFAAT BAGI ORANG LAIN” (Rasulullah saw)
“Teringat ku teringat akan janji-MU ku terikat Hanya sekejap ku berdiri Ku lakukan sepenuh hati Peduli ku peduli siang dan malam yang berganti Sedih ini tak ada arti Jika KAU lah sandaran hati” (Letto)
v
PERSEMBAHAN
Ayahanda & Ibunda Tercinta… Karena dengan bimbingan, kasih sayang dan doa restu keduanyalah aku mampu melangkah ke depan dengan penuh optimis untuk meraih cita-citaku Bapak KH. Abdullah Hanif & Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh Pengasuh PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an Yang saya nanti-nantikan berkah & ridhonya Rektor IAIN Salatiga beserta segenap sivitas akademika IAIN Salatiga, yang telah banyak memberikan ilmu, dukungan, dan bantuannya. Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku dosen pembimbing, yang telah dengan senang hati membimbing saya hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini Ketua Pengadilan Agama Mungkid beserta seluruh Hakim dan jajaran pegawai Pengadilan Agama Mungkid, yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di instansinya. Teman-teman seperjuangan AS 2011 Segenap Pengurus Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an Semua santri Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an Terima kasih atas persahabatan yang indah ini Semua pihak yang membantu selama penulisan skripsi ini.
vi
KATA PEGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamien, segala puji syukurku hanya bagi Allah SWT yang
Maha Mengetahui apa yang tampak maupun tersembunyi, karena atas
rahmat, hidayah, dan inayah serta taufiq-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Lantunan Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rosulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman Jahiliah menuju zaman Islamiah atau zaman kegelapan menuju zaman terang benderang, semoga pada ahir kelak kita diakui oleh umatnya dan mendapat syafa’atnya, Amin. Alhamdulillah,
dengan
rasa
syukur
penulis
skripsi
dengan
judul
“KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT NIKAH
PADA
PERKAWINAN
YANG
DILAKSANAKAN
PASCA
BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Keputusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” ini telah selesai. Skripsi ini merupakan salah satu karya guna memperoleh gelar Sarjana Syariah Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Hasil karya ini tidak lepas dari peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa pamrih memperlancar penulisan ini.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Ag sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah. 3. Bapak Sukron Makmun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AS.
vii
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya semata-mata untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga terselesainya skripsi ini. 5. Seluruh Bapak, Ibu Dosen IAIN Salatiga. 6. Drs. Lanjarto, MH, besrta stafnya di Pengadilan Agama Mungkid yangberkenan memberikan izin kepada
penulis untuk mengadakan
penelitian di sana. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan doa serta motivasinya, baik moral maupun spiritual. 8. Kepada siapapun yang memberikan ilmunya padaku, semoga Allah memberikan pembalasan dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. 9. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan
dan
dukungannya
hingga
peneliti
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada semuanya atas bantuan yang diberikan, penulis berdoa semoga amal baik dari beliau semua mendapatkan balasan yang sesuai dan mendapatkan ridlo Allah SWT. Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, peneliti membuka tangan yang selebar-lebarnya terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan peneliti pada khususnya. Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Salatiga, 13 Juli 2015 Penulis
viii
ABSTRAK Widodo. 2015. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Isbat Nikah Pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd). Skripsi Fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal alSyakhshiyyah., Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing : Heni Satar Nurhaida, M.Si. Kata Kunci : Kewenangan, Pengadilan Agama, Isbat Nikah, Perkawinan, UU Perkawinan. Berdasarkan penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 bahwa permohonan Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun Pengadilan Agama Mungkid melalui penetapan Isbat Nikah Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd mengabulkan permohonan Isbat Nikah yang perkawinan para pemohon dilakukan pada tahun 1989. Hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari kedudukannya, berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiori, KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang akan penulis kaji : Pertama, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Kedua, bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut UndangUndang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian yang dilakukan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif. Dasar hukum dan pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut adalah pasal 7 ayat (3) huruf (e) KHI, pengakuan dari para pihak serta pertimbangan maslahah bagi masyarakat. Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terbatas pada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan. Namun pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam juga memberikan kewenangan Pengadilan Agama mengadili Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Namun, tidak ada pertentangan antara kedua ketentuan tersebut. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh hakim adalah sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada perkawinan paska UU Perkawinan. ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i PENGESAHAN…………………………………………………………………..ii NOTA PEMBIMBING…………………………………………………………..iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………………….iv MOTTO……………………………………………………………………………v PERSEMBAHAN………………………………………………………………...vi KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii ABSTRAK………………………………………………………………………..ix DAFTAR ISI………………………………………………………………………x BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..………………………………………………….1 B. Rumusah Masalah………………………………………………………....6 C. Tujuan Penelitian.………………………………………………………....6 D. Kegunaan Penelitian……...…………………………………………….….7 E. Penegasan Istilah…………………………………………………………..8 F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………..9 G. Metode Penelitian………………………………………………………...11 H. Sistematika Penulisan…………………………………………………….15 BAB II ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Isbat Nikah……………………………………………….………………17 1. Pengertian Isbat Nikah…….…………………………………………17
x
2. Dasar Hukum Isbat Nikah …………….…………………………….18 3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama…………………………20 B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia. ……………………………………………………………….22 1. Sejarah Lahirnya KHI……………………………………………….22 2. Sistematika KHI……………………………………………………..23 3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia…25 BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN
AGAMA
MUNGKID
NOMOR
:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd A. Peradilan Agama…………………………………………………………27 1. Pengertian Peradilan Agama…………………………………………27 2. Sejarah Peradilan Agama…………………………………………….28 3. Kewenangan Peradilan Agama………………………………………33 B. Profil Pengadilan Agama Mungkid………………………………………44 1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid…………………………………44 2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid………………………...………45 3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid…………………….……46 4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid………….…….47 5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid……………………51 6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid………………..52 C. Penetapan
Isbat
Nikah
Pengadilan
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd
xi
Agama
Mungkid
Nomor
:
1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..56 2. Penyelesaian Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..57 3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..60 BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/PDT.P/2014/PA.Mkd A. Analisis Hukum Acara (Hukum Formil) Penetapan Hakim Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……………………64 1. Pihak-Pihak dalam Perkara…………………………………………..64 2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah…………………….64 3. Proses Persidangan…………………………………………………...66 4. Format Penetapan…………………………………………………….70 B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materil) terhadap Penetapan
Pengadilan
Agama
Mungkid
Nomor
:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……………………………………………….73 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………78 B. Saran-Saran………………………………………………………………80 C. Penutup…………………………………………………………………...81 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………82 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi sunnatullah jika segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, demikian halnya dengan manusia yang diciptakan berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Hikmah yang terkandung adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia melalui perkawinan yang sah. Dengan perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dari pergaulan harmonis tersebut akan terbina rumah tangga yang damai dan tenteram. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang
kuat
sebagai
bentuk
ketaatan
kepada
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Mengingat kedudukan hukum perkawinan sangat penting menurut Islam, maka tidak salah jika Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat rinci. Negara juga turut campur dalam menangani masalah yang berkaitan seputar perkawinan dengan diterbitkannya peraturan yang mengatur perkawinan. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Sipil (BW), Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelyks Ordonansi voor de Christenen Indonesiers), Staatsblad 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde
1
Huwelyken), Staatblad 1898 No. 158 dan Undang-undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 No. 32 serta Peraturanperaturan Menteri Agama mengenai pelaksanaannya. (Basyir, 1980:7) Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974 diterbitkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diterbitkannya undangundang tersebut, maka peraturan-peraturan sebelumnya sejauh telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan menurut hukum Islam. Namun pencatatan ini hanya bersifat administratif guna memperoleh akta nikah sebagai bukti otentik telah dilakukannya suatu perkawinan. Dengan memiliki akta nikah berarti pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan memperoleh perlindungan serta kepastian hukum dari negara.
2
Dengan demikian, pasca terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjadi sebuah keharusan perkawinan supaya dicatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau ke Pengadilan Negeri bagi non-muslim. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dijelaskan kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 ditentukan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. (Djalil, 2006:142) Salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama yang diberikan undang-undang tersebut dalam bidang perkawinan adalah permohonan Isbat Nikah. Dalam penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 UndangUndang No. 3 Tahun 2006 dinyatakan yang dimaksud Isbat Nikah adalah “Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain”. Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa permohonan Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.
3
1 Tahun 1974. Namun dalam prakteknya, Isbat Nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama sebagian besar adalah perkawinan yang dilakukan setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Salah satu contoh adalah penetapan Isbat Nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd yang perkawinan para pemohon dilakukan pada tahun 1989. Dasar hukum yang sering digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal 7 (2) disebutkan “Dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Pasal 7 (3) berbunyi : Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b) Hilangnya Akta Nikah; c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan; e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari kedudukannya, tidak ditemukan dalam hierarki perundang-undangan yang diatur Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, posisi KHI berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan stufenbau teori yang disampaikan oleh Hans Kelsen, peraturan perundang-
4
undangan terbawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada di atasnya. (Farkhani, 2009:44-45) Jika Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka KHI tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya). Berdasarkan paparan di atas, seharusnya hakim Pengadilan Agama menolak permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dikhawatirkan dengan diterimanya permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berakibat semakin maraknya nikah sirri karena pada akhirnya dapat diisbatkan di Pengadilan Agama. Dari uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti kasus tersebut dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI
ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG
DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN” (Studi Analisis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”.
5
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas ada beberapa masalah yang akan penulis kaji, yaitu : 1. Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd? 2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. 2. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam.
6
D. Kegunaan Penelitian Adapun manfaat penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Dapat
menambah
pengetahuan
dalam
mempelajari
dan
mendalami ilmu hukum khususnya tentang permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama. b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum serta berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang Hukum Perkawinan terutama terkait dengan masalah Isbat Nikah masa kini dan masa yang akan datang. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : a. Bagi Hakim Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar dan tepat dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar hukum yang dipakai dalam mengadili permohonan Isbat Nikah. b. Bagi Para Pihak Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan dengan masalah Isbat Nikah. Serta dapat menjadi rujukan terkait permohonan Isbat Nikah.
7
E. Penegasan Istilah Kata
“kewenangan”
di
sini
sering
disebut
juga
dengan
“kompetensi”. Kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama terdiri atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Isbat Nikah merupakan salah satu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama. Pengertian kompetensi absolut adalah “kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain”. (Mahkamah Agung RI, 2014:69) Pengadilan Agama “merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang”. (Mahkamah Agung RI, 2014:55) Mengadili artinya “memeriksa, menimbang, dan memutuskan (perkara, persengketaan dsb)”. (Poerwadarminta, 1982:16) Isbat Nikah adalah pengesahan perkawinan yang tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pengadilan Agama. (KHI pasal 7) Menurut pasal (1) UU No. 1 tahun 1974 (2006:40), Perkawinan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
8
F. Tinjauan Pustaka Sebagaimana
diketahui
bahwa
judul
skripsi
ini
adalah
“Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Permohonan Isbat Nikah Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”. Melalui Penelitian ini, Penulis ingin mengungkapkan
bagaimana kewenangan yang menjadi kompetensi
absolut dari Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam. Serta bagaimana pendapat hakim Pengadilan Agama Mungkid dalam menyikapi terjadinya perbedaan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah. Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang Isbat Nikah : 1.
Skripsi karya Asa Maulida Sulhah dengan judul “Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Salatiga mulai pendaftaran perkara sampai pembacaan penetapan. Dijelaskan pula, bahwa faktor yang mendorong
9
masyarakat Salatiga mengajukan Isbat Nikah adalah karena Akta Nikah mereka hilang. Untuk itu mereka mengajukan permohonan Isbat Nikah supaya KUA mengeluarkan Akta Nikah baru yang menjadi bukti otentik adanya perkawinan. 2. Skripsi karya Achmad Kurniawan dengan judul “Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”.
Dari
penelitian
tersebut,
diuraikan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon yang mengajukan Isbat Nikah pada perkawinan kedua (poligami) pemohon meskipun
perkawinan
tersebut
dilakukan
secara
sirri.
Dasar
pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut dikarenakan seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Sementara dasar hukum yang dipergunakan oleh hakim mengesahkan perkawinan dalam rangka izin poligami adalah karena perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaan sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974. Sehingga perkawinan yang sudah sesuai dengan bunyi undang-undang dianggap sah meskipun tidak dicatatkan.
10
G. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akurat guna menjawab rumusan masalah yang diformulasikan, maka metode penelitian yang penulis gunakan adalah : 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian
yang
menghasilkan
prosedur
analisis
yang
tidak
menggunakan prosedur analisis statistif atau cara kuantifikasi lainnya. (Moleong, 2008:6) Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan.
Penelitian
kepustakaan
dilakukan
untuk
mendapatkan data dengan bahan atau materi salinan penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Selanjutnya dilakukan penelitian lapangan untuk menggali lebih dalam alasan-alasan hakim Pengadilan Agama Mungkid dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan. Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan Yuridis Normatif. Yaitu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dengan pendekatan ini akan dapat mengetahui semua hal tentang kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah menurut perundang-undangan dan prakteknya di Pengadilan Agama.
11
2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari dokumen salinan penetapan Isbat Nikah yang akan dijadikan bahan analisis serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui statusnya sebagai peneliti. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Mungkid. Karena kasus yang sesuai dengan judul penelitian, penulis temukan di Pengadilan Agama Mungkid. 4. Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah salinan penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Sebagai sumber data tambahan, penulis juga melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Mungkid untuk lebih memperjelas data yang dibutuhkan. Selain itu, data juga diperoleh dari literatur yang mendukung dan berkaitan dengan penelitian ini.
12
5. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik mencari data mengenai hal-hal yang variabel yang memungkinkan untuk dijadikan referensi berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. (Suharsimi, 1998:236) Dalam hal penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah berupa berkas salinan penetapan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Mungkid. b. Wawancara Wawancara digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung. (Surakhmad, 1990:170) Wawancara ini dilakukan untuk menggali keterangan tentang pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengadili permohonan Isbat Nikah. Sasaran wawancara adalah hakim Pengadilan Agama Mungkid. c. Studi Pustaka Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku, surat kabar, makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku tentang hukum perkawinan di Indonesia maupun fiqh munakahat sebagai rujukan. Penulis juga menggunakan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan sebagai rujukan tambahan dan pembanding.
13
6. Analisa Data Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum tentang Isbat Nikah, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan Pengadilan Agama Mungkid
Nomor
:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.
Hasil
penelitian
kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut, sehingga mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti dalam penelitian ini. 7. Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa fakta. Fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik kehadiran peneliti di lapangan, pelacakan kesesuaian dan wawancara. Jadi temuan data tersebut dapat diketahui keabsahannya. 8. Tahap-tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Mungkid untuk mencari data awal mengenai
kasus
Isbat
Nikah.
Kemudian
penulis
melakukan
pengembangan desain dari data awal tadi dan selanjutnya penulis
14
melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
H. Sistematika Penulisan Untuk mempeoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas, dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian pustaka yang menjelaskan tinjauan umum tentang Wewenang Pengadilan Agama, Isbat Nikah, dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Bab III merupakan hasil temuan di lapangan yang meliputi profil Pengadilan Agama Mungkid, salinan Penetapan Isbat Nikah Nomor : 00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd dan faktor-faktor yang melatarbelakangi dikabulkannya permohonan tersebut. Bab IV merupakan analisis data dan temuan di lapangan, yang meliputi analisis terhadap pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah Nomor : 00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.
15
Bab V adalah kesimpulan dari beberapa bab terdahulu. Di samping itu penulis akan memberikan saran dan diakhiri dengan penutup.
16
BAB II ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Isbat berasal dari bahasa Arab االثباتyang berarti penetapan atau pengukuhan. Menurut pasal 7 KHI, Isbat Nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, yang tidak dicatatkan ke KUA oleh Pengadilan Agama. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan ini memang tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, karena pencatatan hanya untuk
keperluan
administratif.
Dengan
dicatatkannya
suatu
perkawinan, maka yang bersangkutan akan mendapat Akta Nikah yang merupakan bukti otentik suatu perkawinan. Sehingga perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum dan perlindungan dari negara. Bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum itu bagi suami-isteri adalah, jika salah satu dari suami atau isteri melalaikan kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke pengadilan. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang dicatatkan akan memperoleh hak-haknya berupa biaya hidup dan biaya
17
pendidikan dari ayahnya jika ayah dan ibunya bercerai. Atau jika ayahnya meninggal dunia maka anak tersebut berhak untuk mendapatkan warisan. Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Isbat Nikah atau penetapan perkawinan adalah pengesahan perkawinan yang dicatatkan kepada PPN oleh Pengadilan Agama. Pengadilan
Agama
hanya
diperbolehkan
mengabulkan
permohonan Isbat Nikah sepanjang perkawinan memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8 s/d 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 s/d 44 Kompilasi Hukum Islam. Dengan penetapan dari Pengadilan Agama itu, pemohon dapat mengajukan pencatatan perkawinannya ke KUA.
2. Dasar Hukum Isbat Nikah Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah diatur dalam pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal tersebut berbunyi “Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lainnya”.
18
Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dan pasal 7 ayat (3) berbunyi : Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halanganmenurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Berdasarkan penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 22 UndangUndang No. 3 Tahun 2006, permohonan Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama hanya pada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sementara Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, dan e membuka peluang bagi Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
19
3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan Isbat Nikah sebagaimana diatur pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (2014:143-146) harus memedomani hal-hal sebagai berikut : a. Permohonan Isbat Nikah dapat dilakukan oleh suami-isteri atau salah satu dari suami atau isteri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan permohonan Isbat Nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit. b. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh suami dan isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan Isbat Nikah, maka para pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi. c. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami atau isteri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon. Produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. d. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah dalam huruf (b) dan (c) diketahui bahwa suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak bersedia merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. e. Permohonan Isbat Nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai termohon. f. Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon. Produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. g. Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka
20
permohonan Isbat Nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. Jika permohonan tersebut ditolak, maka pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi. h. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (b) dan (f), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perkara belum diputus. i. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perakara belum diputus. j. Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut. k. Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima PMH, membuat PHS sekaligus memerintahkan juru sita pengganti untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah. l. Majelis Hakim dalam menetapkan hari siding paling lambat 3 hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang. m. Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi “Menyatakan sah perkawinan antara………dengan………yang dilaksanakan pada tanggal………………..di…………………”.
21
B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia 1. Sejarah Lahirnya KHI Dalam Islam dikenal ada tiga sumber hukum utama yaitu, alQur’an, Sunnah dan Ra’yu (akal) untuk berijtihad. Ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah masih bersifat umum sehingga masih memerlukan penafsiran dan perincian sehingga mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang diperoleh dari al-Qur’an dan Sunnah yang telah diperinci inilah yang disebut dengan Fiqh. Fiqh yang berlaku dikalangan umat Islam beraneka ragam. Kalangan Sunni mengenal empat mazhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali yang masing-masing memiliki kitab fiqh sendiri-sendiri sebagai pedoman. Di Indonesia, sebagian besar mengikuti mazhab Syafii sebagai panutan dalam menentukan hukum. Di lingkungan peradilan agama, ada 13 kitab yang semuanya mazhab Syafii sebagai hukum materiil yang digunakan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan. Banyaknya kitab fiqh yang digunakan berakibat sering dijumpai putusan yang berbeda untuk perkara yang sama. Hal ini memicu ketidakpastian hukum dikalangan umat Islam yang mencari keadilan. Inilah yang mendorong pakar hukum Islam untuk melakukan unifikasi di bidang hukum keluarga.
22
Untuk menyusun sebuah unifikasi hukum ini, diadakan berbagai
kegiatan
seperti
penelitian
kitab
kuning,
penelitian
yurisprudensi, wawancara dengan ulama seluruh Indonesia, studi banding ke Timur Tengah dan diakhiri dengan pengolahan data dan lokakarya nasional. Dari lokakarya ini berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI). (Muhibbin & Wahid, 2009:176)
2. Sistematika KHI Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku yang berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang Perkawinan (Buku 1), Kewarisan (Buku 2), dan Perwakafan (Buku 3). Sistematika dari ketiga buku tersebut dapat dirinci sebagai berikut : a. Hukum Perkawinan (Buku 1) 1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1) 2) Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10) 3) Bab III Peminangan (Pasal 11-13) 4) Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29) 5) Bab V Mahar (Pasal 30-38) 6) Bab VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44) 7) Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52) 8) Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54) 9) Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59) 10) Bab X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
23
11) Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76) 12) Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84) 13) Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97) 14) Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106) 15) Bab XV Perwalian (Pasal 107-112) 16) Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148) 17) Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162) 18) Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169) 19) Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170) b. Hukum Kewarisan (Buku 2) 1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171) 2) Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175) 3) Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191) 4) Bab IV Auld an Rad (Pasal 192-193) 5) Bab V Wasiat (Pasal 194-209) 6) Bab VI Hibah (Pasal 210-214) c. Hukum Perwakafan (Buku 3) 1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215) 2) Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat Wakaf (Pasal 216222) 3) Bab III Tata Cara Perwakafan (Pasal 223-224) 4) Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal 225-227)
24
5) Bab V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal 228-229)
3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia Dasar hukum KHI yang hanya berupa Instruksi Presiden (Inpres) dianggap belum memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Meskipun begitu, fakta di lapangan menunjukkan KHI tetap digunakan sebagai rujukan oleh hakim di lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara. Hal ini dikarenakan KHI dianggap sebagai fiqh khas Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal-pasal KHI banyak diambil dari pendapat Imam Syafii yang diikuti oleh mayoritas orang Indonesia, sehingga KHI dapat diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya Inpres memang bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak dicantumkan dalam tata urutan perundang-undangan. Inpres merupakan arahan atau perintah presiden kepada bawahannya yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai. Instruksi presiden hanya dapat mengikat menteri, atau pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah presiden dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan. Kedudukan Inpres No.1 tahun 1991 tentang KHI memang sangat problematik. Jika ditinjau sisi luarnya Inpres ini bukan termasuk peraturan perundang-undangan karena Inpres hanya berupa arahan
25
presiden terhadap bawahannya. Akan tetapi jika ditinjau dari pasalpasalnya, dapat dikatakan Inpres tersebut mengandung norma atau peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak, dan terusmenerus. (Harahab dan Omara, 2010:643) Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 pasal 7 ayat (1) yang menjelaskan jenis dan hierarki perundang-undangan, Inpres tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pasal 7 ayat (4) disebutkan “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang
lebih
tinggi”.
Dengan
demikian,
dimungkinkan Inpres menjadi salah satu jenis peraturan perundangundangan meskipun tidak tercantum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi posisi dari Inpres juga masih tidak jelas, apakah di bawah Peraturan Presiden (Perpres) atau di bawah Peraturan Pemerintah (PP).
26
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd TENTANG ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKUKAN PASKA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN
A. Peradilan Agama 1. Pengertian Peradilan Agama Peradilan adalah proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Sementara Pengadilan adalah lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai peraturan perundang-undangan. (Musthofa, 2005:5-6) Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. (Rasyid, 2010:6) Jadi kompetensi Peradilan Agama tidak mencakup tindak pidana, perkara perdata pun dibatasi pada perkara perdata tertentu menurut Islam. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, disebutkan “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Selanjutnya pasal (2) berbunyi “Pengadilan Agama
27
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”. Namun dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, setelah perubahan tersebut Pengadilan Agama juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara non perdata, seperti perkara pidana atas pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan sanksi jinayah atas pelanggaran qanun di Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Sejarah Peradilan Agama Peradilan Agama sudah mulai dikenal sejak masuknya Islam di Indonesia (Nusantara). Semakin berkembangnya eksistensi Peradilan Agama disebabkan oleh kesadaran hukum dan kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga yang mampu menyelesaikan sengketa hukum. Hal ini dapat dipahami mengingat jabatan dan fungsi hakim atau qadhi merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan syara’. Seiring dengan semakin berkembangnya agama Islam dan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat muslim, maka kebutuhan akan hakim atau qadhi semakin meningkat. Bahkan dalam keadaan tidak
28
ada hakim, masyarakat menyelesaikan sengketa dengan cara tahkim. Tahkim adalah penyerahan kedua belah pihak yang bersengketa kepada
pihak
ketiga
(muhakkam)
untuk
menyelesaikan
persengketaannya. Penyelesaian sengketa oleh muhakkam berlangsung beberapa waktu, hingga peradilan menjadi lebih teratur dan sistematis pada masa Kesultanan Islam. Periode selanjutnya itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang dimulai ketika Islam datang dan diterima raja-raja seperti pada kerajaan Mataram, sehingga para hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. (Musthofa, 2005:13) Dengan dalih untuk menertibkan Pengadilan Agama, pada tahun 1882 Raja Belanda mengeluarkan keputusan tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan menerbitkan Staatsblad No. 24 tanggal 19 Januari 1882. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut Raad Agama dan kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama. (Musthofa, 2005:15) Staatsblaad 1882 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1882 berisi 7 pasal yaitu : Pasal 1 Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hokum landraad. Pasal 2 Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai
29
anggota. Mereka gubernur/residen.
diangkat
dan
diberhentikan
oleh
Pasal 3 Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan. Pasal 4 Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh para anggota yang turut member keputusan. Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara. Pasal 5 Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua. Pasal 6 Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan. Pasal 7 Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang/kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku. (Zuhriah, 2009:83-84) Selanjutnya pemerintah Belanda kembali mengeluarkan peraturan tentang Pengadilan Agama. Peraturan tersebut dimuat dalam Staatsblaad No. 128 tahun 1909 dan Staatsblaad No. 232 tahun 1926. Kedua Staatsblaad tersebut menimbulkan kekecewaan bagi kalangan ahli hukum maupun umat Islam. Pemerintah Belanda memang melegalisasi keberadaan Peradilan Agama, tapi mereka ingin mematikan secara perlahan keberadaan Peradilan Agama dengan terus mengurangi kewenangan yang diberikan. Pada masa penjajahan Jepang, Peradilan Agama tetap dipertahankan, hanya mengalami perubahan nama.
30
Pada masa penjajahan Jepang, semua peraturan perundangundangan yang berasal dari Belanda masih diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang. Kemudian pada tahun 1942 diterbitkan UU No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala Tentara Dai Nippon. Dalam undang-undang tersebut sebagimana dijelaskan Basiq Djalil (2006:60) bahwa telah dibentuk Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara) yang terdiri atas:
a. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri); b. Keiza Hooin (Pengadilan Polisi); c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten); d. Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan); e. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi); f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).
Keberadaan Pengadilan Agama sempat terancam pada saat penjajahan Jepang, hal ini disebabkan dengan akan diberikannya wewenang Pengadilan Agama pada pengadilan biasa. Namun hal tersebut urung terjadi karena Jepang terlebih dahulu menyerah pada sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun 1970, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan di
31
Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, semua putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat Peradilan Agama secara de facto kedudukannya berada di bawah Peradilan Umum. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:1) Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang menyebut kedudukan keempat peradilan tersebut setara. Lalu diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengakhiri pluralisme peraturan Peradilan Agama tersebut, fungsi dan struktur susunan kekuasaan Peradilan Agama disempurnakan dan ditegakkan tanpa campur tangan lingkungan Peradilan Umum. (Musthofa, 2009:18) Undang-undang ini juga mengatur pembinaan teknis dengan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan tujuan, terciptanya peradilan yang mandiri, bertanggung jawab, dan tidak terpengaruh pihak lainnya.
32
3. Kewenangan Peradilan Agama a. Kewenangan Relatif Kompetensi relatif adalah kewenangan dari lembaga peradilan sejenis mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Misalnya, antara Pengadilan Agama Mungkid dengan Pengadilan Agama Boyolali. Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum atau yuridiksi relatif tertentu yang meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam kondisi tertentu memungkinkan adanya pengecualian. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting berhubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan berhubungan dengan hak eksepsi tergugat. (Rasyid, 2010:26) b. Kewenangan Absolut Kompetensi absolut berkaitan dengan badan peradilan mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Misalnya, Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perceraian bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non muslim perkara perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, hanya meliputi bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf, dan shadaqah. Namun
33
setelah perubahan, dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 untuk mengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 kewenangan Pengadilan Agama menjadi bertambah luas. Dalam undang-undang baru tersebut, yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama adalah masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
memberikan
menyelesaikan
peluang
sengketa
pada non
Peradilan muslim
Agama
untuk
sepanjang
yang
disengketakan termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama dan yang bersangkutan menundukkan diri secara suka rela kepada hukum Islam. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:13) Untuk memperjelas rincian tentang kewenangan Peradilan Agama dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Bidang Perkawinan a) Izin Beristri Lebih dari Seorang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan beristri lebih dari seorang. Suami yang menghendaki beristri lebih
dari
34
seorang
wajib
mengajukan
permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama. b) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal Permohonan
izin
melangsungkan
perkawinan diajukan calon mempelai yang belum berusia 21 tahun dan tidak mendapat izin dari orang tuanya. Pengadilan Agama dapat memberikan izin melangsungkan perkawinan setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau walinya. Calon suami isteri yang belum mencapai usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan perkawinan harus mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi kawin dapat diajukan oleh calon mempelai berdua dan/atau orang tua yang bersangkutan. Calon
mempelai
wanita
yang
akan
melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya tidak mau menjadi wali dapat mengajukan permohonan penetapan wali adhal kepada Pengadilan Agama. Pengadilan Agama dapat
35
mengabulkan permohonan penetapan wali adhal setelah mendengar keterangan orang tua. c) Penolakan Perkawinan Calon
suami
isteri
yang
akan
melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat sebagaimana diatur Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Jika salah satu atau kedua calon mempelai tidak memenuhi persyaratan, maka PPN dapat menolak mencatat perkawinan tersebut. Calon mempelai dapat mengajukan permohonan perkawinan
pencabutan dari
PPN
surat
penolakan
kepada
Pengadilan
Agama. Pengadilan Agama dalam wilayah hukum di mana PPN berkedudukan dapat mengabulkan permohonan pencabutan surat penolakan
perkawinan
memerintahkan
PPN
dari untuk
PPN
dan
melaksanakan
perkawinan kedua mempelai, bila menurut Pengadilan Agama surat penolakan perkawinan tersebut tidak mempunyai alasan hukum. d) Pencegahan Perkawinan Jika salah satu atau kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan tidak
36
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang tua, keluarga, wali pengampu, dari calon mempelai
dapat
perkawinan
mengajukan
kepada
pencegahan
Pengadilan
Agama.
Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat permohonan pencegahan perkawinan kepada KUA,
agar
KUA
tidak
melangsungkan
perkawinan yang bersangkutan, selama proses pemeriksaan
di
Pengadilan
Agama
berlangsuing. Jika permohonan pencegahan perkawinan tersebut dikabulkan, Pengadilan Agama akan menyampaikan salinan penetapan kepada
KUA
tempat
perkawinan
akan
dilangsungkan. e) Pembatalan Perkawinan Jika
perkawinan
telah
dilangsungkan,
sedangkan salah satu atau kedua mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur UndangUndang No. 1 Tahun 1974, maka orang tua, keluarga, PPN, dan jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama. Batalnya suatu perkawinan
37
dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap. f) Pengesahan Perkawinan/Isbat Nikah Perkawinan
yang
dilangsungkan
berdasarkan agama yang tidak dicatat oleh PPN dapat
diajukan
permohonan
pengesahan
perkawinan kepada Pengadilan Agama. g) Perkawinan Campuran Perkawinan campuran adalah perkawinan dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jika pejabat yang berwenang mencatat perkawinan di negara
pihak
yang
akan
melangsungkan
perkawinan menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pembatalan surat penolakan tersebut kepada Pengadilan Agama. h) Cerai Talak Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya
memohon
untuk
menjatuhkan talak terhadap isterinya.
38
diizinkan
i) Harta Bersama Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi perselisihan dalam pembagian harta bersama dapat
mengajukan
gugatan
harta
bersama
kepada Pengadilan Agama. Gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. j) Talak Khuluk Talak khuluk merupakan gugatan isteri untu bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelasaian gugatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus hakim. k) Asal-Usul Anak Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (pasal 42 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 99 KHI). Sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam
perkawinan
yang
sah
akan
tetapi
disangkal oleh suami dengan sebab li’an. Pengadilan Agama paling lambat satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum
39
tetap mengirimkan salinan putusan tersebut kepada Kantor Catatan Sipil untuk didaftarkan. l) Pemeliharaan dan Nafkah Anak Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi perselisihan dalam pemeliharaan dan nafkah anak, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. m) Perwalian Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memutus masalah perwalian meliputi; pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali, penunjukan seorang wali bagi anak yang belum berusia 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, dan pembebanan kewajiban ganti rugi atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. n) Pengankatan Anak Permohonan pengangkatan anak oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama sesuai prosedur yang telah ditentukan.
40
2) Bidang Kewarisan Yang dimaksud waris adalah penentuan siapa yang menjadi
ahli
waris,
penentuan
mengenai
harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini menghapus hak opsi dalam penyelesaian sengketa waris. Dengan demikian sengketa waris bagi yang beragama Islam hanya dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. 3) Bidang Wasiat Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. 4) Bidang Hibah Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
41
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 5) Bidang Wakaf Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Kalau dipahami secara literal ketentuan yang terdapat dalam pasal 49 huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka kewenangan menyelesaikan sengketa dalam perwakafan termasuk
kewenangan
absolut
Peradilan
Agama,
termasuk di dalamnya perwakafan dengan uang tunai (cash waqf). (Rasyid & Syamsuddin, 2009:26) 6) Bidang Zakat Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
42
7) Bidang Infaq dan Shadaqah Infaq dan Shadaqah adalah pemberian harta dari seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau lembaga
sosial
Islam
kepada
mustahik
guna
kepentingan tertentu dengan mengharap ridha Allah. (Mahkamah Agung RI, 2014:170) 8) Bidang Ekonomi Syariah Dalam penjelasan pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : a) Bank syariah; b) Lembaga keuangan mikro syariah; c) Asuransi syariah; d) Reasuransi syariah; e) Reksa dana syariah; f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g) Sekuritas syariah; h) Pembiayaan syariah; i) Pegadaian syariah; j) Dana pensiun lembaga keuangan syariah;
43
k) Bisnis syariah. 9) Isbat Rukyat Hilal Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, tidak mencantumkan penetapan Isbat Rukyat Hilal sebagai salah satu kewenangan dari Pengadilan Agama. Akan tetapi dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:173) dijelaskan “Pemohon (Kantor Kementerian Agama) mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal”. Sidang itsbat rukyat hilal merupakan sidang di tempat yang dilaksanakan di tempat rukyat hilal. Sidang dilakukan dengan cepat , sederhana, dan dipimpin oleh hakim tunggal.
B. Profil Pengadilan Agama Mungkid 1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid Lokasi Gedung Pengadilan Agama Mungkid terletak di Jl. Soekarno Hatta No. 36 Kota Mungkid Kab. Magelang. Secara astronomis Pengadilan Agama Mungkid terletak antara 110º-01’-51” sampai dengan 110º-26’-58” Bujur Timur dan 7º-19’-13” sampai
44
dengan 7º-42’-16” Lintang Selatan. Berdiri di atas tanah seluas 1695 m² dengan status hak guna pakai dari Pemerintah Daerah Magelang, dan luas bangunannya adalah 1335 m².
2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid Pengadilan
Agama
Mungkid
terbentuk
melalui
Surat
Keputusan Menteri Agama No. 207 Tanggal 22 Juli 1986, tetapi realisasinya baru pada tahun 1987. Untuk pertama kali Pengadilan Agama Mungkid diketuai oleh Drs. H. Yahya Arul, SH (1987-1997). Waktu itu menempati gedung di Jalan Sailendra Raya seluas ± 150 m² dengan cara menyewa. Pada tahun 1989 kantor pindah ke gedung kantor milik Depag (Departemen Agama). Pada masa kepemimpinan Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006 ) kantor lama dapat diubah kepemilikannya dari Depag menjadi milik Mahkamah Agung RI serta Pengadilan Agama Mungkid mendapatkan tanah untuk digunakan membangun gedung kantor yang baru. Pada masa kepemimpinan Drs. H. Nikmat Hadi, SH sebagai Ketua Pengadilan Agama Mungkid (2006-2008), Pengadilan Agama Mungkid mendapat anggaran untuk pembangunan gedung kantor yang baru. Setelah dalam masa satu tahun pembangunan dilaksankan, maka pada tanggal 19 Juni 2008 gedung kantor Pengadilan Agama Mungkid yang baru diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI bersamaan
45
dengan 13 gedung Pengadilan Agama di Jawa Tengah, yang peresmiannya mengambil tempat di Pengadilan Agama Mungkid. Dalam perkembangannya Pengadilan Agama Mungkid telah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan, yaitu :
a. Drs. H. Yahya Arul, SH (menjabat ketua tahun 1987-1997) b. Drs. H. Ahmad Mustofa, SH (1997-2002) c. Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006) d. Drs. H. Nikmat Hadi, SH (2006-2008) e. Dra. Hj. Siti Nurjannah Diaz, SH (2008-2011) f. Drs. M. Iqbal (2011-2013) g. Drs. Lanjarto, MH (2013-sekarang).
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid a. Visi Pengadilan Agama Mungkid Terwujudnya badan peradilan agama yang agung. b. Misi Pengadilan Agama Mungkid 1) Meningkatkan profesionalisme aparatur peradilan agama. 2) Mewujudkan manajemen peradilan agama yang modern. 3) Meningkatkan kualitas system pemberkasan perkara yang dimohonkan, banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). 4) Meningkatkan kajian syariah sebagai sumber hukum materi peradilan agama.
46
4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid a. Kewenangan Pengadilan Agama Mungkid Kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama Mungkid meliputi kewenangan absolut dan kewenangan relatif : 1) Kewenangan Absolut Kewenangan absolut adalah “kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya”. (Zuhriah, 2009:204) Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara
di
tingkat pertama antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. 2) Kewenangan Relatif Wewenang relatif adalah “wewenang dalam mengadili perkara berdasarkan wilayah atau tempat domisili, dimana setiap perkara yang diajukan harus berdasarkan wilayah hukum masing-masing sehingga pengadilan tidak diperkenankan mengadili perkara di luar wilayah hukumnya”. (Harahab, 2003:212)
47
Adapun
kewenangan
relatif
Mungkid meliputi 21 kecamatan, yaitu : a) Bandongan b) Borobudur c) Candimulyo d) Dukun e) Grabag f) Kajoran g) Kaliangkrik h) Mertoyudan i) Mungkid j) Muntilan k) Ngablak l) Ngluwar m) Pakis n) Salam o) Salaman p) Sawangan q) Secang r) Srumbung s) Tegalrejo t) Tempuran u) Windusari.
48
Pengadilan
Agama
b. Fungsi Pengadilan Agama Mungkid Di samping kewenangan di atas, Pengadilan Agama Mungkid mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut : 1) Fungsi Mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006). 2) Fungsi
Pembinaan,
yakni
memberikan
pengarahan,
bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial,
administrasi
umum/perlengkapan,
peradilan,
maupun
keuangan,
administrasi
kepegawaian,
dan
pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 3) Fungsi Pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Pengganti
Panitera di
Pengganti,
bawah
dan
jajarannya
Jurusita/ agar
Jurusita peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006) dan
49
terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan.(KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 4) Fungsi Nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006). 5) Fungsi Administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan). (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006). 6) Fungsi Lainnya :Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ormas Islam dan lain-lain (pasal 52 A UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006). Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
50
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid Untuk menghasilkan kerja yang baik, dibutuhkan sistem pemerintahan yang efektif dan berdaya guna sesuai dengan UU No. 7 tahun 1989, Keputusan Menteri Agama RI No. 303 tahun 1990, Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/ 004/ SK/ II/ 92, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1996 Pengadilan Agama Pemalang mempunyai struktur organisasi Pengadilan Agama. Untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan struktur organisasi Pengadilan Agama Mungkid beserta nama-nama yang menduduki dalam jabatan tersebut. Ketua
: Drs. Lanjarto, MH
Wakil Ketua
: Drs. Didi Nurwahyudi
Hakim-hakim
: a. Drs. Shonhaji Mansur, MH b. Drs. Jazilin c. Drs. H.M Iskandar Eko P, MH d. Drs. Muklas, MH e. Drs. Umar Mukmin
Panitera/Sekretaris
: Ichtiyardi, SH
Wakil Panitera
: Drs. Muh Muhtaruddin
Wakil Sekretaris
: Hj. Evi Siswi Husniwati, MH
51
Pan. Muda Hukum
: Anas Mubarok, SH
Pan. Muda Permohonan : H. Muhroji, S.HI Pan. Muda Gugatan
: Abdul Halim M, BA
Ka. Urusan Kepegawaian : Siti Mahmudah Ka. Urusan Umum
: Suwartiyah, SH
Ka. Urusan Keuangan
: Ashari, SH
Panitera Pengganti
: a. Lukmanul Hakim, SH b. Umi Khoiriyah, S.Ag c. Asroni, SH
Jurusita
: a. Rahmanto b. Rofiqoh, S.HI
6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid Adapun langkah-langkah prosedur berperkara di Pengadilan Agama Mungkid adalah sebagai berikut : a. Pemohon/Penggugat datang menghadap ke Pengadilan Agama Mungkid dengan membawa surat gugatan atau permohonan.
52
b. Pemohon/Penggugat
menghadap
petugas
Meja
I
dan
menyerahkan surat gugatan atau permohonan sebanyak 5 rangkap. c. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. d. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada Pemohon/Penggugat disertai dengan SKUM rangkap 3 (tiga). e. Pemohon/Penggugat menyerahkan kepada pemegang kas (kasir) surat gugatan atau permohonan tersebut dan SKUM. f. Pemegang kas menandatangani SKUM, membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan atau permohonan.
53
g. Pemegang
kas
menyerahkan
SKUM
asli
kepada
Pemohon/Penggugat sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank. h. Pemohon/Penggugat datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan SKUM, seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon/Penggugat menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut kepada teller bank. i. Setelah Pemohon/Penggugat menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, Pemohon/Penggugat menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan SKUM kepada pemegang kas. j. Pemegang
kas
setelah
meneliti
slip
bank
kemudian
menyerahkan kembali kepada Pemohon/Penggugat, pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam SKUM dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama SKUM serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan. k. Pemohon/Penggugat menyerahkan kepada petugas Meja II surat gugatan atau permohonan serta tindasan pertama SKUM.
54
l. Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas. m. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara. n. Pihak/pihak-pihak
berperkara
akan
dipanggil
oleh
jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS). o. Proses
persidangan,
meliputi
:
mediasi,
pembacaan
gugatan/permohonan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan. p. Pihak berperkara dapat mengambil akta cerai atau salinan putusan/penetapan di Meja III dan mengambil sisa panjar di kasir.
55
C. Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd 1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd Perkara yang diteliti oleh penulis adalah mengenai permohonan Isbat Nikah di mana perkawinan yang bersangkutan dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Permohonan Isbat Nikah tersebut diajukan oleh Edi Sumaryono bin Ali Darmojo (selanjutnya disebut Pemohon I) dan Watini binti Atmo Wikromo (selanjutnya disebut Pemohon II). Permohonan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama Mungkid pada tanggal 19 Agustus 2014, dengan nomor perkara 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 20 Mei 1989 di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Adapun yang bertindak sebagai wali nikah adalah kakak kandung Pemohon II yang bernama Rukun Santoso. Sedangkan yang bertindak sebagai penghulu yang menikahkan adalah Hadi Rochmat (alm), saksi nikah Adip dan Kardi dengan mahar seperangkat alat sholat yang dibayar tunai. Pada waktu menikah Pemohon I berumur 20 tahun dengan status jejaka sementara Pemohon II berumur 17 tahun dengan status perawan. Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat di KUA
56
Kecamatan Kajoran. Setelah akad nikah hingga permohonan ini diajukan, Pemohon I dan Pemohon II tidak/belum pernah mendapat atau mengurus akta nikah tersebut. Antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan mahram baik karena nasab, mushaharah (karena perkawinan, maupun sesusuan, sehingga tidak ada yang menghalangi yang bersangkutan untuk melangsungkan pernikahan. Sejak menikah sampai permohonan diajukan, Pemohon I dan Pemohon II tidak pernah bercerai maupun pindah agama (Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam). Dari pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama Mariyanti umur 24 tahun dan Adi Susilo umur 20 tahun. Para Pemohon mengajukan permohonan Isbat Nikah dikarenakan sangat membutuhkan bukti pernikahan. Penetapan Isbat Nikah dari Pengadilan Agama nantinya akan digunakan untuk mencatatkan perkawinan di KUA kecamatan Kajoran dan mengurus akta kelahiran anak para Pemohon di Kantor Kependudukan Sipil Kabupaten Magelang.
2. Penyelesaian Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd Berdasarkan duduk perkara tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Mungkid segera memeriksa
57
dan mengadili perkara tersebut dan menjatuhkan penetapan sebagai berikut : Primer : a. Mengabulkan permohonan Pemohon. b. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I (Edi Sumaryono bin Ali Darmojo) dan Pemohon II (Watini binti Atmo Wikromo) yang dilangsungkan pada tanggal 20 Mei 1989 di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. c. Memerintahkan
kepada
para
Pemohon
untuk
melaporkan penetapan ini kepada KUA Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu. d. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku.
Subsider : Apabila Majelis Hakim memutuskan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Pada hari sidang yang telah ditentukan, para Pemohon datang menghadap di persidangan. Kemudian dibacakan permohonan
58
Pemohon
dan
ternyata
Pemohon
menyatakan
tetap
pada
permohonannya. Untuk meneguhkan dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat sebagai berikut : a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon I, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang, dan telah bermaterai cukup (P1); b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon II, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang, dan telah bermaterai cukup (P2); c. Kartu Keluarga atas nama Pemohon I yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang, dan telah bermaterai cukup (P3); d. Surat Keterangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup (P4). Selain bukti tertulis para Pemohon juga menghadirkan saksisaksi ke persidangan. Para saksi yang dihadirkan telah disumpah menurut tata cara agama Islam sebelum memberikan keterangan. Saksi I bernama Prasojo bin Karto Suwito yang merupakan tetangga Pemohon. Dalam keterangannya, Saksi I mengaku mengetahui antara Pemohon I dan Pemohon II adalah pasangan suami isteri sah, dan telah melangsungkan Pernikahan pada tahun 1989.
59
Saksi II adalah Rohmat Nurfandi yang merupakan Kaur Kesra Desa Pucungroto. Menurut Saksi II, antara Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan akad nikah menurut agama Islam pada tahun 1989. Bertindak sebagai wali nikah adalah kakak kandung Pemohon II yaitu Rukun Santoso bin Atmo Wikromo, saksi-saksi adalah Adip dan Kardi, penghulu Hadi Rohmat dengan mas kawin uang Rp 25.000. Saksi III adalah Drs. Abdul Kholiq yang merupakan Kepala KUA
Kecamatan
Kajoran.
Dalam
keterangannya,
Saksi
III
menyatakan telah mencari data pernikahan para Pemohon akan tetapi tidak ditemukan. Menurut Saksi III pada tahun 1989 memang ada pegawai nakal yang tidak mencatatkan pernikahan yang telah dilakukan dalam daftar yang tersedia untuk itu.
3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd Dalam mengadili perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd bahwasanya Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Mungkid yang menyidangkan
perkara
tersebut
telah
menggunakan
beberapa
ketentuan atau peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia yang berfungsi untuk memperkuat alasan-alasan tersebut. Setelah melihat bukti-bukti yang diajukan dan mendengarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan, Majelis Hakim menemukan beberapa fakta, yaitu :
60
a. Pemohon I sebagai Kepala Keluarga; b. Pemohon I dan Pemohon II sudah hidup bersama sejak 20 Mei 1989; c. Pemohon I betul-betul sudah menikah dengan Pemohon II pada tanggal 20 Mei 1989, tetapi tidak tercatat di Buku Laporan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Dalil yang dijadikan landasan oleh Majelis Hakim adalah pendapat ahli Hukum Islam yang terdapat di dalam Kitab Tuhfah juz IV halaman 133 yang berbunyi :
ويقبل اقرار البالغة العاقلة ابلنكاح “Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang aqil baligh”. Menurut Bapak Shonhaji Mansur (hakim Pengadilan Agama Mungkid) yang penulis wawancarai, alasan lain yang dijadikan pertimbangan oleh hakim mengabulkan permohonan Isbat Nikah adalah pertimbangan maslahah bagi umat Islam. Penetapan Isbat Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus dokumendokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu, penetapan Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum bagi pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka. Lebih lanjut, menurut Bapak Shonhaji Mansur tidak ada pertentangan antara KHI dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 61
dalam hal kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Dipergunakannya KHI sebagai landasan adalah karena terjadinya kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah terhadap perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
yang
telah
dikemukakan, Majelis Hakim menyimpulkan fakta di persidangan Pemohon I dan Pemohon II dapat membuktikan dalil permohonannya dan
selanjutnya
patut
untuk
dikabulkan.
Setelah
melakukan
musyawarah Majelis Hakim menetapkan : a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menyatakan
sah
perkawinan
antara
Pemohon
I
(Edi
Sumaryono bin Ali Darmojo) dan Pemohon II (Watini binti Atmo Wikromo) yang dilangsungkan pada tanggal 20 Mei 1989 di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang; c. Memerintahkan kepada para Pemohon untuk melaporkan penetapan ini kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu; d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 191.000,- (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah).
62
Penetapan ditetapkan pada hari Selasa 18 November 2014 dengan susunan Majelis Hakim, Drs. Muklas, MH sebagai Hakim Ketua, Drs. A. Latif dan Drs. Umar Mukmin masing-masing sebagai Hakim Anggota, dengan dibantu H. Muhroji, SH sebagai Panitera Pengganti. Penetapan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan dihadiri para Pemohon.
63
BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd
A. Analisis
Hukum
Acara
(Hukum
Formil)
Penetapan
Hakim
Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd 1. Pihak-Pihak dalam Perkara Isbat Nikah merupakan perkara volunteer yaitu tuntutan hak yang diajukan secara sepihak dan tidak mengandung sengketa. Dalam pasal 7 ayat (4) KHI dijelaskan, “Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu”. Dalam perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, yang bertindak sebagai pihak berperkara adalah suami (Edi Sumaryono bin Ali Darmojo) sebagai Pemohon I, dan isterinya (Watini binti Atmo Wikromo) sebagai Pemohon II. Jadi, dalam perkara ini para pihak yang berpekara adalah mereka yang memang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan Isbat Nikah.
2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah Pada prinsipnya prosedur administrasi perkara permohonan adalah sama dengan prosedur administrasi perkara gugatan. Pasal 55 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
64
menyebutkan, “Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku”. Secara singkat proses tersebut adalah sebagai berikut : a. Permohonan
diajukan
kepada
Ketua
Pengadilan,
dengan
permintaan agar Pengadilan : 1) Menentukan hari sidang; 2) Memanggil pihak-pihak berperkara; 3) Memeriksa perkara yang diajukan. b. Mengenai cara mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:144) adalah sebagai berikut : 1) Permohonan disampaikan kepada kepaniteraan Pengadilan Agama dalam wilayah hukum Pemohon bertempat tinggal, dan permohonan harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit. 2) Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh suami dan isteri bersifat volunteer, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan Isbat Nikah, maka suami dan isteri bersama-sama, atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi. 3) Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. c. Pemohon diwajibkan membayar biaya perkara. (pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989)
65
Permohonan
Isbat
Nikah
Nomor
:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, merupakan permohonan yang bersifat volunteer, karena permohonan diajukan bersama oleh suami dan isteri. Maka sudah tepat apabila para pihak disebut sebagai Pemohon I dan Pemohon II, dan produk hakim berupa penetapan. Para pihak diketahui beralamat di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Sudah tepat Pengadilan Agama Mungkid menerima permohonan yang diajukan oleh para pihak, dikarenakan kecamatan Kajoran merupakan salah satu dari kompetensi relatif Pengadilan Agama Mungkid. Dalam penetapannya, Majelis Hakim membebankan biaya perkara kepada para Pemohon. Hal ini sudah sesuai dengan pasal 89 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang berbunyi : “Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.”
3. Proses Persidangan a. Penetapan Majelis Hakim Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, Panitera kemudian menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan Agama. Selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah diterimanya berkas tersebut, Ketua Pengadilan Agama sudah
66
menunjuk Majelis Hakim dengan menyerahkan berkas perkara untuk dipelajari. Adapun Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Mungkid untuk mengadili perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, adalah sebagai berikut : 1) Drs. Mukhlas, MH sebagai Ketua Majelis; 2) Drs. A. Latif sebagai Hakim Anggota; 3) Drs. Umar Mukmin, SH sebagai Hakim Anggota. Ketua Majelis membuat Penetapan Hari Sidang (PHS), kapan sidang pertama akan dilakukan. Hari sidang pertama tidak boleh lebih dari 30 hari dari pendaftaran perkara. Pada perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penetapan hari sidang oleh Ketua Majelis telah sesuai karena pendaftaran perkara tertanggal 19 Agustus 2014, dan sidang pertama dilaksanakan tanggal 16 September 2014. Berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, “Hakim yang menyidangkan perkara adalah majelis, sekurangkurangnya tiga orang, seorang sebagai ketua dan lainnya sebagai anggota”. Dengan demikian Majelis Hakim yang mengadili suatu perkara diperbolehkan lebih dari tiga orang, asal jumlahnya ganjil. Ketentuan ganjil dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi perimbangan suara perkara masih dapat diputus, di mana Ketua Majelis yang akan menentukan. Dengan demikian, penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Agama Mungkid untuk
67
mengadili perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang. b. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan para pihak di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, akan tetapi undang-undang tersebut hanya mengatur pemanggilan para pihak dalam perkara cerai talak dan cerai gugat. Akan tetapi, beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat berlaku secara umum, diantaranya : 1) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti berdasarkan perintah Ketua Majelis, paling lambat 3 hari kerja sebelum persidangan pertama dimulai. 2) Disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan di tempat tinggalnya. Apabila yang bersangkutan tidak dijumpai, dapat disampaikan melalui Kepala Desa yang bersangkutan. 3) Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus memenuhi tenggang waktu yang patut. Relaas yang disampaikan oleh jurusita kepada para pihak dalam perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas. c. Pembuktian Setelah para Pemohon datang menghadap di persidangan kemudian dibacakan permohonan para Pemohon, yang ternyata
68
para Pemohon tetap pada permohonannya. Dengan demikian persidangan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim atas kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak dengan alat bukti yang ditetapkan undang-undang. (Rasyid, 2010:144) Alat-alat bukti diatur dalam pasal 164 HIR terdiri atas; alat bukti tertulis (surat), saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, para Pemohon mengajukan alat bukti tertulis berupa ; fotokopi KTP atas nama Pemohon I yang diberi tanda (P1), fotokopi KTP atas nama Pemohon II (P2), Kartu Keluarga atas nama Pemohon I (P3), dan Surat Keterangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran (P4). Selain alat bukti tertulis, para Pemohon juga mengajukan tiga orang saksi, yaitu ; Prasojo bin Karto Suwito (Kepala Desa Pucungroto), Rohmat Nurfandi bin Kodirun (Kaur Kesra Desa Pucungroto), dan Drs. Abdul Kholiq (Kepala KUA Kecamatan Kajoran). Setelah para saksi bersumpah menurut agama Islam, kemudian memberikan keterangan. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menilai alat bukti yang diajukan oleh pihak berperkara sudah sangat cukup dan sesuai dengan ketetapan undang-undang. Selain alat bukti tertulis dan saksi, menurut penulis pengakuan dari pihak berperkara juga
69
merupakan alat bukti yang sangat kuat. Dalam pasal 174 HIR sebagaimana
dikutip
oleh
Rasyid
(2010:180)
dijelaskan,
“pengakuan di depan sidang adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat”.
4. Format Penetapan Mengenai bentuk dan isi penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penulis menilai sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan ini telah memuat unsur-unsur yang harus ada dalam penetapan. Unsur-unsur yang dimaksud adalah : a. Kepala Surat Susunan pertama dalam bagian ini adalah penetapan kemudian diikuti di bawahnya dengan nomor penetapan yaitu, 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Nomor 0146 merupakan nomor urut register
perkara,
Pdt.P
menunujukkan
bahwa
perkara
ini
merupakan permohonan, 2014 adalah tahun perkara tersebut didaftarkan, dan PA.Mkd menunjukkan penetapan tersebut merupakan produk dari Pengadilan Agama Mungkid. Bagian ke dua
di
bawah
nomor
perkara
adalah
kalimat
“BISMILAHIRROHMANIRROHIM” kemudian diikuti kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
70
b. Identitas Para Pihak Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam penetapan, meliputi : nama, umur, agama, pekerjaan, pendidikan terakhir, dan tempat tinggal. c. Konsideran Singkat Konsideran
merupakan
uraian
singkat
mengenai
pertimbangan-pertimbangan yang melandasi suatu putusan yang akan diambil. Dalam penetapan Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, konsideran berbunyi : 1) Pengadilan Agama tersebut; 2) Telah membaca dan mempelajari surat-surat dalam berkas perkara; 3) Telah mendengar keterangan pihak Pemohon dan bukti yang diajukan dalam persidangan. d. Duduk Perkara Setiap penetapan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat duduk perkara atau kronologi kejadian secara ringkas dan jelas. Di samping itu, dalam bagian ini harus memuat secara jelas keterangan saksi dan alat-alat bukti lainnya yang diajukan oleh para pihak. e. Tentang Hukumnya Penetapan hakim juga harus memberikan pertimbangan hukum terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan
71
hukum biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Dalam pertimbangan
ini,
hakim
harus
mempertimbangkan
dalil
permohonan dan dihubungkan dengan alat bukti yang ada. Dari pertimbangan hukum hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya suatu permohonan. f. Amar Putusan Dalam amar putusan, hakim harus menyatakan tentang halhal yang dikabulkan, ditolak, atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dilakukan. Dalam perkara Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penetapan hakim bersifat deklaratif yaitu menyatakan atau menerangkan sahnya perkawinan para pihak. g. Bagian Penutup Hal-hal yang perlu dimuat dalam bagian penutup putusan adalah; kapan penetapan tersebut dijatuhkan, nama Majelis Hakim, pembacaan penetapan dalam siding yang terbuka untuk umum, keterangan kehadiran pihak berperkara, tanda tangan Majelis Hakim dan panitera, penetapan harus diberi materai secukupnya, serta dicantumkan rincian biaya. Dari analisis di atas, ditinjau dari hukum acara yang digunakan, Pengadilan Agama Mungkid dalam memutus perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd sudah sesuai dengan hukum
72
acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama mulai sejak pengajuan perkara sampai perkara tersebut diputuskan.
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materiil) terhadap Penetapan
Pengadilan
Agama
Mungkid
Nomor
:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd Dalam
memutuskan
suatu
perkara
Majelis
Hakim
wajib
mempertimbangkan keterangan para pihak berikut dalil-dalilnya, serta semua alat bukti yang diajukan. Dari sini, hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya perkara yang diajukan di persidangan. Setelah membaca dan mempelajari surat-surat dalam berkas perkara, serta mendengar keterangan para pihak dan bukti yang diajukan Majelis Hakim berkesimpulan : a. Pemohon I sebagai kepala keluarga; b. Pemohon I dan Pemohon II sudah hidup bersama sejak 20 Mei 1989; c. Pemohon I betul-betul sudah menikah dengan Pemohon II pada tanggal 20 Mei 1989 tetapi tidak tercatat di Buku Laporan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Berdasarkan kesimpulan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan fakta dipersidangan Pemohon I dan Pemohon II dapat membuktikan dalil permohonannya untuk selanjutnya patut untuk dikabulkan.
73
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mengutip pendapat ahli hukum Islam yang terdapat dalam Kitab Tuhfah juz IV halaman 133 yang berbunyi :
ويقبل اقرار البالغة العاقلة ابلنكاح “Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang aqil baligh”. Menurut hemat penulis, untuk lebih memperkuat dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim, seharusnya Majelis Hakim tidak hanya menggunakan dasar hukum dari hukum syara’, akan tetapi juga mengambil dasar hukum dari peraturan perundang-undangan negara sebagaimana diperintahkan oleh pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Majelis Hakim dapat memasukkan pasal-pasal dalam UU Perkawinan, KHI atau UU tentang Peradilan Agama yang berkaitan dengan Isbat Nikah. Ketika mengutip qaul fuqaha’, hanya dicantumkan nama kitab, juz, dan halamannya saja. Alangkah lebih baik jika kitab tersebut disebut nama pengarang, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid, dan halamannya. Isbat Nikah pada perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, merupakan
permohonan
pengesahan
nikah
yang
perkawinannya
dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan. Padahal dalam penjelasan pasal 49 huruf a angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 74
tentang Peradilan Agama, secara tegas dinyatakan yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah penyataan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan. Pada umumnya Pengadilan Agama mengabulkan Isbat Nikah yang perkawinannya dilaksanakan setelah lahirnya UU Perkawinan adalah berdasarkan pasal 7 ayat (3) huruf e KHI. Masalahnya kemudian adalah, KHI tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan. Di sini penulis menilai, penggunaan KHI sebagai dasar hukum adalah sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada perkawinan paska UU Perkawinan. Dikarenakan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 hanya mengatur tentang Isbat Nikah pada perkawinan sebelum berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam undang-undang tersebut yang melarang Pengadilan Agama mengesahkan perkawinan yang dilakukan setelah UU Perkawinan. Setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu diisi. Tugas mengisi kekosongan itulah yang dibebankan kepada hakim dengan melakukan penemuan hukum. (Abidin, 1989:33) Tugas
pokok
hakim
adalah
mengadili,
memeriksa,
dan
memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menerima atau menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim
75
memutuskan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah sebuah kewajiban. Meskipun tidak dicantumkan dalam pertimbangan hukumnya, namun penulis melihat, Majelis Hakim melakukan ijtihad yang menyalahi ketentuan undang-undang dengan mengabulkan permohonan Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd
dikarenakan
Majelis
Hakim
lebih
menitikberatkan maslahah. Maslahah maksudnya memberikan hukum terhadap suatu kasus atas dasar kemanfaatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh undang-undang, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa kemanfaatan yang bersifat umum. Dahulu
memang
masyarakat
belum
terlalu
membutuhkan
pengesahan nikah. Akan tetapi dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya akta nikah sebagai bukti otentik yang menjamin perlindungan dan kepastian hukum pasangan suami-isteri dan anakanaknya, maka sudah sewajarnya jika hakim perlu melakukan terobosan guna mempermudah akses masyarakat mengesahkan perkawinannya yang belum dicatatkan, sehingga kemaslahatan bagi masyarakat akan tetap terpelihara. Dalam pemikiran ilmu hukum yang berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim, dikenal aliran Soziologische Rechtsschule. Menurut aliran ini hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang namun juga menolak penemuan hukum oleh hakim dengan sebebas-bebasnya, akan tetapi hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat,
76
perasaan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Rifai, 2011:33-34) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memakai nilai-nilai hukum secara sosiologis yang berkembang di masyarakat. Maka hakim dituntut untuk turut menciptakan hukum dan keadilan yang baru. Salah satu bentuk jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi suami-isteri yang perkawinannya dicatatkan adalah adanya hak dan kewajiban secara timbal balik. Apabila salah satu dari suami atau isteri mengabaikan
kewajibannya,
maka
pihak
yang
dirugikan
dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang
dicatakan
akan
mendapatkan
hak-haknya
jika
orangtuanya bercerai. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka anak tersebut dapat mewarisi harta yang ditinggalkan ayahnya. Namun hakim haruslah berhati-hati dalam memutuskan perkara permohonan Isbat Nikah. Hakim dalam mengadili permohonan Isbat Nikah harus memeriksa secara seksama dan hati-hati guna menghindari penyelundupan hukum, dengan menggunakan Isbat Nikah untuk menghindari memperhatikan
prosedur hukum
poligami. yang
kemaslahatan masyarakat.
77
Hakim
berkembang
juga di
dituntut
selalu
masyarakat
demi
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan terhadap penelitian dan analisan penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Dasar hukum yang dijadikan landasan oleh Majelis Hakim adalah Pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI, diperkuat dengan pengakuan para pihak. Pengakuan pihak berperkara di depan sidang adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Alasan lain yang dijadikan pertimbangan oleh hakim mengabulkan permohonan para Pemohon adalah pertimbangan maslahah bagi masyarakat. Penetapan Isbat Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus dokumendokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu, penetapan Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum bagi pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka. 2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 UndangUndang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terbatas pada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi : “Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lainnya”. Namun pasal 7
78
ayat (3) Kompilasi Hukum Islam juga memberikan kewenangan Pengadilan Agama mengadili Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Pasal 7 ayat (3) KHI berbunyi : “Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halanganmenurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974”. Tidak ada pertentangan antara ketentuan menurut pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dengan pasal 7 ayat (3) KHI. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh hakim adalah sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada perkawinan paska UU Perkawinan. Dikarenakan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 hanya mengatur tentang Isbat Nikah pada perkawinan sebelum berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam undang-undang
tersebut
yang
melarang
Pengadilan
Agama
mengesahkan perkawinan yang dilakukan setelah UU Perkawinan.
79
B. Saran-Saran Dari pembahasan dan hasil penelitian yang penulis lakukan, ada beberapa saran atau masukan dari penulis : 1. Penetapan Isbat Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus dokumen-dokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu, penetapan Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum bagi pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka. Namun
kewenangan
Pengadilan
Agama
dalam
mengesahkan
perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan dibatasi oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka dari itu penulis menghimbau supaya undang-undang tersebut segera direvisi. Hal ini perlu dilakukan supaya Pengadilan Agama mempunyai dasar hukum yang kuat, mengingat lemahnya kedudukan KHI karena tidak tercantum dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. 2. Hakim dalam mengadili permohonan Isbat Nikah harus memeriksa secara seksama dan lebih hati-hati guna menghindari penyelundupan hukum, dengan menggunakan Isbat Nikah untuk menghindari prosedur poligami. 3. Hakim dalam mengambil dasar hukum jangan hanya mengutip dari pendapat ahli hukum Islam, namun juga harus mencamtumkan dasar hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
80
C. Penutup Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya, hanya karena anugerah dan pertolonganNyalah penulis dapat mengatasi segala hambatan dan rintangan yang mengusik selama proses penyelesaian karya ilmiah ini hingga pada akhirnya penulis dapat berhasil menyelesaikannya. Seluruh kemampuan dan usaha telah penulis coba demi sebuah hasil yang baik dan maksimal, akan tetapi penulis sadari akan keterbatasan pengetahuan, kemampuan serta pengalaman yang ada dalam diri penulis, dari itulah penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini. Kepada semua pihak yang turut membantu baik langsung maupun tidak langsung hingga kami berhasil menyelesaikan skripsi ini, dengan segala kemurahan hati penulis haturkan terima kasih, seiring do’a semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik. Akhirnya dengan mengharap kemurahan-Nya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.
81
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Andi Zainal. 1984. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung: Alumni. Basyir, Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Djalil, H.A Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya
Peradilan Syariat Islam Aceh. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Farkhani. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Harahab, Yulkarnain & Andy Omara. 2010. Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan. Mimbar Hukum, (Online), Vol. 22, No. 3, (http://mimbar.hukum.ugm.ac.id, diakses 26 Mei 2015) Harahab, M. Yahya. 2003. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Seri Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan
Agama
Ambarawa
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
82
M. Amirin, Tatang. 2006. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. Mahkamah Agung RI. 2014. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muhibbin, Moh & Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Musthofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana. Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rasyid, Chatib & Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press. Rasyid, Roihan A. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Sulhah, Asa Maulida. 2010. Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus di
83
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011.Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: CV. Tarsito. Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.
12
Tahun
2006
Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia & Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Penjelasannya. 2006. Surabaya: Kesindo Utama. Zuhriah, Erfaniah. 2009. Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Realita. Malang: UIN Malang Press.
84