KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA YATIM PIATU (MUSTADH’AFIN) Yuniana Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jl. Kapas 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta 55166
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan subjektif yang dialami oleh yatim piatu (Mustadh’afin). Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara, strategi penelitian menggunakan pendekatan fenomenologis, dengan kriteria sampel yatim piatu, belum menikah, usia dewasa awal atau remaja akhir usia 18-22 tahun, jumlah subjek dua orang, ditinggalkan oleh kedua orang tua. Keterpercayaan penelitian ini menggunakan kredibilitas, Analisis data menggunakan analisis isi atau (content analysis). Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dengan menggunakan (content analysis) hasil penelitian dapat disimpulkan. Kesejahteraan subjektif pada yatim piatu berupa kepuasan hidup yang cenderung tinggi karena melakukan resiliensi dan memandang masa depan optimis serta adanya dukungan positif dari teman sebaya, dan memiliki peran di masyarakat, afek positif cenderung tinggi karena memiliki altruisme cenderung tinggi, memiliki afek negatif cenderung rendah. Selain itu, kesejahteraan subjektif pada yatim piatu ditemukan juga afek negatif cenderung tinggi karena merasa kurang berarti atau berharga, afek positif cenderung sedang memiliki semangat untuk belajar mengontrol diri, memiliki empati dan altruisme yang cenderung tinggi serta memiliki kepuasan hidup cenderung sedang ditemukan kurangnya dukungan sosial dari keluarga, merasa pesimis memandang masa depan, tetapi memiliki dukungan sosial yang tinggi dari Panti Asuhan, sahabat dan memiliki peran dimasyarakat. Kata kunci: kesejahteraan subjektif, yatim piatu (mustadh’afin)
ABSTRACT This study aims to determine how subjective well-being experienced by orphans (Mustadh'afin). Data collection was conducted by research observations and interviews, the research strategy using a phenomenological approach, the sample criterion orphans, unmarried, early adulthood or late adolescents aged 1822 years, the number of subjects two people, abandoned by both parents. Reliability study using the credibility, analysis or data using content analysis (content analysis)
Based on data analysis has been done using (content analysis) research concluded. Welfare opinion on orphan life satisfaction tends to be higher as did resilience and optimistic look at the future and the positive support from peers, and have a role in society, positive affect tend to be high because it has altruism tends to be high, it has a negative affect tends to be low. In addition, subjective well-being at the orphanage was also found negative affect tends to be high because they feel less important or valuable, positive affect tend being has a passion for learning self-control, empathy and altruism that have tend to be high and life satisfaction tend to have a lack of social support was found from family, was pessimistic view of the future, but it has high social support from the Children's Home, friends and the community has a role. Keywords: subjective well-being, orphans (mustadh'afin)
PENDAHULUAN Menurut Badri (1996) Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu psikologi lebih banyak mengkaji psikologi dalam tataran abnormal. Seperti kajian tentang depresi, stres, psikosomatis, skizofrenia. Dalam hal ini, pengembangan mengenai psikologi positif dinilai masih sedikit riset-riset yang telah dilakukan. Menurut Lianawati (2012) kesejahteraan subjektif mengandung prinsip kesenangan, yakni sejauhmana seseorang merasa hidupnya menyenangkan, bebas stres, bebas dari rasa cemas, tidak depresi yang intinya mengalami perasaanperasaan yang menyenangkan dan bebas dari perasaan yang tidak menyenangkan. Kesejahteraan subjektif sangat penting dimiliki oleh setiap orang, cerminan dari kebahagiaan individu terhadap hidupnya. Setiap orang tentu memiliki kesempatan untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang bahagia, untuk menampilkan diri sebagai orang bahagia tidak akan lepas dari kesejahteraan diri atau subjektif seperti anak yatim piatu yang memiliki jiwa optimis untuk meraih masa depan tanpa orang tua, tentunya membutuhkan wellbeing atau kesejahteraan yang tinggi. Optimis dalam menjalani hidup, memiliki kontrol diri yang tinggi serta mampu membuka hubungan yang baik dengan orang lain merupakan bagian dari kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing). Menurut Andrews, dkk. (Ozmete, 2011) kesejahteraan subjektif adalah evaluasi subjektif masyarakat terhadap kehidupan, dan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, pemenuhan perasaan, kepuasan dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan, serta tingkat emosi menyenangkan. Yatim piatu merupakan cobaan berat bagi anak secara subjektif karena kehilangan kedua orang tua yang sangat dekat dalam hidupnya. Orang yang
selama ini menyayangi, memperhatikan, menghibur dan menasehati telah pergi untuk selama-lamanya. Penelitian yang dilakukan di Namibia Afrika Selatan oleh Casares, dkk. (2009) mengenai keadaan anak atau remaja yang yatim piatu, ditemukan bahwa lebih dari 19 anak dan remaja yatim piatu mengalami gangguan kesehatan mental dan mengalami tekanan psikologis, rentan terhadap depresi yang terjadi diantara satu dari enam anak dan remaja. Hal tersebut, disebabkan karena AIDS yang membuat meningkatnya angka yatim piatu di Afrika Selatan, karena faktor pelayanan kesehatan mental yang kurang, serta kurangnya hubungan sosial yang hangat serta karena faktor ekonomi. Penelitian di Indonesia oleh organisasi kemanusiaan Save the Children bekerjasama dengan UNICEF pada akhir tahun 2009, menemukan sekitar 6% dari lima ratus ribu anak berada dalam pengasuhan rumah yatim piatu adalah anak yang benar-benar yatim piatu, 94% menjadi penghuni panti karena alasan kemiskinan, orang tua tidak mampu untuk menafkahi dengan layak sehingga anak-anak mereka dititipkan dirumah pengasuhan yatim piatu. http://tajarrud.wordpress.com/2010/12/15/anak-yatim-dan-fakir miskin%E2%80%A6-dan-iman-kita/). Faktor penyebab meningkatnya yatim piatu di Namibia adalah karena AIDS, faktor pelayanan kesehatan mental yang kurang serta kurangnya hubungan sosial yang hangat serta karena faktor ekonomi. Di Indonesia, kebanyakan disebabkan oleh faktor ekonomi yaitu kemiskinan, orang tua tidak mampu lagi menafkahi anak-anak mereka. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap penyebab yatim piatu pada suatu negara memiliki perbedaan dan kesamaan, seperti Afrika Selatan memiliki kesamaan dengan Indonesia yaitu faktor ekonomi atau terjadinya kemiskinan. Chitiyo, dkk. (Onuoha dan Munakata, 2010) menyatakan bahwa anak yatim piatu dengan AIDS memiliki kesedihan yang mendalam sebelum kepergian orang tua, merasa malu karena terinfeksi HIV, anak yatim dengan AIDS kemungkinan mengalami stigma yang lebih tinggi atau diskriminasi sosial dari pada yatim piatu yang tidak mengalami AIDS. Penelitian lain di Indonesia oleh Oktario (2008) menemukan bahwa gambaran harga diri pada remaja yatim piatu dilihat dari aspek-aspek harga diri menurut Coopersmith adalah berbeda. Faktor yang menyebabkan perbedaan pada aspek harga diri masing-masing remaja yatim piatu juga berbeda. Penerimaan penghargaan dari orang yang dianggap signifikan menjadi faktor yang paling besar dalam mempengaruhi harga diri pada remaja yatim piatu. Berdasarkan hasil wawancara awal dengan pengasuh Panti Asuhan Putri Aisyiyah mengatakan bahwa anak yatim piatu memiliki semangat sekolah bahkan beberapa anak telah menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang sarjana, memiliki kesabaran yang tinggi untuk meraih masa depan tanpa kedua orang tua. Remaja yatim piatu tersebut mampu mengontrol diri untuk tidak larut dalam kesedihan, mandiri, dan menyadari betul bahwa semua adalah kehendak Allah SWT, mampu menilai lingkungannya adalah lingkungan yang menarik, menyenangkan, dan penuh tantangan.
Dari wawancara dan observasi awal terhadap Remaja penghuni Panti Asuhan Putri Aisyiyah ditemukan remaja yatim piatu bersungguh-sungguh menyelesaikan kuliah dan mengabdi di Panti Asuhan serta berusaha membahagiakan Ibu pengasuh. Selain itu, ditemukan pula remaja yatim piatu yang bingung merencanakan masa depannya dan merasa dijauhi oleh temanteman. Pernyataan Ibu pengasuh Panti Asuhan sejalan dengan pernyataan salah seorang remaja yatim piatu, tetapi ditemukan pula kesenjangan antara pernyataan Ibu pengasuh dan remaja yatim piatu yakni remaja yatim piatu tersebut bingung menentukan masa depan dan kurang mandiri. Wawancara dan observasi pada remaja yatim piatu yang tinggal di luar Panti Asuhan, ditemukan bahwa remaja tersebut memiliki optimisme meraih masa depan tanpa kedua orang tua, mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri. Kaitannya dengan kesejahteraan subjektif remaja yatim piatu penghuni Panti Asuhan Putri Aisyiyah dapat disimpulkan memiliki afek positif berupa menerima kepergian kedua orang tua, ramah, peduli terhadap perasaan orang lain. Afek negatif merasa bersedih hati tidak ada kesempatan berbakti pada orang tua. Kepuasan hidup berterimakasih pada Panti Asuhan Putri Aisyiyah yang telah menyekolahkan remaja yatim piatu hingga kuliah, sebagai wujud pengabdian subjek bersungguh-sungguh menyelesaikan kuliah, berbakti pada Panti Asuhan dan berniat membahagiakan Ibu pengasuh. Berbeda dengan salah seorang remaja yatim piatu yang memiliki afek positif senang bersama keluarga di Panti Asuhan Putri Aisyiyah. Afek negatif, merasa di jauhi oleh teman-teman. Kepuasan hidup, subjek terlihat kebingungan menentukan keinginan dan rencana masa depan. Sedangkan remaja yatim piatu yang tinggal diluar Panti Asuhan memiliki afek positif berupa ikhlas menerima kepergian kedua orang tua dan optimis terhadap masa depan, Afek negatif subjek merasa sedih, awalnya tidak menerima kepergian orang tua, kepuasan hidup memiliki kemandirian dalam menentukan keputusan. Berdasarkan wawancara dan observasi penjajagan dapat disimpulkan bahwa anak yatim piatu perlu meningkatkan afek positif dan mengurangi afek negatif sehingga dapat tersenyum menatap masa depan penuh optimis dengan dukungan sosial yang tinggi. Penelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar anak yatim piatu memperoleh pelayanan intensif dari pengelola Panti Asuhan. Dengan demikian, peneliti akan melakukan penelitian mengenai kesejahteraan subjektif pada yatim piatu (Mustadh’afin). Penelitian sebelumnya, mengenai kesejahteraan subjektif telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya: Penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah, dkk. (2008) meneliti Hubungan Bersyukur dan Subjective Well Being pada Penduduk Miskin. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. Penelitian Arbiyah, dkk. (2008) menggunakan metode penelitian kuantitatif dan subjek penelitian penduduk miskin sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti menggunakan metode kualitatif dan subjek yatim piatu yang telah baligh atau disebut dengan Mustadh’afin.
Penelitian lain dilakukan oleh Ariati (2010) mengenai Subjective WellBeing dan Kepuasan Kerja pada Staf Pengajar (dosen) di lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Penelitian Ariati (2010) menggunakan dua variabel yakni variabel bebas subjective well-being dan variabel tergantung kepuasan kerja serta metode kuantitatif, sedangkan yakni pada penelitian yang akan dilakukan hanya menggunakan satu variabel. Subjek penelitian Ariati (2010) adalah staf pengajar (dosen) sedang penelitian yang akan dilakukan mengambil subjek yatim piatu dan metode kualitatif. Utami (2011), judul Skala Kesejahteraan Subjektif pada Mahasiswa. Hasil dari penelitian menunjukkan hubungan yang tinggi antara afek dan kepuasan hidup, jadi menunjukkan tingginya kesejahteraan subjektif pada Mahasiswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yakni menggunakan subjek mahasiswa, sedang penelitian yang akan dilakukan menggunakan subjek yatim piatu. Adapun pendekatan penelitian Utami (2011) menggunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Usrati (2011) meneliti Subjective Well-Being pada Penyandang Tunadaksa. Hasil penelitian menunjukkan Subjek pertama memiliki kepuasan hidup cenderung rendah, afek positif cenderung rendah, dan afek negatif cenderung tinggi. Subjek kedua mempunyai tingkat well-being yang cukup karena kepuasan hidup cenderung sedang, afek positif cenderung tinggi, dan afek negatif cenderung rendah. Subjek ketiga memiliki tingkat well-being yang cukup karena kepuasan hidup yang cenderung rendah, afek positif cenderung sedang, dan afek positif cenderung sedang. Kesimpulan penelitian Usrati (2011) adalah adanya konflik intrapsikis baik yang di inginkan subjek dengan kenyataan yang diharapkan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yakni subjek penelitian ini menggunakan penyandang tunadaksa sedangkan penelitian yang akan dilakukan dengan subjek yatim piatu, persamaannya yakni meneliti subjective well-being serta tujuan penelitian meneliti sejaumana tingkat kesejahteraan subjektif. Penelitian yatim piatu oleh Oktario (2008) dalam skripsi berjudul Harga Diri Remaja Yatim Piatu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran harga diri pada responden dilihat dari aspek-aspek harga diri menurut Coopersmith adalah berbeda. Faktor yang menyebabkan perbedaan pada aspek harga diri masing-masing responden juga berbeda. Penerimaan penghargaan dari orang yang dianggap signifikan menjadi faktor yang paling besar dalam mempengaruhi harga diri pada remaja yatim piatu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden I memiliki harga diri rendah, sedangkan pada responden II dan III memiliki harga diri yang tinggi. Penelitian yang akan dilakukan meneliti subjective well-being, sedangkan pada penelitian Oktario (2008) meneliti harga diri. Persamaannya adalah pada subjek penelitian yakni remaja yatim piatu. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana kesejahteraan subjektif yang dialami oleh yatim piatu (Mustadh’afin)? Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan subjektif yang dialami oleh yatim piatu (Mustadh’afin).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejak kecil individu yatim piatu merasakan tekanan lahir dan batin tanpa kasih sayang kedua orang tua yang tentu berbeda dengan kasih sayang orang lain. Kemungkinan individu tersebut menjadi pendiam dan suka menyendiri. Sejalan dengan Hurlock (1980) menyatakan orang-orang yang tidak bahagia masa kecilnya, cenderung tidak bahagia pada masa dewasanya. Namun, tidak semua remaja yatim piatu larut dalam kesedihan. Ada yang mampu menerima kehendak Allah SWT dengan kepergian kedua orang tuanya, mengontrol diri untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, memandang masa depan dengan penuh optimis, memiliki pribadi terbuka dengan orang lain, menyadari kekurangan dan kelebihan diri. Menurut Meltzer dan Ludwig (Hurlock,1980) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seperti sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, perkawinan, kesehatan yang baik, dan prestasi-prestasi. Sedangkan ketidakbahagiaan diasosiasikan dengan penyakit, luka-luka fisik, meninggalnya seorang yang dicintai, pengalaman-pengalaman dalam ketidakberhasilan bekerja dan kegagalan mencapai tujuan-tujuan. Kebahagiaan akan bertahan jika individu berhasil dalam menyesuaikan diri terhadap peranannya yang baru dan terhadap harapan-harapan sosial disetiap tahap rentang kehidupan, dan bagaimana lingkungan dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dari keinginan-keinginan khususnya yang menyangkut penerimaan, perasaan dan prestasi (Hurlock,1980) Afek negatif muncul pada kedua subjek saat orang tua meninggal dunia yakni perasaan shock, khawatir, menangis, panik, dan merasakan kesedihan mendalam karena kedua orang tua meninggal dunia. Sejalan dengan distres pribadi yakni merasakan kesedihan mendalam karena kedua orang tua meninggal dunia merupakan gangguan psikologis bahwa gangguan ini dapat dikatakan normal bila orang kadang-kadang merasakan stres yang mendalam misalnya ketika orang dekatnya meninggal dunia. Sangat manusiawi jika orang pernah merasa menderita dan merasakan kesusahan yang mendalam (Durand dan Barlow, 2006) Afek negatif subjek J merasa bersedih hati ketika sedang menyendiri teringat dengan orang tua yang telah meninggal dunia dan menghindar dari lingkungan jika merasa tidak nyaman. Sejalan isolasi (disosiasi) yakni tehnik penarikan diri yang defensif, tehnik ini memutuskan individu dari situasi yang menimbulkan stres. Isolasi mungkin berupa berpindah secara fisik dari daerah yang tidak disenangi atau tidak meneruskan suatu kegiatan karena orang merasa terancam (Semiun, 2006). Afek negatif yang dirasakan subjek S yakni ketika memiliki masalah yang banyak subjek menangis sambil mengingat orang tua, saat mendengarkan komunikasi negatif seperti ejekan atau remehan dari orang lain merasa tidak berdaya dan pesimis, marah ketika melihat adik-adik di Panti Asuhan kurang disiplin. Sejalan dengan teori Maslow (Semiun, 2006) Apabila kita merasa kekurangan harga diri kita merasa rendah diri, kecil hati, dan tidak berdaya menghadapi kehidupan.
Sejalan dengan Horney (Alwilsol, 2009) mengenai teori despise selft (menghina diri) orang neurotik yang mencari keagungan tidak pernah puas dengan dirinya sendiri karena mereka akhirnya menyadari diri nyata (reality selft) tidak cocok dengan diri ideal (ideal selft) yang mereka dambakan. Mereka kemudian mulai membenci dan memandang rendah dirinya sendiri. Berikut tabel 1 Tabel 1. Afek Negatif (Subjek J) Laki-laki (Subjek S)Perempuan Menangis saat orang tua Menangis saat orang tua meninggal dunia meninggal dunia Kondisi masa Diam jika ada masalah Tingginya rasa khawatir, lalu panik Cemberut saat merasa tidak Merasa perhatian berkurang nyaman dengan lingkungan tertentu Menangis jika teringat orang Menangis jika teringat tua orang tua
Kondisi sekarang
Menghindari orang lain dan lingkungan jika tidak nyaman
Menangis jika memiliki banyak masalah Sensitive (merasa diejek) Marah ketika anak di Panti Asuhan tidak sholat Mengalah dan mengorbankan diri
Menurut Susan Nolen-Hoeksema, dkk. (Durand dan Barlow, 2006) perempuan cenderung lebih banyak merenungkan situasinya dibanding laki-laki dan menyalahkan diri sendiri untuk depresi yang dialaminya. Laki-laki cenderung mengabaikan perasaannya, mungkin dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan untuk menyingkirkannya dari pikiran. Afek positif yang muncul pada kedua subjek yakni merasa bahagia jika dapat membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Sejalan dengan altruisme yakni sebuah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok untuk menolong orang lain tanpa imbalan apapun kecuali perasaan telah melakukan kebaikan (Sears, 1985). Kedua subjek bersyukur dengan kehidupan sekarang, sejalan dengan (Post, 2005) Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang tinggi antara altruis dengan kesejahteraan, kebahagiaan, kesehatan dan umur panjang yang dilakukan untuk membantu orang lain. Berikut tabel 2 mengenai afek positif yang dirasakan subjek
Tabel 2. Afek Positif
Subjek J (laki-laki) Yakin dengan takdir Allah SWT Sering tersenyum dan ramah Bersyukur dengan nikmat yang Allah SWT berikan
Subjek S (perempuan) Yakin dengan takdir Allah SWT Empati terhadap kehidupan sosial Bersyukur dengan nikmat yang
Senang jika bisa bermanfaat untuk orang lain
Allah SWT berikan Senang jika berbagi dengan orang lain
Ada beberapa faktor yang membuat meningkatnya afek positif dan kepuasan hidup dari subjek. Dari dalam diri seperti optimis atau pesimis, subjek J optimis memandang masa depan sedangkan subjek S pesimis dalam memandang masa depan. Orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentang masa depan (Ariati, 2008) Kedua subjek bangkit dari kesedihan mendalam yang dialami. Subjek J bangkit dari kesedihan dan berusaha mewujudkan harapan orang tua begitu pula pada subjek S. Sejalan dengan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit sehingga individu dapat terlindungi dari efek negatif resiko dan kemalangan, dengan menggunakan skala resiliensi dari Wolin & Wolin (Compton, 2005) Menurut Wolin & Wolin (Compton, 2005) individu yang resilien mampu untuk lebih memahami diri sendiri, mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi, mampu membuat ikatan emosional yang sehat dengan orang lain, bertanggung-jawab atas masalah yang dihadapi, mampu memikirkan berbagai pilihan dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup dan berorientasi pada nilai-nilai yang ditandai dengan keinginan untuk hidup secara lebih baik dan lebih produktif Faktor dari luar seperti tingginya dukungan sosial dari pengasuh Panti Asuhan dan teman sebaya. Sejalan dengan bisa berasal dari sumber yang berbeda, seperti orang yang dicintai, keluarga, teman, rekan kerja atau organisasi masyarakat (Sarafino, 2006). Orang yang mendapatkan dukungan sosial ini percaya bahwa mereka dicintai, dipedulikan, dihormati dan dihargai, merasa menjadi bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga dan organisasi masyarakat, dan mendapatkan bantuan fisik maupun jasa, dan mampu bertahan pada saat yang dibutuhkan atau dalam keadaan bahaya (Sarafino, 2006) Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan yang dirasakan, peduli, harga diri, atau membantu seseorang menerima orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006) Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang didalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik (Ariati, 2008). Kepuasan hidup subjek dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kepuasan Hidup
Subjek J (laki-laki) Menerima status sebagai yatim piatu Adanya dukungan sosial yang tinggi dari pengasuh Panti Asuhan dan teman sebaya Terlibat dalam kegiatan sosial seperti organisasi Suka menolong orang lain yang membutuhkan Optimis untuk meraih cita-cita tanpa kedua orang tua
Subjek S (perempuan) Menerima status sebagai yatim piatu Adanya dukungan sosial yang tinggi dari Ibu pengasuh panti asuhan serta sahabat dekat Aktif dalam kegiatan sosial dan termasuk aktivis organisasi Suka memberi motivasi pada orang lain
Berdasarkan uraian di atas, sejalan dengan Diener dkk. (2003) yang mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap pengalaman hidup seseorang. Evaluasi kognitif yaitu memikirkan hal positif yang membangun dan mengurangi pikiran negatif seperti hal-hal yang membuat pesimis, sedangkan evaluasi afektifnya adalah banyaknya afek positif dan sedikitnya afek negatif yang dirasakan seperti orang yang bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi. Sejalan dengan Ryff dan Keyes dan Ryan dan Deci, seperti Maslow (Tay & Diener, 2011) mengusulkan bahwa ada kebutuhan manusia yang universal dan bahwa pemenuhan kebutuhan ada cenderung meningkatkan perasaan kesejahteraan subjektif. Teori ini menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan psikologis, seperti untuk hubungan sosial yang dekat, penguasaan, dan otonomi, yang berhubungan dengan manusia memenuhi kebutuhan yang mengarah pada SWB yang lebih tinggi. SIMPULAN Kesejahteraan subjektif pada yatim piatu berupa kepuasan hidup yang cenderung tinggi karena melakukan resiliensi dan memandang masa depan optimis serta adanya dukungan positif dari teman sebaya, dan memiliki peran di masyarakat, afek positif cenderung tinggi karena memiliki altruisme cenderung tinggi, memiliki afek negatif cenderung rendah. Selain itu, Kesejahteraan subjektif pada yatim piatu ditemukan juga afek negatif cenderung tinggi karena merasa kurang berarti atau berharga, afek positif cenderung sedang memiliki semangat untuk belajar mengontrol diri, memiliki empati dan altruisme yang cenderung tinggi serta memiliki kepuasan hidup cenderung sedang ditemukan kurangnya dukungan sosial dari keluarga, merasa pesimis memandang masa depan, tetapi memiliki dukungan sosial yang tinggi dari Panti Asuhan, sahabat dan memiliki peran dimasyarakat. DAFTAR PUSTAKA
Alwilsol. 2009. Psikologi Kepribadian, edisi revisi. Malang : UMM Press Ariati, J. 2010. Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja pada Staf Pengajar (dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undip. 8 (2): 117-123 Casares, M. R., Thombs, B. D., & Rousseau, C., 2009. The Association of Single and Double Orphanhood with Symptoms of Depression among Children and Adolescents in Namibia. European Child & Adolescent Psychiatry. 18 (6): 369–376. Compton, W .C. 2005. An Introduction Positive Psychology. United State of Amerika: Thomson Wadworth Diener, E., Suh, E. M,. Lucas, R. E., Smith, H.L. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. American Pschological Association. 125 (2): 276-302 Diener, E., Scollon, C. N., Lucas, R. E. 2003. The Evolving Concept of Subjective Well-being: the Multifaceted Nature of Happiness. Advances in Cell Aging and Gerontology. (15): 187-219 Durand, M. & Barlow. D.H. 2006. Psikologi Abnormal, edisi keempat. Penerjemah: Soetjipto & Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Eid, M. & Larsen, R. J. 2008. The Science of Subjective Well-Being. New York (London): The Guilford Press Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Penerjemah : Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga Post, S.G,. 2005. Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good. International Journal of Behavioral Medicine. 12 (2): 66–77 Masykur, M. S. 2010. Dahsyatnya Pahala Menyantuni Anak Yatim. Yogyakarta: Media Firdaus Sarafino, E. P. 2006. Health Psychology, Biopsychology Interactions. Amerika: John Wiley & Sons, INC Sears, D. O,. Freedman, J.L,. Peplau, L. A. Psikologi Sosial, edisi lima (jilid II). Penerjemah: Adryanto Seligman, 2005. Authentic Happiness. Penerjemah : Eva Yulia Nukman. Bandung: Mizan Media Utama
Semiun, Y. 2006. Kesehatan mental 1, Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang terkait. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI) Supandi, I. & Harits, U. 2008. Keajaiban Mengasuh Anak Yatim. Surakarta: Ziyad Visi Media. Tay, L. & Diener, E. 2011. Needs and Subjective Well-Being Around the World. Journal of Personality and Social Psychology. American Psychological Association.101 (2): 354-365