KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM: Studi Tentang Kebijakan Hukum dalam UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
M. NATSIR ASNAWI, S.HI.1
Abstract Legal politics is one of mainstream on legal study. Legal politics held an exceptional perspective on how we understand the whole process in state law. Judiciary Power become one of the most crucial issues in Indonesia. There are, so far, four times changing of its acts, first UU No. 14 Tahun 1970, UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004, and last, UU No. 48 Tahun 2009 that rules the Judiciary Power. There are some, also, changing in legal politics concerning the Judiciary Power, such one roof system of court held by Prime Court of Indonesia, cooptation judges of Constitutional Court as judges like as the Prime Court, ethics of judges, extension of authority, and unification of Bindalmin process. Those changing, as legal politic perspective, seen as the way to drive the law supremacy (maintaining the rule of law) and safeguarding the human rights and freedom. A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang merdeka dan bertanggung jawab merupakan amanat UUD 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang lahir dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Sejak zaman awal kemerdekaan hingga saat ini, kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup dinamis, ditandai dengan perubahan perundangundangan yang mengaturnya, hingga lembaga-lembaga peradilan yang kian eksklusif dan komprehensif. Sebut saja Mahkamah Konstitusi dan peradilanperadilan khusus yang telah ada dan sementara digagas pembahasannya.
1
Calon Hakim, Saat ini ditugaskan pada Satker Pengadilan Agama Makassar; Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UMI Makassar.
Page 1 of 17
Dapat dimaklumi, mengingat negara Indonesia, meski telah 12 tahun sejak reformasi, masih berada dalam masa transisi; masa dimana negara ini masih mencari bentuk terbaik dalam pelaksanaan tata pemerintahannya, termasuk pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks demikian, Luu Tien Dung, pada sebuah paper yang dimuat dalam UNDP Journal mengemukakan: ‘‘The judiciary in pre-transition regimes was ‘dependent’ or ‘compromised’ rather than independent. It failed to protect the rule of law and human rights…Many transitional countries have adopted the principle of separation of powers in the Constitution as a constitutional guarantee of the independence of the judiciary’’2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang dijalankan secara independen, profesional, dan bergerak pada aras keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Karenanya, kekuasaan kehakiman perlu diatur secara cermat dan sistematis dalam suatu perundang-undangan khusus (exceptional acts). Kekuasaan kehakiman, bahkan oleh konstitusi dipandang sangat penting, terutama dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat yang egaliter, sejahtera, adil, dan makmur berdasar atas hukum nasional. Artinya, hukum merupakan jembatan menuju terwujudnya cita-cita nasional tersebut melalui serangkaian aturan dan proses-proses hukum (due to process and rules of law). Inilah yang mendasari konstitusi Negara Indonesia secara tegas menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan independen dari sekalian pengaruh atau tekanan (intervention) pihak lain. Kekuasaan kehakiman harus dijalankan dengan tanpa tekanan atau intimidasi dari elemen-elemen pemerintahan lainnya. Olehnya itu, reform di bidang kekuasaan kehakiman menjadi semacam keniscayaan karena dinamika hukum yang senantiasa berkembang dan kian kompleks menuntut kekuasaan yang ada di dalamnya untuk senantiasa diperbarui dan ditingkatkan akspetabilitasnya. Reformasi dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk beberapa hal. Pertama: menjadikan kekuasan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen. Kedua, mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Ketiga, menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya. Keempat, mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat.
2
Luu Tien Dung. “Judicial Indepencdence In Transitional Countries”. UNDP Democratic Governance Fellowship Programme. 2003.
Page 2 of 17
Kelima, melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit3. Perubahan dan penggantian undang-undang yang mengatur tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman secara eksplisit merepresentasikan kelima hal tersebut. Sejak UU No. 14 Tahun 1970 hingga yang terakhir UU No. 48 Tahun 2009 mencerminkan keinginan yang kuat dan konsekuen untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang benar-benar mandiri dan merdeka dari sekalian intervensi pihak luar yang dapat merusak pengarusutamaan pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kekuasaan kehakiman yang terwujud dalam lembaga peradilan senantiasa mencirikan independensi dan profesionalitasnya sesuai dengan amanat undang-undang. Inilah kondisi ideal (idealitas) kekuasaan kehakiman, meski pada beberapa hal, idealitas tersebut belum atau masih sulit untuk diwujudkan. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari prinsip negara hukum yang demokratis. Prinsip demikian diperlukan untuk melindungi kekuasaan kehakiman dari intervensi, bujukan, rayuan, paksaan maupun pengaruh lembaga, teman sejawat, atasan atau pihak-pihak lain, sehingga hakim dalam memutus perkara benar-benar berdasar pada keadilan hukum, rasa keadilan dan hati nurani. Prinsip Independensi kekuasaan kehakiman telah diakui secara global, beberapa instrumen hukum international mengakui pentingnya independesi peradilan, antara lain Universal Declaration of Human Rights (article 10), International Convenan on Civil dan Political Rights (ICCPR) (article 14), Vienna Declaration on Program for Action 1993 (paragraph 27), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, New Delhi 1982, dan Universal Declaration on the Independece of Justice, Montreal 19834. Luu Tien Dung mengemukakan beberapa statuta internasional yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu: 1. The United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary (hereafter called Basic Principles), endorsed by General Assembly in 1985; 2. The Syracuse Draft Principle on Independence of the Judiciary which was prepared by a Committee of Jurists and the International Commission of Jurists at Syracuse, Sicily on 25th – 29th May, 1981 (hereafter called the Syracuse Principles); 3. The International Bar Association Minimum Standards of Judicial Independence (1982)(8) (hereafter called IBA Standards)5.
3
http://www.reformasihukum.org/file/kajian/Reformasi%20Kebebasan%20Kekuasaan%20Ke hakiman.pdf. 4 M. Saihu. Tanpa Tahun. “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman” (Online). (http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3%3Aindepe ndesi-dan-akuntabilitas-kekuasaan-kehakiman&catid=1%3Alatest-news&Itemid=50&lang=in, diakses 21 Juli 2010). 5 Luu Tien Dung, op.cit, h. 10.
Page 3 of 17
Dalam artikel no. 2 pada Statute of the International Court of Justice dinyatakan: “The Court shall be composed of a body of independent judges, elected regardless of their nationality from among persons of high moral character, who possess the qualifications required in their respective countries for appointment to the highest judicial offices, or are jurisconsults of recognized competence in international law”6. Statuta tersebut menyatakan bahwa peradilan harus ditopang oleh hakim-hakim yang independen, yaitu mereka yang dipilih karena memiliki integritas tinggi dan moral yang baik. Mereka yang diangkat menjadi hakim adalah yang memiliki keinginan (obsesi) yang tinggi untuk mewujudkan supremasi lembaga peradilan sebagai representasi kekuasaan kehakiman. Selain itu, hakim juga harus memiliki kualifikasi yang cukup dalam hal pengetahuan dan kemampuan dalam bidang hukum. Demikian yang merupakan parameter yang secara internasional diakui; bahwa hakim merupakan individu yang memiliki kualitas dan kapasitas, tidak hanya dalam hal intelektualitas, tetapi juga moralitas dan dedikasi tinggi pada tercapainya tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kekuasaan kehakiman yang independen dimaksudkan agar penyelenggaraan peradilan berjalan sesuai dengan koridor hukum (fair trial). Dalam rangka mewujudkan itulah, kekuasaan kehakiman yang terejawantah dalam lembaga peradilan harus ditopang oleh aparat-aparat yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kualitas pribadi yang tinggi, khususnya hakim. Persoalan moralitas dewasa ini menjadi salah satu mainstream dalam upaya perumusan dan penyusunan kembali konsep tentang kekuasaan kehakiman yang ideal. Moral penegak hukum, khususnya hakim, harus menjadi perhatian lebih karena demikian sangat menentukan laju alir proses peradilan. Kualitas moral inilah yang kemudian menjadi salah satu cakupan dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam struktur masyarakat yang cenderung liberal (leissuz faire), dibutuhkan regulasi yang ketat dan ditopang oleh lembaga peradilan yang berwibawa. Kewibawaan ini dapat diciptakan melalui independensi kekuasaan kehakiman. Ini pulalah yang dikemukakan oleh Daniel C. Préfontaine QC and Joanne Lee: “There is increasing acknowledgement that an independent judiciary is the key to upholding the rule of law in a free society. This independence may take a variety of forms across different jurisdictions and systems of law. But the same principle always applies, namely the protection of human rights is dependent on the guarantee that judges will be free and will reasonably be perceived to be free to make impartial decisions based 6
Nathan J. Miller. “Independence in The International Judiciary: General Overview of The Issues”. Background paper for the meeting of the study group of the international law association. Burgh House, Hupstead, London, 2002.
Page 4 of 17
on the facts and the law in each case, and to exercise their role as protectors of the constitution, without any pressure or interference from other sources, especially government. This basic premise is crucial to the maintenance of the rule of law”7. Perubahan UU tentang Kekuasaan Kehakiman sebanyak empat kali, hemat penulis, menunjukkan bahwa dinamika sosial yang kian kompleks dan dinamis menuntut lembaga peradilan untuk berbenah. Independensi kekuasaan kehakiman menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi. Profesionalisme penegak hukum sebagai determinan utamanya menutut untuk senantiasa terejawantah di dalam setiap proses peradilan. Inilah, agaknya yang menjadi ruh dalam UU No. 48 Tahun 2009 ini. B. Rumusan Masalah Berdasar uraian sebelumnya, dapat dirumuskan satu permasalahan utama, yaitu bagaimana politik hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman? C. Pembahasan 1. Politik Hukum dan Kekuasaan Kehakiman: Tinjauan Awal a. Politik Hukum Definisi tentang politik hukum cukup banyak dijumpai dalam literature, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari8 membagi definisi politik hukum yang dikemukakan beberapa pakar menjadi dua bagian, yaitu: 1. Perspektif etimologis Politik hukum dalam perspektif ini lebih dilihat secara kebahasaan. Politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, rechtspolitiek. Recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum, sementara kata hukum berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement), ketetapan (provision), perintah (command), dan pengertian lainnya. Sementara kata politiek mengandung arti beleid, yaitu kebijakan (policy). Politik, dalam penelusuran beberapa literatur berasal dari bahasa Yunani "Πολιτικά" (politika) yang berarti hubungan yang terjadi antar individu (anggota masyarakat) dalam suatu negara. Dalam hubungan (interaksi) yang resiprokal tersebut, terjadi kesepakatan-kesepakatan terhadap suatu keputusan atau kebijakan yang bersifat kolektif9. Dengan
demikian, secara etimologis, politik hukum adalah kebijakankebijakan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam bidang 7
Daniel C. Préfontaine QC and Joanne Lee. “The Rule of Law and The Independence of The Judiciary”. Paper prepared for World Conference on The Universal Declaration of Human Rights. Montreal, 1998. 8 Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2008. h.18. 9 http://en.wikipedia.org/wiki/Politics
Page 5 of 17
hukum, termasuk pengambilan keputusan-keputusan hukum yang bersifat kolektif10. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik hukum didefinisikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak11. Definisi dari KBBI tersebut lebih melihat politik hukum sebagai blueprint terhadap sekalian kebijakan yang akan diambil dalam rangka penegakan hukum pada segenap dimensi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, politik hukum merupakan patronase bagi stakeholder dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya di bidang hukum. 2. Perspektif terminologis Definisi politik hukum secara terminologis, banyak diungkapkan beberapa pemikir yang mendalami kajian politik hukum sebagai berikut12: a) Satjipto Rahardjo Politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara (metode) yang akan digunakan dalam upaya mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat (negara). Berdasar pada definisi tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakn beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang ingin dicapai dengan system hukum yang ada (diterapkan); (2) cara-cara (mekanisme) apa yang dianggap paling baik (efektif) untuk mencapai tujuan tersebut; (3) kapan dan bagaimana hukum harus diubah; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang dapat membantu kita memutuskan tujuan-tujuan serta cara-cara (mekanisme) untuk mencapai tujuan tersebut secara baik?. b) Padmo Wahjono Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi (substansi) hukum yang akan dibentuk, serta bagaimana penerapan dan penegakannya13. c) Soedarto Politik hukum adalah kebijakan Negara via institusi-institusi negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki (yang selaras dengan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat) untuk mencapai tujuan negara14. d) Abdul Hakim Garuda Nusantara 10
Imam Syaukani & A. Ahsin Tohari, op.cit, h. 21-22. Ibid, h. 22. 12 Ibid, h. 26-31. 13 Ibid, h. 26. 14 Ibid, h. 28. 11
Page 6 of 17
Politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang dalam implementasinya meliputi: 1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaruan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang dibutuhkan. 2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum15. b. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia16. Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan yang harus17 independen (merdeka) dari berbagai anasir, intervensi, maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan (undue process of law). Argumentasi tersebut sejalan dengan Zaenal Fanani yang mengemukakan bahwa pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita universal. Hal tersebut dapat dilihat dalam Basic Principles On Independence of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 Nopember 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember 1985). Juga dapat dilihat pada Beijing Statement Of Principles Of The Independence The Law Asia Region Of The 15
Dadan Muttaqien. Mimbar Hukum dan Peradilan No. 70, Januari 2010. “Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah”. Jakarta: PPHIMM., Imam Syaukani dan A Ahsin Thohari, Ibid, 30-31. 16 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 Angka (1). 17 Penggunaan kata “harus” oleh penulis dimaksudkan sebagai penekanan (aksentuasi) bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen atau merdeka dari berbagai pengaruh (intervensi) pihak lain, khususnya pemerintah, meski sejatinya telah diatur secara tegas dalam perundang-undangan dan covenant internasional. Tegasnya, das sein dan das sollen kekuasaan kehakiman yang merdeka belum sepenuhnya paralel.
Page 7 of 17
Judiciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997, dimana didalamnya ditegaskan bahwa: 1) Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap masyarakat; 2) Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung maupun tidak langsung, hakim memiliki yurisdiksi atas segala isu yang memerlukan keadilan18. Aidul Fitriciada19 mengemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab adalah perwujudan dari asas kedaulatan rakyat, negara hukum, dan pemisahan kekuasaan. Namun demikian, terdapat perbedaan diametral antara konsep ‘merdeka’ dan ‘bertanggung-jawab’ dari kekuasaan kehakiman. Makna ‘merdeka’ menunjukkan tidak adanya ikatan dan tidak tunduk pada kekuatan apapun, sedangkan makna ‘bertanggung-jawab’ menunjuk pada makna sebaliknya. Dalam perkataan lain, ‘kekuasaan kehakiman yang merdeka’ bermakna kekuasaan yang tidak terikat, lepas, dan tunduk pada kekuasaan yang lain, sedangkan ‘kekuasaan kehakiman yang bertanggung-jawab’ justru bermakna kekuasaan kehakiman berada dalam kaitan dengan dan tunduk pada kekuasaan yang lain20. Bahkan, dalam salah satu statement-nya, Chief Justice of Canada dalam salah satu penetapannya menyatakan: “Judicial independence is valued, because it serves important societal goals - it isa means to secure those goals. One of these goals is the maintenance of publicconfidence in the impartiality of the judiciary, which is essential to the effectiveness of the court system. Independence contributes to the perception that justice will be done in individual cases. Another social goal, served by judicial independence is the maintenance of the rule of law, one aspect of which is the constitutional principle that the exercise of all public power must find its ultimate source in a legal rule”21. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan keniscayaan karena eksistensinya sangat menentukan tercapainya tujuan-tujuan 18
Ahmad Zaenal Fanani. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Masa Depan Peradilan Agama: Analisis UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 50 Tahun 2009. Makalah. 2009. h. 5. 19 Aidul Fitriciada Azhari. “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Kesimbangan”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 89-118. 20 Kekuasaan lain dimaksud adalah kekuasaan perundang-undangan, baik Undang-Undang Dasar maupun perundang-undangan di bawahnya. Kekuasaan kehakiman juga diikat dan tunduk pada kode etik profesi sebagai serangkaian peraturan untuk menjaga dan memelihara keluhuran moral dan budi pekerti hakim. 21 Daniel C. Préfontaine QC and Joanne Lee, op.cit., h. 8-9.
Page 8 of 17
sosial yang disepakati oleh masyarakat. Kekuasaan kehakiman menjadi instrument yang sangat penting untuk mengatur dinamik adalam masyarakat demi terwujudnya jagad ketertiban. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk meningkatkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap system peradilan yang sedang berjalan. Bagaimanapun, kepercayaan masyarakat tidak dapat begitu saja diabaikan karena, secara faktual, sangat berpengaruh terhadap efektifitas sistem peradilan; bahwa keadilan akan menjangkau setiap individu tanpa melihat statusnya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dimaksudkan untuk menjaga agar aturan-aturan hukum benar-benar dijalankan sesuai dengan amanat yang terkandung di dalamnya. Ini penting, mengingat aturan-aturan hukum berangkat dari aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dan berwujud menjadi kekuatan utama di masyarakat. Disinilah sesungguhnya letak pertalian (universalitas) kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai nilai global yang disepakati dan dijalankan oleh negara-negara di dunia, terutama negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat). Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan monopoli sebagian negara melainkan telah dianggap sebagai doktrin universal mengingat eksistensinya sangat menentukan dinamika sosial dan pencapaian tujuan-tujuan sosial yang primordial. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, hemat penulis, terbangun dari beberapa elemen dasar yang saling bertalian. Elemen-elemen tersebut adalah: 1) Lembaga peradilan yang mandiri, terpisah dari struktur kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam pada itu, lembaga peradilan tersebut terstruktur secara hirarkis (vertikal), terintegrasi dalam pola dan teknis administrasi dan yudisial yang unifikatif. 2) Hakim dan aparat peradilan yang jujur, kompeten, berintegritas tinggi, dan visi yang kuat pada tercapainya keadilan bagi sekalian pencari keadilan (equality before the law). 3) Perundang-undangan yang mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka. 4) Budaya hukum masyarakat sebagai unsur extra judicial yang memegang peranan signifikan, terutama dalam mengawal dan mengontrol proses peradilan. Budaya hukum dimaksud termasuk di dalamnya tata nilai, paradigma, perilaku, dan diskresi hukum masyarakat (masyarakat awam, penstudi hukum, aktivis, NGO, dan elemen masyarakat lainnya). Justine LeDain mengemukakan tiga karakteristik utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu22: 22
Ibid, h. 11-13.
Page 9 of 17
1) Security of tenure Security tenure (jaminan masa kerja) adalah kepastian tentang lamanya seseorang menduduki suatu jabatan, khususnya jabatan hakim. Dalam system hukum Amerika, dapat menduduki jabatan hakim seumur hidup sepanjang menunjukkan kinerja positif dan memiliki kepribadian dan moralitas yang baik. Hal ini dinyatakan dalam Constitution Act, 1867 Section 99: “…the Judges of Superior Courts, shall hold office during good behaviour, but shall be removable by the Governor General on address of the Senate and the House of Commons”. Jaminan masa kerja demikian, hemat penulis, sebagai bagian dari upaya menjaga integritas hakim sekaligus sebagai motivasi bagi para hakim untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya demi kinerja yang progresif sekaligus sebagai implementasi dari adagium “jus curia novit”. 2) Financial security Financial security (jaminan pendapatan) bagi para hakim merupakan salah satu unsur yang mendapat perhatian luas pada hampir seluruh sistem hukum negara-negara di dunia. Di amerika misalnya, The Constituion Act, 1867 Section 110 mengamanatkan penyesuaian pendapatan bagi para hakim untuk menunjang peningkatan kinerja dan kemandirian hakim23. Demikian dimaksudkan untuk membentengi para hakim dari kemungkinan atau kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang melanggar kode etik profesi maupun yang bertentangan dengan undangundang. 3) Administrative independence Administrative independence merupakan kontrol yang dilakukan oleh lembaga peradilan terhadap penyelenggaraan administrasi peradilan. Demikian dimaksudkan untuk menunjang terlaksananya fungsi peradilan secara signifikan. Jimly Ashshiddieqy mengkonsepsikan independensi kekuasaan kehakiman ke dalam tiga pengertian dasar, yaitu: 1) Structural independence, yaitu independensi kelembagaanyang terlihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan yudikatif. 2) Functional independence, yaitu independensi dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial.
23
Ibid, h. 12.
Page 10 of 17
3) Financial independence, yaitu independensi dilihat dari segi kemandiriannya dalam menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi24. 2. Politik Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan undang-undang paling akhir sampai pertengahan tahun 2010 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebelumnya, ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970, kemudian diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, dan terakhir diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004. Ada beberapa hal penting dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu25: a. Mereformulasi dan mereposisi sistematika UU No. 4 Tahun 2004 terkait dengan pengaturan secara komprehensif subtansi UU No. 48 Tahun 2009, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman; b. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mendasarkan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi; d. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempuyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara; f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan; g. Pengaturan umum mengenai bantuan umum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan; h. Penegasan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara; dan i. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi. Hal pertama yang paling mendasar dalam UU ini adalah mengenai apa dan siapa hakim itu? Dalam UU ini, hakim, yang sebelumnya hanya mencakup hakim-hakim yang berada pada peradilan dibawah lingkup Mahkamah Agung, yaitu hakim pada Peradilan Umum, Peradilan 24 25
Ahmad Zaenal Fanani, op.cit., h. 8. Ahmad Zaenal Fanani, op.cit. h. 7.
Page 11 of 17
Agama/Mahkamah Syar’iyyah, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer diubah dan diperluas hingga mencakup hakim pada Mahkamah Konstitusi. Perubahan demikian merupakan sesuatu yang revolusioner karena telah mengintegrasikan hakim-hakim konstitusi sebagai bagian penting dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai peradila konstitusi, peran dan tanggung jawab hakim-hakim MK memang tidak kecil karena mereka melakukan fungsi pengawalan terhadap konstitusi. Peran dan tanggung jawab demikian harus dipayungi dengan perundangundangan khusus agar dalam melaksanakan peran tersebut hakim-hakim MK memliki patronase yang sama dengan hakim-hakim di MA dan peradilan yang dibawahinya. Ini pulalah yang dianggap sebagai penyatuan visi para hakim agar mereka memiliki, paling tidak, konsep dasar yang sama dalam menegakkan hukum. Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang merdeka diupayakan secara sitematis melalui beberapa langkah strategis. Salah satu diantaranya adalah dengan melakukan pengawasan yang berkelanjutan dan objektif terhadap para hakim, baik hakim di MA dan peradilan yang dibawahinya maupun hakim MK. Pengawasan ini perlu untuk menjamin para hakim bertindak dan berperilaku sesuai dengan kode etik profesi hakim dan menjunjung undang-undang sebagai pedoman dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara. Bila diindikasikan adanya pelanggaran, baik kode etik maupun aturan perundang-undangan, maka akan segera dilakukan tindakan yang dianggap perlu untuk tetap menjaga integritas dan nama baik insititusi peradilan. Karenanya, dalam Pasal 3 angka (1) disebutkan: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.” Kemudian, dalam angka (2) disebutkan pula: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam tinjauan politik hukum, dengan mengacu pada pasal tersebut di atas dilakukan pada dua lapisan, yaitu, pertama, hakim sebagai aparat penegak hukum dalam struktur kekuasaan kehakiman memiliki tanggung jawab moral untuk senantiasa menjaga kemandirian peradian dengan menampik godaan, tawaran, intervensi, hingga intimidasi pihak luar yang ingin menerabas sekalian proses peradilan yang sedang berjalan. Hakim dituntut memiliki kejujuran dan keberanian yang tinggi untuk tetap berpegang pada kode etik profesi dan menjalankan undang-undang secara bijaksana untuk mencapai keadilan tertinggi pada setiap putusannya. Kedua, pihak luar (baik
Page 12 of 17
pemerintah maupun masyarakat) tidak boleh ikut campur dalam proses peradilan yang sedang berjalan karena dapat mengganggu atau mempengaruhi objektifitas hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara. Seperti telah diurai pada bagian lain dari tulisan ini, hakim MK merupakan bagian dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Padanya, melekat kode etik profesi yang harus senantiasa dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya. Salah satu muatan dalam kode etik adalah menjaga wibawa dan nama baik, antara lain dengan tidak terlalu banyak memberikan opini pada publik mengenai proses hukum tertentu yang sedang berjalan. Hal ini dimaksudkan, selain menjada wibawa, juga menghindari penggiringan opini publik sehingga putusan hakim mudah ditebak. Masih teringat dalam benak ketika beberapa kali ketua MK berbicara dalam forum-forum media maupun debat publik tentang proses hukum yang sedang dijalani oleh beberapa pejabat negara. Dalam forum-forum tersebut, ketua MK yang juga merupakan hakim MK memberikan beberapa pandangan hukum (legal opinion) mengenai proses hukum yang terjadi, padahal, seharusnya, dan memang wajib, seorang hakim tidak mengumbar kepada publik pandangannya tentang suatu kasus. Akan lebih elegan jika pandangan tersebut dituangkan dalam pertimbangan putusannya. Inilah salah satu bagian dari kode etik yang sudah patut menjadi perhatian, terutama bagi para hakim MK, yang sebelumnya rajin memberikan pandangan atau opini di media. Pada pasal 5 angka (2) disebutkan: “Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”. Pasal tersebut menetapkan bahwa hakim merupakan insan yang mulia yang senantiasa terjaga pikiran, lisan, dan tindakannya. Kalau memakai jargon yang ditawarkan sebagian seniman, hakim adalah ‘manusia setengah dewa’ yang memiliki rangkaian keagungan yang menjadikan orang-orang sekitarnya menyandarkan harapn pada tercapainya keadilan tertinggi. Profesionalisme dan kejujuran hakim dibutuhkan terutama untuk menciptakan keadilan dan menjaga pelaksanaan dan penerapan aturan-aturan hukum pada setiap putusan. Karena itu pula, dalam website pemerintah Amerika, dinyatakan: “Independent and professional judges are the foundation of a fair, impartial, and constitutionally guaranteed system of courts of law known as the judiciary. This independence does not imply judges can make decisions based on personal preferences but rather that they are
Page 13 of 17
free to make lawful decisions – even if those decisions contradict the government or powerful parties involved in a case.”26 Dari pernyataan tersebut diketahui beberapa hal, yaitu: a. Hakim yang profesional dan independen merupakan fundamen dari proses peradilan yang wajar (fair) atau sesuai dengan hukum acara, netralitas (impartiality), dan jaminan terlaksananya aturan perundang-undangan dalam sekalian proses peradilan. Hakim yang professional adalah hakim yang memiliki kapabilitas dan integritas tinggi untuk senantiasa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan profesi, yaitu mewujudkan tercapainya keadilan, baik keadilan secara hukum maupun keadilan secara sosial. b. Independensi hakim mencakup beberapa pengertian, yaitu, pertama, hakim tetap dapat menggunakan analisisnya yang bersifat inheren (personal preferences) dalam menilai dan memutuskan suatu perkara sepanjang analisis tersebut berangkat dari pemahaman yang mendalam mengenai asas, norma, dan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengannya. Kedua, hakim memiliki kebebasan untuk membuat putusan atas suatu perkara meskipun hal tersebut bertentangan dengan keinginan pemerintah atau bahkan sebagian masyarakat yang secara subjektif dan diametral menginginkan putusan lain. Disinilah dituntut keberanian dan progresifitas seorang hakim untuk berbeda dengan pemerintah dan bersedia menjadi sorotan publik atas putusannya tersebut. Ijtihad yang dilakukan hakim secara sungguh-sungguh merupakan jaminan suatu putusan yang bercirikan keadilan meski mendapat pertentangan dari pemerintah maupun sebagian masyarakat. Ini pulalah yang oleh Satjipto Rahardjo diistilahkannya sebagai hakim yang progresif, yaitu hakim yang tidak sekedar menjadi terompet undang-undang tetapi berusaha menemukan keadilan dalam setiap peraturan yang ada27. Lebih lanjut, dikemukakan: “An independent judiciary assures people that court decisions will be based on the nation's laws and constitution, not on shifting political power or the pressures of a temporary majority. Endowed with this independence, the judicial system in a democracy serves as a safeguard of the people's rights and freedoms”28. 26
http://www.america.gov/st/democracyhr-english/2008/May/20080609213257eaifas0.9582 788.html 27 Lihat Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009; juga Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009. 28 http://www.america.gov/st/democracyhr-english/2008/May/20080609213257eaifas0.9582 788.html
Page 14 of 17
Demikian, dan harus diakui bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan sebagai jaminan bagi masyarakat bahwa setiap putusan pengadilan didasarkan pada hukum nasional dan konstitusi, bukan pada keinginan untuk mengakomodir kepentingan pemerintah atau sebagai refleksi atas tekanan-tekanan dari kekuatan-kekuatan luar yang ingin mengarahkan (drive) putusan pengadilan pada sesuatu yang bersifat pragmatis. Muara dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tegak dan terpeliharanya hak-hak asasi dan kemerdekaan masyarakat. Salah satu aspek yang mendapat perhatian serius pada undang-undang ini adalah perhatian terhadap keamanan dan kesejahteraan para hakim. Pasal 48 angka (1) menyatakan: “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman” Pemberian perhatian terhadap keamanan dan kesejahteraan hakim merupakan hal yang sangat mendasar. Bahkan, konstitusi-konstitusi di dunia pun mengakui pentingnya perhatan terhadap kesejahteraan hakim. A. Hamzah mengemukakan bahwa pendapatan (gaji) yang representative kepada hakim penting terutama untuk menjaga independensi hakim. Dengan pendapatan yang cukup, hakim diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh bujukan atau iming-iming sejumlah uang untuk mengakomodir putusannya sesuai dengan keinginan pihak tertentu29. Sejalan dengan pendapat Hamzah tersebut, Luu Tien Dung menyatakan: “Many have suggested that increasing judicial salaries would make for a better functioning and less corrupt judiciary. However, judges are still public servants and do not enjoy any special status; thus increasing judicial salaries could lead to an expectation of a general increase in the salaries of a large number of public servants”30. Peningkatan pendapatan bagi para hakim hingga pada tingkat yang representatif diyakini sejalan dengan kinerja yang lebih positif dan memperkecil kemungkinan terjadinya praktik-praktik korupsi. Inilah yang menjadi salah satu fundamentasi dasar bagi terwujudnya idealitas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. D. Kesimpulan Berdasar uraian-uraian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 29
A. Hamzah. Kemerdekaan dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Denpasar: 2003. 30 Luu Tien Dung, op.cit., h. 36.
Page 15 of 17
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan tertinggi yang berdasar pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Kekuasaan kehakiman yang merdekan dan bertanggung jawab merupakan bagian dari kesepakatan dan nilai yang diakui secara internasional melalui berbagai covenant. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab sangat penting, terutama dalam penyelenggaraan peradilan yang wajar (fair trial) dan penegakan asas imparsialitas. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab merupakan determinan bagi tegaknya aturan-aturan hukum dan perlindungan bagi hak-hak asasi dan kemerdekaan individu. 2. Dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ada beberapa kebijakan hukum yang menjadi mainstream dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu: a. Integrasi hakim konstitusi sebagai bagian dari penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. b. Penegasan terhadap penegakan kode etik profesi hakim, tidak hanya bagi hakim pada Mahkamah Agung dan peradilan yang dibawahinya, tetapi juga hakim Mahkamah Konstitusi. c. Perhatian terhadap kesejahteraan dan keamanan hakim sebagai faktor yang tidak kalah penting dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. E. Bibliografi Sumber dari Buku, Jurnal, dan Makalah Azhari, A. F. “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Kesimbangan”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 89-118. Dung, L. T. “Judicial Indepencdence In Transitional Countries”. UNDP Democratic Governance Fellowship Programme. 2003. Fanani, A. Z. 2009. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Masa Depan Peradilan Agama: Analisis UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 50 Tahun 2009. Makalah. Hamzah, A. 2003. Kemerdekaan dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar. Miller, N. J. “Independence in The International Judiciary: General Overview of The Issues”. Background paper for the meeting of the study group of the international law association. Burgh House, Hupstead, London, 2002. Muttaqien, D. “Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun Page 16 of 17
2008 Tentang Perbankan Syariah”. Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan No. 70, Januari 2010. Jakarta: PPHIMM. Préfontaine QC, D. C. and Lee, J. “The Rule of Law and The Independence of The Judiciary”. Paper prepared for World Conference on The Universal Declaration of Human Rights. Montreal, 1998. Rahardjo, S. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009. . 2009. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. Syaukani, I & Thohari, A. A. 2008. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Sumber dari website http://en.wikipedia.org/wiki/Politics http://www.reformasihukum.org/file/kajian/Reformasi%20Kebebasan%20Ke kuasaan%20Ke hakiman.pdf. M. Saihu. Tanpa Tahun. “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman” (Online). (http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=c om_content&view=article&id=3%3Aindependesi-dan-akuntabilitas-kekuasaa n-kehakiman&catid=1%3Alatest-news&Itemid=50&lang=in, diakses 21 Juli 2010). http://www.america.gov/st/democracyhrenglish/2008/May/20080609213257eaifas0.9582 788.html Sumber dari Undang-Undang UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Page 17 of 17