KEMATANGAN SOSIAL DAN KEMAMPUAN MENGATASI KONFLIK SOSIAL SISWA Brimantoro Supriyadi, Evianawati Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan sosial peserta didik SMA Negeri 1 Lendah dengan kemampuan peserta didik dalam mengatasi konflik sosial mereka di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kematangan sosial siswa dengan kemampuan mengatasi konflik sosial, dalam hal ini berarti semakin tinggi kematangan sosial siswa maka semakin positif pula kemampuan mereka dalam mengatsi konflik sosial. Populasi dalam penelitian ini adalah 480 siswa SMA Negeri 1 Lendah tahun pelajaran 2014/2015 dengan sampel sebanyak 96 siswa, yang ditentukan dengan prosedur pengambilan sampel berstrata dengan pendekatan proporsional. Metode pengumpulan data menggunakan instrumen berupa skala yang meliputi skala kematangan sosial dan skala kemampuan mengatasi konflik. Metode analisis data menggunakan statistik. Setelah datanya diuji terlebih dahulu dengan uji normalitas dan uji linearitasnya kemudian diuji dengan menggunakan teknik korelasi. Pengolahan data dikerjakan dengan bantuan program komputer SPSS versi 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang mengemukakan ada hubungan positif antara kematangan sosial dengan kemampuan siswa dalam mengatasi konflik, dengan demikian hipotesis yang diajukan telah diterima. Hal itu ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar = 0,767, dengan fakta yang menunjukkan bahwa kematangan sosial cukup kuat untuk dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan mengatasi konflik siswa. Hal ini didukung oleh besarnya sumbangan efektif yang diberikan variabel kematangan sosial terhadap kemampuan mengatasi konflik sebesar 76,74 %. Kata Kunci: Kematangan Sosial, Kemampuan Mengatasi Konflik Sosial
PENDAHULUAN Perkembangan psikologis usia siswa SMA dapat dikategorikan dalam periode usia remaja, yakni berkisar antara 15 sampai 18 tahun. Remaja adalah suatu periode antara saat pertama memasuki masa
pubertas dan proses menuju kedewasaan, yakni pada usia yang berkisar antara 13-19 tahun (Graham, 2014). Menurut Desmita (2013), remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity), ditandai dengan tugas-tugas
1
perkembangan sebagai berikut (1) mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya; (2) dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat; (3) menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif; (4) mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya; (5) memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya; (6) mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak; (7) mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara; (8) mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial; (9) memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku; dan (10) mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas. Akibat dari tidak dipenuhinya tugas perkembangan remaja, akan terjadi ketidakmatangan sosial anak, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) terjadinya pembangkangan terhadap norma-norma atau tata tertib; (2) timbulnya agresi (aggression), yaitu perilaku menyerang baik secara fisik maupun dengan kata-kata atau verbal; (3) mudah menimbulkan perselisihan (quarreling), yakni perasaan mudah tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku orang lain; (4) timbulnya perilaku menggoda (teasing), merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk kata-kata ejekan atau cemoohan sehingga timbul reaksi
marah pada orang yang diserangnya; (5) timbulnya persaingan yang merusak (rivalry), yaitu keinginan anak untuk melebihi orang lain dengan cara menjatuhkan orang terssebut; (6) timbulnya rasa mementingkan diri sendiri dan kurangnya kemampuan bekerja sama dengan pihak lain (Hanurawan, 2012). Secara umum, periode remaja merupakan puncak dari periodeperiode perkembangan sebelumnya. Dalam periode ini apa yang diperoleh dalam masa-masa sebelumnya diuji dan dibuktikan, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah mempunyai suatu pola pribadi yang lebih mantap. Ciri-ciri perilaku yang menonjol pada usiausia ini terutama terlihat pada perilaku sosialnya. Dalam masamasa ini teman sebaya punya arti yang amat penting. Mereka ikut dalam klub-klub sebaya yang perilaku dan nilai-nilai kolektifnya sangat mempengaruhi perilaku serta nilai-nilai individu yang menjadi anggotanya (Linda, 2013). Periode remaja adalah periode pemantapan identitas diri atau pencarian identitas diri. Pengertiannya akan "siapa aku" yang dipengaruhi oleh pandangan orangorang sekitarnya serta pengalamanpengalaman pribadinya akan menentukan pola perilakunya sebagai orang dewasa. Pemantapan identitas diri ini tidak selalu mulus, tetapi seiring melalui proses yang panjang dan bergejolak. Oleh karena itu, banyak ahli menamakan periode ini sebagai masa-masa storm and stress (Desmita,2013). Pada masa ini remaja mulai dihadapkan pada harapan-harapan
2
kelompok dan dorongan yang makin kuat untuk lebih mengenal dirinya. Ia harus mulai memutuskan bagaimana masa depannya. Konflik yang dihadapinya adalah perasaan menemukan identitas diri melawan kekaburan peran. Bila berhasil melalui tahap perkembangan ini maka remaja akan menemukan dirinya, bila kurang berhasil maka ia akan mengalami kekaburan peran (Linda, 2014). Secara psikologis konflik sosial dapat dimengerti sebagai efek antagonistik dari berlangsungnya proses sosial yang dinamis, yang berisi pertentangan antar individu atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Keantagonisan tersebut terkadang tidak bisa diserasikan karena kedua belah pihak yang berkonflik memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai yang berbeda, yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung, terkamuflase maupun yang terbuka dalam bentuk tindakan kekerasan (Waluya, 2011) Secara sosial, konflik sosial merupakan perseteruan danatau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial (UU Nomor 7, 2012) Mengingat begitu krusial masalah terjadinya konflik sosial pada remaja, maka pemerintah menggalakkan adanya pendidikan karakter di sekolah-sekolah, antara lain bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan mental yang
kuat untuk menghindari atau menghilangkan bibit-bibit persemaian konflik sosial yang merusak. Konflik yang biasa terjadi pada remaja meliputi membolos, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, vandalisme, tawuran antar pelajar dan lain sebagainya. (Diknas, 2010). Namun pada kenyataannya, tawuran antarpelajar masih sering terjadi di berbagai kota, keadaan tersebut sungguh berlawanan dengan upaya pendidikan karakter yang ditekankan di sekolah, yang antara lain bertujuan agar anak memiliki kematangan sosial dan terampil menghindari atau mengatasi konflik sosial di kalangan mereka (Diknas, 2010). Dengan adanya fakta ini, maka psikologi sosial membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: Functional Conflict dan Dysfunctional Conflict. Dijelaskan bahwa Functional Conflict adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok, sedangkan Dysfunctional Conflict adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok (Hendrastomo, 2011). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak semua konflik menimbulkan tindakan-tindakan anarkis, bahkan yang tergolong Functional Conflict justru memperbaiki kinerja kelompok. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah upaya penguatan kemandirian peserta didik dalam menjalin hubungan sosial yang efektif, sehingga mampu mengubah Dysfunctional Conflict menjadi Functional Conflict.
3
Menurut asesmen awal, berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap tiga orang Guru BK di SMA Negeri 1 Lendah, ditemukan di lapangan, bahwa di antara siswa yang pada mulanya sering dilanda konflik sosial, justru mereka kini lebih memiliki kematangan sosial daripada yang lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya konflik sosial di kalangan remaja, khususnya peserta didik di sekolah, adalah suatu keniscayaan, tinggal bagaimana pembinaan untuk mewujudkan kematangan sosial peserta didik diberikan oleh pihak sekolah. Sesuai dengan Permendiknas No. 111 Tahun 2014, disebutkan secara ideal (das sein) sekolah mengharapkan terwujudnya kematangan sosial peserta didik dalam menjalin hubungan sosial yang efektif, sehingga terwujud kerja sama positif di antara warga kelas/ sekolah dan antar warga kelas/ sekolah dengan sekolah lain secara harmonis, efektif dan bersinergis. Peserta didik sebagai anggota organisasi sosial di sekolahnya, adalah individu-individu yang saling berinteraksi dan berkomunikasi, seiring dengan berlangsungnya proses bergaul, dengan sendirinya terbentuk komunitas yang berlapis, hal itu tentunya tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik sosial. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, dalam kaitan hubungan dengan komunitas kelas lain atau komunitas sekolah lain, terjadinya konflik yang cenderung destruktif tentulah tak dapat dielakkan.Untuk meminimalkan terjadinya konflik
maka perlu adanya kemampuan dalam mengelola konflik yang akan terjadi (Hendrastomo, 2011). Dalam interaksi sosial di sekolah, pada umumnya, nilai-nilai yang dianut di sekolah sejalan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat sekitarnya. Artinya, sekolah dan masyarakat sudah seharusnya ada hubungan dan kesesuaian mengenai norma-norma dan nilai-nilai. Untuk itulah tiap sekolah mempunyai tradisi tersendiri dan dapat mengeluarkan peraturan menurut keperluan sekolah itu sendiri, selama tidak melanggar peraturan yang lebih tinggi. Namun demikian ada pula nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang berlaku di kalangan peserta didik sendiri (Graham, 2014). Mereka biasanya merasa bangga dengan kesetiakawanan atau solidaritas teman sekelas atau satu sekolah. Perkelahian anggota suatu kelas dan sekolah lain sering ditengarai karena adanya rasa kekompakan dan solidaritas ini. Antara lain karena adanya seorang peserta didik yang menurut persepsi mereka dihina atau ditantang, maka seluruh kelas atau sekolah berdiri di belakangnya. Dengan demikian mereka lebih dikuasai oleh emosi subjektif daripada pikiran rasional yang objektif (Hendrastomo, 2011). Berdasar hasil pre-eliminary study yang telah dilakukan peneliti terhadap tiga orang Guru BK/ Konselor di SMA Negeri 1 Lendah, secara faktual (das solen) diketemukan permasalahan adanya konflik sosial di kalangan peserta didik masih sering terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data yang tertuang dalam Laporan
4
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling tahun 2013/2014 yang menginformasikan bahwa rata-rata dalam satu bulan terjadi dua kali perkelahian, baik antar individu di dalam satu kelas, individu dengan anggota kelas lain atau bahkan antar kelompok peserta didik dengan kelompok peserta didik di luar sekolah. Hal in i jauh dari ciri-ciri adanya kematangan sosial yang diwujudkan dengan fenomena pengendalian diri siswa dalam menjaga keharmonisan hubungan dengan teman-temannya. Sesuai hasil wawancara menunjukkan bahwa antara peneliti dengan tiga orang guru BK dapat dikatakan bahwa indikator terjadinya konflik sosial tersebut adalah adanya sikap dan tindakan kekerasan di antara mereka. Gejalanya antara lain melalui bahasa atau ucapan, sikap dan tindakan yang tidak menyenangkan. Juga masih didapatinya ucapan peserta didik atau komentar yang bernada umpatan, cacian, atau makian, yang sering digunakan dalam pergaulan dengan teman di sekolah. Hal ini tidak menepis kenyataan bahwa sebagian mereka beranggapan katakata kasar tersebut sebenanya dimaksudkan sebagai lambang atau simbol keakraban karena sebagian teman tidak tersinggung, namun hal itu secara potensial dapat menjadi pemicu terjadinya konflik dan pertengkaran. Pertanyaan yang timbul sejauh ini adalah sampai sejauh mana konflik sosial yang terjadi di kalangan peserta didik, dan sejauh mana kematangan sosial yang telah dimiliki oleh peserta didik mampu digunakan untuk mengatasi konflik
sosial yang mereka hadapi. Atau lebih khusus lagi: Bagaimanakah korelasi atau hubungan antara kematangan sosial peserta didik dengan kemampuan mereka dalam mengatasi konfil sosial. Konflik sosial menurut Waluya (2011) adalah proses sosial yang pasti akan terjadi di tengahtengah masyarakat yang dinamis. Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dan individu atau kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam konflik pasti ada perselisihan dan pertentangan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Konflik bisa dialami oleh siapa saja pada berbagai lapisan sosial masyarakat. Konflik bisa dimulai dari keluarga, masyarakat sekitar, nasional, dan global Definisi konflik sosial menurut Hanurawan (2012) adalah suatu proses sosial antara dua belah pihak yang bersifat antagonistik dan terkadang tidak bisa diserasikan karena keduanya memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai yang berbeda, yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung, terkamuflase maupun yang terbuka dalam bentuk tindakan kekerasan. Menurut Waluya (2011) konflik sosial dapat terjadi antarindividu, misalnya konflik di antara sesama teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang majikan dan buruhnya; atau konflik antara kelompok dan kelompok, misalnya para pedagang kaki lima dengan para petugas
5
ketertiban. Bahkan, konflik dapat melibatkan antarnegara, seperti konflik antara Irak dan Amerika. Menurut Hendrastomo (2011) dikatakan bahwa Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi (termasuk dio dalamnya di sekolah), tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 konflik sosial merupakan perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konflik sosial merupakan efek dari berlangsungnya proses sosial yang dinamis namun bersifat antagonistik, dalam wujud pertentangan antarindividu atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Keanatagonisan tersebut terkadang tidak bisa diserasikan karena dua belah pihak yang berkonflik memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai yang berbeda, yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung, terkamuflase maupun yang
terbuka dalam bentuk tindakan kekerasan. Menurut Zigler & Stevenson (2013), istilah maturation (kematangan), sering dilawankan dengan immaturation, yang arlinya tidak matang. Seperti pertumbuhan, kematangan juga berasal dari istilah yang sering digunakan dalam biologi, yang menunjuk pada keranuman atau kemasakan. Kemudian istilah ini diambil untuk digunakan dalam perkembangan individu karena dipandang terdapat beberapa persesuaian. Edward (2005) mendiefinisikan kematangan (maturation) adalah "biological growth processes that enable orderly in behavior, relatively uninfluenced by experience, artinya proses pertumbuhan biologis yang memungkinkan tertib dalam perilaku, relatif tak terpengaruh oleh pengalaman. Menurut Zigler (2013), kematangan adalah "The orderly physiological changes that occur in all species over time and that appear to unfold according to a genetic blueprint." Artinya perubahan fisiologis yang terjadi pada semua spesies dari waktu ke waktu dan yang muncul sesuai dengan aturanaturan genetik. Menurut pendapat Desmita (2012) dikatakan bahwa kematangan mula-mula merupakan suatu hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktur pada diri individu, seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, saraf, dan kelenjar-kelenjar yang disebut dengan kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspekaspek psikis yang meliputi keadaan
6
berpikir, rasa, kemauan, dan lainlain, serta kematangan pada aspek psikis ini yang memerlukan latihanlatihan tertentu. Misalnya, anak yang baru berusia lima tahun dianggap masih belum matang untuk menangkap masalah-masalah yang bersifat abstrak, oleh karena itu, anak yang bersangkutan belum bisa diberikan matematika dan angkaangka. Pada usia sekitar empat.bulan, seorang anak belum matang didudukkan, karena berdasartan penelitian bahwa kemampuan leher dan kepalanya belum mampu untuk tegak. Usaha pemaksaan terhadap kecepatan tibanya masa kematangan yang terlalu awal akan mengakibatkan kerusakan atau kegagalan dalam perkembangan tingkah laku individu yang bersangkutan. Linda (2013) menggunakan istilah kematangan (maturation) untuk menunjuk pada munculnya pola perilaku tertentu yang bergantung pada pertumbuhan jasmani dan kesiapan susunan saraf. Proses kematangan ini juga sangat bergantung pada gen, karena pada saat terjadinya pembuahan, gen sudah memprogramkan potensipotensi tertentu untuk perkembangan makhluk tersebut di kemudian hari. Banyak dari potensi tersebut yang sudah lengkap ketika ia dilahirkan, dan ini dapat terlihat dari perjalanan perkembangan makhluk itu secara perlahan-lahan di kemudian hari. Khusus mengenai pengertian kematangan sosial, antara lain dikatakan oleh Yeniar (2008) bahwa kematangan sosial merujuk pada kemampuan mental dan tingkah laku seseorang untuk melakukan penyesuaian diri dalam situasi sosial.
Dikatakan lebih lanjut bahwa anak akan terlihat matang secara sosial apabila telah berbasil melakukan tugas-tugas perkembangan tanpa mengalami hambatan ataupun kesulitan. Menurut Hurlock (2010) kematangan sosial didefinisikan sebagai kemampuan anak dalam menilai dan menyesuaikan diri dengan cepat terhadap orang yang berbeda dalam berbagai situasi sosial. Dikatakan lebih lanjut bahwa indikator kematangan sosial tercermin pada kemampuan menyesuaikan diri dengan normanorma kelompok, norma moral dan norma tradisi, sekaligus kemampuan meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi serta bekerjasama. Johnson & Medinnus (2008) mengungkapkan bahwa kematangan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungannya dari kanak-kanak sampai dewasa yang menunjukkan kompetensi kemandirian individu dalam melakukan fungsi-fungsi sosial secara sehat. Berdasarkan uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa istilah kematangan tidak terlepas dari proses 1) pertumbuhan yang merujuk pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, antara lain peningkatan dalam ukuran dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, kepala, jantung, paru-paru, dan sebagainya; 2) perkembangan yang merujuk pada peningkatan fungsifungsi, antara lain peningkatan dalam hal kemampuan berjalan, menulis, penginderaan, ingatan, kecerdasan dan sebagainya; 3) istilah kematangan merujuk pada titik temu
7
antara pertumbuhan dan perkembangan pada usia tertentu individu sehingga fungsi-fungsi yang seharusnya dapat dilakukan oleh individu, baik secara biologis, psikologis maupun sosial dapat berjalan sebagaimana mestinya, 4) kematangan sosial adalah kemandirian peserta didik dalam menjalin hubungan sosial yang efektif, sehingga terwujud kerja sama yang harmonis dan bersinergis, atau dapat dikatakan sebagai kemandirian peserta didik dalam berkelompok secara harmonis. HIPOTESIS Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kematangan sosial siswa SMA Negeri 1 Lendah dengan kemampuan mereka dalam mengatasi konflik sosial, dalam arti bahwa semakin tinggi kematangan sosial siswa SMA Negeri 1 Lendah maka semakin tinggi pula kemampuan mereka dalam mengatsi konflik sosial, dan semakin rendah kematangan sosial siswa SMA Negeri 1 Lendah maka semakin rendah pula kemampuan mereka dalam mengatasi konflik sosial. METODE PENELITIAN Variabel Independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah kematangan sosial siswa, sedang variabel dependen atau variabel terpengaruh adalah konflik sosial. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 1 Lendah tahun pelajaran 2014/2015, dengan jumlah populasi sebesar 482
siswa, kemudian diambil sampel dengan dengan tingkat presisi yang ditetapkan 20%, jumlah sampel ditentukan sebesar 96 siswa responden. Metode pengumpulan data menggunakan obsevasi, wawancara, skala kematangan sosial dan skala konflik sosial.Skala yang dipakai dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Menurut (Azwar, 2011), Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variabel kematangan sosial dan variabel konflik sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator variabel tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Instrumen penelitian yang menggunakanskala likert dapat dibuat dalam bentuk checklist (Azwar, 2011). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, dalam bentuk angkaangka hasil perhitungan. Dalam penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah Product Moment Pearson Correlation dengan tujuan untuk mengetahui hubungan varibel independen terhadap variabel dependen, dikerjakan dengan bantuan program komputer SPSS for Windows Release 20.
8
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara Kematangan Sosial dengan Kemampuan Mengatasi Konflik. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar = 0,767. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Kematangan Sosial cukup kuat untuk dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi Kemampuan Mengatasi Konflik pada siswa. Hal ini didukung oleh besarnya sumbangan efektif yang diberikan oleh Kematangan Sosial terhadap Kemampuan Mengatasi Konflik yaitu sebesar 76,7,4 %. Dari hasil analisis data juga menunjukkan bahwa tingkat Kematangan Sosial subjek pada penelitian ini tergolong dalam kategori sedang, hal ini dapat besarnya frekuensi pada sekitar kategori sedang. Jika dilihat teorinya (Bagja Waluya, 2011), konflik merupakan proses sosial yang bersifat antagonistik dan terkadang tidak bisa diserasikan karena dua belah pihak yang berkonflik memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai yang berbeda, yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung, terkamuflase maupun yang terbuka dalam bentuk tindakan kekerasan. Kemampuan mengatasi situasi kompleks yang terdapat pada konflk sosial dalam penelitian ini, dipengaruhi oleh kematangan sosial subjek yang berkonflik. Hal ini sejalan dengan pengertian kematangan sosial menurut Hurlock
(2010), yang mengatakan bahwa kematangan sosial adalah kemampuan anak dalam menilai dan menyesuaikan diri dengan cepat terhadap orang yang berbeda dalam berbagai situasi sosial. Indikator kematangan sosial itu sendiri tercermin pada kemampuan subjek dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, norma moral dan norma tradisi, sekaligus kemampuan meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi serta bekerjasama. Dengan demikian kandungan paling pokok dalam kematangan sosial adalah kelenturan sosial psikologis subjek dalam menghadapi atau mengalkami situasi sosial yang tidak menyenangkan, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Sebagaimana data yang tersaji di muka, dikatakan bahwa kematangan sosial dan kemampuan mengatasi konflik para siswanya ada posisi sedang, hal ini dapat dijelaskan bahwa kondisi psikologis dan kemampuan tersebut relatif banyak didukung oleh letak geografis dan sosiologi SMA Negeri 1 Lendah beserta para siswanya ada pada daerah pedesaan, relatif jauh dari pusat kota Yogyakarta. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kebiasaan, gaya hidup dan cara menggunakan waktu mereka. Jika ditilik dari konflik dalam diri individu (conflict within the individual), yang mana hal ini dialami ketika siswa harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya, maka sesuau dengan data yang terkumpul, hal ini cukup sering dialami siswa. Ini menandakan bahwa tingkatan
9
kemampuan sosial yang masih kurang, dengan indikator belum siswa belum cukup memeiliki ketenangan dan pemikiran dewasa pada hal-hal yang biasanya disikapi secara emosional. Akibatrnya ketika menghadapi suasana conflict within the individual dengan serta merta pula para siswa SMA Negeri 1 Lendah secara tindak berpikir panjang. Pada akhirnya terjadilah jonflik jenis conflict within the individual ini. Konflik antarindividu (conflict among individuals) di SMA Negeri 1 Lendah terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain. Itulah sebabnya mengaapa conflict among individuals and groups sering terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma norma kelompok tempat ia bekerja. Dalam hal konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization), di SMA Negeri 1 Lendah hal ini didorong oleh jiwa kesukaan mengelompok, karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang sama dan sekaligus berbeda dengan kelompok yang lain, maka masing-masing berupaya untuk dengan leluasa namun sambil merendahkan kelompok lain. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, menunjukkan bahwa hipotesis yang mengemukakan ada Hubungan Positif antara Kematangan Sosial
dengan Kemampuan Siswa dalam Mengatasi Konflik, telah terbukti. B. Saran Dengan melihat hasil penelitian yang telah ditemukan, peneliti mencoba untuk memberikan beberapa saran sebagai berikut. 1. Saran Kepada Remaja Dari data empirik yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata kematangan sosial dalam kategori sedang, meskipun begitu perlu diperhatikan bahwa banyak siswa yang sering terlibat dalam berbagai konflik berupa sebuah perkelahian tersembunyi maupun terang-terangan, selain itu banyak juga siswa yang sering membuat kegaduhan sehingga mengganggu ketertiban lingkungan sekitarnya. Munculnya perilaku konflik yang disebabkan oleh kurangnya kematangan sosial mereka, menunjukkan bahwa pembinaan akan sikap toleransi dan kelenturan dalam menyesuaikan diri secara sosial masih sangat diperlukan. 2. Saran Kepada Orang tua Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan masukan bagi orang tua dan wali selaku pendidik dan pembimbing utama dan pertama bagi anak remajanya. Agar tidak terjadi konflik sosial dan mendorong terwujudnya kematangan sosial anak, disarankan agar orang tua terbuka untuk mengkomunikasikan masalahmasalah yang terjadi pada anak remajanya, termasuk juga kecenderungan konflik yang
10
sering dilakukan oleh para remaja. Adanya sifat yang saling terbuka dan saling menghormati dengan lingkungan sekitarnya akan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang tenang, nyaman dan harmonis. 3. Saran Kepada Pihak Sekolah Perlu disadari bahwa perilaku konflik pada remaja sudah menjadi masalah sosial yang harus dihadapi bersama antara pihak sekolah, orang tua dan masyarakat luas. Pergeseran norma dan moral sosial masyarakat pada saat ini, secara langsung maupun tidak langsung turut pula mendukung terjadinya perilaku konflik tersebut. Gaya hidup dan pergaulan yang semakin bebas, kurang tegasnya sanksi bagi para pelanggar peraturan juga menjadi penyebab munculnya perilaku konflik dikalangan remaja. Untuk itu hendaknya pihak sekolah memelopori kinerja yang bersinergis dengan orang tua dan masyarakat dalam membina dan menumbuhkan kedisplinan kepada siswa. 4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema yang serupa, hendaknya mempertimbangkan variabelvariabel lain yang mempengaruhi munculnya perilaku konflik pada remaja, baik sifatnya internal maupun eksternal. Misalnya Hubungannya dengan religiusitas, kontrol diri, lingkungan tempat tinggalnya, budaya, dan masih banyak lagi
faktor lainnya di luar faktor konformitas teman sebaya. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, Rita L. (2010). Pengantar Psikologi. Jilid 2. Aliha Bahasa Lyndon Saputra. Batam: Interaksara. Depdiknas, (2010) Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah. Jakarta: Puskur Balitbang. Desmita. (2013). Perkembangan. Rineka Cipta.
Psikologi Jakarta:
Dharma, Surya. (2008). Kreatvitas Modul Pelatihan bagi Pengawas Sekolah. Jakarta Dirjen PMPTK Diknas Dharmawan (2011) “Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya, dengan Fokus Perhatian pada penduduk Suku Dayak di Kalimantan Barat”. Skripsi.Tidak diterbitkan. Pontianak: Universitas Negeri Tanjungpura. Edward, L & Monika. (2005). Creative Problem Solving: Thingking Skills for a Changing World. New York : McGraw-Hill Internasional Editions Fitriah,
Anisah.(2014). Psikologi Sosial Terapan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
11
Goleman, Daniel. (2007). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia. Graham, Richard. (2014). Istilahistilah Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hanurawan, Fattah. (2012). Psikologi Sosial, Suatu Pengantar. Jakarta: Rosda. Linda L.D. (2014). Psikologi, Suatu Pengantar. Jilid 1. Alih bahasa: Maru Junaiti. Jakarta: Penerbit Erlangga. Waluya, Bagja. (2011). Sosiologi, Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat. Jakarta: Pusbuk Kemendiknas Zigler & Stevenson (2013). Social Maturity. New York : McGraw-Hill Internasional Editions. Hurlock, E.B. (2010). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga Azwar.S. (1999). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Johnson, R.C., and Medinnus, G.R. (1976). Child Psychology Behavior and Development. Canada: John Willey & Sons. Inc.
12