Karya Ilmiah
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Oleh : Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2006
KATA PENGANTAR
Konsep gender merupakan konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan. Pemahaman ini sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Sehingga diharapkan pembaca tidak lagi mengartikan gender sebagai seks (jenis kelamin) melainkan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Dalam tulisan ini penulis berusaha untuk memaparkan pengertian kepada pembaca, untuk memahami masalah-masalah emansipasi kaum perempuan dalam kaitannya dengan masalah ketidakadilan dan perubahan sosial dalam konteks yang lebih luas. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menerima kritikan yang membangun bagi penyempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Medan, Desember 2006 Penulis
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos, MSP.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan Penulisan
4
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
6
2.1. Pengertian Gender
6
2.2. Sosok Perempuan Indonesia
8
2.2.1. Pendidikan
10
2.2.2. Kesehatan
10
2.2.3. Ekonomi
11
2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender 2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender
12 13
2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender 15 BAB III
PEMBAHASAN
18
3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis Perempuan Indonesia
18
3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia
20
3.3. Peran Perempuan
21
3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik
21
3.3.2 Perempuan di Sektor Publik
22
ii
3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan
24
3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan Pembangunan 3.4.2. Pengarusutamaan Gender
24 27
3.5. Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Rangka Kesetaraan dan Keadilan Gender 3.6. Tiga Strategi Untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender
28 33
3.6.1. Mereformasi institusi untuk menetapkan hak-hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki
34
3.6.2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk memantapkan insentif demi kesetaraan sumber daya dan partisipasi
36
3.6.3. Mengambil langkah kebijakan pro aktif untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam penguasaan sumber daya dan partisipasi politik BAB IV
40
KESIMPULAN DAN SARAN
47
4.1. Kesimpulan
47
4.2. Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sasaran utama dari pembangunan nasional negara Indonesia adalah perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Dari pernyataan tersebut dapat kita artikan bahwa di dalam proses pembangunan tersebut dibutuhkan adanya keterlibatan masyarakat; laki-laki dan perempuan secara serasi, selaras dan seimbang atau dengan kata lain dibutuhkan adanya emansipasi dalam bidang kesempatan kerja. Selama ini pendekatan pembangunan yang dilaksanakan belum secara khusus mempertimbangkan manfaatnya secara adil terhadap laki-laki dan perempuan. Pembangunan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih belum menempatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender. Padahal secara teoritik pemerintah telah berupaya meningkatkan status dan kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan, yang dicantumkan dalam arahan GBHN 1999, UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, serta dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non-departemen di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan. Kesetaraan dan Keadilan Gender sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen
1
bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan pengarusutamaan gender diinstruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak. Penduduk
wanita
yang
jumlahnya
49.9%
(102.847.415)
dari
total
(206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Namun selama ini pendekatan pembangunan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil terhadap laki-laki dan perempuan, sehingga hal tersebut turut memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan
2
gender. Emansipasi dalam bidang kesempatan kerja tersebut berarti perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berperan serta di dalam pembangunan dan dalam mengembangkan keberadaan kehidupan pribadinya. Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki); peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; rendahnya
3
pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender. Masalah umum yang dihadapi perempuan bekerja adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja yang buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi perempuan berpendidikan rendah; untuk kasus urban sebagai buruh pabrik. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut adalah tidak semata-mata hanya disebabkan oleh faktor pendidikan. Perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil dari penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan
pembangunan.
Selain
itu
rendahnya
kualitas
perempuan
turut
mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.
1.2. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan, terutama bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan kaum perempuan dalam pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan pengarusutamaan
4
gender di Indonesia, serta untuk mengetahui secara jelas peran pengarusutamaan gender didalam menyukseskan pembangunan nasional di Indonesia.
5
BAB II KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
2.1. Pengertian Gender Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris : Gender berarti jenis kelamin (John M.Echols, Hasan Shadily, 1995, hal. 265). Arti yang diberikan tidak secara jelas dibedakan pengertian jenis kelamin dan gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan pengertian kata gender dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan atau juga kodrat. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun cultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara lakilaki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
6
lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa (Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 7-8). Sementara itu Oakley dalam Mansour Fakih menjelaskan bahwa gender berarti perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan, karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang social constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan, baik oleh kaum laki-laki maupun oleh kaum perempuan, melalui proses sosial budaya yang panjang.1 Beberapa ungkapan tentang gender berikut akan lebih memberikan pemahan mengenai konsep gender, yaitu : 1. Laki-laki dan perempuan sesuai dengan peranan dan fungsinya di dalam keluarga, sosial juga ditambahkan bahwa gender adalah perbedaan status antara laki-laki dan perempuan (Depnakertrans). 2. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang membedakan antara lakilaki dan perempuan bukan berdasarkan biologisnya, melainkan dikaitkan dengan peran, fungsi, hak, sifat, perilaku yang direkayasa sosial. Oleh karena itu, pemahaman tentang gender dapat berubah dan sangat tergantung pada budaya setempat yang mendukung (Depag). 3. Penerapan keadilan dan kesetaraan gender (Depdagri). 4. Kemitrasejajaran pria dan wanita untuk ikut serta dalam setiap aspek pembangunan.
7
5. Persamaan kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan, persamaan status sosial dalam kesempatan kerja dengan memperhatikan perbedaan kodrat perempuan seperti hamil, melahirkan dan menyusui (Rahmadewi, dkk, 2000). Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi laki-laki dan perempuan yang dinamis, yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Hubungan gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu dan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain akibat perbedaan suku, agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
2.2. Sosok Perempuan Indonesia Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang tersedia pada abad ke-21 perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap mandiri, disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil perempuan Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar
8
perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan. Contohnya situasi tersebut dialami oleh perempuan Indonesia yang berkarir. Di satu sisi perempuan karir merasa
terpanggil
untuk
mendarmabaktikan
bakat
dan
keahliannya
bagi
perkembangan bangsa dan Negara mereka; namun di sisi lain mereka dihantui oleh opini yang ada dalam masyarakat yang melihat bahwa perempuan karir/ibu karir sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek
9
yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:
2.2.1. Pendidikan Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan lakilaki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
2.2.2. Kesehatan Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta
10
meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998). Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).]
2.2.3. Ekonomi Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah
11
dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).
2.3. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun lakilaki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil
12
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
2.3.1. Permasalahan ketidakadilan gender Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
13
budaya dan lain-lain. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat : -
Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.
-
Tidak
langsung,
seperti
peraturan
sama,
tapi
pelaksanaannya
menguntungkan jenis kelamin tertentu. -
Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membedabedakan.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan;
misalnya
marginalisasi,
subordinasi,
stereotipe/pelabelan
negatif
sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa
14
dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).
2.3.2. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi: a. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi). Contoh-contoh marginalisasi:
Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki
Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani
Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.
b. Subordinasi (penomorduaan) Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah
15
sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
c. Stereotip (citra buruk) Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan perpanjangan peran domestiknya.
d. Violence (kekerasan) Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap
16
fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.
e. Beban kerja berlebihan Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.
17
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Beberapa Faktor Penyebab Situasi Dilematis Perempuan Indonesia Untuk mengkaji profil dan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu : Pertama, Indonesia adalah suatu negara yang pluralistic dari segi etnik dan kebudayanya. Kedua, adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin kita membuat suatu pendapat yang menggeneralisasikan bahwa perempuan Indonesia sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan perempuan dalam konteks kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang hidup di bumi nusantara ini. Ketiga, situasi dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia merupakan hasil dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di negara kita (Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, 2001, hal. 62). Misalnya pada tahun 1925 terjadi satu perdebatan yang sengit antara sekelompok anggota Volksraad dan wakil pemilik perkebunan di Indonesia, yakni memperdebatkan apakah perempuan Indonesia diizinkan untuk bekerja pada malam hari atau tidak (Elisabeth Locher-Scholten dalam Loekman Soetrisno, hal. 62).
Hal
ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perempuan Indonesia harus selalu berada di tengah-tengah keluarganya, bahwa dia adalah makhluk yang lemah, dan hanya diizinkan mencari pekerjaan di luar rumah apabila memang keluarga
18
membutuhkan. Ini adalah suatu konsep tentang perempuan yang berasal dari barat yang disosialisasikan kepada Indonesia khususnya kaum elite Indonesia melalui proses pendidikan. Padahal bekerja di luar rumah bukanlah hal yang baru bagi perempuan Indonesia, mereka bekerja karena alasan ekonomi dan karena memang telah terbiasa untuk bekerja. Selain hal tersebut, pengaruh agama juga dapat membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan. Dari ajaran agama tersebut dapat tersimpul bahwa perempuan itu bukan hanya lemah fisik, tetapi juga lemah iman. Cerita tersebut melalui berbagai cara disosialisasikan dalam masyarakat Indonesia sehingga para pejabat Indonesia selalu dalam kesempatan timbang terima jabatan, misalnya, mengingatkan istri pejabat baru agar selalu menjaga tingkah lakunya dan tidak mendorong suaminya melakukan korupsi. Ideologi barat abad ke-19 tentang perempuan dapat merugikan kaum perempuan dalam dua hal : a. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah dalam rumah tangga maka mreka dapat saja diabaikan dalam program-program pembangunan yang tidak menyangkut kesejahteraan keluarga. b. Karena perempuan Indonesia tugas utamanya adalah sebagai ibu rumah tangga maka apabila mereka harus bekerja, para majikan mereka akan memberikan upah yang lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Sebab pada kenyataannya suamilah yang menjadi provider dalam keluarga, dan upah perempuan dengan demikian hanya dianggap sebagai supplement dari upah yang diterima suami mereka.
19
3.2. Problem Khusus Perempuan Miskin Indonesia Kelompok perempuan Indonesia, khususnya perempuan miskin mempunyai problem khusus dalam menyongsong era industrialisasi ini, antara lain: 1. Kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan yang menghinggapi mereka ini membuat mereka tidak banyak memiliki alternatif dalam mencari pekerjaan. Kemiskinan menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang memadai termasuk penguasaan keterampilan yang rendah. Situasi seperti ini ditambah kemiskinan yang melilit hidup mereka akan menyebabkan mereka tidak dapat berbuat banyak dalam memilih pekerjaan dan menuntut haknya. 2. Persaingan yang dihadapi oleh buruh perempuan dan buruh laki-laki. Keterampilan yang relatif rendah yang dimiliki oleh buruh perempuan miskin akan membuat mereka ada dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi persaingan dengan buruh laki-laki dalam memperoleh suatu pekerjaan. Kecuali apabila buruh perempuan itu mau menerima fasilitas yang lebih sedikit dari fasilitas yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya gaji yang lebih rendah dari gaji yang diterima oleh buruh laki-laki dengan beban kerja yang sama berat. 3. Dilema yang mereka hadapi antara keinginan mereka untuk bekerja guna memperoleh pendapatan yang mandiri dan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Apabila mereka harus menjadi buruh industri dan bekerja penuh selama delapan jam, siapa yang akan memelihara anak-anak mereka yang masih kecil-kecil. Mereka tidak mungkin menyewa pembantu untuk membantu memelihara anak-anak mereka seperti halnya kelompok kaya.
20
3.3. Peran Perempuan 3.3.1. Perempuan di Sektor Domestik Selama beratus-ratus tahun pekerjaan domestik mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah, memasak, merupakan tanggung jawab perempuan. Masyarakat Indonesia, dengan struktur patriarkis menempatkan perempuan di wilayah rumah dengan tanggung jawabnya sebagai pengelola rumah tangga yang meliputi tiga hal yaitu makanan, kesehatan dan pendidikan anak (Andria dan Raychman, Dampak Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai Pengelola Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 8.). Perempuan juga bertanggung jawab mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga, sementara laki-laki bertanggung jawab mencari uang dengan bekerja di luar rumah. Beberapa permasalahan yang dihadapi perempuan di sektor domestik antara lain : 1. Pelecehan pekerjaan rumah tangga Meskipun secara riil seorang ibu mencurahkan banyak waktu dan energi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, namun penghargaan yang diterima minim sekali. Yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah tangga dianggap “bukan pekerjaan”, tidak produktif, dan dipandang sebelah mata. Akibat selanjutnya mudah ditebak, banyak perempuan yang sepenuhnya berprofesi sebagai ibu rumah tangga merasa rendah diri, yang seringkali diungkapkan dengan ekspresi “saya hanya ibu rumah tangga biasa”.
2. Labelisasi pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan wajib bagi perempuan (ibu rumah tangga) dan bahwa ia dituntut untuk berperilaku sebagaimana umumnya
21
yang dikehendaki masyarakat (Andria dan Raychman, Dampak Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Bandung – Perempuan Sebagai Pengelola Rumah Tangga Miskin, 1999, hal. 25.). Artinya ia harus memenuhi kriteria “keibuannya”, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia. Mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap “menyimpang” dan bukan ibu yang baik. Pekerjaan rumah tangga yang nyaris 100% dibebankan kepada perempuan, mengakibatkan perempuan terisolasi dari kehidupan sosial dan menghambat pengembangan diri perempuan. Domestikasi (housewifisation) perempuan menggambarkan bagaimana perempuan diberi tanggung jawab mulia untuk membuat rumah menjadi tempat yang nyaman bagi generasi berikutnya, memberikan batasan ruang gerak perempuan hanya di arena domestik saja.
3.3.2 Perempuan di Sektor Publik Meskipun di tingkat ideologis, sektor publik merupakan domain laki-laki, namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Perempuan bekerja mencari nafkah karena tuntutan ekonomi lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan.
22
Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, lalu diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%. Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun dicirikan oleh skala bawah dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan skala kecil. Pedagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan. Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, terjun ke sektor publik dengan pendorong utamanya adalah faktor ekonomi, maka bagi perempuan di kelas menengah ke atas, keterlibatan mereka di sektor publik – selain karena dorongan ekonomi – banyak pula merupakan kombinasi antara faktor ekonomi dan keinginan untuk mengamalkan bekal pendidikan yang dimiliki, selain juga makin terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah. Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Dengan kata lain
23
telah terjadi marginalisasi pada pasar tenaga kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Paling tidak telah terjadi feminisation dan segregation. Feminisation adalah penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu. Segregation adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Bagi perempuan di kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar. Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama, namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara pegawai perempuan dan laki-laki.
3.4. Gender dan Pendekatan Pembangunan 3.4.1. Pendekatan Kebijakan Perempuan dan Pembangunan Sejak tahun 1950an telah terjadi pergeseran dalam melihat peran perempuan dalam pembangunan. Peran tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam lima pendekatan sebagai berikut (Training package Gender Issues in the World of Work, ILO, Geneva dalam Workshop Pengarusutamaan Gender dalam Program Terikat Waktu, Maret 2003) : a. Pendekatan Kesejahteraan Pada fase awal kerja sama pembangunan dilancarkan, selama tahun 1950an dan 1960an, perempuan dilihat sebagai penerima manfaat yang pasif pada proses pembangunan. Perempuan ditekankan pada peran mereka sebagai ibu dan isteri.
24
Pendekatan ini didasarkan pada stereotype barat mengenai keluarga inti yang mana perempuan dilihat sebagai pihak yang tergantung secara ekonomi pada lakilaki yang dilihat sebagai pencari nafkah utama.
b. Pendekatan Persamaan Pendekatan ini adalah pendekatan Woman in Development (WID) yang pertama yang muncul selama dasawarsa tahun perempuan sebagai reaksi terhadap kegagalan kebijakan modernisasi. Dasar filosofi pendekatan ini, melihat perempuan terlalu tertinggal dalam masyarakat dan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dapat dijembatani dengan menciptakan alat pengukur perbaikan berdasarkan struktur yang ada. Perempuan dilihat sebagai partisipan aktif dalam pembangunan. Analisa spesifik pada relasi laki-laki dan perempuan sebagaimana juga pemahaman perbedaan kuasa yang dimiliki perempuan dan laki-laki kurang diperhatikan.
c. Pendekatan Anti Kemiskinan Pendekatan WID yang kedua mengaitkan ketimpangan ekonomi perempuan dan laki-laki bukan pada subordinasi, tetapi pada kemiskinan. Oleh karena itu upaya yang dilihat adalah meningkatkan kesempatan perempuan untuk memperoleh program peningkatan pendapatan bagi perempuan miskin. Pendekatan ini berkaitan dengan kebutuhan dasar strategi pembangunan umum pada akhir tahun 1970an. Fokus capaian pendekatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, rumah, bahan baker dan pendidikan. Pendekatan anti
25
kemiskinan ini menekankan pada peran produktif perempuan dan kerja guna meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan perempuan. d. Pendekatan Efisiensi atau Instrumental Pandangan
dasarnya
adalah
diintegrasikannya
perempuan
dalam
proses
pembangunan guna memanfaatkan secara penuh semua sumber daya manusia dan memastikan bahwa pembangunan menjadi lebih efisien dan efektif. Perempuan dilihat sebagai pihak berpotensi yang kurang dimanfaatkan oleh pembangunan. Pendekatan ini mengabaikan pola-pola peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, dan percaya bahwa perempuan tanpa kesulitan dapat melakukan kerja tambahan, sehingga kerja perempuan sejauh ini belum dimanfaatkan oleh pembangunan nasional.
e. Pendekatan Pemberdayaan atau Otonomi Ke empat pendekatan yang diuraikan sebelumnya memiliki kesamaan, yaitu kurang memperhatikan sejarah ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pendekatan ini muncul pada pertengahan 1970an berdasarkan pengalaman kelompok perempuan dunia ke tiga. Dikenali bahwa feminisme bukan sekedar sesuatu yang diimpor dari barat, fenomena perkotaan dan kelas menengah, tetapi juga memiliki sejarah yang mandiri. Feminisme dunia ketiga memiliki akarnya dalam partisipasi perempuan dalam perjuangan nasional, gerakan perburuhan dan kaum petani dan diketahui sebagai kekuatan penting dalam proses perubahan di dunia ketiga. Berdasarkan hal itu, perempuan-perempuan bersatu untuk membentuk organisasi-organisasi perempuan yang otonom. Pendekatan ini
26
bertujuan untuk menguatkan dan memperluas basis kuasa perempuan guna mencapai kemandirian yang lebih besar.
3.4.2. Pengarusutamaan Gender Pada Konferensi Wanita Sedunia keempat yang diselenggarakan di Beijing 1995, istilah Gender Mainstreaming tercantum di Beijing Platform of Action. Semua negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi itu, secara
eksplisit
menerima
mandat
untuk
mengimplementasikan
Gender
Mainstreaming di negara dan tempat masing-masing. Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender maka pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa pengarusutamaan gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Meskipun begitu, usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya dan khususnya oleh perempuan. Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau keseluruhan instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender. Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Dengan pengarusutamaan gender ini pemerintah dapat bekerja lebih
27
efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada rakyatnya, perempuan dan laki-laki. Pengarusutamaan gender sebagai strategi merupakan upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan
penghargaan
yang
sama
di
masyarakat.
Keberhasilan
pelaksanaan
pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial, politik dan ekonomi suatu bangsa. Kesetaraan dan keadilan gender menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang. Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan melakukan pengarusutamaan gender, dapat diidentifikasi kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Dengan demikian, tujian akhir dari pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender.
Upaya-Upaya dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Rangka Kesetaraan dan Keadilan Gender Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan
Perempuan
RI
sebenarnya
merupakan
bentuk
pembaruan
pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan
28
perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan. Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas). Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh
29
peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 1718, 2001). Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan. Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming
30
kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001). Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 20012004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama. Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama
dengan
UNFPA
dalam
melaksanakan
serangkaian
kegiatan
Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes. Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan.
31
Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain :
Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undangundang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender
Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA)
Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website
Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;
Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota
Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
32
3.6. Tiga Strategi Untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender Ketidaksetaraan
gender
yang
sangat
merugikan
kemanusiaan
dan
menghambat prospek pembangunan negara menjadi landasan bagi tindakan privat dan publik untuk meningkatkan kesetaraan gender. Negara memiliki peran penting
untuk meningkatkan kesejahteraan baik
perempuan maupun laki-laki.
Dengan melaksanakan peran ini, negara mendapatkan
manfaat sosial yang besar
dalam kaitannya dengan peningkatan status perempuan dan anak perempuan baik secara absolut maupun relatif. Aksi publik terutama penting karena institusi sosial dan hukum yang mempertahankan ketidaksetaraan gender luar biasa sulit, atau bahkan tidak mungkin, diubah oleh individual
secara sendiri-sendiri. Juga, kegagalan-
kegagalan dalam pasar berarti tidak cukupnya informasi tentang produktifitas perempuan dalam pasar tenaga kerja (karena perempuan menghabiskan lebih banyak waktu kerja dalam aktifitas domestik atau karena pasar tenaga kerja tidak ada atau tidak dikembangkan). Hal ini jelas-jelas menjadi hambatan. Memperbaiki
efektifitas
institusi
kemasyarakatan
dan
mencapai
pertumbuhan ekonomi telah secara luas diterima sebagai elemen kunci setiap strategi pembangunan jangka panjang. Namun kesuksesan penerapan strategi ini tidak
menjamin
kesetaraan
gender.
Untuk meningkatkan kesetaraan gender,
kebijakan untuk melakukan perubahan institusi dan pembangunan ekonomi perlu memperhatikan dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam hak, sumber daya, dan aspirasi. Dibutuhkan ketidaksetaraan
kebijakan dan program yang proaktif
untuk memperbaiki
yang telah lama berlangsung antara perempuan dan laki-laki. Bukti
yang ada telah memberi cukup dasar bagi diterapkannya tiga langkah strategis untuk meningkatkan kesetaraan gender.
33
3.6.1. Mereformasi institusi untuk menetapkan hak-hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki Karena
institusi
sosial,
hukum,
dan
ekonomi
menentukan
perempuan dan laki-laki ke berbagai sumber daya, kesempatan mereka, kemampuan
relatif
mereka,
salah
satu
unsur
kunci
akses dan
untuk meningkatkan
kesetaraan gender adalah menetapkan suatu tingkat 'keleluasaan' (playing field) institusional bagi perempuan dan laki-laki. Menjamin kesetaraan dalam hak hak dasar. Kesetaraan gender dalam hak merupakan tujuan pembangunan yang memiliki nilainya sendiri. Hak- hak hukum, sosial,
dan
ekonomi
menyediakan
suatu
'atmosfer'
(environment)
yang
memungkinkan perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi secara produktif dalam masyarakat, mencapai dasar kualitas hidup, dan mengambil kesempatan-kesempatan
baru
hak yang lebih besar juga
keuntungan
dari
yang ditawarkan oleh pembangunan. Kesetaraan secara konsisten dan sistematis dihubungkan dengan
kesetaraan gender yang lebih besar dalam pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik, dampak-dampak yang tidak ada hubungannya dengan pendapatan. Reformasi hukum berperan penting dalam mewujudkan persamaan hak dan perlindungan antara perempuan dan laki-laki. Namun, reformasi hukum mencukupi.
Di
banyak
jarang
negara berkembang, kemampuan untuk melaksanakan
reformasi hukum masih lemah karena dipersulit oleh sistem hukum yang berganda dan tidak konsisten. Sebagai contoh, hukum sipil di uganda mengatur hak-hak yang sama dalam perceraian, tetapi hukum adat lebih kuat pengaruhnya dalam pembagian harta di dalam pernikahan, dan perempuan yang diceraikan tidak dapat
mempertahankan
akses
atas
tanah.
Dalam
kasus-kasus kekerasan
34
berdasarkan gender, syarat-syarat pembuktian yang sulit serta rintangan prosedural lainnya (maupun perilaku penegak hukum) menghambat
terwujudnya keadilan.
Dalam konteks tersebut, upaya untuk memantapkan kemampuan penegakan hukum institusi-institusi yuridis dan administratif negara menjadi
unsur penting
untuk
mencapai kesetaraan yang lebih besar dalam hak-hak dasar. Di hampir semua kasus, kepemimpinan politik adalah faktor yang menentukan. Menetapkan insentif untuk mengurangi diskriminasi gender. Struktur institusi-institusi ekonomi juga secara signifikan mempengaruhi kesetaraan gender. Pasar memuat seperangkat insentif yang cukup kuat mempengaruhi
keputusan-
keputusan untuk bekerja, menabung, berinvestasi, dan konsumsi. Upah
laki-
laki dan perempuan, laba dari aset-aset produktif, dan harga barang dan jasa umumnya ditentukan oleh struktur pasar. Bukti-bukti dari Meksiko dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam pasar bebas memperlakukan perempuan lebih baik dan adil dalam hal perekrutan dan jumlah upah daripada perusahaan-perusahaan yang memiliki kekuasaan pasar yang signifikan yang beroperasi dalam pasar terproteksi. Demikian pula, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan Cina, perempuan menghadapi diskriminasi upah yang lebih besar dalam pekerjaan yang telah diberikan secara administratif daripada dalam pekerjaan yang diperoleh melalui jalur-jalur kompetitif. Secara garis besar, kebijakan dan investasi yang membuat pasar lebih berkembang dan membenahi ketidaksetaraan gender dalam akses informasi-dikombinasi dengan pemberlakuan sangsi terhadap mereka yang
melakukan
diskriminasi-semuanya
turut memperkuat insentif bagi kesetaraan gender di pasar tenaga kerja. Di Cina dan Vietnam, misalnya, pengembangan pasar tenaga kerja pedesaan telah benar-
35
benar
meningkatkan permintaan akan tenaga kerja perempuan pada perusahaan-
perusahaan non-pertanian, membuka lapangan pekerjaan baru dan kesempatan untuk memperoleh penghasilan bagi perempuan. Merancang pelayanan service delivery
untuk memfasilitasi kesetaraan
akses. Rancangan pelayanan program seperti sistem persekolahan, pusat perawatan kesehatan,
organisasi
keuangan,
dan
program
memfasilitasi atau menghambat kesetaraan akses
penyuluhan
pertanian, dapat
antara perempuan dan laki-laki.
Lebih jauh lagi, upaya melibatkan masyarakat dalam perancanganan
pelayanan
membantu mengakomodasi permintaan- permintaan khusus dalam konteks lokal, yang seringkali
berpengaruh positif
terhadap
perempuan dalam akses dan
pemanfaatan.
3.6.2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk memantapkan insentif demi kesetaraan sumber daya dan partisipasi Di sebagian besar negara, perkembangan ekonomi
dikaitkan dengan
perbaikan keadaan bagi perempuan dan anak-anak perempuan, serta dengan peningkatan kesetaraan gender, dijalankan melalui beberapa jalur: Rumahtangga membuat keputusan investasi antara lain untuk
mengenai pekerjaan, konsumsi,
menanggapi tingkat harga dan indikator pasar
lainnya. Perubahan pada indikator tersebut cenderung sumber
daya.
dan
mengakibatkan
realokasi
Bila perkembangan ekonomi meningkatkan ketersediaan dan
kualitas pelayanan umum, seperti klinik kesehatan dan sekolah, biaya investasi rumahtangga tersebut untuk sumber daya manusia jadi berkurang. Jika biaya investasi yang dikeluarkan lebih banyak menurun bagi perempuan daripada laki-
36
laki, atau jika investasi pada perempuan lebih sensitif terhadap perubahan harga daripada investasi pada laki-laki, maka perempuan akan mendapat lebih banyak manfaat dari terjadinya peningkatan pelayanan umum. Ketika mengurangi
perkembangan
ekonomi
kemiskinan,
ketidaksetaraan
Rumahtangga rumahtangga
berpenghasilan
meningkatkan gender rendah
pendapatan
cenderung
dan
menurun.
dipaksa untuk menjatah
pengeluaran untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan gizi di mana perempuan dan anak perempuan yang "dikorbankan" karena merekalah yang menanggung sebagian besar
beban
. Oleh sebab itu, ketika pendapatan rumahtangga bertambah,
ketidaksetaraan gender dalam sumber daya manusia cenderung menurun. Sebagaimana hak-hak umumnya menghasilkan
dasar
lainnya,
pendapatan
yang lebih
tinggi
kesetaraan gender dalam sumber daya, baik kesehatan
maupun pendidikan. Di bidang
pendidikan, hasil simulasi menunjukkan bahwa
peningkatan terbesar yang ditimbulkan oleh pertumbuhan pendapatan kemungkinan akan terjadi di wilayah-wilayah termiskin: Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika, bahkan dampak pendapatan khususnya
kuat pada tingkat sekunder. Namun,
analisis simulasi juga menunjukkan bahwa peningkatan yang sangat besar dalam pendapatan, katakanlah ke level rata-rata OECD, dibutuhkan untuk mencapai atau mendekati kesetaraan gender dalam pendaftaran ke sekolah menengah di wilayahwilayah ini. Peningkatan seperti itu tidaklah realistis dalam jangka pendek maupun menengah. Peningkatan pendapatan yang sangat besar juga merupakan syarat mutlak untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender di dalam perwakilan di parlemen. Ketika pembangunan ekonomi memperluas kesempatan kerja, terjadi peningkatan dalam tingkat pengembalian (rate of return) sumber daya manusia yang
37
diharapkan, dan memperkuat insentif bagi rumahtangga untuk melakukan investasi dalam kesehatan dan pendidikan anak perempuan. Selain itu, memperkuat insentif bagi perubahan
perempuan untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja. Dengan
insentif
pekerjaan, pembangunan ekonomi mempengaruhi kesetaraan
gender. Pembangunan ekonomi mengakibatkan munculnya pasar tenaga kerja yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya menciptakan atau memperkuat indikator pasar tentang keuntungan yang didapat dari tenaga kerja tetapi juga mengurangi inefisiensi dalam ekonomi. Sebagai contoh, di mana terdapat pasar tenaga kerja yang berjalan baik, tenaga kerja yang dikontrak dapat menjadi substitusi bagi tenaga kerja perempuan keluarga, baik di bidang pertanian atau pengelolaan rumahtangga dan dalam aktivitas perawatan Hal ini memungkinkan rumahtangga untuk menggunakan waktu secara efisien, dan mungkin mengurangi beban kerja perempuan. Di tempat- tempat di mana pasar tenaga kerja tidak ada atau tidak berjalan dengan baik, substitusi semacam itu tidaklah dimungkinkan. Pertumbuhan ekonomi umumnya dibarengi oleh ekspansi investasi dalam infrastruktur seperti: air bersih, jalan raya, transportasi, dan bahan bakar. Hal ini cenderung mengurangi waktu yang diperlukan
perempuan untuk mengurus
rumahtangga. Pembangunan infrastuktur ekonomi secara signifikan mengurangi waktu bagi perempuan mengurusi rumahtangga, memperbaiki tingkat kesehatan mereka, memperluas partisipasi mereka dalam mencari pendapatan tambahan, dan membuka kesempatan bersekolah bagi anak- anak perempuan.
38
Meskipun pembangunan ekonomi cenderung meningkatkan kesetaraan gender, dampaknya tidaklah mencukupi dan tidaklah bisa langsung kelihatan. Dan
tidak pula berjalan otomatis.
Dampak pembangunan ekonomi terhadap
kesetaraan gender sebagian besar tergantung
pada hak-hak, akses atas berbagai
sumber daya produktif (seperti tanah dan kredit), dan partisipasi politik. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan sosial yang memberantas diskriminasi di pasar tenaga kerja atau mendukung perawatan anak-anak akan mengurangi ketidaksetaraan gender-sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh pembangunan ekonomi saja. Kebijakan-kebijakan perlindungan sosial, yang mengakui perbedaan gender dalam pekerjaan berbasis-pasar dan rumahtangga dan perbedaan dalam risiko adalah penting guna
melindungi perempuan (dan laki-laki) terhadap goncangan
ekonomi atau krisis ekonomi yang berkepanjangan. Belakangan ini,
perdebatan mengenai gender dan pembangunan terbagi
atas dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang mengedepankan
pendekatan-
pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan. Kubu kedua, adalah mereka yang mengedepankan
pendekatan-pendekatan berdasarkan hak atau institusi.
Namun, banyak bukti menunjukkan bahwa baik pertumbuhan ekonomi maupun perubahan institusional keduanya merupakan elemen penting bagi strategi jangka panjang meningkatkan kesetaraan gender. Sebagai contoh, jika pendapatan per kapita dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan rendah, baik peningkatan kesetaraan
hak maupun pendapatan
akan meningkatkan
bidang pendidikan. Peningkatan hak dan
pendapatan
kesetaraan gender di akan menghasilkan
keuntungan yang bahkan lebih besar.
39
Reformasi institusional yang memantapkan hak-hak kebijakan
dasar
yang
mendorong pembangunan
serta kebijakan-
ekonomi
dapat
saling
memperkuat satu sama lain.
3.6.3. Mengambil langkah kebijakan pro aktif untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam penguasaan sumber daya dan partisipasi politik Karena efek dari
kombinasi antara
reformasi institusional dan
pembangunan ekonomi biasanya lama baru kelihatan hasilnya, langkah- langkah aktif seringkali diperlukan untuk
jangka pendek atau menengah. Langkah-langkah
aktif yang dimaksud adalah tindakan bertahap dan konkret yang ditujukan untuk mengatasi
diskriminasi gender, baik dalam rumahtangga,
tempat kerja. Hal semacam itu mempercepat kemajuan
masyarakat, maupun
dalam upaya mengatasi
ketidaksetaraan gender yang masih terus bertahan. Selain itu, juga berguna dalam memfokuskan diri pada sub-populasi tertentu, misalnya kaum miskin, yang masih mengalami ketidaksetaraan gender. Karena sifat dan ruang lingkup ketidaksetaraan gender sangat bervariasi di berbagai negara, intervensi yang dianggap memadai juga akan bervariasi dari satu konteks ke konteks lain.
Keputusan mengenai apakah negara perlu melakukan
intervensi dan langkah-langkah apa yang hendaknya diambil harus berdasarkan pemahaman
dan
analisa
situasi
lokal. Berhubung langkah-langkah aktif
membutuhkan sumber biaya, para pembuat menentukan langkah
kebijakan
perlu
sosial
dalam
apa saja yang akan dijalankan. Misalnya, secara strategis
memfokuskan diri pada bidang-bidang di mana intervensi manfaat
selektif
pemerintah memberi
terbesar. Hal ini secara implisit berarti memfokuskan diri pada
40
wilayah dimana kegagalan
pasar
dan
dampak-dampak
yang berlebihan
kemungkinan berlangsung paling parah. Hal ini juga berarti memfokuskan diri pada bidang-bidang di mana sektor swasta tidak mungkin melakukan suatu upaya secara mandiri-atau mampu melakukan upaya dengan baik. Di luar persoalan perlu tidaknya intervensi khusus, pilihan tetap harus dibuat mengenai bagaimana persisnya negara harus melakukan intervensi.
Contohnya,
apakah penyediaan barang dan pelayanan publik secara langsung diperlukan? Atau bisakah tujuan-tujuan serupa direalisasikan secara efektif melalui lebih banyaknya penyediaan
informasi,
upaya- upaya manajerial dan pelaksanaan, atau melalui
subsidi publik bagi para penyedia swasta? Laporan ini memfokuskan diri pada empat bidang utama kebijakan : Meningkatkan kesetaraan gender dalam akses ke berbagai sumber daya produktif
dan
kapasitas
pendapatan.
Upaya-upaya
untuk memperbesar
kesetaraan dalam mengakses dan mengendalikan berbagai sumber daya produktifapakah itu pendidikan, sumber-sumber finansial,
ataupun
tanah-dan
untuk
menjamin akses yang setara dan adil atas kesempatan kerja dapat memajukan kesetaraan
gender
maupun meningkatkan efisiensi ekonomi. Para pembuat
kebijakan memiliki sejumlah "pintu" masuk potensial untuk melakukan intervensi :
Mengurangi biaya pendidikan, menanggapi keprihatinan orangtua terhadap kelayakan penghasilan
dan
keamanan
anak
perempuan,
dan meningkatnya
rumahtangga dari penanaman investasi
perempuan melalui kemajuan kualitas pendidikan, mengatasi hambatan
sosial dan ekonomi
pada
semuanya
pendidikan itu
dapat
di bidang pendidikan anak
perempuan. Bahkan, pada masyarakat yang masih sangat patriarkis sekalipun.
41
Merancang
institusi
mempertimbangkan
keuangan
dengan
kendala-kendala
berbagai
khas
cara
yang
gender-baik
dengan
menggunakan tekanan anggota kelompok untuk menggantikan bentukbentuk agunan tradisional, dengan menyederhanakan prosedur perbankan, ataupun dengan menyediakan jasa pelayanan keuangan yang lebih dekat ke rumah, pasar, dan tempat kerja-dapat meningkatkan akses perempuan pada proses perbankan seperti tabungan dan kredit.
Reformasi tanah yang mengatur hak milik bersama bagi suami dan istri atau yang memungkinkan perempuan untuk memegang secara otonom hak milik atas tanah, dapat meningkatkan kontrol perempuan atas tanah yang diatur oleh undang-undang. Di mana hukum adat dan hukum positif berjalan seiring, interaksi antar keduanya perlu diperhatikan jika ingin berhasil dalam upaya untuk memantapkan akses perempuan atas bidang pertanahan.
Di negara-negara
yang pasar tenaga kerjanya
dan kemampuan
penegakan hukumnya relatif berkembang, program-program penyediaan lapangan kerja dapat meningkatkan akses perempuan ke pekerjaan di sektor formal. Di mana terdapat diskriminasi yang serius dalam perekrutan dan promosi, tindakan afirmatif (afirmative
action) juga dapat meningkatkan
produktifitas dalam perusahaan- perusahaan dan dalam perekonomian. Mengurangi
kerugian
yang
diderita
perempuan
karena
peran
rumahtangga mereka. Di hampir semua masyarakat, norma-norma gender menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak perempuan memikul tanggung jawab utama mengurus masalah
rumahtangga. Di negara-negara
berkembang,
tanggung jawab rumahtangga seringkali menuntut jam kerja panjang
yang
42
membatasi kesanggupan anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Di
samping
berpartisipasi
dalam
mengurangi
kerugian
itu
juga
pasar
menghambat
tenaga
yang
kerja.
diderita
kesempatan
Beberapa
para
jenis
perempuan karena
ibu
untuk
intervensi
dapat
tanggung jawab
rumahtangga mereka.
Intervensi yang meningkatkan pendidikan, upah, dan partisipasi pasar tenaga kerja-ditambah
dengan akses yang memadai ke pelayanan kesehatan
reproduksi
rumahtangga
dan
berencana-semuanya
memantapkan peran
perempuan dalam membuat keputusan tentang masalah reproduksi. Namun, karena perempuan dan laki-laki mungkin
memiliki pilihan yang berbeda
tentang ukuran besarnya rumahtangga dan penggunaan kontrasepsi, program keluarga berencana perlu menggapai baik laki-laki maupun perempuan sebagai sasarannya.
Memberi dukungan publik bagi pelayanan perawatan
anak di luar rumah
dapat mengurangi biaya perawatan, sehingga memperluas partisipasi dalam bidang ekonomi bagi perempuan dan pendidikan bagi remaja perempuan. Di Kenya pengurangan biaya perawatan
anak
secara
signifikan
meningkatkan upah kerja bagi para ibu dan meningkatkan pendidikan bagi remaja perempuan.
Undang-undang
pasar tenaga kerja yang sifatnya
melindungi seringkali
menjadi pedang bermata dua: merugikan sekaligus memberi manfaat bagi perempuan yang bekerja di sektor formal. Misalnya, sewaktu perusahaan dituntut menanggung seluruh biaya persalinan, perusahaan mengeluarkan
keputusan
perekrutan
yang
mungkin
diskriminatif terhadap
43
perempuan. Ketika seluruh biaya ditanggung perempuan, maka insentif bagi perempuan untuk terus bekerja menurun. membantu membagi beban
Langkah- langkah yang
biaya persalinan dan biaya perawatan lainnya
pada pemilik modal, pekerja, dan bahkan negara sangat bermanfaat bagi perempuan serta keluarganya.
Penanaman investasi pada penyediaan air, bahan bakar, transportasi, dan prasarana
penghemat-waktu
lainnya
dapat
mempercepat
pengurangan
beban kerja domestik perempuan dan anak perempuan, khususnya di daerahdaerah pedesaan yang miskin-membebaskan
anak
perempuan
untuk
bersekolah dan perempuan dewasa untuk melakukan aktifitas lainnya, baik
yang
berkaitan
dengan pemerolehan pendapatan maupun urusan
kemasyarakatan. Menyediakan perlindungan sosial yang layak gender. Perempuan dan lakilaki menghadapi risiko-risiko khas gender semasa krisis ekonomi atau reformasi kebijakan. Perempuan mengendalikan lebih sedikit sumber daya yang dapat dijadikan pegangan. Sementara laki-laki, sebagai pencari nafkah tradisional, rawan terhadap stres berkaitan dengan ketidakpastian perbedaan
pekerjaan.
Memperhitungkan
perbedaan-
gender dalam hal risiko dan kerawanan adalah sangat penting dalam
merancang program
perlindungan sosial
karena perempuan dan laki-laki dalam
rumahtangga yang sama tidak berbagi risiko yang sama.
Untuk melindungi baik laki-laki maupun perempuan, program-program perlindungan sosial perlu memperhitungkan faktor-faktor yang
dapat
mengakibatkan bias gender dalam partisipasi dan keuntungan yang didapat. Misalnya,
program jaring pengaman sosial telah seringkali (kendatipun
44
tidak sengaja) mengesampingkan perempuan karena tidak memperhitungkan perbedaan-perbedaan gender dalam
pola penyediaan tenaga kerja, akses
informasi, atau jenis pekerjaan yang dipandang pantas baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Program-program
jaminan
hari
tua
yang
tidak
memperhitungkan
perbedaan-perbedaan gender dalam lapangan pekerjaan, pencarian nafkah, dan harapan hidup berisiko membiarkan perempuan-terutama janda-menjadi rawan kemiskinan di usia tuanya. Penelitian baru-baru
ini di Cili
menunjukkan bahwa santunan pensiun perempuan relatif terhadap laki-laki, sangatlah sensitif terhadap ciri-ciri rancangan tertentu dari sistem jaminan hari tua. Memantapkan aspirasi dan
partisipasi politik perempuan. Perubahan-
perubahan institusional yang menetapkan kesetaraan gender dalam hak- hak dasar merupakan landasan utama partisipasi politik. Demikian pula, kebijakan-kebijakan dan program-program yang meningkatkan kesetaraan dalam pendidikan dan akses ke informasi (termasuk sadar hukum) dapat memperkuat partisipasi mereka dalam arena politik. Namun, seperti halnya dampak pembangunan ekonomi yang lebih luas, langkah-langkah ini membutuhkan waktu lama sebelum dapat dipetik hasil yang nyata. Pengalaman baru-baru ini di lebih 30 negara, termasuk Argentina, Ekuador, India, Filipina, dan Uganda, menunjukkan bahwa kuota politik bisa efektif dalam meningkatkan partisipasi dan perwakilan politik pada majelis
lokal
dan
nasional dalam jangka waktu yang relatif singkat. Perundang-undangan yang mengatur kuota berbeda
dari satu negara ke
negara lain, tetapi umumnya
45
menetapkan bahwa ada jumlah atau proporsi minimum dari kandidat partai politik atau kursi yang diperebutkan dalam dewan perwakilan lokal atau nasional yang diperuntukkan bagi perempuan.
46
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.
Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
47
4.2. Saran Pada kesempatan ini dihimbau kepada seluruh perempuan Indonesia untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi kita dalam segala aspek/bidang pembangunan,
misalnya
melalui
aktivitas
peningkatan
pengetahuan
dan
penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Dengan tetap menjaga jatidiri perempuan Indonesia yang bermoral karena kita mempunyai macam-macam agama yang diakui dan ragam budaya yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS, United Nations Developmen Fund for Women. Gender Statistics and Indicators 2000. 2. BPS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, JICA dan UNFPA, Buku Referensi Pelatihan: Fakta dan Indikator Gender, Tingkat Nasional, 4 Propinsi dan 16 Kabupaten/Kota Terpilih, 2003. 3. BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003. 4. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, et all, Dr. H. Abdul Djamil, MA. (Pengantar), Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (Editor), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Jilid I Penerbit IAIN Walisongo dengan Gama Media, 2002. 5. Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 1996. 6. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998, Profil Wanita Indonesia. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, Pedoman Teknis Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender. 7. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra Sejati, 2001, Modul Pelatihan, Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasata. 8. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif. 9. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 1, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Apa Itu Gender.
49
10. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 2, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender. 11. Andria, Verania dan Reychman, 1999, Dampak Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Kota Bandung – Perempuan Sebagai Pengelola Rumah Tangga Miskin, Akatiga - Pusat Analisis Sosial, Bandung. 12. Anonim, 1997, Langkah Pencegahan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita, Varia Peradilan, Tahun VIII, No. 145, Oktober. 13. Arivia, Gadis, 1999, Kekuatan dan Kekuasaan Kaum Ibu, dalam Suara Ibu Peduli, Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. 14. Dewi, Swary Utama, Perkosaan Tindak Kejahatan Laki-laki Terhadap Perempuan, Amanah. 15. Echols, John M dan Hasan Shadily, 1995, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta. 16. Fakih, Mansour, 1996, Membincang Feminisme Biskursus Gender Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya. 17. _____________, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 18. Hadiz, Liza, 1993, Ideologi Gender di Balik Defenisi Legal-Formal : Analisis Sosiologis Terhadap Defenisi Perkosaan di Dalam Hukum, Hukum dan Pembangunan, No. 1 Tahun XXIII, Februari. 19. Kurniati, S.S, Perspektif Gender Kekerasan Terhadap Wanita.
50
20. Lhulima, Achie Sudiarti, 2000, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita, Seminar : Mengembangkan Budaya Hukum Baru Untuk Mencegah Diskriminasi Terhadap Wanita, Fakultas Hukum USU dan Kelompok Kerja Convention Watch Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana UI. 21. Ollenburger, Jane dan Helen A. Moore, 2002, Sosiologi Wanita, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 22. Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 23. Rachmadewi, dkk, 2000, Studi Evaluasi Pelaksanaan Program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Sektoral di Tingkat Pusat, Propinsi Jawa Timur dan Sumatera Barat, Puslitbang KS dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN, Jakarta. 24. Ridjal, Fauzie (ed), 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta. 25. Soetrisno, Loekman, 2001, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta.
51