Kegiatan Budaya sebagai Alat Interaksi, Komunikasi dan Inklusi Miriam Donath Skjørten
Pendahuluan Dalam artikel ini penekanan khusus akan diberikan pada potensi kegiatan budaya sebagai alat penting dalam pendidikan serta alat untuk menjamin kualitas hidup yang lebih baik bagi anak dan orang dewasa dalam masyarakat secara keseluruhan. Secara khusus saya akan memfokuskan pada pentingnya kegiatan budaya untuk meningkatkan interaksi dan komunikasi dan karenanya juga meningkatkan pertumbuhan sosial dan emosional di dalam seting pendidikan inklusif yang formal maupun nonformal serta seting lainnya yang relevan. Seting inklusif mencakup semua anggota masyarakat tanpa memandang usia, fungsi indera, fisik atau kognitif, latar belakang budaya dan pengalaman. Dengan kata lain, kita membicarakan tentang keragaman alami dalam suatu masyarakat. Dalam artikel ini konsep Kegiatan Budaya hanya meliputi kegiatan yang berkaitan dengan tari, musik, drama, seni rupa dan kerajinan (termasuk seni lukis dan seni pahat) dan bercerita. Kegiatan ini mencakup sejumlah besar pengalaman, termasuk warisan budaya yang relevan pada satu sisi, dan eksperimentasi dan kreasi anak dan orang dewasa sendiri sebagai hasil dari kreatifitasnya sendiri pada sisi lain. Warisan budaya meliputi reproduksi lagu, tarian, cerita, pola grafik tradisional dll. Ini juga mencakup gaya atau cara bernyanyi, menari dll., yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Kegiatan budaya, di samping warisan budaya, meliputi improvisasi lelucon yang diciptakan secara spontan serta produksi baru yang lambat laun menjadi terstruktur sehingga akan dengan mudah diulang dan diwariskan kepada orang lain. Kita juga akan menemukan banyak contoh di mana improvisasi dan unsur-unsur yang sudah terstruktur dikombinasikan. Music jazz merupakan contoh yang baik untuk ini. Kegiatan budaya berimplikasi aktivitas dan partisipasi di satu pihak, dan partisipasi aktif sebagai pemirsa, penonton dan pendengar di pihak lain. Keduanya memberikan pengayaan kepada pesertanya. Keragaman dan pengayaan Di masa lalu, kita telah mengembangkan masyarakat artifisial melalui penyeleksian, pengelompokkan dan pemisahan orang-orang dari lingkungan sosial, budaya dan fisik alaminya. Kini kita menyadari bahwa dengan melakukan hal tersebut masyarakat kita telah kehilangan beberapa dimensi penting dan kita mencoba untuk menemukan cara menyadarkan masyarakat bahwa keragaman – semua keragaman – akan dipandang “normal” dan memperkaya semua yang terlibat di dalamnya. Suatu masyarakat yang “normal” akan mencakup anggota-anggota dengan kebutuhan, minat, bakat dan pendapat yang berbeda-beda. Masyarakat sSeperti ini akan memberikan penghargaan, kondisi dan pertimbangan yang diperlukan untuk semua anggotanya, memberi mereka kesempatan untuk mengalami kesetaraan dan rasa harga diri.
Kadang-kadang, bila berbicara tentang meningkatkan kualitas hidup orang yang menyandang kecacatan, kita membicarakan tentang “normalisasi”. Ini tidak hanya berarti bahwa orang yang menyandang kecacatan harus diberi kesempatan untuk hidup “normal”. Ini berarti bahwa masyarakat harus menjadi “normal” – menerima keragaman dan memandang keragaman sebagai suatu pengayaan dan bukan sebagai beban. Ini artinya bahwa masyarakat harus melakukan penyesuaian yang diperlukan dan tidak hanya berharap bahwa anak dan orang dewasa penyandang cacat saja yang harus menyesuaikan diri. Hanya dengan begitulah kita akan dapat mempunyai masyarakat yang inklusif dan orang yang menyandang kecacatan serta kelompok minoritas lainnya akan mendapatkan kesempatan untuk hidup “normal”. (lihat juga Skjørten 2001). Dalam artikel ini pendidikan mengacu pada pendidikan di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Dengan kata lain ini mencakup pendidikan formal dan informal, dan mengacu pada seting inklusif. Oleh karena itu artikel ini dialamatkan kepada semua yang menginginkan anak dan orang dewasa mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan memberikan kontribusi kepada masyarakat inklusif. Dengan kata lain, artikel ini dialamatkan kepada orang tua, guru dan petugas masyarakat termasuk pejabat dalam bidang kebudayaan, artis serta semua yang mempunyai pikiran terbuka terhadap pengayaan tersebut. Berbagai faktor kontributor penting harus diingat bila kita melangkah menuju inklusi. Antara lain kita harus waspada terhadap perangkap yang tersembunyi di dalam proses ini. Beberapa dari perangkap ini dapat kita atasi, antara lain melalui penggunaan sandiwara, permainan dan khususnya kegiatan budaya. (Lihat juga Skjørten 2001) Peranan kegiatan budaya Artikel ini akan difokuskan pada peranan kegiatan budaya dalam mempromosikan: •
Pertumbuhan fisik, sosial, emosional dan kognitif individu sebagai anggota unit sosialnya (keluarga, kelas, masyarakat)
•
Pertumbuhan kelompok secara keseluruhan (sebagai hasil dari keragaman individu anggotanya).
Kegiatan budaya yang dibahas di sini merupakan alat penting yang dapat membantu kita untuk menolong anak dan orang dewasa untuk meraih pengalaman dan kompetensi sosial dan emosionalnya – suatu kompetensi yang sering terabaikan oleh pendidikan formal. Kompetensi sosial dan emosional tidak hanya penting untuk kesejahteraan anak tetapi kadang-kadang mencegah dan mengurangi kegagalan dan karenanya mencegah perasaan tidak berharga ketika anak tidak berhasil dalam melakukan tugas tertentu atau misalnya memahami semua yang diajarkan di kelas. (lihat juga Rye, 2001). Namun, bila kegiatan budaya diajarkan sebagai mata pelajaran keterampilan yang diwajibkan oleh kurikulum, bukan atas dasar minat individu siswa, kegiatan budaya juga dapat melahirkan kebosanan serta perasaan gagal. Penting untuk tidak hanya membahas kegiatan budaya dari sudut pandang para partisipan tetapi juga dari sudut pandang pengamat, penonton, pendengar atau pemirsa. Pada tahun 70-an dan 80-an, ketika kegiatan budaya menjadi penting sebagai alat pendidikan, kita sering menekankan bahwa hanya keikutsertaan dalam kegiatan tersebutlah yang bermanfaat, misalnya dengan bernyanyi, menari, bermain peran dsb., yang dipandang
berharga. Menjadi penonton, bagian dari pemirsa atau hadirin dianggap sebagai sebuah aksi hiburan yang memberikan tidak lebih dari sekedar kesenangan yang membuat pasif. Segera kita temukan bahwa kita harus juga aktif ketika menonton atau mendengarkan, dan bahwa ini tidak sama dengan “beristirahat”. Sebaliknya, mendengarkan dan menonton dapat menjadi penting untuk pengayaan pengalaman dan dapat meningkatkan aktivitas dan kreatifitas orang. Menonton dan mendengarkan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis. Akan tetapi, kita harus belajar dan berlatih untuk dapat menjadi penonton dan pendengar yang aktif dan analitik. Memberi feedback yang positif dan kritis dapat bermanfaat bagi kedua belah pihak. Keragaman akan dimanifestasikan juga di sini, ada orang yang senang mendengarkan musik tetapi tidak suka bernyanyi atau memainkan alat musik, ada pula yang senang bercerita tetapi tidak suka mendengarkan cerita. Ada orang yang ingin menari tetapi tidak dapat karena menyandang kecacatan fisik, ada pula yang senang menari tetapi tidak dapat mendengar. Ada orang yang hanya senang mendengarkan dan menonton karena tuntutan mereka akan kualitas tidak terpenuhi bila turut sebagai peserta. Guru dan kegiatan budaya Jika kita sungguh-sungguh ingin menggunakan kegiatan budaya sebagai alat untuk pertumbuhan dan bukan hanya sebagai orientasi budaya atau aktivitas waktu luang atau rekreasi, kita harus menggunakan alat ini secara seksama dan dengan kesadaran. Oleh karena itu, guru dan pendidik guru, orang tua, artis dan amatir/sukarelawan harus diberikan penyuluhan tentang bagaimana dan mengapa kegiatan budaya itu sangat penting. Juga otoritas yang bertanggung jawab untuk membuat kurikulum dan mereka yang memberikan dana harus diberikan penyuluhan serupa. Penting untuk menyediakan cukup waktu dan pelatihan yang kompeten di lembaga pendidikan guru, sekolah dan taman kanak-kanak. Guru harus melibatkan dirinya ke dalam aktivitas tersebut dan mempunyai pengalaman pribadi sebelum mereka dapat benar-benar memahami dan mengerti bagaimana aktivitas ini “bekerja” dan bagaimana cara menerapkan aktivitas tersebut sebagai alat pendidikan (dan pendidikan kebutuhan khusus). Guru harus dapat memahami bagaimana mereka dapat menggunakan kegiatan budaya sebagai media untuk membantu anak mengembangkan rasa harga diri dan untuk memperkaya pengalaman mereka dan cakupan belajarnya, dan guru juga harus mengerti bagaimana kegiatan-kegiatan ini dapat membantu perkembangan proses menuju inklusi. Tidak cukup bagi guru untuk hanya memperoleh pemahaman melalui partisipasi saja. Guru juga harus belajar untuk menganalisis hakikat kegiatan tersebut dan bagaimana kegiatan ini dapat berdampak pada siswanya. Oleh karena itu, guru dan para profesional lainnya yang bekerja dengan orang yang berada pada masa pertumbuhan harus diberi kesempatan untuk membuat dirinya memenuhi syarat untuk menggunakan dan menerapkan kegiatan budaya untuk mempromosikan pertumbuhan individu siswa dan untuk mempromosikan proses inklusi. Ini bukan hanya sebatas belajar keterampilan dan metode. Guru harus memahami melalui pengalamannya bagaimana kegiatan tersebut dapat berpengaruh dan memicu
emosi/perasaan dan rasa harga diri serta kegembiraan karena aktif secara fisik, emosional, intelektual dan sosial.
Keunikan Kegiatan Budaya Kegiatan budaya seperti tari, musik, drama dan teater, ekspresi grafis, seni pahat, seni lukis dan kerajinan, bercerita, puisi dan fiksi, juga disebut kesenian. Kesemuanya itu unik dalam bentuk komunikasinya dan karenanya unik juga dalam caranya memunculkan makna, suasana dan perasaan. Keunikannya juga terletak pada bagaimana kita dapat mengekspresikan berbagai kualitas, kontras dan nuansa serta bagaimana ini semua, jika diinginkan, dilebur menjadi pengalaman dan pemahaman yang holistik. Kegiatan ini juga dapat mengetengahkan ciri dari masa lalu, ciri kontemporer, dan impian akan masa depan serta fantasi yang tidak realistis. Oleh karena itu, kegiatan budaya dapat: •
Memelihara warisan budaya
•
Menciptakan, membangkitkan, mengabstraksikan dan memberi struktur serta bentuk pada perasaan dan pikiran yang terintegrasi
•
Memadukan gerakan, ritme, bunyi dan bentuk
•
Memadukan gerakan atau bunyi di satu pihak dan keheningan di pihak lain
•
Memadukan ketegangan dan kelemasan
•
Memadukan ruang, waktu, kekuatan dan alur
•
Memadukan raga dan jiwa atau fisik dan spiritual
•
Memadukan sandiwara dan ritual
•
Memadukan kebenaran dan dongeng, fakta, fantasi dan impian
•
Memadukan kepentingan pribadi dan kepentingan umum atau masyarakat
Seni rupa di antaranya mempunyai dua karakter penting. Yang pertama adalah mengorganisasikan dan memberi struktur serta bentuk pada kesan, suasana hati, perasaan, suasana alam, pikiran, gagasan, dll. Misalnya, bila kita mengatur nada dengan urutan tertentu dan dengan ritme tertentu, ini dapat mengekspresikan sesuatu yang berbeda dibanding bila pengaturan itu dilakukan dalam bentuk lain. Pengaturan garis dan warna yang berbeda dapat memberi kesan yang berbeda pula. Lautan dan gurun pasir dapat mempunyai garis-garis yang sama, tetapi berbeda warnanya. Karakter kedua yang ingin saya sebutkan adalah bahwa melalui seni rupa kita dapat menyampaikan pesan dengan menggunakan fitur-fitur dari realita tetapi bukan menjiplak realita. Ini akan menuntut abstraksi dari realita. Alam, benda-benda dan ide-ide disederhanakan untuk menunjukkan fitur-fitur yang dapat memicu ingatan, emosi dan pikiran. Dengan cara ini, pesan itu akan mendapatkan makna yang universal. Melalui penggunaan ekstraksi, pengalaman dapat ditransformasikan dari pengalaman yang sangat pribadi menjadi pengalaman yang cenderung universal. Sebuah foto dapat merekam detil yang sebanyak mungkin selama teknologinya memungkinkan, sedangkan lukisan tidak dapat memberikan detil sebanyak itu. Kadang-
kadang ukuran, bentuk dan warna dapat dilebih-lebihkan atau sangat dikurangi. Sebuah mikrofon akan merekam realita, sedangkan seorang musisi dapat menurunkan atau menaikkan warna nada atau memperkeras volume, mempertinggi kecepatan, atau mempercepat ritme, semuanya tergantung pada apa yang ingin disampaikannya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bermacam-macam bentuk kegiatan budaya pada satu sisi mempunyai tren ekspresif yang umum, dan pada sisi lain masing-masing mempunyai media ekspresi yang unik yang menampilkan detil dan kualitas yang berbeda dan memberi ekspresi terhadap nuansa deskriptif dan emosi yang berlainan. Hal-hal tertentu hanya akan dapat diekspresikan melalui media tertentu. Pilihan media itu tidak hanya tergantung pada apa yang akan diekspresikan, tetapi juga pada siapa yang mengekspresikannya. Saya mungkin akan mengekspresikan sesuatu melalui tari, sedangkan anda mungkin ingin menggunakan warna dan garis. Kegiatan budaya yang berbeda-beda itu sama pentingnya. Jika kita mengalami atau terekspos pada banyak kegiatan seni, berbagai media akan memperkaya kita. Akan tetapi, tari, gerakan dan lagu mempunyai kepentingan yang khusus karena dilakukan melalui penggunaan tubuh kita sendiri. Kegiatan-kegiatan lainnya seperti drama, melukis, seni pahat, bermain alat musik, semuanya diekspresikan menggunakan tubuh kita. Kegiatan yang menggunakan bahasa verbal akan sering berhubungan dengan pengalaman tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, akan sangat penting bagi anak ataupun orang dewasa untuk “bergabung” dan mengembangkan “sensitivitas” tubuhnya, untuk mengembangkan kesadaran dan kontrol tubuh serta mengembangkan citra tubuh yang positif. Pengembangan citra tubuh yang positif hanya dapat dilakukan melalui interaksi gerakan tubuh yang berkaitan dengan kegiatan emosional, sosial, dan intelektual. Latihan keterampilan motorik saja tidak akan mengembangkan citra tubuh yang saya maksudkan. Mengapa kegiatan budaya Yang membuat kegiatan budaya begitu menarik adalah multiplisitas yang direpresentasikan olehnya. Kegiatan budaya dapat mencakup sejumlah besar minat dan bakat, dan dapat membantu membebaskan pikiran serta perasaan kita. Pada kenyataannya tidak ada yang “benar” dan “salah” bila melakukan kegiatan budaya. Tentu saja kita dapat memilih untuk mengikuti “aliran” tertentu yang menentukan tata laksana tari, musik, teater atau seni lukis pada gaya tertentu di mana terdapat yang“benar” dan yang “salah”. Tetapi kita tidak diharuskan mengikutinya, kita dapat mengikuti motivasi dan kreativitasnya sendiri. Di pihak lain, ada peraturan yang sangat ketat dalam hal mengeja kata-kata, berapa hasilnya kalau kita mengerjakan soal berhitung, atau bagaimana urutannya kalau kita mengutip peristiwa sejarah. Kegiatan budaya seyogyanya menjadi bagian kehidupan di rumah, masyarakat dan sekolah. Kegiatan budaya dapat dilakukan sebagai tujuan akhir atau sebagai alat untuk: •
Menyampaikan informasi
•
Berkomunikasi bila kata-kata tidak memadai atau tidak menyampaikan komunikasi sama sekali
•
Memelihara warisan budaya
•
Rehabilitasi dan terapi
•
Pendidikan, pendidikan kebutuhan khusus dan mempromosikan proses menuju inklusi.
Di bawah ini saya akan memfokuskan pada kegiatan budaya sebagai alat dalam pendidikan, termasuk alat promosi proses menuju inklusi, sedangkan aspek-aspek lainnya hanya akan dibahas sekilas. Saya juga akan memberi penekanan pada pentingnya kegiatan budaya untuk dipergunakan untuk membantu anak maupun orang dewasa yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan. (Lebih jauh tentang hambatan belajar dan perkembangan ada pada artikel tentang inklusi).
Kegiatan budaya dan informasi Informasi Kegiatan budaya dapat berfungsi sebagai media yang baik untuk menyebarluaskan informasi faktual. Yang lebih penting lagi adalah bahwa kegiatan budaya dapat memberikan pengalaman emosional sehingga informasi faktual dapat menjadi lebih bermakna. Buku-buku dan pamflet profesional biasanya akan memberikan informasi praktis dan teknis, sedangkan kegiatan budaya, jika dilakukan dengan baik, dapat menyampaikan pengalaman sosial serta emosional yang berkaitan dengan informasi yang diberikan. Ini benar adanya dalam kaitannya dengan kelompok minoritas manapun, yang tersisihkan karena perbedaan budaya, status sosial, jenis kelamin, warna kulit, usia, kecacatan atau kondisi-kondisi marginal lainnya. Lebih baik daripada penyampaian informasi faktual saja, kegiatan budaya dapat membantu mengembangkan pemahaman yang nyata, kesadaran dan empati, yang akan mengarah pada perubahan sikap. Selama bertahun-tahun orang telah berusaha untuk menyebarkan informasi tentang penyandang cacat dan keluarganya serta kebutuhan mereka. Buktinya adalah status penyandang cacat. Meskipun situasi sebagian orang yang menyandang kecacatan telah membaik, jalan yang harus ditempuh masih panjang. Akan tetapi, untuk mengembangkan hubungan timbal balik yang nyata, kita harus juga memberi orang yang menyandang kecacatan wawasan tentang pengalaman dan kebutuhan orang tanpa kecacatan. Apakah orang yang menyandang kecacatan berempati kepada orang tanpa kecacatan? Dapatkah kegiatan budaya membantu mereka mengembangkan pemahaman yang lebih baik? Jika informasi ingin sampai dan memberikan pengalaman kepada orang lain, maka informasi itu harus disajikan dengan baik. Oleh karena itu, akan sangat penting untuk mendorong semua artis untuk lebih terlibat dalam memberikan pengalaman kepada dan tentang anak dan orang dewasa yang mewakili “minoritas” ataupun “mayoritas”. Ini dapat dilakukan melalui tulisan, lukisan, permainan alat musik dan bernyanyi, tari, sandiwara, bercerita dan mendongeng. Di sini saya ingin menyebutkan Finn Carling, seorang novelis dan penulis essay Norwegia, yang menyandang Cerebral Palsy, yang melalui tulisan-tulisannya telah mempromosikan pemahaman dan wawasan kita tentang perjuangan anak agar dapat bermain, mendapatkan pengalaman dan belajar berjalan (Carling, 1976). Dia juga menulis tentang seseorang yang memperjuangkan martabatnya (Carling, 1988), dan dia memperingatkan kita tentang bagaimana seseorang dapat merasa terbuang atau
terabaikan bila hidup dalam masyarakat yang memandang segalanya dari sudut pandang orang yang tidak menyandang kecacatan (Carling, 1975). Teater Nasional penyandang Tunarungu, USA, mengkomunikasikan tidak hanya pengalaman teater sejati tetapi juga memberi kita gambaran tentang cara orang tunarungu mengatasi tantangan komunikasinya. Di samping itu, teater ini juga menyajikan kerentanan yang mungkin terjadi akibat ketunarunguan. Dengan caranya yang puitis, Barbro Sæterdal (1979) membawa kita, melalui koleksi puisinya, ke dalam pikiran, perasaan dan kekhawatiran seorang ibu yang mempunyai seorang anak tunagrahita berat. Tordis Ørjasæter (1976) membukakan pintu bagi orang untuk memahami kekhawatiran, kegembiraan dan kesedihan seorang ibu, ayah dan saudara-saudara dari seorang anak yang menyandang kecacatan berat . Video “Gayas Børn” (1998) menampilkan kilas pandang tentang perasaan, pikiran dan falsafah hidup lima orang dewasa dengan ketunadaksaan yang parah. Video tersebut juga menampilkan lukisan cat air yang dibuat oleh salah seorang dari kelima orang tersebut, yang menceritakan kepada kita perasaan dan pengalamannya melalui kata-kata dan lukisan. Akhirnya saya ingin menyebutkan lukisan seorang pria yang tuna grahita, yang tidak dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan kata-kata, tetapi dia dapat membuat lukisan indah yang membawa kita ke dunia pengalaman dan perasaannya yang kaya. Contoh-contoh di atas serta banyak contoh lainnya memberi kita – pembaca, pendengar dan pemirsa - kesempatan untuk memperoleh pengalaman kualitatif dan wawasan yang tidak dapat diperoleh hanya dari informasi profesional. Seni “bercerita” kepada kita melalui saluran verbal dan nonverbal. Karena sensitifitasnya dan karena caranya memberi bentuk kepada pengalaman, artis dapat menggetarkan dawai-dawai di dalam jiwa kita dan menjangkau serta mengaktifkan bagian-bagian dari pengalaman kita sendiri yang tidak dapat dijangkau dan diaktifkan oleh informasi biasa. Bila kata-kata tidak memadai atau tidak memuaskan sama sekali,
Informasi juga mempunyai aspek lain untuk menginformasikan dan mempersiapkan anak untuk pengalaman yang tidak dikenalnya. Melalui buku bergambar, misalnya, kita dapat mempersiapkan anak untuk pergi ke dokter gigi atau ke rumah sakit; kita dapat menjelaskan kepadanya bahwa nenek sakit dan dapat meninggal; atau mempersiapkannya untuk suatu kenyataan bahwa ibu tidak lama lagi harus pergi ke rumah sakit untuk melahirkan adik. Agar informasi semacam itu benar-benar dimengerti anak, harus disiapkan oleh orang yang mampu menjangkau pengertian anak – harus dilakukan oleh seorang artis! Kadang-kadang sulit memahami berbagai perasaan seperti sedih, marah, takut, gembira dan puas. Mungkin sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk itu. Namun, kata-kata yang dikombinasikan dengan komunikasi nonverbal melalui unsur-unsur seperti warna, bunyi, atau gerakan, dapat sangat membantu. Hal-hal di atas penting untuk semua anak (dan orang dewasa) tetapi bahkan lebih penting lagi bagi mereka yang berkesulitan memahami kata-kata.
Kegiatan budaya dan warisan budaya Seni memberikan ungkapan tentang warisan budaya kita. Warisan budaya merupakan akar kita; akar ini memberikan identitas dasar dan dengan identitas itu kita mempunyai rasa memiliki dan dimiliki serta rasa aman. Warisan budaya juga sangat berkaitan dengan bahasa ibu setempat. Warisan budaya merupakan dasar umum penting bagi semua orang dalam sebuah masyarakat. Berikut ini saya ingin menunjukkan multisiplitas kesempatan yang diberikan oleh seni bila dipergunakan dalam pendidikan dan dalam pendidikan kebutuhan khusus, tanpa memandang usia dan tingkat keberfungsian karena usia atau kecacatan. Penting untuk disebutkan di sini bahwa bila membicarakan tentang pendidikan, saya akan mengacu pada semua aspek pendidikan, yaitu aspek akademik, sosial emosional, dan aspek fisik dari proses belajar dan perkembangan.
Kegiatan budaya dalam rehabilitasi dan terapi Rehabilitasi dan terapi serta pendidikan mempunyai aspek-aspek yang berkaitan, yang kesemuanya saling terkait dan saling mempengaruhi (lihat ilustrasi no. 1). Rehabilitasi – memulihkan, mengkompensasi atau mengembalikan fungsi-fungsi yang pernah hilang – akan mempunyai dampak terapeutik dan mempermudah belajar. Terapi yang baik dapat mempermudah belajar dan rehabilitasi, dan pendidikan yang baik mempunyai konsekuensi terapeutik dan dapat menjadi alat untuk rehabilitasi.
Illustrasi 1: Kaitan antara pendidikan, rehabilitasi dan terapi
Pendidikan
Rehabilitasi
Terapi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, meskipun ada kaitan antara rehabilitasi, terapi dan pendidikan, terdapat pula perbedaan mendasar di antara ketiga bidang ini secara umum, dan khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan budaya. Terapi, dalam konteks ini psikoterapi, adalah yang paling menarik di antara ketiganya karena menyentuh bagian terdalam dari perasaan dan keadaan psikologis kita. Oleh karena itu para ahli terapi yang menggunakan kegiatan budaya membutuhkan pelatihan yang sangat baik dalam psikoterapi dan kegiatan budaya yang diterapkannya. Bidang ini tidak akan dibahas lebih
jauh dalam artikel ini. Saya hanya ingin menyebutkan terapi musik, terapi tari, psikodrama dan terapi seni sebagai jenis terapi yang paling mantap yang menggunakan kegiatan budaya. Sebagaimana disebutkan di atas, batas antara rehabilitasi, terapi dan pendidikan itu jelas. Pentingnya kegiatan budaya di dalam pendidikan bahkan lebih besar dibanding dalam rehabilitasi dan terapi. Dalam konteks ini kata pendidikan mencakup pendidikan, pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif. Saya ingin membagi tugas-tugas kegiatan budaya dalam pendidikan menjadi dua: •
Kegiatan budaya untuk kepentingannya sendiri yang menyampaikan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang seni rupa
•
Kegiatan budaya sebagai suatu alat dalam pendidikan
Kegiatan budaya untuk menyampaikan pengetahuan dan keterampilan Pelajaran tentang berbagai kegiatan budaya sering kali merupakan satu mata pelajaran tersendiri, satu mata pelajaran yang juga disebut “kesenian”, yang mencakup mata pelajaran seperti musik, tari, seni rupa (grafika dan seni pahat), drama, dll. Ada sekolah yang memberikan pengajaran dalam seni pentas yang meliputi pengembangan keterampilan pentas dan belajar membuat komposisi, koreografi, melukis, dll. Mata pelajaran tersebut kadang-kadang merupakan bagian dari kurikulum reguler dan/atau bagian dari kegiatan ekstra kurikuler. Kadang-kadang kesenian dikaitkan dengan peristiwa sejarah, tradisi budaya daerah (lihat juga Kegiatan Budaya sebagai warisan budaya), geografi, dll. Dengan demikian anak akan memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan yang akan memberikan kepuasan serta dipersiapkan untuk kegiatan waktu luang bila sudah dewasa atau bahkan diarahkan untuk memperoleh pekerjaan dalam bidang ini. Akan tetapi, ada anak yang tidak menunjukkan motivasi untuk terlibat dalam kegiatan ini, mereka lebih menyukai hiking, bermain bola, membaca atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam artikel ini saya ingin memfokuskan pada kegiatan budaya sebagai alat dalam pendidikan dan pendidikan kebutuhan khusus.
Kegiatan budaya sebagai suatu alat dalam pendidikan Untuk memahami nilai kegiatan budaya sebagai alat pendidikan, kita harus memperjelas pemahaman konsep-konsep dasar seperti: •
Pandangan dan pendekatan holistik
•
Kreativitas
•
Interaksi dan komunikasi.
Pandangan dan pendekatan holistik Bila bekerja dengan anak, kita bekerja dengan orang yang mempunyai pengalaman “masa lalu” atau “sejarah”. Pengalaman ini bersifat intelektual, sosial, emosional, fisik dan intelektual. Anak memperoleh pengalaman sebagian karena proses perkembangan alami dan rasa ingin tahu dan inisiatif yang tiada habisnya. Namun, anak juga mendapatkan pengalaman berkat lingkungannya. Pengalaman-pengalaman ini juga terkait dengan interaksi, komunikasi dan bahasa. Mengasuh dan mendidik anak memberi orang tua dan guru hak istimewa untuk memberi anak kesempatan untuk memperoleh pengalaman baru, mempersiapkan kondisi yang akan memberikannya kebebasan untuk mencari pengalamannya sendiri, serta mempersiapkannya untuk mendapatkan pengalaman baru di masa depan. Ini menuntut kita mempertimbangkan semua aspek perkembangan, baik aspek di dalam diri anak maupun aspek lingkungan. Ini mengharuskan kita melihat perkembangan anak dengan pendekatan ekologi atau holistik. Ilustrasi pada halaman berikut menunjukkan bahwa fungsi fisik, social, emosional, dan intelektual anak saling mempengaruhi dalam perkembangannya. Lingkungan fisik dan sosial pada saat yang bersamaan akan juga mempengaruhi perkembangannya. Lingkungan dekat bervariasi menurut tahap kehidupan seseorang. Lingkungan dekat tersebut mungkin adalah keluarga bagi anak bungsu, keluarga dan taman kanak-kanak bagi anak usia prasekolah, keluarga dan sekolah dan akhirnya keluarga dan tempat kerja. Dengan kata lain, lingkungan dekat itu adalah lingkungan di mana seseorang merupakan bagiannya dalam kehidupannya setiap hari (atau hampir setiap hari). Anak atau orang dewasa akan mempunyai pengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap lingkungan dekatnya jika lingkungan itu “sehat”. Kadar pengaruh ini bervariasi menurut dinamika komunikasi, kebiasaan dan tradisi seperti tingkat penghargaan yang diberikan kepada anak, pandangan yang dianut seseorang terhadap hak anak, demokrasi dan hubungan sosial di tempat kerja, dll. Lingkungan jauh – komunitas dan masyarakat umum – mencakup dinamika komunikasi, kebiasaan dan tradisi, hukum dan berbagai peraturan serta dampak media massa (koran, radio dan televisi). Di sini anak atau orang dewasa hanya mempunyai pengaruh tak langsung kecuali apabila dinamika demokrasi berjalan baik. Pengaruh tak langsung, antara lain, akan berkembang sebagai konsekuensi dari pengetahuan kita tentang anak dan tentang apa yang diperlukan agar orang dewasa dapat mengembangkan kualitas hidup yang pantas. Alam dan iklim, politik dan ekonomi global serta kebudayaan global akan juga berpengaruh pada perkembangan total anak. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan alam dan iklim yang sangat berbeda akan mengembangkan perilaku dengan kualitas yang berbeda pula. Orang tua dan guru menghadapi tantangan besar jika mereka percaya untuk Memberi kesempatan kepada anak untuk berkembang sebagai seorang yang unik, seseorang dengan haknya sendiri, bukan sebagai citra orang dewasa. Di samping itu anak juga harus berkembang sebagai orang yang penuh pengertian dan sensitif terhadap orang lain. Ini akan menuntut rasa empati, kreatifitas dan fleksibilitas yang tinggi dari orang tua dan guru.
Ilustrasi 2: Sebuah Pendekatan Holistik
alam
politik Lingkungan jauh
dan ekonomi
global
Lingkungan dekat
fisik
emosi
sosial
intelektual
Kebudayaan
global selama
iklim
berabad-abad
fis - fungsi fisik (motorik dan indera) sos - fungsi sosial emo - fungsi emosional int - fungsi intelektual
Kreatifitas Apakah yang dimaksud dengan kreatifitas itu? Dapatkah orang mengembangkan kreatifitas? Banyak penelitian telah dilakukan mengenai konsep ini dan banyak jawaban yang diperoleh, tergantung pada latar belakang profesional penelitinya. Penjelasan tentang konsep ini tergantung pada apakah penelitinya mempunyai latar belakang ilmu fisika, ilmu sosial atau seni rupa. Banyak ahli yang telah mendefinisikan kreatifitas, dan semua definisinya berbeda, sekurang-kurangnya dalam aspek-aspek tertentu. Saya masih menyukai definisi yang dikemukakan oleh peneliti Norwegia Gunvor Rand (19xx) meskipun sudah bertahuntahun berlalu sejak konsepnya itu pertama kali disajikan. Dia telah merangkum hasil pencariannya atas konsep kreatifitas itu sebagai berikut: Kreatifitas adalah proses di mana seorang individu, sebagai hasil dari kemampuan dan kesempatan pribadinya serta dalam interaksinya dengan lingkungannya, akan mencari produk baru dan/atau original yang memadai untuk situasi yang bersangkutan … Produk ini dapat bersifat konkret ataupun abstrak (Rand 1981:6).
Penting untuk disadari bahwa kreatifitas adalah sebuah proses. Ada dua jenis utama kreatifitas: kreatifitas intuitif dan kreatifitas analitik. Kreatifitas intuitif adalah jenis kreatifitas yang terjadi secara spontan melalui improvisasi dan tanpa prameditasi. Ini yang terjadi bila orang spontan berbuat sesuatu, misalnya menari, bernyanyi atau memainkan alat musik, atau apa pun yang tiba-tiba terpikir olehnya. Kreatifitas analitik adalah apa yang kita gunakan, bila kita merencanakan, mengulang dan merekonstruksi kreasi kita dalam kaitannya dengan tujuan yang telah kita tetapkan. Proses kreatif biasanya akan mengkombinasikan kreatifitas intuitif dan analitik.
Kreatifitas dan struktur
Selama bertahun-tahun telah berkembang mitos di negara-negara barat bahwa kreatifitas hampir sama artinya dengan kebebasan tanpa batas atau tanpa struktur sama sekali. Dengan menoleh ke belakang, kita akan dapat mengerti cara pikir seperti ini karena pengajaran seni rupa yang terlalu terstruktur dan sangat berorientasi pada keterampilan. Di masa lalu, kegiatan budaya juga terlalu terstruktur. Dalam kenyataannya kita telah mengalami bahwa sementara struktur yang berlebihan akan mencekik kreatifitas, sedangkan tidak adanya struktur dapat melumpuhkan kreatifitas. Dengan kata lain, agar kreatifitas muncul, kita memerlukan sebuah kerangka yang akan memungkinkan kreativitas berkembang. Struktur yang saya maksudkan di sini dapat berkaitan dengan isi (topik, cerita, peristiwa, dll), unsur-unsur struktur seperti pilihan ritme, durasi, kualitas gerakan, bentuk dan/atau warna. Dengan mendefinisikan unsur-unsur seperti ini, dan mengaitkan improvisasi dan eksperimentasi dengan unsur-unsur tersebut atau mencobakan selangkah demi selangkah berbagai kombinasi unsur, bagi banyak orang dapat memberikan struktur yang diperlukan agar daya kreatifnya itu dapat dikeluarkan. Di pihak lain, kita harus berhati-hati agar tidak terlalu banyak melakukan pembatasan sehingga akan menghambat kreativitas.
Kreatifitas dan lingkungan
Kutipan dari Gunvor Rand di atas menunjukkan satu isu penting. Dia memberikan pengertian bahwa kreatifitas bukan hanya suatu anugrah yang dimiliki sedikit orang yang memang sangat berbakat. Ini berarti bahwa kreatifitas dapat dikembangkan oleh setiap orang, tanpa memandang kemampuan atau tingkat perkembangannya, jika diberi kesempatan oleh lingkungannya. Dia juga mengemukakan bahwa kreatifitas dapat dipandang sebagai proses berkesinambungan yang terkait dengan titik awal masingmasing orang. Namun kita melihat ada beberapa keterbatasan pada anak yang lahir butatuli. Kita tidak tahu apakah keterbatasan ini terletak pada diri anak atau pada pengasuhnya yang tidak dapat menemukan “pintu” bagi kreatifitas anak itu.
Kreatifitas dan kehidupan sehari-hari
Kreatifitas juga harus dipandang sebagai kemampuan untuk mengatasi tantangan dan memecahkan masalah, baik yang bersifat konkret dan praktis maupun abstrak dan filosofis. Penting untuk dapat melihat permasalahan dalam arti yang seluas-luasnya dan dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Anak mungkin menggunakan seluruh energi dan kreatifitasnya untuk menghindari suatu kegiatan atau situasi yang menurut keyakinan orang tua atau guru baik dan menyenangkan bagi anak. Atau anak mungkin menggunakan energinya untuk menghindari hukuman. Dengan kata lain, anak dapat menggunakan energi kreatifnya untuk menghindari apa yang menurut pemikiran orang tua dan/atau guru merupakan hal yang terbaik bagi anak. Siapakah yang benar, anak atau orang tua/guru? Bila solusi sebuah masalah (yang dapat dipandang sebagai “produk”) itu “memadai untuk situasi yang bersangkutan” dan “original” bagi individu itu, hasilnya akan merupakan kreatifitas. Ini berarti bahwa tindakan yang sama yang dapat merupakan hasil dari proses kreatif seseorang mungkin bukan sebuah ungkapan kreatifitas bila dilakukan oleh individu lain. Kreatifitas dapat dimanifestasikan dalam bentuk yang konkrit atau abstrak, artinya produknya dapat berupa tindakan atau benda konkrit atau ungkapan pikiran dan perasaan. Kegiatan budaya atau juga disebut seni memberi kesempatan yang baik bagi anak (dan orang dewasa) untuk mengembangkan kreatifitasnya. Akan tetapi, menggunakan tanah liat atau krayon, alat musik atau gerakan tubuh itu belum tentu selalu mengembangkan kreatifitas. Yang penting adalah bagaimana kegiatan ini diterapkan, atau pendekatan dan metode apa yang dipergunakan dalam aktifitas ini sebagai alat untuk mengembangkan dan meningkatkan kreatifitas. Akan tetapi, metoda saja tidaklah cukup. Sensitifitas pengasuh atau guru terhadap ekspresi anak, perubahan suasana hati serta bakat untuk berinteraksi dan berkomunikasi merupakan dasar untuk membantu anak mengembangkan kreatifitasnya. Interaksi dan komunikasi Bagi semua anak, tanpa memandang tingkat perkembangannya dan jenis atau derajat kecacatannya, interaksi dan komunikasi merupakan fondasi penting untuk belajar dan berkembang. Perkembangan tidak terjadi secara vakum. Perkembangan terjadi secara
simultan dalam semua bidang perkembangan, dan bidang-bidang ini saling terkait dan saling mempengaruhi. Pengasuh (dan guru) yang sensitif dan responsif dan berempati sangat dibutuhkan. Jika interaksi dan komunikasi tidak terjalin dan berkembang secara alami selama awal masa kanak-kanak, kegiatan budaya dapat merupakan alat yang baik untuk itu. Konsep interaksi dan komunikasi sering dipergunakan tetapi mungkin diartikan secara berbeda-beda. Pada poin ini saya ingin menyajikan kedua konsep ini menurut pemahaman saya. Pemahaman ini telah berkembang sebagai hasil pengalaman saya bekerja dengan anak-anak yang menyandang kecacatan ganda di mana kurangnya atau buruknya interaksi dan komunikasi merupakan dua hambatan utama bagi mereka untuk belajar dan berkembang. Bekerja dengan anak-anak ini juga telah membuat saya sadar akan perlunya membedakan antara kedua konsep tersebut.
Interaksi
Interaksi adalah perhatian timbal balik antara dua orang (atau lebih) terhadap satu dengan lainnya atau terhadap suatu obyek atau orang ketiga. Mitra-mitra dalam interaksi ini memfokuskan perhatiannya pada sasaran yang sama (satu sama lainnya atau orang ketiga atau suatu obyek tertentu). Perhatian timbal balik ini sering kali direspon dengan isyarat, ujaran atau tindakan. Gerak isyarat dan ujaran ini setelah beberapa lama akan berkembang menjadi suatu dialog, ‘percakapan’, permainan bergiliran atau pertukaran antara “berbicara” dan mendengarkan. Ini dapat pula digambarkan sebagai inisiatif yang diambil dan reaksi yang diberikan oleh masing-masing mitra. Ini akan berkembang menjadi saling pengertian dan akhirnya ikatan kasih sayang. Pengalaman aksi dan reaksi ini akan mengembangkan kompentensi untuk memberikan perhatian, yang mencakup kemampuan untuk mengamati dan mendengarkan, dan merespon. Pengalaman-pengalaman ini lambat laun akan berkembang menjadi empati. (Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi atau perasaan atau hakikat pemahaman orang lain).
Komunikasi
Komunikasi artinya pertama-tama adalah berbagi. Kita berbagi dan saling bertukar minat, perasaan, pikiran, pendapat atau informasi dengan media rangkaian kode-kode, yang terbentuk sebagai sinyal dan simbol-simbol, yang dapat dimengerti dan dipergunakan oleh semua mitra komunikasi itu. Akan tetapi, kode-kode saja tidak cukup untuk mengembangkan komunikasi. Komunikasi adalah proses yang kompleks di dalam dan di antara dua mitra (atau lebih). Beberapa langkah yang terlibat dibangun selama proses interaksi – berbagai kemampuan seperti kemampuan untuk memberikan perhatian, menatap dan/atau mendengarkan, termotivasi dan mampu menafsirkan apa yang difahami, dan termotivasi untuk merespon. Kemampuan-kemampuan ini mulai berkembang selama proses-proses interaksi dan sebelum kode-kode disepakati bersama. Perkembangan komunikasi akan didorong oleh kebutuhan untuk berkomunikasi. Kebutuhan ini berkembang ketika bayi sadar bahwa inisiatifnya dapat membuat perubahan di dalam lingkungannya. Dengan kata lain, bayi secara bertahap sadar bahwa dia dapat mempengaruhi lingkungannya dan dapat memenuhi keinginannya.
Jika proses interaksi dan komunikasi belum dapat berlangsung, akan sangat baik bila ada alat untuk membantunya. Tari dan musik, gambar dan model serta bentuk-bentuk kegiatan budaya lainnya dapat menjadi alat yang efektif untuk membantu perkembangan interaksi dan komunikasi. Dalam kenyataan hidup, interaksi dan komunikasi saling terkait dan saling melengkapi. Kualitas interaksi dan komunikasi yang tinggi ditandai oleh: sensitivitas, perhatian, reaktivitas, spontanitas, toleransi, kemurahan hati, fleksibilitas, kreatifitas dan empati. Di dalam lingkungan sosial dan fisik yang cukup memuaskan, interaksi dan komunikasi biasanya akan terjalin dan terus-menerus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan yang alami. Akan tetapi, jika kondisi-kondisi seperti kecacatan, kesulitan emosional yang ekstrim serta kondisi lingkungan yang ekstrim seperti kelaparan, perang, pelecehan seksual dan kriminalitas lainnya terjadi, proses interaksi dan komunikasi itu mungkin tidak dapat terbina dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas bahkan dapat mengakibatkan anak-anak dan orang dewasa kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Jika pengasuh dan/atau guru ingin membantu anak agar membangun, membangun kembali dan mengembangkan interaksi dan komunikasi, mereka harus sensitif, penuh perhatian, reaktif, spontan, toleran, murah hati, fleksibel, kreatif dan empatik: mereka perlu terlibat. Perkembangan interaksi dan komunikasi merupakan dasar untuk belajar dan berkembang, dan khususnya sangat penting bila kita menginginkan anak mengembangkan atau memulihkan rasa harga diri.
Kegiatan budaya sebagai alat untuk interaksi dan komunikasi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kegiatan budaya dapat berfungsi sebagai sebuah kerangka kerja yang baik untuk membantu anak serta orang tua dan gurunya mendorong dan mengembangkan proses interaksi dan komunikasi, dan akibatnya akan memupuk rasa harga diri anak. Di satu pihak, kegiatan budaya dapat menciptakan kerangka kerja yang baik untuk memungkinkan adanya spontanitas yang akan memicu interaksi dan komunikasi. Di pihak lain, kegiatan ini dapat memberikan struktur yang diperlukan untuk melakukan interpretasi sehingga komunikasi dapat terjadi. Ini selanjutnya akan memungkinkan anak mempengaruhi kehidupan dan perkembangannya sendiri.
Penggunaan kegiatan budaya Bila orang tua dan guru bermaksud menerapkan kegiatan budaya untuk tujuan-tujuan pendidikan, mereka harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif tentang: •
Anak-anak
•
Hakikat kegiatan budaya yang ingin mereka pergunakan.
Pengetahuan tersebut harus meliputi:
•
Pengetahuan tentang keunikan kegiatan yang bersangkutan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakanya
•
Pengetahuan tentang proses perkembangan anak
•
Pengetahuan tentang pra-kondisi yang diperlukan untuk menggunakan suatu kegiatan. Apakah anak mengerti konsep-konsep yang dipergunakan dan memiliki kemampuan dan keterampilan (fisik dan kognitif) yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
•
Perasaan yang bagaimanakah yang dapat dipicu oleh kegiatan tersebut, dan bagaimanakah kita dapat memelihara perasaan ini?
Persyaratan-persyaratan yang dideskripsikan di atas lebih komprehensif dan dalam hal tertentu berbeda dari persyaratan yang diperlukan bila menerapkan kegiatan budaya dalam kegiatan waktu luang, sebagai kegiatan untuk acara-acara khusus dan perayaan atau sebagai kegiatan untuk mentransfer warisan budaya. Bila kegiatan budaya diterapkan sebagai alat, penting bagi orang tua dan guru untuk dapat: •
Mengerti minat dan potensi anak
•
Menganalisis kegiatan agar dapat memahami sejauh mana kegiatan yang dipilih dapat atau tidak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
•
Tahu cara memberikan tugas-tugas
•
Tahu cara menyeimbangkan kadar kebebasan dan spontanitas dalam kaitannya dengan kadar struktur dan perencanaan (lihat di atas: kreatifitas dan struktur).
Kita dapat menganalisis dan merencanakan kegiatan dengan tujuan mengembangkan fungsi fisik, sosial, emosional, dan/atau intelektual (lihat model di atas). Akan tetapi, kita juga dapat merencanakan dengan mengingat bahwa kegitan budaya dapat menjadi sumber dan media untuk: •
Merangsang kesan dan pengalaman
•
Memotivasi dan merangsang ekspresi
•
Memotivasi dan merangsang kemandirian dan aktualisasi diri
•
Membangkitkan, menstimulasi dan memenuhi kebutuhan sosial dan interaksi
•
Mempersiapkan dan memotivasi belajar pengetahuan dan berlatih keterampilan
•
Mengembangkan penilaian yang kritis, sikap dan wawasan.
Berikut ini saya hanya akan memberikan beberapa kata kunci untuk keenam kriteria di atas. Kesemua kriteria ini juga mencakup aspek-aspek fungsi fisik, sosial, emosi dan intelektual. Merangsang kesan dan pengalaman Pengalaman dan kesan diperlukan untuk proses belajar dan perkembangan. Mengingat dan belajar akan lebih mudah bila pengalaman-pengalamannya bermakna. Pengalaman
yang menarik akan memotivasi anak untuk mengeksplorasi dan mengambil langkahlangkah baru ke arah pengalaman baru sehingga memperkaya kualitas hidup anak. Kegiatan budaya memberikan kesempatan untuk mengalami melalui indera-indera serta pengalaman emosional dan kognitif. Jika dipergunakan secara sensitif dan fleksibel, kegiatan tersebut dapat memberi peluang bagi setiap orang untuk dapat aktif dengan caranya masing-masing (bergerak, mendengarkan, meraba, melihat, mencium dan mengecap). Dengan demikian setiap anak (atau orang dewasa) akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman sesuai dengan minat dan potensinya masing-masing, sehingga memicu pengalaman indera, emosi dan pemikiran yang senantiasa baru. Pengalaman tersebut meliputi: •
Tubuh kita sendiri, kesadaran tubuh, citra tubuh. Ini mencakup: ¾ Indera kinestetik ¾ Citra tubuh yang meliputi ¾ Batas-batas tubuh ¾ Besar dan ruang tubuh ¾ Pusat dan silang tubuh ¾ Fungsi tubuh ¾ Gerakan yang berkaitan dengan gravitasi, yang mencakup - Keseimbangan – jatuh - Berat badan dan daya gravitasi - Dasar pendukung - Daya dan kekuatan tubuh - Variasi gerakan tubuh - Penggunaan tubuh secara ekonomis ¾ Kualitas gerakan
•
Pengalaman indera” melihat – mendengar – meraba – mencium – mengecap – bergerak
•
Mahir (berhasil) – gagal
•
Kepemilikan – memberi – menerima
•
Wawasan tentang perasaan dan situasi orang lain –empati
•
Emosi (baik dan buruk, senang dan sedih dan perasaan agresif).
Pengalaman, baik ataupun buruk, akan memperkaya individu dan memperkaya masyarakat. Pengalaman merupakan sumber ekspresi dan keinginan untuk berbagi. Memotivasi dan merangsang ekspresi
Pengalaman sering memicu reaksi, perasaan dan pikiran, yang dapat memotivasi “komentar-komentar”. “Komentar-komentar” tersebut dapat diungkapkan melalui musik, tari, gambar dan model, membuat cerita baru atau drama. Kita harus mempunyai pengalaman agar merasa perlu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Melalui kesenian kita dapat mengekspresikan dan membentuk: •
Perasaan
•
Pikiran
•
Gagasan
•
Suasana hati, watak, humor
•
Pengertian
•
Kebutuhan
•
Kerinduan dan impian
Kemandirian dan aktualisasi diri Berpikir secara mandiri, membuat keputusan serta bertindak secara mandiri itu penting untuk rasa harga diri. Melalui kegiatan budaya, kita dapat “melatih” dan mengalami kemandirian dan aktualisasi diri. Kemandirian dan aktualisasi diri mungkin sulit dicapai dalam kehidupan praktis sehari-hari. Penyebabnya terletak pada sistem budaya dan tradisi. Seorang perempuan yang belum menikah sering kali tidak diperbolehkan tinggal di apartemen seorang diri. Seseorang tidak dapat bepergian sendiri karena berbagai alasan keamanan atau mungkin karena memiliki keterbatasan akibat kecacatan. Akan tetapi, tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menggunakan kegiatan budaya (termasuk drama) untuk mengalami kemandirian dan aktualisasi diri. Keterbatasan utamanya terletak pada kurangnya pendidik memahami pentingnya kemandirian dan aktualisasi diri. Akan tetapi, keterbatasan dapat juga terletak pada sistem (politik atau agama) yang tidak mendukung kemandirian. Kata-kata kunci yang terkait dengan kemandirian dan aktualisasi diri: •
Mengambil inisiatif (termasuk mengambil inisiatif untuk mengadakan kontak)
•
Mampu menolak kontak
•
Mampu mengekspresikan diri dan berkomunikasi
•
Membuat keputusan untuk diri sendiri dan untuk orang lain
•
Mempunyai pengaruh terhadap situasi diri sendiri
•
Kreatif dan menjadi diri sendiri menurut dasar pemikiran sendiri
•
Mengatur kegiatan sehari-hari.
Memenuhi dan membangkitkan kebutuhan sosial Banyak anak dan orang dewasa kesepian akibat berbagai keadaan. Pengalaman telah mengajari orang-orang tertentu bahwa hubungan sosial itu menyakitkan dan mereka
memilih untuk menghindarinya. Persahabatan sejati merupakan harta berharga yang tidak sempat dialami oleh banyak anak dan orang dewasa. Anak-anak yang telah dimobilisasi sebagai tentara, yang telah mendapat pelecehan seksual dan/atau yang hidup di jalanan serta anak-anak tertentu yang menyandang kecacatan dapat mengalami kesulitan dalam menjalin persahabatan sejati. Ada orang yang kehilangan dorongan untuk berteman atau bahkan juga untuk melakukan sesuatu bersama orang lain. Sebagai manusia kita mempunyai kebutuhan sosial. Oleh karena itu, penting untuk membangkitkan kebutuhan sosial dan memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sosial ini. Jika seseorang tidak dapat bicara bersama, mungkin dia dapat bernyanyi atau menari bersama. Kegiatan budaya merupakan alat yang baik dan dapat mempromosikan kebutuhan untuk: •
Bersama-sama dengan orang lain
•
Berinteraksi – kerjasama – memberi dan menerima – berkomunikasi
•
Berbagi
•
Bersenang-senang bersama dengan orang lain
•
Merasakan kedekatan – hubungan – merasa memiliki dan dimiliki
•
Menerima dan memberi perhatian– saling memberi perhatian– memberi dan menerima
•
Mengembangkan rasa percaya diri dan mempercayai orang lain
•
Pelatihan sosial
•
Mencapai kepuasan diri
•
Belajar aturan-aturan sosial
Belajar dan berlatih Menggunakan kegiatan budaya sebagai alat untuk belajar dan berlatih keterampilan tertentu akan membuat belajar semakin bermakna sehingga memberikan motivasi. Menggunakan kegiatan yang menyenangkan untuk melatih keterampilan motorik, ingatan, konsentrasi dan keterampilan dasar lainnya yang diperlukan akan menimbulkan motivasi sehingga lebih efektif daripada sekedar latihan. Bila menggunakan tari, musik dan drama, dan/atau seni rupa dan kerajinan, kita dapat menciptakan pengertian yang lebih baik, misalnya tentang konsep, kuantitas dan bilangan, atau peristiwa sejarah. Dengan menggunakan ritme dan gerakan, dan/atau seni rupa dan kerajinan, kita dapat mengembangkan kekuatan dan kontrol yang lebih baik atas lengan, tangan dan jarinya. Latihan ini mungkin diperlukan untuk mempersiapkan anak belajar menulis. Berikut ini adalah daftar bidang pemahaman dan keterampilan yang perlu diajarkan dan dilatihkan kepada anak. Bidang-bidang ini merupakan dasar bagi bidang-bidang pengetahun dan keterampilan lain dan akan memberikan suatu dasar untuk pembelajaran selanjutnya. •
Keterampilan dasar
¾ Perhatian dan kesadaran ¾ Konsentrasi – kesiagaan, perhatian –reaksi ¾ Meniru ¾ Keterampilan motorik ¾ Ingatan •
Keterampilan yang terkait dengan kemandirian dan swasembada
•
Kemampuan untuk sadar akan perasaan dan mengembangkan kontrol atas perasaan, artinya mengungkapkan perasaan secukupnya, bukan menekan perasaan.
•
Konsep: ¾ Ruang – arah – bentuk – jarak – ukuran ¾ Waktu ¾ Jumlah – bilangan ¾ Urutan – rangkaian ¾ Berat ¾ Tekstur – konsistensi – suhu
•
Mengembangkan kemampuan untuk ¾ Mengamati ¾ Meniru ¾ Mematuhi peraturan ¾ Memahami abstraksi – simbol ¾ Asosiasi dan fantasi ¾ Bahasa yang memanipulasi konsep, kata-kata dan kalimat.
Penilaian kritis, wawasan, sikap Penilaian kritis itu penting untuk perkembangan kemandirian dan harga diri. Penting bagi anak untuk belajar mengevaluasi situasi dan keadaan di sekelilingnya. Juga penting untuk dapat mengambil keputusan dan berkekuatan untuk tidak mengikuti mayoritas atau suatu tren. Menghindar dari obat-obat terlarang, boros, menyalahgunakan kepercayaan adalah beberapa contoh masalah yang harus dihadapi banyak keluarga. Melalui kegiatan budaya, anak dapat memperoleh kekuatan kepribadian, belajar berinteraksi dan mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Melalui kegiatan drama mereka mendapatkan pengalaman dan belajar tentang konsekuensi dari, misalnya, membelanjakan terlalu banyak uang untuk pakaian, senangnya berbagi dan bahayanya mengikuti gerombolan orang banyak.
Beberapa kata penutup tentang inklusi
Kegiatan budaya mencakup keragaman yang tiada akhir yang memberikan tidak hanya kesempatan untuk diferensiasi tetapi juga menambah pengayaan. Kegiatan budaya yang dipergunakan secara kreatif dan sensitif akan menyentuh pikiran dan perasaan lebih dalam daripada perkuliahan dan latihan. Ini membuat kegiatan budaya sebagai alat yang tepat dalam mendukung proses menuju inklusi. Inklusi merupakan salah satu agenda internasional dan banyak masyarakat menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan gagasan ini. Penggunaan kegiatan budaya secara lebih sadar dapat membantu mengawali serta mempertahankan proses menuju inklusi. Merupakan fenomena umum bahwa inklusi berlangsung tanpa informasi yang cukup dan tanpa didukung oleh staf yang memiliki latar belakang pendidikan yang tepat. Bahkan jika informasi dan pelatihan sudah diberikan, inklusi dapat menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan. Inklusi merupakan suatu tujuan yang penting tetapi menghadapkan banyak tantangan. Kegiatan budaya dengan karakteristiknya yang khas akan merupakan alat yang baik untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan yang sangat banyak yang dihadapkan oleh filosofi inklusi. (Lihat juga Skjørten 2001)
Akhirnya Mari kita buka pikiran kita terhadap bidang-bidang pembelajaran dan perkembangan yang tidak dapat dikuantifikasikan. Mari kita buka pikiran kita terhadap sumber-sumber dan kreatifitas yang terdapat di dalam diri setiap individu. Mari kita buka pikiran kita terhadap potensi yang dapat dikontribusikan oleh setiap orang untuk pengayaan masyarakat.
Daftar Pustaka Carling, Finn, 1975. Skapt I vårt bilde (Created in Our Image). Gyldendal Norsk Forlag A/S. Carling, Finn. 1976. I et rom i et hus i en have (In a Room in a House in a Garden). Gyldendal Norsk Forlag A/S Carling, Finn. 1988. Gjensyn fra en fremtid (Meeting from a Future). Gyldendal Norsk Forlag A/S Rand, Gunvor. 1981. Ulike teoretiske syn på kreativitet (Different Theoretical Views of Creativity). University of Oslo Sætersdal, Barbro. 1979. Foreldrepoesi (Parents’ Poetry). J.W. Cappelens Forlag AS Ørjasæter. Tordis. 1976. Boka om Dag Tore (The Book about my Son Dag Tore). J.W. Cappelens Forlag AS.