TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Pulau Saugi Rahmi Amin Ishak(1), Nurmaida Amri(2), Ria Wikantari(3), Imriyanti(2) (1)
Lab. Perancangan Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Lab. Perumahan & Permukiman, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar. (3) Lab. Teori, Sejarah & Lingkungan Perilaku Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar. (2)
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis ketahanan masyarakat terhadap resiko bencana ditinjau dari aspek fisik bangunan dan lingkungan permukiman serta aspek kewaspadaan terhadap resiko bencana di Pulau Saugi. Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Populasi penelitian adalah penduduk dan lingkungan, rumah tinggal di Pulau Saugi. Sampel penduduk ditentukan sebanyak 40 responden Kepala Keluarga (KK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan bencana di Pulau Saugi cenderung rendah; bangunan hunian tidak memiliki penguatan struktur dan konstruksi bangunan, serta penguatan khusus pada infrastruktur tapak, lansekap dan lingkungan. Penduduk umumnya cukup memiliki pengetahuan tentang jenis bencana alam, serta sadar dan waspada terhadap resiko bencana di Pulau Saugi, namun antisipasi dan tindakan yang dilakukan masih terbatas pada menyiapkan tempat evakuasi dan berlindung di dalam rumah. Kata-kunci: pulau kecil, ketahanan bencana, penduduk, permukiman
Pengantar Definisi Bencana dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibat-kan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Indonesia berada pada urutan 34 dari 171 negara yang termasuk kategori resiko bencana ‘sangat tinggi’, dan diidentifikasi bahwa penduduk yang tinggal di wilayah gunung api dan pesisir sangat rentan bencana. Demikian pula pulau-pulau kecil Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana dan perubahan iklim. Resiko bencana cenderung menimpa masyarakat dengan ketahanan yang rendah, sehingga masyarakat yang bermukim di pulau kecil harus memiliki ketahanan dalam menghadapi bencana.
Ketahanan masyarakat terhadap bencana dapat diukur dengan dua pendekatan, yaitu; 1) Pendekatan dari atas, yang mencakup kajian iklim dan cuaca, kajian keruangan seperti penggunaan tanah, kondisi topografi, jenis tanah, geologi, dan lain-lain; 2)Pendekatan dari bawah, dilakukan dengan menggali kearifan-kearifan lokal yang telah turun-temurun beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menggunakan metode-metode partisipatif kearifan lokal dapat digali dalam rangka merangkum pengetahuan mengenai masyarakat bertahan dengan kondisi lingkungan baik fisik wilayah, iklim maupun terkait mata pencahariannya. Metode ini dianggap mampu merangkum pengetahuan tradisional yang telah dijalankan oleh masyarakat secara turun-temurun. Sejalan dengan hal tersebut Baldacchino (2008) menyatakan bahwa kajian tentang pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang disebut sebagai nissology- seyogyanya dilakukan secara induktif bertolak dari pandangan masyarakat pulau dan situasi lingkunganan kehidupannya. Hal ini menguatkan pentingnya pemahaman dan analisis secara induktif dari dalam pulau (sudut pandang Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 055
Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Pulau Saugi
masyarakat pulau) ke luar pulau (berupa kenampakan konfigurasi visual dan spasial). Pendekatan tersebut diperlukan pada saat analisis eksplanatif-rasional, sampai dengan analisis interpretatif-eksploratif untuk penemuan maknamakna di balik konfigurasi visual dan spasial. Meskipun demikian Baldacchino mengakui bahwa hibriditas penggunaan dua arah pandangan pada proses penelitian, mem-butuhkan waktu yang panjang. Pendapat di atas mengungkapkan bahwa dua arah perspektif pada pendekatan penelitian merupakan metode yang ideal. Apabila terdapat keterbatasan maka perspektif dari dalam pulau secara induktif seharusnya menjadi prioritas. Pulau Saugi merupakan salah satu pulau kecil berpenghuni di Kabupaten Pangkajene & Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Per-timbangan penentuan lokasi penelitian didasar-kan pada kerentanan hunian dan lingkungan permukiman akibat tingkat abrasi yang tinggi, juga kerentanan daya dukung ekologis akibat intensitas aktivitas ekonomi penduduk. Selain itu, pulau Saugi berpotensi terpapar bencana alam marin seperti hempasan ombak dan badai serta naiknya paras permukaan laut akibat perubahan iklim.
Teknik purposive untuk menjaring responden dari penduduk, tokoh masyarakat dan pimpinan setempat.
Gambar 1. Letak Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kec. Liukang Tupabbiring Utara, Kab. Pangkajene & Kepulauan (Sumber: BPS Kabupaten Pangkep, 2012).
Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan deskriptif kualitatif, mencakup analisis deskriptif-spasial (ruang arsi-tektural) menggunakan teknik mapping and overlay dan analisis deskriptif-formal (bentuk arsitektural) menggunakan teknik sketsa dan gambar berdasarkan hasil observasi-partisipasi, wawancara dan kuesioner; kedua, analisis eksplanatifinterpretatif untuk menjelaskan dan menafsirkan makna yang terungkap dari analisis sebelumnya. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan teknik survei melalui pengamatan (lengthened/indepth observation), pengukuran bangunan dan lingkungan, dan wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur atau mendalam. Populasi penelitian adalah penduduk dan lingkungan bangunan hunian di Pulau Saugi. Sampel ditentukan 32% dari 123 KK (410 jiwa) yang bermukim di Pulau Saugi, yaitu sebanyak 40 KK sebagai responden. G 056 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Gambar 2. Lokasi Penelitian Pulau Saugi, Pangkep (GoogleEarth, 2015)
Metode Analisis Data Analisis dilakukan melalui teknik analisis kualitatif menggunakan teknik deskriptif-spasial, kategorisasi, dan interpretasi, dimaksudkan untuk menemukan pola-pola morfologis spesifik dan untuk mendapatkan pemahaman terhadap makna-makna pola tersebut. Analisis dan Interpretasi Pulau Saugi sebagai bagian dari wilayah kepulauan Kabupaten Pangkep, termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. Berjarak ±1 km dari desa Mattiro Baji, ±3 km dari Pelabuhan Maccini Baji, dan 15 km dari Kota Pangkep, serta 87 km dari Kota Makassar. Akses menuju pulau dengan menggunakan perahu kayu berkapasitas 6-10 orang dapat
Rahmi Amin Ishak
ditempuh selama 15 menit dari pelabuhan Maccini Baji. Kondisi Fisik Pulau Saugi tergolong sebagai kawasan rawan terhadap bencana; angin kencang, gelombang laut, dan abrasi. Berdasarkan kondisi fisik pulau, Saugi termasuk pulau yang mengalami bencana abrasi cukup besar dibandingkan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sisi terdalam Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Sistem Mitigasi bencana alam dan adaptasi terhadap perubahan iklm (Climate change) belum dilakukan.
Gambar 3. Kerusakan akibat kencang dan gelombang angin
pengaruh
tidak dominan, masih terdapat ruang terbuka dan jarak antar bangunan yang terjaga. Tata ruang Pulau Saugi terbagi atas zona hunian, zona fasilitas lingkungan, dan ruang terbuka hijau. Umumnya fasilitas lingkungan terletak di tengah dan tepi pulau, dikelilingi oleh hunian penduduk. Zona ruang terbuka berada di sisi barat pulau. Orientasi hunian tertata dengan baik, mengikuti pola sirkulasi jalan lingkungan, sedangkan hunian di tepi pulau umumnya berorientasi ke arah laut.
angin
Umumnya vegetasi yang terdapat di Pulau Saugi adalah jenis tanaman pelindung, seperti; ketapang, sukun, asam, dan tanaman tepi pantai; bakau sebagai barrier sisi barat pulau, serta tanaman tajuk sedang; kelor, jenis perdu. Vegetasi tersebut memberikan iklim mikro yang baik pada pulau sekaligus sebagai pengikat air tanah di musim kemarau. Dalam mengantisipasi terjadinya bencana, penduduk Pulau Saugi telah melakukan beberapa usaha, antara lain menanam vegetasi sebagai buffer pada arah datang gelombang ekstrim (sisi barat pulau) dan membangun tanggul penahan air laut, namun seiring pertumbuhan permukiman di pulau ini, menyebabkan pembangunan permukiman melewati batas sempadan pantai. Letak fasilitas umum berada di tepi pantai dan di tengah pulau. Topografi di pesisir pantai cenderung landai dengan kemiringan rata-rata 5°, terutama pada sisi barat pulau yang dikelilingi delta. Pulau Saugi dihuni 123 KK dan 440 penduduk, dengan jumlah rumah 110 (tahun 2015). Pola jalan tertata baik dengan tata bangunan yang linear mengikuti jalan. Kepadatan bangunan
Gambar 4. Tata Ruang Pulau Saugi
Infrastruktur pulau yang terdapat di Pulau Saugi terbagi atas infrastruktur teknis/fisik; antara lain fasilitas jalan lingkungan, air bersih, saluran pembuangan, listrik, tanggul, dermaga. Sedangkan infrastruktur sosial/non fisik berupa sarana lingkungan permukiman antara lain; MCK umum, mesjid, sekolah, Posyandu, dan Puskesmas. Letak sarana sosial utama seperti mesjid dan sekolah berada di tengah pulau, sedangkan MCK terdapat di beberapa bagian kelompok unit hunian. Sebanyak 5 unit MCK umum terdapat di tiap lingkungan hunian. Selain MCK umum Pulau Saugi juga memiliki fasilitas umum; Puskesmas, Posyandu, Mesjid, Sekolah Dasar, serta Pusat kegiatan belajar dan bermain bagi anak usia dini. Letak sarana lingkungan utama seperti mesjid dan sekolah berada di tengah pulau, sedangkan MCK umum tersebar di tiap RT/RW lingkungan hunian. Letak fasilitas lingkungan dan pola hunian umumnya linier memanjang mengikuti garis pantai dan jalan lingkungan.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 057
Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Pulau Saugi
Penduduk
Gambar 5. Letak fasilitas umum dan pola hunian di Pulau Saugi
Sebanyak 10% bangunan hunian merupakan fungsi campuran yaitu hunian dan kios/warung, sebagai pemenuhan kegiatan penunjang ekonomi. Fungsi hunian campuran ini dominan memanfaatkan kolong rumah sebagai warung. Umumnya penduduk di Pulau Saugi masih mempertahankan bentuk rumah panggung (82,5%), sedangkan rumah 1 lantai/tidak berpanggung sebanyak 12,5%, dan rumah 2 lantai tidak berpanggung sebanyak 5%. Luas bangunan hunian berpanggung umumnya 36 – 54 m2 (32,5%), dengan luas persil tanah kurang dari 100 m2 (62,5%). Meskipun dengan keterbatasan luas hunian dan persil lahan, namun kebutuhan ruang tetap tercukupi, dominan bangunan hunian memiliki kelengkapan ruang 42,5%, yang terdiri dari; ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, ruang makan, dapur, dan KM/WC, beserta teras dan kolong rumah. Masih terdapat 20% rumah yang tidak memiliki KM/WC, sehingga untuk kebutuhan sanitasi menggunakan fasilitas MCK umum. Konstruksi dan material bangunan yang digunakan umumnya menggunakan pondasi batu; kolom, dinding, dan lantai kayu; atap seng, dengan konstruksi sederhana, dan tanpa penguatan khusus pada struktur dan konstruksi bangunan. Demikian pula pada lingkungan dan tapak tidak terdapat penguatan pada infrastruktur dan lansekap. Perbaikan kerusakan material dan konstruksi bangunan seringkali dilakukan oleh penduduk akibat angin kencang dan gelombang badai.
G 058 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Sebagai bagian dari Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Pulau Saugi memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah, dengan jumlah penduduk 410 jiwa dan 123 KK. Terbagi atas dua RT (RT 1 dan RT 2), dengan pendidikan umumnya setingkat SMP dan SD. Rendahnya pendidikan masyarakat ini juga secara tidak langsung berpengaruh pada tingkat kesehatan. Peningkatan sektor pendidikan dan kesehatan selama ini menjadi sulit dilakukan mengingat kurangnya sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang tersedia. Fakta lain yang berkontribusi pada rendahnya kualitas SDM adalah banyak pulau-pulau berpenghuni yang hanya memiliki sekolah SD dengan jumlah guru yang tidak memadai. Kondisi ini diperburuk pula oleh kebiasaan masyarakat nelayan yang lebih menginginkan apabila anak anak mereka dapat ikut membantu melaut atau dalam mencari nafkah, tanpa menghiraukan pendidikan anak-anaknya. Dari aspek sosial-budaya dan ekonomi, warga setempat memiliki hubungan kekerabatan dan interaksi sosial yang terjalin dengan baik. Kawinmawin antar keluarga dekat umumnya terjadi di pulau-pulau kecil yang terpencil dan memiliki keterbatasan akses transportasi.
Gambar 6. Interaksi sosial di Pulau Saugi
Matapencaharian utama penduduk di Pulau Saugi adalah nelayan (77%), selebihnya sebagai PNS (5%) dan wiraswasta (5%). Selain sebagai nelayan penduduk juga memiliki pekerjaan sampingan berjualan dengan membuka toko/ warung (7,5%) di bagian kolong rumah. Umumnya penduduk Pulau Saugi memanfaatkan kolong rumah untuk kegiatan ekonomi, beternak unggas, juga sebagai fungsi komunal. Berdasarkan data BPS Pangkep (2012) pada tahun 2010, komposisi pendapatan per bulan masyarakat kecamatan kepulauan terdiri dari; 40 % berpendapatan lebih dari 2 juta rupiah, 32% berpendapatan 1 - 2 juta rupiah, 22% berpendapatan 570 ribu hingga 1 juta rupiah, 5 % berpendapatan 285 ribu hingga 570 ribu
Rahmi Amin Ishak
rupiah dan 1 % berpendapatan 180 ribu hingga 285 ribu rupiah perbulan.
Gambar 7. Matapencaharian utama penduduk Pulau Saugi sebagai nelayan
Kewaspadaan terhadap Bencana Dari hasil kuesioner terhadap 40 KK responden, umumnya penduduk memiliki pengetahuan (70%) tentang jenis bencana, terutama responden yang berusia 40-50 tahun dan bermukim 40-49 tahun di Pulau saugi. Jenis bencana yang disadari rentan terjadi menurut pengalaman responden adalah; angin kencang/puting beliung, gelombang laut akibat angin dan pasangsurut (65%), serta abrasi (5%). Umumnya penduduk menyadari (67,5%) tentang potensi bencana di Pulau Saugi, terutama penduduk berusia 50-59 tahun, dan penduduk yang telah bermukim selama lebih dari 40 tahun. Dominan responden dengan tingkat pendidikan setingkat SD, dan bermata-pencaharian utama nelayan memiliki kesadaran tentang potensi bencana. Berdasarkan pengalaman responden, kejadian angin kencang (40%) dan gelombang laut (17,5%) kadangkala terjadi tiba-tiba dan tak terduga akibat perubahan musim. Responden cenderung waspada (72,5%) terhadap kejadian bencana, hanya 20% responden yang cenderung pasif dalam mengantisipasi bencana. Responden mengantisipasi kejadian bencana dengan berusaha menyiapkan tempat evakuasi yang aman (32,5%), dan menyiapkan sistem peringatan dini (27,5%). Berdasarkan lama tinggal di pulau, umumnya responden yang telah bermukim lebih dari 40
tahun cenderung mengantisipasi perlunya tempat evakuasi (38,5%) dibandingkan memperkuat konstruksi bangunan hunian. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran penduduk tentang perlunya zonasi pulau terkait kejadian bencana. Umumnya responden dengan matapencaharian utama sebagai nelayan cenderung memiliki kewaspadaan terhadap bencana lebih tinggi, dibandingkan responden yang bekerja sebagai petani dan penjual di toko/warung. Nelayan juga cenderung lebih mengantisipasi kejadian bencana, antara lain; menyiapkan sistem peringatan dini, menyiapkan tempat evakuasi, serta memperkuat infrastruktur lansekap. Tindakan yang dilakukan responden untuk menghindari bencana adalah cenderung memilih berlindung di dalam bangunan/rumah (67,5%), dan mencari tempat evakuasi yang aman di tengah pulau (30%) jika terjadi bencana, hanya 2,5% memilih untuk meninggalkan pulau. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa meskipun rumah tinggal mereka tidak memiliki penguatan khusus untuk menghadapi bencana, namun penduduk merasa rumah merupakan tempat yang aman untuk berlindung. Berdasarkan usia responden, kecenderungan usia 40-49 tahun memilih untuk berlindung di dalam bangunan (37%), usia 50-59 tahun cenderung memilih untuk keluar rumah menuju area tengah pulau (50%). Sedangkan berdasarkan lama tinggal di pulau, umumnya responden yang bermukim lebih dari 40 tahun cenderung memilih berlindung di dalam bangunan (44,4%) dibandingkan keluar rumah atau meninggalkan pulau. Pengalaman lama tinggal di pulau menyebabkan mereka menganggap kejadian angin kencang, dan gelombang laut, merupakan kejadian alam biasa yang tidak mengancam dan membahayakan kehidupan mereka. Demikian pula bencana abrasi yang sifatnya berangsur dan tanpa disadari telah mengikis daratan pulau. Kesimpulan Pulau Saugi rentan terhadap bencana angin kencang, gelombang laut, dan abrasi. Identifikasi dan analisis aspek fisik bangunan dan lingkungan, menunjukkan bahwa ketahanan bencana di Pulau Saugi cenderung rendah, bangunan hunian tidak memiliki penguatan Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 059
Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Pulau Saugi
struktur dan konstruksi bangunan, serta penguatan khusus pada infrastruktur tapak, lansekap dan lingkungan. Identifikasi aspek non fisik, penduduk umumnya cukup memiliki pengetahuan tentang jenis bencana alam, serta sadar dan waspada terhadap resiko bencana di Pulau Saugi. Namun antisipasi dan tindakan yang dilakukan masih terbatas pada menyiapkan tempat evakuasi dan berlindung di dalam rumah. Hasil identifikasi aspek fisik dan non fisik ini selanjutnya perlu diketahui keterkaitan antara kedua aspek tersebut. Daftar Pustaka Baldacchino, G. (2008). ‘Studying Islands: On Whose Terms? Some Epistemological and Methodological Challenges to the Pursuit of Island Studies’. Island Studies Journal, 3, (1), 2008, pp. 37-56. http://ISJ-3-1-2008Baldacchino-FINAL [accessed on 18 Maret 2011]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. (2012). Kabupaten Pangkep dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI. Subandono, D. (2003). ‘Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia’. Jurnal
Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana Alam, Vol 8, No. 2: 1-8.
G 060 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016