KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL NEUROMANCER KARYA WILLIAM GIBSON The Human Dependence on Technology in William Gibson’s Neuromancer Arief Luqman, Aquarini Priyatna, dan Lina Meilinawati Rahayu Program Pascasarjana Sastra Kontemporer, Fakultas Ilmu Budaya, Unieritas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor 45363, Telepon: 085221922068, Pos-el:
[email protected] Naskah masuk: 1 Juni 2015, disetujui: 18 Desember 2015, revisi akhir: 25 Desember 2015 Abstrak: Makalah ini menampilkan pola ketergantungan manusia terhadap teknologi dan dampaknya dalam novel Neuromancer karya William Gibson. Novel menggambarkan manusia pengguna teknologi dimanjakan oleh inovasi teknologi dan tubuh pengguna berinteraksi dengan mesin secara berkelanjutan sehingga mengakibatkan dampak negatif. Dampak negatif penggunaan teknologi yang berlebihan dan berkelanjutan dalam novel Neuromancer tidak seperti kehancuran total dalam The Machine Stops karya Forster tetapi ketergantungan yang menyebabkan pengguna melakukan apa saja untuk dapat berinteraksi kembali dengan mesin. Teknologi yang digambarkan memiliki sistem pengawasan layaknya panoptikon yang dibangun dengan teknologi informasi. Dalam makalah ini, pola ketergantungan manusia terhadap mesin difokuskan pada penggambaran teknologi dan penggunaannya serta dampak yang ditimbulkannya terhadap pengguna. Kata kunci: William Gibson, Neuromancer, cyborg, dunia maya, ketergantungan Abstract: This paper portrays the pattern of human dependence on technology and its impact in William Gibson’s Neuromancer. The novel depicts that the user of technology is spoiled by the inovation and the user’s body interacts with the machine so continuously that it causes a negative effect. The effect of excessive and continous use of technology in “Neuromancer” is unlike the total destruction in Forster’s The Machine Stops; yet, it is a kind of dependence that causes users do everything in order to get back to the accesess of the machine. The technology depicted in the novel has a surveillance system like a panopticon built of information technology. In this paper, the pattern of human dependence on technology will be focused on novel’s depiction of technology, and its use as well as its effect to users. Key words: William Gibson, Neuromancer, cyborg, cyberspace, dependence
1. Pendahuluan Ketergantungan manusia terhadap teknologi ditemukan dalam karya fiksi ilmiah seperti pada The Machine Stops karya Forster. The Machine Stops menunjukkan sisi negatif yang terjadi jika manusia menyerahkan semua kegiatan manusia terhadap mesin, yaitu kekalahan manusia
dari mesin. Karya Forster ini membantu lahirnya karya fiksi ilmiah distopia seperti Brave New World dan 1984 (Seegert, 2010: 34). Karya-karya tersebut menampilkan manusia yang memperoleh kemudahan dari sebuah inovasi teknologi, tetapi manusia menjadi bergantung pada teknologi dan 225
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
berdampak negatif pada kehidupan. Indikasi ketergantungan manusia terhadap mesin juga ditemukan pada novel Neuromancer karya William Gibson. Novel yang terbit pada tahun 1984 dan juga mendapatkan Hugo Award, penghargaan untuk novel fiksi ilmiah, ini menceritakan seorang peretas dunia maya bernama Henry Dorsett Case yang melakukan aktivitas di dunia maya (cyberspace). Teknologi yang digambarkan dalam Neuromancer tidak seburuk seperti yang digambarkan dalam The Machine Stops atau 1984, tetapi pengguna teknologi tersebut mengalami ketergantungan yang sama terhadap teknologi. Novel Neuromancer menceritakan sebuah dunia maya (cyberspace) yang menjadi tidak terpisahkan dengan dunia nyata sebagai hasil dari perkembangan teknologi. Merujuk pada Hayles (1999) dunia nyata yang saya maksud adalah dunia tempat manusia melakukan kegiatan sehari-hari, sedangkan dunia maya yang dimaksudkan adalah dunia hasil teknologi yang membuat gambaran bahwa dunia informasi ada dan sejajar dengan dunia nyata. Dunia maya dalam novel menjadi dunia yang menawarkan kehidupan baru bagi manusia. Peneliti sebelumnya, Dalton (2014) mengatakan bahwa dunia maya dalam Neuromancer menawarkan ruang virtual untuk mencurahkan pikiran-pikiran yang tidak mungkin dilakukan di ruang nyata pada saat rezim pengetahuan tertentu berkuasa. Merujuk pada pendapat Dalton tersebut saya melihat adanya fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan oleh inovasi teknologi untuk mengakomodasi kebutuhan manusia, terutama untuk mencoba sesuatu di luar apa yang Foucault (1980) istilahkan dengan rezim pengetahuan. Dengan demikian manusia tertarik untuk mencoba, mempelajari serta menggunakan teknologi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan teknologi dengan intensitas berlebihan mengakibatkan ketergantungan terhadap teknologi.
226
Ketergantungannya terhadap teknologi membuat Case tidak berarti tanpa komputer dan dunia maya. Ketergantungannya terhadap teknologi, membuat Case menjadi layaknya manusia setengah mesin (cyborg) dan berdampak pada kehidupannya. Cyborg adalah organisme sibernetika (cybernetic) yang merupakan bentuk hibrid dari mesin dan organisme (Haraway, 1999: 272). Ketergantungan terhadap mesin menjadikan manusia cyborg, manusia menggunakan mesin dalam kegiatan seharihari, bahkan pakaian yang dipakai juga tidak terlepas dari teknologi. Sibernetika sendiri, merujuk pada Hayles (1999) adalah perpaduan antara informasi, kontrol, dan komunikasi yang beroperasi bersama-sama untuk membuat sintesis baru dari gabungan elemen organik dengan mekanis. Ketergantungan Case terhadap mesin membuat dunia maya sebagai dunia yang tidak bisa terpisahkan. Bentuk ketergantungan itu digambarkan dalam cerita bahwa pengguna teknologi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beraktivitas di dunia maya. Case dibayar oleh perusahaan sebagai pegawai yang bekerja dengan mesin yang menghubungkannya dengan dunia maya selama dua tahun. Secara tidak langsung, manusia dibuat tergantung terhadap dunia maya. Dunia maya sendiri tidak terlepas dari ideologi kelas penguasa, dunia maya merupakan bagian dari state apparatus dalam bentuk inovasi teknologi (Althusser, 1971: 143). Di dalam cerita, terdapat kepentingan dan hukum yang mengatur dunia maya tersebut. Saya melihat di dalam novel ini, teknologi diciptakan penguasa sebagai apparatus. Teknologi sebagai alat penunjang penguasa dalam mengendalikan masyarakat. Teknologi berperan aktif dalam bidang-bidang dan institusi yang termasuk dalam Ideological state apparatus (ISA). Althusser (2005: 79--80) mengungkapkan bahwa ISA adalah perangkat ideologis yang berupa institusi di berbagai bidang seperti agama, pendidikan, keluarga, politik, dan
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
budaya. Teknologi sebagai apparatus digunakan untuk mempermudah penguasa melakukan pengawasan dan pengaturan masyarakat. Penguasa yang menjadi penggerak perkembangan teknologi, menjadikan teknologi sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi masyarakat. Perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi memiliki fungsi untuk mengawasi, seperti yang dikatakan Zuboff (1988: 322) tentang kuasa panoptik dari teknologi informasi. Sistem informasi dapat secara otomatis dan berkelanjutan merekam apapun sesuai dengan kehendak penciptanya. Masyarakat pengguna teknologi tidak menyadari bahwa mereka ada dalam penjara teknologi informasi. Merujuk kepada Foucault (1977: 224) penjara dengan segala kekuatan untuk menghukum berganti menjadi kekuatan untuk mengawasi pada saat hukum diterapkan pada individu-individu tertentu. Dengan kata lain sistem pengawasan yang dilakukan terhadap masyarakat adalah bentuk lain dari penjara. Teknologi dibangun oleh penguasa layaknya sebuah panoptikon dengan sistem pengawasan yang mengawasi individu-individu di dalamnya. Hal tersebut dibangun dan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan penguasa. Analisis dalam penelitian ini mencoba menampilkan bagaimana dunia maya digambarkan sebagai sebuah teknologi dalam novel Neuromancer karya William Gibson. Juga, menampilkan teknologi yang digunakan penguasa untuk melakukan kendali terhadap masyarakat dan menjadi alat pendukung supremasi kekuasaan. Penelitian ini juga menampilkan bagaimana relasi antara teknologi dan masyarakat, serta hubungannya dengan pergeseran budaya yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan teknologi.
2. Kajian Teori Ketergantungan terhadap teknologi, membuat manusia menjadi seperti manusia setengah mesin (cyborg). Cyborg adalah
organisme sibernetika yang merupakan bentuk hibrid dari mesin dan organisme, makhluk seperti dalam fiksi (Haraway, 1999: 272). Ketergantungan terhadap mesin membuat manusia menjadi kurang produktif tanpanya. Bentuk ketergantungan itu muncul karena kemudahan yang ditawarkan teknologi. Secara bertahap, manusia tergantung terhadap kemudahan tersebut. Sebelum teknologi datang menawarkan berbagai kemudahan, manusia dapat hidup tanpanya, tetapi setelah manusia menggunakan teknologi baru dengan kemudahan dan fasilitas yang memberikan penggunnya kesenangan, ketergantungan tersebut muncul. Ketergantungan terhadap sesuatu saya gambarkan seperti “withdrawal” terhadap obat-obatan seperti yang dikemukakan oleh Wade dan Tavris(2008: 183) yang menyebabkan pengguna mengalami depresi dan masalah pada tidurnya. Ketergantungan tersebut dikarenakan bentuk kemudahan yang ditawarkan teknologi yang pada akhirnya menggantikan kegiatan kerja manusia. Haraway (1999: 285) menjelaskan bahwa mikroelektronik mengubah tenaga kerja buruh tulis menjadi robotic dan wordprocessing, mengubah kelamin menjadi mesin genetik-reproduktif, dan bahkan mengganti pikiran manusia menjadi kecerdasan buatan. Dengan kata lain, pekerja sudah digantikan oleh mesin sehingga persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi sangat ketat. Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi menjadi penambah daya saing seseorang. Kemajuan teknologi menciptakan mesin-mesin yang menggantikan kegiatan kerja manusia sehingga lapangan pekerjaan menyempit. Inovasi teknologi juga tidak terlepas dari ideologi, merujuk kepada Tatsumi ideologi adalah ibu dari teknologi baru sebagai sebuah representasi baru. Arah kebijakan perkembangan teknologi tidak dapat lepas dari ideologi penguasa (1997: 11). Pemahaman saya terhadap ideologi yang dikemukakan oleh Althusser (2010: 233) adalah sebuah sistem representasi yang 227
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
berupa konsep dan struktur, bersifat memaksa terhadap orang-orang tetapi tidak melalui kesadaran mereka. Dengan demikian dalam setiap perkembangan teknologi, terdapat kepentingan dan ada kekuatan yang mendorongnya. Penguasa yang memiliki peran penting dalam perkembangan teknologi, menjadi pengarah perkembangan teknologi. Sehubungan dengan kekuasaan dan teknologi, Soedjatmoko (1983: 53) berpendapat bahwa hakikat dasar dari teknologi telah berat sebelah dan mengacu pada teknologi yang berkuasa. Pendapat Soedjatmoko mengenai hal tersebut, berangkat dari adanya kesadaran keliru tentang teknologi. Kesadaran keliru yang menurut Eagleton (1976: 16) berarti kesadaran yang tidak dapat melihat kebenaran yang berada di balik permukaan. Pembacaan saya bahwa adanya kesadaran keliru yang terjadi atas perkembangan teknologi yang seolah terlepas dari ideologi, baik itu kapitalis yang berorientasi keuntungan maupun sosialis yang serba dikendalikan pusat. Perkembangan teknologi yang ditemukan dalam karya sastra juga merepresentasikan ideologi. Teknologi merupakan bagian dari state apparatus sebagaimana dijelaskan Althusser (1971: 143) tentang ideological state apparatus yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk unit-unit state apparatus yang termasuk di dalamnya alat-alat teknologi komunikasi. Kepentingan di dalam perkembangan teknologi tersebut, tidak disadari karena sifatnya yang tidak represif bagi masyarakat dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dampak budaya dari perkembangan teknologi adalah perubahan budaya masyarakat. Merujuk kepada Ellul (1964: 70) perbedaan budaya terjadi karena terdapat suatu teknik yang tertanam dalam budaya tertentu. Pemahaman saya terhadap pemikiran Ellul adalah terdapat beberapa teknologi berbeda dari satu kegiatan, misalnya menulis. Suatu masyarakat menggunakan teknologi dari alam seperti 228
daun, masyarakat lainnya menggunakan batu atau kayu, maka perkembangan teknologi yang terjadi pun berbeda dan lebih lanjut budaya yang berkembang juga berbeda. Jika teknologi satu masyarakat tertentu kemudian hadir di masyarakat yang lain dan kemudian teknologi tersebut berterima, akan ada pergeseran atau pergesekan budaya pada masyarakat tersebut. Teknologi dan budaya memiliki kaitan erat satu sama lain, dalam dunia teknologi saat ini, yang tidak langsung terbangun tanpa adanya evolusi budaya yang berkelanjutan. Teknologi dan budaya memiliki peran dalam perkembangan dunia global. Freeman dan Louçã (2001: 121) menjelaskan bahwa subsistem sosial (ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, budaya) menghasilkan sejumlah besar fluktuasi yang tidak teratur, yang disebabkan oleh siklus subsistem tertentu (seperti politik, teknologi, gerakan budaya dan industri). Lebih lanjut, Freeman dan Louçã (2001: 125) berpandangan bahwa proses interaksi kelima subsistem sosial tersebut menghasilkan inovasi institusional, yang dalam pandangan saya berkontribusi terhadap pengembangan dunia global yang di dalamnya terdapat perkembangan teknologi global. Jadi perkembangan teknologi saat ini adalah proses berkelanjutan dari interaksi kelima subsistem sosial yang di dalamnya terdapat sistem teknologi dan sistem budaya masyarakat. Pemaparan kajian pustaka tersebut digunakan dalam membantu saya menganalisis temuan dalam cerita novel Neuromancer. Saya melihat terdapat dua poin penting dalam cerita Neuromancer karya William Gibson. Pertama, terdapat pola ketergantungan terhadap teknologi yang terlihat melalui pandangan novel terhadap interaksi tokoh dengan teknologi yang dibangun dalam cerita; kedua, adanya kepentingan penguasa yang mengendalikan perkembangan teknologi. Dua poin yang saya temukan tersebut berkaitan satu sama lain, dengan teknologi sebagai entitas penghubung. Dengan kata lain, penelitian
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
ini melihat adanya kontribusi teknologi terhadap rezim kekuasaan dan pergeseran budaya masyarakat sebagai pengguna teknologi dalam kasus ketergantungan terhadap teknologi.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Ketergantungan terhadap Inovasi Teknologi Novel Neuromancer karya William Gibson memperlihatkan teknologi yang menyebabkan ketergantungan terhadap inovasi teknologi tersebut. Yang menjadi pendorong kemajuan teknologi, juga hadir dan terbangun dalam proses penggunaan teknologi tersebut. Dalam subbab ini saya menunjukan sensasi kegembiraan atau kesenangan atau ekstase (ecstasy) yang ditawarkan oleh teknologi yang kemudian menjadi pemupuk sikap ketergantungan terhadap teknologi. Berikut adalah contoh narasi tentang hal yang ditawarkan oleh teknologi. Case was twenty-four. At twenty-two, he’d been a cowboy, a rustler, one of the best in the Sprawl. He’d been trained by the best, by McCoy Pauley and Bobby Quine, legends in the biz. He’d operated on an almost permanent adrenaline high, a byproduct of youth and proficiency, jacked into a custom cyberspace deck that projected his disembodied consciousness into the consensual hallucination that was the matrix (Gibson, 2003: 5 penekanan dari saya) Case berusia dua puluh empat tahun. Sejak menginjak usia dua puluh dua tahun, ia menjadi peretas, seorang pencuri di dunia maya, salah satu yang terbaik di kota. Dia dilatih oleh yang terbaik, oleh McCoy Pauley dan Bobby Quine, legenda dalam dunia saiber. Dia mengendalikan alat yang memacu adrenalin tinggi hasil modifikasi anak muda dengan kemahiran, alat yang terhubung ke dek dunia maya yang memproyeksikan kesadaran tanpa
tubuhnya ke dalam halusinasi konsensual yang disebut matriks.
Dari potongan narasi tersebut dunia teknologi yang terdapat dalam cerita sudah terbangun sedemikan rupa sehingga dunia maya sudah terbangun. Dalam narasi juga ditemukan bahwa peretas menjadi pekerjaan yang menawarkan sensasi menjelajah dunia maya, membuat tokoh Case kemudian memutuskan untuk menjadi salah satu yang terbaik selama dua tahun. Saya melihat kondisi perkembangan teknologi dalam cerita yang digambarkan mempunyai sensasi ekstase tertentu yang membuat individu pengguna terutama dalam usia produktif tertarik untuk menggunakannya. Case pada usia dua puluh dua tahun menjadi seorang peretas yang mengoperasikan deck dunia maya yang memicu adrenalin tinggi. Sensasi kesenangan yang digambarkan dapat memproyeksikan kesadaran penggunanya ke dunia maya. Sensasi yang digambarkan seperti pada penggunaan obat-obatan ketika kesadaran penggunanya melayang tak tentu. Dalam kasus ini kesadarannya samasama keluar dari tubuh pengguna tetapi diproyeksikan ke dunia maya. A year here and he still dreamed of cyberspace, hope fading nightly. All the speed he took, all the turns he’d taken and the corners he’d cut in Night City, and still he’d see the matrix in his sleep (Gibson, 2003: 4). Sudah satu tahun dia di sini dan dia masih memimpikan dunia maya, harapan yang memudar seiring malam. Semua kecepatan yang dia ambil, semua jalanyang dia lalui dan sudut kota yang dia tinggalkan, dan dia masih melihat matriks dalam tidurnya.
Kutipan itu menjelaskan tentang kegelisahan Case yang sudah satu tahun tinggal di kota Chiba dan tidak mempunyai akses ke dunia maya. Kegelisahan yang Case rasakan diakibatkan karena ketergantungan mengkonsumsi kesenangan yang dia dapatkan dengan menjelajah matriks dunia maya. Saya melihat ketergantungan Case terhadap teknologi yang membuatnya 229
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
depresi menyerupai “withdrawal” terhadap obat-obatan yang dikemukakan oleh Wade dan Tavris (2008). Novel menggambarkan gangguan terhadap Case yang tidak bisa mengakses dunia maya layaknya seorang pengguna obat-obatan yang dihentikan dari kegiatan mengkonsumsi obatnya. Case yang memimpikan dunia maya dan melihat matriks dalam tidurnya, setelah satu tahun di kota Chiba untuk mencari obat agar Case bisa mengakses dunia maya kembali. Ekstase lain yang terdapat dalam inovasi teknologi dalam novel Neuromancer adalah pengguna dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain yang terhubung dengan dunia maya. Inovasi teknologi yang dikhayalkan dalam novel Neuromancer menggambarkan ketika teknologi memungkinkan seorang laki-laki bisa merasakan apa yang dirasakan oleh tubuh perempuan. Berikut adalah potongan narasi yang berkaitan dengan ekstase tersebut. Cyberspace slid into existence from the cardinal points. Smooth, he thought, but not smooth enough. Have to work on it.... ... The abrupt jolt into other flesh. Matrix gone, a wave of sound and color. . . . She was moving through a crowded street, past stalls vending discount software, prices feltpenned on sheets of plastic, fragments of music from countless speakers. Smells of urine, free monomers, perfume, patties of frying krill. For a few frightened seconds he fought helplessly to control her body. Then he willed himself into passivity, became the passenger behind her eyes. ... “How you doing, Case?” He heard the words and felt her form them. She slid a hand into her jacket, a fingertip circling a nipple under warm silk. The sensation made him catch his breath. She laughed” (Gibson, 2003: 54— 55 penekanan dari saya). Dunia maya masuk ke dalam kesadaran dari seluruh penjuru arah. Halus, pikirnya, tapi tidak cukup mulus. Dia harus bekerja keras.... 230
Sentakan tiba-tiba ke dalam tubuh lainnya. Matriks menghilang, gelombang suara dan warna muncul...Molly bergerak melalui jalan yang ramai, warung terakhir penjual software diskon, cetakan harga pada lembaran plastik, fragmen musik dari speaker yang tak terhitung jumlahnya. Bau urin, monomer bebas, parfum, roti goreng krill. Selama beberapa detik takut Case berjuang tak berdaya untuk mengendalikan tubuhnya. Lalu ia menghendaki dirinya menjadi pasif, menjadi penumpang belakang matanya. ... “Bagaimana Case?” Dia mendengar suara tersebut dan merasakan tubuh Molly darinya. Molly menyelipkan tangannya ke dalam jaketnya, ujung jari mengitari puting di dalam baultan sutra hangat. Sensasi membuatnya menghela nafas. Molly tertawa.”
Kutipan di atas menggambarkan proses dua orang, Molly dan Case, berinteraksi melalui dunia maya. Proses yang melibatkan dua tubuh tersebut memungkinkan kesadaran Case berada dalam tubuh Molly. Case merasakan apa yang Molly lihat dan rasakan oleh inderanya. Ekstase seperti ini juga didapatkan dari inovasi teknologi. Case bisa merasakan sensasi seksual dari tubuh Molly, perempuan yang pernah berhubungan seksual dengannya. Kutipan di atas menunjukan bahwa teknologi bisa mengganggu privasi orang lain dan menjadi isu seksual. Meskipun tidak dijelaskan secara detail, bisa jadi teknologi dunia maya dipakai untuk bukan hanya mengintip (voyeurism) tetapi lebih lanjut mengintip melalui tubuh korban. Case dapat melihat apa yang dilihat Molly, juga mendengar apa yang dikatakan oleh Molly dan merasakan apa yang dirasakan oleh indra tubuh Molly. Teknologi yang digambarkan dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa dunia maya dapat mengawasi tindakan orang yang terhubung dengan dunia maya tersebut. Sensasi-sensasi yang ditawarkan oleh inovasi teknologi tersebut kemudian berkontribusi terhadap tumbuhnya
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
ketergantungan pengguna dan ketergantungan terhadap teknologi. Kesenangan yang diberikan oleh inovasi teknologi bersifat individu, tidak seperti hiburan untuk dikonsumsi bersama, individu yang secara berkala atau berkelanjutan mengkonsumsi kesenangan ini lambat laun semakin tampak ketergantungan terhadap teknologinya. Selain itu, seperti efek yang terjadi dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kesenangan yang diberikan teknologi mengakibatkan ketergantungan terhadap penggunanya. Berikut adalah narasi yang mendukung pernyataan tersebut. He’d made the classic mistake, the one he’d sworn he’d never make. He stole from his employers. He kept something for himself and tried to move it through a fence in Amsterdam. He still wasn’t sure how he’d been discovered, not that it mattered now. He’d expected to die, then, but they only smiled. Of course he was welcome, they told him, welcome to the money. And he was going to need it. Because — still smiling — they were going to make sure he never worked again. They damaged his nervous system with a wartime Russian mycotoxin. Strapped to a bed in a Memphis hotel, his talent burning out micron by micron, he hallucinated for thirty hours. The damage was minute, subtle, and utterly effective. For Case, who’d lived for the bodiless exultation of cyberspace, it was the Fall. In the bars he’d frequented as a cowboy hotshot, the elite stance involved a certain relaxed contempt for the flesh. The body was meat. Case fell into the prison of his own flesh (Gibson, 2003: 6). Dia membuat kesalahan klasik, yang ia bersumpah ia tidak akan melakukannya. Dia mencuri dari majikannya. Dia menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri dan mencoba untuk membawanya melalui gerbang di Amsterdam. Dia masih tidak percaya bagaimana mereka menemukannya ketika mencuri, dan hal tersebut tidak penting sekarang. Dia mengharapkan
mati, tetapi mereka hanya tersenyum. Dulu dia memang baik, mereka pernah berkata selamat datang untuk uang. Dan dia memang membutuhkannya. Karena masih tersenyum - mereka akan memastikan dia tidak akan pernah bisa bekerja lagi. Mereka merusak sistem saraf nya dengan mikotoksin Rusia. Diikat ke tempat tidur di sebuah hotel Memphis, bakatnya dibakar mikron demi mikron, ia berhalusinasi selama tiga puluh jam. Kerusakannya halus, dan benar-benar efektif. Bagi Case, yang sudah terbiasa senang tanpa tubuh menjelajah di dunia maya, hal tersebut merupakan nestapa. Di bar sebagai seorang peretas jagoan, ia merasa jijik terhadap tubuh. Tubuh adalah daging. Case jatuh ke dalam penjara dagingnya sendiri.
Potongan narasi di atas menunjukan tumbuhnya ketergantungan Case terhadap teknologi yang dia sering gunakan. Narasi menggambarkan kesalahan yang dia lakukan dan hukuman dia terima. Case mencuri dari perusahaan yang mempekerjakannya kemudian dia dihukum oleh perusahaannya dengan memutus akses Case ke dunia maya. Case sebagai seorang peretas yang berinteraksi dengan inovasi teknologi yang menghubungkannya dengan dunia maya, menikmati kesenangan yang diberikan oleh inovasi teknologi dan menjadikannya pegawai yang ahli dalam pekerjaannya. Namun, itu tidak cukup baginya yang membuatnya mencuri sesuatu milik perusahaanya. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingannya sendiri, saya melihat bahwa novel memandang sikap ketergantungan yang tumbuh dalam diri Case sebagai pengguna teknologi yang kemudian menjadi ahli di bidang tersebut. Selanjutnya setelah akses Case ke dunia maya dihentikan, Case mencari cara supaya aksesnya ke dunia maya tersebut dapat kembali. Dunia maya sebagai dunia yang tercipta sebagai bentuk dari perkembangan 231
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
teknologi, memberikan kesenangan terhadap individu yang mengubah sikap penggunanya secara perlahan. Perubahan pengguna yang terjadi mulai dari keseharian hingga cara berpikir seseorang. Perubahan cara berpikir pengguna teknologi terlihat dari pola ketergantungan terhadap teknologi. Narasi sebelumnya menunjukkan, Case, sebagai pengguna teknologi merasa hampa jika harus hidup tanpa teknologi yang ia gunakan selama dua tahun terakhir. Case menganggap setelah pemutusan akses terhadap teknologi dia terpenjara dalam tubuhnya sendiri. Case yang sudah terbiasa dengan kesenangan dan fasilitas yang ditawarkan dunia maya, setelah tidak bisa menjelajah di dunia maya, Case merasa terpenjara. Dalam hemat saya, novel melihat adanya ketergantungan pengguna terhadap teknologi dalam kasus ini dunia maya, pola ketergantungannya seperti efek cyborg yang dikemukakan Haraway (1999); manusia sebagai pengguna teknologi kemudian tidak bisa lepas dari teknologi tersebut. Intensitas penggunaan teknologi yang memberikan kemudahan dan fasilitas membuat pengguna terbuai dan mengakibatkan ketergantungan. Dunia maya sebagai dunia hasil dari perkembangan teknologi memberikan kesenangan yang secara berkelanjutan diterima oleh penggunanya. Sensasi dari penjelajahan kesadaran di dunia informasi yang dilakukan Case selama dua tahun, cukup untuk mengikat Case bergantung terhadap dunia maya. Ketergantungan berlebih pengguna terhadap teknologi mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap dirinya sendiri ketika akses terhadap teknologi tersebut diambil. Narasi sebelumnya memperlihatkan Case kemudian merasa terpenjara di dalam tubuhnya sendiri. Hal ini membuktikan teknologi tidak melulu tentang kesenangan dan kemudahan tetapi juga ada muatan pemikiran di dalamnya. Kembali pada pola efek cyborg yang juga menyoroti penggunaan teknologi, ada akibat lain dari penggunaan teknologi yang berlebihan. Ketergantungan adalah bagian terluar dari 232
efek cyborg, lebih dalam lagi, terdapat ideologi dalam penciptaan inovasi teknologi. Saya analogikan kasus yang dialami Case dengan kesenangan yang disajikan konsol game untuk anak-anak. Jika ada anak kecil yang sedang menikmati kesenangan dari konsol gim (game), kemudian dihentikan ditengah-tengah permainan, kejadian yang mungkin terjadi selanjutnya si anak tersebut akan marah atau menangis. Seolah hanya kesenangan saja yang dapat di ambil dari konsol gim tersebut, tetapi ada permasalahan lain di sana. Pertama, adanya ketergantungan anak terhadap konsol gim yang di samping memberikan kesenangan juga mengubah keseharian si anak dengan kemunculan konsol gim tersebut. Kedua, ada muatan pemikiran atau bahkan ideologi di dalam gim yang disampaikan melalui kesenangan bermain konsol gim. Secara tidak sadar si anak memperoleh pandangan tentang sesuatu dari pembuat permainan tersebut, yang bisa jadi tidak hanya mengubah keseharian si anak tetapi juga cara berpikir si anak tersebut. Cara berpikir yang berubah setelah penggunaan teknologi yang berkelanjutan tersebut juga yang ditemukan dalam Neuromancer. Dalam narasi sebelumnya, Case merasa terpenjara dalam tubuhnya sendiri setelah akses ke dunia maya dihentikan. Novel memandang terdapat perubahan cara berpikir Case, sebelumnya Case hingga usia dua puluh dua tahun hidup bukan sebagai peretas yang menjelajah di dunia maya. Setelah dua tahun menjadi peretas kemudian aksesnya dihentikan, Case menjadi tidak cocok terhadap tubuhnya dan merasa terpenjara, tubuh yang selama dua puluh empat tahun dia miliki. Proses perubahan pandangan terhadap tubuh sendiri yang dialami Case terjadi pada saat dirinya menggunakan teknologi secara berkelanjutan selama dua tahun. Saya beranggapan pemikiran yang berubah tersebut terjadi karena dua hal berikut: pertama, kesenangan yang diberikan secara berkelanjutan tidak bisa ditemui selain melalui teknologi; kedua, karena
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
muatan ideologi yang terdapat dalam ideologi yang diterima pengguna saat menikmati kemudahan dan fasilitas yang disajikan teknologi tersebut. Kesenangan yang diberikan oleh teknologi adalah bagian terluar dari proses perubahan pemikiran ini. Pengguna dimanjakan dengan kemudahan dan fitur atau fasilitas yang hanya dapat dinikmati melalui inovasi teknologi tertentu. Proses perubahan pemikiran terjadi setelah pengguna terbiasa dengan kemudahan dan fasilitas yang ada, kemudian pengguna berinteraksi dengan teknologi yang menyajikan dunia baru yang di dalamnya terdapat muatan ideologi. Ideologi yang tersampaikan kemudian menyajikan cara pandang lain dan kesadaran baru tentang sesuatu. Jadi, novel menggambarkan penggunaan teknologi tertentu secara berkelanjutan dapat mengakibatkan seseorang menjadi cyborg yang tidak bisa tenang tanpa ada akses ke teknologi tertentu. Dalam kasus yang dialami Case, penggunaan teknologi secara berkelanjutan mengakibatkannya mengalami perubahan pemikiran dan pandangan terhadap tubuhnya sendiri. Hal tersebut terjadi terhadap Case yang selama dua tahun menerima ideologi tersebut semenjak dia menjadi peretas di dunia maya. Selama proses perubahan ini, ada tiga tahap yang dialami pengguna, pertama, penyesuaian diri dengan alat teknologi; kedua, resepsi kesenangan dan kemudahan yang diberikan oleh inovasi teknologi; ketiga, transfer pesan ideologi yang membangun pandangan lain secara berkelanjutan. 3.2 Mesin dan Masyarakat Novel Neuromancer karya William Gibson menggambarkan interaksi manusia dengan teknologi. Hal tersebut berperan terhadap isu sosial yang kemudian saya temukan. Isu sosial yang terjadi adalah ketika mesin hadir dan mendominasi kehidupan manusia dan kemudian menggantikan kerja manusia. Ketergantungan pada mesin berdampak pada masyarakat. Berikut adalah kutipan
dalam novel Neuromanceryang berkaitan dengan dampak ketergantungan terhadap mesin dalam masyarakat. The robot crab moved toward them, picking its way over the waves of gravel. Its bronze carapace might have been a thousand years old. When it was within a meter of her boots, it fired a burst of light, then froze for an instant, analyzing data obtained(Gibson, 2003: 30). Robot kepiting bergerak ke arah mereka, memilih jalan di antara kerikil. Cangkang perunggunya yang mungkin telah berusia seribu tahun. Ketika berjarak satu meter dari sepatu bot Molly, robot itu menembakkan cahaya, kemudian diam sesaat, menganalisis data yang diperoleh.
Narasi di atas menggambarkan teknologi robotik yang dibuat manusia dalam novel Neuromancer, robot kepiting yang memiliki fungsi untuk menjadi matamata. Kecerdasan buatan yang disematkan dalam robot kepiting itu memberikan kemampuan untuk hidup dan menjalankan perintah. Robot dengan kemampuan mengawasi dan memiliki ukuran seperti kepiting, menjadi apparatus sempurna untuk dijadikan bagian dari sistem pengawasan. Dalam hal ini ada dua sisi berlawanan yang menguntungkan pihak yang mengawasi, di satu sisi, masyarakat yang diawasi tidak akan sadar jika mereka diawasi oleh kepiting (robot). Di sisi lain, pengawasan terhadap individu akan sangat menguntungkan penguasa karena dapat mengetahui privasi individu si korban tanpa disadari. Lebih lanjut lagi mesin yang digambarkan novel Neuromancer memiliki fungsi yang bisa menggantikan manusia, berikut adalah contoh kutipannya. That was Wintermute, manipulating the lock the way it had manipulated the drone micro and the robot gardener (Gibson, 2003: 172). Dia Wintermute, yang memanipulasi kunci sebagaimana dia memanipulasi drone mikro dan robot tukang kebun.
Dari kutipan di atas, teknologi sudah menggantikan kerja manusia dalam pekerjaan di kebun. Permasalahan yang 233
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
muncul ketika mesin melakukan pekerjaan manusia adalah menyempitnya lapangan pekerjaan; efek domino dari lapangan pekerjaan yang diisi oleh mesin adalah meningkatnya kriminalitas. Novel Neuromancer sendiri membawakan cerita dengan sisi kriminal tokoh-tokohnya. Latar sosial yang disajikan adalah latar sosial dengan tingkat kiriminalitas tinggi. Mesin yang hadir di tengah masyarakat, memiliki dua sisi, sisi pertama adalah otomatisasi pekerjaan sehingga pekerjaan menjadi cepat selesai dengan melibatkan lebih sedikit tenaga kerja, sisi kedua adalah menyingkirkan tenaga kerja manusia karena otomatisasi pekerjaan tersebut dan semakin tinggi angka pengangguran maka akan memicu angka kriminalitas. Hal tersebut pun hadir dalam novel Neuromancer, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. At first, finding himself alone in Chiba, with little money and less hope of finding a cure, ... In the first month, he’d killed two men and a woman over sums that a year before (Gibson, 2003: 7). Pada awalnya, Case menemukan dirinya sendirian di Chiba, dengan sedikit uang dan harapan yang menipis untuk menemukan obat dari penyakit yang dideritanya, ... Pada bulan pertama, dia membunuh dua orang laki-laki dan seorang perempuan lebih jumlah yang setahun sebelumnya.
Kutipan di atas menggambarkan Case yang sangat tergantung dengan dunia maya dan tidak bisa bekerja telah membunuh tiga orang. Kondisi sosial yang dibangun dalam novel Neuromancer ini adalah kondisi sosial yang distopia khususnya pada latar tempat di bagian awal novel di kota Chiba. Saya melihat ketergantungan terhadap teknologi mendorong Case membunuh tiga orang dalam satu tahun, ditambah oleh faktor kondisi sosial di Chiba yang digambarkan penuh dengan dunia kejahatan. Seperti
234
yang digambarkan dalam narasi berikut. Chiba was a magnet for the Sprawl’s technocriminal sub-cultures (Gibson, 2003: 6). Kota Chiba adalah magnet bagi teknokriminal sub-kultur di pinggiran kota.
Dalam narasi-narasi di atas, Case ada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Kehilangan pekerjaan yang dicintainya, kekurangan uang, ketergantungan akan obat-obatan dan teknologi dalam waktu yang sama dan tinggal di kota dengan angka kriminal yang tinggi mendorong Case untuk berbuat kejahatan. Saya melihat sisi negatif dari kehadiran teknologi di tengah masyarakat dalam novel Neuromancer. Sisi teknologi yang digambarkan oleh novel Neuromancer adalah sisi gelap teknologi dan dampaknya terhadap manusia. Teknologi yang mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya, teknologi yang sangat mungkin untuk disalahgunakan. Dengan kata lain, teknologi yang digambarkan novel Neuromancer adalah teknologi yang mengancam bagi kehidupan manusia. 3.3 Penjara dan Sistem Pengawasan dalam Teknologi Novel Neuromancer juga menampilkan dunia maya sebagai perwujudan kemajuan teknologi yang tidak terlepas dari ideologi kelas penguasa. Terdapat hukum yang ditentukan oleh kelas penguasa. Demi kelangsungan kekuasaan kelas penguasa, dunia maya dilengkapi dengan sistem pengawasan. Kutipan berikut disajikan untuk membahas perihal kekuasaan dan penjara dalam novel Neuromancer. “Just thinking out loud. . . . How smart’s an AI, Case?” “Depends. Some aren’t much smarter than dogs. Pets. Cost a fortune anyway. The real smart ones are as smart as the Turing heat is willing to let ’em get.” “Look, you’re a cowboy. How come you aren’t just flat-out fascinated with those things?” “Well,” he said, “for starts, they’re rare. Most of them are military, the bright ones, and we
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
can’t crack the ice. That’s where ice all comes from, you know? And then there’s the Turing cops, and that’s bad heat” (Gibson, 2003: 91). “Saya hanya berpikir.... Seberapa pintar suatu AI, Case?” “Tergantung. Beberapa tidak jauh lebih cerdas daripada anjing. Hewan peliharan. Tergantung keberuntungan. Ada yang sangat cerdas hingga polisi Turing ingin menangkap mereka” “Dengar, kamu seorang peretas. Kenapa kamu tidak menjelaskannya secepat kamu terpesona dengan hal-hal yang berhubungan dengan teknologi” “Yah,” katanya, “pertama, AI sangat jarang ditemukan. Kebanyakan dari mereka adalah militan, sangat cerdas, dan kita tidak bisa memecahkan sistem proteksinya. Dari situlah sistem proteksi berasal, tahu? Terlebih lagi ada polisi Turing, dan itu yang terburuk “.
Kutipan di atas menggambarkan percakapan antara Case dan Molly –teman perempuannya- tentang seberapa cerdas sebuah kecerdasan buatan (Artificial Intellegent). Dari percakapan tersebut saya menemukan terdapat hukum yang mengatur dalam dunia teknologi yang diceritakan novel Neuromancer ini. Case adalah seorang peretas, dia bisa meretas sistem proteksi yang terdapat dalam sebuah AI. Namun, ada polisi yang berfungsi sebagai stabilitator keamanan yang memantau pergerakan AI. Dalam narasi juga saya menemukan bahwa AI yang sangat cerdas sangat dilarang dan akan ditangkap –dimatikan-. Pemahaman saya, mengenai AI yang sangat cerdas sehingga sangat dilarang, adalah bahwa AI tersebut menyerupai malicious software –perangkat lunak jahat- atau lebih dikenal sebagai virus komputer. Meskipun demikian, AI yang diceritakan dalam novel Neuromancer ada di bawah pengawasan polisi tiap-tiap kota. Saya melihat polisi sebagai Represive State Apparatus (RSA) menjalankan fungsinya selain untuk stabilitator keamanan manusia sebagai pengguna teknologi tetapi juga
untuk teknologi yang digunakannya. Berkaitan dengan RSA, kelas penguasa dalam novel Neuromancer juga menerapkan sistem pengawasan untuk kepentingan mereka. Teknologi yang dibangun dalam novel Neuromancer untuk membangun dunia maya menawarkan ruang berekspresi untuk Liyan. Seperti dikemukakan oleh Dalton (2014) mereka yang dianggap Liyan adalah mereka yang tidak bisa melakukan apa yang mereka ingin lakukan atau tidak bisa mencurahkan pikiran mereka. Namun, saya mempunyai pendapat yang berseberangan dengan Dalton, dunia maya dalam Neuromancer, meskipun menawarkan dunia baru bagi penggunanya, heterotopia yang diharapkan tidaklah sepenuhnya terbangun. Saya beranggapan demikian, karena saya menemukan semacam pola yang sama antara Case dengan apa yang dialami oleh Winston Smith dalam novel 1984 karya George Orwell (1980). Smith menganggap salah sudut di kamarnya adalah kamar yang luput dari pengawasan sehingga dia dengan leluasa menulis dalam buku –menurut hukum dalam cerita hal tersebut dilarang-. Smith juga menemukan kamar tanpa telescreen untuk dia menghabiskan waktu dengan Julia. Namun, kemudian diketahui bahwa sudut kamarnya dan kamar yang tanpa telescreen tersebut memang dipersiapkan sedemikian rupa supaya Smith ditangkap oleh tought police yang memastikan tidak ada pemikiran masyarakat yang berpotensi pengkhianatan terhadap kekuasaan. Pola tersebut saya temukan dialami oleh Case, dengan konteks yang berbeda. Kasus yang dialami oleh Case terjadi di lingkungan teknologi digital. Kejadian saat Case tertangkap tangan mencuri dari perusahaan yang mempekerjakannya terjadi seperti yang dialami oleh Smith. Pertama-tama Case bekerja sebagai peretas di perusahaannya, kemudian selama dua tahun dia menjadi mahir dan ahli sehingga dia menjadi salah satu peretas terbaik. Case, dalam posisi tersebut, dapat melakukan
235
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
apapun yang menguntungkan untuk dirinya, tetapi dia terheran ketika dia menemukan dirinya ditangkap. Seperti dalam kutipan berikut. He still wasn’t sure how he’d been discovered, not that it mattered now (Gibson, 2003: 6). Dia masih tidak percaya bagaimana merekamenemukannya ketika mencuri, itu tidak penting sekarang.
Pada narasi di atas, Case dalam posisi yang mirip saat Smith ditahan. Penguasa mengatur dan memperisapkan seolah-olah Smith berada di luar pengawasan mereka sehingga segala gerak-gerik yang dilakukan oleh Smith yang tampak tanpa pengawasan justru sudah ada dalam rencana penguasa. Kejadian yang serupa dialami oleh Case. Situasi dan kondisi yang menurutnya lepas dari pengawasan perusahaan, justru adalah bagian dari rencana penangkapan Case. Heterotopia tidak terbangun dengan sempurna. Dengan mempertimbangkan dua kejadian penangkapan tersebut, saya beranggapan kelas penguasa tetap memperhitungkan heterotopia sebagai bagian dari usaha untuk melanggengkan kekuasaannya. Dunia maya dan alat-alat hasil inovasi teknologi dalam novel Neuromancer merupakan state apparatus dari kelas penguasa yang diciptakan untuk mengatur kelas di bawahnya. Alat-alat hasil inovasi teknologi bagi Althusser merupakan state apparatus dalam kehidupan sehari-hari. Althusser (1971: 143) menjelaskan rincian ideological state apparatus yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk unit-unit state apparatus yang termasuk di dalamnya alat-alat teknologi komunikasi. Kepentingan di dalam perkembangan teknologi tersebut, tidak disadari karena sifatnya yang tidak represif bagi masyarakat dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
4. Simpulan Pembahasan mengenai isu ketergantungan terhadap teknologi dan kaitannya dengan isu kekuasaan dalam 236
novel Neuromancer karya William Gibson pada bagian sebelumnya, menghasilkan tiga poin simpulan utama. Poin pertama, Novel Neuromancer menggambarkan bagaimana teknologi mengakibatkan ketergantungan manusia terhadap sensasi dan fasilitas yang tersedia dalam teknologi. Teknologi yang dikhayalkan dalam novel Neuromancer dibangun dengan memiliki ekstase dan dengan intensitas penggunaan yang tinggi dapat membuat pengguna terikat dengan teknologi yang digunakan. Pandangan mengenai adanya gangguan terhadap pengguna ketika dilakukan pembatasan akses terhadap teknologi, serupa dengan gangguan dari penghentian penyalahgunaan obat-obatan terlarang dari pengguna. Novel Neuromancer melihat teknologi layaknya obat-obatan yang disalahgunakan. Poin kedua, teknologi yang digambarkan novel Neuromancer adalah teknologi yang berpotensi mengancam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi yang memupuk ketergantungan terhadap teknologi itu sendiri dan mesin-mesin yang hadir untuk menggantikan kegiatan kerja manusia, mengakibatkan kehidupan manusia terganggu. Teknologi yang digambarkan dalam novel Neuromancer adalah teknologi yang membuat kota menjadi rawan kriminalitas. Mesin menggantikan kegiatan kerja manusia. Kemudian dengan semakin luasnya penggunaan mesin banyak manusia terpinggirkan yang menyebabkan tingginya kriminalitas. Hal tersebut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Poin ketiga, inovasi teknologi yang digambarkan novel Neuromancer tidak terlepas dari ideologi kelas penguasa. Di dalam teknologi yang digunakan oleh masyarakat terdapat aturan yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan kelas penguasa. Penguasa menjadi penggerak perkembangan teknologi, pengatur arah kebijakan teknologi, tetapi di sisi lain menjadikan teknologi sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi masyarakat. Masyarakat tidak sadar bahwa mereka
ARIEF LUQMAN DKK. : KETERGANTUNGAN MANUSIA TERHADAP TEKNOLOGI DALAM NOVEL...
diawasi ketika menggunakan teknologi. Inovasi teknologi dengan kemudahan dan fasilitas di dalamnya menjadi bagian dari sistem pengawasan yang diterapkan kelas penguasa bagi masyarakat. Dengan
demikian, ketika masyarakat menggunakan teknologi, masyarakat ada dalam pengawasan kelas penguasa untuk kelangsungan kekuasaannya.
Daftar Pustaka Althusser, L. 1971. Lenin and Philosophy, and Other Essays (B. Brewster, Trans.). New York: Monthly Review Press. Althusser, L. 2005. “Ideology and Ideological State Apparatus (Notes Towards an Investigation)”. In M. G. Durham & D. M. Kellner (Eds.), Media and Cultural Studies: Key Works, Revised Edition. Victoria: Blackwell. Althusser, L. 2010. For Marx. London: Verso. Dalton, W. 2014. “Reflected Spaces: Heterotopia and the Creation of Space in William Gibson’s Neuromancer”. Iowa Journal of Cultural Studies (15), 36--55. Eagleton, T. 197). Marxism and literary criticism. Berkeley: University of California Press. Ellul, J. 1964. The Technological Society (J. Wilkinson, Trans.). New York: Vintage Books. Foucault, M. 1977. Discipline and Punish : The Birth of The Prison. New York: Pantheon Books. Foucault, M., & Gordon, C. 1980. Power/Knowledge : Selected Interviews and Other Writings, 19721977. New York: Pantheon Books. Freeman, C., & Louçã, F. 2001. As Time Goes By : From The Industrial Revolutions to The Information Revolution. Oxford; New York: Oxford University Press. Gibson, W. 2003. Neuromancer. New York: Penguin Putnam Inc. Haraway, D. 1999. “A Cyborg Manifesto”. In S. During (Ed.), The Cultural Studies Reader, 2nd edition (pp. 271-291). London & New York: Routledge. Hayles, K. 1999. How We Became Posthuman : Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. Chicago: University of Chicago Press. Orwell, G. 1980. Animal Farm ; Burmese Days ; A Clergyman’s Daughter ; Coming Up For Air ; Keep the Aspidistra Flying ; Nineteen Eighty-Four. New York: Octopus/Heinemann. Seegert, A. 2010. “Technology and the Fleshly Interface in E.M. Forster’s ‘The Machine Stops”. Journal of Ecocriticism, 2(1), 33--54. Soedjatmoko. 1983. “Teknologi Pembangunan dan Kebudayaan” dalam Y. B. Mangunwijaya (Ed.), Teknologi Dan Dempak Kebudayaannya (hlm. 49--58). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tatsumi, T. 1997. “Comparative Metafiction: Somewhere between Ideology and Rhetoric”. Critique: Studies in Contemporary Fiction, 39(1), 2--17. Wade, C., & Tavris, C. 2008. Psikologi, Edisi 9, jilid 1. Diterjemahkan oleh B. Widyasinta dan I. D. Juwono. Jakarta: Erlangga. Zuboff, S. 1988. In The Age of The Smart Machine : The Future of Work and Power. New York: Basic Books.
237
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 225—238
238