KEDUDUKAN HUKUM MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA Analysis of the Status Law of the Papuan People's Assembly (MRP) In the Act No. 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province
Habel Way, Melkias Hetharia dan Marthen Arie
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk 1) mengungkap dan menganalisis kedudukan hukum Majelis Rakyat Papua ditinjau dari Undang-Undang Otonomi Khusus dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004, dan 2) Mengungkap dan menganalisis implementasi tugas dan fungsi Majelis Rakyat Papua yang sesuai dengan kedudukan hukum ditinjau dan Undang-Undang Otonomi Khusus dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004. Adapun tipe penelitian ini adalah penelitian hukum Yuridis normatif, dan penelitian hukum yuridis sosiologis. Penelitian hukum yuridis normatif, adalah penelitian terhadap inventansasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum yang ada kaitannya dengan masalah penelitian. Sementara penelitian hukum yuridis sosiologis. Adalah berupaya untuk memperoleh data langsung dan lapangan yang berkaitan dengan kedudukan dan implementasi tugas dan fungsi Majelis Rakyat Papua sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004 di Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan hukum Majelis Rakyat Papua menurut konstruksi Undang Undang Otonomi Khusus ternyata tidak merupakan badan Legislatif dan juga bukan badan eksekutif. UndangUndang Otonomi Khusus mengkonstruksi kedudukan hukum Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi kultural. Tafsiran otentik representasi kultural adalah cerminan keterwakilan dan tiga pilar utama yakni pilar adat, pilar agama dan pilar perempuan. Akan tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua memiliki keterkaitan fungsional baik dengan badan eksekutif maupun badan Legislatif terutama berkaitan dengan motif perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua. Implementasi fungsi Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga pelindung hak-hak dasar orang asli Papua terkendala oleh dua hal utama yakni: kedudukan hukum Majelis Rakyat Papua yang ambivalen, dan produk hukum Majelis Rakyat Papua yang belum mempunyai kekuatan mengikat secara langsung. Kendala implementasi ini dikuatirkan mempengaruhi kedudukan Majelis Rakyat Papua secara internal dan menggoyahkan konsistensi pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Kata Kunci : Kedudukan Hukum Majelis Rakyat Papua Abstract This study aimed to 1) uncover and analyze the legal position MRP reviewed and the Law - Autonomy and PP-MRP Number 54 Year 2004, and 2) uncover and analyze the implementation of tasks and functions of MRP in accordance with the legal position reviewed and MRP-Autonomy Law and PPMRP Number 54 Year 2004. The type of research is legal research Juridical normative, juridical and sociological study of law. This study is normative legal research, is the study of positive law inventory, research on legal principles, the synchronization of law, legal history, comparative law, in connection with research problems. While sociological research juridical law. Is trying to acquire and field data directly related to the status and implementation of appropriate duties and functions of the MRP and PP Special Autonomy Law No. 54 of 2004 in Papua. The results showed that the legal status of MRP by construction of Law Autonomy was not a legislative body nor the executive branch. Law Autonomy construct the legal position of MRP as an institution (institutional) cultural representation. Commentaries authentic cultural representation is a reflection of the representation and 3 (three) main pillars namely traditional pillars, the pillars of religion and women's pillar. However, in the practice of governance in Papua Province MRP has good functional relationship with the executive and
1
legislative bodies concerned mainly with the motive of protection basic rights of Papuans. Implementation of MRP function as a protective institution the basic rights of Papuans is constrained by 2 (two) main points: (1) MRP legal position of ambivalent, and (2) MRP legal product that does not have binding force directly (directly of bindings enterforce .) Constraints affecting the implementation of this concern MRP position internally and shake consistency implementation of special autonomy in Papua Province. Keywords : Analysis of the Status Law of the Papuan People's Assembly
A. Latar Belakang Sejak berakhir kekuasaan Orde Baru pada 1998, pendekatan politik, ekonomi dan pembangunan yang sentralistik berubah menjadi pendekatan desentralistik. Perubahan ini tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Papua. Perubahan pendekatan dan kebijakan ternyata tidak otomatis dapat menyelesaikan masalah Papua. Banyak pihak di Jakarta dan Papua, meyakini bahwa Otonomi Khusus Papua merupakan format desentralisasi yang ideal. Bahkan, ada pula pihak yang menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua merupakan cara yang tepat untuk membangun rasa saling percaya (trust building) antara Jakarta dan Papua. Pemberian Otonomi Khusus kepada Papua pun tak luput dari pantauan pihak internasional, terutama untuk melihat sejauhmana Otonomi Khusus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Pemahaman terhadap keberhasilan dan kegagalan implementasi Otonomi Khusus Papua, perlu diingat kembali latar belakang lahirnya UU itu. Bagi orang Papua, terutama mereka yang mewakili Tim 100 dalam Dialog Nasional di Jakarta pada 1999, Otonomi Khusus Papua bukan merupakan jawaban atau tawaran politik yang sesuai dengan tuntutan mereka untuk merdeka. Meskipun demikian, substansi dari rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua disusun oleh orang Papua sebagai “jalan tengah” antara tuntutan merdeka di satu pihak dan tawaran pemekaran di pihak lain. Melalui Otonomi Khusus, Papua memiliki kewenangan yang luas, meliputi seluruh bidang pemerintahan (kecuali politik luar negeri, keamanan, moneter dan fiskal), keuangan, perekonomian, hak asasi manusia, kepolisian daerah Povinsi Papua, kekuasaan peradilan, keagamaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, kerja sama dan penyelesaian perselisihan. Setelah sewindu sejak ditetapkannya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada 2001, harus diakui bahwa telah banyak perubahan di Papua, seperti berbagai posisi politik yang dipegang oleh orang Papua asli, mulai dari jabatan gubernur, bupati dan camat di seluruh wilayah Papua. Untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Khusus pemerintah memberikan dana Otonomi Khusus yang sangat besar. Pada tahun 2008, dana Otonomi Khusus yang dikucurkan berjumlah lebih dari Rp 17 triliun, dan meningkat menjadi sekitar Rp 27 triliun pada tahun anggaran 2009. Ironisnya, keberhasilan Otonomi Khusus Papua hampir selalu hanya dikaitkan dengan pengucuran dana Otonomi Khusus yang melimpah. Salah satu kekhasan Otonomi Khusus Papua adalah pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Walaupun pembentukannya terlambat, keberadaan MRP akhirnya bisa diwujudkan berdasarkan Peraturan Presiden (PP) No. 54 Tahun 2004. Keterlambatan ini disebabkan adanya kekhawatiran Pemerintah bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) akan menjadi superbody untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka pelestarian dan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sebagai lembaga yang mencerminkan kultur orang asli Papua, sudah merupakan kewajiban bagi MRP untuk memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua dan melestarikan budaya asli Papua yang selama ini masih diabaikan oleh pemerintah. Dengan disahkannya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pada prinsipnya MRP merupakan jiwa dan roh dari UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS tersebut.
2
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dirumuskan pokok masalah penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh manakah kedudukan hukum MRP ditinjau dari UU-Otonomi Khusus dan PP- MRP Nomor 54 Tahun 2004? 2. Sejauh manakah implementasi tugas dan fungsi MRP yang sesuai dengan kedudukan hukum MRP ditinjau dari UU-Otonomi Khusus dan PP-MRP Nomor 54 Tahun 2004? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengungkap dan menganalisis kedudukan hukum MRP ditinjau dari UU-Otonomi Khusus dan PP-MRP Nomor 54 Tahun 2004. 2. Mengungkap dan menganalisis implementasi tugas dan fungsi MRP yang sesuai dengan kedudukan hukum MRP ditinjau dari UU-Otonomi Khusus dan PP-MRP Nomor 54 Tahun 2004. Latar Belakang Otonomi Khusus Papua Pandangan skeptis yang sering terungkap bahwa pemberian otonomi khusus Papua bukan sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian pemerintah Indonesia untuk membangun Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Indonesia (NKRI).1 Akan tetapi hal itu lebih sebagai tutup mulut rakyat Papua dalam menyuarakan Papua merdeka. Seperti diketahui bahwa selama sekian tahun terjadi banyak peristiwa terjadi di Tanah Papua ketidakadilan dalam berbagai aspek baik itu politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan birokrasi semua dikendalikan pemerintah pusat. Patut digaris bawahi Undang-undang .Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU-Otonomi Khusus) bahwa pemahaman terhadap pemicu akar konflik yang berkepanjangan di tanah Papua menjadi kunci dalam perumusan jalur keluar yang benar-benar dapat menjawab rasa keadilan masyarakat yang terlanjut menjadi korban puluhan tahun ulah kebijakan pemrintah yang tidak adil.2 Kelahiran UU-Otonomi Khusus tidak terlepas dari tiga masalah dasar yaitu: (1) ketidakadilan sejarah peralihan status politik tanah Papua kedalam NKRI. (2) ketidakadilan akibat pola pembangunan yang sentralistik dan eksploitif berupa perampasan hak-hak orang asli Papua atas sumber daya alam,peminggiran,diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di segala bidang pemabangunan. (3) ketidakadilan akibat pendekatan militeristik yang berujung pada konflik pelanggaran HAM di seluruh Tanah Papua. Apabila UU-Otonomi Khusus hendak dijadikan acuan dalam mewujudkan keadilan trasisional, bagi rakyat Papua.tentu penduduk asli Papua menerima otonomi secara antusias dan penuh semangat yang tinggi hanya untuk menjawab sebagian dari akar persoalan kedua dan ketiga. Otonomi khusus Papua sejatinya ditunjukan untuk mengatasi masalah-masalah kesenjangan antara daerah Papua dengan daerah lain di Indonesia. Selain itu undang-undang otonomi khusus merupakan bentuk kepedulian dan simpati pemerintah Indonesia kepada masyarakat Papua khususnya penduduk asli Papua ras Melanesia. Dengan prinsip itu UUOtonomi Khusus memperluas ruang gerak partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang pembangunan. Oleh karena itu otoinomi khusus di rancang agar orang Papua dapat mengelolah dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Papua. Berbicara soal rakyat Papua tidak terlepas deri empat faktor yaitu: hak budaya dan sejarah,hak ulayat,hak-hak dasar-dasar orang Papua kondisi riil pasca otonomi khusus Papua.kesan umum yang dapat di maknai setelah undang-undang otonomi khusus dialihkan di 1
Agus Sumule, Ed. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, PT Gramedia Jakarta, 2008, h. 31 2 Adriana Elisabeth, Dimensi Internasional Kasus Papua, Jurnal Penelitian Politik Vol. 3 No.1, 2006, Papua Menggugat, LIPI Press, Jakarta. 2006 h. 3
3
tanah Papua adalah bahwa kekuasan secara spesifik belum terlihat dalam berbagai bidang birokrasi,legislative dan eksekutif, pendidikan kesehatan,ekonomi serta bidang lain di kuasai oleh non Papua.. Apa yang menjadi substasi kekhususan UU-Otonomi Khusus adalah Majelis Rakyat Papua (selanjutnya disebut MRP) dibentuk untuk mengawasi dan mengontrol jalannya Otonomi Khusus dan mengaspirasikan kondisi riil rakyat Papua. Tujuan dibentuk MRP merupakan jawaban keinginan rakyat menuju kemandirian orang Papua sesuai dengan amanat UU-Otonomi Khusus. Majelis rakyat lahir dan diposisikan dalam UU-Otonomi Khusus merupakan salah satu organ vital bagi pelaksanaan otonomi Papua. Akan tetapi dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus lembaga ini ditempatkan sebagai institusi, yang dipandang sebagai biasa saja, bahkan cenderung hanya sebagai pelengkap tanpa fungsi dan peran yang jelas. Dengan otonomi khusus Papua akar persoalan dan permasalahan Papua yang berlarutlarut dapat segera di tmikakan jalan keluarnya. 3 Istilah”otonomi “ dalam otonomi khusus sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri atau rumah tangganya sendiri. Dengan demikian rakyat Papua mendapat kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar untuk berpemrintahan sendiri, mengatur, menegakan hukum,dan ketertitiban masyarakat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Papua. Otonomi khusus sebagai harapan bagi rakyat Papua adalah aspek pemerintahan dalam fungsi dan peran : meningkatkan kinerja-kinerja pemerintahan yang efektif dan efisien dengan memanjakan kemudahan dalam kehidupan masyarakat. Memajukan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui otonomi khusus pemberdayaan orang asli Papua. Menjalankan sistem desentralisasi serta otonomi dengan baik untuk memajukan pembangunan di Papua melalui otonomi khusus seperti daerah lain di Indonesia. Undang-undang otonomi khusus juga membuka kesempatan bagi pemerintah Papua untuk kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan serta menajemen daerah atau lokal dalam rangka mewujudkan good government, demokrasi dan civil society di Papua. Pemerintah Papua diberikan kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat melalui Otonomi Khusus untuk mengatur rumah tangga sendiri. Pemerintah di berikan kewenangan untuk membuat perdasus dan perdasi serta keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat asli Papua berdasarkan UU-Otonomi Khusus . Aspek pemerintahan lokal-kultural MRP yaitu sebagai lembaga representatif yang di bentuk untuk mengangkat dan mengaspirasikan kepentingan masyarakat Papua dengan semangat Otonomi Khusus. Harapan untuk mengkaji persoalan yang terjadi di kalangan masyarakat Papua, MRP memiliki kewenangan untuk mengontrol dan mengawasi jalannya otonomi khusus propinsi Papua. 4 Memiliki kewenangan untuk mengaspirasikan kondisi riil yang terjadi di kalangan masyarakat Papua dalam implementasi otonomi khusus mengusul dan menyampaikan keluhan masyarakat Papua kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur agar selanjutnya diplenokan. UU-Otonomi Khusus memberikan harapan untuk Papua, adalah bahwa kepuasan secara spesifik di berikan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangga dalam segala bidang yaitu: Birokrasi pemerintahan, institusi legislatif bidang pendidikan, Kesehatan, Perekonomian dan pemberdayaan potensi sumber daya alam Papua untuk sebasar – besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat Papua. Dari pandangan umum masyarakat melihat harapan Otonomi Khusus Papua hanya sebagai alat untuk memperbaiki kinerja pemerintah yang yang rusak yaitu melalui MRP suara rakyat dapat diakomodir ke lembaga legislatif. Ada kontrol langsung terhadap pemerintah, 3
Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Papua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua, Jayapura, 2005.. 4
Agus A. Alua, Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei – 04 Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura, 2002. h 13
4
yakni legislatif dan eksekutif dari MRP dalam pemberdayaan Otonomi Khusus, termasuk mengawasi jalannya pembangunan di Papua dalam pelbagai aspek. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah (1) Majelis Rakyat Papua, dan kelengkapan Majelis Rakyat Papua, (2) Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan kelengkapan DPRP, (3) Pemerintah Daerah Provinsi Papua. (4) Lembaga Masyarakat Adat Papua, dan Dewan Adat Papua di Jayapura. B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi alam penelitian ini adalah semua institusi yang berkaitan dengan kedudukan dan penyelenggaraan fungsi dan peran MRP, yakni MRP, DPRP, Pemda Papua, LMA Papua, dan DAP Papua,. Sedangkan sampel dari populasi adalah diambil 3 informan kunci dan 3 responden dari masing-masing institusi populasi dengan teknik purposive sampling, atau sampel yang diambil secara sengaja dengan berdasarkan kriteria tertentu. D. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini diarahkan pada pengumpulan jenis dan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari lapangan, berupa hasil pencatatan pengamatan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum dan kepustakaan hukum. E. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara atau interview, yaitu proses tanya jawab secara lisan yakni dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Di dalam proses interview terdapat 2 (dua) pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau penanya atau disebut interviewer sedang pihak yang lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan atau responden.5 Pada penelitian yang dilakukan ini, peneliti sebagai interviewer dan responden adalah kepala kampung dan kepala lembaga adat atau kepala pemerintahan adat. b. Studi kepustakaan, yaitu mendapatkan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari peraturan perundang-undangan, teoriteori atau tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat.6 c. Studi dokumentasi, yaitu studi terhadap keputusan MRP dan kebijakan MRP yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan, fungsi pembangunan dan fungsi pembinaan masyarakat. F. Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan dianilisis dengan tahapan: (1) melakukan editing, yaitu menelusuri kemungkinan pertanyaan yang belum terjawab, atau jawaban yang keliru; (2) melakukan coding, yaitu mengklasifikasikan jawaban responden menurut jenis dan kategori jawaban; (3) melakukan deskripsi data dengan teknik analisis kualitatif, yaitu melakukan deskripsi tentang hasil wawancara, dan hasil studi dokumentasi disesuaikan dengan masalah yang menjadi fokus penelitian.
5 6
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h.15.
Soerjono Soekanto, Op.Cit. h. 121
5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Majelis Rakyat Papua Majelis Rakyat Papua (selanjutnya disebut MRP) hadir berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua (selanjutnya disebut UU-Otonomi Khusus). Pasal 1 huruf g UU-Otonomi Khusus mendefinisikan MRP adalah “representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama”. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UU-Otonomi Khusus menyatakan: Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Secara kelembagaan, eksistensi (dibentuk) MRP berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU-Otonomi Khusus tersebut di atas dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua. Dengan perkataan lain tidak diperlukan MRP, manakala tidak terjadi penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Berdasarkan Pasal 1 huruf g, dan Pasal 5 ayat (2) UU-Otonomi Khusus, maka bentuk kelembagaan MRP adalah lembaga “representasi kultural orang asli Papua”. Maksud dari representasi kultural orang asli Papua dapat tercermin dari keanggotaan MRP. Keanggotaan MRP menurut Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua (PP-MRP) diatur sebagai berikut : (1) Anggota MRP terdiri dari orang-orang asli Papua yang berasal dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil- wakil perempuan di provinsi . (2) Anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnya tidak lebih dari ¾ (tiga perempat) jumlah anggota DPRP. (3) Komposisi anggota MRP terdiri dari: a. Jumlah Anggota Wakil Adat sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP; b. Jumlah Anggota Wakil Perempuan sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP; c. Jumlah Anggota Wakil Agama sebanyak 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota MRP dengan komposisi masing-masing Wakil Agama yang ditetapkan secara proporsional Keanggotaan MRP yang merupakan representasi kultural orang asli Papua berdasarkan Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PP-MRP, terdiri dari (1) wakil-wakil adat, (2) wakil-wakil agama, dan (3) wakil- wakil perempuan. Jumlah ketiga perwakilan adalah masing-masing sepertiga dari jumlah anggota MRP. Kehadiran UU-Otonomi Khusus dengan MRP, memberi rona tersendiri, sebab terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua. Pemerintahan yang semula diselenggarakan atas duet pemerintah dan DPRD kini berubah menjadi trio alias "Three in One". Artinya, keputusan terhadap penyelenggaraan pembangunan diatur oleh tiga komponen utama, yakni Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Fungsi penting MRP adalah bertugas memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Melihat penting dan betapa sentral MRP dalam Otonomi Khusus bagi Papua inilah yang mungkin membuat pemerintah sangat hati-hati, kalau tidak boleh dikatakan lamban dalam membuat PP tersebut. Sebab draf awal usulan dari pemprov dan masyarakat Papua tentang MRP
6
ini telah disampaikan ke pemerintah pada Juli lalu. Sudah selesai dibahas di Kantor Mendagri dan sekarang menunggu pembahasan di Kantor Menko Polkam. "Tentang MRP sudah selesai dibahas di tingkat Depdagri dan akan dibahas di tingkat Polkam untuk selanjutnya dibahas bersama Presiden Megawati Soekarnoputri karena itu PP," kata Mendagri di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11). Timbul pertanyaan, mengapa pembahasan MRP ini begitu lama. Tentu akan menjadi tidak arif kalau Menko Polkam tidak tanggap betapa seriusnya masalah MRP ini dalam Otonomi Khusus Papua Menyoal kedudukan MRP adalah penting, karena sejak kelahirannya MRP tidak diposisikan sebagai lembaga eksekutif, atau lembaga legislatif, tetapi diposisikan sebagai lembaga representasi (keterwakilan) kultural orang asli Papua. Sementara itu MRP secara lengkap memiliki Tata Tertib MRP dan Alat Kelengkapan MRP. Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan (3) PP-MRP mengatur tata tertib MRP dengan menyatakan bahwa (1) Peraturan Tata Tertib merupakan landasan pelaksanaan hak dan kewajiban MRP. (2) Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kelengkapan (3) MRP, pelaksanaan tugas dan wewenang, pelaksanaan hak dan kewajiban, dan rapatrapatMRP. (4) Peraturan Tata Tertib ditetapkan dengan Keputusan MRP berpedoman pada PeraturanPemerintah ini B. Implementasi Fungsi dan Kewenangan MRP Beberapa implementasi fungsi MRP diungkap berikut ini. 1. MRP merupakan Lokomotif Undang-Undang Otonomi Khusus Papua . Roh dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah Majelis Rakyat Papua, semua itu kita bisa simak dalam produk UU milik rakyat Papua yang diberikan Oleh Indonesia. Sebagai roh mestinya dialah yang memberi hidup dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua agar bergerak dan berjalan. Artinya tanpa MRP Undang-Undang Otonomi Khusus adalah suatu yang tak berarti atau mati. Kita bisa simak dalam pasal 5 ayat (2) UndangUndang Otonomi Khusus Papua yang menyebutkan "dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representatif kultural orang asli Papua memiliki kewenangan tertentu dalam perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama" itulah dasar dan perinsip utama pelaksanaan otonomi khusus di Papua berdasarkan UU No.21/2001sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari fungsi, tugas dan peran MRP. Sudah sewajarnya sebagai roh dari penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua seharusnya MRP merupakan pengerak utama untuk menjaga jiwa semangat implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, sehingga tetap menjaga dan mengutamakan perjuangan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua dalam aspek-aspek khidupan sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Namun dalam kenyataannya sangat dilematis dan tidak berdaya, antara maju atau 2. MRP Lembaga Kontrol Eksekutif dan Legislatif Berkaitan dengan posisi atau kedudukan MRP. Lemahnya posisi MRP saat ini, merupakan sebuah kesalahan awal yang tidak dikontrol terutama dalam pembentukan PP.No. 54/2004 tentang MRP. Ketakutan yang berlebihan dari pemerintah pusat terhadap MRP yang diwaspada sebagai lembaga supper body bagi perjuangan kemerdekaan Papua, telah menyebabkan dikebirinya tugas dan fungsi MRP yang seharusnya dimainkan oleh lembaga ini dalam implmentasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Hal inipun sebenarnya sudah terlihat sejak awal dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sendiri. Pemberian tugas dan wewenang serta hak MRP yang diatur adalah tugas, wewenang dan hak yang diatur disana adalah tugas dan wewenang serta hak MRP yang diatur disana adalah tugas dan hak semu dan penuh dengan pertentangan. Lihat saja apa yang terjadi sekarang, MRP tidak dapat berbuat banyak soal pembentukan Perdasus dan Perdasi. Apakah semua investasi nasional atau internasional yang masuk ke Papua melalui Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota yang
7
langsung ke masyarakat dikampung, sudah melibatkan MRP sebagai lembaga representasi masyarakat Papua untuk memberikan pertimbangannya kepada Pemerintah Provinsi Papua. Melihat peran dan fungsinya dalam PP No.54/2004, disadari atau tidak, lembaga sebesar dan sepenting, MRP dalam implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua benarbenar tidak berdaya. Kalau boleh berpendapat, maka boleh dikatakan fungsi dan peran MRP yang ada saat ini tidak lebih merupakan kolaborasi dari utusan masyarakat adat, utusan para agamawan dan utusan perempuan yang ditempatkan disana untuk mengurus masalah mereka masing-masing. Artinya yang penting mereka terwakili. Hitung-hitung sebagai pelengkap Undang-Undang Otonomi Khusus supaya bisa terus berjalan tanpa diberikan peran yang sesungguhnya.Bagaimana mau berperan sesungguhnya kalau peran itu sejak awal sudah dipalang oleh aturan yang dibuat berdasarkan ketakutan-ketakutan dari Pemerintah dan Pemerintah daerah. 3. Fungs MRP Menjawab Kondisi Riil Kesejahteraan Papua Kondisi riil pra dan pasca kelahiran Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Ekonomi Rakyat Papua memang masih memprihatinkan. Padahal pada sisi lainnya masalah ekonomi (kesejahteraan) adalah salah satu hak rakyat Papua. Persoalan ekonomi memang sejak awal harus dipandang sebagai persoalan mendasar yang menyebabkan rakyat Papua ingin memisahkan dari NKRI. Akibat ketimpangan menjadi salah satu alasan selain sejumlah alasan mendasar lain yang di utarakan terdahulu. Disisi lain salah satu butir deklarasi umum hak asasi manusia PBB, bahwa setiap orang memiliki hak atas pengembangan ekonomi. Diketahui secara umum bahwa tingkat kehidupan ekonomi rakyat Papua jauh tertinggal dibanding masyarakat non Papua yang datang dari luar Papua diatas kelimpahan kekayaan alam. Disana rakyat pribumi menjadi penonton setia diatas tanah perdikannya sendiri. Kebijakan Pemerintah pusat yang memberikan otonomi Khusus kepada pemerintah Papua untuk memperbaiki ketertinggalan, keterbelakangan, yang lazim disebut kemiskinan yang dirasakan oleh rakyat Papua sejak lama. Untuk itu, implementasi Otonomi Khusus bagi rakyat Papua telah ditetapkan program perioritas pembangunan daerah yang meliputi; pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. Jika ditinjau dari peredaran keuangan di tanah Papua seiring dengan Otonomi Khusus cukup besar, dana yang bersumber dari beberapa pos itu mencapai persentasi yang besar, namun kondisi rakyat tetap saja seperti dulu. 4. Fungsi MRP Memperjuangkan Kesehatan Papua Kesehatan Rakyat Papua seharusnya mendapat perhatian serius dari MRP, dan selanjutnya MRP dapat berfungsi di dalamnya. Seperti diketahui bahwa bidang kesehatan juga seakan mengalami nasib sama dengan bidang lain. Terlihat di bidang pelayanan kesehatan mengalami kemuduran, sementara dana Otonomi Khusus beredar berkelimpahan di tanah ini. Persoalan yang hingga kini belum teratasi adalah masalah Penyakit HIV/AIDS. Data tahun 2008 tercatat 200.000.000. orang meninggal karena terjangkit penyakit yang mematikan itu. Pelayanan kesehatan di seluruh tanah baik di tingkat Puskesmas Pembantu hingga Rumah Sakit daerah yang tersebar di seluruh tanah tidak maksimal menanggani persoalan kesehatan rakyat. Berbagai penyakit terjangkit, terutama di daerah-daerah terisolir belum menikmati pelayanan kesehatan sesuai harapan rakyat. Yang sangat memperihatinkan lagi bahwa pasien orang yang datang di rumah sakit ataupun di puskemas distigma karena mabuk (miras). Sejumlah contoh soal yang dapat diangkat sebagai data pendukung adalah masalah penjualan obat-obatan yang di jual di seluruh apotik terkandung kimia mematikan. Sudah 7 (tujuh) Tahun rakyat Papua ada dalam bingkai Otonomi Khusus Otonomi Khusus diberikan Pemerintah Indonesia dengan tujuan memperbaiki ekonomi rakyat. Walaupun demikian kondisi rakyat sangat menyedihkan. Berikut ini sepenggal untaian seorang mama di emperan tokoh sambil menjajahkan hasil pertaniannya. Mungkin begini hidup kami rakyat Papua. Katanya sejak 2001 ada pemberian dana besar kepada rakyat Papua untuk memperbaiki ekonomi rakyat Papua. Mereka yang berjualan di emperan tokoh, dengan mengalaskan dedaunan, dan beratapkan langit. Tanpa perduli dengan teriknya matahari dan derasnya air hujan.
8
5. Fungsi MRP di Bidang Sosial Kemasyarakatan Kehidupan Sosial Rakyat Papua memang mesti mendapat perhatian MRP. Persoalan sosial yang sangat terasa di seluruh tanah Papua adalah akibat pemekaran daerah otonomi diseluruh tanah Papua. Pemekaran menciptakan gejolak sosial yang sungguh sangat membawah rakyat pada keraguan hidup. Berbagai tawaran hidup instans mengubah tatanan kehidupan sosial. Pemerintah kabupaten/kota di daerah pemekaran sedang menciptakan konflik yang sangat signifikan dalam kehidupan rakyat. Pemerintah sedang memanjakan rakyat dengan memberikan kemudahan dalam hidup. Disana tercipta peluang proposalisasi dalam kehidupannya. Rakyat diminta untuk membuat proposal bantuan sosial sementara rakyat tidak memiliki pola pertanian, perikanan, peternakan, dan pengembangan ekonomi. Namun mereka (rakyat) selalu mengajukan proposal. Akibat pola proposalisasi ini menciptakan arus urbanisasi yang besar-besaran di seluruh tanah Papua. Yang berimbas pada kaum laki-laki sedang berada di kota dibanding tinggal di kampung terjadinya kekosangan kaum laki-laki di kampung-kampung. Terlihat kaum mamamama hidup bagaikan seorang janda bersama anak-anaknya.
PENUTUP Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dalam bagian ini dikemukakan simpulan dan saran. A. Simpulan 1. Kedudukan hukum MRP menurut konstruksi UU-Otonomi Khusus ternyata tidak merupakan badan legislatif dan juga bukan badan eksekutif. UU-Otonomi Khusus mengkonstruksi kedudukan hukum MRP sebagai lembaga (institusi) representasi kultural. Tafsiran otentik representasi kultural adalah cerminan keterwakilan dari 3 (tiga) pilar utama yakni pilar adat, pilar agama dan pilar perempuan. Akan tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua MRP memiliki keterkaitan fungsional baik dengan badan eksekutif maupun badan legislatif terutama berkaitan dengan motif perlidungan hak-hak dasar orang asli Papua. 2. Implementasi fungsi MRP sebagai lembaga pelindung hak-hak dasar orang asli Papua terkendala oleh 2 (dua) hal utama yakni (1) kedudukan hukum MRP yang ambivalen, dan (2) produk hukum MRP yang belum mempunyai kekuatan mengikat secara langsung (directly of binding enterforce). Kendala implementasi ini dikuatirkan mempengaruhi kedudukan MRP secara internal dan menggoyahkan konsistensi pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. B. Saran 1. Kedudukan hukum MRP perlu dipertegas dengan mengamandemen pasal-pasal terkait dalam UU-Otonomi Khusus dan peninjauan kembali beberapa aturan organik yang mengatur kedudukan hukum MRP. Akan tetapi amandemen dan review tersebut mesti tetap direlevansikan dengan fungsi utamanya sebagai pelindung hak-hak dasar Orang asli Papua. 2. Implementasi fungsi MRP sebagai pelindung hak-hak Orang asli Papua harus dielaborasi dan dicumbukan dengan fungsi-fungsi badan eksekutif dan legislatif baik pada level pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota. Elaborasi dan cumbuan dimaksud dapat dilakukan dengan memperbaiki suprastruktur dan infrastruktur politik secara menyeluruh di Provinsi Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana Elisabeth, Dimensi Internasional Kasus Papua, Jurnal Penelitian Politik Vol. 3 No.1, 2006, Papua Menggugat, LIPI Press, Jakarta. 2006
9
Agus A. Alua, Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei – 04 Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura, 2002. Agus Sumule, Ed. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, PT Gramedia Jakarta, 2008. Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Papua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua, Jayapura, 2005. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, PustakaNet http://www.google.com,id/ Sistem Sentralisasi dan Desentralisasi atau diakses dapat juga dari http://www.sukabumi.com,id./ Yadi Erlangga, diakses 13 Januari 2011 dari http://www. sukabumikota.go. id/artikel Desentralisasi Vs. Good Governance.
10