1
Laporan Hasil Penelitian Individu
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Penelitian ini dibiayai oleh DIPA IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013
Peneliti
H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) RADEN INTAN LAMPUNG 2013
2
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh : H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
ABSTRAK Anak merupakan amanat sekeligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak juga merupakan bagian dari generasi penerus, cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Selanjutnya anak dikatagorikan sah apabila anak yang lahir itu berasal dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga apabila anak yang lahir itu bukan berasal dari ikatan perkawinan yang sah, maka dikategorikan sebagai anak yang tidak sah atau anak luar kawin. Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dalam pandangan hukum keluarga merupakan persoalan yang rumit dan sensitif, karena segi-segi yang dibahas meliputi masalahmasalah yang dianggap tabu dan aib bagi suatu keluarga, namun terlepas dari kerumitan itu hukum melihat persoalan kedudukan anak luar kawin merupakan problematika yang perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat dampak dari persoalan tersebut bukan hanya berhubungan dengan masalah hukum saja, tetapi juga dapat menimbulkan masalahmasalah sosial yang menganggu kelangsungan hidup anak itu sendiri.
3
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kedudukan anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam. Hasil penelitian ini secara teoritis berguna sebagai bahan kajian dalam pengembangan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan anak luar kawin. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Undang-Undang dan literatur-literatur hukum Islam yang berkaitan dengan anak luar kawin. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Hasil kajian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh jawaban bahwa : anak yang lahir bukan dari perkawinan yang sah (anak luar kawin) mereka tidak bersalah, bebas cela, bebas penghinaan dan hukuman serta mendapatkan perlindungan. Anak luar kawin dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, diantaranya anak zina, anak sumbang, anak mula’anah dan anak subhat. Menurut Undang-Undang perkawinan dan hukum Islam bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya.
4
KEMENTRIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
PUSAT PENELITIAN
Alamat : Jl. Letkol H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung 35131 Telp. (0721) 703289
KATA SAMBUTAN Assalamu'alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013, dilaksanakan di bawah koordinasi Pusat Penelitian IAIN Raden Intan Lampung. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilaksanakan oleh Fakultas di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung dengan mendapat bantuan dari dana Rencana Kerja Tahunan (RKT) Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013. Kami menyambut baik hasil Penelitian individu yang dilaksanakan oleh sdr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag, MH dengan judul “Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hukum Islam” berdasarkan SK Rektor IAIN Raden Intan Lampung Nomor : 251 Tahun 2013 tanggal 08 Oktober 2013. Kami berharap semoga hasil penelitian ini dapat meningkatkan mutu hasil penelitian, menambah khazanah ilmu keislaman, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia. Wdssalamu'alaikum Wr. Wb. Bandar Lampung, Desember 2013 A.n. Ketua LP2M Kepala P2M,
Dr. M. Sidi Ritauddin, M.Ag. NIP. 19650510 1992 03 003 5
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji dan syukur kami persembahkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian dengan judul “ Kedudukan Anak luar Kawin dalam Perspektif hukum Islam “. Penelitian merupakan bagian dari melestarikan tradisi keilmuan Islam dalam tataran tekstual dan kontekstual, sehingga mutu hasil penelitian diharapkan mampu memperkaya teori-teori sains dalam Islam sekaligus pengembangannya dalam realitas kehidupan sosial. Penelitian yang telah diselesaikan tersebut kiranya mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat dan kemajuan peradaban yang berbasis nilai Islam. Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan berbagai pihak, khususnya Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Lampung. Kami berharap semoga laporan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan keilmuan dan berguna bagi pembangunan. Kami juga berharap mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bagi pengambil kebijakan dalam rencana program pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat berbasis hasil riset ilmu-ilmu Islam yang multidisipliner. Demikian semoga hasil penelitian ini dapat terealisir sebagai amal ibadah, memperkaya keilmuan Islam serta bermanfaat bagi pembangunan dan masyarakat meskipun masih ada kekurangannya. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandar Lampung, Desember 2013 Peneliti, H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
6
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................... Abstrak .............................................................................................. Sambutan Kepala P2M ...................................................................... Kata Pengantar .................................................................................. Daftar Isi ............................................................................................ BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E.
BAB II
i ii iv v vi
Latar Belakang ....................................................... Rumusan Masalah .................................................. Tujuan Penelitian.................................................... Kegunaan Penelitian ............................................... Metode Penelitian ..................................................
1 4 4 5 5
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK A. Pengertian Anak ..................................................... B. Macam-Macam Anak Berdasarkan Status dan Kedudukannya di Hadapan Hukum ....................... C. Anak Luar Kawin Dalam Sudut Pandang Sosiologis ............................................................... D. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Keluarga Administrasi............................... E. Anak Luar Kependudukan dalam Hukum ............. F. Hubungan Antara Kedudukan Anak Dengan Lembaga Perkawinan .............................................
8 17 30 37 42 48
7
BAB III
KEDUDUKAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN A. Lembaga Perkawinan Hukum Dan Budaya Dalam Perspektif Hukum Budaya .......................... B. Ruang Lingkup Pengaturan UU Perkawinan .......... C. Pengertian Anak Sah Dalam UU Perkawinan ........ D. Kewajiban Pencatatan Perkawinan dan Akibat Hukumnya menurut UU Perkawinan...................... E. Pengaturan Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang Perkawinan .................................. F. Latar Belakang Timbulnya Anak Luar Kawin ......
59 62 65 68 72 77
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perkawinan dalam Agama Islam ............................ 82 B. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam............. 87 C. Hukum Bagi Seseorang Untuk Melangsungkan Perkawinan ............................................................. 94 D. Konsepsi Zina dalam Hukum Islam ....................... 97 E. Penentuan Nasab Aanak dalam Hukum Islam........ 107 F. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Persepektif Hukum Islam .......................................................... 113 G. Lembaga Pengakuan Anak dalam Hukum Islam.... 119
BAB V
KESIMPULAN A. Kesimpulan ............................................................. 124 B. Saran ....................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA
8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, baik dari kalangan akademisi, praktisi maupun para pemerhati hukum di Indonesia. Isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
tentang
Perkawinan
(Undang-Undang
Perkawinan)
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan isi Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dirubah menjadi “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya1. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang anak luar kawin tersebut dilatar belakangi oleh adanya permohonan dari Aisyah Mochtar alias Machica Binti Mochtar Ibrahim (Pemohon I) dan Muhammad Iqbal 1
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Anak luar kawin, h. 37
9
Ramadhan Bin Moerdiono (Pemohon II) yang di ajukan kepada Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut : 1. Menerima dan mengambulkan permohonan uji materil pemohon untuk seluruhnya 2. Menyatakan Pasal 2 Ayat (2) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28 B Ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. 3. Menyatakan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UndangUndang Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Menurut pemohon, Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UndangUndang Perkawinan dianggap merugikan
hak-hak konstitusional
pemohon sebagai Warga Negara Indonsia yang dijamin oleh Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 19452. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku” lebih lanjut Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa “Anak yang dilahirkan diluar perkwinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
2
10
Ibid, h. 11
Selain itu Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 juga menjelaskan bahwa “setiap orang berhak membentuk kelurga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama dihadapan hukum. Selanjutnya Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Ketentuan ini melahirkan norma konstitusi bahwa anak pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama dihadapan hukum. Lebih lanjut Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ketentuan ini mengandung makna bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta diperlakukan sama dihadapan hukum. Menurut hukum Islam (Fiqh Islam) perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, yakni kedua mempelai, wali, dua orang saksi serta ijab dan qobul3. Sementara perkawinan antara pemohon I (Aisyah Mochtar alias Machica) dengan Moerdiono, dengan wali nikah almarhum Mochtar Ibrahim, disaksikan 2 orang saksi, masing-masing almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, satu set perhiasan emas dan berliyan dibayar tunai, serta ijab yang diucapkan oleh wali (Mochtar Ibrahim) dan qobul 3
Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang:Toha Putra, 1978), h. 455
11
diucapkan oleh Moerdiono4, maka menurut hukum Islam (fiqh Islam) telah sah, sehingga anak yang lahir dari perkawinan inipun menjadi sah. Merujuk pada pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, Pemohon menganggap bahwa Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat 91) Undang-Undang tidak senafas dengan UUD 1945 dan merugikan hak-hak konstitusionalnya dikarenakan perkawinan yang telah dilaksanakan oleh Pemohon I menurut ajaran Islam dan telah memenuhi rukun nikah Islam dianggap tidak sah oleh norma hukum, yaitu UndangUndang Perkawinan. Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Kedudukan anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas kiranya dapat dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep anak luar kawin menurut Undang-Undang perkawinan ? 2. Bagaimana kedudukan anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengkaji konsep anak luar kawin menurut Undang-undang perkawinan.
4
12
Putusan Mahkamah Konstitusi, h. 3
2. Untuk menganalisis anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam. D. Kegunaan Penelitian Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai kajian hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai masukan bagi para pihak yang pro dan kontra tentang anak luar kawin.
E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber bacaan yang tersedia diperpustakaan, seperti buku, majalah, artikel, hasil penelitian ataupun naskah-naskah lainnya5. Sifat Penelitian yang dilakukan adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan empiris, hal ini karena penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan akan lebih akurat apabila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang sesuai guna
5
Koentjaraningrat dalam Soedjatmoko dkk, Histeriografi Indonesia : Sebuah Pengantar, Jakarta; Gramedia, 1995) h. 256
13
memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang terjadi.6
2. Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier : a.
Bahan hukum primer bersumber dari perundang-undangan dan Putusan Pengadilan.7
b.
Bahan
hukum sekunder bersumber dari buku-buku hukum
Islam, fiqih Islam dan jurnal penelitian, khususnya yang berkaitan dengan masalah anak luar kawin.8 c.
Bahan hukum tersier bersumber dari kamus dan ensiklopedi.9
3. Pengumpulan Data Mengingat sumber data terdiri dari bahan-bahan yang tersimpan dalam perundang-undangan, buku-buku ilmu hukum dan fiqih Islam, hasil penelitian, kamus ensiklopedi dan yang sejenisnya, maka pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan cara membaca, mencatat dan mengutip bahan-bahan hukum yang diperlukan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. 6
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) h. 105 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Rineka Cipta, 2007), h. 103 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004), h. 15 9 Ibid
14
4. Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan diolah melalui tahap-tahap10 sebagai berikut : a.
Editing, yaitu pemeriksaan data kembali apakah sudah lengkap, sudah sesuai dengan kebutuhan atau belum, juga mengoreksi apakah data yang terkumpul semuanya sudah benar atau belum.
b.
Sistematisasi data yaitu menyusun data sesuai dengan kerangka sistematika yang telah ditentukan berdasarkan urutan rumusan masalah.
5. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dalam kalimat yang terusun secara benar sehingga mudah dipahami dan dimengerti dengan pendekatan berfikir deduktif dan induktif.
10
Ibid, h. 22
15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK A. Pengertian Anak Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, dimana selain tumbuh dan berkembangnya memerlukan bantuan orang tua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian anak ketika menyongsong fase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga tidak berlebihan jika negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya. Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut; UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya mele,kat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi, Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi keht'dupan berbangsa dan bemegara, anak adalah masa depan bangsa dan. generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskhminasi serta hak sipil dan kebebasan.
16
UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak: Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasardasarnya telah diletakan oleh generasi sebelumnya. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak: Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Berdasarkan pandangan sosial, Haditono berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.11 Berdasrkan beberapa terminologi di atas pada prinsipnya mengandung persamaan persepsi bahwa anak adalah pribadi yang memiliki peranan penting dan strategis dalam memikul tanggung jawab masa depan bangsa. Anak mempunyai ciri dalam dimensi 11
Blog Dunia Psikologi http://duniapsikologi.dagdigdug. com/2008/11/19/ pengertian-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis/
17
kehidupan yang khusus sehingga tidak bisa dilepaskan dari peranan orang tua dalam memelihara dan mendidiknya hingga ia mencapai masa kedewasaanya. Idealnya, seorang anak yang dilahirkan ke dunia secara otomatis akan mendapatkan seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya, baik secara biologis maupun hukum (yuridis), karena dengan memiliki orang tua yang lengkap akan mendukung kesempurnaan bagi si anak di dalam menjalani masa pertumbuhannya. Secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan antara sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan benih dari seorang laki-laki yang disebut spermatozoa, yang kemudian menyatu menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin dan pada akhirnya terlahir ke dunia sebagai seorang manusia (bayi) yang utuh. Tidaklah mungkin seorang anak terlahir kedunia tanpa ada peran dari seorang laki-laki yang telah menanamkan benih keturunan di rahim si perempuan, sehingga secara alami anak terlahir atas perantaraan ayah dan ibu kandungnya. Namun tidak demikian dalam pandangan hukum, bisa saja terjadi seorang anak yang lahir tanpa keberadaan ayah secara yuridis, bahkan tanpa kedua orang tua sama sekali. Keadaan tersebut bisa kita temukan dalam ketentuan UU Perkawinan, dimana suatu kelahiran tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin), maka si anak hanya akan memilik ibu sebagai orang tuanya, sedangkan KUH Perdata menganut prinsip yang lebih ekstrim bahwa tanpa adanya pengakuan daft kedua 18
orang tuanya, maka anak dapat dipastikan tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis. Seorang anak dilahirkan ke dunia melalui proses yang panjang, mulai dari adanya pertemuan biologis antara benih dari seorang laki-laki dan sel telur milik seorang perempuan. sampai terjadinya proses kehamilan yang harus dilalui oleh seorang perempuan sebelum kemudian bayi terakhir ke dunia. Rangkaian/tahapan proses tersebut kemudian akan menentukan status dan kedudukan si anak di hadapan hukum. Menurut sudut pandang hukum tahapan proses yang dilalui sampai terjadinya peristiwa keiahiran dapat digolongkan menjadi: 1. Jika proses yang dilalui sah (legal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara, maka ketika lahir si anak akan menyandang predikat sebagai anak yang sah. 2. Jika proses yang dilalui tidak sah (illegal), baik. menurut hukum agama maupun hukum negara, maka ketika lahir si anak akan menyandang predikat sebagai anak tidak sah (anak luar kawin). Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dalam pandangan hukum keluarga, merupakan persoalan yang rumit dan sensitif, karena segi-segi yang dibahas meliputi masalahmasaiah yang dianggap tabu dan aib bagi suatu keluarga. Namun terlepas dari kerumitan itu hukum melihat persoalan kedudukan anak luar kawin merupakan problematika yang perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat dampak dari persoalan tersebut bukan hanya berhubungan
19
dengan masalah hukum dan segala aspek yang menyertainya, namun juga menimbulkan persoalan sosial yang dapat mengganggu kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan yang tidak sah sebagai insan pribadi yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam memikul masa depan bangsa. Pokok persoalan dalam hukum keluarga menyangkut asal usul keturunan seorang anak yang lahir di luar perkawinan bertumpu pada hubungan hukum antara si anak dengan ayah biologisnya, sedangkan hubungan hukum dengan pihak ibu hampir tidak pernah menjadi persoalan karena hubungan itu telah tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan hukum apa pun, kecuali terhadap apa yang disebutkan dalam KUH Perdata yang menganut prinsip pengakuan mutlak, dimana seorang ibu biologis tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan anaknya tanpa tindakan pengakuan. UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal lembaga pengakuan anak oleh pihak ibu kandung, karena undang-undang telah menentukan bahwa anak yang lahir demi hukum langsung memiliki hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan keluarga ibunya. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa tidak terlalu sulit untuk menentukan siapa ibu biologis dari si anak, dibandingkan untuk menentukan siapa ayah biologis dari si anak dalam hal kelahiran tanpa di dahului oleh adanya perkawinan. Tidak mudah untuk menentukan siapa ayah biologis dari anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau karena suatu hubungan 20
yang sama sekali tanpa adanya ikatan perkawinan, apalagi jika si perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu orang laki-laki. Meskipun bagi si ibu yang mengandung dapat memperkirakan siapa laki-laki yang telah membenihkan anaknya, namun hal itu sulit untuk menjadi bukti bagi si laki-laki agar yakin dan mengakui bahwa anak yang ada di dalam kandungannya itu adalah benar-benar anak dari benih yang ditanamkan ke rahimnya. Dengan munculnya metode penentuan genetika berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada jaman dulu belum terpikirkan oleh para pembentuk undang-undang, maka tidak ada salahnya jika hukum bisa menerima hal itu menjadi bukti-bukti bagi penentuan asal usul keturunan, sehingga dimensi hukum tidak kehilangan fungsinya sebagai pranata sosial yang berperan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Banyak persoalan yang melatarbelakangi terjadinya kehamilan diluar nikah, mulai dari sebab-sebab yang berasal dari faktor lingkungan, pendidikan, kemapanan ekonomi dan kemapanan sosial, maupun yang berasal dari dalam lingkup keluarga sendiri, namun menjadi faktor mempengaruhi secara langsung terhadap terjadinya hubungan seksual diluar perkawinan. Kasus kehamilan pranikah banyak terjadi pada kalangan remaja, bahkan cenderung dalam katagori usia yang sangat muda, hal ini di picu Oleh merebaknya tren pergaulan bebas dikalangan remaja, sehingga berujung pada kehamilan dan kelahiran yang tidak diharapkan. Fenomena hubungan seks pranikah dilakangan remaja telah 21
mendorong tingginya tingkat kelahiran anak diluar perkawinan, karena pada umumnya kehamilan itu terjadi pada saat kondisi mereka belum siap
untuk
melangsungkan
perkawinan,
beberapa
faktor
yang
melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak luar kawin antara lain: 1. Karena usia pelaku masih dibawah batas usia yang diijinkan untuk melangsungkan perkawinan. 2. Karena
belum
siap
secara
ekonomi
untuk
melangsungkan
perkawinan. 3. Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan. 4. Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan). 5. Karena tidak mendapat restu orang tua. 6. Karena laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat ijin untuk melakukan poligami. 7. Karena pergaulan seks bebas (free sex). 8. Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa "Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya rnempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", ketentuan pasal tersebut jika ditelaah secara mendalam, maka akan mengandung arti bahwa undangundang melimpahkan semua beban dan risiko atas lahirnya anak dari hubungan diluar kawin hanya kepada si ibu dan anaknya, padahai tidak mungkin seorang anak akan terfahir ke dunia tanpa ada peran dan andil
22
dari pihak laki-laki yang menjadi ayah biologisnya, karena terjadinya kelahiran pasti selalu diawali dari adanya hubungan seksual antara seorang- laki-laki dengan seorang perempuan yang menimbulkan kehamilan. Pada saat UU Perkawinan di rumuskan, ketika itu belum ada ilmu pengetahuan atau teknologi yang dapat menentukan secara pasti tentang silsilah keturunan, sehingga orang akan kesulitan untuk membuktikan tentang asal usul siapa ayah kandung dari anak, jika perempuan terbukti pernah
melakukan
hubungan
seksual
dengan
lebih dari seorang laki-laki. Penentuan prinsip hubungan keperdataan hanya dengan pihak ibu dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesemberawutan dalam silsilah keturunan terhadap anak dan cara yang paling mudah adalah menentukan suatu hubungan keperdataan bagi anak yang lahir di luar perkawinan hanya dengan pihak ibu dan keluarga ibunya dengan alasan bahwa tidaklah sulit bagi orang untuk menentukan siapa ibu kandung anak melalui tanda-tanda secara fisik antara lain kehamilan dan melahirkan. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan untuk menentukan silsilah keturunan bukan hal yang sulit dan mustahil lagi. Asal usul keturunan akan dapat ditentukan melalui tes DNA sehingga akan diketahui siapa ayah dari anak. Berpangkal tolak dari kenyataan tesebut, maka prinsip hubungan keperdataan anak luar kawin hanya terhadap ibu dan keluarga ibunya dipandang saat ini sudah tidak relevan lagi, mengingat dari sudut pandang persamaan hak dan 23
kedudukan dimata hukum, hal tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi khususnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak mendapat pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum". Berdasarkan sudut pandang kepentingan anak maupun ibu kandungnya, ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya mengandung ketidakadilan karena anak atau ibu kandung anak sama sekali tidak diberi ruang dan kesempatan untuk membuktikan siapa ayah biologis anak, sedangkan hak-hak keperdataan itu baru lahir bagi si anak, jika ada pengakuan dari ayah biologisnya. Hal tersebut menunjukan ketidakseimbangan perlakuan hukum yang diberikan oleh undang-undang, karena status dan kedudukan anak semata-mata hanya digantungkan pada pengakuan ayah, artinya jika ayah biologis tidak dengan sukarela mau mengakui anaknya, maka hukum tidak bisa memberikan kedudukan apa-apa bagi anak, padahal apabila kita kembali mempersoalkan proses lahirnya anak itu ke dunia, maka antara ayah dan ibu biologisnya memiliki peran yang seimbang atas terjadinya kelahiran dan anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan, sehingga tidak ada alasan yang tepat untuk membebankan segala risiko hukum kepada anak.
24
B. Macam-Macam Anak Berdasarkan Status dan Kedudukannya di Hadapan Hukum 1. Anak Sah Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling sempurna dimata hukum dibandingkan dengan anak dalam kelompok-kelompok yang lain, karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang paling tinggi diantara golongan-golongan ahli waris yang lain, hak sosial dimana ia akan mendapatkan status yang terhormat ditengah-tengah lingkungan masyarakat, hak-hak untuk mendapatkan penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya. Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan definisi antara lain sebagai berikut :
Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah” ".
Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan bahwa "Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya".
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah: -
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
25
-
Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki pengertian antara lain sebagai berikut : •
Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.12
•
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo seorang anak adalah sah jika lahir dalam suatu perkawinan yang sah atau karena adanya perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan selama perkawinan maka wanita yang melahirkan adalah ibunya dan pria yang mengawini ibunya yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya.13
•
Menurut Djaren Saragih anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan hubungan perkawinan yang sah mempunyai kedudukan sebagai anak sah. Dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah maksudnya adalah bahwa ketika anak itu dilahirkan wanita yang melahirkannya berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria tertentu. Dengan demikian setiap anak sah jika pada saat ia dilahirkan wanita yang
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999. hlm:80. 13 Soetojo Prawirohamidjojo. Op.cit. hlm:104
26
melahirkannya berada dalam tkatan perkawinan dengan seorang pria.14 •
Menurut Yusuf al Qadhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan Setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya.15 Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang
sah apabila kelahiran anak didasarkan pasca perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkari perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawtnan yang sah. Menurut makna dari beberapa rumusan di atas, maka pengertian anak sah mengandung beberapa katagori pengertian antara lain: 1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah. 2) Seorang anak dibenihkan diluar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah 3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan.
14
Djaren Saragih. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Tarsito. Bandung. 1984; hlm:114. 15 Yusuf al Qadhawi. Halal dan Haram dalam Islam. Bina llmu. Surabaya, 1976, hlm:304.
27
4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri. 2. Anak Zina Anak zina sebagaimana akan dibahas di sini dibatasi pengertiannya sebatas menurut KUH Perdata sedangkan anak zina dalam pengertian Islam akan dibahas secara khusus di dalam bab tentang "Anak Luar Kawin dalam Pandangan Hukum Islam". Perbedaan terminologi zina didasarkan pada dua pandangan yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum perdata barat. Menurut pandangan Islam semua persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan adalah bentuk perbuatan zina, sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP yang dimaksud dengan perbuatan zina adalah "Seorang pria yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya bahwa Pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya dan seorang wanita yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya Pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya". Sehingga menurut hukum barat seseorang anak baru dapat dikatagorikan sebagai anak zina jika anak tersebut lahir dari hubungan suami isteri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana salah satu atau kedua-duanya sedang terikat pekawinan dengan yang lain. Anak zina merupakan anak dalam kelompok atau golongan yang paling rendah kedudukannya dibandingkan dengan kelompok atau
28
golongan anak yang lain. berdasarkan ketentuan dalam KUH Perdata bahwa anak zina bersama-sama dengan anak sumbang tidak dapat diakui oleh, orang tua biologisnya, sehingga secara hukum (yuridis) seorang anak yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan memiliki ayah maupun ibu dan oleh karena itu seorang anak zina tidak akan memiliki hak keperdataan apa-apa dari orang tua biologisnya kecuali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 867 ayat (2) KUH Perdata, yaitu sebatas hak
untuk
mendapatkan
nafkah
hidup
seperlunya
berdasarkan
kemampuan orang tua biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah menurut undang-undang. Seorang suami yang berhasil membuktikan tentang gugatan pengingkaran anak sebagaimana diatur dalam Pasal 252 KUH Perdata, akan berimplikasi kepada status dan kedudukan anak, yaitu dia akan berubah menjadi anak luar kawin (anak zina), meskipun demikian, perzinahan yang dilakukan oleh seorang isteri tidak dapat menjadi alasan untuk mengingkari seorang anak, kecuali jika kelahiran anak tersebut telah disembunyikan oleh isteri dari pengetahuan suaminya dalam arti isteri telah menutupi dan membuat suatu keactean agar kelahiran tersebut tidak diketahui oleh suaminya. Terhadap hak penyangkalan anak oleh suami juga diatur dalam Pasal 44 UU Perkawinan yaitu "Seorang suami memiliki hak untuk mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya jika dia dapat membuktikan bahwa isterinya berbuat zina dan anak tersebut sebagai akibat dari perbuatan zina tersebut'.
29
Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian yang luas (anak tidak sah). Timbulnya istilah anak zina dalam pengertian hukum perdata barat dipengaruhi oleh asas monogami secara mutlak yang dianut oleh KUH Perdata, dimana pada waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang perempuan dan seorang perempuan hanya boleh terikat dengan seorang laki-laki saja, prinsip tersebut berbeda dengan prinsip poligami terbatas yang dianut oleh hukum Islam dimana dalam suatu keadaan tertentu di waktu yang sama seorang laki-laki boleh untuk terikat dengan satu, dua, tiga dan empat orang perempuan. 3. Anak Sumbang Anak sumbang (incest) atau sering juga disebut anak hasil dari penodaan darah yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan dimana diantara keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan baik
karena
terikat
hubungan
darah,
hubungan semenda, hubungan sepersusuan (dalam hukum Islam) dan sebagainya. Pasal 30 dan 31 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Pasal 30 Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis keatas dan maupun garis kebawah baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah atau karena perkawinan dalam garis kesamping antara kakak beradik laki perempuan sah atau tidak sah,
30
Pasal 31 ayat (l) Dilarang perkawinan antara ipar laki-laki dan ipar perempuan sah atau tidak sah kecuali jika suami atau isteri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si isteri telah diberikan ijin oleh hakim kepada suami atau isteri yang tinggal untuk melakukan : perkawinan lain, . Pasal 31 ayat(2) Dilarang perkawinan antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki- laki kemenakan yang sah atau tidak sah. Berdasarkan
rumusan pasal di atas dapat diuraikan beberapa
golongan subjek hukum yang dilarang oleh undang-undang untuk melangsungkan perkawinan antara lain: 1) Hubungan darah garis keatas maupun kebawah antara lain: ibu/bapak, kakek/nenek, anak, cucu dan sebagainya, atau kesamping antara kakak dengan adik baik karena suatu kelahiran yang sah maupun tidak sah. 2) Hubungan perkawinan garis kesamping antara lain: adik isteri, kakak isteri dan sebagainya baik perkawinannya itu sah maupun tidak sah. 3) Hubungan periparan antara lain: kakak/adik dari suami dengan kakak/adik dari isteri, kecuali jika yang menyebabkan periparan itu telah meninggal dunia atau jika dalam keadaan tidak hadir telah diberikan ijin oleh hakim untuk melangsungkan perkawinan.
31
4) Karena hubungan perpamanan/perbibian antara lain: adik/kakak dari ayah/ibu, paman/bibi dari ayah/ibu dengan kemenakannya atau dengan anak kemenakannya. Sedangkan dalam Pasal 8 UU Perkawinan jo. Pasal 70 huruf d Kompilasi Hukum Islam ada beberapa larangan seseorang untuk melakukan perkawinan antara lain: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu ayah tiri. 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang yang sama-sama sesusuan atau orang tua sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. Perbedaan antara konsep larangan perkawinan menurut KUH Perdata dengan UU Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam adalah dalam hal menyangkut saudara sepersusuan yang tidak pernah dikenal dalam konsepsi hukum barat. Saudara sepersusuan adalah hubungan persaudaraan yang terjadi antara seorang anak yang sama-sama telah disusui oleh seorang perempuan atau seorang anak dengan perempuan yang
menyusuinya,
maka
diantara
mereka
terlarang
untuk
melangsungkan perkawinan karena darah dari susu yang diminum oleh
32
bayi akan mengalir didalam tubuhnya dan oleh karena itu terjalin hubungan persaudaraan seperti halnya terjalinnya ikatan darah. Dalam KUH Perdata anak sumbang memiliki kedudukan yang sama dengan anak zina, karena mereka tidak dapat diakui oleh orang tuanya kecuali apa yang diatur dalam Pasal 273 KUH Perdata dan hanya memiliki hak untuk mendapatkan biaya nafkah seperlunya sebagaimana diatur dalam Pasal 867 ayat (2) KUH Perdata. Perselisiahan tentang anak sumbang terjadi sebagai akibat dari persetubuhan sumbang antara orang-orang yang dilarang untuk melangsungkan perkawinan menurut prinsip hukum barat memiliki makna yang berbeda dengan istilah perkawinan sumbang dalam masyarakat
adat
Minangkabau.
Berdasarkan
konsepsi
adat
"
Minangkabau, perkawinan sumbang mengandung pengertian sebagai berikut: 1) Mengawini seseorang yang telah diceratkan oleh sahabat, kerabat atau tetangga dekat. 2) Mempermadukan perempuan yang sekerabat (selain yang dilarang oleh agama) sepergaulan atau setetangga. 3) Mengawini orang yang sedang bertunangan dengan orang lain (di luar peminangan yang dimaksud oleh agama). 4) Mengawini anak tiri saudara kandung.16
16
Yaswirman. Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineat Minangkabau. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011. hlm: 143
33
Perkawinan sumbang dalam adat Minangkabau akan menimbulkan perasaan malu bagi keluarga dan jatuhnya harga diri dihadapan masyarakat pada umumnya, jika terdapat salah seorang dalam lingkungan keluarganya melakukan perkawinan sumbang. la akan tanggap tidak mengindahkan
"raso
jot
pareso"
(rasa
dengan
periksa)
atau
"tenggangraso" (tenggangrasa)17 4. Anak Luar Kawin Lainnya 1. Anak Luar Kawin Yang dapat Diakui Yang dimaksud dengan anak luar kawin lainnya adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah selain dari anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin dalam katagori ini dapat diakui oleh orang tua biologisnya sehingga ada kemungkinan memiliki hubungan perdata dengan ayah atau ibu kandungnya. Kedudukan anak luar kawin yang telah diakui oleh orang tuanya tetap tidak sederajat dengan anak sah, namun ia sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris dari orang tua biologisnya, meskipun bagian hak warisnya tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah. Anak luar kawin yang diakui akan memiliki hak penuh terhadap harta warisan pada saat pewaris tidak memiliki ahli waris yang lain selain dari anak luar kawin yang telah diakui, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 865 KUH Perdata.
17
34
Ibid. Hlm 143
Pada prinsipnya hukum perdata barat menganut asas pengakuan mutlak, dimana seorang anak luar kawin tidak akan memiliki hubungan perdata baik dengan ayahnya maupun dengan ibunya tanpa ada pengakuan dari mereka, dengan adanya prinsip tersebut mengakibatkan terjadinya sebuah kemungkinan bahwa secara yuridis seorang anak tidak memiliki ayah maupun ibu jika kedua orang tuanya tidak melakukan pengakuan terhadapnya. Prinsip seperti itu tidak diadopsi lagi oleh UU Perkawinan, dimana Pasal 43 Ayat (1) mengatur bahwa anak di luar kawin tetap memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya waiaupun tidak ada pengakuan terhadapnya. Ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut mengandung makna yang lebih manusiawi dibandingkan dengan Pasal 272 KUH Perdata, karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya terjadi demi hukum tanpa ibu maupun anak melakukan tindakan hukum apa pun. Ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan juga memiliki makna yang sama dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, perbedaannya hanya pada penggunaan bahasa dalam Kompilasi Hukum Islam digunakan istilah "nasab" yang arti dan pengertiannya mencakup juga tentang hubungan perdata sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan walaupun dalam beberapa hal tetap ada perbedaan. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan lakilaki yang telah membenihkan anak di rahimnya, anak tersebut tidak 35
mempunyai kedudukan yang sempurna dimata hukum seperti anak sah pada umumnya. Dengan kata lain anak tidak sah adalah anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan yang sah.18 b. Anak Mula'nah Anak muta'nah merupakan anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang di li'an oleh suaminya, oleh karena li'an itu terbukti, maka seorang anak akan berubah statusnya menjadi anak tidak sah (muta'nah) dan kedudukannya dimata hukum sama dengan anak zina, dimana dia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sedangkan terhadap laki-laki yang mengingkarinya dengan li'an tidak memiliki hubungan apa-apa. Anak mula'nah merupakan bentuk penyebutan secara khusus didalam hukum Islam yang esensinya sama dengan anak zina dalam KUH Perdata. c. Anak Syubhat Anak syubhat adalah anak yang lahir dari suatu hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar kekeliruan dan harus benar-benar terjadi karena kekeliruan, artinya bukan karena disengaja atau rekayasa. Seorang anak syubhat akan memiliki hubungan perdata
18
dengan
ayah
kandungnya
jika
laki-laki
yang
telah
J. Satrio. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Citra Adiya Bakti. Bandung. 2000- him: 103.
36
membenihkannya mengakui si anak.19 Kedudukan tentang anak syubhat sebenarnya masih dalam perdebatan karena beberapa ulama tetap mengatakan sebagai anak sah sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan yang sah,20 sedangkan ulama yang lainnya menggolongkan anak syubhat sebagai anak luar kawin kecuali jika anak tersebut di akui oleh ayahnya. Anak syubhat dibagi menjadi dua golongan antara lain : 1. Anak syubhat karena syubhat perbuatannya. Anak syubhat ini lahir karena seorang laki-laki telah keliru menyetubuhi wanita yang sebenarnya bukanlah isterinya, misalnya dalam suatu rumah seorang suami salah masuk kedalam kamar yang dikira adalah kamar isterinya, ternyata adalah kamar adik iparnya dan adik iparnya menyangka bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya sehingga terjadilah persetubuhan yang keliru. Jika perbuatan itu terjadi semata-mata memang karena kekeliruan dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dari persetubuhan itu akan melahirkan anak, anak syubhat dalam katagori syubhat perbuatannya. 2) Anak syubhat karena syubhat hukumnya. Anak syubhat dalam katagori ini lahir karena kekeliruan tentang hukum yang seharusnya tidak boleh dilanggar, misalnya seorang laki-laki 19
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta. 2008. hlm: 83 20 Mustofa Hasan. Pengantar Hukum Keluarga. Pustaka Setia. Bandung. 2011. hlm. 262
37
menikah dengan seorang perempuan, yang dikemudian hari ternyata baru diketahui bahwa wanita yang dinikahinya itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan dengannya, padahal berdasarkan hukum perkawinan hal itu dilarang. Pada saat diketahui bahwa sebenarnya ada larangan bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut harus segera diputuskan Jika atas perkawinan seperti itu telah melahirkan anak, maka anak yang dilahirkan akan menyandang status sebagai anak syubhat21 C. ANAK LUAR SOSIOLOGIS
KAWIN
DALAM
SUDUT
PANDANG
Secara fitrah alamiah tidak ada sedikit pun perbedaan antara anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Keduanya merupakan subjek hukum yang harus dilindungi oleh negara dan undang-undang, karena menurut pandangan agama, tidak ada satu ajaran pun yang menganut prinsip tentang dosa keturunan, sehingga stigma tentang anak luar kawin yang sering disebut sebagai "anak haram jadah", "anak kampang", "anak sumbang", "anak kowar" dan sebagainya, harus disingkirkan dari identitas yang selama ini melekat pada diri mereka dan perlahan-lahan masyarakat harus dapat memahami bahwa yang membedakan mereka (anak luar kawin) dengan anak-anak lain pada umumnya hanyalah berbeda nasib dan takdir semata. Perbuatan zina dan haram yang dilakukan oleh orang tuanya tidak bisa 21
38
Ibid
menjadi alasan untuk memberikan stigma haram bagi si anak. Anak yang lahir dari sebab hubungan apa pun harus tetap dipandang sebagai anak yang suci dan terlepas dari dosa yang dilakukan oleh orang tuanya, dan semestinya juga dihadapan hukum ia harus mendapatkan hak dan kedudukan yang seimbang dengan anak-anak yang sah lainnya. Manusia di ciptakan oleh Tuhan YME dalam harkat dan martabat yang sama, perbedaan status dan kedudukan yang diciptakan oleh hukum semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan sepihak dan parslal. Seharusnya hal itu tidak terjadi, agar setiap anak dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih cita-cita dan masa depannya. Potensi masa depan anak sangat ditentukan oleh faktor lingkungan disekitarnya, pandangan masyarakat yang diskriminatif terhadap anak luar kawin akan menjadi beban kejiwaan bagi si anak, dan hal itu akan mempengaruhi keseimbangan mental spiritual si anak dalam pergaulan hidupnya, Seorang anak yang menanggung beban sosial yang berat dari pandangan miring masyarakat akan cenderung menutup diri dan termarginalkan dari pergaulan teman-temannya. Stigma masyarakat terhadap anak luar kawin akan menjadi pengalaman buruk bagi anak ditengah-tengah pergaulannya, anak akan menjadi objek cibiran dan cemoohan dari teman-teman sepergaulannya yang memandang bahwa anak yang lahir dari perzinahan dapat membawa maiapetaka bagi lingkungan masyarakat sekitarnya. Darnpak psikologis dari ejekan dan cemoohan tersebut akan membekas dalam ingatan si anak sampai ia dewasa. 39
Pada lingkungan masyarakat tertentu diyakini jika terdapat "anak haram jadah" tinggal di lingkungan mereka, maka akan timbul maiapetaka bagi lingkungan di sekitarnya, sehingga si anak dan ibunya akan diusir dari tempat itu dengan alasan agar terhindar dari dampak kutukan bagi warga masyarakat yang lain. Jarang disadari oleh masyarakat bahwa lahirnya anak ke dunia turut diakibatkan oleh perbuatan ayah biologisnya yang telah menanamkan benih keturunan di rahim si ibu, namun kenyataannya orang jarang mempersoalkan tentang peran ayah biologis tersebut, atau setidaknya pihak laki-laki pelaku perzinahan sering tidak terkena stigma dari masyarakat seperti halnya yang dialami oleh ibu dan anaknya. Padahal dosa itu sesungguhnya dilakukan oleh mereka berdua secara bersama-sama, disinilah barangkali letak ketidakadilan yang terjadi dimana pihak anak dan perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak menguntungkan dihadapan hukum dan masyarakat. Pandangan yang berkembang di setiap daerah terhadap keberadaan anak luar kawin memang tidak selalu sama, pada daerah yang menganut prinsip adat yang kuat dan fanatisme agama, pada umunya menunjukan sentimen yang lebih tinggi terhadap keberadaan anak luar kawin, hal itu didasarkan pada suatu ketentuan bahwa perbuatan zina (dalam pengertian adat dan agama) yang menimbulkan kehamilan diluar perkawinan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap aturan adat dan dosa besar menurut ajaran agama. Dalam hukum Islam bahwa jika salah seorang dari perempuan atau laki-laki yang melakukan perzinahan pernah 40
menikah (zina muhshan), maka ia harus dihukum dengan hukuman yang sangat berat yaitu di rajam sampai meninggal. Pandangan tersebut tidak bisa disalahkan karena perbuatan zina merupakan perbuatan yang mengandung dosa besar karena selain telah menciderai nilai-nilai sakral perkawinan juga akan menimbulkan ketidakteraturan silsilah keturunan. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah dosa itu harus dipertanggungjawabkan secara berantai sampai kepada keturunannya?, ini barangkali yang harus difahami oleh semua penganut ajaran agama, karena setiap dosa mengandung prinsip "Barangsiapa yang berbuat dialah yang harus bertanggung jawab dihadapan Sang Pencipta". Sering terlupakan bahwa sebenarnya tidak ada satu agama pun yang mengajarkan bahwa anak yang lahir dari perbuatan zina harus dihukum seperti juga orang tuanya. Bukankah seorang anak yang dilahirkan tidak pernah turut berperan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya?, bahkan atas kelahirannya ia tidak pernah meminta atau diberi kesempatan untuk memilih ia akan lahir dari rahim milik siapa, karena semua itu terjadi atas kuasa dan kehedak Tuhan. Pandangan negatif terhadap anak luar kawin sesungguhnya banyak terjadi karena imbas dari pandangan buruk terhadap orang tuanya, hal ini sebagai konsekuensi dari adanya paradigma bahwa antara orang tua yang berbuat zina dengan anak yang lahir dari perbuatan itu sering menjadi satu paket karena keduanya memiliki keterikatan yang saling menimbulkan sebab akibat, dimana anak tersebut merupakan hasil dari perbuatan zina dan perzinahan itulah yang menyebabkan anak lahir. 41
Untuk mengantisipasi stigma negatif di anak
luar
kawin,
di
beberapa
daerah
masyarakat terhadap
terdapat lembaga
yang
dibuat secara khusus untuk menutupi aib kehamilan pranikah antara lain di Jawa dikenal dengan istilah "kawin tambelan”
22
atau di Bali
dikenal dengan istilah "kawin paksa" yang pada prinsipnya agar anak tersebut lahir tetap memiliki ayah secara hukum, walaupun tidak akan mampu
. menghilangkan aib sepenuhnya, karena fenomena kehamilan
pranikah akan cepat menjadi isu sentimentil di masyarakat, . namun paling tidak akan memperkecil risiko bagi anak ketika berhadapan dengan administrasi pencatatan kelahirannya karena dia akan tercatat sebagai anak yang memiliki ayah maupun ibu secara hukum. Persoalan sosial yang meliputi status anak luar kawin sesungguhnya dapat di eliminasi jika sistem hukum lebih memberikan ruang kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk anak dan ibunya untuk bisa memperjuangkan status dan kedudukan
anak dimata hukum dan
masyarakat pada umumnya. Jika anak atau ibunya diberikan hak oleh undang-undang
untuk
membuktikan
siapa
ayah
anak
guna
memperjuangkan hak keperdataannya tanpa harus menunggu itikad dari ayah untuk memberikan pengakuannya secara sukarela, maka selain anak bisa mendapatkan haknya untuk bisa hidup lebih layak dengan dukungan dan tanggung jawab dari ayah biologisnya, ia juga akan mendapatkan kedudukan yang lebih baik di mata masyarakat. 22
127
42
Soerojo, Wignjodipiro. Pengantar llmu Hukum. Gunung Agung. Jakarta. 1983,
Fenomena lahirnya anak luar kawin banyak dipengaruhi oleh adanya tren pergaulan bebas atau prilaku seks pranikah di kalangan remaja. Berdasarkan data dari beberapa lembaga survei di Indonesia, yang menyebutkan antara lain: Data survei tahun 2007 Komnas Anak di 12 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa dari 4500 remaja sebagai responden didapatkan data: 93,7 % pernah berciuman hingga petting (bercumbu). 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan. 21,2 % remaja SMA pernah aborsi. Data survei tahun 2008 Perkumpulan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa dari 100 remaja SMP dan SMA di Samarinda sebagai responden didapatkan data bahwa 56 % sudah berhubungan seks bahkan ada yang terang-terangan mengaku berhubungan seks dengan pekerja seks. Data survei tahun 2009 Synovate Research didapatkan data : 44 % mengaku punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16 % mengaku pengalaman seks di dapat di usia 13-15 tahun. Tempat melakukan seks di rumah (40 %), kamar kost (26 %) dan hotel (26 %). Data survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) didapatkan data: 32 % remaja 14-18 tahun pernah berhubungan seks. 21,2 % remaja putri pernah melakukan aborsi. 97 % penyebab remaja melakukan seks yaitu dari internet.23 23
http://www.o-bras.com/2010/05/data-survei' Seks-pelajarlndonesia_3019,html?m=1
43
Data survei di atas menunjukan betapa persoalan sosiat dan- prilaku seks bebas di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Pengaruh arus informasi yang tidak dapat di bendung melalui media informasi internet memang menjadi ancaman berat bagi pemerintah dan para orang tua untuk bisa mengendalikan anak-anaknya agar terbebas dari dampak negatif pergaulan bebas. Dari beberapa faktor yang dapat memicu tingginya tingkat kelahiran anak di luar kawin, faktor pergaulan seks bebas menjadi faktor yang dominan, karena para remaja pada ufhumnya tidak memahami apa dampak yang akan ditimbulkan dari prilaku seks bebas yang dilakukannya, sehingga pada saat terjadi kehamilan, mereka dalam posisi yang tidak siap untuk menghadapinya, baik untuk melangsungkan perkawinan maupun untuk menjadi orang tua bagi anak. Berdasarkan segi administrasi pencatatan kelahiran, anak yang lahir diluar kawin hanya akan dicatat sebagai anak dari ibu tanpa mencantumkan siapa yang menjadi ayahnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari bunyr Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Kondisi hubungan keperdataan dengan
ayah akan
berakibat pada hilangnya nama ayah pada akta kelahiran anak, namun yang menjadi pokok persoalan sebenarnya adalah menyangkut jaminan atas kelangsungan hidup anak di masa yang akan datang.
44
Setiap anak tentunya memerlukan penghidupan, pendidikan dan kasih sayang dari orang tuanya secara lengkap, karena tumbuh kembangnya seorang anak menjadi sosok yang mampu memikul tanggung jawab masa depan suatu bangsa adalah anak yang tumbuh sempurna, baik secara jasmani maupun rohani. Semakin banyak anak yang terlantar karena tidak mendapatkan haknya dari ayah yang telah membenihkannya, pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kesempatan negara untuk memperoleh sosok generasi penerus yang memiliki potensi dalam memikul tanggung jawab di masa yang akan datang.
D. KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM KELUARGA Keberadaan seorang anak tidak bisa dilepaskan dari lingkungan keluarga yang membesarkannya. Begitupun dalam ruang lingkup hukum, seorang anak selalu akan terpaut erat dengan persoalan tentang hukum keluarga. Soekanto menyebutkan bahwa hukum kekeluargaan (dibaca hukum keluarga) meliputi beberapa persoalan antara lain: 1. Hubungan anak dengan orang tuanya. 2. Hubungan anak dengan keluarga. 3. Pemeliharaan anak piatu. 4. Mengambil anak/mengangkat anak (adopsi)24
24
Soekamto-Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar untuk Memelajari Hukum Adat. CV Rajawali. Jakarta. 2001. hlm: 108
45
Keberadaan empat hal tersebut selalu menjadi substansi pokok dalam pembahasan tentang hukum keluarga dan segala aspeknya. Hubungan anak dengan orang tuanya merupakan hubungan alamiah yang akan terjadi dengan sendirinya, karena antara anak dan orang tua yang telah membenihkannya terjalin pertautan darah yang menimbulkan hubungan batin diantara keduanya, hal itu sudah menjadi fitrah alamiah yang terjadi meskipun tidak ada legitimasi hukum terhadapnya. Namun berbeda halnya dengan hubungan hukum (perdata, dimana tidak begitu saja hubungan itu bisa terjalin tanpa ada perbuatan hukum yang mendahuluinya, misalnya hubungan antara anak dengan orang tua (ayah) ditentukan oleh perkawinan atau pengakuan sebagaimana yang telah di gariskan dalam undang-undang. Jika seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan dan lahir seorang anak, maka akan didapatkan seorang perempuan yang melahirkannya sebagai ibu dan seorang laki-laki yang membenihkannya sebagai ayah. Akan tetapi jika seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak pernah terjalin perkawinan diantara mereka, namun lahir seorang anak, maka lahirlah yang disebut dengan anak luar kawin. sedangkan persoalan tentang anak luar kawin merupakan bagian dap ruang lingkup persoalan dalam hukum keluarga. Pada beberapa daerah tertentu di Indonesia seperti di Mentawai seorang anak mendapatkan ibu dari perempuan yang melahirkannya meskipun ibu tidak pernah menikah dengan laki-laki yang membenihkan anaknya, karena antara ibu yang kawin dengan yang tidak kawin status 46
dan kedudukannya dipersamakan. Hal ini berbeda dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah-daerah lain ketika seorang perempuan melahirkan seorang anak tanpa ayah yang telah menikahinya, ia akan dibenci bahkan akan dipaksa untuk menikah dengan siapa saja yang mau untuk menikahinya seperti halnya "nikah tembelan" yang berlaku di daerah Jawa dengan tujuan supaya ketika dilahirkan anak tersebut menjadi anak yang sah.25 Dalam hukum keluarga diatur tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, berupa kewajiban pemeliharaan dan pendidikan terhadap anaknya dan sebaliknya ia berhak mendapatkan sikap hormat dan penghargaan dari anaknya. Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Ayat (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Ayat (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban dimana berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Seorang anak yang dilahirkan tidak akan mampu hidup tanpa perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Undang-undang memberikan kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan di atas, 25
Ibid, hlm 109
47
karena seorang anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik atas pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tuanya atau walinya. Dalam kondisi yang normal, kelahiran anak senantiasa didambakan oleh setiap pasangan suami isteri sehingga tidak akan timbul problematika hukum dalam hubungan kekerabatan terhadapnya, namun jika kelahiran anak justru tidak diharapkan oleh orang tuanya karena lahir dari hubungan di luar perkawinan yang sah, rnaka cenderung akan timbul penelantaran terhadap anak, padahal kelahiran itu bukan terjadi karena keinginan dari anak. Kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tidak hanya berlaku pada saat kedua orang tua masih terikat dalam perkawinan, namun setelah terjadi perceraian diantara mereka, maka perceraian itu tidak mengecualikan ayah maupun si ibu dari kewajibannya untuk memberikan pemeliharaan dan pendidikan bagi anak-anaknya, atau jika kemudian atas perceraian itu masing-masing telah melakukan perkawinan lagi dengan yang lain, maka kewajiban pemeliharaan dan pendidikan bagi anak tetap melekat kepadanya. Seorang anak tidak boleh kehilangan haknya untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan hanya karena orang tuanya tidak mampu untuk mempertahankan rumah tangganya karena segala persoalan hukum yang terjadi pada ikatan perkawinan tidak boleh mengandung risiko terhadap hak dan kepentingan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan di atas memiliki kandungan makna yang sama dengan Pasal 298 Ayat (2) KUH Perdata 48
tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sebagaimana dirumuskan sebagai berikut: Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umum, kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu, Sebagai bentuk timbal balik dari kewajiban orang tua terhadap anaknya, maka setiap anak berkewajiban untuk patuh dan hormat kepada orang tuanya, dan ketika anak telah dewasa ia akan memikul kewajiban pemeliharaan (alimentasi) terhadap orang tuanya, seperti halnya orang tua telah membesarkannya. Perkawinan bukan hanya sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis dalam ikatan lahir batin, namun juga akan mempersatukan dua keluarga besar dari kedua belah pihak. Hubungan anak dengan keluarga orang tua diatur dan dipengaruhi oleh sistem.kekerabatan yang berlaku pada hukum adat masing-masing. Seperti halnya di daerah Jawa yang menganut prinsip kekerabatan parental-bilateral, maka baik keluarga dari pihak ayah maupun keluarga dari pihak ibu memiliki tanggung jawab dan kedudukan yang seimbang. Berbeda halnya dalam sistem kekerabatan pathlineal yang berlaku di dalam adat Batak atau sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di dalam adat Minangkabau. Sistem hukum adat yang berlaku juga akan mempengaruhi terhadap kekuasaan orang tua atas pribadi
anak, misalnya di dalam adat
49
Minangkabau bila bapak anak meninggal, maka ibunya meneruskan kekuasaan terhadap dikuasai oleh keluarga ibunya. Sedangkan di dalam adat Batak, jika bapaknya meninggal, maka ibunya meneruskan kekuasaan terhadap anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya sebagai isteri dari saudara suaminya dulu atau sebagai janda. Jika janda itu ingin pulang ke keluarganya sendiri atau kawi.n dengan orang lain, maka anaknya tinggal dalam kekuasaan keluarga bapaknya. E. ANAK LUAR KEPENDUDUKAN ADMINISTRASI
DALAM
HUKUM
Oleh karena kelahiran merupakan sebuah peristiwa hukum, maka negara memiliki kepentingan untuk melakukan pencatatan kelahiran bagi setiap warganya daiam suatu daftar khusus yang telah disediakan di Kantor Catalan Sipil. Implikasi dari kepentingan negara tersebut, undang-undang telah mewajibkan kepada setiap warganya untuk mendaftarkan setiap kelahiran yang terjadi berdasarkan data-data tentang-kelahiran tersebut. Adanya penggolongan status dan kedudukan anak di mata hukum, mengakibatkan proses pencatatan data kelahiran terhadap masing-masing anak mengandung perbedaan, tergantung dari status perkawinan orang tuanya. Anak luar kawin dalam hukum administrasi kependudukan juga berhak untuk mendapatkan akta kelahiran sebagaimana anak-anak sah pada umumnya, namun oleh karena adanya Ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan 50
bahwa anak luar kawin hanya memiiiki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka hal itu berimplikasi pada cara dan mekanisme pencatatan akta kelahiran bagi anak luar kawin. Pada akta kelahiran anak luar kawin hanya akan disebutkan nama ibunya saja sedangkan nama ayahnya tidak akan dicatat dalam akta kelahiran si anak. Terputusnya hubungan hukum antara si anak dengan ayah biologisnya mengakibatkan ayah tidak memiliki, kewajiban apa-apa terhadap anaknya, dan sebaliknya si anak tidak berhak menuntut apa-apa dari si ayah yang berhubungan dengan hak-hak keperdataan. Anak luar kawin hanya akan memiliki hubungan hukum secara keperdataan dengan ayah biologisnya jika
ayah memberi pengakuan
terhadapnya. Pasal 280 KUH Perdata menyebutkan bahwa dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terciptalah hubungan perdata antara anak dengan bapak atau ibunya biologisnya. Pengakuan. terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, apabila belum dilakukan dalam suatu akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan. Pengakuan anak luar kawin dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran
menurut
hari
penandatanganan.
Pengakuan
itu
harus
dicantumkan pada margin akta kelahirannya, jika akta itu ada. Namun bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak meminta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Apabila terjadi kelalaian dalam 51
mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran, tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui tersebut. Prinsip pengakuan anak luar kawin yang dianut di dalam KUH Perdata bersifat mutlak karena seorang anak yang lahir di luar perkawinan berdasarkan prinsip hukum barat tidak memiliki hubungan perdata baik dengan ayahnya maupun dengan ibunya. Hal ini berbeda dengan prinsip yang dianut dalam UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa antara anak dengan ibunya secara otomatis telah terjalin hubungan keperdataan sejak anak itu lahir tanpa ibu maupun anak melakukan tindakan hukum apa pun. Propsedur pencatatan pengakuan anak luar kawin berdasarkan Pasal 49 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan antara lain sebagai berikut: 1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan. 2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan yang sah. 3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak. 52
Sedangkan prosedur bagi pencatatan pengesahan anak luar kawin karena orang tua biologisnya melangsungkan perkawinan berdasarkan Pasal 50 UU Administrasi Kependudukan adalah sebagai berikut: 1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. 2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah. 3) Berdasakan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada akta kelahiran. Proses pembuatan dan penerbitan akta kelahiran bagi anak luar kawin pada prinsipnya memiliki prosedur yang sama dengan penerbitan akta kelahiran bagi anak-anak yang sah lainnya, yang membedakan adalah pada pencantuman nama orang tua anak dan kewajiban ibu yang membuat akta kelahiran bagi anak tersebut harus datang secara langsung ke hadapan pegawai Kantor Catalan Sipil, karena ibu harus menandatangani surat pernyataan yang isinya tidak akan menuntut kalau isi akta anak tersebut tidak menyebutkan nama dari bapaknya karena ibu tidak memiliki akta perkawinan atau surat nikah terhadap pencatatan kelahiran anak.
53
Sistematika akta kelahiran bagi anak. luar kawin adalah sebagai berikut: 1. Data lahir. a. Kewarganegaraan (WNI atau WNA). b. Tempat kelahiran. c. Hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran. d. Nama lengkap anak. e. Jenis kelamin. f. Nama ibu. 2. Tanggal, bulan dan tahun terbit akta. 3. Tanda tangan pejabat yang berwenang. Tata cara pengakuan dan pengesahan terhadap anak luar kawin adalah sebagai berikut: 1. Anak luar kawin dibuatkan akta kelahiran atas nama ibu terlebih dahulu. 2. Setelah akta kelahiran terbit baru dilaksanakan pengakuan atau pencatatan perkawinan dan anak luar kawin tersebut dapat diakui maupun disahkan. Persyaratan: 1. Akta Pengakuan Anak. a. Akta kelahiran,anak luar kawin asti. b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk kedua orang tuanya. c. Fotokopi Kartu Keluarga.
54
d. Fotokopi SBKRI dan Surat Ganti Nama (legalisir) bagi yang memiliki. e. Fotokopi pasport/SKLD/KITAS/KITAP bagi WNA (legalisir). f. Surat Pernyataan tidak terikat dalam perkawinan. 2. Akta Pengesahan Anak. a. Akta Kelahiran anak luar kawin atau akta kelahiran anak yang diakui. b. Pensyaratan perkawinan orang tuanya di Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Prosedur: 1. Akta Pengakuan Anak. a. Pemohon dengan persyaratan lengkap mengisi formulir yang telah disediakan. b. Diserahkan pada petugas loket yang telah disediakan. c. Setelah diisi oteh petugas dan lengkap maka pemohon membayar biaya di kasir. d. Pemohon menandatangani register pengakuan anak. e. Akta Pengakuan Anak kemudian ditulis serta dibuatkan catatan pinggir. f. Diteliti oleh Kasi Pengakuan dan Pengesahan Anak dan Kasubdin Pencatatan Sipil dan masing masing memberi paraf. g. Kedua orang tua yang mengakui harus hadir.
55
F. HUBUNGAN ANTARA KEDUDUKAN LEMBAGA PERKAWINAN
ANAK
DENGAN
Dalam sistem hukum apa pun, lembaga perkawinan selalu memiliki peranan yang sangat penting bagi perjalanan hidup setiap manusia, baik karena sifatnya yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang ditentukan oleh adat istiadat sehingga mengandung pengertian yang sakral dan religius, maupun karena konsekuensi dari perkawinan itu sendiri yang melibatkan pelbagai persoalan dalam ruang lingkup hukum keluarga. Sejarah peradaban manusia menunjukan bahwa betapa lembaga perkawinan telah sangat tua usianya, bahkan mungkin telah ada sejak jaman primitif, yang membedakan hanyalah prosedur dan tata cara pelaksanaannya saja, sedangkan makna dan tujuannya tidak pernah berubah sebagai tindakan untuk melegalkan hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
56
Jika kita telaah bunyi pasal di atas, maka undang-undang menyerahkan persoalan keabsahan suatu perkawinan kepada agama dan kepercayaan para calon mempelai yang melangsungkan perkawinan, sedangkan pada Pasal 2 Ayat (2) undang-undang menghendaki agar perkawinan itu dicatat di Kantor Pencatatan Perkawinan agar memiliki kekuatan hukum bagi para pihak, sedangkan terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap bahwa perkawinan itu tidak akan memiliki kekuatan hukum, sehingga hukum tidak akan melindungi segala hal yang timbul setelah perkawinan itu dijangsungkan, baik bagi mereka sendiri maupun bagi pihak ketiga. Mustofa Hasan menyebutkan bahwa perkawinan merupakan bentuk
silaturahmi
yeng
signifikan
daiam
membentuk
struktur
masyarakat. Setelah terjadinya pekawinan ada beberapa implikasi mendasar antara lain: 1) Terbentuknya hubungan darah antara suami dan isteri. 2) Terbentuknya hubungan darah antara orang tua dan anak. 3) Terbentuknya hubungan kekeluargaan dari pihak suami isteri. 4) Terbentuknya hubungan kerabat dari anak-anak terhadap orang tua suami/isteri (mertua). 5) Terbentuknya hubungan waris-mewaris. 6) Terbangunnya rasa saling membantu dengan sesama sodara dan kerabat. 7) Terbentuknya keluarga yang luas. 8) Terbentuknya rasa solidaritas sosial di antara sesama keturunan. 57
9) Terbentuknya persaudaraan yang panjang hingga akhir hayat. 10) Terbentuknya masyarakat yang berprinsip pada sikap yang satu yaitu satu ciptaan, satu darah, dan satu umat dimati Allah Sang Pencipta. Harus, diakui bahwa persoalan tentang keabsahan anak akan selalu bergantung pada masaiah tentang keabsahan perkawinan dan segala aspek hukum yang menyertainya, karena sah dan tidaknya anak yang dilahirkan akan ditentukan oleh sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. Sehingga sebelum melakukan penelaahan tentang kedudukan anak dihadapan hukum, maka terlebih dahulu kita harus mempelajari tentang seluk beluk perkawinan, baik dari sudut pandang agama yang diberikan hak untuk menentukan keabsahannya, maupun dari sudut pandang hukum negara terhadap kewajiban pejicatatannya. Dualisme pandangan yang terjadi dalam persoalan sah dan tidaknya perkawinan seeing menimbulkan banyak potemik menyangkut banyak kenyataan yang terjadi di masyarakat, misalnya tentang fenomena "kawin siri", "kawin kontrak", "kawin gantung" dan sebagainya. Kendala pada umumnya terjadi ketika orang mengalami kesulitan dalam menentukan status dan akibat hukum yang timbul dari bentuk-bentuk perkawinan seperti itu, terutama jika telah lahir seorang anak sebagai akibat dari perkawinannya. Undang-undang memberikan kewajiban agar setiap perkawinan
dilakukan
dihadapan
petugas
pencatat
pekawinan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan
58
walaupun banyak pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban tersebut tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan itu sendiri, karena terhadap sah dan tidaknya suatu perkawinan, undang-undang telah menyerahkan hal itu kepada hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh masingmasing calon mempelai. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam hukum agama dan kepercayaan para calon mempelai, maka negara tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya memfasilitasinya dalam bentuk pencatatan menurut aturan perundangundangan yang berlaku. Suatu perkawinan lebih banyak dipandang dari dimensi religiusnya, dibanding dari dimensi administratifnya, karena definisi perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan adalah "sebuah ikatan lahir batin", sehingga banyak kesulitan yang dihadapi oleh negara dalam mengatur secara administratif segi-segi perkawinan yang berhubungan dengan suatu ikatan batin, baik sebagai bentuk dari titan agama atau pun sebagai kewajiban yang ditentukan oleh hukum adat, disamping juga sebagai bentuk ikatan atas dasar hubugan cinta dan kasih sayang antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Persoalan
yang
sering
mengemuka
di
masyarakat
adalah
menyangkut status dan akibat hukum dari "perkawinan siri" yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim. Perkawinan siri 'merupakan bentuk perkawinan yang dilangsungkan tanpa melibatkan petugas pencatat
59
perkawinan, sehingga pelaksanaannya hanya sekedar memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan oleh Hukum Islam. Berdasarkan hukum perkawinan Islam, rukun nikah terdiridari: 1. Adanya mempelai laki-laki (zauj). 2. Adanya mempelai wanita (zaujah). 3. Wali pengantin perempuan. 4. Dua orang saksi (syahidami adilaini). 5. Ijab dan Qabul (shighat). Sedangkan syarat-syarat perkawinan bagi para calon mempelai antara lain: Mempelai pria 1. Berumur baligh. 2. Berakal. 3. Tidak senasab atau sepersusuan dengan mempelai wanita. 4. Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan. 5. Menentukan dan mengetahui nama dan status wanita yang dinikahinya. Mempelai wanita 1. Berusia baligh. 2. Berakal. 3. Tidak senasab atau sepersusuan dengan mempelai pria. 4. Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan. 5. Mengetahui lelaki yang akan menikahi dirinya.
60
Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa disamping sahnya perkawinan didasarkan pada ketentuan agama dan kepercayaan para calon mempeiai, UU Perkawinan menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, jadi dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan. 2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan di atas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak lelaki. Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan untuk pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu nenegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 tahun ke atas tidak memerlukan izin dari orang tuanya. 3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
61
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seseorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atau permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan di atas. 6. Hal-hal yang disebutkan dimuka angka 1 sampai 5 berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.26 Dalam konsep hukum perkawinan Islam, jika suatu perkawinan telah memenuhi semua rukun dan syarat yang ditentukan, maka perkawinan yang dilangsungkan adalah sah dan sekaligus telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sedangkan
yang
menjadi
persoalan
adalah,
apakah
suatu
perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, namun tidak memenuhi kewajiban yang diatur dafam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dapat menyebabkan anak yang lahir menjadi kehilangan statusnya sebagai anak yang sah? Memang tidak ada penjelasan yang tegas menyangkut hal itu. Apakah kewajiban pencatatan itu merupakan syarat tambahan yang diberikan oleh negara kepada para 26
Martiman Prodjohamijojo Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing. Jakarta. 2011. hlm: 13-14.
62
calon
mempelai
sehingga
juga
berdampak
terhadap
keabsahan
perkawinannya ataukah hanya sebatas pada kewajiban administratif saja? Terlepas dari polemik menyangkut persoalan sah dan tidaknya perkawinan yang tidak memenuhi kewajiban pencatatan, maka. penulis berpendapat bahwa oleh karena undang-undang berada dalam dimensi hukum baik secara formtl maupun materiil, maka segala akibat yang dapat dilindungi oleh hukum adalah akibat yang mengandung segi-segi hukum secara formil, karena pembuktian suatu tindakan hukum rnemerlukan suatu bukti yang bersifat formil, sehingga terhadap sebuah perkawinan negara mempunyai hak untuk melakukan pendataan dan pencatatan demi untuk melindungi setiap perbuatan hukum yang dilakukan warganya. Perkawinan merupakan peristiwa sakral dalam sejarah hidup manusia, sehingga perlu dilakukan otentikasi dengan cara pencatatan agar dikemudian hari bisa menjadi bukti yang sempurna, jika terjadi penyangkalan oleh pihak ketiga. Namun yang perlu diubah adalah paradigma menyangkut kelalaian pencatatan perkawinan yang kemudian menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan bagi anak yang dilahirkan. Jika kita simak mekanisme pengaturan undang-undang tentang kewajiban pencatalan atas suatu perkawinan, maka benar bahwa keabsahan perkawinan tidak terikat pada persoalan dicatat atau tidaknya perkawinan tersebut, karena pengaturan antara keabsahan perkawinan dengan kewajiban pencatatan dirumuskan dalam dua aturan yang terpisah, sehingga hal tersebut mengandung pengertian bahwa keabsahan 63
perkawinan merupakan domain dari hukum agama dan kepercayaan para calon mempelai, sedangkan kewajiban pencatatan akan berhubungan dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut. Suatu perkawinan yang dilangsungkan, baru akan mengandung kekuatan hukum jika perkawinan itu memenuhi segi-segi hukum secara formal, yaitu dengan tindakan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mereka yang beraga Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang bukan beragama Islam. Seorang anak dikatagorikan sebagai anak sah menurut UU Perkawinan jika diiahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, ada dua katagori yang dirumuskan oleh undang-undang untuk menunjuk
keabsahan
seorang
anak,
yaitu
berdasarkan
waktu
kelahirannya dan sebab yang mengakibatkan tumbuhnya anak didalam rahim seorang perempuan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 250 KUH Perdata yang berbunyi "Tiap-tiap
anak
yang
ditahirkan
atau
ditumbuhkan
sepanjang
perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya" maka substansi pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena ketentuan Pasal 250 KUH Perdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada hubungan kebapakan, hal ini dapat dilihat dari kalimat terakhir yang berbunyi".. .memperoleh suami sebagai bapaknya".
64
Pasal 272 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Anak tuar kawin kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri. Menurut pasal di atas anak luar kawin dikelompokan menjadi 3 golongan antara lain; 1. anak zina, 2. anak karena pernodaan darah (sumbang), dan 3. anak luar kawin lainnya. "Anak zina" menurut prinsip hukum perdata barat adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau keduanya sedang terikat perkawinan dengan yang lain, hal ini sebagai konsekuensi dari asas monogami yang dianut dalam KUH Perdata. Sedangkan "anak sumbang" adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dimana hukum meiarang perkawinan diantara mereka, misalnya karena masih terikat hubungan darah (incest). Sedangkan "anak luar kawin lainnya" adalah anak yang dibenihkan atau dilahirkan diluar perkawinan orang tuanya namun bisa diakui o!eh orang tuanya. Prinsip anak zina yang dianut dalam KUH Perdata mengandung perbedaan dengan anak zina menurut hukum Islam. Dalam perspektif Islam, "anak zina" adalah anak yang lahir dari suatu hubungan kelamin 65
antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah meskipun ia dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama dengan anak Ii'an yaitu sama-sama tidak sah namun perbedaan di antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari sejak awal seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak Ii'an lahir dari perempuan yang bersuami namun tidak diakui leh suaminya, anak zina dalam hukum Islam tidak memiliki nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir.27
27
148
66
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Perdana Media, Jakarta, 2005, hlm.
BAB III KEDUDUKAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
A. LEMBAGA PERKAWINAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM BUDAYA
DAN
BUDAYA
Sebagai bangsa yang memegang teguh budaya ketimuran, masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menghormati lembaga perkawinan, sebagai iembaga yang sakral dan mengandung nilai-nilai religius, hal ini tidak telalu berlebihan mengingat esensi perkawinan sesungguhnya merupakan bagian dari titah dan anjuran agama kepada pemeluknya. Berdasarkan sudut pandang hukum positif, perkawinan merupakan sebuah perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang melangsungkannya, walaupun perikatan yang timbul bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur daiam Buku III KUH Perdata, karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. Ijab-qabul dalam proses perkawinan mengandung janji diantara suami dan isteri yang diwakili oleh walinya untuk saling setia dan saling menghormati satu sama lain dalam ikatan rumah tangga. Seorang suami
67
sebagai kepala rumah tangga wajib memberikan nafkah yang iayak bagi isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan isteri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas melayani suami dan memelihara anak-anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang. Perkawinan berdasarkan definisi hukum menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah, "Sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dari definisi tersebut dapat kita bayangkan bahwa unsur-unsur religius memang tidak dapat di lepaskan dalam sebuah proses perkawinan, walaupun dalam aturan perundang-undangan kita dapat memahami bahwa pembentuk undang-undang hendak memadukan antara unsur-unsur keagamaan dengan unsur legaladministratif sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan. Upaya memadukan dua unsur tersebut mengandung beberapa konsekuensi antara lain: 1. Mengandung konsekuensi positif, karena suatu perkawinan selain bisa memenuhi titah dan perintah agama disisi lain negara juga dapat melakukan pengaturan terhadap proses perkawinan yang dilakukan oleh warganya. 2. Mengandung konsekuensi negatif ketika pengaturan itu dipandang sebagai bentuk intervensi dari negara terhadap kegiatan atau prosesi
68
keagamaan, karena perkawinan dipandang sebagai suatu bentuk menjalankan ibadah keagamaan. Terlepas dari konsekuensi positif dan negatif di atas, pada umumnya negara-negara di dunia termasuk negara yang beridiologi agama sekalipun, tetap mengatur suatu kewajiban pencatatan perkawinan dalam sebuah perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar negara bisa melindungi perbuatan hukum yang dilakukan oieh warganya. Perkawinan adalah momen yang bersejarah dalam sebuah kehidupan manusia, sehingga tepat kiranya jika negara turut berperan dalam melakukan tindakan perlindungan secara administratif dalam bentuk pencatatan agar tindakan hukum tersebut memiliki dokumen yang otentik. Otentikasi perkawinan juga akan bermanfaat bagi akibat-akibat hukum yang timbu! dari sebuah perkawinan, misalnya jika terjadi kelahiran anak, maka riwayat dan asal usul anak akan mudah untuk dibuktikan karena perkawinan yang mendahului proses keiahiran tersebut telah tercatat dengan baik. Sedangkan apabila perkawinan tersebut tidak terdaftar, maka kelahiran seorang anak akan sulit untuk dibuktikan pada saat terjadi sengketa asal usul keturunan. Pendataan perkawinan juga akan memberikan perlindungan kepada pihak suami maupun isteri dari tuntutan pihak ketiga atas perkawinan yang mereka lakukan. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
69
yang sah" Bila kita cermati rumusan pasal tersebut, maka akan timbui sedikit kerancuan. Daiam klausula "Anak yang lahir akibat perkawinan yang sah" mungkin tidak akan menjadi persoalan, namun dalam klausula "Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah" ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bahwa bisa saja si anak sebenarnya dibenihkan sebelum orang tuanya kawin, namun karena keduanya kemudian melangsungkan perkawinan, maka anak tersebut mendapatkan status sebagai anak sah. Undang-undang sepertinya tidak mempersoalkan apakah si anak dibenihkan sebelum atau sesudah terjadinya perkawinan, yang penting kelahiran si anak terjadi pada saat orang tuanya sedang dalam ikatan perkawinan dan si ayah tidak mengingkari bahwa itu adalah anaknya, bahkan sekalipun sebenarnya si suami bukan ayah biologis yang sesungguhnya, seperti dalam kasus kawin tembelan yang terjadi di Jawa tetap anak itu akan terhubung hak keperdataannya dengan laki-laki yang pada saat itu terikat perkawinan dengan ibunya, kecuali jika anaknya seorang perempuan, maka si ayah tidak bisa menjadi wali nikah bagi si anak. B. RUANG LINGKUP PENGATURAN UU PERKAWINAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggai 2 Januari 1974 dan dinyatakan berlaku sejak saat diundangkan. Berdasarkan judul yang tertera di bagian kepala undang-undang tersebut berbunyi: "perkawinan." Sekilas kita dapat membayangkan, bahwa isi
70
undang-undang tersebut hanya akan mengatur tentang seluk-beluk perkawinan saja, namun ketika kita baca dan telaah isi dan kandungan di daiamnya, ternyata undang-undang tersebut bukan hanya mengatur tentang hukum perkawinan, namun juga mengatur tentang persoalanpersoalan lain di luar dari masalah perkawinan. Sistematika UU Perkawinan dapat digambarkan sebagai berikut: Bab I
tentang Dasar Perkawinan.
Bab II
tentang Syarat-Syarat Perkawinan.
Bab III
tentang Pencegahan Perkawinan.
Bab IV
tentang Batalnya Perkawinan.
Bab V
tentang Perjanjian Perkawinan.
Bab VI
tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri.
Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan. Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Bab IX
tentang Kedudukan Anak.
Bab X
tentang Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua.
Bab XI
tentang Perwalian.
Bab XII tentang Ketentuan-Ketentuan Lain. Bab XIII tentang Ketentuan Peralihan. Bab XIV tentang Ketentuan Penutup. Jika kita perhatikan Bab IX sampai dengan Bab XI yang diatur sebenarnya bukan persoalan perkawinan walaupun memiliki hubungan
71
yang erat dengan perkawinan, karena masalah kedudukan anak, hak dan kewajiban anak dan orang tua serta masalah perwalian bukanlah persoalan perkawinan namun suatu akibat yang timbul dan tindakan perkawinan, walaupun sebenarnya pengertiannya tidak selalu demikian. Kedudukan anak merupakan persoalan hukum keluarga yang tidak hanya menyangkut persoalan antara suami dan isteri, namun juga menyangkut status keperdataan anak yang dilahirkan dari suatu hubungan antara lakilaki dan perempuan. Pengaturan tentang anak luar kawin dalam UU Perkawinan termasuk agak rancu karena statusnya sebagai anak luar kawin, maka sesungguhnya di sini tidak ada tindakan perkawinan yang mendahului kelahiran anak tersebut. Pengaturan tentang anak luar kawin seharusnya diatur tersendiri baik dalam undang-undang secara khusus atau dalam peraturan pemerintah. namun sebenarnya bukan berarti bahwa diantara keduanya sama sekali tidak mengandung Pertautan, karena undang-undang perkawinan juga bukan hanya mengatur tentang perkawinan yang sah dan segala akibat hukumnya tapi juga mengatur tentang akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah yang pada akhirnya akan berdampak pada status dan kedudukan anak yang dilahirkannya. Dengan berlakunya UU Perkawinan, maka beberapa peraturan perundang-undangan
dinyatakan
tidak
berlaku.
Ketentuan
yang
menyatakan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan tidak berlaku adalah sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 66 sebagai berikut: 72
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 1.58), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Jika kita membaca bunyi kalimat terakhir dalam Pasal 66 di atas, maka sebenarnya UU Perkawinan telah menghapuskan berlakunya Buku I Bab IV KUH Perdata khusus menyangkut masalah perkawinan, namun oleh karena materinya tidak hanya menyangkut persoalan perkawinan, maka menurut pendapat penulis UU No. 1 Tahun 1974 tersebut lebih cocok diberi judul "Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Keluarga". C. PENGERTIAN ANAK SAH DALAM UU PERKAWINAN Menurut Pasal 42 UU Perkawinan bahwa yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan sah, sedangkan perkawinan yang sah berdasarkan Rasal 1 ayat (2) adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari dua ketentuan di atas jika diartikan secara bersamaan maka anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah menurut agama atau kepercayaan dari suami dan isteri atau anak yang lahir sebagai akibat dari
73
perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh suami dan isteri yang melangsungkan perkawinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menentukan ukuran tentang sah dan tidaknya seorang anak yang dilahirkan, selalu tidak terlepas dengan persoalan keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Karena dari perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang sah, sedangkan perkawinan yang tidak sah atau bahkan sama sekali tidak pernah ada perkawinan akan melahirkan anak dalam status anak yang tidak sah (anak luar kawin). Jika di telaah, maka akan terlihat ada pengertian yang inkonsisten berdasarkan makna tekstual dalam rumusan Pasal 2 Ayat (2) UU perkawinan dengan penerapan secara kontekstual. Jika Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah seharusnya persoalan mengenai keabsahan anak tidak boleh di kaitkan dengan Pencatatan
perkawinan,
karena
keabsahan
perkawinan
sendiri
mengandung pengertian bahwa perkawinan itu sah jika dicatatkan, namun kenyataannya perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum agama, namun tidak dicatatkan sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan akan meiahirkan anak dengan status anak luar kawin, hal ini terjadi pada kasus kawin siri. Secara administratif pengertian anak yang sah rnenurut hukurn adalah anak yang lahir atau sebagai akibat dari perkawinan yang didaftarkan atau dicatat di kantor pencatat perkawinan karena nikah siri 74
yang secara agama merupakan perkawinan yang sah, dalam praktiknya justru akan meiahirkan anak yang tidak sah. Dalam ketentuan penjelasan angka 4 huruf b UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan rnenurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Menurut rumusan penjelasan di atas, pencatatan merupakan suatu kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan, namun isi penjeiasan tersebut tidak menyebutkari bahwa pelanggaran dari kewajiban
pencatatan
tersebut
akan
berakibat
pada
keabsahan
perkawinan yang dilakukan, karena keabsahan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan merupakan domain dari hukum agama dan kepercayaan para mempelai. Substansi pencatatan atas suatu perkawinan merupakan bentuk dari kewajiban administratif dari seorang warga negara agar suatu tindakan hukum yang dianggap akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak bisa mendapatkan perlindungan secara hukum dari negara sebagai lembaga yang menaungi segala kepentingan warganya.
75
Penulis perlu kiranya mengkritisi pertautan diantara dua pasal tersebut, karena jika UU Perkawinan menghendaki bahwa "Anak sah itu adalah anak yang lahir dari atau sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan", maka Pasal 42 UU Perkawinan seharusnya berbunyi "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dan perkawinan yang didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan", sehingga maknanya tidak menjadi simpang siur antara maksud perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan dengan ketentuan tentang anak sah menurut Pasal 42 UU Perkawinan.
D. KEWAJIBAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT UU PERKAWINAN. Sebagaimana berulangkali kita bahas diawal, bahwa status hukum seorang anak di dalam hukum keluarga berkaitan erat atau bahkan secara mutlak ditentukan oleh sah dan tidaknya perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Sehingga tidak lengkap jika kita membicarakan tentang sah dan tidaknya status seorang anak tanpa membahas tentang keabsahan perkawinan dan segala aspek-aspek yang menyertainya. Dalam
pembicaraan
tentang keabsahan
perkawinan
kita
sering
dihadapkan pada dua persoalan penting antara lain: persoalan hukum agama dan persoalan hukum negara (hukum positif). Pasal 2 secara berturut-turut memberikan dua kompetensi sekaligus antara lain pada Ayat (1) disebutkan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaan para pihak yang melangsungkannya, 76
sedangkan pada Ayat (2) negara memberikan kewajiban kepada para pihak untuk mencatatkan perkawinan yang dilangsungkan di kantor pencatat perkawinan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pasal 2 Ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Pahun 1974 menyebutkan bahwa: Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah talak dan Rujuk. Sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam rnenurut Pasai 2 ayat (2) perkawinan tersebut didatakan di Kantor Catalan Sipii. Negara mewajibkan bahwa pada setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada petugas pencatat perkawinan, dan pemberitahuan tersebut dilakukan sekurangkurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan itu dilangsungkan. Pemberitahuan rencana perkawinan bukan hanya dimaksudkan untuk tujuan pencatatan pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, namun berfungsi juga untuk bahan p'enelitian bagi petugas pencatat perkawinan terhadap hal-hal yang mungkin dapat menjadi halangan terhadap perkawinan mereka, misalnya diantara kedua belah pihak sesungguhnya belum saatnya untuk melangsungkan perkawinan atau terdapat larangan menurut undang-undang yang membatasi antara mempelai wanita dengan mempelai
pria uniuk
melangsungkan
perkawinan. Berkaitan dengan hal tersebut petugas pencatat perkawinan
77
harus melakukan pemeriksaan tentang syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh undang-undang. Para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus menyerahkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat digunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempeiai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu. 2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai. 3) Ijin tertulis atau ijin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) undang-undang apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. 4) Ijin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 undang-undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri. 5) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 Ayat (2) undang-undang. 6) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. 7) Ijin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri Hankam/Pangab apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata. 8) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak 78
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada orang lain. Secara hukum proses perkawinan mengandung asas publisitas karena setelah para pihak meiaporkan maksudnya kepada pegawai pencatat perkawinan, maka pegawai pencatat perkawinan akan melakukan pengumuman tentang rencana perkawinan tersebut dan pemberitahuan itu akan ditempei di papan pengumuman Kantor Pencatat Perkawinan. Pengumuman bertujuan agar publik pada umumnya mengetahui identitas (calon mempelai) yang hendak melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya secara hukum proses perkawinan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena perkawinan itu harus diketahui oleh khalayak umum khususnya lingkungan dimana para calon mempelai tinggal, hal ini untuk menghindari fitnah dikemudian hari atas ketidaktahuan masyarakat tentang perkawinan yang dilangsungkan. Pengumuman perkawinan ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang isinya memuat antara lain: 1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabiia salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu. 2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
79
Tujuan pencatatan perkawinan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pthak yang melangsungkan perkawinan, sehingga negara sebagai organisasi yang menaungi seluruh warganya akan memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya perkawinan, sehingga para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. E. PENGATURAN TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa "Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bunyi pasal di atas juga sebenarnya menimbulkan banyak penafsiran karena kalimat "dilahirkan diluar perkawinan" itu sebenarnya mengandung makna seperti apa? Apakah yang dimaksud diluar perkawinan itu adalah suatu kelahiran yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan, misalnya anak yang lahir dari perzinahan, atau juga/termasuk dalam pengertian perkawinan yang tidak sah beifdasarkan hukum agama sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, atau sebenarnya menunjuk pada proses perkawinan yang tidak didaftarkan sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2)? Tiga keadaan yang disebutkan di memiliki
atas masing-masing
persoalan hukum yang berbeda, karena jika maksudnya
menunjuk pada Keadaaan
yang sama sekali tidak pernah ada
perkawinan, maka anak yang lahir dari perkawinan siri tidak
80
boleh digolongkan anak luar kawin, karena kelahiran anak tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Jika maksudnya adalah perkawinan yang tidak dicatatkan maka rumusan kalimat Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjadi tidak cocok, karena antara perkawinan dengan pencatatan merupakan dua hal yang berbeda walaupun yang satu memberikan pengaruh bagi yang lain. Jika kita terjemahkan secara parisai bunyi Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 42, rnaka anak yang dibenihkan dalam suatu perkawinan yang sah namun ketika anak tersebut lahir perkawinan orang tuanya telah putus, maka anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya karena anak tersebut lahir diluar perkawinan. Contoh: Seorang suami isteri menikah secara sah pada tanggal 1 Januari 2012 dan tidak selang lama kemudian si isteri mengadung, ketika isterinya sedang mengandung tujuh bulan tiba-tiba suaminya meninggal, sehingga otomatis perkawinannya menjadi putus (cerai mati), dan lahirlah seorang anak setelah suaminya meninggal. Coba kita hubungkan kasus di atas dengan bunyi kalimat "Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bukankah si anak dalam kasus di atas lahir diluar perkawinan karena perkawinannya telah terputus sebelum anak tersebut lahir? Jadi jika kasus di atas hanya diartikan dengan bunyi Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan, maka anak 81
tersebut tidak akan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Jika pengertiannya dihubungkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan, barulah anak tersebut akan mendapatkan statusnya sebagai anak sah karena bunyi Pasal 42 jelas menyebutkan bahwa "Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai sebab dari perkawinan yang sah" sehingga antara Pasal 42 dengan Pasal 43 Ayat (1) sesungguhnya mengandung pertautan yang kurang harmonis. Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tidak menyebutkan kata "sah"natau "didaftarkan/dicatatkan" sehingga jika ditafsirkan secara kaku, maka rumusan Pasal 43 Ayat (1) tersebut dapat diartikan bahwa yang penting antara orang tua si anak pernah melangsungkan perkawinan maka setiap anak yang dilahirkan akan menjadi anak yang sah terlepas dari perkawinan yang dilakukannya itu sah atau tidak, didaftarkan atau tidak karena Pasal 43 Ayat (1) tidak menentukan harus sah atau harus didaftarkan. Entah merupakan suatu kelalaian dari pembentuk undang-undang atau sebenarnya pembentuk undang-undang menganggap bahwa rumusan dalam Pasal 43 Ayat (1) tersebut pengertiannya tidak boleh dipisahkan dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 42 UU Perkawinan sehingga kata perkawinan dalam rumusan Pasal 43 Ayat (1) mengandung pengertian bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan menurut dua ketentuan pasal di atas. Agar kedua pasal tersebut memiliki harmonisasi, maka lebih tepat jika rumusan Pasal 43 Ayat (1) itu berbunyi "Anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya 82
dan keluarga ibunya". Sehingga tidak menimbulkan penafsiranpenafsiran yang melenceng dari kehendak undang-undang itu sendiri. Pasal 43 Ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam ayat (1) seianjutnya akan diatur dalam peraturan pemeriritah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin sedangkan PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena ayah tidak mengakui atau tidak kawin dengan perempuan itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh anak untuk bisa menuntut hak
83
pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya. Dalam terminologi hukum adat, hukum Islam maupun hukum barat sekalipun, anak-anak yang lahir dari orang tua yang meninggalkan warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting dan paling utarna, karena menurut Wirjono dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris di Indonesia anak-anak pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris karena dengan keberadaan anak akan menutup golongan ahli waris yang lainnya.28 Syarat seorang anak luar kawin untuk bisa mendapatkan hak waris dari orang tua biologisnya menurut hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam Pasal 872 KUH Perdata adalah jika ia telah diakui oleh orang tua biologisnya karena KUH Perdata menganut prinsip bahwa hanya mereka yang mempunyai hubungan keperdataan dengan si pewaris saja
yang berhak
mewaris. Hubungan hukum antara anak
luar kawin dengan ayah atau ibunya timbul setelah adanya pengakuan dari ayah dan ibunya tersebut, dalam arti bahwa hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang telah mendapat pengakuan dengan ayah atau ibu yang mengakuinya saja.29
28
Soedharyo Soirnin, Hukum Orang dan Keluarga. Cet-II. Srnar Grafika Jakarta. 2004. hlm: 31 29 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyan, Hukum Kewarisan Perdata Barat. CetII. Kencana Media Group. Jakarta, hlm: 87
84
F. LATAR BELAKANG TIMBULNYA ANAK LUAR KAWIN Pasal 42 UU Perkawinan hanya menyebutkan definisi tentang anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawihan yang sah, sehingga untuk mengartikan tentang anak yang tidak sah (luar kawin) terpaksa kita menggunakan logika argumentum a contrario terhadap pasal tersebut bahwa anak luar kawin adalah anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Berdasarkan sebab dan latar belakang terjadinya, anak luar kawin timbul antara lain disebabkan oleh: 1) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tetapi wanita itu tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawian dengan pria atau wanita lain. 2) Anak yang dilahirkan dari seorang wanita, kelahiran tersebut diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya itu masih terikat dengan perkawinan lain. 3) Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya ada kemungkinan anak luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan:pria yang menyetubuhinya. 4) Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari anak tersebut tidak diakui suaminya sebagai anak yang sah.
85
5) Anak yang lahir dari seorang wanita padahal agama yang mereka peluk menentukan lain, misalnya dalam agama Katolik tidak mengenal cerai hidup tetapi dilakukan juga kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak. Anak tersebut dianggap anak luar kawin. 6) Anak yang lahir dari seorang wanita sedangkan pada mereka berlaku ketentuan negara melarang mengadakan perkawinan misalnya Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) tidak mendapat ijin dari kedutaan besar untuk mengadakan perkawinan karena salah satu dari mereka telah mempunyai isteri tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut anak ini dinamakan juga anak luar kawin, 7) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya. 8) Anak yang lahir dan perkawinan yang tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama. 9) Anak yang lahir dari perkawinan secara adat tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan serta tidak didaftar di Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama30 Terjadinya kelahiran seorang anak yang tanpa didahului oleh suatu ikatan perkawinan akan memberi status kepada si anak yang dilahirkan sebagai anak luar kawin. Dari pelbagai latar belakang terjadinya anak
30
H. Herusko, Anak di Luar Perkawinan, Makalah pada Seminar Kowani Jakarta tanggal 14 Mei 1996. hlm: 6
86
diluar kawin sebagaimana diuraikan di atas, pada umumnya dipengaruhi oleh adanya kendala pada pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk melangsungkan perkawinan, beberapa kendaia tersebut antara lain: 1) Karena kuaiitas secara pribadi antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang menjadi orang tua biologis si anak memang dilarang oleh hukum dan undang-undang untuk melangsungkan perkawinan, misalnya karena adanya hubungan darah keatas atau kebawah. dan sebagainya. 2) Karena antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan yang menjadi orang tua biologis si anak terhalang oleh suatu
keadaan
yang
menimbulkan ia tidak bisa melangsungkan pekawinan sebelum keadaan itu hilang, misalnya karena berlaku Pasal 27 KUH Perdata, maka
seorang
laki-laki
yang
sedang
beristeri
tidak
bisa
melangsungkan perkawinan dengan perempuan lain. Karena tidak ada persetujuan orang tua dari salah satu atau dari keduanya sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan, terutama persetujuan dari orang tua pihak perempuan karena perkawinan bagi seorang perempuan harus atas persetujuan wali nikahnya. 3) Karena ketidaksiapan secara ekonomi yang kemudian perkawinan, tidak dapat dilangsungkan. 4) Karena adanya perbedaan pandangan keyakinan/agama diantara pihak laki-laki dan perempuan dan diantara keduanya tidak ada yang bersedia mengalah untuk berubah keyakinan
87
5) Karena perbedaan adat istiadat yang sangat mencolok sehingga keluarga dari masing-masing pihak tidak menyetujui untuk terjadinya perkawinan. 6) Karena perbedaan status sosial yang menjadikan orang tua (keluarga) dari
salah
satu
pihak
tidak
menghendaki
perkawinan
itu
dilangsungkan. 7) Karena adanya sengketa mengenai kejelasan asal usul keturunan dari anak yang dikandung oleh si perempuan sehingga si laki-laki tidak yakin bahwa bayi yang ada dalam kandungan tersebut adalah berasal dari benihnya. 8) Atau mungkin banyak lagi alasan-alasan lain sehingga seseorang tidak dapat melangsungkan perkawinan padahal telah terjadi kehamilan dalam perut si perempuan yang kemudian mengakibatkan kelahiran anak itu menjadi anak di luar perkawinan. Ada sebuah perbedaan antara anak yang disangkal oleh ayahnya karena dianggap bukan berasal dari benih yang ditanamnya dan sangkalan itu tenyata dapat dibuktikan, sehingga anak statusnya menjadi anak-diluar kawin dengan anak yang lahir .dari suatu perkawinan yang sah namun kemudian perkawinan itu dinyatakan -batal karena diketahui bahwa antara laki-laki dengan si perempuan adalah orang yang dilarang atau karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh aturan agama maupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan itu hams dibatalkan. Status dan kedudukan anak yang lahir dari suatu
88
perkawinan yang dibatalkan tidak akan mengubah status anak menjadi anak di luar kawin, karena berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Perkawinan jo. Pasal 75 huruf b Kompilasi Hukum Islam bahwa pembatalan yang dilakukan tidak dapat berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan oleh perkawinan tersebut Hal itu kemudian. dipertegas oleh ketentuan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
89
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN DALAM AGAMA ISLAM Hukum Islam menempatkan lembaga perkawinan dalam sebuah bingkai mulia sebagai bentuk ikatan sakral antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar perasaan cinta dan kasih sayang, hal ini bisa kita lihat dari beberapa ketentuan Al Quran yang melukiskan betapa lembaga perkawinan menjadi sangat penting kedudukannya di dalam hubungan kekeluargaan, karena selain perkawinan dapat menjaga kesucian manusia dari perbuatan zina yang bisa menjerumuskan ke lembah yang terhina, juga bisa menjadi pintu gerbang bagi kelangsungan re-generasi manusia. Peranan penting sebuah perkawinan berimplikasi pada berlakunya sanksi yang sangat berat bagi orang-orang yang melakukan hubungan badan diluar perkawinan, bahkan bagi mereka yang melakukan zina dalam katagori muhshan31 diancam dengan pidana mati (rajam) yaitu dikubur di tanah sebatas leher dan dilempari batu sampai rneninggal.
31
Ket: zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh mereka yang sedang terikat atau pernah terikat perkawinan
90
Istilah perkawinan atau juga disebut pernikahan berasal dari bahasa Arab yaitu an-nikah yaitu berdasarkan pendapat para ulama fiqh terkemuka (imam mazhab) definisi nikah atau pernikahan antara lain sebagai berikut32: Mazhab AI-Hanafiyah Akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syar'i. Mazhab AI-Malikiyah Sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah. Mazhab Asy-Syafi'iyah Akad yang mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain yang maknanya sepadan. Mazhab AE-Hanabilah Akad perkawinan atau akad yang diakui didalamnya lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang punya makna sepadan. Hukum Pidana Islam telah mengelompokan perbuatan zina dalam golongan kejahatan yang berat, seperti pembunuhan, pemberontakan dan perampokan. Hal tersebut jelas sangat berbeda dengan konsep zina 32
Ahmad Sarwat. Seri Fiqih Kehidupan (8) Pernikahan. DU Publishing. Jakarta. 2011. hlm : 24-26
91
menurut hukum barat yang memandang bahwa perbuatan zina bukanlah sebagai kejahatan yang berat, hal ini bisa kita lihat dalam ketentuan Pasai 284 KUHP yang hanya mengancam pelaku zina dengan pidana sembilan bulan penjara. Konsepsi zina menurut Hukum Barat juga memiliki perbedaan dengan konsep zina yang diatur dalam hukum Islam, dimana menurut Pasal 284 KUHP seseorang diancam telah melakukan perbuatan zina jika salah seorang atau kedua-duanya terikat pekawinan dengan yang lain, hal mana berbeda dengan konsepsi menurut Islam dimana semua perbuatan persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan perbuatan zina tanpa melihat apakah salah seorang atau kedua-duanya itu telah terikat perkawinan atau tidak. Artinya meskipun si laki-laki masih berstatus sebagai perjaka dan si perempuan masih berstatus gadis jika hubungan itu tanpa ikatan perkawinan terlebih dahulu, maka mereka telah melakukan perbuatan zina. Dalam hukum barat, terminologi perbuatan zina semata-mata hanya untuk mempertahankan asas monogami yang dianut dalam Pasal 27 KUH Perdata, dimana dalam satu waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang perempuan dan sebaliknya seorang perempuan hanya boleh terikat dengan satu laki-laki. Prinsip tersebut dapat terlihat dalam rumusan Pasal 284 yang secara eksplisit menunjuk pada berlakunya Pasal 27 KUH Perdata. Meskipun hukum Islam menentukan hukuman yang sangat berat bagi pelaku zina yaitu hukuman dera seratus kali bagi pelaku zina ghair 92
muhshan dan hukuman rajam sampai meninggal bagi pelaku zina muhshan, namun tidak ada satu aturan pun dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari perbuatan zina juga harus mendapatkan hukuman sebagaimana orang tuanya. Agama Islam menentukan bahwa setiap orang yang dilahirkan terlepas kelahiran itu diakibatkan oleh suatu hubungan yang sah ataupun tidak, si anak akan terlahir dalam keadaan yang suci dan tanpa dosa. Perkawinan merupakan bagian dari perbuatan yang disunahkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana hadist dari HR Ibnu Majah yang berbunyi: "Nikah (kawin) itu dari sunnahku, maka barang siapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku". (HR Ibnu Majah). Dalam kehidupannya Rasulullah SAW pernah beberapa kali menikahi perempuan, beberapa perempuan yang pernah dinikai oleh beliau antara lain: 1. Khadijah bt. Khuwailid AI-Asadiyah r.a. 2. Saudah bt. Zam'ah AI-Amiriyah Al Quraisiyah r.a. 3. Aisyah bt Abi Bakar r.a. 4. Hafsah bt. Umar bin AI-Khattab r.a. 5. Ummu Salamah Hindun bt. Abi Umaiyah r.a. . 6. Ummu Habibah Ramlah bt. Abi Sufian r.a. 7. Juwairiyah (Barrah) bt. Harith. 8. Safiyah bt. Huyay. 9. Zainab bt. Jansyin. 10. Asma’bt. AI-Nu'man Al-Kindiyah. 93
11. Umrah bt. Yazid AI-Kilabiyah. 12. Zainab bin Khuzaimah. Dari beberapa penjelasan literatur disebutkan bahwa sebenarnya ada satu lagi wanita yang pernah menjadi isteri Rasulullah yang bernama Maria Al Qabtiyya sehingga seluruhnya Rasulullah pernah menikah sebanyak 13 kali. Motivasi Rasulullah SAW menikahi wanita-wanita tersebut adalah untuk kepentingan menolong dan mengangkat derajat para wanita yang dinikahinya disamping untuk kepentingan berdakwah. M. Faly Hasan menyebutkan ada tujuh hikmah Rasulullah SAW dalam menikah dengan para isterinya antara lain:
1) Banyaknya tawanan Ansar yang merupakan keluarganya sendiri, karena untuk memperkuat dakwahnya dan menyampaikan risalah Rabb-nya. 2) Untuk memuliakan qabilah-qabilah yang masih keluarga Rasulullah SAW, sehingga hubungannya semakin dekat. 3) Menampakkan kepada banyak orang tetang kondisi yang semula tersembunyi dengan maksud untuk menetralisir berita yang disebarkan orang-orang musyrik mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW tukang sihir dan dukun. 4) Keajaiban didalam diri Rasulullah dalam menggilir isteri-isterinya hanya pada satu malam dan merupakan mu'jizat bagi Rasulullah
94
SAW dalam membagi giliran sesama isterinya dengan adil. (Qs. AnNisa (4):129) 5) Memuliakan sebagian wanita-wanita janda atas dasar keimanan mereka setelah wafat suaminya. Rasulullah menikahinya atas dasar bermaksud menjaga keimanan mereka. 6) Ada banyak wanita berpindah kepada hukum-hukum syari'at (masuk Islam) dan suami tidak mengikuti isterinya, akibatnya guru-guru (da'i) yang mengajarkan Islam kepada wanita. 7) Mengurangi permusuhan (menikahi Ummu Habibah binti Abu Sofyan anak dari Abu Sofyan yang merupakan musuh Islam pemimpin orang kafir sebelum masuknya Islam dan Shafiyah binti Hayiyi bin Akhtab musuh Nabi dari kalangan Yahudi)33. B. SYARAT PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM Sebagaimana prinsip di dalam hukum, bahwa kedudukan seorang anak ditentukan oleh sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan orang tuanya. Begitu pentingnya peranan perkawinan dalam menentukan status dan kedudukan seorang anak di hadapan hukum, sehingga daiam melakukan pembahasan tentang persoalan status dan kedudukan anak kita tidak bisa melepaskan diri dari pelajaran tentang hukum perkawinan dan segaia aspeknya termasuk segala persyaratan yang wajib dipenuhi 33
M. Faly Hasan. Motivasi Pemikahan Nabi Muhammd., SAW. dikutip dari http://nana-ngajiyuuk.blogspot.com/2009/03/motivasi-pernikahan-nabi muhammadsaw.html
95
dalam
melangsungkan
perkawinan.
Pasal
1
UU
Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan ialah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Pendefinisian perkawinan sebagai ikatan lahir batin memberikan gambaran bahwa perkawinan tidak hanya mengandung dimensi secara fisik namun juga mengandung segi-segi rohaniah sebagai bentuk dari ikatan batin. Dalam konsep Islam perkawinan bukan hanya sebatas akad dan proses ceremonial, namun juga sebagai bentuk perwujudan ibadah (sunnah Rasulullah) karena tujuan paling utama dari sebuah perkawinan menurut Islam adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina yang dapat menjerurnuskan manusia ke lembah kehinaan. Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan rnenyerahkan ukuran sah dan tidaknya perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh calon mempelai, maka terpaksa kita harus masuk kedalam pembahasan tentang syarat-syarat perkawinan yang diatur oleh hukum agama, khususnya menurut hukum Islam sebagaimana di tentukan oleh beberapa sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam terdiri dari AlQuran, Hadist dan Ijtihad. Berdasarkan beberapa sumber hukum tersebut para ulama di Indonesia telah melakukan pengumpulan dan pembukuan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam, yang kemudian dinyatakan berlaku sebagai hukum materiil bagi hakim di
96
pengadilan agama melalui tntruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991. Secara substansiai Kompilasi Hukum Islam terdiri dari kandungan hukum yang diambil dari ketentuan Al Quran, Al Hadist dan Ijtihad para ulama dan telah disesuaikan dengan hukum positif sepanjang tidak mengalami pertentangan dengan Al Quran maupun Al Hadist, sehingga dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat beberapa pasal yang secara tegas menunjuk aturan dalam perundang-undangan yang mengatur tentang suatu perbuatan tertentu, misalnya menyangkut dengan hukum perkawinan beberapa ketentuan menunjuk aturan dalam UU Perkawinan. Untuk dapat terlaksananya sebuah perkawinan harus memenuhi beberapa rukun sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam antara lain: 1. Calon suami. 2. Calon isteri. 3. Wali nikah. 4. Dua orang saksi. 5. Ijab dan qabul. Berdasarkan kelima rukun tersebut tidak boleh ada satu pun yang tertinggal, karena kesemuanya bersifat kumulatif-imperatif dalam arti tidak akan ada perkawinan tanpa adanya kelima rukun tersebut. Seorang calon mempelai baik mempelai laki-laki maupun mempelai wanita harus telah memenuhi usia yang ditentukan. Menurut
97
hukum Islam, syarat usia bagi kedua calon mempelai adalah telah baligh, sedangkan menurut UU Perkawinan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan antara lain: -
Bagi calon mempelai yang berusia dibawah 21 tahun, maka harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya.
-
Suatu perkawinan hanya diijinkan bagi seorang pria yang telah mencapai usia 19 tahun dan wanita telah mencapai usia 16 tahun.
Suatu perkawinan harus didasarkan pada kehendak kedua belah pihak tanpa adanya paksaan, hat ini menandakan bahwa dalam perkawinan sebenarnya juga terdapat unsur-unsur perjanjian, yaitu janji untuk saling mencintai, saling setia dan saling membina rumah tangga, sehingga jika dalam perkawinan itu mengandung kehendak yang tidak sempurna, maka perkawinan itu menjadi fasid. Persetujuan atau kehendak dalam melangsungkan perkawinan dapat dinyatakan secara tegas dengan lisan, tulisan maupun dengan isyarat, dan dapat juga dinyatakan secara diam, selama tidak ada penolakan secara tegas dan sepanjang isyarat atau diam itu dimengerti oleh mereka yang terlibat dalam perkawinan sebagai bentuk persetujuan. Sedangkan bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu pernyataan dapat dinyatakan secara tulisan atau dengan isyarat yang dapat dimengerti. Sebuah perkawinan tidak sah jika terdapat halangan yang ditentukan oleh syariat bahwa kedua calon mempelai adalah orang-orang yang dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Bab VI Kompilasi
98
Hukum Islam mengatur tentang larangan-larangan perkawinan antara lain: Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: (1) Karena pertalian nasab. a. Dengan
seorang
wanita
yang
melahirkan
atau
yang
menurunkannya atau keturunannya. b. Dengan seofang wanita keturunan ayah atau ibu, c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan. (2) Karena pertalian kerabat semenda. a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya. b. Dengan
seorang
wanita
bekas
isterinya
orang
yang
menurunkannya. c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu "qobla al dukhul". d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya (3) Karena pertalian susuan. a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus keatas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah. 99
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya. b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteriisterinya telah di talak raj'i tetapi masih dalam masa iddah.
100
Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan pekawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj'i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria. a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang di li'an. (2) Larangan tesebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Berdasarkan beberapa larangan perkawinan berdasarkan Pasal 39 sampai Pasal 44 di atas pada prinsipnya mengandung dua kelompok larangan antara lain: 1. Larangan yang bersifat mutlak. Larangan secara mutlak adalah larangan yang tidak akan pernah berubah dan tidak ada cara atau syarat apa pun yang dapat mengubah 101
larangan tersebut menjadi kebolehan, contoh larangan mutlak misalnya perkawinan antara mereka yang berhubungan darah atau hubungan sesusuan. 2. Larangan yang bersifat relative. Larangan secara relatif adalah larangan perkawinan yang merintangi seseorang untuk melangsungkan perkawinan, namun jika syarat dan keadaan tertentu telah terpenuhi, maka bisa berubah menjadi kebolehan, misalnya larangan menikahi wanita yang sedang dalam masa iddah akan menjadi kebolehan jika masa iddahnya telah terlewaii atau larangan menikahi wanita bekas isteri yang telah ditalak tiga kali, jika wanita tersebut pernah melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan pernah melakukan hubungan badan (ba'da dukhut) lalu bercerai tagi, maka menjadi halal untuk dinikahi lagi.
C. HUKUM BAGI SESEORANG UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN Hukum untuk melangsungkan perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hukum itu ditentukan oleh suatu keadaan yang sifatnya situasional dan kondisional. Setiap hukum melekat pada diri setiap orang yang memiliki niat atau telah sampai pada saatnya untuk menikah. Dalam konsep Islam pekawinan itu ditujukan untuk menghindari perbuatan zina, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang mengandung konsekuensi yang sangat berat di hadapan Allah SWT.
102
Dalam ajaran Islam, ada beberapa hukum bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan antara lain sebagai berikut: 1. Wajib. Suatu perkawinan merupakan kewajiban bagi seseorang, manakala ia telah memiliki seorang calon untuk dinikahi dan secara pribadi ia telah mampu secara financial maupun spiritual untuk melangsungkan perkawinan dan sangat dikhawatirkan jika perkawinan itu ditunda-tunda, maka orang tersebut bisa terjerumus kedalam pezinahan. Dalam kondisi seperti itu, maka hukumnya wajib untuk melangsungkan perkawinan. Konsekuensi dari hukum yang wajib, jika dengan sengaja perkawinan itu ditunda-tunda akan menimbulkan dosa bagi mereka. 2. Sunnah. Suatu perkawinan mengadung hukum yang sunnah jika sebenarnya orang tersebut telah mampu secara fisik maupun financial, namun karena situasi dan kondisinya dipandang tidak ada kekhawatiran dia akan terjerumus didalam perbuatan zina, misalnya karena situasi lingkungan tempat ia tinggal cukup baik dan tidak terdapat hal-hal yang dapat mendorong kepada perbuatan zina.34 3. Haram. Pada prinsipnya ada beberapa hai yang menyebabkan suatu perkawinan bagi seseorang menjadi haram, antara lain karena ia (laki34
Ahmad Sarwat. Op. Cit., 2011 hlm: 53.
103
laki) sama sekali tidak mampu memberi nafkah atau sama sekali tidak mampu melakukan hubungan seksual, kecuali jika dia berterus terang kepada calon pasangannya dan ia menerimanya atau bila dalam dirinya terdapat cacat fisik yang bila diketahui oleh pasangannya tidak akan diterima olehnya, kecuali jika dari awal berterus terang dan pasangannya menerima keadaan tersebut, atau karena pasangannya bukan beragama Islam (kafir), atau seorang penzina sehingga dikhawatirkan akan menularkan penyakit berbahaya, maka perkawinan-perkawinan dalam kondisi seperti itu dilarang menurut padangan Islam karena akan menimbulkan penderitaan bagi pasangannya.35 Dari
beberapa
bentuk
keadaan
yang
diharamkan
untuk
melangsungkan perkawinan. Islam juga mengharamkan beberapa jenis perkawinan antara lain: a. Perkawinan Al~lstibdha. b. Perkawinan AI~Mukhadanah. c. Perkawinan Asy-Sighar. d. Perkawinan Warisan. e. Perkawinan Mut'ah.36 4. Makruh. Suatu perkawinan menjadi makruh, jika seorang laki-laki tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk hidup berumah tangga, sehingga
35 36
104
ibid, hlm: 53-54. ibid, hlm: 53-54.
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
persoalan
seperti
terjadinya
percekcokan dan mengakibatkan isteri menjadi kurang penghargaan terhadap suami, namun keadaan tersebut akan menjadi mubah hukumnya jika pihak perempuan pada saat hendak melangsungkan perkawinan menyatakan menerima keadaan tersebut. 5. Mubah. Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal hal yang mendorong
keharusannya
untuk
menikah
dengan
hai-hal
yang
mencegahnya untuk menikah, maka hukumnya menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.37 D. KONSEPSI ZINA DALAM HUKUM ISLAM Pembicaraan tentang anak luar kawin dalam konsepsi hukum Islam tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya akan masuk pada pembicaraan tentang perzinahan karena kelahiran anak di luar kawin dalam konsep hukum Islam pasti akan didahului oleh adanya perbuatan zina, kecuali anak luar kawin dalam katagori syubhat38 karena perbuatan zina menurut 37
ibid, hlm: 54-56. Ket: anak syubhat tidak dapat dikatagorikan sebagai anak zina karena ada unsur kekeliruan dalam akalnya pada saat melakukan persetubuhan, yang menganggap bahwa orang yang disetubuhinya itu adalah isterinya yang sah, atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang akalnya rusak seperti gila, menggigau dan sebagainya sehingga perbuatan atas dasar kekeliruan tidak dikelompokan sebagai bagian dari perbuatan zina 38
105
Islam termasuk bagi mereka yang telah/pernah menikah maupun bagi mereka yang sama sekali belum pernah melangsungkan pernikahan. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya39 Konsep zina dalam pengertian hukum barat sangat dipengaruhi oleh adanya asas monogami yang berlaku dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 27 KUH Perdata yang rumusannya berbunyi: Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Menurut Pasal 284 KUHP jo. Pasal 27 KUH Perdata seseorang dapat dikatakan telah berbuat zina jika salah seorang atau kedua-duanya sedang terikat oleh perkawinan dengan yang lain, sehingga ikatan perkawinan merupakan unsur yang menentukan seseorang dapat dikatakan melakukan zina atau tidak. Hal ini sangat berbeda dengan konsep zina menurut hukum Islam. Berdasarkan terminologi Islam perbuatan zina tidak hanya ditentukan oleh keadaan bahwa laki-laki atau
39
Gatot Supramono. Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Djambatan. Jakarta. 1998. him. 18
106
perempuan sedang berstatus menikah dengan perempuan atau iaki-laki lain, namun setiap hubungan suami isteri yang dilakukan oleh pasangan yang tidak dalam ikatan perkawinan terlepas apakah ia sedang berstatus menikah dengan yang lain atau mereka masih berstatus perjaka dan gadis, tetap dianggap sebagai perbuatan zina. Menurut Abdurrahman Doi bahwa zina menurut pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan40 Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik unsur/elemen dari perbuatan zina antara lain: 1. Adanya hubungan kelamin. 2. Yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 3. Yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Rumusan perbuatan zina menurut konsepsi Islam sebagaimana disebutkan di atas tidak memperhitungkan apakah pelaku sedang dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain atau tidak, yang penting bahwa diantara pelaku (laki-laki danperempuan) tidak terikat hubungan perkawinan yang sah. Perbedaan zina berdasarkan ikatan perkawinan dengan yang lain hanya berlaku bagi penentuan berat ringannya sanksi dimana hukuman yang dijatuhkan akan lebih berat bagi pelaku perzinahan yang dilakukan oleh orang yang sedang terikat perkawinan
40
Abdurrahman Doi. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Rineka Cipta Jakarta 1991. him: 31
107
dibandingkan perzinahan yang dilakukan oleh mereka yang berstatus perjaka dan gadis. Perzinahan dalam katagori zina muhshan yaitu perzinahan yang dilakukan antara orang yang terikat atau pernah terikat dalam tali perkawinan yang sah. Perbuatan zina dalam katagori tersebut diancam dengan pidana mati (rajam), selain juga diancam dengan pidana 100 kali dera. Berdasarkan Al Quran Surat 24 Ayat 2 menentukan bahwa zina muhshan di pidana rajam yaitu dengan melempari pelaku dengan batu hingga meninggal dunia. Berdasarkan Hadist riwayat Imam Muslim yang menyatakan bahwa "Adapun perawan (gadis) dengan pemuda (bujangan) dengan 100 kali dera dan diasingkan selama 1 (satu) tahun sedangkan janda dengan duda dihukum 100 kali dera dan rajam"41 Jika dilihat dari sudut pandang sanksi terhadap masing-masing perbuatan zina, antara konsepsi hukum Islam dengan hukum barat jelas sangat berbeda. Dalam KUHP perbuatan zina hanya diancam dengan pidana penjara selama sembilan bulan, padahal rumusan perbuatan zina menurut Pasal 284 KUHP mengandung pengertian zina muhshan dalam pengertian hukum Islam yang mengancam pelakunya dengan pidana mati (rajam sampai dengan meninggal). Dalam terminologi hukum Islam perbuatan zina merupakan bentuk perbuatan dosa yang diancam dengan hukuman had dalam katagori jarimah hudud, yang mana dikelompokan dengan perbuatan-perbuatan 41
Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Angkasa Bandung. 1996. him: 82-83
108
dosa besar lainnya seperti qadszaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum minuman keras, mencuri, haribah (perampokan/gangguan keamanan), murtad dan pemberontakan (a/ baghyu)42 Persepsi miring terhadap anak luar kawin diakibatkan oleh adanya pandangan dalam agama dan adat istiadat yang menggolongkan perbuatan zina atau persetubuhan diluar perkawinan ttu merupakan suatu perbuatan dosa besar, sehingga anak luar kawin adalah anak yang dihasilkan dari suatu perbuatan dosa. Menurut Al Quran disebutkan sebagai berikut:
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah betas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjaiankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman". (Q.S An-Nur ayat 2)
42
Mohd Din, dkk. Hukuman Cambuk dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana (SuPatu Penelitian di Kota Banda Aceh) Kanun Jurnal ilmu Hukurn, Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala Darussalam Banda Aceh. 2004. him: 285
109
Sanksi hukum bagi seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan perzinahan adalah sebagai berikut: 1) Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus pemudi dan/atau pemuda adalah hukuman cambuk seratus kali. 2) Dalam pelaksanaan cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. 3) Pelaksanaan-hukuman cambuk bagi penzina pada point 1 di atas tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjaiankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. 4) Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus janda dan/atau duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu sampai meninggal) dalam pelaksanaan hukuman rajam tidak ada belas kasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.43 Seorang perempuan yang bersuami jika melakukan zina akan dihukum sampai ia meninggal, hal ini sebagaimana di terangkan dalam Al Quran sebagai berikut:
43
110
Zainudin AN. Hukum Pidana Islam. Sinar Graftka. Jakarta. 2007. hlm; 50
Artinya : Dan (terhadap) para wanita yang melakukan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya) dan apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (Q.S An-Nisa ayat 15) Perbuatan zina akan menimbulkan kerusakan dalam silsilah keturunan, dan menimbulkan banyak kemudharatan lainnya, sehingga pandangan Islam terhadap perbuatan zina sangatlah tegas dan keras, dan hal ini berdampak secara sosial pada anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perbuatan zina tersebut. Rasanya tidak akan ada yang keberatan dari siapa pun tentang akibat hukum dan sanksi yang harus diterima oleh para pelaku perzinahan, namun jika akibat hukum itu harus juga diterima oleh anak-anak yang lahir dari perbuatan tersebut, rasanya kurang adil karena anak-anak yang diiahirkan tidak pernah turut andil atas dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Zainuddin AM mengemukakan tentang beberapa hal menyangkut luasnya ruang lingkup perbuatan zina dalam konsepsi Islam sebagaimana digambarkan oleh beberapa Hadist sebagai berikut: 111
• Nabi Muhammad SAW, telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina yaitu zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk penuturan zina perasaaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya namun kemaluanlah yang menentukan dalam berbuat zina atau tidak. • Seorang penzina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada di dalam keimanan, seorang pencuri tidak akan mencuri jika ketika itu ia berada di dalam keimanan yaitu iman yang sempurna, begitu juga seorang peminum arak tidak akan meminum arak jika ketika itu ia berada didalam keimanan. • Siapa yang menuduh hamba miliknya-melakukan zina maka pada hari kiamat kelak akan dikenakan hukuman kecuali tuduhannya itu benar. • Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada Muhammad SAW, Kitab Al Qur'an, diantara isi Al Quran itu ialah ayat yang mengatur tentang hukuman rajam. • Muhammad SAW melaksanakan hukuman rajam dan sesudahnya diikuti oleh para sahabat untuk melaksanakan hukuman itu. • Pada akhir jaman Nabi Muhammad SAW, merasa takut akan ada orang yang akan mengatakan bahwa kami tidak menemukan hukuman rajam di dalam Al Quran sehingga mereka akan menjadi sesat karena meninggalkan salah satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. • Hukuman rajam yang terdapat dalam Al Quran itu mesti dilaksanakan oleh manusia kepada penzina yang pernah kawin baik lelaki maupun
112
perempuan bila tedapat bukti yang nyata/atau dia teiah hamil atau pengakuannya sendiri; • Seorang lelaki memanggil Rasulullah sebanyak 4 (empat) kali dan mengatakan aku telah melakukan zina, Rasulullah berpaling darinya dan menghadap wajahnya kearah lain selama 3 (tiga) kali dan keempat kalinya Muhammad SAW memanggilnya dan bersabda adakah kamu gila? Lelaki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah SAW betanya lagi: "Apakah kamu sudah menikah atau berumah tangga?" Lelaki itu menjawab: "Ya". Maka Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya bawalah dia pergi dan laksanakanlah hukuman rajam kepadanya. • Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Maiz bin Malik. Apakah benar berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu itu? Beliau bertanya pula kepada Rasulullah SAW, "Berita apakah itu?" Rasulullah SAW menjawab dengan bersabda; "Aku mendengar bahwa kamu Eelah melakukan zina dengan seorang hamba perempuan si anu". Maiz bin Malik menjawab: "Memang benar bahkan dia sendiri mengaku sampai empat kali, bahwa dia memang melakukan zina". Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan supaya dilaksanakan hukuman rajam kepadanya. • Rasulullah menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun kepada pemuda yang melakukan zina dengan isteri orang sedangkan sang isteri dimaksud dieksekusi dengan hukum rajam. 113
• Sanksi hukum bagi penzina janda atau duda dan/atau yang pernah menikah didaiam kitab Taurat adaiah hukuman rajam. • Muhammad SAW bersabda: "Apabila seorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka hukum cambuk seratus kali dan jangan kamu memakinya, jika dia mengulanginya lagi perbuatan zina itu, cambuk lagi seratus kali dan janganlah kamu memakinya, jika dia mengulanginya lagi buat kali ketiganya dan terbukti maka juallah dia walaupun dengan harga sehelai rambut". • Muhammad SAW, dalam satu majelis pernah bersabda: "Seharusnya kamu membuat pengakuan kepadaku bahwa kamu tidak akan melakukan zina, mencuri dan tidak akan membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak". • Muhammad SAW, bersabda: "Seorang penzina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada di dalam keimanan, seorang pencuri tidak akan mencuri jika ketika itu ia berada di dalam keimanan yaitu iman yang sempurna, begitu juga seorang peminum arak tidak akan meminum arakjika ketika itu ia berada didalam keimanan"44.
44
114
ibid, hlm: 47-48
E. PENENTUAN NASAB ANAK DALAM HUKUM ISLAM Menurut konsep hukum Islam hubungan kekeluargaan dikenal dengan istilah nasab. Terdapat beberapa definisi tentang nasab menurut para pakar hukum Islam antara lain: a. Menurut Wahbah Al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah. b. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar'i.45 Menurut Jumni Nelly, bahwa anak diluar nikah dalam kpnsepsi Islam dibagi menjadi dua katagori antara lain: a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
45
Jumni Nelly. Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional. Fakultas Syari'ah dan llmu Hukum UIN Suska. Pekanbaru, Riau. hlm: 5
115
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasab'kan kepada bapaknya. Jika anak itu diiahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah, bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya beda pandangan dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi: "Anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam". Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki {bapak).46 b. Anak yang dibuahi dan diiahirkan diluar pernikahan yang sah. Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: (a) Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. (b) Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. (c) Bapak tidak dapat 46
116
Ibid, hlm: 6
menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya. Para ulama mazhab dari kalangan Sunni maupun Safi'i sepakat bahwa minimal kehamilan adalah enam bulan sebab didasarkan pada Surat AI-Ahqaf ayat 15 yang menentukan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Dari dasar ketentuan tersebut maka munculah beberapa hukum yang menyangkut tentang hubungan nasab terhadap anak antara lain: a. Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki menikah, laiu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum enam bulan, anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya. Syekh Al Mufid dan Syekh Ath Thusi dari mahzab Imamiyah dan Syekh Muhyiddin Abd Al Hamid dari Hanafi mengatakan bahwa nasib anak tersebut bergantung pada suami (perempuan tersebut) kalau mau dia bisa menolaknya dan bisa pula mengakui sebagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya, Ketika suami mengakui anak tersebut menjadi anaknya yang sah secara syar'i yang memiliki hak-hak sebagaimana mestinya anak yang sah dan dia pun mempunyai hak pula atas anak-anak seperti itu. Kalau kedua suami isteri itu bersengketa tentang lamanya waktu bergaul mereka misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya) "Engkau telah bergaul denganku sejak enam bulan atau lebih karena
117
itu anak ini adalah anakmu" lalu suaminya menyatakan "Tidak aku baru menggaulimu kurang dari enam bulan maka anak itu bukan anaku". Menurut Hanafi isterinya yang benar dan yang diberlakukan adalah ucapannya tanpa harus disumpah lebih dulu. Menurut Imamiyah kalau ada fakta dan petunjuk yang mendukung ucapan isteri atau suami yang diberlakukan adalah pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Apabila bukti dan petunjuk seperti itu tidak ditemukan sehingga persoalannya menjadi tidak jelas hakim memenangkan ucapan isteri sesudah disumpah lebih dulu bahwa suaminya telah mencampurinya sejak enam bulan yang lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak suaminya. b. Apabila
seorang
suami
menceraikan
isterinya
sesudah
dia
mencampurinya lalu isterinya itu menjalani iddah dan sesudah habis masa iddah-nya dia menikah dengan laki-laki lain kemudian dalam waktu kurang dari enam bulan dengan perkawinan suaminya yang kedua
dan
enam
bulan
lebih
apabila
dikaitkan
dengan
percampurannya dengan suaminya yang pertama yang tidak lebih dari batas maksimai kehamilan, anak tersebut dinisbatkan kepada suami yang pertama. Akan tetapi apabila anak tersebut lahir setelah enam bulan pernikahannya dengan suaminya yang kedua, maka anak itu dikaitkan nasabnya dengan suaminya yang kedua.
118
c. Apabila seorang perempuan diceraikan suaminya, lalu dia menikah dengan laki-laki lain dan melahirkan anak kurang dari enam bulan dihitung dari percampurannya dengan suaminya yang kedua dan lebih dari batas maksimal kelahiran dihitung dari percampurannya dengan suaminya yang pertama, anak itu dilepaskan dari kedua suami tersebut. Misalnya, seorang perempuan telah melalui masa delapan bulan semenjak diceraikan suaminya lalu dia menikah lag! dengan laki-laki lain lalu tinggal bersamanya selama lima bulan dan melahirkan anak. Karena telah diberlakukan anggapan bahwa masa kehamilan minimal adalah enam bulan anak tersebut tidak bisa dikaitkan dengan suaminya yang pertama karena masa bercerainya sudah lewat satu tahun dan tidak bisa pula menghubungkannya dengan suaminya yang kedua karena masa berkumpul mereka kurang dari enam bulan.47 Menurut pendapat lain, untuk memastikan apakah seorang anak yang dilahirkan itu adalah anak sah atau tidak dan dapat dinisbatkan kepada suami ibunya yang sah, maka para fukaha menetapkan ada tiga dasar yang dapat dipergunakan untuk menentukannya antara lain: a. Tempat tidur yang sah (AI-Firasyus Shahih). Yang dimaksud dengan tempat tidur yang sah adalah adanya tali perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak mutai 47
Mustofa Hasan. Op.tit. hlm: 258-259.
119
mengandung. Maka apabila bayi yang dalarn kandungan itu lahir, keturunannya dihubungkan kepada kedua orang tuanya, tidak diperlukan lagi adanya pengakuan dari pihak si ayah dan bukti-bukti lain untuk menetapkan keturunannya. Dengan adanya tempat tidur yang sah ini sudah cukup sebagai alasan untuk menetapkan bahwa anak yang ada adalah anak yang sah. Tempat tidur yang sah baru dapat dijadikan dasar untuk menentapkan keturunan anak yang sah apabila telah memenuhi tiga syarat berikut ini: 1. Suami telah mencapai usia baligh atau sekurang-kurangnya mendekati usia baligh. 2. Tenggang kandungan terpendek adalah 6 bulan sejak akad nikah dilangsungkan. 3. Suami tidak menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya tersebut. b. Pengakuan. Seorang anak yang sah dapat ditetapkan melalui pengakuan dengan syarat: 1. Orang yang diakui tidak dikenal keturunannya. 2. Adanya kemungkinan orang yang diakui itu sebagai anak bagi orang yang mengakui. 3. Pengakuan itu dibenarkan oleh anak yang diakuinya.
120
c. Saksi. Keturunan anak yang sah dapat juga ditentukan dengan adanya bukti kongkret seperti adanya dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Apabila seorang mengakui bahwa seorang yang lain adalah anaknya yang sah, sedang orang yang diakui itu menolak, maka yang mengakui dapat mengemukakan dua orang saksi sebagai bukti dan hakim memutuskan bahwa orang yang diakui ituadalah anak yang sah.48
F. KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM Kedudukan anak menurut hukum Islam sebagaimana yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama dengan UU Perkawinan, karena Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam mengandung rumusan yang tidak berbeda dengan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan, dimana seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan riasab dengan ibunya dan ketuarga ibunya. Seorang suami memiliki hak untuk mengingkari anak yang diiahirkan oleh isterinya dengan meneguhkannya melalui lembaga li’an. Pasal 102 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: 48
Fitrian Moor Hata. Status Hukum dan Hak Anak Hasil Perkawinan Wanita Ham/7 (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia) dikutip dari: http://www.badilag.nst/data/artikel/wacana%20hukum%20islam/ status hukum_dari Hak Anak. pdf
121
Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau sesudah suami itu mengetahui isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama. Seorang suami yang berhasil membuktikan pengingkaran anak yang dilahirkan oleh isterinya, akan berdampak pada status anak yang dilahirkan menjadi anak tidak sah dan dengan sendirinya akan terputus hubungan perdata dengan si ayah. Pasal 102 Ayat (1) Kompiiasi Hukum Islam di atas memberikan batasan waktu bagi si suami untuk mengajukan gugatan pengingkaran anak yaitu 180 hari sesudah hari lahirnya anak atau 360 hari sejak putusnya perkawinan atau si suami mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak jika keberadaan tempat kediaman suami memungkinkan untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Timbul persoalan dalam ilmu Fiqh menyangkut status anak di luar kawin (zina) terhadap orang tua biologisnya. Para ulama sepakat bahwa apabila terjadi perbuatan zina antara orang tua si anak, maka tidak ada hak mewaris antara anak yang diiahirkan melalui perzinahan dan orangorang yang lahir dari rnani orang tuanya, sebab anak tersebut secara syar'iat tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya. Akan tetapi menurut Mustofa Hasan bahwa para ulama mazhab menghadapi kesulitan sebagai konsekuensi dari fatwa mereka bahwa anak zina tidak berhak menerima warisan. Apabila anak zina itu tidak memiliki kaitan nasab secara syar'i dengan orang-orang yang lahir dari mani orang
122
tuanya, maka laki-laki yang melakukan zina tersebut tidak haram mengawini anak hasil zinanya, anak laki-laki zina tidak haram mengawini saudara perempuan dan bibinya. Akan tetapi sepanjang mereka dianggap tidak muhrim, anak zina itu dianggap sebagai anak yang sah sehingga seluruh haknya diberikan sebagaimana yang diberikan kepada anak sah lainnya termasuk hak waris dan nafkah atau dipandang sebagai anak tidak sah sehingga diberikan pula hak-haknya sebagaimana orang-orang yang tidak mempunyai hubungan nasab, termasuk boleh nikah antara bapak dan anak perempuannya atau dia dan saudara perernpuannya sendiri. Pemisahan antara sesuatu yang tidak dapat dipisahkan adalah mengada-ada. Karena itu para ulama mazhab sudah sepakat bahwa anak tidak mendapat waris, mereka berbeda pendapat dalam perihai yang lain.49 Pokok perbedaan pendapat di atas bertumpu pada persoalan apakah anak perempuan hasil dari perzinahan itu bisa dikawini oleh ayah biologisnya karena secara syar'i mereka tidak memiliki hubungan nasab. Diantara yang berpendapat seperti itu adalah Imam Maliki dan Imam Syafi'i50 sedangkan ulama yang berpendapat sebaliknya adalah Ibnu Tamiyah.51
49
Ibid hlm 267-268 Ibid. him. 268 51 Akhmad Junaedi. Kajian Tentang Pengakuan Anak Luar Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Isna Wahyudi di Majalah Hukum Varia Pengadilan, tahun XXV No. 296 Juli 2010), dikutip dari http://www.pa-kotabumi.go.id/ 50
123
Memang terjadi dilema ketika anak dinyatakan tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya, maka dia akan terbebas dari larangan nikah sebagaimana ditentukan didalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam yang antara lain: - Adanya pertalian nasab. - Adanya pertalian kerabat semenda. - Karena pertalian sepersusuan. Sehingga Imam Maliki maupun Imam Safi'i berpendapat bahwa, seorang laki-laki boleh mengawini anak perempuannya, cucu perempuan, saudara perempuan, keponakan perempuan hasil perbuatan zina, sebab perempuan-perempuan tersebut tidak mempunyai kaitan nasab secara syar'i dengannya.52 Hal tersebut memang akan menimbulkan konflik penalaran ketika kita menghubungkan dengan larangan perkawinan karena sepersusuan, dimana esensi dari larangan tersebut adalah karena susu yang diminum oleh anak akan mengalir menjadi darah di tubuhnya, lalu bagaimana dengan darah ayah yang mengalir pada anak hasil perzinahan tersebut? Mengenai jawaban atas persoalan tersebut biarlah menjadi kompetensi dalam pembahasan ilmu Fiqh diantara pendapat dan pemikiran para fukaha, sedangkan pembahasan disini cukup menyangkut segi-segi lainnya yang memiliki korelasi dengan kedudukan anak dalam konsepsi hukum Islam.
52
124
Mustofa Hasan. Op.cit. hlm; 268.
Kedudukan anak luar kawin dalam konsepsi Islam harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diiakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada seorang pun yang dapat menyangkal bahwa perbuatan zina (persetubuhan tanpa ada ikatan perkawinan) merupakan sebuah dosa besar, namun menyangkut anak yang dilahirkan dari perbuatan tersebut tidaklah sepantasnya juga harus menerima hukuman atas dosa yang diiakukan oleh kedua orang tuanya, karena jika setiap anak diberikan pilihan terhadap kelahirannya, maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada seorang anak pun yang mau dilahirkan dari hasil perbuatan zina. Ketentuan hukum Islam memang sudah jelas dan tegas berdasarkan pendapat Jumhur Ulama bahwa anak luar kawin tidak bisa dinasabkan' terhadap ayah biologisnya, walaupun Ibnu Tamiyah memiliki pendapat yang berbeda tentang itu. Ketentuan tersebut sudah merupakan hukum yang tidak mungkin diubah atau diperlunak pengertiannya, namun bukan berarti bahwa seorang laki-laki yang nyata-nyata adalah ayah biologis si anak bisa dengan rnudah menelantarkan begitu saja anak yang berasa! dari benihnya. Secara moral dan kemanusiaan tetap si ayah memiliki kewajiban untuk memperhatikan kebutuhan si ariak karena penelantaran seorang manusia dalam suatu penderitaan merupakan bentuk dosa juga dalam pandangan agama. Banyak orang yang berpikiran sempit, yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari hubungan yang haram tetap akan menjadi "anak haram" padahal dalam terminologi Islam tidak pernah dikenal 125
istilah "anak haram" dan hal tersebut jelas akan bertentangan dengan apa yang difirrnankan Alah SWT dalam Al Quran
Artinya : Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S Surat Al-Hujarat Ayat 13) Berdasarkan Ayat tersebut kita bisa memahami bahwa Sang Pencipta sendirt tidak pernah mengelompokan manusia berdasarkan status kelahirannya. Kedudukan manusia di hadapan Tuhan hanya dibedakan berdasarkan nilai ketaqwaannya. Agama Islam tidak pernah mengajarkan bahwa dosa orang tua dapat diwariskan/diturunkan kepada anaknya atau harus turut ditanggung oleh keturunannya. Islam adalah agama rahmatan Il'alamin yang artinya agama yang memberikan rahmat kepada seluruh umat manusia di dunia. Walaupun Islam sangat tegas terhadap perbuatan zina yang dibuktikan dengan adanya ancaman pidana mati (rajam) bagi orang yang melakukan zina muhshan, namun bukan berarti bahwa anak yang lahir dari perbuatan tersebut disejajarkan kedudukannya dengan orang tua yang melakukan perbuatan zina. Setiap anak memiliki hak yang sama dihadapan Tuhan, negara dan hukum. Memberikan pembatasan terhadap hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia bukan hanya akan melanggar konstitusi, namun juga telah bertentangan dengan kodrat manusia yang
126
telah diberikan oleh Tuhan sebagai mahluk yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan Sang Pencipta. Artinya walaupun secara keperdataan anak luar kawin tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya bukan berarti bahwa ayah biologis sama sekali tidak memiliki kewajiban secara kemanusiaan terhadap anak hasil dari benih yang ditanamnya. G. LEMBAGA PENGAKUAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM Pada pembahasan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan: "Apakah dalam hukum Islam mengenal istilah lembaga pengakuan anak?" Pada prinsipnya hukum Islam juga mengenal lembaga pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya terbatas pada golongan anak luar kawin tertentu, misalnya pengakuan anak terhadap anak syubhat dan anak temuan, sedangkan terhadap anak zina masih menjadi perdebatan diantara para ahli ilmu Fiqh menyangkut boleh ataukah tidak seorang anak zina diakui oleh orang tua biologisnya. Pengadilan
Agama
Sleman
dalam
perkara
No.
408/Pdt.G/2006/PA.Smn pernah mengabulkan pengakuan anak terhadap anak hasil dari perzinahan, hal ini didasarkan pada penemuan hukum "argumentum a fortiori" atau "al mahfum al muwafakoh" dengan berpendapat bahwa "jika anak yang tidak memiliki nasab yang jelas saja dapat dinasabkan kepada orang yang mengakuinya melalui istilhaq, maka anak yang jetas bapak biologisnya juga dapat dinasabkan kepada
127
bapak biologisnya" pendapat tersebut juga didasarkan pada pemikiran dan pendapat dari Ibnu Tamiyah yang membolehkan anak zina dinasabkan kepada ayahnya.53 Pendapat tersebut ditentang oleh Akhmad Junaedi yang menyatakan bahwa anak zina tidak dapat diakui berdasarkan
hukum
Islam
sedangkan
pendapat
sebagaimana
dikemukakan oleh hakim Pengadilan Agama Sleman tersebut menurut Akhmad tidak dapat dipakai, hal ini didasarkan pada alasan bahwa menurut kaidah Ushul Fiqh pengambilan al mafhum al muwafakoh dapat dilakukan sepanjang syarat dan qayyid dalam suatu ketentuan hukum tidak rnempunyai fungsi lain, sedangkan dalam persoalan ini tempak jelas syarat tersebut rnempunyai fungsi lain yaitu untuk menasabkan anak diluar nikah/zina kepada bapaknya yang menurut hukum asalnya anak zina tidak boleh dijadikan objek pengakuan oleh bapak biologisnya.54 Suatu pengakuan (istilhaq) di dalam hukum Islam dianggap sah dan akan menimbulkan hubungan nasab dengan pihak ayah
yang
mengakuinya jika di penuhi empat syarat antara lain sebagai berikut: 1. Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya, sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa anak itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara pasti orang tuanya tidak diperbolehkan, sebab berdasarkan ketentuan Al Quran Islam melarang pengalihan nasab seseorang kepada orang lain. 53 54
128
Akhmad Junaedi. Op Cit. ibid
Artinya : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [1199]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Ahzab Ayat 5) 2. Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal sehingga apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya ataupun lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka pengakuan anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. 3. Dari segi objek pengakuan, Jumhur IMama berpendapat pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas keterangan bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil dari hubungan di luar nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Diantara dan hukumnya adalah "Hubungan keturunan itu adalah nikmat Allah SWT yang diberikan kepada hambanya dan Allah menjadikan untuk kamu isteri-isteri yang sejenis dengan kamu dan menjadikan isteri-isteri kamu itu anak-anak dan 129
cucu-cucu" dan nikmat itu tidak diberikan sebagai hasil perbuatan dosa. Jadi hubungan nasab tidak diakui berdasarkan hubungan zina sesuai dengan Hadist "Dan . bagi orang yang berzina itu batu" (lil 'aahiri al-hajaru). Sebagai mana firman Allah
Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Q.S An-Nahl Ayat 72) 4. Pengakuan anak tersebut dibenarkan oleh anak yang diakuinya dengan syarat kalau anak tersebut sudah dewasa sebab dengan persetujuan anak yang sudah dewasa pengakuan itu dianggap benar. Namun jika anak yang diakui belum dewasa (masa kecil) maka hubungan nasab cukup didasarkan pada pengakuan ayahnya saja.55 Pengakuan anak dikenal dalam hukum Islam selain dalam hal anak temuan, juga berlaku terhadap anak syubhat baik dalam hal syubhat 55
130
Ibid
karena akadnya (hukumnya) maupun syubhat karena perbuatannya. Berdasarkan beberapa pendapat ulama bahwa anak syubhat adalah anak tidak sah kecuali jika anak tesebut diakui oleh orang tua yang melakukan persetubuhan syubhat tersebut. Namun dilain pihak terdapat pendapat uiama yang antara isin menurut Mazhab Imamiyah menyatakan bahwa nasab yang sah ditetapkan untuk anak-anak yang lahir, karena syubhat berikut hak-hak yang dimilikinya melatui ke-syubhat-an tersebut. Kalau orang yang melakukan ke-syubhatan itu tidak mengakui anak tersebut, hubungan nasab anak sama sekali tidak ternafikan, bahkan laki-laki tersebut dipaksa harus mengakuinya.56 Jika kita mengitpjti pendapat Mazhab Imamiyah, maka pengakuan anak menjadi tidak penting lagi karena ada atau tidak ada pengakuan anak yang lahir karena persetubuhan syubhat tetap dianggap sebagai anak sah. Secara logika mungkin pendapat tersebut ada benarnya karena anak yang dilahirkan secara syubhat tidak didasarkan atas suatu niat yang dilarang oleh hukum, karena kekeliruan pada saat melakukan persetubuhan itu dengan menganggap bahwa yang disetubuhinya itu adalah isterinya yang sah, maka sesungguhnya persetubuhan itupun tidak mengandung dosa apalagi dianggap sebagai perbuatan zina. Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut, maka anak yang dilahirkan dari persetubuhan syubhat itu tetap akan menjadi anak sah secara syar’i57
56 57
Mustofa Hasan. Op.cit. hlm. 263 lbid. hlm: 262
131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan seperti tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Anak yang lahir bukan dalam ikatan perkawinan yang sah, maka dikategorikan sebagai anak tidak sah (anak luar kawin) 2. Anak yang lahir bukan dari ikatan perkawinan yang sah (anak luar kawin), mereka tidak bersalah, bebas cela, bebas penghinaan dan hukuman serta berhak mendapatkan perlindungan. 3. Anak luar kawin dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, diantaranya : anak zina, anak sumbang (incest), anak mula’anah dan anak subhat. 4. Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya.
132
B. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, kiranya penulis sarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Anak yang lahir bukan dari hasil perkawinan yang sah (anak luar kawin) hendaklah diberikan semangat hidup dan perlindungan, sebab ia tidak bersalah. 2. Istilah-istilah anak luar kawin, seperti anak zina, anak sumbang, anak mula’anah dan anak subhat hendaklah tidak dibesar-besarkan, bahkan kalau bisa dihilangkan dari kalangan masyarakat, sebab hal itu dapat menjatuhkan masa depan anak itu sendiri. 3. Kedudukan anak luar kawin baik dalam perspektif hukum Islam maupun hukum perkawinan hendaklah tetap diakui, sebab meskipun anak itu lahir dari perkawinan yang tidak sah, tetapi setiap anak yang lahir itu suci (baca hadis) sehingga ia tidak berdosa dan berhak mendapatkan perlindungan dan pengakuan.
133
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeven, 1996. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. Abu Faqih, Khozin, Poligami Solusi atau Masalah, Jakarta: Muantaz, 2007 Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rineka Cipta, 2007 Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991 Koentjaraningrat dalam Soedjatmoko dkk, Histeriografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1995 Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004
134
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tentang Anak luar kawin Rifai, Moh, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978 Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: at-Tahriyah, 1976 Supramonoo, Gatot, Seg-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1998. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 dan Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Muslim Modern, Yogyakarta: graha Ilmu, 2011 Mulia, Siti Musdah, Islam Mengguggat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Mulia, 2004 Nasution, Khoiruddin, dkk, Hukum Perkawinan dan Kewarisan, di Dunia Muslim Modern, Yogyakarta: Academia, 2012
135
__________________, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: Academia. 2005 __________________,Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Academia. 2009 Witanto, D.Y., Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materil UU Perkawinan, Jakarta: prestasi Pustaka, 2012 Yaswirman, Hukum keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011
136
137
138